Ceritasilat Novel Online

Racun Madu Mayat 2

Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat Bagian 2


tampan, bisa menjadi seorang kakek, bisa menjadi seorang bocah. Pokoknya tujuh
rupa ujud Suro Bodong bisa berubah. Tetapi untuk soal satu ini, ia tak bisa
merubah penanya. Pena itu adalah pena Suro Bodong, sekalipun ia berubah apa
saja. Itulah bukti bahwa dirinya masih tetap Suro Bodong, ujud yang sebenarnya
dimiliki. Hal itu ternyata semakin membuat Dewi Gading menjadi semakin menggila. Ia tak
peduli lagi kebocahan Tole, ia tak peduli lagi bahwa Tole dianggap muridnya,
yang ia pikirkan adalah ledakan-ledakan gairah yang semakin mendidihkan darah.
Ia melahap dengan rakus keadaan Tole. Ia memacunya dengan api di dada berkobarkobar. Ia kegirangan. Sangat kegirangan melihat kenyataan Tole ternyata memiliki
sesuatu yang amat dewasa. Bukan hanya dewasa, tapi 'amat' dewasa. Dan Dewi
bermaksud melahapnya hingga tuntas.
"Ouh... kau benar-benar murid cerdik yang luar biasa kehebatannya, Tole...!
Aaah..!" Dewi menjerit-jerit bagai orang kesurupan. Ia mengarungi lautan lepas bersama
Tole, namun ia sendiri yang mendayung perahunya. Keringat yang mengucur
dibiarkan menyatu dengan samudra. Ayunan dayung semakin cepat, perahu melaju
dengan pesat, ia menjerit kegirangan dalam amukan badai birahi yang kian
membumbung tinggi dipucuk awan-awan.
Tole juga menjerit lirih ketika ia tahu perahu berlayar dengan laju. Ia
terombang-ambing bagai diayun suatu irama gerak yang melenakan. Ia bersorak
kegirangan dalam bentuk erangan yang kuat. Dan ia pun dihantar oleh Dewi Gading
menyusul ke puncak awan-awan biru yang indah.
Ketika keduanya sama-sama menjerit dalam sorak keberhasilan meraih ujung suatu
puncak, tiba-tiba kamar itu berpijar-pijar. Ada nyala cahaya perak yang berpijar
terang, memercik-mercikkan sinar kemilau.
Tole ketakutan. Ia mendekap Dewi yang ada di atasnya. Dewi bicara dengan nafas
memburu dan gerakan melemah.
"Itu... lihat itu...! Kamar ini mengalami keajaiban bukan..." Oh, lihat...! Dia
telah kita kalahkan! Kamar ini telah kita taklukan dengan pelayaran yang indah
ini, Tole...!"
Tole bicara dalam hati atas dasar pribadi Suro Bodong. Ternyata benar apa kata
Dewi Gading! pikir Suro Bodong. Kamar itu harus ditaklukkan dengan cara yang
unik. Cahaya di kamar itu berkilauan ketika mereka sama-sama bersorak di ujung
sebuah pucuk pelayarannya. Ajaib sekali misteri kamar ini. Suro merasa baru kali
ini merasakan dan menemukan tempat yang sebegitu anehnya. Semua dinding, semua
benda baik dari kayu maupun dari kain, semuanya memantulkan cahaya yang menyalanyala mengherankan
Cahaya itu kian lama kian menipis. Redup. Demikian juga nafas Dewi dan Tole
bagai meredup, lemas. Lalu cahaya-cahaya itu padam, kembali seperti biasa, dan
tubuh mereka pun lunglai, saling terbujur bersebelahan. Aroma wangi yang enak
dihirup sudah hilang. Yang ada hanya aroma keringat kedua insan berbeda usia
itu. Sekalipun demikian, Dewi masih belum mau berkemas membereskan pakaiannya.
Ia masih telentang seraya mendekap kepala Tole yang ada tergeletak di atas
dadanya. Dewi mengusap-usap rambut Tole.
"Luar biasa...!" puji Dewi Gading dengan senyum kelegaan. "Kau benar-benar bocah
maha hebat, Tole. Seorang laki-laki dewasa tak pernah mempunyai kehebatan
seperti dirimu. Tak ada lelaki dewasa yang mampu membuatku terkulai di samping
bantal ini. Umumnya mereka yang terkulai begini, seperti aku ini. Dan itu
membuatku jadi benci!"
''Cepat kita cari pintu keluar...!" Tole mengalihkan pembicaraan. Tetapi Dewi
menahan tubuh Tole yang hendak bangkit meninggalkannya.
''Tak perlu susah payah dan terburu-buru, pintu itu pasti telah terbuka sendiri.
Mata kita akan mampu menemukan pintu jalan keluar, karena kita telah mengalahkan
kekuatan misterius yang ada di dalam kamar ini dengan permainan hebatmu tadi..."
Dewi tertawa mengikik. "Kecil-kecil bukan hanya bernyali besar, tapi juga
berperangkat besar kau, Le...!"
Tole hanya menggumam dalam senyum ketika Dewi tertawa dengan perasaan lega.
Kata Dewi, "Belum pernah kutemukan kelegaan selapang ini. Sungguh, Le! Terus
terang, aku memang nakal. Sering hanyut dalam dekapan lelaki. Tetapi baru kali
ini aku sangat tenggelam dalam kemilau kebahagiaan. Hanya denganmu. Sedangkan
dengan lelaki yang kutaksir itu, aku belum pernah merasakan kelegaan apa pun
dengannya. Sebab itu keburu mati dalam satu pertarungan."
"O, jadi kekasih kak Dewi sudah mati?"
"Ya. Dia mati dalam pertarungan. Dan untuk itulah aku merasa perlu menuntut
balas atas kematiannya. Aku harus membuat perhitungan dengan pembunuhnya yang
sedang kuincar selama ini. Ada dua orang yang harus kubunuh, yaitu Nyi Mas
Sendang Wangi dan suaminya: Suro Bodong,..!"
Bagai petir menyambar di telinga Tole mendengar kata-kata itu. Namun, secepatnya
Tole menahan kepalanya untuk tidak terangkat karena kaget. Ia menyembunyikan
kekagetannya itu, namun toh diketahui pula oleh Dewi Gading yang berpeluh,
sehingga perempuan itu bertanya: "Mengapa kau terkejut mendengar kedua nama
itu?" Dengan cepat otak Tole berputar, lalu berkata,
"Nama Suro Bodong sama seperti yang diburu oleh Raden Puger! Orang yang diikat
dan hendak dibakarnya itu katanya orang yang bernama Suro Bodong."
"Bukan! aku tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Orang itu bukan Suro Bodong,
karena itu ia kulepaskan!"
''Jadi... jadi kak Dewi yang melepaskan orang yang mengaku bernama Mugeni itu?"
"Ya. Dia tidak bersalah. Puger hanya penasaran karena selama ini ia gagal
menemukan orang yang bernama Suro Bodong. Rasa penasarannya itu dilampiaskan
kepada lelaki yang memiliki ciri-ciri hampir sama dengan Suro Bodong. Puih...!
Puger memang pengecut yang tolol!"
Debar-debar di dada Tole kali ini bukan lantaran gejolak suatu gairah
kelelakiannya, melainkan karena ia sadar, bahwa sebenarnya saat ini nyawanya ada
di atas tubuh Dewi Gading. Ia harus bisa berpenampilan tenang agar tidak
menimbulkan kecurigaan bagi Dewi Gading. "Sebenarnya, alasan apa Raden Puger
mencari-cari Suro Bodong''" tanya Tole dalam pancingannya.
"Balas dendam. Sama dengan aku. Raden Puger mempunyai adik yang mati di tangan
Suro Bodong."
"Siapa nama adiknya itu?"
"Pendekar Tapak Setan..!"
Hampir saja Tole menampakkan kekagetannya. Untung ia bisa menahan emosi sehingga
tetap kelihatan tenang. Dewi tidak curiga, bahkan ia berkata:
"Pendekar Tapak Setan adalah adik kandung Raden Puger, yang termasuk pula adik
seperguruan Dadung Wungu."
"Ooo... pantas mereka berdua penasaran sekali, menghendaki kematian Suro
Bodong." "Pendekar Tapak Setan mati dengan cara mengerikan. Saat itu, ia bertarung dengan
Suro Bodong untuk mendapatkan putri Sultan Juru Jagad yang bernama Nyi Mas
Sendang Wangi..."
Merinding juga tengkuk kepala Tole mendengar nama istrinya disebutkan. Ia
terbayang masa pertarungan dengan Tapak Setan, pada saat ia berdiri sebagai Suro
Bodong (dalam kisah PERTARUNGAN BUKIT ASMARA). Namun, Tole tetap menjaga
ketenangan dirinya.
"Lalu, apa urusan kak Dewi dengan Nyi Mas Sendang Wangi" Kok tadi katanya mau
membunuhnya juga, ya?"
"Kekasihku juga mati gara-gara bertarung memperebutkan putri Sultan itu. Dan,
perempuan itu juga harus mati, sebab dia pula yang membuat Suro Bodong tega
membunuh kekasihku... Pangeran Sedayu!"
Suro Bodong semakin terperanjat mendengar semua itu. Apa jadinya jika Dewi tahu,
bahwa Tole itulah Suro Bodong"
4 Dewi Gading mengajak Tole untuk naik ke atas.
"Aku harus menghadang di tapal batas kesultanan, kalau-kalau Suro Bodong lewat
atau istrinya yang muncul," kata Dewi Gading.
"Kenapa kak Dewi tidak menyerang saja ke sana" Kenapa harus menunggu"!" pancing
Tole. "Orang Kesultanan Praja banyak yang kuat. Belum lagi kalau aku harus berurusan
dengan Eyang Panembahan Purbadipa. Bisa-bisa aku mati menjadi debu. Dia sangat
sakti. Tapi kalau hanya mengalahkan Suro Bodong, aku yakin pasti akan sanggup."
"Berarti kakak juga akan berurusan dengan orang-orang Kesultanan jika Suro
Bodong mati."
"Yang penting aku bisa membunuh Suro Bodong. Itu sumpahku. Setelah berhasil
membunuh, aku akan diam di pondok sampai beberapa lama."
Saat itu, Dewi Gading segera menggendong Tole. Ia melompat bagai burung terbang
sambil menggendong Tole di bagian depan. Kakinya menyentuh batuan tebing dengan
ringan dan lincah. Dalam sekilas saja Dewi Gading berhasil membawa Tole ke atas
tanpa ngos-ngosan.
"Apakah aku harus ikut ke perbatasan?" tanya Tole.
''Ya. Tapi kau akan kusembunyikan di suatu tempat yang tak jauh dari tempatku
menghadang mereka."
Tole termenung sebentar, kemudian berkata lagi, ''Tapi kalau ternyata mereka,
Suro Bodong yang kau tunggu itu tidak muncul, bagaimana?"
''Mungkin aku akan bergabung dengan Raden Puger dan Dadung Wungu untuk menyerang
Kesultanan Praja."
Tole manggut-manggut. Ia mengikuti langkah Dewi Gading ke perbatasan Kesultanan
Praja. Dalam hati ia selalu bertanya-tanya, bagaimana cara mengatasi mereka"
Haruskah ia membiarkan Kesultanan Praja diserang"
"Kak..." katanya beberapa saat setelah mereka hampir tiba di perbatasan wilayah
Kesultanan Praja. "Apakah kalau kakak bergabung dengan Raden Puger, maka sudah
pasti dapat mengalahkan orang-orang Kesultanan Praja?"
"Kalau terpaksa, Raden Puger bisa berbuat lebih banyak lagi." Dewi Gading tampak
tegas dan tenang.
"Maksudnya dapat berbuat banyak bagaimana?"
"Kesultanan Praja akan berpikir jika harus menyerang Raden Puger. Sebab, jika ia
menyerang Raden Puger, berarti mertuanya akan turun tangan."
"Siapa mertua Raden Puger itu, kak?"
"Prabu Baladara, raja dari kerajaan Lesanmitra, yang dulu berhasil memukul
pasukan Jayakatwang."
"Ooo..." Tole manggut-manggut. Seakan pernah mendengar kekuatan tentara
Lesanmitra. Mereka berhenti di perbatasan Kesultanan Praja. Di sana ada bukit kecil yang
menjadi tapal batas wilayah kesultanan Praja. Mereka berdiri di puncak bukit
itu, memperhatikan situasi di sekeliling mereka. Tole hanya bengong-bengong
saja, seperti anak kemarin sore yang belum tahu apa-apa. Padahal dalam benaknya
Tole berpikir keras tentang bagaimana cara mengatasi masalah itu. Dewi Gading,
perempuan yang pernah bercumbu dengannya, sekarang sedang menjadi ancaman bagi
keselamatannya, juga bagi keselamatan Kesultanan Praja, tempat mertuanya
bertahta. Haruskah Tole melawan Dewi Gading" Atau haruskah Tole membujuk agar Dewi Gading
membatalkan niatnya" Seandainya Tole mengaku bahwa dirinya adalah Suro Bodong
yang sedang diincar untuk dibunuh oleh Dewi Gading, apakah usaha pengakuan itu
dapat meredakan dendam Dewi Gading" Bingung juga Suro Bodong berpikir soal itu.
"Kak..." Tole hendak bicara, tapi ragu-ragu. Akhirnya ia berbicara soal lain:
"Apakah sudah pasti Suro Bodong lewat daerah ini" Jangan-jangan dia tidak ke
mari?" "Dia pasti memeriksa perbatasan ini, hanya saja kapan hal itu dilakukan, aku
sendiri kurang jelas, Le. Nah, nanti pada saat dia memeriksa, aku akan
menyerangnya dari belakang. Pokoknya membuat dia mati, lalu kabur."
"Kenapa tidak kak Dewi hadapi saja?"
"Aku tidak mau melibatkan orang kesultanan lainnya, kecuali Suro Bodong dan Nyi
Mas Sendang Wangi."
Tole masih serba bingung. Tetapi akhirnya ia tetap mengatakan cara lain yang
ingin ditempuhnya, yaitu membujuk Dewi Gading agar membatalkan rencana tersebut.
"Kenapa kak Dewi tidak mau melupakan soal dendam itu" Bukankah lebih enak kita
hidup tanpa dendam" Kita bisa tenang dan... dan aku sendiri tidak cemas begini."
Dewi Gading sengaja memamerkan senyum ketenangannya. Tole memandangnya dengan
rasa kagum, karena senyum itu sangat indah. Manis diresapi hati siapa saja.
"Aku sudah terlanjur bersumpah ketika kudengar Pangeran Sedayu terbunuh. Aku
bersumpah untuk membalas kematian dengan kematian." Dewi mengusap-usap kepala
Tole. "Kau tak perlu cemas. Habis ini, selesai aku memenuhi sumpahku, kita akan
tinggal berdua di pondok Dareng Sewu."
''Tinggal di kamar Madu Mayat itu?"
Dewi mengangguk. "Karena di sana kita akan terbang melayang-layang setiap
malam." "Seperti kemarin malam?"
Sekali lagi Dewi mengangguk dalam senyum. "Kita menjadi suami istri, Tole."
"Ah, aku kan masih kecil, mana pantas jadi suami perempuan seusia kak Dewi?"
"Kau memang kecil, tapi kau mempunyai kedewasaan yang perkasa dalam membuaiku.
Ouh... aku tak tahan ingin lekas menyelesaikan urusan itu, lalu kita segera
pulang dan mendayung lagi semalaman suntuk..." Dewi tertawa pelan, dari Tole
hanya tersenyum malu. Tapi sebenarnya pikirannya seperti benang kusut, harus
bagaimana dia sebenarnya?"
Mata Tole memandang ke arah jauh di belakang Dewi Gading. Melihat perubahan
wajah Tole yang menjadi tegang, Dewi pun berpaling. Ia melihat dua orang
berjalan di kaki bukit, juga sedang memanjat ke atas. Tole kelihatan cemas dan
tegang. ''Kita harus segera pergi dari sini, kak" Mereka menuju ke mari. Mereka itu yang
mengejar-ngejarku tempo hari!"
''Tenang saja. Mereka tidak akan menganiaya kamu. Raden Puger bisa kujinakkan
kemarahannya, sekalipun Dadung Wungu belum mengenalku."
"Jadi kakak kenal dengan Raden Puger?"
"Dulu... aku adalah Senopati perang di kerajaan Lesanmitra, tempat mertua Raden
Puger bertahta."
Tole sempat terbengong mendengar Dewi Gading bekas Senopati Perang. Kebengongan
Tole sempat mengundang keheranan Dewi Gading, sehingga ia pun bertanya:
"Kau kelihatannya terkejut mendengar aku bekas senopati perang, ya" Kenapa"
Tidak percaya?"
"Percaya...! Percaya sekali...!" jawab Tole sambil mengangguk-anggukkan kepala
dan menenangkan diri.
"Lalu, kenapa kau memandangiku dengan rasa heran begitu?"
"Sebab... sebab aku juga seorang Senopati!" jawab Tole, sepertinya ia bicara di
luar kesadarannya.
Dewi tersenyum geli. "Senopati di mana?"
"Kesultanan Praja," jawab Tole.
Dewi semakin mengikik geli, dan ia pun gemas mencubit pipi Tole. Kemudian
keduanya memandang kedatangan Raden Puger dengan Dadung Wungu. Terdengar seruan
Dadung Wungu dari bawah sambil menuding ke atas:
''Itu anak setan yang dulu kita kejar-kejar...! Bangsat itu harus kuhajar...!!"
Dadung Wungu hendak berlari naik, tetapi Raden Puger menahan tangannya.
"Jangan gegabah. Kau tahu anak itu bersama siapa?"
"Puih...!" Dadung Wungu meludah. "Itu perempuan yang menyerobot anak setan, dan
yang sempat melukai bibirku dengan tendangannya!"
"Ssst...! Sabar! Kau tidak akan menang melawannya." kata Raden Puger seraya
berjalan memanjat ke atas dengan santai.
"Kau kenal dengannya?" "Dia bekas Senopati perang di kerajaan mertuaku!" ujar
Raden Puger seraya memandang Dadung Wungu yang tertegun sesaat. Kemudian mereka
terus mendaki, dan bertemu dengan Dewi Gading.
"Apa kerjamu di sini?" tegur Raden Puger kepada Dewi.
"Sama seperti yang kau lakukan," jawab Dewi Gading.
Raden Puger memandang Dewi dengan kesangsian. "Kau juga memburu Suro Bodong?"
"Suro Bodong telah membunuh kekasihku dalam pertarungan merebutkan Nyi Mas
Sendang Wangi. Aku bersumpah untuk membalasnya." Dewi bicara dengan tegas dan
sikap berdirinya tegak, masih seperti tatkala ia menjadi seorang Senopati
perang. "Lalu, apa hubunganmu dengan anak ini"!" tanya Dadung Wungu.
"Dia muridku!" jawab Dewi dengan memandang angkuh. Tangan Dewi terlipat keduanya
di dada, sehingga kesannya sangat tidak disukai Dadung Wungu. Sebenarnya Dadung
Wungu geram, namun ia ingat pesan Raden Puger sehingga ia tak berani berbuat
banyak terhadap Dewi Gading. Ia hanya berkata sambil memandang tajam pada Tole:
"Anak ini biang kerusuhan kala itu!"
"Bukan!" tukas Dewi. "Kalianlah biang kerusuhan, karena kalian salah comot.
Kalian menghukum orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kalian.
Orang itu bukan Suro Bodong!"
Dadung Wungu terbungkam dengan berkerut dahi, ia memandang Raden Puger, dan kala
itu Raden Puger juga memandangnya. Lalu masing-masing merenung dengan kecamuk
batinnya. Mendadak Raden Puger mencetuskan idenya, "Aku dengar Suro Bodong orang kuat!


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana kalau kita serang ke dalam kesultanan! Aku bisa menugaskan Dadung
Wungu untuk mengerahkan bala bantuan dari Lesanmitra! Romo Prabu Baladara pasti
mau mengirimkan bantuan untuk menyerang kesultanan Praja."
''Kalau kita cari dan kita tunggu, urusan ini tidak akan beres sampai kapan pun.
Lebih baik menyerang dengan mendadak, lalu kabur setelah Suro Bodong dan
istrinya berhasil terbunuh!" timpal Dadung Wungu.
''Kalau mereka mengejar, biar pasukan dari Lesanmitra yang akan bertindak!"
sambung Raden Puger.
Setelah terbungkam beberapa saat dalam pertimbangannya, Dewi Gading berkata
kepada Raden Puger:
"Maksudmu kita menyusup berdua untuk membunuh mereka?"
"Ya. Kalau bisa, jangan menimbulkan perang secara nyata, tapi kalau gagal,
terpaksa api perang pun kita sulut!"
Dewi Gading manggut-manggut. "Baiklah..."
Tole kelihatan tenang-tenang saja sekalipun sebenarnya dalam hatinya cemas. Dewi
berkata lagi: "Kalau hari sudah gelap, kita akan berangkat menyusup ke istana."
"Aku setuju!" jawab Raden Puger, lalu ia bicara kepada Dadung Wungu, "Kerahkan
pasukan cadangan untuk menghadang kemungkinan terjadinya perang dalam pengejaran
nanti!" "Baik. Aku berangkat ke Lesanmitra sekarang juga," jawab Dadung Wungu dengan
tegas dan penuh semangat. Lalu, ia segera pergi, berlari dengan kecepatan
tinggi. Terlihat dari geraknya yang gesit, jelas dia punya bekal ilmu yang tidak
sembarangan. Tole benar-benar dianggap bocah ingusan. Dewi dan Raden Puger berembuk soal cara
penyusupan yang akan mereka lakukan nanti malam. Mereka bicara di depan Tole,
sehingga Tole dapat mengetahui segalanya. Itu sama saja mereka bicara tentang
rencana pembunuhan terhadap Suro Bodong di depan Suro Bodong sendiri. Tole
sempat tersenyum-senyum tanpa disadari.
"Hei, kenapa anak itu tersenyum-senyum mendengar pembicaraan kita?" tegur Raden
Puger menandakan kecurigaannya.
''Tole..."! Ada apa?" Dewi masih bersikap lembut. "Apa yang membuatmu tersenyumsenyum begitu?"
Tole hanya menggeleng seraya semakin sengaja melebarkan senyumannya. Setelah di
desak berulang kali oleh Dewi, Tole semakin kelihatan malu, dan akhirnya
menjawab: "Aku ingat kejadian tadi malam..."
"Kejadian apa?" Raden Puger semakin curiga.
Dewi Gading sempat semburat merah mukanya, takut Tole berbicara di depan Raden
Puger tentang hubungan kemesraannya semalam. Tole tahu kecemasan itu, maka ia
berkata: "Aku melihat dua ekor katak saling tindih-tindihan di dalam tempurung."
Raden Puger masih bercuriga, "Di dalam tempurung" Bagaimana hal itu bisa kau
ketahui" Kan di dalam tempurung"!"
"Tempurungnya bolong! Jadi, bisa saja kuketahui," jawab Tole seenaknya. Ia masih
menampakkan senyum malu-malunya. Dewi Gading mendengus sepertinya kesal, tapi
sebenarnya lega mendengar jawaban Tole itu,
Menjelang sore, terdengar suara derap kaki kuda bagai gemuruh hujan dari
kejauhan. Wajah Dewi dan Raden Puger menjadi tegang. Tole menyimpan ketegangan
itu dengan bermain batu-batu yang disusunnya. Batu-batu kecil itu sebenarnya
dipersiapkan untuk dipakai sebagai peluru ketapelnya yang masih dikalungkan pada
leher. Karena tempat mereka terlindung di antara bebatuan besar, maka Raden Puger
mendaki bukit itu lagi dengan hati-hati. Setelah ia melakukan pengintaian di
atas, ia segera melambaikan tangan agar Dewi Gading ikut naik ke bukit. Maka
Dewi pun segera menyusul Raden Puger disertai Tole yang juga sebenarnya ingin
tahu apa yang dilihat Puger.
"Rombongan orang-orang kesultanan Praja lewat," bisik Raden Puger. "Agaknya
mereka hendak menuju ke luar wilayah."
Dewi diam, merunduk. Matanya memandang dengan jeli keadaan pada rombongan
berkuda itu. Tole pun ikut mengintai dan ia segera mengetahui, bahwa saat itu
Patih Danupaksi sedang menunggang kuda dikawal oleh lima prajurit. Satu persatu
prajurit itu dikenal semua oleh Tole. Namun ia belum dapat menduga, apa
keperluan Patih Danupaksi sampai-sampai ia pergi meninggalkan Kesultanan
"Hanya seorang patih," bisik Dewi. "Aku kenal, dia Patih Danupaksi."
"Tapi setidaknya serangan kita akan mengurangi bahaya dalam penyergapan nanti
malam, Dewi. Kita serang saja mereka dan kita bunuh patih itu. Paling tidak ia
akan menjadi tawanan kita, Dewi."
Dalam keadaan menunggu masa diam Dewi Gading, benak dan otak Tole berputar
mencari jalan keluar dari masalah itu, Dewi Gading telah berkata:
"Kita serang saja mereka. Aku setuju dengan rencanamu."
"Baik," jawab Raden Puger dengan tegas dan bersemangat. "Kau menyerang dari
belakang, biar aku yang menghadang di depan mereka!"
"Setuju. Mari kita rencanakan dan kita kerjakan gagasanmu itu. Mari kita serang!
Eh, Tole, kuharap kau tetap bersembunyi di bawah batu itu. Kau akan aman asal
kau tidak ke mana-mana!" kata Dewi, dan Tole hanya mengangguk saja.
Rombongan berkuda berhenti ketika Raden Puger merubuhkan sebuah pohon. Pohon
besar itu dihantam dengan jurus Tapak Setan yang juga dimiliki mendiang adiknya.
Dari telapak tangannya keluar loncatan bunga api yang menerjang pohon, lalu
pohon itu pun tumbang, melintang di jalan.
Dua kuda yang ditunggangi dua prajurit di bagian depan sama-sama meringkik kaget
dengan mengangkat kedua kaki depan mereka. Patih Danupaksi yang berada di
belakang kedua prajurit dengan segera menarik tali kekang kudanya. Sementara
itu, dua penunggang kuda di belakang Patih Danupaksi segera bergerak ke samping
kiri dan kanan, sejajar dengan Patih Danupaksi.
"Seorang perampok menghadang kita, Ki Patih," ujar prajurit di samping kirinya.
"Biar kuhadapi sendiri, Jang," kata Ki Patih. "Aku tak ingin ada korban di
antara kita."
Raden Puger berdiri dengan bertolak pinggang. Ia berada di atas batang kayu yang
tumbang itu. Ia masih belum mau mencabut pedang perunggunya. Dan ketika Patih
Danupaksi maju ke depan, ia turun dari atas batang pohon yang tumbang itu.
Keempat prajurit pengawal membentuk barisan setengah lingkaran di belakang Ki
Patih. Masing-masing masih berada di punggung kudanya dengan tenang.
"Apa maumu menghadangku, Ki sanak?" sapa Patih Danupaksi kepada Raden Puger.
"Aku menghendaki nyawa Suro Bodong!"
"Suro Bodong tidak ada. Aku baru akan pergi mencarinya," kata Ki Patih masih
bersikap tenang.
"Kalau begitu, aku menghendaki nyawamu sebagai bahan tebusan nyawa Suro
Bodong!." "Hiaaat...!!" belum habis Raden Puger bicara, seorang prajurit yang ada di
barisan paling kiri melemparkan senjatanya berupa pisau kecil yang ada di
kakinya. Pisau itu melayang cepat ke arah Raden Puger. Tetapi kaki Raden Puger
menghentak bersamaan, ia melompat dalam satu gerakan salto ke depan. Pisau
menancap pada batang pohon yang tumbang, sedangkan kaki Raden Puger segera
menjejak kepala kuda yang ditunggangi Ki Patih.
Kuda meringkik dan melonjak, membuat Ki Patih terlempar dari punggung kuda.
Untung ia dapat menjaga keseimbangan sehingga ia masih mampu bersalto di udara
dan mendarat dengan kedua kaki sempurna menapak di tanah.
"Rupanya kau tidak boleh diajak bersahabat, kawan..!" kata Ki Patih sambil
menangkis pukulan yang tiba-tiba dilancarkan oleh Raden Puger dari bawah. Raden
Puger yang berguling beberapa kali mendekati Ki Patih sendiri dengan kedua
lututnya dan menghantam perut Ki Patih. Tetapi saat
itu Ki Patih mengibaskan kakinya untuk menangkis pukulan tersebut. Kaki itu
segera menendang wajah Raden Puger sehingga Raden Puger terjengkang ke belakang
dengan muka memar akibat tendangan keras Ki Patih.
Pada saat itu, sebuah senjata berbentuk kampak empat mata segera melayang bagai
piring terbang. Kampak tanpa gagang itu melesat dengan keempat matanya yang
tajam berputar cepat. Ki Patih segera melompat dan bersalto beberapa kali untuk
menghindari senjata tersebut. Namun senjata itu pun meliuk dan berbalik arah
mirip sebuah bumerang. Sekali lagi Ki Patih merunduk menghindari senjata
tersebut, yang kemudian segera ditangkap oleh tangan halus mulus dari seorang
perempuan yang ada di belakang barisan prajurit itu.
Dewi Gading segera melesat maju setelah berhasil menangkap senjata kampaknya
yang mirip bunga teratai itu. Seorang prajurit menghadang dengan kudanya, tombak
diarahkan ke Dewi Gading. Tetapi gerakan Dewi Gading yang melayang tinggi itu
membuat prajurit itu sukar menghunjamkan tombaknya. Tubuh Dewi Gading melesat
melewati atas kepalanya, sambil mengeluarkan tenaga dalam dari pukulannya.
Prajurit itu terjengkang jatuh dari atas kuda ketika Dewi Gading menggerakkan
pukulannya ke bawah. Sekalipun tidak mengenai kepala pra-jurit, dan tidak
mengeluarkan sinar apa pun, namun hentakan udara yang keluar dari pukulan itu
telah membuat telinga prajurit tersebut berdarah. Ia menjerit kesakitan sewaktu
jatuh dari punggung kuda. Sedangkan Dewi Gading langsung saja menyerang Ki Patih
Danupaksi dengan sebuah tendangan salto.
Patih Danupaksi melayang menghindari tendangan itu. Namun gerakannya dihadang
oleh pedang perunggu Raden Puger. Sewaktu Ki Patih hendak mendarat ke tanah,
pedang itu menebas di udara, dan mengeluarkan semacam serbuk yang berhamburan ke
arah tubuh Ki Patih. Sebagian serbuk warna merah itu menempel di lengan Ki
Patih. "Aaaaahh...!!"
Patih Danupaksi menjerit kesakitan, ia berdiri dan memperhatikan lengannya yang
ditempeli serbuk merah itu. Ia membelalakkan mata ketika diketahui lengannya
menjadi bengkak, membiru, lalu mulai melepuh di beberapa tempat.
Raden Puger tertawa dan berseru, "Tak satu pun ada yang bisa lolos dari
kehebatan Pedang Lidah Naga-ku...!!"
Lengan itu makin lama makin hangus dan membusuk, menjadi sebuah borok yang
menyakitkan. Patih Danupaksi mengerang kesakitan sambil memegangi tangannya yang
terluka. Pada saat itu, keempat prajurit bergerak menyerang lawan mereka.
Sedangkan Dewi Gading menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kaki
merendah. Dari genggaman tangan yang menghentak ke depan itu keluarlah nyala api
warna perak yang menghantam kuda-kuda penyerangnya.
Ringkik dua ekor kuda yang terkena pukulan itu hampir sama kerasnya dengan
teriakan kedua penunggangnya. Mereka terpental tinggi karena kedua kuda itu
melompat dengan empat kakinya dan menggeliat kesakitan. Sebelum keempat kaki
masing-masing kuda itu kembali menapak di tanah, kaki-kaki kuda itu telah
menjadi berdarah dan patah semuanya. Ringkik kuda semakin histeris, dan kedua
penunggangnya itu jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Kedua kuda itu
tak mampu berdiri lagi, karena kehilangan semua kakinya dengan sadis. Kedua kuda
itu menggelepar-gelepar dalam ringkiknya. Dua prajurit penunggangnya berusaha
untuk bangkit bersama pedang dan perisai yang siap dipakai buat menyerang
lawannya. Pada saat itu, Dewi Gading tidak menyerang prajurit itu lagi, melainkan
menyerang Ki Patih yang sudah kepayahan. Ia melancarkan tendangan samping sambil
melayang. "Hiaaaat...!!" teriakan Dewi membuat kepala Ki Patih berpaling memandang, dan
dengan segera ia pun siap menghadapi serangan itu.
Ki Patih hanya memandang gerakan melayang dari tubuh Dewi Gading. Lalu dari
kedua mata Ki Patih ternyata keluar sinar kecil berwarna ungu. Sinar itu
dihindari oleh Dewi Gading dengan menggeliatkan badan secara cepat ke arah
depan, sehingga ia bersalto dalam ketinggian rendah. Jatuh ke tanah punggungnya
segera dipakai menggelinding. Sinar ungu kecil itu menghantam sebuah batu di
seberang sana, jauh. Namun batu itu hancur seketika dengan diiringi suara
ledakan dahsyat bagai gunung meletus. Batu itu pecah dan pecahannya memancar ke
mana-mana dalam ketinggian yang mengagumkan.
Kedua prajurit yang masih berada di punggung kuda itu sedang menghadapi kibasan
pedang Raden Puger. Mereka segera melompat dari punggung kuda karena serbuk
merah yang keluar dari pedang perunggu itu telah mengenai kuda-kuda mereka.
Takut mengalami nasib seperti kuda temannya, mereka melompat dengan perisai
melindungi wajah. Sebuah tombak melayang dari arah samping Raden Puger. Hampir
saja menancap di pelipis Raden Puger kalau saja ia tidak menghindari lemparan
pisau dari depannya. Karena ia mengelak dari lemparan pisau, maka lemparan
tombak dari prajurit di samping sana pun meleset. Hanya melintas di depan
matanya. Sangat mengagetkan.
Raden Puger segera bersalto ke belakang, tepat berada satu langkah dari punggung
Patih Danupaksi. Segera saja ia menghantamkan sikunya ke tengkuk Ki Patih,
hingga membuat Ki Patih tersedak dan terhuyung-huyung ke depan. Ia batal
melancarkan pukulan Aji Candramawa dari matanya, yang sedianya akan ditujukan ke
arah Dewi Gading. Waktu itu, Dewi Gading sedang sibuk menghadapi amukan kedua
prajurit yang kedua kuda mereka dipatahkan kaki-kakinya oleh pukulan perak Dewi
Gading. Keadaan Ki Patih yang limbung, di samping itu busuk lengannya yang sakit itu
membuat kelemahannya sangat enak dimanfaatkan oleh Raden Puger. Dengan
melompatkan kedua kakinya, pedang perunggu itu dikibaskan ke leher Patih
Danupaksi dari belakang.
"Mampus kau Patih Monyeeet... hiaaaatt...!!"
"Pletak,..! Pletak...!"
Pedang perunggu yang membahayakan itu tak jadi menebas leher Patih Danupaksi.
Tubuh Raden Puger menggelinjang dan terpental beberapa langkah akibat sebuah
batu melesat, mengenai keningnya dengan sangat keras. Lalu menyusul batu yang
kedua melesat cepat dan mengenai matanya dengan sangat keras.
"Aaauuww...!! Matakuuu...!!" Raden Puger menjerit sambil memegangi mata kirinya.
Ia kebingungan menahan rasa sakit. Darah mengucur dari keningnya dan juga
matanya yang ternyata pecah itu. Ia sempat duduk dan akhirnya terguling-guling
tak tahan sakit. Ia berteriak-teriak tak karuan untuk mengatasi rasa sakit.
Pada waktu itu, dua prajurit yang hendak menyerang Raden Puger berhenti seketika
dengan pandangan penuh keheranan. Sebab pada waktu itu, sebutir batu melesat
lagi dari satu arah, dan mengenai telinga Raden Puger. Daun telinga kiri itu
robek seketika bagai dibabat pedang yang cukup tajam. Semakin keras jeritan
Raden Puger menerima serangan batu yang ketiga itu.
Dewi Gading melemparkan senjata kampak empat mata yang menyerupai bunga teratai.
Sekali lempar, dua prajurit robek lehernya dan di tempat itu pun ada jeritan dua
prajurit yang bagai digorok batang lehernya. Kedua prajurit yang hendak
menyerang Raden Puger itu segera berbalik arah, menyerang Dewi Gading. Patih
Danupaksi duduk di tanah dalam keadaan muntah darah. Waktu Dewi Gading hendak
melakukan serangan dengan senjatanya itu, seorang prajurit nekad menyerang Dewi
dengan pedangnya. Dewi berhasil menangkis pedang itu dengan senjata kampak empat
mata. Kaki Dewi menjejaki perut prajurit itu, dan prajurit itu terpental
menabrak temannya. Lalu senjata itu pun digerakkan dan meluncur bagai kitiran
berputar ke arah kedua prajurit itu. Namun...
Triing...!! Arah senjata itu menjadi meleset akibat benturan dengan sebutir batu
kecil yang melesat dari arah lain. Dewi Gading sempat terkejut, bahkan sewaktu
hendak menangkap kembali senjatanya yang menyerupai gerakan bumerang itu, hampir
saja meleset tertangkap oleh tangannya. Untung tangan yang satu segera berhasil
menangkap senjata itu, kalau tidak, pasti lehernya jadi sasaran.
Seorang bocah kecil muncul dari puncak bukit. Tangannya menggenggam ketapel
pertanda ia baru saja memakai ketapel itu. Anak kecil tersebut tak lain adalah
Tole, yang semula diperintahkan Dewi untuk bersembunyi.
Dewi Gading memandang Tole dengan heran, sebab anak itu menuruni bukit dengan
gerakan-gerakan yang lincah dan bahkan seperti anak rajawali yang melayang ke
kaki bukit. Dalam waktu singkat Tole sudah berhasil berada di samping Patih
Danupaksi dan memperhatikan keadaan Ki Patih yang terluka parah itu, seorang
prajurit berseru karena melihat Raden Puger sudah tidak ada di tempat.
"Orang yang berbaju ungu itu telah melarikan diri! Mari kita kejar...!"
''Tidak perlu!" teriak Tole dengan berani. Hal itu membuat Dewi Gading semakin
heran. Begitu beraninya Tole ikut campur dalam urusan ini"
"Tole..."! Apa maksudmu berlagak begitu, hah"!" geram Dewi Gading.
"Kak Dewi... jangan mengumbar nafsu untuk pekerjaan yang sia-sia. Kakak mencari
Suro Bodong, bukan" Nah, di sini kakak melawan orang-orang yang bukan Suro
Bodong!" 'Tapi mereka ini kawan Suro Bodong semua. Tole!"
"Justru itu, kurasa biarkan mereka pergi, pulang ke tempat mereka. Dengan
melihat keadaan seperti ini, tentu Suro Bodong akan terpancing keluar dari
sarangnya. Kita tinggal menunggu saja saatnya ia menampakkan diri dan siap untuk
diserang."
Dewi Gading bersungut-sungut dalam pertimbangannya. Tapi Tole tidak perlu
menunggu persetujuan Dewi Gading. Tole berkata kepada kedua prajurit yang masih
hidup itu: "Hei, bawa patihmu itu pulang ke rumah, dan sampaikan salam kepada Suro Bodong,
bahwa Dewi Gading yang berdiri di balik serangan ini. Katakan kepada Suro
Bodong, bahwa dia ditunggu di sini, kapan saja dia bersedia untuk mati! Lekas,
bawa patihmu pulang...!"


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi mengakui, itu gagasan yang baik. Tapi anehnya, mengapa kedua prajurit itu
tunduk kepada perintah bocah sekecil Tole" Kedua prajurit itu, dan Dewi sendiri
tidak tahu bahwa Tole adalah Suro Bodong. Namun dengan cara tersebut, setidaknya
Tole punya kesempatan untuk berpikir selanjutnya.
5 Kesultanan Praja menjadi heboh sejak kembalinya Ki patih Danupaksi dalam keadaan
terluka parah. Ketegangan meliputi seluruh punggawa negeri sejak mereka
mendengar laporan dari prajurit yang selamat tentang nama Dewi Gading.
"Dewi Gading adalah senopati andalan kerajaan Lesanmitra yang ganas!" kata salah
seorang prajurit tamtama.
Menyambung pembicaraan itu, Eyang Panembahan berkata dengan suaranya yang
sedikit serak tapi bernada tenang:
''Kalau melihat luka di lengan Patih Danupaksi, jelas luka itu disebabkan oleh
serbuk beracun yang dapat keluar dari pedang perunggu."
"Benar, Eyang. Seorang lelaki yang bersenjata pedang perunggu membantu Dewi
Gading," jawab salah seorang prajurit yang selamat. "Mereka sama-sama mencari
Suro Bodong untuk dibunuh!"
"Hem...!" Eyang Panembahan Purbadipa manggut-manggut.
Sultan Praja cemas, Nyi Mas Sendang Wangi begitu juga.
"Eyang kenal dengan lelaki berpedang perunggu?" tanya Sultan beberapa saat
kemudian. "Dia adalah Raden Puger, menantu dari Prabu Baladara, penguasa kerajaan
Lesanmitra."
"Dia kabur, Eyang," ujar prajurit yang selamat. "Lelaki itu agaknya terluka
cukup parah karena mendapat serangan batu kecil dari seorang anak yang membawa
ketapel" "Itu Suro Bodong! Suro Bodong bisa merubah menjadi tujuh rupa, salah satunya
anak kecil yang bernama Tole!" kata Eyang Panembahan yang sudah banyak mendapat
cerita dari Suro Bodong sendiri.
Kedua prajurit yang selamat terperanjat kaget, mereka saling pandang dengan mata
terbelalak. Salah satu segera berkata:
''Tapi anak kecil itu kelihatannya berteman akrab dengan Dewi Gading, Eyang."
"Ayah..."! Suro Bodong jatuh dalam cengkeraman Dewi Gading..." Bagaimana dia,
Ayah...!" Nyi Mas Sendang Wangi menjadi semakin cemas. Tetapi Eyang Panembahan segera
menenangkan masalah itu.
"Suro Bodong punya rencana sendiri untuk Dewi Gading! Percayalah, ia akan mati
di tangan Suro Bodong. Yang perlu kita pertimbangkan adalah Raden Puger-nya."
"Maksud Eyang...?" tanya Sultan.
"Siapkan pasukan ke perbatasan, karena pasukan dari Lesanmitra pasti akan datang
menyerbu setelah Raden Puger meminta mertuanya untuk bergerak ke mari!"
Para prajurit, baik yang masih berpangkat rendah, yang tamtama maupun yang sudah
tergolong perwira, semua bergegas mempersiapkan persenjataan. Yang utama adalah
menjaga agar pasukan Lesanmitra jangan masuk ke wilayah Ke-sultanan Praja, yang
kedua adalah menjaga kalau sewaktu-waktu Suro Bodong mendapat serbuan berpuluhpuluh pasukan Lesanmitra.
Namun, di perbatasan itu, ternyata Suro Bodong masih tenang-tenang saja. Dia
duduk di bawah batu besar. Ada tiga batu yang saling menempel, bawahnya
berongga, dan tempat itulah yang dipakai sebagai tempat penantian oleh Dewi
Gading bersama Tole.
"Kalau mendengar deru kaki kuda, itulah pasukan dari Kesultanan Praja datang
bersama Suro Bodong," kata Tole.
"Dan aku akan segera keluar menyongsong Suro Bodong," timpal Dewi Gading, yang
pada saat itu menarik kepala Tole, menyandarkan ke dadanya, dan mengusap-usapnya
dengan penuh kelembutan. Tole sendiri tak habis pikir, mengapa perempuan
selembut itu bisa mempunyai dendam yang amat jahat dan kejam" Dewi Gading,
sebenarnya perempuan yang agresif, yang merindukan belaian mesra dan pelukan
kenikmatan seorang lelaki. Apalagi ia tahu bahwa Tole mempunyai sesuatu yang
selama ini dicarinya, yaitu suatu kebesaran yang dewasa dalam merenggut
kenikmatan, Dewi rasa-rasanya semakin bergelora jika disentuh tangan Tole.
Langit siang itu menebarkan mendung di beberapa tempat. Anginnya bertiup cukup
kencang. Terkadang menyibakkan debu, ada kalanya hanya berdesir. Tetapi di bawah
tiga batu berongga itu, sungguh nyaman keadaannya. Teduh dan tersembunyi.
Sejak tadi tangan Dewi Gading merayapi tubuh Suro Bodong dalam ujud sebagai
bocah kecil itu. Sesekali ia menciumi rambut Tole, bahkan sesekali merayapi
wajah Tole dengan bibirnya. Tole mendesah, seakan tak mau diperlakukan seperti
itu. Padahal Tole semakin berpikir, langkah apa yang baik untuk mengatasi dendam
Dewi Gading itu.
Posisi Dewi Gading bersandar pada dinding batu, duduknya melonjor, salah satu
kakinya sedikit di tekuk ke samping. Sedang Tole diminta tetap bersandar di dada
Dewi Gading. Kaki Tole yang membujur ke arah samping Dewi dibiarkan melonjor.
Namun tangan Dewi yang merayap ke tempat tertentu itu membuat perut Tole
sesekali meliuk kegelian. Tangan perempuan itu mengusap dan terus merayap,
sampai menyelusup ke segala medan. Lalu tangan itu sengaja meremas-remas suatu
kebanggaan yang agaknya kali ini ingin dinikmati oleh Dewi, tanpa peduli tempat
dan keadaan. Tole sedikit nakal. Ia membiarkan tangan itu bergerilya ke daerah terlarang,
sementara itu ia mulai menelungkupkan wajahnya dipermukaan dada Dewi Gading. Ia
sengaja membuat Dewi Gading mendesis seperti ular kobra yang sedang mencengkeram
ular juga. "Kita pulang dulu ke pondok, yuk kak?" usul Tole.
"Aku ingin menunggu di sini saja sampai Suro Bodong muncul, baik dengan
pasukannya atau pun tidak. Ahh..." Dewi mendesah. "Di sini juga bisa, kan" Tidak
perlu harus di ranjang yang ada di pondok. Di sini juga bisa kok...!"
'Tempat ini tidak terlalu cukup untuk berbaring berdua, dan lagi kotor. Tak ada
alas tidur...''
"Banyak cara untuk menikmati kemesraan, Tole. Kau kan muridku, kau sudah
waktunya menerima pelajaran cinta yang terpaksa..." Dewi Gading tertawa dan
semakin meremas. Nafasnya mulai tidak teratur, debaran di dadanya keras sekali.
Ia sempat berbisik, "Mari kuajarkan sesuatu yang bersifat terpepet...! Bangunlah
sebentar, kupersiapkan jamuan untukmu, Sayang...!" Mendung semakin menggantung,
namun hujan belum turun juga. Hanya hujan lokal yang turun di dalam rongga tiga
batu itu dan sempat membuat Dewi Gading terpekik-pekik merenggang kenikmatan
berlayar bersama Tole.
"Oouh... deras sekali...!" bisik Dewi Gading.
"Hujan belum turun kok, kak. Cuma mendung."
"Ya, tapi aku sudah merasa kan derasnya," seraya Dewi Gading melirik dalam
godaan. Lalu ia tertawa sambil mencubit hidung Tole, ketika anak itu tersenyum
malu. Dewi Gading menghapus keringatnya ketika Tole keluar dari rongga batu. Ia
memandang ke atas, melihat mendung. Padahal ia menyimak suara, kalau-kalau
terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Ternyata hanya desau angin yang terdengar
samar-samar. Ia sempat melirik Dewi Gading yang sedang membenahi pakaiannya, ia
tersenyum juga ketika perempuan berkulit kuning mulus itu mengerlingkan mata
dengan senyum kelegaan yang amat bahagia. Lalu, Tole melangkah dengan menyimpan
hati yang haru.
"Mau ke mana, Le...?" seru Dewi Gading.
"Aku mau mencari buah atau makanan sebentar, kak. Perutku lapar."
''Jangan jauh-jauh, nanti kau tertangkap orang-orang Kesultanan Praja...!"
Tole melangkah seiring dengan keharuan yang ada. Tapi ia buru-buru berusaha
menghapus sesuatu yang mengharukan itu. Ia harus bisa tegar, dan jangan sampai
luluh serta menjadi cengeng hanya karena seorang perempuan.
Memang ada beberapa pohon jambu monyet yang letaknya agak jauh dari bukit
berbatu rongga itu. Tole ke sana bukan untuk memetik jambu, melainkan untuk
membulatkan tekadnya, bahwa sudah saatnya ia harus mengakhiri permainannya
selama ini bersama Dewi Gading.
Ia mencari tempat yang lebih enak dan terlindung dari incaran mata orang.
Kemudian kakinya menjejak tanah. Ia melayang, dan bersalto di udara satu kali.
Itulah jurus Luing Ayan-1 yang mampu merubah ujud Tole menjadi manusia dewasa;
berambut panjang, kurang teratur, berbaju merah dengan celana biru tua,
mengenakan ikat kepala merah juga, dan bertubuh sedikit gemuk. Baju merahnya
tidak dikancingkan, sehingga perutnya yang kelihatan agak membuncit itu
menampakkan betul pusarnya yang keluar. Dialah Suro Bodong yang sebenarnya.
Apapun yang akan terjadi terhadap diri Dewi Gading, Suro Bodong sudah siap
menghadapi. Namun, tujuannya yang utama adalah membujuk Dewi Gading untuk
berdamai. Tetapi jika hal itu tidak mungkin, maka bertarung pun Suro sudah siap.
Ia harus melupakan kemesraan dan kenikmatan yang pernah dialami bersama Dewi
Gading, baik di kamar Madu Mayat atau pun di balik batu tiga berongga itu.
Bagaimana pun mesra dan nikmatnya, namun kebahagiaan yang amat melegakan itu
adalah racun yang mengancam kematiannya. Ia harus membasmi racun itu, baik
dengan cara halus atau pun dengan cara kasar.
Ketika Suro Bodong kembali ke tiga batu berongga bawahnya itu, ternyata Dewi
Gading sudah tidak ada di tempat. Kepala Suro clingak-clinguk mencari Dewi
Gading. Ternyata perempuan yang mengenakan pakaian serba kuning dan yang dadanya
tampak membusung itu sudah berada di puncak bukit. Rupanya ia sedang melihat
kemungkinan datangnya pasukan Suro Bodong yang ditunggu-tunggu. Ia tak sadar
kalau seseorang yang tadi habis dinikmati kedewasaannya itu telah berubah ujud
menjadi sosok lelaki yang dicarinya.
Suro Bodong mendaki bukit dengan gerakan yang ringan dan lincah. Waktu itu Dewi
Gading berpaling dan menjadi kaget ketika ia melihat sosok lelaki dengan kumis
tebal dan tubuh sedikit gemuk, tapi bukan gendut.
Suro Bodong sepertinya tidak menghiraukan kekagetan Dewi Gading. Ia ikut
memandang ke arah jauh, seakan ikut menanti kemunculan pasukan Kesultanan Praja.
Sambil garuk-garuk kumisnya yang tebal, Suro Bodong memunggungi Dewi Gading yang
memandangnya penuh selidik.
Sikap Suro amat tenang dan santai sekali berdirinya.
"Hei, siapa kau..."! Mengapa kau tahu-tahu muncul di sini, hah"!" Dewi Gading
mulai curiga dan berwaspada. Suro membalikkan tubuh dan memandang Dewi dengan
senyum santai. "Kau mencariku, bukan"!"
Kesangsian Dewi kini terjawab; bahwa lelaki yang kini ada di depannya itu adalah
Suro Bodong. Orang yang dicari-cari, yang ditunggu-tunggu, tahu-tahu muncul
bagai setan menjelang sore. Dewi Gading segera mengambil sikap berjaga-jaga. Ia
mundur beberapa langkah, mengatur jarak. Namun saat itu jantungnya benar-benar
lebih cepat. "Dewi Gading..." kata Suro dengan kalem sambil garuk-garuk kumis lagi. "Lebih
baik mengubur dendam daripada mengubur diri sendiri. Pangeran Sedayu mati bukan
dengan tidak terhormat, tapi dengan kemegahannya yang perkasa. Ia mati dalam
suatu pertarungan resmi denganku, kurasa itu lebih baik dari pada dia mati
karena penyakit cacar!"
"Kalau kau takut menghadapi dendamku, sebaiknya kau bunuh diri saja, Suro
Bodong!" geram Dewi Gading dengan matanya yang menjadi tajam dan buas.
Suro Bodong masih menampakkan ketenangannya.
"Aku tidak takut menghadapi dendammu, tapi aku sayangkan kecantikanmu itu. Aku
yakin, atau... katakanlah, aku berjanji untuk menikmati masa-masa yang indah
bersamamu di Kamar Madu Mayat, jika kau mau melupakan dendammu."
Dewi Gading sangat terkejut ketika mendengar Suro Bodong menyebutkan Kamar Madu
Mayat. Dahi berkerut dan mata pun jadi menyipit. Dewi memandangi Suro Bodong
dari ujung rambut sampai ujung kaki.
''Dari mana kau tahu kamar itu?" tanyanya pelan, sepertinya Dewi ragu untuk
melontarkan pertanyaan itu.
Senyum Suro Bodong mengembang, ia melipat kedua tangannya di dada. Santai
sekali. "Kamar Madu Mayat, sebuah kamar yang indah, penuh kenikmatan dengan ranjang
berkasur empuk. Aku ingin ke sana lagi bersamamu, Dewi. Akan kubuka pintu ruang
kematian itu lebar-lebar, biar asapnya masuk ke kamar, lalu kita hirup sebanyakbanyaknya, agar kita mampu berlayar lebih jauh. Ah, aku senang dengan caramu
mendayung perahu kenikmatan itu, Dewi...."
Wajah Dewi Gading menjadi semburat merah, menahan malu yang membakar darah.
Dengan menggeram dan mengepalkan kedua tangannya, Dewi masih menyempatkan diri
untuk membentak Suro Bodong.
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan...!!"
"Aku... aku yang tadi kau ajak mendayung di bawah batu. Mungkin kalau kau
melihat pena yang kumiliki, kau pasti akan tahu bahwa pena itu adalah pena
muridmu. Kau pernah mengajarkannya di Kamar Madu Mayat, atau pun di bawah rongga
batu itu, bukan" Kau pernah menggelar perjamuan yang amat lezat di rongga batu
itu bukan" Dan aku menikmatinya dengan lahap. Kau bilang: dengan lahap, begitu!"
Geram Dewi semakin tajam, wajahnya pun kian memerah. Rasa malu dan marah
bergabung menjadi satu. Ia memang ingat kata-katanya kepada Tole ketika Tole
makin menggila saat mendapat pelajaran terpepet tadi. Belum lama ini. Ia ingat,
ia mengatakan: "Kau amat lahap hari ini, Tole!" Tetapi hanya Tole yang mendengar
kata-kata itu. Lantas, mengapa Suro Bodong bisa mengetahui kalimat tersebut"
"Kau... kau sebenarnya si Tole itu..."!" Dewi menarik kesimpulan.
"Benar. Waktu kudengar ada orang yang mencari Suro Bodong untuk dibunuh, aku
merubah diriku menjadi bocah kecil yang kau peluk dan kau nikmati kedewasaannya.
Tapi sekarang, rasa-rasanya aku harus segera menyelesaikan urusan ini, agar
tidak menimbulkan banyak korban antara orang-orangku dan orang-orangnya Prabu
Baladara!"
"Bangsaaat...!" geram Dewi berkepanjangan. Dewi memasang kuda-kuda dengan
merendahkan kakinya dan mengembangkan tangan kirinya ke atas kepala dan tangan
kanannya menyilang di depan dada.
"Ingat, Dewi... aku menyarankan suatu perdamaian...!"
''Tidak ada damai bagi orang sejahanam kamu!" tukas Dewi.
"Kalau aku kalah melawanmu, dan aku mati, kau tidak akan bisa menikmati ayunan
dayungku dalam mengarungi samudra kemesraan, Dewi."
"Persetan dengan kata-katamu itu. Kau telah membunuh Pangeran Sedayu, dan aku
telah berjanji membalaskannya! Sekarang, bersiaplah menuju alam kematianmu,
lupakan kisah di Kamar Madu Mayat itu, hiaaat...!!"
Suro Bodong membuka tangannya yang tadi terlipat di dada, karena saat itu tangan
Dewi Gading menghentak ke depan dan mengeluarkan sinar perak yang bagai hendak
mengurungnya. Suro ingat, Sinar perak itu berbahaya. Kaki kuda bisa patah total,
apalagi leher manusia. Dengan gesit, Suro Bodong menjatuhkan diri ke tanah dan
berguling ke arah Dewi Gading. Punggungnya berhasil dihentakkan, lalu dia
melentik untuk berdiri. Namun begitu berdiri, ia harus segera meliukkan badan ke
belakang, karena Dewi menghantamnya dalam jarak dekat. Pukulan tangan kanan Dewi
meleset, tapi kaki Suro segera mengibas dalam putaran balik. Kaki itu mengenai
lengan Dewi, dan Dewi jatuh terguling-guling menuju bawah, ke kaki bukit.
Dewi bergegas berdiri. Lalu tangannya melemparkan senjata empat mata kampak
tipis yang bolong tengahnya. Senjata itu melayang bagai kan piring yang
berputar, siap memotong apa saja yang dihantamnya. Suro Bodong bersalto satu
kali. Ini tidak merubah ujudnya, tetap saja ia berujud sosok Suro Bodong.
Senjata itu melesat di bawah kaki Suro Bodong, dan dengan cepat Suro Bodong
menapakkan kakinya ke permukaan senjata tersebut. Ia jadi berdiri mengambang di
atas sebuah piring. Senjata itu berhenti berputar, namun gerakan layangnya
melengkung, berbalik ke arah pemiliknya. Dan Suro Bodong pun jadi ikut bersama
lajunya senjata itu.
Dewi Gading terbengong dalam kebingungan yang dicekam rasa kagum. Waktu ia
hendak menangkap senjatanya lagi, kaki Suro yang menapak di senjata itu segera
menghentak ke depan. Akibatnya senjata kampak bermata empat yang menyerupai
bunga teratai itu terpental, melesat ke arah kepala Dewi Gading.
"Hiaaat...!!" Dewi tak berani menangkap senjatanya. Ia bersalto di udara ke arah
samping. Kemudian bersalto sekali lagi, dan pada gerakan salto ke dua inilah
kaki kanannya berhasil menendang kepala Suro Bodong. Akibatnya Suro Bodong
kehilangan keseimbangan, lalu jatuh tersungkur. Hampir saja mulutnya membentur
batu runcing kalau saja lengannya tidak segera bergerak, menahan ke tanah.
Dewi Gading melayang, mengejar senjatanya. Senjata itu membentur sebuah batu
besar. "Traang...!" Terjadi kilatan cahaya api akibat benturan itu. Kemudian Dewi
Gading buru-buru memungutnya. Suara derap kaki kuda terdengar di kejauhan. Suro
Bodong mengira, pasukan Kesultanan Praja telah datang. Tetapi ketika disimaknya
baik-baik, ternyata derap kaki kuda itu berasal dari arah Timur. Oh, berarti
bukan pasukan Kesultanan, melainkan pasukan Prabu Baladara yang dikerahkan
menyerbu Kesultanan Praja.
"Dewi...! Pasukanmu sudah datang! Kau seorang Senopati, dan aku pun seorang
Senopati dari Kesultanan. Sebaiknya cegah mereka agar tidak bertempur secara
kroyokan! Kalau kau kalah, mereka harus mau mengakui, dan begitu juga sebaliknya
jika aku kalah, Kesultanan akan tunduk kepada Prabu Baladara!"
Usulan itu dijawab oleh Dewi Gading dengan lemparan senjatanya.
"Aku bukan Senopati mereka lagi! Hiaaat...!!"
Kali ini Suro Bodong tercengang sejenak, karena senjata kampak bermata empat itu


Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang berputar-putar di udara. Makin lama semakin besar, dan setelah menjadi
besar barulah melesat menuju ke tubuh Suro Bodong. Rasa-rasanya tak ada cara
lain untuk menghindari senjata ajaib yang bisa menjadi sebesar tampah itu kalau
tidak dengan menggunakan Pedang Urat Petir.
Maka,,Suro Bodong segera merentangkan tangan kirinya di dada, lalu mengurut
tangan kiri itu dengan tangan kanan dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah
pedang yang memancarkan sinar ungu berkilauan. Pedang itu segera mengibas ke
samping kiri sewaktu senjata kampak bermata empat itu melesat di depan wajahnya.
''Trang...! Blaaar...!!"
Suara menggema timbul dari ledakan kedua pusaka yang beradu. Senjata Dewi Gading
pecah menjadi berkeping-keping. Dewi Gading terbengong melompong. Sebab dari
tadi ia tidak melihat Suro Bodong mempunyai pedang, namun ternyata sekarang ada
pedang bersinar ungu yang mampu memecahkan senjata kampak bermata empat itu. Oh,
sungguh ajaib dan mengagumkan sekali. Rupanya Suro Bodong mempunyai pusaka
sebuah pedang yang mampu disimpan di dalam tangan kirinya, bagai berada di bawah
kulit lengan kiri itu. Benar-benar sebuah senjata yang sangat berbahaya dan
sakti. Dewi memang tidak tahu, bahwa itulah yang dinamakan Pedang Urat Petir.
Suatu senjata kebanggaan Suro Bodong selama ini. Dan ia tak tahu persis sampai
seberapa kehebatan pedang itu. Yang jelas, ia harus mencobanya sekali lagi,
dengan cara apapun agar dapat mengalahkan Suro Bodong.
Derap kaki kuda semakin jelas, dan lama-lama menjadi sangat jelas. Berpuluhpuluh pasukan dari Lesanmitra segera mengurung tempat pertarungan Suro Bodong
dengan Dewi Gading. Pasukan berkuda yang lengkap dengan senjata perang di setiap
prajurit itu dipimpin oleh Dadung Wungu, yang bersenjata tombak berujung clurit.
"Berhenti...! Semua pasukan berhenti! Kita tunggu siapa yang unggul antara
lelaki itu dengan Dewi Gading!" seru Dadung Wungu, sementara di sampingnya duduk
di punggung kuda seorang lelaki berpakaian ungu dengan mata ditutup sebelah dan
menampakkan bekas darah. Dialah Raden Puger.
"Dewi...!" kata Suro Bodong ketika mereka bertarung dalam jarak dekat,
"Menyingkirlah...! Jangan mau terbunuh seperti yang lain. Biar aku akan
menghadapi orang-orang dari Lesanmitra ini! Lekas...!"
"Aku akan menyingkir kalau aku sudah menjadi mayat!" balas Dewi pantang
menyerah. Ia melompat dalam satu tendangan ke belakang. Pada saat itu, punggung
Suro Bodong berhasil dijadikan sasaran tendangannya itu. Suro terhuyung-huyung
ke depan. Namun ia segera bersiap kembali dengan merentangkan tangannya yang
memegang pedang.
Dewi Gading bersalto menjauh. Kemudian ketika ia mendaratkan kakinya ke tanah,
kedua tangannya bergerak maju, bagai sedang melemparkan sesuatu. Kedua kakinya
merendah dengan tegar. Dan pada saat itu, Suro Bodong melihat kepingan-kepingan
bulat seperti uang logam melesat dari kedua tangan Dewi Gading. Kepingankepingan itu berwarna kuning emas dan berjumlah lebih dari 20 keping. Semuanya
melesat bagai hendak menyergap Suro Bodong.
Dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata, Suro Bodong menggerakkan
Pedang Urat Petir. Menebas cepat kian kemari hingga bunyi gemerincing saling
bersahut-sahutan. Rupanya kepingan-kepingan logam itu berhasil ditebas pecah
oleh pedang Suro Bodong. Salah satu tebasannya mengakibatkan logam berbahaya itu
melesat dan mengenai seorang penunggang kuda dari Lesanmitra.
"Aaah...!!" orang itu menjerit. Ia memegangi dadanya. Dalam waktu sangat singkat
dagingnya mulai ambrol luluh, dan menjadi seperti daging cincang. Tinggal
tengkorak dan kerangka tubuhnya saja yang masih tetap duduk di punggung kuda
dalam posisi memegangi dadanya.
Bukan hanya Suro Bodong yang membelalak kaget, tetapi semua orang Lesanmitra pun
tercengang melihat kedahsyatan senjata rahasia Dewi Gading. Suro Bodong mulai
bersungguh-sungguh, ia tidak mau menerima nasib seperti penunggang kuda dari
Lesanmitra itu. Ia mengambil posisi tegak, kedua kakinya merapat. Pedangnya
digerakkan bagai sedang menusuk udara ke tujuh arah. Setelah ditusukkan ke tujuh
arah, maka ia mengibaskan pedangnya dengan kedua tangan, dari kanan ke kiri, dan
kakinya salah satu ditarik mundur, sedang kaki yang satu menekuk ke depan.
Itulah jurus Pedang Colok yang membuat Dewi Gading menjerit kesakitan sambil
memegangi kedua matanya.
"Oaauuww..., Mataku..."! Mataku perih sekali...! Oh, mataku tak dapat untuk
melihat...!!" teriak Dewi Gading dengan panik.
Dadung Wungu diperintahkan oleh Raden Puger untuk menyerang Suro Bodong. Ia
segera melompat dengan senjata tombak berujung cluritnya. Ketika tombak itu
mengibas bagai hendak membabat kaki, Suro Bodong melompat seraya mengibaskan
pedangnya ke arah wajah Dadung Wungu. Namun belum sempat ia habis mengibaskan
pedang itu, sebuah pukulan telapak setan telah dilancarkan dari tangan Raden
Puger. Kilatan bunga api meluncur cepat, dan Suro Bodong menangkisnya dengan
gerakan pedang yang seharusnya ke bawah, kini menjadi ke atas. Taaar...! Bunyi
ledakan kecil pun terdengar di ujung pedang ketika bunga api mengenai pedang
tersebut. Raden Puger penasaran. Tanpa peduli kepalanya masih berdarah akibat ditembak
dengan ketapel Tole, ia turun dari kuda. Waktu itu, Dadung Wungu mengibaskan
tombaknya dengan membabi-buta ke segala arah. Suro Bodong melompat-lompat
menghindari tebasan senjata Dadung Wungu. Hal itu digunakan oleh Raden Puger
untuk mencabut pedangnya dan mengibaskannya ke arah Suro Bodong. Sekali pun
tidak mengenai tubuh Suro Bodong, namun kibasan pedang perunggu itu mampu
menyebarkan serbuk merah yang dapat membuat kulit tubuh manusia menjadi busuk
Suro Bodong berkelit ke samping. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke atas
sambil menggenggam pedang Urat Petir. Pedang itu di putar-putar di udara, di
depan matanya. Serbuk merah menjadi mengumpul dalam satu pusaran arus angin yang
ditimbulkan oleh gerakan memutar pedang Suro. Ketika sudah berkumpul, serbuk itu
pun bagai dihempaskan oleh angin kencang, sebab Suro menggerakkan pedangnya ke
arah Dadung Wungu. Maka serbuk itu pun meluncur dan menebar mengenai tubuh
Dadung Wungu. "Aaahhh...! Serbuk itu mengenaiku, ooh... tolong...!!" Dadung Wungu kebingungan.
Ia mendekati Raden
Puger, tapi Raden Puger semakin panik. Suro Bodong masih bersiaga di tempatnya.
Dadung Wungu menjerit kelojotan, karena serbuk itu menempel di sekujur badan
bagian atas. Gemuruh derap kaki kuda datang dari Barat. Itulah rombongan pasukan Kesultanan
yang dipimpin oleh Demang Sabrangdalu. Pasukan itu jumlahnya dua kali lipat
dengan pasukan Lesanmitra. Saat itu, Suro berseru mengimbangi suara Dadung Wungu
yang menjerit-jerit kesakitan, karena kepala dan leher sampai ke dada menjadi
bengkak. Membiru sebentar lalu melepuh dan menjadi busuk. Raden Puger sendiri
tampak panik serta serba salah.
"Pulanglah kalian...!! Aku senopati Kesultanan Praja! Kalau kalian pulang, kami
tidak akan mengejar. Tapi kalau kalian tetap di sini, aku yang akan menghadapi
kalian semua! Cukup satu orang yang maju bagi Kesultanan Praja, itu sudah bisa
membantai satu kerajaan kalian...!!"
''Tutup mulutmu, jahanaaam...!!" Raden Puger melayangkan tendangannya ke arah
Suro Bodong. Suro berkelit dengan merendahkan badan. Pedang perunggu segera
berkelebat menebas ke-pala Suro Bodong dari atas. Pedang Urat Petir menangkisnya
dengan satu tebasan kuat. Dan pedang itu pun menimbulkan dentuman yang
menggelegar bersamaan menggulingnya Suro Bodong.
Raden Puger mendelik melihat pedang perunggunya patah menjadi tujuh potongan.
Kecil-kecil. Ia semakin panik, apalagi jeritan Dadung Wungu semakin mengiris
hati. Raden Puger benar-benar menjadi gila. Jiwa kerdilnya berkuasa, ia segera
berlari ke arah pasukannya.
"Kau akan dikejar pedangku Puger...!!" teriak Suro Bodong. Tetapi sebelum Suro
berbuat sesuatu, Raden Puger menyerobot pedang anak buahnya, kemudian ia menikam
diri sendiri dengan sekuat tenaga.
"Dia bunuh diri..."!!" teriak salah seorang prajurit. Lalu gaduh, heboh dan
paniklah suasana saat itu. Raden Puger malu, jiwanya amat guncang ketika ia tahu
Suro Bodong orang kuat. Pedang perunggu pusakanya dapat dihancurkan, dan racun
dari pedangnya sendiri telah melukai Dadung Wungu yang sekarang kelojotan.
Agaknya jantung Dadung Wungu pun menjadi membusuk terkena tebaran serbuk beracun
dari pedang perunggu. Sebab itu, Raden Puger merasa tak berarti lagi hidup
menanggung kekalahan yang memalukan. Jiwa kerdilnya bertindak, dan ia lebih baik
mati bunuh diri daripada harus mati di tangan pembunuh adiknya: "Suro Bodong."
Ia tak sanggup menahan malu di depan mertuanya: yaitu Prabu Baladara yang amat
membanggakan kesaktiannya.
''Pulanglah kalian! Jangan mau mati dengan sia-sia! Tenaga dan hidup kalian
masih dibutuhkan oleh keluarga...!" seru Suro Bodong. Saat itu, pasukan dari
Kesultanan Praja hanya diam, membentuk satu barisan memanjang, sebagai pagar
keperajuritan yang akan membendung lawan jika lawan nekad hendak masuk ke
wilayah Kesultanan Praja.
Tubuh kedua mayat itu dinaikkan ke atas punggung kuda. Pasukan Lesanmitra
meninggalkan tempat itu dengan hati sedih dan suasana berkabung. Mereka
melangkahkan kaki kuda dengan keheningan tanpa seucap kata pun. Mereka pulang,
karena mereka merasa sia-sia melawan Suro Bodong yang ternyata berilmu sangat
tinggi itu. Tempat itu telah kosong. Prajurit kesultanan beium ada yang berani bicara. Suro
Bodong telah memasukkan Pedang Urat Petirnya ke tangan kiri, bagai disimpan
dalam daging lengan kirinya. Kemudian ia mendekati Demang Sabrangdalu yang masih
duduk di atas punggung kuda.
"Sudah beres, Demang...!"
Demang Sabrangdalu menggumam. "Perempuan itu... buta matanya. Dia meraba-raba
untuk pergi juga, atau sengaja mencarimu" Aku tahu, dia Senopati Lesanmitra!"
"Dia bukan lagi Senopati. Dia hanya ingin membalas dendam atas kematian
kekasihnya, yaitu Pangeran Sedayu. Tapi... biarlah kuurus dia, kalau toh
terpaksa, akan kubunuh juga. Tapi kalau bisa berdamai, aku akan berdamai
dengannya. Sekarang, bawa pasukan kembali ke istana Kesultanan...!"
Perintah Suro Bodong, adalah perintah seorang Senopati perang. Perintah itu
tanpa diulang dua kali langsung dikerjakan. Demang Sabrangdalu dan pasukannya
kembali ke istana Kesultanan. Sementara itu, Suro Bodong mendekati Dewi Gading
yang sedang merintih pelan sambil meraba-raba. Matanya buta akibat jurus pedang
colok yang tadi dilancarkan oleh Suro Bodong.
"Dewi..." sapa Suro Bodong sambil garuk-garuk kumis. "Mari kuantar kau pulang ke
Pondok Lereng Sewu..."
Dewi bungkam, gerakannya diam sampai lama. Matanya mengerjap-ngerjap,
menyedihkan. "Kau... unggul. Tapi sebaiknya bunuh saja aku, Tole!"
Suro Bodong terharu mendengar dirinya dipanggil Tole. Ia hanya berkata, "Akan
kubunuh kau dengan pena muridmu di kamar Madu Mayat, kak Dewi..." suasana jadi
hening, dan Dewi pun akhirnya menangis, lalu membiarkan Suro Bodong
menggendongnya ke Pondok Lereng Sewu.
Jadi dulu, Dewi menggendong Suro Bodong berujud bocah menuruni lereng maut dan
membawanya ke pondok, kini Suro Bodonglah yang membawa Dewi ke sana.
"Aku telah buta, aku tak punya arti apa-apa lagi...."
"Dendam itu memang membuat buta, Dewi," kata Suro sambil melompat dengan ilmu
peringan tubuh, menuruni Lereng Sewu. Ia berkata lagi, "Kalau aku mau, aku bisa
membunuhmu sekarang juga. Tapi apalah hebatnya membunuh orang buta. Apalah
hebatnya membunuh orang yang menyimpan dendam. Karena dendam itu sendiri adalah
kebutaan yang tidak disadari."
Suro Bodong menggeletakkan Dewi Gading di atas dipan, di luar kamar mendiang
gurunya, yang disebut Kamar Madu Mayat itu.
"Dewi, kau sadar apa yang menimpa dirimu?"
Dengan tangis yang lirih, Dewi menjawab, "Bawalah aku ke kamar Madu Mayat...."
Tak banyak pertimbangan lagi, Suro Bodong membawa Dewi masuk ke kamar mendiang
gurunya. Ia meletakkan Dewi di atas kasur dari ranjang yang amat indah dan
berkelambu merah muda itu.
"Aku... aku telah termakan oleh dendamku sendiri, sehingga aku tak dapat melihat
keindahan kamar ini, Tole...."
Suro Bodong menghela nafas, menahan debaran yang menyesak di dada.
"Ilmu pedangmu, ternyata belum ada tandingannya. Aku ini hanya debu diujung
pedangmu, Tole...."
"Pedang itu sebenarnya mampu untuk tidak membuatmu buta, kalau saja kau mau
berdamai kala itu. Tapi... sudahlah, kebutaan ini hanya sementara, hanya sampai
setengah hari. Ilmu Pedang Colok hanya kugunakan untuk membutakan lawan
sementara, lalu kubunuh. Tapi kali ini, kurasa lebih baik aku membawamu ke mari
dari pada membunuhmu. Percayalah, lewat setengah hari nanti, kau bisa melihat
lagi. '' "Benarkah itu" Benarkah...?" Dewi meratap haru dalam suka.
"Benar, kak Dewi...!" jawab Suro menirukan
"Oh... Tole..." Dewi mendesah. "Bukalah ruang kematian itu agar uapnya masuk ke
mari dan terhirup oleh kita. Bukalah!"
Setelah tertegun beberapa saat, maka Suro Bodong segera membuka ruangan berpintu
model almari, dan bau harum yang aneh pun masuk ke kamar Madu Mayat.
TAMAT Hantu Wanita Berambut Putih 3 Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana Peristiwa Merah Salju 12

Cari Blog Ini