Ceritasilat Novel Online

Guci Setan 2

Wiro Sableng 073 Guci Setan Bagian 2


puncak Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan
kediaman Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ramada dan tiga anak buahnya berdiri di hadapan gubuk tua tapi masih tampak
kokoh. Pintu gubuk tertutup, begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung itu
benar-benar diselimuti kesunyian.
'"Sinto Gendeng! Kami datang dari jauh untuk menemuimu! Mengapa
bersembunyi di dalam gubuk"!" Ramada berteriak.
Tak ada jawaban atau suara apapun dari dalam gubuk. Ramada berteriak sekali
lagi. Tetap saja tak ada jawaban.
"Mungkin tua bangka itu tak ada di sini, Ramada," kata Jalak Ijo.
"Untuk memastikan coba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!" kata Ramada
Suro Jelantik pula.
Jalak Ijo dan dua temannya meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu
lewat pintu depan yang ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk.
Di depan rumah Ramada menunggu dengan rasa tidak sabar. Dia mencoba menghibur
diri dengan mengelus-elus tubuh istri mudanya yang telah jadi mayat seraya
berkata perlahan "Tenang Dardini, tenang. Lewat kematiian tua bangka keparat itu
kita pasti bisa memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan diri akan
kutabas batang lehernya. Kuminum darahnya lalu kulumat daging dan tulang
belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu tempat yang indah.
Kau akan tidur dengan tenang. Sabar istriku. Sabar..... Aku akan membuatkan makam
yang sangat bagus untukmu. Aku akan...."
Ucapan Ramada Suro Jelantik terputus. Dari dalam rumah terdengar suara jeritan
tiga kali berturut-turut. Ramada kenal benar. Itu adalah suara teriakan ketiga
anak bauhnya. "Jalak Ijo! Jalak Item! Jalak Biru!" teriak Ramada "Apa yang terjadi dengan
kalian"!"
Baru saja Ramada Suro Jelantik berteriak begitu tiba-tiba tiga buah benda
melesat keluar dari dinding-dinding gubuk yang jebol. Satu dari sebelah depan,
dua dari samping kiri.
Ramada mendelik besar ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat
dinding gubuk lalu bergulingan di tanah ternyata adalah Jalak Ijo, Jalak Item
dan Jalak Biru!
"Anjing kurap! Apa yang terjadi"!" teriak Ramada marah sekali.
Tiga anak buahnya berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening
Jalak Ijo dan Jalak Biru kelihatan benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak Item
megap-megap sambil pegangi perutnya. Ketiganya lalu berusaha secepat mungkin
mengambil pikulan masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah.
Begitu mereka memegang keranjang rotan tampang mereka tampak beringas.
"Kalau aku tidak bisa membunuh tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh
diri!" teriak Jalak Item.
"Aku juga!" menyahuti Jalak Ijo.
"Sama dengan aku!" kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.
Tiba-tiba pintu gubuk yang tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari
dalam gubuk muncul satu sosok tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa
tinggi serta panjang. Suara tawa ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak
buahnya mengiang sakit tetapi juga membuat keempatnya tercekat. Mamandang ke
arah pintu mereka malah tambah terkesiap karena tidak pernah menyangka kalau
perempuan tua penghuni gubuk di puncak Gunung Gede itu begini angkernya!
ENAM Orang yang keluar dari dalam gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam.
Kulitnya ini tidak lebih dari selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia
tidak bungkuk pasti terlihat bagaimana sosok tubuhnya yang jangkung sekali.
Mukanya cekung di bagian mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih, begitu
juga rambutnya yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris
sulah itu menancap lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak
mungkin disisipkan pada rambutnya yang jarang. Lima perhiasan dari perak itu
justru langsung menancap di kulit dan batok kepalanya! Sepasang matanya yang
hitam gelap memandang berputar ke arah empat orang yang ada di halaman gubuk.
Lalu dari mulutnya meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari mulunya yang ompong
mengucur keluar air liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat ke arah
pohon di seberang halaman.
Terdengar suara berderik sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke
tanah. Hal itu membuat Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi
terkesima. Namun orang-orang ini mana mengenal rasa takut.
"Ramada, biar kubunuh nenek keparat itu sekarang juga!" kata Jalak Ijo seraya
tangannya bergerak hendak membuka penutup keranjang rotannya di mana tersimpan
ular kobra beracun yang diberi nama Ratu Hijau.
"Sabar sedikit Jalak Ijo. Maut tak bakal lepas dari dirinya. Biar aku bicara
dulu padanya...."
Di ambang pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dair
mulutnya terdengar suara membentak.
"Puluhan tahun hidup di puncak Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan
tamu aneh dan kurang ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau
mencuri atau memang munta mati"!"
"Tua bangka edan! Kami datang memang untuk mencuri. Bukan mencuri
harta bendamu karena pasti dalam gubukmu hanya ada barang-barang rombengan yang
tidak ada harganya!"
Si nenek tertawa cekikikan. "Manusia bermuka setan alas dan bertuuh sebusuk
comberan! Mulutmu pandai bicara. Coba jelaskan apa yang hendak kau curi dari
tempat ini!"
"Aku kemari untuk mencuri nyawa anjingmu!" jawab Ramada lantang.
Sepasang mata cekung dan hitam si nenek tampak seperti mengeluarkan kilatan
aneh. Lalu mulutnya kembali tertawa panjang.
"Kalau kau hendak mencuri nyawaku, apa kau kira aku tak bisa mencuri
jantungmu"!" Hik...hik...hik...!"
"Nenek iblis!" teriak Ramada. Agar aku tidak kesalahan tangan lekas katakan
apakah kau manusianya yang bernama Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro
Sableng"!"
"Kalau aku memang Sinto Gendeng lalu kenapa" Kalau aku bukan Sinto Gendeng
lantas bagaimana"!" si nenek bertanya.
"Iblis ngacok!" hardik Ramada mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku Dardini
diturunkannya lalu dibaringkannya dengan sangat hati-hati dekat akar sebatang
pohon. "Muridmu si Wiro Sableng itu telah memperkosa istriku! Lalu membunuhnya!
Apa kau kira bakal ada pengampunan bagi dirinya dan juga bagi kau"!"
Si nenek hentikan tawanya. Dia dongakkan kepala beberapa saat lalu memandang
dengan mata berkilat-kilat pada Ramada Suro Jelantik. "ini adalah fitnah paling
keji yang pernah didengar telinga tua ini!"
"Ini bukan fitnah!" teriak Jalak Ijo. "Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid
celakamu itu!"
"Betul!" menyahuti Jalak Biru. "Muridmu membunuh perempuan itu dengan
Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal leher jenazah!"
Si nenek terdiam.
"Tua bangka jahanam. Kau terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau
Sinto Gendeng guru Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!"
Si nenek menyeringai seperti setan. Lalu gelengkan kepalanya. "Murid Sinto
Gendeng tidak akan melakukan kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku
menjadi muak melihat tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman
gubukku! Kalian semua adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan guci!
Bermuka berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!"
Ramada mendengus keras. Didahului dengan suara teriakan keras dia
menerkam ke arah si nenek yang memang adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang
ada roda besi bergerigi mencelat ke depan.
Rrrrrrrr! Gigi-gigi roda besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek.
Seumur hidupnya Sinto Gendeng belum pernah melihat senjata seperti ini. Dia
berteriak nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu
menghantam tangga batu di depan gubuk. Tangga batu itu tebongkar berkepingkeping! Ramada menyeringai. "Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!"
"Betul begitu" Aku malah ingin sekali merasakan bagaimana enaknya!" kata
Sinto Gendeng. Lalu dia tertawa cekikikan.
Seperti terbakar Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya.
Tangan kirinya ikut melepaskan pukulan tangan kosong sementara tangan kanan
tetap tidak melepaskan Guci Setan.
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng berkelebat kian kemari. Selama enam jurus
diserang terus-terusan dia hanya membuat gerakan menghindar. Baru pada jurus
ketujuh si nenek mulai balas melancarkan serangan-serangan. Gerakannya seperti
main-main saja tetapi Ramada merasa seolah-olah ada satu gelombang raksasa yang
menghantamnya. Sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi maka Ramada Suro
Jelantik segera keluarkan jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang
sementara roda besinya mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala
jurusan. Eyang Sinto Gendeng walaupun kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja
dia berlaku tenang. Malah dia tiba-tiba mendapat satu akal guna melumpuhkan
serangan lawan. Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan
kanannya pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan jenazah
istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir sampai di situ, si
nenek lalu mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan
tangan kanan lawan.
"Bangsat sialan!" maki Ramada Suro Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan habishabisan untuk menyelamatkan Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa ttidak
sanggup, pada jurus ke 28 lelakiini berteriak keras lalu lemparkan Guci Setan ke
atas. Guci ini melesat ke udara, melayang tinggi lalu jatuh dan menyangsang di
antara kelebatan daun-daun sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada
menghadapi Sinto Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek
kelihatan terdesak.
"Manusia bau! Ilmu silatmu boleh juga!" memuji si nenek. "Tapi coba kau
hadapi jurus seranganku ini!" Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke
kanan seolah hndak memukul sisi tubuh lawannya. Bersamaan dengan itu ujung-ujung
jarinya disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas.
"Sepasang naga menyusup awan!" teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus
serangannya. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari
kuncup lurus ke depan dan seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah
jantung dan tenggorokan Ramada Suro Jelantik.
Kejut manusia berkaki buntung ini bukan alang kepalang. Dia cepat
menyingkir dengan membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tenggorokannya
lewat tapi yang mengarah jantung terus melesat.
"Haram jadah! Aku terpaksa berjibaku!" rutuk Ramada. Kaki kirinya
ditendangkan ke depan, mengarah perut Sinto Gendeng. Roda besi bergerigi
menggerus ganas. Si nenek tidak mau ambil celaka . Tapi dia juga tidak mau
melepaskan musuhnya dari sasaran. Dengan menggeser kakinya dua langkah ke kanan,
Sinto Gendeng teruskan hantamannya walaupun kini dia tidak bisa menghantam
secara telak. Bukkk! Lima jari tangan si nenek mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit
keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan
lebih tinggi. Rrrrrrr Sinto Gendeng terpekik sewaktu roda besi Ramada Suro Jelantik merobek pakaiannya
di bagian perut!
Tampang si nenek menkjadi kelam membesi.
"Kurang ajar!" si nenek geram sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang
masih tertelentang di tanah dengan mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di
dekat jantungnya setelah terkena hantaman si nenek tadi.
"Manusia setan! Apakah kau pernah melihat pukulan sinar matahari"!" kata si
nenek sambil angkat tangan kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti
perak. Ramada Suro Jelantik memang pernah mendengar kehebatan dan keganasan
pukulan sakti itu. Dia tak mau berlaku ayal. Dia segera melafatkan satu mantera
kesaktian. Roda besi di ujung kaki kirinya tiba-tiba mengeluarkan sinar hitam
menggidikkan. Ketika Sinto Gendeng lepaskan pukulan "sinar matahari"
dengan tangan kanannya. Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti
serangan lalu dengan cerdik menggulingkan diri di tanah.
Bummmm! Bummm! Terdengar dua letusan keras.
Cahaya putih berkiblat disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari
roda besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan "sinar matahari"
yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih dahsyat
dari dua dentuman sebelumnya.
Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada
hampir terduduk di tanah. Sinto Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh
bergoyang-goyang. Mukanya yang hitam tampak semakin hitam. Jantungnya berdegup
keras. Di seberangnya tubuh Ramada Suro Jelantik nampak
menggeliat-geliat dekat tangga batu. Bahu kanannya tampak hangus dihantam
pukulan "sinar matahari". Tapi rupanya orang ini mempunyai kekautan luar biasa.
Dalam keadaan terluka parah begitu dia melompat tegak. Darah semakin banyak
mengucur dari mulutnya tapi dia tidak perduli. Sepasang matanya yang merah
memandang laksana bara api pada Sinto Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar
teriakan keras.
"Anak-anak! Keluarkan binatang peliharaan kalian!" Bunuh tua bangka
keparat ini!"
"Eh, apa yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini"!" pikir Sinto
Gendeng. Dia berputar, menghadap ke arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak Biru
yang berada di halaman, terpisah di tiga tempat. Begitu berputar dia masih
sempat melihat tiga orang bermuka hijau, hitam dan biru itu embuka penutup
keranjang rotan masing-masing. Lalu terdengar suara berdesir aneh. Dilain kejap
lima belas binatang berbisa melesat ke arah si nenek!
"Edan!" teriak Sinto Gendeng.
Dia cepat mengangkat kedua tangannya. Satu melepaskan pukulan "sinar matahari"
satu lagi menghantamkan pukulan "segulung ombak menerpa karang"!
TUJUH Dari keranjang rotan Jalak Biru melesat keluar tujuh ekor kelabang biru,
menyerbu ke arah Sinto Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular
kobra hijau melesat keluar dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak Ijo.
Lalu dari sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ekor kalajengking
berwarna hitam.
Lima belas binatang beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek!
Seumur hidupnya Sinto Gendeng belum pernah mendapat serangan begini banyak dan
ganas. Dalam pada itu telinganya menangkap suara menderu dari arah belakang.
Berarti Ramada Suro Jelantik dalam waktu bersamaan telah
menyerang pula dengan roda bergerigiinya dari belakang!
"Edan! Gila! Teriak si nenek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Bersamaan dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan
Ramada. Putaran roda besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto
Gendeng. Trang.....trang!
Terdengar suara beradunya benda-benda keras disertai percikan bunga api.
Roda besi Ramada ternyata telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala
Sinto Gendeng hingga hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga
buah gerigi roda besi di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri menjerit keras
kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental sampai
dua tombak! Walau selamat dari roda maut Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas
dari bahaya. Pukulan sinar matahari yang dilepaskannya ke depan berhasil
menghantam ular kobra besar yang dilepaskan Jalak Ijo. Tapi hebatnya sebelum
terkena hantaman pukulan sakti yang mematikan itu, ular kobra ini seolah tahu
bahaya yang mengancamnya. Melesat tinggi ke udara. Yang celaka adalah pemiliknya
yaitu Jalak Ijo. Manusia bermuka hijau ini yang sama sekali tidak menyangka
bahwa serangannya bakal gagal, terlambat menghindar. Pukulan "sinar matahari"
menghantamnya dengan telak. Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya
terlempar jauh. Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus!
Pukulan "segulung ombak menerpa karang" yang dilepas Sinto Gendeng
dengan tenaga dalam penuh membuat hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan
enam ekor kelabang biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor
kala hitam dan kelabang biru masih sempat lolos. Dua binatang beracun ini


Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menancap di tubuh si nenek. Kalajengking hitam menancap di leher dekat telinga
kirinya sedang kelabang biru menenmbus bahu kanannya! Si nenek menjerit keras.
Tubuhnya rubuh ke tanah.
Ramada Suro Jelantik cepat mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan
roda besinya ke arah leher Sinto Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher
si nenek pasti lehernya akan putus dan nyawanya tidak tertolong lagi.
Pada saat yang genting itu tiba-tiba ada suara berseru
"Sahabatku Sinto Gendeng! Siapa yang berani mencelakaimu akan
kuhancurkan batok kepalanya!"
Bersamaan dengan suara seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari arah
kanan. Lalu ada cairan harum menyembur keras. Ramada Suro Jelantik tahu
datangnya bahaya cepat tari kakinya lalu jatuhkan diri bergulingan.
Brettt! Breetttt!
Baju hitam Ramada robek besar di bagian punggung. Kulit punggungnya mengepulkan
asap laksana ditempel besi panas.
"Anak-anak! Ada orang datang! Lekas tinggalkan tempat ini!" teriak Ramada
lalu dia melesat ke atas pohon di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan
kilat disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil
jenazah istrinya. Sekali lagi dia berkelebat tubuhnyapun lenyap. Hanya suara
deru roda besinya yang menggerus tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan
Jalak Biru segera berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang
rotan masing-masing. Mayat Jalak Ijo mereka tinggalkan begitu saja.
Sebelum Ramada dan tiga anak buahnya sampai de tempat kediaman Sinto Gendeng,
orang tua berjanggut putih dan berpakaian selempang kain biru di atas pohon
kembali meracau seorang diri.
"Empat manusia aneh tadi. Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya
memikul keranjang. Masing-masing memiliki muka berwarna warni. Eh, ada keperluan
apa mereka berada di gunung ini" Apa yang mereka cari...." Ah, sulit aku
menerkaya." Di kakek lalu teguk tuaknya beberapa kali. "Hemmm....enaknya tauk ini"
kata si kakek. "Eh, pikir-pikir aku sendiri mengapa sampai berada di sini"
Astaga! Aku sampai lupa. Aku datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat.
Jangan-jangan empat orang tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka
jelas keempatnya bukan orang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto
Gendeng. Jangan-jangan keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek.
Baiknya aku segera berangkat ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan
tuak kayangan ini!" Si kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman
ini meler berjatuhan di bibirnya. Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat
enteng, dia melompat dari cabang pohon tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya
laksana kapas melayang turun ke tanah tanpa suara sama sekali. Begitu menginjak
tanah dia segera hendak berkelebat pergi namun langkahnya tertahan.
"Eh, aku ke sini seharusnya tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul!
Kalau dia sampai tidak datang akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini dikiranya
urusan ain-main"!" Si kakek memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia tidak
melihat seorangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak
terdengar suara apapun. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu., menghambur menuju
puncak Gunung Gede.
Dia datang tepat pada saat Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap
untuk menjagal lehernya dengan roda bergerigi di ujung kaki kirinya.
Si kakek segera teguk tuaknya lalu minuman ini disemburkannya ke arah Ramada
Suro Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi di tangan
si kakek bisa berubah menjadi senjata yang sangat berbahaya.
Dengan minuman itu dia telah menjadi seorang tokoh silat tingakt atas yang
ditakuti lawan dan disegani kawan. Dialah tadi yang menyembur Ramada dengan tuak
saktinya hingga Sinto Gendeng selamat dari roda maut yang siap memutus lehernya.
Sebetulnya si kakek ingin mengejar Ramada namun lebih penting baginya
menyelamatkan Sinto Gendeng. Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya kabur
orang tua ini cepat mendatangi Sinto Gendeng. Menyangka si kakek adalah salah
seorang musuhnya Sinto Gendeng yang tengah breusaha bangkit berdiri angkat
tangan kanannya, siap untuk menghantam.
"Sinto! Kau mau membunuhku degan pukulan saktimu"!" sikakek cepat
berseru. "Eh!" sinto Gendeng jadi terkesiap. "Aku rasa-rasa mengenal suaramu.
Bukankah kau....?"
"Sudah! Jangan banyak bicara dulu. Ada dua binatang beracun menancap di
tubuhmu! Biar aku singkirkan lebih dulu!"
Kakek berjanggut putih yang membekal dua buah tabung bambu berisi tuak
itu mencabut kalajengking hitam yang menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan
jari-jari tangannya diremasnya binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si
kakek kelihatan membesar sewaktu dia melihat bahwa leher Sitno Gendeng yang
bekas ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung.
"Racun jahat," kata si kakek dalam hati. "Pasti sudah menjalar ke dalam aliran
darahnya. Tubuhnya terasa panas. Kalau tidak segera ditolong sahabatku ini pasti
akan celaka. Ah, agaknya aku tak akan bisa mengajaknya membicarakan hal itu.
Muridku celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!"
Sinto Gendeng yang sedang ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si
kakek. "Eh apakah kau sedang mengomeli diriku"!" tanyanya.
"Jangan bicara Sinto! Keadaanmu berbahaya. Masih ada satu binatang
beracun di tubuhmu!" kata si kakek. Lalu kelabang biru yang menempel di bahu
kanan Sinto Gendeng dicabutnya dan seperti kala hitam tadi binatang ini
diremasnya sampai lumat.Ketika diperhatikan bahu kanan Sinto Gendeng ternyata
juga bengkak besar tanda racun sudah memasuki tubuhnya.
"Sinto, keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas....."
"Panas" Aku malah merasa kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!"
kata Sinto Gendeng.
"Tunggu, aku mau melakukan apa yang bisa membendung racun yang ada dalam
tubuhmu," kata si kakek. Lalu degnan sebuah pisau kecil ditorehnya luka bengkak
pada leher dan bahu kanan Sinto Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam.
Si kakek pergunakan mulutnya untuk menyedot darah lewat kedua luka. Lalu dia
meneguk tuaknya. Dengan tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu
Sinto Gendeng. Tidak sampai di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si
nenek. "Sobatku Dewa Tuak," Sinto Gendeng menyebut nama si kakek. "Aku
bersyukur dan berterima kasih kau menolongku. Kemunculanmu tidak terduga...."
"sudah, jangan bicara banyak dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,"
ujar si kakek yang ternyata adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun yang
sejak beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan.
"Kedatanganku tadinya untuk membicarakan satu masalah penting denganmu.
Tapi melihat keadaanmu seperti ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan
itu." Dewa Tuak lalu mendukung tubuh Sinto Gendeng.
"Gila! Tubuhmu kurus kering begini tapi berat bukan main!" Dewa Tuak seperti
mengeluh. Sinto Gendeng didukungnya masuk ke dalam rumah lalu dibaringkannya
pada sebuah tempat tidur kayu. "Sinto, racun dalam tubuhmu jahat sekali. Aku
tidak bisa menjamin kau bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus mencari
seorang tabib ulung dan membawamu turun gunung."
Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali. "Buat apa kau menyusahkan diri.
Kalau nyawaku mau minggat dari tubuh keropos ini ya biar saja! Hik...hik...hik!"
Sinto Gendeng masih bisa tertawa cekikikan.
Dewa Tuak geleng-gelengkan kepala.
"Tubuhku terasa dingin. Mana tuak keparatmu itu" Aku minta barang
beberapa teguk biar tubuhku dan darahku jadi hangat!"
Dewa Tuak menurunkan tabung tuaknya dari punggung lalu mendekatkan
mulut tabung ke mulut Sinto Gendeng. Gluk...gluk...gluk! Si nenek meneguk tuak
itu dengan lahap.
"Sinto, kau dengar baik-baik. Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk
menemui tabib yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar
tabib itu saja yang aku bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa
muridku Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu
di puncak Gunung Gede ini...."
Sinto Gendeng tersenyum. "Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan
pertemuan di sini. Pasti urusan yang itu juga...."
"Keadaanmu membuat aku terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sinto. Lain
kali saja kita bicarakan lagi...."
"Kalau umurku masih panjang," kata Sinto Gendeng.
"Jangan bicara bagitu Sinto...."
"Kalau saja Kapak Naga Geni 212 ada di sini segala macam racun yang mendekam
dalam tubuhku pasti bisa disedot...." Kata Sinto Gendeng pula.
"Kalau begitu, bagaimana jika aku mencari muridmu dan membawanya ke sini?" minta
pendapat Dewa Tuak.
"Dalam waktu seribu hari belum tentu kau bakal dapat menemuinya."
Dewa Tuak maklum apa yang dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak
mudah mencari Wiro Sableng.
"Sinto, sebenarnya siapa orang-orang yang mencelakaimu itu?" bertanya Dewa Tuak.
"Aku tak kenal mereka. Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi pimpinan
dipanggil oleh anak buahnya dengan nama Ramada...." Menerangkan Sinto Gendeng.
"Ramada....Ramada....." Dewa Tuak mengulang-ulang nama itu. "Rasanya
aku pernah tahu manusia keparat satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak
salah nama lengkapnya Ramada.....Ramada Suro Jelantik. Sebetulnya dia bukan
manusia jahat tapi juga bukan orang baik-baik. Dia tidak diterima dalam golongan
hitam dan tidak diperdulikan dalam golongan putih. Cuma memang belakangan ini,
sejak dia punya beberapa orang anak buah, kelakuannya berubah. Dia banyak
berbuat kejahatan. Kau yakin tidak punya silang sengketa denga orang-orang itu?"
Sinto Gendeng menggeleng. "Ramada datang membawa tuduhan bahwa
muridku Wiro Sableng telah memperkosa dan membunuh istrinya...."
"Jadi yang dibawa-bawanya itu adalah mayat istriya"! Gila betul! Cuma ada
hal yang kurasa aneh. Sekalipun muridku berbuat jahat seperti yang dituduhkan,
mengapa dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku"!"
"Ada sesuatu yang tidak beres Sinto," kata Dewa Tuak pula. "Bagaimana kalau aku
menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi
petunjuk."
"Terserah padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari orang seperti dia
tidak mudah." Jawab Sinto Gendeng. Dia menarik nafas dalam lalu melanjtukan
ucapannya. "Aku melihat Ramada membawa sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin
pernah melihat benda itu di masa mudaku. Sebuah guci keramat milik Kerajaan
berasal dari zaman Singosari. Guci itu sangat berbahaya jika sampai jatuh dalam
tangan orang-orang jahat...."
Dewa Tuak terdiam sesaat. Akhirnya orang tua ini berkata "Sinto, aku harus
pergi sekarang. Kalau muridmu datang dia tentu akan merawatmu sampai aku
kembali." Sinto Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri
merasa dingin. Dewa Tuak memegang lengan sahabatnya itu. Didengarnya sinto
berbisik "Tinggalkan satu tabung tuak untukku."
"Tentu Sinto. Kau boleh minum tuka ini sepuas hatimu." Dewa Tuak turunkan
tabung tuaknya yang masih penuh lalu menyandarkan tabung bambu itu di tepi
tempat tidur, dekat kepala Sinto Gendeng.
DELAPAN Menjelang petang dua penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung
Merbabu. Keduanya bukan lain adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi
Santiastri yang baru saja menziarahi makam Pangeran Banowo, ayahanda si gadis
yang juga merupakan kakak Pangeran Banuarto.
Setelah berdiam diri beberapa lamanya, Dewi Santiastri membuka
pembicaraan di antara mereka. "Paman, sebenarnya kalau tidak ada pesan dari
almarhum ayahanda ingin saya memindahkan makam beliau ke pinggiran
Kotaraja..."
"Maksudmu memang baik. Tapi pesan orang yang meninggal harus dihormati.
Aku takut kalau-kalau nanti ada akibatnya yang tidak baik bagi kita...."
Si gadis terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. "Pemuda yang bernama
Wiro itu, apakah benar dia seorang pendekar sakti mandraguna yang punya nama
besar di delapan penjuru angin?"
"Begitu kabar yang aku dengar...."
"Tapi mengapa salah satu anak panah saya mempu melukainya?"
Pangeran Banuarto tersenyum. "Mungkin kehebatannya telah menurun atau bisa saja
ilmu panahmu sudah meningkat jauh!"
Dewi Santiastri tersenyum. Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu
tiba-tiba di lereng gunung yang menurun itu muncul seorang tua berpakaian dan
berblangkon hitam. Janggut dan kumisnya putih tak terurus. Pandangan matanya
dingin angker. Dari caranya berdiri di jalan jelas dia sengaja menghadang
perjalanan kedua orang yang berkuda itu.
"Orang tua, siapa kau?" bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu
saja dia tak akan menyangka kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di
tempat itu. Orang yang ditegur menyeringai. "Kau tak kenal aku sungguh keterlaluan Pangeran
Banuarto," orang itu berkata.
"Eh, kau tahu siapa aku!" Pangeran Banuarto semakin heran.
Orang berblangkon hitam kembali menyeringai. "Namaku Ki Ageng Lentut.
Bertahun-tahun aku menjadi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar
barang sepeserpun! Apa salah kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala
hutang piutang"!"
Pangeran Banuarto dan keponakannya jadi saling pandang mendengar katakata orang yang tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka mulut.
"Kami tidak pernah merasa mempunyai kuncen untuk mengurus makam
ayahanda...."
"Ah kalau begitu kau seorang anak yang sangat tidak berbakti!"
"Jaga mulutmu!" bentak Pangeran Banuarto.
Dibentak begitu orang yang mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu
hanya menyeringai. "Aku sudah menghitung-hitung berapa bayaran yang harus
kuterima. Semuanya sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku
mohon kalian jangan segera membayarnya saat ini!"
"Orang gila! Kami tidak membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada
tidak akan kami berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!"
"Pangeran, jangan berkata begitu. Aku telah merawat...."
"Tunggu dulu!" sentak Dewi Santiastri. "Kalau kau benar merawat makam
ayahandaku, mengapa makam begitu kotor dan ada tiangnya yang patah"!"
"Soal tiang patah itu karena ada seorang gila datang mengamuk. Tapi aku telah
mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak...."
"Kau dusta! Aku tahu kau dusta!" kata Dewi Santiastri pula.
"Jadi kalian tidak mau membayar?" bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.
"Siapa sudi!" teriak Dewi Santiastri.
"Baiklah, kalau kalian tidak mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang merugi,
bukan aku. Namun jika kalian mau berunding rasanya itu lebih baik..."
"Apa maksudmu"!" tanya Pangeran Banuarto.
"Usiaku memang sudah agak lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan seorang
pemuda dua puluh tahun. Kulihat keponakanmu itu berparas cantik.
Bagaimana kalau dirinya saja yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!"
"Manusia rendah bermulut kurang ajar!" teriak Pangeran Banuarto marah.
Dewi Santiastri tidak kalah marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang
kudanya. Begitu tunggangannya melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki
kanannya langsung ditendangkan ke kepala orang itu.
"Ah, tidak dikira putrid almarhum Pangeran Banowo memiliki ilmu silat,"
kata si kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil
menangkap pergelangan kaki kanan si gadis. Lalu sekali putar saja tubuh Dewi
Santiastri dibuatnya mencelat ke atas.
Sambil memekik marah puteri mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik
di udara. Kedua tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih
dalam keadaan melayang di udara si gadis lepaskan tiga anak panah kea rah si
kuncen. Yang diserang berseru kaget. Untung dia bisa berlaku cepat melompat
menghindari tiga serangan anak panah itu walau satu anak panah masih sempat
menyerempet blangkonnya hingga blangkon itu robek besar.
"Hem, gadis ini berbahaya. Dia harus ditangani lebuh dulu," membatin Ki Ageng
Lentut yangwajahnya sempat pucat akibat keganasan ilmu panah Dewi Santiastri
tadi. Pada saat itu Pangeran Banuarto telah melompat turun dari kudanya.
Dengan tangan kosong dia menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis dengan
melintangkan lengan kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan saling baradu.
Pangeran Banuarto mengernyit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke
belakang. Kesempatan ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap kea rah Dewi
Santiastri yang saat itu sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima anak
panah. Namun sebelum dia mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam ini
telah menyergap si gadis. Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya.
Dia berhasil. Trakkk!

Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Busur patah dua begitu menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya
yang terluka mengucur darah. Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali
menyergap bagian pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku
tidak bisa bergerak lagi.
"Keparat jahanam! Apa yang kau lakukan pada keponakanku"!" teriak
Pangeran Banuarto.Tangan kanannya yang masih sakit akibat bentrokan tadi
dipukulkannya ke perut sang kuncen.
Bukkk! Jotosan itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut!
"Mampus!" teriak Pangeran Banuarto karena dia sudah memastikan perut orang tua
itu akan jebol dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya tadi
bukan pukulan sembarangan. Selain mengandung tenaga dalam tinggi juga disertai
aji "wesi kuning" yang sanggup mematahkan pohon menjebol dinding.
Tapi sang pangeran jadi terbelalak ketika melihat, jangankan jebol atau muntah
darah bergeming sedikitpun tubuh sang kuncen tidak! Malah dia tampak menyeringai
dan berkata mengejek.
"Aji wesi kuning tidak ada gunanya di hadapanku, pangeran! Sekarang gilirankmu
menerima pukulanku!" Habis berkata begitu Ki Ageng Lentut angkat tangan kanannya
ke atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya berkomat kamit. Lalu telapak tangan
yang diarahkan pada Pangeran Banuarto itu didorongkannya. Perlahan saja. Apa
yang terjadi membuat Dewi Santiastri terpekik.
Dari telapak tangan Ki Ageng Lentut menyembur keluar suara mendesis keras
disertai hawa panas luar biasa. Pangeran Banuarto cepat menyingkir sambil
menghantam degnan kedua tangan.
Bummmm! Lereng Gunung Merbabu itu terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak
dengan lutut menekuk sedang tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya
kelihatan sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus
dan tampangnya tampak berdarah lagi.
Lain halnya dengan Pangeran Banuarto. Begitu pukulan tangan kosongnya saling
bentrokan dengan hawa panas yang keluar dari telapak tanagn si kuncen, tubuhnya
langsung mencelat mental. Ambruk di tanah berguling-guling sampai beberapa
tombak. Ketika gulingannya tertahan oleh akar semak belukar, kelihatan pakaian
dan sebagian kulit tubuhnya laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik lagi
dan Dewi Santiastri tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya
gadis ini berteriak.
Ki Ageng Lentut menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar
dia tertawa mengekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran
Banuarto. Di satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan
ranting yang ujungnya tajam ini dia lalu menoreh angka 212 di kening Pangeran
Banuarto. Ranting dicampakkan dan Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh.
Tubuh Pangeran Banuarto didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. "Bawa kembali
tuanmu ke Kotaraja!" Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu kuat-kuat
hingga binatang ini menaikkan kedua kakinya lalu lari menghambur.
Ki Ageng Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.
"Manusia durjana! Pergi! Pergi!" teriak si gadis ketika si kuncen melangkah ke
arahnya. "Tenang kekasihku, tenang. Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan
merasakan satu kenikmatan dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!"
"Manusia iblis! Setan! Pergi!" teriak Dewi Santiastri.
Ki Ageng Lentut sampai di hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di Dewi,
tangan kanannya enak saja secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis itu.
Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan.
"Kekasihku, apakah kau pernah ditiduri laki-laki?" Ki Ageng Lentut ajukan
pertanyaan seraya menyusupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi
Santiastri. "Manusia jahanam! Kau bunuh saja aku daripada menodai begini tupa!" teriak
Dewi Santiastri.
"Jangan bilang begitu kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ
kita akan bersenang-senang biar roh ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah itu
kalau kau memang mau mati boleh-boleh saja...."
"Jahanam! Lepaskan!" teriak Dewi. "Lepaskan!"
Ki Ageng Lentut tertawa mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri
lalu dilarikannya kea rah puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa
belas langkah tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada
semburan angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika merasakan tubuh
gadis yang ada di bahunya terlepas dari panggulannya. Secepat kilat dia hentikan
larinya dan berpaling.
"Keparat..... Dia rupanya!" Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat
siapa yang ada di depannya. "Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat
ini juga. Tapi tak ada gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu
apa menyusahkan diri!" Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda
dari saku pakaian hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah pemuda
gondrong yang kini mendukung Dewi Santiastri.
Blusssss! Benda yang dilemparkan meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung
membungkus tempat itu. Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu
pukulan tangan kosong yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut
telah lebih dulu menghambur pergi diblik kepulan asap kelabu. Di sebelah sana
pohon-pohon dan semak belukar patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam
pukulan "dewa topan menggusur gunung."
Pendekar 212 Wiro Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang
rata lalu melepaskan totokannya. Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar
memeluki tubuh si pemuda.
"Wiro, syukur kau datang. Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi
orang jahat itu telah membunuh paman Pangeran Banuarto...."
Wiro terkejut sekali. Dia memandang berkeliling.
"Mayat paman dinaikkannya ke atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu kini
telah dalam perjalanan ke Kotaraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas kuda
dia telah menoreh angka 212 pada kening mayat....."
"Apa!" sepasang mata Pendekar 212 sampai melotot ketika mendengar ucapan
di gadis. Dewi Santiastri lalu menerangkan lebih rinci.
"Kurang ajar! Apa maksud orang itu...."!" Pendekar 212 berpikir-pikir.
"Hemmmmm.... Jelas dia berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa
mayat pamanmu sampai di Kotaraja semua orang akan segera tahu bahwa akulah
pembunuh Pangeran Banuarto."
"Tapi aku bisa menjadi saksi bahwa bukan kau yang melakukan hal itu," kata
Dewi pula. "Memang bisa, tapi namaku sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin
mengejar kuda yang membawa jenazah pamanmu. Begitu aku muncul di Kotaraja pasti
aku akan segera ditangkap. Kurang ajar betul! Kau tahu siapa orang tua berkumis
dan berjanggut putih tadi itu?"
"Dia mengaku kuncen makam ayahandaku. Padahal kami tidak pernah
membayar seorang kuncenpun...."
"Kau pernah melihat orang itu sebelumnya" Atau mungkin tahu nama serta
asalnya?" tanya Wiro.
"Baru sekali ini aku melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia
mengaku bernama Ki Ageng Lentut."
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Ki Ageng Lentut....Ki Ageng
Lentut....Aku pernah dengar nama itu. Aku ingat! Dia seorang pengukir patung kayu
di Pangadegan. Rasanya tak mungkin dia yang melakukan. Tapi aku pernah mendengar
bahwa dia menguasai semacam ilm hitam..... Bagaimana cirri-cirinya?"
"Tua, kumis dan janggutnya sudah putih. Blangkon dan pakaiannya serba hitam...."
"Tepat sama dengan cirri-ciri juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia akan
kupecahkan kepalanya!" Wiro kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih agak
meragu. "Kita harus pergi dari sini. Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang
luar Kotaraja. Begitu sampai di Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana
yang kau kenal baik dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi atas diri
pamanmu." "Aku akan melakukan itu Wiro. Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita
bersama-sama menemui pejabat itu" Aku kenal seorang Tumenggung yang punya
hubungan baik dengan Sultan"
"Terlalu besar bahayanya. Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan Keraton, aku
tak mungkin masuk ke dalam Kotaraja."
"Aku mengerti. Jadi kau antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,"
kata Dewi Santiastri.
Pendekar 212 memapah gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda.
"Kuda kita cuma satu" Bagaimana dengan kau?"
Wiro tersenyum. "Asal kau tidak memacunya terlalu cepat aku bisa mengikuti
dari belakang."
"Kalau begitu...." Si gadis meragu sesaat. "Kau naik saja di belakangku Wiro."
Tanpa disuruh dua kali Wiro Sableng langsung naik punggung kuda besar itu.
Apa yang diperkirakan Pendekar 212 Wiro Sableng memang benar. Begitu mayat
Pangeran Banuarto sampai di Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212
Wiro Sableng segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri
menemui pejabat yang dikenalnya lalu menerangkan apa yang terjadi namun pihak
Istana tidak begitu saja mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis
itu mungkin saja berkomplot dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto
karena kini hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang
paman. SEMBILAN Malam yang gelap di pinggiran timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin
setelah hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang
sesekali ditimpali suara kodok.
Di dalam rumah kayu, orang tua berjanggut dan berkumis putih itu duduk di
atas tikar tengah asyik memperhalus ukiran kepala seekor burung garuda besar.
Sebenarnya matanya sudah sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai malam
itu juga karena esok pagi pemesanna, seorang hartawan dari Kudus akan
mengambilnya. Sesekali orang tua ini menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipasngipaskan blangkon hitamnya. Walaupun di luar udara dingin namun dalam rumahnya
Ki Ageng Lentut merasa panas dan sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat.
Tengah dia asyik menekuni pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki
di depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga
ditendang orang dari luar.
"Hai! Setan dari mana yang datang mengamuk malam-malam buta di
rumahku"!" teriak Ki Ageng Lentut marah sekali.
Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang
seorang pemuda berambut gondrong dengan tampang beringas seolah siap untuk
melumat juru ukir itu.
"Orang gila! Siapa kau"! Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?"
Ki Ageng Lentut letakkan ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan
cepat. Pahat kecil yang tajam luar biasa tepentang di tanagnnya.
"Benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut"!" bertanya si pemuda.
"Eh setan sialan! Ditanya malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang
gila?" "Namku Wiro. Aku ingin jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki
Ageng Lentut"!"
"Kalau kau sudah tahu siapa aku lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu
pintu rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!"
"Orang tua, kau telah membunuh Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan
karena perbuatanmu menoreh angka 212 di kening jenazah pangeran itu!"
"Eh.....eh...! Tunggu dulu! Kau benar-benar orang gila kesasar. Kal kaupun
aku tidak! Enak saja menuduh...."
"Di mana kau sekitar empat hari lalu"!"
"Orang gila seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar aku
membuat pengecualian. Sejak satu minggu terakhir ini aku tidak pernah
meninggalkan rumah ini !"
"Dusta!"
"Anjing edan! Lihat pahat!" teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di
tangannya berkelebat.
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan
gerakan orang tua itu. Pipinya terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat
sekali ke wajahnya.
Jengkel melihat serangannya hanya mengenai tempat kosong, si orang tua membuat
gerakan berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat
ke udara. Bukkkk! Murid Eyang Sinto Gendeng terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki Ageng
Lentut mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya terasa
pening. Kehebatan ilmu silat si kakek membuat Wiro semakin yakin bahwa memang
dialah yang telah membunuh Pangeran Banuarto dan hendak menculik Dewi
Santiastri. "Tua bangka berkedok pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui!
Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" teriak Wiro. Lalu dia lancarkan
serangan bertubi-tubi. Mula-mula Ki Ageng Lentut memang mampu membuat gerakan
menghindar bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya
menjadi lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan jotosan Pendekar
212. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu orang tua ini
berusaha berlindung di belakang ukiran patung garuda besar tanpa ampun Wiro
melabrak patung itu dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.
Ki Ageng Lentut meraung keras. Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari pada
melihat ukiran burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti orang kemasukan
setan dia bergulingan di lantai sambil memegangi beberapa bagian ukiran yang
hancur. Wiro tidak menunggu lebih lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki
Aggeng Lentut. Si orang tua malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan
nyawanya melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.
Sesaat lagi kaki kanan Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki Ageng Lentut tibatiba atap rumah yang terbuat dari rumbia itu jebol di dua bagian.
Bersamaan dengan itu terdengar dua suara keras. Yang pertama suara lelaki
berseru "Pendekar 212! Tarik pulang seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!"
Suara kedua adalah suara perempuan. "Kalau otak ditelan perasaan begini jadinya.
Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan kakimu!"
Lalu dari atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari atap
sebelah kiri menyambar satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang
mengeluarkan hawa sangat dingin hingga murid Eyang Sinto Gendeng merasa
tengkuknya jadi merinding! Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki Ageng
Lentut yang dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak menculik
dan memperkosa Dewi Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang pendekar menarik
tendangannya dengan cepat.
Byuuuuurrrrr! Craaaaatttt! Lantai papan berlobang di enam tempat akibat semburan cairan aneh berbau
harum. Lalu di bagian lain lantai yang sama robek seperti ditembus benda tajam
yaitu akibat hantaman sinar biru tadi!
Pendekar 212 leletkan lidah dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa
terbang. Kalau tadi dia tidak segera menarik tendangannya jelas kakinya akan
hancur dan terbabat putus! Wiro angkat kepala memandang ke dapan. Dia melihat
dua pemandangan yang kontras sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di
lantai menangisi patungnya yang hancur.
Di sebelah depan kanan Wiro saat itu berdiri seorang kakek berpakaian selempang
kain biru. Di punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya yang putih
menjela sampai ke bahu. Di bawah penerangan lampu minyak yang tergantung di
dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu.
Dia hendak berseru memanggil nama "Dewa Tuak" namun mulutnya tersekat ketika dia
melihat sosok kedua yang berdiri di samping kiri ruangan.
Di situ tegak seorang dara berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang
dikenakannya sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa
terang namun Wiro masih dapat melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh
yang luar biasa bagusnya. Murid Sinto Gendeng merasakan nafasnya seperti
berhenti. Wajah dara itu ternyata cantik bukan kepalang. Rambutnya yang panjang tergerai
sampai di dada berwarna coklat kepirangan.
"Gila, mengapa di saat seperti ini ada bidadari yang turun ke bumi!" kata
Pendekar 212 dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata apaapa selan tegak tertegun.
Kakek berjanggut putih yang memang adalah Dewa Tuak betuk-betuk


Wiro Sableng 073 Guci Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kali. Pendeka 212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan
menjura dalam-dalam memberikan penghhormatan.
"Dewa Tuak, harap maafkan kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya
terjadi begitu mendadak dan membuatku agak bingung."
Dewa Tuak tertawa lebar. "Hidup ini sesekali memang harus dibuat bingung,
anak muda. Bagaimana aku bisa muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu
di sini satu mukjizat yang membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang
kuncen bernama Ki Ageng Lentut. Beberapa hari lalu aku berada di puncak Gunung
Gede. Gurumu dalam bahaya besar. Ada empat tokoh silat dari Timur bernama Ramada
Suro Jelantik. Orang ini memberi tahu bahea kau telah memperkosa istrinya lalu
membunuh perempuan itu. Kemana dia pergi dia membawa jenazah istrinya yang sudah
diawet. Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil
membunuhmu! Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?"
Untuk beberapa saat lamanya Wiro tampak ternganga mendengar kata-kata Dewa Tuak
itu. "Dewa Tuak, kau kenal diriku sejak aku masih kecil. Tidak meungkin aku
melakukan kejahatan keji seperti itu...."
"Tiga orang anak buah Ramada memberi kesaksian bahwa kau yang
memperkosa dan membunuh istri pimpinan mereka!"
Wiro geleng-geleng kepala. "Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus
dijernihkan!"
"Bagus kalau kau mau bertindak begitu. Jangan harap aku akan membantumu.
Aku punya urusan yang lebih penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sinto Gendeng
dikeroyok dan diserang dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya digerayangi
racun yang mematikan. Hanya Kapak Naga Geni 212 yang mampu menyesot racun ganas
itu dari tubuhnya. Ddia hanya punya waktu dua minggu.
Berikan senjata mustika itu padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede...."
"Dewa Tuak, sebagai muridnya bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak
Maut Naga Geni 212 ke sana...."
"Tidak Wiro!" jawab Dewa Tuak sambil menggelengkan kepala. Dia
mengambil tabung bambu berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan
menyeka bibirnya dengan belakang telapak tangan orang tua ini melanjutkan katakatanya. "Urusanmu menyelamatkan gurumu serahkan padaku. Kau bereskan urusanmu
dengan Ramada dan anak buahnya....."
"Dewa Tuak kau tadi mengatakan aku salah turun tangan. Maksudmu...."'
Dewa Tuak belum sempat menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri membuka
mulut. "Juru ukir bernama Ki Ageng Lentut itu bukan orang yang kau cari...."
"Lalu....?" Wiro bertanya heran.
"Kau harus memecahkan sendiri teka teki ini" Hidup sebagai pendekar banyak
tantangannya. Kau harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang
akan dipecahkan orang!" jawab sang daa.
Wiro hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara.
Tiba-tiba Dewa Tuak membuat gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wiro
merasakan seperti dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni 12 yang
terselip di pinggangnya lenyap.
"Dewa Tuak! Tunggu dulu!" seru Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih
sudah melompat ke atas. Dia menerobos lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak
mengejar tapi langkahnya tertahan karena dara berbaju biru tipis cepat sekali
menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro dapat melihat wajah cantik yang benarbenar sempurna. Hidungnya mencium bau harum yang keluar dari tubuh dan rambut si
gadis. "Orang hendak menyelamatkan gurumu, mengapa kau masih banyak
cerewet"!" sang dara tiba-tiba menegur.
"Aku tidak cerewet!" jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Eh, kau ini siapa
sebenarnya?"
"Aku orang yang tadi hendak membuat buntung kaki kananmu dengan
"pedang kilat biru". Untung kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau
sudah jadi seorang pendekar buntung seperti Ramada itu!"
"Eh,kau kenal Ramada yang memfitnah aku memperkosa dan membunuh
istrinya?"
"Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang
memperkosa lalu membunuh istrinya...."
"Kau!" Wiro hendak mendamprat marah tapi kemarahannya leleh melihat kecantikan
gadis di depannya.
Si gadis kemudian berkata lagi. "Coba kau lihat juru ukir itu! Kau telah
menghancurkan barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau mampu
memperbaiki ukiran burung garuda itu kembali?"
"Aku tak mampu melakukannya," kata Wiro perlahan sambil memandangi si
pengukir yang menelungkup di lantai menagnisi pecahan ukiran burung garudanya.
"Aku harus mengakui aku menyesal melakukannya. Semua gara-gara...."
"Jangan salahkan orang lain. Kau yang punya perbuatan kau yang harus bertanggung
jawab." Ucapan itu membuat mulut Wiro Sableng terkancing. "Kau, kau seperti sedang
menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi hukuman padaku?"
Wajah cantik itu menyeringai sinis. "Kau sendiri yang harus menghakimi dan
menghukum dirimu!"
"Aku sudah bilang menyesal!" kata Wiro hampir berteriak dan menunjukkan
tangan kanannya ke dalam telapak tangan kirinya.
Wiro mengeruk saku bajunya. Semua uang dan beberapa tail perak yang dimilikinya
diletakkan di atas tikar. "Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut ku
harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi...."
Dara di depan Pendekar 212 tertawa panjang. "Uang dan perak itu tidak akan
mengembalikan ukiran burung garudanya yang telah kau hancurkan!"
"Lalu....lalu aku harus berbuat apa"!"
Sang dara tak menjawab. Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212
keluarkan seruan tertahan. Tubuh si gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan
laksana kilat serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu
ukiran burung garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari
tempatnya. Begitu juga yang sedang dipegang oleh si pengukir. Di lain kejap
tahu-tahu di atas tikar pecahan ukiran kayu itu telah menyatu kembali membentuk
burung garuda, utuh seperti semula.
Wiro bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak
percaya. "Itu yang diinginkan orang tua ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta
benda!" Wiro palingkan kepalanya memandang pada gadis di hadapannya. Untuk
beberapa lamanya sepasang mata mereka saling beradu. Wiro kalah. Dia menunduk
lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju biru itu melesat
ke atas menerobos atap yang jrbol tanpa meunggu lebih lama murid Eyang Sinto
Gendeng segera mengejarnya. Berlari sejauh beberapa puluh langkah, di satu
tempat gadis itu hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wiro sampai di
hadapannya dia membentak.
"Perlu apa kau mengikutiku"!"
"Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau
kau punya nama harap memberi tahu."
"Untuk apa"!"
"Bukan untuk apa-apa. Kau tadi telah memberikan satu pelajaran sangat baik
padaku...."
Si gadis tertawa. Wiro seperti terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul di
pipi kiri kanan si gadis.
"Bagi seorang pendekar, pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain.
Tapi dari dalam dirinya sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar" Hanya itu saja
persoalannya. Sederhana bukan?"
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Pendekar 212 merasa seolah seperti
seekor kodok dalam tempurung.
"Kau tak mau memberi nama tak jadi apa. Kepandaianmu luar biasa.
Gerakanmu cepat tak terlihat mata laksana angin. Bihar aku panggil kau Bidadari
Angin Timur. Terma kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam
diriku. Yang tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Terima kasih...." Perlahanlahan Pendekar 212 memutar tubuhnya. Dua langkah dia berjalan tiba-tiba
dilihatnya si gadis sudah ada sejarak dua tombak di depannya. Wiro berpaling ke
belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya semula. Wiro memandang lagi ke depan.
Di situ tak terlihat lagi si baju biru itu.
Saat itu sebenarnya Wiro ingin sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa
jengkel, malu dan rasa bersalah bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya
seperti tidak perduli diri lagi Wiro kencing begitu saja tanpa membuka celana
dan sambil melangkah.
"Sialan!" katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis
cantik berpakaian biru tipis tadi.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di sebelah atas. Wiro mendogak
ke atas pohon di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah satu
cabang pohon. "Hanya orang tolol yang mau ngompol di celana!" kata si gadis sambil melambaikan
tangannya. "Astaga! Bagaimana dia tahu aku kencing di celana"!" kata Wiro sambil memegangi
bagian bawah perutnya yang basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon sang dara tak
ada lagi di tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang terdengar di kejauhan.
"Mungkin dia benar-benar bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana
kalau dia hantu jejadian" Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang
tubuhnya. Jangan-jangan dia kuntilanak!" Memikir sampai di situ Wiro jadi merinding
sendiri. SEPULUH Orang tua berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang pada
Ramada dan dua orang anak buahnya.
"Hari ini aku bukan lagi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo.
Namakupun bukan lagi Ki Ageng Lentut."
Rahang Ramada Suro Jelantik menggembung tanda ada hawa amarah di
rongga dadanya. "Tunggu dulu!" katanya memotong. "Aku merasa curiga! Mengapa kau
kini berubah rupa dan pakaian"!"
Orang tua itu tertawa perlahan. "Hidup harus punya ragam. Bagaimana tampangku
dan bagaimana caraku berpakaian itu urusanku. Yang jelas aku adalah satu-satunya
manusia yang mampu menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib yang ada dalam Guci
Setan itu. Jika kau masih perlu aku kira boleh bicara. Kalau tidak silahkan
angkat kaki dari hadapanku!"
Ramada mencekal leher jubah orang tua berambut putih panjang itu. "Dengar
baik-baik! Salah seorang anak buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di
Petualangan Manusia Harimau 3 Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru Pedang Pembunuh Naga 4

Cari Blog Ini