Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 17

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 17


Sabungsaripun mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ketika lawannya mengangkat pisaunya perlahan-lahan, maka iapun telah bersiap untuk meloncat menghindari. De"ngan saksama ia melihat gerak tangan lawannya itu.
Sementara itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing masih juga bertempur. Kedua orang itu masih lebih banyak meng"hindar. Tetapi jika lawannya selalu mendesaknya, maka se"kali-sekali orang-orang tua itupun menyerang juga, agar lawannya tidak bergeser maju terus. Bahkan lawan Ki Jayaraga kadang-kadang menjadi bingung. Tanpa diketahuinya, apa yang telah dilakukan lawannya, tiba-tiba saja menyusup diantara ayunan ilmunya, dorongan kakuatan yang luar biasa besarnya sehingga orang itu telah terdorong tidak hanya satu dua langkah. Tetapi bahkan beberapa langkah. Tangan orang tua itu tidak menyakitinya. Hanya mendorongnya.
"Apa maunya orang tua itu." geram lawannya di dalam hatinya.
Demikian pula Kiai Gringsing. Ia memang tidak ber"usaha untuk menundukkan lawannya dengan mematahkan tangannya atau memilin lehernya. Tetapi dibiarkannya lawannya mengerahkan segenap tenaganya.
Ki Demang yang menyaksikan pertempuran itu men"jadi bingung. Ia melihat kedua orang tua itu seakan-akan memang tidak bersungguh-sungguh. Sekali-sekali bahkan ia melihat orang-orang tua itu tersenyum, meskipun sambil berloncatan menghindar.
Sementara itu Ki Demang melihat Sabungsari dan lawannya telah bertempur dengan sengitnya. Keduanya telah bergerak dengan cepat. Berloncatan dan saling menye"rang. Keduanya telah mengalami hentakan pukulan lawan"nya dan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan terbanting jatuh ditanah, berguling dan melenting tegak kembali.
"Persetan kau kakek tua", geram orang itu, "ternyata kau mampu mengenali kekuatan ilmuku". Ki Jayaraga tersenyum. Katanya: "Ilmu yang sebenarnya mulai surut karena tidak mampu lagi mengatasi berbagai kesulitan"
Ketika Ki Jayaraga kemudian mendorong lawannya dengan keras, maka lawannya itupun telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terlentang. Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya itu dengan cepat bangkit berdiri, sementara Ki Jayaraga ber"diri saja mengawasinya sambil tersenyum.
"Marilah Ki Sanak." katanya, "bangkitlah. Kita mempunyai banyak waktu untuk bermain-main."
Lawannya menjadi semakin marah mendengar kata-kata orang tua itu. Namun bagaimanapun juga, ia merasa bahwa ia telah mengalami kesulitan. Karena itu, maka orang itupun telah menarik senjatanya untuk menghadapi Ki Jayaraga.
Karena orang itu yakin akan ilmunya, maka senjatanya yang terselip dipinggangnya bukan sebuah golok yang besar dan panjang. Tetapi sepasang pedang kecil atau dapat juga disebut belati panjang. Dalam kemampuan ilmunya, maka belati itu seakan-akan telah berubah menjadi sebilah pedang yang panjang.
Ki Jayaraga tertegun melihat sepasang pedang pendek ditangan lawannya. Bahkan hampir bersamaan maka lawan Kiai Gringsingpun telah menggenggam belati pula.
Namun kedua orang tua itupun melihat, bahwa lawan Sabungsari tidak menarik belatinya yang tergantung di lambung. Tetapi ia telah mempergunakan pisau-pisau kecil se"kali yang dapat dilontarkan kearah lawannya dari jarak yang agak jauh.
Ki Jayaraga yang tidak berniat melawannya dengan senjata apapun juga itu terpaksa mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Kiai Gringsing justru telah menguraicambuknya.
"Buat apa Kiai?" bertanya Ki Jayaraga.
"Pedang-pedang kecil itu bentuknya sangat menarik." berkata Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tentu Kiai Gringsing mempunyai maksud tertentu dengan cambuknya itu.
Dalam pada itu, lawan Sabungsari telah melontarkan pisaunya pula setelah ia bergeser beberapa langkah sambil membidik. Demikian cepatnya pisau kecil itu meluncur, se"hingga hampir saja berhasil menyambar pundak Sabung"sari yang meloncat berguling ditanah.
Namun yang berikutnya lawannya tidak memberinya kesempatan. Ia tidak membidik lagi, tetapi demikian Sabungsari bangkit, maka pisau kecil berikutnya telah meluncur lagi.
Tetapi yang menjerit justru seorang yang berdiri disamping pendapa. Pisau itu ternyata telah salah sasaran. Lawan Sabungsari melempar pisaunya terlalu mendatar, se"hingga menyambar orang yang melingkari arena pertempuran itu, meskipun dari jaraksyang cukup jauh.
Jerit orang tua itu telah membakar jantung Sabung"sari. Dengan geram Sabungsari berkata, "Kau telah melukai orang yang tidak tahu menahu tentang permainan ini."
"Itu akibat wajar dari pertempuran ini. Salahnya sendiri bahwa ia berdiri terlalu dekat dengan arena." geram lawannya.
"Ia sudah berdiri cukup jauh." sahut Sabungsari.
"Persetan." orang itu berkata lantang, "sebentar lagi lehermu yang akan aku koyak dengan pisau-pisau kecil ini."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia sempat melihat orang yang terkena pisau itu ditolong oleh kawan-kawannya.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, "Pisau itu tentu beracun."
"Apakah kau dapat menolong Kiai." berkata Ki Jaya"raga.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun tiba-tiba sa"ja Ki Kayaraga telah melepas ikat kepalanya. Seperti yang pernah dilakukannya ia telah mempergunakan ikat kepa"lanya sebagai senjata, meskipun penggunaannya agak berbeda dengan Ki Waskita.
"Tinggalkan lawanmu." berkata Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun katanya "Baiklah. Tetapi aku inginkan pedang-pedang kecil itu."
"Ambil satu." berkata Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Ia memang ingin satu diantara kedua pedang kecil ditangan lawannya. Agaknya pedang kecil itu memang mempunyai arti tersendiri baginya. Karena itu, maka sejenak kemudian Kiai Gringsingpun telah bersiap-siap untuk mengambil senjata itu.
Namun dalam pada itu lawannya telah mengumpat. Ia merasa direndahkan oleh lawannya yang tua itu. Seakan-akan orang tua itu akan dapat mengambil belatinya sekendak hatinya sendiri.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan. Tiba-tiba saja cambuk Kiai Gringsing meledak dengan kerasnya. Seolah-olah telah mengoyakkan setiap selaput telinga. Lawannyapun terkejut mendengar ledakan itu, se"hingga sesaat perhatiannya telah tertuju kepada bunyi yang menghentak itu.
Namun pada saat yang demikian, terasa sebuah tarikan yang keras sekali. Sebelum itu menyadari apa yang terjadi, maka sebilah pedang kecilnya telah lepas dari tangan kirinya. Pedang kecil itu terlempar keudara. Namun dalam waktu yang singkat, senjata itu telah jatuh ketangan Kiai Gringsing. Seakan-akan tangan Kiai Gringsing mempunyai kemampuan untuk menghisap pedang yang sedang terpelanting itu.
"Terima kasih." berkata Kiai Gringsing, "aku belum sempat meneliti ciri-cirinya. Aku harus menolong orang yang terkena racun itu."
Lawannya mengumpat. Tetapi ia tidak dapat menyusul Kiai Gringsing karena serangan yang lain telah datang. Serangan Ki Jayaraga.
Dengan demikian maka Ki Jayaraga harus melawan dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Keduanya ada"lah orang-orang terbaik diantara keempat orang bersaudara seperguruan itu. Tetapi Ki Jayaraga adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula, sehingga meskipun ia harus berhati-hati menghadapi kedua lawannya, namun keduanya tidak akan dapat menundukkan Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing kemudian telah bergeser keluar dari arena sambil menyelipkan pedang kecil yang berhasil dirampasnya itu diikat pinggangnya. Iapun dengan tergesa-gesa telah mendekati orang yang terkena pisau-pisau kecil beracun yang dilontarkan oleh lawan Sabungsari namun tidak mengenai sasarannya.
Tetapi Kiai Gringsing tertegun ketika seorang diantara keempat orang itu telah mencegatnya. Saudara seperguru"an yang termuda diantara keempat orang itu.
"Kau akan melarikan diri?" bertanya orang itu.
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "orang yang terkena pisau kecil beracun itu memerlukan pengobatan. Jika tidak, maka ia akan mati."
"Kau tidak usah mempedulikannya." geram orang itu, "mati atau tidak itu bukan urusanmu."
"Jangan begitu bengis Ki Sanak. Jika kau ingin ber"tempur nanti kita akan bertempur. Tetapi biarlah aku mengobati orang itu lebih dahulu."
Tetapi orang itu tidak mau juga bergeser. Bahkan tiba-tiba saja ia sudah siap untuk bertempur.
Kiai Gringsing yang menjadi cemas karena orang yang terkena racun itu benar-benar akan dapat meninggal, tidak mau membuang waktu terlalu banyak. Karena itu ketika orang itu menyerangnya, maka dengan tangkasnya ia mengelak. Kiai Gringsing tidak memukul orang itu pada tengkuknya. Tetapi dengan jari-jarinya Kiai Gringsing telah mengetok punggung orang itu sebelah menyebelah tulang belakangnya.
Ternyata bahwa orang itu tidak mampu melawan Kiai Gringsing dalam dua loncatan. Demikian punggungnya tersentuh jari-jari Kiai Gringsing, maka seluruh tubuhnya rasa-rasanya bagaikan bergetar. Urat-uratnya menjadi lemah dan tidak berdaya, sehingga otot-ototnyapun tidak lagi mampu menyangga tubuhnya yang tegak. Sejenak kemudian orang itupun telah terjatuh lemas.
Kiai Gringsing segera meninggalkannya. Iapun bergegas mendekati orang yang terkena pisau beracun itu, Dengan cepat pula Kiai Gringsing mengambil obat dari kantong ikat pinggangnya dan kemudian dengan hati-hati menarik pisau yang masih tertancap itu.
Sejenak Kiai Gringsing memperhatikannya. Ia melihat perkembangan keadaan orang itu. Kemudian menaburkan obat pada luka yang tidak mengeluarkan darah itu.
Tiba-tiba saja orang itu menjerit kesakitan. Namun. ketika ia meronta, maka Kiai Gringsing berdesis, "Jangan biarkan ia bergerak terlalu banyak. Racun itu keras sekali. Setiap gerakan akan mempercepat kesulitan pada tubuh"nya. Obatku memang terasa panas seperti api. Tetapi obat itu akan menghisap racun yang telah berada di dalam tubuh"nya."
Tanpa disadari, orang-orang itupun telah melakukan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing. Mereka memegangi kawannya yang terkena pisau itu. Sementara orang itu masih saja berteriak-teriak kesakitan, karena ditempat lukanya, seakan-akan Kiai Gringsing telah menaburkan bara api.
Namun sejenak kemudian, diluka itu nampak titik-titik darah mulai mengembun. Kemudian sedikit demi sedikit, darah yang berwarna kebiru-biruan mulai mengalir.
"Mudah-mudahan berhasil." berkata Kiai Gringsing. Ketika darah mulai keluar dari luka dan menjadi sema-kin merah, maka rasa-rasanya panas diluka itupun telah menjadi susut.
Namun pada saat itu kemarahan lawan Sabungsaripun telah sampai kepuncak. Apalagi ketika, ia melihat saudara seperguruannya yang muda itu telah dilumpuhkan oleh kakek tua yang kemudian telah mengobati luka orang yang terkena pisaunya, maka kemarahannya benar-benar telah membakar kepalanya.
Dengan demikian maka tidak ada niat lain yang menyumbat dihatinya selain membunuh orang termuda di-antara ketiga orang yang oleh orang-orang padukuhan itu telah dipastikan sebagai sekelompok pencuri. Karena itu, maka serangannyapun menjadi semakin deras. Lontaran-lontaran pisaunya menjadi semakin sering. Namun bukan berarti bahwa orang itu tidak membidik sasarannya dengan baik.
Itulah sebabnya maka Sabungsari mulai mengalami kesulitan. Ia harus berloncatan kian kemari, berguling, melenting dan meloncat lagi.
Karena itulah, maka Sabungsaripun telah sampai pula pada batas pengekangan diri. Ia tidak lagi menghiraukan apapun juga. Lebih baik menghancurkan lawannya daripada dirinya sendiri yang dihancurkan. Pangeran perang itu berlaku dan berlaku terus dalam peperangan.
Itulah sebabnya, maka ketika sebuah pisau kecil de"ngan arah yang lurus menuju kejantungnya, Sabungsari telah meloncat dan langsung berguling beberapa kali. Bukan saja untuk menghindari serangan itu, tetapi ia me"mang berusaha untuk mengambil jarak dan kesempatan.
Lawannya yang melihat Sabungsari berguling-guling menjauhinya tertegun sejenak. Namun tiba-tiba saja ia ter"tawa. Katanya, "Nah kau telah kehilangan semua kesem"patan. Kau tidak akan dapat lolos dari tanganku. Memang terlalu berat hukuman yang akan kau terima. Kau hanya bersalah mencuri seekor kambing. Tetapi kau harus mati di halaman Kademangan ini, karena justru kau telah menge"lakkan diri dari tanggung jawab. Jika kau akui saja kesalahanmu, maka hukumanmu tentu akan jauh lebih ringan."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan ia bangkit. Sementara itu lawannyapun telah bersiap pula dengan dua bilah pisau kecil dikedua tangannya. Dengan nada tinggi ia berkata, "Satu diantara kedua pisau ini akan mengakhari perlawananmu."
Selangkah demi selangkah orang itu mendekat. Ia ingin meyakinkan dirinya untuk benar-benar dapat mengakhiri pertempuran. Karena itu, ia ingin membunuh lawannya dari jarak yang lebih dekat.
Namun dalam pada itu Sabungsari berkata dengan suara berat, "Sudah cukup Ki Sanak. Jangan maju lagi. Jika kau berdiri terlalu dekat dari aku, maka tubuhmu ten"tu akan hancur tanpa bekas."
Orang itu memang berhenti. Sejenak ia mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian justru bertanya, "Kenapa aku kau hentikan" Agaknya kau benar-benar menjadi ketakutan. Tetapi sayang, aku sudah mengambil keputusan, bahwa kau memang harus mati. Karena itu, jangan menyesal. Semuanya sudah terlambat."
Tetapi ketika orang itu melangkah maju, terjadilah sesuatu yang sangat mengejutkannya. Dari kedua mata Sa"bungsari seakan-akan telah meluncur sepasang cahaya yang memancar dan menghantam tanah sedepa dihadapan lawan Sabungsari itu, sehingga tanah itu bagaikan meledak.
Orang itu terkejut bukan kepalang. Dengan serta merta ia telah meloncat surut selangkah.
"Nah" berkata Sabungsari kemudian, "jika kau masih akan maju lagi, maka tubuhmulah yang akan hancur."
Sejenak orang itu berdiri tegak dengan dada yang berdebaran. Namun ia tidak boleh ingkar akan kenyataan itu. Ternyata bahwa lawannya itu mampu melepaskan ilmu yang dahsyat sekali.
Untuk beberapa saat orang itu berdiri tegak dengan sepasang pisau kecil dikedua tangannya. Ketika ia memandang sekilas orang-orang yang berdiri disekitarnya, maka dilihatnya, semua mata telah memandang kepadanya, seolah-olah ingin menitipkan harapan, agar ia benar-benar mampu menghukum orang yang dianggap bersalah itu.
"Aku sudah mendapat kepercayaan dari mereka." berkata orang itu didalam hatinya, "aku harus dapat memenuhi keinginan mereka."
Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk benar-benar membunuh lawannya.
Orang itu ingin mempergunakan saat-saat Sabungsari tidak siap menghadapi serangannya. Karena itu, maka justru ia tidak menunjukkan sikap untuk menyerang. Ia berdiri saja mematung ditempatnya. Namun kedua tangan"nya telah memegang pisau-pisau kecil yang akan dapat dipergunakannya untuk membunuh lawannya.
"Nah." berkata Sabungsari, "menyerah sajalah. Jika aku tidak mempergunakannya sejak awal pertempuran, aku memang tidak ingin membunuhmu. Tetapi aku ingin menangkapmu dan memeras keteranganmu. Siapa saja yang telah mencuri kambing itu. Bahkan agaknya kau akan dapat memberikan keterangan lebih jauh dari sekedar seekor kambing yang hilang."
Orang itu menundukkan kepalanya. Sementara itu, orang-orang yang berada diseputar arena itu menjadi bi"ngung. Mereka tidak tahu sepenuhnya apa yang telah ter"jadi.
Sementara itu, Kiai Gringsing telah berhasil mengobati orang yang terkena lontaran pisau beracun itu. Sedangkan seorang diantara keempat orang saudara seperguruan itu masih terbaring diam. Dua orang diantara mereka bertem"pur melawan Ki Jayaraga, namun keduanya tidak berhasil berbuat sesuatu.
Dalam keadaan yang demikian, maka Sabungsari telah melangkah setapak maju sambil berkata, "Lepaskan senjatamu."
Lawannya masih berdiam diri. Tetapi ia berkata dida"lam hatinya, "Bagus. Majulah lagi semakin dekat. Jika kau larang aku mendekat, kau sendirilah yang datang untuk mengantarkan nyawamu sekarang."
Sabungsari memang maju lagi selangkah.
Sementara itu lawan Sabungsari itu masih saja berdiam diri. Kedua tangannya seakan-akan terkulai lepas meskipun ia masih membawa sepasang pisau kecil.
"Menyerahlah." berkata Sabungsari, "kau tidak mempunyai kesempatan."
Orang itu tidak menjawab. Namun ia memang memperhitungkan bahwa ia akan menyerang dengan tiba-tiba. Ketika Sabungsari melangkah lagi selangkah men"dekat, maka orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. De"ngan serta merta ia telah dengan sigapnya melontarkan sepasang pisaunya dengan mengerahkan seganap tenaga dan kekuatannya.
Sabungsari memang terkejut. Meskipun ia masih juga menduga bahwa serangan yang demikian itu dapat saja datang setiap saat, tetapi sambaran kedua pisau yang mengarah kedadanya itu telah membuat jantungnya bergejolak.
Tetapi perbuatan orang itu telah membuat kemarahan didada Sabungsari menjadi semakin menyala. Karena itu, maka ketika ia meloncat dan berguling menghindari serang"an dua buah pisau kecil itu, ia tidak menahan diri lagi. Apa"lagi ketika ia melihat orang itu telah mencabut lagi pisau dari sederet pisau diseputar lambungnya yang terselip diikat pinggangnya.
Sabungsari tidak sempat bangkit berdiri. Namun sam"bil berlekatan pada tangannya, Sabungsari telah menye"rang orang itu dengan kekuatan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya langsung mengarah kedada lawannya.
Pada saat yang demikian, lawan Sabungsari itu justru sedang mengangkat tangannya siap untuk melontarkan pi"saunya.
Namun yang terdengar adalah keluh kesakitan yang tertahan. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian tubuhnya itu telah terbanting di tanah. Sekali ia masih menggeliat, namun kemudian ia sama sekali sudah tidak bergerak lagi.
Sabungsari kemudian bangkit berdiri. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Agaknya isi dada orang itu dihancurkan oleh kekuatan ilmu Sabungsari itu.
Tiga orang saudara seperguruannya sempat menyaksikan apa yang terjadi. Ki Jayaraga yang bertempur melawan dua orang diantara mereka, seakan-akan sengaja memberi kesempatan kepada mereka untuk menyaksikan apa yang telah terjadi. Sementara seorang yang masih saja tidak berdaya karena sentuhan tangan Kiai Gringsing melihat pula saudara seperguruannya itu terlempar dan jatuh di tanah
karena sambaran sinar yang memancar dari sepasang mata lawannya.
"Bukan main." desisnya. Bagaimanapun juga orartg itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Tubuhnya sendiri tiba-tiba telah kehilangan tenaganya. Dua orang saudara seperguruannya yang dianggap paling tua dan berada ditataran paling tinggi sama sekali tidak mampu menun"dukkan satu diantara kedua orang tua itu.
Sementara seorang diantara mereka telah dihancurkan oleh lawannya yang paling muda diantara tiga orang yang justru akan ditundukkannya. Bahkan saudara seperguruan itu agaknya memang benar-benar akan membunuh lawannya itu.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Saudara seper"guruannya itulah yang telah terbunuh.Tetapi ia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun ia memaksa dhi, tetapi ia tetap saja berada di tempatnya.
Kematian seorang diantara keempat orang itu telah membuat saudara seperguruannya harus berpikir ulang. Kedua orang yang bertempur melawan Ki Jayaraga itupun sudah merasa bahwa orang tua itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sampai sekian lama mereka bertempur, orang tua itu belum memperlihatkan kemampuannya seba"gaimana dilakukan saat ia memutuskan tali yang mengikat tangannya dengan membakarnya menjadi abu. Jika orang tua itu berniat melakukan atas diri mereka, maka agaknya pertempuran itu akan menjadi semakin cepat selesai.
Tetapi Ki Jayaraga memang tidak mempergunakannya. Ia mempergunakan ikat kepalanya untuk melawan senjata-senjata lawannya. Ia tidak membakar udara disekitarnya dengan kekuatan api, atau menggoncang lawannya dengan prahara yang dapat disadapnya dari kekuatan udara atau kekuatan lain yang mampu dilontarkannya. Tetapi ia masih mempergunakan ketrampilan wadagnya untuk mempermainkan ikat kepalanya yang sekali-sekali menyambar, namun kemudian mematuk. Bahkan dengan ikat kepalanya itu ia menangkis ujung-ujung belati panjang yang mengarah ketubuhnya dengan memegangi dua sudut dari keempat sudut ikat kepalanya itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan per"tempuran itu memang menjadi bingung. Ki Demang mena"rik nafas dalam-dalam. Tetapi rasa-rasanya dadanya sen"dirilah yang menjadi sesak melihat sorot mata Sabungsari yang meremas isi dada lawannya.
"Ternyata mereka tidak sekedar menakut-nakuti." berkata Ki Demang itu kepada bebahu yang berdiri disebelahnya, "orang muda itu memang mengatakan, bahwa seisi Kademangan ini tidak akan mampu menangkapnya. Ternyata dari matanya dapat memancar api yang akan dapat membakar seluruh Kademangan ini."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Sementara di halam"an Ki Jagabaya menjadi bingung. Bahkan kemudian Ki Jagabaya itu telah berlari mendapatkan Ki Demang sambil berkata gagap, "Ki Demang. Apa yang harus kita lakukan?"
Ki Demang termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, "Tidak ada."
"Lalu, bagaimana sikap kita jika orang-orang yang kita tuduh mencuri kambing itu marah kepada kita?" bertanya Ki Jagabaya pula.
"Terserah kepada mereka, apa yang akan mereka laku-kan. Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Setiap perlawanan hanya akan menambah korban saja." desis Ki Demang.
Ki Jagabaya menjadi pucat. Apalagi ketika kemudian ia melihat Ki Jayaraga tertawa sambil mengibaskan ikat kepalanya. Bahkan kemudian Ki Jayaraga itupun berkata, "Nah, apa katamu sekarang" Jika salah seorang diantara kalian harus bertempur melawan kemanakanku itu, maka kemungkinan sebagaimana terjadi pada saudara seperguru"an itu akan terjadi pula atas kalian."
Kedua orang yang bertempur melawan Ki Jayaraga itu memang mulai dibayangi oleh kecemasan. Ternyata bahwa orang termuda diantara ketiga orang itu sebenarnya akan mampu membunuh sejak perselisihan itu terjadi. Tetapi ia baru mempergunakannya ketika ia tidak lagi melihat ke"mungkinan lain.
Ki Jagabaya semakin mendekati Ki Demang. Katanyapun menjadi semakin gagap, "Ki Demang. Berbuatlah sesuatu."
Ki Demang tidak sempat berbuat apa-apa. Ki Jayaraga agaknya telah jemu dengan permainannya, sehingga iapun berkata kepada Kiai Gringsing, "Kiai, kemarilah."
Kiai Gringsing yang telah berhasil menghisap keluar racun di dalam tubuh orang padukuhan itu dengan obatnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengamati pisau yang telah berhasil dirampasnya.
"Biarlah mereka menyerah." berkata Kiai Gringsing.
"Aku sudah memberi kesempatan kepada mereka." jawab Ki Jayaraga, "tetapi agaknya mereka masih merasa segan."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Jayaraga berkata kepada kedua orang itu, "Cepat, menyerahlah."
Tetapi kedua orang lawan Ki Jayaraga yang mulai men"jadi cemas itu masih juga bertempur terus. Karena itu, maka Ki Jayaragapun telah mendesak mereka sambil ber"kata, "Cepat. Menyerah atau aku akan memaksa kalian."
Tidak ada jawaban. Tetapi Ki Jayaraga memang sudah siap untuk mengakhiri pertempuran. Sementara itu Kiai Gringsing seakan-akan tidak lagi memperhatikan pertem"puran itu. Bahkan ia telah memanggil Sabungsari untuk datang mendekatinya.
"Kau lihat ciri pada pedang kecil ini?" bertanya Kiai Gringsing kepada Sabungsari.
Sabungsari yang masih dicengkam oleh ketegangan karena lawannya yang terbunuh itu memperhatikan seba"gaimana ditunjukkan oleh Kiai Gringsing. Pada tangkai pedang kecil yang berhasil dirampasnya itu Kiai Gringsing melihat satu ciri yang agaknya merupakan ciri dari satu perguruan. Justru yang pernah dikenalnya.
" Kiai pernah mengenalnya" " bertanya Sabungsari.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian
iapun memandang kearah Ki Jayaraga yang sedang
bertempur dan semakin mendesak lawannya. Bahkan sudut
ikat pinggangnya telah mulai menyentuh tubuh lawannya.
Ternyata sentuhan satu sudut ikat pinggang itu mampu
mememarkan kulitnya sebagaimana dipukul dengan tongkat
besi gligen. Yang menjadi gelisah ternyata bukan hanya orang-orang
yang telah memusuhi Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan
Sabungsari. Tetapi beberapa orang bebahu dan orang-orang
padukuhan itupun menjadi gelisah pula. Apalagi mereka yang
merasa pernah mengucapkan kata-kata atau
menunjukkan sikap yang kasar terhadap ketiga orang yang
mereka tuduh telah mencuri kambing itu. Ternyata persoalan
seekor kambing telah merambat menjadi persoalan yang jauh
lebih besar. Bahkan seorang telah tewas dalam persoalan
yang berkembang itu. Orang-orang padukuhan itu memang sependapat bahwa
seisi Kademangan itu tidak akan mampu mengalahkan ketiga
orang yang mereka anggap sebagai pencuri itu.
Terlebih-lebih adalah Ki Jagabaya. Ia merasa bahwa ialah
yang telah mengambil keputusan untuk menghukum ketiga
orang itu meskipun Ki Demang sudah memperingatkannya.
Dalam pada itu, serangan Ki Jayaraga menjadi semakin
cepat pula. Satu diantara sudut-sudut ikat kepalanya
menyambar-nyambar semakin cepat. Beberapa kali kedua
orang lawannya telah tersentuh senjata yang aneh itu. Bahkan
sudut ikat kepala itu rasa-rasanya semakin lama menjadi
semakin berbahaya. " Aku memberi kesempatan kepada kalian, sekali lagi. "
geram Ki Jayaraga yang mulai jengkel " menyerahlah. Keragu-raguan masih mencengkam kepala kedua orang
itu. Apalagi jika mereka melihat orang-orang yang
berkerumun. Bagaimanapun juga harga diri mereka akan
dirusakkan jika dengan serta merta harus menyerah.
Karena keragu-raguan itulah, maka Ki Jayaraga menjadi
semakin tidak sabar. Kiai Gringsing dan Sabungsari sudah
berbicara tentang pedang kecil itu, sementara ia masih harus
bertempur sendiri. Karena itu, maka Ki Jayaraga mulai meningkatkan ilmunya.
Ketika kemudian sudut ikat kepalanya itu mengenai lawannya
lagi, maka ikat kepala itu seakan-akan telah berubah menjadi
kepingan, baja yang tajam. Goresan ikat kepala itu ternyata
telah mengoyak kulit seorang diantara kedua orang lawannya.
" Gila " geram orang itu sambil meloncat surut.
Pundaknyalah yang telah terluka cukup dalam.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang menjadi jemu itu
telah menyerang lawannya yang seorang pula. Lengannyalah
yang menganga karena goresan ikat kepala itu.
" Nah " berkata Ki Jayaraga " jika kalian tidak menyerah,
maka aku akan mengoyak tubuh kalian arang kranjang. "
Ancaman itu bukan sekedar ancaman untuk menakutnakuti.
Karena ancaman itu tidak mendapat tanggapan, maka
Ki Jayaraga benar-benar telah bertindak cepat. Dalam waktu
yang sangat singkat, maka kedua orang itu benar-benar telah
dilukainya lagi. Lebih parah.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi keduanya,
kecuali melepaskan senjata-senjata mereka sambil
berloncatan surut. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
berat ia berkata " Kenapa kalian menyerah setelah tubuh
kalian terluka. Jika sejak semula kalian melepaskan senjatasenjata
kalian, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan
seperti itu. " Orang-orang itu tidak menjawab. Namun luka-luka mereka
memang terasa pedih. Darah yang hangat mengalir tidak
habis-habisnya dari luka-luka itu.
Dalam pada itu Ki Jayaraga berkata selanjutnya " jika kau
biarkan saja luka-lukamu itu, maka kau akan menjadi
kehabisan darah. " Kedua orang itu memang menjadi cemas melihat luka-luka
mereka. Selain perasaan sakit yang semakin menggigit, maka
darah mereka memang akan dapat habis jika mereka tidak
segera sempat mengobatinya. Namun Ki Jayaraga kemudian
berkata " Biarlah Kiai Gringsing menolong kalian.
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun keduanya berpaling
kearah Kiai Gringsing yang ternyata berhasil menolong
orang yang terkena lontaran pisau kecil beracun itu.
" Kemarilah " berkata Kiai Gringsing kemudian. Kedua
orang itu memang ragu-ragu. Namun Ki Jayaraga
membentaknya " Mendekatlah, atau kalian ingin mati
kehabisan darah" Kedua orang itu bergerak serentak hampir diluar sadar
mereka Selangkah demi selangkah keduanya mendekati
Kiai Gringsing yang telah mempersiapkan obat bagi
mereka. " Duduklah " berkata Kiai Gringsing.
Sejenak kemudian Kiai Gringsingpun telah menaburkan
obat pada luka-luka kedua orang itu. Obat yang pada mulanya
memang terasa sangat pedih. Namun perlahan-lahan obat itu
menjadi dingin dan arus darahpun menjadi semakin lambat
sehingga setelah keduanya menunggu beberapa saat, maka
darah itupun telah hampir menjadi pampat.
" Jangan bergerak-gerak dahulu " berkata Kiai Gringsing
kepada keduanya. Kedua orang itu hanya mengangguk saja tanpa menjawab
sepatahpun. Namun ketika tidak dengan sengaja seorang
diantara keduanya itu memandang Sabungsari dan kebetulan
Sabungsari memandanginya pula dengan cepat orang itu
menundukkan kepalanya. " Duduk sajalah " desis Kiai Gringsing sambil beranjak dari
tempatnya. Orang tua itupun kemudian telah menekan
beberapa jalur syaraf pada punggung seorang diantara orang
bersaudara itu, yang telah dibuatnya hampir lumpuh.
" Bangkitlah " berkata Kiai Gringsing.
Orang itu merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah
pulih kembali. Demikian pula kekuatan dan kemampuannya.
Namun iapun kembali. Demikian pula kekuatan dan
kemampuannya. Namun iapun menyadari bahwa semuanya
itu tidak akan berarti lagi, tetaplah ia menyaksikan saudarasaudara
seperguruannya mengalami peristiwa yang
mendebarkan. Bahkan seorang diantara mereka telah
terbunuh. Dalam pada itu, Ki Demang masih berdiri ditangga pendapa
rumahnya. Sementara Ki Jagabaya menjadi semakin
ketakutan. Kiai Gringsing yang telah selesai mengobati kedua orang
yang dilukai oleh Ki Jayaraga itupun kemudian mulai
memandang Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang
berkumpul di halaman. Dengan suara lantang Kiai Gringsing kemudian berkata "
Inilah yang mungkin kalian kehendaki. Seorang telah
terbunuh, hanya karena seekor kambing yang tidak jelas
persoalannya. Kalian telah menuduh kami yang sama sekali
tidak merasa bersalah. Untunglah bahwa kami berhasil
memancing orang yang benar-benar melakukannya " Kiai
Gringsing berhenti sejenak, lalu didekatinyalah orang yang
telah dipulihkannya kekuatannya itu. Sambil menarik orang itu
ketengah-tengah halaman yang diingkari oleh orang-, orang
Kademangan itu meskipun dari jarak yang jauh, Kiai Gringsing
berkata " Orang inilah yang sebenarnya telah melakukan
pencurian itu. " Semua mata memang tertuju kepadanya. Sedangkan Kiai
Gringsingpun kemudian bertanya kepada orang itu " Bukankah
kau yang telah melakukannya " "
Orang itu memang tidak dapat mengelak lagi. Dengan berat
ia menganggukkan kepalanya.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Nah, kalian yakini sekarang " berkata Kiai Gringsing. Lalu
" Apakah dengan tindakan kalian yang tergesa-gesa
menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak
bersalah itu mendatangkan keuntungan pada kalian" Disini
telah jatuh korban. Bahkan jika kami menjadi mata gelap sejak
kemarin, Kademangan ini benar-benar akan hancur sama
sekali. Korbannya tentu bukan hanya seorang. Untunglah
bahwa kami masih dapat menahan diri dengan permainanpermainan
yang tidak menyenangkan itu. "
Orang-orang Kademangan yang berkerumun itupun
menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian Kiai Gringsing telah berkata kepada Ki
Demang " Nah, Ki Demang. Aku serahkan orang yang
terbunuh itu kepada kalian. Sementara itu aku tidak akan
dapat membawa ketiga orang ini pula. Karena itu, maka
biarlah orang-orang ini kembali keperguruannya. Jika mereka
ingin membuat perhitungan, biarlah mereka membuat
perhitungan dengan aku. "
Ki Demang termangu-mangu. Ada semacam kecemasan
yang tergambar di sorot matanya. Namun Kiai Gringsing
berkata kepada orang tertua diantara keempat orang itu,
katanya " Aku yakin bahwa perguruanmu masih tetap
perguruan jantan. Kau tidak akan melepaskan dendam
kepada orang-orang Kademangan yang tidak bersalah ini,
selain sikapnya yang tergesa-gesa dan tidak berimbang nalar.
Pertanda yang ada pada pedang-pedang kecil kalian
menunjukkan, bahwa kalian termasuk murid-murid dari
perguruan yang telah tua. "
Saudara seperguruan yang tertua itupun memandang Kiai
Gringsing dengan ragu. Ia memang tidak yakin bahwa Kiai
Gringsing dapat mengenali ciri-ciri yang terdapat pada pedang
mereka. Namun Kiai Gringsing kemudian berkata " Perguruan kalian
adalah perguruan yang pernah mencapai tingkat kejayaan
yang tinggi. Kalau aku tidak salah ingat, maka nama
perguruan kalian adalah perguruan Sapu Angin. Tetapi
agaknya jenis ilmu yang kalian pergunakan sudah agak
berkisar dari jenis ilmu yang pernah aku lihat pada masa
kejayaannya dahulu, meskipun jalurnya masih tetap nampak.
Tetapi agaknya kematangan ilmu itu telah menjadi mundur.
Kalian tidak lagi melontarkan kekuatan angin dari diri kalian.
Namun kekuatannya seakan-akan telah diperpendek sehingga
tidak lagi mencapai jangkauan lontaran yang panjang, tetapi
sekedar mendahului setiap serangan wadagnya.
Perkembangan ilmu pada perguruan Sapu Angin agaknya
berkebalikan dengan perkembangan ilmu Pandan Wangi dari
Sangkal Putung, yang menyadap ilmu tanpa guru. Pandan
Wangi mulai dari jangkauan yang pendek. Namun ia kini
berhasil meraba benda dari jarak yang semakin jauh. Bahkan
menggerakkannya dan pada perkembangannya akan mampu
menghancurkannya atau memanfaatkannya sesuai dengan
keinginannya. " Saudara tertua dari perguruan yang ternyata dikenali oleh
Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam ia berkata " Kemunduran itu memang pernah kami
dengar. Tetapi tidak ada yang dapat berbuat sesuatu.
Beberapa usaha memang sudah dilakukan untuk mencapai
tataran kemampuan ilmu sebagaimana dimiliki oleh pendahulu
kami. Tetapi usaha itu belum berhasil sebagaimana kita
harapkan. " Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian bertanya " Siapakah pemimpin perguruan kalian
sekarang" " Orang itu menjadi ragu-ragu. Dipandanginya kedua
saudara seperguruannya dengan tatapan mata gelisah.
Karena orang itu tidak menjawab, maka Kiai Gring-singpun
berkata " Apakah kalian berkeberatan menyebut nama
pemimpin dari perguruan Sapu Angin yang sekarang" "
Orang tertua dari perguruan Sapu Angin itupun berdesah.
Namun iapun berkata " Aku tidak tahu, apakah aku
diperkenankan atau tidak oleh perguruanku untuk menyebut
nama guru. " " Apakah ada keberatannya" " bertanya Kiai Gringsing.
Lalu " Aku tidak akan memaksa. Agaknya perguruan Sapu
Angin yang sekarang memang sudah berbeda dengan
perguruan Sapu Angin yang dahulu. Selain kemunduran
ilmunya juga watak dari para murid dari perguruan Sapu
Angin, meskipun aku tidak akan ingkar dari kemungkinan
serupa pada perguruan-perguruan lain. "
Saudara seperguruan yang tertua itu menarik nafas dalamdalam.
Namun kemudian katanya " Baiklah. Jika aku
menyebutnya, apakah mungkin Ki Sanak pernah
mengenalnya" " " Aku tidak pasti " jawab Kiai Gringsing.
Dengan ragu-ragu akhirnya orang itu menyebut " Pemimpin
perguruanku adalah Kiai Damarmurti. "
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia mencoba
mengingatkan. Namun kemudian iapun menggeleng. Katanya
" Aku tidak pernah mendengar nama itu. "
" Dimasa mudanya ia bernama Bagus Parapat. " jawab
murid tertua itu. Kiai Gringsing terkejut mendengar nama itu. Sambil
mengingat-ingat ia bertanya " Maaf Ki Sanak, apakah
yang bernama Bagus Parapat itu mempunyai cacat pada
penglihatannya yang sebelah" "
Murid tertua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil mengangguk ia menjawab " Ya Kiai. Agaknya Kiai telah
mengenalnya. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "
Itulah agaknya. Bagus Parapat bukan murid yang baik bagi
perguruan Sapu Angin. Tetapi kenapa tidak ada orang lain
yang mewarisi kepemimpinan dari perguruan itu, sehingga
Bagus Parapat yang kemudian menjadi pemimpinnya" "
" Kenapa dengan Bagus Parapat yang bergelar Kiai
Damarmurti" " bertanya murid tertua itu.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Ki Sanak. Bukan maksudku untuk memperlemah
kepercayanmu kepada gurumu. Bagaimanapun juga gurumu
telah memberikan ilmu kepadamu dan saudara-saudara
seperguruanmu. Namun demikian, karena kalian bukan
kanak-kanak, maka kalian mempunyai hak untuk menentukan
sikap bagi kebaikan kalian. Sebagai orang yang sudah masak,
seharusnya kalian dapat mengetahui baik dan buruk, sehingga
langkah-langkah yang kalian lakukan tidak akan
menjerumuskan kalian kedalam kesulitan. "
Orang tertua itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab. " Baiklah " berkata Kiai Gringsing " kami memang tidak
akan berbuat apa-apa terhadap kalian. Kalian akan kami
tinggalkan disini. Kalian dapat berbuat apa saja, karena kalian
memiliki kelebihan. Tetapi aku ingin memperingatkan kepada
kalian, bahwa sudah saatnya kalian memilih jalan yang baik
menjelang hari-hari mendatang. Sementara itu, meskipun
terdapat kemunduran dan pergeseran watak dari perguruan
Sapu Angin, namun kami masih mengharap bahwa perguruan
kalian adalah perguruan yang jantan. "
Murid-murid Sapu Angin itu masih saja terdiam. Tetapi
kata-kata itu memang menyentuh hati.
" Nah " berkata Kiai Gringsing " bantulah orang-orang
Kademangan ini merawat salah seorang diantara kalian yang
terpaksa mengorbankan nyawanya. Setelah semuanya
selesai, kami masih akan berbicara serba sedikit dengan
kalian sebelum kami berangkat meninggalkan Kademangan
ini."Orang-orang yang datang dari perguruan Sapu Angin itu
termangu-mangu. Ketika mereka memandang berkeliling,
maka dilihatnya orang-orang Kademangan yang berkumpul di
halaman itu memandang mereka dengan sorot mata yang
tidak dapat dijajagi. Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun telah berkata kepada Ki
Demang " Selagi masih ada waktu. Kalian dapat menguburkan
mayat itu dengan baik. "
" Baiklah Ki Sanak " jawab Ki Demang. Lalu katanya "
Sementara itu kami persilahkan kalian duduk di pendapa. "
" Aku tidak akan lama lagi berada di sini. Tetapi aku masih
ingin berbicara dengan orang-orang itu " sahut Kiai Gringsing.
Ki Demang mengangguk kecil. Iapun kemudian
memerintahkan kepada para bebahu untuk mengubur mayat
salah seorang diantara ampat orang saudara seperguruan itu.
Sementara ketiga orang saudara seperguruannya itupun ikut
pula memberikan penghormatan yang terakhir.
Yang menjadi sangat gelisah adalah Ki Jagabaya. Selagi
orang-orang lain sibuk menyelenggarakan mayat salah
seorang murid dari perguruan Sapu Angin, Ki Jagabaya masih
saja selalu dibayangi kemarahan yang mungkin menyala
didalam diri ketiga orang itu terhadapnya.
Tetapi Ki Demang tidak sempat lagi menghibur dan
menenteramkan hati Ki Jagabaya, karena iapun telah ikut pula
sibuk mengurus mayat yang akan dikuburkan itu.
Dalam kesibukan itu, yang termuda diantara ketiga orang
saudara seperguruan yang tersisa itu tiba-tiba saja berbisik
ditelinga saudaranya yang tertua " Apakah kita akan tetap
membiarkan diri kita menjadi tawanan" "
" Maksudmu" " bertanya saudara seperguruannya yang
tertua. " Kita mempunyai kesempatan. Ketiga orang itu berada di
pendapa. Apakah kita tidak lebih baik meninggalkan tempat
ini" " sahut yang termuda.
Tetapi yang tertua itu menggelengkan kepalanya. Katanya "
Jangan. Menurut pengamatanku mereka bukan, orang-orang
yang dengan mudah melakukan kekerasan terhadap orang
lain meskipun mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Mereka ternyata tidak berbuat kasar terhadap kita. Jika seorang diantara kita terbunuh, itu terjadi dalam pertempuran"
" Mereka akan memeras keterangan dari mulut kita " desis
yang termuda. " Tidak ada yang perlu kita rahasiakan. Juga tentang
kambing itu " jawab yang tertua.
" Bagaimana dengan perjalanan ke Mataram" " bertanya
yang termuda. " Apaboleh buat jawab yang tertua " keterangan orang itu
tentang perguruan kita, sangat menarik perhatian. Agaknya
orang itu memang mengenal Bagus Parapat.
" Ada apa dengan Bagus Parapat" " bertanya yang
termuda. Saudara seperguruan yang keduapun kemudian berkata "
Sebaiknya kita memang tinggal. Jika kita memaksa diri untuk
pergi, apakah luka-luka kita tidak akan mengganggu kita
diperjalanan. Luka ini baru saja mampat. Kita masih belum
dapat bergerak terlalu banyak seperti dikatakan oleh orang
bercambuk itu. " Yang termuda itu tidak menjawab. Kedua saudara
seperguruan itu memang terluka cukup berbahaya jika
darahnya mengalir lagi dari luka-luka itu.
Dengan demikian maka mereka bertiga masih tetap berada
di halaman itu. Ketika kemudian orang-orang Kademangan
yang dipimpin oleh para bebahu itu membawa mayat itu ke
kuburan, maka Ki Demangpun telah naik pula kependapa.
Ketiga orang murid Sapu Angin itu termangu mangu.
Mereka tidak tahu maksud Kiai Gringsing dan Ki Demang.
Apakah mereka harus ikut ke kuburan atau tidak.
Namun Kiai Gringsingpun kemudian berkata " Ki Sanak,
murid-murid dari Sapu Angin. Kemarilah. Biarlah para bebahu
membawa mayat itu kekuburan. "
Ketiga orang itupun kemudian dengan ragu-ragu telah naik
kependapa itu pula. Sekilas mereka memandang wajah
Sabungsari. Namun merekapun kemudian telah menundukkan
kepalanya. Mereka masih melihat bekas-bekas kemarahan
pada wajah orang termuda diantara ketiga orang itu. Tetapi
Sabungsari tidak mengatakan sesuatu.
" Waktuku tidak banyak " berkata Kiai Gringsing kemudian "
aku hanya ingin mendengar pengakuanmu. Untuk apa
semuanya itu kau lakukan. Aku kira kalian tentu tidak sekedar
ingin berbuat kekisruhan. "
Ketiga orang itu menundukkan kepalanya semakin dalam.
Namun yang tertua diantara merekapun kemudian berkata "
Kami memang mendapat kewajiban untuk menelusuri jalan ke
Mataram. Kami tidak tahu apakah maksudnya. Tetapi kami
harus mengamati jalur jalan itu. "
" Apakah kalian bekerja sama dengan perguruan-perguruan
lain dalam tugas ini" " bertanya Kiai Gringsing.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Kami memang bekerja sama dengan perguruan lain.
Tetapi kerja sama yang baik seakan-akan tidak pernah dapat
terwujud. Kami bekerja sendiri-sendiri. Bahkan saling bersaing
untuk dapat menunjukkan hasil yang paling baik. "
" Menunjukkan kepada siapa" " bertanya Kiai Gringsing.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Guru hanya memerintahkan kepada kami, bahwa
kami harus merintis jalan ke Mataram. Kami harus
mendapatkan hasil terbaik sehingga rencana yang akan
disusun kemudian akan berdasarkan hasil kerja kami. Bukan
hasil kerja orang lain. "
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun jelas baginya
bahwa daerah Timur memang sedang melakukan satu
langkah besar yang ditujukan kepada Mataram. Namun
agaknya mereka masih belum mampu mengikat kelompokkelompok
yang berhasil mereka pengaruhi dalam satu kerja
yang tersusun, terpadu dan berencana.
Beberapa perguruan telah terlibat dalam gerakan itu.
Namun mereka masih merasa saling terlepas, bahkan mereka
telah bersaing untuk mendapat tempat yang paling baik. Satu
diantara perguruan yang mencoba melakukan langkah yang
paling berbahaya adalah Perguruan Naga-raga, yang
langsung memasuki istana Mataram dan berusaha
menyingkirkan Panembahan Senapati pribadi. Menurut
perhitungan mereka, tanpa Panembahan Senapati, Mataram
tidak berarti apa-apa. " Ki Sanak " berkata Kiai Gringsing kemudian " apakah kau dapat mengatakan kepadaku, dimana letak perguruanmu" "
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Nampaknya memang ada semacam keberatan untuk mengatakannya.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsingpun berkata " Jika sempat, biarlah aku singgah di padepokanmu. Mungkin aku dapat berbicara dengan gurumu. Bagus Parapat yang bergelar
Kiai Damarmurti. Satu gelar yang sangat menarik. "


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun orang tertua diantara merekapun, kemudian berkata " Ki Sanak.
Apakah kalian merasa sangat berkepentingan dengan guru" "
" Bukan sangat berkepentingan " jawab Kiai Gringsing "
mungkin aku dapat berbicara tentang beberapa hal. Mudahmudahan pembicaraan kami nanti mengarah kepada sasaran yang berarti. "
Yang tertua diantara ketiga orang itupun berkata dengan sendat " Aku tidak tahu, apakah aku diperkenankan mengatakan kepada Ki sanak, dimana letak perguruanku. Jika tidak ada masalah yang timbul dengan Mataram, maka aku kira memang tidak ada alasan untuk merahasiakan letak perguruanku. Tetapi justru karena timbul persoalan dengan Mataram dan karena kami belum mengenal Ki Sanak bertiga, maka aku merasa ragu-ragu. "
" Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami bukan prajurit Mataram dan bukan pula petugas sandi Mataram " jawab Kiai Gringsing " namun demikian, adalah kewajiban kita semuanya untuk memelihara ketenangan,ketentraman dan kedamaian.
Hal inilah yang ingin aku bicarakan dengan Bagus Parapat itu.
Tetapi aku agaknya baru akan singgah jika persoalank
sendiri sudah selesai. Aku tidak tahu, kapan persoalanku itu
selesai. " Yang tertua diantara mereka menarik nafas dalam-dalam
Dengan nada berat ia berkata " Padepokanku berada dipinggir
Bengawan Madiun. " " Pinggir Bengawan Madiun" " ulang Kiai Gringsing.
Orang itu mengangguk. Sementara Kiai Gringsing berpaling
kearah Ki Jayaraga dan Sabungsari. Dengan nada rendah ia
berkata " Terlalu jauh ke Timur. "
" Ya " Ki Jayaraga mengerutkan keningnya " agaknya
kemungkinan untuk singgah itu baru akan kita perhitungkan
kemudian. " Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Ki
Sanak. Aku tidak dapat menentukan, apakah aku akan dapat
singgah di padepokanmu atau tidak. Tetapi seandainya kami
sempat pergi ke perguruanmu Sapu Angin, apakah aku harus
menelusuri sepanjang Bengawan dari mata airnya sampai
ketempuran" " Murid tertua itu memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun
kemudian sambil menunduk ia berkata lirih " Padepokan itu
berada di lingkungan hutan yang membujur dise-panjang
Bengawan itu. " Hutan apa" Bukankah beberapa bagian hutan itu
mempunyai nama" " desis Kiai Gringsing.
" Alas Prahara " jawab murid tertua itu.
" Alas Prahara dipinggir Bengawan Madiun" " wajah Kiai
Gringsing menjadi tegang. Demikian Ki Jayaraga dan
Sabungsari. Agaknya Sabungsaripun pernah mendengar
nama itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga ternyata telah pernah
memasuki hutan yang diberi nama Alas Prahara itu. Hutan
yang berada didaerah yang agak rendah. Hampir setiap hari
hutan itu dilanda angin yang besar.
Dengan ragu-ragu Kiai Gringsingpun bertanya " Apakah
sejak semula perguruanmu berada disana", Menurut
ingatanku, perguruan Sapu Angin tidak berada didekat atau
dilingkungan Alas Prahara itu, meskipun aku belum tahu pasti
dimana tempatnya. " Menurut keterangan yang pernah aku dengar " berkata
murid tertua itu " padepokan kami memang tidak berada
ditempat itu. Namun justru untuk mencapai kebesaran ilmu
seperti yang terdahulu, maka guru menganggap tempat itu
adalah tempat yang paling baik bagi padepokan kami. Guru
sedang menghimpun kembali segala macam kemungkinan
sementara hidup kami berada ditengah-tengah kerasnya
tiupan angin terutama menjelang sore hari. "
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing " agaknya pembicaraan
kita telah cukup. Kami masih menunggu satu kemungkinan
untuk dapat sampai ke padepokanmu. Tetapi aku tidak pasti,
apakah aku akan sampai. "
" Jadi ternyata Ki Sanak akan berjalan ke Timur" " bertanya
murid tertua dari perguruan Sapu Angin itu.
" Ya. Tetapi sebaiknya kaupun kembali ke Timur. Kau tidak
perlu mencari jalan ke Mataram. Kesalahan-kesalahan yang
pernah dibuat oleh orang-orang yang berlomba berebut nama
seperti kalian, telah membuat Mataram semakin bersiaga.
Tidak ada jalan yang dapat menembus kecermatan
pengamatan Matarap- sekarang ini. Karena itu, kembali
sajalah ke Alas Prahara. Perdalam ilmumu dan kenalilah baikbaik
watak angin yang keras di Alas Prahara itu. Apalagi
dimusim tertentu, dihutan itu sering bertiup prahara.
Ketiga orang itu tidak segera menjawab. Tetapi diluar
sadarnya mereka telah mengangguk-angguk. Sementara Kiai
Gringsing berkata selanjutnya " Bukankah maksud gurumu
memilih tempat itu juga untuk mendekatkan perguruan Sapu
Angin dengan kekuatan angin yang hampir setiap hari
berhembus dengan kuatnya sebagaimana kau katakan" "
Ketiga orang murid Sapu Angin itu mengangguk-angguk.
Nah, jika kau sempat berpikir dengan jernih, kembalilah.
Bekal yang kau bawa masih terlalu sedikit untuk memasuki
Mataram. Seharusnya gurumu mengetahui akan hal itu. Tetapi
agaknya ia menjadi tergesa-gesa. Mungkin setelah gurumu
mendengar bahwa orang-orang dari perguruan Nagaraga
justru telah memasuki istana meskipun mati terbunuh. Tetapi
jika kau mau menerima dengan jujur keteranganku,
sebenarnyalah orang-orang Nagaraga mempunyai kelebihan
dari kalian. Mungkin jika kalian berhasil menangkap landasan
kekuatan angin prahara sebagaimana sering bertiup di hutan
itu, barulah bekalmu memadai. Namun masih terlalu sedikit
bagi Panembahan Senapati sendiri " berkata Kiai Gringsing.
Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun merekapun
memang merasa terlalu kecil dibandingkan dengan ketiga
orang itu. Bahkan mereka justru mulai menduga, bahwa ketiga
orang itu merupakan petugas-petugas sandi dari Mataram
meskipun hal itu telah dibantah lebih dahulu oleh Kiai
Gringsing- Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah
minta diri kepada Ki Demang. Ketika Kiai Gringsing sempat
memandang wajah Ki Jagabaya yang pucat, maka iapun
berkata " Marilah. Ikut kami. "
Ki Jagabaya menjadi gemetar. Dengan suara gagap ia
berkata " Kemana kalian akan pergi" "
" Mencuri kambing " jawab Ki Jayaraga dengan serta merta.
Ki Jagabaya menjadi semakin bingung. Namun kemudian
sambil tertawa Ki Jayaraga berkata " Sudahlah. Jangan
merajuk. Tetapi pengalaman ini agar kau ingat untuk
selanjutnya. Jangan terlalu mudah menuduh dan apalagi
menetapkan kesalahan orang lain. Kau dapat membayangkan,
bagaimana jika hal seperti ini terjadi atasmu. Kau ditangkap
karena dituduh melakukan kejahatan yang sebenarnya tidak
pernah kau lakukan. Apalagi kau dengan tanpa ampun telah
dijatuhi hukuman yang berat, sementara anak isterimu
menunggumu dirumah. "
Ki Jagabaya menundukkan kepalanya. Tanpa disadarinya
diamatinya tangannya yang terbakar. "
" Nah " berkata Ki Jayaraga " tanganmu akan segera
sembuh. Tetapi mungkin akan tetap berwarna coklat
kehitaman. Tetapi agaknya memang ada baiknya agar kau
selalu ingat, apa yang pernah terjadi dengan tanganmu itu.
Untunglah bukan hidungmu yang terbakar. Dan karena
kedunguanmu, maka seorang telah menjadi korban. "
" Aku minta maaf " desis Ki Jagabaya.
" Kau dapat dengan mudahnya minta maaf " geram
Sabungsari " tetapi yang telah mati itu tidak akan dapat hidup
kembali. Bahkan seorang penghuni Kademangan ini-pun
hampir saja menjadi korban jika tidak segera mendapat
pertolongan karena racun yang merembes kedalam urat
darahnya. " Ki Jagabaya menjadi bingung. Apa yang sebaiknya
dikatakannya. Namun karena itu, maka iapun telah terdiam
betapapun jantungnya terasa berdetak semakin cepat.
Ki Demang memang berusaha untuk menahan ketiga orang
itu untuk hari itu. Ki Demang juga ingin menebus
kesalahannya dengan sedikit mengadakan jamuan bagi
mereka. Tetapi Kiai Gringsing sudah tidak dapat ditahan lagi.
Ia sudah tertahan semalam ditempat itu. Namun diluar
perhitungannya. Kiai Gringsing justru telah bertemu dengan
orang-orang dari perguruan Sapu Angin yang telah berubah.
Bahkan sedikit keterangan tentang persaingan
yang timbul, diantara perguruan-perguruan yang ingin
mendapat pujian dari seseorang atau mungkin sekelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas Mataram. Namun
orang-orang yang berada dibalik gerakan itu masih sulit untuk
dikenali. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
serta Sabungsari telah minta diri. Mereka mengingatkan
Kademangan yang masih diwarnai oleh berbagai macam
pertanyaan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Namun
ketiga orang yang menyusuri jalan padukuhan induk
Kademangan itu rasa-rasanya seperti menaburkan perasaan
aneh disetiap hati. Yang tertinggal di pendapa adalah tiga orang dari
perguruan Sapu Angin. Betapapun mereka menyesali tingkah
laku ketiga orang itu, sebagaimana pengakuan mereka,
termasuk kambing yang mereka ambil, namun orang-orang
Kademangan itu juga tidak berani berbuat sesuatu. Orangorang
itu juga memiliki kelebihan. Bahkan orang-orang
padukuhan itu menjadi cemas, bahwa sepeninggal orangorang
yang mula-mula telah ditetapkan bersalah itu, maka
ketiga orang yang telah kehilangan seorang saudara
seperguruannya itu akan melepaskan dendamnya.
Tetapi ketiga orang itu ternyata tidak berbuat apa-apa.
Bahkan diluar keinginan Ki Demang, ketiganya telah
mengaku, bahwa mereka memang tidak hanya bertiga.
Mereka datang bersama beberapa orang yang dapat mereka
pengaruhi untuk membantu tugas mereka. Jika sekelompok
orang membuat kegelisahan, maka perhatian orang akan
banyak tertuju kepada mereka, sehingga orang-orang Sapu
Angin itu memperhitungkan, akan lepas dari perhatian orang
disepanjang perjalanan mereka dalam tugas yang mereka
sandang. Mereka akan dapat mengamati setiap padukuhan,
keadaan dan lingkungan yang mungkin akan dapat membantu
atau dapat menjadi landasan pasukan yang akan menuju ke
Barat, sebagaimana pernah dilakukan oleh perguruan lain
meskipun agak berbeda. Agaknya ketiga orang itu tidak cepat terpancing dalam
sikap bermusuhan. Jika yang termuda diantara mereka telah
membunuh, agaknya orang itu tentu masih belum memiliki
tataran ilmu seperti kedua orang tua itu, sehingga ia tidak
mempunyai cara lain untuk menghentikan perlawanan
saudara seperguruannya selain dengan membunuhnya. Ilmu
yang dipergunakan untuk membunuh saudara
seperguruannya itupun ternyata adalah ilmu yang dahsyat
sekali. Seakan-akan dari sepasang mata orang yang paling
muda itu telah memancar api dan membakar isi dada saudara
seperguruannya. Demikianlah maka ketiga orang itupun telah bersepakat
untuk kembali ke padepokan untuk menemui guru mereka.
Bagus Parapat yang bergelar Kiai Damarmurti. Ketiganya juga
sudah bersepakat untuk mengatakan apa saja yang telah
terjadi. " Jika ketiga orang itu juga pergi ke Timur, mungkin kita
akan dapat bertemu lagi dengan mereka " berkata murid tertua
dari perguruan Sapu Angin itu.
" Tetapi kita tidak tahu, kemana mereka akan pergi, " jawab
yang kedua. " Jika kita bertanya, maka aku yakin bahwa mereka tentu
tidak akan menjelaskan " berkata yang tertua.
" Agaknya mereka sedang mengemban tugas rahasia "
berkata yang kedua. " Mungkin sekali " berkata yang termuda " tiba-tiba saja
mereka telah muncul disini. Agaknya Mataram memang sudah
mengetahui kegiatan yang terjadi di bagian Timur ini. Setidaktidaknya
telah timbul kecurigaan pada Mataram. Orang-orang
yang pernah ditangkap di Mataram akan menjelaskan
persoalannya meskipun mereka tidak mempunyai pengertian
yang banyak tentang rencana ini dalam keseluruhan
sebagaimana kita sendiri. Yang kita tahu, kita menjalankan
tugas yang diberikan oleh guru. Apa yang dibicarakan oleh
guru dan mereka yang berkepentingan langsung dengan
Mataram sama sekali tidak kita ketahui.
Yang tertua diantara mereka mengangguk-angguk.
Katanya " Memang hampir meyakinkan bahwa mereka telah
mendapat tugas dari Mataram untuk melihat-lihat gejolak disisi
Timur ini. Namun jika ukuran orang Mataram rata-rata seperti
mereka, apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang disisi
Timur ini" Perguruan kita dan perguruan-perguruan lain yang
bergabung dalam satu ikatan kekuatan tidak akan berarti apaapa.
Apa pula yang dapat kita lakukan dihadapan pemimpin
tertinggi di Mataram jika para petugas sandinya saja memiliki
ilmu yang demikian tinggi. "
Kedua saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Nampaknya Mataram memang sudah dibentengi dengan
petugas-petugas sandi yang memiliki kemampuan yang tidak
tertembus. Bahkan mereka akan semakin bergeser ke Timur sehingga
merekalah yang akan mengamati kegiatan di Timur. Bukan
orang-orang dari Timur mengamati perkembangan dan
kegiatan Mataram. Dengan demikian maka ketiga orang itupun telah
meninggalkan tugas mereka dan orang-orang yang sudah
terlanjur berhubungan dengan mereka tanpa memberitahukan
lebih dahulu. Ketika yang termuda bertanya tentang kelompokkelompok
orang yang akan mereka pergunakan itu, maka
yang tertua menjawab " Mereka akan berpaling dengan
sendirinya dari tugas-tugas yang telah kita serahkan kepada
mereka. Aku yakin bahwa mereka tidak akan pernah merasa
terikat dalam arti yang sebenarnya kepada kita. "
Saudara seperguruan yang kedua itupun menganggukangguk
pula. Lalu katanya " Baru kemarin rasa-rasanya kita
mengadakan bujana andrawina dengan mereka untuk
mempererat ikatan diantara kita dengan mereka. Bahkan kita
telah menyembelih seekor kambing muda yang gemuk.
Ternyata langkah kita itu sekarang terasa sebagai langkah
yang sesat. Kitalah yang lebih dahulu menarik diri dari
keterikatan itu. " " Setelah kita mengorbankan seorang diantara kita " desis
yang termuda. " Ya. Itulah pertanda bahwa penalaran kita masih hidup, "
sahut yang tertua " bersukurlah kita bahwa kita belum berubah
menjadi semacam memedi sawah untuk menakut-nakuti
burung. Kita hanya dapat bergerak apabila tali-tali yang


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikat kita itu ditarik orang. " ia berhenti sejenak, lalu "
Tetapi kita tidak demikian. Sesuatu masih mampu menyentuh
perasaan kita sehingga sikap dan pandangan kita terhadap
satu persoalan masih dapat berkembang. "
" Ya " murid yang kedua mengangguk " aku sependapat.
Perkembangan itu masih dapat menunjukkan bahwa kita
masih tetap menyadari kedirian kita. "
Yang termudapun mengangguk-angguk pula. Namun ia
tidak mengatakan sesuatu. Ia masih perlu mencernakkan
pembicaraan kedua saudara seperguruan yang lebih tua itu.
Namun akhirnya iapun mengangguk-angguk pula. Kepada
dirinya sendiri ia berkata " Ya. Baruntunglah bahwa aku masih
berhak untuk menentukan sikapku sendiri. Jika hal itu sudah
tidak terjadi padaku, maka hidupku benar-benar tidak berarti
apa-apa lagi bagi diriku sendiri. "
Sebenarnyalah bahwa memang terasa ada sesuatu yang
baru pada diri mereka. Bukan pada ujud lahiriah. Tetapi justru
sikap batin mereka. Perjalanan ketiga orang bersaudara itu rasa-rasanya
memang menjadi semakin cepat. Mereka masih harus
menempuh perjalanan yang jauh. Lebih jauh dari ketiga orang
yang telah menundukkan mereka dengan cara yang tersendiri,
meskipun seorang harus menjadi korban yang sebenarnya.
Tetapi ketiga orang yang berjalan cepat itu ternyata tidak
menyusul ketiga orang yang telah berangkat lebih dahulu itu.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan
Sabungsari memang tidak tergesa-gesa. Tetapi mereka
selain harus mendekati sasaran dan bergabung dengan para
petugas yang lain, masih juga harus berusaha untuk
mendengarkan dan melihat setiap kemungkinan untuk dapat
mempertemukan mereka dengan Raden Rangga dan Glagah
Putih. Meskipun mereka masih belum pasti, apakah Raden
Rangga dan Glagah Putih telah mampu menemukan arah dari
sasaran yang mereka cari.
Namun agaknya ketiga orang itu percaya, bahwa pada
akhirnya kedua anak muda itu akan dapat menemukan juga
sehingga mereka akan menelusuri jalan menuju ke arah
padepokan dari perguruan Nagaraga.
Karena itu, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan
Sabungsari justru lebih banyak berusaha untuk menjelajahi
daerah disekitar sasaran, sehingga memungkinkan mereka
menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih.
Sementara itu ketiga orang murid dari Sapu Angin itupun
telah dengan cepat langsung menuju ke padepokan mereka di
tepi Bengawan Madiun dilingkunan Alas Prahara yang
terkenal karena hampir disetiap hari, lingkungan hutan itu
telah dihembus oleh angin yang kencang dan berputar-putar.
Namun dalam pada itu,, diperjalanan kembali itu, orang
termuda diantara ketiga orang bersaudara seperguruan itu
bertanya kepada saudara-saudara seperguruannya " Apakah
kita akan langsung kembali" "
" Ya, kenapa" " bertanya yang tertua " kita sudah sampai
disini. " Yang termuda tidak bertanya lagi. Ketika mereka
menengadah kelangit, maka warna hitam mulai menyelubungi
bumi, Bintang satu-satu mulai bergayutan.
Tetapi ketiga orang itu berjalan terus. Seakan-akan mereka
tidak dapat membedakan lagi antara siang dan malam yang
mulai turun. Namun setelah mereka memasuki jalan dipinggir sebuah
hutan, tiba-tiba pula yang termuda diantara mereka berdesis "
Kakang, sebenarnya aku menjadi takut. "
" Takut " kedua kakak seperguruannya bertanya hampir
berbareng. Seorang diantara mereka berkata " Bagaimana
mungkin kau dapat berkata begitu" Kita mengenal hutan ini
seperti mengenali rumah kita sendiri. Kenapa kita menjadi
takut" " " Ah " saudara seperguruannya yang termuda itu berdesah
" aku tidak menjadi ketakutan memasuki hutan ini. "
" Jadi, apa yang kau takutkan" " bertanya yang kedua.
" Guru " jawab adik seperguruannya itu.
Kedua saudara seperguruannya itu menarik nafas dalamdalam
Yang tertuapun kemudian berkata " Aku sudah menjadi
cemas, bahwa kau tiba-tiba saja telah berubah sehingga kau
merasa ketakutan untuk berjalan melalui hutan itu. "
Adik seperguruan yang termuda itu menarik nafas dalamdalam.
Katanya " Bagaimana jika guru justru marah kepada
kita. " _ " Sudah aku katakan kita akan menjelaskan semuanya.
Gurupun harus mengetahui, bahwa penalaran kita masih
hidup. " jawab yang tertua.
" Mudah-mudahan " desis yang termuda. Namun kemudian
katanya " Tetapi bagaimanapun juga aku merasa lain.
Mungkin justru karena seorang diantara kita sudah terbunuh.
Menurut kebiasaan kita dan sebagaimana diperintahkan oleh
guru, kita harus menuntut kematiannya. Kita harus menuntut
setiap kematian, dengan kematian. Tetapi yang kita lakukan
sekarang justru sebaliknya. Jawabnya memang mungkin
dapat dicari pada penjelasan kakang, bahwa ini adalah
pertanda bah-wa penalaran, kita tidak mati. Dan kita berharap,
bahkan menurut kakang, guru harus mengetahui. Apakah
dihadapan guru kita dapat mengatakan, bahwa guru harus
mengetahui hal ini" "
Kakak seperguruannya yang tertua menarik nafas dalamdalam.
Katanya " Memang kemungkinan itu dapat terjadi.
Mungkin guru memang dapat bersikap lain. Tetapi kita harus
berusaha meyakinkannya. Namun jika guru tetap pada
sikapnya, maka kita akan berdiri dipersimpangan. "
Saudara seperguruan yang termuda itu menganggukangguk
kecil. Tetapi nampaknya pada kedua orang kakak
seperguruannya itu benar-benar telah berkembang satu sikap
yang berbeda. Bahkan mereka telah mengatakan, bahwa
menghadapi perintah gurunya, mereka merasa berdiri
dipersimpangan. Tetapi yang termuda itu tidak bertanya lebih
lanjut. Mereka kemudian berjalan sambil berdiam diri. Sekalisekali
mereka mendengar bunyi-bunyi yang aneh-aneh
membuat kulit meremang. Kemudian suara binatang buas
dikejauhan. Namun, meskipun kulit mereka meremang, tetapi bukan
karena perasaan takut. Seandainya tiba-tiba saja mereka
bertemu dengan tiga ekor harimau yang garang, mereka tidak
akan gentar. Ternyata ketiga orang itu berjalan terus meskipun malam
menjadi semakin malam. Rasa-rasanya mereka ingin segera
sampai ketujuan karena persoalan yang mereka bawa
seakan-akan mendesak tanpa dapat dikekang lagi. Dengan
demikian maka ketiga orang itu seakan-akan tidak mempunyai
perasaan letih dan lelah.
Untuk beberapa lama mereka menelusuri jalan dipingir
hutan. Namun kemudian mereka telah mengikuti jalan yang
terpisah dari hutan itu. Semakin lama menjadi semakin jauh.
Bahkan kemudian mereka telah memasuki jalan di tengahtengah
tanah persawahan. Namun mereka berusaha untuk menghindari jalan yang
menusuk padukuhan, agar mereka tidakusah menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang mungkin sedang
meronda di gardu-gardu. Baru lewat tengah malam mereka beristirahat sejenak.
Mereka sempat tertidur diantara pohon-pohon perdu di sebuah
ara-ara terbuka. Menjelang dini hari, mereka sudah terbangun dan setelah
mereka turun kesungai dan berbenah diri, maka mereka mulai
melanjutkan perjalanan mereka lagi.
Dalam pada itu, yang termuda diantara mereka sempat
juga berdesis " Dimanakah kira-kira ketiga orang itu sekarang
berada" " " Seperti kita " jawab yang tertua " mereka agaknya juga
tidur dipadang perdu atau dipategalan yang sepi atau di
pinggir hutan. " Apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan" desis
yang termuda itu pula - mungkin mereka justru ada di sekitar
kita sekarang. " " Mereka tidak akan mengikuti kita " jawab yang kedua "
selain mereka telah berangkat lebih dahulu, agaknya
merekapun mengemban tugas yang penting. Jika tugas itu
selesai, memang mungkin mereka akan pergi ke Alas
Prahara. " Yang termuda itu mengangguk-angguk. Sementara itu
mataharipun mulai membayang. Mereka bertiga berjalan
semakin jauh ke Timur, menuju kepinggir Bengawan Madiun.
Belum tengah hari, maka merekapun telah mendekati hutan
yang memanjang. Hutan itu bukan hutan yang lebat pekat.
Hutan itu merupakan hutan yang tipis di pinggir Bengawan
Madiun, yang banyak disentuh tangan manusia. Selain orang
yang mencari kayu, maka banyak pula orang yang mempunyai
kegemaran berburu memasuki hutan itu. Tetapi mereka tidak
menelusuri hutan itu sampai ke ujung. Diujung hutan itu di
arah Utara, terdapat bagian yang berada ditanah yang lebih
rendah, terhampar cukup luas. Bukit-bukit kecil seakan-akan
memagari daerah itu. Agaknya karena itu maka hutan yang
berada di tanah yang lekuk didekat tempuran itu sering
ditempuh angin yang keras yang seakan-akan berputar-putar.
Bahkan kadang-kadang dimusim hujan, putaran angin nampak
menghitam bagaikan memanjat kelangit. Pepohonan yang
terdapat di bagian hutan yang disebut Alas Prahara itupun
tumbuh dengan bentuknya tersendiri. Dahan-dahannya
bagaikan berputaran pula. Ranting-rantingnya saling
membelit. Pokok batangnya meliuk-liuk tidak menentu.
Meskipun demikian, dihutan itu terdapat banyak pohon-pohon
raksasa yang ujudnya membuat kulit tubuh meremang.
Sedangkan dibawah pohon-pohon raksasa itu kadang-kadang
terdapat mata air yang mengalir deras, menyusuri tempattempat
yang lebih rendah dan kemudian terakhir turun ke
Bengawan. Dilingkungan itulah, tetapi diluar daerah yang berbahaya
karena prahara dan cleret tahunnya yang dahsyat, terdapat
sebuah padepokan yang terletak diatas gumuk kecil yang
agak luas. Beberapa orang padukuhan yang letaknya agak
jauh sudah memperingatkan bahwa daerah itu adalah daerah
yang berbahaya. Tetapi padepokan itu berdiri juga. Pemimpin padepokan itu
memang sengaja untuk membuat padepokannya dilingkungan
yang dekat dengan angin dan prahara.
" Terima kasih atas peringatan kalian " berkata pemimpin
padepokan itu kepada orang-orang padukuhan " tetapi biarlah
kami memanfaatkan tanah yang kosong, yang tidak akan
dipergunakan oleh siapapun juga itu. Apalagi tanah itu berada
diluar jangkauan angin dan prahara. "
" Tidak Ki Sanak " berkata orang-orang padukuhan yang
sudah mengamati angin dan prahara itu bertahun-tahun "
kadang-kadang angin dan cleret tahun itu sampai juga keatas
dataran gumuk itu meskipun jarang. Tetapi bukankah lebih
baik kalian berada diluar sama sekali dari daerah yang sering
tersentuh angin dan prahara itu. "Dengan hati-hati pemimpin padepokan itu berusaha
menjelaskan, bahwa angin diatas gumuk itu tidak seken-cang.
angin yang sering memutar pepohonan didalam hutan.
Sebenarnyalah bahwa padepokan itu tidak juga disapu oleh
angin dan prahara. Sekali-sekali memang datang angin
kencang menyentuhnya. Tetapi tidak menghancurkannya.
Apalagi pada saat padepokan itu dibuat, pemimpin padepokan
itupun sudah memperhitungkan kemungkinan datangnya
angin yang lebih keras dari angin sewajarnya.
Namun dipadepokan itu, pemimpin padepokan yang
menyebut dirinya Damarmurti itu memang sempat mengamati
watak angin dengan saksama.
Tetapi padepokan itu memang sudah bernama Sapu
Angin sejak belum berada di tempat itu. Sapu Angin adalah
nama perguruan yang diwarisi oleh Bagus Parapat dan
kemudian bergelar Damarmurti.
Demikianlah tiga orang murid perguruan Sapu Angin itu
menuju ke padepokan yang terletak di daerah terpencil itu,
meskipun padepokan itu tidak terpisah dari pergaulan dengan
padukuhan padukuhan yang letaknya memang agak jauh dari
tempat itu. Hubungan antara penghuni padepokan itu dengan
penghuni padukuhan-padukuhan itu termasuk baik. Meskipun
demikian orang-orang padukuhan itu tidak tahu dengan pasti,
siapa saja yang telah dilakukan oleh penghuni padepokan itu
diluar pengelihatan mereka.
Ketiga orang murid Sapu Angin itu kemudian menelusuri
tepi hutan. Namun mereka menghindari Alas Prahara
meskipun keadaannya nampak tenang, karena sewaktu-waktu
angin itu datang dengan kencangnya. Meskipun orang-orang
padepokan Sapu Angin telah mencoba untuk mengenali watak
angin serta mengamati kapan angin itu datang dan kapan
pergi, namun sekali-sekali terjadi pula penyimpangan,
sehingga tiba-tiba saja prahara itu datang diluar perhitungan.
Namun akhirnya, ketiga orang itupun telah mendekati
padepokan mereka. Sebuah padepokan yang terletak diatas
sebuah gumuk yang tidak terlalu tinggi.
Bagaimanapun juga ketiga orang murid Sapu Angin itu
menjadi berdebar-debar. Mereka tidak membayangkan,
bagaimana tanggapan guru mereka jika mereka datang
menghadap dengan beberapa penyimpangan dari tugas yang
dibebankan kepada mereka.
Tetapi merekapun kemudian telah berketetapan hati untuk
datang menghadap apapun yang akan terjadi atas mereka.
Kedatangan mereka bertiga memang mengejutkan.
Dengan tergesa-gesa seorang cantrik menyongsong mereka
sambil bertanya " Apakah kalian sudah selesai" Menurut
pendengaranku, kalian mendapat tugas yang mungkin akan
memerlukan waktu yang lama. "
Yang tertua diantara mereka menjawab " Lama menurut
pengertianmu mungkin berbeda dengan lama menurut
pengertian guru. Aku sudah terlalu lama pergi. Bahkan
mungkin dianggap terlalu lama dibandingkan dengan tugas
dan beban yang diberikan kepadaku. "
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
masih juga bertanya " Tetapi kenapa kalian hanya bertiga" "


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Tidak apa-apa " jawab yang tertua diantara mereka
bertiga. Lalu iapun kemudian bertanya " Apakah guru ada" "
" Ada " jawab cantrik itu " marilah. Apakah kalian akan
menghadap" " " Ya " jawab yang tertua.
" Apakah kalian akan beristirahat dahulu, baru nanti kalian
menghadap" " bertanya cantrik itu.
" Cukup " bentak murid tertua itu " kau jangan banyak
bicara. Aku ingin menghadap sekarang. "
" O " cantrik itu bergeser surut. Ia memang menjadi
ketakutan melihat murid tertua itu marah.
Beritahukan kepada guru, bahwa kami akan menghadap.
Dimana guru akan menerima kami. Kecuali jika guru
memerintahkan kami untuk menunggu sampai nanti. " berkata
yang tertua itu agak keras.
" Baik. Baik " suara cantrik itu gemetar " aku akan
memberitahukannya. "
Demikianlah cantrik itupun kemudian meninggalkan
mereka bertiga yang kemudian langsung naik kependapa.
Ras-rasa-nya mereka bersikap lain. Mereka seakan-akan
bukan penghuni padepokan itu lagi. Tetapi mereka bersikap
seperti orang asing yang baru pertama kali datang ke
padepokan itu. Kiai Damarmurti yang mendengar pemberitahuan dari
cantriknya itu memang merasa heran. Kenapa ketiga orang
muridnya itu mempunyai sikap yang terasa canggung.
" Kenapa mereka hanya bertiga" " bertanya Kiai
Damarmurti. " Aku juga sudah menanyakannya Kiai. Tetapi aku tidak
mendapat jawaban yang baik " jawab cantrik itu.
Kiai Damarmurti sudah menduga, bahwa sesuatu telah
terjadi. Tetapi tidak segera dapat meraba apakah yang terjadi
itu. Karena itu maka Kiai Damarmurtipun ingin segera
mengetahuinya. Diperintahkannya kepada cantrik itu untuk
mengatakan kepada ketiga muridnya untuk datang ke
sanggar. Ketiga orang murid Sapu Angin itupun kemudian telah pergi
ke Sanggar. Jantung mereka terasa semakin berdebar-debar.
Namun mereka memang sudah bertekad untuk melakukan
sebagaimana mereka kehendaki.
Ketika murid tertua itu membuka pintu sanggar, maka
terdengar suara gurunya " Marilah anak-anakku. Kemarilah. "
Ketiga orang murid itu justru tertegun. Tetapi akhirnya
merekapun telah melangkah masuk ke sanggar yang agak
gelap. Mereka melihat guru mereka duduk diatas sebatang
tonggak yang tidak terlalu tinggi Dengan senyum yang tidak
diketahui maknanya, Kiai Damarmurti itu berkata " Duduklah.
Aku ingin mengucapkan selamat datang kepada kalian,
setelah kalian menyelesaikan tugas kalian. ".
Ketiga orang itupun kemudian duduk dilantai sambil
menundukkan kepada mereka.
" Nah " berkata Kiai Damarmurti " aku ingin segera
mengetahui hasil dari perjalananmu. " "
Yang tertua diantara para murid Damarmurti itu menarik
nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menjawab, gurunya
telah berkata selanjutnya " Tetapi aku lebih dahulu ingin
menge-tahui, dimana seorang diantara saudara-saudaramu
itu." Ketiga orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya
yang tertua diantara mereka berkata " Ampun guru. Kami telah
kehilangan seorang diantara saudara kami. "
" Apakah saudaramu terbunuh" " bertanya Kiai Damarmurti
dengan tiba-tiba. Yang tertua diantara ketiga muridnya itu tidak dapat
mengelak. Iapun mengangguk sambil menjawab " Ampun
guru. Sebenarnyalah saudara kami itu telah gugur. Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Lalu katanya "
Baiklah. Aku sudah tahu bahwa aku telah kehilangan seorang
muridku yang terbaik. Nah, kemudian ceriterakan apa yang
telah terjadi, Bagaimana kau membalas dendam atas
kematian saudaramu itu" Mungkin kau membunuh tiga orang
untuk menebus seorang diantara kita. "
Yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Jantungnya
memang berdegup lebih cepat. Tetapi iapun kemudian
seakan-akan justru telah menemukan kekuatannya kembali.
Karena itu, maka iapun telah menceriterakan apa yang terjadi
dengan suara yang utuh dan tidak terputus-putus.
Kiai Damarmurti mendengarkan laporan itu dengan
bersungguh-sungguh. Apalagi ketika muridnya itu mulai
menyebut orang bercambuk.
Ketegangan menjadi semakin nampak pada wajah Kiai
Damarmurti. Yang dilaporkan oleh muridnya yang tertua itu
sama sekali tidak sejalan dengan gambarannya. Bahkan
kemudian Kiai Damarmurti itu mendengar, bahwa ketiga orang
muridnya itu sama sekali tidak berusaha berbuat apa-apa
sepeninggal saudara seperguruannya.
" Jadi kalian begitu saja menyerah" " bertanya Kiai
Damarmurti. " Kami tidak mungkin mengingkari kenyataan yang ada
pada waktu itu guru. Orang bercambuk dan dua orang yang
lain itu ternyata bukan lawan-lawan kami. Apalagi setelah kami
berbicara dengan mereka. " berkata murid yang tertua itu.
Kiai Damarmurti memandang mereka bertiga dengan
tajamnya, sehingga ketiganyapun telah menundukkan kepala
mereka dalam-dalam. Ternyata berbeda sekali gambaran
yang dapat mereka buat sebelum mereka benar-benar
berhadapan dengan Kiai Damarmurti. Namun setelah mereka
benar-benar berada dihadapan gurunya itu, maka mulut
merekapun rasa-rasanya menjadi berat. Jalan pikiran mereka
tidak lagi secerah pada saat mereka masih berangan-angan
diperjalanan. " Guru harus mengerti " berkata murid tertua itu sebelum
mereka bertemu dengan gurunya.
Untuk beberapa saat Kiai Damarmurti justru berdiam diri.
namun kemudian kata-katanya ternyata telah mengejutkan
ketiga muridnya. Katanya " Aku tidak menyalahkan kalian. Jika
kalian bertemu dengan orang bercambuk itu, maka kalian
memang tidak akan dapat berbuat banyak. Adalah
kewajibanku untuk menemuinya dan berbicara tentang
muridku yang terbunuh itu. "
Murid yang tertua diantara ketiga orang murid Sapu Angin
itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka
terlepas dari himpitan bukit yang diletakkan didada mereka.
Namun baru sejenak kemudian muridnya yang tertua itu
berkata " Guru. Ketiga orang yang aku ceriterakan itu
sekarang justru sedang menuju ke Timur. Tetapi menilik katakatanya,
meskipun mereka tidak menyebutnya dengan jelas,
mereka tidak akan menempuh perjalanan sampai ke
Bengawan Madiun ini. "
" Bagaimana kau tahu" " bertanya Kiai Damarmurti.
" Ketika mereka bertanya tentang padepokan ini dan
dengan terus terang aku menyebutkan letaknya, maka mereka
menganggap bahwa perjalanan menuju kemari adalah terlalu
jauh. Agaknya mereka memang sedang mengemban tugas.
Mungkin sekarang mereka sedang melakukan sesuatu sesuai
dengan tugas mereka. " murid yang tertua itu berhenti
sejenak. Ia mencoba untuk melihat kesan dari kata-katanya itu
pada wajah gurunya. Namun ia tidak mendapatkan kesan apaapa.
Karena itu, maka iapun melanjutkan " Guru. Setelah
tugas mereka selesai, mungkin sebagaimana mereka katakan,
jika ada waktu, orang bercambuk itu akan singgah kemari.
Tetapi itu belum merupakan satu kepastian. "
Kiai Damarmurti itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata " Aku memang ingin menemuinya.
Orang itu yang datang kemari, atau aku yang harus
mencarinya. " Tetapi kemana guru akan mencarinya" " bertanya
muridnya yang kedua. " Bukankah mereka menuju ke Timur tetapi tidak sampai
sejauh batas Bengawan Madiun" " bertanya gurunya.
" Ya guru " jawab murid kedua.
" Memang sulit untuk menebak kemana orang itu pergi.
Tetapi apakah kalian mendapat kesan bahwa orang itu utusan
dari Mataram atau bahkan prajurit Mataram" " bertanya Kiai
Damarmurti. " Menurut pengakuannya, ketiga orang itu tidak mempunyai
sangkut paut dengan Mataram " jawab muridnya yang tertua.
Jilid 216 KIAI Damarmurti mengangguk-angguk. Ia memang melihat bekas-bekas luka itu yang sudah menjadi hampir sembuh dan pulih kembali. Tetapi ketiga muridnya itu sama sekali tidak bersikap bermusuhan dengan ketiga orang yang dikatakannya itu.
Karena itu, maka gurunya itupun berkata, "Baiklah. Aku tidak akan mengambil sikap sekarang. Aku ingin menemui mereka, baru kemudian aku akan menentukan, apa yang akan aku lakukan. Tetapi aku masih menunggu sampai hari ini pamanmu Putut Wiyantu. Akan lebih baik jika pamanmu Putut Pideksa juga hadir."
Ketiga muridnya itu termangu-mangu. Gurunya ingin menemui ketiga orang itu dengan jumlah orang yang sama.
Dalam pada itu, maka Kiai Damarmurti menganggap bahwa sudah tidak ada lagi yang akan mereka bicarakan Karena itu, maka katanya kemudian. "Beristirahatlah. Rawat luka-luka kalian dengan baik agar tidak menjadi kambuh kembali."
Ketiga orang itupun kemudian telah keluar dari sanggar. Ketika mereka menutup pintu sanggar itu kembali, maka rasa-rasanya dada mereka menjadi lapang. Seakan-akan mereka telah meletakkan beban yang sangat berat yang harus mereka pikul selama ini.
"Mudah-mudahan guru benar-benar bersikap sebagaimana dikatakan." desis yang tertua.
Yang kedua diantara ketiga orang bersaudara itupun mengangguk kecil sambil berkata, "Agaknya guru memang mencoba untuk mengerti."
Yang termuda diantara merekapun menyahut, "Aku melihat kelainan pada sikap guru."
Yang tertua diantara mereka mengangguk angguk. Namun tidak mengatakan sesuatu. Mereka bertigapun kemudian telah meninggalkan sanggar itu. Mereka sadar bahwa guru mereka masih tetap berada di dalam sanggar itu sendiri.
Namun mereka terkejut ketika mereka kemudian mendengar suara gemerasak dari dalam sanggar itu, sehingga mereka bertigapun telah terhenti. Sesaat mereka menghadap kembali ke sanggar itu dan menyaksikan sesuatu yang mengguncang jantungnya.
Mereka bertiga melihat bangunan sanggar itu bergerak-gerak, sementara suara gemerasak di dalamnya masih terdengar. Bahkan semakin lama menjadi semakin keras. Sehing"ga yang terdengar kemudian adalah putaran angin prahara sebagaimana sering mereka saksikan di hutan yang disebui Alas prahara itu.
Semakin lama sanggar itupun telah terguncang makin keras sebagaimana jantung ketiga orang murid Sapu Angin itu. Apalagi kemudian bangunan itu seakan-akan telah berderak-derak. Tubuh bangunan itu bagaikan terputar dan batang-batang Kayu terdengar berpatahan.
"Apa yang telah terjadi?" desis yang termuda.
Kedua kakak seperguruannya tidak sempat menjawab. Sanggar yang hampir roboh itu ternyata tidak menjadi roboh. Tetapi justru terangkat bagaikan terbang. Namun kemudian jatuh terhempas di halaman padepokan itu. Remuk berserakan.
Ketiga orang murid Sapu Angin itu bagaikan mem"beku. Mereka kemudian melihat guru mereka bangkit dari tempat duduknya. Mengibaskan pakaiannya dan kemudian terbatuk-batuk kecil.
Ketiga orang muridnya itupun segera berlari-lari mendapatkannya. Wajah mereka bertiga menjadi cemas. Tetapi guru mereka itu justru tersenyum sambil bertanya, "Kenapa kalian menjadi cemas" Ternyata kalian masih tetap tidak yakin akan kemampuanku."
"Tetapi kami tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi guru?" bertanya murid yang tertua.
"Kenapa kau menjadi sangat bodoh setelah kau bertemu orang bercambuk itu?" gurunya ganti bertanya.
Ketiga orang murid itu masih saja termangu-mangu. Namun akhirnya merekapun dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi Gurunya sengaja telah mengorbankan sanggarnya untuk menguji kemampuannya dengan ilmu Sapu Angin.
Ternyata Kiai Damarmurti mampu mengguncang, memutar dan menerbangkan bangunan yang cukup besar dan kokoh itu dengan ilmunya yang telah dapat disempurnakannya kembali. Ilmu yang seakan-akan telah terlepas dari perguruan Sapu Angin. Namun yang ternyata telah dapat digapainya kembali.
"Marilah." berkata Kiai Damarmurti kemudian, "biarlah besok kita membuat sanggar yang baru yang lebih baik dan lebih kokoh dari yang telah roboh itu."
Ketiga orang muridnya itupun kemudian mengikutinya tanpa mengucapkan kata-kata apapun juga. Namun perasaan kagum masih saja mencengkam jantungnya sehingga terasa degupnya seakan-akan menjadi semakin cepat.
Pada saat mereka berdiri ditangga pendapa, mereka melihat para cantrik yang kebingungan berdiri termangu mangu. Mereka benar-benar tidak tahu apakah yang se"benarnya terjadi. Tidak ada angin dan hujan, apalagi pra"hara yang kadang-kadang memang berhembus, sanggar itu telah terguncang dan terlempar jatuh beberapa puluh lang"kah dari tempatnya. Sedangkan pada saat-saat angin berhembus kencang dan pada saat padepokan itu dilintasi angin pusaran, bangunan yang kuat dipadepokan itu tidak pernah dirusakkannya. Tetapi justru pada saat tidak ada apa-apa, bangunan itu bagaikan diputar oleh cleret tahun raksasa.
Dalam pada itu, Kiai Damarmurti yang kemudian berdiri menghadap kearah cantrik itupun berkata, "Jangan gelisah. Tidak ada apa-apa. Sanggar itu memang sudah waktunya dicabut dari tempatnya dan kita akan menggantinya yang baru. Yang lebih baik, lebih luas dan lebih kuat."
"Tetapi kenapa dengan sanggar itu Kiai?" bertanya seorang cantrik.
Kiai Damarmurti justru tertawa. Katanya, "Sudahlah. Kumpulkan kayu-kayu yang berserakan itu. Kayu-kayu itu dapat kalian pakai untuk memanasi air dan menanak nasi. Besok kita akan mencari kayu yang lebih pantas ke hutan. Hutan yang disebelah daerah yang sering dilanda prahara. Bukan karena kita takut dihempas angin pusaran di Alas Prahara, Tetapi kayu didaerah hutan yang lebih cenang itu seratnya tentu lebih baik. Tidak melingkar-lingkar dan mudah patah jika dibuat, menjadi kerangka bangunan."
Para cantrik itu masih saja berdiri bagaikan membeku. Mata mereka yang memandang Kiai Damarmurti menyorotkan kegelisahan yang bergejolak di dalam hati mereka.
Namun sekali iagi Kiai Damarmurti berkata, "Sudahlah. Bersihkan halaman itu."
Para cantrik yang masih belum jelas persoalannya itu tidak bertanya lebih lanjut. Namun merekapun segera melakukan perintah Kiai Damarmurti, membersihkan halaman yang penuh dengan pecahan kerangka sanggar yang ber"serakan.
Pada saat yang demikian, dua orang telah memasuki halaman padepokan. Keduanya terkejut melihat kekayuan yang terserak-serak di halaman padepokan itu. Karena itu maka merekapun segera mendapatkan cantrik yang sedang sibuk membersihkan halaman itu.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya seorang diantara mereka.
Seorang diantara para cantrik itu menggeleng sambil menjawab, "Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang kami ketahui, tiba-tiba saja sanggar ini bergerak semakin lama menjadi semakin cepat. Kemudian berguncang keras sekali dan bagaikan diputar oleh angin pusaran. Bahkan kemudian sanggar ini terangkat, dan terhempas disini."
Kedua orang itu menjadi tegang. Ketika kemudian me"reka memandang kependapa rumah induk padepokan itu dan melihat beberapa orang duduk disana, maka keduanyapun dengan tergesa-gesa telah menuju kependapa.
Tetapi keduanya merasa heran, bahwa mereka melihat wajah Kiai Damarmurti yang cerah. Bahkan dengan suara yang ringan Kiai Damarmurti mempersilahkan, "Marilah adi Putut Wiyantu dan Putut Pideksa. Aku memang se"dang menunggu kalian."
Putut Wiyantu dan Putut Pideksa yang merasa heran atas sikap Kiai Damarmurti itupun telah naik pula kepen"dapa dan duduk bersama Kiai Damarmurti bersama tiga orang muridnya.
"Apa yang telah terjadi kakang?" bertanya Putut Wiyantu.
Kiai Damarmurti tertawa pendek. Katanya, "Tidak apa-apa. Marilah. Duduklah yang baik. Jangan gelisah seperii itu."
Kedua orang Putut itupun kemudian beringsut sejengkaL
Kiai Damarmurti telah memanggil salah seorang can"trik yang ada di halaman dan berkata, "He, kau lihat kedua adikku datang" Kenapa kau tidak bergegas merebus air?"
"O." cantrik itu mengangguk hormat. Iapun segera pergi ke dapur untuk merebus air. Sementara kawan-kawannya masih sibuk membersihkan halaman dari reruntuhan yang berserakan itu.
Namun daiam pada itu, kedua orang Putut itu masih sa"ja termangu-mangu memandang reruntuhan yang ada dihalaman. Memang keduanya belum dapat mengerti, apa yang agaknya telah terjadi.
"Kakang." berkata Putut Wiyantu, "apakah sebe"narnya yang telah kakang lakukan" Menurut ingatanku, tidak ada bangunan dihalaman itu. Namun tiba-tiba sekarang aku melihat sebuah rumah atau barak atau bangunan apapun yang roboh di halaman."
"Bangunan itu adalah sanggar kita." jawab Kiai Damarmurti.
"Sanggar?" kedua Putut itu menjadi heran. Sementara itu Putut Wiyantu bertanya pula, "Apakah ada sang-gar disitu?"
Kiai Damarmurti tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk kearah bekas sanggar yang telah diangkat dan dilontarkan oleh kekuatan ilmunya itu.
Keduanya menjadi semakin bingung. Namun kemudian Kiai Damarmurtipun berkata kepada muridnya yang tertua, "Katakan kepada kedua pamanmu."
Murid Sapu Angin yang tertua itupun kemudian telah menceriterakan apa yang terjadi. Bahwa sanggar itu telah dilemparkan dari tempatnya oleh ilmu yang telah berhasil dikembangkan kembali oleh gurunya.
Kedua orang Putut itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Putut Pideksapun berkata, "Bukan main. Tetapi kami ikut menjadi sangat bergembira. Bukankah dengan demikian pada satu saat kami akan dapat mempelajarinya pula."
"Tentu." jawab Kiai Damarmurti, "tetapi kalian harus bersedia menjalani laku yang sangat berat."
"Aku sudah terlalu biasa menjalani laku yang bagaimanapun beratnya." jawab Putut Wiyantu, "semakin berat laku yang kami jalani rasa-rasanya semakin sah ilmu itu kami miliki."
Kiai Damarmurti tertawa. Lalu katanya, "Sudahlah. Kita mempunyai bahan pembicaraan yang lain, yang barangkali lebih menarik untuk dibicarakan."
"Tentang apa kakang?" bertanya Putut Wiyantu.
"Nanti saja kita bicarakan." jawab Kiai Damarmurti, "kita masih mempunyai banyak waktu.Biarlah anak-anakmu nanti berceritera setelah cantrik itu membawa minuman panas."
Kedua Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Sebe"narnya bahwa mereka ingin segera mendengar ceritera dari murid-murid Kiai Damarmurti. Tetapi keduanya terpaksa menunggu hidangan yang kemudian dihidangnya. Sementara itu Kiai Damarmurtilah yang bertanya tentang perjalanan Putut Wiyantu dan Putut Pideksa.
"Tidak ada apa-apa." jawab Putut Wiyantu, "kami menjelajahi daerah yang kakang maksudkan. Kami tidak menemukan apa-apa. Tetapi bahwa nampak beberapa persiapan memang telah dilakukan."
Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Sementara itu maka hidanganpun telah mulai dicicipi.
Sambil minum-minuman hangat dan mengunyah bebe"rapa potong makanan, maka Kiai Damarmurtipun berkata kepada muridnya yang tertua, "Nah, bicaralah tentang perjalananmu."
Murid yang tertua dari Sapu Angin itupun kemudian menceriterakan perjalanan mereka. Usaha mereka menemui beberapa kelompok yang bersedia untuk bekerja bersama. Namun merekapun kemudian menceriterakan bahwa me"reka telah terjebak oleh tiga orang yang tidak dikenalnya. Seorang diantaranya adalah orang bercambuk.
"Orang bercambuk?" desis Putut Pideksa, "aku pernah mendengarnya."
"Tentu kau pernah mendengarnya." berkata Kiai Damarmurti. "Tetapi sekarang orang-orang itu telah bertemu dengan anak-anakmu."
Putut Pideksa mengangguk-angguk, Sementara itu murid Sapu Angin tertua itu menceriterakan saat-saat yang tegang sehingga seorang diantara mereka terbunuh. Tetapi akhir dari ceritera itu lelah membuat Putut Pi"deksa dan Putut Wiyantu kecewa.
Dengan nada tinggi Putut Pideksa berkata, "Jadi kau tinggalkan saudaramu yang terbunuh itu tanpa pembalasan dendam?"
Sebelum murid tertua itu menjawab, Kiai Damarmurtilah yang menjawab, "Aku tidak menyalahkannya. Jika me"reka berusaha membalas dendam atas kematian saudaranya itu, maka mereka semuanyalah yang akan mati. Orang bercambuk dan kawan-kawannya itu sebagaimana digambarkannya, memang bukan lawan kanak-kanak itu. Itulah sebabnya maka aku menunggu kalian berdua. Kita bertiga akan dapat berangkat menuju ke Barat untuk mencari ketiga orang itu. Mungkin kita tidak menemukannya. Te"tapi biarlah kita akan mencoba karena mereka tidak akan lebih ke Timur dari batas Bengawan kita itu. Bahkan Alas Prahara inipun telah disebutnya sebagai tempat yang terlalu jauh untuk didatangi."
Kedua orang Putut itu mengangguk-angguk. Bahkan Putut Pideksa itupun menggeram, "Semakin cepat sema"kin baik kakang. Kita haras menemukan mereka."
"Tetapi ingat, anak-anakmu itu tidak sekedar membual. Aku percaya apa yang mereka katakan, bahwa ketiga orang itu memang memiliki ilmu yang tinggi." berkata Kiai Damarmurti.
"Kita akan membuktikan." berkata Putut Pideksa, "memang wajar jika mereka dapat membantai anak-anak. Tetapi jika sempat menemui mereka, maka kitalah yang akan membantai mereka. Apalagi kakang telah mencapai tataran tertinggi dari perguruan Sapu Angin ini. Maka ,ketiga orang itu agaknya memang bukan apa-apa."
Kiai Damarmurti menggeleng. Katanya, "Jangan lupa-kan sorot mata yang mampu menghancurkan bagian dalam dada anakmu yang terbunuh itu."
"Kemampuan dan kecepatan anak-anak bermain pisau memang berbeda dengan kemampuan dan kecepatan kami." jawab Putut Pideksa, "pisau-pisau kami akan berjajar menancap didada orang yang matanya bersinar itu."
Kiai Damarmurti tersenyum. Tetapi yang diucapkan kemudian ternyata mengejutkan kedua orang Putut dan murid-muridnya. Katanya. "Pisau-pisau itu mungkin akan menancap didadanya. Itu jika kita harus berkelahi melawan mereka."
Putut Wiyantu dengan serta merta bertanya, "Apakah ada kemungkinan lain, kakang?"
Kiai Damarmurti mengangguk. Katanya, "Ya. Ada kemungkinan lain. Mungkin kita memang tidak akan berke"lahi dengan mereka."
"Seorang muridmu telah terbunuh." geram Putut Wiyantu.
Kiai Damarmurti mengangguk. Katanya, "Seorang muridku memang sudah terbunuh. Tetapi kau dengar kenapa ia terbunuh?"
"Ah, sejak kapan kakang mulai menilai sebab dari perkelahian yang terjadi antara anak-anak Sapu Angin dengan orang lain?" bertanya Putut Pideksa.
"Sejak aku menghadapi satu kenyataan, bahwa ter"nyata ketiga muridku itu tidak dibunuh. Ketiga muridku itu sudah pasrah tanpa mampu melawan. Dua orang terluka, seorang kehilangan tenaganya mutlak. Sedangkan yang seorang sudah jelas terbunuh." berkata Kiai Damar"murti, "tetapi akhirnya mereka bertiga itu sempat kembali ke padepokan. Sementara itu, setiap orang akan dapat menyebut, siapakah yang sebenarnya bersalah diantara ketiga orang itu dan murid-muridku."
"Aku menangkap kelainan sikap padamu kakang." berkata Putut Wiyantu.
"Ketiga muridku telah menggurui aku. Tanpa disengaja, diantara ceritera yang dikatakan kepadaku, murid-muridku mengatakan, bahwa perubahan sikap itu mungkin saja bagi mereka yang nalarnya masih belum membeku, Jika sebelumnya aku tidak pernah mengusut apakah langkah-langkah kita salah atau tidak, asal saja kita menumpahkan dendam kepada orang lain, maka sekarang ternyata aku berubah. Dan ini merupakan pertanda bahwa nalarku belum membeku." jawab Kiai Damarmurti.
Putut Pideksa tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Lucu sekaii. Kakang masih sempat bergurau dalam keadaan seperti ini."
Putut Wiyantu memandang Putut Pideksa yang tiba-tiba tertawa. Namun iapun kemudian bertanya kepada Kiai Damarmurti sambil tertawa pula, "Apakah memang benar kakang bergurau?"
Tetapi Kiai Damarmurti menggeleng. Katanya, "Aku tidak sedang bergurau. Aku berkata sebenarnya."
"Jadi, jika demikian kita akan membiarkan saja apa yang telah terjadi" Atau barangkali karena ceritera ketiga murid kakang yang agak berlebihan itu kakang menjadi ketakutan?" bertanya Putut Wiyantu.
"Jangan menyinggung perasaanku." berkata Kiai Damarmurti.
"Aku minta maaf kakang." berkata Putut Wiyantu kemudian, "tetapi maksudku, aku tidak percaya bahwa kakang memang berniat untuk melupakan peristiwa itu begitu saja. Martabat perguruan Sapu Angin akan jatuh sampai kedasar. Apa kata perguruan Nagaraga, Watu Gulung, Sapta Sabda dan perguruan-perguruan yang baru lahir kemudian" Sapu Angin adalah sebuah perguruan yang sudah tua, yang seharusnya mampu mempertahankan martabatnya. Kita tidak tahu, tiga orang itu dari perguruan yang mana yang sekarang hadir didalam percaturan dunia olah kanuragan. Orang bercambuk itu mungkin merupakan sisa-sisa dari perguruan yang sudah tua pula. Sorot mata yang memancar itu sudah lama tidak ditemui dalam pergu"ruan-perguruan yang manapun juga, sehingga kekuatannya pun agaknya tidak perlu dicemaskan yang hanya dapat membunuh anak-anak. Permainan api itupun tidak menarik sama sekaii. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, orang itu sama sekali tidak mampu mempergunakan apinya. Justru ia mempergunakan ikat kepalanya yang men"jadi saluran tenaga cadangannya. Bukankah begitu menurut ceritera yang aku tangkap?"
"Ya." desis murid Sapu Angin yang tertua hampir diluar sadarnya.
"Memang demikian." desis Kiai Damarmurti, "te"tapi kita tidak boleh menutup mata penglihatan batin kita atas apa yang terjadi. Dan aku menangkapnya sebagai satu peristiwa yang memang mungkin dapat direnungkan dan dapat menjadi sebab perubahan penalaran kita menghadapi satu peristiwa."
Kedua Putut itu nampak menjadi kecewa. Dan kekecewaan itu tertangkap oleh penglihatan Kiai Damarmurti. Karena itu maka iapun kemudian berkata, "Tetapi sikapku belum merupakan keputusan terakhir. Aku memang ingin bertemu dengan mereka jika kita kelak dapat mencarinya. Baru kemudian aku akan menentukan sikap."
Putut Wiyantu dan Putut Pideksa saling berpandangan sejenak. Namun keduanyapun kemudian mengangguk-angguk. Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang paling tidak diharapkan. Yaitu jika merekapun menjadi berubah sikap pula seperti Kiai Damar"murti.
"Aku bukan orang yang berhati lemah seperti kakang Damarmurti." berkata Putut Wiyantu di dalam hatinya.
Sementara itu Putut Pideksa berbicata kepada dirinya sendiri. "Kakang Damarmurti harus menyadari kekeliruannya. Perguruan Sapu Angin yang selama ini berdiri sejajar de"ngan perguruan-perguruan lain, akan dapat hancur namanya karena orang-orang tidak bernama itu."
Namun mereka tidak segera mengatakannya. Mereka memang masih harus menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kiai Damarmurti kelak jika ketiga orang itu benar-benar dapat dijumpai dimanapun juga.
Dalam pada itu, para cantrik masih saja sibuk dengan Sanggar yang rusak itu. Sementara Kiai Damarmurti ber"kata kepada kedua Putut itu, "Hari ini dan besok aku masih harus menemukan pohon kayu yang paling baik untuk mengganti sanggarku yang rusak."
Kedua orang Putut itu termangu-mangu. Namun Putut Pideksa itupun kemudian berkata, "Jika demikian kapan kita akan pergi" Apakah kita memang menunggu orang-orang itu pergi, sehingga kita tidak akan dapat bertemu dengan mereka?"
Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kalian telah berubah menjadi garang."
"Tidak." jawab Putut Wiyantu, "kakanglah yang sudah berubah menjadi terlalu lembut."
Kiai Damarmurti tertawa. Lalu katanya, "Sudahlah. Beristirahatlah Nanti kita pergi ke hutan bersama bebe"rapa orang cantrik."
Betapapun kecewanya, kedua Putut itu tidak dapat berbuat apa-apa. Merekapun kemudian meninggalkan pendapa itu bersama ketiga orang murid Kiai Damarmurti itu. Sedangkan Kiai Damarmurti sendiri telah turun ke halaman dan memanggil beberapa orang cantrik agar bersiap-siap untuk pergi kehutan mencari kayu yang paling baik untuk membangun sanggar.
Kedua Putut yang beristirahat dibelakang itu sempat berbicara kepada murid-murid Sapu Angin. Dengan nada rendah Putut Wiyantu bertanya, "Kenapa dengan gurumu" Pada saat ia menemukan, kekuatannya yang utuh ia justru menjadi lemah."
Murid tertua diantara ketiga orang saudara seperguruannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa gurunya telah mendengarkan laporan dan bahkan pendapatnya. Karena itu, murid Sapu Angin itu sulit untuk memberikan keterangan.
Karena murid Kiai Damarmurti itu tidak segera menjawab, maka Putut Wiyantu itu berkata, "Baiklah. Kalian memang sudah berubah. Tetapi jika kita berhasil mene"mukan ketiga orang itu, mungkin kakang Damarmurti akan menemukan dirinya kembali."
Ketiga murid Sapu Angin itu masih tetap berdiam diri.
"Dengan demikian, maka kewajiban kita sekarang adalah menunggu kakang Damarmurti setelah ia menemu"kan kekayuan yang dikehendaki itu." berkata Putut Pidek"sa.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putut Wiyantu mengangguk-angguk. Sementara itu merekapun segera pergi ke bilik yang sudah disediakan bagi mereka untuk menyimpan dan berganti pakaian. Meletakkan tudung kepala yang lebar dan menggantungkan senjata di dinding. Baru sejenak kemudian merekapun telah berada pula di halaman bersama para cantrik dan murid-murid dari perguruan itu.
Dalam pada itu, ditempat lain yang jauh, dua orang anak muda sedang duduk di atas sebongkah batu karang. Mereka memperhatikan lingkungan disekitarnya dengan kening yang berkerut. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Ternyata kita tidak menemukan apa-apa disini, Glagah Putih."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekali-sekali ia memperhatikan lereng Gunung yang dipenuhi oleh pepohonan yang pepat. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Apakah kita harus memutari lambung pegunungan ini setingkat demi setingkat?"
Raden Rangga tertawa. Katanya, "Menyenangkan sekali. Tetapi kita baru akan selesai sesudah rambutmu ubanan."
Glagah Putihpun tersenyum pula. Namun kemudian katanya, "Marilah kita berjalan kemana saja. Aku sudah jemu tinggal disekitar tempat ini tanpa menemukan apa-apa."
Keduanyapun kemudian, mulai bergerak. Mereka melangkah menyusup hutan yang tidak rata. Sebagian lebat pepat, namun ada bagian-bagian yang sedikit terbuka. Meskipun juga ditumbuhi oleh pepohonan perdu. Namun ada juga yang terbuka sama sekaii. Yang ada hanyalah batu-batu padas yang gundul. Namun daerah yang terbuka sama sekaii itu tidak begitu luas dibandingkan dengan hutan-hutan yang lebat.
Kedua anak muda itu telah melanjutkan perjalanannya. Mereka menyusuri setiap jalur yang yang disangkanya setapak. Namun mereka tidak pernah menemukan sesuatu.
Beberapa ratus tonggak di bawah mereka nampak padukuhan-padukuhan dikelilingi oleh persawahan yang hijau. Daerah yang pernah dijelajahinya sebelumnya. Namun mereka tidak menjumpai sebuah padepokanpun. Sementara itu, agaknya orang-orang padukuhan itu tidak ada pula yang tahu atau merasa takut untuk memberikan keterangan tentang padepokan Nagaraga.
Ketika kedua anak muda itu sudah menjadi jemu dan hampir saja mereka meninggalkan tempat itu untuk mencarinya di tempat lain, maka tiba-tiba keduanya melihat sesuatu yang menarik perhatian.
"Glagah Putih." berkata Raden Rangga, "kau lihat itu?"
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Seakan-akan se"suatu telah melanda tempat itu."
"Tetapi tentu sudah terjadi dalam waktu yang lama." berkata Raden Rangga.
"Marilah, kita lihat" berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk. Katanya, "Kita ikuti jalur itu. Agaknya memang sangat menarik."
Kedua anak muda itupun kemudian mengikuti sebuah jalur yang bagi mereka sangat menarik. Seakan-akan se"buah jalur yang menyibakkan pepohonan hutan, tetapi bekas itu masih nampak jelas.
Melalui jalan yang sangat sulit, keduanya bergerak menuruni lereng. Keduanya merayap dengan lambat sekali. Kadang-kadang mereka harus merangkak. Namun kadang-kadang mereka harus memanjat dan meniti batang-batang kayu yang roboh. Bahkan kadang-kadang Raden Rangga terpaksa mempergunakan ilmunya, menyapu kekayuan dan pepohonan yang pepat. Sebuah lontaran ilmu yang dahsyat sekali-sekali telah melanda hutan sehingga jalan terbuka untuk beberapa puluh langkah.
Demikian mereka berdua melakukannya berganti-ganti. Namun bagaimanapun juga, mereka lambat sekali menembus hutan itu. Tetapi keduanya tidak begitu menghiraukan. Mereka justru merasa mendapat kesempatan untuk berlatih tanpa mengganggu orang lain. Apalagi Glagah Putih. Beberapa kali Raden Rangga memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk melepaskan ilmunya. Beberapa kali ia memberikan petunjuk dan mengemukakan pendapatnya atas ilmu yang dilepaskan oleh Glagah Putih. Ternyata bahwa pendapat Raden Rangga itu sangat berarti bagi Glagah Pu"tih.
Namun kedua anak muda itu tidak mempergunakan kekuatan api untuk membuka jalan. Mereka menyadari, bahwa api akan dapat sangat berbahaya bagi hutan di le"reng gunung. Kebakaran yang terjadi pada hutan dilereng gunung akan dengan cepat menjalar dan merambat naik.
Demikianlah mereka menelusuri semacam jalur yang agaknya sudah terdapat cukup lama, namun masih tetap membekas. Pepohonan yang menyibak, meskipun telah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang baru. Batu-batu yang menyibak dan pertanda-pertanda yang lain.
Tetapi akhirnya Glagah Putih bertanya, "Untuk apa kita ikuti jalur itu?"
Raden Rangga menggeleng. Katanya, "Entahlah. Te"tapi mungkin ada gunanya."
Glagah Putih tidak menjawab. Diikutinya jalur yang memanjang itu. Sekali-sekali menuruni lembah yang agak dalam, kemudian memanjat tebing yang curam. Namun ja"lur itu memang menuruni lereng gunung.
Ketika kedua anak muda itu menjadi semakin rendah, maka merekapun telah memasuki sebuah hutan perdu. Ter"nyata bahwa mereka masih tetap dapat melihat jejak yang memanjang itu, sehingga akhirnya masuk ke sebuah sungai.
Raden Rangga dan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun mereka"pun kemudian telah turun pula kedalam sungai. Ternyata meskipun tidak begitu jelas, mereka masih ju"ga dapat melihat jejak yang tidak mereka ketahui itu.
Ketika kedua anak muda itu bertemu dengan seorang tua yang sedang sibuk menebarkan jala di sebuah kedung kecil di sungai itu, maka keduanyapun telah mendekatinya.
"Kakek?" bertanya Raden Rangga, "Apakah kakek dapat menceriterakan kepada kami, jejak yang menuruni lereng gunung itu dan yang kemudian menuruni sungai itu, apakah jejak arus air atau jejak batu raksasa yang berguling atau jejak apa?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, "Dan mana anak-anak muda mengetahui ten"tang jejak itu?"
"Kami mengikutinys dari lereng gunung kek?" jawab Raden Rangga.
"Ah, jangan bergurau." berkata orang tua, "manamungkin seseorang pernah memanjat lereng gunung itu."
Kabut Di Bumi Singosari 5 Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Manusia Setengah Dewa 8

Cari Blog Ini