Shugyosa Samurai Pengembara 9 Bagian 2
ini tidak menghindar, namun justru menyongsongnya.
Terjadi benturan hebat sampai kedua pedang mereka
memercikkan api. Rasa kaget yang dialami Ishida
membuat ia meloncat ke belakang, dan saat itu kaki besinya terjerumus pada tanah
berlumpur yang dalam.
"Akh!"
Terdengar jeritannya saat ia mencoba menarik kakinya. Tetapi terlambat. Pada saat itu Saburo telah me-nerjangnya. Sebuah
tendangan menghantam dada lelaki tersebut. Ishida terguling-guling di lereng bukit itu. Ketika tubuhnya
tersandar di semak belukar,
ujung pedang Saburo telah menempel di lehernya.
Terdengar tepuk tangan dari balik pohon kriptomeria. Bapa Lao muncul sambil tersenyum.
"Pertarungan usai," kata Bapa Lao.
"Saya ingin pengakuannya, Bapa," kata Saburo dengan tetap menekan pedangnya.
"Oh, tentu. Kalau dia tak mengakui kekalahannya,
kau boleh menebas lehernya. Biar bukan hanya kakinya yang buntung tetapi juga kepalanya. Bukankah
begitu, Ishida?"
Ishida menelan ludah yang bercampur air. Tak bisa
diingkari ia telah dikalahkan oleh Saburo.
Bapa Lao bertanya, "Apakah engkau mengaku kalah?" Ishida menjawab, "Ya. Saya kalah."
Saburo menarik pedangnya dari leher lelaki itu. Ia mengulurkan tangan untuk
menarik tangan Ishida.
"Engkau benar-benar hebat," puji Saburo.
"Ya, tetapi engkau lebih cerdik."
"Itu hanya suatu keberuntungan."
"Tampaknya aku perlu kekalahan untuk berubah."
Bapa Lao tersenyum. "Itulah sesungguhnya hidup.
Kekalahan adalah proses kelahiran kembali."
*** TONTONAN TAK SENONOH
SUARA genderang ditabuh ketika kereta Naoko melintasi jalan Akasuka. Lewat jendela yang terbuka, dayang-dayang serta Naoko
melihat pemandangan di
luar. Jalan Akasuka merupakan salah satu jalan besar di Kamakura. Di kanan kiri
jalan ini terdapat perto-koan dan kedai-kedai minum. Orang-orang berdatangan ke jalan ini untuk minum, makan, atau sekadar
melihat-lihat. Pada siang hari jalan Akasuka dipenuhi orang. Mereka hilir mudik dalam keramaian yang terkesan riuh.
Para pedagang keramik, buah-buahan, dan hasil kera-jinan lain berderet-deret di
tepi jalan. Mereka bercelo-teh menawarkan barang dagangannya.
Koyama berjalan di tepi kereta sambil membawa
sandal milik Naoko. Matanya yang bundar menoleh ke kanan ke kiri, mencoba
melihat orang-orang di tepi jalan. Pada kesempatan seperti ini selalu
dimanfaatkan oleh Koyama, karena mereka jarang pergi keluar istana. Biasanya
sebulan hanya dua kali Naoko keluar istana.
Di depan sebuah kedai minum terdapat keramaian.
Ada pengamen yang tengah mengadakan pertunjukan.
Orang-orang berkumpul membuat sebuah lingkaran
untuk menyaksikan pertunjukan itu.
"Pertunjukan apa itu?" Naoko bertanya pada dayang-dayangnya.
Dayang-dayang itu melongokkan kepala ke arah
Koyama, "Pertunjukan apa itu?"
Koyama menoleh, tetapi ia tak dapat melihat pertunjukan itu karena tertutup para penonton. "Saya tidak tahu."
"Coba kau ke sana, lihat pertunjukan apa itu."
"Baik."
Koyama segera berlari ke arah pertunjukan itu, lalu dengan gesit ia mendesak ke
depan. Karena tubuhnya kecil ia dapat menerobos hingga ke depan. Ternyata
pertunjukan itu adalah pertunjukan para penari Izu.
Mereka tengah memainkan sandiwara kabuki. Suara
genderang dan tambur serta seruling membuat tontonan itu sangat menarik.
Sesudah melihat sejenak, Koyama berlari kembali
ke arah kereta.
"Pertunjukan kabuki," kata Koyama.
"Oh, ya, dari mana?"
"Dari Izu."
"Bagaimana kau tahu?"
"Dari tulisannya. Saya bisa membaca sedikit."
Dayang-dayang itu melaporkan pada Naoko. Sesaat
kemudian Naoko melongokkan kepala.
"Koyama!"
"Ya."
"Suruh mereka ke istana. Aku ingin menyaksikan
pertunjukannya."
Koyama bersorak gembira. Sudah agak lama tidak
ada pertunjukan apa-apa di istana. Sejak keberangkatan Oda Nobunaga, Putri Naoko
lebih banyak menyimpan diri di kamar. Jarang dia keluar kalau tidak perlu sekali. Sekarang, tibatiba dia menginginkan pertunjukan kabuki di istana. Ini pasti menyenangkan!
Koyama segera berlari menuju ke pimpinan kabuki
itu. Dengan polos dia menyampaikan pesan Naoko.
"Jam berapa?" tanya pimpinan kabuki itu.
"Sesudah matahari terbenam."
"Baiklah. Nanti kami akan ke sana."
"Jangan sampai lupa."
Malam hari. Bulan sedang purnama. Istana Kamakura tampak ceria. Obor-obor dipancangkan di dekat tempat pertunjukan. Para
pengawal duduk mengelilingi tempat pertunjukan itu dengan wajah gembira. Mereka
semua sudah lama tidak menyaksikan kabuki,
karena itu gagasan mendatangkan kabuki kali ini di-sambut gembira. Mereka duduk
sambil menikmati
sake dari cawan.
Putri Naoko datang diiringi delapan orang samurai, dua orang dayang-dayang dan
Koyama. Mereka melangkah menyusuri lorong istana menuju ke tempat
pertunjukan. "Apakah mereka sudah siap, Koyama?"
Koyama menjawab bangga, "Sudah, Tuan putri."
"Suruh mereka segera memulai."
"Baik."
Pertunjukan amat meriah. Para penari Izu mementaskan kisah klasik Cina tentang Ular Putih. Dikisahkan Siluman Ular Putih ingin
menjadi manusia. Karena itu ia bertapa selama seribu tahun. Ketika selesai bertapa, ia benar-benar
menjadi manusia, seorang gadis yang cantik jelita, namanya Bai Shu-zen.
Mulailah ia menikmati kehidupan manusia, sampai
suatu hari ia bertemu dengan Xu Xian, seorang pemu-da yang tampan. Mereka saling
jatuh cinta, hingga akhirnya Xu Xian ingin menikahinya. Pada saat itulah timbul
persoalan. Masyarakat di mana mereka tinggal menanyakan asal-usul Shuzen. Jelas
gadis itu tak dapat mengatakan asal-usulnya, sehingga meskipun selama ini ia telah berbuat baik, berhati tulus, tetapi karena asal-usulnya tidak
jelas ia tidak diterima di dunia manusia!
Kisah cinta dan tragedi itu dimainkan dalam pertunjukan kabuki yang sangat menawan. Putri Naoko
menyaksikan dengan penuh kekaguman. Lebih-lebih
pada pemain Xu Xian, pemuda itu memerankan tokoh
legenda tersebut dengan baik sekali.
"Siapa pemain itu?" Naoko bertanya pada dayangdayangnya. "Koyama," dayang-dayangnya bertanya pada Koyama. "Siapa dia?"
"Nanti saya akan tanyakan."
"Sehabis pertunjukan, dia disuruh menemui Tuan
Putri." "Untuk apa?"
"Entah. Mungkin akan diberi hadiah."
"Oh."
Koyama memperhatikan pemeran Xu Xian, memang
tampak memukau. Saat ia bermain merayu Shu-zen,
semua orang bertepuk tangan gemuruh. Demikian pula ketika ia tengah memainkan pedang untuk membela kekasihnya. Permainan
pedangnya benar-benar mempesona.
"Dia memang menawan," kata Koyama.
Seusai pertunjukan, Koyama menjemput pemain Xu
Xian itu. Penari itu bertanya, "Ada apa?"
"Saya tidak tahu. Saya hanya diperintahkan menjemput." "Tahukah engkau kira-kira apa yang diinginkannya?" Koyama menggelengkan kepala.
Kamar Putri Naoko hanya diterangi lampu remangremang. Hanya ada nyala lilin di dekat ranjang, sehingga keseluruhan ruangan
setengah gelap. Koyama merasakan keanehan itu. Ia merasa penasaran. Tidak biasanya kamar tersebut
dibiarkan gelap. Koyama mendorong penari Izu itu ke depan, kemudian dia sendiri berjongkok.
"Penari Izu itu sudah berada di sini, Tuan Putri,"
kata Koyama memberitahu.
Dari arah ranjang Naoko menjawab, "Suruh dia
mendekat."
Koyama menyuruh penari itu mendekat.
Putri Naoko bertanya, "Siapa namamu?"
"Otami, Tuan Putri."
"Dari mana asalmu, Otami?"
"Hamba dari Izu."
"Apakah engkau senang hidup sebagai penari?"
"Benar, Tuan Putri. Hamba sejak kecil memang hidup dengan menari. Bahkan seluruh keluarga hamba
adalah penari."
"Maukah engkau menari di sini?"
"Maksud Tuan Putri?"
"Aku ingin engkau menjadi penari istana."
"Hamba tidak menduga akan memperoleh tawaran
seperti itu. Sungguh hamba berterima kasih sekali."
"Sebagai penari istana, engkau harus mengikuti perintahku. Maukah engkau mengikuti perintahku?"
"Hamba bersedia, Tuan Putri."
"Kalau begitu, sekarang buka pakaianmu. Aku ingin
melihatmu menari di sini."
"Hamba dapat menari dengan tetap mengenakan
pakaian...."
"Buka pakaianmu. Aku menginginkannya."
Otami melirik Koyama. Ia tampak ragu-ragu. Koyama mengangguk sebagai tanda agar Otami memenuhi
permintaan Putri Naoko.
Dengan bimbang Otami membuka pakaiannya. Ia
tak tahu harus berbuat apa. Tetapi karena menyadari Putri Naoko kini merupakan
penguasa tunggal di istana itu, Otami mencoba memenuhi permintaan itu. Ia
melepas kimononya. Koyama menahan senyum menyaksikan Otami hanya mengenakan kain putih penutup alat vital.
Dari balik tirai kamar tidur, Putri Naoko berkata,
"Sekarang menarilah."
Sekali lagi Otami menatap Koyama, tetapi anak itu
justru tersenyum.
"Menarilah," kata Koyama.
"Di sini?"
"Ya."
"Telanjang begini?"
"Ya."
Otami sejenak ragu-ragu. Ia mencoba mencari penjelasan dari tirai ranjang yang tertutup, tetapi tak ada suara apa pun dan sana.
Akhirnya dengan diliputi ke-raguan ia mulai menggerak-gerakkan tangan. Gerakannya gemulai, lambaian tangannya seperti gerakan sayap burung merpati.
Kemudian dengan ujung kaki,
ia berputar-putar di ruangan itu.
Pada awalnya Otami menunggu komentar Putri Naoko, namun karena beberapa lama tak terdengar komentar apa pun, akhirnya ia berpikir Putri Naoko memang menghendaki ia menari.
Karena itu Otami pun
kemudian menari dengan sepenuh hati. Ia mulai bergerak dengan tenaga yang
teratur, tangannya yang len-tur menampilkan gerakan mempesona. Bahkan kadang-kadang Otami melayang di udara, gerakan-gerakannya menjadi demikian fantastis. Otami mengakhiri tariannya dengan bersujud.
Ketika tarian itu selesai, terdengar tepuk tangan dari balik tirai tempat tidur.
Tirai itu kemudian terbuka, Putri Naoko muncul dari balik keremangan tirai itu.
Koyama terbelalak. Belum pernah ia melihat pemandangan seperti yang ia lihat saat itu.
"Koyama, kau boleh pergi."
Koyama bersujud kemudian cepat-cepat meninggalkan kamar itu.
Setelah Koyama pergi, Putri Naoko berkata, "Otami, kemarilah...."
Otami mengangkat kepala. Seketika ia terpaku. Putri Naoko berdiri empat langkah di depannya - telanjang bulat. "Tuan Putri...," suara Otami terdengar tersekat di tenggorokan.
"Kemarilah. Aku ingin engkau tidur denganku."
"Tuan Putri, sebaiknya jangan...."
"Terserah padamu. Kalau engkau tidak mau, aku
akan berteriak dan mengatakan engkau bermaksud
memperkosaku. Para pengawal pasti dengan senang
hati memenggal kepalamu. Tetapi kalau kau bersedia menemaniku tidur, engkau akan
mendapat hadiah
yang belum pernah kaumiliki."
Otami terdiam. Ia tahu, perempuan di depannya
benar-benar akan melaksanakan ancamannya bila ia
tak memenuhi permintaannya. Ia tahu bagaimana wataknya. Tetapi bila ia memenuhi keinginannya....
Sebelum menyadari apa yang harus dilakukan, Otami merasakan tangan lembut Putri Naoko telah membelai dadanya. Tangan itu membelai ke bawah, ke bawah, lalu membuka kain putih
yang menutup alat vitalnya. Otami kemudian merasakan tangannya ditarik ke
arah ranjang. *** PERTEMUAN KOJIRO sedang berbaring di sudut bangunan istana
ketika seseorang membangunkannya.
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Koyama, bangun!"
"Bapa Lao."
"Cepat ikuti aku."
"Ke mana?"
"Orang-orang ingin bertemu denganmu."
"Siapa?"
"Kau akan tahu nanti."
"Di mana?"
"Ayo, ikuti aku."
Mereka menyelinap di antara bangunan-bangunan
istana, terus menuju ke taman anggrek yang berada di belakang. Selama berjalan
Koyama berpikir keras, siapa yang ingin bertemu dengannya. Selama ini kehidupannya hanya terbatas di istana dan Bapa Lao. Lantas sekarang kalau tiba-tiba
Bapa Lao mengatakan ada orang ingin bertemu dengan dirinya - siapa"
Pertemuan itu sungguh tidak terduga. Koyama berdiri di samping Bapa Lao, ia tak mengerti harus berbuat apa. Tiba-tiba terdengar
gemerisik dedaunan, dan Saburo Mishima melangkah keluar dari kerimbunan
pohon. Saburo membeku di depan Koyama, seakan mereka
tak mempercayai pandangan masing-masing. Tak terasa mata mereka berkaca-kaca, kemudian dalam gerak
cepat mereka sudah berpelukan.
"Ayah!"
"Koyama!"
Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mewakili keharuan mereka. Kerinduan telah menjadikan mereka
luruh dalam isak tangis. Bagi Saburo, pertemuan itu seperti suatu keajaiban.
Semenjak perpisahan mereka di tengah pengepungan itu, tak terpikir sekalipun
untuk dapat bertemu dengan Koyama. Ia sudah membayangkan sesuatu paling buruk bisa terjadi. Sesekali dalam tidurnya, ia
terganggu oleh rasa bersalah karena telah mengorbankan Koyama dalam pertikaian
ini. Karena itu ketika sekarang ia bertemu Koyama, ia hanya bisa mendekap erat,
melimpahi dengan air mata. Bagi Koyama sendiri, pertemuan ini juga merupakan
keajaiban. Selama ini tak pernah ia memikirkan akan per-jumpaan seperti ini.
Seluruh pikirannya ia curahkan pada kehidupannya sendiri, Pedang Muramasa, dan
Bapa Lao. Karena itu pertemuan yang tiba-tiba ini menjadi sukar dimengerti.
Bapa Lao hanya diam menyaksikan pertemuan itu.
Diam-diam ia menyingkir membiarkan kedua orang itu melepaskan kerinduan masingmasing. Ketika Saburo dan Koyama sudah puas melepas kerinduan, mereka menjumpai Bapa Lao.
"Koyama," kata Bapa Lao. "Apa ada informasi yang
kauperoleh di istana?"
"Tidak banyak. Kecuali di istana sekarang banyak
ninja merah."
"Ninja merah?" Saburo penasaran.
"Ya, mereka kelihatannya menjadi pasukan Putri
Naoko." "Apakah mereka setiap hari berada di sini?"
"Sttt!" Bapa Lao memberi isyarat. Mereka langsung
diam. Dua orang ninja merah berjalan ke arah kamar Putri Naoko.
Ketika ninja itu sudah jauh, Saburo berkata, "Mereka kelihatannya memang mempunyai rencana tertentu." Bapa Lao berkata, "Tampaknya demikian."
"Ada apa lagi?"
Koyama menceritakan tentang kedatangan penari
Izu, dan peristiwa malam itu. Saburo hanya bisa berpandangan dengan Bapa Lao.
"Otami tidak menolak?" Saburo bertanya.
"Dia diancam akan dipenggal kepalanya kalau menolak." "Jadi dia menerima?"
"Ya, terpaksa."
"Sial!" rutuk Saburo geram. "Ini bisa mengacaukan
segalanya."
"Kenapa?"
"Kalau dia benar-benar terpikat pada Naoko, bukan
mustahil dia akan mengkhianati kita."
"Mungkinkah begitu?"
"Kenapa tidak mungkin" Mayeda Toyotomi saja
sanggup mengkhianati Imagawa."
"Wah, gawat kalau begitu."
"Kita harus bicara dengan Takeshi."
"Koyama, kau kuberi tugas penting. Jangan sampai
gagal. Dan jangan sampai ada yang tahu."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Temui Mayumi."
Sesudah menjelaskan apa yang harus dilakukan
Koyama, Saburo dan Bapa Lao pergi. Sesudah mereka
meloncati pagar istana, mereka berjalan tenang.
Bapa Lao bertanya, "Ngomong-ngomong, tadi kudengar engkau memanggil Koyama dengan sebutan
Koyama, dan Koyama memanggilmu ayah. Apa maksudnya?" Saburo menjawab, "Nanti kujelaskan kalau sudah
minum sake."
*** Bapa Lao terdiam. Ia mendengarkan kisah tentang Kojiro dengan perasaan kagum. Hingga saat sekarang,
kenyataannya Kojiro tetap merahasiakan siapa dirinya sesungguhnya. Ini jelas
merupakan sesuatu yang patut dihargai. Pada usia yang masih demikian muda,
Kojiro telah menjalani semangat bushido. Setia sampai mati pada perintah
ayahnya. "Engkau benar-benar beruntung memiliki anak seperti itu," kata Bapa Lao ketika Saburo selesai berceri-ta. "Dia akan menjadi
samurai yang hebat."
"Saya sendiri tidak membayangkan kalau dia masih
hidup," kata Saburo. "Sejak kami berpisah tidak pernah ada berita yang kudengar perihal dirinya."
"Dia mampu mengurus diri sendiri."
"Karena itu saya berterima kasih sekali pada Bapa.
Tanpa Bapa dia pasti mengalami lebih banyak kesulitan."
Bapa Lao menghela napas panjang. Wajah lelaki itu
terlihat tenang, namun pijar matanya memperlihatkan seakan ia tengah memikirkan
sesuatu yang jauh.
"Sekarang di mana Pedang Muramasa yang selama
ini dibawa Kojiro?" Saburo bertanya.
"Di kuil," jawab Bapa Lao. "Tak usah dirisaukan.
Pedang itu berada di tempat yang aman."
"Bapa yakin tak akan ada orang yang menemukannya?" "Ya."
"Kalau begitu, sekarang saya hanya harus berkonsentrasi untuk menemukan putra Ashikaga."
"Benar."
"Apakah Bapa dapat menolong saya?"
"Katakan saja. Apa yang harus kulakukan?"
"Jaga anak saya sebaik-baiknya," kata Saburo. "Betapapun kita tak mungkin menarik Kojiro dari istana.
Biarkan anak itu menjalankan kewajibannya. Dia akan dapat memberikan informasi
tentang kehidupan istana. Namun demikian, semua itu mengandung resiko
yang sangat besar. Karena itu kuminta Bapa memberikan perlindungan padanya,
bagaimanapun caranya."
"Saya akan berusaha agar dia tidak kehilangan kepala," jawab Bapa Lao tanpa tekanan. "Kalau dia mengikuti anjuranku, kujamin dia
tidak akan kehilangan kepala."
"Tetapi dia masih anak kecil, Bapa."
"Anak kecil yang pintar."
"Terima kasih, Bapa."
Saburo Mishima kemudian berpamitan. Ia meninggalkan Bapa Lao untuk mencari putra Ashikaga.
*** PENYEBARAN DESAS-DESUS
KAMAKURA tiba-tiba dilanda desas-desus. Entah siapa yang meniupkan desas-desus
itu, tetapi kenyataannya semua orang terpengaruh oleh kabar yang menjadi
pembicaraan bisik-bisik di antara penduduk.
Desas-desus pertama mengatakan:
Saat ini Putri Naoko tengah menghimpun kekuatan para ninja untuk merebut
kekuasaan di istana. Langkah ini sesungguhnya telah direncanakan sejak lama,
jauh sebelum Oda Nobunaga meninggalkan istana.
Orang-orang jadi bertanya-tanya:
"Apakah sekarang Oda Nobunaga sudah mengetahuinya?" "Bagaimana kalau belum" Apakah tidak sebaiknya
kita mengirim kurir untuk memberitahu rencana jahat itu?"
"Tetapi untuk apa" Perempuan itu dengan cepat dapat mempengaruhi Nobunaga bila lelaki itu sampai di sini. Bahkan mungkin dia
justru akan menghukum ki-ta karena dianggap menyebarkan desas-desus."
Desas-desus kedua mengatakan:
Putra Ashikaga ternyata masih hidup. Dia kini sedang dalam upaya untuk berkuasa
kembali di Kamakura. Dengan dibantu Panglima Ashikaga, Saburo Mishima, putra
Ashikaga itu tentu mengancam kekuasaan Putri Naoko.
"Bagaimana kalau desas-desus ini benar?"
"Aku akan melihat lebih dulu seberapa besar kekuatannya?"
"Maksudmu?"
"Kalau kekuatannya besar, memadai untuk merebut
kembali istana, bukan mustahil para penduduk akan
berpihak padanya. Para penduduk sebenarnya sudah
bosan diperintah Oda Nobunaga yang hanya memikirkan dirinya sendiri."
"Dirinya sendiri bagaimana?"
"Ya. Selama ini dia berusaha terus mengembangkan
kekuasaannya, menyerang Suruga, Mino, Kai, atau
bahkan Mikawa semata-mata untuk kepuasan dirinya.
Dia tidak pernah memikirkan bahwa rakyatnya sudah
letih berperang."
"Ya, benar."
"Memang benar."
Desas-desus ketiga mengatakan:
Putri Naoko kini telah memiliki lelaki simpanan ber-nama Otami, penari dari Izu!
"Apa yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan
yang hanya memikirkan kebutuhan nafsunya saja?"
"Dia tidak akan pernah memikirkan rakyatnya."
"Tahukah Oda Nobunaga mengenai hal ini?"
"Kurasa belum. Kalau sudah tahu, dia pasti akan
kembali untuk memenggal kepala perempuan itu."
"Mudah-mudahan dia akan mengetahuinya tak lama lagi." Desas-desus keempat mengatakan:
Kini Shogun Imagawa tengah mempersiapkan sepuluh ribu prajurit yang sangat terlatih untuk menyerbu ke Owari. Imagawa telah
berhasil menghimpun kekuatan dari seluruh samurai yang berada di Suruga, bahkan
juga beberapa ribu dari Mikawa, untuk melakukan pembalasan pada Oda Nobunaga!
"Wah, ini gawat!"
"Ya, sangat gawat! Kalau serbuan dia benar-benar
dilaksanakan, tidak ada lagi kekuatan Owari yang dapat menghambat serbuannya."
"Pembalasan dendam, selalu saja mengerikan."
"Benar. Kalian masih ingat bagaimana secara licik
Nobunaga menyekap mereka di balai pertemuan lalu
membakarnya?"
"Beruntung dia dapat menyelamatkan diri."
Desas-desus itu terus menjalar dari satu kedai ke
kedai yang lain. Bahkan di pasar telah menjadi pembicaraan ramai. Orang-orang
membicarakan seperti sedang membicarakan barang belanjaan. Kaum wanita
lebih asyik membicarakan tentang lelaki simpanan
Naoko dibanding perang yang tengah dilakukan Nobunaga, sedang kaum lelaki tertarik membicarakan kemungkinan kembalinya putra
Ashikaga. Mereka saling berbisik, lalu menambah-nambahi bahan cerita agar
menjadi lebih menarik. Akibatnya, seperti api, desas-desus itu menyala lebih
ganas, membakar suasana di seluruh Owari. Terlebih Istana Kamakura.
Seperti angin taufan, desas-desus itu merambat dari rumah yang satu ke rumah lainnya. Mengacaukan
pikiran serta perasaan para penduduk. Akibatnya terjadi sesuatu yang tidak
terduga, sejumlah penduduk akhirnya memutuskan untuk mengungsi keluar dari
Owari. Dengan gerobak yang sarat beban, mereka meninggalkan kota menuju Mikawa atau Oni. Wajah mereka kelihatan letih dan cemas akibat desas-desus ancaman penyerbuan pasukan
Imagawa. Naoko menggeram marah ketika diberi laporan tentang desas-desus serta pengungsian itu. Ia segera memanggil para ninja merah.
"Tangkap penyebar desas-desus itu!" kata Naoko
lantang. "Aku tak peduli dia laki-laki atau perempuan, tangkap dan jebloskan ke
dalam penjara!"
*** Koyama kini menjadi bersikap lebih hati-hati. Di sekeliling istana saat ini
telah disebarkan ninja merah untuk mengawal Naoko. Selain itu sejumlah mata-mata
juga disebar ke segenap pelosok istana. Keadaan ini menyebabkan Bapa Lao sangat
berhati-hati untuk menemui Koyama. Pendeta itu tahu, sekali mereka tertangkap mengadakan pertemuan, Koyama pasti dihukum pancung. Suatu malam, Bapa Lao menghubungi Koyama. Secara kebetulan hampir semua pengawal istana tengah menyaksikan pertunjukan tari.
Koyama pura-pura
akan buang air kecil, sehingga bisa meninggalkan tempat pertunjukan.
Di salah satu sudut istana, Bapa Lao telah menunggu. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik. Bagaimana dengan, Bapa?"
"Kaulihat sendiri, aku masih bisa melompati pagar
istana." "Bagaimana dengan ayahku?"
"Dia sekarang sedang mempersiapkan kekuatan untuk merebut istana."
"Syukurlah. Aku rasanya sudah bosan berada di sini." "Itulah ujian untukmu, Koyama. Semua prajurit besar pasti mengalami ujian
semacam itu. Kau tidak boleh patah semangat."
Koyama mengedip-ngedipkan mata.
"Sekarang apa yang kauperoleh selama ini?" Bapa
Lao bertanya. "Saya mendengar, Putri Naoko kini mempersiapkan
pasukan yang terdiri para ninja untuk menghadang
pasukan Nobunaga yang akan kembali ke Kamakura.
Mereka berusaha menghambat kedatangan mereka."
"Di mana mereka akan melakukan penghadangan?"
"Di tepi Hutan Rumi."
"Selain itu?"
"Saya malu mengatakannya."
"Kenapa malu" Katakan saja."
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hampir setiap malam, saya melihat Putri Naoko
bergelut dengan Otami."
*** Suara kaki kuda berderap kencang. Debu-debu dan
kerikil beterbangan diterpa angin. Sepuluh penunggang kuda dengan membawa bendera serta panji-panji Nobunaga terus melaju di
lereng bukit. Wajah mereka
sebagian tertutup topi baja, sebagian yang lain membiarkan kepalanya dilindungi
rambut yang terkuncir di atasnya. Ekspresi wajah mereka membisu, semua seakan
tergesa-gesa ingin segera sampai tujuan.
Para penunggang kuda itu mulai memasuki Hutan
Rumi, salah satu hutan yang penuh pohon prem. Kini mereka agak lega karena sinar
matahari tidak menye-ngat lagi. Pohon-pohon di kanan kiri jalan menjadi pelindung dari sinar matahari.
"Apakah kita tidak perlu istirahat, Ishito?" salah seorang penunggang kuda
bertanya pada pimpinan rombongan. "Tidak perlu," jawab Ishito. "Satu dua jam lagi kita akan sampai istana."
"Tapi kuda-kuda sudah letih."
"Kita juga letih...."
Belum selesai Ishito bicara, tiba-tiba sebatang anak panah menembus lehernya.
Laki-laki itu tampak seka-rat kemudian terjatuh dari kudanya. Dan seperti hujan
deras, tiba-tiba dari berbagai penjuru meluncur anak panah menghujani rombongan
itu. Terdengar jerit kematian melengking, disusul tubuh-tubuh berjatuhan
dari punggung kuda. Dalam sekejap kesepuluh penunggang kuda itu bergelimpangan. Tewas.
Ketika rombongan itu telah tewas semua, dari pohon-pohon di sekitar tempat itu muncul para ninja merah dengan busur dan anak
panah. Mereka dengan cepat segera menyingkirkan mayat pasukan berkuda itu.
Tak ada suara. Tak ada kata-kata. Semua berlangsung cepat.
*** HOSOKAWA DAN NOBUNAGA
NOBUNAGA tengah makan jagung bakar di tengahtengah para panglima perangnya. Empat murid Yagyu
duduk di depannya. Ada dua puluh lima prajurit pilihan di tempat itu. Mereka
mengelilingi api unggun
yang menjilat-jilat ke udara.
"Seharusnya mereka telah kembali," kata Nobunaga
agak uring-uringan. "Sudah kutegaskan pada mereka
untuk segera kembali sesudah menjumpai Putri Naoko." "Mungkin satu atau dua hari ini mereka akan sampai, Yang Mulia."
"Kenapa harus begitu lama?"
"Siapa tahu ada persoalan di sana."
"Persoalan apa" Aku telah meninggalkan istana dengan para pengawal yang kuat. Kurasa tidak akan ada persoalan kalau saja mereka
menjalankan perintah
saya. Putri Naoko akan mengerti apa yang saya inginkan."
"Apakah Yang Mulia menginginkan saya mengirim
kembali utusan ke Kamakura?"
"Itulah yang kuinginkan. Tetapi kirimlah utusan prajurit pilihan, sehingga aku
tak kecewa dua kali."
"Baiklah. Besok pagi, bila utusan itu belum juga
kembali, saya akan mengirim utusan untuk memastikannya."
Api unggun terus menjilat-jilat. Langit di atas yang berwarna biru ditaburi
bintang-bintang berpijar. Rembulan yang mirip perahu terlihat berlayar di
angkasa. Lereng bukit itu kini dipenuhi cahaya-cahaya obor
ribuan pasukan Nobunaga. Mereka kini banyak yang
menggunakan waktu untuk tidur. Sebagian yang lain
duduk di depan tenda sambil membuat api unggun.
Mereka tampak melepas lelah sesudah tiga hari melakukan perjalanan dari Kamakura.
Nobunaga berdiri kemudian mengajak Hosokawa
berjalan-jalan di antara tenda pasukan mereka.
"Hosokawa-san," kata Nobunaga dengan suara parau. Ia bicara sambil menikmati jagung bakar.
"Ya, Yang Mulia."
"Sesudah sampai di sini, aku terus-menerus berpikir tentang dirimu. Kenapa engkau tidak melakukan
penyerbuan ke Suruga, padahal kalau dilihat dari posisinya, engkau berada di
atas angin. Aku tahu engkau memiliki alasan, tetapi apakah itu?"
"Bukankah Yang Mulia sendiri yang mengatakan,
untuk melumpuhkan suatu pasukan yang miskin, kita
dapat dengan mengepung posisinya" Dengan pengepungan semacam itu, mereka akan kekurangan makan
serta air minum, sehingga membuat merosot semangatnya. Situasi ini yang ingin
kuterapkan di sini. Mayeda Toyotomi kian hari digerogoti penyakit dan kekurangan
bahan makanan, cepat atau lambat mereka akan menyerah."
"Tetapi tidakkah engkau keliru dalam melaksanakan strategi itu?"
"Maksud Yang Mulia?"
"Maksudku, strategi seperti itu hanya cocok untuk
pasukan yang berada jauh dari negerinya, sehingga dia mengalami kesulitan dalam
membangun gudang-gudang logistik. Tetapi tidak akan demikian dengan
Mayeda, dia berada di wilayah negerinya, sehingga setiap saat dapat melakukan
pengerahan pada rakyatnya untuk mendapatkan dukungan tersebut. Jadi tidak
ada gunanya engkau mengepung mereka atau tidak,
karena setiap saat Mayeda dapat memperoleh dukungan dari rakyatnya."
"Jadi menurut Yang Mulia. selama ini aku telah melakukan kebodohan?"
"Aku tidak menganggapmu bodoh. Aku hanya ingin
tahu barangkali kau memiliki alasan yang lebih baik dariku."
"Sungguh, Yang Mulia, hanya itulah yang saya pikirkan selama ini."
"Bagaimana dengan mata-mata yang kaukirimkan
ke Suruga?"
"Selama ini mereka kembali dengan baik."
"Bukan soal baiknya. Tapi bagaimana laporannya?"
"Mereka mengatakan pasukan Mayeda tak pernah
mengubah posisi, mereka seakan terus menunggu serangan." "Lalu kenapa engkau tidak menyerbu?"
"Karena saya menunggu mereka lengah."
"Tidakkah kau berpikir bahwa mereka juga terus
menerus memantau kedudukanmu?"
"Itu tidak saya pikirkan."
"Itulah kekeliruanmu yang kedua. Bagaimanapun,
musuh pasti memata-matai posisimu. Mereka akan terus mengikuti perkembangan pasukanmu, sampai saat
mereka memperoleh waktu yang tepat untuk menyergapmu."
"Kalau begitu, saya benar-benar khilaf."
"Bagaimana keadaan pasukanmu sendiri?"
"Mereka selalu siap siaga."
"Apakah engkau selalu melakukan pemeriksaan dari tenda ke tenda?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Itulah kekeliruanmu yang ketiga. Pasukan harus
selalu diperiksa, sehingga engkau tahu persis bagaimana kekuatanmu sesungguhnya.
Bila tidak, kau
akan terkejut mendapati pasukanmu ternyata tidak
seperti yang kau bayangkan."
"Saya benar-benar tidak memikirkannya."
"Kalau begitu, mari kita lihat."
Oda Nobunaga langsung berbelok, kemudian menyelusup ke dalam tenda pasukan Hosokawa. Di dalam tenda itu bergelimpangan enam prajurit yang tidur dengan merintih-rintih.
Ternyata mereka sakit beri-beri, ada juga yang kakinya luka parah akibat terkena
perangkap, seorang lagi merintih karena sakit perut.
Dari tenda yang satu, Nobunaga segera ke tenda yang lain. Namun kenyataan yang
ia saksikan tidak jauh
berbeda. Di dalam tenda-tenda tersebut, sejumlah prajurit merintih-rintih karena
sakit. Sambil membuang jagung di tangannya, Oda Nobunaga berjalan menuju ke tendanya.
"Kau melihat sendiri, bukan?"
"Ya, Yang Mulia."
"Itulah pasukanmu, Hosokawa-san. Bila aku tidak
datang kemari, Mayeda Toyotomi akan dengan mudah
membinasakan pasukanmu. Karena itu, siapkan segala sesuatunya, kita mulai membuat persiapan besok pagi."
*** RAHASIA MULAI TAMPAK
MATAHARI mulai merayap di kaki bukit. Langit berwarna merah membara. Dari jauh terlihat seperti lava yang mengalir di kaki
bukit. Di tepi hutan terlihat debu tipis berkepul, kaki-kaki kuda menjejakkan kukunya
ke tanah. Rombongan itu
berpacu mengejar sore hari untuk mencapai Istana
Kamakura. Bendera-bendera Oda Nobunaga berkibar,
demikian pula umbul-umbul yang berwarna keemasan. Mereka terus memacu kuda mendaki lereng bukit.
"Kita akan sampai tepat menjelang matahari terbenam," kata salah seorang samurai dalam rombongan
itu. "Ya. Kita dapat menginap semalam, dan kembali lagi besok sore."
"Kenapa mesti tergesa-gesa?"
"Apa maksudmu?"
"Bukankah kita dapat menginap dua atau tiga hari
untuk melepaskan lelah" Di istana, kita dapat makan dan minum enak tanpa harus
membayar."
"Kukira benar juga idemu...."
Satu anak panah melesat dan menembus dada penunggang kuda itu. Terdengar suara merintih, sebelum akhirnya penunggang kuda
itu terjungkal ke tanah.
Teman-temannya kaget. Mereka langsung menarik
tali kekang ke belakang sambil mencabut pedang masing-masing. Sekejap kemudian terdengar suara desing anak panah mendesis
menghujani mereka. Dengan su-sah payah, pasukan Nobunaga mencoba menangkis
anak panah itu. Beberapa orang berhasil lolos, namun tiga orang terjungkal
karena anak panah menembus
tubuh mereka. "Awas, kita diserang!" teriak pimpinan rombongan.
"Ninja!"
Sebuah anak panah melesat ke arah leher pemimpin rombongan itu, tetapi dengan gesit ia memiringkan tubuh kemudian menangkap
anak panah tersebut.
Baru saja anak panah itu dipatahkan, lalu dibuang
ke tanah, tujuh orang ninja merah merosot dari pohon-pohon di sekitar tempat
itu. Mereka langsung melakukan pengepungan. Ketujuh ninja itu menggunakan
berbagai senjata: tombak, rantai berpedang ujungnya, dua pedang, dan pisau-pisau
pendek. Mereka langsung menyerbu.
Pasukan Nobunaga bukan pasukan sembarangan,
mereka pun rata-rata memiliki ilmu yang tinggi. Tanpa diberi perintah, mereka
langsung bersiaga, siap menghadapi para ninja itu. Pertarungan pun segera berlangsung seru. Masing-masing
mencurahkan kekuatan
untuk menundukkan lawan. Salah seorang pasukan
Nobunaga menebas salah seorang ninja, namun dengan kegesitan yang luar biasa, ninja tersebut meloncat tinggi, kemudian tanpa
diduga, ia mendarat di belakang musuhnya, dengan sekali tebas ia memisahkan
kepala lawan dari tubuhnya. Darah menyembur ber-samaan dengan tubuh pasukan
Nobunaga itu ambruk
ke tanah. Dua orang prajurit Nobunaga kembali menerjang,
mereka menebas dengan pedang panjang. Namun dengan kelincahan yang sukar diduga, dua ninja yang
menjadi sasaran itu, menghindar ke kanan selangkah, lalu melenting bagai dua
ekor kelelawar menghindari tebasan tersebut. Dan entah bagaimana caranya, saat
mendarat, mereka telah menyabetkan ganco ke dada
musuh-musuhnya. Kedua prajurit itu menjerit kesakitan saat pisau tersebut
merobek punggungnya.
Pertarungan terus berlangsung, namun lama kelamaan terlihat para prajurit Nobunaga bukan tandingan para ninja itu. Satu
persatu menjerit, lalu roboh ke tanah bagai sebatang dahan yang ditebas pedang.
"Siapa kalian?" teriak pemimpin pasukan Nobunaga. "Katakan terus terang, sehingga aku tahu siapa musuhku!"
Para ninja itu tak menggubris, mereka terus melontarkan jurus-jurus maut untuk menghabisi musuh.
Tak terdengar satu kata pun dari mulut mereka. Namun seperti suatu pemandangan yang mengerikan,
para ninja itu berhasil membunuh satu persatu pasukan Nobunaga. Membunuh bagi
mereka seakan seperti
menebas capung di udara. Satu persatu prajurit Nobunaga bergelimpangan dengan tubuh koyak dan darah menyembur dari tubuh mereka.
Pemimpin pasukan Nobunaga menggebrak dengan
tebasan pedangnya, salah seorang ninja tewas dengan leher hampir putus.
"Katakan siapa kalian?" teriak pimpinan pasukan
itu. "Aku ingin tahu dari mana kalian berasal?"
Salah seorang ninja menerjang dari belakang, pemimpin pasukan itu mengelak, lalu menikam. Terdengar jeritan melengking saat ninja itu ambruk ke tanah.
Hampir satu jam pertarungan itu berlangsung, sampai akhirnya seluruh prajurit Nobunaga bergelimpangan tewas. Kini tinggal pimpinan pasukan itu. Ia berada di tengah kepungan
tiga orang ninja yang siap merobek-robek tubuhnya.
Sambil menggenggam pedangnya, pemimpin pasukan itu berkata lantang, "Namaku Ito Asada, pengikut Oda Nobunaga. Sekarang
sebutkan nama kalian! Agar
kita sama-sama mati sebagai ksatria!"
Kali ini salah seorang ninja itu menjawab, "Namaku Iketani, pengikut Naoko Oda!"
"Naoko?"
"Ya."
"Kenapa menyerangku?"
"Maaf. Kami hanya menjalankan perintah."
"Tetapi...."
Sebelum Ito Asada selesai bicara, ketiga ninja itu menerjang serentak. Terdengar
pekikan mengguntur,
ketika terdengar suara gemerincing pedang beradu,
dan saat para ninja menarik pedang mereka, mereka
terkejut ketika menyaksikan Saburo Mishima telah
berdiri melindungi Ito Asada. Kemudian sebelum rasa kaget para ninja itu lenyap,
Saburo telah menerjang dengan jurus 'Baling-baling Pedang di Atas Air'.
Terdengar suara menderu dengan angin mendesis, dan
dalam sekejap ketiga ninja itu roboh dengan tubuh
hampir terbelah menjadi dua.
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ito Asada kaget bukan main menyaksikan pameran
jurus maut seperti itu. Ia terhenyak. Sampai tak dapat berkata-kata.
Saburo mengibaskan pedangnya untuk membersihkan noda darah pada bilah pedang itu, lalu memasukkan kembali ke dalam
sarungnya. "Engkau sudah tahu siapa mereka," kata Saburo
penuh tekanan. "Sekarang segera berangkat ke Kamakura untuk membuktikannya."
"Kau siapa?"
"Suatu saat kau akan tahu. Selamat tinggal."
"Terima kasih."
*** Otami sedang menciumi tubuh Naoko. Wanita itu mendesah sambil menggeliat-geliat di atas ranjang. Napasnya terengah-engah,
sementara matanya tampak sayu
- seakan menikmati kehangatan yang sensasional.
Berbeda sekali bila bercinta dengan Oda Nobunaga. Lelaki tua itu sudah kehabisan
napas di ranjang. Akibatnya Naoko yang harus merangsang dan memuaskannya. Berbeda dengan Otami, ia dapat bercinta seperti menari. Tubuhnya liat, otot
tubuhnya demikian kuat, sehingga di ranjang mereka dapat bermain dengan penuh
gairah. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki ke arah kamar. Terjadi ribut-ribut di luar.
"Saya Ito Asada, pengikut Yang Mulia Nobunaga,"
terdengar suara parau di luar kamar. "Saya harus bertemu dengan Tuan Putri Naoko
sekarang juga."
"Tuan Putri sedang istirahat," cegah pengawal Naoko. "Saya tidak peduli. Saya telah menunggang kuda
selama tiga hari untuk sampai di tempat ini, dan seluruh anak pasukanku terbunuh
di perbatasan. Karena
itu saya harus menghadap Tuan Putri sekarang juga."
"Tetapi...."
"Saya tidak peduli."
Pintu tiba-tiba bergeser terbuka. Dan Naoko tampak berdiri di ambang pintu
dengan wajah membeku.
"Ada apa ribut-ribut?"
"Maafkan, Tuan Putri, hamba datang membawa pesan Yang Mulia Nobunaga."
"Kalau begitu masuklah."
Ito Asada masuk, kemudian pintu geser itu ditutup
lagi. Naoko berjalan ke tengah ruangan, sementara
Asada duduk bersujud di depannya.
"Pesan apa yang kaubawa, Asada-san?"
Asada kembali bersujud. "Maafkan saya, Tuan Putri. Perjalanan kembali ke Kamakura ternyata tidak semudah yang saya perkirakan.
Bahkan di tepi hutan, kami disergap oleh para ninja sehingga kami terpaksa
bertarung untuk menyelamatkan diri. Tetapi dalam
pertarungan itu, sembilan anggota pasukan tewas.
Bahkan saya sendiri hampir terbunuh apabila tidak
ada samurai pengembara yang menyelamatkan diri
saya." "Samurai pengembara?"
"Benar, Tuan Putri. Dialah yang membinasakan seluruh ninja itu."
"Lalu apa pesan Yang Mulia Nobunaga?"
Asada mengeluarkan kertas yang sudah berbercak
darah akibat luka yang ia derita. Dengan hati-hati ia memberikan kepada Naoko.
Wanita itu menerimanya,
lalu membaca sambil berdiri. Dalam surat itu, Nobunaga menanyakan tentang utusan
yang telah ia kirim beberapa waktu lalu. Demikian pula tentang tersebar-nya
desas-desus bahwa Naoko telah mendatangkan
para ninja untuk menguasai istana.
Setelah selesai membaca, Naoko kembali melipat
surat itu. "Saya telah menerima surat Yang Mulia," kata Naoko tenang. "Apakah ada yang perlu saya sampaikan pada Yang
Mulia Oda Nobunaga?"
"Katakan padanya, tak usah khawatir mengenai desas-desus itu. Tak ada yang perlu dirisaukan."
Ito Asada bersujud kembali.
"Maafkan saya, Tuan Putri, tetapi benarkah para
ninja itu adalah pengawal Anda?"
Naoko kaget. "Sebelum tewas, salah seorang ninja
itu mengatakan bahwa mereka adalah pengawal Tuan
Putri. Mereka mengatakannya sebelum pengembara itu menyelamatkan diri saya.
Benarkah demikian, Tuan
Putri?" "Tidak. Itu hanya desas-desus."
"Syukurlah kalau demikian. Saya mohon maaf telah
lancang menanyakannya."
"Tidak apa-apa."
Ito Asada membungkuk rendah untuk bersujud. Kemudian ia mengangkat kepala untuk berpamitan. Pada saat itu Naoko menghunjamkan
pisau ke lehernya.
Terdengar suara menjerit yang tertahan, lalu tubuh Asada ambruk ke lantai dengan
semburan darah seperti anak sungai.
Naoko bertepuk tangan tiga kali, dua orang ninja
merah muncul dari bilik tersembunyi.
"Buang mayatnya. Dia telanjur tahu rahasia kita."
Sesaat setelah kedua ninja itu hilang, Otami muncul dari balik kamar.
"Ada apa, Tuan Putri, saya mendengar...."
"Tidak ada apa-apa," kata Naoko sambil memegang
lengan Otami. "Sebaiknya kita kembali ke kamar. Tadi kita belum selesai."
*** MENUJU PRAHARA KUDA Mayeda Toyotomi menjejak-jejakkan kakinya di
tanah. Sesekali binatang tersebut meringkik.
Mayeda bangun dari tempat tidurnya, kemudian setelah menyelipkan kedua pedangnya, ia berjalan keluar. Ketika tangannya membuka tenda, cahaya matahari menyergap wajahnya. Lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya.
Di luar telah berkumpul para panglima perangnya.
Mereka berdiri dengan tegap mengelilingi Mayeda. Dua orang mata-mata yang baru
datang dari Kamakura terlihat membungkuk memberi hormat padanya. Wajah
mereka tampak masih mengantuk, namun sinar matanya tetap memancarkan semangat.
Mayeda berjalan ke depan tenda, lalu duduk di kursi kayu yang telah disediakan pengawalnya.
"Ada berita apa pagi ini?" Mayeda bertanya.
"Dua orang mata-mata telah kembali dari Kamakura, mereka membawa berita yang cukup menarik,"
kata salah seorang panglimanya.
"Kalau begitu suruh mereka melapor."
Panglima itu memberi isyarat agar kedua matamata itu mulai bicara.
"Keadaan Kamakura saat ini terbelah," kata salah
seorang mata-mata itu sesudah bersujud. "Di sana terdapat dua kekuatan yang
saling bertentangan. Kecuali para anggota pasukan Oda Nobunaga yang belum
berangkat, ada pengawal Putri Naoko yang menguasai istana. Anehnya, para
pengawal istana ini sebagian besar adalah para ninja. Dari gerak-gerik yang
dapat hamba amati, tampaknya para ninja itu sedang dipersiapkan melakukan sesuatu. Mereka bergerak secara
diam-diam, sehingga tidak begitu menarik perhatian.
Namun apabila para ninja itu telah beraksi, tampaknya kekuatan pasukan Nobunaga
di Kamakura tidak ada
artinya." "Bagaimana kau tahu bahwa mereka akan melakukan pemberontakan?"
"Sangat jelas, Tuanku, dua puluh utusan Oda Nobunaga yang dikirim untuk memperoleh kabar dari Kamakura, semua tewas di tangan
para ninja itu. Mereka di-cegat di hutan. Tak seorang pun dibiarkan lolos."
"Naoko membunuh semua utusan suaminya?"
"Demikianlah yang hamba saksikan."
"Perpecahan, kalau benar ada, hanya akan melemahkan kekuatan mereka. Apakah ada yang lain?"
Mata-mata yang satunya maju ke depan.
"Ketika utusan Nobunaga yang terakhir akan dibunuh para ninja, tiba-tiba muncul Saburo Mishima menyelamatkannya. Ketiga ninja
penyerang dibunuh, lalu dia membiarkan utusan Nobunaga menuju ke Kamakura. Kabar
terakhir yang hamba dengar dari orang
dalam, utusan tersebut tewas dibunuh oleh Putri Naoko sendiri."
"Dibunuh Putri Naoko sendiri?"
"Benar, Tuanku."
"Dengan tangannya sendiri?"
"Benar, Tuanku."
"Gila! Perempuan itu sukar dipahami wataknya. Lalu bagaimana?"
"Di sana juga sudah menyebar desas-desus bahwa
Saburo Mishima telah memasuki Kamakura dengan
pasukan bayangan. Mereka telah mempersiapkan suatu serangan untuk mengangkat kembali putra Ashikaga...." "Yoshioka?"
"Benar, Tuanku."
"Luar biasa, kalau kenyataan itu yang kita hadapi, tampaknya kita sedang menuju
ke arah prahara. Suatu perang besar yang rumit dan sukar dimenangkan
oleh salah satu pihak. Ini adalah suatu keadaan aneh yang pernah kualami. Kita
tidak tahu lagi bagaimana harus mengambil sikap."
"Kita mengambil sikap tegas terhadap Nobunaga,"
kata salah seorang panglimanya.
"Ya, tetapi kita tidak dapat mengharapkan tebusan
apa pun. Ketika kita telah berhasil memukul hancur Nobunaga, orang lain
kemungkinan telah merebut Istana Kamakura."
"Tetapi dengan begitu kita justru beruntung, karena kemungkinan Nobunaga akan
terpecah perhatiannya.
Dia harus membagi kekuatan menjadi dua, sementara
kita tetap bersatu."
"Itu adalah keuntungan yang harus segera kita manfaatkan, sebelum Nobunaga menyadari kesalahannya."
"Jadi...."
"Siapkan seluruh kekuatan. Tunggu perintahku untuk segera menyerbu."
Para panglima perang Mayeda meninggalkan tempat
itu dengan tersenyum ceria. Mereka tahu dalam waktu dekat penyerbuan akan segera
dimulai. *** Mayumi tersentak. Matanya tiba-tiba terbelalak. Dalam penglihatannya tampak
Saburo Mishima tengah bertarung melawan para ninja merah. Ia terkepung rapat.
Hampir tiga puluh ninja dengan berbagai senjata terus menjepitnya. Meskipun
terdesak, namun seperti banteng liar, Saburo tetap bertahan. Dengan ulet
panglima Ashikaga itu mempertahankan diri. Koyama tampak
berdiri gemetar menyaksikan pemandangan itu. Ia tahu dirinya tak dapat berbuat apa-apa. Bila sedikit saja ia memperlihatkan
hubungan baiknya dengan Saburo,
penyamarannya pasti terbongkar.
Seorang ninja mulai melancarkan serangan. Saburo
segera menyongsong dengan serangan balasan. Pertarungan seru segera berlangsung dengan kekuatan
yang tak berimbang.
Takeshi membangunkan Mayumi.
"Ada apa, Mayumi" Apa yang kaulihat?"
"Saburo berada dalam kesulitan."
"Di mana?"
"Di dalam istana."
"Kapan?"
"Malam ini."
"Kalau begitu kita harus segera bertindak."
"Ya, tampaknya dia kewalahan."
"Mari kita bertindak."
*** PENGEPUNGAN NINJA
SABURO MISHIMA mengendap-endap di belakang istana. Ia melihat para ninja merah melakukan pengawalan ketat. Hampir di setiap
sudut bangunan, kini tampak seorang ninja berjaga. Sesudah kematian Ito Asada,
Naoko tidak mau membiarkan istananya dimasuki musuh. Karena itu ia menambah
jumlah pengawal.
Suara jangkerik dan orong-orong terdengar dari kegelapan malam. Demikian pula suara burung hantu.
Rembulan yang tinggal sepotong, terlihat berlayar di balik awan hitam. Sesekali
terdengar guntur mencam-buk langit. Sejak siang orang memperkirakan akan turun
hujan, namun kenyataannya, hingga kini belum
setetes air pun menyentuh tanah.
Sesudah berhasil meloncati pagar, Saburo menyelinap ke dalam semak. Pohon prem dan pohon anggur
berhasil menyembunyikan tubuhnya. Beberapa pengawal yang lalu-lalang berhasil dihindari dengan berlindung di belakang pohon
kriptomeria yang banyak
tumbuh di halaman istana itu.
Dari jauh ia melihat Koyama sedang tidur bersandar di dinding. Wajahnya yang
bulat tampak lelah. Anak itu seperti menikmati udara malam dengan penuh
kedamaian. Nyamuk dan hawa dingin yang menggigit tidak membuatnya terbangun.
Dengan hati-hati, Saburo berusaha mendekati anaknya. "Koyama...." Saburo berseru perlahan. "Koyama...,
bangun!" Tetapi Koyama tetap membeku. Udara malam telah
membuat ia tidur demikian nyenyak.
"Koyama!"
Tetap tak ada reaksi. Saburo kemudian mengambil
kerikil, lalu melempar ke tubuh anaknya. Koyama merasakan kerikil mengenai
tubuhnya, ia mengusap-usap sebentar, lalu tidur lagi.
Saburo menghela napas panjang. Ingin rasanya ia
mengambil batu dan melempar ke arah anaknya, namun hal itu tak mungkin dilakukan. Seandainya
Koyama berteriak karena kaget pastilah akan menarik perhatian para pengawal.
Sambil tetap bersembunyi, Saburo diam-diam mencari jalan keluar.
Akhirnya terpikir sesuatu yang aneh, tapi ia ingin mencobanya.
"Kojiro!"
Mendengar nama aslinya dipanggil, entah kenapa,
Kojiro benar-benar terbangun. Anak itu menggosokgosok matanya, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kojiro!" Saburo kembali memanggil. "Kemari!"
Kojiro menatap kegelapan di mana Saburo bersembunyi, ia ingin memastikan panggilan itu bukan pan-cingan.
"Siapa?" Kojiro akhirnya bertanya.
"Saburo."
"Ayah?"
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Cepat kemari!"
Sesudah menoleh ke kanan ke kiri, Kojiro menyelinap di kegelapan. Ia memeluk ayahnya dengan penuh kerinduan. Selama berharihari ia telah menantikan kedatangan ayahnya, karena itu sekarang ia ingin
rasanya melampiaskan kerinduannya.
Saburo sendiri merasakan kerinduan itu. Sejak pertemuan pertamanya dulu, ketika bersama Bapa Lao,
Saburo merasa sering merindukan pertemuan dengan
Kojiro. Maka ketika Kojiro benar-benar di hadapannya, Saburo mendekapnya, seakan
tak ingin melepaskan-nya.
Suara langkah kaki menginjak batu kerikil menyentak kesadaran mereka. Seorang ninja pengawal
berjalan waspada enam meter dari persembunyian mereka. Ketika ninja itu telah jauh, baru Saburo melepaskan pelukan Kojiro. Ia menjadi
serius. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik."
"Apa yang kau ketahui tentang perkembangan di istana?" "Sekarang hampir setiap hari diadakan pertemuan
di istana. Tuan Putri Naoko biasanya memimpin sendiri pertemuan itu."
"Siapa saja yang hadir?"
"Para ninja."
"Orang-orang Nobunaga?"
"Tak seorang pun dari mereka mengikuti pertemuan. Tampaknya pertemuan itu sangat dirahasiakan."
"Ada yang kauketahui mengenai pertemuan itu?"
"Katanya, mereka akan mulai mengorganisasi pasukan dalam beberapa hari ini. Mereka juga membicarakan tentang kedatangan Ayah di
Kamakura. Karena itu mereka sekarang mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh."
"Bagus kalau begitu. Pikiran mereka akan bercabang-cabang. Keadaan akan berkembang baik."
"Bagaimana dengan Bapa Lao?"
"Baik. Dia tetap mendukung kita."
"Kenapa dia tidak datang?"
"Dia sekarang sedang mengorganisasi rakyat untuk
melawan Oda Nobunaga."
"Oh, ya?"
"Ya."
"Kapan kalian akan menyerbu?"
"Kita sedang menunggu saat yang tepat. Saat ini
Oda Nobunaga sedang terpecah, demikian pula kita
harapkan Naoko-san, dalam keadaan serba terpecah,
kekuatan mereka akan menjadi lemah. Pada saat itulah kita akan menyerbu."
"Tapi kapan?"
"Kita belum tahu."
"Bagaimana dengan Yoshioka-san?"
"Kita masih mencarinya. Belum ketemu. Tetapi saya
yakin pasti dapat menemukannya."
"Bagaimana kalau dia sudah tewas?"
"Jangan bicara seperti itu, kita semua berharap dia masih hidup."
"Saya takut kalau dia sudah tewas."
"Kita tidak boleh memikirkan sesuatu yang buruk
tentang dirinya. Apa pun yang terjadi, kita harus selalu setia padanya."
"Ya."
Baru saja Kojiro berhenti bicara, tiba-tiba rimbun daun di depan mereka
dikuakkan. Seorang ninja merah telah berdiri di depan mereka.
"Siapa kalian?"
Saburo tidak membuang kesempatan. Ia segera menyongsong tubuh ninja itu dengan tikaman pada lehernya. "Lari! Kembali ke tempatmu!" perintah Saburo pada
Kojiro. "Cepat pergi!"
Kojiro segera berlari ke tempat dia tidur. Suara se-karat ninja itu rupanya
didengar teman-temannya. Dalam sekejap puluhan ninja telah datang ke tempat
Saburo. Mereka segera melakukan pengepungan. Saburo
segera mencabut pedang, siap menghadapi para ninja.
Salah seorang ninja bertanya, "Siapa kamu?"
Saburo menjawab dengan gagah, "Aku Saburo Mishima, panglima Ashikaga!"
Dalam sedetik berikutnya, para ninja itu sudah mulai melakukan serangan. Mereka menerjang seperti
ular yang hanya mendesis dan menyemburkan bisa.
Saburo menebaskan pedang ke kanan ke kiri untuk
melindungi dirinya. Tiga ninja telah menjadi korbannya yang pertama, tebasan
Saburo telah merobek punggung dan dada mereka.
Kian lama jumlah ninja itu kian bertambah. Mereka
berloncatan untuk membangun formasi. Kini hampir
tiga puluh ninja mengepung Saburo. Semua tampak
bersiaga, sementara Saburo berdiri di tengah kepung-an sambil menggenggam kedua
pedangnya. Pertarungan hampir saja terjadi kalau saja Putri Naoko muncul dari kamarnya.
"Siapa kamu?" terdengar suaranya berwibawa.
Saburo menjawab dengan tetap bersikap waspada,
"Aku Saburo Mishima. Panglima Ashikaga!"
"Panglima Ashikaga?"
"Ya."
"Apa maksud kedatanganmu?"
"Saya diperintahkan putra Ashikaga untuk merebut
kembali istananya."
"Apakah engkau masih waras?"
"Ya, kenapa?"
"Di istana ini terdapat seratus ninja mengawal ista-naku. Apa kau pikir dapat
lolos dari kepungan mereka?" "Saya siap mati demi junjunganku."
"Di mana junjunganmu?"
"Dia menantiku di suatu tempat."
"Bagaimana kalau kau tunjukkan tempatnya, dan
sebagai imbalannya, engkau kubebaskan."
"Saya telah bersumpah setia pada Yang Mulia Yoshioka." "Kalau begitu akan kukirimkan kepalamu padanya."
"Itu merupakan kehormatan untukku."
"Bunuh dia!" kata Naoko sambil melenggang kembali ke kamarnya. Wajahnya tidak memancarkan kekejian sedikit pun. Di kamar ia melihat Otami sedang berpakaian.
"Kenapa engkau berpakaian, Otami?" kata Naoko
sambil membelai lelaki itu. "Biarkan mereka berpesta di luar, kita berpesta
sendiri di sini...."
Otami menghela napas panjang. Ia tak kuasa menolak rayuan Naoko. Dengan membisu ia mulai menciumi wanita itu.
Di luar para ninja mulai menyerbu. Satu persatu
mereka melakukan serangan sehingga Saburo Mishima
harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan
nyawanya. Serangan ninja datang bertubi-tubi, sehingga meskipun dapat bertahan,
Saburo merasa terdesak.
Beberapa kali senjata para ninja merobek tubuhnya.
Kini genggaman tangannya mulai lengket karena
darahnya sendiri. Angin malam memancarkan darah
serta bau anyir yang mengenai wajah Saburo sehingga wajahnya jadi kemerahmerahan oleh darah. Sinar matanya berapi-api, sementara sepak terjangnya kian
ne-kat. Kojiro menatap pertarungan itu dengan hati bergetar. Jantungnya berdetak lebih kencang.
(Bersambung ke buku kesepuluh.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
KEMENANGAN DAN KEHILANGAN *** ***
KEBERANGKATAN *** ***
DISELAMATKAN *** ***
SEBUAH AWAL *** ***
PERSIAPAN MAYEDA *** ***
PIKIRAN WARAS ***
PERTARUNGAN PERDAMAIAN ***
TONTONAN TAK SENONOH ***
PERTEMUAN *** ***
PENYEBARAN DESAS-DESUS ***
*** *** HOSOKAWA DAN NOBUNAGA ***
RAHASIA MULAI TAMPAK *** ***
MENUJU PRAHARA *** ***
PENGEPUNGAN NINJA ***
Prahara Pulau Mayat 2 Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama