Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan Bagian 2
tangan kanan ke arah si pemuda!
"Celaka! Mati aku!" seru si pemuda. Begitu sinar hijau berkiblat secepat kilat
dia jatuhkan diri ke tanah, berguling ke balik semak belukar. Dua buah ubi rebus
yang tadi dipegangnya lepas jatuh dan berguling di tanah! Untuk menyelamatkan
diri dari serangan yang mungkin akan dilancarkan lagi oleh dara berontak tidak
waras itu, si pemuda terpaksa kembali ke tempat persembunyiannya semula yaitu
pohon besar di belakang pondok.
Di atas pohon jelas tampak wajahnya masih pucat. Kalau saja dia sampai terlambat
menjatuh-kan diri ke tanah tadi pasti saat itu dia sudah ter-kapar mati dengan
sekujur tubuh menjadi hijau!
"Gadis itu ... " si pemuda geleng-geleng kepala. "Dua kali aku hampir mati di
tangannya! Cantik memiliki pukulan sakti luar biasa.
Sayang otaknya tidak waras
" Sekali pemuda ini berkata-kata pada dirinya sendiri seperti itu tiba-tiba
didengarnya suara de-sisan keras dibalik semak belukar sebelah kanan.
Sesaat kemudian dari balik semak belukar itu ke-33 DEWI DALAM PASUNGAN
luar dua ekor ular kobra berwarna hijau yang langsung meluncur ke arah pondokan.
Tentu saja pemuda diatas pohon jadi terkejut.
"Gadis itu! Dia akan mati dipatuk dua ekor ular berbisa itu! Aku harus melakukan
sesuatu!" Namun sebelum dia sempat melakukan apa-apa pemuda itu menjadi melengak kaget
serta heran sekali ketika melihat bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat
berbisa tadi meluncur ke dalam pangkuan sang dara, memagutnya dan menjilati
sekujur tubuhnya mulai dari tangan sampai ke leher dan kemuka. Sang dara sendiri
terdengar tertawa girang, bersorak gembira.
"Sahabat-sahabatku! Kalian kemana saja! Ku-kira kalian sudah lupakan diriku. . .
. ! Hai banyak yang akan kuceritakan pada kalian. Tapi, hik. . . .
hik. . hik. . . Ada pertolongan yang perlu kuminta pada kalian. Lihat.. ..
disebeiah sana ada dua buah ubi rebus. Perutku lapar sekali, Tolong ambilkan,
berikan padaku...."
"Dasar orang gila! Masakan ular bisa disuruh mengambil ubi!" pemuda diatas pohon
mengomel sendiri. Namun sesaat kemudian matanya terbe-lalak melihat apa yang
terjadi. 34 DEWI DALAM PASUNGAN
ENAM S EPERTI MANUSIA yang mendengar dan
mengerti apa yang diucapkan dara dalam pasungan, dua ekor ular kobra meluncur
turun dari atas tubuh dara itu lalu keduanya menuju ke tempat dimana dua buah
ubi yang tadi dibawa di pemuda kini berada di tanah. Dengan menggelungkan
ekornya pada ubi sebesar kepalan itu, dua ekor ular lalu melata membawa ubi-ubi
tersebut ke pangkuan sang dara!
"Luar biasa! Ini bukan sulap bukan ilmu gaib!
Tapi kenyataan yang tak bisa kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" Pemuda di
atas pohon garuk-garuk kepalanya. Dia tak habis pikir siapa a adanya gadis dalam
pasungan itu. Sakti, mampu bicara dengan ular tapi kenapa dipasung" Dan dua ekor
uiar itu apanya" Pesuruh" Guru-guru atau memang sahabat seperti yang
dikatakannya berulang kali.
Dalam waktu sebentar saja dua buah ubi rebus itu sudah amblas ke dalam perut
sang dara bersama tanah liat yang menempel.
Sang dara elus-elus perutnya. Dia mengusap-usap tubuh dua ekor ular. Binatangbinatang itu membalas dengan menjilati wajah si gadis hingga menjadi bersih
sekali dan lebih kentara wajahnya yang cantik meskipun agak pucat dan cekung
kedua pipinya. "Sehabat-sahabatku . . . Kalian sudah datang.
Hatiku senang. Aku akan menyanyi untuk kalian.
Kalian tentu suka mendengar aku menyanyi
bukan" Hik ... hik ... hik . . .!"
Sebagai jawaban dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis. Lalu sang darapun
mulai menyanyi yang sekali-kali diselingi suara tawa cekikikan.
Perutku kenyang
Para sahabat telah datang
Hatiku senang Hik ... hik .. . hik
Hari-hari siang
Hari-hari malam
Tinggal sendirian dalam hutan
Betulkah aku gila ..."
Hik . . . hik .. . hik!
Betulkah aku cantik . .."
35 DEWI DALAM PASUNGAN
Hik ... hik .. . hik!
Perutku sudah kenyang
Dua sahabat sudah datang
Hatiku senang....
Hik ... hik ... hik ...
Nyanyian itu diulang terus menerus sampai pemuda gondrong di. atas pohon menjadi
bosan dan sebal mendengarnya. Tapi dibawah sana dilihatnya dua ekor ular kobra
hijau tampak meliuk-liukkan tubuh mereka seperti menari mengikuti nyanyian si
gadis. Tiba-tiba pemuda itu ingat sesuatu lalu meraba ke pinggangnya. Dari balik
pakaian dikeluarkannya sebuah benda yang memancarkan sinar berkelauan. Ternyata
sebuah kapak bermata dua, berhulu berbentuk kepala naga. Pada gagang senjata itu
terdapat lobang-lobang menyerupai lobang suling. Si pemuda dekatkan mulut naga
ke bibirnya lalu meniup.
Mula-mula perlahan-lahan, lalu makin keras, makin keras. Ternyata si pemuda
meniup "se-rulingnya" mengikuti suara nyanyian si gadis.
Gadis dalam pondok tersentak begitu mendengar suara suling. Kepalanya mendongak
dan matanya berputar liar. Dua ekor ular kobra berhenti meliuk-liuk. Sang dara
tutup mulutnya rapat-rapat. Di atas pohon si gondrong hentikan tiupan sulingnya.
"Hai! Mengapa berhenti"!" terdengar suara sang dara. Dia palingkan kepala ke
belakang, tapi pandangannya tertutup atap pondok. Ucapannya itu jelas
menunjukkan bahwa dia menyukri suara seruling tadi. Hal ini diketahui pula oleh
pemuda di atas pohon. Maka diapun kembali meniup
"suling"nya. Begitu tiupan seruling menggema, dua ekor ular kobra tegakkan
kepala, sama-sama mendesis lalu tiba-tiba sekali kedua binatang ini meluncur
turun dari tubuh sang dara dan melesat ke arah pohon di atas mana pemuda yang
meniup suling berada, terus naik ke atas pohon sambi!
keluarkan suara mendesis beringas buas!
"Celaka! Dua kobra itu hendak menyerangku!"
Si gondrong di atas pohon tersentak kaget. Senjata mustika yang tadi ditiupnya
kini dipegang erat-erat di tangan kanan. Baginya tak mungkin meluncur turun atau
memanjat lebih ke atas karena dua kobra itu pasti tetap akan mengejarnya.
Karena itu dia menunggu dengan hati tercekat dan senjata siap ditangan.
36 DEWI DALAM PASUNGAN
Hanya beberapa jengkal lagi ular itu akan siap mematuk dan si pemuda siap
ayunkan senjatanya, dari arah pondok terdengar suara sang dara berseru.
"Dua sahabatku, jangan bunuh orang itu! Dia orang gila yang membawa ubi yang
tadi kumakan!"
Mendengar seruan itu, dua ular kobra yang meluncur ke atas pohon besar serta
merta hentikan gerakan mereka. Keduanya tegakkan kepala sesaat, mendesis lalu
meluncur turun ke bawah!
Pemuda yang memegang kapak mustika tarik
nafas lega. Rasa tegangnya lenyap kini. Namun justru disaat itu pula, dibawah
sana tiba-tiba muncul seorang lelaki bertubuh tinggi besar, memelihara berewok
dan kumis melintang yang liar, berpakaian serba hitam, memiliki sepasang mata
besar berwarna kemerahan. Dia tegak di depan pondok dengan mata memandang tak
berkesiap ke arah dara yang terpasung. Di tangan kanannya ada sebuah tongkat
yang ujungnya ditekankan ke tanah dan tingginya hampir sebatas kepalanya.
Tongkat ini berwarna kekuningan, terbuat dari sejenis tembaga.
"Betul rupanya cerita yang aku dengar . . . ."
si tinggi besar berkata dalam hati. "Masih begini belia, memiliki ilmu luar
biasa, sayang kalau tidak dimanfaatkan!"
Dara di dalam pondok memandang menyorot
sambil tangannya mengusap-usap tubuh dua ekor ular kobra. Dua binatang ini
begitu tahu ada orang yang datang, segera angkat kepala dan mendesis siap untuk
menyerang. "Sahabatku, tenang saja kalian. Aku mau tahu manusia kesasar dari mana yang
mencari mati berani datang kemari!"
Mendengar ucapan sang dara, si berewok segera membuka mulut.
"Aku tidak kesasar datang kemari! Aku justru sengaja datang untuk bertemu dan
bicara dengan-mu!"
"Sengaja datang dan ingin bertemu serta bicara" Hik . . . hik . . . hik!
Setahuku yang datang kemari hanyalah orang-orang yang ingin mati!"
"Aku datang bukan mencari mati, tapi mencarimu! Aku punya rencana besar!"
"Rencana besar! Hik . . . hik . .. hik! Rencana berbau maut! Tidakkah kau
melihat mayat-mayat bergeletakan di sekitar tempat ini" Sebagian sudah membusuk.
Ada tiga yang masih segar. Tidakkah hidungmu mencium busuknya bau bangkai"!
Hik .,.. hik . . . hik ... .!"
37 DEWI DALAM PASUNGAN
"Gadis, dengar baik-baik apa yang akan kukata-kan. Aku adalah Ronggo Munggul,
bergelar Tongkat Setan
" "Aih.. kau setan rupanya! Hik . . . hik . .. hik!"
Orang berpakaian serba hitam tampak geram mendengar ucapan dan tawa si gadis.
Tapi dia meneruskan kata-katanya. "Aku adalah datuk segala rampok yang menguasai
sembilan hutan di daerah ini, termasuk hutan dan bukit Jatipadang ini.. . ."
"Walah . . . Kowe rampok rupanya! Muncul disini apa yang hendak kau rampok! Aku
tak punya uang tak punya barang! Apa mau merampok kotoranku yang bertebaran
dibawah lantai papan"! Hik . . . hik . .. hik!"
"Tidak anak gadis, aku tidak akan merampok-mu. Tapi hendak menjadikanmu
kawanku . . ."
"Aku tidak punya kawan selain dua ekor ular ini!" sentak sang dara.
"Baik .. . .baik jika kau tak mau menganggapku kawan! Tapi dengar. Kau akan
kuambil jadi istri
"Istri . . ."!"
"Betul!" Aku punya kepandaian silat, ilmu tongkat yang hebat, puluhan anak buah
dan kesaktian. Tapi apa yang kumiliki tak akan mampu menunjang rencana besarku!
Kau cantik dan punya kesaktian luar biasa. Kita bergabung!
Kita berdua bisa menguasai seluruh daratan Jawa Tengah, bahkan lebih luas dari
itu ...." "Hik . . . hik . . . hik! Yang datang ini orang gila rupanya!" ujar sang dara
pula. Membuat Ronggo Munggul menggeram tapi tak berucap apa-apa hanya pelipisnya
saja yang kelihatan menggembung. "Kau ingin mengambilku jadi istri karena
kecantikanku atau kesaktianku . . .?"
Si gadis ajukan pertanyaan.
"Dua-duanya!" jawab Ronggo Munggul.
"Tidak! Kau harus memilih satu dari dua itu!"
Ronggo Wunggu terdiam. Dalam hatinya dia membatin, biasanya perempuan lebih suka
dipuji. Maka diapun menjawab: "Aku mengambilmu jadi istri karena kau cantik. Ya, karena
parasmu cantik "
"Ha. . . ha... ! Jadi kau bernafas pada diriku..
"Aku suka padamu
" "Kalau begitu majulah tiga langkah
" Ronggo Munggul maju tiga langkah, kini jarak-nya dengan sang dara hanya terpisah
empat langkah. "Kau betul suka padaku.... ?"
Ronggo Munggul mengangguk.
38 DEWI DALAM PASUNGAN
"Jongkoklah. Lihat baik-baik apakah kau suka pada tubuhku" Apakah tubuhku bagus.
. . . ?" Habis berkata begitu sang dara tarik lepas bajunya di bagian dada. Sepasang mata
Ronggo Munggul terbeliak, tenggorokannya turun naik. Dara tak waras itu ternyata
memiliki sepasang payu dara yang putih dan besar padat.
"Aku suka tubuhmu. Tubuhmu bagus.. Mulus. . . "
Sang dara tertawa panjang mendengar kata-kata Ronggo Munggul itu.
"Aku mau tahu apakah kau mampu melepaskan pasungan kedua kakiku
"!" "Apa sulitnya! Akan kuhancurkan balok kayu itu. Sebentar saja kau akan bebas dan
kuboyong ke markasku!" kata Ronggo Munggui pula. Lalu dia siapkan tongkatnya. .
"Tidak . . . Kau tidak boleh menghancurkan kayunya. Tapi harus memutus rantai
besi atau membuka dua buah gembok, atau menghancurkan-nya!"
"Akan kulakukan! Lihat!"
Ronggo angkat tongkatnya tinggi-tinggi. Lalu dengan ujung tongkat dihantamnya
rantai besi di sebelah kanan.
Traang... . ! Tongkat tembaga menghantam rantai besi de ngan keras. Tapi rantai itu tidak
putus, rusak pun tidak. Sebaliknya ujung tongkat Ronggo Munggul tampak bengkok
dan ada yang somplak salah satu bagiannya.
Terkejutlah si Tongkat Setan itu. Sebelumnya jangankan rantai besi, tiang besi
sanggup dibuat putus oleh tongkat tembaganya itu.
Si gadis keluarkan suara tertawa mengejek.
Penasaran Ronggo balikkan tongkatnya. Kini dia menghantam salah satu dari gembok
besi. Kembali terdengar suara traang!
Untuk kedua kalinya Ronggo Munggul kaget
dan berubah parasnya. Dan lagi-lagi ujung tombak nya tampak rusak. Sebenarnya
baik rantai besi maupun gembok atau kura-kura yang mengikat dan mengunci balok
dimana kedua kaki sang dara dipasung dijepit adalah besi biasa, bukan benda
sakti atau benda mustika. Karenanya rantai dan gembok itu dapat dirusak atau
diputus oleh benda atau senjata yang terbuat dari benda keras seperti tongkat
andalan datuk rampok yang menguasai sembilan hutan itu. Akan tetapi rantai dan
gembok telah dialiri kekuatan aneh yang berasal dari tubuh sang dara. Kekuatan
itu dimilikinya sejak sepasang 39 DEWI DALAM PASUNGAN
ular kobra memasukkan racun berbisa ke dalam aliran darahnya lewat ujung-ujung
sepuluh jari! Sang dara tertawa panjang. "Manusia sombong, ternyata kowe hanya satu mahluk tak
ber-guna! Dua sahabatku, bunuh orang itu!"
Dua ekor ular kobra mendesis sambil tegakkan kepala. Rpnggo Munggul mundur dua
langkah. Tongkat tembaga disilangkan di depan dada.
Kalau rantai dan gembok celaka itu tidak mampu dihancurkannya maka dua ular
jahat itu dianggapnya sasaran-sasaran empuk. Begitu dua kobra melesat hendak
mematuknya maka dia sapukan tongkat tembaganya ke depan.
Memang tongkat sang datuk ternyata merupakan senjata hebat. Dari tubuh tongkat
memancar sinar kuning tembaga disertai suara deru angin amat dahsyat. Dua ekor
ular yang melesat di udara seperti membentur tembok tebal. Bukan saja gerakan
mereka mematuk tampak tertahan, tapi keduanya juga ikut tersapu mental ke
samping! Kedua binarang ini jatuh ke tanah, bangkit tegakkan tubuh dan .mendesis. Sang
dara memekik marah. Tangan kanannya diangkat ke atas. Ronggo Munggul yang telah
mendengar banyak tentang kehebatan sekaligus keganasan dara dalam pasungan itu
putar tongkatnya dengan sebat lalu membuat dua kali lompatan dan tahu-tahu sudah
berada di belakang tubuh sang dara!
"Gadis gila! Jika tak mau diajak bekerjasama memang kau layak mampus dari pada
menebar keganasan!" gertak Ronggo Munggul marah. Tombak tembaganya ditusukkan ke
batok kepala sang dara, tepat ditertengahan sebelah belakang. Sebenarnya mudah
saja bagi gadis itu untuk melakukan pukulan atau jentikan maut ke belakang dan
membuhuh datuk rampok itu juga. Tetapi ternyata Ronggo Munggul memiliki limu
aneh yang dapat menipu si gadis. Ilmu itu adalah ilmu "yang disebut"
memindah raga meninggalkan sukma" Tubuh kasarnya bergerak atau berpindah atau
melompat ke tempat lain yakni ke belakang si gadis yang duduk dipasung di lantai
pondok sementara
"bayangan" tubuhnya yang menyerupai bentuk asli tetap berada di tempat semula.
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan tubuh itulah yang dilihat oleh sang dara dan langsung menghantamnya
dengan lima larik sinar hijau. Namun seperti menembus udara kosong seolah-olah hanya
menghantam angin, lima larik sinar maut itu lewat menembus tubuh palsu yang
sebenarnya hanya bayang-bayang 40 DEWI DALAM PASUNGAN
belaka! Dua ekor ular mendesis. Sang dara berteriak marah.
Di sebelah belakang Ronggo Munggul
menyeringai. Ujung tombak dihantamkannya ke batok kepala sang dara.
Di atas pohon dimana dia bersembunyi, pemuda berambut gondrong yang tidak berada
dibawah pengaruh sirapan ilmu kesaktian si datuk rampok, sama sekali tidak
melihat adanya dua sosok tubuh Ronggo Wulung. Tak ada Ronggo Wulung bayangan.
Yang dilihatnya tetap sosok tubuh lelaki itu, sosok tubuh asli atau badan
kasarnya yang mengirimkan serangan membokong dari belakang!
"Datuk sialan! Curang!" teriak si gondrong marah. Tangan kanannya mematahkan
ranting pohon lalu secepat kilat patahan ranting ini dilemparkannya ke arah
Ronggo Munggul yang tegak di bagian belakang pondok, dibawah ujung atap rumbia!
"Ketika ujung tombak hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala sang dara,
patahan ranting melesat deras dan menancap tepat di bahu kanan Ronggo Munggul.
Raja rampok ini menjerit kesakitan. Tongkat tembaganya lepas dan tubuhnya miring
ke kanan, terhuyung-huyung lalu jatuh terjerambab di lantai pondokan, tepat di
depan balok besar dimana sang dara dipasung!
Ronggo Munggul berusaha bangkit Namun
saat itu sang dara sudah jentikkan lima jari tangan kanannya sedang dua ekor
ular kobra telah pula melesat menyerang. Lima larik sinar hijau menembus tubuh
Ronggo Munggul di lima bagian sementara dua ekor ular mematuk di leher dan perut
orang ini. Ronggo Munggul menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat jauh.
Ketika jatuh ke tanah ajalnya sudah melayang dan tubuhnya tampak berwarna hijau!
Sang dara tertawa mengkekeh. Dua ekor ular kobra telah kembali ke dekatnya dan
duduk di-pangkuannya.
Perutku kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang Sang dara hentikan nyanyiannya. Dia memandang berkeliling. Dua ekor ular yang
siap untuk menari mengiringi nyanyian gadis itu hentikan gerakan mereka, ikutikutan memangang berkeliling.
"Eh . . . mengapa kali ini tak ada suara seru-41 DEWI DALAM PASUNGAN
ling mengiring. . . " Apakah pemuda gila itu sudah pergi. . . , Aneh, mungkin
dia tidak gila! Kalau tidak mana mengerti dia menolongku tadi. . . .
Ah, dia pasti marah...."
Sesaat wajah sang dara yang pucat tampak murung. Namun dilain kejap dia kembali
tertawa cekikikan dan menyanyi lagi.
Perutku sudah kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang Saat itu tiba-tiba terdengar suara seruling.
Sang dara tampak gembira. Dua ekor ular menari menjadi-jadi. Sang dara tarik
suara lebih keras.
"Hai! Mengapa tidak meniup suling di hadapan ku sini! Mengapa cuma
sembunyi. .. . !" sang dara berseru.
Dari atas pohon suara seruling berhenti sesaat, berganti jawaban si gondrong.
"Aku takut ular-ular itu. Juga kawatir kau akan menyerangku lagi dengan sinar
hijau mematikan itu!"
"Hik. . . hik. . hik. . Kali pemuda banyak takutnya! Tidak, sahabatku tidak akan
menyerang-mu! Aku juga tidak akan membunuhmu! Ayo turun kemari "
Mendengar ucapan sang dara, pemuda di atas pohon cepat meluncur turun. Sesaat
kemudian dia sudah tegak di depan pondok di hadapan sang dara.
"Duduk di tanah, dekat-dekat di hadapanku ..." sang dara berkata.
Si gondrong mengikuti. Dia duduk bersila di depan pondok, tiga langkah di
hadapan sang dara.
"Hai! Jawab dulu sebetulnya kau ini gila atau tidak...?"
Si gondrong terkesiap dan garuk-garuk kepala.
Dalam hati dia membatin. "Orang gila akan marah kalau dikatakan gila. Tapi kalau
melihat orang yang dianggapnya juga gila pasti dia senang Maka pemuda itupun
menjawab : "Aku memang gila. Aku gendeng! Sableng! Otakku tidak waras!"
"Hik . . . hik . . . hik!" sang dara tertawa gembira.
"Ha ... ha ... ha ...!" si pemuda ikut-ikutan tertawa.
"Sahabatku vang gila, siapa namamu"!" sang dara bertanya.
"Aku Wiro Sableng
" "Aih . .. Aku betul percaya kalau kau memang orang gila. Namamu saja Sableng!
Hik . . . hik ...
hik ... Aih, suling yang kau pegang itu kok begitu"
Aneh bentuknya ...?"
42 DEWI DALAM PASUNGAN
"Suling orang gila memang begini/'
Sang dara kembali tertawa. Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu kembali ikut
tertawa. "Jadi aku ini sudah kau anggap sahabatmu?"
Wiro tiba-tiba bertanya.
"Ya . . . ya! Kini aku punya tiga sahabat! Dua ular kobra, satu lagi kau! Hai
dua sahabatku berbaju hijau ayo lekas berkenalan dengan pemuda gila itu!"
Mendengar ucapan sang dara maka dua ekor
ular meluncur ke arah si pemuda, naik ke atas tubuhnya. Yang satu menggelung
leher dan menjilati seluruh wajahnya termasuk kedua telinga dan tengkuk si
pemuda. Ular satunya lagi menggelung perut, menyusup ke balik baju putih lalu
menjilati dada dan perut serta pusar di pemuda!
Kegelian setengah mati tapi juga ketakutan setengah mati membuat Wiro tak berani
bergerak barang sedikitpun! Mukanya pucat, matanya melotot. Karena tak sanggup
bertahan akhirnya sang pendekar kebobolan di sebelah bawah! Se-langkangan
pakaiannya tampak basah kuyup! Hal ini terlihat oleh' sang dara yang langsung
tertawa cekikikan sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut di pemuda.
"Hik . . . hik . . . hik . . . hik! Kau ngompol!
Kau beser! Wiro Sableng tetap tak berani bergerak.
Sang dara bertepuk tangan. "Dua sahabatku berbaju hijau! Cukup! Sudah cukup
perkenalan kalian dengan sahabat baru itu. Kembali ke pang-kuanku!"
Maka dua ekor ular kobra lalu kembali ke pangkuan sang dara. Wiro yang merasa
nyawanya terbang, tarik nafas lega berulang kali. Dadanya turun naik. Dia
menyengir dan malu sendiri ketika melihat celana putihnya yang basah.
Setelah batuk-batuk beberapa kali dan mengusap mukanya yang keringatan, Wiro
berkata : "Sahabat, terima kasih kau dan ular-ularmu itu mau bersahabat denganku. Aku
sudah menerang-kan namaku. Kau sudah tahu kalau aku pemuda gila bernama Wiro
Sableng. Apakah aku boleh tahu siapa kau ini sebenarnya" Siapa namamu .. .?"
Sang dara cekikikan. Tapi hanya sebentar.
Setelah menjambak rambutnya beberapa kali dia berkata : "Mana aku tahu namaku
sendiri. Apakah aku punya nama, apakah ada orang yang memberiku nama! Aku tidak
tahu! Aku lupa Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia 43 DEWI DALAM PASUNGAN
membatin. Orang gila betapapun tidak warasnya tetap senang akan sesuatu yang
bagus. Dan seorang perempuan suka akan pujian! Maka murid Sinto Gendeng inipun
berkata. "Jika kau memang tidak bernama atau lupa namamu sendiri, maukah jika
aku memberikan nama bagus padamu . .?"
Sang dara yang bernama Yuniarti, puteri hartawan Tambakjati Kalidiningrat itu
tertawa geli. "Dasar orang gila! Apa kau kira aku ini orok yang baru lahir lalu
diberi nama . . .?"
"Tentu saja tidak sahabatku yang cantik,"
jawab Wiro seraya memuji. "Tapi rasanya tidak enak kalau seseorang tak punya
nama. Percayalah aku akan memberikan nama bagus dan cocok untukmu!"
"Kalau tidak cocok dan bagus, akan kubunuh kau!"
"Ah . . . ah . . .! Bukankah kita bersahabat"
Sesama sahabat tak boleh membunuh. Betul kan
.. ."!"
"Baiklah! Katakan nama apa yang akan kau berikan padaku, sahabatku yang gila!"
"Dewi! Nama itu cocok dan bagus untukmu!
Kau suka nama Dewi itu" Pasti suka!"
Sang dara terdiam sejenak. Seperti berpikir-pikir. Lalu meledak tawanya. "Baik .
. . baik . . . Aku terima nama itu. Memang bagus tapi aku tidak tahu apa cocok untukku!"
"Tentu cocok. Kau pandai dan kau cantik!
Hanya seorang Dewi yang berkemampuan seperti itu! Nah, aku masih ada pertanyaan.
Sahabatku Dewi, kau ini sebenarnya berasal dari mana" Siapa yang membawamu ke
tempat ini "Pertanyaanmu susah! Aku tak mampu menjawab!"
"Kau pasti mampu! Kau seorang Dewi!"
Sang dara menarik nafas panjang. "Baiklah, aku akan menjawab. Aku berasa! dari
Kerajaan Majapahit. Dibawa ke mari oleh para dayang-dayang dan dijadikan ratu di
hutan Jatipadang ini! Hik . . . hik . . . hik
Wiro hanya bisa garuk garuk kepala mendengar jawaban ngawur itu. Daiam hatinya
dia merasa sangat hiba. Bagaimana gadis sebelia ini, berparas jelita dipasung
dan dikucilkan di tempat ini. Dia berpikir keras. Kalau saja dia bisa
menyembuhkan penyakit sahabatnya itu hatinya akan sangat bahagia. Sang dara
pasti punya kampung halaman, punya orang tua. Dan kalau dia bisa kembali ke
orang tuanya .... Tiba tiba dia ingat sahabatnya 44 DEWI DALAM PASUNGAN
kakek aneh sakti berpengetahuan sangat luas bernama Si Segaia Tahu.
"Aku harus menemui orang tua itu. Mencarinya sampai dapat. Meminta bantuannya.
Mudah-mudahan saja kakek itu belum mati . . .!"
"Hai! Orang gila! Kenapa kau melamun" Ayo aku mau menyanyi! Kau meniup suling
dan dua sahabat berbaju hijau menari!"
Wiro menganggukkan kepala lalu berkata :
"Sehabis puas menyanyi aku akan mohon diri.
Tapi aku berjanji akan kembali ke mari lagi. Boleh ya ... ?"
45 DEWI DALAM PASUNGAN
TUJUH T UMENGGUNG GIRI JOLO lebih muda pe-nampilannya dari usianya yang sebenarnya.
Dalam usia hampir enam puluh Tumenggung ini kelihatan masih tegap, gesit gerak
geriknya, pendengaran maupun kedua matanya masih tajam. Saat itu Giri Jolo duduk
di pendopo rumah besar kediamannya yang terletak di luar Kotaraja, pada sebuah
bukit yang halamannya luasnya ditumbuhi rumput.
Wajahnya jelas tampak gelisah. Sebetar-sebentar dia tegak dari kursi, melangkah
mundar mandir, me-nyulut rokok tapi tidak menghisap malah mem-buangnya.
"Tinggal satu bulan lagi Sri Baginda akan mengambil keputusan. Aku atau si
Boyolali! Heran!
Mengapa Sri Baginda bisa berubah pikiran seperti itu! Dulu dia menyatakan secara
tak langsung bahwa kedudukan itu hanya aku calon tunggalnya.
Tahu-tahu kini beliau mengatakan akan memilih aku atau Kalidiningrat Heran
benar-benar mengherankan!"
"Pasti ada yang menghasut Tumenggung,"
berkata lelaki tua yang duduk bersila dilantai. Dia adalah Kali Roso orang
kepercayaan sang Tumenggung yang telah ikut Giri Jolo sejak tiga puluh tahun
lalu. "Kalidiningrat. . . . Kalidiningrat! Tahu apa dia urusan Kerajaan dan Kadipaten!
Dia hanya sibuk mengurus harta benda dan kekayaan! Mencari uang! Kalau dia jadi
Adipati pasti rakyat akan dipa-jakinya tinggi-tinggi. Bisa celaka! Dan saat ini
dia telah menggunakan kekayaannya untuk memiliki ilmu, membayar jago-jago silat
bahkan orang-orang sakti. Di rumahnya bertumpuk berbagai senjata keramat! Semua
untuk memagari dirinya dan keluarganya! Berkali-kali aku berusaha untuk
menyingkirkannya tapi gagal. Bahkan orang-orang-ku menemui kematian! Benar-benar
keparat si Kalidiningrat itu .. .."
"Tapi jika Embah Jaliteng berhasil dengan rencana besarnya. Tumenggung tak usah
kawatir. Kalidiningrat akan kita singkirkan. Dan jabatan Adipati Boyolali akan jatuh ke
tangan Tumenggung!"
"Embah Jaliteng! Dua bulan yang lalu kita menghubunginya! Sampai saat ini
kabarpun tidak, apalagi muncul!" sungut Tumenggung Giri Jolo.
46 DEWI DALAM PASUNGAN
"Embah Jaiiteng bukan orang sembarangan Tumenggung. Tiga puluh tahun Samanya dia
ber-tapa di pantai selatan. Kesaktiannya luar biasa.
Akalnya seribu satu. Dan ini yang penting. Dalam bertindak dia selalu menyirap
kabar, memata-matai calon korban, bertindak hati-hati dan matang agar tujuan
tercapai dengan sebaik-baiknya
"Nama besarnya sudah kudengar. Tapi tak ada gunanya kalau dia tak pernah muncul
disini Jauh di kaki bukit terdengar suara derap kaki kuda. Makin tinggi kuda itu
mendaki menuju tempat kediaman Giri Jolo makin jelas kelihatan binatang itu
bersama penunggangnya.
"Tumenggung! Lihat siapa yang datang!" berseru Kali Roso seraya berdiri.
Tumenggung Giri Jolo memandang ke arah lereng bukit rumput. Matanya melihat
penunggang kuda itu. Seorang kakek berpakaian serba putih, memelihara janggut
dan kumis panjang putih, tetapi kepalanya plontos alias botak licin berkilat.
"Embah Jaliteng! Beliau datang Tumenggung!"
seru Kali Roso.
Paras Tumenggung Giri Jolo tampak qembira.
"Ah, akhirnya datang juga orang pandai ini!"
ujar sang Tumenggung Sslu turun dari pendopo guna menyambut kedatangan tamu yang
memang menjadi harapannya terakhir.
******* DI DALAM ruangan terkunci itu Kali Roso duduk di tikar sedang Embah Jaliteng dan
Tumenggung Giri Jolo duduk di kursi berhadap-hadapan.
"Nah, rencana yang barusan saya tuturkan itu, sudah jelaskah bagi Tumenggung?"
bertanya Embah Jaliteng.
"Jelas sekali dan saya setuju sekali!" sahut Giri Jolo. "Tapi apakah Embah yakin
betul bahwa gadis gila yang dipasung dan memiliki kesaktian luar biasa itu
adalah benar-benar puteri tunggal Kalidiningrat yang dikabarkan meninggal satu
setengah tahun lalu ... ?"
"Saya sudah menyelidik Tumenggung. Saya sudah mendapat petunjuk bagaimana
menjinakkan gadis berbahaya itu. Kita akan memperalatnya untuk membunuh ayahnya
sendiri!" "Aku percaya Embah akan berhasil." Tumenggung Giri Jolo merasa puas.
47 DEWI DALAM PASUNGAN
"Saya perlu enam orang pembantu yang bertubuh kekar Tumenggung
"Untuk apa Embah?"
"Tumenggung akan tahu sendiri nanti!" jawab Jaliteng.
DI DALAM pondok Yuniarti yang oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng diberi nama Dew, sambil menyanyi-nyanyi kecil. Hari
itu adalah hari ke dua puluh Wiro meninggalkannya. Kira-kira seratus langkah ke
bawah bukit, di satu tempat Embah Jaliteng yang ditemani oleh enam orang lelaki
berbadan tegap kekar duduk mencangkung membakar kemenyan dan menaburnya pada api
pedupaan yang diletakkan di tanah. Kedua matanya ter-pejam, mulutnya berkomat
kamit melafalkan man tera. Asap pedupaan yang menebar bau harumnya kemenyan
membubung ke udara. Makin lama makin tinggi.
Sambil membuka kedua matanya Embah Jaliteng bangkit berdiri perlahan-lahan.
"Asap harum membubunglah tinggi! Naik ke puncak bukit, pergi ke pondok itu.
Saputi empat penjuru pondok. Saputi tubuh anak manusia yang ada di dalamnya.
Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sirap-sirap-sirap. Semua akan sirap
dalam keharuman asap mu. Yang ganas jadi jinak.
Yang jahat jadi baik. Darah panas jadi beku. Sirap-sirap-sirap
" Lalu Embah Jaliteng meniup ke
depan tiada putus-putusnya. Ketika api pendupaan padam dan asap tak ada lagi
yang mengepul maka orang tua ini memberi isyarat pada enam lelaki yang ada di
belakangnya. "Ikuti aku!"
Enam orang lelaki bertubuh kekar itu mengikuti si orang tua mendaki ke puncak
bukit Jatipadang. Hingga akhirnya sampai di pondok dimana Dewi dipasung. Saat
itu sang dara tampak terbaring seperti tidur. Asap berbau kemenyan tampak
mengambang di tempat itu. Sang dara sebenarnya bukan sedang tidur tapi berada di
bawah pengaruh sirap yang dibuat Embah Jaliteng. Hanya dengan membuat Dewi
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada dalam keadaan lumpuh tak berdaya seperti itu orang tua ini mampu
melakukan apa yang akan direncanakannya. Selama si gadis berada dalam keadaan
sadar, tak satu keku-atanpun sanggup menghadapi sinar hijau berbisa yang setiap
saat bisa dijentikkannya. Hai ini diketahui betul oleh kakek yang cerdik itu.
"Tanggalkan tiang-tiang pondok! Lemparkan 48 DEWI DALAM PASUNGAN
atap rumbia!" Embah Jaliteng memerintah.
Enam orang lelaki bekerja cepat. Sebentar saja pondok itu hanya tinggal
lantainya saja.
"Dengar baik-baik," kata Embah Jaliteng pula. "Gadis ini akan kita bawa ke rumah
hartawan Kalidiningrat di selatan Kotaraja. Jika kita berangkat saat ini juga,
besok sebelum matahari terbit kita sudah bisa sampai di sana! Empat orang dari
kalian harus memanggul gadis itu bersama-sama lantai tempat ketidurannya! Dua
lainnya ber-tugas merabas semak belukar membuka jalan!"
"Orang tua, aku sanggup mendukung gadis ini sendirian. Mengapa tidak dilepaskan
saja ikatan rantai besi itu" Bukankah lebih mudah mendukungnya dari pada
menggotong bersama lantai papan yang kotor dan bau ini"'' Salah seorang dari
enam lelaki itu berkata.
Embah Jaliteng tersenyum. "Anak muda bertubuh kekar. Mauku seperti maumu juga.
Tapi rantai besi dan gemboknya itu berada dalam pengaruh kekuatan tenaga dalam
si gadis. Walaupun dia dalam keadaan tak berdaya, kekuatan tenaga dalam itu tak
bisa sirna selama tujuh hari tujuh malam.
Kalau kau tak percaya siiahkan coba sendiri!"
Embah Jaliteng lalu menyerahkan sebilah golok besar kepada lelaki muda yang tadi
bicara. Begitu menerima golok, si pemuda langsung membacok rantai besi yang
mengikat balok besar tempat menjepit sepasang kaki Dewi.
Traang! Golok itu patah dua dan mental. Si pembacok merasakan tangannya panas dan
tubuhnya ber-gerar hebat. Mukanya pucat. Dia mundur beberapa langkah sambil
urut-urut tangan kanannya dengan tangan kiri.
Embah Jaliteng kembali tersenyum. Dia menunjuk pada mayat-mayat membusuk yang
sebagian besar hanya tinggal tulang belulang.
"Mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi, memiliki tenaga dalam dan
kesaktian. Nyatanya mereka dipaksa meregang nyawa oleh kekuatan gadis dalam pasungan itu!
Nah, kita tidak punya waktu banyak. Panggul lantai papan itu.
Begitu sampai di tempat kediaman hartawan Kalidiningrat letakkan di halaman
depan lalu cepat-cepat kalian tinggalkan tempat itu! Mengerti!"
Semua menjawab mengerti. Maka empat orang lelaki lalu mengangkat lantai papan di
mana Dewi alias Yuniarti terlelap di bawah pengaruh sirapan Embah Jeliteng.
49 DEWI DALAM PASUNGAN
DELAPAN D INI HARI, Jum'at Kliwon. Udara dingin mencucuk..tulang sungsum. Enam orang
lelaki berlari cepat memanggul lantai papan diatas mana masih menggeletak sosok
tubuh Yuniarti atau Dewi.
Gadis tidak waras itu berada diujung pengaruh sirap Embah Jaliteng, antara sadar
dan tiada. Ke-enam orang itu melarikan Dewi menuju ke luar Kotaraja sebelah
selatan. Embah Jaliteng yang mengikuti dengan menunggu kuda merasa sangat kawati r kalaukaiau sang dara lebih dulu sadar sebelum mencapai tempat kediaman Tambakjati
Kalidiningrat. Kalau hal ini sampai terjadi mereka semua akan menemui kematian!
Pasti dibunuh oleh dara berotak miring berilmu sangat tinggi itu. Karenanya si
orang tua tiada henti berteriak agar ke enam penggotong lantai papan mempercepat
lari mereka. Ketika ayam berkokok di sebelah timur, mereka akhirnya sampai juga di pintu
gerbang rumah besar kediaman hartawan Kalidiningrat. Seorang pengawal yang bei
tugas malam itu dan tengah ter-kantuk-kantuk serta merta bangkit dari tempak
penjagaannya sewaktu melihat ada enam orang tak dikenal di iringi seorang kakek
menunggang kuda, lari memasuki pintu gerbang, menggotong sesosok tubuh yang
menggeletak diatas papan.
"Hai! Berhenti! Siapa kalian!Apa yang kalian bawa itu!" pengawal berteriak
seraya mencabut goloknya. Tetapi kesiap siagaan pengawai ini hanya sampai
disitu. Walau dia memiliki ilmu silat luar yang cukup tangguh namun ketika kaki
kanan Limbah Jaliteng menghantam batang lehernya terdengar suara kraak! Pengawal
itu roboh tanpa nyawa lagi!
Lekas letakkan gadis itu di depan tangga sana!"
berkata Embah Jaliteng.
Sesuai perintah ke enam penggotong Dewi yang masih terpasung pada balok besar,
meletakkan lantai papan di depan tangga. Dari balik pakaian putihnya Embah
Jaliteng keluarkan sebuah kantong yang mengeluarkan suara berdering. Kantong
berisi uang itu dilemparkannya ke hadapan enam orang lelaki bertubuh kekar.
"Ambil uang itu!
Bagi-bagi yang rata! Dan lekas minggat dari tempat ini!" lalu mendahului ke enam
orang tersebut Embah Jaliteng bedal kuda tunggangannya. Ketika 50 DEWI DALAM
PASUNGAN anjing terdengar menyalak di kejauhan tempat itu kembali dibungkus kesunyisenyapan. Justru saat itulah Dewi yang berada diatas lantai papan mulai siuman
dan membuka matanya. Dia merasa heran melihat langit biru diatasnya. Dara ini
memandang berkeliling lalu bangkit perlahan-lahan dan memandang lagi kian
kemari. Dia tidak mengetahui berada dimana saat itu. Bahkan dia tidak mengenal
rumah besar dimana dulu dia pernah tinggal disitu.
Gadis ini jambak-jambak rambutnya. Menggeliat beberapa kali. Ketika dikejauhan
terdengar lagi anjing menyalak panjang dia menirukan suara salakan itu. Sewaktu
di kejauhan terdengar suara ayam berkokok diapun lalu menirukan kokok ayam itu!
Karena sang dara memiliki kekuatan gaib di dalam tubuhnya maka tentu saja suara
lolongan anjing dan kokok ayam yang ditirunya menggena keras bahkan menggidikkan
siapa saja yang mendengar. Di timur mulai tampak cahaya kekuningan tanda sang
suirya sebentar lagi akan segera muncul.
'Saat itulah dari dalam rumah besar berkelebat tiga bayangan. Gerakan mereka
gesit sekali dan dengan cepat sudah berada di tangga depan, mengurung Dewi yang
masih kebingungan terduduk di lantai papan.
"Kukuruyukkkkkkkkkkkkk . . . Kukuruyukk. .
Aung... aung. .. aunggg.: . .. "
"Gembel gila! Bagaimana kau bisa berada di tempat ini"!" Salah satu dari tiga
orang itu membentak. Ketiganya adalah para pengawal hartawan Kalidiningrat yang
memiliki kepandaian silat dan tenaga dalam tinggi.
"Kau menyebutku gembel gila?" Dewi dalam pasungan menegur lalu tertawa
cekikikan. Salah seorang pengawal berbisik pada kawannya. "Lihat, kedua kakinya terjepit
dalam balok besar yang diikat rantai dan gembok besi. Tak mungkin dia sampai
sendiri kemari. Pasti ada yang membawanya. Hai lihat. . . . Disebelah sana
petugas jaga malam kulihat menggeletak!" Orang ini cepat berlari ke pintu
gerbang sementara Dewi masih terus mengumbar suara tertawa. Orang yang
menyelidiki ke pintu gerbang kembali dengan nafas mengengah. "Petugas jaga itu
mati. Lehernya patah!"
"Gembel gila! Hentikan tertawamu!"
Suara tawa Dewi lenyap. Bukan karena bentak kan itu tapi karena otak tidak
warasnya mulai berpikir tentang maut! Dara menyeringai.
"Dua kali kau menyebut aku gembel gilai 51 DEWI DALAM PASUNGAN
Sudah lebih dari cukup! Mampuslah!"
Dua jari tangan kirinya dijentikkan. Dua sinar hijau menderu dalam udara terang
tanah. Pengawal yang menjadi sasaran serangan terpekik. Tubuhnya terpental lalu
roboh dengan dua bintik hijau dikening. Seperti kejadian yang sudah-sudah
pengawal ini mati dengan tubuh berwarna hijau!
Melihat hal ini, dua kawannya berteriak marah.
Satu melompat sambil ulurkan tangan, maksudnya hendak menjambak rambut sang
dara. Satunya lagi dengan kalap sudah lebih dulu kirimkan tendangan ke dada Dewi
"Gembel gila! Mampus kau!"
Sang dara perdengarkan kembali suara tawanya yang melengking cekikikan. Bersama
dengan itu tangannya kiri kanan dijentikkan. Lima larik sinar hijau berkiblat
dari masing-masing tangan. Dan terdengarlah pekik dua pengawal berkepandaian
tinggi itu. Tubuh keduanya terpental. Satu terlem-par ke langkan rumah, satunya
lagi terguling di-halaman. Keduanya mati dengan cara yang sama.
Lima bintik maut pada tubuh masing-masing yang kini berwarna hijau!
Embok Guminten bekerja sebagai pelayan di rumah kediaman hartawan Tambakjati
Kalidiningrat. Dia merupakan satu dari empat pelayan yang bekerja disitu dan
yang paling lama yakni seumur Yuniarti. Karena sejak kecil'di a juga dipercayai
untuk mengasuh Yuniarti mak a bagaimanapun keadaan sang dara pelayan ini tak
balak bisa pangling.
Pagi itu embok Guminten seperti biasanya bangun lebih dahulu dari pelayan-pe
layan lainnya, tentunya juga lebih dahulu dari suami istri Kalidiningrat.
Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan pelayan ini setengah berlari segera
membuka pintu depan. Bukan tiga sosok mayat pengawal yang membuatnya menjerit
ketakutan, tapi sosok tubuh gadis yang terpasung di dekat tangga depan yang
membuat perempuan ini berteriak dan menggigil. Wajah gadis itu adalah wajah
mendiang Yuniarti, putri majikannya yang meninggal dunia satu setengah tahun
lalu akibat sakit sampar. Kini gadis itu muncul dalam keadaan seperti itu. Tidak
dapat tidak pasti itu adalah setannya! Arwahnya yang gentayangan!
Embok Guminten menjerit lagi lalu menghambur lari ke dalam rumah. Hampir saja
dia berta-brakkan dengan majikan perempuannya di ruang tengah.
"Embok Guminten. . . Ada apa kau seperti 52 DEWI DALAM PASUNGAN
orang dikejar setan. ..." menegur istri hartawan Kalidiningrat.
"Setan. . . memang ada setan Jeng Ayu. Setan .
setannya Den Ayu Yuniarti...." jawab si pelayar; seraya menunjuk-nunjuk ke
bagian depan rumah.
"Jangan bicara melantur pagi-pagi begini embok Guminten!" ujar istri hartawan
Kalidiningrat. "Kau membuat kacau saja.. . "
"Demi Tuhan Jeng Ayu. Silahkan Jeng Ayu melihat sendiri ke depan. .. .!"
Antara percaya dan tidak akhirnya sang majikan melangkah juga menuju bagian
depan rumah dan membuka pintu yang tadi dibantingkan si pelayan. Saat itu hari telah mulai
terang karena di timur matahari telah terbit. Pintu terbuka lebar.
Istri hartawan Kalidiningrat melangkah ke langkan depan dan saat itu pula
langkahnya tertahan.
"Ya Gusti Allah. . . betulkah itu . . . betulkah itu dia.
. . " Anakku Yuniarti... Yuniarti!" Perempuan itu menjerit tapi tak berani
mendekat. Dia menjerit lagi, membuat Tambakjati suaminya terbangun. Lelaki ini
segera menyambar beberapa senjata pusaka dan menyisipkan di pinggang baru
membuka pintu kamar dan menghambur ke luar.
Saat itu beberapa orang pengawal telah pula ber-datangan dan segera mengurung
Dewi sementara beberapa orang lainnya menggotong empat mayat yang bergelimpang
di halaman depan itu.
"Apa yang terjadi" Ada apa"! Hartawan Tambakjati Kalidiningrat bertanya tegang.
Sang istri yang masih menjerit-jerit langsung menubruk suaminya.
Sebelum sempat mengatakan sesuatu perempuan ini sudah rubuh pingsan Tambakjati
berteriak memanggil pelayan perempuan. Istrinya segera dibawa masuk dan
dibaringkan diatas ranjang.
Tambakjati sendiri segera melompati anak tangga dan menyeruak diantara kerumunan
para pengawal. Sepasang mata hartawan ini terpentang lebar. Tubuhnya menggigil.
Ada rasa kerinduan yang menusuk yang membuatnya ingin memeluk gadis yang duduk
terpasung itu. Tetapi perasaannya yang lain mengatakan bahwa gadis itu bukanlah
Yuniarti, melainkan hantu atau setannya.
Namun apakah ada setan atau hantu yang menunjukkan diri seperti itu dipagi hari
yang mulai terang itu" Untuk memperkuat hatinya Tambakjati pegang keris pusaka
di pinggangnya. Dia melangkah lebih dekat. Gerakannya tertahan ketika tiba-tiba
terdengar suara tawa panjang mengerikan. Para 53 DEWI DALAM PASUNGAN
pengawal bersibak. Kemudian terjadilah hal yang hebat. Tambakjati sempat melihat
ada beberapa larik sinar hijau berkiblat. Lalu tiga pengawal terbanting ke
tanah. Tubuh mereka berwarna hijau.
Tak berkutik lagi alias mati! Melihat ini para pengawal lainnya segera
berhamburan lari. Namun hanya seorang yang bisa selamat. Empat lainnya roboh
hampir bersamaan ketika larikan-larikan sinar hijau yang keluar menyambar dari
ujung-ujung jari sang dara menghantam tubuh mereka.
Kini tinggal Tambakjati Kalidiningrat tegak sendiri sambil memegang sebilah
keris keramat berluk tujuh yang memancarkan sinar hitam redup.
"Manusia memegang keris! Giliranmu mati sekarang! Makin banyak yang kubunuh
makin se-nanghatiku! Sayang kawan-kawanku tak ada ditempat ini! Sayang mereka
tak bisa menyaksikan!
Hik. .hik. .hikk. . .!"
"Yuniari! Yuniarti!" teriak Tambakjati. Tubuhnya terduduk berlutut di hadapan
anaknya sendiri.
"Yuniarti anakku! Aku ayahmu nak! Aku ayahmu!"
"Ayah. ... "! Hik. . .hik. . .hik! Apa itu ayah"
Aku tak punya ayah tak punya ibu! Aku hanya punya tiga orang sahabat! Mereka tak
ada disini! Kau dengar itu lelaki yang memegang keris
?" "Yuniarti. . . 'Gusti Allah Ampuni segala dosaku Tuhan! Anakku ampuni dosa
ayahmu ini! Semua ini terjadi karena kebodohanku! Karena hatiku yang terlalu sombong dan
pongah tapi tak berani menghadapi kenyataan. Yuniarti "
Tambakjati ulurkan kedua tangannya hendak me rangkul anak gadisnya.
Tapi sang dara sendiri hanya tertawa cekikikan lalu mengangkat tangan kanannya.
"Kau layak mampus! Kau layak mampus siapapun kau adanya!"
"Aku bersedia mati ditanganmu Yuniarti!
Aku ikhlas kau bunuh! Dosaku terhadapmu terlalu besar anakku! Tapi biar kuambil
dulu kunci gembok itu. Biar kubuka?"
54 DEWI DALAM PASUNGAN
SEMBI LAN D UA BAYANGAN putih tampak berkelebat menuju puncak bukit Jatipadang. Di sebolah
depan adalah seorang pemuda gondrong yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di belakangnya mengikuti seorang kakek berpakaian putih, mengenakan kopiah putih
berbentuk aneh dan memanggul sebuah kantong besar terbuat dari kain putih. Di
tangan kanannya kakek ini memegang sebatang tongkat kecil. Sambil berlari
tongkat itu selalu diayunkannya kian ke mari hingga pakaian dan kulit tubuhnya
tidak sekalipun kena terkait duri pepohonan atau semak belukar. Ber-lainan
dengan Wiro yang lari laksana dikejar setan, pakaiannya habis robek-robek dan
kulitnya ber-gurat-gurat diserandung onak dan duri.
Begitu sampai di puncak bukit murid Sinto Gendeng itu jadi terperangah dan
memandang berkeliling sampai pandangannya membentur si kakek.
"Heh ... eh! Mana gadis cantik berotak tidak waras yang katamu dipasung di
puncak bukit ini. .."!" si kakek bertanya.
"Aneh!" sahut Wiro.
"Apa yang aneh"!" tanya si kakek.
"Lihat di bagian sana. Di situ sebelumnya berdiri pondok beratap rumbia* itu.
Kini hanya tampak tiangnya malang melintang. Lalu atapnya terhampar di sebelah
sana. Gadis itu sendiri lenyap!
Lenyap bersama lantai papan dan balok pasungannya!"
"Kau tidak bergurau atau main-main padaku anak muda?" si kakek bertanya dengan
nada tidak enak.
"Disambar petir aku kalau berani mempermain kanmu Raja Obat! Lima hari lima
malam aku mencari sahabatku Si Segala Tahu. Dia menunjukkan tempat di mana aku
bisa menemuimu. Satu minggu lebih aku mencarimu! Kalau ingin mempermainkan
mengapa aku mau bersusah payah mengadakan perjalanan jauh dan selama itu" Pasti
ada yang telah menculik Dewi sahabatku itu!"
Si kakek gelengkan, "Enak betul, bau
busuk di tempat ini," lalu dia menyambung : "Dengar anak muda kalau ada yang
menculik gadis sahabatmu itu, tentu membawanya
55 DEWI DALAM PASUNGAN
bersama sama balok pasungannya, bukankan gadis itu katamu dipasung pada sebuah
balok besar dan diikat dengan rantai besi . . ."!"
"Aku tak tahu bagaimana kejadiannya tapi jelas sahabatku itu dilarikan orang!
celaka ke mana aku harus mencari. Ah kasihan! Gadis ,tu tak akan pernah bisa
disembuhkan!"
Si kakek yang bergelar Raja Obat bantingan kantong besar yang dibawanya ke tanah
lalu duduk di atas kantong itu. Tiba-tiba dia terlompat. Dari arah semak belukar
sebelah kanan terdengar suara mendesis. Lalu muncullah dua ekor utar kobra
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna hijau!
"Sahabat-sahabatku!" seru Wiro ketika melihat munculnya dua binatang itu.
Langsung saja dia mendatangi, berlutut di tanah dan ulurkan kedua tangannya. Si
kakek terheran-heran dan juga ngeri ketika menyaksikan bagaimana dua ekor ular
kobra yang sangat berbisa itu naik ke atas lengannya kiri kanan lalu bergelung
di bahu sambil menjilati leher dan wajahnya.
"Sahabat-sahabatku, dengar. Kita kehilangan Dewi. Gadis sahabat kita itu lenyap!
Tak tahu entah ke mana! Kita harus mencarinya! Kalian berdua punya penciuman
tajam! Kalian pasti bisa membaui jalan yang dilewati Dewi. Kita harus
mengejarnya, kita harus menemukannya!"
Sepasang ular kobra goyang-goyangkan kepala tanda mengerti. Kedua binatang ini
meluncur turun, tegak setengah badan di tanah, menatap ke arah kakek yang duduk
di atas kantong.
"Orang tua itu sahabatku. Jadi sahabat kalian juga. Jangan diserang! Dia Raja
Obat yang akan menolong menyembuhkan Dewi
Dua ekor ular kembali goyang-goyangkan kepala.
Lalu turunkan tubuh dan meluncur ke arah semak-semak. Wiro memberi isyarat pada
si Raja Obat dan berkata : "Ayo, tunggu apa lagi! Dua sahabatku itu pasti tahu
ke arah mana perginya Dewi!"
Raja Obat geleng-geleng kepala tapi berdiri juga. "Dunia ini sungguh aneh! Tapi
hari ini baru aku tahu kalau ada ular berbahaya jadi sahabat anak manusia
sepertimu. Dan pandai pula menjadi penunjuk jalan!"
******* MENJELANG pagi Wiro dan si Raja Obat
56 DEWI DALAM PASUNGAN
semula menduga dua ular kobra itu akan membawa mereka memasuki Kotaraja.
Ternyata sepasang binatang ini di luar Kotaraja membelok ke arah selatan. Kedua
orang itu terus mengikuti sepasang ular yang meluncur di tanah, bergerak dalam
kecepatan luar biasa.
Di selatan Kotaraja dua binatang itu masuk ke sebuah rumah besar berhalaman luas
berumput. Saat itu hari telah terang tanah hingga baik si Raja Obat maupun Wiro dengan
cepat dapat menyaksikan keadaan di tempat itu dengan jelas.
Lebih dari setengah lusin mayat bergelimpang-an malang melintang mulai dari
pintu gerbang sampai tangga depan rumah besar. Dan di depan tangga itu pula Wiro
melihat Dewi duduk di atas papan tengah bersilat kata dengan seorang laki-laki
yang dari ucapan orang itu jelas dia adalah ayah Dewi. Karena pikirannya yang
tidak waras, si gadis tidak perduli siapa adanya lelaki itu bahkan siap untuk
membunuhnya dengan pukulan maut larikan-larikan sinar hijau!
"Dewi! Kami sahabat-sahabatmu datang!" Wiro berseru. Seruan ini membuat Dewi
hentikan gerakan tangannya. Hartawan Tambakjati Kalidiningrat yang semula hendak
masuk ke dalam rumah guna mengambil kunci gembok hentikan gerakan langkahnya dan
berpaling memperhatikan kedatangan dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit
ngeri ketika melihat dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit ngeri ketika
melihat dua ekor ular kobra yang sangat berbahaya meluncur di atas tubuh
puterinya, memagut gadis itu dan menjilati wajahnya!
"Kalian datang .... Kalian datang! Hatiku senang! Ayo bawa aku pulang!"
"Anakku! Ini rumahmu. Di sini tempat tinggalmu.
Hanya ke rumah ini kau akan pulang Yuni
arti!" "Manusia banyak mulut! Namaku bukan Yuni arti tapi Dewi! Hai tadi aku hendak
membunuhmu! Biar kuteruskan maksudku!" si gadis angkat tangan kanannya.
Wiro cepat pegang lengan gadis itu seraya berkata : "Sahabatku, dengar ... Kau
tak boleh membunuh orang itu. Dia ayahmu . .
"Perduli amat! Aku tidak punya ayah! Dia harus kubunuh!"
"Jangan . . . Jangan bunuh! Orang itu sahabatku. Berarti sahabatmu juga .. . ."
Dewi terdiam sesaat. "Kau bohong!" bentak-57 DEWI DALAM PASUNGAN
nya tiba-tiba. "Tidak, aku tidak boliong! Kau tak boleh membunuhnya. Dengar, ikuti kata-kataku.
Nanti akan kubawa kau kembali ke pondok di bukit Jatipadang . . . ."
"Pondok itu sudah dirusak orang-orang jahat!
Aku sempat melihat sebelum aku tertidur
"Aku akan buatkan pondok baru untukmu.
Lebih bagus .... Asal kau tidak membunuh lelaki yang memegang keris itu . . . ."
"Hik . . . hik . . . Baiklah, aku menurut katamu. Eh sahabat, apakah kau masih
suka ngompol seperti dulu . . .?"
"Tidak , . . aku tak pernah ngompol lagi. Aku sudah besar sekarang!" Kedua orang
itu lalu tertawa gelak-gelak sementara Tambakjati tak habis pikir menyaksikan
kejadian itu sedang si Raja Obat hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kalian ini siapa . . .?" Tambakjati akhirnya bertanya.
"Bukan saatnya berbincang bincang!" menjawab Wiro. Lalu dengan suara lebih
perlahan dia berkata : "Tadi kau hendak mengambil kunci gembok ini! Pergilah
ambil! Kawanku kakek tua bertopi putih itu akan mencoba menyembuhkan penyakit
anakmu!" Bagi Tambakjati Kalidiningrat sulit dipercaya kalau kakek tak dikenalnya itu
akan sanggup ../ongobati puterinya. Sebelumnya sudah banyak dukun besar, para ahli pengobatan
dan orang-orang sakti telah mencoba mengobati Yuniarti tapi semua sia-sia
belaka. Tak seorangpun berhasil.
Wiro berpaling pada si Raja Obat dan bertanya : "Kau telah melihat keadaan
sahabatku ini! Bagaimana pendapatmu! Kau sanggup me-nyembuhkannya ...?"
Raja Obat usap-usap pipinya lalu jatuhkan kantong kainnya dan duduk di atasnya.
Dia merenung beberapa lama. Tambakjati datang mendekat dan memegang bahu si
orang tua. "Orang tua, aku tak kenal padamu. Apakah benar kau akan mengobati anakku" Apakah
kau sanggup melakukannya.... ?"
"Dengan izin Allah aku akan mencoba! Mudah-mudahan Tuhan memberkati putrimu.
Ketahuilah anak gadismu itu memang tidak waras. Tapi dia begitu bukan karena
diobati atau diguna-guna orang. Kedua matanya memancarkan sinar murni pertanda
jiwanya tidak sakit. Hanya kurasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya
dise-58 DEWI DALAM PASUNGAN
belah dalam. Biar aku merenung untuk mengetahui dimana sumber penyakit putrimu!"
Tambakjati anggukkan kepala. Dia melangkah mendekati Yuniarti, maksudnya hendak
mengusap kepala putrinya itu tapi Wiro memberi isyarat agar dia jangan mendekat.
Si Raja Obat pejamkan kedua matanya. Kedua tangannya diacungkan kemuka dengan
telapak membuka. Tubuh dan kedua tangan orang tua ini kemudian tampak bergetar.
Keringat mengucur di wajahnya yang keriput. Dia merasakan satu aliran dingin
meluncur dari kaki kanannya. Aliran dingin ini naik ke bagian atas tubuh, mulamula ke paha lalu ke perut, terus ke pinggang, dada, leher, muka dan ketika
aliran itu meluncur ke bagian kepala sebelah belakang, orang tua merasakan
bagaimana hawa yang tadinya dingin tiba-tiba berubah menjadi panas!
Perlahan-lahan Raja Obat buka kedua matanya dan turunkan kedua tangan.
"Tuhan telah memberi petunjuk! Putrimu menderita gangguan di kepala bagian
belakang. mungkin ada syaraf atau pembuluh darahnya yang terjepit hingga hawa segar tidak
dapat masuk ke dalam otaknya. Apakah putrimu pernah jatuh sewaktu masih kecil
hartawan?"
Hartawan Tambakjati terkesiap kaget. "Benar sekali orang tua. Anak itu waktu
kecil nakal sekali dan suka memanjat. Dia pernah jatuh dari atas pohon.
Kepalanya sebelah belakang benjol besar.
Tubuhnya panas. Beberapa hari kemudian benjolan di kepalanya hilang dan panasnya
turun. Tak ada gejala apa-apa setelah dia jatuh itu. Tapi beberapa tahun
kemudian dia mulai menunjukkan kelainan-kelainan. Aku orang tuanya tak pernah
menghu bungkan soal kejatuhan itu dengan kelainan yang kemudian dideritanya... "
"Justru kejatuhan itulah sumber malapetaka-nya. . .." kata Raja Obat pula.
"Kau berhasil mengetahui sumber penyakit anakku. Terima kasih orang tua. Tapi
yang lebih penting, apakah benar kau sanggup mengobatinya?"
Raja Obat bangkit berdiri dan berkata pada Wiro: "Aku akan mengobati gadis
sahabatmu itu. Tapi jika tidak kau totok dulu Rubuhnya, tak berani aku melakukan. Tangannya
bisa menjetikkan maut setiap saat secara tak terduga!"
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Dewi, kau sudah siap untuk pulang ke bukit Jatipadang. . .. .?"
59 DEWI DALAM PASUNGAN
"Pulang. . .pulang! Itulah yang aku inginkan!
Tempat ini tidak sedap baunya di hidungku!
Hik. .hik. .hik.
Wiro membelai punggung gadis itu. Lalu secepat kilat dia menotok urat besar di
pangkal leher si gadis. Detik itu juga Dewi menjadi kaku, tak bisa bergerak tak
bisa bersuara, hanya sepasang matanya saja yang tampak berputar-putar liar.
"Tugasku selesai Raja Obat! Giliranmu sekarang!" kata Wiro memberitahu.
"Bagaimana dengan dua ular yang masih bergelung dibahunya! Aku tak mau mati
konyol dipatuknya!"
"Raja Obat takut pada bisa ular!"
"Sialan kau anak muda! Aku bukan segala-galanya. Aku tidak membekal obat
penangkal racun ular!" sahut Raja Obat pula.
"Sudahlah, lakukan pekerjaanmu. Aku jamin sahabat-sahabatku itu tidak akan
mencelakaimu!"
"Meskipun hatinya bimbang namun akhirnya si Raja Obat melangkah juga ke belakang
tubuh Dewi. Dari kantong pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil
terbuat dari kain putih.
Lalu dari dalam kantong kain ini dikeluarkannya sebuah benda kecil halus
berkilat bet bentuk jarum yang ujungnya sangat runcing.
"Wiro aku sudah siap. Awasi sahabat-sahabatmu itu!" si Raja Obat memberi tahu.
"Lakukan tugasmu Raja Obat. Dua sahabatku tak akan mengganggumu!" jawab Wiro.
Dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kirinya si Raja Obat menjengkal-jengkal
bagian belakang kepala Dewi beberapa kali hingga dia menemukan satu titik yang
dipastikannya paling tepat. Lalu pada titik itu jarum ditangan kanannya
ditusukkan. Terjadi satu hal yang luar biasa. Meskipun saat itu Dewi berada
dalam keadaan tertotok namun tususan jarum sempat membuat tubuh dan kepalanya
tersentak. Bersamaan dengan itu kedua bola matanya yang selalu berputar-putar
liar kini menatap tenang. Lalu sepasang mata yang bening itu tampak berkacakaca. Dilain saat tampak ada air mata yang menetes melewati tanggul kelopak mata
sebelah bawah. "Dia menangis
" bisik Wiro sambil menggamit
tangan si Raja Obat.
"Alhamdulillah. Itu pertanda pikiran dan perasaannya sudah pulih walaupun belum
sepenuhnya,''sahut orang tua itu pula.
"Luar biasa! Secepat itu kau menyembuhkan-60 DEWI DALAM PASUNGAN
nya!" Wiro memuji dan memandang pulang balik pada Raja Obat dan hartawan
Tambakjati. Hartawan ini juga tampak tersenyum walau tak kuasa membendung air
mata. Raja Obat menunggu beberapa lama lalu
perlahan-lahan jarum yang ditusukkannya ke bagian belakang kepala Dewi ditarik
dan disimpan kembali dalam kantong kain. Dari dalam kantong besar yang selalu
dibawanya kemana pergi Raja Obat mengeluarkan tujuh helai daun kering. Daun daun
ini diserahkannya pada hartawan Tambakjati disertai pesan: "Godok tujuh daun
itu. Minumkan airnya selama tujuh hari berturut-turut pada putrimu. Mudahmudahan kesembuhannya akan sempurna!"
Tambakjati mengambil daun-daun itu lalu berkata:
"Pertolonganmu besar sekali. Hutang budi ini. .. "
"Jangan menyebut segala hutang budi. Aku Raja Obat memang tugasku berbakti untuk
menyembuhkan segala macam penyakit. Tapi
kesembuhan bukan aku yang membuat melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Berterima
kasih pada Nya."
Raja Obat berpaling pada Wiro.
"Anak muda, saatnya kau melepaskan totokan di tubuh sahabatatmu itu. Tapi
sebelum melepaskan, alirkan tenaga dalammu ketubuhnya agar kedua kakinya mampu
digerakkan. Selama beberapa hari dia tak akan mampu berdiri dan berjalan. Tapi
semampu berdiri dan kembali berjalan...."
Wiro anggukkan kepala .Dia menoleh ke arah Tambakjati dan berkata: "Saatnya
untuk mengambil kunci gembok dan membuka rantai besi itu. .." Tambakjati
Kalidiningrat melompat masuk ke dalam rumah. Di ruangan tidur istrinya masih
berada dalan keadaan pingsan. Begitu kunci gembok didapat, dia kembali keluar.
Dia sendiri yang membuka dua buah gembok. Rantai besi terbuka.
Balok besar yang memasung kedua kaki si gadis ikut lepas. Dengan air mata
berlinang Tambakjati mengusap-usap kedua kaki anaknya.
"Dosaku besar sekali terhadapmu anakku, Ampunilah ayahmu yang jahat ini. . .Juga
ibumu . . . . " Ingin lelaki itu merangkul dan mencium putrinya. Tapi sepasang ular
kobra yang masih me-lingkar di bahu Dewi membuat hatinya kecut.
Wiro melangkah kebelakang si gadis. Mengusap punggungnya sambil mengerahkan
tenaga dalam lalu melepaskan totokan pada pangkal leher Dewi.
61 DEWI DALAM PASUNGAN
Begitu totokan terlepas, pekik dahsyat meledak keluar dari mulut gadis itu.
Kesadaran rupanya membuat dia sangat takut pada dua ular yang memagut bahunya.
Dia berusaha bangkit tapi jatuh kembali karena kedua kakinya masih lemah
"Sahabatku, tak usah takut. Ular-ular itu tak akan menggigitmu. Bukankah mereka
sahabat-sahabatmu. . . . ?"
Meskipun Wiro berkata begitu, si gadis masih saja menggigil ketakutan. Tapi
melihat dua ekor ular itu begitu jinak, meskipun agak takut-takut si gadis
membelai-belai tubuh keduanya. "Sahabat-sahabatku. ..." bisiknya berulang kali
dengan mata terus berkaca-kaca. Dia memandang pada Wiro.
"Kau. . kau siapa" Aku kenal wajahmu tapi kau siapa?"
"Aku Wiro! Aku juga sahabatmu. Apa kau lu-pa.. .?"
"Wira . .Wiro
Anak Sableng itu"!"
"Betul sekali! Ha ha
ha!" Dewi tertawa cekikikan. Suara tawa yang biasa dikumandangkannya ketika masih
berada di bukit Jatipadang. Suara tawa yang membuatnya
merinding. Wiro melirik pada Raja Obat dan berbisik:
"Katamu pikiran dan perasaannya sudah pulih.
Tapi tawanya tadi menunjukkan dia masih sakit Raja Obat
" Raja Obat hanya tegak mengulum senyum.
Suara tawa si gadis semakin tinggi dan panjang.
Tiba-tiba gadis ini melompat ke punggung Wiro yang saat itu tengah bicara dengan
Raja Obat dan membelakanginya.
"Wiro! Sahabatku! Gendong aku! Bawa aku kembali ke hutan Jatipadang! Kita pergi
sekarang juga bersama-sama dengan dua sahabatku berbaju hijau ini!"
"Celaka! Gadis ini sama sekali belum sembuh!
Jangan-jangan Raja Obat menipuku!" Wiro mengomel dalam hati.
"Ayo jalan! Lari Wiro! Jika kau tak mau meng-gendongku dan lari dari sini, aku
akan suruh ular-ular sahabatku ini mematukmu!"
Mendengar ancaman itu Wiro segera berteriak.
"Jangan! Jangan! Aku akan membawamu ke mana kau suka! Jangan suruh ular itu
mematuk! Aku masih mau hidup!"
"Kalau begitu lari! Dukung aku!"
"Ya ... ya! Aku segera lari!"
Sebelum meninggalkan tempat itu Wiro Sableng berpaling pada Raja Obat.
62 DEWI DALAM PASUNGAN
"Kau lihat sendiri! Dia masih belum sembuh!
Kini aku ketiban celakai Kau Raja Obat tolol!"
Dimaki begitu si kakek hanya ganda tertawa malah lambaikan tangan. "Selamat
jalan anak muda ...!" katanya.
"Selamat jalan segala! Edan!" maki Wiro. Lalu dia mulai berlari meninggalkan
tempat itu sementara Tambakjati Kalidiningrat bersiap untuk mengejar tapi
dipegang bahunya oleh si Raja Obat.
"Biarkan saja .... Mereka tak akan pergi ke mana-mana
Ucapan itu tambah membuat Tambakjati
tidak mengerti. Dia hendak mengibaskan tangannya yang dipegang, tapi cekalan si
Raja Obat kuat sekali, dia tak mampu melepaskan bahunya.
"Kurang kencang Wiro .... Kurang kencang!
Ayo lari yang kencang!" terdengar ucapan Dewi berulang-ulang sementara dua ekor
ular ikut mendesis-desis.
"Aku sudah lari sekencangku bisa! Nafasku sudah megap-megap
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah ... kau berdusta!"
"Gila! Rasanya sudah mau mati! Tubuhmu berat sekali!" teriak Wiro yang lari
sambil mendukung Dewi di punggungnya.
Tiba-tiba si gadis keluarkan suara tertawa
"Ha ... ha ... ha ... ha . . .!" Suara tawa yang lain sekali dengan tawa-tawanya
sebelumnya. Bukan suara tawa cekikikan itu!
"Heh . . .?" Wiro berpaling. Dilihatnya Dewi tertawa lebar malah mencibirkan
mulutnya. "Jika kau memang letih, berhenti saja d: bawah pohon sana
"Dan kau tidak akan menyuruh ular-ular itu mematukku"!"
"Tidak!"
"Dan kau tidak akan memintaku mendukungmu ke hutan Jatipadang itu"!"
"Tidak!"
"Heh"!"
Wiro hentikan larinya dan menarik si gadis hingga kini mendukungnya di sebelah
depan. "Kalau begitu kau sebenarnya sudah sembuh!"
Gadis dalam dukungan tertawa gelak-gelak.
"Karena pertolonganmu aku memang sudah sembuh! Hanya kedua kakiku masih lemah
karena terlalu lama dipasung! Aku hanya menggodamu!
Berpura-pura masih sakit dan mengancammu agar mendukungku ke puncak Jatipadang!"
"Edan!"
63 DEWI DALAM PASUNGAN
Wiro turunkan Dewi dan sandarkan ke batang pohon rindang di tepi jalan. Keduanya
lalu tertawa gelak-gelak dan saling berangkulan. Sepasang ular kobra hijau
mendesis-desis berulang kali seolah-olah juga ikut tertawa gembira.
TAMAT Ikuti Serial WIRO SABLENG selanjutnya :
TOPENG BUAT WIRO SABLENG
BADAI DI PARANGTRITIS
PRAHARA DI LEMBAH BANGKAI
MANUSIA HALILINTAR
SERIKAT SETAN MERAH
64 DEWI DALAM PASUNGAN
Musuh Dalam Selimut 1 Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis Kutuk Sang Angkara 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama