Ceritasilat Novel Online

Racun Madu Mayat 1

Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat Bagian 1


RACUN MADU MAYAT
Djvu by Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
1 Ketika masuk ke sebuah kedai, Suro Bodong terperanjat mendengar obrolan dua
orang yang tengah makan di samping kanannya. Yang seorang berbadan kurus, yang
seorang lagi berbadan gemuk, pendek. Dilihat dari pakaian dan penampilannya,
jelas mereka adalah rakyat biasa. Diduga mereka hanya seorang penarik gerobak
sapi untuk angkutan ke suatu tempat.
Di depan kedai ada dua gerobak sapi memuat kayu-kayu gelondong. Suro Bodong
melirik sekeliling, hanya ada satu orang lagi yang duduk di pojokkan. Pasti dia
bukan pemilik gerobak sapi itu, sebab di sampingnya terdapat pikulan dan dua
buah keranjang.
Kedua orang yang ada di samping kanan Suro Bodong itu bicara dengan seenaknya,
bagai tidak merasa ada bahaya di sebelahnya. Yang jangkung kurus berkata sambil
mencolek sambal dengan bahan lalapan.
"Kurasa sulit untuk menangkap orang yang bernama Suro Bodong itu. Jelas dia
bukan orang sembarangan, buktinya sampai diadakan sayembara seperti itu."
Yang pendek gemuk menjawab, ''Tapi... kalau dipikir-pikir hadiahnya lumayan juga
ya" Satu kantong uang emas bagi siapa saja yang bisa menangkap Suro Bodong,
hidup ataupun mati. Wah, kalau aku bisa menangkapnya, aku bisa kaya, Jo!"
"Ah, jangan mimpi di kandang kebo, kamu Min! Jangan pikirkan hadiahnya, tapi
pikirkanlah nyawamu! Bisa-bisa kau mati di tangan orang yang bernama Suro Bodong
itu!" "Yaah... aku kan cuma berandai-andai saja, Jo... Memangnya bisa apa orang
seperti kita-kita ini. Paling-paling menjinakkan sapi!"
Sikap Suro Bodong tetap tenang, sekalipun ia sebenarnya terkejut mendengar
namanya disebut-sebut. Ia terus saja menyimak pembicaraan kedua orang yang
dipanggil Min dan Jo itu. Suro Bodong meneguk tuak pesanannya, sesekali
menggaruk-garuk kumisnya yang tebal dengan ujung telunjuk.
Pemilik kedai yang berkulit keriput itu ikut menimpali pembicaraan kedua orang
itu. "Kudengar, orang yang bernama Suro Bodong itu tadi pagi sudah tertangkap?"
"O, ya"!" sahut Jo. "Kata siapa pak?"
"Kalau tidak salah, tadi pagi ada orang diseret-seret ke rumah Ki Lurah. Banyak
juga orang yang mengaraknya."
"Ooo...!" Min dan Jo manggut-manggut seolah tertegun mendengar kabar tersebut.
Pemilik kedai membersihkan meja di depan mereka dengan kain kering. Ia berkata
lagi: ''Tapi apakah betul dia yang bernama Suro Bodong, atau ada masalah lain dengan
orang itu, aku kurang jelas, Jo!"
"Pokoknya...," sahut Min. "Asalkan bertubuh besar, perutnya melendung ke depan
sedikit dengan puser yang bodong, ya itulah orangnya...!"
Suro Bodong buru-buru merapatkan baju merah yang jarang dikancingkan. Ia
memasukkan ujung bawah bajunya ke dalam celana supaya baju itu menjadi rapat. Ia
kembali menyimak pembicaraan mereka.
Kata Min, "Orangnya punya kumis tebal, dan rambutnya panjang. Kata beberapa
orang, dia punya banyak kesaktian. Herannya, kalau Raden Puger dan Dadung Wungu
tidak bisa menangkap Suro Bodong, mengapa ia serahkan kepada rakyat" Padahal
Raden Puger dan Dadung Wungu kan orang-orang sakti."
Jo menyambung, "Malah mereka konon pernah membunuh raja siluman di pesisir
Utara." Pemilik kedai berhenti melakukan pekerjaannya, lalu menimpali pembicaraan itu.
"Mungkin yang dimaksud Raden Puger adalah keterangan. Keterangan tentang di mana
Suro Bodong ada. Jadi, siapa saja yang bisa memberi keterangan di mana Suro
Bodong berada, ia akan mendapat hadiah. Syukur bisa menangkapnya sendiri.
Mungkin begitu maksudnya."
Suro Bodong baru saja mau bertanya kepada orang bertubuh kurus itu, tetapi tibatiba ada sesuatu yang menarik perhatian. Mata mereka memandang ke luar kedai.
Banyak orang berlari-lari ke satu arah. Ada yang berjalan dengan cepat dan ada
pula yang lari terburu-buru.
"Ada apa, Mo..."!" seru pemilik kedai.
Orang yang tengah berlari terburu-buru itu berhenti sejenak di depan kedai.
"Nonton orang dibakar hidup-hidup, Pak Suto! Ngeri, tapi aku ingin melihatnya
seperti apa! Yuk, ke sana...!"
"Di mana"! Di mana ada orang dibakar hidup-hidup"!''
"Di depan rumah Ki Lurah...!" jawab orang yang dipanggil, kemudian ia
melanjutkan larinya.
Min dan Jo, kedua penarik gerobak sapi itu buru-buru membayar makanannya.
"Aku juga mau melihat ke sana, ah. Seumur-umur baru sekarang aku akan melihat
orang hidup dibakar...!" kata Jo. Kemudian keduanya segera naik ke gerobak sapi
masing-masing. Orang yang makan di pojokkan juga buru-buru menyelesaikan
makannya, dan setelah membayar ia segera pergi ke arah rombongan orang berlari.
"Ki Sanak juga ingin menonton orang dibakar"!" sapa pemilik kedai kepada Suro
Bodong. Kepala Suro Bodong hanya menggeleng. Ia tetap tenang. Ia hanya menjawab, "Saya
takut, Pak."
"Saya juga. Tapi kalau tidak melihat jadi penasaran rasanya."
"Kalau Bapak mau melihatnya, silakan ke sana. Biar saya yang menunggu kedai
ini." Seorang perempuan berlari sambil menggendong anaknya berumur dua tahun.
''Pak." ''Kamu juga mau nonton, ya Sur...?"
"Iya, Pak Aku ndak percaya ada orang kok mau dibakar hidup-hidup. Katanya sih...
orang yang dicari-cari sudah ketemu, Pak. Aku jadi penasaran, ingin melihat
seperti apa orang yang bernama Suro Bodong itu."
"Lho, jadi yang mau dibakar itu Suro Bodong"!" tegas pak Suto, pemilik kedai.
''Iya...! Itu kata orang-orang kok!"
Pak Suto tertegun sejenak. Suro Bodong juga menjadi gelisah. Katanya, orang yang
mau dibakar itu Suro Bodong. Padahal saat itu Suro Bodong sedang makan di kedai,
dan bahkan mendengar sendiri berita tersebut Ah, hati Suro jadi penasaran
sendiri. "Ki Sanak, saya titip kedai ini, ya" Saya penasaran, ingin melihat seperti apa
ujud Suro Bodong itu?" kata pemilik kedai.
"Silakan, Pak. Tapi, ngomong-ngomong, mengapa Suro Bodong mau dibunuh?"
"Hanya soal dendam saja kok, Nak. Raden Puger punya adik, konon adiknya mati di
tangan Suro Bodong. Lalu, Raden Puger hendak menuntut nyawa ganti nyawa."
"Kenapa dia mencarinya di sini" Apakah ini wilayah Raden Puger" Dan apakah Suro
Bodong itu orang desa ini?" Suro Bodong memancing beberapa pertanyaan, dan pak
Suto menjawabnya dengan polos, sebab ia tidak tahu kalau yang sedang berbicara
dengannya itu adalah Suro Bodong sendiri.
"Raden Puger dan Dadung Wungu sebenarnya bukan orang desa ini. Tapi pamannya, Ki
Lurah Jayaraga, adalah paman dari Raden Puger. Dan menurut kabar, entah dari
mana asalnya, bahwa orang yang bernama Suro Bodong itu terlihat memasuki desa
ini kemarin pagi. Jadi, Raden Puger berusaha menemukan Suro Bodong sebelum Suro
Bodong pergi meninggalkan desa ini. Ah, sudahlah... nanti akan saya ceritakan
soal itu semuanya. Saya tahu banyak, sebab Raden Puger mampir ke mari dan
bercerita pada saya. Sekarang, saya mau nonton ke sana. Titip kedai ini, ya
Nak?" ''O, ya. Silahkan. Saya tunggu di sini, Pak...!"
Mungkin karena sikap dan penampilan Suro Bodong yang tenang itulah yang membuat
pak Suto tidak menyangka bahwa dia sedang berbicara dengan Suro Bodong asli.
Tetapi kepergian pak Suto membuat Suro Bodong termenung terbengong-bengong
sendirian. Nafsu makannya tidak ada. Ia minum tuak sedikit, kemudian berkecamuk
sendiri dalam hati. Ia bertanya -tanya, mengapa Raden Puger menghendaki
kematiannya" Kalau memang ingin balas dendam atas kematian adiknya, lantas siapa
adik Raden Puger itu" Dan siapa sebenarnya orang yang hendak mereka bakar itu?"
Lama-lama Suro Bodong jadi penasaran. Rasa ingin tahu tentang siapa yang hendak
dibakar jadi mendesak-desak pernafasannya. Maka, tanpa peduli keadaan warung
yang sepi, Suro Bodong pun ikut ke sana, nonton orang dibakar. Tapi tentu saja
ia tidak ingin ciri-ciri yang sudah diketahui orang itu menimbulkan kegaduhan
lagi. Tanpa peduli siapa yang memberi ciri-ciri tubuh Suro Bodong kepada Raden
Puger, Suro Bodong harus merubah dirinya agar bisa menyelidiki masalah
sebenarnya. Ia pergi ke belakang kedai. Tempatnya cukup sepi. Tak terlihat ada seorang pun
di sana. Maka, ia pun segera menggunakan jurus Luing Ayan-3, yang disebut pula
jurus Saptaraga. Ia bersalto di tanah, tubuhnya yang semula sedikit gemuk dan
berambut panjang sepundak dengan kumis tebal, kini telah berubah menjadi seorang
bocah berumur antara 10 sampai 15 tahunan.
Jurus Luing Ayan memang mampu merubah ujud Suro Bodong menjadi bentuk lain
sampai tujuh rupa. Itulah sebabnya ia pernah disebut sebagai pendekar 7 keliling
karena kehebatan ilmu semacam itu. Dalam keadaan menjadi seorang bocah, Suro
Bodong biasanya merubah namanya menjadi Tole. Ia mengenakan celana hitam, tanpa
baju. Berkalung ketapel atau slepetan, dengan potongan rambut yang kaku dan
tubuh yang kurus. Ia mirip anak yang terlantar.
Pada waktu Suro Bodong sampai di depan rumah Ki Lurah, ternyata tempat itu sudah
banyak dikelilingi manusia. Di tengah tanah lapang itu telah diikat seorang
lelaki bertubuh gemuk, rambut panjang dan perutnya sedikit buncit. Lelaki itu
berdiri di tengah tumpukan kayu bakar dalam keadaan tubuh terikat pada sebuah
tiang besar dari pohon kelapa. Orang itu tidak mengenakan baju, celananya merah.
Berbeda dengan celana Suro Bodong sebenarnya yang biru tua itu. Bagi Tole, jelas
orang yang mau dibakar itu bukan Suro Bodong. Bentuk tubuhnya memang mirip
dengan Suro Bodong, namun mereka salah comot dan memaksakan diri menganggap
orang itu adalah Suro Bodong. Maka, tak heran jika orang itu menangis ketakutan
sambil berseru:
"Aku bukan Suro Bodong...!! Oh, tolonglah... aku bukan Suro Bodong...! Kalian
salah sangka! Aku Mugeni...! Aku bukan Suro Bodong! Namaku Mugeni...!"
Tapi agaknya tak ada orang yang mau mendengarkan teriakan Mugeni. Suro Bodong
berjingkat-jingkat ingin melihat lebih jelas ke arah depan. Maklum, sekarang dia
menjadi anak kecil sehingga beberapa orang dewasa menghalangi penglihatannya.
Untuk memperoleh penglihatan yang jelas, Tole naik ke atas pohon yang ada di
sudut tanah lapang itu. Pohon jambu batu yang tidak seberapa tinggi, namun
ternyata dapat membantu Tole untuk melihat keadaan di tengah lapang. Tole, atau
Suro Bodong yang sebenarnya, sempat memperhatikan beberapa orang yang tengah
berembuk di depan tumpukan kayu bakar. Mereka mungkin Ki Lurah Jayaraga, Raden
Puger dan Dadung Wungu yang didampingi beberapa pesuruhnya. Tapi yang mana
Dadung Wungu, yang mana Raden Puger, Suro Bodong tidak bisa memastikan. Ia belum
mengenal mereka, bahkan Lurah Jayaraga pun belum pernah dikenalnya.
Suro Bodong baru semalam menginap di desa itu, di sebuah penginapan darurat. Ada
seorang penduduk desa yang rumahnya dekat perbatasan desa, dan menyediakan satu
kamar untuk menginap Suro Bodong dengan harga murah. Sedangkan tujuan Suro
Bodong sebenarnya akan ke Bandar Koja, daerah pesisir Selatan untuk mencari
keterangan tentang kapal-kapal yang datang dari negeri seberang.
Ia telah dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja, yang punya kekhawatiran
tentang serangan tentara Tiongkok di bawah pimpinan seorang kaisar. Sebab ada
beberapa pemerintahan yang pernah diserang oleh tentara Tiongkok untuk dilelang
kepada orang-orang pendatang. Untuk mengatasi hal tersebut, Suro Bodong
kebetulan berhasil diangkat sebagai menantu Sultan Jurujagad, kemudian
dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja itu. (dalam kisah PERTARUNGAN BUKIT
ASMARA). Karenanya, untuk melakukan pencegahan lebih awal, Suro Bodong perlu
menyelidiki keadaan di pelabuhan Bandar Koja tentang kemungkinan datangnya kapal
atau perahu asing. Tapi agaknya di desa Cengkir yang ia singgahi itu ada masalah
lain yang harus dituntaskan.
"Rakyat Desa Cengkir...!" teriak seseorang yang berdiri di depan tumpukan kayu
bakar itu. "Orang yang bernama Suro Bodong telah berhasil kami tangkap atas
bantuan Saudara Barsowi, yang memberi keterangan di mana orang itu bersembunyi.
Maka, sebelum Suro Bodong kami bakar, kami akan menyerahkan hadiah kepada
Saudara Barsowi berupa uang emas sejumlah dua puluh keping!"
Sorak rakyat membahana. Orang yang siap dibakar masih berteriak-teriak, "Aku
bukan Suro Bodong! Barsowi punya dendam kepadaku, lantas memfitnahku sebagai
Suro Bodong! Bukan...! Aku memang bukan Suro Bodong! Aku Mugeni...! Namaku
Mugeni dari desa Tundongan...!"
Seruan itu tidak dihiraukan. Orang berpakaian rapi dan mengenakan ikat kepala
dari kain batik halus itu berseru lagi kepada massa.
"Mana yang bernama Barsowi..." Barsowi... harap tampil ke depan untuk mendapat
hadiah dari Raden Puger, keponakanku sendiri...!"
Suro Bodong yang menjadi Tole segera mengerti, bahwa orang yang berseru tadi
adalah Ki Lurah Jayaraga. Di samping kirinya, ada orang yang mengenakan pakaian
rapi pula berwarna ungu, berlengan panjang dengan hiasan benang emas di tepian
bajunya. Pasti dia yang bernama Raden Puger. Orang tegap dan usianya sudah cukup
banyak, antara 35 tahunan. Sedangkan yang mengenakan rompi biru muda dengan
celana merah seperti yang dikenakan Raden Puger itu, pasti yang bernama Dadung
Wungu. Ia kelihatan lebih kasar dan lebih berotot ketimbang Raden Puger.
Kepalanya mengenakan ikat kain ungu, mirip baju yang dikenakan Raden Puger. Di
tangannya menggenggam tombak berujung clurit yang berkilauan ketajamannya.
Sedangkan Raden Puger hanya menyandang sebilah pedang bersarung perunggu di
pinggang. Gagang pedang itu mempunyai manik-manik batu permata warna putih dan
merah tua. Bagus sekali. Pasti Raden Puger bukan sekedar rakyat biasa. Paling
tidak orang tuanya, atau bahkan dia sendiri adalah orang penting dalam suatu
pemerintahan. Suro Bodong masih ingat seruan Mugeni tentang dendam Barsowi, sehingga membuat
Mugeni disangka Suro Bodong. Benar-benar keji hati Barsowi itu. Ia memaksakan
musuhnya mati di tangan Raden Puger dengan mengatakan bahwa Mugeni adalah Suro
Bodong. Ketika Mugeni berteriak sekeras-kerasnya, Barsowi hanya tertawa sambil
menunjukkan 20 keping uang emas dalam kantong kecil. Kemudian Raden Puger
memerintahkan beberapa pelayannya agar menyiram minyak pada kayu bakar yang
telah menumpuk di sekitar kaki Mugeni.
Pada saat itu, Suro Bodong yang menjadi anak kecil itu segera memetik buah jambu
batu yang masih keras. Ia mulai merentangkan ketapel atau slepetannya dari atas
pohon. Ia menghirup udara banyak-banyak, lalu disimpan dalam dada, setelah
memejamkan mata sejenak, ketapel itu pun dilepaskan.
"Wesss...!"
Jambu batu yang masih sekeras batu itu melesat cepat ke arah Barsowi. Saat itu
Barsowi telah berada di antara penonton yang mengerumuninya. Suro Bodong melihat
ada celah kecil yang menampakkan tangan Barsowi sedang memegang kantong uang.
Lewat celah kecil, di antara kepala-kepala dan pundak-pundak penonton itulah
jambu batu itu meluncur cepat dan mengenai tangan Barsowi Keadaan menjadi gaduh.
Barsowi menjerit keras sekali. Jambu batu itu menghantam tangannya dan
menimbulkan letupan yang mengagetkan Barsowi dan orang di sekelilingnya. Barsowi
sangat kesakitan, karena letupan jambu batu itu mengakibatkan tangannya hancur
sampai sebatas pergelangan tangan. Ia bagai dihantam dengan bom kecil yang
membuat kantong uangnya jatuh entah ke mana, dan tangannya hancur dengan keadaan
sangat mengerikan.
"Aaaoow...!! Tangankuuu...! Tangankuu...!! Aaahh...!"
Suasana jadi kacau balau. Orang-orang menyingkir dari Barsowi dalam keadaan
panik. Raden Puger dan Ki Lurah sama-sama terkejut. Mereka memandang Barsowi.
Sementara itu, Dadung Wungu matanya jelalatan mencari orang yang mengacaukan
suasana itu. "Lepaskan akuuu....'!" teriak Mugeni yang tubuhnya sudah banyak luka akibat
siksaan sebelumnya. "Kalau ingin Barsowi selamat, lepaskan akuuu...!!"
"Diaaam...!!" teriak Dadung Wungu sambil melemparkan batu dan mengenai dagu
Mugeni. Dagu itu berdarah dan Mugeni menjerit kesakitan. Namun, agaknya ia
berusaha terus untuk melepaskan diri. Suasana sudah kacau, dan itu kesempatan
bagi Mugeni untuk mencari peluang. "Barsowiii...! Kalau kau ingin selamat,
katakan kepada mereka bahwa aku bukan Suro Bodong! Lekas katakaaan...!"
Barsowi sibuk menjerit-jerit karena ia kehilangan telapak tangan kirinya.
Mungkin karena tertutup suara gaduh penonton yang panik, maka suara Mugeni itu
tidak mendapat sambutan dari Barsowi.
"Gotong dia ke rumah!" teriak Ki Lurah Jayaraga. Kemudian beberapa orang
menggotong Barsowi ke rumah Ki Lurah yang ada di belakang para penonton.
Raden Puger berseru, "Orang itu harus tetap dibakar! Dia Suro Bodong, yang telah
membunuh adikku dengan keji! Bakar dia sekarang juga!"
Beberapa orang menyiramkan minyak lagi. Lalu salah seorang menyalakan api pada
sebuah obor darurat yang akan dilemparkan ke timbunan kayu bakar. Mugeni
berteriak-teriak ketakutan.
Pada saat itu, Suro Bodong memetik buah jambu batu lagi. Dari atas pohon jambu
ia mengincar tangan pemegang obor yang belum sempat menyala. Ketapelnya ditarik
dengan nafas tersimpan kuat-kuat, lalu melesat cepat melalui celah-celah antara


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala dengan pundak penonton. "Weees...!" dan sekali lagi jambu batu itu bagai
sebuah bom kecil yang mampu meledakkan tangan pembawa obor.
"Aaaooww...!!"
Tangan itu hancur dan bagai terpotong sebatas pergelangannya. Kepanikan semakin
menggaduhkan suasana. Barsowi sudah digotong ke ru-mah Ki Lurah, sekarang
menyusul lagi satu orang yang harus segera digotong. Sudah tentu hal itu sangat
membuat Dadung Wungu yang agaknya bertugas sebagai pelindung Raden Puger segera
menyusup keluar dari lingkaran musuhnya yang tersembunyi.
Kali ini, Tole sengaja memetik beberapa ranting kering. Ranting sebesar ibu
jarinya dipakai sebagai peluru ketapelnya. Ketapel dislepetkan ke arah kepala
Dadung Wungu yang membelakang-nya.
"Pletaak...!!"
Dadung Wungu menyeringai sakit sambil memegangi kepalanya. Kebetulan waktu itu
di belakangnya berdiri seorang pemuda yang tadi sangat kegirangan dan bertepuk
tangan ketika Barsowi menerima hadiah. Dadung Wungu segera menampar pemuda itu
sambil berteriak:
"Bangsat...!!" Kau yang melemparku dengan ranting ini, ya"!"
Plak... plak... plak...!"
"Ampun... bukan..." Pemuda itu tidak sempat bicara lebih panjang lagi. Dadung
Wungu segera menendangnya hingga pemuda itu terpental. Lalu, pingsan bersandar
sebuah pohon lain yang ada di depan rumah Ki Lurah. Dadung Wungu mengusap-usap
kepalanya yang terasa sakit dan benjol akibat slepetan tersebut. Sedangkan Suro
Bodong dalam ujud seorang bocah hanya tertawa tertahan dari atas pohon jambu
batu. "Cepat bakar...!" teriak Raden Puger dengan kemarahan yang membuat nafasnya
terengah-engah. Seorang pelayan segera menyiapkan api pada obor yang akan
dipakai untuk menyundut tumpukan kayu yang telah tersiram minyak itu.
"Wesss...!" sekali lagi Suro Bodong kecil meluncurkan sebuah jambu batu melalui
ketapelnya. Jambu itu tepat mengenai obor yang belum sempat menyala, dan
menimbulkan ledakan kecil yang mengagetkan siapa saja. Obor itu pecah, menjadi
serpihan-serpihan pada bagian ujung obor sampai ke tengahnya.
Raden Puger bertambah amarahnya. Ia sempat berteriak:
"Bangsaaat...!! Keluar dari persembunyianmu! Tampakkan wajahmu dan hadapi aku.
Jangan berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi...!!"
Para penonton mulai mundur, menjauh. Mereka takut terkena sasaran
kemarahan Raden Puger. Mata Ki Lurah dan Dadung Wungu juga jelalatan mencari
musuh mereka. Namun, anehnya tak satu pun dari mereka yang mencurigai pohon
jambu di sudut. Memang letaknya jauh dari mereka, pantas rasanya jika mereka
tidak menaruh curiga. Mereka mengira, ada serangan tenaga dalam yang di
lancarkan di sekitar itu.
"Dadung...!!" teriak Raden Puger dengan muka memerah.
''Lindungi aku di sini, biar akan kubakar sendiri Suro Bodong itu! Cepaaat...!!"
Dadung Wungu buru-buru berdiri dengan posisi bertolak belakang dengan Raden
Puger. Ia memegangi tombak berujung clurit dengan kedua tangan. Tombak seakan
menyilang di depan Dadung Wungu, dan mata Dadung Wungu bergerak liar.
Raden Puger menyalakan kayu yang sudah dicelupkan ke dalam minyak.. Kemudian
menyulutnya, sementara Dadung Wungu siap-siap menunggu serangan dari lawan. Arah
serangan itu yang ia tunggu.
Tetapi Suro Bodong tidak mau berbuat sebodoh itu. Ia tidak ingin arah
serangannya diketahui oleh Dadung Wungu. Sebab itu ia tidak melepaskan peluru
ketapelnya pada Raden Puger. Ia diam saja, duduk di sebuah dahan yang terlindung
oleh segerombolan daun jambu yang rindang.
Toloooong...!! Lepaskan akuuu...! Aku bukan Suro Bodong...!" teriak Mugeni.
Suro Bodong, si bocah berambut jabrik itu, diam saja memandang ke arah tumpukan
kayu yang hendak dibakar. Beberapa saat kemudian, tumpukan kayu itu benar-benar
menjadi terbakar. Berkobar-kobar setelah Raden Puger melemparkan api di ujung
kayu. Raden Puger kelihatan mulai lega melihat tawanannya berteriak-teriak
sangat ketakutan.
Tetapi hal itu berlangsung tidak lebih dari dua hitungan. Api di atas tumpukan
kayu itu tiba-tiba menjadi padam tanpa ada hembusan angin ke kiri atau ke kanan.
Semua orang menjadi heran dan saling menggumam sendiri-sendiri.
Raden Puger mencoba lagi, mencelupkan ranting kering dan menyalakannya dengan
korek batu, kemudian melemparkan ranting itu ke tumpukan kayu.
"Buus...!" Kayu-kayu itu terbakar. Nyala apinya berkobar, sebagian ada yang
sudah menjilat celana Mugeni. Itu membuat Mugeni menjerit keras sekali dengan
otot mengejang. Tetapi, hanya dua hitungan, api itu padam lagi. Anehnya tak ada
angin yang membuat nyala api bergerak ke mana-mana. Nyala api itu bagai ditelan
ke dasar bumi. Padam. Surut begitu saja. Dan mati lagi, kecuali meninggalkan
asap yang mengepul sekejap.
Suro Bodong tersenyum. Ujudnya yang seperti bocah itu benar-benar tidak
mencurigakan seseorang. Memang ada dua orang yang pernah menengok ke atas dan
melihat Tole ada di pohon, namun mereka tidak menyangka sama sekali bahwa justru
bocah telanjang dada itulah yang mengacaukan acara pembakaran orang hidup sejak
tadi. "Pasti pengacau itu masih berniat menggagalkan rencana kita," ujar Ki Lurah yang
sempat didengar Tole secara samar-samar.
''Pengacauuu...!" teriak Raden Puger dengan berang. "Ayo, keluar dari
persembunyianmu...! Hadapilah kami!!"
Sampai lama mereka bungkam dan menghentikan acara tersebut. Mugeni sempat
berseru: ''Itulah akibatnya jika menghukum orang tak berdosa! Kalian terancam! Kalian
dalam bahaya! Karena dari itu, lepaskanlah aku...! Aku bukan Suro Bodong...!"
Semua memandang Mugeni, sepertinya ada sorot keraguan di mata Raden Puger dan Ki
Lurah. Tetapi Dadung Wungu yang masih berdiri bertolak belakang dengan Raden
Puger segera berseru:
"Nyalakan api sekali lagi, aku ingin tahu dari mana sumber kekuatan itu...!!"
Raden Puger bertekad menyalakan api lagi. Dan memang benar, api sudah dinyalakan
lalu dibuang ke tumpukan kayu. Kayu itu terbakar seketika. Namun mata Tole
memandang tiada berkedip. Dan api itu surut, padam bagai kehabisan minyak. Gumam
orang-orang kembali menggema.
"Bangsat! Benar-benar ada yang ingin menantangku!" teriak Raden Puger dengan
muka merah. Kemudian ia mengeraskan kedua tangannya ke atas. Jari-jemarinya
menekuk kaku, kemudian kedua tangannya menghentak ke depan. Ada semacam loncatan
bunga api keluar dari kedua telapak tangannya. Api membakar tumpukan kayu, tapi
Tole memandangnya tanpa berkedip, dan api itu padam lagi. Raden Puger
menggunakan ilmu tenaga dalamnya sekali lagi, api itu terbakar, namun segera
padam lagi. Dengan jengkel, akhirnya tenaga dalam yang keluar dari telapak
tangan itu ditujukan ke tubuh Mugeni. Loncatan bunga api terarah ke sana. Dan
pada saat itu, Tole mengeluarkan api warna biru yang menghadang loncatan bunga
api tadi. Kedua sinar itu bertemu dan menjadikan ledakan dahsyat
''Sinar itu dari pohon jambu...!" teriak Dadung Wungu.
2 Hampir saja Tole mati hangus oleh jurus tenaga dalam yang dilancarkan oleh Raden
Puger. Loncatan bunga api segera melesat ke pohon jambu batu ketika Dadung Wungu
memberi tahu bahwa lawan mereka bersembunyi di pohon tersebut. Untung waktu itu
Tole melompat secepatnya tanpa memikirkan ketinggian yang ada. Begitu Tole
melompat, pohon itu telah terbakar seketika. Dadung Wungu sempat berseru:
"Itu dia...! Bangsat cilik itu pasti yang menjadi pengacaunya!"
"Kejar...!!" seru Ki Lurah Jayaraga. Kemudian beberapa orang pesuruhnya mengejar
Tole yang berlari tunggang-langgang ketakutan.
Para penonton meski dilewati Tole, namun tak ada yang mau menangkapnya, sebab
mereka tidak yakin kalau anak kecil itu penyebab kekacauan tadi.
"Emaaaak...! Emaaak...!" Tole berlari sambil berseru ketakutan, selayaknya anak
kecil yang takut tertangkap kaum penyiksa. Hal itu membuat rakyat yang berkumpul
di situ merasa iba hati, mereka semakin yakin, bukan Tole yang mengacaunya. Ada
yang berbisik kepada temannya:
"Kasihan anak kecil itu. Ia belum tahu dosa apa-apa sudah menjadi bahan buruan."
"Kurasa dia hanya menjadi tempat pelampiasan amarahnya Raden Puger," kata
temannya. Sementara yang lain menggerutu pada sebelahnya:
''Ki Lurah sendiri ternyata orang yang tidak bijaksana. Masa' anak kecil seperti
itu disuruh mengejar mereka!"
Lagak Suro Bodong yang telah menjadi anak kecil itu, benar-benar menampakkan
kekecilannya. Suara dan gerak-geriknya sungguh persis bocah kemarin sore. Ia
berlari kian ke mari menghindari kejaran anak buah Ki Lurah Jayaraga. Ia
melompat ke sana ke mari seperti anak kijang yang takut dikejar pemburu. Namun
tiba-tiba ia berhenti karena di depannya sudah berdiri Dadung Wungu yang
mengepungnya. Segera ia menerobos ke arah kiri, melalui samping sebuah rumah
penduduk. Namun ia terpaksa berhenti lagi dengan mata membelalak ketakutan. Di
depannya telah berdiri Raden Puger dengan wajahnya yang memerah karena menahan
amarah. Terpaksa Tole berbalik arah sekali pun sudah ada dua orang yang
menghadangnya. Ia menerobos di bawah kaki salah seorang penghadang dan berhasil
lolos. Lalu ia kembali berlari ke tanah lapang, tempat tumpukan kayu itu berada.
Ia terkejut sejenak karena melihat tiang yang dipakai mengikat Mugeni itu telah
kosong. Ke mana Mugeni" Siapa yang melepaskannya"
Karena sudah keburu ada yang mengejar, Tole segera berlari ke arah lain dengan
mimik ketakutan. Ia masuk ke sebuah rumah, tapi sebelum menginjak pekarangan
rumah itu, tahu-tahu sebuah tangan kekar menyahutnya dan membuat Tole tak dapat
bergerak ketika rambutnya dijambak oleh tangan kekar itu.
"Mau lari ke mana kau tikus busuk..!!" geram Dadung Wungu yang memegang lengan
Tole dengan genggaman keras. Tole meringis dan berseru:
"Ampuuun...! Bukan saya...! Emaaak.. tolong aku, Maak...!"
Dadung Wungu menyeret Tote dengan kasar sekali. Tiba-tiba kepalanya tersentak
keras dan ia mengaduh seketika. Sebuah tendangan melayang dan mengenai kepala
Dadung Wungu. Tendangan itu berasal dari seorang perempuan muda berbadan sekal
dengan rambutnya yang hanya sebatas punggung. Dadung Wungu tak sempat memegang
Tole ketika lehernya dipukul oleh perempuan berbaju serba kuning.
"Jangan hanya berani kepada bocah kecil, Pengecut!" teriak perempuan itu sambil
meraih tubuh Tole. Kemudian ia segera menggendong Tole dan melarikan dengan
gerak ilmu ringan tubuh yang amat cepat. Dadung Wungu dan konco-konconya tidak
berhasil mengejar perempuan tersebut, sementara Raden Puger marah-marah karena
Mugeni hilang. Tole berlagak pingsan waktu ada dalam gendongan perempuan berpakaian serba
kuning gading itu. Ia membiarkan dirinya di bawa entah ke mana, sampai ia akan
tahu siapa perempuan yang tahu-tahu muncul dan menolongnya itu.
Rupanya Tole dibawa ke sebuah pondok di lereng tebing. Tole berlagak siuman
ketika perempuan itu meletakkan tubuh Tole di atas bale. Suara air terjun
terdengar samar-samar. Desiran angin terasa membuat bulu kuduk merinding.
''Syukurlah kalau kau sudah siuman," kata perempuan itu.
Tole mengerjap-ngerjap mata, lalu melongo sambil memandang keadaan sekeliling.
Ia bertanya dalam kebingungan yang dibuat-buat.
"Aku ada di mana?"
Perempuan itu menjawab dengan suara lembut, "Kau berada di pondokku. Pondok
Lereng Sewu." Tole masih clingak-clinguk, tak sedikit pun ada kesan bahwa
sebenarnya Tole adalah seseorang yang dewasa, yakni Suro Bodong.
"Siapa namamu?"
''Tole...!" jawab Tole dengan rasa takut yang dibuat-buat. Perempuan berpakaian
serba kuning itu berkata:
"Jangan takut. Kau di sini aman. Jauh dari mereka yang mengejarmu. O, ya...
kuharap kau betah tinggal di sini."
"Tinggal di sini"!" Tole berkerut dahi dengan wajah bagai dalam kecemasan. Suro
Bodong pintar memainkan mimik seperti itu. "Kakak sendiri siapa"!"
"Panggil saja aku: Dewi Gading. Kau boleh memanggilku pakai sebutan kakak, boleh
juga pakai sebutan Mbak, dan kalau kau mau memanggilku Dewi saja juga boleh,"
perempuan itu menyunggingkan senyumnya yang manis. Tole masih menampakkan wajah
pilonnya, melongo dengan mata kedip-kedip mirip anak cacingan.
"Dengan siapa Kakak tinggal di sini?"
"Aku sendirian. Ini dulu bekas pondok guruku yang telah lama meninggal dunia.
Dan, aku yang menempatinya sekarang. Di sini kau bisa belajar ilmu kanuragan
denganku. Kau suka ilmu silat"!" Tole hanya diam, memandang pemandangan alam di
mana banyak pohon bambu di seberang tebing yang sangat curam itu.
"Kenapa kak Dewi tinggal di sini"!" tanya Tole seakan tidak mau menanggapi
pertanyaan Dewi tadi.
"Aku ingin mewariskan ilmu dari guruku. Sebab, hanya aku pewaris tunggal ilmu
dari guru. Dan kubayangkan kalau sampai aku mati di suatu saat, tentu ilmu itu
akan punah. Maka, aku perlu mencari seorang murid yang mau menerima warisan ilmu
guruku yang ada padaku ini."
"Apakah guru kak Dewi sakti"!"
"Ya. Ia mewariskan ilmu yang cukup hebat padaku," perempuan itu berkata sambil
mengusap-usap kepala Tole.
"Apakah guru kak Dewi punya banyak ilmu?"
"Ya."
"Kenapa bisa mati" Kan ilmunya banyak"!"
"Setiap manusia bisa mati, Tole."
"Aku juga bisa mati?"
"Bisa," jawab Dewi dengan tersenyum geli.
''Tapi, aku tidak mau keburu-buru mati, ah..! Akan kupertahankan hidupku, sebab
aku belum..." Karena Tole berhenti bagai ragu-ragu, Dewi Gading memburu dengan
pertanyaannya: ''Sebab apa, maksudmu?"
"Sebab... sebab aku belum kawin...!"
Dewi Gading tertawa geli sambil memeluk kepala Tole hingga lekat betul dengan
dadanya yang menonjol padat itu. Dewi Gading mengusap-usap rambut Tole,
sepertinya kepala Tole dioser-oserkan di dada yang menonjol maju itu. Tawa Dewi
Gading cukup lepas ceria. Ia tampak gembira sekali memperoleh teman seperti
Tole. ''Tole, kalau kau ingin bertahan hidup, kau harus punya ilmu bela diri. Sebab
manusia itu tidak luput dari bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang, seperti yang
kau alami tadi."
"Ah, itu bukan bahaya kok. Sekedar main-main saja," jawab Tole membayangkan
masalahnya dengan Raden Puger.
"Bagus. Sejak kau berlari dikejar-kejar orang-orang itu, aku sudah menduga bahwa
kau bocah yang punya keberanian. Karena itu aku ingin sekali mengangkat kau
sebagai muridku."
Tole tidak memberikan komentar selayaknya, ia bahkan berjalan keluar dari
serambi pondok dan memandang keadaan alam sekitarnya. Pondok itu sungguh
merupakan rumah yang tepat untuk mengasingkan diri. Pondok itu terletak di
sebuah tebing yang amat curam. Ada sungai di bawah sana, tapi dari pondok hanya
kelihatan seperti garis putih sebesar benang tenun. Iih... alangkah tingginya
antara pondok dengan dasar jurang itu. Sedangkan sewaktu Tole mendongak ke atas,
ia pun jadi merinding melihat tepian jurang di atas sana cukup tinggi. Entah
berapa lama orang harus mendaki dari pondok ke atas tebing dan mencapai
permukaan dataran di atas sana. Mengerikan sekali kalau sampai tergelincir dari
atas pondok itu, apalagi ke dasar jurang. Ohh... mungkin tubuh yang tergelincir
tak akan sempat utuh begitu sampai di dasar jurang.
Dewi Gading jelas bukan perempuan yang hanya sekedar mempunyai ilmu silat yang
lebih dahsyat dari ilmu bela dirinya. Tanpa mempunyai keunggulan ilmu, tak
mungkin Dewi Gading bisa mencapai pondok sambil menggendong tubuh Tole. Paling
tidak ia sangat menguasai ilmu peringan tubuh yang benar-benar sempurna.
Tole berdecak sendiri memperhatikan betapa tingginya permukaan tanah di atas
sana. Ia bagai berada dalam himpitan lobang dari sebidang tanah yang meretak
dalam. Ada beberapa pohon bambu dan sejenisnya di tebing seberang, tetapi di sekitar pondok
itu tidak terlalu lebat. Tanah tebing di situ merupakan campuran antara tanah
lempung dengan cadas yang membatu. Keadaannya hampir selalu licin, sebab sinar
matahari yang masuk ke situ hanya sebagian saja. Dedaunan yang rimbun di bagian
atas tebing membuat sorot matahari tidak sepenuhnya masuk ke dalam celah tebing
itu. Sedangkan tempat datar memang ada di sekeliling pondok tersebut. Dari tanah
datar tersebut menghasilkan tebing baru di tepiannya, lalu ada lagi tanah datar
walau kecil, lalu ada lagi tebing yang curam, ada lagi tanah datar dan begitu
seterusnya, bagai tangga raksasa. Menurut Tole, tanah datar yang paling lebar
hanya yang ada di pondok Lereng Sewu itu.
Di luar dugaan, malam hari hawa di lereng itu sangat dingin. Bahkan melebihi
kedinginan di puncak gunung. Tole menggigil ketika malam itu ia pergi keluar
untuk buang air. Angin berhembus tidak begitu kencang, namun udara dingin yang
dibawanya sangat mengilukan tulang.
''Dingin sekali, Kak... ''
"Memang. Alam di sini punya banyak kelainan dengan keadaan alam di lain tempat."
Dewi Gading menuang minuman penghangat tubuh, merupakan campuran jahe dengan
lada dan gula aren yang kental.


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minumlah ini, sangat enak untuk penghangat tubuh," kata Dewi Gading.
Mereka duduk di seperangkat bangku yang terbuat dari potongan batang kayu besar.
Garis tengah batang kayu itu antara setengah meter. Dipotong papak, dan masingmasing kayu tingginya juga sekitar setengah meter. Ada empat balok kayu yang
mengelilingi meja bundar tak teratur, juga terbuat dari balok kayu yang tipis
tapi lebar dan berkaki empat.
''Di mana orang tuamu, Tole" Apakah mereka tinggal di desa itu juga"! ''
"Aku... aku sendiri tidak tahu, kak. Aku tidak punya tempat yang pasti, kadang
di sini, kadang di sana..."
''Pantas kau punya keberanian," kata Dewi
"Kalau kepepet ya bisa punya keberanian," ujar Tole, kemudian ia menghirup
minuman penghangat tubuhnya.
"Aku sudah tiga tahun tinggal di sini," kata Dewi, "Tetapi baru kali ini aku
menemukan bocah seberani kamu!"
"Maksudmu apa, kak?" Tole bertanya begitu, karena ia merasa menemukan satu
kejanggalan yang sukar dijelaskan.
"Banyak sekali kutemukan bocah seusia kamu, tapi pada umumnya mereka mempunyai
nyali yang rendah. Kecil. Aku melihat kau loncat dari pohon jambu ketika orang
yang bernama Raden Puger itu menyerang pohon itu. Aku mulanya mengira kau setan
kecil. Eh, rupanya kau hanyalah bocah desa yang punya keberanian tinggi. Berani
dan menghindar terus dari kepungan mereka. Kau tidak mudah menyerah, lalu hatiku
berkata, bocah seperti itulah yang pantas menerima segala ilmuku. Karena itu,
aku membawamu ke mari."
"Lalu, kenapa mereka jadi berang padaku?" Tole berlagak bodoh.
"Raden Puger dan orang-orangnya mengira kau telah mengacau rencana mereka."
''Mengacau" Apakah nonton dari atas pohon itu mengacau?"
"Ada orang yang mempunyai ilmu tinggi yang telah memadamkan api di kayu bakar
itu. Kau lihat sendiri, bukan, bahwa setiap api yang dibakar selalu padam
seketika, tanpa angin. Belum lagi tangan orang yang menerima hadiah itu jadi
buntung mengerikan begitu, pasti karena serangan ilmu jarak jauh yang bertenaga
dalam cukup tinggi. Aku sendiri mengakui bahwa memang ada orang berilmu tinggi
pada waktu itu."
Tole manggut-manggut dengan mulut melongo. Tubuhnya yang kurus dan telanjang
tanpa baju itu kali ini mengenakan kain selimut yang cukup tebal. Konon kain itu
sering dikenakan guru Dewi semasa hidupnya.
"Itu selimut guru semasa hidupnya. Dan, aku sendiri jarang memakainya. Tapi
berhubung tidak ada selimut lain, dan kau akan menjadi muridku, kurasa tak
apalah kalau selimut itu kau pakai."
"Guru kak Dewi siapa namanya?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Apakah tak boleh" Kalau tak boleh, ya sudah, aku tidak ingin menanyakannya
lagi." Dewi menjangkau kepala Tole dan mengusap-usapnya, selayaknya ia mengajak
bercanda. "Guruku adalah... Ratna!"
Tak disengaja wajah Tole tersentak kaget memandang Dewi Gading. Matanya melebar
dan wajah itu menjadi tegang. Dewi menjadi heran, lalu ia bertanya:
"Kenapa kau terkejut"! Kenapa, Le?"
Menggeragap seketika itu mulut Tole. Ia mulai bingung, dan menyadari bahwa
sebagai bocah kecil ia seharusnya tidak terkejut bahwa mendengar nama Ratna.
Kalau saja ia berdiri sebagai sosok Suro Bodong, mungkin ia akan menanyakan
apakah nama kepanjangan guru itu adalah Ratna Prawesti" Tapi, menyadari
keadaannya sebagai bocah, Tole tidak menanyakan lebih lanjut. Ia hanya terdesak
oleh pertanyaan Dewi.
''Tole, kenapa kau terkejut begitu mendengar nama Ratna" Ada apa sebenarnya?"
Akhirnya, untuk menutupi perasaan sebenarnya, Suro Bodong yang berujud bocah
kecil itu menjawab asal jadi:
"Dulu aku punya teman juga bernama Ratna. Anaknya seusia denganku. Tapi... dia
mati gara-gara kebanyakan makan singkong racun."
Dewi menghempas nafas lega secara samar-samar. Ia tersenyum, bahkan tertawa
kecil. Tole sendiri merasa lega, dapat mengalihkan kecurigaan Dewi Gading.
Perempuan itu merebahkan tubuh ke bale dari bambu yang dianyam rapi. Pondok itu
tidak mempunyai kamar khusus, kecuali kamar yang ada di bagian tengah dan
ditutup dengan pintu dari anyaman kayu-kayu kering. Mirip seperti pintu kamar
tahanan. Konon kamar itu adalah kamar guru Dewi yang tidak boleh dimasuki siapa
pun jika tanpa seizin Dewi. "Kalau kau sudah merasa ngantuk, berbaringlah di
sini, Tole. Jangan melek sampai larut malam! Nanti kamu sakit. Apalagi kau belum
terbiasa dengan udara sedingin ini."
Tak ada tempat tidur lain kecuali bale itu. Tole agak riskan untuk tidur
seranjang dengan Dewi Gading. Mungkin bagi Dewi tidak masalah tidur dengan bocah
kecil seperti Tole, tapi lain masalahnya dengan Tole, sebab ia tahu bahwa
dirinya sebenarnya bukan anak kecil. Tole menyadari bahwa ia adalah Suro Bodong
yang sengaja merubah ujud seperti anak kecil. Kalau saja Tole berujud Suro
Bodong yang sebenarnya, barangkali masalahnya juga akan lain. Mungkin Dewi
Gading tidak mau menolong dan membawanya ke mari, atau mungkin Suro Bodong akan
terang-terangan menolaknya.
Tetapi sebagai Tole, haruskah ia menolak tidur seranjang dengan Dewi Gading" Apa
kata Dewi nanti" Apa kecurigaan Dewi nanti jika Tole menolaknya. Tapi jika Tole
mau tidur bersama Dewi Gading, bagaimana perasaannya" Tidakkah itu akan menyiksa
jiwanya sendiri" Dewi cukup cantik, berkulit kuning, berambut hitam bening dan
bergelombang indah. Bibirnya juga sensual dan menggairahkan. Belum lagi dadanya
yang membusung penuh tantangan birahi.
Oh... seperti sebuah siksaan yang keji jika Tole tidur di samping perempuan
secantik itu. Untung ada meja kayu yang berpenampang lebar. Tole sengaja tidur di atas meja
dalam keadaan meringkuk seperti gagang golok. Ia pergi tidur setelah Dewi Gading
kelihatan nyenyak tertidur. Ia sempat memandangi perempuan itu beberapa saat,
lalu untuk menghilangkan pikiran yang menyiksa batin, ia mengambil keputusan
untuk tidur di atas meja. Namun benaknya sempat menerawang dan bertanya-tanya:
mengapa ia jadi berada di tempat seperti itu" Bagaimana dengan Nyi Mas Sendang
Wangi, anak sultan yang telah resmi menjadi istrinya itu" Bagaimana tugasnya
menyelidiki keadaan di Bandar Koja, pesisir Selatan" Lalu, bagaimana pula dengan
keadaan dirinya" Haruskah ia berujud Tole terus-menerus" Sampai kapan ia harus
berada di Pondok Lereng Sewu itu" Ah, bingung!
Tole tak sempat menemukan jawabannya malam itu, karena ia telah diserang rasa
kantuk, sehingga ia tidur dengan lelap sekali. Esok paginya ia dibangunkan oleh
Dewi: "Tinggallah di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan menyelesaikan urusanku dulu
di atas...!"
Tole bertanya-tanya lagi di dalam hatinya; urusan apa yang dimaksud Dewi"
Perempuan itu melompat dan bersalto beberapa kali untuk mencapai atas, ke
permukaan tebing. Melihat gerakannya yang lincah dan penuh semangat, pasti ada
sesuatu yang dirahasiakan oleh Dewi. Tole sendiri sengaja merenung dan mencari
jawaban dari pertanyaan hatinya: siapa Dewi Gading sebenarnya" Apa kerjanya dan
mengapa mau tinggal di pondok yang sangat terpencil ini" Sepertinya ia sedang
menyembunyikan diri di pondok Lereng Sewu itu. Dan... haruskah Tole mengetahui
urusan Dewi"
O, ya...! Ada satu hal yang membuat Tole harus tetap bertahan di pondok itu.
Dewi menyebut nama gurunya adalah Ratna. Siapa tahu memang benar Ratna Prawesti
yang dimaksud Dewi. Dulu, Suro Bodong pernah diberi tahu oleh Eyang Panembahan
bahwa Ratna Prawesti itu tidak ada. Itu hanya bayangan dalam benak Suro Bodong.
Dan Suro Bodong yang sudah sekian lama memburu kekasihnya yang bernama Ratna
Prawesti itu sempat melupakannya, lalu ia kawin dengan anak sultan Praja yang
bergelar sultan Jurujagad.
Tapi, sekarang ia mendengar nama Ratna dari mulut Dewi sebagai nama guru Dewi
yang sudah almarhumah.
Apakah itu Ratna Prawesti" Dan pertanyaan seperti itulah yang kembali
menghadirkan rasa penasaran di hati Suro Bodong, sekali pun ia dalam ujud Tole,
bocah kecil berambut jabrik.
Dalam kesendiriannya itu, Tole berhasil menembak seekor burung dengan
ketapelnya. Ia bermaksud membakar burung itu untuk sarapan pagi Tetapi ia
bingung mencari dapur di pondok itu.
Pondok Lereng Sewu adalah sebuah rumah yang terbuat dari susunan batu kali yang
rapat. Dinding kanan kiri dan depan semuanya terbuat dari batu bersusun-susun.
Tetapi pondok itu tidak mempunyai bagian belakang, karena bagian belakangnya
bagai masuk ke dalam lereng. Rapat dengan lereng cadas yang membatu. Pondok itu
hanya terdiri dari serambi depan, dan ruang tengah yang sekaligus bisa dikatakan
sebagai ruang tamu maupun ruang tidur: Tidak ada dapur. Di luar pun tidak ada
bekas tempat memasak. Hanya ada sebuah kamar mandi, yang mendapat air dari pipa
berupa pelepah-pelepah batang daun kelapa kering, sambung menyambung panjang
sekali, yang diperkirakan ujungnya ada di tempat air terjun. Apa bila malam,
pelepah daun kelapa yang berfungsi sebagai penyalur air itu terdengar
mengucurkan air ke dalam tempayan besar. Tetapi jika pagi
sampai siang, tak ada air yang mengalir ke situ. Agaknya hal tersebut sudah
dipelajari oleh guru Dewi sebelumnya, sehingga apa bila malam hari tiba, ia tahu
air di pusat akan meluap dan mengalir ke tempat lain. Maka air yang meluap
itulah yang ditampung ke dalam tempayan besar tersebut.
Seekor burung telah dibersihkan oleh Tole. Tapi ia masih bingung mencari tempat
untuk memasak burung tersebut. Memang akhirnya ia membakar burung itu di samping
rumah lalu memakannya sebagian. Sisa daging burung bakar itu disediakan untuk
Dewi. Tetapi rasa penasaran masih menggeluti hati Suro Bodong yang menjadi bocah
itu. Mengapa tak ada dapur" Mengapa tak ada kamar lain kecuali kamar bekas
mendiang guru. Mengapa rumah harus menempel bagian belakangnya pada dinding
tebing" Apa sebenarnya yang ada di dalam kamar mendiang guru, sehingga Dewi
sangat wanti-wanti agar Tole jangan masuk ke kamar itu"
Sifat Suro Bodong yang asli keluar dalam diri Tole. Ia menjadi penasaran karena
wanti-wanti dari Dewi yang sering diucapkan itu. Sebab itu, mumpung Dewi Gading
pergi, Tole menyempatkan masuk ke, kamar mendiang guru. Pintunya yang terbuat
dari anyaman batang kayu selain berat diangkat juga dirantai rapat. Ada semacam
gembok yang membuat rantai itu susah dibuka. Tak ada cara lain bagi Tole untuk
dapat membuka rantai tersebut, kecuali membekukan lobang gembok tersebut.
Ia menghirup nafas dalam-dalam, kemudian di tahan kuat-kuat di dadanya. Tangan
kanannya bergerak kaku, dari atas ke bawah, seakan sedang menarik beban yang
amat berat. Jari telunjuknya berdiri sedang jari lainnya menggenggam. Jari
telunjuk itu kaku sekali seperti besi. Kemudian, perlahan-lahan jari telunjuk
itu ditempelkan ke lobang gembok. Jari itu menjadi putih dan mengeluarkan
semacam busa es yang d ingin. Asap es dingin juga terlihat mengepul tipis. Dan
sampai beberapa lama hal itu dilakukan, kemudian gembok itu sendiri mulai
berbusa pada bagian lobangnya.
Kian lama, terdengar juga suara:
"Klikk...!" Gembok itu terbuka sendiri saat tenaga inti pembeku disalurkan lewat
jari telunjuk Tole.
Kamar mendiang guru kelihatan gelap. Tirai dari kain tebal terpaksa harus
disingkirkan, dan cahaya dari luar pun masuk. Mata Tole sempat melihat beberapa
barang yang bernilai mahal dibanding barang-barang di luar kamar. Kamar itu
bukan hanya sepetak, tapi memanjang dan luas. Ada nyala api yang tampaknya
dinyalakan sejak dulu dengan bahan pembakar semacam getah damar di dalam tabung,
getah itu yang mengalir ke sumbu dan mampu membuat api menyala sampai beberapa
waktu lamanya. Wouw... penemuan yang hebat juga, pikir Tole.
Di situ juga ada kursi berukir yang indah, jumlahnya dua buah, di kanan kiri
sebuah meja marmer seperti milik seorang bangsawan. Ck, ck, ck... betapa jauh
berbeda keadaan di dalam kamar itu dengan di luar kamar. Memang di lihat dari
pintu masuk, kamar itu gelap. Tapi ada jalan yang menuju belakang dinding kamar,
dan di sana ada ruangan yang luas dan serba mewah.
Tole tertarik sekali dengan tempat tidur yang bertiang empat, lengkap dengan
kelambu sutranya warna merah muda. Selain terbuat dari kayu jati berukir warna
coklat, tempat tidur itu juga berkasur empuk, berbantal dua dan berguling satu.
Kasur tersebut dilapisi seprai warna hijau muda yang pias. Indah sekali
warnanya. Demikian juga sarung bantal dan sarung gulingnya. Hanya saja, di kasur
itu juga dibentangkan kain tebal berbulu sutra warna kuning gading, seperti
pakaian Dewi Gading itu. Tempat tidur itu cukup untuk dua orang, dan mempunyai
meja di kanan kirinya. Meja kecil di kanan kiri itu juga dipakai untuk
meletakkan tempat lampu dari bahan bakar semacam getah damar, tapi bukan damar
asli. Tempat lampu itu tidak menyala. Di samping salah satu tempat lampu ada
tempat buah yang masih berisi beberapa buah jeruk serta buah-buah segar lainnya.
Apa pula dua almari berukir, yang satu memakai cermin, yang satu tidak. Ada pula
meja marmer bentuk empat persegi yang berisi tempat ramuan kecantikan. Di depan
meja itu ada cermin hias, bentuknya seperti gambar hati. Bingkainya berwarna
hitam dari kayu berukir.
Dengan berani, Tole menyalakan semua lampu yang ada sehingga ruangan tersebut
menjadi terang benderang. Lantainya terbuat dari ubin yang dilapisi permadani
tebal dan halus. Permadani itu hanya ada tepat di sekeliling ranjang dan di
sekitar meja rias.
Tole melangkah dengan hati-hati sekali. Takut terkena jebakan yang tak diduga.
O, ya... ada satu lagi almari yang tidak sebegitu bagus namun cukup kekar.
Terbuat dari kayu besi berwarna hitam mengkilap. Letaknya di pojok, jauh dari
tempat tidur. Di kanan kiri almari itu terdapat tempat tombak, lengkap dengan
masing-masing tombak berujung keris, yang agaknya terbuat dari logam emas murni.
Tole mendekat dan memandangi kedua tombak di kanan kiri almari itu. Ia kagum, di
samping itu juga heran, bahwa ternyata keadaan di dalam kamar tersebut sangat
jauh berbeda dengan keadaan di luar kamar. Di situ udaranya sejuk, panas tidak,
dingin juga tidak.
Ketika Tole hendak membuka almari yang diperkirakan berisi senjata-senjata
pusaka, tiba-tiba dari lobang kunci almari itu melesat sebatang jarum yang
panjangnya setengah jengkal. Jarum itu berwarna putih, mengkilap. Meluncur
dengan cepat. Untung gerakan Tole sangat gesit. Ia memiringkan pundaknya ke
samping dan jarum itu tidak jadi menancap di lehernya. Entah hilang ke mana.
Namun Tole bisa memahami apa arti jarum tersebut, tak lain dari ancaman kematian
bagi siapa saja yang bertindak gegabah di kamar tersebut. Jarum itu pasti
beracun, dan sangat ganas racunnya.
"O, pintu almari ini jadi terbuka sendiri?" kata Tole pelan "Mungkin itu tadi
jarum penguncinya..."
Tangan Tole menarik pelan-pelan pintu almari yang hanya satu bagian itu. Ia
membuka dengan hati deg-degan. Ketika pintu semakin lebar, ternyata almari itu
kosong. Tidak ada barang apa pun, sebab sebenarnya almari itu adalah pintu
sebuah ruangan. Ruangan yang gelap dan berasap tipis. Tole tidak melangkah masuk
ke ruangan tersebut, sebab ia tidak tahu bahaya apa yang menunggunya di sana.
Tole sangat hati-hati. Ia hanya melongokkan kepalanya dan meneliti keadaan yang
gelap dan berasap tipis itu. Ia tak bisa melihat apa-apa kecuali keremangan yang
sukar diterka. Tetapi ia mulai menyadari kalau ia telah mencium suatu bau-bauan. Ya, aroma
wangi yang tercium olehnya saat itu. Entah wangi bunga apa, Tole atau Suro
Bodong belum pernah mengetahuinya.
Baru kali itu ia mencium aroma wangi yang enak sekali dihirup. Agaknya ada
sesuatu di tengah sana yang menjadi pusat aroma wangi itu. Namun, ketika Tole
hendak melangkah masuk ke ruangan itu melalui pintu berbentuk almari, tiba-tiba
ia mendengar suara memanggil dari belakang:
''Tole..."! Apa yang kau lakukan, hah"!" Dewi kelihatan marah begitu mengetahui
Tole berada di ambang pintu tersebut. Ia segera menarik tangan Tole, dan Tole
tak sempat bertahan karena Dewi segera menyeretnya, menjauhi tempat tersebut.
"Kenapa aku tidak boleh masuk ke sana, kak"!"
Dewi menjawab dengan geram, "Itu alam kematian, tahu"!"
"Hah..."!"
3 Asap yang mengepul dari kamar gelap berpintu model almari itu mulai meresap ke
ruangan mewah. Dewi Gading buru-buru menutup pintu tersebut. Ia masih
menampakkan kejengkelannya kepada Tole, sementara Tole menampakkan rasa takut
bersalah. ''Celaka...!" gumam Dewi Gading.
"Kenapa, kak Dewi?" Tole berkerut dahi, memandang Dewi dengan mulut melongo dan
kepala sedikit miring. Ia seperti anak yang ingin tahu segala sesuatu yang belum
ia ketahui. Suro Bodong pandai mempermainkan gaya anak-anak pada saat ia menjadi
ujud bocah seperti saat ini.
"Gawat! Benar-benar gawat," Dewi bergumam lagi seraya matanya memandang ke atas
dan sekeliling atas.
"Ada apa sebenarnya?" Tole mendesak, menampakkan sikap ingin tahunya seorang
bocah. "Aroma asap itu telah masuk ke kamar ini!" geram Dewi.
"Baunya harum, ya?" Tole seakan tak bersalah.


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

''Goblok! Tapi asap dan aroma harum itu akan merusak otakmu, merusak syaraf
kita, tahu"!"
Tole menunduk, menampakkan penyesalannya. Dewi Gading yang berkulit kuning mulus
itu duduk dengan resah di tepian ranjang. Sesekali ia memandang Tole, sesekali
mendesah cemas sambil memperlihatkan pintu yang berbentuk seperti pintu almari
itu. Untuk mengalihkan keresahannya sendiri, ia berkata kepada Tole:
"Kenapa kau masuk ke mari" Bukankah aku sudah melarang kamu agar tidak ke mari"!
Bandel!" "Aku... maafkan aku, kak Dewi. Aku hanya mencari di mana dapur untuk memasak
burung buruanku. Lalu... lalu aku mencoba masuk ke mari, sebab aku... aku
penasaran. Kupikir aku yang bodoh, tak bisa mencari dapur. Dan... dan kebetulan
aku melihat gembok pintu kamar ini tidak terkunci. Jadi... jadi kupikir kakak
membohongiku dengan mengatakan ini kamar mendiang guru. Menurut dugaanku, ini
adalah dapur. Tapi setelah aku masuk, ternyata...."
"Ah, sudah-sudah...!" hardik Dewi Gading dengan bersungut-sungut. Lalu, Dewi
terbatuk-batuk. Ia segera menghempaskan nafas sambil terbaring. Pada saat itu,
Tole keluar, hendak mengambilkan air minum. Tetapi ia jadi serba kebingungan.
"Kak, pintu keluarnya tadi di mana?"
"Mau ke mana kau?"
"Aku mau mengambilkan air untuk kakak supaya tidak batuk-batuk lagi. Tapi, aku
tidak menemukan pintu keluar."
Dewi Gading menggumam dalam keluh. Tubuhnya bagaikan melemas.
''Tidak perlu ambil air. Pintu utama tadi sudah tertutup."
''Tertutup bagaimana?" Tole terperanjat.
"Mata kita tidak akan bisa melihat pintu ke luar, karena asap dari dalam ruangan
itu telah terhisap oleh kita. Terutama olehmu, yang kurasa tidak bisa sama
sekali melihat pintu ke luar karena terlalu lama menghirup aroma wangi dalam
ruangan itu."
Tole kelihatan cemas dalam ketegangan. Ia mendekat. "Jadi, kita akan terkurung
di sini"!"
Dewi Gading mengangguk sambil menggumam. Tole duduk di kasur empuk itu dengan
renungan kesedihannya. Dewi Gading menjangkau kepala Tole dan mengusap-usapnya.
"Barangkali inilah yang dinamakan nasib, Tole...!"
''Kakak harus mencari pintu dari ruangan ini. Aku takut..." ujar Tole dengan
sedih. ''Tidak bisa. Aku sudah menghirup ruangan ini. Menghirup udara dalam ruangan
ini. Seandainya kau tadi tidak membuka pintu yang mirip almari itu, kita bisa
menemukan jalan keluar. Tapi karena kau membuka pintu tersebut, dan asapnya
telah terhirup olehku karena merayap di ruangan ini, maka aku pun mengalami
nasib yang sama denganmu, Tole."
"Jebol saja dinding-dindingnya Kak Dewi kan bisa menjebol dinding dengan ilmu
silat dan tenaga dalam yang kakak miliki," kata Tole seraya ikut merebah lemas.
''Tidak bisa, Tole. Mendiang guruku membangun gua ini dengan rancangan khusus,
sehingga benda atau ilmu apapun tidak bisa menembus atau menjebolkan dinding
kamar ini."
Tole dan Dewi sama-sama menghempaskan nafas. Aroma wangi masih tercium oleh
mereka dan semakin menimbulkan debaran-debaran aneh dalam dada. Dewi mengusapusap rambut Tole dengan suatu lamunan yang membuat dirinya sesekali menggigit
bibir sendiri. Tole bicara pelan bagai sebuah gerutu: "Lain kali aku tidak mau ditinggalkan
kakak sendirian di sini. Lagi pula, kalau kakak pergi aku, harus ikut. Aku tidak
mau terjebak dalam bahaya seperti ini lagi."
Setelah merenung beberapa saat, Dewi pun berkata:
"Bukan aku tak mau kau ikuti terus, tapi ada hal-hal penting yang harus
kulakukan di mana tak seorang pun boleh mengikuti aku."
Tole memiringkan wajah, menatap Dewi Gading dalam jarak yang cukup dekat,
sampai-sampai dengus nafas perempuan itu pun terasa menghangat di wajah Tole.
"Urusan apa itu, kak. Beritahukan padaku."
"Rahasia,Tole."
"Aku sudah biasa menyimpan rahasia, kak. Percayalah, aku tidak akan bilang pada
siapa-siapa, toh di sini hanya ada kita berdua."
Dewi Gading mendesah, menggigit bibirnya lagi, seperti menahan suatu rasa. Namun
ia buru-buru mencoba menguasai diri, menahan suatu perasaan yang tak dimengerti
Tole. Ia berkata lirih:
"Aku..." Dewi berhenti, ragu sejenak, namun akhirnya dilanjutkan pula, "... Aku
sedang mengincar seseorang."
Tole berpikir sebentar, baru berkata lagi: "Maksudnya, kakak naksir seseorang"
Begitu?" Dewi menggeleng. "Aku ingin membunuh seseorang."
Tole berkerut dahi, ia kelihatan kurang menyukai rencana Dewi Gading, tetapi
Dewi buru-buru menjelaskan:
"Aku menyimpan dendam pribadi kepada seseorang. Belum puas rasa hatiku kalau
belum membunuh orang itu, Tole. Kuharap kau bisa mengerti, apa artinya dendam
untuk sebuah kehidupan orang seperti aku ini. Kalau dulu, ketika aku menjadi
orang penting dalam suatu kerajaan, mungkin aku tidak akan peduli dengan dendam.
Tetapi, sekarang aku bukan orang penting lagi. Aku melarikan diri hanya untuk
suatu tujuan. Tapi tujuanku itu kandas di tengah jalan Ah... panjang sekali
cerita hidupku, tidak hanya menyangkut soal dendam dan jabatan."
"Oo... kukira kakak mengincar seorang lelaki yang dicintai," ujar Tole. Dewi
Gading memaksakan diri untuk tersenyum. Ia masih mengusap-usap lengan dan kepala
Tole. "Kau masih kecil sudah mengenai cinta rupanya," kata Dewi sambil memperhatikan
bola mata Tole yang hitam tajam pada bagian manik matanya. Dalam hati Dewi
berpendapat, bahwa Tole ini sesungguhnya anak yang tampan kalau saja dia mau
merawat diri, atau kalau saja Tole anak orang kaya yang serba kecukupan dan
terawat. Sayang ia anak orang tak mampu sehingga penampilannya tak jauh dari
anak gelandangan.
"Apa kau tahu banyak tentang cinta?" tanya Dewi setelah bungkam beberapa lama.
Tole menggeleng. "Hanya sedikit yang kutahu. Cinta adalah pelukan orang
perempuan dengan orang lelaki."
Dewi tertawa pelan. ''Tidak sekedar pelukan."
"Pelukan sama ciuman, kan?"
''Tidak sekedar ciuman," kata Dewi seraya tersenyum.
''Pelukan, ciuman sambil tiduran kan?"
''Tidak sekedar tiduran."
"Maksudku... maksudku..." Tole agak ragu.
"Maksudmu apa" Coba bilang, biar otakmu semakin cerdas."
"Maksudku, pelukan, lalu ciuman sambil tiduran, tapi... tapi tanpa pakaian.
Begitu, kan?"
"Hei, kau pernah melakukan hal itu, ya" Ihh... kecil-kecil sudah berani
melakukan begitu."
"Ah, aku cuma pernah mengintip tetanggaku saja, kok."
Dewi mengikik, mencubit hidung Tole. "Anak nakal! Apa untungnya kau mengintip
begitu. Tidak boleh itu, Le!"
"Dengan mengintip aku bisa tahu mana yang harus dikerjakan lebih dulu jika dalam
keadaan begitu."
Dewi semakin mengikik geli. Hidung Tole yang tidak begitu bangir itu dicubitnya
sampai Tole megap-megap. Dewi tertawa riang, seakan lupa kalau diri mereka
terkurung di kamar misterius itu. Tole senang melihat Dewi jika tertawa begitu,
wajahnya semakin manis!
"Dasar kamu anak nakal. Bandel. Memangnya kamu tahu betul apa yang harus
dilakukan jika begitu?"
"Aku menghafalkannya," jawab Tole, dan Dewi tambah mengikik geli. Tole juga ikut
tertawa cekikikan. Ia ikut-ikutan memijat hidung Dewi Gading. Dewi mengelak,
namun gagal. Tole semakin terkikik-kikik ketika Dewi megap-megap karena
hidungnya dipijit Tole.
Namun, tiba-tiba tawa riang Tole itu hilang. Diam. Wajah Tole menjadi murung.
Dewi pun meredakan tawanya, memandang Tole yang tidur.
''Kenapa?"
Tole diam saja. Dewi mengulangi pertanyaannya, "Hei, kenapa kau tiba-tiba
murung?" "Kita ini sedang terkurung, kak. Kenapa kita tidak berusaha untuk mencari jalan
keluar" Kenapa hanya bercanda saja?"
Dengan bertumpu sebelah tangan, dan meletakkan kepalanya pada tangan itu, Dewi
berkata hati-hati:
"Hanya ada satu cara untuk membuka pintu keluar."
"Kakak sudah tahu caranya"!" Tole bersemangat.
Dewi mengangguk, kelihatannya tenang-tenang saja.
"Kenapa kakak tidak segera melakukannya?"
"Harus kita berdua yang melakukannya."
"Ayolah kalau memang begitu...! Mari kita lakukan!"
Tole hendak bangkit, tapi Dewi menahannya. ''Tunggu, kau belum tahu bagaimana
melakukannya, bukan?"
Dahi Tole berkerut, "Bagaimana?"
Mulut Dewi sudah menganga, hendak mengatakan sesuatu, tapi dibatalkan. Ia raguragu. Tole mendesak agar Dewi Gading mengatakannya, akhirnya Dewi hanya berkata:
"Apa yang kau rasakan saat ini?"
Tole berpikir sejenak, lalu menjawab, "Rasa takut."
"Hanya itu?" pancing Dewi Gading seraya mengusap-usap rambut di bagian atas
kening Tole. "Kurasa memang hanya itu, kak. Sebab sejak tadi aku berdebar-debar terus."
"Aku juga berdebar-debar."
"Karena takut?"
Dewi Gading menggeleng. "Karena pengaruh asap yang meresap keluar dari ruangan
yang kau buka tadi," jawab Dewi.
Tole berkerut dahi lagi, memandang Dewi yang dengan lembut mengusap-usap
kepalanya. Lalu, Dewi menjelaskan:
"Sebenarnya ada pintu keluar, tapi mata kita, urat syaraf kita telah tertutup
dan menjadi buta untuk melihat pintu keluar. Mata kita bisa melihat pintu itu
lagi, apabila kita telah melakukan... melakukan..." Dewi ragu-ragu.
"Melakukan apa?" desak Tole. Ia kelihatan penasaran.
"Melakukan... percintaan."
Mulut Tole terbungkam, dahinya berkerut. Ia sedang berpikir keras, sepertinya ia
tidak mengerti maksud Dewi.
"Percintaan bagaimana?" Dewi tahu, Tole dalam kebingungan. Lalu secara gampang
ia menjelaskan:
"Berpelukan, berciuman, tiduran dan... buka baju. Tepat seperti yang pernah kau
intip itu." Tole terkejut, ia bangkit dan berkata:
''Tapi... tapi saya kan masih kecil, kak."
''Tapi kau pernah mengintip dan menghafalkannya, bukan" Dan kau telah mengetahui
apa yang harus dilakukan, bukan?"
Tole terbengong. Dalam hati ia baru mengakui, bahwa sebenarnya sejak tadi memang
ia merasa gelisah. Debar-debar jantung itu bukan semata-mata karena takut, namun
juga karena ada sesuatu yang melonjak-lonjak dalam jiwanya. Pada saat seperti
itu, Tole menggunakan pikiran Suro Bodong yang sebenarnya. Kini ia mulai
mengerti bahwa akibat ia terlalu banyak menghirup asap dari dalam ruangan
misterius itu, maka gairah kejantanannya meletup-letup. Mungkin demikian juga
halnya dengan Dewi Gading. Sebab sejak tadi perempuan cantik itu sering mendesah
dan menggigit bibirnya sendiri. Wah, gawat. Apakah memang tak ada jalan lain
kecuali demikian"
''Tidak ada jalan lain, Tole," bisik Dewi. "Kamar ini sengaja dipakai menjebak
lawan jenis guruku, terutama kekasih-kekasihnya. Kamar ini mempunyai kekuatan
mistik yang bisa dikalahkan dengan cara... berhubungan badan. Itulah rahasia
kamar ini. Karena itu, kamar ini dinamakan oleh mendiang guru, sebagai Kamar
Madu Mayat."
Tole bergidik ngeri. Ia mendesahkan kata, "Kamar Madu Mayat...?"
"Artinya, orang yang sudah terlanjur menghirup uap kamar ini, terutama jika asap
dari dalam ruangan itu menjalar ke mari, maka ia harus melakukan hubungan badan,
mengeluarkan kekuatan birahi sedapat mungkin. Hanya kekuatan birahi yang mampu
melawan uap dari ruangan kematian itu."
"Kalau kita bertahan terus?"
"Kita akan mati. Tubuh kita akan membusuk dalam tempo satu hari. Manusia mungkin
betah bertahan untuk tidak makan dalam satu hari, tapi kebusukan pada bagian
dalam tubuh kita akan sukar dihindari. Jantung kita menjadi busuk, paru-paru,
limpa,.hati usus... semua akan menjadi busuk dalam waktu satu hari."
"Lalu kita akan mati?"
Dewi mengangguk.
''Tanpa pandang bulu, tua atau muda, lelaki atau perempuan, yang sudah menghirup
udara dari dalam ruangan kematian itu akan mati dengan cepat."
Sekali lagi Tole bergidik membayangkan kematiannya sendiri. Dengan ragu ia
berkata, "Ja... jadi..." Jadi, kita harus melakukan... melakukan bercinta di
sini?" "Demi keselamatan kita, Tole. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin melakukan, tapi
kita telah terjebak dalam perangkap maut mendiang guruku. Mau tak mau kita harus
melakukannya... Aku tidak bohong, dan kalau kau tak percaya, bertahanlah sampai
satu hari, maka kau akan merasakan sukar bernafas, lalu nafasmu sendiri akan
berbau busuk, dan kau akan mati."
Tole merenung lagi. Lama sekali ia merenung, sementara itu, Dewi Gading telah
membuka pakaian atasnya dengan sesekali mendesis seperti suara ular.
"Apa aku bisa melakukannya?" ujar Tole pelan sekali.
"Aku akan membimbingmu, Tole. Aku rela bekerja keras untukmu, yang penting kita
selamat..." bisik Dewi.
Tole hanya diam, tertegun dan terbengong. Matanya hanya membelalak tanpa
berkedip ketika ia melihat Dewi Gading tampak telah dikuasai nafsunya. Ia
melepaskan semua busana yang melekat di tubuh. Matanya sesekali meredup-redup
sayu. Ia tidak kenal malu lagi berbugil ria di depan bocah sekecil Tole.
"Lakukanlah, Tole...!" bisik Dewi sambil mendekap kepala Tole ke lehernya,
kemudian menggeserkan wajah itu ke dada dengan satu desahan panjang.
"Lakukanlah.. lekas! Kau nanti akan melihat sendiri suatu keajaiban dalam kamar
ini. Jika aku bohong, kau boleh membunuhku dengan cara apa pun... Ouh... lekas,
yaaaah... begitu! Bagus, Bagus, Tole...!"
Mulut Dewi Gading menceracau dalam suara desah dan erang. Tole tak segan-segan
melakukan gerakan-gerakan yang membuat dada Dewi semakin berdebar ingin meledak.
Mata Dewi sendiri sudah jarang terbuka lebar, lebih sering menjadi sayu dan
lembut meredup.
Tangan Dewi sengaja meraih tangan kanan Tole, dan menuntunnya ke suatu tempat
yang terpeka. Ia bagai mengajarkan bagaimana seharusnya tangan itu mempermainkan
'jurus' kenikmatan yang dibutuhkan seorang wanita. Ia juga menuntun, di mana
seharusnya bibir dan mulut Tole bermukim beberapa saat. Tole bagai seorang murid
yang sangat patuh kepada perintah gurunya. Tak sekalipun Tole membantah, dan tak
sekalipun Dewi merasa dikecewakan. Justru Dewi merasa ia sedang berhadapan
dengan murid yang jauh lebih dewasa ketimbang dia. Dewi tak tahu bahwa Tole
adalah seorang Senopati yang berubah ujud menjadi bocah. Sejauh itu, Tole
sendiri tidak banyak bicara apa-apa.
"Ooh, yaah... kau memang muridku yang cerdas, Tole..." bisik Dewi Gading dalam
keadaan merebah lepas. Tole dibiarkan bekerja sendiri sesuai bimbingannya tadi.
''Tole... berhentilah sejenak. Siapkan penamu dan kita akan belajar menulis
dengan cepat..."
Tole berhenti bekerja dan berkata dengan nada polos.
"Aku tidak membawa pena. Aku tidak punya, kak."
Senyum Dewi mengembang penuh gairah, ia pun segera bangkit dari rebahannya lalu
menyuruh Tole berdiri.
"Kau pasti mempunyai pena. Berdirilah...!"
Tole memang patuh dengan perintah gurunya. Ia berdiri di atas kasur empuk itu.
Ia membiarkan gurunya melepas tali yang mengikat pada pinggangnya. Bahkan ia
membiarkan Dewi melepas satu-satunya pembungkus bagi tubuhnya itu.
"Ooh..."!"pekik Dewi dengan mata terbelalak lebar dan mulut menganga. Ia sangat
terkejut melihat kenyataan yang ada di depannya, persis di depan wajahnya itu.
Jantungnya semakin berdebar-debar, dan tangannya jadi gemetar. Ia menelan ludah
beberapa kali, sedangkan Tole hanya diam saja, karena tak ada perintah apa-apa
dari gurunya yang sangat terkejut itu.
"Kau..." Kau...?" Dewi menggeragap dengan mata masih melebar. "Ini... ini pena
untuk murid dewasa, Tole" Mengapa penamu begitu dewasa"! Dan... oh, ini gilagilaan namanya. Bocah seusia kamu sudah mempunyai pena untuk ukuran kelas
dewasa! Astaga...!"
"Aku... aku tidak tahu, kak. Memang beginilah keadaanku sebenarnya. Kalau memang
ini kau anggap pena, yah... hanya pena sebesar inilah yang kumiliki. Aku tidak
biasa menulis dengan huruf kecil dan pena yang kecil pula. Aku senang tulisan
yang tebal-tebal dan enak dibacanya."


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi masih tertegun beberapa saat. Ia meraba, mengusap dan meraba lagi sesuatu
yang menggetarkan hati. Sesuatu itu adalah kelemahan ilmu yang ada pada Suro
Bodong. Ia memang bisa merubah segala bentuk ujud dirinya. Bisa menjadi pendekar
Perkampungan Misterius 2 Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas Tiga Dara Pendekar 2

Cari Blog Ini