Ceritasilat Novel Online

Guna Guna Tombak Api 1

Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API Sumber Buku: Dani (http://212.solgeek.org)
EBook: kiageng80
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
1 ARI itu tanggal tiga bulan ke lima. Sebuah bukit yang selama bertahun-tahun
sunyi senyap, terletak di
Hantara kaki Gunung Merapi dan Gunung Raung kini
banyak didatangi oleh orang-orang yang muncul dari berbagai penjuru. Melihat
gerak-gerik orang-orang itu dan memperhatikan cara mereka berlari menuju puncak
bukit, dapatlah diduga bahwa orang-orang itu, siapapun mereka adanya, adalah
orang-orang dari dunia persilatan.
Ada kepentingan apakah orang-orang persilatan
berdatangan di puncak bukit itu" Ternyata hal ini ada kaitannya dengan rencana
peresmian dan pengenalan sebuah partai persilatan baru yang diberi nama Partai
Bintang Blambangan. Partai silat ini diketuai oleh Gandring Wikoro, seorang
kakek berusia 70 tahun. Lebih dari separuh masa hidupnya telah dihabiskan dengan
pengabdian pada Keraton Sala. Di usia menjelang
menutup mata, Gandring Wikoro yang tidak bisa
melupakan masa muda dan asal-usulnya, setelah
berunding dengan anak-istri serta para sahabat, akhirnya memutuskan untuk
membentuk sebuah partai silat. Konon Gandring Wikoro memiliki darah keturunan
ketiga dari Raja Blambangan. Semula dia hanya bermaksud mendirikan sebuah
perguruan silat. Namun atas dorongan anak-anak dan sahabat-sahabatnya, dan
mengingat nama Blambangan adalah satu nama besar di masa silam, maka disetujui merubah
perguruan menjadi sebuah partai.
Selama pengabdiannya di Keraton Sala, Gandring
Wikoro dikenal dengan gelar kehormatan "Raja Panah Delapan Penjuru Angin."
Memang selain memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi serta andal dalam
ilmu golok, Gandring Wikoro juga menguasai ilmu panah secara luar biasa.
Demikian hebatnya ilmu kepandaiannya, dia
sanggup membidikkan tiga panah sekaligus pada tiga sasaran yang berlainan. Dia
juga mampu membidik burung yang terbang di udara dengan mata tertutup! Dan
kabarnya dia telah pula menciptakan beberapa jurus ilmu silat di mana orang yang
memainkannya memegang busur di
tangan kiri dan anak panah di tangan kanan. Busur dipakai sebagai pelindung,
tidak beda dengan tameng sedang anak panah dijadikan senjata seperti golok atau
pedang. Siapa saja yang sudah menguasai ilmu silat Panah dan Busur itu, lima orang
bersenjata tidak akan mampu merobohkannya!
Memandang kepada nama besar Gandring Wikoro
itulah maka banyak tokoh silat yang punya nama besar tidak segan-segan datang ke
puncak bukit tempat akan diresmikannya Partai Bintang Blambangan itu.
Di puncak bukit yang sejuk itu dibangun sebuah
panggung setinggi satu tombak dan luas sepuluh kali lima belas tombak. Di
belakang panggung ini terdapat sebuah panggung lagi yang agak lebih tinggi. Di
sini duduklah Raja Panah Delapan Penjuru Angin didampingi oleh istrinya, seorang
perempuan ramping berambut putih. Di sebelah sang istri duduk seorang pemuda
berbadan tegap berparas gagah. Pemuda ini bernama Bimo Argomulyo, putera dan
anak tunggal pasangan suami-istri Gandring Wikoro.
Menurut orang-orang yang tahu, di usianya yang baru 26
tahun Bimo Argomulyo kabarnya sudah mewarisi seluruh kepandaian ilmu silat dan
kesaktian yang dimiliki ayahnya, kecuali ilmu silat Panah dan Busur.
Di samping Bimo Argomulyo tampak duduk seorang
pemuda berbadan tinggi semampai berkulit putih yang adalah keponakan Gandring
Wikoro atau sepupu Bimo bernama Sarwo Bayu. Sejak masih kecil, yakni sejak kedua
orang tuanya meninggal, Sarwo Bayu dipelihara oleh Gandring Wikoro. Karenanya
sudah dianggap sebagai anak sendiri. Dalam hal umur Sarwo satu tahun lebih muda
dari Bimo Argomulyo.
Dalam pelajaran ilmu silat boleh dikatakan Gandring Wikoro tidak membeda-bedakan
anak dan keponakannya.
Keduanya diberi pelajaran ilmu yang sama. Dalam ilmu silat tangan kosong
ternyata Bimo lebih cepat dan lebih banyak menguasai. Sebaliknya dalam ilmu
silat Panah dan Busur, ternyata sang keponakan lebih menguasai dari anaknya
sendiri. Di belakang deretan kursi keluarga ketua partai, duduk dengan rapi dan gagah 30
orang anggota partai yang terdiri dari anak-anak muda rata-rata berbadan tegap.
Memang Gandring Wikoro sengaja mengambil anggota partai dari murid-muridnya
sendiri, orang-orang yang masih muda dan bersih, belum tercemar segala macam
keburukan dunia.
Dia berharap dari orang-orang muda yang bersih dan berjiwa satria itulah kelak
Partai Bintang Blambangan bisa berkembang menjadi partai besar, sebesar dan
seharum Kerajaan Blambangan di masa lampau.
Di depan panggung besar berderet-deret kursi yang diduduki oleh para tetamu.
Masing-masing deretan diseling oleh sebuah meja panjang. Di atas meja ini
terletak berbagai macam minuman dan makanan yang lezat-lezat.
Di antara para tamu yang hadir, kelihatan seorang gadis berparas cantik,
berambut panjang sebahu. Dia
mengenakan pakaian berbunga-bunga warna-warni dan duduk di deretan kursi ke
tiga. Sejak tadi keluarga Ketua Partai telah melihat gadis ini dan masing-masing
bertanya-tanya siapa gerangan adanya si jelita ini.
Di antara para tetamupun banyak yang mengagumi
kecantikannya. Mereka juga menduga-duga siapa dara ini yang tampaknya datang
sendirian ke tempat itu.
Selesai para tamu mencicipi hidangan, Gandring Wikoro berdiri dari kursinya
untuk memberikan kata-kata
sambutan disertai penjelasan asal muasalnya Partai Bintang Blambangan didirikan.
Sekadar basa-basi, tak lupa Gandring Wikoro mengajak para tetamu yang bersedia,
bergabung dalam partainya.
Setelah beberapa tokoh silat yang diundang turut
memberikan sambutan, termasuk seorang utusan Keraton Sala, maka para tamu
kembali dipersilahkan mencicipi hidangan. Kini makanan yang lezat-lezat itu
ditambah pula dengan sepuluh nampan nasi tumpeng. Sambil bersantap para tetamu
disuguhi pertunjukan silat oleh anggota atau murid partai.
Selesai pertunjukan itu, di antara sorak-sorai dan tepuk tangan, terdengar
seseorang berseru agar ketua partai memperlihatkan kebolehannya barang sejurus
dua jurus. Karena tak bisa mengelak, dan sesuai dengan adat-istiadat dunia persilatan, maka
Gandring Wikoro berdiri kembali, menjura beberapa kali lalu berkata, "Sebagai
tuan rumah aku wajib memenuhi permintaan para sahabat sekalian.
Namun harap jangan ditertawakan kalau aku hanya akan memperlihatkan ketololan
belaka!" Ketua Partai baru itu mengangkat tangan kirinya ke atas. Melihat tanda ini,
seorang anak murid partai segera maju membawa sebuah busur dan kantong panjang
terbuat dari kulit kerbau kering, berisi selusin anak panah.
Gandring Wikoro menjura sekali lagi di hadapan para tetamu. Lalu orang tua yang
memiliki tubuh sangat lentur ini melompat ke kiri. Begitu kakinya menginjak
lantai panggung kembali, entah kapan dia melakukannya,
kantong anak panah tahu-tahu sudah tersandang di bahu kanannya. Dengan sikap
gagah dia cabut sebatang anak panah sementara busur di pegang di tangan kiri.
Lalu mulailah orang tua ini menunjukkan kebolehannya,
mainkan jurus-jurus ilmu silat ciptaannya. Busur di tangan kiri diputar-putar
hingga mengeluarkan suara menderu.
Hiasan janur yang tergantung tiga tombak di atas
panggung tambah bergoyang-goyang. Di bawah panggung, para tetamu yang duduk di
deretan kursi ke satu sampai ke tiga ikut merasakan bagaimana kerasnya sambaran
angin yang menerpa keluar dari busur itu. Sementara busur diputar terus, tangan
kanan Gandring Wikoro tidak tinggal diam, membuat gerakan-gerakan menusuk,
membabat dan membacok. Anak panah sepanjang tiga jengkal itu seolah-olah lenyap
dari pemandangan. Yang tampak hanya
bayang-bayangan lurus disertai suara menderu. Para hadirin bertepuk tangan
menyatakan kekaguman.
Di atas panggung, Ketua Partai Blambangan itu
membuat gerakan berputar, sengaja membelakangi
deretan para tetamu. Di tangan kanannya kini terlihat ada tiga anak panah.
Suasana mendadak sontak menjadi sunyi senyap. Semua orang memandang tak
berkesip, apa yang akan mereka saksikan, apa yang akan dilakukan oleh Gandring
Wikoro. Tiba-tiba orang tua ini balikkan tubuhnya.
Bersamaan dengan itu busur ditarik. Des... des... des! Tiga anak panah melesat
ke bawah panggung secara
bersamaan. Yang paling kanan menancap pada sosok
ayam panggang yang terletak dekat nasi tumpeng pada meja paling depan. Anak
panah kedua menancap pada sebutir buah kelapa yang juga berada di meja terdepan.
Sedang anak panah ke tiga menancap tepat pada belahan buah nangka yang ada di
atas meja deretan kedua!
Terdengar suara menggemuruh tepuk tangan, suitan
dan pujian kagum para hadirin. Ketua Partai Bintang Blambangan menjura berulang
kali. "Maafkan atas semua ketololanku!" Lalu dia berbalik dan melangkah ke arah
kursinya. Baru menindak dua langkah tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, disusul
seruan keras, "Orang tolol bernama Gandring Wikoro! Sebelas tahun mencarimu,
akhirnya ketemu juga! Hari ini kau meresmikan partaimu! Hari ini pula hari
kematianmu!"
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
2 EMUA orang yang ada di atas dan di bawah panggung sama terkejut mendengar seruan
itu, terlebih lagi SGandring Wikoro selaku Ketua Partai Bintang
Blambangan yang baru saja diresmikan. Ketika satu bayangan berkelebat ke atas
panggung, semua mata serta merta tertuju padanya.
Paras sang ketua tampak berubah ketika dia melihat siapa adanya orang yang tegak
beberapa langkah di depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit
hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau.
Wajahnya cekung dan rambutnya kotor awut-awutan.
Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat
memperhatikan kedua tangan orang di hadapannya yang berwarna kebiru-biruan.
"Dulu tangan itu biasa saja. Tidak berwarna biru seperti itu..." berkata
Gandring Wikoro dalam hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin,
"Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku turut bergembira kau
datang kemari menghadiri peresmian partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan
kami kurang memuaskan hatimu!"
Orang banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan alias yang diucapkan
Gandring Wikoro. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan
satu momok yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya,
mendengar namanya sajapun orang sudah pada
mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja rampok yang malang
melintang antara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan anak buahnya
tersebar sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para penguasa mengirimkan pasukan
untuk menggerebek dan
menghancurkannya, namun dia selalu berhasil lolos bahkan tak jarang pasukan yang
datang menumpas tak pernah kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok Gajah
Ireng. Ketika bergundal rampok itu berkomplot dengan
beberapa adipati dengan rencana merebut tahta Kerajaan Sala, Sultan tak mau
bertindak ayal lagi. Raja Panah Delapan Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok
Gajah Ireng. Setelah dikepung selama tiga hari tiga malam akhirnya Suto Rawit
mengirim utusan untuk berunding.
Gandring Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan berunding itu adalah tipu
muslihat belaka. Maka dia mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia
yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka berdua saja yang boleh
hadir. Pertemuan kemudian diadakan di sebuah lembah.
Pada kedua bibir lembah, balatentara kerajaan dan pasukan rampok menunggu hasil
perundingan itu. Ternyata Suto Rawit memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah
mengirimkan ke lembah dua orang tangan kanannya dan seorang tokoh silat golongan
hitam yang berhasil
ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka
langsung menyerbu!
Sebagai seorang yang penuh pengalaman Gandring
Wikoro dengan segala kewaspadaan dan kesigapan yang ada segera mencabut anak
panah dan merentang busur.
Dua orang tangan kanan Suto Rawit langsung menemui ajal ditancapi dua anak
panah. Meskipun kemudian dia hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat
golongan hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan Penjuru Angin
untuk menghadapi mereka. Perkelahian dua lawan satu itu berlangsung di dasar
lembah yang gelap, sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah pihak.
Dalam keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring Wikoro berhasil merobohkan
si tokoh golongan hitam dan menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke
kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring Wikoro dengan imbalan separuh
dari seluruh harta
kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan.
Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan di tubuh sang raja
rampok. Menyangka Gandring Wikoro menyetujui bujukannya maka kesempatan ini
tidak disia-siakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan dasar lembah.
Namun baru lari sejauh sepuluh tombak, dua anak panah melesat dalam kegelapan
malam dan menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik.
Tubuhnya terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian datang menangkapnya.
Suto dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung dihukum mati. Tapi entah
mengapa dia hanya dijatuhkan hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini
tahu-tahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang tangan berwarna
kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu baru.
Kakek berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan
kepalanya lalu kembali perdengarkan suara tawa
bekakakan. "Bagus! Kau tidak lupakan diriku," katanya. "Kau
gembira melihatku, namun sebentar lagi akan terjadi kesedihan di tempat ini..."
"Apa maksudmu Suto Rawit?" tanya Gandring Wikoro.
"Jangan berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun pertama mendekam dalam
penjara aku mengalami
kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan pada kedua betisku..."
"Ah... Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa saat itu aku menjalankan
tugas sebagai abdi kerajaan.
Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan dendam kesumat?" ujar Gandring
Wikoro pula. Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai panggung. "Dendam kesumat
bukan dendam kesumat
namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku itu Gandring"!"
"Suto Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur dalam-dalam. Kita sudah
pada tua bangka seperti ini, mengapa masih meributkan masa lalu...?"
"Kau bisa mengatakan begitu, karena kau tidak
merasakan siksaan sepuluh tahun dalam penjara! Kau tolol karena tidak membunuhku
saat itu!"
"Kalau kau memang hendak membicarakan urusan
masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto. Namun saat ini biar kau kupersilakan
makan dan minum dulu, biarkan para tamuku pulang, setelah itu baru kita bicara!"
"Waktuku tidak lama. Aku membutuhkan hampir
sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak perlu menunggu sampai tamu-tamu itu
pergi. Biar mereka
menyaksikan sendiri ganasnya pembalasan yang akan aku lakukan..."
Tiba-tiba Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai Bintang Blambangan bangkit


Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari kursinya dan melangkah ke tengah panggung. "Ayah, jika kau ingin aku
melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan melakukannya sebelum
mulutnya yang bau menceloteh terlalu banyak..."
"Anak muda!" sentak Suto Rawit dengan muka hitam
membesi. "Katakan siapa kau ini!?"
"Aku Bimo Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang
Blambangan!"
"Ooo, begitu..." Kau ternyata seorang anak yang berani.
Tidak sepengecut ayahnya!" ujar Suto Rawit lalu untuk ke sekian kalinya dia
tertawa gelak-gelak.
"Bimo... Kembali ke tempatmu. Biar aku yang
menyelesaikan urusan dengan orang gila ini..." kata Gandring Wikoro pada anak
laki-lakinya itu.
"Orang gila... Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu kalau di neraka ada
ribuan orang gila yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan roh busukmu..."
Ha... Ha... Ha...!" Merah padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek
berbaju rombeng itu melompat menyerangnya, maka
diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua tangan saling beradu
keras. Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng terhuyung-huyung tiga langkah.
Wajahnya biasa-biasa saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang Blambangan
terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya mengerenyit kemerahan. Ketika
dia mencoba bangkit kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan
menjadi biru. Satu bayangan melesat ke atas panggung. "Ketua, kau keracunan! Lekas telan obat
ini!" kata orang yang barusan melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua
merasakan sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya.
Ketika melihat siapa yang memberi dan menyadari
memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah dan detak jantungnya,
Gandring Wikoro cepat telan obat yang diberikan lalu atur jalan darahnya.
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
3 RANG yang memberikan obat kepada Ketua Partai
Bintang Blambangan ternyata memiliki kulit yang tak Okalah hitamnya dengan Warok
Gajah Ireng alias Suto Rawit. Dia mengenakan baju putih yang terbuat dari kain
sangat kasar dan gombrang dua kali melebihi besar tubuhnya. Di punggungnya dia
menyandang sebuah tabung bambu yang memiliki dua buah tutup tanda tabung itu
mempunyai dua ruangan. Ruangan pertama dari mana tadi dia mengeluarkan obat
adalah Tabung Segala Macam
Obat. Sedang bagian tabung yang satunya disebut Tabung Segala Macam Racun!
Siapakah adanya manusia berbaju gombrang yang telah menolong Ketua Partai
Bintang Blambangan itu"
Dalam kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru obat. Dengan bekal puluhan
butir obat yang selalu dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga dikenal sebagai tukang
racun. Manusia atau binatang kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa
hidup dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal bisa
menyembuhkan kecuali dia. Dan racun-racun ganas itu selalu dibawanya ke manamana dalam tabung bambu di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat!
"Jembar Keling!" Suto Rawit yang rupanya mengenali siapa adanya orang itu
menyebut namanya dengan suara keras. "Sebagai tetamu, lancang amat kau
mencampuri urusanku dengan tuan rumah..."
Si baju gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan bibir dan menyahuti, "Aku
masih bisa bangga karena merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di
sini siapa yang mengundang" Jin gunung atau setan hutan"
Sudah muncul jangan kira semua orang di sini senang melihat tampangmu! Sepuluh
tahun dijebloskan dalam penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari
panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat ini. Atau kau mau
kusuguhi racun..."!"
"Mulutmu pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai hari ini! Selanjutnya kau
bisa menyambung bicara di liang kubur!" Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng
langsung menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun saling baku hantam.
"Kau menyerang, aku bertahan!" si hitam yang diserang berseru. Kedua tangannya
diangkat ke atas. Begitu dua tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang
gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan panjang runcing!
Suto Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh jari tangan lawan. Dia
sudah tahu betul kehebatan dan keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya
diri dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam tidak sama dengan
yang sekarang. Ketika lawan membuat gerakan mencakar ke arah kedua tangannya,
Suto Rawit sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru.
Sepuluh kuku hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku itu seperti mencakar di
atas batu yang sangat licin.
Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun tidak mampu!
Penasaran dan tidak percaya, Jembar Keling kembali mencengkeram sambil kerahkan
tenaga dalam. Tapi saat itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan
satu gerakan aneh Suto Rawit menghantam.
Bukkk! Tubuh Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit mendarat di perutnya.
Bagian perut itu langsung menjadi biru tanda racun di lengan lawan sudah
mendekam di tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat penawar yang
memang sudah disiapkannya segera
ditelannya. Tiga butir sekaligus!
"Racunku tak bakal membuat mampus bangsat satu
ini!" memaki Suto Rawit. "Berarti kepalanya harus kupecahkan atau kubetot lepas
jantungnya!" Setelah membatin begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras yang
membuat sakit telinga. Tubuhnya berkelebat lenyap berubah jadi bayang-bayang.
Bau badan dan pakaiannya yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling
berkelebat kian kemari. Tangan kanannya menyambar di sebelah depan menyebar
serangan, sedang tangan kiri menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng
jika sewaktu-waktu ada serangan lawan yang masuk.
Dua manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan mati-matian. Jurus demi
jurus berlalu sangat cepat. Pada jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat
gerakan aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut dan dadanya sama
sekali tidak terlindung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jembar Keling untuk
menyerbu sasaran yang terbuka itu.
"Jebol perutmu! Ambrol ususmu!" teriak Jembar Keling.
Praakk! Suara Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan ataupun erangan, tubuhnya
terbanting ke lantai panggung.
Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak menggenangi lantai. Si hitam satu ini
telah berubah menjadi mayat membiru begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan
dengan pandangan mata menyatakan kengerian dari semua orang.
Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian rendah.
Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh jurus berarti ilmu
kepandaian bekas kepala rampok itu berada pada tingkat yang sungguh sangat
tinggi. Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya
menjadi sunyi sepi dan kemudian dipecahkan oleh suara Suto Rawit.
"Ada lagi di antara para tetamu yang hendak coba-coba berbakti menyelamatkan
ketua partai baru ini..."!"
Tak ada yang menjawab.
Saat itu sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya di atas panggung tinggi.
"Kami yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan
melempar mayatmu ke bawah bukit!" Satu suara
mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju mendekati Suto Rawit.
Ternyata mereka adalah dua orang pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera
sang ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo.
Melihat dua pemuda itu bergerak, Gandring Wikoro
segera bangkit dari kursinya.
"Aku tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan menyelesaikan semua
urusan dengan pembunuh ini.
Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling."
Walaupun hati dan darah muda mereka meradang,
namun Bimo serta Sarwo harus taati perintah sang ketua.
Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung panggung beberapa anak murid
partai lalu mengambil alih jenazah itu.
Untuk kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan saling berhadap-hadapan
dengan Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit.
"Kali ini kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring Wikoro. Kau dengar itu...
Jika kau punya senjata
keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah" Mana
busur dan panahmu...?"
Mendengar ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak tenang namun di dalam
hatinya jadi panas juga. "Apa maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak
perlu sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus darah macammu ini!"
Lalu Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat tangan kiri memberi tanda.
Seorang anak murid partai segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur
dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah berhadap-hadapan satu
sama lain. "Keluarkan senjatamu! Mari kita berkelahi sampai
salah satu dari kita menemui kematian!"
Suto Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua Partai Bintang Blambangan itu
lalu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dia berkata, "Senjataku hanya
sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak bicara. Silakan
menyerang duluan!"
Gandring Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan kirinya tiba-tiba lenyap,
berubah seperti menjadi sebuah kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit
merasakan seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya ketika sambaran
busur itu menerpa tubuhnya. Dengan cepat orang ini melompat menjauhi namun dia
sempat keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan entah bagaimana
sudah berkelebat dari samping sambil menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke
arah batang leher Suto Rawit.
"Serangan hebat!" memuji Suto Rawit namun setelah itu dia mengejek, "Ilmu silat
rendahan ini tak ada gunanya bagiku Gandring! Lihat...!"
Begitu seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro merasakan ada satu gelombang
angin melandanya hingga dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini
babatkan busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang
memegang panah mencuat kian kemari, mengarah bagian-bagian yang berbahaya dari
tubuh Suto Rawit.
Bekas kepala rampok besar itu hanya sunggingkan
senyum. Malah keluarkan suara mendengus. Dua
tangannya dipalangkan ke depan.
Begitu busur di tangan kiri Gandring Wikoro
menyambar, terdengar suara kraak! Ketua Partai Bintang Blambangan itu berseru
kaget. Dia batalkan maksud menusuk dengan anak panah di tangan kanannya dan
teliti busur di tangan kiri. Ternyata busur itu telah patah sewaktu menghantam
lengan lawan yang berwarna biru!
Marahlah Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya senjata itu bukan saja patah
tapi tangan kirinyapun terasa mendenyut sakit.
"Kurang ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan
kupatahkan batang lehermu!" teriak Gandring Wikoro marah sekali. Didahului oleh
suara menggereng orang ini kembali menyerbu. Anak panah di tangan kanannya
berkelebat kian kemari. Tubuhnya sendiri hanya tinggal merupakan bayang-bayang.
Sang ketua melakukan
gempuran dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam waktu singkat Suto Rawit
kena didesak hebat. Bekas kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata
anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat dan penuh tak terduga.
Selain itu Gandring Wikoro selalu berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh
ataupun anak panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang sangat
berbahaya itu. Karena terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah.
Dia segera merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya.
Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang aneh dan membuat Gandring Wikoro
semakin lama semakin sulit melancarkan serangan-serangan baru. Pada puncak
kesulitannya dia merasakan tangan kanannya pedas.
Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya senjata telah tercabut
lepas dari genggamannya. Dan telapak tangannya tampak lecet! Senjatanya kini
berada di tangan lawan!
Berusaha memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi lawan adalah satu kesalahan
besar yang sebenarnya tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat
kawakan seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru Angin itu!
Namun justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua Partai Bintang Blambangan ini
lengah, anak panah miliknya sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro
mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut keluarkan seruan
tertahan. Tak percaya akan apa yang mereka saksikan. Senjata makan tuan!
Ketika Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang dipegangnya, tubuh Gandring
Wikoro pun roboh ke
panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi!
Belasan orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling depan adalah Bimo dan
Sarwo, lalu istri Gandring Wikoro, diikuti oleh anggota dan anak murid Partai!
Di bawah panggung puluhan tetamu sampai tersentak berdiri menyaksikan kematian
Ketua Partai yang sangat cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian
berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolah-olah tidak ada kejadian
apa-apa. Sikapnya biasa-biasa saja, wajahnya dingin.
"Manusia keparat! Kucincang tubuhmu!" teriak Bimo Argomulyo lalu cabut sebilah
pedang putih dari belakang punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda
satu ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak bernyawa lagi, dengan
darah mendidih dia sudah langsung menyerbu Suto Rawit!
"Anak-anak muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi jika mau mendengar
nasihatku, kalian akan selamat. Lekas minggat dari hadapanku!"
"Keparat! Rohmu yang akan kubikin minggat!" teriak Bimo. Lalu menyusul adik
sepupunya dia pun melompat ke dalam kalangan pertempuran.
"Tahan dulu! Dengar ucapanku!" Suto Rawit berteriak keras. Pengaruh teriakan
dahsyat yang disertai tenaga dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu
hentikan gerakan.
"Mulai saat ini jabatan Ketua Partai Bintang
Blambangan aku ambil alih! Semua anak murid partai termasuk kalian berdua harus
taat perintah! Mundur!"
"Manusia keparat!"
"Bangsat terkutuk!"
Siapa yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo
Bayu kembali menyerbu.
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
4 AROK Gajah Ireng tertawa mengekeh. Matanya
yang cekung berputar liar. Bimo Aryo dengan
Wpedang putih di tangan berada di depan sebelah
kanan. Sarwo Bayu di sebelah kiri, tampaknya pemuda ini akan mengandalkan tangan
kosong, namun kemudian
sang warok melihat Bayu menyelinapkan tangan ke balik pakaian dan kini tampak
dia menggenggam sebatang anak panah berwarna putih berkilat, terbuat dari baja
putih. Anak panah ini berbentuk aneh. Selain ukurannya lebih besar, di bagian kepala
memiliki tiga kepala sekaligus.
Berarti jika sampai senjata itu menancap di sasaran, tidak mungkin mencabutnya
tanpa sasaran mengalami
kehancuran total!
Selain Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah
dikurung oleh lebih dari dua puluh anak murid dan anggota partai.
"Jadi begini rupanya sifat orang-orang Bintang
Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan di sarang
sendiri!" terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan kata-kata ejekan.
"Manusia jahanam sepertimu memang pantas
dikeroyok dan dicincang!" menyahuti Bimo Argomulyo. Dia memberi isyarat pada
sepupunya, juga pada murid-murid partai. Serentak dengan itu dua puluh pengurung
merangsak maju sambil loloskan senjata mereka yakni busur di tangan kiri dan


Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak panah di tangan kanan!
Di bawah panggung para tetamu banyak yang menarik nafas menyesalkan apa yang
terjadi. Tetapi sebagian besar merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng
harus disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain halnya dengan dara
berbaju kembang-kembang. Dalam hatinya dia membatin, "Ilmu silat busur dan panah
memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu
akan bertempur berbarengan. Tapi... rasanya mereka akan mengalami malapetaka.
Suto Rawit tetap bukan tandingan mereka. Aku harus mencegah."
Bimo Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras, inilah tanda terakhir. Semua
orang menyerbu ke arah Suto Rawit.
Pada saat itulah melesat satu bayangan ke atas
panggung. Angin sangat deras menyambar. Suto Rawit merasakan kedua kakinya
menjadi goyah dan tubuhnya terhuyung-huyung. Rambutnya yang panjang awut-awutan
berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal yang sama, malah kedua pemuda itu
terjajar sampai tiga langkah. Dua puluh anak murid partai banyak yang roboh
berpelantingan sampai ke bawah panggung. Apakah yang terjadi"
Di saat ketika angin menyambar terdengar suara orang berseru, "Semua orang
Partai Bintang Blambangan harap mundur! Biar aku yang mewakili kalian
membalaskan sakit hati kematian Ketua Partai!"
Tentu saja semua kejadian ini membuat orang terkejut.
Dan jadi tercengang tak percaya ketika mengetahui bahwa yang melakukan hal itu
adalah sang dara jelita berpakaian warna-warni yang tadi duduk di antara para
tetamu pada deretan kursi ke tiga. Masih begitu muda tapi memiliki hawa tenaga
dalam yang sanggup membuat para jago di atas panggung sempoyongan!
Bimo Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah
karena ada yang berani mencampuri urusan balas dendam mereka. Namun dua pemuda
ini jadi terkesima ketika melihat yang tegak di atas panggung saat itu bukan
lain adalah gadis cantik yang sejak sebelumnya sudah
membuat mereka kagum.
"Saudari... Kami menghargai kegagahanmu. Namun
biarlah kami orang-orang partai menyelesaikan urusan ini.
Terima kasih..."
"Betul saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat
dudukmu di antara para tamu," menyambung Sarwo Bayu atas kata-kata Bimo tadi.
Sang dara gelengkan kepala dan tersenyum.
"Si baju rombeng bau yang tegak di depan kalian ini bukan manusia. Tapi iblis
laknat yang harus cepat-cepat disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan
mengira aku sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk dapat
menumpasnya!"
Habis berkata begitu sang dara layangkan
pandangannya. Meskipun sepasang mata itu bening bagus, tapi ada satu kekuatan
aneh yang membuat semua orang Partai Bintang Blambangan menjadi terhening dan
ketika Bimo Argomulyo melangkah mundur, adik sepupunya pun mengikuti. Kepada
para murid partai Bimo memberi isyarat agar tetap melakukan pengepungan di empat
sudut panggung. "Anak manis yang masih bau kencur! Apa sangkut
pautmu dengan orang-orang Bintang Blambangan hingga mau-mauan turun tangan
mencampuri urusan"!" Warok Gajah Ireng alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya
yang cekung memandang tak berkesip pada wajah cantik dan tubuh padat mulus itu.
Yang ditanya menyeringai penuh ejek. "Usia hampir seabad. Badan sudah bau tanah!
Hidup masih saja
mengumbar kejahatan!"
"Aku tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis centil! Aku tahu, janganjangan salah satu dari dua pemuda itu adalah kekasihmu! Ah sungguh beruntung
dirinya. Mengapa bukan aku yang kau jadikan kekasih..." Sehari pun aku kau jadikan
kekasih bagiku sudah luar biasa...!"
Suto Rawit lalu tertawa mengekeh.
"Ternyata mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau akan menerima kematian dalam
tiga jurus!"
Suto Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali tertawa panjang. Tiba-tiba
tawanya berhenti dan tubuhnya berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan. Satu
berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang satunya lagi secara kurang
ajar diulurkan sengaja untuk menjamah payudara gadis itu.
"Jurus pertama!" teriak si gadis berbaju kembang
warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Dua tangan lawan hanya mencapai
tempat kosong. Di saat itu kaki kanan si gadis terangkat ke atas, membabat ke
arah perut Suto Rawit. Terkejutlah bekas raja diraja rampok ini. Kalau tidak
lekas dia melompat ke belakang, pasti perutnya sudah kena hantam tendangan si
gadis! Kini dia tidak mau menganggap rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak
tanda amarahnya mulai mendidih, Suto Rawit maju dua langkah. Kedua lututnya
tiba-tiba menekuk, tubuhnya setengah merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan
kanan. Dan ketika tangan kanan ini melepaskan satu pukulan sakti, tampak sinar
biru menderu, menyambar ke arah sang dara.
"Jurus kedua!" seru sang dara. Tangannya menyelinap ke balik pakaian. Sinar
merah seperti besi membara mencuat di udara.
Bummm! Sinar biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke udara lalu lenyap pupus
meninggalkan asap meliuk-liuk.
Suto Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap waspada hingga tak sampai
jatuh duduk atau terbanting punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas
pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba luruskan badan. Matanya
berkilat-kilat memandang pada sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna
sangat merah laksana habis diganggang di atas api!
"Dewi Tombak Api!" terdengar seseorang berseru di bawah panggung. Rupanya ada
yang mengenali siapa
adanya sang dara.
Sementara itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar nama atau gelar gadis berbaju
kembang-kembang di
hadapannya itu berteriak marah. "Dewi atau iblis! Kau akan menemui ajal dengan
tubuh tercerai berai!" Lalu dia angkat kedua tangannya. Sepasang lengan sampai
ke kuku dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu pertanda bahwa orang
ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Lalu dengan keluarkan
suara meraung seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima jari tangannya kiri
kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang mengerikan dan menebar bau busuk
angker berkiblat, menderu ke arah sepuluh sasaran di tubuh sang dara.
Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan tertahan. Sepuluh bagian tubuh
terserang pukulan beracun yang mematikan. Betapapun hebatnya gadis itu, tak
mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan diri dari serangan maut yang
dilepas Suto Rawit!
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
5 ELAGI semua orang menahan nafas, sang dara justru tampak tenang-tenang saja. Dan
apa yang terjadi
Skemudian sungguh membuat semua orang
membeliak. Begitu sepuluh larik sinar maut berwarna biru menerpa ke arahnya,
sang dara yang dipanggil dengan gelar Dewi Tombak Api berseru keras, "Jurus ke
tiga!" Lalu gadis ini membuat gerakan mengemplang dengan
tombaknya yang seperti menyala itu.
Pada saat tombak menggebrak, terdengar suara wuuss!
Dan sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke depan. Sepuluh larik
sinar biru langsung ambalas ditelan lidah api itu.
Di lain kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua orang yang berada di tempat
itu sama menyaksikan
bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di tangan sang dara
membuntal tubuh Suto Rawit hingga orang ini berteriak-teriak kalang kabut,
melompat turun ke bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang membakar
sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki. Bekas kepala rampok ini coba
bergulingan di tanah.
Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya laksana kambing panggang, menebar
sangitnya bau daging
terbakar. Dia tersungkur di samping deretan meja tamu ke empat, menggeliatgeliat beberapa ketika. Suara jeritannya makin lama makin perlahan. Akhirnya
nyawanyapun lepas tak tertolong lagi!
Di atas panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak bergerak. Wajahnya kelihatan
memucat putih, dadanya turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang
menyaksikan bagaimana tubuh itu menggigil beberapa ketika. Sewaktu gigilan
berhenti si gadis melemparkan pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
Pada saat itu dua pemuda ini justru melangkah
mendatangi dan menjura di hadapannya.
"Saudari, siapa pun kau adanya kami menghaturkan
terima kasih karena kau telah membalaskan sakit hati kematian ayah kami. Lebih
dari itu kami orang-orang Partai Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari
kehancuran... Kami mengundangmu untuk duduk di antara keluarga partai sebagai
tamu kehormatan yang telah berjasa besar!"
Saat itu semua orang kembali memperhatikan
bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti menggigil, pandangan matanya
memberingas sedang wajahnya
kelihatan seperti tak berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah itu menjadi kemerahan.
"Saudari... ada apa" Apakah kau mendadak sakit...?"
tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang dara seperti menggigil kedinginan dan
wajahnya memucat.
"Aku tak apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak bisa duduk di antara keluarga
partai. Aku harus pergi sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!"
Tentu saja ucapan sang dara mengejutkan semua
orang, terutama Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
"Saudari, maksudmu bagaimana?" tanya Bimo
Argumulyo. Sementara Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar
bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua Partai Bintang Blambangan masih
menggeletak di ujung panggung. Dia cepat bertindak, melangkah ke arah jenazah,
namun langkahnya tertahan ketika dia mendengar ucapan terakhir dara yang barusan
membakar mati Suto Rawit dengan tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan
pandangan mereka saling bertemu.
"Saudari, kami harus ikut bersamamu katamu...?" tanya Sarwo Bayu. Saat itu dia
merasakan ada getaran aneh memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk
menembus kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan darah di sekujur
tubuhnya. Dia melangkah mendekati kakak sepupunya dan berbisik, "Kangmas Bimo,
perasaanku mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut saja dengan gadis
ini..." "Ada yang tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan
pandang kedua matanya..."
Tapi terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu juga mulai dirasakan oleh
Bimo Argomulyo. Dua pemuda ini memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah
dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan
kepalanya lalu berkelebat turun dari panggung dan lari ke arah timur. Bimo dan
Sarwo sesaat saling pandang lalu tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas
panggung, berlari ke jurusan timur menyusul Dewi Tombak Api.
"Bimo! Sarwo! Kalian mau ke mana" Kembali...!"
berteriak istri Ketua Partai Bintang Blambangan.
Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di lereng bukit sebelah timur. Kembali tempat
itu dilanda kegegeran. Kali ini kegegeran yang disertai tanda tanya tak
terjawab. Apa sebenarnya yang terjadi" Para tetamu kemudian ingat pada orang
yang tadi berseru menyebut nama atau gelar dara jelita itu. Mereka mencari-cari.
Orang itu ditemui.
Tetapi astaga! Dia sudah menjadi mayat dengan leher membiru seperti dicekik!
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
6 ARI dalam rumah yang terletak di lembah sunyi itu terdengar suara eranganerangan halus di antara
Dderu nafas yang memburu dan sesekali ditingkah
oleh suara tawa gelak perempuan. "Kalian berdua memiliki tubuh kuat, masih mudamuda tapi tak dapat
mengalahkanku! Hik... hik... hik..." terdengar suara perempuan berkata lalu
disusul suara kecupan beberapa kali. "Terus terang kami tidak pernah berbuat
begini sebelumnya..." Ada suara lelaki menjawab.
"Betul. Baru sekali ini kami melakukan. Belum
berpengalaman..." Satu suara lelaki lagi menimpali.
Lalu kembali terdengar suara tawa perempuan. "Kalau begitu kalian harus kuajari
ini-itu... Hik... hik..." Lalu terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan
ranjang yang berderik-derik.
Tapi tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, "Ada orang mengintai di atas
atap..." Lalu perempuan itu membentak, "Manusia minta mati! Berani mengintip
urusan orang!"
Satu gelombang angin menderu. Atap rumah yang
terbuat dari papan kayu besi hancur jebol berantakan.
Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai berkelebatnya satu
bayangan biru, melompat dari atas atap, turun ke tanah di halaman kiri rumah.
Di dalam rumah, perempuan yang tadi membentak dan melancarkan pukulan tangan
kosong yang dahsyat cepat menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua
orang pemuda yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat mengenakan pakaian.
Begitu selesai berpakaian
perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar rumah diikuti dua pemuda yang
bukan lain adalah Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
"Hah! Lagi-lagi kau rupanya"! membentak perempuan yang keluar dari dalam rumah,
"kali ini jangan harap aku memberi ampunan padamu Simanti!"
"Kakak Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan
bertobat" Jika kau mau kembali menghadap guru dan menyerahkan senjata pangkal
bahala itu maka kau dan kita semua akan hidup tenteram..."
"Hidup tenteram... Aku tak percaya kata-kata itu. Aku juga tak percaya kalau
Tombak Api milikku merupakan senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru
menginginkan senjata mustika itu untuk kepentingannya sendiri karena dia memang
suka mengumpulkan senjata antik dan sakti..."
"Kakak Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru.
Selama kau memiliki senjata itu dirimu akan selalu berada di bawah pengaruh
nafsu bejat! Apakah kau tidak juga mengerti... Apakah kau tidak sadar apa yang
barusan kau lakukan bersama dua pemuda dari Partai Bintang
Blambangan itu...?"
"Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya
dengan Tombak Api...!"
"Apa yang kami lakukan adalah atas dasar suka sama suka...!" tiba-tiba
menyeletuk Bimo Argomulyo.
Gadis bernama Simanti, seorang dara berparas tak
kalah jelita dengan Sumitri alias Dewi Tombak Api berpaling pada Bimo Argomulyo
dan berkata sinis,
"Sebagai manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau dan saudaramu itu sampai
tergoda. Tapi sebagai tokoh partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau
kalian berdua sampai ikut-ikutan sesat... Apa kalian tidak sadar telah jadi
budak nafsu Dewi Tombak Api"!"
"Simanti! Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku masih mau memandangmu
sebagai adik..." Dewi Tombak Api membentak.
"Tidak kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku harus membawamu pulang
menghadap guru..."
"Hemm... begitu..." Kepandaian apa yang kau miliki hingga berani bicara
sesombong itu"!"
"Dewi... Jika kau memang tak suka si lancang ini berada lebih lama dari sini
biar aku yang memberi pelajaran padanya..." berkata Bimo Argomulyo.
"Terima kasih kalau kau memang ingin bertindak.
Hanya saja kuharap kau maju bersama saudaramu itu..."
jawab Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa
menjajagi, seorang diri Bimo Argomulyo tak akan sanggup menghadapi Simanti yang
memiliki kepandaian hanya satu tingkat saja darinya.
"Kalau Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut pahala untuk mengusirnya!"
kata Sarwo Bayu pula. Lalu dia menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo.
Kedua orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru.
Bimo berusaha merangkul pinggang sang dara sedang Bayu coba menangkap kedua
tangannya untuk diringkus.


Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak semudah itu untuk meringkus
Simanti. Begitu dua pemuda bergerak, dia sudah lebih dahulu memapaki. Tangannya
kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras
menderu membuat dua pemuda terkejut lalu sama
menyingkir ke samping dan dari samping kembali
menyerbu. Bukk! Dukk! Empat lengan saling beradu keras hingga
mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti terpental tiga langkah dan jatuh duduk
di tanah. Sebaliknya Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu jatuh terguling-guling.
Ketika mencoba bangkit jelas wajah keduanya kelihatan
mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masing-masing tampak bengkak
membiru! Dua pemuda itu tidak mengira mereka bisa
dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang kini dipengaruhi oleh amarah segera
mengurung Simanti.
Sarwo Bayu sempat ajukan pertanyaan. "Dewi Tombak Api, apakah kau perkenankan
kami membunuh saja gadis pengacau ini"!"
"Lakukan apa yang kalian suka terhadapnya!" jawab Sumitri atau Dewi Tombak Api.
Maka dari balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua buah anak panah yang terbuat
dari baja putih. Yang satu dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti.
Dua anak panah berkiblat mengeluarkan suara menderu dan cahaya berkilauan.
Seperti diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi.
Dengan memegang senjata berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benarbenar berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah
mendalami ilmu silat panah dan busur yang diwarisinya dari almarhum Ketua Partai
Bintang Blambangan. Maka dalam waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulanbulanan serangan kedua pemuda itu.
Menyerang terus menerus selama lima jurus tanpa
hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi meradang.
Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan jurus-jurus penuh tipuan.
Namun lagi-lagi lima jurus berlalu tanpa mereka mampu menyentuh tubuh atau
pakaian Simanti. "Ah, anak itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya dari satu tahun lalu. Pasti
guru telah membekalinya dengan jurus-jurus silat khusus..." Meskipun menyadari
kehebatan ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api tidak merasa
jerih. "Pemuda-pemuda sesat jaga perut kalian!" terdengar Simanti berseru. Lalu dua
tangannya membagi serangan berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo.
Terpengaruh oleh ucapan lawan serta terjebak oleh apa yang mereka saksikan, dua
pemuda Partai Bintang
Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah perut untuk menangkis
sekaligus menghantam tangan lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua tangan sang
dara yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke atas. Jari
tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah pangkal leher Bimo serta Sarwo.
Tuk... tuk...! Dua pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi
kaku tegang, tak bisa bergerak lagi begitu totokan kilat bersarang di leher
masing-masing. Melihat kejadian ini Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi.
Sebelum melompati Simanti, dari samping dia sudah lepaskan satu pukulan tangan
kosong. Wuss! Simanti terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin kencang disertai hawa
panas menyambar ke arahnya. Dia balas menghantam dengan tangan kanan. Angin
pukulan Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi diam-diam dia
merasakan tangan kanannya seperti
tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi keluarkan pekik kecil.
Di hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa mengejek. "Kalau ilmu baru
sejengkal, jangan berani jual lagak di hadapanku!"
"Kakak Sumitri. Kau harus sadar! Kau harus berusaha menjadi sadar! Kita harus
segara menghadap guru!"
berkata Simanti.
"Jika kakek buntung itu yang memerlukan diriku,
mengapa tidak dia sendiri yang keluar dari sarangnya menemuiku"!" tukas Sumitri.
"Kakak, jangan kau bicara menghina guru seperti itu!"
Simanti tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak seperguruannya itu. Dengan
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan
balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus berlalu dengan cepat.
Diam-diam Sumitri mulai berpikir-pikir apakah
sebaiknya dia keluarkan saja senjata mustikanya yaitu Tombak Api saat itu dan
langsung membunuh si adik.
Namun bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak tega jika dia sampai
membunuh adik seperguruan yang selama lebih dari lima belas tahun hidup
bersamanya, satu ketiduran dan sepermainan.
Setelah dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah permainan silatnya. Jurusjurus yang dikeluarkannya kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah
cepat dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanan-tekanan serangan yang
berbahaya. Gadis ini segera pula merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja dia
berada dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama
semakin sulit baginya untuk melepaskan diri apalagi melancarkan serangan balik.
Pada jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak
seperti terhuyung. Tubuhnya berputar membelakangi Simanti. Ketika Simanti masuk
menyerbu tiba-tiba sikut kanan Dewi Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti
tak dapat mengelakan serangan yang tidak terduga ini.
Bukkk! Simanti mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada darah mengucur. Wajahnya
mengelam sedang sepasang matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir
satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah kalau tidak tiba-tiba
saja dia merasakan ada seseorang yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia
jatuh dalam pelukan orang itu!
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
7 EPASANG mata Dewi Tombak Api memandang
membeliak pada pemuda berambut gondrong yang
Smemeluk tubuh adiknya. "Pemuda kurang ajar!
Berani kau memeluk tubuh adikku!" bentak Dewi Tombak Api seraya maju satu
langkah dan siap menghantam
dengan pukulan tangan kosong.
"Walah! Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan wajah cantik ini jatuh ke
tanah! Masakan itu kau anggap kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak
membunuhnya. Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!"
"Antara aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau
dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa...!" sahut Dewi Tombak Api.
"Dengar. Namaku Wiro Sableng..."
"Setan alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan apakah namamu si Sableng atau
si Gendeng atau si Gila!
Lepaskan tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya lebih lama..."
Pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh
Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke wajah jelita yang ada di dadanya.
Ternyata Simanti saat itu telah jatuh pingsan. Wiro mendukungnya dan
membaringkan gadis ini di dekat serumpunan semak belukar.
"Nah, sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh
adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya Dewi Tombak Api...?" tanya Pendekar 212
Wiro Sableng seraya bertolak pinggang.
"Lekas minggat dari hadapanku! Aku muak melihat
tampangmu yang cengar-cengir macam monyet liar...!"
Wiro Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya lalu menjawab, "Ah,
tampangku memang jelek. Tapi
dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap di dalam rumah sana,
kurasa tampangku tidak kalah keren! Ha... ha... ha...!"
Merah pada wajah Sumitri. "Rupanya pemuda ini sudah berada lama di sekitar
sini," katanya dalam hati. "Jangan-jangan dia ada hubungan apa-apa dengan
Simanti atau guru..."
"Hai! Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?"
"Aih, kau cemburu rupanya! Padahal aku tak ada
hubungan apa-apa dengan dirinya!" jawab Wiro lalu kembali tertawa bergelak
sementara Sumitri kembali tampak menjadi merah wajahnya.
"Lalu apa hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo
Kenanga"!" kembali Dewi Tombak Api ajukan pertanyaan.
"Aku pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus terang aku tidak ada hubungan
dengan segala kerbo atau kerbauuu...!"
"Kalau begitu lekas kau pergi dari tempat ini!"
"Eh, ada hak dan kuasa apa kau mengusirku" Tanah ini bukan milikmu! Lembah ini
bukan punyamu! Rumah di sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi
rumahku atau rumah kita berdua...!"
"Pemuda sableng bermulut lancang! Apa maksudmu"!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Maksudku begini Dewi.
Rumah itu bisa jadi milikku kalau kau memberikannya padaku. Betul kan" Tapi bisa
jadi milik kita berdua kalau kita tinggal berdua-dua di dalamnya!"
"Manusia gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek agar kau tahu rasa!"
"Hai! tunggu dulu!" seru Wiro ketika dilihatnya Dewi Tombak Api hendak
menyerangnya. "Mulutku memang
kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki orang kotor. Tapi
kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa kau tidak ingat kalau barusan saja berbuat
mesum dengan dua pemuda itu"!"
"Aku tidak merasa berbuat mesum!" jawab Dewi
Tombak Api marah sekali.
"Ah, otakmu tidak beres agaknya!" Wiro berpaling pada Bimo Argomulyo dan
mendekati pemuda ini. "Berbuat apa kau dan saudaramu ini dalam rumah itu
beberapa waktu lalu...?"
Meskipun tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun
Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja saat itu Bimo sama sekali tak mau menjawab.
"Baiklah, aku akan coba mencari jawaban sendiri!" Lalu Wiro tarik pinggang
celana Bimo Argomulyo dan melongok ke balik celana itu. "Nah, betul kan kataku!
Kau kelupaan pakai celana dalammu! Ha... ha... ha...!"
Merah pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari samping Dewi Tombak Api
terdengar membentak keras lalu menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas
berupa satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia ingin melampiaskan
amarahnya dengan merobek mulut si pemuda.
"Hai! Kau hendak merobek mulutku!" seru Wiro.
"Silakan saja kalau mau...!" Lalu Wiro sengaja buka mulutnya lebar-lebar. Lima
jari tangan Dewi Tombak Api menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah
miringkan kepalanya ke samping sambil mencibirkan lidahnya panjang-panjang dan
jerengkan kedua matanya.
"Ih tidak kena...! Ayo robek lagi..." Wiro buka kembali mulutnya lebar-lebar.
Amarah Dewi Tombak Api bukan alang kepalang.
Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke tangan kanan. Lalu dia menghantam dengan
dahsyat. Terdengar suara
menggemuruh. Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang angin laksana topan
prahara menabrak ke arahnya. Cepat murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua
tangannya ke depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan Dinding Angin
Berhembus Tindih Menindih.
Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam.
Debu pasir dan kerikil beterbangan ke udara. Semak belukar rambas sedang pohonpohon di sekitar situ berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya
luruh berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke udara sampai satu setengah
tombak. "Gila!" maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru
sekali ini ada lawan yang sanggup berbuat seperti itu terhadapnya. Jatuh tidak
mental pun tidak tapi tubuh terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang
tidak kelihatan! Semakin dia berusaha membalas dengan
pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat!
"Benar-benar edan! Masa kan pukulanku tadi tak
sanggup menghadapi serangan lawan!" Kembali murid Sinto Gendeng memaki. Ketika
tubuhnya terangkat
semakin tinggi, kini sampai empat tombak di udara, tiba-tiba di depan sana Dewi
Tombak Api putar kedua
tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke bawah laksana
menancapkan sesuatu!
Sejalan dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak
Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan yang tadi
mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba.
Dirinya seperti dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik demikian rupa hingga
jika dia tak dapat menguasai diri atau melakukan sesuatu, kepalanya akan
menghunjam tanah lembah itu lebih dahulu!
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan.
Pendekar Pemabuk 11 Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit Rahasia Pesan Serigala 1

Cari Blog Ini