Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 32

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 32


Kami disinipun sudah mengira, bahwa kau telah mengikuti petualangan Raden Rangga. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Sekar Mirahlah yang menyahut " Kami disinipun sudah mengira, bahwa kau telah mengikuti petualangan Raden Rangga. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Katanya " Kakang Agung Sedayu juga mengatakan demikian. Tetapi kepergian kami kali ini sama sekali tidak mengganggu orang lain. " Sekar Mirah tersenyum. Katanya " Tidak mengganggu orang lain menurut penilaian kalian.
Tetapi apakah benar begitu menurut penilaian orang lain. "
" Benar " jawab Glagah Putih " kami memang pergi ketempat yang tidak berpenghuni kecuali beberapa ekor binatang liar yang tidak buas dan seekor ular raksasa. "
" He" " nampaknya Sekar Mirah tertarik sekali mendengar keterangan Glagah Putih itu. Katanya kemudian " Kau tentu membawa ceritera yang menarik tentang tempat itu. Apa kerja kalian ditempat yang dihuni binatang liar yang tidak buas dan seekor ular raksasa itu" "
" Itulah yang ingin aku tanyakan " sela Kiai Jayaraga " mungkin ceriteranya akan menjadi sangat menarik.
" Kau tidak sangat letih" " bertanya Sekar Mirah.
" Tidak " jawab Glagah Putih " bukankah selama perjalanan aku naik seekor kuda yang tegar dan kuat. "
" Ah kau " Sekar Mirah tersenyum. Lalu katanya "
Baiklah. Jika kau tidak terlalu letih, kami ingin mendengar ceriteramu. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika lewat celah-celah pintu ia memandang keluar, maka katanya " Jika aku berceritera, nanti hari akan cepat menjadi sore. "
" Apa salahnya " sahut Agung Sedayu.
Glagah Putihpun tertawa. Namun kemudian iapun mulai dengan ceriteranya, sejak ia memasuki perjalanan menuju ke Mataram sampai saatnya ia kembali kerumah itu. Tidak ada yang terlampaui, bahkan diceriterakannya juga, bagaimana cara Raden Rangga bermain-main dengan tukang-tukang satang, namun yang justru telahmemancing hambatan bagi perjalanannya.
Diceriterakannya pula apa yang telah terjadi di Gumuk Payung dan lingkungan disekitarnya, serta apa yang telah dicapainya selama ia berada di Gumuk itu.
Ceritera Glagah Putih memang menarik. Bukan saja apa yang terjadi di tempat penyeberangan sehingga mengundang benturan kekuatan, tetapi juga tentang sanggar Raden Rangga yang aneh dan perkembangan ilmu Glagah Putih disamping seekor ular yang berwarna garang dan yang
nampaknya sangat berbisa.
Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah bagaikan membeku mendengarkan ceritera
perjalanan Glagah Putih yang sebenarnya terhitung pendek dari sebuah petualangan yang
sering dilakukan orang. Ketika Glagah Putih menyelesaikan ceriteranya dengan pemberian kuda yang tegar oleh Raden
Rangga, serta perjalanannya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka ketiga orang yang
mendengarkannya itu menarik nafas dalam-dalam.
" Ceriteramu memang sangat menarik Glagah Putih " berkata Kiai Jayaraga " apalagi
menyangkut peningkatan ilmumu. "
" Ya " sahut Agung Sedayu " aku telah digelitik untuk ingin melihat, apa yang telah terjadi atas dirimu. Aku sama sekali tidak berkeberatan melihat ilmumu meningkat dengan laku yang asing bagiku dan barangkali juga Kiai Jayaraga.
Tetapi yang ingin kami ketahui apakah didalam perkembangan itu tidak terjadi penyimpanan apalagi jika hal itu akan dapat pengaruhi sifat dan watak dari ilmu yang telah kau miliki. "
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Iapun kemudian menjawab " Maaf kakang. Aku memang telah melakukan sesuatu sebelum aku mendapat ijin kakang dan Kiai Jayaraga. Tetapi menurut Raden Rangga yang terjadi adalah sekedar peningkatan. Tidak akan terjadi sesuatu yang lain. "
" Sukurlah jika demikian " desis Kiai Jayaraga " tetapi mungkin ada hal yang belum diketahui oleh Raden Rangga. Sebenarnyalah aku merasa cemas, bahwa apa yang pernah terjadi atas diriku akan terulang. Mungkin akulah orang yang tidak pantas untuk mengangkat seorang murid, karena setiap orang yang menjadi muridku, atau dengan kata lain, semua murid-muridku telah menempuh jalan yang keliru, sengaja atau tidak sengaja. "
" Jangan pikirkan itu lagi " potong Agung Sedayu.
lalu " sebaiknya kita lihat, apa yang terjadi pada diri Glagah Putih. Pada ilmunya dan hubungan antara ilmu dan tingkah lakunya yang tentu tidak akan dapat kita lihat dengan serta merta. "
Glagah Putih melihat kecemasan yang memancar di sorot mata kedua orang gurunya yang memandanginya dengan tajam Ia semakin merasa bersalah. Namun Agung Sedayupun kemudian berkata " Tetapi tidak ada yang perlu disesalkan berkepanjangan Segala sesuatunya masih dapat dilakukan. Jika ada yang kurang serasi masih mungkin diusahakan untuk menjadi imbang kembali. Tetapi mudah-mudahan terjadi seperti apa yang dimaksud oleh Raden Rangga, karena Raden Rangga memang memiliki kelebihan " Apa yang baik aku lakukan, akan aku lakukan " desis Glagah Putih yang menjadi gelisah
" sekarangpun aku siap untuk mengalami pendadaran jika itu dikehendaki oleh kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. "
Tetapi Agung Sedayu tersenyum Katanya " Tidak terlalu tergesa-gesa. Kau dapat beristirahat hari
ini. Mungkin malam nanti, mungkin besok atau kapan saja. Bahkan kami ingin melihat apa yang
kau lakukan untuk selanjutnya pada waktu yang panjang sekali. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata " Aku mengerti kakang.
Tetapi akupun berharap, bahwa tidak ada perubahan yang mendasar didalam diriku Tetapi aku mohon kakang dan Kiai Jayaraga mengamati-nya, karena apa yang kakang dan Kiai amati tentu lebih jelas nampak daripada aku melihat kediriku sendiri. "
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Sambil masih tersenyum Agung Sedayu berkata " Semuanya untuk kebaikanmu. Jangan gelisah dan jangan ragu-ragu tentang dirimu sendiri."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata " Aku serahkan
semuanya kepada kakang dan Kiai Jayaraga. " Agung Sedayu memandang Kiai Jayaraga
sejenak. Namun seakan-akan tertangkap dalam pandangan Agung Sedayu, bahwa Kiai Jayaraga
tidak terlalu cemas atas keadaan Glagah Putih.
Bahkan agaknya dalam penglihatan yang sekilas, memang tidak ada perubahan yang mendesak
pada Glagah Putih. Namun segala sesuatunya masih harus dinilai dalam kenyataan tingkah laku
dan perbuatan Glagah Putih kemudian. Apalagi pada saat-saat anak muda itu harus menentukan
sikap menghadapi satu persoalan.
" Glagah Putih " berkata Agung Sedayu kemudian" kau dapat beristirahat sekarang. Mungkin kau
letih. Aku akan pergi ke sawah sebentar. "
" Aku juga akan pergi ke sungai sebentar kakang" berkata Glagah Putih kemudian " aku akan melihat pliridan. "
" Ah, kau masih juga tertarik kepada pliridan dan rumpon" " bertanya Agung Sedayu.
" Kenapa tidak" Bukankah ada juga orang tua yang membuat rumpon dan pliridan, justru
dibawah bendungan diujung pategalan Setambi. " sahut Glagah Putih.
" Baiklah " jawab Agung Sedayu " tetapi jaga badanmu baik-baik. Jika kau memerlukan istirahat, beristirahatlah. "
" Ya kakang " sahut Glagah Putih, lalu katanya " aku akan memasukkan kuda itu dikandang lebih dahulu. "
Glagah Putihpun kemudian minta diri. Mula-mula dimasukannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai keujung ekornya.
" Kenapa" " bertanya Glagah Putih.
" Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat. " jawab anak itu.
" Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya" " bertanya Glagah Putih.
" Kau bangga mempunyai kuda itu" " tiba-tiba saja anak itu bertanya.
" Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.
" Apa bedanya yang penting selain ujud yang lebih besar " bertanya Agung Sedayu pula.
" Kuda ini tegar dan nampaknya sangat kuat " jawab anak itu.
" Bagus " gumam Glagah Putih " ternyata kau dapat mengenali pula. "
" Marilah " tiba-tiba saja anak itu mengajak " kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula. "
" Kau bawa cangkul " berkata Glagah Putih kemudian.
" Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul" " bertanya anak itu.
Glagah Putih tertawa. Katanya " Jangan berkicau saja. Marilah. "
Glagah Putih tidak menunggu. Iapun kemudian melangkah meninggalkan halaman rumahnya menuju ke sungai, sementara itu pembantu rumah itupun berlari-lari mengambil cangkul dan sabit, kemudian menyusul Glagah Putih pergi ke sungai.
Ketika mereka menyusuri pematang sawah disebelah padukuhan induk, maka anak itupun berkata " Aku yakin bahwa yang merusak pliridan
itu tentu bukan hanya satu orang. Tetapi beberapa orang. "
" Tetapi tentu bukan anak-anak Tanah Perdikan ini " berkata Glagah Putih
" Tentu bukan " jawab anak itu " tetapi mereka tentu segerombolan anak-anak muda dungu yang tidak mengetahui, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat sepasukan pengawal yan kuat yang dapat menghancurkan mereka. "
" Ah kau " Glagah Putih tertawa berkepanjangan " apa urusannya antara pliridan itu dengan pasukan
pengawal" " " Bukankah jika yang merusak itu segerombolan anak-anak dari Kademangan sebelah, maka pasukan Tanah Perdikan ini dapat mengerahkan pasukan segelar sepapan untuk menyerang" "
Glagah Putih tertawa semakin keras. Bahkan kemudian iapun berhenti sambil berkata "
Sudahlah. Diamlah. Perutku menjadi sakit. "
Anak itu terheran-heran mendengar kata-kata Glagah Putih. Glagah Putih itu tidak mengiakannya. Justru mentertawakannya.
Namun anak itu tidak sempat bertanya lagi. Dua orang anak muda datang bergegas mendekati Glagah Putih menyusuri pematang yang menyilang.
Sebelum mereka dekat, salah seorang sudah bertanya lantang " He, kemana saja kau selama ini" Agaknya kau keluar Tanah Perdikan untuk beberapa hari" "
Glagah Putih berhenti. Sambil tersenyum ia menjawab " Sekar Mirah melihat-lihat keadaan di luar Tanah Perdikan ini. "
" Kau pergi kemana" " bertanya yang lain ketika ia sudah berdiri berhadapan.
" Melihat-lihat Mataram. Aku sudah lama sekali tidak pergi ke Mataram " jawab Glagah Putih.
" Ada apa di Mataram" " bertanya anak muda itu.
" Tidak apa-apa. Hanya sekedar melihat-lihat. " jawab Glagah Putih.
" Ia membeli seekor kuda yang besar " tiba-tiba saja pembantu rumahnya itu menyela.
" Ah kau " desis Glagah Putih.
" Jangan berbohong " berkata anak itu.
Glagah Putih tertawa. Sementara itu kawannja yang seorang bertanya " Kau memang membeli kuda" "
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Bahkan iapun berkata " Marilah.
Kita pergi ke sungai. "
" Untuk apa" " bertanya kawannya.
" Pliridanku rusak " jawab Glagah Putih " aku akan memperbaikinya. "
" Dirusak orang " anak itu menyela lagi.
Kedua kawan Glagah Putih itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya pembantu rumah Agung Sedayu itu sambil termangu-mangu. Salah seorang diantara merekapun kemudian bertanya "
Dirusak orang katamu" "
" Ya " jawab anak itu mantap " mereka sudah menghina kita. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Disangkanya kita tidak berani melawan mereka. Sedangkan melawan Pajang kita tidak takut. "
" Ah kau " potong Glagah Putih " tubuhmu dan kepalamu kecil tetapi mulutmu sangat besar. "
Sekali lagi anak itu menjadi heran, bahwa Glagah Putih tidak mengiakannya. Bahkan mentertawakannya.
Ternyata kedua anak muda itu tertarik kepada keterangan anak itu. Salah seorang diantara mereka telah bertanya " Benar pliridanmu dirusak oleh anak-anak luar Tanah Perdikan" "
" Jangan hiraukan keterangan anak ini " jawab Glagah Putih " pliridan itu memang sudah perlu
diperbaiki. Tanggulnya sudah aus sejak lama.
Mungkin air sedikit besar pada malam itu, sehingga tanggulnya telah pecah. "
" Tidak " potong anak itu " itu tidak benar. Aku tahu pasti melihat bekas-bekasnya. Tunggul pliridan itu dirusak orang. "
" Sudahlah " berkata Glagah Putih " marilah. Kita pergi kesungai. "
Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih berkata kepada kedua orang kawannya " Marilah.
Apakah kalian juga akan pergi kesungai" "
Tiba-tiba saja keduanya tertarik pula untuk pergi ke sungai dan melihat pliridan yang rusak itu.
Karena itu, maka salah seorang dari keduanya berkata kepada kawannya " Kita pergi ke sungai"
" Marilah. Aku sudah selesai mengairi sawah " jawab yang lain.
Demikianlah keduanya telah pergi mengikuti Glagah Putih dan pembantunya untuk pergi kesungai. Disepan-jang jalan ternyata anak itu tidak habis-habisnya berbicara tentang pliridannya yang rusak, sehingga Glagah Putih menjadi jengkel dan berkata " Diamlah Aku akan menyuapimu dengan keyong sawah jika kau masih berbicara terus. "
Anak itu terdiam. Tetapi wajahnya justru menjadi sedih. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Glagah
Putih justru berbuat sebaliknya dari yang diharapkannya. Marah dan mencari anak-anak
nakal yang merusak pliridannya.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah sampai ke tepian. Dari tepian sudah nampak, bahwa pliridan itu baru saja diperbaiki. Justru karena itu, tanggulnya nampak baru dan bahkan lebih kokoh dari pliridannya yang dahulu. Glagah Putih yang kemudian berdiri diatas tanggul pliridannya berkata " Ternyata pliridan ini tidak rusak. "
" Aku sudah memperbaikinya " bantah pembantunya " dua hari aku bekerja keras sendiri. "
" O " Glagah Putih mengangguk-angguk " hampir aku lupa bahwa kau sudah memperbaikinya. "
Tetapi diluar dugaan kedua orang kawan Glagah Putih itu nampaknya menaruh perhatian atas pliridan itu. Seorang diantara mereka bertanya "Jika benar pliridanmu rusak, apakah kau akan membiarkannya saja" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Belum tentu yang terjadi demikian.
Seandainya dirusak sekalipun jika kita tidak melihat sendiri apa yang terjadi, kepada siapa kita akan marah" Kepada anak-anak muda Kademangan sebelah" Belum tentu juga mereka yang melakukan. Mungkin justru tidak sengaja gembala kerbau telah membawa kerbaunya lewat tempat ini dan merusakkan tanggul pliridanku. "
" Kau tidak marah" " bertanya pembantu dirumah Agung Sedayu itu.
" Kepada siapa aku harus marah" " Kepadamu" " bertanya Glagah Putih.
" Kita dapat menelusurinya " salah seorang kawan-nyalah yang menjawab.
Tetapi Glagah Putih berkata " Itu tidak perlu.
Karena hal itu akan dapat menimbulkan perselisihan antara kelompok-kelompok anak muda yang seharusnya mampu saling mengadakan pendekatan dan bekerja bersama dalam banyak bidang. He, bukankah pimpinan anak muda di Kademangan itu sudah kita kenal"
Sementara itu hampir semua anak muda dipadukuhan terdekat dari Kademangan itu juga sudah kita kenal" "
" Justru karena itu, maka kita akan dapat menelusurinya " jawab salah seorang dari kedua kawan Glagah Putih itu.
" Kita akan dapat salah langkah " jawab Glagah Putih " biar sajalah. Asal sekarang pliridan itu
sudah baik, maka kita tidak perlu mempersoalkannya. Beberapa waktu yang lalu, telah pernah terjadi perselisihan pula karena pliridan. Agaknya tidak menarik jika hal seperti itu sering terjadi. "
" Justru karena itu " berkata anak itu " mungkin ada dendam didalam hal ini, meskipun mungkin mereka tidak berterus terang dan karena itu dilakukannya dengan bersembunyi."
" Sudahlah " desis Glagah Putih " sudah aku kata-kan. Jangan berbicara lagi tentang hal-hal yang tidak menarik itu. Marilah sekarang kita menaikkan tanggul ini beberapa lapis, agar air yang tertampung menjadi lebih banyak dan dengan demikian maka isi pliridan ini menjadi lebih dalam, sehingga ikan akan menjadi tertarik untuk tinggal di dalamnya. "
Pembantu rumah Agung Sedayu itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain ketika Glagah Putih kemudian mengambil cangkulnya dan mulai mengerjakan tanggul pliridan itu.
" Apa yang harus aku bantu" " bertanya salah seorang dari kedua kawannya.
" Tidak ada, kecuali jika kalian mau mengawasi kami disini " jawab Glagah Putih.
Keduanya ternyata dengan senang hati melakukannya dan bahkan merekapun berusaha untuk dapat membantu Glagah Putih.
Tidak banyak yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki pliridan itu, karena sebelumnya pembantu Agung Sedayu itu sudah memperbaikinya lebih dahulu. Namun setelah pliridan itu siap dan justru menjadi semakin baik, maka merekapun telah menyusuri sungai itu beberapa puluh patok dan membuat beberapa buah rumpon.
" Yang satu ini sudah dapat dibuka " berkata pembantu Agung Sedayu.
" Besok sajalah " jawab Glagah Putih sambil mengamati sebuah diantara rumpon-rumponnya yang dibuat sepanjang sungai itu selapan hari berselang " semakin lama semakin baik. "
" Sebelum dibuka oleh orang lain " desis anak itu.
" Mudah-mudahan tidak " jawab Glagah Putih pula. Namun dalam pada itu, anak itu tiba-tiba bergumam " Kita akan segera menemukannya. "
" Apa" " bertanya Glagah Putih.
" Orang yang telah merusak pliridan kita dan mungkin akan membuka rumpon kita pula. "
" Siapa" " desak Glagah Putih.
Anak itu memandang kearah hulu sungai. Mereka yang kemudian juga memandang kearah itu melihat seorang sudah menginjak usia tuanya menebarkan jalanya yang sudah tua pula.
" Apakah yang kau maksudkan orang yang sedang menebarkan jala itu" " bertanya Glagah Putih.
" Mungkin sekali " jawab anak itu.
" Orang itu sudah cukup tua " berkata Glagah Putih " jangan mencari perkara. "
Anak itu terdiam. Sementara-itu, orang tua yang menebarkan jala itupun bergeser sepanjang sungai. Ditempat-tempat yang terbuka, orang itu menebarkan jalanya. Beberapa ekor ikan wader pari telah dapat ditangkapnya. Tetapi jala itu sudah terlalu tua pula sehingga benangbenangnya telah banyak yang putus. Karena itu, maka sebagian dari ikan yang dapat ditangkap oleh jalanya, telah terlepas pula.
Ketika orang tua itu lewat dihadapan Glagah Putih dan kawan-kawannya ia mengeluh " Sungai ini penuh dengan rumpon sehingga aku tidak mendapat tempat cukup untuk menebarkan jala. "
" Tentu tidak " pembantu Agung Sedayulah yang menjawab " batang sungai ini cukup panjang.
Jarak antara rumpon yang satu dengan rumpon yang lainpun cukup jauh. Orang tua itu memandang anak yang membantahnya itu dengan saksama. Namun orang tua itupun kemudian tanpa berkata sepatah katapun lagi telah melanjutkan perjalanannya. Sekali ia menebarkan jala, memungut beberapa ekor ikan kecil yang tertangkap. Kemudian berjalan lagi diantara batu-batu.
" Kasihan orang itu " desis salah seorang kawan Glagah Putih.
" Apakah dalam sehari kepisnya dapat penuh" "
" Mungkin juga " berkata Glagah Putih " ia bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh " jawab Glagah Putih.
Namun Glagah Putih itupun kemudian mengangkat wajahnya memandang kearah langit yang bersih. Matahari yang melewati puncak, panasnya menjadi semakin terasa membakar kulit
" Marilah " berkata Glagah Putih kemudian "
bukankah kerja kita sudah cukup hari ini. " " Marilah " sahut salah seorang kawannya " perutku mulai terasa lapar. "
Sejenak kemudian merekapun telah menyusuri sungai kembali ke arah padukuhan induk. Tetapi ketika mereka melewati pategalan salah seorang diantara kedua kawan Glagah Putih yang terletak tidak jauh dari jalur sungai itu, maka iapun berkata " Marilah singgah sebentar. Kita mencari minum."
Mereka berempatpun kemudian telah naik dan pergi ke pategalan yang ditanami banyak pohon kelapa. Kawan Glagah Putih itupun dengan tangkasnya telah memanjat pohon kelapa dan mengambil beberapa butir kelapa muda.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Glagah Putih telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Dibeberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan.
Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada didalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada didalam dirinya, baik yang diterimanya dari Agung Sedayu maupun yang diterimanya dari Kiai Jayaraga. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang agak panjang, sehingga diluar kemampuan penalarannya itu hanya dapat bertanya kepada diri sendiri " Apakah air belumbang itu berisi banyu gege" "
Perubahan yang terjadi pada dirinya itulah yang menjadi perhatian Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Namun ia akan membuktikan bahwa perubahan itu semata-mata hanyalah perubahan didalam tata kemampuannya. Tetapi tidak didalam tata jiwaninya.
" Aku harus tetap sebagaimana aku sebelumnya " berkata Glagah Putih didalam hatinya " baik atau tidak baik tetapi aku harus berkembang dengan wajar sebagaimana dikehendaki oleh kakang Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan yang aku kehendaki sendiri. "
Glagah Putih terkejut ketika tiba-tiba saja pembantu rumahnya itu bertanya " Apakah kelapa mudamu tidak kau pecah" " Ya, tentu " jawab Glagah Putih.
Dengan parang yang mereka ambil dari gubug di pate-galan itu, maka merekapun telah memecah kelapa muda dan makan dengan segarnya.
Demikianlah maka sejenak kemudian, setelah mereka puas dengan minum dan makan kelapa muda, maka merekapun telah kembali kepadukuhan induk.
Namun dalam pada itu, bagi Glagah Putih, daerah yang berbatu-batu itu telah menarik perhatiannya. Meskipun ia sudah lama mengenali sungai itu, tetapi pada saat itu, rasa-rasanya ada sesuatu yang baru baginya untuk dilakukan di sungai yang berbatu-batu itu.
Dirumah Glagah Putih tidak banyak berbuat sesuatu. Namun ketika langit menjadi gelap, maka iapun telah bersiap-siap untuk pergi.
" Kau akan pergi kemana" " bertanya Agung Sedayu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya " Ada sesuatu yang baru yang mungkin akan berarti bagiku. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya "
Tetapi berhati-hatilah. Mungkin kau dapat mengatasi beberapa persoalan yang mungkin timbul. Tetapi kau harus berhati-hati terhadap binatang-binatang melata. "
" Ya kakang. Aku selalu membawa obat yang dapat menawarkan racun. Sungai itu memang sudah banyak aku kenal sebelumnya. Tetapi bebatuan yang aku lihat siang tadi sangat menarik perhatian " jawab Glagah Putih.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu kemudian "
Mudah-mudahan kau mendapatkan apa yang kau cari diantara bebatuan itu. Tetapi aku kira yang kau cari itu tentu bukan sekedar sekepis ikan wader. "
Glagah Putih tertawa. Iapun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Glagah Putih telah berada di tepian yang agak jauh dari padukuhan. Tepian yang jarang sekali didatangi seorangpun. Bahkan orang-orang yang mencari ikan dengan jala maupun dengan pancing hampir tidak pernah sampai ketempat itu dimalam hari.
Biasanya Glagah Putih juga mencari tempat yang sepi. Tetapi ia kadang-kadang memilih tepian berpasir yang agak lapang. Namun saat itu Glagah Putih justru berada ditem-pat yang ditebari oleh bebatuan.
Sejenak Glagah Putih berdiri termangu-mangu.
Namun setelah ia yakin bahwa tidak ada seorangpun yang berada ditempat itu, maka iapun telah bersiap untuk mulai dengan latihan-latihannya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Glagah Putih meraba lambungnya. Kemudian dilepaskannya ikat pinggang kulit yang dipakainya, yang diterimanya dari Ki Manda-raka. Ikat pinggang yang tentu mempunyai nilai yang berbeda dari ikat pinggang kebanyakan.
Untuk beberapa saat Glagah Putih mengamati ikat pinggang itu didalam keremangan malam. Ia pernah melihat Raden Rangga mempermainkan ikat pinggang itu meskipun hanya sejenak.
Namun apa yang dilakukan oleh Raden Rangga itu telah memberikan sedikit petunjuk bagaimana ia dapat berbuat sesuatu dengan ikat pinggangnya itu.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putihpun telah bersiap. Iapun telah meloncat keatas sebuah batu yang cukup besar. Kemudian, setelah memusatkan perhatiannya kepada ikat pinggang kulitnya, maka Glagah Putihpun mulai menggerakkan tangannya.
Perlahan-lahan ikat pinggang ditangan Glagah Putih itu mulai berputar. Semakin lama semakin cepat. Sekali-sekali berputar mendatar, namun kadang-kadang dengan putaran tegak. Tiba-tiba saja ikat pinggang itupun telah menyambar menyamping dan dengan cepat mematuk ke- depan.
Untuk beberapa lamanya Glagah Putih bermain- main dengan ikat pinggangnya itu. Bahkan kemudian kaki,-nyapun mulai bergerak. Meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Semakin lama semakin cepat, sehingga gerak tangan dan kakinya itupun rasa-rasanya tidak lagi dapat diamati dengan tatapan mata wajar.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah dua pasang mata sedang mengamati tingkah laku Glagah Putih dengan saksama. Dengan heran keduanya melihat, apa yang dilakukan Glagah Putih dengan selembar ikat pinggang.
" Ikat pinggang itu agak berbeda dengan kebanyakan ikat pinggang " berkata Agung Sedayu " dari mana ia mendapatkannya. "
Kiai Jayaraga yang menyertainya mengangguk kecil. Katanya " Ya. Memang agak lain. Aku kurang mengerti, apa yang sedang dilakukan oleh anak itu. Tetapi agaknya ia mempunyai satu kesempatan baru dengan mempergunakan ikat pinggang itu sebagai senjata. "
" Aku tidak tahu, kenapa baru sekarang dilakukannya - berkata Agung Sedayu " menurut pengetahuanku, Ki
Waskita sudah melakukan sejak lama. Tetapi aku tidak tahu, apakah ada hubungannya antara Ki Waskita dengan yang dilakukan oleh Glagah Putih itu. "
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk pula. tetapi ia tidak memberikan tanggapannya. Bahkan ia semakin memperhatikan setiap gerak Glagah Putih yang mempermainkan ikat pinggangnya itu.
" Luar biasa " desis Agung Sedayu kemudian. Ternyata semakin cepat Glagah Putih menggerakkan ikat pinggangnya, maka baja putih yang menjadi hiasan ikat pinggang itu seolah-olah telah memberikan warna tertentu pada putaran yang menjadi semakin cepat itu.
Kecepatan putaran ikat pinggang itu seirama dengan semakin cepatnya langkah-langkah kaki Glagah Putih dialas batu-batu besar. Dengan tangkasnya kakinya berloncatan dari satu batu ke batu yang lain. Bahkan kemudian kakinya seakan-akan tidak lagi menyentuh batu-batu itu lagi.
" Memang satu kemajuan yang sangat pesat " berkata Kiai Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia benar--benar tercengkam melihat tata gerak Glagah Putih. Segalanya terasa meningkat dengan loncatan yang jauh.
" Inilah yang dikatakannya " berkata Agung Sedayu kemudian " kita sudah menyaksikan peningkatan ilmunya. Namun dalam tata kehidupan sehari-hari kita harus melihat, apakah ada perubahan atau tidak pada pribadinya. "
" Itulah yang memerlukan waktu " berkata Kiai Jayaraga " tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya. "
Keduanyapun kemudian terdiam. Sementara itu Glagah Putih masih melanjutkan permainannya.
Bahkan kemudian telah timbul niatnya untuk mempergunakan ikat pinggangnya itu benar- benar sebagai senjata.
Itulah sebabnya maka Glagah Putih tertarik kepada bebatuan yang berserakan di sungai itu.
Ada yang besar, ada yang kecil dan ada yang tanggung.
Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah menyaksikan Glagah Putih itu meloncat turun dari bebatuan. Ia mulai dengan latihan diatas dasar sungai yang juga banyak terdapat batu-batu yang lebih kecil. Namun yang seakan-akan tidak berpengaruh atas tata geraknya yang menjadi sangat ringan itu.
Agung Sedayu masih saja tercengkam melihat tata gerak Glagah Putih. Bahkan kemudian iapun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Glagah Putih itu telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.
Untuk beberapa saat, Glagah Putih justru mengen-dorkan geraknya. Namun tiba-tiba ia telah meloncat kese-buah batu yang tidak begitu besar. Dengan sepenuh kekuatan ia mengayunkan ikat pinggangnya mengarah kebatu itu.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga diluar sadarnya telah menahan nafasnya. Mereka menyaksikan ikat pinggang Glagah Putih yang diayunkan dengan sekuat tenaganya, dilambari dengan ilmunya yang semakin meningkat itu menghantam batu hitam dihadapannya. Batu itu memang tidak begitu besar. Tetapi benturan ilmu Glagah Putih yang diayunkan lewat ikat pinggangnya itu benar-benar telah memecahkan dan menghancurkan batu itu.
Demikian batu itu berserakan, maka Glagah Putihpun menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang.
Setelah melingkarkan ikat pinggang itu dilehernya, maka Glagah Putihpun kemudian berdiri bertolak pinggang.
Terasa sesuatu mengembang didalam dadanya.
Memang ada semacam kebanggaan didalam dirinya, bahwa kemampuannya benar-benar telah meningkat.
Namun ketika ia mengangkat wajahnya dan memandang langit yang biru serta melihat bintang gemintang yang berhamburan dilangit, maka gejolak didalam dadanya itupun telah mereda. Glagah Putih kembali kepada dirinya sendiri. Iapun kembali merasa betapa kecilnya ia dihadapkan kepada alam. Dan apalagi dihadapan penciptanya.
Karena itu, maka wajahnyapun telah menunduk.
Tangannya yang bertolak pinggang itupun telah terjulur lemah disisi tubuhnya.
Glagah Putihpun kemudian melangkah menepi dan duduk diatas sebuah batu ditepian.
Agung Sedayu menggamit Kiai Jayaraga sambil berdesis " Sesuatu nampaknya bergejolak didalam hati anak itu. Marilah, kita mendekatinya."
Kiai Jayaraga mengangguk. Keduanvapun kemudian turun kesungai dan melangkah satu-satu mendekati Glagah Putih yang duduk merenung.
Glagah Putih yang melihat kedatangan mereka sama srkali tidak terkejut. Sejak semula ia sudah menduga, bahwa Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tentu akan mengikutinya dan menyaksikan apa yang dilakukannya. Namun ketika keduanya menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih itupun telah bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.
" Kami melihat kemajuanmu yang sangat pesat " berkata Kiai Jayaraga " dan kamipun telah melihat ikat pinggangmu yang agak lain dari ikat pinggang kebanyakan. Agak lebih panjang dan ujungnya yang lebih sempit dari tubuh ikat pinggang itu dalam keseluruhan. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Agung Sedayu bertanya " Darimana kau dapat ikat pinggang itu dan darimana kau belajar mempergunakannya" "
Jawaban Glagah Putih memang agak mengejutkan. Katanya " Aku menerimanya dari Ki Patih Mandaraka. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Raden Rangga melihatnya, maka iapun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri. "
" Kami melihatnya " jawab Agung Sedayu " namun disamping itu kami melihat sesuatu yang bergerak didalam dadamu. "
Glagah Putih menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur dilangit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk.
Satu segi telah dilihatnya. Glagah Putih masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya.
" Bagus Glagah Putih " berkata Kiai Jayaraga "
karena itu kaupun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu. " Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " jika kau masih ingin melakukan perkembanganmu selanjutnya. Selain ikat pinggang yang telah melengkapi perbendaharaan senjatamu itu. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya " Jika kakang dan Kiai ingin menilai, maka biarlah aku melakukannya. "
" Kita lakukan bersama " berkata Agung Sedayu " biarlah Kiai Jayaraga yang menilainya. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk kecil.
Sejenak kemudian maka keduanyapun telah bersiap-siap. Glagah Putih yang telah mengenakan ikat pinggangnya kembali berdiri tegak sementara kakinya terendam didalam air sungai. Namun Agung Sedayu telah meloncat ke- atas sebuah batu yang tidak terlalu besar.
Kiai Jayaraga yang harus mengamati tingkat kemampuan Glagah Putih itupun telah bersiap pula. Diluar mereka yang terlibat langsung, maka ia berharap untuk dapat menilai lebih tajam, apa yang telah terjadi dengan Glagah Putih.
Ketika semuanya sudah siap, maka Agung Sedayulah yang mula-mula telah menyerang Glagah Putih. Tanpa meloncat turun dari atas batu, maka kakinya bergerak mendatar, menggapai Glagah Putih yang berdiri tegak.
Namun Glagah Putihpun dengan sigapnya bergeser. Bahkan iapun telah menyerangnya pula dengan tangkasnya.
Tetapi Agung Sedayu telah meloncat kebatu yang lain, sehingga serangan Glagah Putih tidak mengenainya. Namun begitu kakinya menyentuh batu itu, maka tubuh Agung Sedayupun telah terloncat dengan cepatnya meluncur kearah Glagah Putih dengan tangan terjulur mengarah kedada.
Glagah Putih masih sempat menarik diri menyamping. Bahkan tiba-tiba saja kakinya bagaikan memburu gerak Agung Sedayu. Tetapi diluar dugaan Glagah Putih, tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan justru bergerak semakin cepat, sehingga kakinya tidak mengenainya.
Dengan demikian maka latihan itupun berjalan semakin lama semakin cepat. Ternyata Agung Sedayu berhasil memancing Glagah Putih untuk mengerahkan segenap kemampuannya sehingga Kiai Jayaraga dapat menilai, betapa Glagah Putih mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun karena Agung Sedayu memiliki kemampuan yang jarang ada duanya dalam kecepatan gerak dan kemampuannya seakan-akan membuat tubuhnya tidak berbobot, maka betapapun Glagah Putih mengerahkan segenap kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mempertinggi kecepatan geraknya, namun sulit baginya untuk dapat menyusul kecepatan gerak Agung Sedayu.
Meskipun demikian, menurut penilaian Kiai Jayaraga, kemampuan Glagah Putih benar-benar
telah jauh meningkat. Kemampuannya menanggapi keadaan, dan perhitungannya untuk mengambil sikap dan perkembangan unsur-unsur
gerak yang dimilikinya Untuk beberapa lama keduanya terlibat dalam latihan yang berat. Sementara itu Agung Sedayu dengan sengaja telah memaksa Glagah Putih untuk mengerahkan kemampuannya. Keduanya berloncatan dari batu-kebatu. Kemudian turun keair yang tidak begitu dalam dan deras. Bahkan kadang-kadang kaki mereka terlontar menghantam tebing dan melemparkan kembali ketepian berbatu-batu.
Sementara itu, untuk mengetahui kemampuan Glagah Putih lebih jauh lagi, maka Agung Sedayupun kemudian berkata " Lepaskan kemampuan ilmumu. Kami ingin melihat, apakah ilmu yang kau miliki juga berkembang karenanya."
Glagah Putih menjadi ragu. Tetapi Agung Sedayu telah menyerangnya semakin cepat. Bahkan ketika Glagah Putih merasa udara menjadi hangat, maka ia sadar, bahwa Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun menjadi lebih man-lap bergerak. Dalam selimut ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu tidak akan mudah ditembus
oleh serangan yang betapapun dahsyatnya,
apalagi menurut perhitungan Glagah Putih, hanya sekedar tataran ilmunya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun telah mengerahkan ilmunya pula. Dengan cepat, kemampuan ilmunya itu telah menjalari tubuhnya dan bagian-bagian badannya. Bahkan ketika ia mengetrapkan ilmu yang di warisinya dari Kiai Jayaraga, maka iapun telah menjadi seorang yang luar biasa.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Jayaragalah yang kemudian bergeser surut.
Udara benar-benar menjadi panas. Sementara itu, kaki Glagah Putih jika menyentuh tanah bagaikan
menancap sampai kedasar bumi. Namun jika ia meloncat, maka bumi itu bagaikan melemparkannya. Gerak tangan dan kakinyapun kemudian bagaikan amuk badai yang dahsyat melanda setiap benda yang menghalangi jalannya, sedangkan serangan-serangannyapun datang seperti banjir bandang.
Kiai Jayaraga memperhatikan kemampuan Glagah Putih itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia sadar, bahwa sebagian dari yang dipergunakan oleh Glagah Putih itu adalah warisan ilmu daripadanya. Namun seperti kemampuan Glagah Putih yang lain, maka anak itu benar-benar telah meningkat jauh. Ilmu itu rasa-rasanya telah berkembang dan mekar didalam diri Glagah Putih.
Untunglah bahwa lawan berlatih Glagah Putih saat itu adalah Agung Sedayu. Karena itulah, maka Glagah Putih dengan leluasa dapat melepaskan ilmunya karena ia tidak mencemaskan kesulitan yang bakal terjadi atas Agung Sedayu.
Sementara itu Agung Sedayupun merasakan sesuatu yang bergelora didalam diri Glagah Putih.
Darahnya seakan-akan mendidih memancarkan gejolak yang membakar jantungnya. Ilmu anak muda itu benar-benar telah berkembang dengan pesat menurut penilaian. Agung Sedayu yang dihadapan langsung dengan benturan-benturan yang dahsyat.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmunya pula selapis demi selapis untuk memancing agar Glagah Putihpun melakukannya pula, sehingga kemudian sampai atau setidak-tidaknya mendekati puncak kemampuannya.
Ternyata bahwa kebanggaan tidak saja mewarnai perasan Glagah Putih sendiri. Tetapi Agung Sedayu dan Kiai Jayaragapun ikut berbangga dengan perkembangan ilmu itu. Namun mereka justru mempunyai kewajiban yang lebih berat untuk mengawasinya dari sisi yang lain.
Demikianlah maka akhirnya Agung Sedayu dapat mengetahui betapa Glagah Putih benar-benar telah maju dengan pesatnya. Kiai Jayaragapun menjadi heran, bahwa telah terjadi satu dorongan kemajuan yang luar biasa.
Tetapi Kiai Jayaragapun menyadari, bahwa laku yang ditempuh oleh Glagah Putih bukannya tidak berarti. Anak muda itu tidak sekedar bermimpi sebagaimana terjadi atas Raden Rangga. Tetapi Glagah Putih telah bekerja keras dan berbuat untuk dapat meningkatkan ilmunya itu.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayupun mulai membuat jarak dari Glagah Putih sambil memberikan isyarat, bahwa saat latihan telah berakhir.
Perlahan-lahan Glagah Putih telah menyerap ilmunya dan membekukannya. Sejalan dengan itu maka iapun telah mengekang tata geraknya sehingga akhirnya latihan itupun berhenti.
" Kau mendapatkan kemajuan yang menggembirakan dari segi kanuragan. " berkata Agung Sedayu " dorongan ilmumu menjadi semakin jelas sehingga yang terpancar dari diri-mupun menjadi semakin tajam. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Jayaraga berkata " Kau memang telah mendapatkan sesuatu.
" Segala sesuatunya terserah kepada kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga " berkata Glagah Putih kemudian.
" Air di belumbang yang kau katakan itu tentu mempunyai pengaruh yang baik pada tubuhmu, pada jalur-jalur syarafmu sehingga membuka kemungkinan-kemungkinan yang telah luas bagimu untuk mengembangkan ilmumu " berkata Agung Sedayu kemudian " kita sudah pernah mengenali beberapa orang yang mempergunakan cara yang sama dengan cara yang kau tempuh.
Penembahan Senopati pernah melakukan tiga laku sekaligus. Bergantung, berendam dan pati geni selama tiga hari tiga malam. Dengan demikian maka segalanya menjadi terbuka baginya. Ilmunya mengembang seakan-akan tanpa batas, meskipun tentu laku yang lain pernah ditempuhnya pula, disamping latihan-latihan yang tidak henti-hentinya. Mencoba dan mengetrapkan yang baru diantara yang dimilikinya tanpa beranjak dari akar ilmunya. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Agung Sedayupun berkata " Agaknya kaupun harus berbuat demikian. Ilmumu memang meningkat. Tetapi terbatas pada apa yang telah kau miliki sebelumnya. Sedangkan yang harus kau lakukan berikutnya adalah menemukan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik dan mengembangkannya. Kau akan menjadi seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain Namun yang penting selanjutnya, kau harus memberikan arti pada kelebihan yang kau miliki itu dalam pengertian yang baik. "
Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara Agung Sedayu kemudian berkata " Jika kau sudah mengendorkan urat-uratmu, marilah, duduklah. "
Ketiganyapun kemudian duduk diatas batu Keringat Glagah Putih masih membasahi tubuhnya. Namun angin malam telah menyegarkannya.
Dalam pada itu, maka Kiai Jayaragalah yang kemudian berkata " Glagah Putih, semakin tinggi ilmumu, maka tanggung jawabmupun menjadi semakin besar. Itulah sebabnya maka kau tidak boleh kehilangan keseimbangan justru karena kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. "
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk memandang bebatuan yang berserakan ditepian.
" Memang ada kecemasan dihati kami " berkata Agung Sedayu pula " bahwa kau mengalami perkembangan dijalur yang berbeda dari yang pernah kami siapkan, sesuai dengan nuranimu sendiri. "
Glagah Putih mengangkat wajahnya. Katanya "
Mudah-mudahan tidak kakang. Seperti yang sudah aku katakan, yang terjadi adalah sekedar peningkatan ilmu. Dan kakang juga melihat, bahwa hanya yang telah ada didalam diriku sajalah yang meningkat. Tidak ada yang baru dan tidak ada yang lain. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya " Baiklah. Aku kira waktu yang kau pergunakan sudah cukup hari ini. Aku mengira bahwa Raden Rangga akan datang juga. Tetapi ternyata tidak. Mungkin anak itu tidak tahu bahwa kau melakukan latihan ditempat yang lain dari yang kau pergunakan biasanya. Tetapi jika hanya karena itu, maka ia tentu akan dapat menemukannya. "
" Mungkin Raden Rangga memang tidak keluar malam ini " berkata Glagah Putih " ia sekarang lebih banyak berada didalam biliknya. Ia merasa bahwa perjalanannya sudah hampir sampai kebatas. "
" Bagaimana ia dapat merasa demikian" " bertanya Kiai Jayaraga.
" Hidupnya yang lain nampaknya telah memberikan isyarat seperti itu. " jawab Glagah Putih.
" Hidupnya yang bagaimana" " bertanya Agung Sedayu.
" Di dunia mimpinya " jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka memang sudah mendengar tentang dunia Raden Rangga vang ganda dengan beberapa persamaan dan perbedaannya.
Demikianlah, maka latihan-latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih itupun telah dianggap cukup.
Merekapun kemu-dian telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun telah berkata kepada Glagah Putih " Betapapun tinggi ilmu yang mungkin akan dapat kau gapai Glagah Putih, tetapi kita tidak boleh kehilangan kesadaran diri. Karena itu, kecuali arti yang dapat kau berikan kepada ilmu yang mungkin kau miliki, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari pencapaian ilmu itupun harus dilakukan dengan cara yang paling baik sesuai dengan arti yang ingin kau berikan kepada ilmu itu sendiri.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun telah melihat kedalam dirinya sendiri. Laku apapun yang telah dijalaninya, maka ia tidak pernah beranjak dari kiblatnya. Yang Maha Pencipta, kepada-Nyalah ia memohon dengan sungguh-sungguh dalam laku yang manapun.
Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun telah meninggalkan tepian berbatu-batu. Agaknya Raden Rangga memang tidak datang, karena biasanya jika anak muda itu datang, ia tidak menunggu sampai Glagah Putih beranjak pergi meskipun seandainya ia sendiri sedang segan melakukan latihan-latihan.
Dengan demikian maka mereka bertigapun langsung kembali pulang. Ketika sekali-sekali mereka melalui gardu di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, maka anak-anak muda yang berada digardu-gardu itupun menyapa mereka.
Tetapi anak-anak muda itu mengetahui bahwa Glagah Putih bersama Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga sering keluar dimalam hari untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.
Bahkan ketika mereka sampai di gardu dimulut lorong pa-dukuhan induk, Glagah Putihpun berkata kepada Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga "
Aku akan tinggal disini. Silahkan Kiai dan kakang pulang dahulu. "
" Baiklah " jawab Agung Sedayu " kami akan mendahului kembali. Rasa-rasanya mata ini tidak lagi mau terbuka. Glagah Putihpun kemudian berada digardu itu bersama anak-anak muda yang sebagian tidak sedang bertugas. Tetapi mereka lebih senang duduk-duduk digardu sambil bergurau. Bahkan mereka terbiasa untuk tidak pulangdan tidur digardu itu sampai dinihari menemani kawan-kawan mereka yang sedang bertugas.
Malam itu Glagah Putih juga berada di gardu sampai menjelang pagi. Ketika ia pulang, pembantu rumah Agung Sedayu mulai bergeremang karena Glagah Putih tidak ikut pergi ke sungai untuk membuka pliridan.
Malam itu Glagah Putih hampir tidak tidur sama sekali. Ia hanya sempat beristirahat sejenak, menjelang matahari terbit. Namun iapun segera bangun pula dan pergi kesumur untuk mengisi jambangan di pakiwan.
Hari itu, Glagah Putih sibuk dengan kudanya. Ia mencoba untuk mengenal kuda itu lebih banyak lagi. Dengan cermat Glagah Putih memelihara agar kuda itu tidak mengalami perlakuan yang jauh berbeda dari saat kuda itu berada di Mataram. Kepada seorang yang terbiasa mencari rumput untuk kuda-kuda di rumah Agung Sedayu itu Glagah Putih berpesan, agar bagi kudanya dicarikan rumput yang paling baik yang dapat diambilnya.
Namun dalam pada itu, ceritera tentang kuda Glagah Putih itupun segera tersebar diantara kawan-kawannya di Tanah Perdikan. Lebih-lebih anak-anak yang tumbuh dan meningkat dewasa sebaya dengan Glagah Putih sendiri.
Apalagi Glagah Putih yang ingin membiasakan dirinya dengan kuda itu telah mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh dengan kudanya itu. Meskipun ia sama sekali tidak bermaksud untuk memamerkan kudanya, namun ternyata bahwa seluruh Tanah Perdikan, terutama anak-anak mudanya telah membicarakannya.
Namun dalam pada itu, ternyata ada juga orang yang berusaha untuk mengetahui siapakah yang memiliki seekor kuda yang tegar di Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang sudah diduga, maka tidak sulit bagi orang itu untuk mengetahui,
bahwa pemilik kuda itu adalah Glagah Putih yang tinggal di padukuhan induk.
Namun orang itu telah melakukan satu kesalahan yang besar, bahwa ia tidak bertanya siapakah Glagah Putih itu dan apalagi bahwa ia telah tinggal bersama Agung Sedayu Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga.
Karena itu, maka orang itupun telah dengan tanpa ragu-ragu berusaha untuk menemukan kandang kuda yang sangat tegar itu.
" Anak-anak muda di Tanah Perdikan ini nampaknya tidak mempunyai kerja lain selain berada di gardu " geram salah seorang dari ampat orang yang ingin mengambil kuda yang tegar itu.
" Jangan lengah di Tanah Perdikan ini " desis yang lain " setiap orang tahu, bahwa para pengawsl di Tanah Perdikan ini memiliki kemampuan seorang prajurit. "
" Ah, kau " sahut kawannya " bukankah kau masih mampu menilai dirimu sendiri dan diri kita masing-masing" Apakah kita pernah merasa gentar menghadapi sekelompok prajurit Mataram sekalipun sehingga kita harus mengurungkan niat kita mengambil kuda yang bagus itu.
" Aku tahu, bahwa kuda itu memang sangat bagus " jawab yang lain " tetapi aku tetap menganggap bahwa usaha kita mengambil kuda itu di Tanah Perdikan harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Betapapun bagusnya kuda itu, tetapi nilainya tidak akan sama dengan kita berempat. Meskipun kita tidak gentar menghadapi sekelompok prajurit, tetapi kita tidak akan mampu melawan seluruh isi Tanah Perdikan ini.
Para pengawal yang memiliki kemampuan prajurit di Tanah Perdikan ini, akan dapat digerakkan
dalam waktu dekat mengepung kita dan jika terjadi demikian apakah kita akan dapat lolos"
Mungkin kita dapat memecahkan kepungan pertama dan kedua. Tetapi bagaimana ketiga, keempat dan barangkali ke lima belas" "
" Jangan terlalu dibayangi oleh ceritra tentang anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Meskipun sebagian dari mereka telah ikut dalam perang antara Pajang dan Mataram, bahkan tidak hanya sekali, tetapi apakah yang mereka lakukan di pertempuran, kita tidak melihatnya. "
" Aku mengusulkan jalan tengah " berkata salah seorang diantara mereka.
" Bagaimana" " bertanya kawan-kawannya.
" Kita lihat, kemana saja anak muda pemilik kuda itu membiasakan diri dengan kudanya. Bukankah kita akan dapat melihat-lihat kapan anak itu keluar dari padukuhan induk dan kemana saja.
Aku kira ia akan sering keluar dengan kudanya yang baru itu. Mungkin karena baru, tetapi mungkin juga untuk menyesuaikan diri. " jawab yang mengusulkan jalan tengah itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Sebelumnya merekapun pernah memikirkan cara itu sebagai salah satu pilihan. Mengambil kuda itu dari tangan pemiliknya di jalan atau mengambilnya di kandang.
Salah seorang diantara mereka berkata " Aku menganggap lebih mudah untuk memaksa anak itu memberikan kudanya di jalan. "
" Ya. Kita akan memaksanya untuk ikut bersama kita sampai kebatas Tanah Perdikan. Baru kemudian anak itu kita lepaskan. Jika ia kemudian membunyikan isyarat, kita tentu sudah jauh. "
" Jalan yang baik " berkata yang lain " tetapi kita akan memerlukan waktu yang lama. Apakah seimbang bagi kita, untuk mendapatkan seekor kuda, kita harus berada disini sepekan misalnya. "
" Kuda itu sangat baik " jawab yang pertama " disamping itu, apa salahnya kita melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Mungkin kita melihat sesuatu."
" Kita tidak dapat berbuat banyak disini " sahut kawannya " sedangkan tentang kuda itupun kita harus sangat berhati-hati. "
" Baiklah " berkata orang yang tertua diantara mereka " yang penting bagi kita, kuda itu akan jatuh ke-tangan kita. Kuda itu adalah kuda yang mahal. Memang mungkin jika diperhitungkan dengan tenaga yang kita sediakan untuk mendapatkan kuda itu seakan-akan kurang sesuai. Tetapi kesempatan bagi kita untuk mendapatkan kuda yang demikian itu sangat langka. "
" Jika kuda itu akan kita tukarkan dengan dua ekor kuda biasa, maka agaknya lebih mudah bagi kita untuk mengambil dua ekor kuda biasa saja dimanapun juga. Tidak harus di Tanah Perdikan ini. "
Orang tertua diantara mereka menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya " Agaknya memang demikian. Tetapi kuda itu sangat menarik. "
Kawan-kawannya menarik nafas panjang. Mereka tahu sifat orang tertua diantara mereka itu. Kuda itu tentu tidak akan ditukarkan dan diperuntukkan bagi mereka. Tetapi orang tertua itu sendiri menginginkan kuda itu. Kuda bagi mereka berempat sebenarnya sudah tersedia. Tetapi kuda mereka adalah kuda-kuda kebanyakan. Tidak sebesar dan setegar kuda yang telah menarik perhatian orang tertua diantara mereka itu.
Karena itu, maka merekapun tidak mempersoalkannya lagi. Orang tertua diantara mereka itu pada akhirnya tentu akan memaksakan kehendaknya, meskipun sebelumnya mereka telah berbicara melingkar-lingkar.
Dengan demikian, maka keempat orang itupun telah membagi tugas. Setiap kali mereka harus berusaha mengawasi jalan yang ditempuh oleh Glagah Putih dengan kudanya.
*** Menembus Kabut Berdarah 2 Perjanjian Hati Karya Santhy Agatha Bulan Jatuh Dilereng Gunung 15

Cari Blog Ini