Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi Bagian 2
Si pemuda lepaskan pegangannya. Begitu tangannya bebas Ni Luh Tua Klungkung
langsung menyerang. Si pemuda keluarkan siulan nyaring dan berseru.
"Nenek, ilmu silatmu boleh juga! Tapi kau sedang terluka di dalam. Jika sampai
keluarkan tenaga terlalu besar karena turutkan hawa amarah, kau bisa celaka
sendiri!" Sadar kalau ucapan orang itu memang benar, si nenek bersurut. Sesaat dia tegak
dan memandang si pemuda dengan mata marah berkilat-kilat. Tiba-tiba didengarnya
pemuda di hadapannya berkata.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Nek, kulihat kulit mukamu keriput dimakan usia. Tapi mengapa sepasang matamu
bagus sekali, mati gadis-gadis remajalah yang seperti itu.....!"
"Kau!" seru Ni Luh Tua Klungkung. Kedua kakinya kembali tersurut.
Tubuhnya bergetar. Dia siap mendamprat. Tapi sambil tersenyum pemuda di
hadapannya mengulurkan sebuah benda bulat berwarna hijau.
"Kau terluka di dalam, nek. Cukup parah. Telanlah obat ini!"
"Mana aku tahu itu obat atau racun"!" bentak si nenek.
"Ah, kau tidak percaya pertolongan orang!"
"Kenalpun tidak! Tahu-tahu muncul mau menolong! Bukan kustahil kau kawannya
Pangeran Matahari!"
"Pangeran Matahari! Nama hebat! Siapakah dia" Kekasihmu"!"
"Pemuda kurang ajar! Musuh kau katakan kekasihku!"
Pemuda itu tertawa sambil garuk-garuk kepala. Sekali lagi dia ulurkan tangannya
yang memegang benda bulat hijau. "Makanlah agar lukamu sembuh!"
"Tidak!"
"Jika kau tidak percaya lihatlah aku akan kunyah benda ini!" Lalu si pemuda buka
mulutnya lebar-lebar dan tangannya didekatkan ke mulutnya. Mulut itu kemudian
tampak komat kamit mengunyah sedang matanya terpejam-pejam. Lalu tenggorakannya
tampak seperti menelan. "Nah, kau lihat sendiri. Aku tidak mati.....!"
Si pemuda tertawa gelak-gelak. Memang sikapnya memasukkan obat ke mulut,
menguyah dan menelannya hanya pura-pura saja. Ketika dia menuruti membuka tangan
kanannya yang tergenggam, benda bulat hijau itu masih ada di sana!
"Matamu tajam dan setua ini ternyata kau masih cerdik nek. Dengar, obat ini
hanya tinggal satu-satunya yang kumiliki. Karena hendak menolongmu, mana mungkin
aku benar-benar menelannya.....!"
"Siapa kau sebenarnya! Terus terang pengalaman mengatakan agar kita berhati-hati
terhadap seseorang tak dikenal yang tahu-tahu muncul menunjukkan sikap baik......!"
Sepasang mata si nenek menyelidik tampang pemuda ini. Ketika dia memperhatikan
pakaian yang tak terkancing, pada dada si pemuda yang terbuka dilihatnya guratan
tiga buah angka berwarna biru kehitaman. Dia rasa-rasa pernah mendengar tentang
tiga angka itu.
"Namaku Wiro Sableng. Tapi otakku tidak sableng!" si pemuda jelaskan siapa
dirinya. Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget. "Kau Pendekar 212!" serunya.
Wiro menjura. "Syukur kini kau tahu siapa aku. Kita orang-orang segolongan,
kenapa bersikap curiga......"
"Aku.....aku hanya......" Si nenek tampak salah tingkah.
"Ini ambillah...." Wiro Sableng ulurkan lagi.
Kali ini si nenek mau mengambil lalu dengan agak malu-malu menelan obat itu.
"Bagus.... Bagaimana perasaanmu sekarang nek?"
"Debaran jantungku tidak keras lagi. Aliran darah mulai teratur dan sesak pada
dada mulai berkurang. Obatmu ampuh. Aku mengucapkan terima kasih...." Si nenek
kembali menunjukkan sikap salah tingkah. "Aku tidak melupakan budi
pertolonganmu. Sekarang aku harus pergi....."
"Eh, tunggu dulu!" seru Wiro. "Kau belum menerangkan mengapa tadi kau hampir
menempuh jalan sesat bunuh diri. Juga kau belum menerangkan siapa itu manusia
bernama Pangeran Matahari. Dan mengapa ada banyak mayat malang melintang di
jalan ini. Di antara mereka kulihat perajurit-perajurit kerajaan."
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Setelah meragu sejenak akhirnya Ni Luh Tua Klungkung menceritakan apa yang
terjadi. Dalam keadaan pikiran kacau dan takut menerima hukuman berat dari raja
sampai nekad hendak bunuh diri.
"Tentang siapa Pangeran Matahari akupun tak tahu banyak. Dia mengaku pimpinan
rampok hutan Merapi. Tapi terus terang aku menyangsikan hal itu. Satu hal tak
aku lupakan, dia memiliki ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Nah, aku sudah
jawab semua pertanyaanmu. Aku tak ada waktu lama. Harus cepat-cepat menuju
kotaraja guna menyelidik apakah istri Sri Baginda dan puterinya berada di sana
atau bagaimana. Sekali lagi terima kasih atas obatmu yang mujarab itu....."
"Satu pertanyaan lagi!" Wiro Sableng cepat buka mulut ketika dilihatnya si nenek
hendak berkelebat pergi.
"Apa lagi ini"!" Perempuan tua itu nampak jengkel.
"Dunia ini penuh dengan seribu satu macam keanehan. Terkadang keanehan itu tak
pernah terjawab. Salah satu keanehan saat ini terjadi di hadapanku....."
"Apa maksudmu"!" Suara Ni Luh Tua Klungkung bergetar.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersenyum. "Apakah tidak aneh kalau seorang perempuan
tua berwajah keriput yang berusia mungkin lebih dari tujuh puluh tahun memiliki
sepasang mata yang bagus bercahaya dan sepasang tangan yang berkulit halus....."
Ni Luh Tua Klungkung melompat mundur. Kedua matanya memandang tak berkesip pada
si pemuda dan untuk beberapa saat lamanya tak bisa keluarkan suara apa-apa.
Tahu kalau orang sudah tertangkap tangan dalam penyamarannya Wiro tambaikan
tangan dan cepat berkata "Sudahlah, jangan pikirkan pertanyaan atau ucapanku
tadi. Kalau kau melakukan penyamaran kau tentu punya alasan sendiri. Aku tak
layak menanyakan alasanmu itu. Jika kau memang bermaksud ke kotaraja, apakah
kita bisa jalan bersama....?"
Sebenarnya kalau saja penyamaran dirinya tidak diketahui Wiro, "sang nenek"
tidak akan merasa keberatan untuk sama-sama berangkat ke Surokerto. Dia buruburu berkata. "Kalau begitu kita berpisah di sini. Siapa tahu ada umur panjang
dan bertemu lagi....." Wiro lalu menjura dan tinggalkan tempat itu.
Tinggal kini si "nenek" tertegak di tengah jalan seorang diri.
"Empat tahun menyamar tak seorangpun mengetahui siapa aku! Tapi pendekar itu
sungguh tajam dan cerdik. Sekali bertemu langsung membongkar kedokku! Tolol!
Tololnya aku.....!" Dia tampar-tampar sendiri keningnya. "Kalau sudah begini, tak
ada jalan lain! Aku harus membuat samaran baru!" Lalu Ni Luh Tua Klungkung
tanggalkan pakaian birunya. Di balik pakaian biru itu ternyata dia mengenakan
sehelai pakaian ringkas berwarna kelabu. Tangannya digerakkan ke wajahnya.
Sehelai kulit tipis yang bersambungan dengan rambutnya yng putih tersingkap.
Kini kelihatanlah raut wajah dan rambutnya yang asli. Ternyata si "nenek" ini
aslinya adalah seorang dara berparas jelita dan berambut hitam. Dari balik balik
pakaian kelabunya sang dara keluarkan sebuah topeng kulit tipis, lengkap dengan
rambut pendek. Begitu di kenakan ke wajahnya maka berubahlah dia jadi seorang
pemuda tampan yang mencerminkan watak keras. Dia pandangi kedua tangannya. Lalu
geleng-gelengkan kepala. "Aku harus melakukan sesuatu dengan tangan ini. kalau
tidak penyamaranku pasti akan diketahui orang pula. Apalagi kalau bertemu lagi
dengan si Sableng itu!"
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Siang itu Tumenggung Gali Marto merasa tidak enak. Yakni sehabisnya seorang
utusan istana datang menemuinya. Utusan ini membawa sepucuk surat dari R.A.Siti
Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga. Surat itu menjelaskan tentang pertemuan
R.A. Siti Hinggil dengan seorang pemuda berkepandaian tinggi, mengaku bernama
Pangeran Matahari. Isi surat memberi peringatan pada sang tumenggung bahwa ada
tanda-tanda dari sikap dan air mukanya bertanyakan Tumenggung Gali Marto si
pemuda mempunyai satu maksud yang tidak baik. Dalam surat R.A. Siti Hinggil juga
menjelaskan peristiwa penghadangan di luar kotaraja.
"Pangeran Matahari....." ujar Tumenggung Gali Marto lalu meletakkan surat di
pangkuannya. "Tak pernah kukenal orang dengan nama aneh begitu. Jika dia menunjukkan
sikap menolong terhadap R.A. Siti Hinggil dan puterinya bahkan menolong kedua
perempuan itu dari Warok Sumo Gantra, mengapa pula dia mengandung maksud yang
tidak baik terhadapku" Sulit diterka mengapa dia menanyakan diriku....." Setelah
berpikir lama dan tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya Tumenggung Gali Marto
menarik kesimpulan, mungkin sekali pemuda itu menanyakan untuk mencari
pekerjaan. Sebagai kepala pengawal atau sebagai perwira muda. "Tapi....." kata
batin sang tumenggung membantah sendiri. "Jika dia memang seorang pangeran,
mengapa mempersusah diri dengan mencari pekerjaan....?"
Selesai makan siang itu, Tumenggung Gali Marto pergi duduk di kursi batu di
dalam taman di bagian belakang gedung kediamannya. Sambil duduk dan menggelitik
telinganya dengan bulu ayam lelaki berusia hampir setengah abad itu mendengarkan
permainan rebab yang digesek oleh seorang tua bermata buta, yang duduk di rumput
tak berapa jauh darinya.
Suatu saat Tumenggung Gali Marto hentikan mengorek kuping dan berpaling pada
orang tua penggesek rebab.
"Akik Tua.... Mengapa suara rebabmu tiba-tiba menjadi sumbang?" bertanya
Tumenggung Gali Marto.
Yang ditanya tidak menjawab, melainkan beringsut di atas rumput mendekati
tumenggung. Setelah dekat diapun berbisik. "Tumenggung, saya mendengar suara
orang melangkah mundar-mandir di balik tembok halaman belakang ini....."
Tentu saja Tumenggung Gali Marto terkejut mendengar kata-kata orang tua itu.
tapi dia percaya apa yang dikatakan. Sebagai orang cacat buta kedua matanya,
Tuhan mengaruniai satu keluar biasaan pada Akik yakni pendengaran yang sangat
tajam. Bahkan seorang pesilat tingkat tinggi yang memiliki kesaktianpun kalah
hebat pendengarannya dengan si buta ahli penggesek rebab ini. Tumenggung Gali
ingat pada surat R.A.Siti Hinggil.
"Apakah orang itu hanya sendiri" Dan apakah dia masih mundar-mandir sepanjang
tembok.....?" bertanya Tumenggung Gali Marto.
Akik Tua mendongak, memasang telinga sesaat menjawab. "Dia memang sendirian,
Tumenggung. Dan masih mundar-madir di sekitar tembok. Seperti menunggu
sesuatu....."
Tumenggung Gali Marto campakkan bulu ayam di tangan kanannya lalu berdiri dari
kursi batu. "Hendak ke mana Tumenggung.....?"
"Kau tetap di sini Akik. Aku akan menyuruh para pengawal menyelidik. Siapa orang
mencurigakan di luar tembok sana....."
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Baru saja Tumenggung Gali Marto berkata begitu sesosok tubuh tampak melayang
melompati tembok belakang gedung kediaman yang tingginya sekitar tiga tombak.
Orang yang barusan melompat ini sebelum menjejakkan kedua kaki di rumput taman
membuka mulut menimpali ucapan sang tumenggung tadi.
"Tak perlu susah-susah mencari pengawal. Orang yang kau curigai saat ini telah
berada di hadapanmu!"
Tumenggung Gali Marto kaget bukan main. Dia cepat membalik. Empat langkah di
hadapannya, tegak di atas undak-undak batu, tampak seorang pemuda berpakaian
serba hitam. Pada bagian dada baju yang dikenakannya ada gambar puncak gunung
berwarna biru dengan latar belakang matahari merah darah serta sinarnya berupa
garis-garis warna kuning. Pemuda tak dikenal bertampang keras angkuh ini tegak
bertolak pinggang. Keningnya yang tinggi lebar diikat dengan sehelai kain
berwarna merah.
"Kau manusianya yang bernama Gali Marto, berpangkat Tumenggung.....?" si pemuda
kembali membuka mulut.
Seumur hidupnya tidak pernah Tumenggung Gali Maarto ditegur sekasar itu.
behkan Raja sekalipun kalau bicara bersikap sopan dan mempergunakan bahasa yang
halus. Kini seorang pemuda tak dikenal bicara begitu kurang ajar terhadapnya.
Dengan sendirinya darah naik ke kepala sang tumenggung. Kedua rahangnya menonjol
saking geram. Akik Tua si penggesek rebab yang sudah mencium bakal terjadi hal yang tidak enak
bangkit berdiri, terbungkuk-bungkuk berkata pada Tumenggung Gali Marto
"Sebaiknya saya pergi memanggil pengawal....."
"Orang buta!" membentak pemuda berpakaian hitam. "Satu langkah lagi kau berani
bergerak, putus nyawamu!"
Baru diancam begitu Akik Tua benar-benar seperti merasa sudah putus nyawanya.
"Aku tidak berdosa, tidak berbuat kesalahan apa-apa, mengapa ada orang yang
ingin membunuhku.....?"
"Buta! Ternyata kau terlalu banyak mulut! Aku tidak suka pada manusia banyak
omong! Kau berangkat duluan.....!"
Pemuda berpakaian hitam pukulkan tangan kirinya. Perlahan saja. Kejap itu
terdengar pekik penggesek rebab buta itu. tubuhnya mencelat, terbanting di pilar
beranda gedung, jatuh ke tangga dan tak berkutik lagi. Darah tampak mengucur
dari mulutnya. "Durjana tak berperi kemanusiaan!" teriak Tumenggung Gali Marto marah besar. Dia
menyerbu ke depan. Tapi ketika si pemuda itu mengangkat tangan kanannya, serta
merta Tumenggung ini merasakan seperti menabrak tembok. Dia tak dapat bergerak
mendekati si pemuda.
"Apakah kau berperi kemanusiaan ketika kau meninggalkan anak lelaki di sekitar
Sleman ketika Merapi meletus dua belas tahun lalu"!"
Paras Tumenggung Gali Marto berubah pucat.
"Apakah...... Jadi, jadi..... kau Pangeran Anom yang hilang!" seru sang Tumenggung.
Si pemuda menyeringai "Namaku Pangeran Matahari! Bukan Pangeran Anom....."
"Ah, tidak! Wajahmu jelas mirip Pangeran Anom, putera Sri Baginda yang hilang
dalam peristiwa meletusnya gunung Merapi..... Betul! Aku ingat sekarang!"
Tumenggung Gali Marto tiba-tiba jatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Pangeran
Matahari. BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pangeran Anom bukannya hilang! Pada saat suasana kacau itu kau bukan melindungi
atau menyelamatinya. Malah meninggalkannya, mencari selamat sendiri!
Tentunya pada Sri Baginda kau mengarang cerita bahwa anak itu lenyap waktu
berburu, waktu terjadi letusan Merapi. Benar begitu......?"
"Saya.....saya tidak ingat lagi. Tapi saya yakin kau adalah Pangeran Anom.....
Saya minta diampuni kalau Pangeran Anom menganggap peristiwa itu sebagai satu
kesalahan atau kesengajaan. Saya....."
"Jangan panggil aku Pangeran Anom!" bentak si pemuda. "Namaku Pangeran
Matahari!"
"Siapapun kau adanya, saya mohon diampuni....." kata Tumenggung Gali Marto yang
tetap yakin pemuda di depannya itu adalah Pangeran Anom yang dua belas tahun
lalu terpisah dari rombongan ketika berburu di kaki Merapi.
"Tumenggung Gali Marto! Tahukah kau bahwa dosa kesalahanmu dua belas tahun silam
tak bisa diampuni" Dan hanya bisa kau tebus dengan nyawa pengecutmu"!"
"Demi Tuhan saya....."
Kaki kanan Pangeran Matahari bergerak. Tumenggung Gali Marto membuang diri ke
samping. Dia selamat dari tendangan maut itu. Namun ketika ada suara mendesis
dan Pangeran Matahari dorongkan tangan kirinya perlahan sekali, segulung angin
panas menghantam sang tumenggung. Tak ampun lagi orang ini terguling-guling di
rumput taman. Tubuhnya tampak hangus. Rumput taman juga kelihatan mengering
seperti terpanggang!
Dengan tenang Pangeran Matahari melangkah mendekati mayat Tumenggung Gali Marto.
Dari pakaian hitamnya dia mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini dijatuhkannya
dan tepat menutupi wajah hitam hangus Tumenggung Gali Marto.
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Seorang punggawa masuk dengan napas terengah-engah dan hampir roboh ketika
hendak menjura di hadapan Patih Haryo Unggul. Dia membuka mulut akan mengatakan
sesuatu namun nafasnya dan dadanya yang sesak membuat tak ada suara yang keluar
dari mulutnya. Akibatnya dia hanya bisa mengulurkan tangan menyerahkan selembar
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kertas yang nyaris lusuh serta basah oleh keringatnya.
Penuh heran Patih Haryo Unggul mengambil kertas itu. Di situ ternyata terdapat
sederetan tulisan berbunyi :
Bagi semua manusia tak berbudi
Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri Pangeran Matahari datang
membawa mati! Sebagai seorang Patih Kerajaan, Haryo Unggul memiliki sifat tegas dan teliti
tanpa melupakan perasaan sabar dan sikap lembut terhadap siapa saja. Walau dia
tidak segera mengerti apa makna tulisan yang tertera di atas kertas itu namun
dia menunggu dengan sabar sampai punggawa yang barusan datang menghadap menjadi
tenang dari keletihan dan sesak nafasnya. Dia maklum punggawa ini datang bukan
menunggang kuda, tetapi dengan berlari. Lalu dari ciri-ciri pakaiannya sang
Patih mengetahui kalau punggawa ini bertugas di tempat kediaman salah seorang
Tumenggung Kerajaan.
Setelah merasa cukup memberi waktu maka Patih Haryo Unggulpun menyapa.
"Sekarang terangkan apa yang terjadi. Mengapa kau datang berlari ke mari.
Lalu dari mana kau mendapatkan kertas bertulis ini....."
Sang punggawa bersimpuh hormat sekali lagi lalu menajwab "Saya bertugas di
gedung kediaman Tumenggung Gali Marto....." selanjutnya punggawa ini lalu
menuturkan apa yang terjadi. "Kertas itu ditemukan di atas jenazah Tumenggung.
Sengaja ditinggalkan oleh pembunuh......"
"Kau tahu siapa pembunuhnya?" tanya Patih Haryo Unggul kaget.
Si punggawa gelengkan kepala.
"Peristiwa berdarah luar biasa!" ujar Patih Haryo Unggul. Hatinya terguncang
tapi sikapnya tetap tenang.
"Istri Tumenggung Gali Marto minta agar Patih menyampaikan berita dukacita ini
ke Istana....."
"Aku tidak akan memberitahu Raja sebelum menyelidik dan tahu pasti apa
sebenarnya yang terjadi. Kematian adalah kematian. Tapi jelas ada sesuatu di
balik kematian Tumenggung Gali Marto......" Patih Haryo Unggul membaca kembali
tulisan di atas kertas lusuh itu. "Pangeran Matahari. Diakah pembunuhnya"
Ancamannya bukan gertakan kosong belaka. Dia telah membuktikan. Tumenggung Gali
Marto mati di tangannya."
Patih Haryo Unggul berpaling pada punggawa dan berkata "Kau boleh pergi.
Aku dan pembantu-pembantuku segera berangkat ke tempat kediaman almarhum
Tumenggung Gali Marto."
Baru saja punggawa itu meninggalkan halaman gedung Kepatihan, tiba-tiba masuk
seorang perajurit menunggang kuda, langsung menghadap Patih Haryo Unggul.
"Berita buruk untukmu Patih. Berita buruk untuk kita semua. Pangeran Jati Mulyo
ditemukan tewas terbunuh siang ini dalam taman istana sebelah timur. Patih
diminta datang menghadap Sri Baginda."
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ketika perajurit itu hendak minta diri, Patih Haryo Unggul segera berkata
"Tunggu, Jangan pergi dulu. Apakah sudah diketahui siapa pembunuh Pangeran Jati
Mulyo"' "Tidak seorangpun tahu. Hanya saja ada keanehan....."
"Keanehan bagaimana?" tanya Patih pula.
"Sepucuk surat ditemukan di atas tubuh Pangeran Jati Mulyo," menerangkan
perajurit itu. "Hemmmm.....
Apakah surat itu, seperti ini isinya.....?"
Ketika melihat kertas yang diangsurkan Patih Haryo Unggul, si perajurit
terbelalak. "Betul Patih..... ukuran keratas dan bunyi tulisannya sama dengan
ini....." "Pergilah. Aku akan segera menghadap Raja. Harap sampaikan juga pada Raja bahwa
siang ini Tumenggung Gali Martopun ditemui tewas terbunuh......"
Debu jalanan menggebubu ke udara. Bukan saja menutup pemandangan tapi menyumbat
jalan pernafasan. Dua orang perajurit tampak terguling di tengah jalan sambil
merintih kesakitan. Satu memegangi kepalanya yang benjol, lainnya mengurut-urut
tulang kering kaki kirinya yang remuk.
Di tengah debu dan erang kesakitan itu, dua orang perwira muda tampak bertempur
melawan seorang pemuda ramping berpakaian kelabu yang memiliki sepasang tangan
aneh karena berwarna coklat seperti dilumuri parem. Jelas dua orang perwira
kerajaan itu memiliki kepandaian tinggi. Serangan yang mereka lancarkan bertubitubi dan sangat berbahaya. Namun si pemuda tampak menghadapi dua lawan itu
dengan tenang. Dia tak banyak membuat gerakan tapi perubahan tangan dan
pergeseran kaki menyebabkan dua lawan kehilangan sasaran dan sekaligus mendapat
serangan balasan tak terduga.
"Orang muda! Jika kau tidak mau menyerahkan diri dan siap digeledah, jangan
salahkan kalau kami terpaksa pergunakan senjata!" salah seorang perwira muda
berteriak. Sejak tadi dia sudah menduga kalau pemuda itu bukan orang
sembarangan. Dari pada menempur terus-terusan tanpa hasil, maka kalau senjata
yang bicara mungkin lawan dapat ditakluakan.
"Perwira sombong! Bertindak seenaknya! Aku tidak membuat kesalahan apapun!
Mengapa harus menyerahkan diri dan harus digeledah"!"
"Kami menjalankan perintah!" menjawab perwira satunya. "Kerajaan dalam bahaya!
Pangeran Jati Mulyo dan Tumenggung Gali Marto terbunuh...."
"Lalu apa sangkut pautku dengan kematian mereka"!" tukas si pemuda.
"Setiap orang asing harus diperiksa!"
"Aku bukan orang asing! Aku tinggal di selatan Kotaraja!"
"Dusta! Gerak-gerikmu mencurigakan! Jika tidak bersalah kenapa takut
diperiksa dan digeledah"!"
"Jangan samakan aku dengan pencuri atau maling!"
"Kalau begitu mungkin kami harus melukaimu baru menurut!" perwira di sebelah
kiri memberi isyarat. Serentak dia dan temannya lalu mencabut golok berkeluk di
pinggang masing-masing. Dengan senjata ini keduanya siap menyerbu kembali. Namun
sebelum sempat bergerak, pemuda berbaju abu-abu seudah lebih dahulu melompat di
antara keduanya. Tangan kiri kanan bergerak. Dari mulutnya terdengar suara
bentakan "Lepas!"
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dua buah golok berkeluk mental ke udara. Dua orang perwira kerajaan itu menjerit
kesakitan. Keduanya serentak mundur ketika didapati telapak tangan masing-masing
telah bengkak lebam merah kebiruan!
Serombongan orang berkuda muncul di tempat itu. Lalu terdengar suara menegur.
"Apa yang terjadi di sini?"
Dua orang perwira muda yang tegak kesakitan itu berpaling. Keduanya cepat-cepat
menjura ketika mengetahui siapa yang datang.
"Patih Haryo Unggul, kami tengah menjalankan tugas. Pemuda asing ini menolak
diperiksa dan digeledah. Malah nyata-nyata berani melawan dan mencelakai kami!"
menerangkan satu dari dua perwira itu.
Patih Haryo Unggul menatap sejurus pada pemuda berpakaian kelabu."Tidak dapat
tidak kau adalah seorang dari dunia persilatan, anak muda. Berarti ada jiwa
satria dalam tubuhmu. Tetapi mengapa menolak untuk diperiksa"'
"Karena saya tidak merasa bersalah apa-apa Patih," jawab pemuda itu.
"Tapi sikapnya mencurigakan!" tukas perwira muda di samping kiri.
"Siapa namamu anak muda?" tanya patih Haryo Unggul.
Yang ditanya tak menjawab, malah balikkan diri hendak melangkah pergi.
Namun kepala seekor kuda yang menyorong ke arahnya membuatnya terkejut. Dia
melangkah mundur dan dapatkan diri berhadap-hadapan dengan seorang bertubuh
tinggi kekar, berpakaian bagus gemerlap, duduk di atas seekor kuda hitam
berkilat. Orang yang barusan datang ini bersama beberapa pengiringnya membuka mulut.
"Jika kau tidak mau memberitahukan nama, kau bukan saja hanya dicurigai, tapi
layak ditangkap!" lalu orang berpakaian gemerlapan ini menggerakkan kudanya
mendekati Patih Haryo Unggul.
"Paman Patih, salam untukmu. Apakah kau mendengar tentang seorang bernama
Pangeran Matahari......?"
"Panglima Kotaraja, salam berbalas untukmu. Memang aku ada mendengar tentang
nama itu. Tapi hanya sedikit sekali. Aku dalam perjalanan ke Istana menemui
Raja....."
"Kita bisa sama-sama menghadap. Namun pemuda satu ini perlu diurus lebih dulu.
Bukan mustahil dialah Pangeran Matahari. Hanya seorang berkepandaian sangat
tinggi bisa merobohkan Tumenggung Gali Marto dan melewati penjagaan ketat untuk
membunuh Pangeran Jati Mulyo......."
Patih Haryo Unggul usap-usap dagunya. Lalu menganggukkan kepala seraya berkata.
"Baiklah Panglima. Selesaikan urusan kalian dengan pemuda itu. Tapi ingat.
Waktu kita sempit sekali....."
"Tak usah kawatir Paman Patih. Aku hanya perlu sekejapan mata saja untuk
meringkus pemuda bermuka pucat ini!" kata penunggang kuda hitam yang ternyata
adalah Raden Kertopati, Panglima Kotaraja. Sang panglima yang percaya akan
kemampuannya, tanpa turun dari kudanya ulurkan tangan kanan menotok ke arah
punggung pemuda berpakaian kelabu. Gerakannya sungguh cepat. Begitu bahu
bergerak, dua ujung jari telah sampai di depan punggung. Tapi dia kecele kalau
menduga dapat melumpuhkan pemuda itu dalam sekali totok atau sekejapan mata.
Orang yang hendak ditotok justru melangkah maju setindak hingga totokan hanya
mengenai tempat kosong. Tanpa membalikkan diri pemuda itu ulurkan kedua
tangannya dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Raden Kertopati. Sebelum
sempat berbuat sesuatu sang panglima rasakan tangan dan juga tubuhnya tersentak
keras hingga terangkat dari punggung kuda hitam dan mental ke udara!
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Belasan mulut keluarkan seruan tertahan karena kaget. Patih Haryo Unggul sendiri
beliakkan mata. Bagaimankah tidak! Sebagai Panglima yang bertanggung jawab atas
keamanan Kotaraja, Raden Kertopati diketahui semua orang memiliki kepandaian
silat yang tinggi di samping tenaga dalam dan kesaktian. Kini tokoh yang
disegani itu seperti barang mainan, dilemparkan begitu saja oleh seorang pemuda
ramping tidak dikenal. Bukan saja si pemuda memiliki nyali besar namun semua
orang yang ada di tengah jalan itu, termasuk Patih Haryo Unggul memastikan bahwa
si pemuda berpakaian kelabu bukan pula orang sembarangan.
Raden Kertopati sendiri hampir tak percaya ketika dapatkan dirinya terbetot
keras dan melayang di udara. Dengan membuat gerakan junkir balik Panglima
Kotaraja ini berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki menginjak tanah lebih
dahulu dan hampir tanpa suara! Sepasang bola mata sang panglima tampak mendelik
membara. Wajahnya mengelam membesi dan pelipisnya bergerak-gerak. Inilah satu
pertanda bahwa Raden Kertopati dilanda gelegak amarah ditambah malu besar!
"Aku yakin kau memang sebenarnya Pangeran Matahari yang menimbulkan kekacauan
dengan membunuh Tumenggung Gali Marto serta Pangeran Jati Mulyo!"
suara Raden Kertopati keras dan bergetar.
"Keyakinanmu tidak beralasan Panglima....."
"Jika kau dapat membuktikan bahwa kau memang bukan Pangeran Matahari, kami akan
melepaskanmu. Kau boleh pergi dengan aman....." yang bicara adalah Patih Haryo
Unggul. "Mulailah dengan menerangkan siapa namamu. Lalu dari mana kau datang.
Dan apa keperluanmu berada di Kotaraja...."
"Saya tidak dapat memenuhi permintaanmu Patih Kerajaan. Sekarang biarkan saya
pergi...." Menjawab si pemuda.
"Kalau kau tidak dapat menerangkan diri dan asal-usul serta keperluanmu berada
di Kotaraja, lalu tak dapat pula membuktikan bahwa kau memang tidak ada sangkut
pautnya dengan kematian Tumenggung Gali Marto maka kau akan kami tangkap!"
Mendengar ucapan Patih Haryo Unggul itu si pemuda tampak menjadi gusar.
Maka diapun menjawab. "Jika kalian orang-orang Kerajaan hendak menjatuhkan
tangan sewenang-wenang, ketahuilah kalian tak akan mendapat apa-apa. Kecuali
benjat-benjut atau patah tulang!"
"Pemuda sombong bermulut besar! Berani menantang berani menghina! Patih Haryo
Unggul, biarkan aku memisahkan tubuh dan kepalanya dengan kedua tanganku!"
berkata Raden Kertopati penuh beringas. Amarah dan rasa malunya tadi masih belum
lenyap, kini si pemuda malah berani menganggap enteng dan menghina.
Patih Haryo Unggul hendak mengatakan sesuatu namun belum sempat Raden Kertopati
sudah melompat dengan dua tangan terpentang ke arah leher pemuda berpakaian
kelabu. "Patah lehermu!" teriak Raden Kertopati.
Justru pada saat itulah terdengar seseorang berseru.
"Aku dapat membuktikan pamuda itu bukan Pangeran Matahari! Bukan pembunuh
Tumenggung Gali Marto ataupun Pangeran Jati Mulyo!"
Bersamaan dengan seruan itu, satu hantaman angin menderu keras. Panglima
Kotaraja merasakan tubuhnya seperti disapu topan. Sesaat dia coba bertahan.
Tubuhnya seperti tergantung di udara namun di lain kejap dia terlempar ke
belakang sampai empat langkah. Dadanya bergetar sakit dan wajahnya yang garang
tampak pucat! BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Hemm ada lagi satu pemuda sinting bernyali besar yang muncul di tempat ini!"
menggeram Raden Kertopati seraya pelotokan mata ke arah seorang pemuda
berpakaian putih dengan rambut gondrong menjela bahu.
Kalau para perwira muda dan belasan pengiring sang panglima serta pengiring sang
patih kini menjadi semakin tertarik menyaksikan apa-apa yang terjadi di tempat
itu, sebaliknya diam-diam Patih Haryo Unggul mengeluh dalam hati. Dia ingin
lekas-lekas menuju ke Istana, kini mengapa persoalam di tengah jalan ini semakin
berpanjang-panjang. Siapa pula si gondrong bertampang cengengesan ini, pikirnya.
"Aku bukan orang sinting. Tapi memang punya nyali untuk melawan tindak-tanduk
orang-orang yang kurasa tidak pada tempatnya. Pemuda itu adalah sahabatku!
Sejak malam sampai siang tadi aku selalu bersama-samanya. Kami hanya berpisah
sebentar saja. Nah bagaimana kalian menuduh dia sebagai pembunuh Tumenggung Gali
Marto dan Pangeran Jati Mulyo?"
"Orang muda, kau pandai bicara! Bukan mustahil apa yang kau katakan itu adalah
karanganmu belaka!" yang bicara adalah patih haryo Unggul. "Terangkan siapa kau
adanya. Juga katakan siapa orang yang kau katakan temanmu ini!"
"Jika yang punya diri tidak mau mengatakan siapa dia, mana mungkin aku
berlancang mulut beri keterangan!"
Panglima Kotaraja maju selangkah. "Patih! Dari pada kita bicara tarik urat
dengan dua orang gila ini, lebih baik keduanya kita ringkus saja!"
"Tunggu dulu!" seru pemuda gondrong berpakaian putih seraya mendekati pemuda
berpakaian kelabu.
"Selagi kalian merepotkan diri dengan kami orang-orang tak bersalah, orang yang
kalin cari bebas gentayangan di Kotaraja! Katakan kalian berhasil meringkus kami
orang-orang buruk tanpa dosa ini. Tapi bagaimana kalau kesempatan itu digunakan
oleh si penyebar maut untuk menimbulkan bencana baru" Membunuh pejabat atau
salah seorang putera raja lainnya?"
Mendengar kata-kata itu Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati jadi saling
pandang. "Ah! Pemuda pandai bicara ini sengaja hendak menyesatkan kita dengan katakatanya!" ujar Raden Kertopati.
Patih Haryo Unggul tampak mulai kesal. Dia diam saja seolah-olah menyetujui
ketika Raden Kertopati memberi isyarat pada belasan pengiringnya, lalu
mendahului menyerbu dua pemuda.
Pemuda berpakaian putih menepuk bahu pemuda berpakaian kelabu seraya berkata
"Sahabat, lebih baik kita pergi saja dari sini. Tak ada guna melayani orangorang panjang kekuasaan tapi pendek akal!"
Baru saja si gondrong bicara begitu tiba-tiba bukk! Satu jotosan menghantam
dadanya. Seorang perajurit terpekik dan terjengkang. Dialah tadi yang memukul.
Melihat hal ini Raden Kertopati segera berteriak. "Semua ikut menyerbu! Tangkap
dua pemuda itu hidup atau mati!"
Sementara itu Patih Haryo Unggul duduk mengusap dagu penuh masgul di atas
punggung kudanya. Dan sang patih bertambah kusut hati dan pikirannya ketika
melihat Panglima Kotaraja yang terkenal garang dan tinggi kepandaiannya itu,
bahkan dibantu oleh belasan perajurit dan tiga perwira muda ternyata tidak mampu
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi gebrakan-gebrakan dua pemuda yang berkelahi saling bertempelan
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
punggung. Ketika belasan senjata mulai dari golok sampai pedang ikut bertabur di
udara Patih haryo Unggul tak dapat menahan diri lagi.
"Aku harus melakukan sesuatu. Salah atau benar tindakanku ini biarlah nanti
diurus." Lalu sang patih angkat kedua tangannya ke depan, telapak tangan
terkembang. "Panglima dan yang lain-lain, kalian menyingkirlah sebentar!"
bersamaan dengan itu Patih Haryo Unggul dorongkan kedua tangannya, perlahan
sekali. Tak ada suara angin berkesiuran, tak ada debu atau pasir jalan
beterbangan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Raden Kertopati dan belasan
orang yang mengeroyok dua pemuda tampak tergontai-gontai lalu oleh satu kekuatan
yang tidak kelihatan mereka terseret ke samping hingga kini dua pemuda itu
berada di tengah kalangan pertempuran, terpisah jauh dari para penyerangnya.
Keluar biasaan itu tidak hanya sampai di situ. Ketika secara perlahan-lahan pula
Patih Haryo Unggul menarik kedua tangannya ke belakang, pemuda baju putih dan
baju kelabu tersentak kaget ketika dapatkan tubuh masing-masing laksana
tersedot. Sadar kalau sang patih berusaha melumpuhkan mereka dengan
kesaktiannya, dua pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam.
Pemuda baju kelabu tampak seperti sanggup bertahan dari sedotan yang kuat luar
biasa itu. Namun hanya sesaat. Di lain kejap tubuhnya mulai bergetar. Kedua
lututnya bergoyang. Sementara itu pemuda gondrong berpakaian putih tampak
cucurkan keringat pada wajah dan keningnya ketika pergunakan kemampuan untuk
menghadapi kekuatan lawan. Melihat pemuda baju kelabu mulai punah pertahanannya
diapun membisiki.
"Kita sama-sama maju ke depan dua langkah. Ikuti arah sedotan. Pada langkah
ketiga kita sama-sama menghantam ke arah kuda orang itu. Kerahkan seluruh tenaga
dalam. Kau mengerti sahabat?"
Pemuda baju kelabu menjawab dengan anggukan. Begitu si baju putih mulai
melangkah, diapun mengikuti. Satu langkah, dua langkah. Pada langkah ketiga
kedua pemuda tu sama-sama hantamkan tangan kanan ke arah kuda tunggangan Patih
Haryo Unggul. Buumm! Tanah di tempat itu laksana digoncang gempa bumi. Langit di sebelah atas seperti
hendak runtuh. Tanah dan pasir berhamburan. Daun-daun pepohonan berguguran.
Seruan kaget ditingkah ringkik kuda menambah tegangnya suasana.
Ketika tanah dan pasir serta debu yang beterbangan jatuh mereda dan keadaan
terang kembali, di tanah jalanan tampak dua buah lobang besar. Dan bukan itu
saja. Di sebelah kiri pemuda baju kelabu kelihatan terduduk di tanah sambil
pegangi dada. Di sampingnya pemuda berpakaian serba putih kelihatan berlutut
lalu berdiri dengan tubuh agak sempoyongan. Di bagian lain, seekor kuda
tergelimpang dengan tubuh hancur dan darah bergenang di sekitarnya. Inilah kuda
tunggangan patih Kerajaan.
Dan sang patih sendiri tampak terguling di tengah jalan. Pakaian kebesarannya
kotor, lengan kanannya tampak lecet terluka sedang wajahnya pucat seperti kain
kafan. "Mereka lenyap!" terdengar seruan Raden Kertopati.
Semua orang kaget, termasuk Patih Haryo Unggul yang mencoba bangkit sambil
tertatih-tatih. Dua pemuda yang sebelumnya berada di tempat itu ternyata memang
tak ada lagi di situ!
Patih Haryo Unggul tepuk-tepuk pakaiannya yang kotor oleh debu dan tanah
jalanan. Dia geleng-gelengkan kepala, memandang pada Panglima Kotaraja dan
berkata "Aku yakin tidak satupun di antara dua pemuda itu adalah Pangeran
Matahari! Jika keduanya inginkan jiwaku, mereka dapat membunuhku tadi! Sayang
mereka tak mau memperkenalkan nama. Tapi pukulan yang dilepaskan pemuda BASTIAN
TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
berpakaian kelabu itu rasa-rasa pernah kulihat sebelumnya." Sang patih usap-usap
dagunya. "Apa mungkin itu punya hubungan dengan Ni Luh Tua Klungkung....."
Hanya dia yang punya ilmu pukulan seperti itu. Tapi si nenek itu sampai sekarang
masih belum ditemukan jenazahnya...... Panglima sebaiknya kita segera berangkat ke
istana....."
Patih Haryo Unggul mengangguk. Sesaat dia memandang pada dua lobang besar yang
ada di tanah, gelengkan kepala lalu naik ke atas kuda yang dibawakan seorang
perajurit. Rombongan itu bergerak cepar menuju istana. Di sebuah tikungan yang
menurun, kelihatan seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menyongsong arah
rombongan. Ternyata seorang perajurit kepala yang bertugas di istana. Wajahnya
pucat, nafasnya mengengah.
"Celaka Patih, celaka Panglima....."
"Apa yang celaka"!" tanya Raden Kertopati tak sabaran.
"Seorang pemuda tak dikenal mengamuk di istana. Dua orang putera Sri Baginda
Raja tewas di tangannya. Dia berusaha menerobos ruangan Kancana Wungu yang
memisahkan kamar tidur Sri Baginda. Penyerbu tunggal ini semula henda menerobos
untuk membunuh Sri Baginda. Puluhan perajurit dikerahkan untuk melindungi Raja.
Mereka dipimpin oleh perwira-perwira tinggi. Namun si penyerbu tunggal
kelihatannya tak mungkin dibendung. Sementara Raja berhasil diselamatkan lewat
pintu rahasia, belasan perajurit menemui ajal....."
"Celaka Patih....." ujar Panglima Kotaraja.
"Ketika saya meninggalkan istana mendadak muncul dua pemuda. Saya tidak tahu
siapa mereka. Tapi tampaknya keduanya mengambil kedudukan di belakang pasukan
kita, menanti serangan penyerbu tunggal....."
Sesaat Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati saling pandang. Ketika keduanya
menggebrak kuda masing-masing maka rombongan itupun segera menghambur menuju
istana. BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Ketika Patih Haryo Unggul serta Panglima Kotaraja bersama rombongan sampai di
istana ternyata ratusan perajurit telah mengurung istana di sebelah luar. Di
sebelah dalam puluhan lainnya bertempu melawan seorang pemuda berpakaian serba
hitam dengan gambar gunung serta matahari di bagian dada. Pangeran Matahari! Di
lantai berkaparan belasan mayat. Rata-rata mati dalam keadaan mengerikan di
salah satu pojok tampak terbujur mayat salah seorang putera Sri Baginda yang
dilaporkan terbunuh itu. Lalu pada dinding sebelah dalam yang tadinya bersih
kini tampak sederetan tulisan yang kelihatannya ditulis dengan darah!
Bagi semua manusia tak berbudi
Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri Pangeran Matahari datang
membawa mati! "Patih, lihat gambar matahari di pakaian pemuda berikat kepala merah itu?"
berbisik Raden Kertopati. "Aku yakin inilah bangsatnya yang mengaku bernama
Pangeran Matahari!"
"Akupun sudah menduga begitu," jawab Patih Haryo Unggul. "Ada satu yang
mengherankanku," berkata Patih ini lebih lanjut. "Wajah manusia satu ini kenapa
mirip-mirip wajah putera-putera Sri Baginda lainnya?"
"Astaga!" Panglima Kotaraja terkejut. "Kau benar Patih......"
"Aku tengah mencari-cari dua pemuda tak dikenal yang dikatakan juga muncul di
tempat ini. Apakah kau sudah melihatnya Panglima?"
Pertanyaan Patih Haryo Unggul itu membuat Panglima Kotaraja memandang
berkeliling mencari-cari. Sang panglima akhirnya melihat dua pemuda yang
sebelumnya bentrokan dengan mereka di tengah jalan. Pemuda baju kelabu dan
pemuda berpakaian putih itu berada di barisan belakang puluhan perajurit yang
bertahan di pintu masuk kamar tidur Sri Baginda, tegak enak-enakan seolah-olah
asyik menonton pembantaian yang dilakukan oleh pemuda berpakaian hitam!
"Patih, jangan-jangan manusia yang mengamuk ini adalah Pangeran......"
Belum selesai ucapan Raden Kertopati itu tiba-tiba dari arah depan ruangan besar
masuk seorang bertubuh tinggi kekar tapi melangkah dengan dipapah dua orang
perwira muda. "Siapa yang begini kurang ajar membuat keonaran dan pembunuhan dalam istana
Surokerto"!" orang yang barusan datang membentak. Suaranya menggelegar.
Tapi untuk bicara itu tampaknya dia harus mengeluarkan tenaga besar. Karena
sehabis bicaa nafasnya kelihatan sesak.
"Panglima Besar Kerajaan!" berseru Raden Kertopati. "Kau sedang sakit berat.
Mengapa berada di tempat ini!"
Orang tinggi besar itu ternyata adalah Panglima Balatentara Kerajaan Raden Mas
Jayengrono menjawab tanpa alihkan pandangan matanya dari otang berpakaian hitam
yang masih terus mengamuk di tengah ruangan. "Mengetahu ada pengacau yang
membuat keonaran dan melakukan pembunuhan keji di Kotaraja dan istana Sri
Baginda, mana aku bisa enak-enakan berada di atas tempat tidur!"
"Urusan ini biar kami yang menyelesaikan Panglima Besar. Kau harap suka kembali
ke tempat kediamanmu!" yang berkata adalah Patih Haryo Unggul.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tapi Jayengrono mana mau mendengar. Masih dalam keadaan dipapah oleh dua orang
perajurit di kiri kanan, dia melangkah ke tengah ajang pertempuran lalu
membentak garang "Semua perajurit Kerajaan mundur!"
Serentak semua penyerbu melompat mundur hingga kini pemuda berikat kepala kain
merah berbaju hitam dengan gambar matahari dan gunung di dadanya tinggal
sendirian. "Kau dajalnya yang bernama Pangeran Matahari"!"
Bentakan Panglima Balatentara Kerajaan itu tidak membuat pemuda di tengah
ruangan menjadi kecut. Malah dengan congkak dia keluarkan suara tawa bergelak.
"Aku bukan dajal!" sahutnya. "Tapi Malaikat Maut yang akan mengambil nyawa
manusia-manusia tak berbudi di luar dan di dalam istana.....! Aku adalah Pangeran
Matahari!"
"Hemm..... Ukuran apakah yang kau jadikan dasar menentukan seseorang tidak berbudi
dan pantas dibunuh seenak perutmu"!" bertanya Jayengrono.
Sementara itu Patih Haryo Unggul dan Kertopati melangkah ke depan dan tegak
mendampingi Panglima Balatentara Kerajaan itu.
"Mudah saja, kalau kau memang ingin tahu! Manusia tak berbudi adalah mereka yang
menyia-nyiakan kehidupan manusia lainnya bahkan darah daging mereka sendiri.
Termasuk manusia-manusia yang hidup penuh rasa iri, berhati bengkok dan ingin
mencelakai orang lain, senang jika orang lain mengalami bencana.
Termasuk juga manusia-manusia pengkhianat!"
"Kalau memang begitu ukuranmu, jelas kau sendiri termasuk manusia yang harus
disingkirkan dari muka bumi. Bukankah kau mencelakai orang lain"
Menimbulkan bencana pembunuhan" Dan senang melakukan semua keganasan keji itu"!"
Paras Pangeran Matahari tampak membesi dan merah. Namun dengan segala
kecongkakan dia kembali umbar suara tawa bergelak.
"Sebelum mati puaskan dulu tawamu manusia biadab!" berkata Jaengrono.
Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan suara membentak dahsyat. Kedua tangannya
kiri kanan diangkat dan jari telunjuk menusuk lurus ke depan. Terdengar jeritan.
Dua perajurit yang memapah Panglima Balatentara Kerajaan mencelat dan roboh di
depan kaki para perajurit yang tegak berjejer sepanjang dinding ruangan besar
itu. Dada masing-masing kelihatan hangus. Bau sangit daging yang terbakar
menebar dalam ruangan itu mebuat suasana yang kini mendadak sesunyi di pekuburan
bertambah sangat menegangkan!
Karena kini tak ada lagi yang memapah maka kalau tidak segera ditolong oleh
Kertopati dan Patih Haryo Unggul, niscaya Panglima Balatentara Kerajaan itu
jatuh terbanting ke lantai.
"Biarkan aku duduk di lantai istana! Manusia durjana ini harus mati di tanganku
sekalipun nyawaku ikut melayang!" kata Jayengrono. Gerahamnya bergemeletakan
tanda amarahnya sudah mencapai puncak.
"Panglima," bisik Patih Haryo Unggul. "Biarkan kami yang menyelesaikan urusan
ini.....!"
"Kalian menjauhlah!" bentak Jayengrono beringas. Meskipun sangat mengawatirkan
keselamatan Panglima Balatentara itu namun tak ada yang bisa dilakukan sang
patih maupun Kertopati. Keduanya dengan terpaksa melangkah menjauh.
"Panglima Kerajaan!" terdengar Pangeran Matahari membuka mulut. "Jadi kau
memilih mati dengan cara duduk begitu rupa"! Diberi kesempatan mati terhormat di
atas tempat tidur, malah memilih mati seperti gembel!"
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wajah Raden Jayengrono yang pucat sesaat tampak menjadi merah oleh ucapan yang
sangat menghina dari Pangeran Matahari.
"Mulutmu besar! Sikapmu congkak! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu!
Sebelum meregang nyawa apakah kau tak ingin memberitahu siapa kau sebenarnya"!"
begitu Panglima Balatentara Kerajaan menjawab ucapan orang.
Pangeran Matahari menyeringai penuh sinis. "Namaku kalian sudah tahu tapi masih
ingin bertanya. Sungguh manusia tolol! Tapi aku tak keberatan memberitahu sekali
lagi. Namaku Pangeran Matahari. Aku datang dari puncak Merapi! Turun dari puncak
gunung untuk membasmi manusia-manusia tolol dan tak berbudi macam semua yang ada
di sini....!"
"Cukup!" sentak Jayengrono yang duduk bersila di lantai sambil tangkapkan kedua
lengan di depan dada. "Sekarang silahkan perlihatkan kehebatanmu. Aku akan
melayanimu dengan duduk di lantai. Manusia bejat sepertimu hanya cukup dilayani
cara begini!"
Pangeran Matahari menyeringai. Sepasang matanya membersitkan maut.
Didahului bentakan menggeledek dia melompat ke depan. Pada jarak tiga langkah
dari hadapan Jayengrono dia menghantam dengan tangan kanan. Tapi seolah-olah
dilabrak oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan, sebelum hantamannya sampai,
tubuh Pangeran Matahari tampak terpental, hampir tersungkur di lantai kalau dia
tidak cepat imbangi diri.
Diam-dian Pangeran Matahari merasa kaget bukan main. Ternyata nama Raden Mas
Jayengrono bukan satu nama kosong belaka. Penuh rasa penasaran dan hawa amarah
yang mulai menggelegak Pangeran Matahari angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke
atas. Jari membentuk tinju. Lengan ditarik perlahan untuk kemudian dihantamkan
ke depan dengan deras sementara jari-jari yang membentuk tinju serentak
dilepaskan. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Merapi Meletus. Ledakan
dahsyat disertai guncangan keras dan hanaman angin panas melanda tubuh
Jayengrono yang duduk bersila di lantai. Jelas tampak tubuh Panglima Balatentara
itu bergoyang-goyang, tapi hanya sesaat. Di sekitarnya belasan orang
berpelantingan.
Tubuh-tubuh bergelimpangan dan erang kesakitan terdengar di mana-mana sementara
salah satu bagian atap ruangan besar itu tampak ambrol hangus!
Setelah menguasai keadaan dirinya yang terguncang pukulan lawan tadi tiba-tiba
Jayengrono memukul dengan tangan kiri. Terdengar seperti suara ratusan seruling
ditiup berbarengan. Lalu angin topan prahara menggempur ke arah Pangeran
Matahari. Semula pemuda ini menganggap remeh serangan lawan. Tapi ketika tubuhnya mulai
dijalari hawa panas dan terseret, maka diapun berteriak keras dan melompat ke
udara. Dari atas dia hantamkan tangan kanan ke bawah ke arah Jayengrono.
Semua orang yang ada di situ tersentak tegang dan berusaha menyingkir ketika
tiga sinar mengerikan berkiblat disertai hawa seperti memanggang seluruh isi
ruangan. Inilah pukulan sakti bernama Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar
kuning, hitam dan merah!
Maklum lawan menyerangnya dengan pukulan dahsyat yang bisa membawa maut maka
Jayengrono angkat kedua tangannya ke depan dan mendorong sambil kerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya. Terjadilah hal yang sangat hebat.
Tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu seperti dibungkus dan dipanggang oleh
tiga sinar panas. Meskipun beberapa lamanya tiga sinar itu seperti tidak sanggup
menghantam langsung sosok tubuh Jayengrono, namun daya pertahanan orang ini
sedikit demi sedikit manjadi goyah. Tubuhnya mulai mengeluarkan asap. Bibirnya
bergetar lalu dari sela bibir tampak ada busah ludah, disusul cairan darah
merah! BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Panglima!" seru Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati hampir bersamaan.
Kalau sang patih memburu ke arah Jayengrono maka Raden Kertopati melompat ke
arah Pangeran Matahari dan menghantam batok kepala pemuda itu dengan jotosan
tangan kanan. Patih Haryo Unggul meraskan tubuhnya menggeletar panas ketika memegang tubuh
Jayengrono yang saat itu mulai seperti tidak sadarkan diri. Patih ini kerahkan
tenaga dalamnya, tapi tenaga dalam itu teeasa seperti tersedot dan akibatnya
tubuhnyapun jadi limbung.
Akan Raden Kertopati nasibnya lebih buruk lagi. Serangan yang dilancarkan penuh
amarah yakni berupa hantaman tangan kanan ke batok kepala Pangeran Matahari,
membuat dia melupakan pertahanan sendiri. Dadanya yang terbuka menjadi sasaran
empuk lawan. Meskipun Pangeran Matahari hanya mendorongkan tangan kirinya
sedikit saja, namun karena disertai mantera yang memberikan tenaga dahsyat luar
biasa maka tak ampun lagi Panglima Kotaraja itu terpental jauh, begitu terhampar
di lantai langsung semburkan darah segar. Masih untung lelaki itu memiliki daya
tahan yang cukup tergembleng hingga tidak menemui ajalnya ataupun pingsan.
Dalam keadaan megap-megap dia berusaha duduk bersila untuk mengatur jalan darah
dan nafas sertak kerahkan tenaga dalam ke bagian yang terluka di sebelah dalam.
Melihat tiga lawan kuat berada dalam keadaan tak berdaya maka Pangeran Matahari
kembali lepaskan pukulan Gerahana Matahari. Kini tak ampun lagi tiga tokoh
Kerajaan itu pastilah akan menemui ajalnya!
Namun jika Tuhan belum menghendaki, tak seorangpun akan menemui kematian! Di
saat ang sangat kritis itu dari sudut ruangan tiba-tiba berkiblat sinar putih
menylaikan seperti seduhan perak. Dari sudut lain menggebubu angin laksana
punting beliung.
Bum.....bum! Suara dua kali ledakan disusul dengan robohnya sebagian atap ruangan membuat
semua orang menjadi geger. Sosok tubuh Jayengrono tampak bergetar hebat namun
selubungan pukulan Gerhana Matahari yang tadi seperti membungkus tubuh Panglima
Balatentara Kerajaan itu kini tak kelihatan lagi. Patih haryo Unggul yang tadi
berada di bawah pengaruh hawa panas pukulan sakti Pangeran Matahari terbanting
ke lantai, dan dia selamat dari luka dalam yang parah. Sementara itu Panglima
Kotaraja dalam keadaan cidera merangkak menjauhi kalangan pertempuran.
Seorang bawahannya cepat membantu dan memapahnya ke satu sudut yang aman.
Di tengah kalangan pertempuran Pangeran Matahari nampak duduk bersila.
Dadanya turun naik cepat sekali. Dia kerahkan tenaga dalam untuk mengatur jalan
nafas dan darah. Meskipun tidak mendapat cidera apa-apa namun adanya dua pukulan
sakti yang tadi menyusup dan menghantam pukulan Gerahana Matahari yang
dilepaskannya telah membuat tubuhnya terguncang keras, jalan darahnya menjadi
kacau, pemandangannya berkunang, kepala pening dan dadanya sesak. Memandang ke
depan dilihatnya dua prang pemuda tak dikenal tegak di tengah ruangan. Yang satu
bersikap waspada memasang kuda-kuda, berpakaian kelabu dan bertubuh ramping.
Satunya lagi tegak dengan wajah menyeringai sambil menggaruk kepalanya beberapa
kali. Sebelum Pangeran Matahari sempat membentak, pemuda berambut gondrong talah
membuka mulut, ditujukan pada Patih haryo Unggul.
"Patih Kerajaan, agar salah sangka dan curiga di antara kita dapat dijernihkan,
aku mohon izinmu untuk menyingkirkan pembunuh biadab bertopeng iblis yang hebat
budi itu!"
"Ah, dua pemuda itu....." desis Patih Haryo Unggul.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Panglima Balatentara Kerajaan buka matanya lebar-lebar dan berbisik pada Haryo
Unggul. "Kau kenal dua pemuda asing itu Patih" Siapa mereka?"
"Waktu kita sangat sempit. Nanti saja aku ceritakan. Sebelumnya aku sempat
menjajagi ketinggian ilmu keduanya. Dalam keadaan kita semua cidera begini rupa,
jika kau setuju aku akan mengabulkan permintaan mereka. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku tak kenal mereka. Tapi aku percaya padamu!"
Mandapat persetujuan itu maka Patih Haryo Unggul mengangkat tangannya, memberi
isyarat tanda persetujuan sementara Raden Kertopati terduduk di sudut ruangan
dengan harap-harap cemas.
Mengetahui Patih Kerajaan dan yang lain-lain mengabulkan permintaannya maka dua
pemuda di tengah ruangan berpaling menghadapi Pangeran Matahari.
Sesaat tiga pemuda itu saling pandang tanpa berkesip. Pangeran Matahari
membentak lebih dahulu.
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Dua ekor monyet kesasar. Katakan siapa kalian sebelum kukirim ke neraka
menghadap raja monyet!"
"Walah!," menyahuti pemuda gondrong sambil tertawa lebar, membuat semua yang
menyaksikan menjadi heran, apakah si gondrong ini masih belum mengerti dengan
siapa sebenarnya di berhadapan"! "Raja monyet di neraka justru mengutus kami
untuk menjemputmu! Jika kau membunuh kami berdua, siapa yang menjadi penunjuk
jalanmu menuju neraka"!"
Dalam keadaan lain ucapan pemuda itu mungkin dianggap lucu dan menimbulkan gelak
tawa. Tapi dalam suasana tegang seperti itu, tak satupun yang tertawa atau
tersenyum. Semua semakin tegang. Pangeran Matahari sendiri tampaknya merasa
seperti ditempelak hingga tampangnya yang congkak kelihatan mengelam dan
rahangnya menggembung. Tapi sesuai dengan segala akal, segala kecerdikan dan
segala kelicikan yang ditanamkan gurunya dalam dirinya, dia sudah mencium bahwa
menghadapi dua pemuda tak dikenal ini sekaligus sangat berbahaya baginya. Ini
telah dibuktikan bagaimana dua pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup meredam
bahkan memusnahkan pukulan Gerahana Mataharinya. Dalam hati dia mulai mendugaduga siapa adanya dua pemuda ini.
"Rupanya aku salah sangka. Kukira kalian dua ekor monyet kesasar, ternyata dua
ekor babi peliharaan Kerajaan yang hendak mencoba jadi pahlawan!"
"Sahabatku," berkata pemuda berpakai putih kepada kawannya si baju kelabu.
"Menurutku manusia satu ini keberatan nama. Seharusnya dia tidak usah memakai
sebutan Pangeran kalau isi perutnya hanya sampah busuk belaka. Tapi kalau
kudengar kata-katanya sejak tadi, dia pantas menjadi seorang pemain sendiwara
picisan atau penyair butut. Bagaimana pendapatmu"!"
Si baju kelabu tertawa gelak-gelak, membuat Pangeran Matahari seperti panas
terbakar. "Pangeran keranjang sampah!" begitu si kelabu membentak. "Kau telah
memulai segala kekjian dan kebiadaban! Hari ini kami akan mengubur semua itu
bersama bangkaimu!"
"Tentu saja kalau bangkainya masih utuh, sahabatku!" menimpali si gondrong.
"Kalau nanti ternyata telah seperti daging cincangan pergedel, jangan salahkan
aku yag tak bisa menguburnya!"
"Bangsat bermulut besar!" bentak Pangeran Matahari marah sekali. "Kau gondrong
majulah lebih dulu!" Selagi membentak itu Pangean Matahari sudah melompat lebih
dahulu seperti tidak memberi kesempatan pada lawan. Tubuhnya tahu-tahu sudah
berada dua langkah dari hadapan lawan dan tangan kanan menjotos laksana kilat ke
pelipis si baju putih.
"Pecah kepalamu!" teriak Pangeran Matahari.
"Hancur tanganmu!" balas si baju putih. Lalu tangan kanannya menabas ke atas,
menyongsong lengan lawan. Bentrokan dua lengan tidak terhidarkan lagi.
Bukk! Si gondrong berpakaian putih terhenyak di lantai. Lengan kanannya tampak bengkak
membiru. Dadanya mendenyut sakit dan telinganya berdenging panas. Baju putihnya
yang tidak terkacing tersibak lebar. Dada dan perutnya tersingkap. Pada dada
kelihatan guratan tiga buah angka : 212. Sedang di pinggangnya tampak tersisip
sebilah senjata aneh berbentuk kapak bermata dua!
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Matahari yang saat itu tegak tersandar ke dinding sambil mengatur
aliran darahnya yang seperti tak menentu akibat bentrokan tadi terkejut
beliakkan mata ketika melihat tiga buah angka dan senjata yang tersisip di
pinggang pemuda lawannya. "Tak bisa tidak pemuda ini adalah yang diceritakan
guru padaku. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Kalau tidak kusingkirkan keparat
ini sekarang-sekarang, pasti bisa merepotkan!" menyadari hal ini Pangeran
Matahari lalu alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tapi betapa
terkejutnya pemuda ini ketika dapatkan ada sesuatu yang tak beres dengan tangan
kanannya. Ternyata akibat bentrokan lengan dengan Pandekar 212 Wiro Sableng tadi
pembuluh darahnya ada yang terjepit hingga jalan darah ke lengan dan tangan
menjadi tidak lancar.
"Keparat celaka!" memaki Pangeran Matahari dalam hati. "Sehebat inikah pemuda
gondrong ini" Tak salah kalau guru menasihatkan agar aku berhati-hati
terhadapnya. Tak ada jalan lain, kelicikan harus kupergunakan!" Maka Pangean
Matahari alihkan aliran tenaga dalamnya ke tangan kiri. Diam-diam dia menyiapkan
pukulan Gerahan Matahari. Kalau tadi dikeroyok dua dia memang tidak mampu,
sekarang saatu lawan satu masakan pemuda itu tak dapat dirobohkan.
"Saudara!" Pangeran Matahari menegur dengan sikap lembut disertai gerakan
menjura dan maju dua langkah. "Melihat tiga buah angka di dadamu dan Kapak Maut
Naga Geni 212 tersisip di pinggangmu, ternyata kita adalah sahabat segolongan.
Gurumu Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede masih saudara dekat guruku.
Maafkan kalau hari ini aku telah bertindak yang tidak menyenangkanmu!"
Tentu saja Pandekar 212 Wiro Sableng kaget bukan main mendengar kata-kata
Pangeran Matahari itu. Kalau memang guru pemuda itu tidak punya hubungan dengan
dengan gurunya sendiri, bagaimana mungkin dia tahu tentang dirinya dan Eyang
Sinto Gendeng. Sesaat Wiro Sableng hanya tegak tertegun.
Pangeran Matahari datang lebih dekat. Sekali lagi dia menjura seraya berkata.
"Harap maafkan keteledoranku. Segala dosa akan kutanggung di hadapan guru. Aku
harus pergi sekarang. Lain kesempatan aku ingin sekali menemuimu....." Habis
berkata begitu sekali lagi Pangeran Matahari menjura. Kali ini lebih dalam.
Tetapi tiba-tiba dengan sangat cepat tangan kirinya menghantam. Sinar merah,
kuning dan hitam untuk kesekian kalinya berkiblat dalam ruangan besar itu
disertai suara menggelegar. Orang banyak menyingkir sambil berteiak kaget dan
ketakutan. "Pembokong pengecut!" teriak pemuda berbaju kelabu. Dari samping dia lepaskan
pukulan sakti beracun yang mengeluarkan asap kuning berbau harum.
Pukulan ini lebih hebat dan ganas daripada kalau dilancarkan dengan jalan
meniupkan mulut. Namun segala kehebatan yang dimiliki pukulan skati itu tiada
gunanya karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari yakni pukulan Gerhana
Matahari telah lewat lebih dahulu, menghantam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
di seberang sana!
"Edan!" teriak Wiro Sableng. Dia telah menyaksikan kehebatan dan keganasan
pukulan sakti itu. Mendapat serangan begitu tak terduga Pendekar dari Gunung
Gede ini tak bisa berbuat lain daripada jatuhkan diri hampir sama rata ke
lantai, lalu balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari yang dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dalam dan sekaligus dua tangan!
Seperti diketahui pukulan sakti Gerhana Matahari bersumber pada hawa panas.
Begitu juga pukulan Sinar Matahari. Akibat panas bertemu panas maka terjadilah
satu dentuman yang menggelegar disertai cipratan lidah-lidah api yang menyambar
ke pelbagai penjuru!
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kobaran api yang disertai asap tebal menutup pemandangan memenuhi tempat itu.
orang banyak berpekikan dan selamatkan diri masing-masing, termasuk Raden
Kertopati, Raden Mas jayengrono dan Patih haryo Unggul, Pemuda berpakaian kelabu
merasakan ada orang menarik tangannya dalam kegelapan asap tebal yang menutup
pemandangan. "Sahabat, mari kita pergi dari sini!" Mengenali itu adalah suara
Pendekar 212 Wiro Sableng, maka pemuda itu mengikut saja. Keduanya berlari ke
arah timur. Di sebuah bukit di pinggiran Kotaraja mereka berhenti. Dari tempat
itu dapat disaksikan bagaimana api masih terus berkobar dan melalap istana.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau mengajak aku meninggalkan istana!
Urusan kita dengan Pangeran Matahari masih belum selesai...." Berkata pemuda baju
kelabu. "Memang belum selesai," sahut Wiro. "Tapi kalau manusia itu sudah kabur, buat
apa berlama-lama berada di istana yang tengah dimakan api itu?"
"Siapa manusia jahat itu sebenarnya?"
"Sukar diduga kalau tidak diselidiki. Tapi satu hal sudah pasti. Dunia
persilatan kini dilanda malapetaka baru. Dan Pangeran Matahari jadi biang
racunnya!"
Pemuda ramping berpakaian kelabu termangu sesaat. Lalu dia bertanya
"Bagaimana kau tahu kalau aku adalah juga nenek keriput yang tempo hari kau
temui menangis hendak bunuh diri?"
Wiro Sableng tertawa lebar. "Penyamaranmu kali ini cukup bagus, sahabat.
Hanya saja kau masih melupakan sesuatu. Aku curiga ketika melihat sepasang
tanganmu yang sengaja dilumuri lumpur sampai mengering. Jelas kau menyembunyikan
sesuatu. Kalau dulu sewaktu jadi nenek perot itu kau memakai nama Ni Luh Tua
Klungkung, siapa nama palsumu sebagai seorang pemuda bertampang banci saat
ini"!"
Pemuda berpakaian kelabu yang sebenarnya adalah seorang gadis itu dan
menyembunyikan wajah aslinya di balik sehelai topeng tipis hanya bisa tertawa
kecut. "Apakah kau tidak akan kembali mengabdi pada Sri baginda?" bertanya Wiro.
Yang ditanya menggeleng. "Aku telah membuat kelalaian dan kesalahan besar.
Bagaimana mungkin kembali mengabdi. Aku memutuskan untuk mengembara ke timur.
Kau sendiri mau ke mana sekarang?"
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Biarlah aku seiring seperjalanan menuju
timur. Sampai satu hari kau merasa bosan dan menyuruhku minggat!"
Kedua pemuda itu menuruni bukit, lari ke arah timur. Di atas mereka matahari
bersinar terik. Mau tak mau mengingatkan kedua orang ini kembali pada Pangeran
Matahari. Bencana apa lagi yang hendak ditebarnya kelak"
TAMAT BASTIAN TITO 43 Iblis Sungai Telaga 12 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pedang Langit Dan Golok Naga 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama