01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 31
kepadanya apa yang kuterima dari suara gaib itu. Mendengar
itu Tancapun girang dan meminta aku tinggal dalam gedung
ini" "Ah, ternyata ra Tanca seorang berbudi" seru Anuraga.
"Tetapi kedudukan itu memang sering merobah keadaan
manusia. Pikiran dan perasaannya. Entah karena sering
menerima tetamu, entah karena malu mempunyai seorang
paman yang seburuk diriku, akhirnya dengan alasan agar aku
dapat bebas melanjutkan pencarianku akan kitab pusaka itu,
akhirnya Tanca menempatkan aku di pondok ini"
"O, ra Tanca" desuh Anuraga.
"Tetapi aku tak marah ataupun mendendam atas
perlakuannya" kata Kadipara "karena di pondok ini aku dapat
melakukan semedhi dengan tenang. Mudah-mudahan aku
mendapat petunjuk lebih lanjut untuk mendapatkan kitab
pusaka itu" Anuraga pun ikut mengharap "Semoga resi berhasillah. Lalu
bagaimana dengan pertolongan yang resi janjikan untuk
mengobati kawanku itu?"
"Siapakah engkau sebenarnya, ki brahmana" Mengapa pula
kawanmu menderita luka parah ?"
Anuraga mengerut dahi beberapa jenak. Ia mempertimbangkan suatu jawaban yang tidak merugikan
kedua belah fihak. Mendapat kepercayaan resi Kadipara dan
melindungi kerahasiaan himpunan Gajah Kencana.
"Ki resi, aku dan kawan-kawanku itu termasuk mereka yang
hendak melindungi kerajaan Majapahit dari gangguan
siapapun juga" "O, golongan pendukung raja Jayanagara?" resi Kadipara
menegas. "Bukan" sahut brahmana Anuraga "bukan peribadi raja
yang kami dukung melainkan kerajaan Majapahit sebagai
suatu pemerintahan yang dapat mempersatukan seluruh
Nuswantara. Adakah yang menjadi raja itu baginda
Jayanagara ataupun kedua Rani Kahuripan maupun Daha,
bagi kami bukanlah soal. Yang penting raja itu memerintah
dengan bijaksana" Kadipara mengangguk "Lalu mengapa kawanmu sampai
terluka?" "Hari ini kami melihat kesibukan2 yang luar biasa di gedung
kedaman ra Kuti" menerangkan Anuraga "kami mendengar
kabar selentingan bahwa Darmaputera akan mengadakan
rapat rahasia. Malam ini kami melakukan penyelidikan.
Ternyata ra Kuti telah mempersiapkan penjagaan yang amat
kuat. Dalam lingkaran seluas seratus tombak, jalan2 yang
menuju ke gedung kediaman ketua Dharmaputera itu telah
ditutup dengan penjagaan ..."
Resi Kadipara mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kami segera berunding untuk mengatur siasat. Akhirnya
kami putuskan, kawan-kawanku itu yang memancing
kemarahan penjaga supaya mengejarnya. Dan aku yang
langsung menuju ke gedung ra Kuti. Siasat itu berhasil.
Kawan2 yang sengaja mencari perkara telah berkelahi dengan
penjaga2 di salah sebuah jalan. Kawan-kawanku pura2 kalah
dan melarikan diri. Rupanya penjaga- penjaga itu tak puas dan
mengejar. Dengan begitu dapatlah aku menerobos masuk.
Tetapi penjagaan di gedung ra Kuti amat kuat sekali. Aku tak
berhasil menyelundup masuk ke dalam gedung itu ......"
Menutur sampai di situ, Anuraga pun berhenti dan
pejamkan mata. Dalam hati ia minta maaf kepada resi
Kadipara bahwa ia terpaksa tak dapat bercerita dengan terus
terang. Sesungguhnya, ada suatu bagian yang tak diceritakannya.
Yalah ketika ia dapat menerobos penjagaan, ia memang
langsung menuju ke gedung ra Kuti. Walaupun saat itu hujan
turun lebat, tetapi penjagaan gedung ketua Dharmaputera itu
amat kuat sekali. Sekeliling gedung disiapkan suatu barisan
pagar betis yang rapat. Hampir ia putus asa. Namun
dugaannya bahwa Dharmaputera memang sedang mengadakan rapat rahasia, makin kuat. Sifat rahasia itu
ditandai oleh penjagaan yang sedemikian ketatnya.
Tiba2 timbul suatu pikiran. Ia membuat perangkaian dan
penilaian bahwa rapat rahasia itu tentu ada hubungan dengan
akan kembalinya baginda Jayanagara dari Lumajang. Ia
memberanikan diri untuk menarik kesimpulan bahwa
Dharmaputera itu tentu tengah membicarakan sesuatu yang
amat penting bagi nasib kerajaan. Ah, suatu kemungkinan
bahwa para Dharmaputera itu akan merebut kekuasaan,
bukan suatu hal yang mustahil. Ia tahu bahwa sesungguhnya
Dharmaputera itu tak menyukai baginda Jayanagara duduk di
tahta kerajaan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk membuat surat
yang langsung menuduh Dharmaputera itu sedang
mengadaian rencana yang jahat. Semoga dugaannya itu benar
dan surat itu pasti akan merupakan pagutan ular yang akan
membuat mereka lari ketakutan. Namun andaikata tidak
benar, paling tidak merekapun akan menyadari bahwa gerak
gerik Dharmaputera itu sudah diketahui orang. Demikian
pemikiran Anursga. Ternyata surat yang dirangkai menurut penafsiran Anuraga
itu telah berhasil mengeruhkan pikiran ra Kuti. Ketua
Dharmaputera itu membubarkan sidang rapat. Pun ra Kuti
juga tak mau mengatakan terus terang apa isi surat itu kepada
kawan-kawannya. Ia telah merangkai suatu keterangan sendiri
yang mengatakan bahwa baginda minta kepada Dharmapntera
supaya mempersiapkan penyambutan besar-besaran dan
menyongsong kedatangan pasukan kerajaan, sampai ke luar
kota. Dalam hal itu ra Kuti memang mempunyai pertimbangan
sendiri. Karena memiliki sifat2 curiga, dengan mudah
tumbuhlah rasa kecurigaan ra Kuti terhadap keenam
Dharmaputera. Andaikata ia mau berterus terang membacakan isi surat itu, kemungkinan anggota2 Dharmaputera yang lain tentu dapat memberi penilaian yang
lain. Dengan demikian kemungkinan, rapat itu akan tetap
lanjut dengan keputusan2 yang menggemparkan.
Entah dikarenakan baginda Jayanagara masih terang
bintangnya ataupun masih belum masanya turun dari tahta.
Tetapi yang nyata, sepucuk surat dari Anuraga itulah yang
memporak-porandakan rencana pemberontakan ra Kuti dan
kawan-kawannya. Peristiwa itu tak diceritakan Anuraga kepada resi Kadipara.
Karena betapapun ia menaruh kepercayaan penuh kepada resi
itu, namun kepentingan rahasia tindakan Gajah Kencana harus
dilindungi. Bagaimanapun juga, resi Kadipara seperti yang
dikatakannya, adalah paman dari ra Tanca.
"Aku percaya akan keteranganmu seperti aku percaya
kepada dirimu yang menjadi sahabat dari Dipa, anakmuda
yang telah mengikat perhatianku itu" kata resi Kadipara.
"Terima kasih, resi"
"Ki brahmana" kata resi itu pula "bukan maksudku hendak
membanggakan diri. Tetapi ilmu kepandaian tentang obatobatan itu, Tanca banyak belajar dari aku. Tetapi dia memang
cerdas. Dengan tekun dan rajin, ia mengembangkan
pengetahuannya sehingga berhasil menempatkan dirinya
sebagai seorang tabib yang termashyur pandai. Bahkan
baginda sendiri pun menaruh kepercayaan besar kepada
Tanca" "O"- Anuraga terkesiap dan bertebarlah harapannya untuk
mendapat obat penyembuh kawannya.
"Bagaimana luka yang diderita kawanmu itu?" tiba2 resi
Kadipara bertanya. "Dia dikepung oleh belasan prajurit penjaga keamanan
gedung ra Kuti. Dengan berani, dia telah memberi perlawanan
yang cukup seru. Namun karena kalah jumlah, lagi pula hujan
lebat, akhirnya limbungnya terkena sabatan pedang dan
rubuh. Beberapa prajurit itu hendak membunuhnya, untunglah
saat itu halilintar menyambar sebatang pohon di dekat tempat
mereka bertempur. Pohon merobohi mereka. Mereka lari
tunggang langgang tinggalkan kawanku yang tertimpa ranting
pohon ......." "O" desuh resi Kadipara.
"Dari gedung ra Kuti akupun langsung hendak pulang tetapi
alangkah kejutku ketika mendapatkan kawanku dalam
keadaan yang menyedihkan itu. Cepat dia kubawa pulang dan
akupun cepat2 pula menuju kemari untuk mengambil obat dari
ra Tanca" "Adakah tabasan pedang itu meninggalkan luka beracun?"
tanya resi Kadipara. "Tidak" Anuraga gelengkan kepala.
"Kalau begitu, mudah" resi Kadipara segera berbangkit dan
menuju ke bilik. Ia keluar lagi dengan membawa sebuah
kantong kulit "kantong ini berisi ramuan obat untuk pengering
luka. Dan yang berada dalam bungkusan kertas putih ini,
untuk diminumkan. Percayalah, apabila belum ditakdirkan
mati, kawanmu tentu sembuh"
(oodw.kz:mchoo) III DIPA agak terkejut ketika menerima titah Rani Kahuripan
untuk menghadap di balairung keraton. Timbul berbagai
pertanyaan dalam hati anakmuda itu, apa gerangan soal yang
hendak dilimpahkan oleh sang Rani.
Diketahuinya jelas bahwa saat itu bukanlah saat pasewakan
atau hari menghadap sang Rani. Diketahuinya pula bahwa
keamanan dalam pura Kahuripan selama ini tiada terdapat
suatu gangguan yang dapat digolongkan pengacauan atau
pemberontakan. Paling2 hanya peristiwa perkelahian di antara
rakyat dalam soal2 peribadi ataupun pencurian kecil.
Sepulangnya dari melakukan tugas sang Rani ke Majapahit,
Dipa telah dinaikkan pangkatnya menjadi bekel prajurit yang
bertugas menjaga keselamatan puri keraton Kahuripan.
Patih Daha, Arya Tanding, makin menumpah kepercayaannya kepada prajurit teruna itu. Karena sejak Dipa
masuk sebagai prajurit keraton, tak pernah terjadi peristiwa
yang mengancam keluarga sang Rani.
Namun apapun yang akan dihadapi, Dipa harus menghadap
sang Rani. Demikian sumpah yang telah diikrarkan dikala ia
menerima tanda dan seragam keprajuritan Kahuripan. Tunduk
pada perintah Rani dan setya membela Kahuripan.
Sesarat-sarat langkah Dipa karena menyanggul berbagai
pemikiran itu, akhirnya tiba juga ia di balairung keraton.
Langsung iapun segera menghadap sang Rani yang berada di
bangsal agung. Agak terkejut Dipa ketika melihat juga kehadiran patih
Tanding yang makin lanjut usianya itu. Di samping itu terdapat
dua orang dayang perwara yang duduk bersimpuh di samping
Rani. Hanya dapat Dipa menduga suatu kesan yang
menyenangkan bahwa wajah sang Rani tampak berseri
gembira. Suatu kesan yang melahirkan kesan bahwa persoalan
yang akan dititahkan Rani itu tentulah bukan sesuatu yang
gawat ataupun berbahaya. Dipa pun segera duduk di hadapan
sang Rani, menghaturkan hormat sembahnya.
"Dipa, engkau tentu terkejut mengapa pada saat ini
kupanggil menghadap ke mari" seru sang Rani.
"Benar, gusti" sahut Dipa "perasaan hamba terkejut tetapi
hati hamba memperingatkan akan keharusan hamba sebagai
seorang prajurit yang harus taat pada perintah gusti. Mana2
yang gusti titahkan, pasti akan hamba laksanakan dengan
sepenuh jiwa raga" "Bagus, prajurit muda" seru Rani Kahuripan "demikian
hendaknya sikap seorang prajurit. Harus setiap saat siap untuk
melakukan tugas2 negara. Tetapi hal yang akan kutitahkan
kepadamu, bukanlah langsung menyangkut tugas negara
Kahuripan. Melainkan lebih cenderung dikata tugas peribadi"
Walaupun agak heran, namun Dipa berdatang sembah pula
"Mohon gusti memberi titah kepada hamba"
"Baginda telah kembali ke pura Tikta Sripala" Rani
Kahuripan memulai pembicaraannya "memenangkan peperangan di Lumajang melawan patih amangku-bumi Nambi
dan mentri2 Majapahit ..."
"Ah" Dipa mengeluh dalam hati.
"Kahuripan telah mengirim paman patih Tanding ke pura
Majapahit untuk ikut serta dalam upacara penyambutan yang
meriah" kata pula Rani itu "begitu pula dari Daha, adinda Rani
Rajadewi mengirim patih Dyah Purusa Iswara. Juga dari
Matahun, Wengker serta para adipati daerah Datar, sama
berdatangan ke pura Majapahit. Demikian menurut laporan
paman Tanding" "Ah" tiba2 Dipa mendesah. Suatu desah yang tak disadari
maknanya. Haruskah ia ikut bergembira menyambut berita
kemenangan itu atau haruskah ia bersedih dalam hati karena
Majapahit kehilangan sekian banyak mentri2 tua yang setya.
"Mengapa engkau mendesah, Dipa?" tiba2 Rani Kahuripan
menegurnya dengan nada ramah. Memang Rani itu bersikap
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah kepada semua mentri dan narapraja, bahkan rakyat
Kahuripan. Dan sikap serta keperibadian Rani itu telah
menundukkan hati para mentri, senopati dan kawula
Kahuripan dalam suatu rasa pendambaan yang patuh dan
setyaraja. Puteri Tribuanatunggadewi, cerdas dan halus pekerti.
Dalam menghadapi tugas memerintah ke-rani-an Kahuripan, ia
telah mengadakan penilaian dan peninjauan pula pengalaman
yang lalu. Ayahanda baginda rahyang ramuhun Kertarajasa dahulu
telah memerintah dengan cara Gitik sodo, atau dengan
memegang lidi. Lidi merupakan benda yang kecil, untuk alat
menggitik atau pemukul, tidaklah menyebabkan yang dipukul
itu akan menderita kesakitan. Hanya cukup untuk
menimbulkan rasa kejut orang itu. Hal itu dikarenakan
radiyang ramuhun Kertarajasa ingat akan jasa2 para
kadehannya yang telah mengikutinya dalam perjuangan sejak
beliau masih bernama raden Wijaya dan mengabdi pada
baginda Kertanagara di Singasari kemudian menyerah pada
raja Jayakatwang di Daha, membuka hutan Terik, menghadapi
pasukan Tartar dan akhirnya membangun kerajaan baru yang
bernama Wilwatikta atau Majapahit.
Untuk membalas budi, maka para Kadehan itupun diangkat
baginda menjadi mentri dan senopati kerajaan Wilwatikta.
Dalam memerintah mereka itulah maka baginda hanya
membenarkan diri untuk menggunakan cara Gitik sodo. Hanya
menyabat dengan sodo kepada mereka yang salah. Tidaklah
kadehan itu akan menderita kesakitan namun cukup untuk
menyadarkannya dari kesalahan yang dilakukannya.
Kemudian baginda Jayanagara yang sekarang telah
membuang lidi dan mengganti dengan pentung. Gitik-pentung
demikian yang di canangkan baginda Jayanagara di hadapan
segenap mentri senopati kerajaan dalam persidangan lengkap
di kala baginda mulai duduk di singgasana tahta kerajaan.
Siapa salah, akan dihukum seberat beratnya seperti orang
yang dipukul dengan pentung. Tetapi pentung itu takkan
dihunjamkan kepada orang yang tak bersalah dan setyaraja.
Baginda Jayanagara menyadari bahwa duduknya di
singgasana menggantikan rahyang ramuhun Kertarajasa itu,
telah menimbulkan rasa tak puas di kalangan mentri2,
senopati dan bahkan rakyat Majapahit. Hal itu ditatarkan pada
sumber keturunan baginda yang ibundanya seorang puteri
Malayu. Pemberontakan2 yang terjadi selama baginda
memegang tampuk pimpinan kerajaan, merupakan cetusan
dari ketidak puasan mereka terhadap baginda.
Baginda Jayanagara masih muda usia. Melihat awan kabut
yang hendak memudarkan kewibawaan bahkan kedudukannya
di singgasana itu, maka baginda segera menggunakan cara
Gitik pentung. Menyapu bersih mereka2 yang menentang,
mengayunkan pentung kepada mereka2 yang bersalah
melanggar hukum. Tak ambil peduli siapapun adanya dia,
entah seorang menteri yang telah berjasa besar dalam
pemerintahan ayahanda baginda yang lalu, entahkah dia
senopati yang ternama. Gitik-pentung berlaku tanpa pandang
bulu. Rani Kahuripan telah mengadakan penilaian yang seksama
akan kedua cara memerintah itu. Gitik-sodo, cenderung pada
cara pertimbangan balas budi. Gitik pentung, memang keras
dan tegas. Tetapi bernapaskan kecemasan dan kekuatiran.
Apabila hal itu tak disertai kebijaksanaan dan rasa keadilan,
mudahlah tergelincir ke arah kelaliman dan kesewenangan.
Suatu cara memerintah yang hanya akan menimbulkan rasa
dendam dan kebencian pada rakyat.
Puteri Tribuanatunggadewi segan menggunakan cara Gitiksodo, pun tak suka menggunakan cara Gitik-pentung. Ia lebih
menyukai cara Gitik roso. Mengetuk perasaan hati orang yang
diperintah supaya menyadari kewajibannya. Sejiwa dengan
arti Gitik atau menyabat, tidaklah cara Gitik-roso itu berarti
mendiamkan saja orang yang bersalah agar dia nanti tahu dan
menyadari kesalahannya. Tetapi haruslah orang yang bersalah
itu di gitik perasaannya dengan cara ditegur, diberi penjelasan
dan penyadaran. Dihukum perasaannya dengan penyadaran.
Demikian cara2 Rani Kahuripan memerintah Kahuripan. Dan
kehadiran sang Rani di Kahuripan telah melancarkan roda
pemerintahan Kahuripan dalam suasana sejahtera, keamanan
dan kepatuhan rakyat itu merupakan sarana kuat untuk
mengembangkan pembangunan negara.
Agak tersipu Dipa menerima teguran sang Rani "Maaf,
gusti, hamba sendiripun tak menyadari apa yang menjadikan
sebab hamba mendesah tadi. Hamba hanya merasakan hal itu
sebagai suatu peristiwa yang terjadi di pura Wilwatikta"
"Tanpa suatu kesan?" tanya Rani pula.
Dipa mengunjuk sembah pula "Hamba hanya seorang
prajurit kecil. Dan tugas prajurit itu hanya melaksanakan titah
pimpinan. Apa yang berlangsung di negara Majapahit, telah
terjadi sebagai suatu kenyataan. Hamba hanya menyeyogyakan saja gusti" kata Dipa dengan hati2.
"Ah, engkau hendak menghindari diri" Rani Kahuripan
tersenyum "tidakkah engkau memiliki kesan peribadi sebagai
seorang kawula?" Dipa menghela napas. Berkepanjangan dalam hati, namun
berat ke luar dari mulut "Hamba tak berani berkesan, gusti"
"Mengapa?" tanya pula Rani Kahuripan "dengan begitu
sesungguhnya engkau memiliki kesan itu tetapi tak berani
mengutarakan, bukan?"
Dipa terkesiap. "Sekarang kuberimu kebebasan penuh. Apapun kesan yang
engkau kandung, katakanlah" kata Rani "tiada hukuman suatu
apa untuk itu" Dipa mengeluh dalam hati. Mengapa sang Rani demikian
mendesaknya untuk hal itu" Dan makin jauhlah Dipa
menjangkaukan dugaannya. Adakah sesuatu yang akan
mengaitkan kesannya dengan apa yang hendak dititahkan
sang Rani" Agak bingung Dipa memikirkannya. Namun ia kenal akan
peribadi Rani Kahuripan. Dan percaya penuh akan
kebijaksanaannya. Rani Kahuripan menghargai kejujuran,
salah atau benar. "Menurut kesan hamba, gusti" akhirnya ia harus melakukan
titah sang Rani "dengan berakhirnya peristiwa di Lumajang itu
maka bersihlah Majapahit dari mentri2 yang dituduh hendak
memberontak. Tetapi bersihlah pula Majapahit dari mentri2
tua yang sudah berpuluh tahun mengabdi pada kerajaan"
"Suatu kebersihan yang bersih
kebersihan?" tanya Rani Kahuripan.
ataukah bersih yang Dipa tertegun. Perangkaian kata dari sang Rani benar2
merupakan suatu kesulitan dalam kesederhanaan artinya, bagi
Dipa. Dan segera ia memohon penjelasan kepada Rani.
"Maksudku yalah tindakan baginda Jayanagara itu suatu
langkah pembersihan yang bersih, ataukah suatu langkah
bersih yang kebersihan atau terlampau bersih" kata Rani
Kahuripan. "Bersih dalam arti kata keseluruhannya, gusti" kata Dipa
"bersih dari kecemasan, bersih dari rongrongan tetapi bersih
pula dari mereka2 yang dahulu telah mengunjukkan
pengabdian setyaraja"
"Telah kuduga isi hatimu memang hendak berkata begitu
Dipa" Rani Kahuripan tertawa "tetapi ketahuilah. Gugurnya
paman Nambi dan beberapa mentri senopati tua, bukan
berarti baginda Jayanagara sudah merasa aman. Tidak Dipa,
baginda masih merasa dicengkam oleh kecemasan dan
kekuatiran dari mereka yang dianggap memusuhinya secara
tersembunyi. Musuh2 dalam selimut itu masih menghantui
pikiran baginda?" "O" desuh Dipa "mengapa baginda
mengadakan pembersihan sama sekali?"
tidak serempak Rani Kahuripan mengangguk "Itulah yang kumaksud untuk
memanggilmu ke mari, Dipa. Setelah beristirahat beberapa
waktu, kini baginda mulai mengadakan pembersihan di
kalangan mentri narapraja dan senopati kerajaan. Pertamatama, baginda hendak mengadakan pembersihan dalam
lingkungan keraton. Pasukan pengawal atau bhayangkara
keraton telah diganti keseluruhannya dan akan diadakan
penyaringan pula secara teliti. Tetapi pada garis besarnya,
baginda tak menyukai lagi pasukan bhayangkara yang
sekarang ini. Baginda hendak membentuk sebuah pasukan
Bhayangkara baru yang anggotanya, prajurit pilihan menurut
yang diusulkan Kahuripan, Daha dan lain2 daerah. Baginda
menganggap, prajurit pilihan dari lain daerah itu lebih bersih
pikirannya dan tentulah akan lebih murni kesetyaannya"
Dipa tertegun dalam kemenungan.
"Akupun telah menerima titah baginda untuk mengirimkan
bulu bekti berupa beberapa prajurit utama yang akan
dijadikan prajurit bhayangkara keraton Tikta Sripala"
"O" kembali Dipa hanya mendesah. Hanya kali ini
desahannya bernada kejut karena ia dapat mengaitkan
hubungan antara kata2 sang Rani dengan dirinya.
"Betapapun baginda Jayanagara itu adalah saudaraku,
walaupun lain ibunda" kata Rani Kahuripan "akupun ikut
perihatin pula atas kesulitan dan keresahan hatinya. Dan yang
terutama, aku menginginkan negara Majapahit pusaka
peninggalan ayahanda baginda itu, dapat tegak berdiri dengan
sejahtera sebagai pusat pengayoman seluruh kawula
nuswantara" "Untuk melaksanakan suatu pimpinan yang tenang dan
bijaksana, yang penting lingkungan keadaan baginda itu harus
aman dan kokoh. Dan pengamanan itu memelukan suatu
pengawal prajurit yang terpercaya dalam kesetyaannya. Atas
dasar pemikiran itulah maka akupun akan memenuhi titah
baginda. Dan sebagai bulu-bekti Kahuripan, Aku akan
mengantarkan beberapa prajurit bhayangkara Kahuripan ke
Majapahit" Alasan yang dikemukakan Rani itu memang tepat. Dan Dipa
pun hanya dapat menyeyogyalan pengiaan.
"Dipa, sesungguhnya berat nian hatiku untuk memilih
engkau sebagai salah satu dari lima orang bhayangkaraku
yang hendak kuhaturkan ke Majapahit" kata Rani Kahuripan
dengan nada pelahan "namun rasa itu harus diendapkan
dengan rasa wajib kepada raja. Aku harus mendahulukan
kepentingan negara daripada kepentingan peribadi"
Walaupun samar2 Dipa sudah dapat menduga ke arah
mana ucapan sang Rani itu akan menuju, namun ketika
mendengar kata2 Rani yang menjelaskan keputusannya, Dipa
pun agak terkejut juga. "Duh sang Rani yang hamba muliakan" seru Dipa tergugugugu "tidakkah paduka akan kecewa menjatuhkan pilihan atas
diri hamba?" "Aku harus percaya kepada perasaanku, Dipa"
"Gusti" kata Dipa pula "sesungguhnya hamba lebih senang
mengabdi di keraton Kahuripan"
Rani Kahuripan menghela napas kecil "Dipa telah kukatakan
bahwa segala perasaan dan kepentingan peribadi akan hapus
apabila menjelang kepentingan negara. Bukan soal senang
atau tak senang, Dipa. Bukan pula soal setuju atau tidak
setuju. Tetapi kepentingan negara menghendaki kepatuhan
yang murni, lepas dari segala ikatan apapun"
"Tetapi gusti" masih Dipa memberanikan diri untuk
mengunjuk kata "hamba merasa tidak sesuai menerima tugas
itu. Hamba seorang prajurit tiada ternama. Pengetahuan
terbatas dan pengalaman pun terpancang pada umur hamba
yang masih muda. Hamba kuatir tak dapat menunaikan
kepercayaan paduka, gusti Rani"
"Dipa" kata Rani Kahuripan "seseorang yang menganggap
dirinya masih banyak kekurangan, memang baik. Mengunjuk
bahwa orang itu tidak sombong, amat berhati-hati dan jujur.
Tetapi hendaknya, perasaan rendah hati itu jangan benar2
akan menjadi penyakit yang menghinggapi dirinya. Menjadikan
dia seorang yang takut dan kuatir lalu kehilangan kepercayaan
pada dirinya. Dan memang penilaian atas kecakapan serta
kemampuan seseorang itu bukanlah dirinya yang menentukan
tetapi orang lain" "Dipa" Rani Kahuripan melanjutkan pula "engkau seorang
taruna yang jujur, bersahaja, setya dan bertanggungjawab.
Selain itu kulihat engkaupun masih memiliki daya kewibawaan
yang tersembunyi. Aku tak dapat mengatakan daya
kewibawaan bagaimana yang terdapat pada dirimu. Kelak
engkau tentu akan tahu apabila engkau dapat mengembangkan daya itu seluas luasnya, Dipa" kata Rani
dengan nada makin tegas "Kahuripan hanya bagian kecil dari
kerajaan Majapahit yang besar. Pusat pemerintahan Majapahit
berada di pura Tikta-Sripala. Di sanalah Dipa, engkau akan
menemui suatu pusat pemerintahan yang luas dan meriah.
Luas dengan hubungan ke luar daerah bahkan ke negara2
atas angin. Meriah dengan pengalaman berbagai jenis
manusia dan peristiwa. Dengan berada di pura kerajaan,
engkau akan memperoleh kesempatan luas untuk mengembangkan dirimu."
"Gusti ......." terketuk hati nurani Dipa serta mendengar
ucapan sang Rani. Memang sudah menjadi idam-idaman citacitanya untuk mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Dan pura
Tikta Sripala memang merupakan jantung dari pemerintahan
Majapahit. "Apa katamu sekarang Dipa?" tegur Rani Kahuripan
"apakah masih ada sesuatu perasaan yang menyamarkan
hatimu?" "Gusti" sembah Dipa "hamba tetap ingin berpegang teguh
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada sumpah prajurit. Apapun yang paduka titahkan, pasti
akan hamba laksanakan"
"Masih terdapat perasaan2 yang membayangi hatimu?"
Rani Kahuripan menegas. "Sabda paduka, berkenan memberikan suatu pelita yang
menerangi hati hamba, menghapus segala bayang2 kekuatiran
dan kecemasan hamba" sahut Dipa.
Rani Kahuripan tertawa "Bagus, Dipa, semoga engkau
dapat menjalankan tugasmu dengan baik"
Demikian salah satu cara dari Rani Kahuripan untuk
mengatasi suatu persoalan. Walaupun ia dapat mengeluarkan
titah yang tentu dilakukan oleh sebawahannya, namun ia
sering menggunakan cara2 mengetuk perasaan, untuk
membuat orang itu benar2 menyadari dan bertanggungjawab
akan tugas yang dilakukannya.
Rani Kahuripan menitahkan supaya Dipa bersiap-siap dan
dalam tiga hari lagi berangkat ke pura Majapahit.
Malam itu ia diundang patih Arya Tanding untuk bercakapcakap di gedung kepatihan. Suatu hal yang memang
diinginkan Dipa karena ia membutuhkan beberapa
pengetahuan tentang keadaan pura Tikta Sripala yang masih
asing baginya. "Dipa" kata ki patih Tanding "aku ikut gembira bahwa gusti
Rani telah menunjuk engkau sebagai prajurit pilihan Kahuripan
yang akan dipersembahkan sebagai bhayangkara penjaga
keraton Tikta-Sripala"
Dipa mengiakan dalam nada sekat. Kemudian ia memohon
petunjuk tentang keadaan pura kerajaan itu.
"Memang yang dikatakan gusti Rani, suatu kenyataan yang
berlangsung di pura Tikta-Sripala" kata patih Kahuripan itu
"dan tindakan baginda untuk mengganti pasukan bhayangkara
keraton itu suatu pengakuan tentang kebenarannya hal itu.
Bahwa di dalam lingkungan pura kerajaan memang terdapat
beberapa golongan yang saling bertentangan"
"Baginda telah mencanangkan cara Gitik-pentung, mengapa
tak melakukan tindakan yang keras untuk memberantas
keadaan itu?" tanya Dipa.
Arya Tanding menghela napas kecil "Ah, memang
demikianlah hendaknya dan memang demikianlah pula kiranya
keinginan baginda. Tetapi ketahuilah Dipa. Musuh2 dalam
selimut yang hidup di lingkungan pura kerajaan itu amat
berhati-hati sekali dan sukar untuk diketahui lawan.
Kebanyakan mereka merupakan golongan golongan mentri
dan penguasa pemerintahan yang berkedudukan tinggi.
Bahkan yang terdekat dengan baginda sendiri. Tetapi
sedemikian halus mereka menyelubungi diri dengan selimut,
sehingga sukar untuk diketahui"
"Gusti, adakah setelah jatuhnya gusti patih amangkubumi
Nambi dan beberapa gusti mentri2 kerajaan, musuh2 dalam
selimut itu akan hapus atau paling tidak akan berkurang
jumlahnya?" "Ah, rasanya selama baginda Jayanagara masih duduk di
singgasana kerajaan, musuh2 itu tak akan hapus. Mahapatih
Nambi dibinasakan tetapi tetap akan timbul golongan baru
yang akan terjun ke dalam air keruh yang menggenangi
keraton Majapahit" "Jika demikian, gusti" kata Dipa "berat nian tugas yang
hamba sanggul nanti. Tidakkah hamba harus berkecil hati
menghadapi ancaman2 itu?"
"Tidak, Dipa" kata patih Tanding dengan nada mantap
"bekal utama bagi prajurit yang mengabdi kepada negara
yalah sifat Satya bhakti aprabu. Yalah memiliki rasa setya dan
ikhlas kepada raja dan negara. Sifat ini harus engkau
kembangkan dengan beberapa sifat lain yang berpangkal pada
keikhlasan, bertolak dari kejujuran dan berpijak pada
kebenaran. Apabila engkau sudah menghayati dan
melaksanakan sifat2 itu, relakanlah segenap jiwa ragamu
apabila engkau harus menentang maut menghadapi bahaya.
Jangan engkau ragu2 dan samar2 lagi ..."
Serta merta Dipa pun menghaturkan terima kasih atas
nasehat patih Kahuripan itu. Bekal itu terasa lebih berharga
daripada bekal2 yang berwujut benda.
"Gusti, maaf, sekiranya hamba terlalu banyak mempersembahkan pertanyaan kepada paduka. Tetapi hamba
memang merasa masih seperti tertutup kabut akan keadaan
yang sebenarnya dalam pura kerajaan itu walaupun paduka
telah berbanyak mengenankan petunjuk kepada hamba"
"Tanyakanlah, Dipa" kata patih Arya Tanding "malu
bertanya, sesat dijalan. Demikian ibarat orang yang
menempuh perjalanan. Apabila dia malu dan merasa telah
mengetahui akan hal yang sebenarnya tak tahu, dia akan
sesat dijalan" "Siapakah golongan2 yang saling bertentangan itu" Dan di
antara golongan2 itu, mana-manakah yang memusuhi baginda
raja?" "Pertanyaan yang baik--seru patih A rya Tanding" sepanjang
pengamatan dan penyelidikan yang kuhimpun selama berada
di pura kerajaan, memang tak terbilang jumlahnya golongan2
yang saling bermusuhan itu. Demikian juga yang tak menyukai
baginda. Tetapi yang terasa dalam pengamatan dan
pengenalan dapat digolongkan menjadi Sapta Graha atau
tujuh golongan" "O" desuh Dipa menyibak kejut "siapa-siapa-kah golongan
Sapta Graha itu, gusti?"
"Kesatu, golongan yang mendukung baginda Jayanagara
dengan ratu Indreswari sebagai Sumber kekuatannya. Kedua,
Dharmaputera ...." "Dharmaputera?" di luar kesadaran Dipa telah berseru
menukas. Tetapi secepat itu pula ia menyadari bahwa
menukas pembicaraan orang, terutama orang yang lebih tinggi
kedudukannya, suatu perbuatan yang kurang tata "maaf, gusti
...." buru2 iapun segera memohon maaf atas kelancangan
mulut itu. "Tak apa, Dipa" kata patih Tanding yang sabar
"keherananmu itu memang dapat dimengerti. Bukankah
engkau hendak mengatakan bahwa Dharmaputera itu orang2
kepercayaan yang diangkat baginda sendiri" Mengapa mereka
membentuk diri dalam sebuah golongan tersendiri?"
"Demikianlah, gusti" kata Dipa.
"Memang Dharmaputera terdiri dari beberapa rakryan yang
cerdik, luas pengalaman dan licin siasatnya. Merekapun
berpengaruh dan mendapat kepercayaan penuh dari baginda.
Tetapi dalam hati mereka tak menyukai duduknya baginda
Jayanagara di atas tahta singgasana Majapahit"
"O" desuh Dipa.
"Yang ketiga, golongan patih Aluyuda. Cerdik, licin, pandai
mengambil muka baginda. Dia lebih cenderung mendukung
baginda daripada menentangnya. Karena dia berhasil
mendapat tempat yang dekat di hati baginda. Tujuannya yang
utama yalah untuk kepentingan peribadi, memburu kedudukan
dan mengincar jabatan patih mangkubumi"
"Keempat, golongan mahapatih Nambi yang telah gugur di
Lumajang. Mereka terdiri dari para mentri tua bekas kadehan
rahyang ramuhun Kertarajasa. Mereka hendak mempertahankan kedudukan demi menjaga tegaknya
kerajaan Majapahit. Kerajaan yang mereka ikut mengucurkan
keringat dan mencurahkan pikiran untuk membangunnya"
"Kelima, perhimpunan Gajah Kencana yang terdiri dari
putera2 para kadehan rahyang ramuhun Kertarajasa. Mereka
hendak melanjutkan perjuangan ayahnya untuk menjaga
kelangsungan dan kewibawaan kerajaan Majapahit dari
gangguan musuh" "Oh" diam2 Dipa mendesuh dalam hati. Kiranya perjuangan
dari paman Anuraga dalam persekutuan Gajah Kencana itu
telah dikenal orang. Dari kalangan mentri narapraja sampai
pada lapisan rakyat terbawah.
"Dan keenam, golongan musuh kerajaan Majapahit yakni
pejuang2 dari Daha. Merekapun terdiri dari putera2 keturunan
senopati Daha. Membentuk diri dalam sebuah himpunan yang
dinamakan Wukir Polaman dan hendak melakukan balas
dendam kepada Majapahit dan keturunan raden Wijaya karena
mereka menganggap raden Wijaya telah mencelakai kerajaan
Daha dengan tipu muslihat dan penghianatan"
Juga tentang himpunan Wukir Polaman itu, Dipa pun sudah
memiliki pengetahuan. "Yang ketujuh, terdiri dari beberapa golongan. Antara lain
golongan pemuda2 agama Syiwa, Buda dan Tantrayana, yang
bersaing untuk mengembangkan pengaruh di dalam kerajaan.
Demikian juga terdapat golongan lain yang tiada tujuan
tertentu kecuali hendak mencari keuntungan. Mereka yalah
golongan yang selalu memancing di air keruh manakala timbul
kesempatan yang baik ...."
"Demikian lebih kurang gambaran keadaan yang
berlangsung dalam lingkungan pura kerajaan" patih Tanding
mengakhiri keterangannya "dalam hal itu sudah tentu diri
baginda merupakan sasaran utama dari mereka. Oleh
karenanya, keselamatan baginda pun tak dapat dikatakan
tenang. Kelak tugas menjaga keselamatan baginda itu akan
terletak di bahumu, Dipa"
Langkah Dipa tertatih-tatih ketika ia mohon diri kepada
patih Tanding. Dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia
merasakan langkahnya amat sarat. Apabila tadi ia pergi
menghadap ke keraton dengan pikiran tak tenang dan hati
berdebar, adalah saat itu ia pulang dengan pikiran yang berat
dan hati yang perihatin. Penunjukan Rani Kahuripan kepadanya sebagai prajurit
yang dicalonkan menjadi anggota bhayangkara keraton TiktaSripala, memang merupakan lembaran baru dari sejarah
kehidupannya. Lembaran baru yang merupakan awal dari
permulaan yang akan mengantarkannya ke pintu gerbang
sebuah alam dunia yang luas.
Tak pernah ia mimpikan bahwa cita-citanya akan mendapat
restu dewata. Impiannya akan menjadi kenyataan. Bahkan tak
pernah pula ia berani mengharap bahwa kenyataan yang
menjelang di hadapannya itu akan secepat itu tibanya. Pada
hal ia merasa bahwa persiapan2 dalam dirinya untuk
menyambut peristiwa2 itu, belumlah sempurna. Peristiwa tiba
lebih cepat dari persiapan penyambutannya.
Adakah ia harus bergirang karena hal itu"
Ah, tak berani ia menyatakan perasaan hatinya. Apabila ia
harus bergirang, kegirangan itupun diliputi oleh rasa perihatin.
Perihatin atas tugas penting yang akan diletakkan di atas
bahunya. Menjaga dan melindungi baginda Jayanagara, raja
yang memerintah kerajaan Majapahit.
Namun betapapun ia hendak menekan, rasa gembira itu
bagaikan aliran arus yang kuat, meluap, merangsang dan
kemudian memancar ke luar bagaikan letusan gunung berapi.
Letusan itu menggema, memuntahkan batu dan pasir,
bertebaran jauh ke empat penjuru. Perasaan Dipa seolah-olah
ikut melayang dan ikut bertebaran jatuh ke bumi, ah, desa
Madan Teda .... Seketika ia merasa kembali menjadi si Gajah anak gembala
pida buyut Madan-Teda pula. Betapa jerih payahnya ia harus
menggembalakan kambing dan menjaga keselamatan
binatang itu. Kemudian sesaat ia merasa seperti Dipa si
pemuda kecil yang sedang mandi di telaga bersama. Indu
gadis cilik, cucu demang Suryanata. Kemudian ia merasa
seperti Dipa si kelana yang sudah sebatang kara.
Ia merasa kesemua peristiwa yang dialaminya itu seperti
baru saja terjadi kemarin hari. Begitu segar dan jelas
peristiwa2 itu terbayang di pelupuknya. Dan timbullah suatu
rasa keheranan dalam hatinya. Mengapa dalam peristiwa yang
dialaminya itu selalu ia menjadi orang yang mengharuskan diri
bertanggungjawab untuk menjaga keselamatan orang. Adakah
memang suratan nasibnya menjadikan dia seorang yang harus
bertanggungjawab akan keselamatan lain orang".
Malam sunyi dan gelap ketika Dipa sedang ayunkan langkah
pulang ke pondoknya. Namun ia tak menghiraukan keadaan
sekelilingnya. Pikirannya terbang jauh melayang pada kissah
hidupnya yang lampau. Sekonyong-konyong ia terkejut ketika segumpal daging
lunak yang dingin menjamah bahunya. Bagaikan tersengat
kala, ia melonjak dan berteriak kejut.
"Hai, siapa ....... !"
0oodw-kz:mchoo0 JILID 25 I KEJUT merupakan getar perasaan hati. Sesuatu yang tak
terduga-duga, mudah menimbulkan rasa kejut. Pada galibnya, rasa kejut itu
suatu pantulan dari sesuatu
yang pernah kita dengar dan
lihat pada masa lalu. Iblis dan setan yang seram,
tinggal di tempat gelap, di tanah
kuburan. Demikian kata para
orang tua. Halilintar kuasa menghancurkan pohon besar dan bangunan
gedung. Demikian yang kita saksikan setiap akibat yang
ditimbulkan halilintar. Mendengar dan menyaksikan hal-hal yang menimbulkan
rasa seram dan takut itulah yang melahirkan bintik-bintik
kesan. Kesan yang akan meluap rasa kejut manakala kita
menghadapi hal serupa. Kemarin, hari ini, besok dan hari-hari
yang mendatang. Mungkin sampai akhir hayat, kita akan memelihara rasa
takut dan kejut, manakala kita tak berusaha untuk mengikis.
Dan usaha itu sesungguhnya sudah berada pada kita. Yalah
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada pengertian yang kita miliki.
Bagaimana kita merasa kejut, takut dan seram apabila kita
belum pernah menyaksikan bayang-bayang hitam dari
makhluk halus yang tergolong bangsa setan iblis dan lelembut.
Bahwa apa yang kita takutkan itu hanya sekedar dari kesan
cerita para orangtua" Dan apabila benar-benar makhluk itu
ada, benarkah mereka akan mengganggu dan mencelakai
kita" Siapa yang harus terkejut takut, mereka atau kita"
Siapa yang harus takut, tergantung pada siapa yang lebih
bersih pikiran dan lebih suci batinnya. Hanya manusia yang
berhati gelap dan kotor serta berbatin jahatlah yang akan
tunduk pada kekuasaan makhluk-makhluk halus itu. Mereka
takut kepada ying bersifit putih suci.
Manakala pengertian itu telah kita hayati, akan hilanglah
segala bayang-bayang yang kita bayangkan seperti yang
pernah kita dengar dari cerita oraug tentang hantu, iblis dan
setan. Batin yang telah mengendap, akan menghilangkan
bintik2 kejut dan kecemasan.
Bahwa kedahsyatan halilintar itu kuasa untuk menghancurkan segala apa. Itulah yang kita saksikan pada
waktu yang lalu. Lalu timbullah rasa ngeri dan ketakutan
dalam hati kita. Rasa ngeri dan takut itu sesungguhnya tak
terlepas dari kaitan tentangan rasa itu. Takut dan ngeri
melihat malapetaka yang ditimbulkan halilintar. Tentangan
atau lawan dari malapetaka yalah kesenangan, kebahagiaan.
Sedemikian besar kita mendambakan kesenangan sehingga
sesuatu yang merusak kesenangan itu, akan menimbulkan
rasa kejut dan cemas dalam hati kita.
Sebenarnya entah sudah berapa kali kita pernah
mendengar suara halilintar meletus dahsyat. Dan telah kita
ketahui pula bahwa pada hari hujan halilintar pun akan
menyala. Tetapi setiap ka!i kita mendengar halilintar meletup,
setiap kali itu pula kita terkejut dan takut. Dan rasa takut itu
timbul karena membayangkan kecemasan sesuatu yang
merusak kesenangan kita. Perasaan ngeri atau seram dapat
merusak kesenangan atau perasaan senang.
Apabila kita telah menempati tingkat pemikiran bahwa
senang dan cemas itu hanya tergantung pada perasaan hati
kiia sendiri, maka dapatlah pula kita berteduh dalam
keheningan. Keheningan pikiran yang bebas dari rasa takut,
kejut, cemas, senang, gembira dan segala bentuk perasaan.
Cerahkanhh hati kita secerah sinar surya. Putih-kanlah
pikiran kita seputih cahaya bulan purnama. Endap!an perasaan
kita sejernih air dari tujuh lapis saringan. Hampakanlah batin
sehampa cakrawala. Setenang buana raya, sedamai pula
buana alit jagad kita. Demikian yang dialami Dipa di kala berjalan di tengah
gerumbul pohon, sehabis menghadap Rani Kahuripan. Pikiran
dan hatinya berkecamuk rasa kesenangan membayangkan masa depan yang gemilang.
karena Bahwa tiba-tiba sebuah tangan berjari halus menjamah
bahunya, walaupun lembut sentuhan itu, namun telah
mengganggu bayang-bayang kebahagiaan hatinya. Kejut
meluap dari rasa cemas dan takut bahwa bayang-bayang
kebahagiaannya itu akan hancur. Kecemasan telah
mendahului timbul sebelum ia mengetahui jelas siapa dan
bagaimana maksud sentuhan itu terhadap dirinya.
"Engkau .......... !" sesaat menatapkan mata, tahulah Dipa
siapa yang menyentuhnya itu.
Terdengar suara tertawa lembut "Engkau terkejut, kakang?"
"Ah, kukira bahuku dipagut ular." Dipa tertawa untuk
melonggarkan cengkam hatinya.
"Maaf " orang itu mendesah lirih.
"Puranti, mengapa engkau berada di sini pada waktu
semalam ini" " kata Dipa kepada orang itu atau Puranti, puteri
demang Saroyo, kepala keamanan pura Kahuripan.
"Aku menunggu engkau, kakang" kata dara itu lembut.
Dipa terkesiap. Sejak ia diangkat menjadi prajurit penjaga
keraton Kahuripan, karena kesibukan tugas, jarang ia
bertandang ke rumah demang Saroyo. Tetapi di mata keluarga
demang Saroyo, kedudukan anakmuda itu naik dan mendapat
perindahan. "Menunggu aku, Puranti?" Dipa menegas setengah kurang
percaya "apakah ada sesuatu yang penting?"
Rara Puranti, puteri demang yang cantik dan halus pekerti
itu, agak tersinggung, "Apakah yang kakang anggap penting
itu?" Dipa terkesiap, menatap dara itu "Apakah terjadi sesuatu
yang mengganggu keamanan kademangan?"
"Itukah yang kakang golongkan penting ?" kata Puranti
dengan agak sedu. Dipa terbeliak. Dalam kilatan sinar rembulan yang
menyusup di celah2 daun pohon, ia melihat suatu perobahan
pada wajah dara itu. Bola matanya seperti berlinang kabut
airmata. Dipa terkejut. Ia hendak membuka mulut tetapi sudah
mendahului menghela napas, "Ah, memang demikianlah
kiranya seorang prajurit. Tiada yang lebih penting daripada
tugas ...." Dipa makin terkesiap. Kemudian ia berusaha untuk
menelusuri lorong pikiran dara itu, mencari apakah yang
sesungguhnya tersembunyi di balik ucapannya.
Dalam memperhatikan setiap pengalaman yang dialaminya,
Dipa mendapat pengalaman yang cukup berharga. Setiap
orang yang dihadapinya, tidaklah sama satu dengan lain.
Langgam bicara, alam pikiran dan watak perangainya.
Pengamatan yang berlambar perhatian, membuahkan
pengetahuan yang tak ternilai. Dipa dapat menyesuaikan diri
dalam menghadapi setiap orang.
Dengan Puranti, iapun tahu bagaimana cara
berbicara. Sekalipun demikian masih banyak kala ia
tertegun dalam hati karena tertumbuk akan hal-hal
masih belum dapat diketahuinya dari sikap, nada dan
perobahan cahaya muka dara itu.
untuk harus yang gerak Dipa tertawa "Ah, sekira masih ada yang lebih penting dari
hal itu, sukalah engkau memberi tahu kepadaku"
"Aku" " seru Puranti. Dipa mengangguk.
"Aneh engkau kakang" gumam dara itu "setiap peribadi
tentu mempunyai alasan sendiri untuk meniti persoalan yang
penting pada dirinya"
"Aku masih belum faham, apakah yang engkau hendak
maksudkan, Puranti" kata Dipa.
Puranti menghela napas "Kakang Dipa, bukanlah aku
bermaksud hendak menentang tugas bagi seorang prajurit
merupakan suatu kewajiban yang mutlak. Melainkan timbul
rasa keheranan dalam hatiku, mengapa kakang tampak selalu
sibuk dalam genangan tugas dan pekerjaan. Bukankah baru
beberapa waktu saja kakang kembali melakukan tugas ke pura
Majapahit?" "Benar" kata Dipa.
"Dan bukankah kakang mendapat tugas pula dari gusti
Rani?" tanya Puranti.
Dipa mengangguk, "Benar"
"Tugas penting pula?"
"Bukan penting atau tak pentinglah yang menjadi pegangan
bagi seorang prajurit melakukan tugas itu. Tetapi tugas adalah
tugas, suatu wajib bagi prajurit"
"Adalah prajurit itu bukan seorang manusia yang memiliki
pendirian sendiri ?"
"Maaf, Puranti, aku telah terlanjur mengabdikan jiwa ragaku
kepada negara. Kupandang bidang keprajuritan itu merupakan
suatu sarana untuk mencapai cita-cita hidupku. Watak seorang
prajurit itu setya kepada negara, rakyat dan tugas."
"Adakah perjalanan hidupmu hanya terisi oleh tugas dan
kewajiban belaka?" "Puranti" jawab Dipa "perjalanan seorang prajurit tak kenal
berhenti dari tugas dan kewajiban. Aku telah menyadari hal itu
dan telah memilih jalan hidup demikian."
Puranti terdiam. "Ya, benar kakang. Betapa mulia pendirianmu itu. Betapa
bahagia Kahuripan memiliki seorang prajurit seperti engkau.
Kudoakan kakang, engkau dapat mencapai cita-cita hidupmu
..." Dipa terkejut demi mendengar isak yang menyertai katakata terakhir dari puteri demang itu. "Puranti, mengapa
engkau menangis?" Puranti cepat berpaling muka, mengusap air matanya lalu
berpaling ke muka pula "Sudahlah, kakang, jangan hiraukan
diriku ..." Dipa makin heran dan tanpa disadari iapun menjamah bahu
dara itu, "Puranti, mengapa engkau mengucurkan airmata"
Katakanlah Puranti kesalahanku, aku bersedia meminta maaf
kepadamu......" Puranti berusaha untuk menguasai diri namun tak kuasa
pula ia menahan airmatanya yang berderai-derai mengalir
membasahi pipinya. Dan Dipa pun makin gelisah.
"Mengapa Puranti, katakanlah" bujuk Dipa.
Setelah menenangkan perasaannya, berkatalah Puranti
"Tak apa2, kakang" ia beringsut melepaskan diri dari tangan
Dipa "aku hanya menangisi nasibku sendiri"
"Nasibmu" Mengapa?" Dipa makin terkejut "adakah sesuatu
yang menimpa pada keluarga demang ataupun pada dirimu?"
"Aku malu mengatakan kepadamu, kakang"
"Mengapa ?" "Karena aku kuatir membebani pikiranmu."
"Ah, Puranti" desah Dipa "bilakah engkau memiliki
prasangka semacam itu" Apakah Dipa tak menyediakan diri
untuk melakukan perintahmu" Dulu, sekarang dan kelak,
takkan Dipa ingkar kepadamu."
"Kakang.....! Puranti menjerit dan mendekap mukanya. Ia
menangis terisak-isak. Bahkan lebih sedu-dari tadi.
Dipa terkejut dan heran sekali. Apakah yang menyebabkan
puteri demang Saroyo bersikap sedemikian aneh" Tentu ada
sesuatu yang terjadi pada diri dara itu. Namun betapa ia
berusaha untuk menjangkau lapisan kabut yang menyelubungi
diri anak gadis itu, pun tetap tak bersua pada titik cahaya
yang terang. "Puranti" akhirnya Dipa menjantankan nada suaranya. Sikap
dan perasaannya sebagai seorang anak laki serentak bangkit
demi melindungi seorang anak puteri "janganlah menangis.
Mari kita bicara dengan dada lapang. Tiada kesulitan akan
lenyap karena tangis. Setiap kesulitan harus kita hadapi dan
pecahkan .........."
Rupanya Puranti dapat disadarkan hatinya. Namun setelah
berhenti menangis, kata-kata yang pertama meluncur dari
bibirnya bernadakan suatu penyesalan "Kakang, jangan
engkau menusuk hatiku makin parah"
"Aku menusuk hatimu?" Dipa terbelalak "dalam hal apakah
aku melakukan sesuatu yang menyakiti hatimu, Puranti?"
Puranti geleng-geleng kepala "Engkau amat baik sekali
kepadaku. Dan kebaikan itulah yang kurasakan seperti kuntum
bunga yang terpetik dari tangkainya. Tangkai itu mengalirkan
getah yang perih dan pahit ....".
"Puranti, aneh, ya, aneh benar sikap dan kata-katamu
malam ini" Dipa menumpah keheranan "telah kukatakan
Puranti, setiap kesulitan janganlah engkau pendam di dalam
hati ataupun coba hindari. Jangan melarikan diri dari
kenyataan." "Ya, benar kakang" kata Puranti "justeru karena kenyataan
itulah yang menikam uluhatiku."
Dipa menyalang pandang. "Kenyataan bahwa engkau amat baik kepadaku, kenyataan
bahwa engkau selalu melakukan apapun yang kukehendaki,
itulah yang membuat hatiku sekarang didera nestapa"
"Puranti, mengapa engkau berkata demikian?"
"Apabila engkau membenci diriku, apabila engkau bersikap
kasar kepadaku dan apabila engkau enggan melakukan
permintaanku, alangkah baiknya. Aku takkan menderita
seperti saat ini" kata Puranti seperti seorang yang tengah
mengata-ngatai orang yang bersalah "tetapi mengapa engkau
tidak demikian kakang" Oh, kakang Dipa, mengapa engkau
sebaik itu kepadaku?"
Dipa seperti di sengat lebah "Puranti, salahkah aku bersikap
baik kepadamu?" "Mengapa engkau harus bersikap baik kepadaku?" Puranti
balas bertanya. "Karena ....... karena engkau baik kepadaku ...."
"O, hanya karena engkau hendak membalas sikapku saja"
Tidakkah terbetik suatu perasaan dari alam batinmu kepada
diriku?" "Puranti ..." Dipa berseru tak lanjut. Dan ia-pun segera
tundukkan kepala. Puteri demang itu memandang Dipa dengan penuh
penghayatan. Kabut-kabut dalam pikirannya mulai tersiak dan
memancarlah cahaya terang mengenang. Mengenangkan
peristiwa suatu malam di kala rembulan bersinar ...
Saat itu lapisan awan di cakrawala malam tampak berarakarak melepaskan dari himpunan. Mereka hendak melanjutkan
perkelanaannya menjelajah angkasa raya. Dan bulanpun mulai
menyembul dari peraduannya.
"Kakang" sesaat kemudian Puranti berbisik "tidakkah
pernah kakang teringat akan saat seperti malam ini?"
Dipa pelahan-lahan mengangkat muka.
"Malam melabuhkan pikiran pada p antai keheningan. Bulan
selalu menimbulkan kenangan, manis atau pahit" kata Dipa
yang tampaknya terhanyut perasaannya.
"Di antara beribu kenangan malam berbulan, tidaklah
engkau ingat pula, akan suatu malam kita berdua dalam
taman belakang rumah kediamanku?"
Dipa terkesiap "Ya, tak pernah kulupakan malam yang
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
indah itu" "Tidakkah engkau menginginkan akan kehadiran malam
seindah itu pula, kakang Dipa?"
Dipa tertegun, memandang Puranti "apa yang engkau
maksudkan?" Sesungguhnya Puranti seorang puteri yang berbudi lembut
dan halus perasaannya. Namun berulang kali manakala
berhadapan dengan Dipa, ia mendapat kesan bahwa pemuda
itu pemalu dan masih diselubungi oleh rasa rendah diri. Oleh
karenanya, setiap kali terpaksa ialah yang harus merintis
pertanyaan, melapangkan jalan percakapan. Demikian pula
pada saat itu. "Apakah engkau tak ingin supaya kita tetap berdua selalu
dalam menikmati malam-malam yang indah?"
"O" Dipa mendesuh dan menyadari apa yang dihadapkan
kepadanya "sudah tentu aku mengharapkan, Puranti"
Puranti tertawa hambar. "Hanya terbatas mengharap?" tanyanya.
"Berharap itu suatu pancaran dari keinginan hati" sahut
Dipa. "Tetapi bukan suatu kepastian apabila tak disertai oleh
usaha untuk mewujutkan harapan itu"
Dipa gelengkan kepala "Dapatkah kita berusaha
mendapatkan hujan kecuali hanya mengharap saja?"
"Untuk apa engkau mengharap hujan" Bukankah engkau
memerlukan air" Mengapa engkau tak berusaha untuk
menggali sumur. Bukankah bumi itu merupakan sumber air
yang tiada taranya?"
"Ah ......." Dipa mendesah. Ia dapat menerima sanggahan
Puranti. "Engkau hanya berharap agar malam indah dapat kita
nikmati berdua" kata Puranti pula "tetapi engkau tak berusaha
ke arah itu. Engkau lebih banyak mencurahkan perhatian dan
tenaga untuk menunaikan tugas-tugas keprajuritanmu.
Dapatkah malam indah itu tiba dari langit tanpa kita berusaha
untuk mendapatkannya?"
"Ah, Puranti, apa daya seorang prajurit kecil semacam
diriku?" Puranti menatap Dipa makin tajam "Putus asa merupakan
penghambat cita-cita. Dan putus asa itu pula merupakan
tanda kelemahan jiwa. Engkau seorang prajurit, kakang. Dan
prajurit itu seorang jantan. Pantang bagi seorang prajurit
untuk berputus asa, sepantang itu pula ia berjiwa lemah.
Sudahkah engkau berusaha untuk mewujutkan harapanmu
itu?" Dipa menunduk kepala, menghindari pandangan Puranti.
"Kakang" kata Puranti pula "bersediakah engkau berusaha
apabila engkau mendapat kesempatan?"
Dipa mengangkat muka pelahan-lahan "Katakanlah Puranti,
aku bersedia mendengarkan."
Puranti beringsut mengemasi duduknya pada akar sebatang
pohon yang tumbuh di tepi jalan. Sesaat kemudian ia mulai
berkata "Engkau tentu heran mengapa aku menanti engkau di
tempat dan saat seperti malam ini"
"Benar" Dipa mengiakan.
"Kiranya engkau tentu maklum bahwa tak mungkin anak
gadis seperti diriku akan ke luar pada malam sekelam ini
apabila tiada suatu urusan yang penting"
Dipa mengangguk. "Dan maklum pula kiranya engkau betapa malu yang akan
kuderita apabila langkahku ini diketahui orang"
"Ya" Dipa mengiakan.
"Rasa malu, takut dan waswas kutanggalkan semua karena
aku harus menemui engkau untuk menyampaikan sesuatu
kepadamu" "O, tentulah amat penting" seru Dipa. Puranti tersenyum
anggun "Mudah-mudahan hal itu dapat engkau anggap
penting" "Katakanlah" desak Dipa.
"Engkau tentu heran mengapa aku cepat menitikkan
airmata ketika membuka percakapan dengan engkau.
Engkaupun tentu lebih heran mengapa aku mengatakan
bahwa sikapmu yang baik kepada diriku, merupakan hal yang
mengesan kesedihan dalam hatiku"
"Ya, mengapa engkau mengatakan begitu?"
"Semakin besar kebaikanmu kepadaku, semakin besar pula
kesedihan dalam hatiku. Karena, karena ?"?"
"Puranti, mengapa engkau hentikan kata-katamu " Karena
apakah?" "Karena aku merasa berdosa kepadamu, kakang"
Dipa kerutkan dahi "Berdosa" Ah, Puranti, jangan engkau
berolok-olok sedemikian"
Tiba-tiba wajah puteri demang itu meregang kesungguhan
"Benar, kakang, aku berdosa kepadamu karena telah ingkar
janji" "Ingkar janji " Janji apakah itu, Puranti?"
"Janji yang pernah disaksikan bulan, didengar angin malam.
Bahwa aku akan selalu menanti engkau bagaikan bintang
kejora berpancang di angkasa"
"Ah ...." Dipa mendesah "dan?"
"Dan ternyata aku telah ingkar janji"
Dipa terkesiap "Engkau ...."
"Kakang Dipa" kata Puranti dengan nada terkekang. "sejak
kepergianmu melakukan tugas ke pura Majapahit, telah terjadi
sesuatu dalam keluargaku. Paman Rangga Tanding telah
berkunjung kepada ayah untuk meminang diriku. Ia sangat
berkenan dalam hati mempunyai seorang menantu sebagai
diriku agar puteranya, Jaka Damar, dapat menghentikan
kemanjaan masa mudanya dan mulai kehidupan baru sebagai
seorang pria yang mempunyai tanggungjawab."
"Ah ......" Dipa tersekat "dan ki demang tentu menerima
pinangan itu?" "Ayah adalah orang sebawahan paman Rangga Tanding
dan ayahpun tak melihat suatu alasan untuk menolak
pinangan itu" "Ya, ki demang tak dapat disesalkan. Sebagai seorang ayah,
beliau tentu bahagia apabila puterinya mendapat seorang
suami yang baik dan berpangkat."
"Jangan mencemoh, kakang" kata Puranti, "yang
berpangkat itu adalah ayahnya, paman Rangga Tanding.
Sedangkan Jaka Damar itu hanya putera seorang rangga.
Tetapi dia bukan seorang narapraja kerajaan, melainkan
seorang kawula biasa"
"Tetapi pada umumnya, seorang
menyangkut kedudukan ayahnya"
putera itu juga Puranti mengangguk "Demikianlah pada umumnya orang
menganggap. Tetapi sesungguhnya, hukum negara tak
membedakan putera seorang berpangkat dengan putera
kawula biasa. Yang berpangkat itu orang-tuanya, orang itulah
yang mendapat hak dan perlakuan selayak yang diatur oleh
tata keprajaan negara."
Dipa mengangguk "Ya, ki demang tentu berbahagia"
"Kakang" tiba-tiba suara Puranti berobah tegang, "tidakkah
engkau bertanya kepadaku bagaimana perasaan hatiku atas
peristiwa peminangan itu?"
Dipa tersenyum "Kurasa engkaupun tentu berbahagia pula
...." "Kakang !" teriak Puranti "engkau .... engkau sampai hati
mengatakan begitu kepadaku?"
Dipa tertegun dalam kemanguan.
"Kakang, aku tetap setya dalam penantian" kata Puranti
lebih lanjut "manakala kakang benar-benar mau menolong"
Dipa terkesiap "Menolong?"
Puranti menatap bulat "Benar, kakang. Malam itu sesuai
dengan apa yang kukatakan tadi. Bahwa berusaha itu jauh
lebih baik daripada mengharap"
Masih Dipa tak mengerti apa yang dimaksud puteri demang
itu. "Puranti, seperti yang kuminta tadi, marilah kila bicara
dalam alam kedewasaan. Segala kesulitan apapun, mari kita
pecahkan. Oleh karena itu maukah engkau bicara dengan
terus terang" "Baik, kakang" Puranti menyambut "dalam hal peminangan
paman Rangga Tanding itu, rama dan ibu telah setuju. Tetapi
mereka tak mengerti betapa hancur hatiku, kakang."
Dipa diam mendengarkan. "Adakah engkau rela menyaksikan kehancuran hatiku,
kakang?" Dipa tergugu. Pikirannya resah untuk memberi jawaban.
"Kakang" tiba-tiba Puranti berkata agak meninggi
"walaupun aku seorang puteri demang tetapi tidaklah hatiku
serakah akan harta kekayaan, pangkat dan kedudukan. Tidak
pula aku mengharap seorang pelindung yang cakap rupa dan
gagah perkasa. Bukan harta dan bukan rupa yang
membahagiakan hatiku ..."
Dipa terbeliak. Ia merasa bahwa dirinya memang jauh dari
persyaratan itu. Ia seorang pemuda dari kalangan rakyat
miskin dan iapun tak memiliki wajah yang cakap.
"Tetapi kecocokan hati, kakang. membahagiakan hati seorang wanita"
Itulah yang "Tetapi Puranti, hidup dalam genangan harta dan
sanjungan pangkat, benar-benar suatu kehidupan yang
berbahagia" "Silahkan mereka yang memuja kebahagiaan dalam alam
kehidupan demikian" sahut Puranti "dan akupun tetap
menginginkan kebahagiaan menurut cita-rasaku"
Dipa mengangguk. Diam-diam ia memuji pikiran gadis itu.
"Dengan demikian engkau tak setuju akan maksud ki
demang?" tanyanya. "Benar" Puranti mengangguk "memang untuk hal itulah
maka kulupakan segala perasaan takut dan susila untuk
menemui engkau, kakang"
Dipa terkesiap, sesaat ia bertanya "Lalu
kehendakmu, Purariti"
bagaimana Tampak berombak dada dara itu. Memang itulah saat yang
dinanti-nantikan. Sekalipun demikian, di kala ia menghadapi
pertanyaan, tak lepas pula hatinya dari rasa getar ketegangan.
"Kakang, telah menjadi tekadku" katanya dengan nada
yang penuh pengekangan "untuk menetapi janji kita pada
malam itu. Bersama engkau ingin kunikmati malam-malam,
betapa indah atau gelap, cerah ataupun hujan"
"Tetapi Puranti" seru Dipa terkejut "bagaimana dengan ki
demang ?" "Bawalah aku ke manapun engkau hendak pergi, kakang
...." "Puranti!" Dipa berseru kejut.
"Kita pergi jauh, hidup tenang di pegunungan yang sunyi, di
mana malam akan lebih damai dan bulanpun lebih teduh."
"Puranti ...." "Kurela meninggalkan kemewahan hidup, aku tak
menginginkan terkungkung dalam sangkar emas sebagai
menantu patih Kahuripan. Tetapi kuingin hidup dalam alam
yang bebas bersama engkau, kakang"
"Puranti" tukas Dipa "janganlah kita diburu oleh Keinginankeinginan itu"
"Tetapi kakang, soal ini sangat penting untuk segera
diselesaikan" sanggah Puranti.
"Oleh karena itu" Dipa berkata setenang mungkin, "kita
harus berpikir yang penting dan mengambil keputusan yang
penting pula. "Baiklah, kakang" kata Puranti "cobalah engkau bentangkan
bagaimana pendapatmu."
Dipa berkemas-kemas mengendapkan pikiran ke bawah
alam kesadaran. Meniti setiap denyut yang menyumbatkan
suara hati. Kemudian menelusur ke atas, melabuhkan getar
getar suara hati itu dengan muara pikirannya. Bersatu padulah
antara hati dengan pikiran, antara keinginan dengan
kesadaran. Kemudian bcralun-alun menghempas dan akhirnya
terdampar pada pantai pengendapan.
"Puranti, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri" kata
Dipa sesaat kemudian "apakah sesungguhnya yang hendak
engkau cari?" "Kebahagiaan, kakang" sahut dara itu "kebahagiaan hidup"
"Adakah engkau merasa hidupmu sekarang ini tidak
bahagia?" "Bahagia" kata Puranti pula "tetapi sejak kunjungan paman
Rangga Tanding itu, hancurlah kebahagiaanku itu"
"Karena engkau tak ingin dipersunting Jaka Damar bukan?"
Puranti mengangguk. "Mengapa engkau tak berkenan hati dipersunting putera
patih itu" Bukankah karena takut kebahagianmu itu akan
terganggu?" "Bukan hanya kebahagiaanku tetapi kebahagiaan kita
berdua" Dipa pejamkan mata. Betapa sedu putik jantungnya
mendengar ratapan hati dara itu. Dan betapa ia ingin
membahagiakannya. "Terima kasih, Puranti, bahwa engkau memikirkan
kebahagiaanku. Karena itu wajiblah aku juga memikirkan
kebahagiaanmu ...." "O, betapa bahagia aku mendengar pernyataanmu itu,
kakang" seru Puranti.
"Benar, Puranti, akupun merasa bahagia" kata Dipa "tetapi
marilah kita bertanya kepada hati kita, benarkah kita
berbahagia dan akan berbahagia?"
"Betapa tidak, kakang"
"Ya, mudah-mudahan" kata Dipa "tetapi marilah kita
bertanya-jawab dalam hati kita secara jujur. Untuk
membahagiakan engkau, kutuluskan untuk bersama mencari
tempat yang jauh di pegunungan sunyi dan hidup dengan
tenang. Tetapi benarkah engkau akan merasa tenang selalu"
Tidakkah pada suatu ketika engkau akan gelisah karena
kerinduanmu kepada rama dan ibu" Bukankah kebahagiaanmu
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu akan terganggu manakala engkau menyadari bahwa tak
mungkin engkau akan berani bertemu pula dengan kedua
ayah bundamu" Lebih meningkat pula kesedihan hatimu
apabila engkau mengenangkan akan kasih sayang mereka
kepadamu dan keinginan hatimu untuk membalas budi kepada
o-rangtua tetapi terhalang?"
Dipa berhenti sejenak untuk mencurahkan pandang kepada
dara itu. "Tidakkah, hal itu akan menyiksa batinmu dan
menyurutkan kebahagiaan yang engkau inginkan itu?"
"Puranti" kata Dipa pula "orangtua adalah sumber sarana
kehadiran kita di dunia. Mungkin engkau tak pernah
merasakan betapa rindu dendam dari seorang anak yang haus
akan belaian kasih seorang ibu. Aku, Puranti, merasakan dan
menghayati hal itu. Sering aku mengeluh dan mengiri kepada
anak-anak yang bermanjakan kasih orangtuanya. Pada hal aku
Puranti, aku ...." Puranti terkesiap demi melihat wajah Dipa menampilkan
kepiluan dan kerinduan. Kerinduan yang tak pernah bersua
pada penampungnya. Sesaat terlintaslah dalam benak Puranti
akan kasih sayang ki dan nyi demang kepada dirinya. Sejauh
bumi dengan langit, sejauh itu pula beda Dipa dengan dirinya.
Sebagai seorang puteri demang, Puranti mendapat didikan
ilmu sastera dari seorang brahmana. Dan dari brahmana itu
pula ia meneguk berbagai ilmu falsafah hidup terutama letak
duduknya seorang anak perempuan terhadap orangtua. Katakata Dipa tadi, cepat menimbulkan gelembung dalam hati dara
itu. Gelembung yang memancarkan wejangan-wejangan sang
brahmana. Puteri demang itu dapat menyelami isi hati Dipa di saat
mengenangkan nasibnya. Segera ia menghembuskan bisikan
lembut. "Kakang Dipa, janganlah engkau bersedih. Apapun
yang telah diberikan oleh Hyang Batara Agung, harus kita
terima dengan setulus hati. Dan percayalah, kakang, aku tentu
akan membahagiakan engkau ...."
Serentak Dipapun terhentak dari kepiluan dan segera
menanggapi "Terima kasih, Puranti. Memang benar, kita harus
menerima apapun yang diberikan oleh Hyang Batara Agung,
Puranti" tiba-tiba Dipa berganti nada "benarkah engkau ingin
membahagiakan aku?" "Engkau masih meragukan hatiku ?"
"Tidak, Puranti, engkau adalah seorang puteri utama"
jawab Dipa "takkan kuragukan lagi budi pekerti dan
keperibadianmu. Oleh karena itu engkau tentu dapat meresapi
apakah sesungguhnya rasa kasih yang kita miliki itu ?"
"Kita berbahagia dan ingin membahagiakan satu sama lain"
"Benar" sahut Dipa "jadi kita mencintai ataupun
menyayangi sesuatu karena kita ingin dia berbahagia, melihat
dia bahagia kita merasa bahagia. Bukankah demikian
hendaknya suatu rasa Kasih yang sejati itu ?"
Puranti mengangguk "Benar, kakang"
"Puranti" kata Dipa memulai dengan nada yang sarat
"dengan membawa engkau lari dari Kahuripan, artinya aku
takkan membahagiakan engkau, Puranti. Engkau tentu akan
terkenang kepada rama dan ibu, engkau tentu masih
mengandung rasa dosa karena tiada berbakti kepada
orangtua. Bukan kasih sejati apabila aku membiarkan engkau
dilanda oleh ketidak bahagiaan itu, Puranti"
"Tetapi kakang" bantah Puranti "menurut ajaran guru
brahmana, seorang anak perempuan itu apabila belum
menikah, memang harus menunjukkan bhaktinya kepada
ayahbundanya. Tetapi apabila sudah dipangku oleh pria, dia
harus berbhakti kepada guru-lakinya"
"Benar" sahut Dipa "tetapi hal itu bukan berarti suatu
pilihan antara orangtua dengan suami, mana yang harus
dipilih. Memang kepada suami harus lebih hak dan wajib
mengunjukkan bhaktinya. Tetapi jangan begitu saja
menghapus bhakti kepada orangtua. Kedua-duanya harus
mendapat bhakti walaupun yang satu lebih besar dari yang
lain" Puranti terhening. "Kemudian dengan tindakan kita melarikan diri itu,
bukankah engkau takkan dapat mempersembahkan bhaktimu
kepada rama dan ibu demang" Dan ketidak dapatnya engkau
melakukan bhakti itu, bukan karena seperti keadaanku yang
sudah sebatang kara, tetapi karena engkau telah berbuat
kesalahan, mengingkari perintahnya"
"Kakang" seru Puranti tajam "dengan begitu engkau ingin
menganjurkan supaya aku menurut kehendak rama dan ibu
menjadi isteri Jaka Damar?"
"Puranti" kata Dipa menghindari pertanyaan "bukankah
tujuanmu hendak membahagiakan aku" Aku sudah bahagia
apabila engkau dapat menunaikan bhaktimu kepaja
ayahbunda dan hidup dalam lingkungan rumahtangga yang
baik." "Kakang..." "Cinta itu harus bersifat Ikhlas. Bukan cinta yang murni,
dan bukan pula suatu kasih yang agung apabila kita masih
memiliki suatu rasa pamrih untuk kesenangan diri peribadi.
Aku bahagia karena melihat engkau bahagia"
"Tetapi aku takkan bahagia, kakang !"
"Engkau harus bahagia Puranti karena melibat aku sudah
merasa bahagia itu. Jangan engkau tak bahagia karena
engkau tak mau membebaskan pikiranmu dalam belenggu
kesempitan cinta" "Kakang engkau kejam ........ !" Puranti terus menangis dan
berbangkit hendak lari. Tetapi secepat itu Dipa pun menyambar tangan si dara dan
mencegahnya "Puranti....."
Sekonyong-konyong terdengar derap langkah kaki dan pada
lain saat terdengar suara orang mendamprat "Jahanam,
engkau berani mengganggu anak perempuan"
Sesosok tubuh melayang bagai seekor harimau loncat dan
dengan buas orang itu menerkam Dipa lalu disentakkan
sekuat-kuatnya. "Uh ......" Dipa terpelanting beberapa langkah ke belakang.
Ia jatuh, untung tak membentur batang pohon yang tumbuh
hanya beberapa jengkal dari tempat ia jatuh itu.
Dan sesaat itu muncul pula seorang lain, menghampiri ke
tempat pendatang yang pertama.
"Puranta, jagalah Puranti, aku hendak menghajar bedebah
itu" seru orang yang menyerang Dipa tadi seraya maju
menghampiri ke tempat Dipa.
"Keparat, berani benar engkau mengganggu wanita yang
akan menjadi isteriku!" teriak orang itu dengan wajah merah
padam. "O, engkau Jaka Damar ...." belum Dipa menyelesaikan
kata-katanya, Jaka Damar putera Rangga Tanding sudah
loncat menerjang, menghunjamkan tinju ke dada Dipa.
Walaupun sebelah kakinya cacat namun gerakan pemuda itu
masih selincah kijang terkejut.
Dipa melonjak ke samping "Jaka Damar, berhentilah dulu"
"Kakang Damar, hajarlah dia sampai mati" teriak Puranta
"dia berani menggunakan kekerasan sehingga Puranti
pingsan" Mendengar seruan itu Dipa terkejut. Diketahuinya Puranti
menangis dan meronta seperti orang kalap. Tetapi ia tak
sempat memperhatikan bahwa dara itu telah pingsan. Cepat ia
berpaling dan memang dilihat Puranti masih rebah di
pangkuan Puranta yang tengah berusaha untuk menyadarkan.
Bluk .... Dipa melangkah hendak menghampiri ke tempat Puranti.
Pikirannya amat cemas sehingga ia seolah tak menghiraukan
tampilnya Jaka Damar ke samping dan melayangkan sebuah
pukulan yang tepat mengenai bahunya. Dipa terhuyunghuyung beberapa langkah. Namun sepatah pun ia tak
mengerang. Bahkan tak mau ia berpaling arah memandang
penyerangnya. Ia tetap lanjutkan
Puranti. langkah menghampiri Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat mencekik tengkuk Dipa
dan sesaat kemudian ia merasa seperti diangkat ke atas dan
terus dilontarkan ke dalam semak-semak, bum .......
Dipa terkejut dan menyadari bahwa dirinya telah diangkat
dan dibanting oleh Jaka Damar. Namun kesadaran itu sudah
terlambat. Saat itu ia rasakan dadanya sesak karena terbentur
tanah. Kaki dan pahanya tertusuk oleh onak sehingga
berdarah. Cepat ia hendak melonjak bangun tetapi, uh .......
mengapa bcrat sekali ia hendak mengangkat tubuh. Ia
rasakan punggungnya tertindih oleh sebuah batu karang yang
berat. Prak .... Belum sempat pula ia mengetahui apa yang terjadi,
kepalanya telah terlanda oleh sekerat kayu yang keras.
Seketika berbinar-binarlah pandang matanya. Sakitnya bukan
kepalang. Belum pula rasa sakit itu mengendap, kayu itupun
melayang pula, prak..........
Hampir tak kuasa Dipa menahan lolong erang kesakitannya.
Kepalanya makin berat, pikiranpun makin berhamburan.
Serasa benda yang di sekelilingnya berputar-putar deras dan
makin deras. "Hayo, bangunlah kalau engkau benar-benar seorang
jantan! Jaka Damar akan menghancurkan kepalamu"
Mendengar sesumbar itu, serentak melancarlah darah Dipa,
semangatnya menggelora dan kemarahannya-pun meluap.
"Puranti ....... Puranti, engkau sudah sadar?" tiba-tiba
terdengar suara Puranta memanggil-manggil nama adiknya.
"Kakang Dipa ... di mana dia ...." tidak menjawab
pertanyaan Puranta tetapi yang pertama meluncur dari mulut
dara itu yalah memanggil nama Dipa.
Walaupun terpisah beberapa puluh depa dari tempat
Puranti dan kakaknya, namun Dipa dapat pula menangkap
suara Puranti yang memanggil namanya. Serentak berkobarlah
semangatnya. Puranti sudah sadar, dara itu tak kurang suatu
apa. Dan sekarang ia harus menyelesaikan Jaka Damar yang
menghajar kepalanya secara sewenang-wenang dan licik.
Dipa segera pusatkan seluruh perhatian untuk mengendapkan tenaga ke Cakram Manipura lalu memusatkannya ke seluruh tubuh.
"Jahanam, mengapa engkau tak berkutik seperti ikan di
atas pasir?" ejek Jaka Damar "terimalah tongkatku ini lagi"
Jaka Damar ayunkan tongkat hendak menghajar kepala
Dipa, bluk ....... alangkah kejutnya ketika secara tiba-tiba
kepala Dipa berkisar ke samping dan secepat kilat tangannya
menyambar kaki Jaka Damar yang menginjak di punggung
Dipa. Dengan kerahkan segenap tenaga, Dipa menggelepar
lalu membalikkan tubuh. Karena tenaganya sedang dicurahkan ke arah tangan yang
sedang mengayun tongkat, kaki Jaka Damar yang menginjak
punggung Dipa, pun berkurang tenaganya. Serempak ujung
tongkat menerpa tanah, maka kaki Jaka Damar pun
tercengkeram dan serempak pula Dipa-pun bergeliat
membalikkan tubuh maka ikut pulalah kaki Jaka Damar tertarik
ke samping, lepas dari punggung Dipa.
Dipa girang sekali karena berhasil melepaskan diri dari
injakan kaki putera patih itu. Rasa sakit pada kepalanya tiada
dirasakannya lagi. Ia harus menyelesaikan sampai pergulatan
itu berakhir. Laksana gerak seekor ikan melenting dari
permukaan air, maka Dipa pun ayunkan tubuh melenting
bangun. Tangannya yang masih mencengkeram kaki Jaka
Damar itu, berhasil membawanya ke atas juga. Bluk .... Jaka
Damar kehilangan keseimbangan badan ketika kakinya
diangkat tinggi2 ke atas dan terbantinglah putera patih itu
sekeras-kerasnya ke tanah .....
Jaka Damar tak menyangka setitikpun bahwa lawan yang
sudah tak berdaya di bawah pijakan kakinya masih mampu
meronta dan menggelepar sedemikian dahsyat. Karena
sebelah kakinya cacat maka kekuatannya hanya pada kaki
yang menginjak punggung Dipa, Dan karena kaki yang
menginjak tubuh Dipa itu terangkat ke atas maka putera patih
itupun hilang daya pertahanannya. Baru pertama kali itu
dalam sepanjang hidupnya putera patih itu harus merasakan,
betapa rasanya dibanting di tanah yang keras itu.....
"Bangunlah" kata Dipa seraya melangkah ke hadapan Jaka
Damar "ambillah tongkatmu dan mari kita lanjutkan
pertempuran ini" Jaka Damar terpaksa harus pejamkan mata dahulu untuk
menghilangkan rasa denyut yang memercik mercik pandang
matanya. Ia terkesiap mendengar kata Dipa. Timbul rasa
heran mengapa Dipa tak mau memanfaatkan kesempatan
dikala ia jatuh, untuk balas menginjak tubuhnya. Rasa heran
itu menumbuhkan rasa malu dalam hati putera Rangga
Tanding itu atas perbuatannya terhadap Dipa tadi.
"Hm, jumawa benar anak itu" desuh Jaka Damar dalam
hati. Ia menghapus rasa malu menjadi rasa marah karena
merasa terhina oleh sikap Dipa yang sebenarnya memang
benar-benar hendak memberi kesempatan supaya lawan
bangun. Tetapi oleh Jaka Damar hal itu dianggapnya sebagai
sikap yang sombong dan menghina.
Rasa angkuh sebagai seorang putera patih, rasa besar diri
sebagai seorang anakmuda yang ilmu kedigdayaannya amat
disegani oleh golongan anakmuda di pura Kahuripan,
menyebabkan Jaka Damar naik pitam. Serentak iapun loacat
bangun dan mengambil tongkatnya. "Hm, prajurit liar, engkau
berani melawan putera patih Rangga Tanding?"
Dipa tertawa sumbang. "Haruskah aku menghatur sembah kepadamu, seperti
terhadap gusti patih Rangga Tanding?" serunya.
"Siapa engkau, siapa aku ini?" bentak Jaka Damar.
"Aku Kerta Dipa, prajurit keraton Kahuripan dan engkau
adalah putera gusti patih Tanding"
"Hm, kiranya sudah mengerti kedudukanmu, mengapa
engkau begitu jumawa kepadaku?"
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Prajurit Kerta Dipa wajib menghormat kepada gusti patih
Rangga Tanding. Kerta Dipa seorang prajurit keraton
Kahuripan dan Rangga Tanding patih Kahuripan, keduanya
sama sama narapraja dengan tingkat kedudukan yang
berbeda. Akan tetapi Jaka Damar bukanlah seorang narapraja
kerajaan melainkan hanyalah putera dari gusti patih Tanding.
Aku menghormati engkau karena memandang engkau putera
dari seorang atasanku. Tetapi dalam hal-hal dan saat tertentu
seperti ini, di mana engkau berani menyerang secara gelap
dan menghantam kepalaku begitu kejam, sudah layak untuk
menempatkan dirimu sebagai seorang pemuda yang bernama
Jaka Damar belaka. Tiada hubungan dengan kedudukan gusti
Rangga Tanding sebagai patih Kahuripan"
"Bedebah" teriak Jaka Damar makin marah "baik, di sinilah
Jaka Damar yang lepas dari kedudukan ayahku. Dan Jaka
Damar si pemuda biasa itu berhak menghajar seorang prajurit
yang kurang tata, merusak pagar ayu. Tanpa mengenakan
pengenal diri sebagai putera patih, akupun berhak
mengadukan engkau kepada pimpinanmu"
"Merusak pagar ayu?" Dipa mengulang heran.
"Engkau mengaku sebagai seorang prajurit tetapi tahukah
engkau akan undang-undang dalam kitab Agama yang
menjatuhkan hukuman kepada seorang manusia yang
bertingkah seperti engkau ?"
"Hm" desuh Dipa.
"Ketahuilah" seru Jaka Damar "dalam undang-undang kitab
Agama yang menjadi dasar perundang-undangan kerajaan
Majapahit, terdapat fatsal yang menyebutkan. Barang siapa
memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak
menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahui sebagai
saksi maka orang yang memegang gadis itu akan dikenakan
pidana mati oleh raja yang berkuasa. Nah, sekarang engkau
harus serahkan diri untuk kuhadapkan kepada yang berwajib."
Dipa tertawa. "Mengapa engkau tertawa!" bentak Jaka Damar dengan
geram. "Adakah undang-undang dalam kitab Agama yang engkau
sebutkan itu terdapat fatsal yang melarang orang tertawa?"
seru Dipa. "Jahanam, engkau mengejek !" teriak Jaka Damar seraya
maju dan menyabat pinggang Dipa dengan tongkatnya.
Dipa menyurut mundur dan secepat kilat maju pula untuk
menebaskan telapak tangannya ke tangan Jaka Damar. Tetapi
Jaka Damar bukan pemuda lemah. Dia juga memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi. Ia endapkan tangan dan tubuh ke
bawah sehingga tebasan tangan Dipa menerpa angin. Cepat
laksana ular menggelepar, ujung tongkat segera di babatkan
menyapu kaki Dipa. Dipa terkejut melihat ketangkasan lawan bermain tongkat.
Untuk menangkis ataupun menghindari dengan menyurut
mundur atau loncat ke atas, rasanya tak mungkin lagi. Maka
tiada jalan lain yang lebih baik daripada menerjang maju,
menerkam lawan. Dan keputusan itu harus segera
dilaksanakan karena toagkatpun sudah menyambar tiba.
Meluncur maju setapak, ia ayunkan tinju ke arah kepala
Jaka Damar. Putera patih itu terkejut benar. Ia tak menyangka
bahwa dalam kedudukan yang sudah amat terjepit itu, Dipa
masih dapat melancarkan serangan yang sedemikian
berbahaya. Suatu serangan sekaligus untuk memberantakkan
serangan lawan. Karena jarak sedemikian rapat, tiada lain
jalan bagi Jaka Damar kecuali harus loncat menyingkir ke
samping. "Uh" ia layangkan tubuh beberapa langkah ke samping
kanan "pantas engkau bersikap begitu congkak. Kiranya
engkau mengandalkan kepandaianmu berkelahi. Tetapi
engkau lupa bahwa yang engkau hadapi ini, Jaka Damar,
macan Kahuripan" Dipa tertawa pula "Ah, kurasa
menundukkan macan daripada engkau"
jauh lebih sukar "Bedebah" Jaka Damar menyerempaki dampratannya
dengan sebuah gerak loncatan ke udara. Bagaikan seekor
burung alap-alap yang buas, ia menukik dan ayunkan
tongkatnya kepada Dipa. Dipa pun sudah bersiap siap. Pada saat melihat betapa
bengis wajah Jaka Damar dikala berayun ke udara itu, jelas
diperhatikannya bahwa putera patih itu sudah diselubungi oleh
hawa amarah dan nafsu bunuh yang menyala-nyala.
Dipa memang sengaja memasang
membangkitkan kemarahan putera patih itu. Dan tampaknya
usahanya itu berhasil. Seorang
yang marah tentu gelap pikirannya. Yang mengisi hati
pikiran hanyalah keinginan membunuh belaka. Dan keinginan timbul dari nafsu,
sedangkan kesadaran pikirannya untuk menggunakan
langkah dan tata kelahi yang
semestinya, banyak kabur.
siasat untuk Maka tengah Jaka Damar melayang, Dipapun menyerempaki dengan gerak
menyelinap ke belakang lawan.
Jaka Damar terkejut. Tetapi bagaimana pula, ia tak kuasa
untuk memutar atau membalikkan tubuhnya ke belakang.
Terpaksa ia lanjutkan gerak layangnya ke muka dan selekas
tiba di bumi, cepat2 ia hendak berputar tubuh. Demikian
rencana yang timbul akibat kejut melihat siasat yang dilakukan
Dipa. Namun rencana itu porak poranda, karena Dipa sudah
mempersiapkan sebuah siasat yang benar-benar di luar
jangkau pemikiran Jaka Damar. Selekas kaki putera patih itu
menginjak bumi, selekas itu pula tengkuknya telah
dicengkeram oleh sebuah tangan yang kuat, ditarik ke
belakang dan tahu-tahu Jaka Damar merasa tubuhnya telah
terangkat ke atas, berputar-putar bagai sebuah baling-baling
yang deras. "Uh" ia mendesuh kejut namun tak mengurangkan gerak
putaran yang dideritanya. Bahkan ia makin merasa bahwa
putaran itu makin deras dan cepat sehingga dalam pandang
matanya, bumi dan alam sekeliling tempat itu seperti berputar
dan berputar keras. Dipa berhasil menerkam lawan yang terus diangkat ke atas
kepala lalu diputar putar makin lama makin deras. Sebelum ia
lontarkan tubuh putera ki patih itu, lebih dahulu ia hendak
memutar-mutar tubuhnya. Suatu kesan yang mendalam dan menyentuh hati, tentulah
selalu menimbulkan kenangan. Demikian Dipa. Peristiwa ia
mengangkat patung dewa Ganesya di desa Madan-Teda
dahulu, amat berkesan sekali dalam lubuk hatinya. Dan
apabila ia mengalami saat dan peristiwa semacam itu, tentu
mudahlah menggugah pula kenangannya. Demikian yang
terjadi ketika ia membanting Gedug, anakmuda yang paling
Jagoan di Kahuripan. Kemudian pada saat itu. Saat di mana ia
mengangkat tubuh Jaka Damar dan memutar-mutarnya.
Serentak hinggaplah dalam perasaan Dipa bahwa saat itu ia
seperti sedang mengangkat patung Ganesya. Detik-detik
peristiwa di Madan-Teda seolah dirasakannya pula pada saat
itu. Dipa terjerat dalam kenangan lama. Kenangan yang tak
mudah dan takkan dilupakan sepanjang hidup. Dia serasa lupa
bahwa yang diputar-putar itu adalah tubuh Jaka Damar,
putera patih kerajaau Kahuripan. Diapun lupa pula bahwa
kematian dari Jaka Damar itu dapat menimbulkan suatu akibat
yang luas dan berbahaya pada dirinya. Segala kesadaran
pikirannya seolah hilang lenyap ditelan suatu perasaan yang
gaib. Entah bagaimana, peristiwa patung Ganesya di MadanTeda itu telah menimbulkan daya pesona yang gaib pada
Dipa. "Dipa, berhenti" tiba-tiba sebuah teriakan bengis terdengar
nyaring dan serempak dengan itu terdengar pula lengking
jeritan yang tinggi "Kakang Dipa ?"."
Terbenam dalam pesona gaib yang menghanyutkan seluruh
kesadarannya, Dipa tak mengetahui bahwa saat itu muncullah
ki demang Saroyo dengan beberapa orang pengalasan. Bukan
kepalang kejut demang Saroyo kala menyaksikan peristiwa
yang berlangsung di tempat itu. Serentak ia berseru
menghentikan tindakan Dipa.
Namun Dipa seolah tak mendengar, ia telah terlanjur
dihanyutkan pesona gaib. Ibarat seekor kuda yang membinal
lari lepas dari kandang, Dipa sudah tak dapat dikendalikan
lagi. Untunglah pada detik-detik yang membahayakan jiwa
Jaka Damar itu, terdengar lengking tinggi dari nada suara
seorang gadis berseru memanggil Dipa.
Bluk .... Pesona gaib yang mencengkam perasaan Dipa itu serasa
berhamburan lenyap ketika ia mendengar nada lengking
teriakan itu. Nada suara yang pernah mengayun serabut
jantungnya. Itulah suara Puranti, puteri demang Saroyo.
Serentak pulanglah kembali kesadarannya dan selekas
hentikan pemutarannya iapun lepaskan tubuh Jaka Damar ke
tanah..... Diputar-putar sedemikian deras sampai beberapa saat,
darah Jaka Damar serasa terhenti dan hilanglah kesadarannya.
Ketika dilepas jatuh ke tanah, iapun tak bergerak lagi.
"Anak mas Jaka Damar .... Jaka Damar ..." demang Saroyo
cepat memburu untuk menolong menyadarkan Jaka Damar.
Sedang Dipa pun tegak pejamkan mata untuk menenangkan
denyut kepalanya yang menanar-nanar.
Setelah Jaka Damar membuka mata, demang Saroyosegera menitahkan orangnya untuk merawat. Kemudian ia
melangkah ke hadapan Dipa.
"Dipa, apa yang terjadi" Mengapa engkau berkelahi dengan
Jaka Damar?" tegur demang Saroyo.
"Maaf, ki demang" sahut Dipa "telah terjadi salah faham
kecil dan karena tak dapat menahan luapan nafsu, kita telah
berhantam" "Ah, hampir saja terjadi peristiwa jiwa yang ngeri apabila
pada saat ini aku tak segera datang" kata demang Saroyo
setengah menyesali Dipa "soal selisih faham apakah sehingga
sampai menimbulkan peristiwa ini?"
Belum Dipa menyahut maka Puranta pun tampil ke muka
dan berkata "Dia telah menarik narik tangan Puranti sehingga
Puranti menjerit-jerit sampai pingsan.
Demang Saroyo membelalak, memandang Dipa dengan
marah "Engkau berani melarikan anakku?"
Ternyata pada malam itu telah terjadi peristiwa yang
menggelisahkan keluarga demang Saroyo. Jaka Damar
berkunjung ke rumah demang bakal mentuanya itu sekedar
untuk main2 dan sekalian hendak membawakan buah tangan
untuk ki dan nyi demang serta Puranti. Ki patih rangga
Tanding habis pulang dari Ganggu dan membeli beberapa
jenis kain dari pedagang2 tanah seberang.
Jaka Damar gembira sekali karena dalam kunjungannya ke
kademangan, ia tentu mendapat kesempatan untuk bertemu
dan bercakap-cakap berdua dengan Puranti, dara yang telah
diperkenankan oleh ki demang menjadi isterinya.
Tetapi alangkah kejut ki demang dan seisi rumahnya ketika
malam itu Puranti tiada berada dalam rumah. Beberapa orang
gajihan dan pelayanpun tak mengetahui ke mana perginya
dara itu. Ki demang marah dan nyi demang pun bingung.
Marah ki demang karena malu hal itu akan diketahui oleh Jaka
Damar dan disampaikan kepada patih ki Rangga Tanding.
Sedang kegelisahan nyi demang adalah karena memikirkan
apabila puterinya itu sampai tertimpah sesuatu yang tak
diinginkan. Ki demang segera kerahkan segenap orangnya untuk
mengadakan pencarian. Bahkan dia sendiri pun ikut serta.
Jaka Damar dan Puranta yang ikut juga dalam pencarian itu
berhasil menemukan Puranti di saat dara itu menjerit dan
meronta-ronta dari cekalan Dipa. Puranti sudah putus asa
karena dalam kata-katanya itu Dipa tak mau meluluskan untuk
diajak melarikan diri. Puranti kalap, malu, marah dan kecewa.
Ia hendak lari, entah ke mana tak tahulah. Pokok, ia hendak
lari untuk menumpahkan cengkaman hatinya.
Lari ke mana sang kaki akan membawanya. Yang jelas dara
itu tak mau pulang..... Dapat dimaklumilah apabila Puranta dan Jaka Damar amat
marah sekali. Puranta menolong adiknya dan Jaka Damar
menyerang. Dalam alam pikiran kedua pemuda itu, tentulah
Dipa hendak mengganggu Puranti dan hendak melarikannya
dengan paksa. Dipa terkejut. Ia tak tahu bahwa kepergian Puranti dari
rumah di luar sepengetahuan ayah bundanya dan bahkan
telah menyebabkan mereka bingung. Maka timbullah suatu
perasaan dalam hati Dipa. Apabila yang menuduh itu Jaka
Damar atau Puranta, itu masih dapat dimaklumi. Tetapi katakata itu jelas meluncur dari ki demang. Betapalah malu dan
kecewa perasaan hati Dipa. Bukankah selama tinggal di
Kahuripan, ki demang sudah kenal baik akan peribadinya dan
sudah pula menaruh kepercayaan besar kepadanya " Adalah
karena untuk membalas budi ki demang Saroyo maka Dipa
rela menolak anjuran Puranti untuk bersama-sama melarikan
diri. Walaupun dengan penolakan itu sesungguhnya Dipa
sendiri menderita kehancuran hati.
Kekecewaan telah menimbulkan suatu rasa putus asa dalam
hati Dipa. Dan seorang yang putus asa mudah gelap
pikirannya. Dan lupalah ia bahwa yang berada di hadapannya
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu demang Saroyo yang selama ini dihormatinya. Seketika
meluaplah keangkuhan Dipa.
"Benar, memang akulah yang bertanggung jawab akan
rencana kepergian Puranti!" serunya dengan kepala menegak.
"Bagus, engkau seorang jantan" seru demang Saroyo
menggenggam rasa kemarahan "engkau hendak membujuk
anakku lari lalu engkau hendak membunuh Jaka Damar,
putera ki patih yang bakal menjadi calon suami Puranti?"
Dipa merah mukanya. Dahulu semasa kecil bekerja sebagai penggembala kambing
buyut Madan Teda memang pernah ia menderita tuduhan2
apabila ada sesuatu barang di rumah kediaman buyut itu
hilang. Bahkan pernah ia mengalami tuduhan yang paling
keras ketika kambing yang digembalakan itu hilang. Tetapi
kala itu, ia tak memiliki lain perasaan kecuali menganggap hal
itu sebagai suatu tuduhan yang biasa dilontarkan oleh seorang
majikan kepada orang gajihannya.
Tetapi setelah menanjak dewasa dan setelah banyak
bergaul dengan orang terutama sejak ia tinggal di keraton
Kahuripan sebagai prajurit, tumbuhlah suatu perasaan lain
pada hati Dipa. Tuduhan yang dilontarkan demang Sarovo,
dirasakan jauh lebih tajam dari tusukan pedang. Maka
menyahutlah ia menurutkan rangsang hatinya "Tiada jalan
lain, ki demang" "Baik" seru demang Saroyo "sebagai seorang jantan
engkaupun harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu,
Dipa" "Aku bersedia" jawab Dipa.
"Hanya dua jalan yang harus engkau pilih"
"Silahkan ki demang mengatakan"
"Menyerah untuk kuhadapkan kepada gusti patih atau
melawan" Dipa merenung. "Mengapa engkau diam saja?" tegur demang Saroyo.
"Ki demang" kata Dipa dengan nada yang tiba-tiba berobah
sarat "berapa kalikah seseorang itu hidup di dunia?"
Demang Saroyo terkesiap. Heran ia mengapa Dipa
mengajukan pertanyaan semacam itu. Namun dijawab-juga
"Hanya sekali" "Tidak, ki demang" sahut Dipa "menurut seorang
brahmana, kita akan menitis berkali-kali ke dunia sesuai
dengan amal perbuatan kita. Selama jiwa kita masih
berlumuran dosa, selama itu kita harus kembali ke dunia pula"
"Lalu maksudmu?" tanya demang Saroyo.
Selama ki demang bertukar cakap dengan Dipa, beberapa
orang pengalasan kademangan pun sudah tegak berjajar di
belakang ki demang. Mereka bersiap-siap menunggu perintah
demang Saroyo. "Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk membersihkan
lumpur2 dosa itu agar kita dapat mencapai Nirwana"
Demang Saroyo kerutkan dahi. Ia tak mengerti kemana
arah tujuan kata-kata pemuda itu "Sudahlah, jangan
berbanyak kata. Lekas bilang, engkau mau serahkan diri atau
melawan?" "Sayang ...." gumam Dipa.
"Mengapa?" seru demang Saroyo.
"Sayang bahwa tuan adalah ki demang Saroyo" kata Dipa
"andaikata berganti dengan lain orang, tentulah aku pantang
menyerah. Lebih baik tubuhku hancur daripada menerima
hinaan semacam ini" Demang Saroyo tertawa hambar "Apabila engkau merasa
terhina dengan ucapan dan tindakanku, mengapa sebelumnya
engkau tak mau mempertimbangkan langkahmu masakmasak. Sesal kemudian tiada berguna"
"Karena itulah maka aku tak pernah merasa menyesal atas
peristiwa hari ini" seru Dipa "baiklah, ki demang, karena tuan
yang menangkap akupun menyerah"
"Engkau seorang jantan, Dipa" seru demang Saroyo lalu
memberi isyarat kepada orang-orangnya. Beberapa orang
kademangan itupun segera maju menghampiri Dipa dan
hendak meringkusnya. "Tak perlu" kata Dipa "aku sudah menyerah kepada ki
demang. Tak mungkin aku akan melarikan diri"
Karena tahu akan perangai dan kejujuran Dipa, demang
Saroyo tak mau melukai perasaannya. Ia memberi isyarat pula
agar orangnya jangan menjamah Dipa. Kemudian ia mengajak
rombongannya berangkat. "Tunggu rama!" tiba-tiba terdengar lengking teriakan
Puranti dan sesaat kemudian dara itupun lari menjusul
ayahnya. Tadi setelah sadar dan berseru memanggil Dipa, Puranti
pingsan lagi. Rupanya belum pernah ia menderita goncangan
hati yang sedemikian besar seperti saat itu. Dari kecil sampai
menjenjang dewasa, ia selalu dimanjakan oleh kasih sayang
kedua orangtuanya. Segala permintaan dan keinginannya
selalu terpenuhi. Baik orang-orang gajihan maupun rakyat
kademangan semua menaruh hormat dan perindahan
kepadanya. Bukan melainkan karena dia puteri ki demang
penguasa kademangan, pun karena Puranti itu terkenal
sebagai seorang puteri yang halus pekerti dan ramah budi.
Sepanjang hidupnya, baru pertama kali itu dia tak dapat
terpenuhi keinginannya. Dan justeru kegagalan yang
dideritanya saat itu, menyangkut kepentingan hidup citarasa
hatinya. Maka besarlah derita hatinya yang dialami saat itu.
Beberapa saat kemudian setelah mendapat pertolongan dari
Puranta, barulah dara itu dapat sadar dan pelahan-lahan
tenaganya pun makin kembali. Demikian pula kesadaran
pikirannya. "Kakang, di mana kakang Dipa?" untuk yang kedua kali
setelah sadar, yang pertama-tama meluncur dari mulut Puranti
yalah tentang diri Dipa pula.
"Dia sudah ditangkap ayah dan dibawa ke kepatihan,
Puranti. Dia tentu akan dihukum oleh gusti patih "seru Puranta
dengan nada yang gembira agar dapat menghibur hati
adiknya. "Apa?" teriak Puranti terkejut "kakang Dipa dibawa ke
gedung kepatihan supaya dihukum"
"Benar, Puranti, benar" seru Puranta masih belum
menyadari pikiran Puranti "dengan kesalahan karena berani
mengganggumu dan hendak membunuh Jaka Damar, gusti
patih tentu akan menjatuhkan hukuman berat kepadanya"
"Oh" Puranti mendcsuh makin keras "dia hendak di
hukum?" "Tentu Puranti" sahut Puranta dengan nada riang "menilik
kesalahannya, dapat juga dia dikenakan hukuman mati"
"Ah" Puranti sekarang?" menjerit tertahan "kemanakah mereka "Baru saja menuju ke timur ..." belum sempat Puranta
menyeleiaikan keterangannya, Puranti terus lari ke arah timur.
Puranta terkejut. Cepat ia memburu "Puranti, mengapa
engkau?" Namun Puranti tak menghiraukan. Ia tetap pesatkan larinya
menyusul perjalanan rombongan ayahnya yang hendak
menuju ke tempat kediaman ki patih Rangga Tanding. Namun
ia adalah seorang puteri demang yang jarang ke luar rumah.
Maka walaupun dalam perasaannya ia sudah mengerahkan
kaki sekuat tenaga, namun akhirnya dapat juga tersusul oleh
Puranta "Berhentilah Puranti" seru Puranta yang menghadang
di muka seraya hntangkan kedua tangan.
"Kakang, jangan menghalangi" seru Puranti.
"Sebentar saja, Puranti, aku hendak bertanya kepadamu"
kata Puranta. Puranti terpaksa berhenti.
"Aneh benar, engkau" seru Puranta "mengapa engkau
tampak begitu terkejut dan tergopoh gopoh hendak menyusul
penjalanan ayah?" "Kakang Dipa tak bersalah" seru Puranti "dia tak memaksa
aku, pun tak mengajak aku lari. Apakah dia hendak
membunuh kakang Damar?"
"Ya, hampir saja terjadi pembunuhan ngeri atas diri Jaka
Damar andai ayah tak cepat datang. Dipa memang pemberang
dan berhati kejam" kata Puranta lebih lanjut.
"Tidak, kakang, dia tak berhati kejam. Tentu terjadi
perkelahian" "Benar" "Dan tentu kakang Damar yang menyerang lebih dulu
sehingga dia terpaksa membela diri"
Puranta terbeliak "Eh, Puranti, mengapa engkau
membelanya" Jaka Damar membelamu dengan sekuat tenaga,
mengapa engkau bahkan membela Dipa si bedebah itu?"
"Aku tak membela melainkan menyatakan kenyataan yang
sebenarnya. Dan mengapa pula kakang tampak begitu
membenci kepadanya?"
"Dia sombong dan bertingkah" jawab Puranta "andaikata
tadi dia tak menyerah kepada rama, tentu akupun akan turut
menangkapnya. Bila perlu membunuhnya"
"Dia menyerah kepada rama?" teriak Puranti "mengapa
rama hendak menangkapnya" Apakah salah kakang Dipa?"
"Telah kukatakan, janganlah engkau membelanya" Puranta
agak jengkel kepada adiknya "dia ditangkap rama karena di
persalahkan hendak membawa engkau lari dan hendak
membunuh Jaka Damar ......."
"Oh, salah ..." serentak Purantipun berteriak
mendorong tubuh Puranta, terus melanjutkan lari.
lalu Karena tak menyangka, Purantapun terjerembab ke dalam
segerumbul semak. Ia terkejut mengapa Puranti yang
tampaknya begitu lemah ternyata saat itu bertenaga kuat
sehingga mampu mendorong Puranta ke samping.
Puranti tak menghiraukan lagi bagaimana Puranta. Ia terus
lari sekuat tenaga untuk mengejar rombongan Demang
Saroyo. "Rama ..." teriak Puranti demi tampak rombongan
kademangan hanya beberapa puluh tombak di sebelah muka.
Demang Saroyo terkejut dan hentikan perjalanan "Engkau,
Puranti" Demang itu heran2 kejut mengapa Puranti menyusul
perjalanannya "Mana kakangmu?" tegurnya pula.
Dipa pun terkejut tetapi diam-diam ia bersyukur dalam hati
bahwa dara itu telah sadar dari pingsannya. Dengan pandang
mata penuh perhatiannya kepada dara itu namun tak berani ia
berkata sepatah pun juga.
"Kakang Puranta di belakang" beberapa saat kemudian
barulah dara itu dapat berkata setelah engah napasnya
berkurang "rama, mengapa rama menangkap kakang Dipa ?"
"Dia berani mengganggu engkau ...."
"Tidak, rama" tukas Puranti dengan napas memburu keras
pula "kakang Dipa tak mengganggu aku. Akulah yang
menunggunya di tengah jalan"
"Bukankah kekerasan?" dia menarik-narik tanganmu dengan "Tidak, rama" jawab Puranti "dia hendak suruh aku pulang"
"Kata kakangmu, engkau menjerit jerit dan terus pingsan
karena tanganmu dicengkeramnya"
"Itu kesalahanku, rama" kata Puranti pula "aku berkeras
hendak ikut kepadanya ke pura Majapahit tetapi dia tak
meluluskan dan suruh aku pulang"
"Ah, jangan membelanya, Puranti" bentak demang Saroyo
"mengapa dia tak mengatakan hal itu kepadaku" Mengapa ia
mengaku kalau hendak membawamu lari dari Kahuripan?"
Puranti tertegun. Sesaat ia menyadari tindakan Dipa itu,
timbullah rasa haru dan kagum akan keperwiraan pemuda itu
karena telah mengambil alih semua kesalahan yang dia tak
melakukan. Kesemuanya itu tentulah demi untuk menolong
aku, demikian pikir Puranti.
Bagi seorang gadis yang memiliki perangai halus dan naluri
tinggi seperti Puranti, tidaklah akan rela menerima
pengorbanan Dipa yang sedemikian tulusnya, sebelum ia
dapat membalas budi. Dan dalam hal itu, ia merasa harus
lebih besar berkorban daripada apa yang telah diberikan Dipa.
"Puranti, jelas dia hendak mencekik aku dan hendak
melemparkan diriku tentulah dia hendak menghilangkan
nyawaku" Tiba-tiba terdengar suara yang bernada geram. Dan ketika
Puranti berpaling ternyata yang berkata itu adalah Jaka
Damar. "Benarkah begitu?" Puranti menegas.
"Kakang Puranta menyaksikan sendiri, demikian pula rama
Saroyo. Andai rama tak lekas datang, tentulah tulang-tulang
tubuhku sudah patah ...."
"Tidak mungkin" teriak Puranti "tak mungkin kakang Dipa
akan bertindak begitu apabila engkau tak mempersakitinya
lebih dahulu" "Eh, Puranti, mengapa engkau lebih mempercayai bedebah
itu dari aku ?" tegur Jaka Damar heran.
"Karena kakang Dipa pernah membantu kademangan dan
selama itu tak pernah ia berkelahi dengan orang.
Kebalikannya, kudengar kakang terkenal sebagai seorang
pemuda yang mengagulkan kesaktian"
"Puranti" hardik demang Saroyo. Ia kuatir Puranti akan
melancarkan kata-kata yang menyinggung perasaan Jaka
Damar "jangan bersikap sekeras itu terhadap kakangmu. Lalu
apa maksudmu ?" "Mohon rama suka membebaskan kakang Dipa" kata
Puranti "yang salah adalah Puranti sendiri. Kakang Dipa tak
bersalah" "Sudahlah, Puranti" kata Jaka Damar "biarlah bedebah itu
dibawa ke hadapan rama patih agar diadili. Kalau memang tak
bersalah, rama tentu takkan menghukumnya"
"Tidak" Puranti menolak "jelas yang bertanggung jawab
atas peristiwa ini adalah aku dan akupun sudah mengaku
salah. Mengapa dia tetap di tangkap dan diadili?"
"Yang memutuskan adalah gusti patih, bukan aku atau
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau!" bentak demang Saroyo makin marah.
Puranti pucat wajahnya. Ia kenal watak ramanya namun
iapun tak ingin Dipa celaka. Akhirnya ia menghampiri ke
hadapan demang Saroyo dan berkata dengan bisik "Rama,
dapatkah kita bicara seorang diri?"
Demang Saroyo tertegun. Namun rupanya Jaka Damar
mendengar juga akan bisik-bisik Puranti itu. Serentak ia
berkata "Rama, silahkan, kami akan menyingkir"
Ia memberi perintah kepada orang kademangan supaya
menyingkir agak jauh dari tempat demang Saroyo. Bahkan dia
bersama Puranta pun ikut menyingkir. Dipa disuruhnya ikut.
"Apa yang hendak engkau katakan?" tegur demang Saroyo
setelah hanya berdua dengan puterinya.
"Rama" kata Puranti "baiklah rama membebaskan kakang
Dipa. Karena yang salah adalah aku. Aku menunggunya di
tengah jalan untuk menyampaikan berita tentang peminangan
paman Rangga Tanding kepada diriku"
"Mengapa engkau harus mengatakan hal itu kepadanya?"
"Rama, ampunilah aku" kata Puranti "aku tak dapat
membohongi rama. sebagai aku tak dapat membohongi diriku
sendiri. Entah bagaimana aku kasihan akan kakang Dipa"
"Hm, kasihan?" dengus demang Saroyo "adakah begitu cara
orang menaruh kasihan" Ataukah engkau suka kepadanya?"
Puranti menundukkan kepala.
"Katakan, Puranti" demang Saroyo mendesak pula.
Akhirnya terpaksa Puranti menjawab pelahan "Terserahlah
bagaimana rama hendak mengatakan"
"Lalu mengapa dia berani memegang tanganmu sehingga
engkau meronta dan menangis sampai pingsan"
"Karena tak tahan mendengar kata-katanya yang
menasehati supaya aku menurut kata rama dan ibu menjadi
isteri Jaka Damar, aku segera menangis dan lari. Dia terpaksa
memegang tanganku agar aku jangan sampai kalap atau gelap
pikiran" Demang Saroyo tertegun. Ia geram mendengar pengakuan
puterinya tetapi ia merasa aneh pula. Bukankah Dipa itu hanya
seorang prajurit biasa, tidak cakap wajahnya, tidak kaya, pun
bukan dari kasta yang terhormat. Mengapa Puranti sampai
menitikkan perasaan hati kepadanya. Merah padamlah wajah
demang Saroyo karena marah atas laku puterinya.
Ia pejamkan mata merenung. Terbayang akan kehidupannya selama ini. Ia hanya mempunyai dua orang
anak. Puranta tak banyak diharapkan. Hanya Puranti,
walaupun seorang anak perempuan, tetapi merupakan
kebanggaan hatinya. Ia dan isterinya mencurahkan seluruh
kasih sayang kepada puterinya itu. Diam-diam ia bersyukur
dalam hati bahwa Puranti telah dipinang oleh patih Rangga
Tanding. Walaupun Jaka Damar cacat kaki, tetapi dia putera
seorang priagung, dari keturunan yang tinggi dan kaya. Ini
sesuai dengan ajaran orang-orang tua bahwa dalam mencari
menantu hendaknya diletakkan pada penilaian 'bobot, bebet
dan bibit'. Ketiga-tiganya telah terpenuhi dalam diri Jaka
Damar. Melanjut dalam renungannya, demang Saroyo tertumbuk
pada suatu bayang-bayang yang menggelisahkan. Bahwa
apabila peristiwa Puranti malam itu sampai tersiar dan
diketahui ki patih, betapalah aib dan malu yang akan
mencontreng muka demang Saroyo. Membawa Dipa ke
hadapan ki patih akan membuka suatu kemungkinan untuk
pecahnya rahasia peristiwa malam itu.
Puranti sudah dapat diketemukan dengan selamat,
demikian pikir demang Saroyo. Jaka Damar pun sudah
mengetahui dan tak menunjukkan suatu sikap kemarahan.
Bukankah lebih baik lepaskan Dipa dan peristiwa itu berakhir
sampai di situ. Puranti menunggu keputusan ayahnya. Tenang-tenang saja
ia tampaknya karena dalam hati ia sudah membayangkan
suatu rencana, akan memberi kesaksian di hadapan ki patih
Rangga Tanding apabila Dipa tetap akan diadili. Demi
keselamatan Dipa ia rela berkorban cemar nama. Bahkan
iapun rela menerima akibat yang lebih besar pula andaikata ki
patih marah dan membatalkan tali ikat peminangan.
Tampak wajah demang Saroyo berangsur tenang dan
sesaat kemudian ia membuka mana lalu berseru memanggil
Jaka Damar dan orang-orang kademangan supaya mendekat.
"Bagaimana pendapat anakmas" tegur ki demang kepada
Jaka Damar Jaka Damar ingin mengunjukkan bhakti kepatuhannya
terhadap calon mentua "Terserahlah rama demang, aku
menurut saja" "Bagaimana kalau kita lepaskan dia agar tak perlu kita
menyibukkan ki patih. Bukankah yang penting Puranti telah
kembali dengan selamat?"
Jaka Damar menimang. Di balik perobahan sikap dari
demang Saroyo terhadap Dipa, tentulah karena setelah
mempertimbangkan pembicaraannya dengan Puranti. Jika ia
bersikeras menolak, bukan saja dapat menyinggung perasaan
ki demang, pun Puranti tentu marah.
"Baiklah, rama" sahutnya "aku hanya menurut saja apa
yang rama kehendaki. Hanya aku menginginkan sebuah
syarat" "Katakanlah, anakmas"
"Suruh dia meminta maaf kepadaku karena tindakannya
yang kurang tata tadi" kata Jaka Damar "setelah itu barulah
kita lepaskan dia" Meminta maaf akan apa yang salah, sudah wajar dan bukan
suatu tuntutan yang berat. Demang Saroyo setuju dan memuji
kelapangan dada calon menantunya. Ia kira Dipa tentu tiada
keberatan dan urusannya pun segera selesai.
"Dipa mintalah maaf kepada anakmas Jaka Damar atas
perbuatanmu tadi dan urusan inipun selesai sampai di sini
saja" kata demang Saroyo.
"Terima kasih, ki demang" jawab Dipa seraya memberi
hormat "tetapi untuk kesalahan apakah aku harus meminta
maaf kepada putera gusti patih itu?"
"Bukankah engkau hendak melemparkannya?" Dipa
mengakui "Benar, ki demang. Tetapi tindakan itu terpaksa
kulakukan demi membela jiwaku"
Demang Saroyo kerutkan dahi "Bagaimana engkau dapat
mengatakan begitu" Yang kusaksikan jelas engkau
mengangkat tubuh Jaka Damar dan memutar-mutar hendak
engkau lemparkan" "Kedatangan ki demang agak terlambat sedikit" jawab Dipa
"sebelum itu telah terjadi suatu perkelahian yang berbahaya di
mana putera gusti patih telah menghantam punggung
sehingga aku jatuh. Lalu tubuhku drinjak dan kepalaku
dipukuli. Adakah seorang yang hendak membela keselamatan
jiwanya itu bersalah kalau melawan?"
"Jangan banyak cakap!" bentak Jaka Damar geram "jika
engkau keras kepala akan kuperintahkan untuk membunuhmu. Adakah engkau kira aku tak berani
membunuhmu?" Dipa tertawa tenang "Sesungguhnya aku tak ingin dan
berani melawan seorang putera patih Kahuripan. Betapapun
keadaan dan kenyataannya tetapi seorang prajurit kecil pasti
akan dianggap salah apabila berkelahi dengan seorang putera
patih" Jaka Damar menyalangkan mata lebar-lebar.
"Bagi prajurit Dipa peribadi, jiwanya tiada berharga. Tetapi
sayang, aku terpaksa harus menjunjung titah gusti Rani sesuai
dengan kewajibanku sebagai seorang prajurit"
"Apa maksudmu?" seru Jaka Damar makin garang.
"Jiwa prajurit Dipa saat ini harus kulindungi karena oleh
gusti Rani, dia telah dititahkan menjadi bhayangkara puri
keraton Majapahit sesuai dengan permintaan baginda
Jayanagara. Jika Dipa sampai mati atau celaka, bukankah aku
harus bertanggung jawab kepada gusti Rani" Itulah sebabnya,
terpaksa aku harus melindungi jiwa si prajurit kecil Dipa itu"
"Apa katamu?" teriak Jaka Dama terkejut
dititahkan gusti Rani masuk keraton Majapahit?"
"engkau "Apabila tak percaya silahkan bertanya kepada gusti patih
Rangga Tanding" sahut Dipa.
Mendengar itu Demang Saroyo terkejut, Jaka Damar pucat
demikian pula dengan orang-orang yang berada di tempat itu.
Mereka tak menyangka sama sekali bahwa Dipa telah
menerima pengangkatan sedemikian tinggi dari Rani
Kahuripan. Sampai beberapa saat Jaka Damar dan demang
Saroyo tak dapat berkata-kata kecuali hanya bertukar
pandang. "Hm, jangan coba-coba menggertak aku" sesaat kemudian
tiba-tiba Jaka Damar berseru "akan kutanyakan hal ini kepada
rama patih. Jika engkau bohong, akan kumohon kepada rama
untuk menangkap dan menghukummu seberat-beratnya."
Tanpa menunggu jawaban Dipa, Jaka Damar terus
mengajak demang Saroyo, Puranta dan rombongan orangorang kademangan tinggalkan tempat itu.
"Rama" tiba-tiba Puranti berkata kepada demang Saroyo
ketika hendak diajak pulang "idinkan Puranti untuk mengucap
kata-kata perpisahan kepada kakang Dipa"
Demang Saroyo tak lekas menjawab. Agak sulit baginya
untuk memberi keputusan. Ia sungkan dengan Jaka Damar.
Rupanya putera patih itu tahu akan maksud ki demang. Dalam
hati ia tak setuju karena ia membenci Dipa "Rama demang"
katanya "malam makin kelam, baiklah kita lekas pulang"
Demang Saroyo tahu yang dimaksud putera patih itu. Maka
segtra ia berkata "Puranti, mari kita lekas pulang"
Puranti tampil ke hadapan Jaka Damar "Kakang Damar,
engkau bukan seorang ksatrya. Mengapa engkau tak
menyetujui aku mengucap selamat berpisah kepada kakang
Dipa" Kuatirkah kalau dia hendak melarikan aku" Tidak,
kakang Damar, walaupun dia hanya seorang prajurit, tetapi
dia berhati ksatrya. Tak nanti ia akan melakukan perbuatan
yang serendah itu!" "Puranti ..." "Bukankah disini engkau, kakang Puranta dan berpuluh
pengalasan kademangan berjaga jaga" Takutkah engkau akan
dia seorang diri?" "Tidak, aku tidak takut!".
"Jika tidak takut, mengapa engkau tak setuju" Ketahuilah
kakang, dengan tindakan paksa memang engkau dapat
memperoleh Puranti. Tetapi yang engkau dapatkan itu
hanyalah jasad Puranti, bukan jiwanya ...."
"Puranti, lekas engkau ucapkan selamat tinggal kepada
Dipa. Tetapi jangan lama-lama" cepat demang Saroyo berseru
Sepasang Naga Penakluk Iblis 4 Animorphs - 20 Anggota Baru Animorphs Kitab Mudjidjad 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama