Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 8

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 8


"Pentingkah menegas. pcmbicaraanmu itu?" tumenggung Nala "Hamba bersedia menerima hukuman mati apabila
pembicaraan hamba itu tak bernilai. Tetapi hamba-pun mohon
gusti berkenan meluluskan harapan hamba."
Tumenggung Nila tertegun. Setelah beberapa saat
menimang, akhirnya ia memerintahkan supaya kedua
pengawai itu berjaga di luar pendapa. Setelah itu, ia segera
menitahkan Dipa. "Lekas haturkan beritamu.!"
"Gusti" tiba2 Dipa mengganti suaranya dengam nada sedih
"hamba hendak menghaturkan berita penting yang
menyedihkan sekali. Bahwa yang mulia junjungan para kawala
Majapahit, baginda Jayanegara telah mangkat....."
"Hai" tiba2 tumenggung Nala memekik kejut "siapa
engkau?" cepat ia melonjak dari tempat duduk dan
mencengkeram leher baju Dipa seraya diguncang guncangnya,
"jangan bicara sembarangan!"
Walaupun agak sesak pernapasannya, namun diam2 Dipa
mulai gembira. Dengan sikap yang ditunjukkan itu jelas bahwa
tumenggung Nala masih setya atau sekurang-kurangnya
masih prihatin sekali atas keadaan baginda.
"Gusti. mohon gusti suka melepaskan diri hamba. Hamba
membawa bukti2" Tumenggung Nala pun melepaskan cengkeramannya.
Dipa merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah
benda "Gusti, bukankah lencana ini ciri pengenal peribadi sang
prabu?" Tumenggung Nala terbelalak ketika memandang lencana
yang diunjukkan Dipa "Benar.....itulah lencana Minadvaya dari
sang nata. Dimana engkau memperolehnya?"
"Hamba adalah salah seorang prajurit yang mengiringkan
baginda lolos dari keraton"
Tumenggung Nala terbeliak. Mata menyalang selebar
lebarnya, seolah hendak menelan Dipa. "Anakmuda, tahukah
engkau bicara dengan siapa?"
"Hamba sedang menghadap gusti tumenggung Nala"
"Patih amanca nagara yang bertanggung jawab akan
keselamatan dan keamanan pura Wilwatikta"
"Hamba maklum, gusti"
"Dan maklum pulakah engkau bahwa memberi keterangan
yang bohong kepadaku, akan menerima hukuman ?"
"Maklum, gusti"
"Maklum jugalah engkau bahwa berita tentang diri sang
nata, merupakan berita yang maha penting bagai nasib
seluruh kerajaan Majapahit?"
"Maklum gusti" "Oleh karena itu, ketidak-benaran berita tentang sri nata,
akan membawa akibat mati baginda yang melaporkan"
Dengan tegas Dipa menjawab "Hamba maklum dan
bersedia menerima hukuman mati"
"Benarkah baginda telah wafat ?"
"Benar, gusti" sahut Dipa seraya memandang tumenggung
itu. Tajam dan lekat. Dalam saat seperti itu, ia harus
memberanikan diri untuk melaksanakan tugasnya. Dalam
rangka itulah ia hendak menyelidik kesan yang terpampang
pada wajah tumenggung Nala. Kesan itu akan menyimpulkan
langkah yang akan diambil selanjutnya.
Diperhatikannya bahwa wajah tumenggung Nala tampak
memancar merah lalu cepat2 pudar dan makin pudar. Pucat
dan makin pucat. Sinar mata tumenggung itupun mulai
mengembang kabut air. Makin lama makin membentuk percikpercik airmata.
Tiba2 tumenggung itu mencabut keris dan diacungkan ke
muka Dipa. "Kerta, jika engkau tak mampu membuktikan
keteranganmu tadi, keris ini akan bersarang di dadamu!"
Tenang2 Dipa menyongsongkan dadanya. "Hamba sudah
menyediakan nyawa hamba pada saat hamba bermaksud
menghadap gusti. Atas titah baginda, mangkat baginda itu
supaya dirahasiakan agar kerajaan jangan gempar, rakyat
jangan kacau. Baginda pun menitahkan hamba untuk
menghubungi beberapa gusti mentri dan gusti senopati untuk
menghaturkan berita itu"
"Baginda engkau tahu, siapa2 mentri dan senopati yang
akan engkau hubungi?"
"Baginda telah berkenan menitahkan nama2 gusti mentri
dan gusti senopati yang harus hamba hadap"
"Siapa ?" "Gusti tumengguug Nala ...."
"Ya, aku sendiri. Lalu, siapa lagi ?"
"Gusti demung Samaya"
"Ya" "Gusti kanuruhan Anekakan, gusti rangga Jalu dan gusti
patih Aluyuda ...." "Hai!" tiba2 meluncurlah sebuah pekik kejut dari mulut
tumenggung Nala "mengapa patih Aluyuda " Tidakkah baginda
tahu bahwa patih itupun hilang lenyap ketika terjadi huru
hara?" "Pada saat itu, baginda bergegas meninggalkan keraton
dan menuju ke luar pura. Baginda tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi dalam huru hara itu dan mengapa pula
para mentri serta senopati tak tampak sama sekali. Gusti,
apakah gusti patih Aluyuda telah hilang ?"
"Ya" sahut tumenggung Nala sarat "dan sampai sekarang
belum juga diketemukan jejaknya walaupun tetap dicari. Dan
siapa lagi yang harus engkau hadap?"
"Gusti rakryan Kuti dan para gusti Dharmaputera....."
"Hah?" kali ini bukan mata melainkan mulut tumenggung
itu yang terbuka lebar-lebar seolah hendak mencaplok Dipa,
"para Dharmaputera ?"
"Benar, gusti" "Itu titah baginda" Dipa mengiakan.
"Apakah engkau tak salah dengar?"
"Tidak, gusti. Dalam hal titah yang sepenting itu, masakan
hamba berani melengahkan perhatian hamba untuk
mendengarkan" "Aneh?" gumam tumenggung Nala seraya kerutkan dahi,
menyurut muka. Diam2 Dipa mengamati gerak gerik tumenggung itu
dengan penuh perhatian. Ia diam saja tak mau memberi
tanggapan pada kata bergumam tumenggung itu.
"Dan engkau sudah menghadap rakryan Kuti?" tiba2
tumenggung Nala menegur dalam nada gegas mengandung
gelisah. "Hamba telah berusaha"
"Dan?" tumenggung Nala semakin tegang.
"Belum berhasil menemui gusti rakryan Kuti"
"Ah ....." tumenggung Nala menghela napas longgar.
"Gusti" kata Dipa "apabila hamba tak salah merangkai
kesimpulan, agaknya paduka merasa bersyukur karena hamba
belum menghadap rakryan Kuti. Dengan begitu, mohon
diampunkan kata2 hamba apabila keliru, agaknya paduka tak
membenarkan hamba menghadap gusti ra Kuti dan para
gusti2 Dharmaputera"
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"Hm" tumenggung Nala hanya mendengus.
"Apabila paduka berkenan, sudilah gusti memberi petunjuk
kepada hamba yang jelas. Agar titah baginda itu dapat
terlaksana sebagaimana yang baginda harapkan"
Tumenggung Nala merenung. Rupanya termakanlah kata2
Dipa itu dalam hatinya "Ya, baiklah engkau jangan menghadap
para Dharmaputera itu dulu"
"Mengapa, gusti?" tanya Dipa heran.
"Hm" desuh tumenggung Nala "untuk sementara aku
belum dapat memberi keterangan. Maka kuminta pertangguhkanlah dulu rencanamu menghadap para Dharmaputera" Makin kuat dugaan Dipa akan peranan yang dilakukan
Dharmaputera dalam huru-hara itu. Dan mulailah bersemi
harapannya bahwa tumenggung Nila masih kokoh
kesetyaannya kepala baginda. Namun Dipa tak mau bergegas
untuk mendapatkan keinginannya itu. Ia hendak bersikap
tenang dan menunggu kesan2 yang lebih tegas dalam
pembicaraan dengan tumenggung itu.
"Lalu apakah titah baginda selanjutnya pada saat engkau
menghadap para gusti itu?"
Dipa menghela napas rawan. "Baginda tak menitahkan
apa2 kecuali hanya minta kepada para gusti yang masih setya
kepada baginda, agar tetap mempertahankan keamanan,
menegakkan kewibawaan kerajaan Majapahit. Menangkap
biangkeladi pemberontakau itu dan menumpasnya"
"Adakah baginda tak meninggalkan sabda, siapakah
pengganti baginda?" "Tidak, gusti" kata Dipa "hanya pernah baginda meluncur
sabda ketika baginda masih sehat, bahwa mungkin sudah
garis yang ditakdirkan Hyang Agung bahwa baginda harus
menderita perjalanan hidup seperti itu. Maka bagindapun
menyerahkan segala sesuatu kepada Batara Agung"
Tumenggung Nala terdiam sejenak. "Mengapa hanya
beberapa mentri itu saja yang baginda titahkan engkau
supaya menghadap?" "Baginda hanya percaya kepada para gusti itu"
"Percaya penuh?"
"Sebulat buluhlah kepercayaan baginda yang dilimpahkan
kepada para gusti itu"
Terdengar tumenggung Nala mendesuh dan mendengus.
Penuh kesesalan dan kegeraman. Tiba tiba dada tumenggung
itu berguncang-guncang pelahan dan airmatauya pun
berderai-derai mengucur. Rupanya tumenggung itu telah
berusaha untuk menahan luap kesedihannya. Namun tetap tak
kuasa menahan letupan hatinya. Hati yang penuh dengan rasa
dukacita dan malu. Dukacita karena pemberontakan itulah
maka baginda sampai menemui ajal. Mati memang sudah
kodrat alam. Setiap yang hidup tentu akan mati. Brahmana,
raja, ksatrya, waesya, sudra ataupun kaya miskin, hina mulia,
tua muda, laki perempuan. Tiada seorangpun yang dapat lolos
dari kematian. Tetapi kematian baginda Jaya-nagara itu
benar2 tak dapat dibayangkan tumenggung Nala. Raja
Jayanagara yang menguasai kerajaan Majapahit, telah
menemui ajal di tempat yang tak layak bagi seorang raja.
Demikian pikiran tumenggung Nala. Oleh karena itu ia
menangis. Ia malu karena sebagai seorang narapraja yang telah
dikarunia pangkat tumenggung, ia tak menyumbangkan
tenaga dan jiwa raga untuk melindungi keselamatan baginda.
Ia malu karena sebagai seorang abdi yang telah mendapatkan
kenikmatan hidup dari kedudukan yang dikenyamnya, ternyata
tak mengabdikan imbalan yang sesuai kepada junjungan yang
telah mengarunia itu semua.
Lebih meningkat rasa malu dalam hati tumenggung Nala
bahwa ternyata dalam saat2 terakhir, baginda masih tetap
percaya penuh kepida dirinya. Dapatkah ia menghadapi
kesemua itu" Tidak! Ia merasa saat itu dirinya amat kecil
sekali. Sangat rendah sekali. "Aku tak mempunyai nilai
seorang manusia" hati nurani tumenggung Nala meletup,
menghamburkan berlapis-lapis abu panas yang tebal dan
makin tebal sehingga kesadaran pikirannyapun tertutup gelap.
Hanya malu yang dirasakan. Malu seorang ksatiya. Malu
seorang tumenggang..... "Gusti tumenggung ..... !" bagaikan disambar petir,
serentak melompatlah Dipa ke muka dan menyambar tangan
tumenggung Nala sekuat-kuatnya.
"Lepaskan!" bentak tumenggung Nala.
"Tidak, gusti" seru Dipa "harap
mendengarkan hatur kata hamba dahulu"
paduka suka "Kata apa?" "Gusti, lebih dahulu hamba mohon paduka jangan
mengambil keputusan sependek itu. Sarungkanlah keris
paduka dan sudilah paduka mendengarkan kata2 yang akan
hamba persembahkan" Ternyata tumenggung Nala telah mengunjukkan sifat
seorang ksatrya utama, seorang senopati setya. Ia merasa
malu karena tidak dapat melindungi baginda. Ia merasa
bersalah karena tak dapat menunaikan tugasnya sebagai
seorang tumenggung. Iapun merasa hina karena tak mampu
membalas budi sang nata yang telah mengangkatnya ke arah
kedudukan tinggi. Ia malu, malu. Dan malu seorang ksatrya
itu, jauh lebih menyiksa perasaan daripada menerima luka di
medan perang. Kesalahan itu harus ditebus dengan jiwanya.
Gelaplah segenap kalbu dan pikiran tumenggurrg Nala. Dia
malu hidup. Dan serentak dicabutnyalah keris di belakang
pinggangnya lalu diayunkan
kedadanya. Tumenggung Nala hendak melakukan naluri tata seorang ksatrya.
Menebus kesalahan dengan jiwa. Ia hendak suduk-selira.
Untunglah pada saat itu Dipa tak pernah melepaskan
perhatiannya kepala tumenggung itu. Ia terkejut
ketika melihat perobahan airmuka tumenggung itu makin sarat dan gelap. Ia
makin

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut ketika tumenggung itu meraba pinggang belakang. Ia sangat terkejut saat tumenggung itu ternyata mencabut keris.
Dan puncak dari rasa kejut, meletuslah ketika ia menyadari
apa yang akan dilakukan oleh tumenggung Nala. Serentak
Dipa loncat menerkam tangan tumenggung itu untuk
mencegahnya. Walaupun sudah menurunkan keris tetapi tumenggung
Nala tak menyarungkannya. Demikian pula wajah tumenggung
itu masih tampuk membesi "Prajurit" ujarnya sarat "besar nian
nyalimu berani menghalangi maksudku"
"Mohon gusti melimpahkan ampun"
"Ampun hanya dapat kuberikan apabila apa yang hendak
engkau haturkan itu memadai dengan langkah yang hendak
kulakukan tadi. Jika tidak, nyawamu jadi tebusannya"
Dipa tak gentar mendengar ancaman itu. "Dengan tulus
ihklas, akan hamba serahkan nyawa yang sudah lama bukan
menjadi milik hamba lagi itu"
"Hm, lekaslah engkau katakan"
"Gusti, hamba sedarg mengemban titah baginda yang
maha berat. Titah baginda, harapan baginda tertumpah
seluruhnya ke atas bahu hamba."
"Ah, apa hubungannya dengan mangkat baginda" Jangan
bertele-tele, lekas bicaralah yang singkat dan penting"
"Baginda sesungguhnya belum wafat, gusti ....."
"Bedebah engkau !" teriak tumenggung Nila seraya
ayunkan keris ke dada Dipa. Tumenggung itu amat terkejut
sekali mendengar keterangan itu. Ia malu dan marah karena
merasa dipermainkan oleh Dipa. Maka keris yang masih
dicekal di tangannya itu segera akan dihunjamkan ke dada
Dipa. Nafsu amarah memang mudah menguasai pikiran. Tetapi
pada saat ujung keris hampir menyentuh dada Dipa, tiba2
terlintas sesuatu pada hati tumenggung Nala. Ia terperanjat
ketika melihat Dipa tenang2 saja. Tidak berusaha menangkis
ataupun menghindar. Dan sangatlah mempesonakan pandang
tumenggung Nala ketika melihat dalam ketegangan wajah
yang memancar sinar mata hening, mulut Dipapun merekah
senyum paserah .... Terhenyak kabut kemarahan dalam benak tumenggung itu
dan terpancarlah sinar kesadaran yang terang. Bahwa prajurit
itu adalah duta sang nata. Bahwa prajurit itu sedang
melaksanakan tugas penting yang dititahkan baginda. Jika
dibunuh, sang nata tentu murka dan iapun takkan mengetahui
apakah yang sedang dilakukan prajurit itu. Tentu ada
sebabnya mengapa ia berani berbohong mempermainkan
seorang tumenggung. "Ah ...." sekonyong-konyong tumenggung Nala mendesah
seraya hentikan tusukan keris "mengapa engkau berani
mempermainkan aku ?" hardiknya dengan nada penuh getar2
ketegangan. "Sebelumnya hamba mohon ampun atas kesalahan hamba
memberi keterangan yang tak benar kepada gusti," kata Dipa
seraya menghatur sembah "tetapi apabila gusti berkenan,
hamba hendak menghaturkan penjelasan"
"Hm" desuh tumenggung Nala "apabila keteranganmu itu
tidak layak, engkau tetap kubunuh !"
"Baik, gusti" kata Dipa "tindakan hamba tadi telah
diperkenankan baginda. Agar hamba dapat mengetahui
siapakah gusti mentri dan gusti senopati yang benar2 masih
setya kepada baginda. Karena gusti tentu maklum bahwa
dalam huru-hara pemberontakan beberapa hari yang lalu,
tentu digerakkan oleh sementara mentri, senopati yang
hendak menentang baginda. Sekurang-kurang pasti banyak
para gusti mentri yang terlibat. Oleh karena itu, titah baginda
agar hamba berhati-hati dalam melaksanakan tugas itu. Oleh
sebab itu, terpaksa hamba menggunakan siasat berbohong.
Dengan demikian dapatlah hamba meneliti keadaan yang
sesungguhnya dari apa yang hamba hadapi. Demikian gusti,
keterangan hamba. Apabila paduka hendak menghukum
bunuh, hambapun rela menyerahkan jiwa hamba"
Tumenggung Nala tertegun mendengar uraian Dipa.
Kabut2 kemarahan yang mencekam hatinya pelahan-lahan
mulai berarak, bertebaran lenyap. Dan tanpa di sadari, keris
pun pelahan-lahan ditariknya menyurut lalu menghela napas.
"Ah, apakah engkau hendak menguji kesetyaan tumenggung
Nala?" "Tidak, gusti" serta merta Dipa menjawab, "bukan sematamata hamba tujukan kepada paduka. Tetapi pun kepada para
gusti yang akan hamba temui itu. Hamba terpaksa melakukan
hal itu. Mohon gusti melimpahkan ampun kepada diri hamba"
"Apakah engkau meragukan kesetyaanku?"
"Serambut dibelah tujuh pun hamba tak ragu2 gusti.
Hamba percaya penuh kepada paduka. Berkat restu baginda,
semoga hamba dapat menyelesaikan titah baginda"
Tumenggung Nala mengangguk dalam hati. Diam2 ia
memuji kecerdikan prajurit muda itu dan keberaniannya dalam
melakukah, tugas. "Nah, katakanlah sekarang, apa sebenarnya
yang baginda titahkan kepadamu?"
"Hamba dititahkan baginda untuk menyampaikan firman
baginda. Menitahkan kepada para gusti mentri dan gusti
senopati yang masih setya kepada kerajaan, agar serempak
bersatu mengumpulkan kekuatan untuk merebut kembali
kekuasaan dari tangan pemberontak"
Serentak tumenggung Nala menegakkan kepada dan
mengacungkan keris ke muka dada. "Aku bersumpah akan
tetap setya kepada kerajaan Majapahit dan akan
melaksanakan firman baginda!"
"Gusti ..." Dipa tak dapat melanjutkan kata2 karena
tersumbat oleh luapan haru. Air matanya ber-linang linang.
"Kerta" kata tumenggung Nala "sampaikanlah pesanku
kepada sang baginda. Dan jagalah baginda sepenuh jiwa
ragamu" "Apa yang gusti titahkan, tentu hamba junjung di atas
ubun2 kepala" kata Dipa "tetapi bagaimana andai baginda
hendak menitahkan supaya hamba memberi laporan tentang
usaha2 gusti untuk melaksanakan titah baginda itu?"
Tumenggung Nala terdiam. Beberapa saat kemudian baru
ia berkata, "Terus terang, prajurit, aku belum mempunyai
rencana tertentu. Maksudku hendak menghubungi demung
Samaya yang memegang tampuk pimpinan pasukan kerajaan.
Tetapi ah ....." "Bagaimana, gusti, adakah gusti demung mengunjukkan
sikap tak setya kepada kerajaan?"
Tumenggung Nala gelengkan kepala, "Bukan begitu.
Walaupun belum pernah berhadapan empat mata dengan
kakang demung, tetapi kupercaya beliau seorang senopati
yang setya" "Adakah selama ini gusti tak pernah mempunyai
kesempatan untuk berjumpa dengan gusti demung?"
Tumenggung Nala geleng2 kepala. "Sukarlah untuk
mendapat kesempatan itu. Gerak gerik mentri2 dan senopati2
selalu diawasi oleh rakryan Kuti. Termasuk pula diriku dan
kakang demung. Beberapa kali menghadiri rapat ..... eh,
bukankah saat ini sudah menjelang malam?" tiba2
tumenggung Nala berganti nada, mengalih pada pertanyaan.
"Benar, gusti" "Ah, hampir aku lupa bahwa malam ini aku harus
menghadiri pertemuan penting yang diadakan oleh ra Kuti di
keraton" kata tumenggung Nala seraya menyarungkan keris ke
pinggangnya. "Jika demikian hamba mohon diri" kata Dipa seraya
hendak menghatur sembah. "Tunggu, Kerta" seru tumenggung Nala, "keputusan yang
akan diambil dalam pertemuan malam ini tentu amat penting.
Kurasa engkau boleh mengetahui. Mungkin akan timbul suatu
rencana padaku, sesuai dengan hasil pertemuan nanti"
Dipa terhenti. Apa yang dikatakan tumenggung Nala
memang penting dan berguna kepadanya. "Jika demikian,
gusti memperkenankan hamba untuk menghadap ke mari
lagi" Bilakah hamba akan melakukan perintah gusti itu"
Tumenggung Nala kernyitkan dahi merenung, "Ah, aku
hampir lupa" serunya sesaat kemudian "seharusnya engkau ke
luar dari gedung ini dengan memakai cara lain"
Dipa terbeliak heran "Siiahkan gusti menitahkan apapun
kepada hamba" Lebih dahulu tumenggung Nala kerlingkan pandang mata
ke luar pendapa. Setelah itu baru ia berkata dalam nada yang
rendah, "Kerta, penjaga2 di pintu regol luar itu bukan orang
sebawahanku. Mereka dikirim dari keraton"
"Oh" Dipa mendesuh kejut "dari rakryan Kuti?"
Tumenggung Nala mengangguk.
"Mengapa demikian, gusti ?" tanya Dipa.
"Setelah peristiwa pemberontakan, semua prajurit2
penjaga gedung kediaman para mentri dan pembesar2
kerajaan telah diminta oleh rakryan Kuti. Alasannya, untuk
memperkuat penjagaan istana. Kemudian untuk menjaga
keselamatan, tiap2 gedung kediaman mentri senopati, hanya
diberi sepuluh orang prajurit. Prajurit2 itu, diambilkan dari
kelompok penjaga istana. Bukan prajurit2 yang semula kekerja
pada gedung kediaman masing2 mentri. Engkau tentu tahu
apa maksudnya, bukan?"
Dipa mengangguk "Istana hendak mengamati gerak gerik
para gusti mentri itu"
"Ya" sahut tumenggung Nala "maka akupun kuatir,
kedatanganmu ke mari ini tentu akan dilaporkan mereka ke
istana" Dipa terkejut pula. Apabila benar demikian, la tentu akan
diburu dan tumenggung Nala pun akan mendapat kesulitan.
Sekurang kurangnya harus menghadapi pertanyaan dari
penguasa pemetintahan sekarang. "Lalu apa yang akan gusti
perintahkan kepada hamba ?" katanya.
'"Kreta" kata tumenggung Nala "aku mempunyai rencana
begini, untuk menghapus kecurigaan para penjaga pintu regol
itu, terpaksa engkau harus menderita. Bersediakah engkau
melakukan hal itu?" "Bersedia gusti" sahut Dipa, serentak tanpa ragu2.
"Walaupun makian?" engkau harus menderita kesakitan dan "Ah, masih ringan apabila hanya demikian" sahut Dipa
"karena sudah bulat tekad hamba untuk menghayatkan jiwa
raga hamba dalam titah baginda yang hamba laksanakan ini"
Tumenggung Nala berseri seri cahaya mukanya.
"Sungguh besar nian rejeki baginda bahwa di saat2
menghadapi coba Hyang Agung, baginda memiliki seorang
pengawal yang setya seperti engkau."
"Gusti, hamba hanya sekedar menunaikan kewajiban
hamba sebagai seorang prajurit"
"Beginilah rencanaku" kata tumenggung Nala, "akan
kusuruh kedua pengawalku membawamu keluar. Pada wakiu
tiba di pintu regol, kedua pengawalku itu akan memukuli dan
memaki-maki engkau lalu melemparkan engkau keluar.
Dengan demikian para penjaga pintu regol itu tentu
menganggap, aku marah dan mengusirmu"
"Hamba bersedia, gusti" cepat Dipa memberi sambutan
"dengan demikian para penjaga itu tentu tak menaruh
kecurigaan kepada diri hamba"
Tumenggung Nala mengiakan. "Dan nanti malam, kira-kira
tengah malam, datanglah ke mari melalui pintu tembusan di
belakang. Aku akan menyambutmu dan memberi keterangan
lebih jauh" Serta merta Dipa memberi sembah serta menyatakan
kesediaannya untuk melakukan perintah tumenggung Nala.
Kedua pengawal tumenggung Nala pun segera membawa
Dipa dari pendapa. Dan menjelang beberapa tombak dari
pintu regol, mereka mulai memukul Dipa dan memaki maki,
"Keparat, enyahlah ..."
Penjaga2 pintu terkejut mendengar hamun makian dan
suara berdegup-degup dari tinju yang merdarat di tubuh
orang. Mereka terkejut ketika melihat pemuda yang masuk
tadi, telah didera pukulan oleh kedua pengawal ki
tumenggung. "Enyahlah engkau orang gila!" setiba di pintu salah
seorang pengawal menendang pantat Dipa. Dipa terhuyung
huyung keluar dan terus melarikan diri.
"Apakah yang telah terjadi dengan anak itu, kawan" tegur
salah seorang penjaga pintu.
"Ternyata dia ngoceh tak keruan di hadapan gusti
tumenggung. Mengatakan supaya gusti tumenggung
membawanya ke istana karena dia putera gelap dari baginda
Jiyanagara" "O" teriak para penjaga.
"Lebih gila lagi, dia hendak menuntut tahta kerajaan
supaya diserahkan kepadanya"
"Dia hendak jadi raja" Ha, ha, ha ....." pecahlah gelak tawa
dari penjaga2 pintu demi mendengar keterangan itu.
"Kalau dia dapat menjadi raja, gusti tumenggung akan
diangkat menjadi mahapatih tetapi para gusti Dharmaputera
akan dilempar ke laut. Gila tidak?"
Kembali para penjaga pintu itu tertawa terbahak-bahak.
"Memang menilik gerak geriknya di muka pintu regol tadi, dia
seperti orang yang tak waras pikirannya"
Kedua pengawal itu lalu masuk untuk memberi laporan
kepada tumenggung Nala. 0o-dwkz-mch-o0 II "Hampir sepuluh wara, keraton Tikta-Sripala ditinggal oleh
baginda" kata rakryan Kuti membuka pembicaraan dalam
rapat yang diadakan di kediaman kepala Dharmaputera
tersebut. Sedianya rapat akan diadakan di salah sebuah balai agung
dalam keraton Tikta-Sripala. Tetapi entah karena apa, tiba2


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rakryan Kuti telah merobah tempat rapat itu ke tempat
kediamannya. Rapat dihadiri lengkap oleh lima orang
Dharmaputera. Yang dua, yakni ra Tanca masih berada di
Daha mengobati sakit patih Daha Arya Tilam. Ra Banyak
masih ke daerah barat untuk mencari Kebo Taruna. Dari fihak
mentri kerajaan hanya Panca ri Wilwatikta atau lima mentri
utama yang hadir. Tetapi karena mahapatih Aluyuda tiada
ketahuan beritanya maka hanya empat orang yang
menghadiri. Demung Samaya, kanuruhan Anekakan, rangga
Jalu dan tumenggung Nala.
Dharmaputera adalah kepercayaan mentri2 baginda.
Kedudukan mereka menyamai sebuah Dewan Penasehat.
Sedang Panca ri Wilwatikta meliputi lima orang mentri yang
menguasai pemerintahan kerajaan. Baik golongan tentara
maupun narapraja. Rakryan Kuti sebagai kepala Dharmaputera yang telah
mendapat kepercayaan dari Dewan Mahkota untuk mengepalai
pemerintahan, bertindak sebagai pimpinan rapat. Rakryan Kuti
telah mencantumkan soal tahta kerajaan sebagai acara mutlak
dalam pertemuan itu. "Kurasa, keadaan ini tak boleh berlarut berkepanjangan" ra
Kuti menambahkan pula "kerajaan tanpa raja, harus cepat kita
akhiri" Ra Kuti menunggu tanggapan dari yang hadir tetapi tak
kunjung terdengar ada yang membuka suara. Memang dalam
masalah yang gawat itu, keempat mentri dari Panca ri
Wilwatikta bersikap hati2 sekali. Mereka memagari suara
hatinya dengan keadaan yang melingkungi sekelilingnya.
"Tuan2 sekalian" kata ra Kuti pula "tuan2 kami undang
hadir dengan harapan dan kepercayaan bahwa tuan2 akan
memberikan pendapat untuk mengatasi keadaan pemerintahan yang luar biasa ini. Maka kumohon, sudilah
tuan2 mengemukakan usul dan pendapat yang berguna.
Tuan2 bebas untuk mengeluarkan pendapat yang sesuai
dengan pemikiran tuan2"
Ra Kuti keliarkan pandang mata ke setiap yang hadir
sebagai undangan agar mereka suka mengeluarkan suara.
Tetapi jelas ditelitinya, bahwa wajah mereka menampilkan
keraguan. "Jika tuan2 belum mempunyai pandangan, izinkanlah aku
memberikan sekedar ulasan, sebagai bahan pertimbangan
tuan2" kata ra Kuti.
Berhenti sejenak untuk mengatur napas, berkatalah kepala
Dharmaputera itu pula, "Marilah kuajak tuan2 untuk meneropong keadaan diri
baginda Jayanagara. Karena bagindalah yang merupakan titik
tolak dari pembicaraan kita ini" kata rakryan Kuti "marilah kita
tinjau sedalam-dalamnya, dengan hati yang tenang serta
pikiran yang dingin, apakah yang kita lihat, yang kita rasakan,
dan kenyam selama baginda Jayanagara bertahta di
singgasana Tikta-Sripaia. Janganlah tuan2 takut untuk menilai
baginda junjungan kita itu. Dan janganlah tuan2 takut pula
untuk mengatakan kesan tuan2 terhadap pemerintahan
baginda selama ini. Hitam katakan hitam, putih katakan putih.
Sepintas pandang, tampaknya tidaklah layak kita sebagai
mentri dan narapraja berani menilai raja junjungan kita, Tetapi
menurut hemat Kuti, justeru karena kita sayang kepada
baginda, karena kita setya pada kerajaan dan karena kita cinta
pada negara serta kawula Majapahit, maka kita harus berani
menilai. Agar apa yang salah dapat dibenarkan, yang bengkok
dapat diluruskan. "Siapa yang tak berani menilai, dia sesungguhnya seorang
mentri atau narapraja yang takut kehilangan kedudukan"
setelah berhenti sejenak ra Kuti melanjutkan pula "atas tiga
dasar yang kukemukakan tadi, marilah dengan hati terbuka
dan pikiran jujur, kita mengungkapkan suara hati kita"
"Baiklah, jika tuan2 masih ragu, akulah yang akan
mengemukakan kesan serta pendapat lebih dahulu" sehabis
melontarkan pandang menyelidik kesan pada setiap wajah
yang hadir, ra Kuti melanjutkan lagi, "sejak baginda
Jayanagara naik tahta, berhamburan benih2 ketidakpuasan di
kalangan warhaji atau keluarga raja, mentri2 dan para
senopati. Benih2 itu merekah menjadi pertentangan, tumbuh
menjadi golongan yang menentang dan yang mendukung raja.
Sebab menimbulkan akibat, Akibat menciptakan Sebab. Sebab
dan Akibat merupakan lingkaran tali temali yang berhubungan
erat" "Demikian menurut ajaran sang Buddha dalam hukum
yang disebut Karma. Demikian pula keadaan kerajaan
Majapahit selama diperintah oleh baginda Jayanagara.
Timbulnya huru hara beberapa hari yang lalu, hanyalah suatu
akibat dari sebab-sebab yang mengiringkan langkah baginda
Jayanagara selama bertahta di singgasana. Bahwa
sesungguhnya diri baginda sendiri sudah melupakan soal yang
memancarkan sumber pertikaian dan pertentangan. Apabila
sumbernya sudah keruh, bagaimana mungkin airnya akan
jernih?" "Tuan hendak mengulang masalah yang sudah usai,
rakryan Kuti" tiba2 terdengar seorang hadirin berseru "senang
tak senang, setuju tak setuju, pohon itu sudah tumbuh,
berakar dan mengayomi seluruh kawula. Adakah tuan hendak
membongkar akar-akarnya agar pohon itu tumbang dan
menimbulkan kekacauan lagi?"
Rakryan Kuti cepat mengeliarkan pandang ke arah yang
bicara itu, serunya, "Tuan maksudkan pohon itu sebagai diri
baginda, ki demung Samaya" jika demikian, akupun setuju.
Tetapi ki demung pun harus menyetujui pula keteranganku
apabila kukatakan bahwa sesungguhnya pohon itu hanya
tampaknya saja tumbuh rindang tetapi sesungguhnya lapuk.
Batangnya sudah digerogoti oleh kutu2 sehingga walaupun
tumbuh rindang tetapi tak pernah mengeluarkan buah.
Bukankah demikian, ki demung?"Demung Samaya merah wajahnya. Belum sempat ia
menjawab, ra Kuti sudah mendahului.
"Soal pohon itu akan menimbulkan kekacauan apabila
ditumbangkan, itu hanya pikiran dari orang yang takut
menghadapi kesulitan, hendak menghindar dari kenyataan.
Apa guna kita menyayangkan tumbangnya pohon yang sudah
lapuk" Bukankah lebih baik kita menanam pohon yang baru
lagi, dari bibit unggul yang kelak benar2 dapat memberi buah
yang lezat. Memang untuk menanam yang baru, tentu akan
menghadapi kesulitan. Tetapi akhirnya kesulitan itu kelak akan
membahagiakan" seru ra Kuti.
"Tetapi rakryan" masih demung Samaya tak undur "bukan
salah pohon itu apabila dia lapuk. Karena dia hanya berasal
dari bibit yang dikeluarkan oleh pohon yang terdahulu"
"Ki demung, marilah kita bicara tanpa menggunakan istilah
samar. Yang kita maksudkan dengan pohon adalah baginda
Jayanagara. Tuan mengatakan bahwa bukan salah baginda
apabila kenaikan baginda di singgasana Majapahit itu
menimbulkan keruwetan tetapi kesalahan dari baginda yang
menurunkannya yakni rahyang ramuhun Kertarajasa. Tetapi
adakah rahyang ramuhun Kertarajasa hanya berputera
seorang saja?" "Tiga" sahut demung Samaya "tetapi hanya seorang yang
lahir sebagai putera. Yang dua adalah puteri. Menurut firman
terakhir dari rahyang ramuhun Kertarajasa, puteranya itulah
yang dititahkan menjadi pengganti raja. Dan hal itu sudah
diterima oleh para warhaji, diwisuda dalam upacara kerajaan
dan disambut oleh segenap kawula Majapahit."
"Ki demung" seru ra Kuti "kerajaan Wilwatikta memang
milik baginda Kertarajasa tetapi seluruh kawula mempunyai
hak dan kewajiban pula. Oleh karena itu, kawula pun berhak
untuk menerima atau menolak penobatan baginda Jayanagara
sebagai raja Majapahit. Karena apa" Karena mereka
menginginkan raja Majapahit itu berasal dari darah keturunan
Majapahit aseli. Sedangkan baginda Jayanagara, dilahirkan
oleh gusti ratu Indresvvari, seorang puteri Melayu. Golongan
yang menentang mengatakan bahwa mereka tak mau
diperintah oleh raja yang berasal dari lain negara. Benar atau
tidak alasan mereka, tetapi kenyataan dari baginda memang
demikian" "Tetapi kita harus taat akan firman rahyang ramuhun
Kertarajasa" seru demung Samaya.
"Memang kenyataannya demikian, ki demung" cepat ra
Kuti menanggipi "bukankah dengan penuh kesabaran dan
ketekunan, kita nenyambut dengan penuh harapan kepada
baginda Jayanagara" Tetapi apakah yang kita alami selama
ini" Majapahit selalu timbul pemberontakan. Mandana dan
Lumajang merupakan cetusan dari rasa tak puas terhadap
pemerintahan baginda. Dan terakhir, meletuslah huru-hara
beberapa hari yang lalu. Dan mungkin, apabila baginda
kembali pula ke pura Wilwatikta, kelak akan timbul pula
pemberontakan yang jauh lebih dahsyat lagi. Rentetan dari
peristiwa2 yang pada hakekatnya mengacau keamanan negara
dan merugikan kepentingan rakyat, tak lain tak bukan
bersumber pada naiknya baginda di tahta kerajaan. Cobalah ki
demung dan tuan2 sekalian renungkan hal itu"
Hening sesaat ruang pertemuan.
"Apa yang rakryan uraikan, memang mendekati dengan
kenyataan" tiba2 tumenggung Nala membuka suara "lalu
bagaimanakah maksud rakryan lebih lanjut?"
Demung Samaya, kanuruhan Anekakan dan rangga Jalu
terbeliak. Serempak mereka mencurah pandang ke arah
tumenggung itu. Uraian ra Kuti itu jelas mengandung maksud
mencela baginda Jayanagara. Tetapi mengapa tumenggung
Nala yang dikenal setya-raja itu mendukung pernyataan ra
Kuti" Bukan tak tahu demung Samaya akan pandang ketiga
mentri Panca ri Wilwatikta itu. Namun ia pura2 tak melihat
mereka. "Terima kasih, ki tumenggung" sambut ra Kuti gembira
"tetapi janganlah hendaknya tuan cepat2 mendorong
kesempatan kepada Kuti untuk mengutarakan maksudnya
lebih lanjut. Sebelum mencapai babak itu, marilah kita bahas
pula apa2 yang kita lihat dan rasakan selama baginda
Jayanagara memerintah. Dengan pembahasan itu semoga
lebih mantaplah kita mengikat diri dalam kesimpulan."
"Setelah meneropong keturunan pribadi baginda lalu
peristiwa2 pemberontakan sebagai akibat dari persoalan diri
baginda, mariiah kita lanjutkan pula untuk meneliti bagaimana
cara2 baginda memerintah dan bagaimana tindakan baginda
selama ini" Peristiwa Mandana, wanitalah gara garanya,
Pengangkatan tuan puteri Tribuanatunggadewi sebagai Rani
Kahuripan dan tuan puteri Mahadewi sebagai Rani Daha,
bukankah atas desakan dari Dewan Mahkota yang melihat
tingkah laku tak senoaoh dari baginda terhadap kedua
ayundanya itu" Beberapa isteri dari mentri2 antara lain isteri
ra Tanca, juga diganggu. Bahkan sampai pun dayang jurutebah peraduan baginda, pun telah dicemarkan ..."
Tanpa melepaskan tatapan mata ke arah hadirin dan
hanya berhenti sekejab untuk mengatur napas, ra Kuti
melanjutkan pula. "Wanita dan wanita, dari satu ke lain wanita. Hanya wanita
lah yang menghias kehidupan baginda" kata kepala
Dharmaputera itu "baginda hampir tak memperhatikan urusan
pemerintahan." "Tetapi rakryan Kuti" tiba2 rangga Jalu menyanggah
"bukankah urusan pemerintahan telah diserahkan kepada
Panca ri Wilwatikta?"
Ra Kuti menyahut "Benar. Tetapi harap ki rangga maklum
bahwa yang disebut Panca ri Wdwatikta itu sesungguhnya
hanya Eka ri Wilwatikta, hanya patih Aluyudalah yang hampir
menguasai pemerintahan dan tampaknya seolah baginda
hanya menurut saja" "Ah, memang ki patih Aluyuda yang besar nafsu untuk
menguasai pemerintahan dan meraih kedudukan tinggi" kata
rangga Jalu. "Ki rangga" tiba2 ra Kuti berseru "janganlah hendaknya
tuan menimpahkan kesalahan itu seluruhnya pada diri
Aluyuda. Sudah tentu dia dan lain2 menteri ingin mencapai
kedudukan. Tatapi yang berkuasa adalah baginda. Mengapa
baginda menurut saja. Bukankah hal itu menandakan betapa
tidak cakap dan tepat baginda memimpin kerajaan"
"Harap kita maklum, rakryan, bahwa usia junjungan kita
itu masih amat muda belia"
"Usia bukanlah menjadi ukuran peribadi seseorang.
Ksatrya sudah menampakkan sfat2 keksatryaannya sejak
muda mula. Apabila masih sedemikian muda belia sudah
memanjakan diri dalam kesenangan dan wanita, dapatlah kita
mengharapkan kelak baginda akan menjadi seorang raja yang
bijaksana" Ibarat buah, apabila masih muda sudah dimakan
kutu, dapatkah kita mengharapkan kelak buah itu akan masak
dan lezat?" ra Kuti dengan cepat dan tangkas menindas alasan
dari rangga Jalu. Lalu melanjut pula.
"Sumber dan air, pohon dan buah, serupa dengan Sebab
dan Akibat. Oleh karena itu, jika rakyat Majapahit
menginginkan negara akan tumbuh, berkembang, besar, kuat
dan jaya, haruslah lebih dahulu kita berani meneliti dan
mencari-cari sebab musabab dari segala rintangan dan
hambatan selama ini. Dan mencari tiada gunanya, apabila
setelah menemukan, kita hanya berpeluk tangan melihat
tanpa berbuat sesuatu"
"Rakryan Kuti" tiba2 seseorang berseru nyaring, "masih
ada pula sebuah tindakan baginda yang khilaf sehingga
mengakibatkan merosotnya kekuatan Majapahit"
Ra Kuti dan sekalian yang hadir serempak mencurah
pandang ke arah suara itu. Ah, ternyata ra Semi lah yang
bicara. "Silahkan rakryan menguraikan" seru ra Kuti.
"Peristiwa mahapatih rakryan Nambi dan beberapa mentri
senopati di Lumajang itu" kata ra Semi, "sangat meninggalkan
kesan yang buruk pada rakyat. Betapa mudah sekali baginda
percaya akan mulut patih Aluyuda sehingga menyebabkan
rakryan Nambi seorarg mentri tua yang telah membuktikan
pengabdiannya sejak jaman rahyang ramuhun Kertarajasa
hingga sekararg harus mati. Bersama mahapatih Nambi, gugur
pula mentri2 dan senopati2 setya dari kerajaan Majapahit


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakni Panandana, Mahisa Pawagal, Panji Anengah, Panji
Samara, Panji Wiranagari, Jaran Bangkai, Jangkung, ra Teguh,
Lasem dan patih Emban dan entah berapa ribu jiwa prajurit2
yang ikut serta dengan rombongan mahapatih Nambi. Maaf,
rakryan Kuti dan tuan2 sekalian, memang sudah kodrat hidup.
Matipun menjadi syarat dari seorang narapraja dan senopati
maupun prajurit yang mengabdi kepada negara. Agak bedalah
makna dari mati kodrat dengan mati seorang yang mengabdi
negara. Rakryan Nambi dan beberapa mentri senopati yang
telah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun, pun telah
menunaikan syarat yang diwajibkan kepada mereka. Tetapi
kematian rakryan Nambi dan para mentri di Lumajang itu
sungguh menyedihkan sekali. Mereka mati dibunuh karena
dituduh hendak memberontak !"
Terhening dalam kepukauanlah suasana dalam ruang
ketika kata2 ra Semi itu melantang.
"Dan aku Semi, tahu dengan mata kepala sendiri, betapa
tidak benarnya tuduhan yang dihamburkan mulut Aluyuda ke
hadapan baginda. Dengan kehilangan seorang mahapatih
yang setya sebagai rakryan Nambi dan beberapa mentri dan
senopati itu, kekuatan Majapahit pun berkurang sekali,
baginda Jayanagara mencanangkan akan mengemudikan
kerajaan dengan cara Gitik pentung. Siapa bersalah, akan
ditumpas. Cara Gitik-pentung atau tangan besi itu memang
ada kalanya perlu dan tepat digunakan. Tetapi apabila tidak
disertai kebijaksanaan yang cermat dan pertimbangan yang
adil, akan berobah menjadi sikap Ahamkara, hadigang
hadigung dalam menggunakan kekuasaan. Sewenangwenang!"
Ra Kuti mengangguk-anggukkan kepala. "Memang apa
yang ra Semi uraikan itu, merupakan suara hati para kawula
Majapahit. Lalu siapa lagi di antara tuan2 yang hendak
mengangkat bicara ?"
"Idinkanlah Pangsa berbicara, rakryan !"seru salah seorang
Dharmaputera yang duduk di ujung sudut.
"Silahkan, rakryan" seru ra Kuti "memang untuk
menampung segala pendapat dan merumuskan segala macam
penilaian maka pertemuan ini diadakan. Dan oleh karena
menyangkut suatu masalah yang amat gawat dan penting,
seyogyanya tuan2 sekalian suka mengemukakan buah
pendapat yang bermanfaat bagi kepentingan negara
Majapahit" "Yang akan kukemukakan yalah tentang peristiwa huru
hara beberapa hari yang lalu." ra Pangsa mulai bicara,
"timbullah suatu pertanyaan dalam hati kita dan seluruh
kawula, mengapa dan kemanakah baginda meninggalkan
keraton?" "Rakryan Pangsa" tiba2 demung Samaya menyambut
"tidaklah hal itu sudah lama kita ketahui dalam pembicaraan
yang lalu?" "Maksud ki demung" balas ra Pangsa, "bahwa keadaan
pada malam itu memang kacau balau, sehingga orang tak
tahu apa yang telah terjadi. Kita, termasuk baginda, masing2
mencari keselamatan diri masing-masing ?"
"Mungkin demikianlah keadaannya, rakryan Pangsa" sahut
demung Samaya. "Mengapa ki demung masih ragu2 untuk mengatakan
secara tegas" Bukan mungkin lagi, tetapi memang begitulah"
seru ra Pangsa. "Ah, sesungguhnya aku malu jika membicarakan soal itu.
Karena di tengah huru hara besar, di saat baginda kehilangan
arah pejagaan, aku tidur dengan nyenyak" demung Samaya
menghela napas penuh sesal dan kekecewaan.
"Ki demung Samaya" tiba2 ra Kuti menyela "tiada guna ki
demung, ki rangga, ki tumenggung dan para Dharmaputera
menyesalkan hal yang sudah lalu. Bukan salah ki demung
apabila pada malam itu ki demung tertidur"
"Tidak, rakryan Kuti" sanggah demung Samaya "aku tetap
merasa bersalah karena lengah dan melalaikan kewajiban"
"Ucapan seorang ksatrya yang setya akan tugasnya" seru
ra Kuti memuji "dan tentulah baginda akan menjatuhkan
hukuman kepada tuan apabila kelak baginda kembali ke pura
pula" "Setiap kesalahan wajib menerima hukuman. Aku akan
menerima hukuman apapun juga untuk kesalahan yang
kulakukan itu" "Tetapi bukan tuanlah yang bersalah. Tuan telah
dipermainkan oleh seseorang yang hendak menyerang
keraton. Agar ki demung tak dapat bergerak menjalankan
tugas. Yang penting, tuan harus mencari orang itu"
"Siapakah kiranya orang itu ?"
"Aluyuda!" tanpa ragu2 ra Kuti berseru.
Tiba2 ra Pangsa menyelutuk, "Tuan2 sekalian, izinkan
Pangsa menggunakan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat. Soal peristiwa huru hara telah pernah kita
bicarakan. Malam ini, kita sedang memperbincangkan
kedudukan baginda di tahta kerajaan Majapahit."
"Maaf, rakryan Pangsa, tuan benar, silahkan melanjutkan
pendapat tuan" seru ra Kuti dengan tertawa kecil.
"Pertanyaanku yang juga menjadi pertanyaan seluruh
kawula pura Majapahit tadi, yalah mengapa baginda harus
meloloskan diri dari keraton. Dan kemanakah gerangan tujuan
baginda itu?" Berhenti sejenak agar ucapannya itu menyusup ke dalam
perhatian sekalian yang hadir, ra Pangsa melanjutkan pula.
"Mengapa baginda meninggalkan keraton" Kurasa di
antara tuan2 yang hadir di sini tentu akan menjawab, karena
baginda hendak menyelamatkan diri dari huru hara yang
melanda keraton. Jawaban itu memang tepat. Tetapi tepatkah
tindakan baginda itu" Tepatkah apabila seorang raja harus
melarikan diri meninggalkan keraton di kala menghadapi
suasana yang gawat seperti pada malam itu?"
"Baginda telah terputus dari hubungan dengan para
mentri. Dalam keadaan yang kacau itu memang beralasan
apabila baginda berusaha untuk menyelamatkan diri" seru
Rangga Jalu. "Tidak, ki rangga" sanggah ra Pangsa "seorang raja adalah
seorang pemimpin, seorang yang menjadi sesembahan
seluruh kawula kerajaan. Mengapa baginda tak berani
berhadapan dengan kaum perusuh itu" Di situlah akan teruji
betapa bobot kewibawaan baginda kepada kawulanya"
Mungkin apabila baginda ke luar, kaum perusuh itu akan
tunduk dan mundur. Tetapi baginda menempuh jalan yang
mudah, mencari selamat diri sendiri dan meninggalkan keraton
yang masih berisi para warhaji dan putera puteri kerabat raja"
"Keadaan amat kacau dan amat mendadak sekali, rakryan
Pangsa" seru rangga Jalu makin keras nadanya.
"Justeru dalam saat2 kekacauan itulah seorang raja akan
menunjukkan kewibawaan dan keksatryaannya sehingga
dapat mengatasi keadaan. Apakah langkah baginda
meninggalkan keraton itu tak dapat kita katakan sebagai
tindakan yang kurang bijaksana, kurang bertanggung jawab?"
Terdengar desah dan desuh dari beberapa mentri yang
hadir. Terutama dari keempat mentri yang tergolong dalam
Panca ri Wilwatikta. Namun mereka tak ada yang membuka
suara. "Kurasa, rakryan Pangsa" seru ra Kuti "pokok sebab utama
dari langkah baginda itu hanya merupakan akibat dari suatu
sebab. Apa" Karena baginda terlalu menumpahkan
kepercayaan penuh kepada patih Aluyuda seorang. Karena
patih itu menghilang, hilang pula pegangan baginda. Padahal
sesungguhnya, baginda dapat berusaha untuk menghubungi ki
rangga Jalu atau ki tumenggung Nala yang memegang
keamanan pura atau ki demung Samaya yang memegang
kekuasaan atas seluruh prajurit kerajaan. Tetapi baginda tak
pernah menitahkan untuk menghubungi ketiga mentri itu"
"Bukan salah baginda tetapi salah Samaya sebagai
pimpinan tentara, tak segera bertindak menghancurkan huruhara" seru demung Samaya.
"Memang ki demung salah, tetapi baginda pun kurang
layak tindakannya. Bukankah dengan mengirim pengalasan, ki
demung dan para mentri serta senopati yang teridap dalam
tidur nyenyak, dapat segera dibangunkan sehingga cepat
dapat bertindak " Mengapa baginda cepat begitu gopoh
melarikan diri dari pada berusaha?" tiba2 ra Semi berseru.
"Demikianlah soal yang hendak kuketengahkan dalam
pertemuan ini" kata ra Pangsa pula "mau tak mau, terpaksa
kesan itu memancarkan suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya bukan baginda yang menguasai kerajaan tetapi
patih Aluyuda. Aluyuda menghilang, bagindapun tak dapat
berbuat apa2" "Kesimpulan itu memang hampir menampakkan kenyataan" ra Semi membuka suara pula "pada hal yang
dihadapi keraton itu adalah kaum perusuh dari dalam pura
sendiri, bukan musuh dari luar. Mengapa baginda tak berani
menghadapi bahaya. Kurasa peristiwa akan berobah lain
apabila baginda berani unjuk diri menghadapi mereka"
"Kurasa" tiba2 ra Kuti ikut bicara "hal itu pun tak terlepas
dari Sebab dan Akibat. Langkah baginda yang cepat melarikan
diri menghadapi bahaya, merupakan Akibat. Dan apakah
Sebabnya" Tuan2 sekalian" kepala Dharmaputera itu makin
meninggikan nada suaranya "sudah menjadi kodrat naluri
hidup, bahwa seseorang yang mendambakan diri dalam
kesenangan, mengikat diri dalam nafsu yang berkemanjaan,
tentulah akan sayang sekali akan kehidupannya itu. Takut
kehilangan kesenangan dan kemanjaan hidup, menyebabkan
orang takut kehilangan jiwanya. Mengapa seorang raja harus
takut berhadapan dengan rakyatnya" Karena rakyat yang
tergolong kaum perusuh dalam huru hara itu marah. Mengapa
marah" Karena melihat pimpinan kerajaan sudah tak dapat
diharap lagi. Raja hanya memburu kesenangan, memanja
nafsu. Segala urusan pemerintahan diserahkan kepada patih.
Dan patih Aluyuda berpesta pora memanfaatkan kekuasaannya untuk makin menanjak dan menanjak hingga
sampai puncak yang tertinggi ..."
"Tetapi rakryan Kuti" seru kanuruhan Anekakan yang sejak
tadi hanya berdiam diri "bukankah tuan2 sekalian telah
dilimpahi kepercayaan penuh oleh baginda dalam pengangkatan tuan2 sebagai Dharmaputera itu?"
Ra Kuti tenang2 menjtwab "Tuan kanuruhan Anekakan
yang terhormat. Bilamana dalam ucapan tuan itu mengandung
maksud bahwa Dharmaputera pun telah kecipratan
kepercayaan dari baginda, memang kami akui. Tetapi apa bila
tuan menuduh bahwa Dharmaputera juga seperti halnya patih
Aluyuda yang berpesta menggunakan kekuasaan untuk
memperkuat diri, kami menyangkal. Memang serupa, tetapi
tak sama" Kanuruhan Anekakan menghela napas. Banyak nian
agaknya hal2 yang akan dicurahkan oleh mulut kanuruhan itu
tetapi sang hati berbisik lain. Agar dia pandai menyesuaikan
keadaan dulu. Ra Kuti teriawa kecil. "Kutahu tuan kanuruhan" serunya "bahwa dalam hati kecil
tuan tentu masih mengandung bayang-bayang yang hitam
kepada diri para Dharmaputera. Maka akupun berhak untuk
membersihkan hal itu. Dharmaputera memang dengan sekuat
tenaga telah berusaha untuk mengambil hati dan merebut
kepercayaan dari baginda. Karena jika tidak demikian,
kekuasaan dan kepercayaan baginda Jayanagara seluruhnya
tentu akan diborong oleh patih Aluyuda. Berbahaya sekali,
tuan kanuruhan. Maka apa yang kami lakukan, hanyalah suatu
siasat belaka, untuk mengimbangi kekuatan Aluyuda. Benar
atau salahkah tindakan Dharmaputera itu, silahkan tuan2
memberi penilaian" "Hanya sebuah pertanyaan, rakryan Kuti" tiba2
tumenggung Nala berseru "yang akan kusampaikan kepada
tuan" "O, ki tumenggung Nala" Silahkan"
"Baginda telah khilaf karena terlalu mempercayakan
sepenuhnya pimpinan pemerintahan kepada patih A luyuda dan
Dharmaputera. Apabila pemerintahan berjalan tidak lancar,
siapakah yang bertanggung jawab akan kesalahan itu"
Baginda atau tuan2 yang dipercaya itu?"
"Pertanyaan yang tepat sekali" diluar dugaan ra Kuti telah
memberi sambutan yang hangat "kesalahan baginda hanyalah
karena kurang bijaksana, hanya mementingkan kesenangan
peribadi dan menyerahkan pemerintahan kepada patih dan
Dharmaputera. Sedang apabila pimpinan pemerintahan tidak
lancar dan menjurus ke arah kemerosotan, yang salah sudah
tentu mereka yang dipercayakan tanggung jawab memimpin
pemerintahan itu oleh baginda. Bukankah begitu, ki
tumenggung?" "Rakryan seorang yang tangkas dan jujur" seru
tumenggung Nala "semoga kejujuran tuan2 Dharmaputera
pernah dipersembahkan juga ke hadapan baginda manakala
baginda bertindak kurang benar"
Ra Kuti terkejut mendengar pernyataan tumenggung Nala.
Singkat tetapi padat dan tajam menusuk sasarannya.
"Ki Tumenggung yang terhormat" serunya sesaat
kemudian "kata orang, seorang arif harus tahu keadaan dan
pandai menyesuaikan diri. Memang berulang kali baginda
meminta pendapat bertanya nasehat kepada Dharmaputera.
Misalnya mengenai peristiwa Lumajang. Saat itu baginda
sudah sangat murka karena telah mendahar hasutan dan
fitnah Aluyuda. Jika Dharmaputera menasehatkan agar


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginda jangan menggempur mahapatih Nambi di Lumajang,
tentulah Aluyuda mendapat kesempatan untuk menghasut
baginda bahwa Dharmaputera memang berfihak kepada
rakryan Nambi ...." "Dan tuan segera mempersembahkan persatuan atas
tindakan baginda itu?" tukas tumenggung Nala.
"Apakah apabila ki tumenggung sebagai Dharmaputera,
akan memberi jawaban yang lain ?"
"Aku akan menentang walaupun baginda murka dan
mungkin akan menghukum mati" seru tumenggung Nala.
"Bagus, tuan seorang tumenggung yang ksatrya, jujur dan
berani" seru ra Kuti memuji "tetapi tuan pun seorang yang
konyol!" Tumenggung Nala terbeliak.
"Kukatakan konyol karena tuan akan mati dengan sia2.
Kematian tuan itu hanya untuk membantu patih Aluyuda lebih
lekas mencapai tujuannya, mengangkangi kekuasaan
pemerintahan Majapahit. Karena hanya Dharmaputera lah
yang patih Aluyuda masih menaruh keseganan. Jika
Dharmaputera lenyap, menarilah Aluyuda di atas mayat2
Dharmaputera itu !" Tumenggung Nala terdiam. Mau tak mau ia harus
menerima alasan ra Kuti itu.
"Demikian dengan lain2 hal. Misalnya dalam soal2
kegemaran baginda berburu wanita cantik. Terpaksa
Dharmaputera meyogyakan bahkan membantu mendapat-kan
wanita itu untuk baginda. Jika tidak, Aluyuda lah yang akan
makin mendapat kepercayaan baginda. Demikian kesukaran
yang kami derita selama ini, sejak peristiwa Lumajang hingga
sampai pecah huru hara beberapa hari yang lalu. Maka tetap
kukatakan, bahwa keadaan Dharmaputera dengan Aluyuda,
walaupun serupa tetapi tak sama"
Setelah hening sejenak maka berkatalah tumenggung
Nala, "Rakryan Kuti, kiranya sudah cukup pembicaraan
mengarah pada penilaian baginda. Lalu apakah kehendak
tuan?" Ra Kuti tersenyum "Ki tumenggung Nala, berat nian Kuti
menerima ucapan tuan kali ini. Janganlah kiranya tuan
menyangka ataupun memiliki dugaan setitik pun, bahwa Kuti
mempunyai kehendak peribadi yang besar. Tetapi akan
kuserahkan kepada seluruh narapraja dan kawula Majapahit.
Narapraja yang bertanggungjawab mengurus pemerintahan
negara. Dan kawula yang berhak untuk menunjuk dan
menghendaki siapa, orang ataupun dewan, yang dipandang
serta dianggap tepat untuk memimpin pemerintahan yang
benar-benar dapat memberi pengayoman kepada mereka"
"Dengan demikian, pertemuan ini hanya untuk mencari
kebenaran dan kenyataan dari keadaan kerajaan Majapahit
sebagaimana yang kita alami dan keadaan peribaii baginda
sebagaimana yang kita ketahui" lanjut pula ra Kuti setelah
berhenti untuk memulangkan napas "setelah mendapat
kesimpulan, barulah kita hidangkan kepada segenap mentri,
nayaka dan kawula pura Wilwatikta"
"O, maksud rakryan hendak mengadakan sidang lengkap
seluruh mentri dan narapraja kerajaan?" tanya tumenggung
Nala. "Benar, ki tumenggung" sahut ra Kuti "tetapi juga dihadiri
oleh para kawula" "O" terdengar desuh beberapa mentri Panca ri Wilwatikta
ketika mendengar maksud kepala Dharmaputera itu.
"Akan kami paparkan segala sesuatu yang telah dan
sedang terjadi dalam kerajaan Majapahit. Akan kami serahkan
kepada segenap mentri, senopati dan seluruh prajurit serta
kawula kerajaan, adakah mereka masih ingin melihat keadaan
negara Majapahit seperti yang telah lampau. Adakah mereka
masih senang diperintah baginda Jayanagara. Adakah mereka
masih suka mempunyai seorang mahapatih semacam Aluyuda.
Terserah kepada pilihan mereka"
"Rakryan Kuti "tiba2 kanaruhan Anekakan berkata dengan
nada tergetar "jika penilaianku tak salah, bukankah rakryan
hendak mempersoalkan kedudukan baginda di tahta
singgasana. Jika benar demikian, tidakkah hal itu cukup kita
serahkan kepada Dewan Mahkota saja" Karena Dewan
Mahkota terdiri dari para gusti ratu dari rahyang ramuhun
Kertarajasa, terutama gusti puteri Gayatri adalah berkedudukan sebagai Raja-patni yang mempunyai hak
kekuasaan penuh untuk memberi persetujuan atas kedudukan
seorang raja di singgasana"
"Tuan kanuruhan Anekakan" sahut ra Kuti dengan nada
mantap "kita semua yang hadir di sini, Dharmaputera,
kanuruhan, demung, rangga dan tumenggung yang tergolong
dalam Panca ri Wilwatikta, adalah mentri2 yang
bertanggungjawab penuh atas keselamatan tegaknya negara
Majapahit dan lancarnya pemerintahan. Kesemuanya itu pada
hakekatnya adalah untuk mengayomi para kawula, bukankah
demikian ?" Kanuruhan Anekakan mengiakan.
"Demi tanggungjawab kita, demi tegaknya negara
Majapahit dan demi kesejahteraan kawula, hendaknya kita
dapat berpijak pada pengalaman yang telah kita alami. Tuan
kanuruhan Anekakan dan tuan2 yang terhormat. Sejak
timbulnya huru-hara itu, jelas kewibawaan kerajaan telah
merosot. Huru-hara itu merupakan cetusan dari kemarahan
para kawula yang tak puas. Dan jelas pula, bahwa huru-hara
itu tentu digerakkan oleh orang2 yang duduk dalam
pemerintahan atau yang mempunyai kekuasaan"
"Jika tuan kanuruhan menghendaki persoalan baginda itu
diserahkan kepada Dewan Mahkota" rakryan Kuti melanjutkan
pula "tidakkah hal itu berarti akan menyingkirkan kehendak
para kawuia" Karena Dewan Mahkota jelas tentu akan memilih
putera puteri raja yang lain, andaikata mereka sepakat untuk
mengganti baginda Jayanagara. Dapatkah tuan memastikan
bahwa pengganti itu akan dapat diterima para narapraja dan
kawula?" "Tetapi rakryan Kuti" sanggah kanuruhan Anekakan yang
sudah berusia tua itu "kerajaan Majapahit adalah warisan dari
rahyang ramuhun Kertarajasa. Sudah selayaknya yang duduk
di atas tahta singgasana itu salah seorang putera puteri
baginda. Adakah lain orang yang bukan darah keturunan
rahyang ramuhun Kertarajasa berhak untuk menduduki tahta
kerajaan?" Ra Kuti tersenyum. "Tuan hanya melihat sesuatu dari yang lampau. Pada hal
yang lampau itu sudah lampau dan tak sesuai dengan
kehendak rakyat. Jika mereka beifaham seperti pendirian tuan,
tentu tak mungkin akan terjadi huru hara seperti itu. Jelas
mereka menuntut suatu perobahan. Dan apabila tuntutan
mereka itu masih kita jawab dengan cara yang lampau seperti
yang tuan usulkan tadi, tidakkah hal itu hanya akan
menambah besar kemarahan mereka" Cobalah tuan
renungkan. Asal renungan tuan itu berpijak pada tanggung
jawab untuk menyelimatkan kerajaan dari bencana kekacauan
dan kehancuran" Hening sesaat suasana pertemuan itu.
"Jelasnya" tiba2 rangga Jalu berbicara "rakryan hendak
menyelenggarakan suatu pertemuan besar untuk membicarakan soal kerajaan dan baginda?"
"Bukan hanya membicarakan, ki rangga" jawab ra Kuti
"tetapi mengambil keputusan secara bebas dan bijaksana
untuk memilih siapakah yang layak memimpin pemerintahan.
Kukatakan secara bebas karena tidak dibenarkan terjadi
tekanan2 secara paksa. Kukehendaki secara bijaksana karena
pemilihan itu benar-benar atas kehendak segenap narapraja
dan seluruh kawula."
Rangga Jalu terkejut "Adakah misalnya rapat besar
memilih seorang lain yang bukan keturunan rahyang ramuhun
Kertarajasa, hal itu takkan menimbulkan kegemparan dan
keributan ?" "Suara hati telah dicurahkan dan kehendak pun telah
dituangkan dalam memilih orang yang dipercayainya,
mengapa harus terjadi kekacauan dan keributan pula?" ra Kuti
mengembalikan pertanyaan itu kepada penanyanya.
"Rakryan Kuti" seru demung Samaya "mengapa kita tidak
mengusulkan saja supaya Dewan Mahkota mengangkat gusti
Rani Kahuripan atau gusti Rani Daha untuk mengganti
kedudukan baginda Jayanagara?"
"Apabila hal itu memang menjadi suara dan kehendak hati
rapat besar, kitapun harus dan wajib mentaati. Karena jika hal
itu hanya melalui keputusan Dewan Mahkota, kurasa masih
belum menjamin akan kembalinya keamanan negara.
Hendaknya jangan kita abaikan, bahwa ibarat api, suasana
pura Wilwatikta saat itu, masih membara. Bila angin meniup
pula, bara itu masih dapat menyala lagi"
"Tetapi bagaimana dengan Dewan Mahkota apabila
mengetahui tentang maksud rakryan hendak mengadakan
rapat besar itu?" tanya demung Samaya.
"Soal itu harap ki demung suka mempercayakan kepada
Kuti. Akulah yang akan menghadap Dewan Mahkota dan
menghaturkan hal itu"
"Bilakah rakryan hendak mengadakan rapat besar itu ?"
tanya rangga Jalu. "Besok pagi" kata ra Kuti "karena soal ini tak boleh
berlarut berkepanjangan. Makin lekas selesai, makin baik. Dan
rapat besar itu akan diadakan di paseban Balai Prajurit"
Ketika pulang dari pertemuan, keempat mentri Panca ri
Wilwatikta itupun diiring oleh beberapa prajurit yang
ditugaskan oleh ra Kuti untuk mengawal mereka.
Mengawal keselamatan keempat mentri itu tetapi pun juga
mengawai gerak-gerik mereka sehingga mereka tak
mempunyai kesempatan untuk berunding satu dengan yang
lain. Tengah malam tumenggung Nala menuju ke pintu
tembusan belakang. Ternyata bekel Dipa sudah berada disitu.
Diajaknya Dipa masuk ke dalarn.
"Kerta" kata tumenggung Nala "rupanya keadaan semakin
gawat" Tumenggung Nala lalu menuturkan apa yang telah
dibicarakan dalam pertemuan dengan Dharmaputera tadi.
Selama mendengarkan penuturan itu dengan penuh perhatian,
tampak wajah Dipa mengeriput tegang.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Kerta?" tumenggung
Nala mengakhiri penuturannya dengan sebuah pertanyaan.
"Apa yang gusti katakan tadi, memang benar. Keadaan
semakin gawat bahkan sudah memuncak pada tingkat yang
paling gawat" "Bagaimana anggapanmu terhadap tujuan ra Kuti?" tanya
tumenggung Nala pula. Dipa mengernyit dahi. "Jika hamba tak salah menilai, di balik pertemuan besar
besok pagi itu, ra Kuti mempunyai tujuan yang berbahaya,
gusti" "Benar" kata tumenggung Nala "akupun berpendapat
demikian. Tetapi cobalah engkau paparkan pandanganmu
tentang bahaya2 yang terselubung dalam rapat besar besok
pagi itu. Aku ingin tahu, apakah pandanganmu itu sesuai
dengan pandanganku juga"
Dalam menghadapi keadaan yang sudah gawat dan
berbahaya itu, Dipa tak segan2 memberi tanggapan yang
tegas. "Menurut hemat hamba, gusti" katanya "jelas Dharmaputera mengandung maksud hendak menggunakan
rapat besar itu sebagai sarana untuk merebut kekuasaan
pemerintahan." "Sesuai dengan prasangkaku, Kerta"
"Tetapi hamba belum jelas akan keadaan yang sebenarnya
dalam pemerintahan kerajaan dewasa ini, gusti."
"Maksudmu ?" "Hamba masih ragu, adakah semua gusti mentri, tanda
dan senopati2, akan mendukung maksud rakryan Kuti itu.
Keraguan hamba ini, karena hamba masih gelap akan keadaan
di pemerintahan saat ini. Hamba tak tahu jelas sampai di
mana kekuasaan rakryan Kuti saat ini"
"Dewan Mahkota telah menyerahkan kepercayaan penuh
kepada rakryan Kuti. Ra Kuti telah mengawasi gerak-gerik
meluruh mentri dan senopati. Keraton telah dikuasai, setiap
orang tak boleh bebas keluar masuk keraton tanpa seijin
kepala Dharmaputera itu"
"Sekalipun begitu, hamba masih ragu adakah para mentri
dan senopati itu akan tunduk di bawah perintah rakryan Kuti "
Apakah para gusti itu sudah pudar kesetyaannya terhadap
baginda?" "Yang jelas, para mentri Panca ri Wilwatikta tentu masih
setya kepada baginda" kata tumenggung Nala "tetapi mereka,
andaikata memberi dukungan kepada rakryan Kuti, tak lain
karena terpaksa harus menyesuaikan diri dengan keadaan"
"O" Dipa mengangguk-anggukkan kepala.
"Dalam pertemuan malam tadi" kata tumenggung Nala
"telah kami ajukan pertanyaan kepada rakryan Kuti, mengapa
Dharmaputera mengiakan saja segala tindakan baginda yang
kurang layak selama ini. Misalnya, menyerahkan urusan
pemerintahan kepada patih Aluyuda dan baginda sendiri lebih
mementingkan mencari kesenangan dengan wanita2"
"Lalu bagaimana rakryan Kuti menjawab ?"
"Rakryan Kuti memang amat cerdik dan licin. Dia
mengatakan, terpaksa Dharmaputera harus mengikuti ke
mana angin meniup karena kuatir baginda akan murka dan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menumpahkan kepercayaan seluruhnya kepada patih Aluyuda"
"Suatu siasat yang cerdik tetapi licik" Dipa memberi
tanggapan. "Ya" kata tumenggung Nala "memang demikian gerak
gerik orang yang berkecimpung dalam pemerintahan kerajaan
yang berkabut pertentangan berbagai golongan itu, Kerta.
Orang sering terpaksa melakukan sesuatu di luar kehendak
hatinya. Demi mempertahankan kedudukan, demi melaksanakan cita-citanya. Memang banyak mentri dan
senopati yang jujur, tak sampai hati untuk berbuat demikan.
Mereka rela turun pangkat atau bahkan berhenti daripada
harus berbuat hal2 yang berlawanan dengan hati nuraninya"
Dipa mengangguk-angguk kepala. Penuh dengan
pengertian akan pengalaman2 yang diterimanya dari
tumenggung Nala. "Seperti keadaanku dan para mentri Panca ri Wilwatikta
itu" kata tumenggung Nala lanjut "keadaan telah berkembang
dan meningkat pada suasana yang sangat tidak
menguntungkan bagi kami. Apabila kami mengunjuk sikap
keras menentang ra Kuti, tentulah ra Kuti tak segan2 untuk
menumpas kami" Dipa mengangguk pula. "Mati sebagai mentri jujur yang membela pendirian teguh
mengabdi pada kerajaan dan kebenaran, memang suatu
kematian yang terpuji. Tetapi adakah kematian itu akan dapat
menolong keadaan " Bukankah kebalikannya, dengan
hilangnya mentri2 dan senopati yang jujur dan setya itu, akan
lebih memperkuat kedudukan mereka yang tengah berjuang
untuk merebut kekuasaan ?"
Dipa mengangguk pula. "Oleh karena itu akupun hendak menggunakan cara dari ra
Kuti untuk menghancurkannya"
"O, maksud gusti tumenggung hendak menggunakan
siasat senjata makan tuan?"
"Benar, Kerta" kata tumenggung Nala "rakryan Kuti
memang cerdik, maka kita harus mencekiknya dengan
kecerdikan yang dimiliki itu"
"Gusti" kata Dipa "dalam soal apakah gusti hendak
melakukan siasat 'senjata makan tuan' terhadap ra Kuti?"
"Apa yang akan terjadi besok, kuibaratkan sebagai hasil
karya ra Kuti yang terakhir. Karya itu harus kita gugurkan
bersama penciptanya. Aku akan ikut serta membantu
bangunan istana yang hendak diciptakan itu. Aku ikut
mengangkut batu, ikut memasang tiang2 dan ikut pula
membentuk bangunannya. Dengan demikian dia tentu percaya
kepadaku. Pada saat meletakkan tiang blandar panuwun yang
terakhir, akan kupatahkan tiang blandar itu sehingga akan
ambruklah seluruh bangunannya."
Dipa mengangguk "Hamba tak jelas akan keadaan
kekuatan ra Kuti yang sesungguhnya. Sebagaimana hamba tak
jelas bagaimana kesetyaan para gusti mentri dan senopati
terhadap baginda. Oleh karena itu hamba hanya menurut saja
semua kebijaksanaan yang gusti akan lakukan. Hanya bila
gusti berkenan menerima, hamba akan mohon mempersembahkan pertanyaan"
Tumenggung Nala mempersilahkannya bertanya.
"Ada dua kemungkinan yang menghuni dalam reka pikiran
hamba" kata Dipa "pertama, rakryan Kuti terpaksa akan
menerima salah seorang dari kedua gusti puteri
Tribuanatunggadewi atau Mahadewi. Apabila benar terjadi
demikian, maka gusti mempunyai kesempatan untuk
melaksanakan siasat yang gusti utarakan itu"
"Hm, benar" desuh tumenggung Nala.
"Yang kedua" sambung Dipa pula "apabila rakryan Kuti tak
dapat mengendalikan nafsu dan telah mengadakan persiapan
agar dirinya dipilih sebagai penguasa tertinggi dari kerajaan
Majapahit pada rapat paseban besok pagi. Tentulah paduka
sukar untuk melaksanakan rencana paduka"
"Ya, benar" kata tumenggung Nala termangu sesaat. Pada
lain saat ia menghela napas "apabila demikian perkembangannya memang sukar"
"O" seru Dipa "dengan demikian gusti masih belum
mempunyai suatu rencana untuk menggagalkan keadaan itu?"
"Itulah yang kurisaukan, Kerta" sahut tumenggung Nala
"kuakui, selama beberapa waktu setelah timbul huru hara dan
kekuasaan berada di tangan rakryan Kuti, kami para mentri
Panca ri Wilwatikta sukar untuk mecgadakan hubungan satu
sama lain. Karenanya, aku masih samar2 tentang kekuatan
yang akan berdiri di belakangku apabila aku hendak
menggagalkan keputusan yang berbahaya dalam rapat
paseban besok. Engkau benar, Kerta. Bahwasanya besok
dalam rapat besar itu, ra Kuti tentu sudah mengatur persiapan
yang perlu untuk melaksanakan cita-citanya. Paseban tentu
akan dikelilingi oleh pendukung2 Dharmaputera"
"Jika benar terjadi seperti itu, dapatkah gusti memberi
petunjuk kepada hamba tentang langkah yang hendak gusti
lakukan?" Tumenggung Nala menghela napas.
"Seharusnya aku bunuh diri untuk mentaati laku seorang
ksatrya utama yang bersalah terhadap raja dan kerajaan.
Tetapi telah kukatakan tadi, bahwa kematianku itu hanya akan
memperkokoh kedudukan rakryan Kuti belaka"
"Ya" sahut Dipa.
"Maka mau tak mau, aku terpaksa harus menggunakan
cara mengatur 'senjata makan tuan' dengan pura-pura
mendukung usaha ra Kuti. Hati kecilku tak sampai, nuraniku
menolak, perasaanku tak tenang. Tetapi ketahuilah, Kerta.
Masalah ini menyangkut kepentingan negara, bukan soal suka
tak suka atau senang tak senang. Aku terpaksa harus tetap
hidup agar dapat menumbangkan kekuasaan ra Kuti."
Tiba2 Dipa menghatur sembah, "Hamba peribadi
menghaturkan sembah terima kasih yang setinggi tingginya
atas pengorbanan yang gusti derita, demi pengabdian gusti
kepada baginda dan kerajaan Majapahit"
"Engkau tak usah cemas tetapi pun jangan bersikap
sedemikian terhadap diriku. Ucapan terima kasihmu itu,
bagaikan pedang tajam yang membelah keadaan kita menjadi
dua. Antara dirimu yang mengharap pertolongan dan diriku
yang akan bertindak memberi pertolongan"
"Bukan maksud hamba akan mengarah pada keadaan itu,
gusti" cepat Dipa menjelaskan "tetapi memang demikianlah
perasaan hati baginda terhadap siapapun, baik gusti mentri,
gusti senopati dan lain2 gusti narapraja kerajaan. Setiap
pejuang yang tulus ikhlas memperjuangkan kepentingan
negara Majapahit, hamba pasti akan berterima kasih sekali
kepadanya" "Simpanlah ucapan terima kasihmu itu karena aku tak
merasa memberi pertolongan melainkan melakukan kewajibanku sebagai seorang narapraja kerajaan"
Dipa tak mau melanjutkan pembicaraan mengenai hal
yang kurang penting itu melainkan segera beralih kepada
persoalan yang penting. "Gusti" katanya sesaat kemudian "rapat besar di paseban
Balai Prajurit itu amat penting sekali artinya pada kehidupan
dan nasib kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, hamba mohon
sudilah kiranya gusti berusaha untuk menyelamatkan kerajaan
Majapahit dari suatu malapetaka yang besar"
"Sesungguhnya tanpa engkau minta, aku tentu akan
berusaha sekuat tenaga, Namun aku tetap menerima
permohonan itu dengan penghayatan sedalam-dalamnya" kata
tumenggung Nala "apakah yang engkau maksudkan dengan
malapetaka besar itu?"
"Apabila terjadi kemungkinan kedua yang hamba sebutkan
tadi, di mana rakryan Kuti akan menduduki tempat yang
tertinggi dalam kerajaan Majapahit, hamba kuatir akan pecah
peperangan besar. Gusti Rani Kahuripan dan gusti Rani Daha
serta para adipati pesisir mancanagara, tentu akan
menggempur pura Majapahit"
Tumenggung Nala terbeliak bagai seorang yang habis
berjaga dari tidurnya. "Benar, Kerta. Kukira aku masih
mempunyai kesempatan untuk melemahkan bahkan menghancurkan kekuasaan ra Kuti dengan siasat menggunakan "senjata makan tuan' tadi. Tetapi ulasanmu
yang terakhir itu, benar2 menyadarkan kedelapan pikiranku.
Ya, perang harus dicegah. Aku harus berusaha sekuat tenaga
untuk menggagalkan keputusan rapat paseban besok pagi"
"Maaf, gusti" kata Dipa, "andaikata gusti gagal?"
"Terpaksa aku harus bersabar. Apabila gusti Rani
Kahutipan dan gusti Rani Daha ataupun adipati2 daratan dan
mancanagara menyerang Majapahit, barulah saat itu aku akan
menghancurkan ra Kuti dari dalam"
"Gusti" Dipa memberi sembah "kiranya malam sudah jauh
larut dan banyaklah sudah soal2 penting yang gusti limpahkan
kepada hamba. Perkenankanlah hamba mohon diri dari
hadapan paduka." Dipa mengambil jalan pintu tembusan belakang lagi. Ia
ayunkan langkah pulang ke rumah bekel Asadha untuk
menjumpai kawan-kawannya.
Jalananan sunyi sekali. Tetapi hati Dipa tidaklah sunyi, melainkan berkecamuk.
Angin malam berhembus dingin tetapi tubuh Dipa terasa
panas dibakar bara ketegangan. Besok di paseban Balai
Prajurit akan dilangsungkan rapat untnk menentukan sikap
dan mengambil keputusan tentang diri baginda. Apabila rapat
dipengaruhi dan ditekan oleh ra Kuti, kemungkinan besar
baginda tentu akan diturunkan dari singgasana. Apabila yang
mengganti sebagai raja, salah seorang dari kedua rani, itu
masih mending. Tetapi apabila ra Kuti tampil sebagai
pengganti baginda, tentulah negara Majapahit akan geger.
Demikian pikiran Dipa menimang-nimang pada saat ia
berjalan pelahan lahan menyusur lorong yang sunyi.
Ia mendapat kesan, bahwa tumenggung Nala dan para
mentri Panca ri Wilwatikta, sudah dilucuti kekuasaannya oleh
ra Kuti. Bahkan secara tak langsung, keempat mentri utama
itu telah dikuasai ra Kuti dengan menempatkan prajurit2
anakbuahnya, menjaga gedung kediaman mereka.
"Ah, tipis benar harapan kemungkinan tumenggung Nala
akan mampu bertindak menggagalkan keputusan rapat
paseban itu" pikirnya "dengan tindakan itu, dapatlah ditarik
kesinpulan bahwa nyata2 ra Kuti telah memiliki kekuasaan
besar. Ia dapat membatasi gerak gerik keempat mentri Panca
ri Wdwatikta. Ia pun tentu dapat menguasai pasukan
kerajaan. Ah, sungguh berbahaya. Dengan menguasai
pasukan kerajaan, ra Kuti tentu dapat memberi tekanan
kepada sidang paseban, untuk memilihnya sebagai pimpinan
kerajaan Majapahit" Berpikir sampai pada keadaan semacam itu, perasaan Dipa
makin tegang. Tubuhnya mulai mengucurkan keringat dingin.
"Tetapi masalah gawat tak seharusnya terbeban pada ki
tumenggung seorang. Dan akulah yang seharusnya
bertanggung jawab akan soal ini. Baginda telah melimpahkan
kepercayaan kepadaku, betapa nista dan cela apabila aku tak
dapat melaksanakan tugas itu" demikian kemelut renung yang
berlalu-lalang dalam hati Dipa.
Makin penuh benaknya menampung masalah yang
merentang di hadapannya, masalah yang gawat di mana nasib
kerajaan Majapahit akan terjadi suatu perobahan dan terjadi
penentuan pula akan kedudukan baginda Jayanagara di
singgasana, langkah Dipa pun makin sarat. Memang seberatberat kaki membawa tubuh, masih berat pula tubuh
menampung pikiran yang gelisah.
Pikiran memang merupakan pokok penting dalam gerak
manusia. Pikiran merupakan sumber yang luas tanpa habishabisnya. Sumber itu akan mengalir deras, menumpahkan air
bah dan kuasa membinasakan segala benda yang
diterjangnya. Tetapi sumber itu akan merupakan suatu telaga
yang tenang, bening dan menyejukkan. Demikian pula dengan
sumber pikiran manusia. Apabila tak terkendalikan, apabila
mendambakan maya dan berhamba pada nafsu2 syaitan,
maka dia akan merupakan kekuatan mahasakti yang mampu
menghancurkan manusia. Hanya orang yang dapat
mengendalikan dan menyalurkan pikiian ke arah ketenangan
dan penerangan, dia akan berbahagia dan membahagiakan
manusia. Tiba2 timbul dalam hati Dipa untuk beristirahat. Segera ia
menghampiri sebatang pohon anjiluang yang rindang di tepi
jalan. Ia ingin menenangkan pikiran, menyepikan hatinya. Ia
ingin melepaskan diri dari himpitan pikiran yang menimbuni
lubuk hatinya. Ia irgin terhindar dari lingkaran keresahan dan
kegelisahan. Karena dalam lingkaran itu, ia seperti hanyut
dalam kisaran air sungai sebagaimana dahulu semasa kecil ia
sering mengalami apabila mandi di sungai.
Ia merasa semakin bingung dan gelisah, semakin pula
benaknya keruh dan gelap. Makin keras keinginannya untuk
mencari pemecahan, makin jauh ia terpisah dari persoalannya.
Seketika teringat ia akan nasehat brahmana Anuraga, agar


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap kali ia menjumpahi kesulitan yang tak dapat diatasi,
harus segera lari dan lepaskan segala kesulitan itu. Dikala
engkau sudah berada di luar dari kisaran kesulitan itu, engkau
tentu dapat melihat jelas bentuk dan masalah yang
sebenarnya dari kesulitan itu. Demikian kata brahmana
Anuraga. Maka duduklah Dipa bersila mengheningkan cipta,
membersihkan pikiran dari segala bintik2 kecemasan,
ketakutan dan kegelisahan.
Malam sunyi. Makin sunyi. Cakrawala pun makin kelam.
Seluruh penjuru bagaikan hampa. Angin malam berhembus
membawa hawa dingin dari gumpal2 kabut yang akan
membentuk percik embun. Dalam keheningan yang lelap dan
kesunyian yang kelam itu, mulailah ketegangan pikiran Dipa
berangsur angsur mengurai. Bagaikan kabut awan yang
berhamburan mencurah ke bumi sebagai cairan air hujan,
demikianlah kabut keruwetan yang menebar dalam benak
Dipa. Pelahan-lahan tetapi tentu, lapisan jaringan syaraf
benaknya yang mengejang regang itupun mulai mengendor,
makin mengendur dan tenang. Kemudian laksana kabut awan
yang sudah menggumpal cairan air dan turun ke bumi, makin
lama makin tipis dan hilang. Maka tampak pula sinar terang
dari sang surya. Demikian halnya dengan Dipa. Setelah kabut
kegelisahan itu lenyap, maka pikirannya pun mulai mengendap
dan akhirnya bening jernih.
Kejernihan itu melambungkan renungannya ke sesuatu
yang pernah di alami dan didengarnya. Sesuatu yang menjadi
sumber kekuatan batin, dikala ia sedang dirundung
kebimbangan dan kegelisahan.
"Bhagawa i Bhisma, pandita Drona dan maharaja Salya,
adalah tokoh2 yang sakti. Tetapi dalam perang Bharatayuda di
Tegal Kurusetra, ketiga tokoh sakti itu telah gugur dan kalah
yudanya melawan Pandawa"
"Wah, jika demikian Pandawa itu memang ksatrya yang
paling sakti tiada tandingnya" seru Dipa dikala ia mendengar
demang Surya malam itu menceritakan tentang peperangan
besar antara kerajaan Astina lawan Pandawa.
Demang Surya saat itu tersenyum. "Tidak, Dipa.
Ketahuilah, kelima saudara Pandawa tak mungkin mampu
menandingi kesaktian dari ketiga tokoh itu. Bahkan pandita
Drona itu adalah guru dari Pandawa"
"O, mengapa guru kalah dengan muridnya?" tukas Dipa.
"Bukan kalah, Dipa" sahut demang Surya "tetapi
menyerahkan diri, mengiklaskan jiwanya kepada Pandawa.
Sebab apa?" "Mereka amat kasih kepada Pandawa"
"Ya, memang benar. Tetapi engkau tahu mengapa mereka
kasih kepada Pandawa. Bukankah ketiga tokoh itu hidup dan
mengabdi pada raja Astina" Mengapa mereka malah kasih dan
menyerah kepada Pandawa yang menjadi musuh Astina?"
"Mungkin hati mereka bercabang, mungkin berkhianat"
sahut Dipa dengan santai. Dia masih seorang anak kecil. Apa
yang terkandung dalam hati, tentu diluapkan dalam kata2.
"Kasih itu ada dasarnya, Dipa" kata demang Surya pula
setelah Dipa mengatakan tak tahu "dasar kasih dari ketiga
tokoh yang sakti itu tak lain hanyalah bersumber pada
Kesucian dan berpangkal pada Kebenaran. Mereka tahu jelas
bahwa fihak Pandawa yang benar dan Korawa yang salah,
yang angkara. Resi Bhisma, pandita Drona dan prabu Salya
tebh menetapi kewajibannya dalam agama yang dianutnya.
Mereka telah menetapi derajatnya sebagai seorang resitama,
seorang pandita linuwih dan seorang raja ksatrya yalah
memberi hadiah yang tertinggi derajatnya. Hadiah jiwa dan
raga. Hadiah pengorbanan itu disebut Mahati dana. Mahati
dana hanya dapat dilakukan oleh orang2 yang berjiwa besar
sebagai coba dan ujian yang berat dari Hyang Maha Agung
untuk menguji kebesaran jiwanya. Mahati dana, suatu
pengorbanan yang dilakukan secara tulus ikhlas tanpa
mengharap suatu" Saat itu anak sekecd Dipa tercengang
mendengarkan uraian dari demang Surya.
cengang "Ada pula sebuah cerita yang mungkin akan lebih jelas
pada penangkapanmu, Dipa" kata demang Surya. Cerita ini
berasal dari kakawin SUTA SOMA. Sang Sutasoma
menyerahkan diri kepada seekor induk harimau yang
kelaparan dan hendak memakan anaknya sendiri yang sedang
disusuinya. Karena belas kasihan kepada anak harimau itu
maka sang Sutasoma segera menyerahkan diri kepada induk
harimau itu supaya diminum darahnya dan dimakan
dagingnya. Ia rela menggantikan anak harimau itu asal induk
harimau jangan memakan anaknya yang tak bersalah itu ....."
"O, adakah di dunia terdapat manusia yang seluhur jiwa
Sutasoma, eyang?" tanya Dipa.
"Engkau, aku dan setiap orang dapat melakukan Mahati
dana. Soalnya, mau dan beranikah kita melakukannya ?"
Dipa terlongong-longong. "Mahati dana adalah suatu pengorbanan yang tulus dan
ikhlas tanpa mengharap pamrih. Pengorbanan dapat engkau
lakukan demi membela negara, rakyat dan insan manusia.
Demi membela Kebenaran dan Keadilan. Demi membela
keagungan Hyang Maha Agung dan demi membela agama.
Yah, banyak nian mahati dana yang dapat engkau lakukan.
Lebih2 di kala engkau menunaikan tugas dan kewajiban yang
menyangkut kepentingan negara, rakyat dan sesama-manusia,
di situlah engkau harus menumpahkan danamu"
Agak tergetar tubuh Dipa dari duduknya ketika terngiang
ucapan dari demang Surya, pada waktu berada dalam pondok
di tengah hutan dahulu. Saat itu ia masih terlalu kecil untuk
menghayati apa yang dikatakan demang Surya sebagai
mahatidana. Kini baru ia menyadari bahwa ada suatu dana yang jauh
lebih berharga, lebih luhur yang dapat disumbangkan oleh
seseorang kepada negara, masyarakat dan sesama manusia.
Kepada tegaknya Kebenaran dan Keadilan serta Kesucian.
Merekah sepercik sinar dalam kehampaan hati Dipa. Hati
yang habis terselubung oleh kegelapan dan kegelisahan.
Titik cahaya itu hanya merupakan pelepasan dari selubung
kegelapan. Namun masih memerlukan suatu dorongan batin
dan kebulatan tekad untuk melangkah ke arah titik terang itu.
Dan bercengkeramalah Dipa dalam renungan lanjut.
"Segala gerak manusia, dipengaruhi oleh pikiran.
Bagaimana corak dan hasil dari gerak perbuatannya,
tergantung dari bagaimana cara pikiran itu melepaskan diri
dari pengaruh yang mengganggunya. Ada lima macam
rintangan yang mempengaruhi pikiran, yakni: Nafsu keinginan
indriya yang menyebabkan pikiran kita melantur. Nafsu jahat,
benci dan marah yang menyebabkan pikiran kita kecewa dan
marah. Kemalasan dan Kelesuan yang menyebabkan
semangat kendor, pikiran tumpul. Kegelisahan dan Kekesalan
yang dikarenakan batin tak teguh, tidak tenang dan cemas.
Ragu-ragu dan bimbang yang menyebabkan kita tak
mantap..... Untaian kata2 mutiara itu berhamburan dari ucapan
brahmana Anuraga. Ya, ketika dahulu Dipa mempunyai
kesempatan untuk menyertai dan berkumpul dengan paman
brahmana muda itu. Dipa merasa kepalanya seperti tersiram sepercik air dingin.
Seketika ia membias kepala menegar semangat. Darah pun
mengalir lebih deras membentuk kehangatan tubuh dan
kecerahan pikiran. Dia tak merasa dingin di malam sedingin
itu. Diapun tak merasa gelap, dalam cuaca sepekat itu. Ada
sesuatu yang telah menyembul dalam batin, merekah dalam
pikiran. Mengapa bimbang, mengapa ragu-ragu " Bukankah
kebimbangan dan keragu-raguan itulah yang menyebabkan
batin goyah, hati gelilah dan pikiran cemas, Bukankah
kegelisahan dan kecemasan itu yang menyebabkan pikirannya
gelap sehingga kehilangan arah yang ditujunya.
Mahati dana, mengorbankan jiwa raga untuk menunaikan
tugas demi negara, sudah merupakan amanat yang
mencanang dalam dada setiap pejuang, setiap prajurit dan
seciap pengemban tugas. Manakala bersua pada sesuatu yang pernah diketahui dan
dirasakan sebagai sesuatu yang meneguhkan batin dan
mempertebal tekad itu, maka bergeraklah kaki Dipa dari
lipatan silanya. Dan ada sesuatu perasaan baru dalam hatinya.
Hatinya terasa mantap, pikiran pun terang. Dan secepat itu,
iapun telah berhasil membayangkan sematu langkah yang
akan ditindakkan besok. Besok pada saat nasib kerajaan
Majapahit dan baginda Jayanagara akan dibicarakan dalam
rapat paseban oleh seluruh mentri dan narapraja kerajaan.
Ia harus berani bertindak untuk mengagalkan kesemuanya
itu. Walaupun hal itu tidak mudah bahkan kecil sekali
kemungkinan berhasil, namun ia tetap akan bertindak. Karera
tanpa suatu usaha, tak mungkin segala kehendak dan cita2 itu
akan terlaksana. Bahwa usaha itu akan berhasil atau gagal,
bukan harus menjadi sebab untuk mempengaruhi tekadnya.
Yang penting ia berusaha dengan langkah yang nyata. Ia tak
mau membayangkan kesukaran dan kegagalan karena hal itu
hanya akan mengedorkan kemauan. melemahkan semangat.
Ia pun tak mau membayangkan berhasil karena hal itu akan
menimbulkan kekecewaan dan kesedihan apabila kegagalan
yang dijumpainya. Tidak, dia tak mau membayangkan
sesuatu. Dia hanya membulatkan tekad untuk menghadapi
rapat paseban besok pagi. Betapa dan apapun yang akan
terjadi, dia sudah memiliki suatu landasan berpijak. Suatu
landasan yang bersumber pada uraian Mahati dana dan
ketenangan hati yang sudah mantap.
Walaupun saat itu kakinya sudah mulai berayun
meningkah jalan, walaupun hatinya sudah tenang dan pikiran
terang. Namun belumlah berarti bahwa kesemuanya sudah
beres. Apa yang diperolehnya, barulah suatu tekad yang bulat.
Bagaimana hendak mengatasi masalah berat besok pagi itu,
masih belum terjangkau dalam pikiran. Dan sadarlah ia bahwa
menghadapi masalah segawat itu, tidak hanya kebulatan tekad
bekalnya, pun harus disertai suatu rencana yang tepat,
langkah yang tegas. Manakala membayangkan sidang paseban besok pagi itu,
benak Dipa pun mulai berdenyut denyut keras. Akhirnya ia
memutuskan untuk beristirahat lagi agar dapat menyelami dan
merenungkan masalah itu sebaik-baiknya.
Ia memilih sebuah batu yang
menyandar sebuah batang pohon jeruk.
kebetulan terletak "Ra Kuti dan Dharmaputera tentu telah mengadakan
persiapan yang lengkap dalam sidang paseban itu" mulai Dipa
menelaah "pengaruh dan jumlah mereka tentu amat besar.
Dengan kekuatan itu, mereka dapat mempengaruhi pikiran
orang banyak dalam mengambil keputusan. "Ah," ia menghela
napas kecil "kalau mengingat penuturan tumenggung Nala,
jelas keempat mentri Panca ri Wilwatikta itu sudah tak mampu
menentang Dharmaputera. Mereka hendak menggunakan
siasat berganti warna macam bunglon. Jelas suatu sikap yang
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
takut. Takut karena merasa kalah kuat dan kalah pengaruh
....." Membayangkan hal itu, meremanglah buluroma Dipa.
Dalam keadaan seperti itu, jelas keputusan akan lahir menurut
apa yang dikehendaki Dharmaputera. Mulai berhamburanlah
percik2 kecemasan dalam lubuk hati Dipa.
"Apakah aku harus langsung membunuh rakryan Kuti dan
para Dharmaputera ?" tiba2 timbul suatu pertanyaan dalam
hatinya. Suatu pertanyaan yang aneh dan lahir dari kenekadan
batinya. Namun sesaat kemudian, disanggahnya pertanyaan
itu dengan bayang2 keraguan "sudah pasti dalam sidang besar
yang penting itu, Dharmaputera tentu mempersiapkan orang
orangnya untuk menjaga keamanan dan kemungkinan2 yang
tidak diharap. Setiap gerak gerikku untuk mendekati rakryan
Kuti, tentu cepat akan menimbulkan kecurigaan mereka."
Dipa makin gelisah. Mengorbankan jiwa raga, bukan soal
baginya. Walaupun ia sudah menghayati arti daripada mahati
dana, namun suatu langkah yang acak-acakan, hanya
menghasilkan pengorbanan yang sia2 tanpa tujuannya
berhasil. Pada hal yang penting, bukan soal berkorban jiwa
tanpa pamrih, melainkan bagaimana dapat menyelamatkan
kerajaan Majapahit, bagaimana dapat mengembalikan baginda
ke tahta singgasana lagi, bagaimana dapat memulihkan
keamanan dan menegakkan kewibawaan kerajaan. Dan yang
paling penting yalah bagaimana hendak menyelamatkan
negara dari bencana kekacauan.
Dikala keresahan makin mengembang dalam hati Dipa,
tiba2 matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang
ganjil. Beberapa kaki di sebelah muka, dari bawah lingkaran
semak dan akar, muncul seekor belalang besar yang bergerakgerak pelahan lahan di tanah. Rupanya belalang itu hendak
menuju ke pohon jeruk di sisi Dipa.
Belalang berjalan di tanah, sesanggahnya bukan satu hal
yang aneh bagi Dipa yang pernah melihat hal tersebut.
Tetapi keheranannya timbul, mengapa belalang itu
berjalan, tidak melompat atau terbang. Rasa heran itulah yang
mendorong Dipa mengamati dengan seksama. "Ah" tiba2 ia
mendesuh panjang. Ternyata belalang itu memang berjalan
tetapi bukan berjalan atas kehendaknya sendiri, melainkan
diangkut oleh beribu-ribu ekor semut. Dipa pun geleng2
kepala. Ia merasa, mungkin terlalu tegang sehingga mudah
terangsang oleh sesuatu yang menimbulkan keheranannya.
Dalam pada itu pandang matanya masih tetap melekat dan
mengawal perjalanan belalang. Ribuan ekor semut itu menarik
korbannya menuju ke liang sarang mereka. Jelas bahwa
belalang itu sudah mati. Tiba2 ada sesuatu yang melintas dalam benak Dipa.
Sesuatu yang tinbul dari kesan yang ddilihatnya saat itu.
Belalang itu bertubuh besar sekali, memiliki sayap yang dapat
terbang. Tetapi mengapa dia menyerah pada kawanan semut
yang jauh lebih kecil. "Ah" Dipa mendesis "semut memang binatang yang hebat.
Walaupun kecil, mereka mempunyai rasa persatuan yang tidak
dipunyai oleh jenis binatang yang lain. Persatuan itu lah yang


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadikan binatang semut, paling ditakuti oleh penghuni
hutan lainnya" Serentak Dipa pun teringat ketika masih kecil, pernah ia
mendengar orang2 di desanya berceritera tentang
pertarungan antara semut lawan gajah. Gajah yang
diagungkan sebukti raksasa darat,
melawan binatang semut yang kecil.
akhirnya menyerah Saat itu timbullah perpaduan antara cerita yang
didengarnya waktu masih kanak2 tinggal di desa, dengan
kenyataan yang dilihatnya saat itu.
"Benar, semutlah yang sesungguhnya binatang yang
paling kuat" akhirnya ia merangkai kesan "senjata mereka tak
lain adalah persatuan ..."
Merenungkan soal kekuatan persatuan itu, segera Dipa
membayangkan pula peristiwa yang telah terjadi di pura
kerajaan. Bukankah huru-hara itu timbul dari persatuan rakyat
yang termakan oleh hasutan orang " Lepas dari penilaian
bahwa gerakan itu bersifat kraman, suatu hal yang
membahayakan keselamatan kerajaan Majapahit, tetapi
persatuan yang berhasil dijeratkan kepada rakyat oleh
biangkcladi gerakan itu, benar2 memang menunjukkan
kekuatan yang hebat. "Ah, orang yang menjadi biangkeladi gerakan itu, memang
pintar sekali. Dia dapat menyelami hakekat dari kekuatan
persatuan" Dipa merenung "hanya orang semacam rakryan
Kuti dan Dharmaputera lah yang memiliki kemampuan untuk
menggelorakan persatuan perusuh itu"
Tiba2 pula Dipa teringat akan pembicaraannya dengan
tumenggung Nala. Bahwa tumenggung itu hendak
menjalankan siasat menyelimuti diri untuk kemudian
memakankan senjata itu kepada tuannya atau kepada pemilik
senjata itu. Hal itu akan dilakukan tumenggung Nala dalam
keadaan yang terpaksa dimana segala kemungkinan usaha
lain untuk menentang Dharmaputera telah buntu.
Dipa terbeliak ketika ada sesuatu yang menyelinap dalam
benaknya, "Ah, mengapa aku tak mencontoh siasat
tumenggung Nala " Siasat 'senjata makan tuan' tidak terbatas
pada sikap menyelimuti diri untuk menghilangkan kecurigaan
orang. Tetapi pun juga dapat digunakan secara serentak pada
saat2 yang penting. Rakryan Kuti telah menggunakan
keampuhan dari kekuatan persatuan rakyat untuk menyulut
huru-hara. Mengapa tak kugunakan cara itu untuk
menghancurkannya ?" Dipa membayangkan bahwa dalam sidang paseban yang
akan dilangsungkan besok hari, selain mentri narapraja dan
nayaka senopati tentu juga prajurit2 dan rakyat akan
mengikuti sidang penting itu. Rakryan Kuti tentu akan mencari
dukungan yang seluas-luasnya untuk mencapai tujuannya.
Apabila suasana itu dapat diputar balikkan, bukankah akan
terjadi peristiwa 'senjata makan tuan'.
Makin melanjut renungan Dipa. Ia ingin mencapai suatu
penemuan yang tepat untuk memecahkan kesulitan kesulitan
yang akan dihadapinya. Tiga hal telah diperolehnya. Pertama,
kebulatan tekad. Kedua, arah yang akan dituju. Ketiga, siasat
untuk menghadapi lawan. Dan sekarang ia membutuhkan cara
untuk melaksanakan siasat itu. justeru yang terakhir itu
merupakan titik penyelesaian dari karya yang akan diciptakan.
Pelaksanaan merupakan sarana terakhir dari tujuan yang
dicita-citakan. Ia telah memutuskan untuk menggunakan siasat "senjata
makan tuan' terhadap Dharmaputera. Tetapi apa dan
bagaimana cara dan bentuk siasat yang hendak dijalankan itu"
Tiba2 ia teringat akan iring-iringan semut yang
mengangkut belalang besar tadi. Bukankah hanya persatuan
yang menjadi senjata utama dari binatang sekecil semut itu"
Bukankah persatuan yang digunakan rakryan Kuti untuk
menggerakkan huru hara kraman itu" A h, mengapa ia tak mau
menggunakan kekuatan sakti dari persatuan itu untuk
menghapus nafsu angkara Kuti"
Sekarang mulai cairlah kesulitan yang membeku dalam
pikiran Dipa. Menggunakan siasat 'senjata makan tuan' kepada
Kuti, hanyalah dengan mengerahkan kekuatan para hadirin
yang bersatu. Untuk menggalang persatuan itu, ia harus dapat
mempengaruhi pikiran mereka agar menentang ra Kuti.
"Tetapi ah ....." diam2 Dipa menghela napas "sebagian
besar dari yang hadir tentulah mereka yang sudah dipengaruhi
dan dikuasai Kuti. Mungkinkah aku dapat merobah pendirian
mereka " Dengan cara bagaimanakah pikiran mereka dapat
dipengaruhi?" Dipa termenung-menung. 0o-dwkz-mch-o0 III Suasana pura Wilwatikta terasa tegang dan sibuk. Jalan2
sepi. Pekanpun kosong. Terasa suatu keanehan yang ganjil
dalam suasana hari itu. Orang2 tua dan yang setengah baya pernah mengalami
suasana seperti itu. Yalah dikala raden Kala Gemet, putera
mahkota kerajaan Majapahit, diwisuda dalam upacara
kebesaran keraton yang agung, sebagai baginda Jayanagara,
nata binatara kerajaan Wilwatikta menggantikan ayahandanya
rahyang ramuhun Sri Kerta Rajasa.
Pada hari itu, seluruh kawula pura Wilwatikta bersuka ria.
Para pandita, resi, brahmana dari golongan Syiwa dan
Buddha, sibuk melakukan upacara doa keselamatan dan
kebahagiaan untuk baginda yang masih muda belia itu. Rakyat
berbondong-bondong menyaksikan penobatan itu di alun2
keraton. Pesta pora diadakan selama tujuh hari tujuh malam.
Pura Wilwatikta penuh sesak menyambut para akuwu,
adipati dari mancanagara yang hendak menghadiri upacara
penobatan agung itu. Merekapun pernah mengalami suatu masa di mana
suasana pura tampak mengunjukkan kesibukan2 yang. sangat
berlainan dengan hari2 biasa. Di mana rakyat pura merasa
perihatin dan was-was. Prajurit2 sibuk berlatih berbaris, para
nayaka dan senopati sibuk ke luar masuk istana. Dan puncak
dari kesibukan itu terjadi ketika seluruh kawula pura
Wilwatikta berbondong-bondong menuju ke alun2 atau keluar
jalan besar untuk mengantar keberangkatan pasukan kerajaan
Majapahit ke Lumajang. Baginda sendirilah yang memimpin
pasukan untuk menumpas pemberontakan mahapatih Nambi
di Lumajang. Antara suasana kesibukan penobatan baginda Jayanagara
dengan persiapan perang ke Lumajang terdapat suatu iklim
yang berbeda. Yang satu, rakyat bersukacita. Yang satu,
rakyat gelisah. Walaupun kedua peristiwa itu sama2 merobah
suasana pura ke arah kesibukan yang luar biasa.
Yang paling aneh adalah peristiwa ketiga. Di dalam
suasana kehidupan sehari hari yang tenang, damai dan
kesibukan2 melakukan pekerjaan sehari-hari, mereka harus
mengalami malam yang menggoncangkan. Di pura telah
timbul huru hara besar yang sifatnya bertujuan hendak
mengadakan kraman, menyerang tempat kediaman patih
Aluyuda dan menyerbu ke keraton.
Dan sejak timbulnya peristiwa itu hingga beberapa hari
kemudian, suasana pura Wilwatikta kembali berobah sunyi
yang tegang atau tegang yang sunyi. Kesunyian yang
mengandung ketegangan, ketegangan yang berselubung
kesunyian. Beda pula sifat suasana kali ini dengan kedua peristiwa
yang dahulu itu. Dan puncak dari ketegangan dan kesibukan
yang mencengkam hari itu, yalah menyemutnya rakyat ke
alun2. Sebelumnya bentara-bentara telah menyiarkan wara2
tentang akan dikeluarkannya pengumuman dari kerajaan
mengenai keadaan kerajaan saat itu.
Ibarat orang naik kapal di tengah samudera yang sedang
diamuk prahara, mereka ingin lekas mencapai pantai dengan
selamat. Setiap harapan dan keinginan yang keras, mudah
menimbulkan ketegangan2 maka setiap benda ataupun
perobahan yang tampak di permukaan laut, tentu mudah
menarik perhatian. Demikian dengan para kawula pura
kerajaan dewasa itu. Sejak terjadi huru hara, hanya kabar2 angin yang tersebar
luas di kalangan rakyat. Mereka mendengar bahwa baginda
telah lolos dari keraton. Bahwa patih Aluyuda telah
menghilang. Bahwa kekuasaan pemerintahan telah dipegang
oleh Dharmaputera. Sekian banyak bahwa sekian banyak pula
warna dan corak berita2 itu. Tetapi mereka tak tahu jelas
bagaimana keadaan yang sesungguhnya.
Kini harapan mereka terkabul dan mudah-mudahan akan
dapat mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Pemerintah
kerajaan hendak menurunkan pengumuman tentang peristiwa
huru hara, tentang diri baginda, patih Aluyuda dan tentang
keadaan singgasana kerajaan.
Surya belum mencapai sepenggalah tetapi alun2 sudah
penuh orang. Paseban ksatryan atau Balai Prajurit telah siap
dengan prajurit2 yang tegak berbaris di muka serambi.
Beberapa prajurit yang berpangkat bekel keatas, berdatangan
memasuki paseban ksatryan itu. Demikian pula dengan para
narapraja yang tinggi pangkatnya. Para demang, gusti, tanda
dan lain2. Di dalam paseban ksatryaan telah disiapkan tempat duduk
untuk para mentri dan senopati. Yang lain2 duduk dilantai,
sesuai dengan tinggi rendahnya pangkat masing2.
Bahwa pada tiap tanggal satu bulan Caitra yani bulan
pertama, maka di Balai Prajurit yang terletak di alun2 itu
dipergunakan untuk musyawarah besar dari para mentri,
tanda, gusti, pembantu raja, juru, buyut, akuwu dari dalam
maupun luar pura, para aria, para pandita dari tiga aliran
agama. Maksud musyawarah itu terutama untuk meresapkan
ajaran Rajakapakapa yang telah dijadikan haluan negara. Pada
permulaan pertemuan maka dibacakanlah ajaran Rajakapakapa itu yang pada hakekatnya, berpangkal pada
ajaran2 tentang laku utama.
Dan kini paseban ksatryan Balai Prajurit itupun dijadikan
pula tempat musyawarah besar walaupun saat itu bukan
tanggal satu, bukan pula bulan Caitra. Dan acara dari rapat
besar di situ, pun bukan untuk meresapkan ajaran
Rajakapakapa, melainkan untuk menentukan suatu pengumuman mengenai keadaan kerajaan.
Beberapa saat kemudian terdengar pekik dhirgahayu
ketika kanuruhan Anekakan tiba. Kemudian berturut-turut
pekik pujian itu menggema ketika mentri Panca ri Wilwatikta
tiba. Kemudian tibalah puncak kemeriahan doa puji
dhirgahayu manakala masuknya rakryan Dharmaputera. Ra
Kuti, ra Semi. Padagsa, Wedeng dan ra Yuyu. Dharmaputera
hanya lima orang karena yang dua, ra Tanca masih berada di
Daha dan ra Banyak masih menuju ke barat untuk mencari
Kebo Taruna. Keempat mentri Panca ri Wilwatikta terutama tumenggung
Nala diam2 amat terkejut ketika menyaksikan kesan yang
sedemikian gempar dalam menyambut kehadiran kelima
Dharmaputera. Diam2 tumenggung Nala makin membenarkan dugaannya
bahwa suasana rapat paseban itu sudah dikuasai oleh
Dharmaputera. Dan berkemaslah tumenggung itu dalam hati
untuk menghadapi rapat besar itu. Apa pun yang akan terjadi.
Demikian pula dengan kanuruhan Anekakan, demung
Samaya dan rangga Jalu. Ketiga mentri itupun mengerut hati,
menjalin kesan dan merangkai langkah untuk menghadapi apa
yang akan terjadi dalam rapat besar itu.
Beberapa saat setelah mentri Wilwatikta dan Dharmaputera hadir, maka bendepun bergema nyaring
sebagai pertanda bahwa musyawarah akan dimulai.
Seketika heninglah seluruh suasana paseban. Beribu-ribu
mata segera mencurah kearah rakryan Kuti ketika kepala
Dharmaputera itu berbangkit dari tempat duduk dan mulai
mengalunkan suara. Setelah mengantarkan pembukaan kata
dengan menyebut para mentri, senopati, gusti, tanda, arya
sebagai tuan2 yang terhormat tulang punggung kerajaan
Majapahit. Menyebut pula para prajurit sebagai bayangkara
negara yang gagah perkasa. Kemudian mengantar salam
mesra kepada segenap rakyat sebagai kawan setanah air yang
amat dicintainya maka ra Kuli segera melanjutkan kata-kata.
"Sebagaimana tuan2 maklum, paseban Balai Prajurit ini
pada tiap tahun tanggal satu bulan Caitra, dipakai untuk
menyelenggarakan rapat besar dari segenap lapisan narapraja
dan nayaka kerajaan Majapahit. Dan pada saat itu baginda
tentu berkenan melimpahkan firman ajaran Rajakapakapa.
Demikian pula pada saat ini"
"Musyawarah besar ini, bukan saja untuk meresapkan
ajaran2 kitab Rajakapakapa, pun tuan2 sekalian diminta untuk
mengamalkanrya" Terdengar desah pelahan menggema halus dalam paseban
itu. Desah dari segenap yang hadir.
"Pada pokoknya, ajaran Rajakapakapa itu adalah suatu
peresapan daripada penghayatan ajaran yang utama yakni
tanggung jawab para narapraja dan prajurit terhadap
kerajaan" kata ra Kuti.
Sesungguhnya makna daripada tanggung jawab akan
kewajiban sebagai seoraug narapraja prajurit itu amat luas
sekali ....." "Menyelami hal itu, marilah sejenak kita renungkan pula
bab pertama dari pada pokok ajaran kitab Rajakapakapa yang
telah dijadikan haluan negara Majapahit. Arti dari pada kata


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantri itu adalah ma berarti mapan luhung dan tri yalah tiga,
tiga sifat utama yakni setya, sadu dan tuhu. Demikian ketiga
sifat utama itu harus menjadi milik dari setiap narapraja yang
benar2 hendak mengabdi kepada negara Majapahit"
"Ketiga sifat utama itu" demikian ra Kuti melanjutkan
"pada hakekatnya merupakan landasan pokok dari tanggung
jawab yang harus dipersembahkan kepada kerajaan ....
Pada saat ra Kuti sampai pada uraian itu, sekonyong
konyong di luar paseban terdengar derap kuda mencongklang.
Derap kuda itu cepat terdengar karena suasana rapat pada
saat itu hening sunyi, seluruh yang hadir sedang
menumpahkan perhatian untuk mendengarkan uraian rakryan
Kuti. Dan cepat pula mereka dapat mendengar bahwa makin
lama derap kuda lari itu makin jelas. Berarti kuda itu makin
dekat, berarti pula kuda itu sedang berlari menuju ke Balai
Prajurit tempat permusyawarahan.
Entah bagaimana ra Kuti pun hentikan pembicaraan. Agak
heran ia merasa, mengapa tiba2 akan datang seorang yang
naik kuda. Jika dia hendak menghadiri rapat paseban itu,
tentulah cukup berjalan kaki. Seketika benak ra Kuti
membayangkan dua kemungkinan. Jika pendatang itu bukan
narapraja atau kepala daerah dari mancanagara, tentulah
seorang utusan yang penting. Ataukah ..... ah, tak berani ia
membayangkan kemungkinan terakhir itu. Karena kemungkinan itu hanya membawa akibat yang sukar
diduganya. Rakryan Kuti hendak memberi perintah kepada penjaga
supaya membawa pendatang itu masuk. Tetapi sebelum
sempat mengeluarkan perintah, terdengar kuda itu berhenti di
muka paseban. Terdengar pula teriakan dari beberapa penjaga
yang menyongsong. Beberapa saat kemudian terdengar derap langkah orang
berjalan memasuki ruang paseban dan pada lain kilas, ra Kuti
segera melihat beberapa penjaga sedang mengiring seorang
anakmuda dalam pakaian sebagai seorang bekel bhayangkara
keraton. Beribu-ribu mata segera menumpah ruah ke arah bekel
muda itu. Perawakannya tegap, wajahnya berwibawa dan
sepasang matanya berkilat-kilat tajam.
Tumenggung Nala terbeliak. Tanpa disadari mulutnya
mendesuh pelahan, "Kerta ..."
Memang pendatang itu bukan lain adalah Dipa, bekel
muda dari pasukan bhayangkara keraton Majapahit yang
mendapat kepercayaan dari baginda Jayanagara untuk
mengiringkan baginda lolos dari keraton Tikta-Sripala.
0o-dwkz"mch-o0 JILID 33 I MUNCULNYA seorang muda dalam pakaian sebagai
seorang bekel prajurit bhayangkara keraton Tikta-Sripala,
cepat membangkitkan rasa heran dan kejut. Apalagi bekel
prajurit-dalam itu menunggang seekor kuda. Beratus-ratus
pasang mata serempak mencurah kepada bekel muda itu.
Panca ri Wilwatikta dan Dharmaputera lebih tersengat
perhatiannya manakala mereka terpercik dalam renung
ingatan mereka bahwa jumlah pasukan bhayangkara dalam
keraton, berkurang beberapa belas orang karena mengawal
baginda lolos dari pura. Apabila bekel muda itu termasuk salah seorang
bhayangkara yang ikut mengawal beginda, dia pasti akan
membawa berita penting mengenai diri baginda.
Dharmaputera, terutama ra Kuti, terpukau dalam
cengkaraan duga dan reka. Tergetar dalam kejut dan waswas. Suatu gejala perasaan yang umum diderita oleh
seseorang yang merasa telah berbuat salah.
Hampir timbul keputusan ra Kuti untuk menitahkan kepada
para penjaga, supaya bekel pendatang itu dienyahkan. Bila
membangkang, supaya ditangkap dan digiring ke penjara. Ia
memang belum jelas, siapa dan apakah tujuan bekel itu
datang ke paseban Prajurit. Namun lebih baik menjaga
daripada menderita. Lebih baik mencegah bekel itu masuk ke
paseban daripada ia harus berjerih payah, berjaga jaga
menghadapi sesuatu kemungkinan. Baik atau buruk.
Naluri ra Kuti memang amat tajam. Pikirannya sangat
cerdas. Keras dugaannya bahwa bekel itu tentu bukan bekel
prajurit dalam yang masih tertinggal di keraton. Karena jika
begitu, tentulah tak mungkin dia berani datang ke sebuah
sidang naik kuda. Jelas dia tentu bekel yang ikut dalam rombongan
pengawal sang nata. Paling tidak, bekel dari luar daerah.
Entah Kahuripan, Dan entah dari adipati pesisir. Ia
merencanakan untuk menahan bekel itu lebih dahulu agar
jangan mengganggu kepentingan sidang yang maha penting
itu. "Gusti tumenggung, hamba menghaturkan sembah"
bergegas Dipa turun dari kuda lalu naik ke titian dan langsung
melangkah masuk. Sesungguhnya beberapa penjaga, pun sudah mengetahui
akan kedatangan bekel itu. Mereka hendak menegur tetapi
karena Dipa melangkah cepat dan apa pula tumenggung Nala
telah menyapanya, para penjaga itupun tak berani bertindak
suatu apa. Ra Kuti terbeliak. Sebelum sempat ia memberi perintah
kepada para penjaga, ternyata bekel Dipa sudah masuk ke
dalam ruang paseban dan tengah menghaturkan sembah
kepada para mentri senopati. Bahkan kepada para
Dharmaputera, termasuk ra Kuti sendiri.
Rakryan Kuti terkesiap. Entah disengaja atau tidak, bekel
prajurit itu telah melancarkan sebuah serangan halus dan tak
tampak. Tetapi ampuh, melumpuhkan.
Dengan penuh kesusilaan seorang bekel terhadap para
narapraja yang lebih tinggi pangkatnya.
Sembah adalah suatu penghormatan yang khidmat dan
menyentuh hati. Sembah pun suatu pernyataan meminta maaf
yang menuntut secara halus. Dan sembah dari bekel Dipa
itulah yang dimaksud ra Kuti sebagai suatu serangan halus.
Serangan yang membuat ia tak dapat menghindar ataupun
menolak. Serangan yang menuntut dia mau tak mau,
meluluskan kehadiran Dipa. Sebagai seorang kepala
Dharmaputera yang saat itu sedang memegang tampuk
pimpinan negara yang paling tinggi, ia harus berani
menunjukkan sikap sebagai seorang pemimpin. Dan bukankah
sidang istimewa saat itu akan dibawanya ke arah pemilihan
pimpinan negara" "Ah, mengapa aku harus ketakutan menghadapi seorang
bekel tak bernama semacam dia ?" akhirnya timbul rasa
keangkuhan dalam hati kepala Dharmaputera itu "jika Dewan
keraton, Panca ri Wilwatikta dan senopati2 telah dapat
kukuasai, masakan aku harus takut kepada bekel kecil itu"
Wajah ra Kuti agak menebar warna merah karena malu
dalam hati. Secepat iapun mengeliarkan pandang ke sekeliling
ruang paseban. Ah, sebagian besar dari nayaka, sentana
bahkan mentri dan senopati adalah orang-orangnya. Makin
mantaplah perasaannya. "Kreta" tegur tumenggung Nala pula "apakah maksudmu
datang ke tengah perapatan besar ini" Tidakkah engkau tahu
bahwa saat ini, seluruh mentri, senopati dan narapraja
kerajaan sedang melangsungkan sidang istimewa yang maha
penting?" "Ampun gusti tumenggung" kembali bekel Dipa mengunjuk
sembah "hamba tak tahu hal itu. Hamba hanya mengira
bahwa para gusti disini sedang berapat membicarakan
keselamatan baginda. Maka hamba bergegas menghadap"
"Bergegas menghadap?" ulang tumenggung Nala, "adakah
sesuatu yang penting hendak engkau persembahkan ke
hadapan sidang besar ini?"
"Demikianlah, gusti" bekel Dipa menegaskan dengan
sembah. "Bekel" seru tumenggung Nala pula, "tahukah engkau apa
hukumannya orang yang berani mengganggu sidang besar
seluruh mentri senopati kerajaan ?"
"Hamba maklum, gusti"
Pendekar Naga Mas 5 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Pedang Angin Berbisik 20

Cari Blog Ini