Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon Bagian 2
matahari yang seolah mau melelehkan batok
T kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat
menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu
kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga mengeluarkan suara
bergetar keras.
Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi ini dan melakukan
perjalanan dalam mencari akhir
kehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling matanya membentur sebuah
batu besar yang salah satu sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan.
Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya dalam hati. "Tepat seperti
yang aku lihat dalam mimpi." Dia menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai
membungkuk laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telah duduk bersila
di atas batu, sengaja menghadap ke arah matahari tenggelam.
Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan sinarnya yang sangat terik.
Batu besar yang diduduki si kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua
ini duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat yang sejuk dan
nyaman. Kepalanya didongakkan ke atas langit. Tongkat bambu kuning diletakkan di
atas pangkuan sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut.
Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua matanya lalu dengan suara
perlahan dan bergetar dia berkata.
"Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.
PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah hamba temui. Mohon kiranya
masa penantian selama lima puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah.
Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk datang menghadapMu dengan
segala kerendahan. Petir pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang
Kuasa, aku siap menerima deramu!"
Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu besar tiba-tiba bertiup
angin aneh yang mengeluarkan suara seperti puluhan puput ditiup secara
bersamaan. Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara berkiblat satu
sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara menggelegar
seolah hendak meruntuh langit mengoyak bumi.
Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi,
menghantam ke arah batu besar di mana orang tua
berjubah putih duduk bersila.
Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang
duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari mulutnya keluar jeritan
setinggi langit. Ketika tubuhnya melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung,
tangan kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petir yang menghantam dari langit membabat putus
dan hangus tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh dekat
sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh menjadi seonggok bubuk pasir
berwarna hitam dan
mengepulkan asap panas!
Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak.
Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus.
Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit.
Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat dia duduk bersimpuh di tanah
lalu berkata. "Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri petunjuk agar hamba
segera mendapatkan petir ke dua dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti
Bendoro sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang telah berubah
menjadi pasir besi hitam dan panas.
Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan kiri orang tua berjubah putih
itu melangkah meneruskan perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus
mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang buntung disambar petir dan
sakit luar biasa seolah tidak dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini
hentikan langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua buah lobang
sebesar kepalan.
"Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua berusia 150 tahun ini. Dia
cucukkan tongkat bambu di tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus
tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara dan turun di atas batu
bertanda dua buah lobang sebesar kepalan.
Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu besar yang amat panas itu.
Karena tangan kanannya
sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan di atas lipatan lutut.
Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap.
"Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu. Datanglah padaku,
sampaikan kehendak Yang
Kuasa!" Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara angin menyerupai bunyi
puput. Untuk ke dua kalinya kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan
menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkan puncak Gunung Mahameru.
Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus berkeping-keping. Sosok si
kakek mencelat tinggi ke udara dibarengi jeritannya yang keras luar biasa.
Sosoknya kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu hitam. Dari
mulutnya keluar suara mengerang. Darah mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua
kakinya melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi memiliki tangan kiri.
Seperti tangan kanan, tangan kirinya juga telah buntung hangus dihantam petir
yang menyambar dahsyat dari langit!
Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki Suro Gusti Bendoro yang
tercampak di tanah perlahan-lahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai
pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap.
Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya menggapai-gapai.
Dengan bersandar ke salah satu batu di dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat
bambu kuningnya masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas batu.
Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu.
Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali
mendaki menuju puncak gunung.
Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya.
Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan menatap ke langit. Di
satu pendakian kakinya tersandung.
Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia memandang ke depan dia
melihat tiga buah lubang pada batu itu.
"Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya membesar. Dia segera
kerahkan tenaga dalam ke bawah lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang
dan tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu perlahan-lahan
dia dudukkan diri bersila.
"Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu!"
Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di
langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan menyambar panas dan ganas
untuk ke tiga kalinya. Kali ini kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal
paha, mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang
kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang
gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna hitam.
Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah terpendam di tanah. Orang
lain dalam keadaan buntung tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah
menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa.
Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah.
Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia
melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung sebelah atas. Setiap jatuh
dia berusaha bangkit lalu melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti
kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu berbentuk pilar.
Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujur tubuhnya terutama yang putus dihantam
petir sakit dan panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari hidung serta
telinganya, malah kini juga dari mulut.
Tongkat bambu kuning yang masih digigit
dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah.
"Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia memandang berkeliling, mencaricari. Akhirnya dia melihat empat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam
langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrakjingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro atur jalan nafas.
Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah
tubuhnya melesat ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di ujung
batu berbentuk pilar!
"Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menunggu!" Si kakek
berteriak tapi suara teriakannya tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya
kini dipenuhi darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang digigitnya.
Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput
menggema di seputar pilar batu. Lalu.
"Blaaarrr!"
Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke
puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat nyawa serasa terbang.
Sebelum petir ke empat
menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan.
Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di sebuah batu. Dari mulut
Ki Suro sendiri kemudian keluar jeritan setinggi langit serta semburan darah.
Tubuhnya terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat itu
keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya telah putus dan hangus dibabat
hantaman petir. Kutungan kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah
menjadi bubuk pasir berwarna hitam mengepul.
Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu terkapar tak bergerak. Lalu
ada erangan halus. Kepala yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang
mata bergerak-gerak.
"Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam menanggung sakit yang amat
sangat Ki Suro Gusti Bendoro mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan
kaki bagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak tahu kalau batu di
mana dia terkapar saat itu justru adalah batu kelima karena di salah satu sudut
yang tidak terlihat oleh mata si kakek ada lima buah lubang sebesar kepalan.
"Batu kelima.... Aku harus menemukan batu ke lima!
Tuhan tolong hambaMu ini! Beri petunjuk...."
Di bawah sinar terik matahari tanpa didahului lagi oleh suara angin menyerupai
tiupan puput, untuk ke lima kalinya di langit berkiblat cahaya putih menyilaukan
mata. Gelegar dahsyat lagi-lagi mengguncang Gunung Mahameru.
"Blaaarrr! Craaasss!"
Tubuh Ki Suro Gusti Bendoro putus tepat di bagian
pusar. Jeritan orang tua ini lebih menyerupai raungan binatang. Sisa tubuhnya
dari pinggang ke atas hangus menghitam sementara bagian bawah yang terputus
begitu terbanting ke tanah serta merta berubah menjadi bubuk hitam!
Sepasang mata Ki Suro membeliak. Bagian hitamnya
seolah lenyap dan hanya bagian putihnya saja yang
terlihat. Namun sulit dipercaya, dalam keadaan tubuh terkutung-kutung seperti
itu orang tua ini masih belum menemui ajal. Kepalanya, walau sangat lemah masih
bisa digerakkan ke kiri dan ke kanan.
"Ya Tuhan, beri hambamu ini kekuatan mendapatkan batu ke enam dan ke tujuh...."
Tak dapat dipastikan dari mana keluarnya suara itu. Entah dari mulut atau liang
perut si kakek. Saat itu tubuhnya terjepit antara celah dua kepingan batu besar
bekas hancuran batu datar di mana sebelumnya dia jatuh terkapar. Ternyata pada
masing-masing belahan batu terdapat lubang-lubang sebesar kepalan. Pada belahan
sebelah kanan berjumlah enam lubang sedang pada batu sebelah kiri ada tujuh
lubang. "Petir ke enam, petir ke tujuh! Datanglah! Datanglah berbarengan! Aku ingin masa
penantian lima puluh tahun ini segera berakhir! Aku ingin roh ini segera
melayang ke alam baka! Petir ke enam! Petir ke tujuh! Aku siap menerima deramu!"
Bagi orang yang berada di tempat itu dan mendengar suara Ki Suro Gusti Bendoro
maka yang terdengar
hanyalah suara bergumam menggidikkan. Dan di puncak semua kengerian itu dari
atas langit, satu cahaya terang diikuti cahaya ke dua menyambar dahsyat. Puncak
Gunung Mahameru laksana mau runtuh.
"Blaaar!"
"Blaaarr!"
Untuk ke sekian kalinya tubuh Ki Suro amblas putus.
Kali ini di bagian dada, dihantam petir ke enam. Lalu petir ke tujuh menyudahi
segala-galanya. Kepala orang tua itu hangus mengerikan. Setelah itu semua
potongan tubuh dan kepala berubah menjadi gundukan pasir hitam yang mengepulkan
asap panas! Keanehan tidak terhenti sampai di situ. Onggokanonggokan pasir besi hitam dan panas yang bertebaran di beberapa tempat dan
berasal dari potongan-potongan tubuh Ki Suro Gusti Bendoro berubah menjadi
cairan hitam lalu bergerak meluncur di tanah seolah binatang melata, menuju ke
satu tempat. Begitu saling bertemu mendadak udara yang tadi terang benderang
kini menjadi redup. Di langit gumpalan-gumpalan awan hitam berarak cepat
menutupi puncak Gunung Mahameru. Lalu gelegar guntur mengumandang beberapa kali.
Udara menjadi gelap
sesaat namun tidak ada hujan yang turun. Ketika tak selang berapa lama gumpalangumpalan awan hitam
lenyap dan keadaan kembali terang, di tanah tempat bersatunya cairan aneh yang
berasal dari sosok tubuh-tubuh Ki Suro Gusti Bendoro kini tergeletak sebilah
keris tanpa sarung.
Keris aneh ini berwarna hitam kebiru-biruan, memiliki luk sebanyak tujuh buah.
Pada dua sisinya ada tujuh jalur memanjang berwarna kuning emas berkilauan.
Keris aneh ini bergagang terbuat dari besi, berbentuk menyerupai angka 7,
berkilau-kilau terkena sinar matahari. Sungguh aneh. Bagaimana hal seperti ini
bisa terjadi kalau bukan dengan kehendak dan kuasaNya Tuhan Seru Sekalian
Alam" *** ARIO BLEDEK 4 PETIR DI MAHAMERU
EMPU BONDAN CIPTANING
EBELUM menuturkan apa yang terjadi selanjutnya
dengan jazad Ki Suro Gusti Bendoro yang telah
S berubah menjadi keris itu kita kembali dulu pada satu rangkaian peristiwa yang
berlangsung beberapa waktu sebelumnya.
Di tepi telaga berair jernih, sejuk dan sunyi itu Empu Bondan Ciptaning duduk
bersila tengah melaksanakan samadi penuh khusuk. Sampai dengan pagi itu telah
tiga malam empat hari dia melakukan samadi. Agaknya dia tidak akan berhenti
sebelum maksud tujuannya tercapai.
Beberapa malam yang lalu orang tua ini bermimpi
bahwa dia bakal kedatangan seorang tamu sangat penting.
Tamu itu akan mengunjunginya di tepi telaga tersebut. Jadi itulah sebanya Empu
Bondan tidak beranjak dari telaga, melakukan samadi sambil menunggu kedatangan
orang. Empu yang terkenal memiliki keahlian membuat
berbagai macam senjata ini, terutama keris konon mampu membuat sebilah keris
tanpa menempanya, tapi dengan mengandalkan jari-jari tangannya yang akan
dijadikan senjata menjadi besi tempaan dan membakar besi yang akan dijadikan
senjata mustika. Tidak mengherankan banyak sekali orang yang ingin minta
dibuatkan berbagai macam senjata sakti pada sang Empu. Mulai dari prajurit
sampai raja, mulai dari orang baik-baik sampai para penjahat. Namun tidak mudah
untuk bisa mencari dan bertemu dengan Empu Bondan Ciptaning.
Menjelang tengah hari seorang kakek berjubah putih bertongkat bambu kuning
muncul di tepi telaga. Dari debu yang melekat di pakaiannya jelaslah dia baru
saja melakukan perjalanan jauh. Orang tua ini mengusap
wajahnya lalu tersenyum. Walau tubuhnya terasa letih namun hatinya gembira
karena orang yang dicarinya sejak dua purnama lalu akhimya ditemuinya juga.
Melihat sang Empu tengah khusuk bersamadi, sambil
menunggu orang tua berjubah putih memutuskan untuk melakukan sholat Zuhur
terlebih dulu. Maka dia
mengambil air wudhu di telaga lalu mencari tempat yang bersih untuk sembahyang.
Selesai sembahyang kakek ini berzikir. Dia baru menghentikan zikirnya ketika
melihat dua mata Empu Bondan Ciptaning perlahan-lahan terbuka, menatap ke
arahnya. Dua pasang mata saling bertemu pandang. Dua wajah sama-sama
menyeruakkan senyum.
"Saudaraku Kiai Suro Gusti Bendoro!" berucap Empu Bondan Ciptaning. "Rupanya
dirimulah yang kulihat dalam bayangan samadiku. Sungguh aku tidak menyangka. Aku
merasa berbahagia dapat bertemu dengan dirimu. Orang tua ini lalu bangkit
Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri, menghampiri kakek berjubah putih. Keduanya lalu saling berpeluk-pelukan
lama sekali, melepaskan kerinduan karena paling tidak selama dua lima tahun
mereka tidak pernah bertemu.
"Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, aku tak kalah gembira bertemu dengan dirimu.
Sudah berapa tahun
senjata yang sampeyan ciptakan selama dua puluh lima tahun kita tak pernah
bertemu?" Empu Bondan Ciptaning tertawa lebar. Ke dua orang tua itu lalu mencari tempat
yang enak untuk duduk berhadap-hadapan di tepi telaga.
"Belakangan ini aku jadi malas. Sudah jarang sekali aku membuat senjata. Apa
lagi yang namanya keris...."
"Mengapa begitu sahabatku" Mengapa sampeyan jadi malas" bertanya Ki Suro Gusti
Bendoro. "Kupikir-pikir, buat apa aku membuat keris, men-ciptakan berbagai senjata sakti
kalau pada akhirnya hanya dipergunakan untuk menumpahkan darah. Dipakai untuk
saling membunuh...."
"Sampeyan sebagai pembuat tidak salah, senjata-senjata itu juga tidak salah.
Yang salah justru orang-orang yang mempergunakannya secara keliru..." kata Ki
Suro Gusti Bendoro pula.
"Mungkin begitu, saudaraku. Namun paling tidak aku merasa ikut bertanggung
jawab. Kalau tidak kubuat
senjata itu, tidak akan ada yang mati terbunuh. Karenanya aku putuskan untuk
tidak membuat keris atau apapun lagi!"
"Lalu apa kerja sampeyan" Hanya bersunyi diri di tepi telaga sejuk ini?"
"Aku sengaja memilih tempat ini sejak sepuluh tahun silam. Karena suasana di
dunia luar sangat merisaukan diriku. Kerajaan selalu dilanda kekacauan. Aku
mendapat firasat ditahun-tahun mendatang kekacauan akan tambah menjadi-jadi. Aku
tak ingin campur tangan. Aku juga tahu ada orang-orang Kerajaan yang diutus
untuk mencariku.
Jangan-jangan kau adalah salah seorang dari mereka.
Bukankah kau salah seorang kepercayaan Sultan Demak?"
"Sampeyan dan aku sama. Sudah sejak lama aku
mengundurkan diri dari kehidupan Kerajaan. Jadi sampeyan tidak usah merisaukan
siapa diriku. Aku adalah sahabatmu, saudaramu...."
"Aku bahagia mendengar ucapanmu itu, Ki Suro. Hatiku benar-benar terasa sejuk.
Apa lagi kalau aku ingat aku seorang Hindu, kau seorang Muslim...."
Ki Suro Gusti Bendoro tersenyum dan pegang bahu
sahabatnya itu. "Walau kita berlainan kepercayaan, tapi perbedaan agama tidak
bisa memutuskan tali
persahabatan dan tali persaudaraan. Itulah keagungan Yang Maha Kuasa...."
Empu Bondan Ciptaning tersenyum dan anggukanggukkan kepalanya. "Sekarang ceritakan padaku, gerangan apa yang membuatmu
mencariku. Sampai-sampai bayanganmu muncul dalam samadiku. Aku merasa ada
sesuatu yang penting...."
"Sangat penting," sahut Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Ada sesuatu yang harus aku
serahkan padamu sebelum aku melakukan perjalanan menuju puncak Gunung
Mahameru...."
"Tunggu dulu..." kata Empu Bondan Ciptaning. "Kau menyebut niat hendak naik ke
puncak Mahameru. Hal ini mengingatkan aku akan sesuatu. Apakah...?" Sang Empu
tidak teruskan ucapannya. Wajahnya mendadak berubah redup tanpa ada kesedihan di
lubuk hatinya. Ki Suro anggukkan kepala dengan perlahan. Wajahnya juga ikut larut dalam
perasaan. "Lima puluh tahun aku menunggu. Aku sudah mendapat petunjuk dari Yang
Maha Kuasa. Saatnya bakal datang tidak lama lagi. Itu sebabnya aku harus
mempersiapkan diri dari sekarang...."
"Kiai, saudaraku.... Apakah ini berarti kali terakhir kita bertemu?" Empu Bondan
Ciptaning ulurkan tangannya memegangi lengan Ki Suro Gusti Bendoro.
"Jangan bertanya seperti itu saudaraku..." jawab Ki Suro walau hatinya semakin
ikut tenggelam dalam kesedihan.
"Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara saja.
Merupakan satu persinggahan sebelum kita sampai ke hidupan yang abadi, yaitu
alam akhirat, alam baka. Berpisah di dunia, dengan kehendak Yang Maha Kuasa
kelak kita akan bertemu di alam akhirat"
Empu Bondan Ciptaning akhirnya tersenyum luruh.
"Saudaraku, belum pernah aku bertemu orang yang mengadapi akhir hidupnya penuh
senyum dan ketabahan...."
"Ketabahan, bukankah itu dasar dari tawakal dan keimanan dalam agama kita...?"
ujar Ki Suro pula.
"Kau benar Kiai. Nah sekarang beritahu saudaramu ini.
Gerangan apa yang hendak kau serahkan padaku?"
"Sebuah kitab. Sebuah kitab yang usianya hampir dua kali usia kita berdua...."
jawab Ki Suro Gusti Bendoro pula.
Lalu tangannya bergerak ke balik jubah putihnya.
*** ARIO BLEDEK 5 PETIR DI MAHAMERU
KITAB "HIKAYAT KERATON KUNO"
ARI dalam jubah putihnya Ki Suro Gusti Bendoro
keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun lontar.
D Orang tua ini memegang kitab itu dengan sangat
hati-hati. Karena selain daun lontarnya sudah sangat tua dan rapuh, agaknya
kitab itu juga merupakan sebuah benda langka dan sangat berharga bahkan mungkin
merupakan sebuah kitab sakti atau keramat.
Ki Suro letakkan kitab tipis yang terdiri hanya dari beberapa halaman itu di
atas pangkuan sahabatnya.
Sesaat Empu Bondan Ciptaning pandangi kitab daun lontar di atas pangkuannya itu
dengan air muka tidak percaya.
Lalu dia menatap wajah sahabatnya. Walau kitab tersebut tidak memiliki sampul
dan judul namun sang Empu sudah maklum kitab apa itu adanya karena dia telah
pernah mendengar keberadaan buku ini sejak puluhan tahun
silam. "Kiai Suro, apa tidak salah aku menduga. Bukankah kitab yang hendak kau berikan
ini adalah Kitab Hikayat Keraton Kuno yang pernah dibicarakan orang sejak
setengah abad silam?" '
"Tidak salah dugaanmu, saudaraku." kata Ki Suro pula.
"Memang itu adalah kitab Hikayat Keraton Kuno yang banyak dibicarakan orang.
Banyak yang ingin memilikinya walau menempuh jalan sulit. Bahkan dengan darah
dan nyawa!"
"Dari mana kau mendapatkan kitab in! Kiai Suro"
Bukankah seharusnya berada di Keraton Demak"
Bukankah ini salah satu benda pusaka keraton?"
Ki Suro Gusti Bendoro gelengkan kepala.
"Begitu banyak orang yang menginginkan kitab ini.
Termasuk para petinggi di beberapa Keraton. Hingga muncul semacam kepercayaan
bahwa kitab ini adalah
milik atau benda pusaka Keraton. Entah Keraton yang mana...."
"Aneh, lalu bagaimana kitab ini sampai di tanganmu.
Lalu mengapa pula hendak kau berikan padaku?" Kembali Empu Bondan Ciptaning
bertanya. "Peristiwanya sekitar empat puluh tahun lalu," Ki Suro memulai keterangannya.
"Saat itu aku berada di selatan pedataran pasir Tengger. Udara panas bukan main.
Matahari seolah hanya satu jengkal di atas ubun-ubun.
Bahkan hembusan anginpun laksana kobaran api
membakar jagat. Dalam perjalanan itu aku membekal satu kantong kulit berisi sisa
air yang mungkin cuma sebanyak dua atau tiga teguk. Walau haus aku tak mau
meminumnya karena perjalananku masih jauh. Aku harus menemukan mata air dulu
baru berani meneguk air dalam kantong kulit. Selain itu aku juga membekal
sepotong ubi rebus. Aku juga tidak memakan ubi itu sebelum mendapat makanan
pengganti. Pada saat aku berada dipuncak rasa lapar dan rasa
haus yang luar biasa itulah di satu tempat ketinggian aku melihat seseorang
duduk bersila di atas pasir. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar. Karena
heran, lagi pula sudah sekian lama tidak berjumpa orang lain maka aku naik ke
pedataran pasir itu menemui orang tadi. Maksudku ingin bertutur sapa barang
sepatah dua patah.
Orang ini ternyata seorang pengemis tua, berpakaian compang camping, penuh robek
dan tambalan. Kulitnya ditumbuhi koreng di mana-mana. Badannya mengeluarkan hawa
busuk. Aku jadi tertegun dan tak tahu mau berbuat apa. Padahal sebelumnya ingin
sekali aku berkenalan dan bertegur sapa. Pengemis tua itu sendiri tampaknya
seolah tidak perduli akan kehadiranku di tempat itu.
Dan sahabatku Empu Bondan Ciptaning. Tahukah
sampeyan apa yang tengah dilakukan pengemis tua itu di atas pedataran pasir yang
panas itu" Dia duduk khidmat tengah berzikir!"
Empu Bondan Ciptaning kerutkan kening. "Luar biasa..."
katanya sambil gelengkan kepala.
"Karena aku tidak ingin mengganggu ibadahnya maka setelah membungkuk memberikan
penghormatan aku
berniat hendak meninggalkan tempat itu...." Ki Suro lanjutkan kisahnya. Namun
tiba-tiba pengemis tua itu buka capingnya. Aku lihat wajahnya. Astagafirullah,
pengemis itu ternyata memiliki sepasang mata putih semua. Dia buta.
Dalam keadaan seperti itu si pengemis lalu sodorkan capingnya dalam keadaan
terbalik ke arahku. Aku terpe-rangah. Bagaimana mungkin, di pedataran pasir luas
seperti itu, orang tua itu masih hendak mengemis minta sedekah. Apa lagi saat
itu aku tidak membawa uang
barang sekepingpun. Tetapi sepertinya tahu apa yang ada dalam benak dan hatiku,
pengemis itu tiba-tiba berkata.
"Insan berjubah. Aku tidak inginkan uangmu. Kalau kau membawa makanan itulah
yang aku minta. Sudah dua hari aku di pedataran pasir ini. Tak sepotong
makananpun pernah masuk ke dalam perutku." Hatiku hiba. Aku memang membawa
sepotong kecil ubi rebus. Aku
sendiripun tengah menahan lapar luar biasa. Tapi melihat keadaannya yang seperti
itu, hatiku menjadi luluh tak tega.
Ubi yang tinggal sepotong aku serahkan padanya. Dia tidak mengatakan apa-apa,
langsung saja memakan habis ubi rebus itu tanpa mengupas kulitnya.
Setelah kulihat pengemis itu memakan habis ubi dan wajahnya tampak segar,
kembali aku membungkuk dan
hendak meninggalkannya. Namun seperti tadi dia ulurkan lagi caping bambunya lalu
berkata. "Insan berjubah, ubi yang kau berikan sudah kumakan habis. Walau cuma
sepotong kecil tapi masih ada gunanya sebagai penangsal perutku. Kau sungguh
baik, hatimu sungguh mulia. Namun makan tanpa minum sungguh tidak sedap. Apa
lagi aku haus sekali. Dua hari aku berada di pedataran pasir ini.
Tidak setetes airpun pernah melewati tenggorokanku. Aku tahu kau ada membawa
air. Kiranya kau mau
memberikannya padaku." Aku terkejut mendengar ucapan pengemis tua itu. Matanya
buta tapi aneh dia tahu aku membawa air. Bagaimana ini" Hendak kuberikan
persediaanku sangat terbatas dan aku sendiri sudah dilanda haus yang sangat
hebat. Kulitku sekering
pedataran pasir Tengger. Namun lagi-lagi aku merasa tidak tega jika aku tidak
memenuhi permintaannya. Aku mungkin saja masih bisa bertahan, pengemis itu
mungkin tidak. Saat itu si pengemis telah mengulurkan capingnya kembali.
Mau tak mau akhirnya kuberikan kantong kulit berisi air kepadanya. Kuletakkan di
dalam caping yang
ditengadahkannya itu. Aku berharap dia tidak akan
menghabiskan semua air yang cuma sedikit itu. Pengemis tua itu mengambil kantong
kulit yang ada dalam capingnya.
Di luar dugaanku dia meneguk air dalam kantong sampai habis! Dalam keadaan
kosong kantong dikembalikannya padaku. Aku membalik-balikkan kantong itu
berulang kali, menekannya di sana-sini namun tidak setetes airpun yang masih
tersisa. Selagi aku kebingungan kulihat pengemis tua itu malah tersenyum padaku.
Lalu dia berucap . "Kau sungguh balk, hatimu sungguh mulia. Tuhan akan
memberkahimu. "
Setelah berkata begitu pengemis ini tiba-tiba ulurkan lagi capingnya. Membuat
aku terkejut. Apa lagi yang hendak dimintanya dariku, pikirku. Mungkin dia
inginkan jubah putihku" Karena aku tidak memperhatikan ke arah caping, melainkan
memandangi wajah si pengemis sambil menunggu apa yang akan diucapkannya,
pengemis tua itu lalu acungkan capingnya sambil digoyang-goyang. Aku lalu
memperhatikan ke arah caping yang dipegangnya. Mendadak aku jadi terkejut. Di
dalam caping itu kulihat ada sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang sudah
rapuh. Pastilah kitab itu sangat tua sekali. Aku membungkuk sedikit, memperhatikan
kitab itu. Si pengemis kembali menggoyangkan capingnya lalu berkata. "Ambillah.
Kitab itu untukmu karena memang berjodoh dengan dirimu...."
Aku tidak mengerti. Kembali si pengemis menyuruh aku mengambil kitab itu. Sampai
tiga kali akhirnya kuulurkan tangan mengambil kitab itu. Begitu kitab berada
dalam tanganku si pengemis berkata. "Menghadaplah ke kiblat dan mulailah membaca
kitab itu."
Walau hatiku merasa heran tapi entah mengapa aku
mengikuti apa yang diucapkan si pengemis tua. Begitu aku menghadap ke arah yang
dikatakan pengemis itu, saat itu juga aku merasakan satu keanehan. Serta merta
aku tidak lagi merasa kepanasan, lapar ataupun haus.
Sang surya yang tadinya serasa seperti hanya satu
jengkal di atas kepala kini seperti berubah menjadi rembulan yang memancarkan
cahaya indahnya di malam yang sejuk. Rasa lapar dan dahaga yang kuderita hebat
mendadak lenyap dan tubuhku terasa segar bugar. Seolah-olah aku ini baru saja
selesai mandi di dalam satu telaga yang jernih dan berair sejuk. Penuh perasaan
heran aku membalikkan badan ke arah si pengemis tadi. Tetapi, astagafirullah.
Pengemis tua itu tak ada lagi di tempat tadi dia duduk! Aku mencari dan
memandang seantero pedataran pasir. Orang itu tidak kelihatan. Aku berteriak
memanggil-manggil. "Ki sanak.... Ki sanak pengemis!"
Suaraku lenyap ditelan udara kawasan pedataran pasir.
Kemana lenyapnya pengemis aneh itu, pikirku. Lalu
kuperhatikan pasir di sekitarku. Kalau dia memang sudah meninggalkan tempat itu
pasti ada jejak-jejak kakinya di atas pasir. Tapi aku tidak melihat apa-apa!
Kupejamkan ke dua mataku. Dalam hati dan pikiranku aku menduga.
Jangan-jangan pengemis tua tadi adalah Malaikat. Tapi kemudian kusadari mana
mungkin Malaikat akan menemui diriku yang rendah dan hina ini. Walau demikian
aku langsung ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
mampu melakukan apa saja yang mustahil bagi kita
manusia. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan
bersujud. Menyebut nama Tuhan berulang kali dan
memohon petunjuk serta bimbinganNya. Lalu aku berdiri.
Setelah memandang berkeliling akhirnya kutinggalkan tempat itu dengan mengepit
erat kitab kuno itu. Aku tahu betul saat itu aku berada jauh di tengah-tengah
Pedataran Pasir Tengger. Namun sungguh aneh, seolah ada yang membimbing,
langkahku ringan dan cepat. Sebelum sang surya condong ke barat aku sudah sampai
di satu jalan menurun menuju ke sebuah desa. Padahal jika tidak terjadi sesuatu
keanehan atas diriku dengan pengemis tua itu, niscaya menjelang Magrib baru aku
bisa sampai di tempat itu. Aku tidak segera memasuki desa itu tetapi mencari
tempat yang enak di bawah kerindangan sebuah pohon dan duduk di situ. Dari balik
jubah kukeluarkan kitab yang kuperoleh dari pengemis aneh itu. Namun belum
sempat kitab kubuka, mendadak berkelebat satu bayangan. Tahu-tahu di hadapanku
berdiri seorang nenek berwajah angker.
Sekujur muka dan kulit ubuhnya berlapis sisik hitam kebiru-biruan. Ketika dia
menyeringai kulihat deretan gigi-giginya panjang dan merah. Waktu dia
menjulurkan lidahnya, lidah itu juga berwarna merah, basah seperti bergelimang darah. Selain
itu lidah si nenek ternyata bercabang dua. Aku segera mengenali siapa adanya
nenek ini. Dia adalah tokoh silat dari timur yang dijuluki Si Lidah Bangkai.
Siapa saja yang sampai tersentuh lidah bercabangnya serta merta akan berubah
menjadi bangkai alias menemui ajal!"
Empu Bondan Ciptaning yang mendengar penuturan
sahabatnya itu tampak terkejut. "Si Lidah Bangkai..." ujar sang Empu. "Nenek
ular yang sepanjang hidupnya selalu gentayangan berbuat kejahatan dan keonaran.
Kalau tidak salah kabar yang aku sirap, dia terlibat dalam pembantaian keluarga
Pangeran Prawoto yang dilakukan oleh Ario Penangsang. Heran, usia sudah begitu
lanjut, Malaikat Maut sudah siap untuk menjemput, mengapa masih mau-maunya
berbuat kejahatan menumpah darah menebar
Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kematian...." Empu Bondan Ciptaning hela nafas panjang, menanti Ki Suro Gusti
Bendoro melanjutkan penuturannya.
*** ARIO BLEDEK 6 PETIR DI MAHAMERU
SI LIDAH BANGKAI
ENEK yang muka dan badannya bersisik hitam
kebiru-biruan itu sesaat menatap dengan matanya
N yang besar berkilat ke arah Ki Suro Gusti Bendoro yang juga memandang
kepadanya dengan air muka tenang walau dalam hati sudah merasa kurang enak.
"Setiap muncul nenek satu ini selalu mendatangkan malapetaka. Bahala apa yang
hendak diperbuatnya
terhadapku," kata Ki Suro dalam hati.
Perlahan-lahan nenek yang dijuluki Si Lidah Bangkai itu angkat kepalanya,
mendongak ke langit. Dia julurkan lidah merah bercabangnya dua kali berturutturut lalu tertawa melengking seperti suara kuda meringkik. Ki Suro yang belum
pernah mendengar suara tawa seperti itu mau tak mau jadi tercekat. Namun orang
tua ini tetap duduk dengan tenang, menatap penuh waspada ke arah si nenek.
"Orang tua berjubah putih, apa benar kau orangnya yang bernama Ki Suro Gusti
Bendoro" Yang konon menjadi
kepercayaan Keraton Demak?" Tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan dengan suara
lantang. Ki Suro tersenyum lalu menjawab. "Sampeyan benar.
Aku memang Ki Suro Gusti Bendoro. Tapi aku sudah sejak lama tidak lagi punya
sangkut paut dengan Keraton
Demak. Saat ini aku tidak lebih dari seorang musafir yang tengah melakukan
perjalanan pengembaraan...."
Si Lidah Bangkai tatap lekat-lekat wajah Ki Suro lalu seperti tadi kembali dia
tertawa meringkik. Lidahnya yang besar merah dan bercabang menjulur-julur
keluar. "Kalau orang sepentingmu tidak lagi berada di Keraton Demak, tentu ada apaapanya! Apakah kau mau
menerangkan?"
Ki Suro gelengkan kepala. Sambil tersenyum dia
berkata. "Tidak ada yang perlu kuterangkan. Sampeyan orang berkepandaian tinggi
dan luas pengalaman tentu sudah tahu apa yang terjadi di Kesultanan Demak...."
Si nenek tertawa panjang. "Ki Suro, kau pandai memuji.
Tapi aku kurang percaya pada orang yang suka memuji.
Karena apa yang dikatakan mungkin tidak sama dengan apa yang ada di dalam
hatinya...."
Walau disindir orang seperti itu, Ki Suro tetap
tersenyum. Dengan suara tenang dia berucap. "Aku setuju dengan pendapat
sampeyan. Dalam hidup ini kepercayaan adalah hal paling utama. Karenanya tidak
salah kalau orang-orang tua kita membuat ujarujar yang berbunyi Sekali lancung
ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya."
Wajah bersisik si nenek yang berjuluk Si Lidah Bangkai itu tampak berubah ungu.
Ini satu pertanda bahwa dia sedang dalam keadaan marah karena merasa tersinggung
oleh ucapan Ki Suro tadi. Seperti diketahui nenek ini adalah momok nomor satu
yang paling ditakuti sekaligus dibenci dikawasan timur. Orang-orang persilatan
dari kalangan tertentu bukan saja tidak menyukainya tetapi juga tidak
mempercayainya. Itu sebabnya dia merasa kena tempelak oleh ucapan Ki Suro tadi.
Walau telinga dan hatinya terasa panas tapi dengan cepat dia kuasai diri.
Mukanya yang tadi ungu perlahan kembali berubah menjadi hitam kebiruan. Malah
kembali dia tertawa melengking-lengking. Lalu dia meludah ke tanah. Ludahnya kental dan berwarna merah
seperti darah. Ludah itu jatuh di tanah hanya satu langkah dari hadapan Ki Suro.
"Hemmm.... Nenek ini mulai berbuat olah mencari perkara. Dia sengaja meludah
untuk memancing
kemarahanku. Aku harus waspada dan bersabar diri," kata Ki Suro Gusti Bendoro
dalam hati. "Ki Suro, tapi kau berkata bahwa saat ini kau tak lebih sebagal seorang musafir
yang tengah melakukan
pengembaraan. Jika orang sepentingmu merelakan diri meninggalkan kehidupan
senang di Keraton lalu
melakukan perjalanan pengembaraan, pasti ada sesuatu yang tengah kau cari...."
"Sampeyan sungguh tajam pandangan dan pikiran," kata Ki Suro lagi-lagi dengan
tersenyum. "Bagiku kehidupan Keraton bukanlah satu kehidupan yang menyenangkan.
Dimanapun aku berada tujuan hidupku bukanlah untuk mencari kesenangan. Aku
mengembara untuk
menghabiskan sisa hidup ini agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta, Tuhan Seru Sekalian Alam...."
"Sungguh satu ucapan yang mencerminkan ketinggian budi dan kemuliaan jiwa!"
memuji Si Lidah Bangkai tapi lalu tertawa panjang seolah mengejek.
"Ki Suro, jika aku tidak salah menduga. Bukankah kau-barusan mengadakan
perjalanan ke kawasan pedataran pasir Tengger?"
"Sampeyan benar. Memang aku barusan dari sana..."
jawab Ki Suro polos.
"Kau menjawab dengan jujur. Tapi aku ingin tahu apakah kau juga akan memberikan
jawaban jujur untuk pertanyaanku berikutnya.... Apa yang kau cari di gurun pasir
Tengger?" "Pertanyaan sampeyan sebenarnya sudah terangkum dalam keteranganku sebelumnya.
Aku ingin mendekatkan diri pada Illahi sebelum aku kembali menghadapNya."
"Tapi tentunya kau tidak menemukan Illahi di gurun pasir itu, bukan"!" ujar si
nenek. Dia keluarkan suara tercekik lalu tertawa meringkik.
"Kau boleh menghina diriku Lidah Bangkai! Tapi jangan sekali-kali berani
mempermainkan Gusti Allah di
hadapanku! Aku akan menyabung nyawa untuk hal yang satu itu!" Ki Suro Gusti
Bendoro jadi marah besar karena merasa si nenek mempermainkan nama Tuhan.
Si Lidah Bangkai cepat goyang-goyangkan tangan
kanannya. "Sabar, seorang Kiai sepertimu harus sabar.
Jangan terlalu cepat berprasangka buruk dan marah.
Sekarang aku mau bertanya secara baik-baik. Siapa yang kau temui di gurun
Tengger itu" Dan apa yang kau
dapatkan di sana" Apakah kau mau menjawab"!"
Ki Suro Gusti Bendoro merenung sejenak. Setelah dia bisa menenangkan darahnya
yang tadi sempat bergejolak baru dia menjawab.
"Nenek, walau aku merasa kau keliwat memaksa dan seperti tengah memeriksa aku
sebagai seorang pesakitan, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur,"
kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Di gurun pasir Tengger, aku secara kebetulan
bertemu dengan seorang pengemis
bermata buta. Aku tidak tahu siapa namanya atau apakah dia mempunyai semacam
gelar dan julukan. Dia
menyerahkan kitab tua terbuat dari daun lontar ini padaku." Ki Suro Gusti
Bendoro lalu perlihatkan kitab daun lontar yang ada di tangan kanannya, lalu
meletakkan kitab itu di atas pangkuannya.
Sepasang mata si nenek membesar, menatap tajam
pada kitab yang ada di tangan kanan Ki Suro. "Kau memang manusia paling jujur
dan polos di atas bumi ini.
Karenanya tidak salah kalau aku juga ingin polos dan terus-terang...."
"Apa maksud sampeyan dengan ucapan itu?" bertanya Ki Suro.
"Aku ingin agar kau menyerahkan kitab itu padaku!" kata Si Lidah Bangkai sambil
acungkan telunjuk tangan kanan, menunjuk tepat-tepat ke arah kitab yang ada di
atas pangkuan Ki Suro. Lalu dia mendongak ke langit, kemudian tertawa seperti
kuda meringkik. Lidahnya yang basah merah dan bercabang kembali menjulur-julur.
"Hemm... tak salah dugaanku. Nenek satu ini memang sengaja muncul untuk mencari
perkara," membatin Ki Suro. Karena memang sudah menduga kemunculan si
nenek memang tidak bermaksud baik maka Ki Suro tidak begitu terkejut mendengar
kata-kata Si Lidah Bangkai itu.
Masih dengan tersenyum dia berkata. "Tak mungkin kitab ini kuserahkan pada
sampeyan. Kitab ini adalah titipan pengemis di gurun pasir Tengger itu. Aku
harus menjaga dan memeliharanya baik-baik."
"Katamu kau tengah menghabisi sisa hidup. Kalau memang sudah mau mati mengapa
masih menginginkan
memiliki kitab itu?"
"Kalau aku sudah mati itu perkara lain. Bagaimana jadinya nanti dengan kitab ini
tentu tidak akan kuketahui lagi. Tetapi selagi aku masih hidup, kitab ini tetap
akan berada di tanganku dan kujaga baik-baik."
"Kalau begitu, untuk mempercepat urusan, biar kau kubunuh saja saat ini juga!
Begitu kau mati kau tak ada urusan lagi dengan kitab itu. Begitu maumu, bukan"
Hik... hik... hik!"
Si nenek tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Dari mulutnya keluar suara
seperti meniup. Lalu lidahnya yang merah basah bercabang dua melesat keluar.
Secara aneh lidah ini berubah panjang dan ujungnya menyambar ke arah leher Ki
Suro Gusti Bendoro!
(Bersambung Ke Episode berikutnya)
KUNGFU SABLENG 1 JENDERAL SLEBOR
PERGURUAN Bintang Muncrat memang bukan merupakan satu perguruan kungfu terkenal.
Apa lagi memiliki
pendekar-pendekar kondang lihay kawakan. Letak
perguruannyapun di desa Khan Cut, sebuah desa terpencil di kaki gunung.
Perguruan silat yang dianggap
"kampungan" itu dipimpin oleh seorang guru kungfu bernama Tay Kun Ing. Kabarnya
dia pernah menjadi anak murid Siauw Lim Pay sekitar selusin tahun yang silam,
tapi dikeluarkan secara tidak hormat gara-gara ketahuan mengintip juru masak,
yakni seorang encim-encim gembrot yang sedang kencing pagi di pinggir got.
Tay Kun Ing bertubuh kerempeng. Kepalanya botak
plontos macam pentol geretan. Dia memiliki wajah dan kepala berwarna kuning
karena selalu diplitur dengan kunyit campur kencur dan minyak jelantah. Mungkin
itulah pangkal sebabnya orang sedesa memanggilnya dengan
nama Tay Kun Ing. Siapa nama sebenarnya konon tidak satu orang pun yang tahu.
Meski tidak punya nama besar, namun perguruan silat Bintang Muncrat menjadi buah
bibir pemuda-pemuda
sedesa Khan Cut bahkan tembus sampai puluhan lie di luar desa. Sebabnya lain
tidak di perguruan itu terdapat seorang murid perempuan berkulit mulus berwajah
imut-imut. Namanya Giok Ngek. Dia merupakan murid kesayangan Tay Kun Ing dan
kabarnya masih keponakan sang guru silat.
Kecantikan Giok Ngek inilah yang membuat perguruan kungfu Bintang Muncrat
menjadi tersohor dan
dipergunjingkan orang dimana-mana. Telah banyak pula pemuda-pemuda coba memikat
sang dara. Yang ingin
kenal secara sopan dan baik-baik saja dipandang sebelah mata oleh Giok Ngek. Apa
lagi yang secara kurang ajar.
Dianggap kentut basi oleh sang dara.
Kejelitaan Giok Ngek itu akhirnya sampai pula ke telinga besar tebal dan mablang
seorang Jenderal bernama King No Kong yang tinggal di kota Tu Lie, di Propinsi
Wong Siet, sekitar 130 lie dari desa Khan Cut.
Jenderal ini memiliki tubuh tinggi besar dan kekar.
Bibirnya tebal, giginya malang melintang tidak karuan seperti pagar dicabut
maling. Perwira tinggi ini bukan saja terkenal sebagai Jenderal Pantat Botol
alias Jenderal Slebor, suka menenggak minuman keras dan jadi pemabok nomor satu,
tapi sekaligus juga tersohor sebagai Jenderal Mata Bongsang alias Mata
Keranjang! Walau terlahir kedua matanya tidak sebesar bongsang tapi justru
menyembul bengkak seperti mata ikan Maskoki dan juling pula!
Begitulah sang Jenderal dikenal sebagai manusia tidak boleh melihat jidat licin
dan betis mulus alias tak boleh melihat perempuan cantik. Baik yang sudah punya
suami apa lagi yang masih muda dan masih gadis tentunya! Telah banyak gadisgadis dan istri-istri orang yang jatuh ke tangan Jenderal King No Kong ini. Dan
agaknya dia masih belum merasa puas. Ketika mendengar dari salah seorang anak
buahnya bahwa di desa Khan Cut ada seorang gadis anak murid perguruan kungfu
Bintang Muncrat memiliki kecantikan serta potongan tubuh selangit tembus bernama
Giok Ngek, langsung saja badan sang Jenderal menjadi angot panas dingin ingin
ketemu. Siang terbayang-bayang malam terkenang-kenang waktu tidur jadi impian.
Dia ingin menyaksikan sendiri dengan mata maskokinya yang juling.
Sampai di mana kecantikan wajah dan kebagusan
potongan tubuh sang dara. Jika nanti ternyata memang seperti yang diceritakan
anak buahnya, daun muda satu itu pasti tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akan
diboyongnya ke gedung kediamannya yang punya dua puluh satu kamar di Tu Lie!
Maka bersama tiga orang pengawal Jenderal Slebor King No Kong pada suatu pagi
buta selagi orang dan binatang masih pada terpulas nyenyak, dia berangkat menuju
desa Khan Cut dengan menunggang kuda. Sepanjang perjalanan sang Jenderal tidak
henti-hentinya meneguk minuman keras dari buli-buli tanah yang dibawa para
pengiringnya. Sambil menenggak minuman dia tertawa-tawa sendiri
membayangkan kecantikan wajah serta kebagusan dan
kemulusan tubuh Giok Ngek hingga sepintas Jenderal ini kelihatan tidak beda
dengan orang yang agak rada-rada alias kurang wajar!
*** KUNGFU SABLENG 2 JENDERAL SLEBOR
URU kungfu Tay Kun Ing sedang duduk-duduk santai
di serambi rumah. Tangan kanannya asyik mengupil
G sedang tangan kiri memegang kitab komik terlaris pada masa itu yaitu serial "
Super Amoy" jilid ke 32. Tentu saja manusia kerempeng muka kuning ini sangat
terkejut ketika melihat seorang tinggi besar bertampang garang berpakaian
kebesaran Jenderal Kerajaan beserta tiga pengawalnya tahu-tahu muncul memasuki
pekarangan rumah, melewati pintu pagar yang sudah doyong.
Sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan maksud tujuan sang Jenderal datang
ke tempat kediamannya, guru kungfu Tay Kun Ing letakkan kitabnya lalu berdiri
dan cepat-cepat turun dari serambi rumah, menyambut
kedatangan tetamu penting itu.
Begitu sampai di hadapan sang Jenderal, Tay Kun Ing langsung menjura dalam-dalam
memberi penghormatan.
Begitu patah pinggangnya membungkuk hingga dia hampir keluarkan kentut.
Jenderal King No Kong pencongkan bibirnya yang tebal monyong. Kedua matanya yang
juling berputar beberapa kali. Lalu sambil menunjuk pada papan nama perguruan
Bintang Muncrat yang tergantung di bawah talang air rumah dia menegur.
"Tuyul kerempeng muka tai! Kau kacung penjaga perguruan kungfu ini"!"
Seumur hidupnya baru sekali itu Tay Kun Ing dipanggil dengan sebutan tuyul! Apa
lagi sebutan muka tai! Hatinya langsung panas dan dia jadi tambah marah karena
dia dianggap sebagai kacung perguruan! Kalau saja bukan seorang Jenderal yang
dihadapinya, pasti sudah sejak tadi-tadi dia menghantam dengan jurus "sayap
kampret lapar menggebrak puncak Taysan" yaitu satu jurus tamparan yang bisa
membuat mulut lawan pecah berdarah!
Dengan menahan sakit hati guru kungfu Tay Kun Ing
kembali menjura dan berkata. "Jenderal Yang Mulia, saya bernama Tay Kun Ing.
Pemilik dan ketua perguruan Bintang Muncrat ini. Jadi bukan kacung seperti yang
Jenderal bilang tadi...."
"Hemmmmm, begitu...?" Dua mata maskoki Jenderal Slebor kembali berputar. Dia
melirik kian kemari, mencari-cari kalau-kalau tersembul wajah gadis cantik
bernama Giok Ngek itu.
"Jenderal Yang Mulia, ada gerangan keperluan apakah sampai Jenderal dan para
pengawal datang dari jauh, berkunjung ke tempat saya ini?" Tay Kun Ing ajukan
pertanyaan. "Pertama sekali ketahuilah, Jenderalmu yang mulia ini bernama King No Kong.
Jenderal Kaisar yang paling
tercemar. Eh! Maksudku paling terkenal di seantero daratan Tiongkok!"
"Hay ya! Jadi pinceng berhadapan dengan Jenderal Kong No King yang kesohor itu!"
Kembali Tay Kun Ing menjura dalam-dalam (pinceng = saya yang rendah).
"Bangsat kurang ajar!" bentak Jenderal Slebor.
"Namaku King No Kong! Jangan dibalik Kong No King!
Apa tubuhmu mau ke balik kaki ke atas kepala ke
bawah"!"
"Maaf Jenderal! Mohon maaf dan ampunmu! Pinceng tidak biasa berhadapan dengan
orang besar seperti
Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jenderal. Jadi...."
"Jadi apa jidatmu mau kuletakkan di pantat dan pantatmu kutaruh di jidat hah"!"
menghardik sang Jenderal.
"Hay ya! Ampun Jenderal," kata Tay Kun Ing sambil membungkuk berulang kali.
"Kalau pinceng punya pantat ditaruh di jidat dan jidat ditaruh di pantat
bagaimana mau makan dan buang air! Bisa-bisa salah kamar!"
Guru kungfu Tay Kun Ing diam-diam mulai merasa tidak enak. Dia sudah pernah
mendengar nama Jenderal satu ini. Jenderal pemabuk yang suka mengganggu anak
istri orang. "Jangan-jangan kedatangan si pantat botol ini mau menyatroni
pinceng punya murid si Giok Ngek!"
Di atas kudanya Jenderal Slebor King No Kong meneguk buli-buli arak hingga
mengeluarkan suara menyiplak dan minuman keras itu berlelehan di dagunya yang
ditutupi berewok tebal kotor berdebu. "Aku ampuni kesalahanmu Tay Kun Ing!"
berkata Jenderal Slebor. "Sekarang lekas kau suruh
keluar murid keponakanmu yang bernama Giok Ngek itu!
Aku mau lihat apa kecantikan serta kebagusan tubuhnya benar-benar seperti yang
disohorkan orang selama ini! Apa kecantikan dan potongan tubuhnya benar-benar
bisa membuat aku jadi ngek"
" Cialat! Cialat muridku!" keluh Tay Kun Ing dalam hati.
Untuk sesaat dia hanya bisa tertegun bingung.
"Tuyul muka kuning! Apa kau tuli atau budek hingga tidak menjalankan apa yang
diperintahkan Jenderal kami!"
Salah seorang pengawal sang Jenderal tiba-tiba
menghardik. Guru kungfu Tay Kun Ing menyumpah panjang pendek
dalam hati. "Ba... baik Jenderal Yang Mulia. Pinceng akan panggil gadis itu keluar. Harap
mau bersabar dan sudi
menunggu..." Tay Kun Ing putar tubuhnya yang kerempeng.
Tapi belum lagi dia sempat melangkah tiba-tiba dari pintu depan rumah muncul
seorang perempuan muda bertubuh gemuk-gendut luar biasa. Pakaiannya yang
berwarna berbunga warna-warni kelihatan ketat kesempitan hingga bagian-bagian tubuhnya
menyembul seperti berserabutan yaitu bagian dada yang gembrot ayun-ayunan, lalu
perut yang gendut menonjol, kemudian bagian pantat yang
melembung seperti ada boncengannya serta dua paha
yang gebyar-gebyor!
Dara super gemuk ini memiliki rambut hitam diponi di bagian depan dan dikonde
besar di sebelah belakang.
Rambutnya hitam berkilat dan bau apak karena diberi minyak jelantah! Wajahnya
ditemploki bedak tebal tak karuan. Pada bagian pipi kiri kanan diberi pemerah
mencolok sedang bibirnya yang tebal berselomotan dengan gincu berwarna merah
mencorong, berlepotan sampai ke dagu dan atas bibir. Wajahnya yang bulat dan
selalu keringatan itu tentu saja jauh dari cantik!
*** KUNGFU SABLENG 3 JENDERAL SLEBOR
URU kungfu Tay Kun Ing terpaku bengong
keheranan. Dia tidak kenal siapa adanya gadis
G gendut melembung berdada gembrot ini. Bahkan dia tidak pernah melihatnya
sebelumnya. Sungguh aneh kalau tahu-tahu gadis ini muncul begitu saja di dalam
rumah! Lain halnya dengan Jenderal Slebor King No Kong.
Sepasang mata maskokinya semakin membeliak dan
bertambah juling ketika memandang sang dara. Dengan mulut termonyong-monyong
sang Jenderal berpaling pada anak buahnya yang ada di samping kiri.
"Jadi ini dia gadis bernama Giok Ngek yang katamu wajah serta potongan tubuhnya
selangit tembus!"
Belum lagi si anak buah menjawab, gadis gemuk dengan dandanan kacau balau
seperti kampung dilanda angin puting beliung itu, melangkah menuruni tangga
serambi. Setiap langkah yang dibuatnya membuat sekujur tubuhnya mulai dari dada sampai ke
pinggul bergoyang ayun-ayunan.
"Betul sekali Jenderal Yang Mulia," si gadis berucap sambil lontarkan senyum
genit manja. "Saya memang Giok Ngek. Bintang perguruan Bintang Muncrat dan
rembulan desa Khan Cut. Jenderal Yang Mulia, apakah kau datang mencari saya
untuk minta dingek"!"
Muka jelek Jenderal King No Kong menjadi merah
padam. Bukan saja dia merasa tertipu, tapi juga diejek dan dihina di hadapan
para pengawalnya. Dia sengaja datang jauh-jauh untuk melihat kecantikan dan
kebagusan tubuh yang disohorkan itu. Ternyata setelah berhadapan muka, wajah dan
potongan tubuh Giok Ngek berbeda seperti siang dengan malam, seperti susu dengan
tuba, seperti madu dengan racun!
"Keparat sialan! Ada yang berani menipuku! Ratusan lie datang dari jauh ternyata
hanya untuk menyaksikan seekor kuda nil yang diberi baju serta didandani seperti
barongsay mabok begini rupa! Guru kungfu Tay Kun Ing! Terima dulu hadiah
kejengkelanku!"
Habis berkata begitu Jenderal Slebor King No Kong
hantamkan buli-buli arak yang terbuat dari tanah di tangan kirinya ke kepala
botak guru kungfu Tay Kun Ing. Buli-buli tanah itu hancur berantakan sedang guru
kungfu bertubuh kerempeng itu menjerit kesakitan, pegangi kepalanya sementara
tubuhnya melintir mata mendelik melihat
bintang-bintang kacau balau di atasnya. Tubuh kerempeng itu kemudian
terjerongkang ambruk di tanah, setengah pingsan setengah semaput!
Jenderal Slebor itu kini berpaling pada tiga pengawalnya.
Lalu membentak. "Keparat! Kalian bertiga menipuku!"
"Plaakk! Plaaakk! Plaaak!"
Tiga kali tangan kanan sang Jenderal bergerak pulang balik. Tiga pengawal
terhuyung-huyung di atas kuda, merintih kesakitan terkena tamparan Jenderal King
No Kong. Salah seorang dari mereka sambil pegangi mukanya yang bengab masih
mengoceh. "Wajahnya mungkin tidak menarik Jenderal Yang Mulia.
Memang benar seperti barongsay mabok! Tapi lihat
dadanya. Besar luar biasa. Kelapa saja masih kalah besar!"
"Setan alas! Kau makanlah kelapa muda barongsay mabok itu!" teriak sang
Jenderal. Dicekalnya leher pakaian pengawal yang barusan berani membuka mulut
itu lalu dilemparkannya ke arah gadis gemuk berbaju warna warni.
Tabrakan yang keras membuat kedua orang itu samasama jatuh terjengkang. Si pengawal pegangi kepalanya yang benjut sambil
mengerang kesakitan. Dia tak habis pikir. Jelas-jelas tadi kepalanya menumbuk
dada gemuk si gadis. Dia menyangka akan jatuh di atas bagian tubuh yang montok
itu tentu lembut-lembut enak. Tapi ternyata dada sang gadis keras seperti batu!
Kepalanya seperti
menghantam tembok!
"Hay ya! Geger otakku!" keluh si pengawal masih terduduk di tanah keliangan. Apa
sebenarnya yang ada di balik dada gadis gembrot itu"
"Jenderal pantat botol doyan perempuan!" Tiba-tiba satu suara membentak. Yang
membentak ternyata adalah si gadis gembrot. Suaranya yang tadi halus seperti
suara perempuan kini mendadak berubah, keras dan serak!
"Susah-susah dicari kini kau malah datang sendiri! Hari ini tiba saatnya aku
membalaskan sakit hati suhu!" (suhu =
guru). Dengan kecepatan luar biasa si gadis yang mengaku bernama Giok Ngek itu
menerjang ke arah Jenderal King No Kong.
*** KUNGFU SABLENG 4 JENDERAL SLEBOR
ENDERAL King No Kong yang sejak tadi sudah muak
melihat tampang dan tingkah laku si gadis gembrot
J segera ambil buli-buli arak yang tergantung di kantong pelana kuda. Dengan
benda ini hendak dikepruknya kepala barongsay betina itu. Namun seorang anak
buahnya cepat melompat dari kuda seraya berseru. "Jenderal! Biar aku yang
menghajar kuda nil betina ini!"
Jenderal King No Kong hentikan gerakannya. Si
pengawal cepat memapaki sang dara gembrot hendak
memberi hajaran. Tapi entah bagaimana tangan kanannya yang hendak dipakai
menjotos tahu-tahu kena dicekal orang, dibetot lalu dipuntir ke belakang
punggung hingga dia menjerit keras kesakitan.
"Monyet jelek tak berguna! Makan dulu kakiku ini!"
hardik si gadis. Kaki kanannya melayang ke pantat si pengawal.
"Bukkkk!"
Anak buah Jenderal King No Kong mencelat lalu
tersungkur jungkir balik di tanah. Mukanya berkelukuruan diparut tanah!
"Kurang ajar!" teriak Jenderal Slebor marah sekali. Dia tidak menyangka sama
sekali kalau gadis gemuk itu
demikian lincah dan cepat gerakannya. Dia berpaling pada anak buahnya yang di
sebelah kanan. "Lekas kau hajar kuda nil kesurupan itu! Cincang kalau perlu!"
Mendengar perintah sang Jenderal pengawal itu segera
"sreett!" Cabut goloknya. Lalu melompat turun dari atas kuda. Tapi begitu
berhadapan dengan sang dara dia tidak segera menyerang. Sambil melintangkan
golok di depan dada, pengawal yang ada tompel di pipi kirinya ini cengar-cengir
lebih dulu. Bahkan kedap-kedipkan matanya lalu berkata.
"Nonaku manis, walau tuan besarku marah selangit tembus padamu, tapi aku taukemu ini bisa memintakan pengampunan bagi dirimu. Asal saja kau ehem! Tau kan apa
yang aku maksudkan" Ya... ya... ya! "
"Tidak, aku tidak tahu apa yang kau maksudkan!" jawab Giok Ngek pura-pura tidak
mengerti tapi sambil balas kedipkan mata dan lontarkan senyum genit.
Merasa mendapat pasaran, menyangka si gadis suka
padanya maka setengah berbisik dia berkata. "Kau pura-pura takut dan serahkan
diri. Nanti ikut aku. Kita bersenang-senang di atas ranjang. Kau tahu, aku
paling suka pada perempuan bertubuh dan berdandan
amburadul sepentimu!"
"Oh, begitukah?" Gadis gemuk tersenyum lalu cibirkan bibirnya. Lalu dia
mendamprat. "Kacung tak tahu diri! Sama saja dengan majikanmu! Tampang seperti
kodok! Mulut bau jamban! Biar aku tuanmu ini memberi pelajaran
padamu!" Lalu Giok Ngek hantamkan satu jotosan ke muka pengawal tompel itu.
Merasa sangat terhina oleh caci maki si gadis, pengawal itu serta merta babatkan
golok besarnya. Yang di arah langsung leher Giok Ngek!
Guru kungfu Tay Kun Ing yang menyaksikan semua
kejadian itu dalam keadaan masih keliangan pejamkan mata saking ngerinya.
Tebasan golok si pengawal
datangnya laksana kilat. Si gadis gemuk tampaknya susah untuk berkelit
selamatkan batang lehernya. Namun apa yang kemudian terjadi sukar dipercaya sang
guru kungfu maupun sang Jenderal.
Dara berbadan super gemuk itu menyambut serangan
golok dengan melompat ke kiri. Lalu tangan kanannya menyelinap berputar menempel
pergelangan tangan lawan.
Di lain kejap golok di tangan si pengawal tadi telah berpindah tangan. Malah
kini gagang golok itu
dipergunakan lawannya untuk mengemplang kepala lawan berulang kali hingga kepala
itu bukan saja benjat-benjut tapi juga luka mengucurkan darah. Dalam keadaan
babak belur pengawal ini akhirnya melosoh jatuh ke tanah tak sadarkan diri!
Rahang Jenderal King No Kong menggelembung.
Gerahamnya bergemeletakan. Ditenggaknya arak dalam buli-buli tanah sampai habis.
Buli-buli yang kosong kemudian dibantingkannya ke tanah. Dengan mata
membelalak merah dia melompat turun dari kuda.
Langsung menyerang dara gemuk. Gerakan sang Jenderal enteng dan cepat serta
mengeluarkan suara angin
berkesiuran pertanda dia memiliki kepandaian kungfu yang tinggi.
Sebaliknya si gadis gemuk berdiri tenang-tenang saja.
Malah berkacak pinggang dengan sikap mengejek ketika Jenderal pemabuk itu
menyerangnya dan berkata:
"Jenderal Slebor! Kau memang harus dingek!"
"Giok Ngek! Aku bersumpah akan mengekmu sampai mampus!" teriak sang Jenderal
kalap. Tinju kanannya berkelebat menderu ke arah pipi kanan gadis bertubuh gemuk
itu. Yang diserang gerakkan badannya secara aneh.
Pukulan sang Jenderal hanya mengenai tempat kosong.
Nyaris tubuhnya ikut terpelintir karena daya dorong pukulan yang kuat tadi.
Dengan penuh geram dan beringas Jenderal King No Kong balikkan tubuh. Kaki
kanannya mencelat kirimkan satu tendangan ke arah perut lawan.
Tapi lagi-lagi serangan kedua ini hanya mengenai
tempat kosong. Malah kini gadis gemuk itu menghampirinya sambil rentangkan ke dua tangan bersikap seperti orang hendak
merangkul mesra sedang bibirnya dimonyongkan ke depan seolah hendak mencium sang
Jenderal penuh nafsu!
Karuan saja Jenderal King No Kong tambah
menggelegak amarahnya. Dia benar-benar dibuat malu, diejek dan dihina! Begitu
tendangannya tidak mengenai sasaran dia susul dengan hantaman tangan ke muka si
gembrot! Apa yang terjadi kemudian membuat terkejut semua
orang. Serangan Jenderal itu bukan saja kembali hanya mengenai tempat kosong
namun saat itu terdengar suara
"plaaakk!" Jenderal King No Kong menjerit keras sambil pegangi mukanya yang
barusan kena ditampar Giok Ngek.
Bibirnya pecah dan kucurkan darah!
Sang Jenderal membentak garang. Seperti kalap dia
ingin merobek-robek tubuh gadis gemuk itu. Tapi tiba-tiba dia tegak tak
bergerak. Dengan sekujur tubuh bergeletar dia bertanya.
"Barongsay betina! Tadi kau mengatakan hendak membalaskan sakit hati suhumu!
Suhumu yang mana"
Siapa! Yang botak bermuka kuning itu"! Siapa kau
sebenarnya"!"
*** KUNGFU SABLENG 5 JENDERAL SLEBOR
IOK NGEK menyeringai. Setelah awasi tampang
Jenderal itu sejenak dia lalu berkata. "Jenderal G pantat botol mata maskoki!
Kau dengar baik-baik
ucapanku! Hari ini jika kau tidak bersumpah dan bertobat tidak akan mengganggu lagi anak
gadis dan istri orang, lalu minta ampun karena telah menyiksa suhuku selama
bertahun-tahun, maka aku akan buat nyawamu tidak betah tinggal dalam tubuh
busukmu itu!"
"Kentut busuk! Siapa sih suhumu"!" bentak Jenderal Slebor.
"Suhuku Dewi Ngong Kong!" jawab gadis gembrot setengah berteriak.
Jenderal King No Kong tersentak kaget. Dia tadi
memang sudah curiga bahwa dara gemuk itu bukanlah
murid Tay Kun Ing. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau si gadis ternyata
mengaku sebagal murid Dewl Ngong Kong!
Walau kaget tapi Jenderal Slebor cepat kuasa diri.
"Hemmm... jadi kau adalah murid si nenek lihay yang bergelar Dewi Ngong Kong
itu! Bagus! Bagus! Suhunya tidak tahu diuntung! Muridnya tidak tahu diri! Hari
ini biar aku tuan besarmu memberi pelajaran matematika... eh salah! Maksudku
pelajaran sopan santun!"
Jenderal Slebor tutup ucapannya dengan mencabut
golok panjang yang terselip di pinggang. Sang Jenderal memang terkenal hebat
ilmu goloknya. Begitu golok
berkelebat satu kali terdengar suara "cras!" Si gadis gemuk terpekik. Untung dia
cepat melompat mengelak hingga kepalanya tidak jadi sasaran babatan golok.
Rambutnya berbusaian dan kini tanpa konde - yang ternyata konde palsu kelihatanlah rambut serta wajahnya yang asli!
Ternyata sang dara super gemuk ini adalah seorang lelaki!
"Banci kalengan!" teriak Jenderal Slebor marah besar sampai ke dua matanya
seperti mau melompat dari
rongganya. "Kau akan kucincang sampai lumat! Lalu kujadikan perkedel dan kukirim
ke neraka! Rohmu akan jadi setan banci penasaran!"
Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jongos Gie Le!" berseri guru kungfu Tay Kun Ing ketika penuh rasa tak percaya
dia mengenali dara gemuk itu bukan lain adalah jongos di tempat kediamannya yang
selama ini dikenal sebagai pemuda pendiam dan dungu.
"Cuma jongos rupanya! Jahanam betul! Berani menghina mengerjaiku!" Jenderal King
No Kong mendamprat marah.
Untuk ke dua kalinya golok besar di tangan kanannya membabat ke arah dada jongos
Gie Le. "Breett!"
Jongos Gie Le melompat ke belakang dengan muka
sepucat kertas. Dada pakaiannya robek besar dan
keluarlah potongan-potongan kain pel serta dua mangkok besar terbuat dari
porselen! Mangkok porselen inilah yang tadi dihantam kepala salah seorang
pengawal Jenderal Slebor hingga kepalanya jadi benjut!
"Banci tengik! Jangan harap kau bisa lolos!" 'teriak Jenderal Slebor. Sesekali
tangannya bergerak maka golok itu menabur serangan berantai. Jongos Gie Le
terpaksa berlompatan kian kemari cari selamat.
Beberapa jurus berlalu tanpa sang Jenderal mampu
melukai lawannya. Tiba-tiba terdengar seruan si jongos.
"Jenderal juling! Cukup kau jual lagak! Sekarang pinjamkan dulu golokmu padaku!"
Kepandaian silat jongos yang bekerja di perguruan silat Bintang Muncrat itu
ternyata tidak berada di bawah tingkat kepandaian Jenderal King No Kong. Karena
begitu seruannya tadi lenyap, terdengar suara "kraakk!" Disusul suara jeritan sang
Jenderal. Tulang sambungan siku tangan kanan Jenderal Slebor ternyata telah
remuk dihajar jotosan si gemuk Gie Le dan goloknya yang terlepas mental ke udara
secepat kilat disambar oleh jongos Itu.
Lalu golok itu berkelebat menderu-deru memutari
sekujur tubuh bagian bawah Jenderal Slebor. Tali
celananya putus! Celana yang jebol robek di sana-sini itu melorot turun bersama
celana dalamnya! Akibatnya
sebatas pinggang ke bawah Jenderal King No Kong
berubah menjadi King No Celana alias setengah telanjang!
Selagi sang Jenderal kalang kabut menutupi auratnya, jongos Gie Le ketok
kepalanya dengan gagang golok hingga perwira tinggi itu terhuyung-huyung
kelojotan macam orang teler.
"Jenderal hidung belang!" berseru jongos Gie Le.
"Sekarang aku perkenalkan padamu jurus kungfu bernama Dewa Cebok!" Pemuda gemuk
ini buang golok yang dipegangnya lalu tangan kanannya berkelebat cepat ke bagian
bawah perut sang Jenderal. Terdengar suara
ceplak-ceplok seperti orang cebok sungguhan. Jeritan Jenderal Slebor itu
menggelegar berkepanjangan.
"Ampun! Tobat! Ampun!" jerit sang Jenderal. Dia berusaha lindungi bagian tubuh
paling berharga yang dimilikinya. Tapi sia-sia belaka.
Setelah puas mengerjai Jenderal itu, jongos Gie Le hadiahkan satu tendangan
keras ke pantatnya hingga tubuh tinggi besar itu mencelat mental melewati pagar
halaman. "Sekarang kau boleh pergi! Bawa begundal-begundalmu!
Ingat! Jika kau masih berani mengganggu suhuku Dewi Ngong Kong berarti liang
kubur hanya tinggal sejengkal dari tenggorokanmu! Ayo lekas angkat kaki dari
hadapanku!"
Jenderal King No Kong melangkah terbungkuk-bungkuk.
Sambil melangkah pergi dia pegangi auratnya sebelah bawah. "Aku akan pergi!
Ampun! Aku bersumpah tidak akan mengganggu gurumu lagi! Tidak akan mengganggu
anak gadis dan istri orang! Tapi anuku ini! Ampun! Bonyok berat! Remuk semua!
Acak-acakkan! Tak bisa dipakai lagi!
Cialat...! Benar-benar cialat!"
Diikuti tiga anak buahnya Jenderal Slebor tinggalkan perguruan Bintang Muncrat
dengan kuda tunggangan
masing-masing. Sambil pegangi kepalanya yang benjut besar akibat
dikepruk dengan buli-buli arak guru kungfu Tay Kun Ing melangkah sempoyongan
mendekati jongos Gie Le. Kalau dulu sikapnya selalu kasar terhadap jongos itu
kini berubah total, hormat dan kagum.
"Gie Le, tidak kusangka kau sebenarnya adalah seorang pendekar kungfu
berkepandaian tinggi!" Guru kungfu itu terdiam sejenak. Lalu melanjutkan. "Juga
tidak kusangka kau adalah muridnya Dewi Ngong Kong yang terkenal di daerah
Tiongkok itu. Jika aku boleh tanya perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh
Jenderal King No Kong terhadap suhumu?"
Jongos Gie Le usap-usap keningnya yang keringatan.
Sambil membuka pakaian perempuan yang dikenakannya di atas baju dan celana
panjangnya, jongos ini
menerangkan. "Dulu sewaktu masih muda dan Jenderal King No Kong baru berpangkat
Kopral, dia naksir berat sama suhuku malah sampai-sampai ajukan lamaran. Tapi
suhu menolak dijadikan istri karena sudah tahu sifat lelaki itu. Mata keranjang
suka mengganggu anak istri orang serta pemabuk berat. Kopral King No Kong marah
dan malu besar pinangannya ditolak. Karena sebelumnya dia sudah sesumbar pasti
akan dapat menggaet suhu sebagai istrinya. Rasa malu berubah menjadi marah lalu
menjadi dendam. Maka dia mulai mengganggu suhu. Dia mencuri setiap celana dalam
yang dimiliki suhu. Pokoknya di mana saja dia menemui celana dalam suhu, mungkin
di bakul tempat kain kotor, atau di tempat cucian, di tali jemuran bahkan
sampai-sampai ke lemari pasti diambilnya!
Akibatnya dapat dibayangkan bagaimana penderitaan
suhu. Selama belasan tahun beliau hidup sebagai
perempuan yang tidak pernah bisa punya celana dalam.
Tidak pernah memakai celana dalam.... "
Untuk beberapa lamanya guru kungfu Tay Kun Ing
tertegun tak bisa bicara. Lalu sambil tersenyum dia keluarkan kocek kain yang
tergantung dl balik pakaiannya.
Dari dalam kocek ini diambilnya dua tail perak dan diserahkannya pada jongos Gie
Le. "Ambillah. Pergi ke pasar. Beli sepuluh lusin celana dalam untuk suhumu!"
" She... she! Kamsia... kamsia!" kata jongos Gie Le seraya menjura berulang kali.
"Mulai hari ini kau kuangkat jadi Wakilku di perguruan Bintang Muncrat!"
menambahkan Tay Kun Ing.
"Terima kasih atas kepercayaan guru! Tapi untuk jadi wakilmu aku tidak perlu
memplitur muka dan kepalaku dengan kunyit serta kencur bukan?"
Guru kungfu Tay Kun Ing tertawa mengekeh. Dari balik pintu muncul satu wajah
cantik jelita. Itulah wajah gadis bernama Giok Ngek, murid dan keponakan sang
guru kungfu. Si gadis ulurkan tangannya nya menarik lengan Gie Le. Tawa Tay Kun Ing
langsung berhenti.
"Hay ya! Naga-naganya pinceng bakal kehilangan keponakan!" Guru kungfu itu
garuk-garuk kepalanya lalu mengambil komik "Super Amoy" yang tercampak di
serambi rumah dan melanjutkan bacaannya!
TAMAT Wanita Gagah Perkasa 11 Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Sepasang Garuda Putih 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama