Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat Bagian 1
ADIPATI BUKIT SEKARAT
Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Adipati Bukit Sekarat
Wirautama, 1991
128 Hal., 12. 18 Cm.; SB, 01.0291 .50.11
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Dengan lompatan yang cukup ringan, perempuan bergelang
kaki emas itu melayang di udara. Gerakannya seperti seekor camar menghantam
ombak. Kakinya menjejak ke bawah dengan kedua
tangan direntangkan. Tangan kanannya masih memegangi sebatang bambu kecil warna
hitam kehijau-hijauan. Batu sebesar kelingking berukuran tiga jengkal itu
mengibas ke arah lelaki berikat kepala kuning.
"Wees...!" Kibasan batu kecil melesat, nyaris merobek mata lelaki berikat kepala
kuning. Kalau saja ia tidak menunduk, maka matanya pasti terkena tebasan bambu
kecil. Sayang sewaktu ia menunduk, ia tak sadar kalau gerakannya sangat dinantinanti oleh perempuan bergelang kaki emas. Maka, begitu kepala menunduk, kaki
perempuan itu menendang bagai sedang menjejak bumi. Gerakannya sangat cepat.
Kepala lelaki itu tersentak ke tanah dengan kuat.
"Aaauh...! Bangsat kau... uuh...!!"
Lelaki itu berguling-guling di tanah dengan mengerang
kesakitan. Perempuan bergelang kaki emas sebesar lidi itu segera menyusul. Ia
turun ke tanah dan menghentakkan kaki kirinya dengan tendangan telapak samping.
"Hiaaaaatt...!!"
"Tabb...!" Kaki itu ditangkap oleh lawannya. Dipelintir ke kiri dengan kedua
tangan. Perempuan itu menggeram ganas.
Pegangan kedua tangan yang kokoh itu dimanfaatkan oleh
perempuan itu untuk bertumpu, dan melompat dengan kaki kanan yang bebas itu
segera menendang leher lawannya.
"Eegkkrr...!" Lelaki itu menggelepar seperti kambing disembelih. Kedua tangannya
yang semula hendak memelintir kaki perempuan itu segera dilepaskan dan berganti
memegangi lehernya sendiri. Ia ingin berteriak, tetapi tenggorokannya bagai
pecah dan menyekat di pernafasan. Mata lelaki itu mendelik dengan tubuh kaku.
Perempuan lawannya segera merampungkan tugas. Batu kecil itu dimasukkan ke dalam
mulut, dan ia meniupkan sesuatu dengan hentakan nafas keras. Lalu, dari bambu
itu melesatlah semacam paku berwarna hitam. Paku itu melesat dengan kecepatan
tinggi, dan tepat mengenai pelipis lelaki itu. Paku tersebut bagaikan menembus
gedebong pisang.
"Juug...!"
Terbenam masuk seluruhnya ke dalam kepala lelaki berikat
kuning dan bercelana merah dengan rompinya merah pula.
Tubuh yang sudah kemasukan paku hitam itu semakin
mengejang dan lama-lama menjadi berasap, kemudian asapnya
semakin tebal. Perempuan itu berdiri tersenyum dengan bertolak pinggang. Ia
kelihatan puas sekali. Apalagi sekarang lelaki itu tubuhnya menjadi kian
menghitam, dan lama-lama menjadi hangus sekujur tubuh. Perempuan bergaun hijau
muda itu semakin
menampakkan kepuasannya lewat senyuman yang membisu.
"Prajurit kelas teri mau coba-coba menangkap Dayang
Kunti" Hemm...! Lebih baik menangkap nyamuk daripada
menangkap aku!" kata perempuan itu di depan bangkai lawannya.
Ia mengibaskan rambutnya yang meriap ke dada. Ia bermaksud hendak meninggalkan
prajurit yang sudah menjadi mayat itu. Tetapi langkah kakinya terhenti, ia
melihat sosok lain berjalan di kejauhan.
"Membuang-buang tenaga saja...! Temannya itu harus segera kubinasakan juga!"
geram Dayang Kunti yang segera melesat ke tempat persembunyian. Dayang Kunti
tidak tahu kalau yang sedang melangkah itu adalah Suro Bodong yang sedang dalam
perjalanan pulang ke Kesultanan Praja.
Dengan baju merah yang tak dikancingkan itu, Suro Bodong
terhenti memandang sosok mayat yang menjadi hangus, ia garuk-garuk kumisnya yang
tebal seraya menggumam,
"Pasti baru saja terjadi pertempuran sengit. Baru saja.
Ketahuan kalau masih ngepul, masih hangat-hangatnya. Hemm...
sayang dia mayat yang hangat, bukan jagung bakar kesukaanku...!"
Suro Bodong melangkah pelan mengitari mayat hangus
yang masih mengepul asap itu. Ia mengamat-amati dengan cermat.
"Siapa orang malang ini" Mengapa ia sampai terkena
pukulan yang cukup hebat" Badannya menjadi hangus, tetapi
pakaiannya masih utuh. Gila...! Siapa orang yang melakukan penghangusan ini...."
Selagi Suro Bodong berkecamuk sendiri dengan suara mirip
sebarisan gerutu, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaget. Ia merasa ada yang
membidikkan peluru kecil ke lehernya. Ia segera meraba lehernya itu sambil
menyeringai kesakitan, kemudian mencabut paku yang menancap di leher. Jarum atau
paku itu berwarna merah, dan segera menjadi lumer setelah berada di tangan Suro
Bodong beberapa saat.
Dayang Kunti telah menembakkan jarum merah itu melalui
sumpit atau tulup bambu kecil yang menjadi senjata andalannya.
Penggunaannya cukup singkat dan cepat. Ia meniup bambu kecil berlobang dengan
hentakan nafas kuat, dan meluncurlah dari mulutnya jarum tersebut yang merupakan
sebentuk tenaga dalam yang telah dibekukan.
Ketika jarum merah menghunjam di leher Suro, dan kini
telah dicabut, lalu berubah menjadi lembek, bahkan lama-lama bagai diserap angin
dan habis begitu saja, Dayang Kunti menampakkan diri dengan tersenyum sinis.
Suro Bodong menggeram. Masih
memegangi leher yang terkena jarum merah itu.
"Siapa kau..." Mengapa menyerangku dengan sumpit itu?"
suara Suro makin melemah.
"Aku Dayang Kunti, yang akan menghabisi orang-orangmu seluruh Kadipaten
Damardita ini, tahu"! Sampaikan salamku kepada Adipatimu yang bergelar Anom
Winingrat itu!"
Kepala Suro pusing. Pandangannya mulai kabur. Tapi ia
sempat berkata kepada Dayang Kunti:
"Adipati Anom Winingrat itu siapa?"
Dayang Kunti tertawa mengikik. Tubuhnya yang ramping
dan berdada busung itu bergerak-gerak karena tawa.
"Kau tidak perlu berlagak bingung, sekalipun kau nanti akan menjadi orang yang
paling bodoh! Yang penting sampaikan pesanku ini, tahu"!"
Seperti orang kehilangan daya pikir, Suro mengangguk dan
menjawab, "Tahu...."
"Dan katakan kepada Anom Winingrat, bahwa orang
terakhir yang mati di Kadipaten ini adalah dia sendiri! Jelas"!"
"Jelas...."
"Aku akan menyiksanya dari jiwa sampai ke raganya!"
"Raga...."
Suro Bodong duduk di atas batang kayu yang tumbang
sudah lama. Ia ikut menyeringai geli ketika Dayang Kunti tertawa penuh kepuasan.
"Nah, selamat menjadi orang terbodoh di dunia!"
"Selamat..." jawab Suro Bodong menyeringai dengan mata sayu bagai kurang
vitamin. Pandangan mata yang kabur sudah kembali normal. Kepala
yang pusing juga sudah menjadi sehat. Hanya saja, Suro Bodong menjadi serba
bingung dan tak dapat berpikir dengan baik.
Rupanya, itulah khasiat jarum merah yang menancap di leher Suro Bodong, yaitu
dapat membuat orang menjadi bodoh dan linglung.
Racun jarum yang tercipta dari gumpalan tenaga dalam yang
didapatkan itu telah menyerang syaraf otak dan mengacaukan jalan kerja otak
manusia yang terkena jarum tersebut. Berbeda dengan jarum hitam yang tadi untuk
menyerang prajurit berpakaian serba merah. Ternyata jarum hitam berfungsi untuk
membakar tubuh manusia dengan tanpa merusakkan pakaian orang tersebut. Itulah
salah satu kelebihan Dayang Kunti, perempuan cantik berilmu tinggi. Sayang ia
telah menancapkan jarum merahnya ke leher Suro Bodong, sehingga Suro sulit
mengingat-ingat kecantikan perempuan bergelang kaki emas itu.
Sampai beberapa lama Suro Bodong hanya duduk
terbengong di alas batang kayu besar itu. Matanya sesekali memandang mayat yang
menghitam bagai sebongkah arang di
depannya. Bahkan ketika dua prajurit berpakaian sama dengan mayat menghangus itu
datang, Suro Bodong masih diam di
tempatnya. Dua prajurit itu mengendarai kuda dengan gagah.
Mereka bersenjata pedang di punggung. Bentuk pedangnya juga sama persis. Hanya
saja yang satu bertubuh sedikit gemuk dan yang satu lagi kurus, namun kelihatan
ulet. Alot. Yang kurus itu mempunyai kumis hampir setebal kumis Suro Bodong,
karena itu ia dikenal dengan panggilan: Waduk Kumis. Sedangkan yang satunya
dikenal dengan panggilan Kebo Botak, karena di samping badannya yang sedikit
gemuk itu, juga kepalanya botak bagian tengah. Sisa rambutnya hanya di bagian
pinggiran kepala, merawis seperti hiasan janur pesta perkawinan.
Mereka terkejut ketika melihat temannya mati dalam
keadaan hitam hangus. Darah mereka mendidih dan nafas mereka sedikit sesak
dihela. Keduanya sama-sama turun dari punggung kuda, dan memeriksa keadaan
temannya. "Jelas ini mayat Wiruna...! Mayat Wiruna, Waduk Kumis!"
"Ya. Dan... rupanya bangsat kumal itu yang telah
membunuh teman kita!" geram Waduk Kumis. Ia memandang Suro Bodong dengan mata
melotot garang.
Suro Bodong yang dipandang hanya diam saja. Matanya
sedikit sayu dan membelok. Mulutnya ternganga bengong seakan tidak tahu-menahu
soal kematian dan kemarahan mereka. Ketika Waduk Kumis mendekatinya dan langsung
membentak dengan
kasar: "Siapa kau"! Mengapa kau bunuh temanku, hah"!"
Suro Bodong yang telah menjadi bego akibat pengaruh
racun jarum merah itu hanya menyeringai. Nyengir.
"Plaak...!"
Waduk Kumis menampar pipi Suro dengan keras. Suro
Bodong memekik kesakitan, kemudian bersungut-sungut, cemberut seraya berkata:
"Orang tidak kenal kok ditampar...!"
Tak ada lagi keperkasaan pada Suro Bodong. Tak ada lagi
kehebatan padanya. Ia lebih menyerupai orang tolol yang terganggu kesehatan
otaknya. Bego. Malahan Kebo Botak mengatakan:
"Dia orang gila! Mungkin terlalu banyak ilmu sehingga ia menjadi bego seperti
itu. Dan... jelas dialah yang membunuh Wiruna, teman kita ini!"
"Hiaaat...! Hahh...!!" Waduk Kumis semakin terbakar hatinya, dan ia menendang
Suro Bodong tepat di bagian dada.
Suro Bodong terpental ke belakang. Karena tendangan itu
cukup kuat. Ia terbatuk-batuk dalam posisi merangkak kesakitan memegangi
dadanya. "Kau harus menebus kematian teman kami dengan siksaan terlebih dulu.
Heaaaat...!!"
"Aaaoow...!!"
Suro Bodong menjerit karena pinggang belakang digencet
dengan kaki Kebo Botak. Sekalipun tubuh Suro besar walau tidak berarti gemuk
atau gendut, namun tubuh itu seharusnya cukup tahan menerima hentakan kaki
sebesar kaki Kebo Botak itu.
Nyatanya kali ini Suro Bodong hanya bisa menyeringai kesakitan sambil mengaduhaduh, sebab pinggangnya terasa mau patah.
"Kenapa kau bunuh temanku" Kenapa, hah..."!!" Waduk Kumis segera mencengkeram
rambut Suro Bodong yang panjang
sepundak dan diikat kain merah itu sambil berteriak di depan wajah Suro.
Suro Bodong hanya menyeringai kesakitan, belum bisa
menjawab. Waduk Kumis berteriak lagi:
" Mengapa temanku kau bunuh sampai mati hangus
begitu"! Jawab...! Jawab!"
"Ampuun... saya tidak menyuruh dia mati hangus...!" Suro merengek seperti anak
kemarin sore. Rambutnya dicengkeram
dengan kedua tangan oleh Waduk Kumis yang benar-benar marah itu. Karena
kemarahannya itu, maka dengan kasar dan keras ia menghentakkan rambut Suro ke
depan, kepalanya sengaja
dibenturkan ke kepala Suro Bodong dengan kuat.
"Prook...!"
"Wadoow...!! Sakit, Paaak...!!" Suro menjerit kesakitan.
Lalu dengan kesal sekali ditamparnya wajah Suro,
ditonjoknya ke belakang dan terpentallah Suro Bodong dalam posisi jatuh
terlentang. Suro bagai mengerang dan mengaduh-aduh sambil menangis.
Kebo Botak segera mencekik leher Suro dengan salah satu
sisi samping telapak kakinya. Dan pedang di punggung pun
dicabutnya. "Street...!" Ujung pedang diarahkan ke tepian mata Suro Bodong, siap
untuk merobek kedua biji mata Suro Bodong.
"Kau harus menebus kematian Wiruna dengan siksaan ini!"
"Sa... saya... bukan pembunuhnya..." Suro Bodong mencoba bicara dengan sukar
karena lehernya diinjak Kebo Botak.
"Lalu siapa kalau bukan kau, hah"!" bentak Waduk Kumis yang juga segera
menghunus pedangnya.
"Or... orang... uuh...!" Suro Bodong tersendak, dan sulit bicara. Kemudian,
Waduk Kumis memberi isyarat dengan
pandangan mata agar Kebo Botak melepaskan kakinya.
Kaki itu ditarik dari leher Suro, namun ujung pedang masih siap di tepian mata
Suro. Siap untuk merobeknya.
"Katakan, siapa yang membunuh temanku kalau bukan
kau"!" bentak Waduk Kumis.
"Orang... itu..." Suro menuding ke arah tempat menghilangnya Dayang Kunti. Ia terkesan bego dan menjengkelkan.
"Orang mana"! Di sana tidak ada orang"!!" bentak Kebo Botak.
"Dia... dia tadi lari ke sana, Eyang...!" jawab Suro Bodong dengan panggilan
ngacau tak karuan.
"Bohong!"
"Sunm.. sumpah...! Demi... demikian... pengakuan saya...."
Waduk Kumis dengan Kebo Botak saling berpandangan.
Lalu Waduk Kumis bertanya dengan tubuh merendah, namun ujung pedangnya kini
menempel tepat di dada, depan jantung Suro. Sekali hentak pedang itu, Suro akan
mati. Jantungnya jebol dan tentu akan sulit ditambal.
"Hati-hati kau bicara dengan kami, ya?"
"Sud... sudah... sudah, Eyang...!" Suro bergaya sopan.
Kedua prajurit itu saling pandang sebentar, lalu Kebo Botak bertanya dengan
sikap tetap tak ramah:
"Kau tahu ciri-cirinya"!"
Suro tak berani menggeleng, sebab kalau menggelengkan
kepala maka ujung pedang Kebo Botak akan menggores mata.
Akhirnya ia hanya menjawab:
"Sedikit-sedikit saja...!"
"Sedikit-sedikit bagaimana" Yang jelas!!" bentak Kebo Botak dengan kasar.
"Saya... saya hanya tahu... dia itu seorang perempuan.
Perempuan sekali, Eyang!" jawab Suro.
Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waduk Kumis terperanjat tipis, lalu memandang Kebo
Botak yang masih berdiri dengan mengacungkan pedangnya.
Waduk Kumis kembali memandang Suro Bodong yang masih
telentang. "Siapa nama perempuan itu..."!"
Suro Bodong diam beberapa saat dengan dahi berkerut,
seakan sedang mengingat-ingat. Tetapi Waduk Kumis tidak sabar dan segera
membentaknya: "Siapa namanya, Tolol!"
"Bukan. Bukan Tolol namanya," jawab Suro dengan mantap.
"Seingat saya... hehmmm.. namanyaaaa..." Suro diam lagi. Kedua prajurit
berseragam merah itu semakin jengkel. Hampir saja Kebo Botak mengibaskan
pedangnya dan ujung pedang itu merobek mata Suro Bodong. Tetapi, Waduk Kumis
menggeleng, pertanda Kebo Botak diminta sabar sebentar.
"Cepat sebutkan!!" teriak Kebo Botak dengan keras.
"Anu... namanya.... Dayang..."
"Dayang..."!" Waduk Kumis bagai menggumam sambil menatap temannya. Keduanya
kelihatan tegang dan cemas.
"Benar," kata Suro. "Namanya Dayang... Dayang Kuntilanak apa Dayang Kunta
Kunti... saya kurang jelas. Eyang."
Keduanya menjauhi Suro. Keduanya berembuk di samping
mayat Wiruna. Waduk tertegun memandang mayat Wiruna. Saat
itu, Suro Bodong berdiri dengan seringai kesakitan di pinggang. Ia mendengar
Kebo berseru mengancamnya:
"Hei, mau lari ke mana kau"!"
"Tidak. Saya tidak lari. Kalau saya mau lari, saya beritahu dulu kok...!" kata
Suro yang menjadi bego itu.
Suro berdiri dengan bersandar pada sebuah pohon, seakan
ia justru menunggu kedua prajurit itu saling berembuk. Ia tak tahu kalau Waduk
Kumis yang kurus, alot itu berkata:
"Pasti yang dimaksud orang gila itu; Dayang Kunti!"
"Rasa-rasanya tak mungkin, Mis. Dayang Kunti sudah kita kuburkan setelah ia
tewas bertarung melawan Ki Ageng Bentaran, satu bulan yang lalu!"
"Tapi menurut keterangan orang gila itu...."
"Ah, dia hanya orang gila! Mana bisa bicara dengan benar.
Aku masih curiga, jangan-jangan memang dia yang membunuh
teman kita; Wiruna itu."
"Bisa jadi begitu. Tetapi, dari mana dia tahu kalau ada perempuan yang bernama
Dayang Kunti, sekali pun ia tadi
menyebutnya salah."
Kebo Botak terbungkam beberapa saat. Sesekali ia melirik
Suro Bodong yang bagai penuh kesetiaan menunggu mereka selesai berembuk.
Sedangkan Suro Bodong saat itu sedang mengusap-usap pinggangnya, sesekali garukgaruk kumis, dan sesekali juga mengusap keningnya yang memar akibat adu kepala
dengan Waduk Kumis tadi. "Kalau begitu, persoalan ini perlu kita laporkan kepada Kanjeng Adipati," kata
Waduk Kumis. "Bagaimana dengan orang gila itu"!"
"Bawa saja dia, sebagai saksi. Supaya orang percaya bahwa Dayang Kunti masih
bisa mengganas...!"
"Aku khawatir kalau-kalau yang melakukan hal ini adalah murid Dayang Kunti.
Murid perempuannya."
"Pokoknya kita laporkan saja dulu kepada Kanjeng Adipati, dan kita kemukakan
kekhawatiran kita apapun, nanti biar Kanjeng sendiri yang mengambil kesimpulan."
Kebo Botak segera menemui Suro dan mencengkeram baju
merah Suro yang tak pernah dikancingkan itu, sehingga menampakkan bentuk
perutnya yang sedikit besar, tapi bukan membuncit.
"Kau bohong, ya" Kau menyebutkan nama pembunuh
dengan karanganmu sendiri! Iya, kan"!"
Gagap juga Suro diancam seperti itu. "Sungguh... sumpah apa saja saya mau...!
Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada mayat teman Eyang itu...."
"Bawa dia. Kebo...!" teriak Waduk Kumis setelah
mengangkat mayat Wiruna dengan hati-hati, dan meletakkan ke atas punggung kuda.
"Kau harus ikut menghadap Kanjeng Adipati untuk menjadi saksi, kalau memang
benar Dayang Kunti yang membunuh teman kami itu!! kata Kebo Botak sambil
menyeret Suro. "Ba...baik... baik saya berani bersumpah di hadapan raja...
asal tunjukkan yang mana rajanya nanti...!" celoteh Suro itu tidak dihiraukan.
Ia diikat tangannya memakai tali, kemudian Kebo Botak naik ke punggung kuda
sambil memegangi ujung tali yang dipakai mengikat tangan Suro.
Kuda dipacu agak kencang. Kalau Suro tidak berlari ia akan terseret-seret kuda.
Jadi, mau tidak mau ia harus berlari
mengimbangi langkah kaki kuda. Kalau saja Suro Bodong saat itu tidak menjadi
korban jarum merah dari sumpit Dayang Kunti, sudah tentu ia tidak akan mau
disuruh berlari-lari mengimbangi langkah kaki kuda. Ia akan menarik tali itu
hingga Kebo Botak jatuh dan mendapat hajaran dari Suro Bodong. Tetapi jangankan
menarik tali dalam satu hentakan, berpikir ke situ pun Suro tidak bisa. Jarum
merah yang menancap di lehernya telah membuat Suro menjadi orang bego. Tolol dan
gila. Ia menjadi serba bingung. Ia tak ingat bahwa dirinya adalah seorang
Senopati yang cukup digdaya. Ia tidak ingat kalau ia mempunyai beberapa ilmu
yang handal, yang dapat dengan mudah menghancurleburkan kedua prajurit garang
itu. Bahkan ia tak ingat kalau dirinya sudah bergelar Pendekar 7
Keliling, yang berarti ia dapat merubah ujudnya menjadi 7 rupa apabila ia
bersalto di udara 7 kali.
Namun, justru sikapnya yang bego dan sinting itulah yang
membuat ia selamat, tak jadi dibunuh. Hanya menjadi tawanan yang akan memberi
kesaksian tentang kematian seorang prajurit
Kadipaten Damardita. Sayangnya, orang-orang Kadipaten Damardita belum tentu percaya kalau kematian prajurit Wiruna itu akibat ulah
Dayang Kunti, sebab mereka melihat sendiri kematian Dayang Kunti waktu bertarung
melawan Ki Ageng Bentaran.
Bahkan banyak yang menyaksikan penguburan Dayang Kunti di
kaki Bukit Sekarat.
Repotnya lagi, ternyata Ki Ageng Bentara tahu siapa Suro
Bodong. Ketika Suro dihadapkan ke paseban, Ki Ageng Bentaran berkata kepada
Adipati Anom Winingrat:
"Saya tahu persis siapa orang ini. Kanjeng."
Adipati Anom Winingrat yang usianya masih cukup muda
untuk ukuran seorang Adipati, segera berkerut dahi sambil memandang Suro Bodong.
Ia memperhatikan Suro Bodong beberapa saat.
Lalu, ia bertanya kepada Ki Ageng Bentaran dengan tanpa memandang yang diajak
bicara: "Siapa orang ini, Ki Ageng"!"
"Namanya Suro Bodong. Seorang Senopati digdaya, sakti mandraguna dari Kesultanan
Praja. Ilmunya cukup tinggi, dan bahkan dialah yang berhasil membunuh Jagal
Iblis, juga dia pula yang berhasil menguasai ilmu Sempurna Jati dari anak
bidadari yang berkuasa di Bukit Maya..." (ada dalam kisah: JERIT DIPUCUK
REMBULAN). Kemudian, Tamtama Agung Gembong Wilwo, yang
menjadi panglima perang Kadipaten Damardita, segera meminta izin untuk bicara.
"Menurut saya, bisa jadi Suro Bodong inilah orang yang membunuh prajurit Wiruna.
Dia menjadi sinting, menjadi, linglung seperti ini karena dia kebanyakan ilmu!
Bisa saja ia habis membunuh, lalu lupa siapa yang dibunuh dan apa yang
dikerjakan."
"Kurasa juga begitu," Ki Ageng Bentaran yang menyahut.
Adipati Anom Winingrat menggumam lirih tanpa manggutmanggut. Matanya menghunjam tajam ke arah Suro Bodong yang kali ini duduk
bersila di hadapan seorang Adipati. Hanya saja, Suro Bodong tidak mau menunduk
dengan rasa takut, melainkan justru memandang ke sana sini, seakan mengagumi
kemewahan ruang
paseban itu. Seolah-olah ia tidak merasa kalau sedang dibicarakan oleh merekamereka. Ki Ageng Bentaran bicara lagi dengan gayanya yang
wibawa, menampakkan sosok seorang pengawal pribadi sekaligus seorang penasehat
Adipati. "Ada baiknya kalau orang ini diuji kemampuan otaknya.
Hal ini untuk menentukan apakah dia benar-benar sinting atau berpura-pura
sinting." "Apa itu perlu"!" sahut Cocak Soga. Dia adalah seorang yang menjabat sebagai
kepala mata-mata untuk menyelidiki daerah lawan. Istilah sekarangnya: Kepala
Intel, atau Komandan Reserse.
Cocak Soga berkata lagi:
"Menurut saya, kematian yang dialami prajurit Wiruna, adalah kematian yang sama
dialami oleh dua prajurit kita beberapa waktu yang lalu, ketika mereka mencoba
menangkap Dayang Kunti; yaitu kematian hangus. Keadaan mayat Wiruna, persis
dengan mayat kedua prajurit yang dulu pernah melawan Dayang Kunti; tubuh hangus,
tetapi pakaian tidak ikut terbakar."
Semua tertegun. Cocak Soga memperhatikan satu persatu
wajah orang yang hadir dalam paseban tersebut. Adipati Anom termenung, menyimak
betul pendapat Cocak Soga. Sementara itu, Suro Bodong masih duduk bersila dengan
tampang linglung; sorot mata sayu melebar dan mulut melongo. Suro Bodong masih
memperhatikan hal-hal yang dianggap aneh dan indah di ruang paseban tersebut.
Setelah beberapa saat bungkam, Cocak Soga segera
melanjutkan kata-katanya, sebab ia tahu mereka menunggu
kelanjutan pendapatnya.
"Saya cenderung untuk mengatakan, bahwa kematian
prajurit Wiruna adalah akibat pertarungan dengan Dayang Kunti.
Jelas ia terkena pukulan atau tendangan yang dilancarkan oleh Dayang Kunti."
Ki Ageng Bentara menyahut:
"Dayang Kunti sudah mati. Mayatnya sudah kita kubur di kaki Bukit Sekarat.
Bahkan banyak rakyat Kadipaten yang ikut menyaksikan penguburan tersebut."
Adipati Anom Winingrat segera berkata dengan kecemasan
yang disembunyikan di balik ketenangannya.
"Apakah ada yang mempunyai kemungkinan bahwa
Dayang Kunti bangkit lagi dari kuburnya" "
Beberapa orang menggumam satu dengan yang lainnya.
Kemudian Gembong Wilwo mengajukan usul:
"Sebaiknya
kita bongkar saja kuburan itu untuk membuktikan apakah Dayang Kunti jasadnya masih dikubur atau sudah hilang. Orang
ini, Suro Bodong ini yang kita suruh
menggalinya. Bagaimana?"
Suro Bodong mulai melirik Gembong Wilwo dengan cemas.
2 Bukan hanya orang-orang Kadipaten yang ingin melihat
penggalian kembali kuburan Dayang Kunti, melainkan masyarakat umum pun ingin
menyaksikannya. Karena, bagaimanapun juga hal itu dirahasiakan, namun kemunculan
Dayang Kunti sudah
menyebar ke mana-mana dan membuat rakyat bertanya-tanya, be-narkah Dayang Kunti
bangkit kembali"
"Cepat, gali!" perintah Kebo Botak kepada Suro Bodong yang ikut dibawa-bawa
dalam persoalan penggalian kubur Dayang Kunti.
"Saya takut, Eyang..." kata Suro Bodong yang tidak mau segera memegang alat
penggali; skop dan cangkul.
"Buuk...!" Kebo Botak menghantam perut Suro Bodong dengan tangan kirinya.
Pukulan itu cukup keras. Suro Bodong nyengir merasakan perutnya mulas mendadak,
ia mengerang pelan.
"Kerjakan!" bentak Kebo Botak.
"Saya... saya belum pernah menggali mayat...!" kata Suro Bodong dengan wajah
menyedihkan. "Persetan!" geram Kebo Botak.
"Apa lagi persetan, juga belum pernah. Eyang," tutur Suro.
Lalu ia terpaksa mengaduh dan berguling-guling karena ditendang pinggangnya oleh
Waduk Kumis. Kepala Suro berdarah akibat
membentur batu. Lukanya tak begitu besar, namun darah yang mengalir membuat Suro
Bodong semakin ketakutan. Pada saat itu, Tamtama Agung Gembong Wilwo berkata
kepada Botak: "Kau sajalah, Kebo Botak. Kau saja yang menggali, biar urusan ini tidak berteletele!" Kebo Botak mendengus kesal, namun segera mengangkat
cangkul. Sebelumnya ia sempat menendang Suro Bodong dengan tendangan samping.
Suro yang baru saja akan bangun sudah
terjengkang lagi karena tendangan itu.
"Jangan!" tiba-tiba Ki Ageng Bentaran berseru. "Jangan Kebo Botak yang menggali.
Sebab siapa tahu mayat Dayang Kunti masih utuh karena kesaktiannya, dan dia
tahu-tahu menyerang dari dalam kubur, bisa-bisa orang kita yang menjadi korban.
Biarlah Suro Bodong itu yang menggali. Paksa dia! Supaya kalau ada apa-apa dia
yang menjadi korban."
Suro Bodong menyeringai antara ngeri dan kesakitan.
Waduk Kumis segera meraih baju Suro Bodong dan menyeretnya seraya berkata:
"Ayo, gali...! Gali kuburan itu! Lekas...!"
"Jangan saya, Eyang... jangan...!" pinta Suro Bodong dengan menyembah-nyembah.
Oh, andai saja orang Kesultanan Praja tahu Senopatinya diperlakukan seperti itu,
sudah tentu Panembahan Purbadipa akan turun tangan menghajar mereka. Sayang
sekali, tak seorang pun dari Kesultanan Praja yang mengetahui hal itu, sehingga
Suro Bodong terpaksa harus menggali kuburan Dayang Kunti.
"Kalau kau tak mau, kau yang akan kutanam di tempat
lain!" bentak Waduk Kumis dengan garangnya.
"Ampun, jangan saya yang ditanam...! Jangan saya yang menggali kuburan orang
mati. Saya takut, Eyang... oh, ampunilah saya...!" "Tarr...!" Gembong Wilwo
melecutkan cambuknya dengan keras. Cambuk menghantam tubuh Suro Bodong dan Suro
pun menjerit kesakitan. Sekali lagi cambuk itu melecut di dada Suro Bodong yang
terbuka, "Taar...!"
"Aaauuh...!! Ampun...!" Suro Bodong melengking seruannya.
Ia semakin menyembah-nyembah sambil menangis. Ia benar-benar bego, tidak bisa
menegakkan keberanian dan keperkasaannya.
Jarum merah dari Dayang Kunti itu sungguh membuat harga
dirinya jatuh dan sangat jatuh. Tak ada lagi wibawa serta
keberaniannya sebagai seorang tokoh persilatan yang amat ditakuti lawan.
"Gali kuburan itu, atau kucambuk"!"
Suro Bodong sampai mencium tanah dan memohon-mohon
agar tidak dipaksa untuk menggali dan tidak juga dicambuk.
"Kau yang mengatakan bahwa Dayang Kunti membunuh
prajurit kami, sekarang kau yang harus membuktikannya!" bentak Gembong Wilwo.
"Benar... Dayang Kunti, tapi... tapi itu menurut pengakuannya," ujar Suro ketakutan dan menggeragap. "Kalau...
kalau nama aslinya saya tidak sempat bertanya...! Sumpah saya...
saya paling malu berkenalan dengan perempuan yang..."
"Taar...!"
"Aduuh...! Ampunilah saya...! Ampuuu..un...!" Suro Bodong mengaduh dan
tertungging-tungging karena cambuk Gembong Wilwo kembali melecut.
"Aku curiga padanya," bisik Ki Ageng Bentaran.
Cocak Soga segera tampil di antara kerumunan Waduk
Kumis, Kebo Botak, Gembong Wilwo dan Ki Ageng Bentaran.
Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua tangan Cocak Soga segera menggenggam baju Suro Bodong dan menarik wajah
Suro hingga mendekat ke wajahnya. Ia
menggeram: "Katakan yang sebenarnya; kau melihat Dayang Kunti
membunuh orangku atau hanya tipuanmu belaka, hah"! Katakan"!"
Semakin ketakutan saja Suro Bodong menghadapi Cocak
Soga yang bertubuh kecil, sedikit pendek namun berdarah dingin, sepertinya tidak
mengenal belas kasihan sedikit pun kepada lawannya. Suro gemetaran. Keringatnya
bercampur dengan darah dari luka di kepala, dan luka-luka akibat cambukan
Gembong Wilwo. "Katakan...!!" bentak Cocak Soga.
"Ssa... saaya. . memang...."
"Memang apa"!!" teriak Coca Soga yang suaranya memang keras dan tegas.
"Memang... begitulah... adanya!" Suro Bodong makin grogi.
"Plakk...!" Cocak Soga menampar Suro Bodong keras-keras, hingga dua helai kumis
Suro Bodong rontok seketika.
"Ampuuun... Eyang...!" rintih Suro.
"Bicara yang betul kau kalau ingin selamat! Bicara!"
"Memang... yaaah... hmmm... saya... saya berbohong...!"
"Bangsaaat...!!" Waduk Kumis menghantam wajah Suro dengan ujung kakinya hingga
Suro tak sempat memekik lagi.
Suro menjadi bego. Tolol bin bodoh. Hanya karena takut
disuruh menggali kuburan lama, ia mengaku berbohong. Ini
sungguh sangat keterlaluan. Padahal Suro bukan orang penakut.
Suro pemberani, yang tidak pernah kenal ngeri kepada iblis, setan dan jenisjenisnya. Tetapi, kali ini Suro Bodong menjadi orang yang bukan Suro Bodong.
Semua kekuatannya, kewibawaannya serta
harga dirinya, sudah tidak dimiliki sama sekali. Yang ada hanya rasa takut,
cepat gugup dan cengeng. Inilah kehebatan racun atau kekuatan yang ada pada
jarum merah milik Dayang Kunti.
"Jadi siapa yang telah membakar hangus temanku, hah"!
Siapa..."!" teriak Kebo Botak dengan marah.
"Did... diid... dia... dia mati sendiri dan... dan hangus sendiri," jawab Suro
mulai tidak masuk akal dan membuat mereka semakin marah. Jengkel sekali.
Orang-orang yang menunggu saat penggalian dilaksanakan
juga menjadi kesal. Bahkan ada yang melemparkan batu dan mengenai Waduk Kumis
yang kurus itu.
"Pletak...!" Waduk Kumis segera mengkelap. Matanya menjadi merah, karena
percikan pasir masuk ke matanya yang kiri.
Waduk Kumis hendak mengamuk, tetapi segera ditahan Gembong Wilwo. Salah seorang
penonton ada yang berseru:
"Robek saja mulutnya kalau plin plan!!"
Coca Soga mencabut pedangnya, kemudian menempelkan
ke leher Suro Bodong.
"Katakan dengan jujur; siapa pembunuhnya"! Kalau kau
menjawab dengan ngaco, maka pedang ini pun akan menggores
lehermu dengan ngaco juga! Lekas, katakan; siapa yang membunuh Wiruna"! Dayang
Kunti... atau bukan!?"
"Iyy... iya.." Suro gemetar penuh rasa takut. "Da... yang Kunti. Tap... tapi...
tapi saya kan tidak tahu dan tidak kenal dengan perempuan yang bernama... itu
tadi." "Berbalik lagi jawabannya!" geram Waduk Kumis.
Adipati Anom Winingrat, yang sejak tadi duduk di tandu
dan dipayungi segera berseru:
"Cocak Soga... gali kuburan itu!"
"Sendiko, Kanjeng!" jawab Cocak Soga dengan tegas.
"Waduk Kumis, Kebo Botak, dan para prajurit seperlunya, bantu penggalian
itu...!" Perintah tersebut membuat cepatnya kerja mereka. Coba
dari tadi Adipati turun tangan dengan memberikan perintah, sudah pasti urusan
itu akan selesai sejak tadi. Begitu pikir rakyat yang menunggu penggalian
dilaksanakan. Mereka yang ditugaskan menggali bekerja dengan gesit.
Tidak ada yang malas-malasan. Sementara itu, Suro Bodong dalam pengawasan dua
prajurit bersenjatakan tombak dengan seragam celana merah tanpa baju, tapi
mengenakan kain pada bagian
pinggang sampai paha. Suro Bodong duduk di tanah sambil
menyeringai dan mengerang sesekali, merasakan sakitnya luka di tubuh dan bekas
pukulan serta tendangan mereka. Sedikit pun tak punya niat bagi Suro untuk
melakukan perlawanan. Sedikit pun tak ada keberanian bagi Suro untuk menentang
perlakuan keji yang dijatuhkan kepada dirinya. Suro Bodong malahan ikut sebagai
penonton terdekat dalam penggalian kuburan Dayang Kunti
tersebut. Gembong Wilwo menggulung cambuknya dan diselipkan di pinggang,
sementara sebatang gagang pedang masih bertengger di pundaknya.
"Kanjeng...!" teriak seseorang dari dalam kubur, kemudian orang itu meloncat
keluar dengan hentakan kaki bagai terbang ke atas. Cocak Soga yang berteriak
tadi, kemudian segera mendekati tandu dan berkata:
"Mayat Dayang Kunti... hilang!"
Semua wajah menjadi tegang. Lalu, semua mulut mulai
ricuh dan saling menggumam heran:
"Hilang..."! Hilaang... hilang..."!" Seorang prajurit yang mengawal Suro Bodong
juga berkata kepada temannya, "Kok bisa hilang, ya?"
"Aneh."
Suro menyahut, "Iya, aneh sekali...?" seakan Suro ikut tegang dan terheran-heran
juga. Ki Ageng Bentaran berbisik kepada Cocak Soga, "Bawa Suro Bodong, dan selidiki
dia! Pasti ada sangkut pautnya!"
Maka Suro Bodong pun dibawa serta kembali ke Kadipaten.
"Suro Bodong," kata Ki Ageng Bentaran ketika mereka sudah berada di Dalem
Kadipaten. "Kamu terpaksa kami tahan!
Kami tidak perduli kau seorang Senopati negeri lain, tetapi dalam hal ini, kamu
tidak meyakinkan dan patut dicurigai. Karenanya, kamu harus dipenjara."
"Ya, ya... saya mau!" Suro Bodong bersemangat.
Dasar bego! Di penjara bukan sedih tapi justru Suro tampak senang. Wajah
takutnya sempat sirna sesaat ketika ia digiring ke penjara yang ada di depan
asrama keprajuritan.
"Hei, Suro Bodong..."!" seru salah seorang tawanan di kamar tahanan. Agaknya ia
mengenal Suro Bodong, sekali pun Suro
Bodong tidak mengenal dia.
"Hei..." Suro Bodong membalas sapaan itu dengan senyum ketololannya.
"Mengapa kamu dipenjarakan di sini, Suro" Apa
kesalahanmu?"
"Aku sendiri tidak tahu, apalagi kamu," jawab Suro. "Tapi kurasa ini lebih
baik." "Lebih baik, bagaimana?" lelaki kurus tanpa baju dan berikat kepala kuning kusam
itu heran. "Yah, lebih baik dimasukkan penjara daripada disuruh
menggali kuburan."
Lelaki yang tulang iganya kelihatan menonjol itu semakin
heran. Ia tahu kesaktian Suro Bodong. Ia pernah melihat Suro Bodong bertarung
dengan orang-orang Kerajaan Lesanmitra. Suro cukup tangguh dan mengagumkan.
Tetapi, mengapa sekarang Suro dijadikan tawanan dan dimasukkan penjara dalam
keadaan luka-luka begitu" Apa salahnya"
"Suro, kau Senopati Kesultanan Praja, bukan?"
"Ta. Tapi... itu kata siapa?" Suro heran. Lelaki itu juga bertambah heran.
"Kau ini seperti orang linglung saja."
"Cuma seperti, kan" Itu berarti aku bukan orang linglung, hanya seperti." Suro
nyengir, lelaki itu kebingungan. Suro menyambung kata, "Aku tadi disuruh
membongkar kuburan orang mati. Aku tidak mau, lantas aku dimasukkan penjara.
Hebat, ya"!"
"Kuburan siapa"!"
"Kuburannya... hemmm... siapa tadi, ya?" Suro berkerut dahi dan berpikir
beberapa saat. "O, ya... kuburannya seorang perempuan yang bernama... Dayang...
Dayang.., ah, lupa lagi aku jadinya.
Dayang siapa tadi, ya?"
"Dayang Kunti"!"
"Nah, benar! Dayang Kunti!!" Suro bersemangat, namun lelaki kurus itu
terperanjat. Bahkan wajahnya kelihatan tegang begitu mendengar Suro membenarkan
nama Dayang Kunti.
"Kau..." Kau disuruh membongkar kuburan Dayang Kunti?"
"Iya. Kenapa kau ketakutan?"
"Kau tidak tahu siapa itu Dayang Kunti"!"
"Kalau tahu akan kusuruh dia ke mari untuk mengatakan bahwa dialah yang membunuh
prajurit Kadipaten ini."
"Maksudmu, kau tidak kenal Dayang Kunti?"
"Ah, kamu itu ada-ada saja," Suro bersungut-sungut.
"Namanya saja susah kuingat, apalagi mengenalnya. Memangnya, Dayang Kunti itu
siapa"!" Suro Bodong bicara seperti orang blo'on.
Lelaki kurus tanpa baju itu menjadi ragu-ragu; jangan-jangan ia berhadapan
dengan orang yang bukan Suro Bodong: Karenanya, ia memperhatikan Suro Bodong
sampai beberapa saat lamanya, baru berkata:
"Dayang Kunti itu tokoh dunia persilatan yang baru. Ia seorang perempuan yang
belakangan ini menjadi momok bagi
masyarakat Kadipaten Damardita. Ia membunuh beberapa prajurit dan orang penting
di Damardita. Dan, ia masih menjadi bayangan menakutkan bagi para punggawa
negeri di sini. Kesaktiannya cukup ampuh. Digdaya. Belum ada pendekar atau
jagoan-jagoan Kadipaten ini yang mampu melawannya. Hanya saja, beberapa Minggu
yang lalu aku mendengar Dayang Kunti katanya sudah dikalahkan oleh KiAgeng
Bentaran, dan dikuburkan. Tapi, mengapa mereka
sekarang mempersoalkan Dayang Kunti lagi, ya?" Orang itu bicara sendiri. "Apakah
Dayang Kunti belum dikalahkan oleh Ki Ageng Bentaran?"
"Tapi, kenapa aku dipaksa membongkar kuburannya?"
"Lalu..." Lalu, bagaimana?"
Suro Bodong meringis geli. "Akhirnya orang lain yang
disuruh membongkar kuburan itu. Hi, hi, hi...."
"Dan... dan bagaimana hasilnya?"
Suro Bodong semakin mengikik geli, "Kuburan itu... kosong!
Hi, hi, hi,..."
"Kosong"!" orang itu terperanjat kaget dan berdiri tegang.
"Kosong tanpa mayat"!"
"Yah, kalau ada mayatnya namanya bukan kosong, tapi
isi..." ujar Suro Bodong seakan tidak merasa terbengong dengan mata membelalak
dan mulut ternganga sedikit. Ia memandang ke arah luar kamar penjara melalui
teralis besi. "Pertanda kehancuran bagi Kadipaten ini! Dayang Kunti akan memusnahkan semua
pejabat dan orang penting dalam
pemerintahan ini, bahkan ia akan membumihanguskan Dalem
Kadipaten, termasuk penjara ini. Lalu-lalu itu juga berarti kematian bagi para
tawanan seperti aku."
Karena orang itu bicara sendiri. Suro Bodong baru merasa
heran. Kemudian ia bertanya dengan nada tolol:
"Kok kamu tahu" Sebenarnya kamu siapa" Suaminya
Dayang Kunti, ya?"
"Aku Dandang Kober," kata lelaki kurus bercelana hitam.
"O, pantas... kulitmu hitam seperti pantat dandang nasi."
Kata-kata itu diucapkan dengan serius, seakan Suro benarbenar terkesan dengan nama Dandang Kober. Di wajahnya tak ada senyum dan kesan
mengejek, sehingga Dandang Kober sendiri tidak memperdulikan kata-kata itu.
"Aku sebenarnya bukan orang Damardita, aku orang Tebing Suram. Aku pernah
bertemu dengan Dayang Kunti, dan disuruh menyampaikan pesan tantangan kepada
Adipati Anom. Tetapi aku malah ditangkap, disiksa dan dipenjarakan di sini.
Padahal aku hanya disuruh. Bukan berkomplot dengan Dayang Kunti."
"Ooo... tapi kamu kok bisa kenal aku" Kamu tahu namaku
Suro Bodong segala, padahal aku sendiri lupa siapa namaku. Itu saja kalau tidak
aku sering dipanggil Suro Bodong oleh orang berambut putih itu, aku tidak tahu
kalau namaku Suro Bodong"! Sungguh, kok!"
"Astaga...! Kenapa kamu bisa begitu, Suro" Padahal aku pernah melihat
kedigdayaanmu dalam bertarung melawan orang-orang Lesanmitra." (dalam kisah:
RACUN MADU MAYAT).
"Aku digdaya"!" Suro Bodong malah merasa heran, lalu tertawa geli sendiri. "Ah,
kamu menyindir aku, ya?"
Dandang Kober ngotot, "Eh, sungguh! Aku tidak bohong!
Kalau kamu tidak digdaya, bagaimana mungkin kamu bisa diangkat menjadi Senopati
Kesultanan Praja"!"
"Senopati" Jadi, pangkatku Senopati" Wah, ketinggian itu.
Kalau memujiku jangan tinggi-tinggi. Kalau tinggi-tinggi takut kesamber gledek!
Takut kesamber petir!" Suro Bodong memonyong-monyongkan mulutnya.
"Bukankah petir itu sahabatmu"!" kata Dandang Kober.
"Sahabatku" Ih, masa manusia bisa bersahabat dengan petir"
Ah, ngaco kamu," seraya Suro menepak pundak Dandang Kober.
Rupanya Dandang Kober tidak mau kalah debat:
"Memang hanya kamu orang yang bisa bersahabat dengan
petir. Kau sendiri punya pedang pusaka. Kata orang-orang, pedang pusakamu itu
bernama Pedang Urat Petir. Dan kau berjuluk
Pendekar Tujuh Keliling."
Suro semakin heran dan sangsi dengan penjelasan Dandang
Kober. Ia berkata dengan pelan:
"Pedang Urat Petir..." Masa aku punya pedang Urat Petir"
Memangnya, petir itu ada uratnya"!" Suro benar-benar menjadi bingung tujuh
keliling. Ia berpikir dan berpikir terus sampai larut malam tiada hentihentinya. Sesekali ia mendengar suara samar-samar seseorang memanggilnya: Suro
Bodong. Sesekali ia juga teringat nama Pedang Urat Petir. Sesekali ia juga ingat
bahwa ia pernah melompat tinggi dan bisa nangkring di sebuah dahan pohon.
Tapi kapan hal itu terjadi" Mengapa bisa begitu" Benarkah dia itu sakti" Suro
kebingungan dan jenuh sendiri. Ia belum berhasil mengembalikan jati dirinya
sampai malam menjadi hampir pagi.
Sebenarnya Suro Bodong ingin segera tidur, ia lelah
memikirkan penjelasan Dandang Kober. Tetapi, tiba-tiba ia
mendengar suara langkah kaki orang samar-samar. Ia menyempatkan mengintip dari pintu penjara yang tidak pernah diberi pelapis lain
kecuali hanya teralis besi. Ia melihat sosok manusia melangkah dengan mengendapendap. Wajahnya tidak jelas, karena ia melalui tempat yang gelap dan remangremang. Namun arahnya sudah pasti, menuju asrama keprajuritan.
Ada dua orang prajurit yang keluar karena mungkin
mendengar suara langkah kaki manusia. Kedua prajurit itu tiba-tiba memekik
tertahan: "Aaghh...!"
Bayangan itu melemparkan sesuatu yang mengenai kedua
prajurit tadi. Lalu kedua prajurit itu rubuh, beberapa saat keluar asap dari
tubuhnya yang tidak mau berkutik-kutik sedikit pun.
Suro Bodong terbengong, matanya memandang kejadian itu.
Lidahnya bagai kelu dan sukar berteriak, karena saat sosok bayangan itu melewati
tempat terang. Suro melihat jelas bahwa sosok itu milik seorang perempuan
bergaun hijau muda. Perempuan memegang sebatang bambu kira-kira panjang tiga
jengkal. Kakinya memantulkan kilasan sinar ketika melewati tempat terang. Dan
Suro Bodong segera teringat siapa perempuan itu. Dia adalah Dayang Kunti, yang
pernah bertemu dengannya di samping mayat prajurit Wiruna. Ia ingat samar-samar
pesan Dayang Kunti yang minta disampaikan kepada Adipati Anom Winingrat. Tetapi,
ingatan itu segera hilang, kepalanya menjadi pening. Yang ada hanya
ketegangan. Rasa takut yang kuat.
Dayang Kunti menyelinap di balik tikungan. Suro Bodong
masih belum bisa bicara, a atau i. Bengong saja terpaku. Sampai akhirnya ia
menyaksikan Dayang Kunti menyeret tubuh seseorang yang sudah tidak berdaya lagi.
Tubuh tersebut sengaja diletakkan di tengah taman, kemudian ia segera melesat
pergi. Melompat seperti belalang cantik, menghilang di balik rimbun dedaunan
pohon yang ada di balik tembok benteng. Baru setelah itu Suro mampu berteriak:
"Maliiiing...! Maliiiing...!! Ada maliiiing...!"
Suasana menjadi gempar, heboh. Semua prajurit keluar dari
asramanya, semua tahanan yang terdiri dari empat orang dalam tiga kamar juga
terbangun, bahkan beberapa orang dapur pun berlarian keluar sambil membawa
Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pentungan. "Mana malingnya..." Mana"!" Dandang Kober menggeragap.
Ikut mendekat, memandang ke arah luar dari balik teralis besi.
Orang berlarian kalang kabut ketika Suro Bodong masih berteriak maling,
sedangkan mereka sudah menemukan tiga sosok mayat
yang hangus terbakar.
Seseorang di luar sana berteriak, "Waduk Kumis terbunuh...!
Waduk terbunuh...!!"
Kepanikan semakin menjadi, semua prajurit memeriksa
sekeliling dengan tergagap-gagap. Tamtama Agung Gembong
Wilwo datang menemui ketiga mayat yang hangus terbakar tanpa merusak pakaian
mereka. Kebo Botak berteriak-teriak mencaci maki sendiri, seakan mengundang
pembunuhnya untuk datang
berhadapan dengannya. Di tangannya, juga di tangan beberapa prajurit lainnya
sudah meng genggam senjata masing-masing. Ki Ageng Bentaran ikut datang
memeriksa keadaan korban yang mati hangus, lalu menggeram sambil menerawang ke
angkasa. Sementara itu, Cocak Soga berdiri tak jauh dari depan penjara,
memandang kerumunan orang yang saling meratapi ketiga mayat, termasuk mayat
Waduk Kumis. Suro Bodong dari tadi diam terpukau di tempat dalam
keadaan duduk di lantai yang dingin. Dandang Kober sudah
mengajaknya bicara dari tadi, sudah bertanya macam-macam, tetapi Suro Bodong
diam saja. Sepertinya ia amat terpukau melihat kemunculan Dayang Kunti kembali
itu. Namun, beberapa saat otak gobloknya lelah memaksa ia
bicara dengan lantang:
"Saya tahu siapa yang membunuh..."! Saya tahu jelas!"
Tentu saja semua mata beralih kepada Suro Bodong. Tangan
Dandang Kober buru-buru mendekap mulut Suro Bodong dan
berbisik. "Jangan katakan apa-apa, tolol! Nanti kamu terlibat!"
Suro Bodong menarik tangan Dandang Kober yang
mendekap mulutnya. Ia pun membantah:
"Aku memang tahu persis kok! Aku dari tadi belum tidur!"
"Iya, tapi mereka bisa mempersulit keadaanmu!"
Suro Bodong bersungut-sungut dalam gerutu tak jelas.
Cocak Soga mendekat, berdiri di depan penjara dengan bertolak pinggang:
"Siapa yang melakukan kekejian itu, Suro?"
"Dayang... Dayang Kunti, Eyang." Suro menjawab dengan polos, apa adanya dan
bersemangat, walaupun ia tetap menyebut
'eyang' kepada siapa saja yang dianggapnya orang pemerintahan.
"Keluarkan dia dari penjara, dan bawa ke mari!" perintah Adipati Anom Winingrat
begitu mendengar Suro berteriak seperti tadi.
Suro Bodong segera dihadapkan kepada Adipati, dan ia
justru bercerita berapi-api sebelum ditanya apa-apa.
"Perempuan itu, pasti Dayang Kunti, Eyang!" katanya kepada Adipati Anom
Winingrat. "Saya melihat ia masuk ke taman dengan mengendap-endap, melewati
tempat gelap. Kemudian
menyusuri tepian rumah prajurit. Dan di sana ia sepertinya melemparkan atau
menembakkan sesuatu yang membuat dua
prajurit itu mati terjengkang tanpa permisi. Lalu... lalu saya lihat ia melintas
ke tempat lain, melewati tempat yang terang. Di situlah saya ingat bahwa
perempuan itu yang mengaku bernama Dayang Kunti. Mengaku kepada saya namanya
itu. Tapi entah nama aslinya, jangan tanyakan kepada saya. Nah, setelah itu...
saya melihat dia menyeret seseorang yang rupanya sudah enggan bernapas karena
mati. Ia menggeletakkan ke tengah taman, lalu pergi. Perginya pakai melompat
segala. Seperti seekor belalang. Dulu saya sering makan belalang dibakar,
rasanya yah.. lumayanlah. Malahan...."
"Cukup!" bentak Gembong Wilwo dengan mata melotot.
Suro melantur dalam memberi laporan, sehingga tidak bisa diterima dengan
meyakinkan. Masih ada kecurigaan terhadap diri Suro, terlebih Ki Ageng Bentaran
mengatakan: "Kau pun bisa membunuh orang dengan caramu sendiri,
dan bisa menjadikan lawanmu mati hangus, bukan" Kau punya
kesaktian yang bisa menghanguskan lawan, bukan?"
Suro Bodong tersipu-sipu malu.
"Ah, jangan menghina saya begitu. Nanti dikira saya benar-benar orang sakti
lho..." Ki Ageng dalam hati merasa heran melihat sikap Suro yang
mirip orang bego itu. Namun, selintas dalam benaknya ia
mempunyai kesimpulan sendiri:
"Apakah kematian mereka bukan karena kesaktianmu?" kata Ki Ageng Bentaran.
"Apakah kau tidak bisa berlagak bodoh, berpura-pura gila, namun sebenarnya kau
menyimpan rencana
untuk membantai kami?"
Adipati dan Gembong Wilwo mulai tertarik dengan
kesimpulan Ki Ageng. Terlebih Kebo Botak yang dengan cepat menendang punggung
Suro keras-keras sambil mencaci tak karuan.
"Dia patut dicurigai! Setiap ada kejadian mati hangus, dia selalu tampil seakan
menjadikan dirinya sebagai saksi. Padahal itulah caranya menutupi kelakuannya!"
kata Kebo Botak.
3 Rupanya sebelum Dayang Kunti melancarkan aksi
pembunuhannya kepada ketiga orang termasuk Waduk Kumis itu, ia telah lebih dulu
melakukan sesuatu. Ia menempelkan sebuah surat di pintu kamar pribadi Adipati
yang berisikan kata:
Kalau ingin tentaramu utuh, hadapilah aku. Hanya Anom
Winingrat yang bisa menyelamatkan prajurit-prajuritnya. Pertarungan kita di
puncak Bukit Sekarat. Kutunggu tiga hari sejak terbacanya surat tantangan ini.
Salam Kematian Surat itulah yang boleh dikata sebagai Sang Penyelamat diri Suro Bodong dari
tuduhan pembunuhan. Cocak Soga yang pertama kali berkata:
"Ini tulisan perempuan. Bukan tulisan tangan lelaki!"
"Lalu, apa hubungannya Dayang Kunti dengan Suro
Bodong?" tanya Gembong Wilwo.
"Kurasa tidak ada."
"Kalau tidak ada kenapa Suro Bodong berlagak gila?"
"Aku tidak tahu; apakah itu kebodohan dan gila yang
dibuat-buat atau memang Suro Bodong benar-benar sinting karena kebanyakan ilmu,"
jawab Cocak Soga yang membuat Gembong Wilwo termenung beberapa saat.
Sementara itu, Adipati sedang sibuk dalam ketegangan
bersama Ki Ageng Bentaran dan keempat selirnya. Dari keempat selir Adipati Anom
itu, tidak satu pun yang setuju jika sang Adipati menuruti tantangan Dayang
Kunti. "Biar saya saja yang maju melawannya," ujar Ki Ageng Bentaran. "Kanjeng Adipati
tidak perlu turun tangan untuk mengurus nyamuk sekecil Dayang Kunti."
"Tapi ia akan mengamuk jika aku tidak hadir di Bukit
Sekarat itu, dan prajuritku akan habis binasa oleh kekejamannya."
"Sebenarnya apa kemauan Dayang Kunti itu?" tanya selir pertama yang bukan
permaisuri. "Kalau dia mau harta, berikan saja Kanda," sambung selir kedua. Selir ketiga
diam dalam kesedihan. Dia tidak ikut buka suara.
Tetapi, selir keempat berkata:
"Kerahkan saja semua jagoan di sini supaya Dayang Kunti bisa cepat-cepat mati,
dan tidak bangkit-bangkit lagi."
Semua kata-kata mereka tidak ditanggapi oleh Adipati
Anom. Ia menerawang membayangkan Dayang Kunti dan
kekuatannya. Giginya kelihatan menggeletuk menahan kemarahan.
Ia merasa malu jika tidak berani berhadapan dengan Dayang Kunti.
Apa kata para punggawa negeri jika mereka tahu bahwa Adipati dalam ketakutan
menghadapi tantangan Dayang Kunti.
"Aku harus datang ke puncak Bukit Sekarat," ujarnya meneguhkan hati.
"Menurut saya, jangan!" sahut Ki Ageng yang berambut putih namun tidak panjang.
Berkumis dan berjenggot, tapi juga tidak panjang. Jubah birunya dikibaskan
ketika ia melangkah, lalu berbalik kembali menghadap Adipati.
"Kita belum pernah mencoba memanfaatkan Suro Bodong."
Adipati terpana sejenak, seakan baru ingat sesuatu, atau
mempertimbangkan usul Ki Ageng Bentaran. Lalu, beberapa saat kemudian ia baru
berkata: "Apakah Suro Bodong bisa diandalkan" Dan apakah dia
mau menghadapi Dayang Kunti?"
Selir keempat memberanikan diri ikut campur:
"Suro Bodong gila! Apakah ia bisa melawan Dayang Kunti?"
"Bisa atau tidak, itu urusan dia," jawab Ki Ageng. "Berani atau tidak, tapi
dialah umpan terbaik untuk memancing kelengahan Dayang Kunti. Nanti, aku yang
akan menyerang Dayang Kunti. Aku bersama Gembong Wilwo yang akan membunuh Dayang
Kunti, Kanjeng! Percayalah kepada kami!"
Ketika hal itu dibicarakan kepada para pejabat yang
bersangkutan, Cocak Soga adalah orang yang tidak setuju dengan gagasan tersebut.
"Dayang Kunti tidak akan mau melayani Suro Bodong. Yang dikehendaki hanyalah
Kanjeng Adipati."
Adipati Anom Winingrat tertegun sejenak, lalu berkata
bagai sebuah gerutu:
"Sampai sekarang kau dan anak buahmu mengapa belum
bisa menyelidiki tempat persembunyian Dayang Kunti, Cocak?"
"Bukankah Kanjeng Adipati sendiri yang memerintahkan
kami untuk berhenti menyelidiki persembunyian Dayang Kunti, karena Dayang Kunti
terlalu berbahaya dan telah menewaskan dua anak buah saya?"
"O, ya, ya..." Adipati manggut-manggut.
"Sebaiknya kita bujuk Suro Bodong sekarang juga. Kita persiapkan segala
sesuatunya!" sela Ki Ageng Bentaran.
Tak ada pilihan lain untuk sementara ini. Adipati
memerintahkan prajurit untuk membawa Suro Bodong kepadanya.
Sementara itu, Adipati Anom masih gelisah dan bimbang dengan rencana Ki Ageng
Bentaran. Apalagi Cocak Soga berkata dengan nada ketus:
"Kurasa Dayang Kunti bukan orang bodoh, ia ingin
berhadapan dengan Adipati Damardita, bukan dengan Suro
Bodong. Dan usaha ini akan menjadi sia-sia belaka."
"Kau tidak tahu rencanaku, Cocak Soga. Sebaiknya kau
jangan mempersulit keadaan ini."
"Rencana apa sebenarnya yang ingin kau jalankan, Ki
Ageng?""Mengangkat Suro Bodong menjadi Adipati!"
"Hahh..."!" semua para peserta sidang terperanjat kaget, seperti ada petir
bertengger di telinga mereka. Adipati Anom Winingrat sempat berdiri dengan wajah
tegang. "Apa maksudmu"!"
Ki Ageng tetap tenang dan menjelaskan maksudnya
sebelum Suro Bodong menghadap.
"Dengan berpura-pura mengangkat Suro Bodong menjadi
Adipati di sini, maka perhatian Dayang Kunti akan berpaling: Suro Bodong yang
menjadi sasaran utama, karena menurut anggapannya, Suro Bodong Adipati di
Kadipaten Damardita ini! Sementara itu, kita bisa memukul Dayang Kunti dari
belakang. Selesai itu, Suro kembali jadi tawanan. Itu pun kalau dia masih hidup.
Atau... kita lepaskan, atau kita piara untuk dijadikan orang kita, dan...
tinggal melihat bagaimana nanti akhir pertempurannya dengan Dayang Kunti."
"Kalau sampai Suro Bodong mati"!" Gembong Wilwo ikut bicara dengan serius.
"Kalau Suro Bodong mati, kabarkan kepada Kesultanan
Praja. Maka orang-orang Kesultanan Praja yang akan bertindak memburu Dayang
Kunti. Kita tinggal menunggu hasilnya saja,"
kilah Ki Ageng Bentaran. Dan hal itu ternyala membuat mereka manggut-manggut,
seakan menyetujui rencana licik Ki Ageng
Bentaran. Waktu Suro Bodong menghadap, Adipati segera berkata:
"Suro Bodong, bersihkan badanmu, dan makanlah yang
banyak supaya badanmu menjadi sehat, segar bugar."
"Ah, jangan sembrono, Eyang..." ujar Suro Bodong yang masih menampakkan betul
kebodohannya. Ia menyeringai dengan garuk-garuk kumis dan menengok ke kanankiri, di mana para punggawa negeri lainnya memperhatikan dia.
"Lakukanlah hal itu dengan segera, Suro," kata Ki Ageng Bentaran.
"Kenapa aku disuruh mandi, Eyang" Kenapa aku juga
disuruh makan yang banyak, Eyang" Bukankah makan dan mandi itu hanya pekerjaan
seorang raja?"
"Benar." Adipati menyahut. "Dan kau akan kuangkat menjadi Adipati di sini,
menggantikan aku."
"Apa..."! Aku mau dijadikan Adipati" Menggantikan Eyang Dalem?" seraya Suro
Bodong tangannya menuding Adipati Anom dan mukanya membelalak dan menyeringai
lucu. "Apa kau tidak bersedia, Suro?" pancing Gembong Wilwo.
"Siapa bilang?" Suro mulai menampakkan keangkuhan begonya. "Aku bersedia.
Bersedia sekali. Asal... jangan lupa makanan yang dari kemarin ingin kuperoleh
harus tersedia."
"Makanan apa?"
"Jagung bakar, he, he, he...!" Suro Bodong terkekeh dengan tangan menari-nari.
"Kalau ada jagung bakar, saya mau menjadi Adipati. Tapi kalau tidak ada, ooh...
jangan harap saya mau jadi Adipati. Jadi Suro Bodong pun saya malas... he, he,
he...! Dung, dung plak... dung, dung, plak... jagung bakar bukan rujak..." Suro
menandak sendiri.
Memang berita itu cukup mengejutkan rakyat Kadipaten.
Berita Suro Bodong diangkat menjadi Adipati mengakibatkan kehebohan yang selalu
bergema sepanjang hari. Dan justru kehebohan ini yang diharapkan oleh Ki Ageng
Bentaran, yang tergolong orang ahli dalam strategi perang licik-licikan. Hampir
setiap mulut mengatakan, "Orang gila kok malah dijadikan Adipati. Apa tidak keder itu orangorang atas?" Adipati Anom Winingrat sendiri sempat malu dan gelisah menghadapi
gemuruh massa. Tetapi, Ki Ageng selalu menenangkan Adipati Anom, dengan
memerintahkan agar punggawa negeri tetap menghormat dan menjunjung tinggi segala
perintah Adipati Anom. Sedangkan Suro Bodong, sekali pun sudah diangkat menjadi
Adipati, ia hanya didudukkan sebagai boneka pajangan di singgasana. Memang Suro
mengenakan pakaian kebesaran seorang Adipati, tetapi ia sama sekali tidak
dihormati oleh punggawa negeri. Bahkan Kebo Botak pernah merasa kesal dengan
Suro, dan menampar Suro yang tengah duduk di singgasana.
Suro hanya cemberut dan merasa takut seraya berkata,
"Adipati kok ditampar-tampar sama anak buahnya. Seharusnya disanjung-sanjung dan
disembah, kan" Ini malah ditampar dan dibentak-bentak. Uuuh... Adipati cap apa
aku ini"!"
Tiba pada hari ketiga sejak ditemukannya surat tantangan
Dayang Kunti, Suro Bodong dibawa pergi ke Bukit Sekarat.
Umumnya seorang Adipati pergi dengan digotong memakai tandu atau dinaikkan kuda
berpayung. Tapi, Suro Bodong pergi dengan berjalan kaki, sementara Panglima
Gembong, kepala mata-mata dan beberapa orang penting lainnya justru mengendarai
kuda. Suro hanya berpakaian seorang Adipati dengan didampingi beberapa
pengawalnya yang sesekali ada yang membentak-bentak Suro
supaya mempercepat jalannya.
"Untuk apa aku di bawa-bawa ke Bukit Sekarat ini lagi" Apa sebagai Adipati aku
masih disuruh menggali kuburan?"
Ki Ageng Bentaran turun dari punggung kuda ketika
mereka sampai di kaki bukit, dan berkata kepada Suro Bodong:
"Ada yang ingin bertemu dengan Adipati. Dia adalah teman lama. Teman urusan
dagang yang akan memberikan uang banyak.
Kuminta Adipati menunggu di puncak Bukit."
Dasar bego bin tolol, Suro Bodong kegirangan mendengar
ada yang ingin menyerahkan uang dalam jumlah banyak. Ia bahkan berkata kepada
yang lainnya: "Kalau begitu, biar aku naik ke atas bukit ini sendirian.
Jangan ada yang turun ke sana, karena ini urusan orang orang penting. Mengerti?"
"Silahkan...!"jawab Ki Ageng Bentaran dengan senyum sinis yang tipis.
Sementara Suro Bodong berdiri di atas bukit yang tidak
begitu tinggi itu, yang lainnya bersembunyi di tempat-tempat tertentu dengan
senjata siap di tangan mereka. Ada pasukan pemanah yang sudah dipersiapkan di
Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa tempat yang dapat membidik langsung jika Dayang Kunti muncul. Mereka
bersiaga dengan hati berdebar-debar.
Dari pagi, sampai siang, mereka menunggu dengan tak
sabar. Bahkan nyaris membuat mereka putus asa. Suro Bodong sendiri sebentarsebentar turun, menjumpai salah satu dari mereka dengan alasan macam-macam.
Sesekali menggerutu dan bosan
menunggu, sesekali turun minta minum. Sesekali turun minta payung agar tubuhnya
tidak disengat matahari siang. Tetapi,
semuanya hanya menghasilkan bentakan saja bagi Suro Bodong.
Mereka tak bersikap ramah kepada 'Adipati' yang baru. Dan Sang Adipati Baru pun
serba ketakutan. Mau tidak mau dia harus
menurut kepada 'bawahannya' yang semua dipanggilnya: Eyang itu.
Menjelang sore, di mana matahari mulai bergeser ke arah
Barat. Suro Bodong dikejutkan dengan teriakan seseorang yang bersembunyi di
balik semak di bawah pohon. Dia adalah seorang prajurit yang tiba-tiba menukik
dengan dada terluka bolong.
Kemudian, disusul dengan pekikan prajurit bagian pemanah yang tempatnya
berjauhan dengan prajurit yang dadanya bolong itu.
Prajurit pemanah itu pun mengalami nasib serupa: lehernya bolong dari kanan
tembus ke kiri, seolah-olah ditusuk dengan benda panjang yang tajam. Keadaan
menjadi kacau balau, panik. Suro Bodong sendiri hanya tertegun di atas bukit
memperhatikan kepanikan mereka. Gembong Wilwo berseru:
"Periksa daerah ini! Serang dia jika menampakkan diri!"
Suro menggumam sendiri, "Uang belum kuterima, sudah
ada yang bermaksud merampok uangku. Hem... perampok itu pasti belum tahu kalau
aku punya banyak pasukan galak-galak. Aku sendiri saja dibentak-bentak, apalagi
perampok itu"!"
Mata Suro Bodong terbelalak ketika ia melihat kelebatan
seorang perempuan yang menyambar Gembong Wilwo dari atas
pohon. Perempuan itulah yang kemarin lusa, tiga hari yang lalu dilihat oleh Suro
sebagai pembunuh ketiga prajurit Kadipaten termasuk Waduk Kumis. Suro sendiri
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 2 Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Walet Emas Perak 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama