Ceritasilat Novel Online

Bajingan Dari Susukan 2

Wiro Sableng 032 Bajingan Dari Susukan Bagian 2


mengetahui sumber semua keanehan ini. Jika benar dia ada sangkut paut dengan
Pangeran sialan itu, berarti kita tidak dapat mencari jejaknya. Justru inilah
kesempatan paling baik untuk mencari tahu di mana biang kerok itu berada lalu
membekuknya!"
"Lalu, apa yang ada di benakmu?" tanya si abu-abu.
"Aku akan menguntit si hitam muka bundar itu....."
"Kalau cuma itu serahkan saja padaku...."
"Tidak. Kau harus menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan bicara dengan
Jayengrono...." Menyahuti pemuda gondrong.
"Aku kawatir kalau-kalau Jayengrono dapat menerka siapa aku sebenarnya.
Maksud menolong bisa jadi berantakan. Lagi pula sejak aku memutuskan untuk tidak
kembali mengabdi pada Sri Baginda aku akan merasa kikuk menghadapi orang-orang
itu. Kau saja yang bicara dengan mereka. Aku biar menguntit si hitam bernama
Bajingan Dari Susukan itu..... Lagi pula aku masih punya hutang piutang yang harus
aku selesaikan dengan Pangeran Matahari. Kalau saja si hitam tadi memang
benggolan cecunguknya!"
"Kalau itu sukamu baiklah. Tapi bagaimana aku nanti mencari dan
menyusulmu....?" Tanya si gondrong sambil memegang bahu pemuda berpakaian
abu-abu. "Nah, tanganmu lagi-lagi menggerayang seenaknya. Ingat, aku bukan leleaki
sepertimu.....!" Pemuda berpakaian abu-abu itu mengomel cemberut sambil
menepiskan tangan yang memegang bahunya.
Si gondrong tertawa geli. "Aku lupa! Seharusnya kau tidak menyamar seperti
ini sahabat! Bangsat itu sudah lari jauh, bagaimana aku menyusul dan mencarimu?"
"Gampang saja! Aku akan mematahkan ranting-ranting pepohonan yang
kulalui...."
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kau cerdik! Pergilah. Tapi hati-hati.....!" Dan si gondrong ini kembali lupa.
Sambil menyuruh pergi tangannya menepuk pantat pemuda bertubuh ramping itu.
"Brengsek!" teriak si abu-abu
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Raden Mas Jayengrono menunggu sampai Raden Ajeng Siti Hinggil duduk di
kursi besar lalu menutup pintu ruangan. Hanya mereka berdua saja ada di tempat
itu. Di ruangan itu masih terdapat beberapa buah kursi namun Kepala Balatentara
Kerajaan itu memilih berdiri. Sesaat dia tegak sambil menatap wajah Siti Hinggil
hingga akhirnya perempuan ini menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah.
"Ada apakah saya dibawa ke ruangan ini?" terdengar kemudian suara Siti
Hinggil, perlahan tapi cukup jelas.
"Saya hanya ingin jawaban jujur," berkata Jayengrono. "Apa hubungan Raden
Ajeng dengan orang bernama Pangeran Matahari itu" Lalu mengapa sampai ada
seorang pemuda yang muncul serta bertindak selaku pelindung Raden Ajeng dan
anak-anak....."
"Sebelum saya menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan lebih
dahulu...." Kata Siti Hinggil pula yang membuat Raden Mas Jayengrono agak
terkejut. "Apa pertanyaan itu?"
"Betul Raden Mas yang telah mengambil langkah untuk mencurigai kami
anak beranak serta melakukan pengusutan?"
"Saya hanya menjalankan tugas, Raden Ajeng. Demi keselamatan kita semua.
Demi keselamatan Kerajaan....."
Siti Hinggil tersenyum lalu menggelengkan kepala. "Saya tahu apa sebab
sebenarnya....."
"Hemmm...." Raden Mas Jayengrono mengusap dagunya.
"Raden Mas mendendam kepada saya....."
"Apa yang perlu kudendamkan Raden Ajeng?"
"Karena sejak Pangeran Anom lahir saya tidak mau lagi mengikuti kinginan
Raden Mas....."
"Kau keliru Siti....." Tiba-tiba saja Jayengrono menyebut nama istri Sri
Baginda itu secara langsung.
Dan anehnya Siti Hinggilpun melakukan yang sama. "Tidak Jayeng. Saya
tidak keliru. Saya tahu benar hatimu....."
"Jika kau tahu mengapa kau bersikap lain.....?"
Air muka Siti Hinggil nampak redup menggelap. Kedua matanya berkacakaca. "Apakah tidak cukup kita membuat kesalahan dengan melahirkan Puji Lestari
dan Pangeran Anom....." Apakah kita akan menambah dengan satu jiwa manusia lagi,
lagi dan lagi...." Bukankah saya katakan saya sudah bertobat dan tak akan
mengulanginya lagi yaitu setelah Anom lahir" Juga bukankah sebulan setelah Anom
lahir kau mendapatkan keris sakti itu dan harus mematuhi larangan untuk tidak
menggauli perempuan lain selain istrimu......"
Jayengrono diam sejenak. Kemudian jawabnya "Kau tahu istri tunggalku
selain sakit-sakitan dan aku tidak punya selir atau istri peliharaan. Semua itu
karena aku masih mengharapkan kau dan hubungan kita kembali seperti dulu...... Delapan
belas tahun aku menunggu Siti. Delapan belas tahun aku tak pernah merasakan
kehangatan kasih sayang dan tubuhmu seperti dulu...."
"Saya sudah bertobat Jayeng dan kau punya larangan. Cukup hubungan kita
yang berlumuran dosa itu hanya menghasilkan Puji dan Anom. Jangan ditambah
lagi....."
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Persetan dengan larangan itu Siti! Apakah kau menyuruh aku harus meracun
Sri Baginda agar dapat menikah dan memilikimu secara syah......"'
"Kau akan terkutuk dunia akhirat jika kau melakukan itu Jayeng!"
"Kalau begitu...... berarti apa yang kuinginkan lebih baik dari pada
membunuh Sri Baginda dan mengambilmu jadi istri....."
"Keduanya sama-sama besar dosanya. Sekalipun kau membunuh Sri baginda,
tidak akan aku mau diperistrikan olehmu! Pembunuh dari suami anak-anakku.....!"
"Puji dan Anom bukan anakmu dan anak Raja! Tapi anak kita!" ujar
Jayengrono dengan mata membesar.
"Saya ingin keluar dari ruangan ini Jayeng. Bukakan pintu itu....." kata Siti
Hinggil sambil bergerak bangkit dari kursi.
Tapi Jayengrono memberi isyarat agar dia duduk kembali. "Kau belum
menjawab pertanyaanku tadi!"
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari. Juga tidak tahu
mengapa ada pemuda yang muncul mengaku hendak melindungi kami...."
"Siti, jangan dusta! Sangat jelas ceritanya bagiku! Cincin emas bergambar
burung rajawali milik puterimu, milik anak kita pernah terlihat dipakai Pangeran
Matahari waktu keparat itu menyerbu Istana! Setelah sekian lama lenyap tahu-tahu
cincin itu dikabarkan berada di tangan Puji! Kalau tidak ada apa-apa mana
mungkin hal itu bisa terjadi!"
Siti Hinggil duduk terpaku di kursinya. "Sebaiknya kukatakan saja bagaimana
kejadiannya....?" Hati kecil perempuan ini bertanya-tanya. Namun sebelum dia
sempat membuka mulut, di hadapannya Raden Mas Jayengrono melangkah
mendekati dan berkata setengah berbisik seraya merunduk.
"Dengar Siti. Aku sudah mengatur satu rencana hingga kita bisa berhubungan
seperti dulu tanpa satu orangpun tahu atau curiga, termasuk Sri baginda...."
Siti Hinggil tercengang mendengar kata-kata Jayengrono itu.
"Apa maksudmu Jayeng?"
"Kau akan kutangkap dan dimasukkan dalam kamar penyekapan di salah satu
bagian istana. Di situ aku telah membuat sebuah pintu rahasia hingga bisa keluar
masuk tanpa ada yang mengetahui. Kita bisa bertemu setiap saat. Kita bisa
melakukan apa yang dulu pernah kita lakukan delapan bels tahun lalu. Bukankah ini yang
sama- sama kita tunggu Siti" Delapan belas tahun! Gila! Waktu yang sangat lama!"
"Tidak!" Siti Hinggil bangkit dari kursi besar. Wajahnya menyatakan perasaan
hatinya yang sangat marah. "Aku sudah bertobat! Apapun yang terjadi aku tidak
akan mengulang perbuatan terkutuk itu lagi! Yang sudah ya sudah! Cukup kita mempunyai
dua orang anak haram. Puji dan Anom....."
"Tapi sekali ini kita tak perlu menjalin hubungan yang menghasilkan
keturunan!"
"Keluarlah dari ruangan ini!" ujar Siti Hinggil dengan suara mendesis.
"Kalau begitu aku betul-betul akan menyuruh tangkapmu! Dengan tuduhan
mempunyai hubungan dengan perusuh dan pembunuh bernama Pangeran Matahari
itu!" "Kau boleh melakukan apa saja. Aku tidak takut!..... jawab Siti Hinggil.
Ketika dia hendak melangkah ke pintu tiba-tiba dari luar terdengar pintu
diketuk. "Panglima Jayengrono harap segera keluar untuk memberikan pertolongan!"
"Keparat!" maki Jayengrono dalam hati. Seperti hendak ditendangnya pintu
itu berikut orang yang ada di luar karena geramnya. Namun mau tak mau dia
terpaksa membuka pintu seraya membentak "Ada apa berani mengganggu kami yang sedang
melakukan pembicaraan penting"!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perwira muda yang tegak di depan pintu dengan muka pucat ketakutan cepat
membungkuk. "Raden Kertopati gawat. Racun pukulan Bajingan Dari Susukan agaknya tak
terbendung oleh totokan. Darah mulai keluar dari hidung, telinga dan mulutnya!"
"Lalu kalau sudah begitu apa kau kira aku bisa menoong"! Apa kau kira aku
dukun patah ahli pengobatan"!" sentak Jayengrono.
Perwira muda itu semakin ketakutan. "Maafkan saya Panglima. Saya hanya
melapor karena kawatir....."
"Di mana dia sekarang?"
"Masih terbaring di tangga depan...."
"Pergilah! Aku akan menyusul ke sana!" kata Jayengrono. Setelah perwira
muda itu berlalu Jayengrono berpaling ada Siti Hinggil. "Kau tak ingin merubah
keputusanmu?"
"Tidak." Jawab Siti Hinggil. "Sekalipun kepalau kau pancung!"
"Hatimu terlalu keras. Mana cinta kasih yang dulu selalu kau berikan untuk
kehangatan kita berdua.....?"
"Masa lalu tak perlu diungkit dan tak akan terulang lagi. Apa masih belum
jelas bagimu Jaeng?"
"Kau akan menyesal Siti....."
"Mudah-mudahan tidak!" habis berkata begitu Siti Hinggil melangkah keluar
pintu. Marah dan jengkel Raden mas Jayengrono meninggalkan ruangan itu menuju
serambi rumah. Dalam hati dia merutuk. "Mengapa si Kertopati itu tidak mampus
saja! Kalau tidak oleh keadaannya mungkin aku masih bisa membujuk perempuan itu.
Ah Siti..... Delapan belas tahun memang cukup lama. Tapi tidak terlalu cepat untuk
mengikis cinta gelap kita....."
Sewaktu Jayengrono sampai di tangga depan rumah besar itu dia terkejut
mendapatkan seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah duduk
bersimpuh di samping tubuh Kertopati yang tergeletak di lantai serambi, dekat
tangga. Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah kapak bermata dua yang memancarkan
sinar berkilauan tertimpa cahaya sang surya yang hendak tenggelam. Salah satu
mata kapak ditempelkannya di betis Kertopati yang berwarna hitam seperti hangus yakni
akibat tendangan Bajingan Dari Susukan tadi. Kertopati sendiri berada dalam
keadaan pingsan. "Hai! Siapa kau! Apa yang kau lakukan"!" hardik Jayengrono. Dalam
kemarahan dia tidak sempat mengingat atau mengenali pemuda gondrong itu.
Yang ditanya karena sedang berusaha mengobati Kertopati dengan
menghimpun kekuatan tenaga dalam dan mengosongkan pikiran dari segala cipta dan
rasa tentu saja tidak menjawab. Hal ini membuat Jayengrono menjadi tambah marah.
Sambil menggereng dia ulurkan tangan untuk menjambak rambut pemuda itu.
Rambut itu berhasil disentuhnya. Namun jari-jari tangannya terasa panas dan dia
tak mampu menggerakkan apalagi menyentak menjambak. Perlahan-lahan Jayengrono
lepaskan jambakannya.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih yang duduk bersila dengan
menempelkan kapak berkilat ke betis Raden Kertopati nampak menggigil sekujur
tubuhnya ketika dia mengerahkan tenaga dalam untuk mulai menyedot racun jahat
mematikan yang telah menjalari sebagian tubuh Kepala Pasukan Kotaraja itu.
Butir- butir keringat memercik ke keningnya sebesar-besar jagung.
Perlahan-lahan, mata kapak yang tadi berkilat tampak meredup oleh cairan
darah kehitaman yang tersedot keluar dari betis Kertopati. Si gondrong terengahengah napasnya namun dia terus kerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menyedot
hingga semakin banyak darah hitam yang keluar. Ketika darah hitam berangsurangsur berubah menjadi merah, pertanda racun maut yang mendekam di tubuh
Kertopati telah tersedot keluar semuanya maka si pemuda memperkendur sedotan
tenaga dalamnya.
Sepasang kaki Kertopati tampak bergerak. Sedotan yag dilakukan si pemuda
sekaligus telah memusnahkan dua totokan yang dibuat sendiri oleh Kertopati.
Kepala Pasukan Kerajaan ini terdengar mulai mengerang pertanda telah sadarkan diri
meski kedua matanya masih tertutup. Ketika si gondrong mengangkat kapaknya dan
meniupnya, secata aneh noda darah hitam pada mata kapak itu sirna sementara
Kertopati telah pula membuka sepasang matanya. Sesaat dia menatap wajah si
gondrong, lalu memandang berkeliling. Mula-mula dia tidak apa yang terjadi,
mengapa dia berada dalam keadaan terbujur di serambi rumah besar itu. Setelah
memejamkan mata beberapa ketika dan memusatkan jalan pikiran, Kertopati mulai
dapat menduga apa yang dialaminya.
"Kau......" desisnya ketika kembali matanya memandang wajah pemuda
berambut gondrong. Yang ditegur menyeringai dan menyisipkan senjatanya ke
pinggang. Saat itu Raden mas Jayengrono melangkah berputar hingga dia dapat melihat
wajah si pemuda dengan jelas.
"Bukankah kau yang beberapa hari lalu bersama kawanmu membantu kami
orang-orang Kerajaan menghadapi Pangeran Matahari.....?" Jayengrono menegur.
"Ah, kau masih ingat pada kami Raden Mas....." menyahuti si pemuda.
Raden Kertopati dengan bantuan dua orang perwira bangkit dan bersila di
lantai serambi. "Pendekar 212........ Kau muncul lagi menyelamatkan diriku.
Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih....."
Si gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng kembali
menyeringai. "Jangan berterima kasih pada saya, semua adalah atas keredohan Yang
Maha Kuasa...."
Kertopati hanya bisa geleng-gelengkan kepala.
"Kau dulu pergi secara diam-diam dalam kabut asap sewaktu istana terbakar.
Kini kau muncul secara aneh. Jangan-jangan kaupun sebenarnya ada sangkut pautnya
dengan Pangeran Matahari....."
Yang bicara adalah Raden Mas Jayengrono. Entah dari mana Kepala
Balatentara Kerajaan ini mempunyai jalan pikiran seperti itu hingga mengeluarkan
ucapan yang mengejutkan semua orang yang ada di situ. Sebaliknya murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede sendiri dicurigai seperti itu tetap duduk bersila


Wiro Sableng 032 Bajingan Dari Susukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tenang, malah masih sunggingkan senyum.
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Raden Mas, orang telah menolong kita, mengapa menuduh yang tidak pada
tempatnya?" menegur Raden Kertopati
"Pertolongan bisa saja menyembunyikan sesuatu!" jawab Jayengrono.
"Banyak masalah yang harus kuusut. Soal hubungan Raden Ajeng Siti Hinggil masih
belum tuntas. Kini muncul pemuda ini dengan masalah baru. Sebaiknya kita
berjaga- jaga dimas Kertopati!" lalu tiba-tiba sekali Kepala Balatentara Kerajaan itu
menusukkan dua jari tangannya ke arah dada kiri Pendekar 212.
Wiro Sableng cepat menangkis.
Tapi totokan Jayengrono mendarat di dadanya lebih dulu hingga tak ampun
lagi tubuhnya menjadi kaku kejang. Seharusnya jalan suaranyapun ikut tertutup.
Namun karena gerakan menangkisnya tadi, totokan Jayengrono hanya sempat
membuat auratnya saja yang kaku sedang jalan suara masih membuka.
"Jadi begini balasan kalian orang-orang Kerajaan....."!" Wiro Sableng
keluarkan ucapan. "Sungguh kalian manusia-manusia tidak berbudi!"
"Raden Mas, saya minta pemuda itu dibebaskan....." Yang bicara adalah
Raden Kertopati sementara semua orang yang ada di tempat itu sama tidak mengerti
mengapa Jayengrono menotok pemuda gondrong yang telah menyelamatkan jiwa
Raden Kertopati.
"Serahkan saja urusan ini padaku dimas. Kau harus istirahat agar kesehatanmu
pulih kembali. Jika dia ternyata memang tidak menyembunyikan niat jahat terhadap
kita, pasti akan kubebaskan. Aku ada satu pertanyaan untukmu gondrong! Dulu kau
muncul bersama kawanmu pemuda langsing berpakaian abu-abu itu. Di mana dia
sekarang?"
"Dia justru menguntit pemuda kulit hitam yang kabur itu!" jawab Wiro polos.
"Nah, apa kataku. Temanmu itu bukan menguntit mungkin sakali tengah
menolongnya dari luka akibat goresan Kiyai Gajah Putih!"
"Heran, bagaimana orang sepertimu punya pikiran buruk dan picik seperi itu!"
tukas Wiro Sableng yang membuat wajah Jayengrono bersemu merah. Dia lalu cepatcepat memberi perintah pada orang-orangnya untuk menaikkan pendekar itu ke atas
punggung seekor kuda. Dia juga memerintahkan para bawahannya untuk menangkap
Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati.
Di atas punggung kuda, dalam keadaan tertotok Pendekar 212 Wiro Sableng
terdengar keluarkan ucapan.
"Bawa pemuda itu!" teriak Jayengrono pada bawahannya.
Sesaat setelah kuda yang membawa Pendekar 212 berlalu, Kepala Balatentara
Kerajaan ini masih tegak termangu. "Apa maksud keparat itu dengan tembok ruangan
punya seribu telinga.....?" dia membatin dalam hati, namun tak bisa menjawab
ataupun menduga.
Di dalam ruangan batu yang terletak di bawah tanah pada ujung timur
kawansan istana, Pendekar 212 Wiro Sableng tergeletak di atas lantai dingin
berlumut. Dia merasa bersyukur karena Jayengrono tidak merampas Kapak Maut Naga Geni
212 yang ada di pinggangnya. Berkali-kali dia mencoba mengerahkan tenaga dalam
untuk memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya, tapi sia-sia saja. Dalam
merutuk habis-habisan perbuatan panglima Balatentara Kerajaan itu, Wiro
tenggelam dalam satu kekawatiran yang amat sangat.
Seperti dituturkan di muka, antara dia dan pemuda berpakaian kelabu
sahabatnya itu telah diatur rencana. Wiro akan menolong Raden Ajeng Siti hinggil
dan Raden Ayu Puji Lestari dari tuduhan Jayengrono sedang si kelabu akan
menguntit BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pemuda berkulit hitam (Bajingan Dari Susukan) untuk menyelidik siapa pemuda itu
sebenarnya dan kemana dia melarikan diri.
Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yang berjudul "Pangeran Matahari
Dari Puncak Merapi" telah dijelaskan bahwa pemuda berbaju kelabu itu bukan lain
adalah seorang gadis jelita berkepandaian tinggi bernama Ni Luh Tua Klungkung.
Selama beberapa tahun dia menyamar sebagai seorang nenek yang selalu mengenakan
pakaian biru dan mengabdi pada Kerajaan. Sampai pada suatu hari dia menjadi
putus asa ketika dirinya dikalahkan oleh Pangeran Matahari. Tak kuat menanggung rasa
malu dan merasa tak layak kembali mengabdikan diri pada Kerajaan maka Ni Luh
Tua Klungkung terbujuk oleh hasutan setan, menjadi mata gelap dan hampir bunuh
diri jika tidak tertolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Keduanya kemudian jadi
bersahabat. Keadaan sahabatnya inilah yang sangat dikawatirkan Wiro. Saat itu Ni Luh
Tua Klungkung menguntit dan mengejar Bajingan Dari Susukan. Kalau benar dugaan
bahwa pemuda berkulit hitam itu ada sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari dan
kalau sampai sahabatnya itu berhadapan degan Pangeran keparat itu, berarti Ni
Luh Tua Klungkung akan menemui bahaya besar tanpa dia sendiri dapat menolong.
"Jayengrono keparat! Kau akan menerima pembalasanku!" begitu Wiro
memaki tiada henti. Lalu pendekar ini menyesali diri sendiri. Mangapa dia
menyetujui usul gadis itu untuk menguntit Bajingan Dari Susukan, bukan dia sendiri yang
melakukannya" Wiro menarik nafas dalam. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan
sahabatku itu, sampai ke nerakapun aku akan mencari Pangeran keparat itu...." Wiro
berjanji pada diri sendiri. "Apa yang bisa kulakukan saat ini" Sialan betul!
Apakah aku harus berteriak seperti orang gila"! Sialan! Benar-benar sialan!"
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Matahari yang mulai tenggelam, malam yang mulai turun membuat udara mulai
gelap. Meskipun pemandangan dalam jarak jauh agak tertutup kini namun
pendengaran yang tajam membuat Ni Luh Tua Klungkung tetap dapat mengetahui ke
mana arah lari orang yang dikuntitnya. Sambil berlari dia tidak lupa untuk
mematahkan setiap ujung ranting dri pepohonan yang dilaluinya. Ini adalah sesuai
janjinya pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Sebagai petunjuk jika pendekar itu
menyusul dan mencarinya. Dia sama sekali tidak tahu kalau kini Wiro tengah
mendapatkan kesulitan, ditotok dan disekap di sebuah ruangan bawah tanah.
Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan berusaha mempercepat larinya.
Goresan luka keris sakti Kiyai Gajah Putih terasa sangat perih dan sekujur
tubuhnya saat demi saat semakin dingin. Demikian dinginnya hingga walaupun dia berlari
sejauh itu namun tak setetes keringatpun keluar dari pori-pori tubuhnya.
Nafasnya mulai menyesak. Lidahnya terjulur dan kepalanya terasa pening. Namun semangatnya
menjadi besar ketika di kajauhan dia mulai melihat jalan lurus mendaki. Di
antara kegelapan turunnya malam, dia bahkan dapat melihat pondok kayu di ujung jalan
yang mendaki itu.
Begitu dia sampai di depan bangunan langsung Gajah Rimbun jatuhkan diri ke
tanah, mengengah-engah dan keluarkan seruan tercekik "Pangeran, saya Gajah
Rimbun telah kembali!"
Tak ada jawaban.
"Agaknya Pangeran tak ada di rumah...." Membatin Gajah Rimbun.
Kreekek..... Terdengar suara berkereketan. Pintu pondok terbuka. Sesosok
tubuh berpakaian serba hitam muncul. Ada gambar gunung dan matahari di dada
pakaian hitam itu.
"Pangeran!" seru Gajah Rimbun.
"Bajingan Dari Susukan! Kau kembali lebih cepat dari perkiraan! Apakah kau
berhasil menjalankan tugas sesuai perintah"!"
"Saya berusaha melakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah! Namun
mohon maafmu Pangeran. Saya menemui kesulitan....." jawab Gajah Rimbun. Ada
bayangan rasa takut tersembunyi di antara kata-katanya.
Paras Pangeran Matahari tampak berubah.
"Katakan apa yang terjadi....." katanya perlahan tapi uaranya bernada angker.
Gajah Rimbun lalu menerangkan pengalamannya di Kotaraja. Dia juga
memperliatkan goresan luka yang kini tampak seperti membusuk di pahanya.
Pangeran Matahari sama sekali tidak perduli dengan luka itu. Menolehpun dia
tidak. Sementara itu karena rasa dingin yang semakin menggila, Gajah Rimbun kini tak
sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya seperti beku. Tubuhnya terduduk ke tanah.
"Sayang.....sayang sekali....." kata Pangeran Matahari sambil melangkah
mundar-mandir di depan pondok. "Kehebatan yang telah kau perlihatkan sehari
sebelumnya menjadi pupus dengan kegagalan hari ini.....!"
"Saya telah melakukan apa yang saya bisa, Pangeran....."
"Diam!" hardik Pangerarn Matahari. "Kau bukan melakukan apa yang kau
bisa. Tapi harus melakukan apa yang ditugaskan! Kau tahu artinya kegagalan
ini"!"
Gajah Rimbun terdiam. Wajahnya yang pucat semakin pucat.
"Saya mohon pertimbanganmu Pangeran. Beri kesempatan sekali lagi...."
Meminta Gajah Rimbun.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Matahari mendengus lalu tertawa hambar.
"Bagiku kesalahan dan kegagalan bukanlah satu hal yang bisa diperbaiki.
Karena itu sudah terjadi! Penyesalanpun tiada arti! Namun aku masih bermurah
hati memberikan satu kesempaan padamu....."
"Terima kasih Pangeran! Terima kasih! Apa yang harus saya lakukan
Pangeran tinggal mengatakan. Saya akan mengerjakannya!"
"Begitu.....?" ujar Pangeran Matahari tak acuh. "Apakah kau sadar waktu kau
melarikan diri kembali ke mari ada orang yang menguntitmu....."!"
Terkejutlah Gajah Rimbun mendengar pertanyaan itu. Dia memandang
berkeliling dengan mata dibesarkan tapi tak melihat orang lain berada di tempat
itu. "Manusia tolol! Percuma kau menyandang nama Bajingan Dari Susukan!"
memaki Pangeran Matahari. Dia berpaling ke arah semak belukar lebat di sebelah
kiri jalan yang menurun lalu berseru.
"Penguntit! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!"
Ni Luh Tua Klungkung yang berada di balik rerumpunan semak belukar itu,
menyadari kehadirannya di situ sudah diketahui orang tak bisa berbuat lain
kecuali keluar perlihatkan diri.
Ketika melihat siapa yang muncul itu, Pangeran Matahari kaget sesaat
kemudian langsung saja dia mengumbar tawa panjang.
"Ha....ha.....ha....! Cicak kurus berpakain kelabu ini rupanya! Mana
kawanmu satu lagi! Pemuda gendeng itu......!"
Ni Luh Tua Klungkung tak mau kalah. Dia ikut mengumbar tawa melengking.
"Aku memang sudah menduga! Manusia bernama bajingan Dari Susukan itu pasti
cecunguk kaki tanganmu! Dan terbukti memang benar! Meminjam tangan orang lain
untuk berbuat kejahatan! Rupanya sejak kabur dari Kotaraja tempo hari kau tak
punya nyali lagi untuk turun tangan sendiri!"
"Keparat sombong! Mendekatlah biar aku dapat melihat tampangmu lebih
jelas! Jangan sembunyi di balik bayangan pohon dan kegelapan!"
"Jika kau ingin melihat lebih jelas silahkan datang mendekat ke hadapanku!"
sahut Ni Luh Tua Klungkung.
Rahang Pangeran Matahari yang memang berbentuk menonjol jadi tambah
menggembung. Dia berpaling pada Gajah Rimbun.
"Tugasmu Bajingan Dari Susukan! Bunuh pemuda itu!"
Mendengar perintah Pangeran Matahari, meskipun berdiri saja sudah sangat
susah bagi Gajah Rimbun, namun demi harapan pengampunan maka dia kerahkan
seluruh sisa tenaga dan melompat ke hadapan Ni Luh Tua Klungkung,langsung
menghantamkan jotosan ke muka pemuda berpakian kelabu itu.
Ni Luh Tua Klungkung tak berani menangkis. Dia berkelit ke samping lalu
angkat kaki kanannya mengirimkan tendangan ke arah tulang rusuk lawan. Gajah
Rimbun yang saat itu memang tak berdaya lagi karena racun keris Kiyai Gajah
Putih tak sanggup mengelak.
"Kraak.....!"
Tiga baris tulang-ulang iganya patah. Tubuhnya terpental menghantam
dinding pondok. Matanya mendelik dan nafasnya minggat. Orang ini sebenarnya
bukan mati karena tendangan Ni Luh Tua Klungkung, tapi lebih banyak diakibatkan
oleh racun keris sakti yang telah mempengaruhi sekujur tubuhnya. Pada titik
puncak rasa dingin yang tak tertahankan nyawanya pun lepas, berbarengan dengan
datangnya tendangan lawan tadi! Hal inipun diketahui oleh Pangeran Matahari.
Selain memang tak ada rasa takut terhadap pemuda berpakaian kelabu ini,
sejak peristiwa kekalahannya dalam pertempuran di Kotaraja beberapa waktu lalu
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
(baca serial Wiro Sableng : Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi) maka sang
pangeran telah menanam dendam kesumat terhadap pemuda satu ini dan juga
terhadap Wiro Sableng. Itulah sebabnya Pangeran Matahari menyuruh Bajingan Dari
Susukan untuk menyelidik. Meskipun Bajingan Dari Susukan gagal menyelamatkan
Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya namun sebenarnya untuk tugas menyelidik
dua musuh besar itu sebagian sudah dijalankan oleh Bajingan Dari Susukan tanpa
sadarnya. Yaitu membawa Ni Luh Tua Klungnkung ke tempat Pangeran Matahari.
Sampai saat itu Ni Luh Tua Klungkung tetap tegak di bagian gelap bayangan
pohon. Dia sengaja mendekam di situ karena kawatir di tempat terang lawan dapat
mengetahui siapa dia adanya.
"Hem.... Kau membunuh orangku! Berarti bertambah lagi hutangmu padaku!
Berarti tak bakal ada pengampunan untukmu pemuda kerempeng!"
Ni Luh Tua Klungkung mendengus. "Aku datang ke mari bukan untuk minta
pengampunan! Justru untuk menyingkirkan kejahatan yang disebabkan oleh manusia
sesat macammu!"
"Bagus sekali kalau begitu! Rupanya kau masih belum tahu dalamnya lautan,
tingginya Merapi! Umurmu hanya tinggal tujuh hitungan!" Habis berkata begitu
Pangeran Matahari gerakkan tangan kanannya. Perlahan saja.
Ni Luh Tua Klungkung yang sudah mengetahui benar kehebatan lawan, cepat
berkelebat lenyap sebelum sang pangeran lepaskan pukulan tangan kosong. Lompatan
yang dilakukan mendahului serangan lawan memang menyelamatkannya dari
serangan. Di bawah kakinya sesiur angin panas menyambar ganas. Gadis yang
menyamar seperti seorang pemuda itu merasakan kedua kakinya seperti disambar
api. Secepat kilat jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya membentuk garis sama datar
dengan tanah maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Tangan kiri memegang
perut. Tangan kanan diluruskan ke arah lawan. Mulut ditiupkan keras-keras.
Serangkum angin berwarna kekuningan yang menebar bau harum kayu cendana
mambuntal menerpa Pangeran Matahari!
Sebelumnya sang pangeran telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan
kesaktian pemuda berpakaian kelabu itu ketika terjadi pertempuran hebat disaat
itu dia berdampingan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau lawan ternyata
memiliki kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng, namun tentu saja Pangeran
Matahari yang congkak itu tidak merasa kecut sama sekali. Apalagi si pemuda
hanya sendirian. Sebelum buntalan sinar kuning menyentuh dan mencelakinya, Pangeran
Matahari langsung menghantam dengan pukulan sakti bernama Merapi Meletus.


Wiro Sableng 032 Bajingan Dari Susukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Lima jari tangan membentuk
tinju. Tiba-tiba tangan itu disentakkan ke bawah lalu dihantamkan ke atas. Bersamaan
dengan itu lima jari yang tadi mengepal dibuka serentak.
Terdengar suara berdentum laksana gunung meletus. Hawa panas menyambar.
Ranting-ranting dan daun-daun pepohonan meranggas hangus. Buntalan sinar kuning
yang jadi andalan pemuda baju kelabu buyar sirna.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia kerahkan
tenaga dalam sambil dorongkan kedua telapak tangan ke depan, bertahan agar tidak
jatuh. Namun sewaktu Pangeran Matahari balas mendorong, tak ampun gadis ini
terpental jungkir balik. Kain pembungkus kepalanya tanggal. Rambut samaran
pendek terlepas dan kini tambut aslinya yang panjang hitam tergerai sampai ke punggung.
"Hai!" seru Pangeran Matahari kaget. "Kau ini pemuda banci atau perempuan
sungguhan! Pasti wajah aslimu kau sembunyikan di balik sehelai topeng!
Ha....ha....ha...! Jika wajahmu nanti kulihat cukup cantik, malam ini berarti aku akan
mendapat kawan tidur dalam pondok!"
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Manusia dajal! Maut sudah di depan mata masih saja bicara ngacok!" hardik
Ni Luh Tua Klungkung.
Pangeran Matahari kembali tertawa bergelak. Tubuhnya berkelebat lenyap. Di
lain kejap si gadis sudah terkurung dalam serangan dahsyat yang membuatnya
bertahan mati-matian. Beberapa kali dia terpental ketika berusaha menangkis
hantaman lawan. Biasanya siapa saja yang berani bentrokan lengan dengan Pangeran
Matahari akan menemui celaka bahkan maut. Tangan akan hitam hangus oleh racun
jahat yang dimiliki sang pangeran. Tapi anehnya Ni Luh Tua Klungkung tidak
mengalami cidera apa-apa kecuali sakit di bagian luar saja. Diam-diam gadis ini
jadi merinding. Tak bisa tidak musuh memang sengaja tidak ingin mencelakainya karena
punya maksud tertentu yaitu menangkapnya hidup-hidup agar dapat melakukan niat
kejinya! Breet.....! Ni Luh Tua Klungkung terpekik. Topeng tipis yang menutupi wajahnya kena
disambar hingga wajah aslinya kini tersingkap jelas!
"Nah....nah! ternyata kau memang cantik jelita! Kau pantas jadi teman tidurku.
Besar nian rezekiku malam ini!"
"Keparat! Mampuslah!" teriak Ni Luh Tua Klungkung. Tiga jari tangannya
menusuk ke tenggorokan lawan. Pangeran Matahari berkelebat lenyap. Sebelum gadis
itu sempat mengetahui di mana lawannya berada tiba-tiba pakaiannya terasa
ditarik. Breett.....breet.....breett......
Ni Luh Tua Klungkung kembali terpekik. Pakaiannya robek besar di beberapa
bagian hingga auratnya tersingkap. Selagi dia sibuk berusaha menutupi tubuhnya
yang hampir telanjang itu, satu remasan keras mencengkam payudaranya sebelah
kiri. Gadis itu menjerit. Setelah itu tubuhnya kaku. Suaranya pun lenyap! Dia tak
kuasa menyelamatkan diri. Tak dapat berteriak minta tolong. Dengan nafas menyeringai
dan nafsu berkobar Pangeran Matahari memeluk tubuh gadis itu lalu menggendongnya ke
arah pondok kayu.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Orang itu melangkah sepanjang lorong batu yang hanya diterangi sebuah pelita
yang hampir padam karena kehabisan minyak. Langkahnya terhuyung-huyung. Kalau
tidak ditolong oleh sebatang tongkat yang digenggamnya di tangan kanan, mungkin
dia tak sanggup berjalan. Sesekali dia berhenti melangkah, bersandar ke dinding
batu sambil mengurut dada, mengaur jalan nafas, mengumpulkan tenaga, baru melangkah
lagi. Di depan sana lorong yang dilaluinya membelok ke kiri. Lalu tampaklah
sebuah pintu besar dijaga oleh dua orang perajurit bertubuh kekar bertampang
galak. Masing-masing membekal sebilah golok dan sebatang tombak.
"Siapa di sana!" Salah seorang pengawal pintu membentak begitu melihat ada
orang bertongkat mendatangi.
Yang ditegur tidak menjawab.
"Hai! Mengapa tidak menjawab! Lekas bicara atau akan kutembus dengan
tombak ini!" Pengawal tadi mengangkat tombak di tangan kanannya tinggi-tinggi.
Kawan di sebelahnya melakukan hal yang sama.
"Aku Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja!"
Kedua perajurit pengawal cepat turunkan tombak, membungkuk memberi
hormat dan salah seorang dari mereka buru-buru meminta maaf.
"Kami tidak tahu kalau Raden ang datang....."
"Pemuda tawanan itu masih ada di dalam....?"
"Masih ada di dalam Raden...."
"Buka pintu! Aku ingin bicara dengannya!" memerintah Kertopati.
"Maaf Raden! Kami menerima perintah agar tidak memperkenankan siapapun
masuk ke dalam menemui tawanan.....!"
"Siapa yang membei perintah?" tanya Raden Kertopati.
"Raden Mas Jayengrono. Panglima Balatentara Kerajaan....."
Raden Kertopati menggeram "Di Kotaraja ini aku adalah atasan kalian. Berarti
kalian ikut perintahku! Buka pintu besi itu!"
"Kami tak berani melakukannya Raden...."
"Kalian tidak mentaati perintahku"!" hardik Raden Kertopati marah.
"Kami hanya taat pada perintah Panglima Raden Mas Jayengrono!"
Raden Kertopati diam sejenak. "Baiklah....." katanya kemudian. Dia memutar
tubuh seperti hendak berlalu. Namun tiba-tiba tongkat kayu di tangan kanannya
berdesing ke udara. Praak.....praaak!
Kepala dua perajurit pengawal yang tegak di kiri kanan pintu rengkah!
Keduanya tersungkur ke lantai batu. Raden Kertopati cepat mengambil kunci dari
pinggang salah seorang pengawal itu lalu membuka gembok besi yang membuhul
rantai besar pengunci pintu. Dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam. Di
dalam ternyata gelap sekali. Tak ada lampu, tak ada cahaya. Kertopati terpaksa
mengambil pelita yang ada di lorong.
"Pendekar 212 kau berada di sebelah mana.....?" Kertopati berseru seraya
mengangkat lampu minyak tinggi-tinggi.
Wiro Sableng yang terbujur di salah satu sudut rruangan tak segera menjawab.
Dia tak dapat mengenali suara itu karena gaungan yang memantul pada empat
dinding batu. Kertopati memanggil sekali lagi. Baru kali ini Wiro mengenali suara Kepala
Pasukan Kotaraja itu.
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Raden, aku di sudut kiri di belakangmu!"
Kertopati membalik lalu melangkah cepat ketika dilihatnya pemuda itu di
sudut ruangan dalam keadaan tak berdaya. Lampu minyak diletakkannya di lantai.
Dia sendiri kemudian berlutut di samping Pendekar 212.
"Aku datang untuk menolongmu. Membayar budi dengan budi....."
"Terima kasih Raden. Aku sebenarnya tidak mengawatirkan keselamatan
diriku. Yang kucemaskan adalah sahabatku pemuda berbaju kelabu itu. Kalau dia
sampai tertangkap Pangeran Matahari...... Tolong lepaskan totokan di dadaku....."
"Jangan kawatir. Jayengrono memang ahli ilmu totokan. Sulit dilepas. Tapi
aku tahu cara membebaskanmu!" kata Kertopati. Pakaian Wiro di bagian dada
disingkapkannya lalu dia mendekatkan mulut dan meniup dada itu. Dengan ujung
tongkat dia membuat tusukan cukup keras pada dada yang ditotok hingga Pendekar
dari Gunung Gede itu merintih kesakitan. Sekali lagi Kertopati meniup dada si
pemuda. Setelah itu dia membuat tiga kali usapan, barulah totokan di tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng terlepas musnah. Wiro cepat duduk bersila mengatur jalan nafas
dan aliran darah.
"Terima kasih Raden. Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi
sebelum pergi ada satu permintaanku. Maukah kau menolong Raden Ajeng Siti
Hinggil dan puterinya......?"
"Kalau bisa mengapa tidak?"
"Dua perempuan itu hanya korban hati busuk Jayengrono. Kebetulan saja sang
puteri pernah memberikan cincin emas burung rajawali itu pada Pangeran
Matahari......" Lalu Wiro menceritakan apa yang diketahuinya tentang riwayat cincin
itu. "Nah jelas bagi Raden kalau mereka tidak ada sangkut paut apa-apa dengan
Pangeran Matahari....."
"Saya akan menghadap raja dan meminta agar ibu dan anak itu dibebaskan.
Tap saya tetap merasa aneh mengapa Jayengrono bertindak terlalu jauh seperti
itu......"
"Karena ada satu rahasia Raden....."
"Rahasia?" " Kertopati kerenyitkan kening.
"Saya akan ceritakan rahasia itu padamu. Saya mendengar secara kebetulan
ketika datang ke rumah Raden Ajeng Siti Hinggil sore tadi....."
Lalu Wiro Sableng menuturkan percakapan antara Jayengrono dan Siti
Hinggil yang sempat didengarnya meskipun dia berada di luar ruangan.
Tentu saja Raden Kertopati terbelalak hampir tak percaya mendengar
penuturan Wiro Sableng itu.
"Nah kau sudah tahu Raden. Saya pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih atas
pertolonganmu....."
Selagi Raden Kertopati masih terkesiap oleh cerita yang disampaikan Wiro,
Pendekar 212 sudah melompat ke pintu dan mencari jalan sendiri menuju tembok
timur istana. Dalam kegelapan malam ternyata tidak mudah bagi Wiro untuk mencari jejak
sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Meskipun tanda-tanda patahan ranting
pepohonan yang dibuat gadis itu dapat ditemuinya namun gerakannya menjadi lambat
karena terhalang oleh kepekatan malam.
Di dalam kamar yang luas Raden Mas Jayengrono merasa sangat gelisah.
Sebentar dia berbaring di atas tempat tidur empuk, lalu berdiri, melangkah
mundar mandir atau duduk di kursi, melangkah lagi, mundar mandir dan sesekali memandang
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ke dalam taman lewat jendela kamar. Demikian terus menerus keadaannya. Hatinya
risau karena tidak dapat menerka apa sebenarnya yang dimaksud oleh Pendekar 212
Wiro Sableng dengan ucapannya ".......tembok ruangan punya seribu telinga......"
"Teka-teki apa yang dilontarkan pemuda keparat itu padaku sebenarnya......"
merutuk Kepala Balatentara Kerajaan itu. Dia kembali melangkah mudar mandie lalu
membantingkan diri di atas tempat tidur. Memandang ke langit-langit kemar yang
penuh ruangan. Memejamkan mata. Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini membuka kedua
matanya besar-besar.
"Jangan-jangan......"desisnya. Tubuhnya melompat dari atas tempat tidur. Dia
menyambar keris Kyai Gajah Putih dari atas meja batu mar-mar. Tanpa pengiring
dia menuju ke istana lewat pintu sebelah timur. Setengah berlari dia memasuki lorong
menuju pintu ruangan di mana Pendekar 212 Wiro Sableng disekap. Tidak dapat
tidak, dengan ilmu kesaktiannya yang tinggi, pemuda itu telah sempat mencuri dengar
pembicaraannya dengan Siti Hinggil di rumah perempuan itu.
"Kalau tidak kubunuh, ulahnya nanti bisa berekor panjang!" kertak
Jayengrono. Dia sampai di depan pintu besi itu. Dan terperangah!
Pintu terbuka lebar. Dua orang perajurit pengawal telah jadi mayat dengan
kepala pecah. Ketika dia memeriksa ke dalam, ruangan penyekapan itu ternyata
kosong melompong. Pemuda yang dijebloskan di tempat itu ternyata telah lenyap!
"Celaka aku!" keluh Jayengrono. "Siapa yang punya pekerjaan ini! Siapa yang
menolong membebaskan pemuda keparat itu! Pasti hanya satu orang! Si keparat
Kertopati! Ya, siapa lagi!"
Raden Mas Jayengrono segera mendatangi rumah kediaman Raden Kertopati.
Di sana didapatinya Kepala Pasukan Kotaraja itu tengah tidur nyenyak mendengkur.
Dari seorang pengawal dia mendapat keterangan kalau sejak sore tadi Raden
Kertopati tak pernah meninggalkan kamar tidurnya.
"Aku yakin hanya manusia satu ini yang mampu dan mau menolong si
gondrong itu! Tapi ternyata dia tidur sejak sore...... Ah, semua urusan bisa jadi
gila! Bagaimana bisa jadi begini.....!"
Jayengrono sama sekali tidak tahu kalau Kertopati sudah menduga kira-kira
apa yang bakal terjadi kalau lenyapnya tawanan itu sampai diketahui. Maka
Kertopati siang-siang sudah menyusun rencana, memberi kisikan pada seluruh anak buahnya
dan berpura-pura tidur nyenyak di atas tempat tidur. Ketika Jayengrono
meninggalkan halaman rumahnya, dia memperhatikan lewat jendela dengan sesungging senyum.
"Riwayatmu akan berakhir tak lama lagi Jayeng....." katanya masih terus
tersenyum penuh arti.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Seumur hidupnya Pangeran Matahari belum pernah melihat aurat terlarang orang
perempuan, apalagi menyentuhnya. Mendapatkan seorang gadis cantik dalam keadaan
tak berdaya di bawah kekuasaannya sepenuhnya membuat pemuda ini serta merta
terbakar oleh nafsu terkutuk. Setelah menotok tubuh Ni Luh Tua Klungkung secara
aneh yakni dengan jalan meremas payudaranya, Pangeran Matahari mendukung tubuh
gadis itu ke dalam pondok kayu. Sambil mendukung tangannya bebas tiada hentinya
menggerayang kian kemari.
Meski tubuhnya penuh gelegak marah namun sang gadis tidak mampu berbuat
apa untuk membebaskan diri, apalagi menolak kehendak keji Pangeran Matahari.
Dalam hatinya sudah tekad bulat untuk bunuh diri jika kelak dia masih dibiarkan
hidup setelah dirusak kehormatannya.
Sekarang mari kita ikuti kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng yang saling kejar dengan waktu karena sudah mendapat firasat kalau
sahabatnya gadis yang sampai saat itu tidak diketahuinya nama aslinya tengah
mengalami bahaya besar. Malam makin gelap dan bertampah sulit baginya untuk
meneliti secara cepat rerantingan patah yang ditinggalkan sang dara sebagai
jejak. Di sebuah bukit patahan ranting berakhir. Tak ada lagi ranting lain yang patah
padahal memandang berkeliling pendekar ini sama sekali tidak melihat apa-apa. Tak ada
tanda-tanda terjadi perkelahian di tempat itu. tak ada pula bangunan di sekitar
situ. "Tak mungkin gadis itu lenyap menembus tanah bebukitan ini atau terbang ke
langit....." ujar Wiro Sableng seraya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut
gondrong. Dia meneliti ke jurusan kiri, ke sebelah kanan, tetap saja tidak
menemui apa-apa. Ketika dia coba bergerak lurus ke depan, sebuah jalan kecil mendaki
terbentang di hadapannya. Setelah meneliti sesaat, Wiro ikuti jalan mendaki ini.
di depan sana di kegelapan malam dilihatnya sebuah bangunan kayu. Sepuluh langkah
sebelum dia sampai ke bangunan itu, sesosok tubuh ditemuinya tergelimpang di
jalan kecil itu. ketika ditelitinya sosok tubuh itu ternyata pemuda bermuka bundar
berkulit hitam yang dikenal sebagai Bajingan Dari Susukan. Tubuh itu hanya merupakan


Wiro Sableng 032 Bajingan Dari Susukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mayat dingin. Murid Eyang Sinto Gendeng memandang berkeliling. Sunyi yang aneh terasa
membungkus tempat itu. pintu pondok tampak tertutup. Tak ada nyala lampu di
sebelah dalam. Tapi bagi sang pendekar yang sudah berpengalaman tidak ada nyala
lampu belum tentu berarti tidak ada seorangpun di dalam sana. Jika seorang
lelaki hendak berbuat bejat terhadap seorang gadis maka tentunya dia akan mencari
tempat yang sedap. Wiro hunus Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tanpa suara melangkah
mendekati pintu pondok kayu. Sepasang telinganya terpentang untuk mencari dengar
setiap gerakan. Suara nyamuk yang terbang di kejauhanpun tak bakal lepas dari
pendengarannya.
Braak! Wiro Sableng tendang pintu pondok hingga hancur dan terpentang lebar.
Keadaan di dalam pondok yang tak seberapa besar itu gelap pekat. Wiro memasang
telinga. Tak ada seorangpun di dalam sana. Tapi tak mungkin pondok ini dibangun
kalau hanya ditinggal kosong melompong. Atau pemiliknya sedang keluar" Tapi Ni
Luh Tua Klungkung lenyap di sekitar tempat ini! Wiro menggenggam senjata
mustikanya lebih erat. Dengan langkah tetap dia masuk melalui pintu. Baru saja
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kakinya menginjak lantai papan di sebelah dalam mendadak telinganya mendengar
suara berdesir dari empat jurusan!
"Senjata rahasia!" seru Wiro dalam hati seraya kertakkan rahang. Kapak Naga
Geni 212 diputar membentuk lingkaran. Sinar terang berkiblat disertai gaungan
seperti ribuan tawon mengamuk.
Tring.....tring....tring.....tring.
Empat buah benda yang berdesing ternyata adalah empat buah pisau terbang
kecil, hancur mental berantakan.
"Pembokong pengecut! Unjukkan tampangmu!" teriak Pendekar 212 marah.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Jelas senjata rahasia itu dipasang
untuk menjebak lawan yang lengah. Bukan mustahil masih ada senjata-senjata
rahasia lainnya tersembunyi di tempat itu. Dari pada mendapat serangan konyol begitu
rupa Wiro memutuskan untuk menghancurkan pondok kayu itu. Maka dia hantamkan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera ke arah atap. Bersamaan dengan mental
hancurnya atap dan runtuhnya empat dinding kayu, Wiro melesat keluar bangunan.
Dari kejauhan dia memperhatikan bangunan yang kini hanya merupakan kepingkeping hampir sama rata dengan tanah. Lagi-lagi tak ada suara tak ada gerakan.
Tapi ketika dia melangkah mendekati, satu letusan dahsyat menggelegar membuat
pendekar dari Gunung Gede itu jatuh duduk ke tanah.
Letusan yang terjadi membuat lantai bangunan terbongkar. Di situ Wiro
melihat sebuah lobang batu berbentuk tangga menurun yang sebelumnya tersembunyi
di bawah lantai kayu bangunan. Kuduk pendekar ini menjadi dingin. Bulu romanya
berdiri. Kalau tadi dia sempat menginjak lantai di atas lobang itu, ledakan
dahsyat tadi pasti akan menghancur luluhkan seluruh tubuhnya. Dengan hancurnya pondok kayu
tersebut maka tak ada lagi senjata rahasia yang tersembunyi. Wiro memutuskan
untuk menyelinap memasuki lobang batu itu. namun dia cepat melesat ke atas cabang
sebuah pohon ketika lapat-lapat telinganya mendengar ada orang yang melangkah
cepat menaiki tangga batu.
Sesaat kemudian sebuah kepala gondrong berikat kain merah muncul dari
dalam lobang. Kepala ini bergerak berputar seperti meneliti keadaan. Ketika
merasa aman, kepala ini segera bergerak keluar. Kelihatanlah sebuah sosok tubuh
mengenakan pakaian hitam bergambar matahari dan puncak gunung.
"Pangeran Matahari......" desis Wiro tercekat. Lalu dia melihat sosok tubuh
siapa yang dipanggul di bahu kiri sang pangeran. Sosok tubuh itu hampir tidak
tertutup karena seluruh pakaian yan masih melekat hanya tinggal cabikan-cabikan
belaka. "Keparat haram jadah! Kalau dia sampai telah memperkosa sahabatku itu akan
kucincang tubuhnya, kuhisap darahnya!" Geraham Pendekar 212 bergemeletakan.
"Manusia iblis! Kau hendak lari ke mana"!" teriak Pendekar 212 menggeledek.
Ketika dilihatnya Pangeran Matahari hendak berkelebat kabur sambil mendukung
tubuh Ni Luh Tua Klungkung.
Kagetnya sang pangeran bukan kepalang. Sambil meneruskan larinya dia
hantamkan tangan kiri ke atas pohon di mana Pendekar 212 berada.
Wuss! Cabang, ranting dan dedaunan pohon besar iru hangus dan luruh sementara
Wiro sudah melayang turun lebih dahulu. Kapak Naga Geni 212 menderu dalam
kegelapan malam. Melihat sinar menyilaukan berkiblat dan mendengar suara seperti
tawon mengamuk Pangeran Matahari maklum siapa yang menyerangnya. Satusatunya senjata yang mempunyai cirri-ciri serangan seperti itu adalah Kapak Maut
Naga Geni 212. Pemiliknya siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 dari Gunung Gede.
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Dicari-cari ternyata kau datang sendiri mengantar nyawa! Hutang lamamu
rupanya hendak kau bayar hari ini bersama bunganya!" Pangeran Matahari menegur
keren dengan kaki terkembang, tangan kiri di pinggang dan tubuh Ni Luh Tua
Klungkung masih di atas bahu kanannya.
"Manusia congkak takabur! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Hari
ini kau tambah lagi dengan satu kekejian!" bentak Wiro.
Pangeran Matahari tertawa bergelak.
"Rupanya kaupun berhasrat mendapatkan perawan ini! Ha...ha...ha! Kau
memang belum terlambat Pendekar 212! Tapi jangan harap kau bisa membebaskan
gadis ini dari tanganku!"
Gembira mendengar pengakuan Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro
Sableng hampir bertindak lengah ketika musuh di hadapanny aitu tiba-tiba
menyerbu sambil lepaskan pukulan maha ganas yang dimilikinya yakni pukulan Gerhana
Matahari! Sinar kuning, hitam dan merah mencuat panas melanda ke arah murid Sinto
Gendeng. Wiro tak berani membalas karena kawatir akan mencelakai Ni Luh Tua
Klungkung. Didahului bentakan nyaring pendekar ini melesat tiga tombak ke udara.
Dari atas dia menukik sambil babatkan Kapak Naga Geni 212. Tapi Pangeran
Matahari berlaku cerdik. Dia tidak menangkis ataupun balas menyerang melainkan
angsurkan tubuh gadis yang ada di bahunya, memotong tabasan senjata lawan.
Wiro berseru kaget dan buru-buru tarik pulang serangannya. Saat itulah
kembali Pangeran Matahari menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Kali ini
lebih dahsyat lagi karena mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Wiro
kembali melompat sambil lindungi diri dengan Kapak Naga Geni 212. Pohon besar di
belakangnya terdengar berderak lalu roboh dalam keadaan terbakar!
"Iblis keparat!" maki Pendekar 212. Dadanya terasa sesak. Dia melompat
turun ke tanah langsung sisipkan Kapak Naga Geni 212 di pinggang lalu angkat
kadua tangan dengan telapak tangan menghadap ke arah lawan. Perlahan-lahan dua telapak
tangan itu diputar, mulut terkancing dan sepasang mata memandang tak berkesip ke
arah Pangeran Matahari.
Sikap tegak Wiro yang sama sekali tidak terlindung itu di mata Pangeran
Matahari merupakan suatu sasaran empuk. Maka dia segera siapkan pukulan Gerhana
Matahari untuk ketiga kalinya. Tapi mendadak sontak saat itu dirasakannya udara
menjadi sangat dingin, sepuluh kali lebih dingin dari udara di puncak Merapi di
mana dia pernah tinggal sebelumnya! Sekujur tubuh sang pangeran seperti dilapisi es.
Rahangnya menggembung, hembusan nafasnya seperti mengeluarkan asap. Lututnya
mulai goyah! "Ilmu apa yang tengah dikeluarkan setan ini untuk menyerangku!" gumam
Pangeran Matahari dengan gigi-gigi bergemeletakkan. Dia hantamkan tangan
kanannya. Lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, merah dan hitam
memang berkiblat. Namun sebelum mencapai tubuh Wiro, hawanya yang panas
membakar berubah menjadi dingin hingga ketika serangan itu melanda Pandekar 212,
dia hanya merasakan seperti disapu angin sejuk!
Kaget Pangeran Matahari bukan kepalang. Diam-diam nyalinya mulai menciut.
Namun manusia congkak ini tak mau mangalah begitu saja. Sekali lagi dia hendak
mencoba. Bahu kanannya digerakkan. Tubuh Ni Luh Tua Klungkung mencelat
mental ke arah semak belukar dan tersangkut di sana. Sang pangeran kemudian
membuat kedudukan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan Wiro. Kedua
kakinya mengangkang. Tangan diangkat ke atas. Mulut komat kamit. Telapak tangan
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
digerakkan perlahan. Didorong ke arah Wiro. Terdengar suara berdesir. Menyusul
deru angin panas keluar dari masing-masing telapak tangan.
Di seberang Pangeran Matahari, Wiro tetap tegak di tempatnya dan lipat
gandakan kekuatan tenaga dalamnya. Tubuhnya bergetar keras dan keringatnya
bercucuran padahal udara di tempat itu dingin bukan kepalang!
Deru angin panas yang keluar dari dua telapak tangan Pangeran Matahari,
yang disesrtai kekuatan tenaga dalam penuh mula-mula tertahan seolah terbendung
oleh tembok baja yang sangat atos. Begitulah kehebatan ilmu Angin Es yang
jarang- jarang dikeluarkan oleh Pendekar 212. Namun ternyata murid Sinto Gendeng ini tak
bisa bertahan lama. Karena begitu Pangeran Matahari mendorong sambil maju
selangkah demi selangkah Wiro meraskan dadanya menjadi panas. Ketika dia merasa
tak sanggup bertahan maka sambil berteriak keras Wiro menekuk lutut dan
menghantam ke depan dengan Dewa Topan Menggusur Gunung. Ilmu pukulan sakti
ini didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas. Terdengar suaa menggemuruh yang
mengingatkan Pangeran Matahari pada meletusnya Gunung Merapi belasan tahun
silam. Pukulan Merapi Meletus yang terus dilancarkannya dan diharapkan dapat
merobohkan lawan ternyata kini mulai menjadi kendur.
"Gila!" maki Pangeran Matahari.
Sementara tangan kiri masih terus bertahan dari serangan pukulan Merapi
Meletus, tangan kanan tiba-tiba diturunkan dan dengan tangan ini dia kembali
lancarkan pukulan sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu pertanda bahwa
dia kini menghadapi lawan dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
Letusan dahsyat menggelegar di tempat itu. tanah puncak bukit longsor di
beberapa bagian. Pohon-pohon bertumbangan. Ni Luh Tua Klungkung yang
menyangsrang di semak belukar jatuh terguling dan secata aneh totokan yang
menguasai tubuhnya mendadak terlepas buyar!
Pendekar 212 Wiro Sableng terpental sampai enam langkah. Sebaliknya
Pangeran Matahari jatuh duduk lalu terbanting ke tanah. Mulutnya terasa panas
dan asin pertanda ada darah yang melesat lewat tenggorokannya, melesat ke mulut.
Dadanya mendenyut sakit. Sadarlah manusia ini kalau tingkat tenaga dalamnya
walaupun sangat tipis, tapi masih berada di bawah lawannya.
Ketika dapatkan dirinya terbebas dari totokan, tanpa sadar akan keadaan
dirinya, Ni Luh Tua Klungkung langsung melompat ke arah Pangeran Matahari
sambil ayunkan kepalan menghantam batok kepala orang yang tadi hampir
menodainya. Meskipun masih dicekam rasa kaget, sakit dan kecut namun Pangeran
Matahari masih sempat melihat datangnya serangan itu. Kalau tadi dia tengah
berusaha bangkit, diserang begitu rupa maka dia jatuhkan diri kembali ke tanah
sambil hantamkan tangan kanan ke atas melepas tangkisan dan juga sekaligus
totokan karena sang pangeran masih menginginkan gadis itu tertawan hidup-hidup.
Namun di saat yang sama dari jurusan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng
menyerbu melompatinya dan lepaskan pukulan tangan kosong jarak pendek. Hingga
mau tak mau Pangeran Matahari terpaksa batalkan serangan terhadap Ni Luh Tua
Klungkung sambil mengelak lalu pusatkan perhatian untuk menangkis serangan Wiro.
Perkelahian jarak pendek iu tidak dapat menghindarkan terjadinya bentrokan
lengan. Justru inilah yang diharapkan Pangeran Matahari karena dia percaya
dengan terjadinya bentrokan dia dapat mengirimkan racun jahat hitam panas dan
menghanguskan ke ubuh lawan. Sebaliknya murid Sinto Gendeng yang yakin akan
keampuhan Kapak Naga Geni 212 unuk menolak segala macam racun jahat tidak
ingin menghindari bentrokan itu. Maka ketika dua lengan saling beradu kedua
pemuda itu sama-sama terlempar.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Matahari karena sebelumnya telah terluka di dalam berada pada
keadaan cukup parah. Tubuhnya terguling sambil mulutnya muntahkan darah segar.
Wiro memang terlepas dari keganasan racun manghanguskan sang pangeran tapi
tulang lengan kanannya terasa sakit tanda ada bagian yang retak.
"Ah, untuk kedua kalinya aku terpaksa mengalah! Keparat betul!" mengeluh
dan memaki Pangeran Matahari dalam hati. Bertapapun hatinya ingin memboyong Ni
Luh Tua Klungkung kembali namun keselamatan diri lebih diutamakannya. Maka
tanpa pikir panjang dan menunggu lebih lama Pangeran Matahari segera berkelebat
larikan diri kea ah kanan, ke bagian paling gelap di sekitar tempat itu.
Ni Luh Tua Klungkung nekad hendak mengejar tapi Wiro cepat mencegah
sambil berseru "Jangan kejar!" Dia kawatir gadis ini justru bakal mengalami
malapetaka baru.
Sang dara hentakkan kakinya ke tanah. "Kau melarangku mengejar manusia
terkutuk yang hendak merusak kerhormatanku! Apa hakmu!" Si gadis berbalik dan
menghardik marah.
Wiro buka bajunya dan melemparkan pakaian ini ke arah Ni Luh Tua
Klungkung. "Kau pakailah baju itu. Tubuhmu terbuka tak karuan!"
Mendengar ucapan Wiro baru sadar sang dara akan keadaan dirinya. Sambil
memungut baju yang dilemparkan itu dia berkata "Aku bersumpah untuk membunuh
manusia satu itu!" Ni Luh mengenakan baju itu di balik pohon besar yang tumbang.
Karena dia lebih pendek dari Wiro maka baju putih yang cukup dalam itu dapat
menutupi tubuhnya sampai sebatas lutut.
"Kau tak kurang suatu apa sahabat?" tanya Wiro ketika Ni Luh Tua
Klungkung keluar dari balik pohon.
"Untung kau cepat datang. Terlambat sedikit saja aib besar pasti sudah
menimpa diriku! Pangeran keparat itu terhalang maksud kejinya ketika atap pondok
bobol dan dinding-dinding runtuh. Disusul letusan peledak yang agaknya memang
sengaja ditanamnya di lantai pondok. Dia membawaku lari keluar sekalian untuk
menyelidiki siapa yang jadi korban bahan peledaknya. Gila! Udara di sini mengapa
dingin sekali seperti di punca gunung!"
"Itu karena kau memakai baju pinjaman!" sahut Wiro seraya tersenyum. "Aku
yang bertelanjang dada tidak merasa dingin apa-apa!"
"Uh! Kalau tidak terpaksa siapa sudi mengenakan baju busuk dan basah oleh
keringat ini!" jawab sang dara merengut.
Wiro kembali tertawa. "Kurasa kau lebih bagus muncul dengan wajah aslimu
dari pada memakai segala macam topeng penyamaran!"
Ni Luh Tua Klungkung mengusap wajahnya. "Sebaiknya kita pergi saja dari
tempat celaka ini! Makin cepat aku mendapatkan pakaian pengganti akan lebih baik
bagiku!" Lalu dara itu tinggalkan puncak bukit gelap tersebut. Pendekar 212 Wiro
Sableng mengikuti dari belakang.
TAMAT BASTIAN TITO 40 Istana Tanpa Bayangan 2 Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Rahasia Patung Kencana 1

Cari Blog Ini