Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Nyoman Dwipa 2

Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa Bagian 2


riwayat Wiro Sableng dalam keadaan pemuda itu tak berdaya, menjadi sangat geram
dan menyerbu ke muka!
Namun sebelum tongkat bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa saling beradu dengan
ular kering di tangan kanan Ki Sawer Balangnipa, terdengar suara menggembor yang
disusul dengan bentakan lantang.
"Siapa bilang aku tak berdaya, Nyoman!"
Dan "wuut"!
Selarik sinar putih yang amat menyilaukan serta panas berkelebat diiringi suara
mengaung macam ratusan tawon mengamuk!
Dan "cras"!
Terdengar kemudian pekik setinggi langit keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa.
Tangan kanannya sebatas pergelangan lengan buntung dan memuncratkan darah!
Telapak dan jari-jari tangan yang masih memegang ular kering tadi, kelihatan
mental ke udara lalu jatuh ke dalam danau, membuat air danau di tempat jatun
berwrrna kemerah-merahan oleh darahl Apakah yang telah terjadi"
Sewaktu Ki Sawer Balangnipa siap untuk menamatkan riwayat Wiro Sableng, sebelum
Nyoman Dwipa sempat menangkis senjata Ki Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang
duduk diam mematung itu tiba-tiba membuat gerakan cepat luar biasa, mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan membabat ke depan! Maksudnya cuma hendak menabas
senjata lawan tapi tak terduga serangannya itu justru membuat buntung
pergelangan Ki Sawer Balangnipa!
Laki-laki ini menotok jalan darah di bahu kanan hingga darah berhenti memancur!
"Pemuda keparat! Kali ini kau menang! Tapi lain ketika jangan harap kau bisa
hidup jika aku muncul kembali di depan hidungmu!" Habis berkata begitu Ki Sawer
Baangnipa berkelebat dan lenyap di jurusan timur danau!
Wiro Sableng masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya lalu berdiri
dengan perlahan-lahan. Nyoman Dwipa memegang bahunya.
"Kau tak apa-apa, Wiro?"
"Aku terluka di dalam," jawab Wiro mengaku terus terang, "tapi tak begitu
berbahaya. Manusia itu hebat sekali ilmu pukulannya!"
"Tapi kau jauh lebih hebat!" kata Nyoman Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda Bali
ini menyadari sepenuhnya kalau saja dia yang berhadapan dengan Ki Sawer
Balangnipa pasti akan lebih cepat dirobohkan, bahkan mungkin akan memenuhi ajal
secara mengenaskan!
"Terima kasih atas bantuanmu, Nyoman."
KARYA 42 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Aku kebetulan lewat di sini dan mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki
kutemui kau mencak-mencak telanjang bulat melawan puluhan ular!"
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut basah. Kedua orang
pemuda itu lalu menuturkan riwayat masing-masing. Wiro Sableng geleng-gelengkan
kepala mendengar cerita Nyoman dan berkata, "Hebat sekali riwayatmu, Nyoman.
Juga menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde Jantra itu memang patut dihajar
Sayang aku ada urusan yang perlu diselesaikan dengan cepat Kalau tidak pasti aku
akan seiring denganmu. Tapi begitu urusanku selesai aku segera akan menyusulmu,
Nyoman! Ingin sekali aku melihat tampangnya itu pemuda yang bernama Tjokorda Gde
Jantra!" "Terima kasih yang kau ada perhatian terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa
pula. Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat baru itu
saling menjura lalu berpisah.
KARYA 43 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
10 SEPERTI telah dituturkan untuk mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa
sengaja menempuh rimba belantara.
Menjelang tengah hari dia sampai ke kaki sebuah bukit. Bukit itu jarang
didatangi manusia bahkan lewat di sanapun boleh dikatakan tak ada yang berani
karena dibukit itulah bersarangnya gerombolan rampok yang dipimpin oleh seorang
bernama Warok Gde Jingga. Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok Jingga
saja. Namun kemudian ditambah di tengah-tengah dengan kata "Gde".
Bagi Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang
perjalanannya selama setengah hari.
Meskipun dia sendiri tahu bagaimana besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut
namun karena ingin cepat-cepat sampai ke Denpasar dan ingin cepat-cepat
melunaskan sakit hati dendam kesumat yang telah diindapnya selama beberapa bulan
di lubuk hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat sengaja menempuh bukit
tersebut. Beberapa jam kemudian dia sudah sampai kelereng bukit sebelah selatan. Sekurangkurangnya menjelang magrib dia pasti sudah sampai ke kota tujuannya. Dia harus
memasuki satu rimba belantara sebelum mencapai kaki bukit di mane membujur jalan
yang menuju ke Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu nyatanya dia tak
mengalami kesukaran apa-apa dalam menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit tempat
bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde Jingga.
Sewaktu Nyoman Dwipa telah menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara
itu, mendadak di sebelah muka di dengamya suara bentakan-bentakan dan suara
beradunya senjata. Tak dapat tidak itu pastilah suara orang yang tengah
bertempur. Pemuda ini percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi bagaiman baju
birunya dikait semak belukar. Tepat di kaki bukit, di tepi jalan besar
kelihatanlah satu pemandangan yang hebat!
Empat orang laki-laki berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur
mengeroyok seorang perempuan berpakaian dan berkerudung kain hitam. Di tepi
jalan sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua dengan tubuh mengigil sedang
dibelakangnya, di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian depan kereta,
seorang kusir tua duduk dengan paras pucat pasi!
Perempuan yang parasnya ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali.
Pedang perak di tangan kanannya berkelebat kian kemari, menangkis seranganserangan golok panjang ke empat pengenyok bahkan juga sekaligus balas menyerang
dengan gencarnya!
Namun betapapun hebatnya ilmu pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya
adalah prajurit-prajurit klas satu yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman
Dwipa datang mereka telah bertempur lebih dari sepuluh jurus dan si baju hitam
berada dalam keadaan terdesak yang cukup membahayakan keselamatannya!
"Breet"!
Tiba-tiba salah satu ujung golok panjang berhasil nembabat putus buhul kain
hitam yang menjadi kerudung si baju KARYA
44 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu! Jangankan Nyoman Dwipa,
keempat prajurit yang bertempurpun terkesiap saking tidak menyangka kalau paras
di balik kerudung itu nyatanya adalah paras seorang dara yang jelita dan paras
itu kelihatan pucat akibat sambaran senajata lawan yang hampir saja membelah
batok kepalanya!
Salah seorang prajurit melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau kau
tak segera mengembalikan patung itu, jangan harap kau akan melihat matahari
tenggelam sore nanti!"
Dara jelita berpakaian hitam mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia
kiblatkan pedang peraknya hingga pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini
seperti tadi, lagi-lagi si baju hitam berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke
empat prajurit itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara benarbenar terancam!
Meski dia tak ada sangkut paut dengan pertempuran yang berkecamuk itu, tapi
Nyoman Dwipa merasa kasihan dan tidak tega kalau sang dara berbaju hitam sampai
mendapat celaka di ujung golok-golok ke empat lawannya. Dari balik semak-semak
di mana dia bersembunyi mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah
kalangan pertempuran seraya berseru,
"Hentikan pertempuran!"
Karena suara itu disertai aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke
seantero rimba. Keempat prajurit berpaling terkejut dan kemudian menjadi marah
melihat seorang pemuda tak dikenal mengganggu serta mencampuri jalannya
pertempuran! Salah seorang dari mereka memberi isyarat agar tak usah memperdulikan Nyoman
Dwipa. Maka keempatnya kemudian kembali hendak menyerbu si gadis baju hitam.
Tapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat kenyataan bahwa dara itu tak ada
lagi dihadapan mereka, sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka
tertumpah pada Nyoman Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat prajurit itu
tertuju pada diri Nyoman Dwipa kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara
mereka kiblatkan golok panjang menyerang pemuda itu!
Karena sudah menyaksikan kehebatan permainan golok keempat orang prajurit itu
Nyoman segera pula bertindak cepat.
Golok pertama yang datang menusuk ke dadanya dikelit sigap dan tahu-tahu lima
jari tangan kirinya yang dilipat sudah menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru
kesakitan! Goloknya terlepas sedang sambungan sikunya putus dihantam pukulan
Nyoman Dwipa. Sementara tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat peristiwa
itu, Nyoman Dwipa dengan cepat menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan golok
itu Nyoman membabat golok-golok di tangan ketiga lawannya hingga satu demi satu
bermentalan di udara!
Keempat prajurit itu kagetnya bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka
memaki habis-habisan. Bahkan salah seorang dari mereka secara blak-blakan
berkata dengan suara keras penuh amarah.
"Pemuda tak tahu diri! Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu
hingga mencampuri urusan orang lain"!"
Prajurit yang kedua membuka mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis
berbaju hitam tadi"!"
"Aku memang tak ada sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga
tidak tahu siapa kalian, apalagi gadis KARYA
45 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
yang kabur itu!"
"Tindakanmu ceroboh lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil
merampas dan melarikan patung emas yang kami bawa!"
"Patung emas"!" ujar Nyoman.
"Ya, patung emas! Dan kau musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap dan
clihadapkan pada Adipati Surabaya untuk menerima hukuman!" kata prajurit yang
lain. "Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman.
"Tak usah banyak tanya! Lekas serahkan dirimu!"
"Sobat, sebaiknya kau terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok gadis
itu. Jika memang dari keteranganmu nanti aku telah melakukan kesalahan,
percayalah aku akan menebus kesalahanku itu."
Salah seorang dari keempat prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah
utusan dari Kadipaten Surabaya yang berangkat menuju ke Bali untuk melamar
seorang gadis anak bangsawan yang tinggal di Denpasar. Sebagai bawaan, Adipati
Surabaya telah memberikan sebuah patung emas untuk diserahkan pada keluarga si
gadis sebagai tanda penghormatan. Setelah menyeberangi lautan, sesampainya di
Bali mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta. Perempuan tua yang ikut
bersama keempat prajurit itu adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran
Adipati Surabaya kepada si gadis.
Sebagai orang asing tentu saja mereka tidak mengetahui bahwa bukit Jaratan dan
daerah sekitarnya adalah tempat malang melintangnya gerombolan rampok yang
dikepalai oleh Warok Gde Jingga. Ketika mereka lewat di kaki bukit di sepanjang
tepi hutan, mereka telah dicegat oleh seorang perempuan berkerudung kain hitam.
Kusir kereta yang pernah mendengar tentang ciri-ciri perempuan itu segera
memberi tahu bahwa dia adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala rampok Warok
Gde Jingga yang sangat ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki
ilmu silat yang tinggi maka dia selalu melakukan kejahatan seorang diri. Rupanya
rampok betina ini sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati Surabaya itu ada
membawa benda berharga. Maka begitu dia melakukan penghadangan dengan cepat dia
menerobos masuk ke dalam kereta dan berhasil merampas patung emas! Keempat
prajurit Kadipaten Surabaya tentu saja tidak tinggal diam. Justru mereka telah
diberi kepercayaan untuk melindungi barang berharga itu. Maka tanpa banyak
cerita lagi segera mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.
Ketika mereka sudah hampir berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu
muncullah Nyoman Dwipa memberikan pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan
Sarti berhasil kabur dengan membawa serta patung emas!
Kini tahulah Nyoman Dwipa akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang
siapa yang bisa menduga kalau gadis secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang
perampok" Dan pemuda manakah yang tega membiarkan seorang dara jelita terancam
bahaya mautl! Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun berkata. "Memang besar
salahku! Kurasa sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya kita lakukan
pengejaran. Kalau perlu kita datangi sarangnva!"
Keempat prajurit Kadipaten Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang sejak
tadi berdiam diri karena ketakutan KARYA
46 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
untuk pertama kalinya buka suara, "Mendatangi sarang Warok Gde Jingga berarti
mencari mati!"
"Kalau begitu kalian tidak menginginkan patung emas itu kembali?"
"Tentu saja menginginkanl" jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya
gerombolan rampok itu besar sekali bahayanya. Karena itu kau yang punya garagara maka kau sendiri yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di sini! Kami tak
perduli apakah untuk mendapatkan patung emas itu kau harus menyerahkan
kepalamu!"
"Kalau aku pergi seorang diri dan berhasil mengambil kembali patung itu, jangan
harap aku akan membawanya ke sini....," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai.
"Kalau begitu ...." kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa
lamanya, "aku, kau dan dua orang kawanku berangkat ke sana. Yang lain tetap
tinggal di sini."
Nyoman menyetujui pendapat itu, lalu tanpa menunggu lebih lama mengajak ke empat
orang itu untuk segera berangkat.
Kusir kereta mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara dengar nasihatku. Adalah
sia-sia kalian pergi mengambil kembali patung emas itu! Warok Gde Jingga
memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di samping itu dia memiliki anak buah yang
banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti maka sekalipun kalian berjumlah lima kali lebih
besar, jangan harap kalian akan berhasil.
Kataku kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda biang
runyam itu ke hadapan Adipati Surabaya!"
"Bagiku kemarahan Adipati Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa
kalian semua juga tak luput dari hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa.
Jangan menyesal kalau patung emas itu jatuh ke tanganku sedang kalian mendapat
hukuman dari Adipati kalian!"
Nyoman Dwipa cepat berlalu dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan.
Akhirnya setelah mengambil senjata masing-masing yang tadi jatuh di tanah,
ketiganya segera menyusul Nyoman Dwipa.
"Mereka akan mati percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil
memperhatikan kepergian orang-orang itu.
KARYA 47 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
11 SEORANG anggota rampok yang berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat
kedatangan keempat orang itu. Cepat-cepat dia turun dari atas pohon dan
memberikan laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga. Kebetulan saat itu
Luh Bayan Sarti ada pula di situ.
"Coba terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh Bayan Sarti.
"Yang tiga orang berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi
pemuda berpakaian biru."
"Hem ...." gadis itu mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana
pendapatmu?" tanyanya.
"Biarkan saja mereka datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala rampok. "Memang pendapatkupun demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala
pada anggota rampok yang melapor.
Setelah anggota rampok itu pergi berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan
berhadapan kembali dengan tuan penolongmu yang gagah itu! Bukankah itu yang kau
inginkan, Sarti?"
Luh Bayan Sarti menjadi merah parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut
kedatangan mereka!"
Warok Gde Jingga tertawa lalu mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka
menunggu di langkan.
Karena telah dipesankan agar keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika
memasuki perkampungan, tak ada seorang rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa
dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu. Di halaman rumah besar keempatnva
berhenti. Nyoman melirik sekilas pada Luh Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki
bertubuh tinggi besar yang hanya mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang
bidang tertutup oleh bulu sedang wajahnya diranggasi cambang bawuk yang lebat
kaku. "Apakah kami berhadapan dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah
terlebih dahulu menjura.
"Orang muda," kata Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang
ke mari! Sesudah menolong adikku dari bahaya dikeroyok oleh prajurit-prajurit
hina dina itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak minta hadiah imbalan"!"
Nyoman Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh dari itu, Warok. Justru aku datang ke
sini untuk menebus kesalahanku terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya
ini. Satu-satunya jalan untuk dapat menebus kesalahanku itu ialah meminta
kesudianmu untuk mau menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh
adikmu ini." Nyoman lalu meng-goyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti.
Gadis itu tertawa cekikikan. Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi
paras Nyoman Dwipa yang gagah cakap itu.
"Enak betul bicaramu. Sudah lancang dating kemari, sekarang berani bertingkah!
Apakah kau bersedia menyerahkan KARYA
48 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
selembar nyawamu sebagai pengganti patung emas itu"!"
Nyoman tertawa lebar. Dalam tertawa itu dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan
Sarti sungguh jelita. Kulitnya halus mulus. Sungguh sangat disayangkan dara
sejelita ini hidup menjadi perampok, berbuat kejahatan dan diam di tengah-tengah
manusia-manusia kasar!
Sementara itu Warok Gde Jingga mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok.
"Selembar nyawaku bukan apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab
pertanyaan Luh Bayan Sarti tadi. "Yang penting patung emas itu harus diserahkan
pada ketiga prajurit ini."
"Kalau begitu biar kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas
itu akan kuberikan pada manusia-manusia jelek ini!"
"Serahkan dulu patung emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti mendelikkan kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang
peraknya. "Tahan dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika
gadis itu hendak melompat ke hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur begini
saja orang muda. Karena patung emas itu boleh dibilang milik ketiga kunyukkunyuk Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun tangan sendiri.
Jika mereka bertiga berhasil mengalahkanku, kuserahkan patung itu kembali pada
mereka. Tapi kalau mereka kalah, patung emas itu tetap milikku dan mereka
kubebaskan. Untuk itu kau harus mempertaruhkan batang lehermu!"
Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya terkejut bukan main. Jangankan mereka
bertiga, sepuluh orangpun mereka belum tentu sanggup mengalahkan Warok Gde
Jingga yang kesaktian dan ilmu silatnya sangat tinggi itu!
Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.
"Warok Gde Jingga," kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka
biarlah aku mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi permintaanmu tadi."
Warok Gde Jingga tertawa gelak-gelak. "Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi
kelonggaran padamu! Kau boleh maju bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna
itu!" "Walau ilmuku sangat dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku
biarlah aku menghadapimu seorang diri."
"Baik ... baik ... baik! Jika itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde
Jingga seraya melompat ke halaman.
Tubuhnya yang tirrggi besar dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak
sedikitpun menimbulkan suara ketika kedua kakinya menjejak tanah halaman. Satu
pertanda bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat yang tinggi!
Nyoman Dwipa tak mau kalah siap! Sekali dia berkelebat maka bayangannya lenyap
dan sedetik kemudian sudah berdiri enam langkah di hadapan kepala rampok itu!
Warok Gde Jingga terkejut bukan main! Tiada diduganya pemuda yang dianggapnya
sepele itu memiliki gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak berada
di bawahnya! KARYA 49 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Melihat kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba
melompat dan berseru, "Kak Gde Jingga!
Biar aku yang mengadapi pemuda sombong ini! Kau lihat sajalah bagaimana adikmu
akan memberi pelajaran padanya!"
Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Luh Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa,
tersenyum sekilas lalu berkata sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya.
"Silahkan kau mulai lebih dulu!".
"Ah, tuan rumahlah yang lebih pantas memulai," sahut Nyoman Dwipa pula. "Kuharap
kau benar-benar memberi pelajaran berguna pada orang bodoh macamku ini,
saudari!" Luh Bayan Sarti tertawa kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena
pedangku ini tidak bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis dengan satu serangan
setengah melompat. Ketika menabas pedang peraknya hanya merupakan selarik sinar
putih yang mengeluarkan suara bersiur karena saking cepatnya! Sebelumnya Nyoman
Dwipa telah melihat ilmu pedang gadis itu yakni sewaktu Luh Bayan Sarti
bertempur melawan prajurit-prajurit. Kadipaten Surabaya. Namun sekali ini
dilihatnya si gadis mengeluarkan jurus serangan yang lain dari yang lain hingga
Nyoman Dwipa tak mau bersikap memandang enteng, cepat mencabut tongkat bambu
kuningnya yang kecil dan dengan gesit berkelebat mengelakkan tabasan yang
mengincar pinggangnya!
Setengah jalan tiba-tiba sekali tabasan yang dilakukan Luh Bayan Sarti berubah
menjadi satu tusukan tajam ke arah dada.
Tusukan ini sebelum sampai memecah laksana kilat keempat bagian tubuh Nyoman
Dwipa yaitu kepala, leher, dada dan perut!
Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si
gadis adalah serangan hebat luar biasa.
Melihat dekatnya tusukan-tusukan pedang itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya
merasa cemas kalau-kalau si pemuda kali ini tak sanggup menvelamatkan dirinva!
"Hebat!" Justru dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan
memuji. Tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru
itu bekelebatlah selarik sinar kuning. Itulah sinarnya bambu kuning di tangan
Nyoman Dwipa. Melihat lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti
kerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya hingga dalam jurus pertama itu keduanya
sudah merupakan baying-bayang saja!
Nyoman tersenyum melihat kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini menggerakkan
bambu kuningnya dalam jurus
"gendewa sakti membentur gunung". Jurus ini mengandalkan tenaga dalam yang
dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dalam jurus kedua terjadilah hal yang sangat
mengejutkan Warok Gde Jingga.
Sewaktu dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti kembali melancarkan serangan yang
hebat, bambu kuning di tangan Nyoman sudah bergerak dalam jurus "gendewa sakti
membentur gunung" itu.
Luh Bayan Sarti heran ketika merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula
meluncur pesat tahu-tahu dengan tiba-tiba sekali tersendat laksana diterpa oleh
satu angin yang luar biasa dahsyatnya. Belum habis rasa herannya itu, bambu
kuning di tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah berada dekat sekali di
samping pedang peraknya!
KARYA 50 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Luh Bayan Sarti seorang berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan
mengetahui bahwa tenaga dalam lawan tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman
Dwipa hendak memukul badan pedangnya dalam satu pukulan yang hebat dan memungkinkan pedang perak itu terlepas dari tangannya! Karenanya dengan sigap
gadis ini menaikkan tangannya ke atas lalu membabat ke samping, menaebas ke arah
batang leher Nyoman Dwipa!
Di lain pihak Nyoman Dwipa tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama.
Kedudukan tangan dan senjata lawan yang berada lebih tinggi di atas senjatanya
sendiri justru itulah yang dikehendakinya! Bambu kuning di tangan pemuda ini
menerpa ke atas Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang memegang
pedang menjadi kesemutan. Dia melompat mundur tapi tak bisa karena pada saat itu
bambu kuning di tangan lawan laksana seekor ular seakan-akan telah membelit
pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa memutar-mutar bambu kuningnya, pedang perak di
tangan gadis itupun ikut berputar melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa
mempertahankan senjata itu kecuali kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir dan
tanggal dari persendiannya!
Warok Gde Jingga bukan olah-olah kejutnya menyaksikan bagaimana adiknya yang
berkepandaian tinggi itu hanya mampu menghadapi pemuda itu dalam tempo dua jurus
saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan saja dia dikalahkan tapi senjatanya
sekaligus kena dirampas! Luh Bayan Sarti sendiri sesudah pedangnya tertarik dan
berada digenggaman Nyoman Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga malu sekali.
Dengan paras merah sambil banting-banting kaki gadis ini memutar tubuh dan
meninggalkan tempat itu.
"Eh, saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti tak mau berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus
nyelonong ke langkan rumah Karena orang tak mau menerima kembali senjatanya maka
Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang memegang pedang. Senjata itu lepas
dan mendesing di udara lalu menancap di tiang langkan rumah, tepat pada saat Luh
Bayan Sarti berada di samping tiang itu!
Luh Bayan Sarti berbalik dan mendelikkan kedua matanya pada Nyoman Dwipa.
Sebaliknya pemuda itu hanya tersenyum saja, membuat si gadis benar-benar
penasaran setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari tiang langkan lalu cepatcepat masuk ke dalam rumah!
Nyoman berpaling pada Warok Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang.
Karena dia bertindak sebagai wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati
janjimu Warok. Harap kau segera mengembalikan patung emas itu pada ketiga
prajurit ini.... "
Warok Gde Jingga mengusap-usap dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelakgelak. "Ingatanmu selalu pada patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan
kemenanganmu! Terangkan dulu namamu dan siapa kau sebenarnya ..."
"Kalau sudah kuterangkan lantas kau akan mengembalikan patung itu"!"
KARYA 51 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Kembali kepala rampok itu tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang
berdiri mengeliling halaman lalu menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku tahu nama
dan siapa kau adanya, kita main-main sebentar . . . "
Nyoman tahu apa yang dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main" itu.
Maka dia berkata, "Dan kalau dalam main-main itu kau mengalami nasib sama dengan
adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain untuk tidak menyerahkan patung emas
itu"!"
Merahlah paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda
sontoloyo!" katanya keras.
"Ah kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah
kini kita bisa memulai permainan yang kau maksudkan itu"!"
Warok Gde Jingga menggeram. Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar
keluarlah seorang pelayan membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga yang
bentuknya aneh dan dahsyat! Belum pernah Nyoman Dwipa melihat senjata semacam
itu. Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri kelihatan saling berbisik karena
setahu mereka, Warok Gde Jingga jarang sekali mempergunakan senjata itu kalau
tidak dalam keadaan terpaksa atau ketika menqhadapi lawan yang tangguh luar
biasa! KARYA 52 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
12 SENJATA di tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada kedua
ujungnya digantungi masing-masing tiga buah kaitan besi yang juga berwarna
hitam. Setiap ujung kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan lagi dan masingmasing ujungnya tetah dicelup dengan racun yang amat jahat selama tiga tahun.
Sekali manusia yang tidak memiliki kekebalan racun, meskipun memiliki tenaga
dalam bagaimanapun tingginya pasti akan menemui kematian bila sampai kena
tertusuk oleh ujung-ujung kaitan itu! Di samping itu kaitankaitan tersebut
merupakan senjata yang berbahaya karena sanggup membetot daging atau urat
seorang lawan! Menurut taksiran keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari lima
puluh kati. Tapi Warok Gde Jingga memegangnya tak ubahnya seperti memegang
sebuah ranting kering belaka!
Nyoman Dwipa tahu benar kehebatan ilmu suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh
lebih tinggi dari ilmu silat Luh Bayan Sarti yang tadi telah dikalahkannya. Dan
melihat kepada senjata di tangan Warok Gde Jingga, pemuda ini sudah maklum bahwa
senjata itu amat berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman Dwipa
pasang kuda-kuda pertahanan yang bernama "elang menukik laut". Kedua kaki
merenggang agak menekuk di bagian lutut. Tangan kiri agak mengembang ke samping
sedang tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning dipalangkan di muka dada.
"Ayo majulah!" kata Warok Gde Jingga.
"Silahkan tuan rumah memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa.
Kepala rampok dari bukit Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota
rampok yang mengelilingi tempat tersebut membuka mata masing-masing selebar
mungkin untuk menyaksikan pertempuran yang bakal berlangsung yang tidak bisa
tidak pasti sangat hebat!
"Awas perut!" teriak Warok Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi
dengan berkelebatnya tubuh pemimpin rampok itu. Ujung toya sebelah kanan menderu
ke arah perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan berdesing siap untuk membetot dan
membusaikan isi perut pemuda itu!
Nyoman Dwipa melompat ke belakang untuk mengelak. Di'saat itu pula dengan tak
terduga, cepat sekali ujung toya besi yang sebelah kiri menyambar ke arah leher
pemuda itu! Kejut Nyoman Dwipa bukan alang kepalang. Sambil membentak keras
pemuda gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan
menggerakkan tongkat bambu kuningnya, memukul bagian tengah toya besi di tangan
Gde Jingga. Melihat lawan hendak memukul senjatanya, kepala rampok itu sengaja tidak
mengelak! Dia beranggapan bahwa sekali tongkat bambu kuning itu membentur toya
besinya pastilah akan patah dua! Tapi betapa terkejutnya Warok Gde Jingga
sewaktu melihat bukan saja tongkat lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan
terjadi, toya besinya terpukul keras hampir saja terlepas dari genggamannya!
KARYA 53 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Dengan menggertakkan rahang Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya
laksana titiran, menderu dan mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!
Sementara itu dari satu tempat yang terlindung di balik jendela rumah besar,
sepasang mata menyaksikan pertempuran itu dengan hati cemas. Kecemasan itu
tertuju pada diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu adalah kalau-kalau si pemuda akan


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi korban mendapat celaka di tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika
menyaksikan bagaimana Nyoman Dwipa dengan tenang melayani lawannya, orang yang
mengntai itu merasa lega sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh Bayan Sarti, adik
Warok Gde Jingga yang telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!
Dua puluh jurus telah berlalu. Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit
dan ganas. Toyanya lenyap dalam sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan angin dingin serta bersiutan. Debu dan pasir beterbangan di
sekeliling orang-orang yang bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi jurus,
semakin meluap kemarahan Warok Gde Jingga. Sebagai kepala rampok yang ditakuti
dan punya nama besar dikalangan rimba persilatan di Pulau Bali, baru kali ini
dia menghadapi lawan yang demikian tanguhnya. Karena pertempuran itu disaksikan
oleh anak-anak buahnya pula maka tentu saja rasa malu membuat amarahnya tambah
menggelegak! Amarah yang menggelegak ini tak bisa lagi dikendalikan karena
bagaimana pun dia menggempur lawan dengan toya besi serta dibarengi dengan
pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat tetap saja menemui kesia-saan!
Akibatnya saat itu semua orang menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur
macam kerbau gila atau celeng kemasukan setan, seradak sana seruduk sini,
melompat sini melompat sana! Keringat membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan
pakaian. Gerakan-gerakannya yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan lagi
sewaktu dia dengan kalap terus menggempur marah karena ujung tongkat bambu
kuning Nyoman Dwipa berhasil memukul ikatan kaitan di ujung toya sebelah kanan
hingga kaitan-kaitan itu terlepas dan mental!
Tiga puluh lima jurus telah berlalu kini.
"Warok Gde Jingga apakah masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai
di sini saja"!" berseru Nyoman Dwipa.
Seruan ini membuat darah kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas berteriak,
"Aku belum kalah! Kalau kepalamu sudah pecah terpukul toyaku baru pertempuran
berhenti!"
Nyoman Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat
bambu kuning. Dan ketika tongkat itu membuat satu sambaran tajam ke bagian
tengah toya besi di tangan Warok Gde Jingga, ketika benturan keras terjadi,
Warok Gde Jingga merasa tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup
lagi mempertahankan toya itu hingga terlepas dari tangannya dan mental ke udara!
Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah mata Warok Gde Jingga.
Badan toya yang kena dihantam bambu kuning temyata telah menjadi bengkok dan
genting hampir putus!
Nyoman Dwipa tersenyum kecil lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik
pinggang kembali. "Permainan sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi janjimu,
menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampok oleh adikmu!"
KARYA 54 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Meskipun saat itu Warok Gde Jingga malu dan marah bukan main, meskipun dia
seorang yang sudah terkenal kejahatannya namun dalam satu hal kepala rampok ini
patut dipuji. Hal itu ialah sifatnya yang memegang teguh segala janji yang
diucapkannya. Maka dia memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil patung
emas dari dalam rumah. Benda itu kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan
Nyoman Dwipa selanjutnya menyerahkan pada prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya.
Bukan main gembira prajurit-prajurit itu.
Di hadapan Warok Gde Jingga Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih atas
segala pelayanan yang kau berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka
mengembalikan patung emas itu. Aku dan prajurit-prajurit ini hendak minta diri
sekarang."
"Prajurit-prajurit itu boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok
Gde Jingga. "Eh, kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran.
"Aku mau bicara denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu.
Setelah berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan
berpaling pada prajurit-prajurit di sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap
di sini dulu."
Setelah mengucapkan terima kasih pada si pemuda maka prajurit-prajurit itu
kemudian meninggalkan sarang perampok tersebut dengan cepat. Mereka kawatir
kalau-kalau mendapat kesulitan baru pula di tempat itu.
"Nah, mereka sudah pergi. Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman
Dwipa. "Kita bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman
Dwipa masuk ke dalam rumah besar.
Sampai di dalam Nyoman dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan
serba mewah. Warok Gde Jingga memerintahkan bujang-bujangnya untuk menghidangkan
makanan dan minuman yang tezat-lezat, Setelah menyantap hidangan itu barulah
Warok Gde Jingga menerangkan maksudnya menahan Nyoman Dwipa.
"Ilmu silatmu tinggi sekali. Permainan tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan
gerak yang kau keluarkan, dan mengetahui bahwa di Pulau Bali ini cuma ada
seorang tokoh sakti yang memiliki ilmu tongkat yang hebat luar biasa, apakah kau
bukannya murid orang sakti itu, Nyoman?"
Nyoman Dwipa tertawa.
"Orang sakti manakah maksudmu?" tanyanya.
"Ah, kau pura-pura bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi
itu tentunya!"
Kembali Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama
seperti Menak Putuwengi itu mana mau mengangkat aku jadi muridnya?"
Warok Gde Jingga meneguk tuaknya habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman, soal
siapa gurumu tak perlu kita bicarakan. Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu
silatmu amat tinggi dan membuat aku benar-benar kagum. Bagaimana kalau kita
bekerja sama memimpin orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini"
Segala hasil yang kita dapat menjadi KARYA
55 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta kekayaanku yang ada sekarang akan
kuberikan separohnya padamu!"
"Rupanya inilah maksud kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula
dalam hati. "Terima kasih atas tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak
dapat menerimanya...."
"Ah! Mari, kau lihatlah dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau
sudah melihat, pasti kau tak akan mau menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde
Jingga seraya hendak berbangkit dari duduknya.
Nyoman melambaikan tangannya dan berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu banyak
sekali dan tak ternilai harganya,"
kata pemuda ini, "namun sebenarnya ada banyak urusan yang harus kusalesaikan.
Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa menerima tawaranmu, entah di lain
ketika." Lalu pemuda inipun berdiri dari kursinya.
Warok Gde Jingga kecewa sekali. Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya
pasti seluruh Bali akan berada dalam genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat
apa-apa. Tak bisa memaksa. Dan pemimpin rampok inipun lantas berdiri,
mengantarkan tamunya ke ujung halaman.
*** Belum lewat sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan
telinganya dan perasaannya yang tajam menyatakan bahwa seseorang saat itu tengah
menguntitnya. Di satu tikungan jalan pemuda ini menghentikan larinya dan
menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon besar yang bagian bawahnya
ditumbuhi semak belukar lebat. Dia menunggu dan selang beberapa ketika lamanya
penguntit itupun muncul di tikungan jalan. Betapa terkejutnya Nyoman ketika
melihat bahwa orang itu ternyata bukan lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung
Warok GdeJingga adanya! Maka dengan penuh heran pemuda inipun keluar dari
persembunyiannya.
"Selamat berjumpa kembali saudari." kata Nyoman.
Luh Bayan Sarti terkejut. Parasnya merah seketika kemudian dicobanya tersenyum
dan berkata, "Aku tengah menuju ke Denpasar. Tak diduga bertemu denganmu di
sini." Nyoman berpikir apakah ucapan gadis itu bukan kedustaan belaka"
"Aku sendiri juga tengah menuju ke sana," kata Nyoman.
"Betul" Kalau kau tak keberatan . . . . "
Nyoman Dwipa sudah tahu kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong.
"Tentu saja aku tak keberatan pergi sama-sama denqanmu ke Denpasar". Namun dalam
hatinya Nyoman merasa menyesal mengeluarkan ucapan itu. Maksudnya ke Denpasar
adalah untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini dia ke sana bersama gadis itu,
tentu akan mencari tambanan pekerjaan saja dan salah-salah bisa cari urusan
baru! Dipandanginya paras gadis itu. Cantik memang. Dan sungguh disayangkan
kalau dara secantik ini menjadi adik kandung kepala rampok dan ikut-ikutan pula
menjadi perampok!
KARYA 56 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Agaknya kau menyesal mengeluarkan ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba
seraya mengerling pada si pemuda.
Nyoman tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan
adalah satu hal yang menyenangkan,"
katanya. "Apakah maksudmu pergi ke Denpasar?"
"Hendak mengunjungi seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti.
"Kawan atau kekasih?" tanya Nyoman pula.
Paras sang dara kembali menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih,"
katanya kemudian.
"Oh....!"
"Dan kau sendiri perlu apakah ke Denpasar" Kau tinggal di situ?" ganti menanya
Luh Bayan Sarti.
"Ada urusan penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata. "Kita
harus berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti sudah sampai di Denpasar."
Luh Bayan Sarti mengangguk. Lalu keduanyapun meninggalkan tempat itu.
KARYA 57 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
13 MEREKA memasuki Denpasar ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat.
Untuk tidak menarik perhatian orang keduanya memasuki kota dengan jalan kaki
biasa. "Aku akan mencari penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah
akan terus ke tempat sahabatmu itu?"
"Tubuhku letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di
sebelah barat luar kota. Karena kita datang dari jurusan timur cukup jauh juga
untuk mencapai tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga mencari penginapan.
Besok baru meneruskan perjalanan kerumahnya."
Nyoman menganggukkan kepala. Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh
Bayan Sarti yang katanya hendak menguniungi sahabat lamanya itu adalah satu
kedustaan belaka. Sepanjang jalan dari bukit Jaratan sampai ke Denpasar banyak
sekali sikap gadis itu yang dirasakannya aneh. Berulang kali dilihatnya Luh
Bayan Sarti memperhatikannya secara diam-diam.
Bila sekali-sekali mereka saling berbentur pandangan, paras gadis itu berubah
kemerah-merahan dan kepalanya ditundukkan atau dipalingkan kejurusan lain.
Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama mempunyai perasaan lain yang membuat
hatinya jadi berdebar. Tapi perasaan itu dibuangnya jauh-jauh bila dia ingat
pada almarhum kekasih yang dicintainya yaitu Ni Ayu Tantri. Kepergiannya ke
Denpasar justru untuk menuntut balas kematian gadis itu, juga kematian ayah dan
kawan-kawannya.
Dan kini hati yang mendendam kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut
membuat Nyoman merasa bahwa seolah-olah dia telah melakukan pengkhianatan
terhadap Ni Ayu Tantri!
Di sebuah rumah penginapan yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah
kamar. Satu untuknya sendiri dan yang lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara
begitu masuk ke kamar terus berbaring dan tertidur pulas maka Nyoman Dwipa
terlebih dulu pergi mandi membersihkan diri. Habis mandi rasa letihnya agak
hilang berganti dengan kesegaran. Dia memanggil pelayan dan memesan dua porsi
nasi. Yang satu porsi disuruhnya mengantarkan ke kamar Luh Bayan Sarti. Sambil
menyantap makanannya Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu juga akan
dilakukannya penyelidikan di mana letak tempat kediaman musuh besamya yang
bemama Tjokorda Gde Jantra itu dan sekaligus melakukan pembalasan melampiaskan
dendam kesumat yang dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau ditunggunya
sampai besok"
Tengah dia menyantap makanan dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk
orang. Nyoman Dwipa meletakkan piringnya di atas meja lalu membuka pintu.
Pelayan penginapan berdiri di muka pintu itu dan menerangkan bahwa ketika dia
mengantarkan hidangan ke kamar Luh Bayan Sarti temyata kamar itu kosong
melompong, si gadis tak ada di dalamnya.
"Saya rasa terjadi hal yang tidak beres." menerangkan pelayan itu.
Mulanya Nyoman Dwipa menyangka Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi
mendengar keterangan pelayan itu dia KARYA
58 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang tak beres?"
"Jendela terpentang lebar, engselnya rusak!"
Tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa
yang di terangkan oleh pelayan temyata betul. Kamar itu kosong, jendela terbuka
lebar dan sebuah engselnya rusak. Buntalan pakaian milik Luh Bayan Sarti masih
tergeletak di atas pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian
di kamar itu. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi" Ke mana perginya Luh Bayan
Sarti" Nyoman keluar dari rumah penginapan. Di luar hari telah malam. Udara
dingin oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggantung di langit.
Setelah melakukan penyelidikan di sekitar penginapan dan tak berhasil menemui
Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui pelayan tadi dan berpesan agar
tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun. Lalu Nyoman sendiri kemudian
meninggalkan rumah penginapan itu untuk menyelidiki ke mana lenyapnya gadis itu.
Dalam hati kecilnya dia mengeluh. Jika betul terjadi apa-apa dengan gadis itu
sedikit banyaknya dia harus bertanggung jawab. Ini berarti datangnya satu urusan
baru padahal urusannya yang lebih penting yaitu melakukan pembalasan terhadap
Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum dilaksanakan!
Hampir dua jam lamanya Nyoman Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar
bahkan sampai ke-pelosok-pelosok dan daerah luar kota. Penyelidikannya sia-sia
belaka. Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinyal Bayan
Sarti-pun tak dapat dicarinya!
"Berabe kalau begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal
pemuda ini kembali ke penginapan.
*** Apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh Bayan Sarti"
Ketika petang itu Nyoman dan Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan
barat, seorang penunggang kuda yang tangan kanannya buntung memapasi mereka.
Karena jalan yang ditempu memang banyak dilewati orang dan lagi pula saat itu
hari sudah agak gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama sekali tidak
memperhatikan orang-orang yang mereka papasi, termasuk penunggang kuda tadi.
Namun penunggang kuda ini bukanlah orang yang lalu lalang biasa saja.
Dia bukan lain dari Ki Sawer Balangnipa, si manusia yang tampangnya macam ular
yang telah pemah bertempur melawan Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu
yang lalu! Karena manusia pemelihara ular ini seorang hidung belang bermata
keranjang maka setiap melihat perempuan pasti tak akan luput dari pandangan
matanya! Begitu juga ketika dia berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras
Sarti yang jetita, timbullah niat terkutuk dalam hati dan benaknya!
Namun sewaktu dia memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara,
kagetlah Ki Sawer Balangnipa. Cepat dia mengenali Nyoman Dwipa sebagai pemuda
yang telah bertempur dengan dia di tepi danau beberapa waktu yang lalu! Jika
gadis itu ada hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak punya nyali
untuk melaksanakan maksud terkutuknya itu. Tapi KARYA
59 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
sebagai seorang yang licik, Ki Sawer Balangnipa punya seribu satu macam akal.
Sengaja dia melewati kedua orang itu sampai beberapa jauhnya kemudian berbalik


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali dan mengikuti Nyoman serta Sarti secara diam-diam. Dia sudah menyusun
rencana sebagai berikut. Mula-mula akan diculiknya gadis berpakaian hitam yang
sangat rnenarik hati dan merangsang nafsu bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan
itu gadis akan dihubunginya beberapa tokoh-tokoh silat yanq berada di Denpasar
lafu bersama-sama mereka akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan
atas kekalahannya tempo hari dalam pertempuran di tepi danau!
Sewaktu melihat kedua orang itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa
berpendapat inilah kesempatan yang baik baginya untuk segera melaksanakan niat
busuknya itu. Dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer Balangnipa
berhasil memasuki kamar penginapan di mana Luh Bayan Sarti terbaring tidur
keletihan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur
nyenyak mudah sekali bagi manusia yang punya tampang seperti ular itu untuk
menotok urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu
kemudian dilarikannya keluar kota.
Kuda yang ditunggangi Ki Sawer Balangnipa laksana anak panah lepas dari busurnya
dalam gelapan malam. Menjauhi kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya
gadis itu. Akhirnya dia ingat sebuah kuil tua yang terletak di sebelah barat
Denpasar. Kuil itu sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas
memakainya sebagai tempat beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera lakilaki ini memutar kudanya ke jurusan barat. Di langit buan sabit muncul setelah
beberapa lamanya bersembunyi di balik awan hitam tebal. Sinar bulan sabit ini
tak sanggup mengalahkan gelapnya malam di saat itu.
Selewatnya sebuah pesawangan Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan
berbatu dan mendaki. Kira-kira sepeminuman teh dia sampai satu persimpangan. Ki
Sawer Balangnipa menghentikan kudanya karena di antara persimpangan itulah letak
kuil tua yang ditujunya. Pada siang hari dua mulut jalan yang mengapit kuil tua
itu ramai dilewati orang-orang yang lalu lintas terutama para pedagang. Tapi
pada malam hari suasana di situ sunyi senyap. Tak satu orangpun yang berani
lewat kecuali prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ
sering kali menjadi tempat beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde Jingga dari
Bukit Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa beberapa
hari yang lalu.
Dengan memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki itu melangkah memasuki halaman kuil.
Semula dia hendak menurunkan tubuh gadis itu di bagian depan, tapi setelah
berpikir sejenak akhirnya dia masuk ke bagian dalam kuil. Di sini keadaan lebih
gelap, tapi dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki
Sawer Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding kuil. Seringai setan
terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh yang mencicir
di kening, kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan totokan ditubuh
gad is itu. Luh Bayan Sarti membuka kedua matanya. Kegelapan menghambar di hadapannya.
Kemudian ketika sepasang matanya menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah
gadis ini. Di manakah aku berada, pikirnya. Dia memandang sekali lagi
berkeliling. Tiba-tiba tersentaklah dia karena tidak dinyananya kalau saat itu
dekat sekali di hadapannya duduk mencangkung KARYA
60 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
sesosok tubuh yang hitam pekat di telan kegelapan. Tak dapat dipastikan oleh
gadis ini apakah yang dihadapannya itu manusia atau setan tapi yang jelas paras
sosok tubuh itu mengerikan sekali, macam kepala dan paras seekor ular!
"Mungkin aku bermimpi," pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa
sakit. Dan pada saat itu makhluk di hadapannya datang mendekat, mengulurkan
tangannya hendak menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging seringai buruk yang
menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh yang amat
pelahan sedang dari hidungnya menghembus nafas panas!
"Siapa kau"!" bentak Luh Bayan Sarti seraya melompat.
Orang dihadapannya berdiri perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa
mengekeh. "Jangan bertanya segalak itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer
Balangnipa ?"
"Aku tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari dapanku!"
Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak.
"Gadis galak biasanya juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada
tempat tidur . . . "
"Bangsat rendah! Kau kira berhadapan dengan siapakah"!" bentak Luh Bayan Sarti.
"Sreett!!"
Gadis itu cabut pedangnya dari balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah
berkelebat dan pedang di tangan kanannya menderu dalam satu bacokan yang laksana
kilat cepatnya ke batok kepala Sawer Balangnipa.
"Trang!!"
Pedang Luh Bayan Sarti menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah
bagaimana mendadak sekali Ki Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan
gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti mengenai tempat kosong dan terus
melanda tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan dalam hati. Sewaktu
dirasakannya sambaran angin datang disamping kanannya, gadis ini cepat membalik
seraya kiblatkan pedangnya. Tapi lagi-lagi dia menghantam tempat kosong dan
sebelum dia bisa berbuat suatu apa, sebuah totokan bersarang di dadanya membuat
sekujur tubuhnva mendadak sontak menjadi kaku tegang dalam keadaan masih
memegangi pedang!
Didahului oleh suara tertawa mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali
muncul di hadapan Luh Bayan Sarti dengan cengar-cengir seenaknya.
"Senjata ini tak boleh dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa
lalu diambilnya pedang dari tangan gadis itu dan dilemparkannya sudut kuil.
"Bangsat kau lepaskah totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti.
"Siapa yang mau ambil risiko, nona manis"!" sahut Ki Sawer Balangnipa.
"Sudahlah, kau tak usah bicara keras-keras yang hanya mengejutkan setan-setan
penghuni kuil tua ini saja! Di samping itu tak baik berdiri terus-terusan. Mari
kutolong kau berbaring di lantai sini"."
KARYA 61 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Setan alas! Kau mau bikin apa"!"
"Mau bikin apa ...?" Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh. "Kau
lihat saja nanti. Yang pasti kau bakal merasakan bagaimana pandainya aku merubah
malam yang dingin ini menjadi malam yang hangat bagi kita!" Habis berkata begitu
dengan tangan kirinya Ki Sawer Balangnipa meraih pinggang si gadis dan
membaringkannya di lantai kuil!
"Keparat kalau kau tidak lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur
hidup bahkan menyesal sarnpai ke hang kubur!"
"Ha .... ha, siapa yang akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan tubuhmu!
Siapa yang menyesal merasakan kenikmatan dirimu sebagai seorang perempuan,
seorang perawan"! Ha ... ha . . . ! Matipun aku tidak menyesal nonaku!"
Sehabis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menyelinapkan tangan kirinya ke bawah
baju si gadis! Luh Bavan Sarti laksana disengat kalajengking sewaktu merasakan
bagaimana jari-jari tangan laki-laki itu menyentuh buah dadanya!
"Manusia dajal! Rupanya kau belum tahu siapa aku!"
"Ah sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan penuh
geram nafsu dibetotnya baju gadis itu hingga kancing-kancingnya berputusan.
"Keparat! Nyawamu tak akan berampun! Aku adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit
Jaratan!" Ki Sawer Balangnipa terkejut juga mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat kemudian
kemheli terdengar suara tertawanya.
"Oh, jadi kau adiknya kepala rampok hina dina itu" Siapa takutkan dia" Sepuluh
manusia macam dia dijejer di hadapan Ki Sawer Balangnipa pasti akan kulabrak
musnah!" Lalu tangan laki-laki itu berjerak mengelus perut Luh Bayan Sarti untuk
kemudian dengan sangat terkutuknya meluncur ke bawah!
"Keparat! Kalau tidak kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang
lehermu!" "Hem siapakah kawanmu itu?"
"Nyoman Owipa! Dia murid Menak Putuwengi!"
"Jangan menipuku! Menak Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan
gerakan tangan Ki Sawer Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali meluncur!
Namun sebelum tangan terkutuk itu dapat meluncur lebih jauh, satu bentakan
menggeledek dari ruang depan.
"Terkutuk! Di tempat suci berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan
melengking langit dan berbarengan denjan itu selarik angin keras dan dingin
menggidikkan menyambar ke arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
KARYA 62 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
14 KAGETNYA Ki Sawer Balangnipa laksana melihat dan mendengar petir menyambar di
puncak hidungnya! Kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan di
lantai kuil pastilah kepalanya tak bisa diselamatkan dari hantaman angin dahsyat
tadi! Begitu berdiri begitu dia membentak!
"Bangsat rendah yang menyerang secara gelap, coba unjukkan tampangmu!". Tibatiba Ki Sawer Balangnipa melengak karena baru saja dia habis membentak di
belakangnva terdengar suara tertawa mengekeh.
"Silahkan putar tubuh dan kau akan melihat tampangku manusia muka ular!"
Ki Sawer Balangnipa membalikkan tubuhnya dengan cepat! Heran, hebat sekali
gerakan manusia itu hingga dia tak sempat melihat bayangannyapun dan tahu-tahu
sudah berada di belakangnya! Ketika berhadap-hadapan dengan manusia itu mendadak
menciutlah nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan tidak. Orang yang kini berdiri
di depannya bukan lain pemuda yang tempo hari telah membunuh puluhan ekor
ularnya di tepi danau! Tapi rasa ngerinya itu tidak diperlihatkannya. Malah dia
menyembunyikan dengan membentak garang!
"Kau rupanya bangsat haram jadah! Di cari-cari tak ketemu kini datang sendiri
mengantar nyawa!"
Orang dihadapannya mengeluarkan suara bersiul. "Apakah tangan kananmu yang
buntung sudah disambung hingga kau bernyali besar sekali"!"
Ki Sawer Balangnipa marah sekali. "Keparat! Apa yang kau lakukan tempo hari kini
kau bakal terima balasannya bangsat Wiro Sableng!"
Habis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menggerakkan tangan kirinya dan sesaat
kemudian sebuah senjata yang dibuat dari ular kering menderu ganas ke depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tahu kelihayan lawan meskipun saat itu tangannya
cuma tinggal satu, dengan tidak ayal segera bergerak menyelamatkan kepalanya.
Dilain pihak Ki Sawer Balangnipa yang sudah pernah berhadapan dengan si pemuda
dan suclah tahu betapa tingginya ilmu silat serta kesaktian Wiro Sableng, segera
mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya. Ular kering di tangan
kirinya laksana hidup menjadi puluhan banyaknya dan menyerbu ke seluruh bagian
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari mulut ular
itu setiap saat menvambar racun hijau yang amat berbahaya. Meskipun kebal segala
macam racun namun Wiro menutup penciumannya.
Pertempuran berjalan demikian serunya hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan
sampai-sampai lupa diri di mana dia berada dan apa sesungguhnya yang telah
terjadi sebelumnya atas dirinya. Juga lupa nasib apa yang bakal menimpa dirinya
jika pemuda berambut gondrong berpakaian putih itu tidak muncul di saat yang
sangat kritis itu!
Untuk menghadapi serangan-serangan ganas yang bertubi-tubi serta jurus-jurus
aneh yang dilancarkan lawan, Wiro KARYA
63 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Sableng sengaja keluarkan jurus-jurus pertahanan ilmu silat "orang gila" yang
dipelajarinya dari Tua Gila. Jurus-jurus pertahanan tersebut diselingnya dengan
jurus-jurus serangan warisan gurunya Eyang Sinto Gendeng. Hingga walau
bagaimanapun hebatnya Ki Sawer Balangnipa, untuk merobohkan pemuda itu sampai
seribu juruspun dia belum tentu bisa melakukannya. Di lain pihak
WiroSablengsendiri maklum pula yang dia tidak pula akan bisa mempecundangi
lawannya dengan mudah! Karena itu kedua tangannya kiri kanan mulai melancarkan
pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam teramat tinggi! Ki Sawer
Balangnipa mulai kewalahan! Jika saja gerakannya tidak gesit sudah tiga kali
kepalanya hampir dilanda pukulan lawan!
Jurus kedua puluh ke atas Ki Sawer Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika
lengan kirinya kena terpukul dan ular kering yang menjadi senjatanya mental
jauh, nyali manusia ini benar-benar meleleh! Didahului dengan bentakan dahsyat
laki-laki ini harttamkan tangan kirinya ke depan. Satu gelombang angin yang amat
keras menderu menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Itulah pukulan
sejagat bayu! Sewaktu Wiro Sableng berdiri limbung diterpa angin pukulan,
kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Sawer Balangnipa untuk melesat ke ruangan
luar dan sebelum Wiro sempat mengejar, laki-laki itu sudah lenyap di kegelapan
malam! Pendekar 212 Wiro Sableng merutuk habis-habisan. Baginya manusia semacam Ki
Sawer Balangnipa tukang rusak kehormatan perempuan itu tak ada pengampunan,
apalagi mengingat pertempuran tempo hari di tepi danau. Tapi saat itu dia tak
bisa berbuat suatu apa karena lagi-lagi Ki Sawer Balangnipa berhasil pula
melarikan diri.
Wiro Sableng masuk ke dalam kuil tua kembali dan melangkah ke tempat di mana Luh
Bayan Sarti terbujur dengan dada tiada tertutup dan celana panjangnya merorot
turun. Meskipun keadaan dalam kuil itu gelap namun sepasang mata Pendekar 212
masih sanggup menikmati kebagusan buah dada dan keputihan perut Luh Bayan Sarti.
Dengan mempergunakan jari-jari tangan kirinya Wiro kemudian melepaskan totokan
di tubuh sang dara.
Begitu tubuhnya terlepas dari totokan, secepat Kilat Luh Bayan Sarti melompat,
merapikan baju dan celana hitamnya.
"Pemuda tak dikenal, terima kasih atas pertolonganmu. Harap kau sudi memberi
tahukan nama ..." kata Luh Bayan Sarti bila pakaiannya sudah rapi.
"Aku Wiro Sableng. Kau siapa?"
"Luh Bayan Sarti," jawab si gadis memberi tahukan namanya. "Sekali lagi terima
kasih". Lalu gadis itu melompat ke pintu kuil.
"Hai tunggu dulu!" seru Wiro Sableng mengejar. Sekali lompat saja dia sudah
berada di hadapan gadis itu.
"Ada apa"!" tanya Luh Bayan Sarti. "Mohon dimaafkan kalau aku tak bisa bicara
lama-lama dengan kau. Itu bukan aku tidak tahu diri dan tak menghargai
pertolonganmu, tapi karena aku harus cepat-cepat kembali ke kota."
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Waktu aku sampai ke sini tadi kudengar kau menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa.
Apa sangkut pautmu dengan pemuda itu?"
KARYA 64 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Luh Bayan Sarti tak segera menjawab. Di tengah perjalanan ke Denpasar, Nyoman
Dwipa menuturkan kepadanya tentang dendam kesumatnya terhadap seorang pemuda
yang telah membunuh kekasihnya. Nyoman tidak menerangkan siapa nama pemuda itu.
Tak bukan mustahil pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini adalah musuh besar
Nyoman Dwipa. Kalau tidak mengapa dia bertanya apa sangkut pautnya dengan Nyoman
Dwipa" "Katakan dulu apa hubunganmu dengan Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti.
Wiro kerenyitkan kening dan kembali menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi
malah dijawab dengan balik bertanya.
"Dia sahabatku," jawab Wiro.
"Betul"! "
Wiro tertawa dan berkata, "Ada alasan yang membuat kau tak percaya ucapanku"!"
"Walau bagaimanapun baru kali ini aku kenal kau, meski kau adalah tuan
penolongku!"
"Ah, jangan sebut-sebut soal pertolongan itu. Yang penting terangkan di mana
Nyoman Dwipa berada saat ini. Aku ingin bertemu dengan dia."
"Kenapa ingin bertemu?"
"Eh, kau sangat curiga terhadapku! Dua sahabat ingin berternu apakah ada
larangan" Kalau aku seorang gadis cukup pantas kau tidak menyukai pertemuanku
dengan pemuda itu. Tapi toh aku ini laki-laki, sama seperti Nyoman"!"
"Kau tahu, sahabatku itu datang ke Denpasar untuk mencari musuh besarnya.
Seorang pemuda yang telah membunuh kekasihnya . . . "
"Dan kau menduga aku orangnya yang menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu"!" Wiro
Sableng lantas tertawa gelak-gelak. Lalu diceritakannya pada Luh Bayan Sarti
bagaimana pertama kali dia bertemu dengan Nyoman dan sama-sama bertempur melawan


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Sawer Balangnipa. "Justru aku dalam perjalanan ke Denpasar mencari dia untuk
menanyakan bagaimana penyelesaian persoalannya itu."
"Kalau begitu kita sama-sama saja ke Denpasar," kata Luh Bayan Sarti.
Wiro menyetujui. Kedua orang itu kemudian berangkat ke Denpasarr
*** Mereka sampai di Denpasar menjelang tengah malam. Penginapan sunyi senyap, hanya
dibeberapa bagian saja kelihatan lampu masih menyala. Seorang pelayan membukakan
pintu depan sewaktu diketuk oleh Luh Bayan Sarti. Setengah mengantuk, pelayan
itu berkata. "Semua kamar terisi. Harap cari saja penginapan lain."
"Aku memang menginap di sini sebelumnya," jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya
bahwa dia dari luar kota menemui seorang kawan.
KARYA 65 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
"Dan saudara ini ...?" tanya pelayan seraya menunjuk pada Wiro Sableng.
"Dia bisa tidur sekamar dengan kawanku yang juga sama-sama menginap di sini."
sahut Luh Bayan Sarti.
Pelayan penginapan kemudian membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan kedua
orang itu masuk.
Nyoman Dwipa saat itu belum tidur. Dia duduk di tepi pembaringan dalam kamarnya
penuh gelisah memikirkan Luh Bayan Sarti yang lenyap tak tahu ke mana perginya.
Dalam kegelisahan itu pemuda ini mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati
kamarnya. Dia menyangka itu adalah langkah tamu yang menginap dipenginapan itu
dan hendak pergi ke belakang.
Tapi dia jadi terkejut sewaktu pintu kamarnya diketuk orang dari luar. Begitu
pintu dibuka kejut Nyoman Dwipa lebih lagi karena yang berdiri diambang pintu
adalah Luh Bayan Sarti sendiri dan dibelakang gadis itu dilihatnya berdiri Wiro
Sableng! Rasa terkejut Nyoman Dwipa sesaat kemudian berubah menjadi kegembiraan. Karena
kurang baik bicara bertiga-tigaan di dalam kamar maka Nyoman mengajak kedua
orang itu ke tempat penerimaan tamu dan di sini dia minta agar Luh Bayan Sarti
menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Bukan main geram dan marahnya Nyoman Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer
Balangnipalah yang telah membuat gara-gara, menculik Luh Bayan Sarti dan hampir
berhasil merusak kehormatan gadis itu jika sekiranya Wiro Sableng tidak
kebetulan lewat di depan kuil tua dalam perjalanannya ke Denpasar.
"Bangsat bermuka ular itu tidak sukar untuk mencarinya," kata Wiro. "Tapi
bagaimanakah persoalanmu dengan orang yang bernama Tjokorda Gde Djantra
itu ... ?"
"Sebenarnya aku bermaksud mengadakan penyelidikan malam ini jika saja tidak
terjadi peristiwa yang menimpa Luh Bayan Sarti. Besok pagi akan segera kucari
keterangan di mana tempat kediamannya! Bagaimanapun nyawa busuk manusia yang
satu itu tak bakal lepas dari kematian!"
Karena hari sudah jauh malam ketiga orang itu meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan
Sarti kembali ke kamarnya sedang Wiro menumpang tidur di kamarnya Nyoman Dwipa.
KARYA 66 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
15 MENJELANG Dinihari hujan rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara
bukan alang kepalang membuat setiap orang yang seharusnya sudah bangun saat itu,
menyelimuti tubuhnya kembali dan meneruskan tidur. Beberapa saat kemudian
fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang surya di sebelah timur
hujan rintik-rintikpun berhenti. Udara kini kelihatan cerah terang benderang.
Suasana dingin diganti dengan kehangatan sinar sang surya yang segar. Di
jalanjalan dalam kota Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan
kendaraan-kendaraan yang lalu lintas.
Di bagian barat kota dua orang pemuda dan seorang gadis kelihatan melangkah
cepat menuju ke pusat Denpasar yang ramai. Gadis berpakaian hitam bukan lain
adalah Luh Bayan Sarti. Pemuda yang berpakaian putih ialah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kecantikan paras Luh Bayan Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta
kegondrongan rambut yang menjela bahu dari Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi
perhatian setiap orang yang memapasi mereka. Kebanyakan orang segera memaklumi
bahwa ketiga orang muda itu adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Menyaksikan orang-orang persilatan di dalam kota Denpasar bukan soal baru lagi
karena memang banyak dari mereka yang memasuki kota untuk mengurus keperluan.
Bahkan di Denpasar sendiri terdapat beberapa perguruan silat sedang di luar kota
terletak sebuah gedung besar tempat berkumpul tokoh-tokoh silat yang terkenal di
kota itu dan dari lain-lain kota di Pulau Bali.
Nyoman Dwipa telah mendapatkan keterangan dimana letak rumah kediaman musuh
besarnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Kesanalah ketiga orang menuju dipagi
hari itu. Pintu halaman yang merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung kediaman
Tjokorda Gde Djantra masih dikunci.
"Kita dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang
besar itu dengan kaki kanannya.
"Jangan!" kata Wiro cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa
di Denpasar ini terdapat juga tokoh-tokoh silat klas satu ..."
"Siapa takutkan mereka"!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran
untuk segera melampiaskan dendam kesumatnya.
"Bukan itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau
berhasil membalaskan sakit hatimu, berarti cukup besar juga halangan bagimu.
Sebaiknya selagi tak ada orang sekitar sini kita melompat saja. Tembok itu tak
seberapa tinggi."
Nyoman menyetujui pendapat Wiro. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh
masing-masing ketiga orang itupun melompati tembok dan sampai di halaman dalam
tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah.
KARYA 67 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Gedung besar tempat kediaman Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi
senyap. Mungkin penghuninya masih tidur. Namun saat itu pintu samping tiba-tiba
terbuka dan seorang laki-laki separuh baya berpakaian bagus muncul membawa dua
ekor ayam jago yang dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini menghentikan
langkah dan memandang heran campur kaget pada Nyoman Dwipa dan dua orang
lainnya. Dia mengerling sekilas pada pintu gerbang dan jelas dilihatnya pintu
itu masih dipalang dari dalam. Tak dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu
pasti memasuki halaman gedung dengan jalan melompat.
"Orang-orang muda, kalian siapa"!" orang ini bertanya.
"Katakan dulu dengan siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.
"Aku Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini."
Rahang Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau
bangsawan yang bernama Tjokorda Gde Anjer itu ...?" ucapan ini disertai dengan
suara mendengus.
"Harap kalian menerangkan siapa kalian adanya dan punya maksud apa memasuki
rumah orang pagi-pagi begini secara tidak terhormat"!"
Nyoman Dwipa menyeringai. "Rupanya kau masih memandang tinggi nilai-nilai
kehormatan, Gde Anjer!"
ParasTjokorda Gde Anjer berubah.
"Apa maksudmu, orang muda?" dia bertanya.
"Masih ingat pembunuhan yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa
orang kawan-kawannya sekitar lima bulan yang lewat"!"
Tjokorda Gde Anjer terkejut. Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu
sama sekali tak diduganya. Sesudah peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan
ini merasa menyesal sekali. Dan hari ini muncul seorang pemuda dengan dua orang
kawannya mengungkap kembali persoalan yang sebenarnya sudah dilupakannya,
sekurang-kurangnya diusahakannya untuk melupakan!
"Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan tersebut.
Matanya mengawasi ketiga orang itu terutama Nyoman Dwipa. "Apakah kau anaknya I
Krambangan yang datang untuk menuntut balas"!"
"Jadi kau siapa"!"
"Pembalasan juga bisa dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar
Tjokorda Gde Anjer"! Hari ini kebenaran datang untuk minta tanggung jawab atas
nyawa-nyawa manusia yang pernah kau bunuh lima bulan yang lalu itu!"
"Kalau kau tak ada sangkut pautnya, dengan peristiwa itu mengapa kini kau muncul
untuk minta pertanggungan jawab segala"!" ujar Tjokorda Gde Anjer.
"Setiap kebenaran selalu mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman
Dwipa seraya melontarkan senyum mengejek.
Tjokorda Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang
diapun berkata: "Sebenarnya aku menyesal KARYA
68 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
terjadinya hal itu. Tapi keadaan memaksaku untuk berbuat begitu ..."
"Penyesalan selalu datang terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat
namanya bukan penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula.
Ucapan-ucapan yang dilontarkan Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti
pukulan-pukulan berat yang menghunjam bathin bangsawan itu.
"Sekarang apa maumu orang muda"!"
"Apakah kau sebagai seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk
bertempur sampai beberapa puluh jurus guna mempertanggungjawabkan perbuatanmu
tempo hari"!"
Tjokorda Gde Anjer tertawa getir.
Sebagai jawaban bangsawan itu melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi
dikempitnya. "Sebelum kita bertempur katakan dulu siapa kau adanya!"
"Namaku Nyoman Dwipa. I Krambangan adalah calon mertuaku . . . "
"Cuma baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa
menjadi merah. "Kedatanganku ke sini juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde
Djantra. Karena dialah kekasihku menemui kematian setelah sebelumnya dirusak
kehormatannya! Di mana anakmu itu sekarang"!"
Tjokorda Gde Anjer memutar otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di
Gedung Putih. Jika kau punya nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika
seandainya kau masih punya nyawa setelah bertempur denganku!"
Nyoman Dwipa tertawa menggeram lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda
Gde Anjer sendiri segera pula mencabut senjatanya yaitu sebilah keris kuning
ber-eluk duabelas.
"Apakah kau akan maju bertiga"!" tanya bangsawan itu.
"Aku tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi
I Krambangan bersama seorang kaki tanganmu. Kalau dia ada di sini cepat panggil
biar dapat kubereskan sekaligus!"
"Jangan terlalu congkak orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus
bisa kau hadapi! Mulailah!"
"Kau yang hendak mampus silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh
penasaran karena ucapan ayah musuh besamya itu.
Senyum mengejek lenyap dari bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini
menerjang kemuka. Keris di tangan kanan berkelebat dan menderu ke arah dada
Nyoman Dwipa lalu membabat ketenggorokan dengan teramat cepatnya hingga hanya
sinar senjata itu saja yang kelihatan! Sungguh hebat serangan yang dikeluarkan
Tjokorda Gde Anjer ini. Itu adalah jurus serangan yang bernama "menusuk bukit
membabat puncak gunung". Dengan mengeluarkan jurus itu dia berharap akan membuat
si pemuda kepepet demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua
yang mematikan!
Nyoman Dwipa meskipun muda belia dan belum punya pengalaman apa-apa dalam dunia
persilatan tapi dia adalah KARYA
69 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
murid gemblengan Menak Putuwengi.
Serangan dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak membuatnya jadi gugup apalagi kepepet!
Dengan membuat langkah mengelak ke samping dia berhasil membuat serangan lawan
mengenai tempat kosong.
Dan di saat itu pula dengan kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas
menyerang. Tongkat bambu kuningnya bersiuran dafr tahu-tahu ujungnya menusuk ke
perut lawan. Tjokorda Gde Anjer terkejut bukan main hingga dia terpaksa membatalkan serangan
susulannya yang sudah direncanakan tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya
menyapukan kerisnya ke muka dengan sebat sengaja memapas jalannya senjata lawan
dengan maksud memotongnya jadi dua!
Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu untuk meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga
sesaat kemudian bambu dan keris itupun saling bentrokanlah!
Tangan kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup
membabat buntung bambu kuning itu tapi senjatanya sendiri hampir terlepas mental
karena licinnya bambu dan kerasnya bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer
memercikkan keringat dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang
menjadi lawannya memiliki tenaga dalam yang ampuh dan tidak dinyananya senjata
lawan yang cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya sebuah senjata yang tak bisa
dibuat main! Menyadari semua itu Tjokorda Gde Anjer tanpa menunggu lebih lama segera
mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di
udara, tubuhnya lenyap merupakan bayang-bayang. Di lain pihak dengan
mengertakkan geraham Nyoman Dwipa mempercepat pula gerakannya. Dalam tempo yang
singkat belasan jurus telah berlalu. Sinar bamboo kuning menderu-deru. Detik
demi detik sinar itu semakin rapat mengurung tubuh Tjokorda Gde Anjer.
Pada jurus keduapuluh lima Nyoman Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin
dan merasa tak ada gunanya lagi dia bertempur lebih lama dengan lawannya itu.
Diiringi oleh satu hentakan yang menggeledek dan menyirapkan darah Tjokorda Gde
Anjer, bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran
lalu laksana kilat menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer!
Tjokorda Gde Anjer terpekik! Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas
sedang kedua tangannya memegangi perutnya yang robek besar dan memancurkan
darah. Sekali lagi bangsawan ini menjerit lalu tubuhnya tergelimpang roboh di
tanah, ususnya menggelegak membusai keluar!
Di saat itu pula diambang pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri
Tjokorda Gde Anjer. Perempuan ini menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya
yang saat itu megap-megap menuju sakarat! Pemandangan itu benar-benar menyayat
hati. Namun semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan hiduplah yang
menghendakinya!
KARYA 70 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
16 KEMANA kita sekarang?" Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh
dari gedung kediaman Tjokorda Gde Anjer.
"Ke Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu
hingga sesuatu perasaan aneh menyamak di hati Nyoman. Karena di situ ada
Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman lantas menarik lengannya.
"Ada apa?" tanya Nyoman Dwipa pula.
"Sebaiknya kita jangan pergi kesana, Nyoman..."
"Memangnya kenapa" Justru musuh besarku berada di sana!"
"Aku mengerti. Kita tunggu saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru
membuat perhitungan. Pergi ke sana besar bahayanya!"
Nyoman tertawa.
"Aku memang pemah mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng. "Di
situ tempar berhimpunnya tokoh-tokoh silat kawakan di seluruh Bali. Jika
Tjokorda Gde Djantra berada di situ pasti di sana terdapat pula beberapa tokoh
silat temama lainnya . . ."
"Aku tidak takut masuk ke sana!" kata Nyoman.
"Memang, hitung-hitung untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling
pada Luh Bayan Sarti.
"Aku cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman sebelum
dia sempat membalaskan sakit hatinya terhadap Tjokorda Gde Djantra .... "
Wiro tersenyum kecil. "Sepatutnva kau mengawatirkan keselamatannya, Sarti!" kata
Pendekar ini sehingga baik Nyoman maupun gadis itu menjadi sama-sama kemerahan


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paras mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi akhirnya ketiga orang itupun
meianjutkan perjalanan.
Gedung Putih adalah sebuah gedung besar yang terletak di luar kota sebelah
tenggara. Seperti yang diketahui oleh Wiro Sableng, memang gedung itu manjadi
pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama bahkan juga menjadi tempat menguji
kepandaian serta tempat memberikan latihan ilmu silat tingkat tinggi kepada
orang-orang yang menjadi anggota Gedung Putih.
Salah seorang di antaranya adalah Tjokorda Gde Djantra. Meskipun pemuda ini
sudah tinggi ilmu silatnya tapi dari beberapa tokoh silat lainnya dia masih
memerlukan untuk menambah pelajaran silatnya hingga dibandingkan dengan waktu
lima bulan yang lalu kepandaian pemuda ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak
satu minggu Tjokorda Gde Djantra berada di Gedung Putih menerima latihan-latihan
dari beberapa tokoh silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta kawan-kawannya
menuju. Sesungguhnya keterangan Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada
di Gedung Putih adalah KARYA
71 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan keyakinan bahwa
kelak Nyoman Dwipa betul-betul akan pergi ke sana. Dan pergi ke sana berarti
sama saja masuk ke dalam perangkap karena di Gedung Putih banyak sekali tokohtokoh silat klas satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat dipastikan bahwa
Nyoman Dwipa akan menemui kematiannya kalau berani masuk ke Gedung Putih!
Di satu pendataran tinggi ketiganya berhenti.
Luh Bayan Sarti menunjuk ke bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan
besar yang keseluruhannya berwarna putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar
matahari. "Itulah Gedung Putih" kata gadis itu.
Nyoman memandang dengan mata disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya,
"makin cepat kita sampai di sana makin baik!"
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi
menuju ke Gedung Putih. Kira-kira setengah peminuman teh merekapun sampai di
hadapan gedung besar itu. Dua orang laki-laki yang berdiri di ambang pintu
gedung yang tertutup menyambut kedatangan mereka. Salah seorang di antaranya
setelah melirik dulu pada Luh_Bayan Sarti bertanya dengan nada keren.
"Siapa kalian dan maksudapa datang ke mari"!"
Nyoman Dwipa yang sudah berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro
Sableng yang berotak cerdik cepat mendahului.
"Kami bertiga mencari sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra."
Karena di antara mereka terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua
orang penjaga pintu tidak menjadi curiga malah kini menunjukkan sikap hormat.
Nyatalah bahwa Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih itu.
"Sahabat yang kau cari memang berada di dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai
nanti siang atau kembali saja nanti siang jika ingin bertemu dengan dia...."
"Agaknya ada pertemuan penting di dalam gedung?" tanya Wiro.
"Betul. Di dalam tengah diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan
Tjokorda Gde Djantra adalah Ketua Panitia Pemilihan. Pemilihan baru selesai
siang nanti, jadi kalian bertiga kembali saja nanti siang kalau sekiranya tak
bersedia menunggu di sini."
"Karena kami datang dari jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng
seraya menggaruk-garuk kepala dan memandang berkeliling pura-pura mencari tempat
duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali bergerak saja Wiro
berhasil menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua orang itu
kemudian dilemparkan ke balik sebuah gundukan tanah yang terdapat tak jauh dari
pintu depan tersebut.
Dengan mudah pintu besar dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh
Bayan Sarti dan Pendekar 212
KARYA 72 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus berperabotan mewah tapi
di situ sunyi senyap tak seorangpun yang kelihatan. Di ujung ruangan membentang
sebuah tirai biru. Ketiganya melangkah tanpa suara ke dekat tirai ini dan Nyoman
menyibakkan ujung tirai sedikit, memandang ke ruangan di balik sana. Dilihatnya
sebuah tangga batu mar-mar yang menuju ke sebuah pintu kayu jati yang berukirukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu berdiri dua orang laki-laki
berpakaian putih, bersenjatakan masing-masing sebilah pedang. Di samping mereka
terdapat sebuah gong besar yang terbuat dari perunggu.
Sebuah pemukul tergantung di samping gong.
Wiro tengah memikirkan satu akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya.
Dia mempunyai pikiran bahwa gong yang terletak di samping keduanya adalah gong
tanda bahaya. Namun sebelum dapat akal, Nyoman sudah menyibakkan tirai dan
melangkah cepat ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan Sarti
cepat-cepat mengikuti.
"Hai siapa kalian"!" seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya
cepat bergerak ke hulu pedang.
"Jangan bertindak ceroboh Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab
pertanyaannya! Wiro lantas maju ke hadapan kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu berkata,
"Dua orang kawanmu di luar sana telah mengizinkan kami untuk masuk ke dalam
menemui Tjokorda Gde Djantra ?"
"Tak mungkin!" kata penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih telah
diberi tahu untuk tidak memberi izin masuk siapapun ..." lalu dia melangkah
mendekati gong perunggu.
"Teman-temanmu juga bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang
membawa gadis ini mereka telah memberi izin."
"Siapa gadis ini"!"
"Kekasih Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian
tidak memberi izin menemuinya kelak kalian berdua akan kena damprat dari
Tjokorda Gde Djantra . . . "
Kedua penjaga itu saling pandang seakan-akan meminta persetujuan masing-masing
apakah memberi izin masuk terhadap ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi
Wiro Sableng untuk melompat ke muka dan menotok urat besar di dada kedua penjaga
tersebut hingga mereka berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku
tegang di tempatnya masingmasing!
Di ruangan di balik pintu kayu jati ...
Dua puluh orang tokoh-tokoh silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah meja
besar. Di ujung meja berdiri seorang pemuda yang bukan lain Tjokorda Gde Djantra
adanya. Di hadapannya terdapat sebuah kotak kayu yang beriobang bagian atasnya.
Ke dalam kotak itulah nanti akan dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan
nama calon. Ketua Gedung Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru
saja hendak membuka suara ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar terbuka
dan tiga sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur paras
Nyornan Dwipa yang segera dikenalnya, terkaejutlah dia!
Kemunculan ketiga orang itu tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi
semua orang yang ada di ruangan KARYA
73 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
pemilihan tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar berani-beranian
mengizinkan mereka masuk" Atau mungkin ketiga orang ini telah mempreteli
penjaga-penjaga Gedung Putih"! Dan melihat kepada gerak-gerik ketiganya nyatalah
bahwa mereka orangorang dari dunia persilatan!
"Para hadirin yang ada di sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini
mengganggu acara di sini... "
"Kunyuk-kunyuk kotor! Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih"!"
membentak seorang kakek-kakek berjubah putih bernama Prakata Gandara, Dia adalah
ketua Gedung Putih yang segera akan meletakkan jabatannya bila calon Ketua baru
terpilih. Wiro berpaling dan menjura pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum
seenaknya. "Orang tua, kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada urusan
buruk dengan kau orang tua maupun dengan yang lain-lainnya, kecuali kawanku ini
mempunyai silang sengketa dendam kesumat dengan seorang pemuda bemama Tjokorda
Gde Djantra yang katanya berada di sini!"
Semua mata memandang pada Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde Djantra
yang saat itu berdiri tak bergerak di ujung meja besar seraya matanya memandang
bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan penuh tanda tanya Bukankah dulu dia telah
bertempur melawan pemuda ini dan telah mengirim Nyoman Dwipa ke dasar jurang"!
Tapi kenapa sekarang hidup lagi dan datang bersama dua orang tak dikenal
lainnya"! Benar-benar dia tak mengerti dan tak bisa percaya!'
Sementara itu Luh Bayan Sarti yang memandang berkeliling telah melihat pula Ki
Sawer Balangnipa diantara para hadirin sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia
segera menyambungi, "Aku sendiri juga mempunyai seorang musuh besar pula
diantara para hadirin! Itu ... manusia yang punya tampang macam ular!"
Merahlah paras Ki Sawer Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya
dan membentak, "Gadis! Kau mencari mati berani masuk ke sini bersama kawankawanmu!" Prakata Gandara berdiri dari kursinya dan berpaling pada Nyoman Dwipa.
"Katakanlah dendam kesumat apa yang kau pendam terhadap salah seorang anggota
Gedung Putih!"
"Aku tidak mendendam dia sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai
manusia busuk yang bemama Tjokorda Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula.
"Baik, katakan urusanmu hingga kami di sini bisa memutuskan langkah
selanjutnya!" ujar Prakata Gandara.
"Dia telah menculik calon istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu
akhirnya mati bunuh diri secara penasaran!"
jawab Nyoman Dwipa tanpa tedeng aling-aling.
"Betul"!" tanya Prakata Gandara pada Tjokorda Gde Djantra.
"Ketua, aku menculik anak gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk
mengawininya. Dan cara itu sudah menjadi adat kebiasaan di Pulau Bali ini!"
sahut Tjokorda Gde Djantra.
"Lidahmu tidak bertulang pemuda busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau
kau bemiat baik terhadap gadis itu KARYA
74 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau tinggalkan busuk di tepi telaga" Dan
kau juga punya hutang jiwa yang belum terselesaikan terhadap diriku sendiri!"
semprot Nyoman Dwipa.
"Dan kau gadis cantik, apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani
datang ke sini dan menghinanya di depan mata hidung kami"!"
"Menghina ular tua itu bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang
benar-benar berjiwa satria dan berhati polos! Aku datang menginginkan jiwanya
karena beberapa hari yang lalu dia menculik dan hendak memperkosaku!"
Ki Sawer Balangnipa berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat
sebelum Prakata Gandara menanyainya:
"Ketua, pertama sekali ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di
sini bahwa gadis berbaju hitam ini bukan lain Luh Bayan Sarti, adik kandung
perampok ganas yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit Jaratan! Puluhan
manusia tak berdosa telah mati di tangan rampok perempuan ini serta kakaknya.
Tak terhingga banyaknya harta kekayaan Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa
sebaiknya kita cepat-cepat membekuknya dan menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan
saja berarti kita membuati pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat
untuk membekuk batang leher kakaknya!"
"Soal mencari pahala untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusanurusan dendam kesumat itu selesai Ki Sawer!"
kata Wiro Sableng mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya rapatrapat penuh geram. Dia sudah tahu kelihayan Pendekar kita, karenanya dia saat
itu hanya mengutuk dalam hati habis-habisan.
Prakata Gandara berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda
rambut gondrong" Apakah juga punya urusan dendam kesumat dengan salah seorang di
sini"!"
"Ah, aku orang buruk ini cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro
Sableng. "Kalau kau cuma kacung pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata Gandara.
Disemprot begitu Wiro Sableng ganda tertawa dan keluarkan suara bersiulan! Kejut
Ketua Gedung Putih dan semua orang di situ bukan main karena suara siulan Wiro
Sableng yang cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan liang telinga mereka!
Maklumlah semua orang kalau pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu
memiliki ilmu tinggi.
Prakata Gandara membuka mulut kembali. "Karena nyatanya memang ada anggotaanggota Gedung Putih yang membuat sedikit kesalahan di luaran maka biarlah aku
dan para toa Gedung Putih yang akan menjatuhkan hukuman setimpal atas diri
mereka!" Nyoman tersenyum mendengar ucapan cerdik orang tua itu. "Terima kasih Ketua
Gedung Putih yang mau turun tangan terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami
ke sini bukan untuk memintamu untuk berbuat begitu, melainkan untuk turun tangan
sendiri." "Baiklah jika memang demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan
kanannya diangkat ke arah sebuah tirai merah di ujung ruangan. Jarak antara
tirai dan tempatnya berdiri sekira dua puluh langkah tapi hebatnya dengan
kekuatan tenaga dalamnya Prakata Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut
hingga di seberang sana kelihatanlah sebuah panggung KARYA
75 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang seraya tersenyum pada Nyoman
Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap menunggu. Tapi terus terang saja sebagai
orang-orang Gedung Putih, semua kami di sini tentu tak akan berlepas tangan saja
..." "Kalau begitu naga-naganya," menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala,
"sebagai kacung yang buruk tentu aku tidak pula bisa berpangku tangan!" Habis
berkata begitu Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke arena. Dan mengikuti
tindakan pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata mereka. Betapakan
tidak! Setiap langkah yang dibuat Wiro, setiap kakinya menginjak batu mar-mar
diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman dalam bentuk telapaktelapak kakinya!
Wiro Sableng sampai di atas arena batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman
Dwipa sudah berada pula di sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi
tercekat juga hatinya. Pemuda gondrong bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi
bukan main, apalagi yang bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di
antara ketiga manusia yang berdiri di arena itu justru Wiro Sablenglah yang
paling berbahaya!
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa
menyusui ayahmu lebih cepat!" seru Nyoman Dwipa.
Terkejutlah Tjokorda Gde Djantra mendengar ucapan itu. "Apa"! Apa yang telah kau
perbuat terhadap ayahku"!"
teriaknya. "Bapak moyangmu itu bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa
orang kawannya! Aku telah mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa bapakmu,
mengerti"!"
"Anjing kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra dan melompat ke atas arena. Selarik
sinar kuning menderu ke arah Nyoman Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk
tujuh belas di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di saat yang hampir bersamaan,
selarik sinar kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran tongkat
bambu kuning milik Nyoman Dwipa.
Tjokorda Gde Djantra terkejut dan tak menduga bahwa lawannya telah mengalami
kemajuan tinggi. Sinar kuning senjata memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir
saja ujung bambu kuning itu menghantam pergelangan tangannya! Segera Gde Djantra
mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja selaksa
angin. Dengan pukulan itulah dia tempo hari telah melemparkan Nyoman Dwipa ke
dalam jurang! Nyoman Dwipa yang pernah di serang oleh pukulan itu segera maklum dan bersiap
sedia sewaktu dilihatnya lawan menarik tangan kiri ke belakang.
Pada saat Gde Djantra memukul ke depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan
hantaman tangan kiri..
Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat selarik


Wiro Sableng 012 Pembalasan Nyoman Dwipa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar putih. Itulah pukulan "selendang dewa melanglang bumi" yang dipe!ajarinya
dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti ini memusnahkan pukulan
"raja selaksa angin" tapi sinar putih terus meluncur dan melibat ke arah batang
leher Tjokorda Gde Djantra! Yang diserang kaget bukan main dan cepat membuang
diri ke samping, justu saat itu tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa datang menderu
ke KARYA 76 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
arah kepalanya! Dalam saat yang kritis ini satu sambaran angin datang dari
samping hingga tongkat Nyoman Dwipa melenting ke kiri dan selamatlah kepala
Tjokorda Gde Djantra!
Berbarengan dengan itu terdengar bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang!
Kalau mau main kayu mari hadapi aku!"
Prakata Gandara menggeram. Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan
menyelamatkan nyawa Tjokorda Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro
marahlah dia dan dengan gerakan amat enteng melompat ke atas arena.
Begitu sampai di atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung lengan jubah
putihnya. Ujung lengan jubah ini sengaja dibuat amat lebar dan merupakan senjata
ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu. Sambaran ujung lengan keras sekali dan
mengarah jalan darah di dada Wiro Sableng. Sambil tertawa mengejek pendekar 212
berkelit ke sarang dan dalam gerakan yang tidak karuan tahu-tahu tangannya
nyelonong ke muka! Kalau saja Prakata Gandara tidak lekas-lekas menarik
tangannya pastilah ujung lengan jubahnya kena direnggut robek olen Wiro!
Disamping geram orang tua itu juga kaget sekali. Serangannya tadi bukan serangan
sembarangan. Angin kebutan lengan jubah saja sanggup memukul bobol tembok batu,
tapi lavwannya yang bertampang tolol itu bisa mengelak bahkan balas menyerang.
Tak ayal lagi Ketua Gedung Putih ini segera mencabut senjatanya yang teramat
aneh yaitu sebuah lonceng perak!
Begitu lonceng tersebut berada di tangannya maka menggemalah suara berkelenengan
yang memekakkan dan menyakitkan telinga. Lonceng itu sendiri yang lingkaran
luarnya tajam luar biasa, berkeltbat kian kemari menggempur Wiro Sableng dari
delapan jurus! Menghadapi suara lonceng yang klanang-kleneng itu Wiro merasa
bagaimana satu kekuatan yang tak kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak
leluasa. Permainan silatnya menjadi kacau sedang te!inganya tambah sakit! Di
situ;ah kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera
tutup jalan pendengarannya. Tapi anehnya suara klanang-kleneng lonceng perak
tersebut semakin keras!
"Sialan!" maki Wiro. Dari tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat
semua orang yang ada di situ merasakan dada, masing-masing berdebar. Begitu
bentakan berakhir tubuh Wiro lenyap dan kini terdengarlah suara siulan yang amat
tajam membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan
dan gema lonceng berkecamuk hebat! Namun lambat laun kentara bagaimana suara
klanang-kleneng lonceng perak di tangan Prakata Gandara menjadi sirna di telan
suara siulan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bagian yang lain pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra
berkecamuk dengan hebatnya. Murid Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling
keluarkan kepandaian untuk dapat merobohkan lawan masing-masing.
Saat itu pertempuran telah berlangsung hampir lima puluh jurus. Sebenarnya nyali
Tjokorda Gde Djantra telah menciut sewaktu melihat bagaimana pukulan "raja
selaksa angin" tidak sanggup merobohkan lawannya padahal di samping permainan
silatnya yang tinggi, pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat diandalkan!
Nyalinya tambah meleleh sewaktu jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat
tekanan-tekanan serangan yang hebat dari lawannya. Karena menang pengalamanlah
dia masih bisa bertahan sampai jurus yang kelima puluh!
KARYA 77 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Pada jurus kelima puluh dua, Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu
silat "raja tongkat empat penjuru angin" yang paling hebat hingga Tjokorda Gde
Djantra semakin kepepet dan musti bertahan mati-matian!
Pertempuran antara Wiro dan Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua
Gedung Putih, Prataka Gandara merasa telah luntur namanya karena sebegitu jauh
jangankan sanggup untuk merobohkan lawannya, bahkan dirinya sendiri mulai sibuk
menghadapi serangan lawannya yang sampai saat itu masih bertangan kosong!
Tiba-tiba terdenyar seruan Ki Sawer Balangnipa.
"Saudara-saudara sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita
berpangku tangan saja"! Mari berebut pahala melenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Mendengar seruan itu, semua orang yang ada di situ segera cabut senjata dan
laksana air bah menyerbu ke atas arena!
Sebenarnya jika bukan dalam keadaan terdesak tentu saja Prataka Gandara tidak
sudi main keroyok begitu rupa. Tapi karena maklum dalam sepuluh jurus di muka
belum tentu dia bisa bertahan maka serbuan orang-orang itu malah
menggembirakannya!
"Bangsat rendah, berani main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti.
Pedangnya menderu ke arah Ki Sawer Balangnipa.
"Bergundal perempuan! Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah
lapang luas!" bentak Ki Sawer Balangnipa. Di tangan kirinya kini tergenggam
sebuah ular kering yang rupanya baru saja dibuatnya. Betapapun hebatnya dan
besarnya keberanian gadis itu namun tentu saja Ki Sawer Balangnipa bukan
lawannya. Apalagi beberapa orang anggota Gedung Putih yang berkepandaian tinggi
ikut pula membantu manusia bermuka Ular itu!
Wiro Sableng tidak mengira kalau lawan betul-betul mau main keroyok! Ketika
didengarnya komando Ki Sawer Balangnipa dan dilihatnya semua orang yang ada di
situ menyerbu ke atas arena, menggelegaklah amarah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Tangan kanannya bergerak kepinggang. Sesaat kemudian terdengarlah suara
menggaung macam ribuan tawon mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan
melompat mundur. Yang satu tangannya terbabat buntung, seorang lagi memegangi
dadarya yang mandi darah! Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak Maut
Naga Geni 212 di tangan Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian keduanya
roboh di lantai arena tanpa nyawa lagi!
Kejut Prataka Gandara dan semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang
yang menemui kematian itu adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun
dalam satu kali gebrakan saja senjata lawan telah membuat mereka meregang nyawa!
"Kurung yang rapat!" teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng
peraknya. "Trang!"
Ketua Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya
berlumuran darah! Gemparlah semua orang! Celaka pikir mereka. Kalau Ketua mereka
bisa mendapat cidera begitu rupa adalah gila untuk meneruskan pertempuran.
Tapi untuk mengundurkan diri tentu saja mereka tidak berani.
KARYA 78 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Prataka Gandara keluar dari kalangan pertempuran dan berdiri di sudut arena
sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Dia telah menelan dua butir pil namun hawa
panas, yang mengalir dari luka di tangan kanannya tak kuasa dibendungnya.
Akhirnya sebelum hawa maut itu mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan
tangan kirinya untuk membetot seluruh lengan kanannya.
"Krak"!
Tanggallah lengan kanan Ketua Gedung Putih itu.
Di atas arena Wiro Sableng mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus bergerak
cepat untuk dapat melindungi kedua kawannya terutama Luh Bayan Sarti dari
keroyokan orang-orang itu. Dalam tempo singkat tokoh-tokoh Gedung Putih roboh
satu demi satu menemui kematiannya dalam keadaan yang mengerikan. Melihat korban
pihaknya yang semakin lama semakin banyak jatuh sedang dia sendiri tak bisa
berbuat apa-apa, Prataka Gandara memberi isyarat. Mereka yang melihat isyarat
ini segera mengikutinya lari meninggalkan ruangan itu!
"Siapa yang mau lari silahkan!" seru Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama
Tjokorda Gde Djantra dan Ki Sawer Balangnipa!". Habis berseru begitu pendekar
ini melompat ke ambang pintu dan menghadang hingga tak seorangpun yang berani
mendekati pintu itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda Gde
Diantra sudah terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki Sawer
Balangnipa sudah melompat dan kalangan tempuran dan berdiri di belakang Ketua
Gedung tih yang luka parah dengan muka pucat pasi.
Tiba-tiba terdengar jeritan Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata
ditujukan ke atas sana. Kelihatan bagaimana Tjokorda Gde Djantra memegangi
kepalanya dengan tubuh terhuyung-huyung. Darah mengucur dari keningnya yang
pecah dihantam ujung tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu macam orang
kemasukan setan lari sana lari sini hingga akhirnya kedua kakinya menekuk dan
tubuhnya roboh ke lantai, masih berkutik-kutik beberapa saat lalu diam tak
bergerak lagi tanda nyawanya lepas sudah!
Suasana di ruangan itu sesunyi dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga
Wiro, Luh Bayan Sarti dan Nyoman sendiri diam-diam merasa ngeri melihat detikdetik kematian Tjokorda Gde Djantra tadi!
Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan
Wiro Sableng seraya menangis tersedu-sedu.
"Pendekar gagah! Aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki bertampang ular itu.
"Soal ampun jangan minta padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa
lalu dia berpaling pada Prataka Gandara dan delapan orang tokoh Gedung Putih
lainnya yang masih hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan kuharap berlalu dari
sinil". Meski marah dan penasarannya bukan main, namun Ketua Gedung Putih saat itu
benar-benar mati kutu. Tanpa banyak bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan
ruangan itu. KARYA 79 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Sesudah semua orang pergi Ki Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis
di hadapan Wiro.
"Manusia banci! Bangun! Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng.
Ki Sawer Balangnipa bangun perlahan-lahan tapi masih menangis dan berkali-kali
mohon ampun pada Wiro dan Luh Bayan Sarti, juga pada Nyoman.
Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju dan berkata, "Manusia macammu tak layak hidup
lebih lama. Tak ada gunanya kau meratap minta ampun!"
Ki Sawer Balangnipa menggerung lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan
Sarti, hingga lemah juga hati gadis ini pada akhirnya.
"Kuampuni jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa
kau benarbenar tidak akan berbuat kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh Bayan Sarti
bergerak kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki Sawer Balangnipa hingga
manusia itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer Balangnipa menjerit
kesakitan dan terhampar di lantai.
"Sekarang kau pergilah sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.
Ki Sawer Balangnipa berdiri -dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan itu
dengan langkah huyung serta mulut tiada henti mengelurkan rintihan kesakitan!
*** Di puncak pedataran tinggi itu Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada
Nyoman Dwipa dan Luh Bayan Sarti.
"Sahabat-sahabatku, aku tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja."
Tentu saja ini tidak di sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke
manakah, Wiro?" tanya Nyoman Dwipa.
"Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . "
"Tapi sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti.
Wiro tertawa dan berkata pada Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti
kekasihmu yang hilang itu, Nyoman."
"Eh, apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh
Bayan Sarti memandang ke jurusan lain.
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti kekasihmu
yang hilang dulu, Nyoman. Apakah kau masih belum mengerti atau pura-pura tidak
mengerti"! Nah, selamat tinggal sahabat-sahabatku . . . "
Nyoman Dwipa hendak mengatakan sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah
berkelebat dan tahu-tahu sudah berada dua puluh tombak di lereng pedataran.
Nyoman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sahabat baik seperti dia sukar dicari.
Bahkan mengucapkan terima kasihpun aku sampai lupa!"
KARYA 80 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Pembalasan Nyoman Dwipa
Luh Bayan Sarti menarik nafas dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia,
entah apa jadi diriku sekarang ini . . . "
Dari puncak pedataran itu keduanya memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari
cepat ke arah utara, makin lama makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan.
Nyoman memutar kepalanya pada saat mana Luh Bayan Sarti berpaling pula
kepadanya. Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan seulas senyum sama-sama
muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa menyadari kini betulnya ucapan Wiro
Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti kekasihnya yang hilang itu.
T A M A T KARYA 81 BASTIAN TITO Sekutu Iblis 3 Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Pangeran Dari Kegelapan 2

Cari Blog Ini