Ceritasilat Novel Online

Ki Ageng Tunggul Keparat 1

Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL
KEPARAT Sumber Kitab: pendekar212, huybee
Penyedia Cover: kelapalima
E-Book: kiageng80
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
1 AKSANA terbang kuda coklat berlari kencang di bawah panas teriknya matahari.
Dalam waktu yang singkat Lbersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki
bukit untuk selanjutnya lari terus memasuki lembah subur yang terhampar di kaki
bukit. Si penunggang kuda
mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Parasnya
kontan berubah.
"Celaka!" keluhnya dalam hati. "Celaka! Aku hanya punya waktu dua belas jam
lagi! Kalau apa yang kucari tak dapat kutemui mampuslah aku!" Dia memandang lagi
ke matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar kuda tunggangannya
lari lebih cepat.
Orang itu berpakaian biru gelap. Kulitnya yang hitam liat menjadi lebih hitam
karena warna pakaiannya itu. Dibawah blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya
tidak sedap untuk dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan.
Pada pipinya sebelah kiri mulai dari ujung bibir sampai ke tepi mata terdapat
parut bekas luka yang lebar. Cacat ini membuat daging pipinya tertarik
sedemikian rupa sehingga matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membeliak merah dan selalu berair sedang mulutnya tertarik pecong.
Di satu pedataran tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon kapas, dihentikannya kudanya
dan memandang berkeliling.
Pada wajahnya yang buruk itu kelihatan bayangan harapan sewaktu sepasang matanya
melihat puncak atap-atap rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran.
"Aku harus ke desa itu," kata lelaki itu pada dirinya sendiri. "Mungkin di situ
bakal kutemukan apa yang kucari.
Kalau tidak..." kata hatinya itu tidak diteruskan. Dipukulnya pinggul kuda
tunggangannya dan binatang itu melompat ke muka, lari kembali menuju ke
tenggara. Sewaktu angin dari timur bertiup keras, sewaktu daun-daun pepohonan mengeluarkan
suara berdesir kencang, maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan
teduh di mulut desa. Diperlambatnya lari kudanya. Kedua matanya menyapu ke
setiap penjuru. Jalan yang ditempuhnya sunyi sepi. Pintu-pintu rumah penduduk tampak tertutup. Melewati suatu
pengkolan dilihatnya beberapa orang anak kecil tengah bermain-main. Nafasnya
terasa sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda, seorang tua berjanggut
putih duduk merokok memperhatikannya.
Tanpa memperdulikan orang tua itu laki-laki ini terus berlalu.
Kemudian dipapasinya beberapa penduduk desa yang
agaknya baru kembali dari sawah atau ladang mereka.
Meski orang-orang itu mengangguk hormat kepadanya tapi lelaki penunggang kuda
itu tahu bahwa dalam sikap hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah
mereka sewaktu melihat parasnya. Dalam hati masing-masing mungkin mengutuk
habis-habisan. Harapan yang sebelumnya ada di hati lelaki ini menjadi semakin kecil dan hampir
padam bertukar dengan
kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai
ujung jalan dan hanya tinggal beberapa buah rumah saja yang harus dilewatinya.
"Apakah harus kutanyai orang-orang di sini?" tanya lelaki itu dalam hati. Tibatiba sepasang matanya menyipit.
Dia memutar kepala berkeliling dan mendengar baik-baik.
"Hah, inilah yang kucari! Pasti...! Pasti itu suara tangisan bayi."
Segera diputarnya kuda coklatnya dan menuju ke
rumah yang terletak di antara pohon-pohon pisang yaitu dari arah mana tadi
didengarnya suara tangisan bayi.
Pintu dan jendela rumah itu tertutup. Dia turun dari kudanya dan mengitari rumah
satu kali lalu melangkah ke pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru
mengetuk pintu. Suara tangisan bayi di dalam rumah terdengar semakin keras dan
laki-laki itu mengetuk lagi lebih kencang.
Terdengar langkah-langkah mendatangi pintu. Suara tangis bayi juga terdengar
mendekati pintu itu. Sesaat sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda
memunculkan diri sambil membadung seorang bayi yang baru berusia kurang dari dua
minggu dan masih merah.
Begitu melihat tampang lelaki yang mengerikan di ambang pintu, perempuan itu
menyurut. Jelas kelihatan pada wajahnya rasa takut amat sangat.
Lelaki tak dikenal memandang si bayi dalam dukungan beberapa lama. Diteguknya
liurnya lalu berkata, "Aku mencari suamimu..."
"Dia belum kembali dari sawah," jawab perempuan yang mendukung anak.
Lelaki bermuka setan kembali memandang bayi merah dalam dukungan.
"Ini anakmu...?"
Perempuan itu mengangguk dan memandang ke
jurusan lain karena takut melihat wajah tamunya.
"Kemarin aku telah bicara dengan suamimu," kata orang bermuka cacat, "Dia
bersedia menjual anak ini."
"A... apa"!" kaget perempuan yang mendukung anak bukan kepalang.
Sang tamu tampak acuh tak acuh. Dan dalam sabuknya dikeluarkannya sebuah kantong
kecil yang mengeluarkan suara berdering tanda berisi uang.
"Ini ambillah," katanya. "Dan serahkan anakmu padaku."
Perempuan yang mendukung bayi surut beberapa
langkah. Digelengkannya kepalanya dan berkata, "Tidak!
Suamiku tak pernah mengatakan bahwa dia hendak
menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin bermaksud demikian, saya tidak akan
menjual anak ini dengan harga berapapun. Ini anak kami yang pertama..."
Air muka sang tamu tampak berobah mengelam.
Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola matanya berputar-putar liar.
"Kalau kau tak mau tak jadi apa," katanya. Lalu kantong uang dimasukkannya
kembali ke dalam sabuknya. "Aku akan datang kembali kalau suamimu sudah pulang,"
katanya. Perempuan mendukung anak tidak menyahuti malah
buru-buru hendak menutupkan pintu rumah. Tapi baru saja jari-jari tangannya
menempel di pinggiran pintu tiba-tiba tamu bermuka cacat itu mengulurkan kedua
tangannya, menyentak kain pembadung bayi hingga terlepas sedang sang ibu jatuh
tersungkur di ambang pintu. Secepat dia bangun secepat itu pula perempuan ini
berteriak, "Anakku!
Tolong...! Anakku dilarikan orang! Culik...!"
Beberapa pintu rumah tetangga kelihatan terbuka.
Empat orang lelaki dan seorang perempuan datang
berlarian untuk melihat apa yang terjadi. Namun si penculik bayi telah melompat
ke atas kuda coklatnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat sebelum orangorang tersebut sempat melakukan sesuatu.
*** HARI Kamis malam Jum'at Kliwon... Hujan gerimis turun menambah dingin dan
seramnya suasana malam. Kuda
coklat yang ditunggangi lelaki bermuka cacat tampak mendaki di lereng bukit
berbatu-batu, terus menuju ke puncaknya. Sesosok binatang serta penunggangnya
yang hitam pekat dalam kegelapan malam tak ubahnya seperti setan yang tengah
gentayangan! Puncak bukit batu itu tinggi sekali dan jalan menuju ke situ sukar bukan main.
Beberapa kali kuda coklat tersebut terserandung. Lidahnya menjulur ke luar
bersama busahan ludah. Meskipun udara malam dingin namun tubuhnya berselimutkan
keringat yang telah bercampur baur dengan air hujan. Untuk kesekian kalinya
binatang ini tersandung dan akhirnya tegak mematung tak mau melangkah lagi.
Setengah mengomel lelaki bermuka cacat turun dari kudanya. Di dalam dukungan
tangan kirinya saat itu ada bungkusan kain yang isinya bukan lain adalah bayi
yang tadi siang diculiknya.
"Kudaku, tunggu di sini sampai aku kembali," kata orang tersebut pada kuda
tunggangannya. Lalu sambil mendukung bayi dia melanjutkan perjalanan ke puncak
bukit dengan melompat dari satu batu ke batu yang lain.
Gerakan lelaki ini gesit luar biasa tanda dia memiliki ilmu meringankan dan
mengimbangi tubuh yang sempurna.
Dalam tempo yang tidak begitu lama akhirnya dia sampai di puncak bukit batu yang
paling tinggi. Setelah memandang berkeliling dia mendongak ke
langit. Sesaat itu kilat menyambar. Keadaan terang seketika untuk kemudian
kembali kegelapan menyelimut.
Bayi dalam bungkusan kain terdengar menangis. Si
muka cacat menyeringai. Dibukanya kain pembungkus.
Udara malam yang dingin dan siraman hujan rintik-rintik membuat si bayi menangis
tambah keras. Dari balik pinggangnya laki-laki ini mengeluarkan sebilah pisau yang besarnya
hampir menyerupai sebilah golok. Sekali lagi dia mendongak ke langit. Kali ini
seraya mengacungkan pisau besar di tangan kanan tinggi-tinggi ke udara dan
sambil berseru lantang,
"Guru! Demi sumpah yang harus dipatuhi
Bersaksi pada langit di atas kepala
Bersaksi pada batu di bawah kaki
Saat ini murid siap untuk mandi!"
Habis berseru demikian manusia bermuka cacat yang seperti kemasukan setan ini
menggerakkan tangan
kanannya. Dan, cras! Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi lenyap seketika.
Darah mengucur dari luka besar pada lehernya yang kini hanya tinggal kutungan,
sedang kepalanya menggelinding jatuh entah ke mana.
Lelaki itu menyirami kepalanya dengan darah yang
mancur dari leher bayi. Gerahamnya terdengar
bergemeletakan. Matanya berputar-putar liar. Sekujur tubuhnya bergetar.
Pada saat darah berhenti memancur maka kembali
manusia bermuka iblis ini berteriak,
"Guru! Sumpah sudah dilaksanakan
Murid mohon diri
Dan akan datang lagi malam Jum'at Kliwon
Bulan depan!"
Tanpa perikemanusiaan sama sekali, dilemparkannya tubuh bayi di tangan kirinya.
Dalam keadaan tubuh basah kuyup oleh keringat, air hujan, dan darah, dia
melompat dari atas batu, terus berlari turun ke tempat di mana dia sebelumnya
meninggalkan kudanya.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
2 I BEKAS reruntuhan kuil tua yang terletak di puncak Bukit Mangatas, empat orang
laki-laki yang rata-rata D bertubuh kekar dan bertampang buas berdiri dengan
tidak sabar. Sebentar-sebentar mereka melayangkan pandangan ke jalan kecil yang
berliku-liku di lereng bukit.
Sementara itu di ufuk barat matahari penerang jagat hampir tenggelam masuk ke
peraduannya. "Kalau sampai maghrib si Gundara itu tidak juga muncul, kita tinggalkan saja
tempat ini!" kata salah seorang dari mereka. Namanya Rah Gludak.
Lelaki yang tegak sambil rangkapkan tangan tanpa
menoleh pada Rah Gludak berkata, "Aku yang jadi pemimpin di sini Gludak.
Tindakan apapun yang dilakukan adalah atas keputusanku!"
"Jika begitu kau mau jadi patung terus-terusan di sini Parereg," tukas Rah
Gludak. "Jadi setan sekalipun aku tidak perduli!"
Lelaki bernama Bayana ikut bicara, "Memang rencana kita ini bukan rencana
sembarangan. Untuk itu sudah patut kita melakukannya dengan hati penuh sabar..."
"Diam semua!" sentak Lor Parereg. "Aku mendengar derap kaki kuda di kejauhan!"
Di antara keempat orang itu memang Lor Parereglah yang memiliki ilmu paling
tinggi. Karena itu dia lebih dulu mendengar suara derap kaki-kaki kuda di bawah
bukit. Kemudian berturut-turut yang mendengar suara derap kuda itu adalah Kunto
Handoko, Rah Gludak dan Tunggul Bayana.
Semuanya berdiam diri. Masing-masing menunggu
penuh tegang. Selama mereka malang melintang menjadi empat rampok yang ditakuti
di selatan Hutan Roban, belum pernah mereka mempunyai rencana besar seperti yang
akan mereka lakukan saat itu.
Derap kaki-kaki kuda semakin keras tanda binatang dan penunggangnya tambah
dekat. Di bawah pantulan sinar kuning emas matahari yang hendak tenggelam, dari
mulut jalan tak lama kemudian muncullah seeker kuda hitam ditunggangi oleh
seorang laki-laki bertubuh kurus tinggi berpipi cekung. Begitu sampai di hadapan
ke empat laki-laki di depan kuil, penunggang kuda ini melompat turun dan
menjura. "Lekas terangkan apa yang sudah kau ketahui!" kata Lor Parereg seraya menurunkan
tangan kirinya yang sejak tadi memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang.
Gundara, orang yang barusan datang menyeka peluhnya. Setelah memandang berkeliling pada keempat orang di depannya baru dia
membuka mulut, "Karena sesuatu halangan rombongan itu tak jadi berangkat
besok..." "Hah"!" sepasang mata Lor Parereg melotot besar.
"Keberangkatan mereka dibatalkan?" bertanya Tunggul Bayana.
Gundara menggeleng. "Rombongan itu akan meninggalkan kotaraja pagi-pagi lusa. Terdiri dari dua buah kereta.
Satu kereta membawa uang dan peti-peti perhiasan, kereta lainnya membawa Ning
Larasati, anak Sri Baginda dari selir yang ke enam."
Lor Parereg memandang pada ketiga kambratnya.
"Bunga jelita itu, sobatku...," katanya dengan menyeringai penuh arti.
"Besar betul rejeki kita sekali ini," kata Rah Gludak seraya membasahi bibirnya
dengan ujung lidah.
"Menurutku sebaiknya kalian jangan ganggu gadis itu,"
berkata Gundara.
"Heh, apa urusanmu?" tanya Lor Parereg.
"Perampokan uang dan harta benda bagi Sri Baginda bukan apa-apa. Tapi kehilangan
Ning Larasati benar-benar bisa membuat Sri Baginda murka. Kalian tahu, Larasati
adalah puteri yang paling disayangi Sri Baginda. Jika terjadi apa-apa dengan
dirinya bukan mustahil Baginda akan mengerahkan seluruh balatentara Demak. Dan
kalian bisa berabe."
Lor Parereg tertawa bergelak.
"Tak ada satu orangpun yang bakal tahu siapa yang menghadang rombongan itu. Tak
ada satu orangpun yang bisa mengetahui siapa yang merampok barang-barang itu
serta siapa yang menculik Larasati. Kecuali jika ada di antara kita yang
berkhianat!"
"Tak akan ada yang berkhianat Parereg," kata Tunggul Bayana. "Rejeki yang sudah
ditakdirkan buat kita walau bagaimanapun harus kita ambil. Ning Larasati harus
jadi milik kita!"
"Betul sekali Bayana," kata Lor Parereg. Lalu laki-laki itu berpaling pada
Gundara dan berkata, "Apapun yang kami lakukan adalah urusan kami! Kau mesti
tahu bahwa kau cuma seorang yang kami mintakan keterangan. Kau
mengerti Gundara?"
"Mengerti Parereg. Nasehat itu kusampaikan untuk kebaikan kalian. Mau
diperhatikan atau tidak terserah."
"Berapa prajurit yang bakal mengawal rombongan itu?"
tanya Parereg pula.
"Duapuluh. Mereka dipimpin oleh Raden Mas
Panawa..."
"Aku belum pernah dengar nama itu," kata Lor Parereg.
Dia berpaling pada kawan-kawannya dan bertanya, "Kalian tahu siapa dia?"
Yang menjawab adalah Kunto Handoko. "Umurnya sekitar tigapuluhan. Tadinya orang
desa biasa. Karena berbuat jasa diberi gelar Raden Mas dan diangkat jadi perwira
kerajaan. Ilmunya tinggi. Sendiri-sendiri mungkin sukar menghadapinya. Tapi
berempat dia tak perlu dipandang sebelah mata!"


Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lor Parereg mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari
balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong berisi uang.
Benda itu dilemparkannya dan segera disambut oleh Gundara.
"Tugasmu selesai, Gundara. Cepat tinggalkan tempat ini. Kalau sampai rencana
penghadangan ini bocor, aku cuma tahu satu orang untuk digorok batang lehernya.
Kau!" "Saya tak bakal membuka rahasia Parereg!" kata Gundara pula. Dia menjura,
memutar tubuh dan melompat ke punggung kuda. Sekali dia menyentakkan tali kekang
maka binatang itupun bergerak ke muka.
Namun untuk selanjutnya kuda hitam itu hanya lari sendirian karena dengan amat
tiba-tiba sebuah pisau melayang dan menancap tepat di punggung Gundara.
Lelaki ini terdorong ke depan. Tubuhnya hilang keseimbangan. Dan jatuh dari punggung kuda. Susah payah dia coba bangkit. Memandang
ke arah Lor Parereg dengan pandangan penuh amarah. Dari mulutnya keluar suara
yang tak jelas. Setelah merintih panjang Gundara akhirnya rubuh ke tanah dan tak
bergerak lagi. Lor Parereg tertawa mengekeh. "Aku tak percaya pada kunyuk ini," katanya sambil
pelintir kumis. "Sebelum kasip sebaiknya dihabiskan riwayatnya!"
"Tindakanmu tepat sekali Parereg," ujar Tunggul Bayana.
"Kita kembali ke goa," kata Parereg pada kawan-kawannya. Keempatnya kemudian
meninggalkan tempat tersebut. Sementara matahari telah tenggelam dan siang
berganti dengan malam.
Hari Kamis Paing adalah hari di mana menurut
keterangan Gundara yang telah dibunuh itu, rombongan yang bakal dihadang akan
meninggalkan Kotaraja. Kira-kira dua jam perjalanan di luar kotaraja sebelah
timur, di satu daerah yang berbukit-bukit, di balik kelebatan semak belukar yang
tumbuh sepanjang jalan kecil berdebu, sejak pagi tadi empat orang berpakaian
serba hitam sudah berada di sana. Mereka bukan lain Lor Parereg dan kawankawannya. "Kurasa terlalu jauh kita melakukan penghadangan di sini, Parereg," kata Tunggul
Bayana memecah kesunyian.
Lor Parereg mendehem beberapa kali. "Bukan saatnya membicarakan hal itu,"
sahutnya tak acuh.
"Aku khawatir kalau-kalau rombongan itu membelok mengambil jalan lain."
"Menghadang lebih dekat ke kotaraja berarti
menambah besarnya bahaya. Apa kau mau tanggung
jawab jika salah seorang dari mereka nanti sempat menjemput balabantuan" Apa kau
mau tanggung jawab jika tokoh-tokoh silat istana turun tangan" Kita menghadang di sini. Itu sesuai dengan rencanaku. Tak perlu diributkan lagi!"
Sunyi beberapa lamanya. Sementara itu matahari pagi mulai naik dan terasa
bertambah panas sinarnya. Lor Parereg mengeluarkan tembakau serta daun kawung
dan mulai menggulung sebatang rokok. Setelah beberapa kali dihisapnya rokok itu
dia membuka mulut, "Bila penghadangan ini berhasil, ingat baik-baik rencana kita selanjutnya. Kau Rah Gludak lari ke timur. Ini untuk mengelabuhi orang-orang
kerajaan. Satu hari kemudian kau harus datang, selambat-lambatnya tengah hari di
kuil tua Bukit Mangatas. Kau Kunto Handoko dan Tunggul Bayana
larikan seluruh barang rampokan ke jurusan barat. Ambil jalan memutar lalu
segera menuju Bukit Mangatas dan tanam semua harta rampokan itu di lobang yang
telah kita gali. Tunggu di sana sampai aku datang."
"Kau sendiri ke mana?"
Lor Parereg menyeringai. "Ingat Ning Larasati?"
tanyanya. "Aku akan bersenang-senang dulu dengan dia di satu tempat. Dan kalian
tak usah tahu di mana!"
Beberapa waktu berlalu tanpa ada satu orangpun yang bicara. Tiba-tiba Lor
Parereg mengangkat tangan memberi isyarat. "Aku mendengar sesuatu," katanya.
"Mungkin rombongan itu!" Lalu dengan satu gerakan enteng dia melompat ke cabang
sebatang pohon. Dari tempat
ketinggian ini dia memandang jauh ke depan. Wajahnya nampak tegang ketika dia
melompat turun kembali.
"Mereka datang!" katanya. "Lekas menyebar seperti yang sudah diatur!"
Kunto Handoko, Rah Gludak, dan Bayana segera
menyebar bersembunyi.
Mereka menunggu kira-kira sepeminuman teh. Tak
lama kemudian dari arah depan muncullah rombongan itu.
Pada kepala rombongan kelihatan seorang lelaki muda keren menunggang kuda. Di
pinggangnya tergantung
sebilah pedang. Di sebelah belakang terdapat dua puluh prajurit yang juga
menunggang kuda, bergerak maju mengapit dua buah kereta. Dilihat dari bentuk
kendaraan, kereta sebelah depan jelas kereta barang sedang yang di belakang
merupakan kereta penumpang yang bagus.
Penunggang kuda di sebelah depan tampak heran
ketika melihat ada seorang lelaki berpakaian hitam, berkumis melintang tegak menghadang di tengah jalan. Dia memberi isyarat pada
rombongan untuk berhenti lalu maju mendekati orang di tengah jalan dan dengan
sikap sopan tapi juga waspada.
"Bapak, rombonganku hendak lewat. Harap kau suka menepi memberi jalan."
Lor Parereg tertawa.
"Anak muda, bukankah kau perwira kerajaan yang bernama Panawa?"
"Bapak tidak keliru. Memang saya Panawa. Sekarang silahkan Bapak menepi..."
"Aku kenal kau tapi apakah kau kenal aku, perwira?"
Raden Mas Panawa sudah mengetahui jelas orang tak dikenal di hadapannya
mempunyai maksud tidak baik. Tapi melakukan hal itu seorang diri terlalu berani.
Pasti dia mengandalkan sesuatu. Maka perwira muda yang cerdik ini memandang
berkeliling. Dia segera mengetahui ada tiga orang lainnya bersembunyi di balik
semak belukar. "Bapak, jika kau sudah tahu kami adalah rombongan kerajaan harap jangan
mengganggu lebih lama..."
"Eh, siapa mengganggu siapa?" tanya Lor Parereg sambil puntir kumis.
"Kehadiranku di sini justru dengan maksud baik. Yaitu serahkan dua kereta itu
padaku dan kalian boleh kembali ke kotaraja dengan aman..."
"Bapak, kau jangan berani main-main dengan pasukan kerajaan." Raden Mas Panawa
memperingatkan. Dia masih berusaha menyabarkan diri.
Akan tetapi seorang anak buah di samping kanannya maju seraya berkata, "Raden,
biar saya beri pelajaran pada orang ini!"
"Nah, kau dengar sendiri," kata Panawa. "Jangan sampai kami menurunkan tangan
kasar!" "Jadi kau tidak mau menyerahkan dua kereta itu?"
tanya Lor Parereg sambil bertolak pinggang.
Panawa berpaling pada anak buahnya. Kesabarannya
telah hilang. "Singkirkan manusia itu," perintahnya.
Sret! Pembantu yang diberi perintah cabut pedang dan
memajukan kudanya mendekati Lor Parereg. Pedang
berdesing diayunkan ke arah kepalanya. Dengan satu gerakan gesit kepala rampok
ini merunduk lalu dari samping memukul lengan lawan.
Krak! Terdengar patahnya tulang lengan pengawal itu.
Tubuhnya yang hilang keseimbangan langsung jatuh dan sebelum mencium tanah
disambut oleh Lor Parereg
dengan tendangan kaki kanan.
Melihat gerakan Lor Parereg yang sebat itu maklumlah Raden Mas Panawa bahwa
rombongannya berhadapan
dengan seorang berkepandaian tinggi. Tanpa tunggu lebih lama dia melompat turun
dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung menyerbu Parereg dengan
tangan kosong. WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
3 OR PAREREG yang sengaja hendak mengetahui
kehebatan perwira muda ini segera menyongsong
Lserangan lawan, menyambut dengan balas memukul.
Akibatnya dua lengan saling bentrok.
Kepala rampok Hutan Roban ini berubah parasnya
ketika dapatkan dirinya terjajar ke belakang akibat saling bentrokan lengan itu.
Nyatalah bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki keampuhan tenaga dalam
melebihi yang dimilikinya. Maka dia bersuit memberi isyarat. Tiga anak buahnya
melompat keluar dari tempat persembunyian masing-masing dan langsung mengurung
Raden Mas Panawa.
"Bagus! Kalian sudah keluar semua! Aku masih berikan kesempatan terakhir pada
kalian agar meninggalkan tempat ini!"
Lor Parereg tertawa keras. "Perwira muda! Aku Lor Parereg dan kawan-kawan baru
akan pergi setelah
mendapatkan apa yang kami ingini. Sebaliknya justru aku menawarkan agar kau dan
para pengawal berlalu saja dari sini..."
"Rampok-rampok bodoh! Bersiaplah untuk menerima hukuman!" bentak Panawa. Karena
tiga pengeroyok dilihatnya sudah memegang senjata maka dia segera pula cabut pedang panjangnya.
Pertempuran empat lawan satu segera berkecamuk. Meskipun Panawa memiliki ilmu
silat tinggi namun karena yang mengeroyok adalah rampok-rampok kawakan maka tiga
jurus saja dia sudah terkurung rapat dan terdesak.
Dalam satu bentrokan senjata, pedang di tangan
perwira muda itu terpukul lepas. Melihat pimpinan mereka berada dalam keadaan
bahaya maka sepuluh pengawal segera maju membantu. Pertempuran menjadi makin
seru. Panawa kini pergunakan sebilah keris. Senjata ini merupakan senjata pemberian gurunya dan dengan senjata ini di tangan dia mengamuk.
Satu kali dia berhasil melukai bahu kanan Kunto Handoko.
Walaupun pengawal-pengawal itu berjumlah banyak.
Namun mereka bukanlah tandingan rampok-rampok Hutan Roban yang bertempur penuh
kebuasan karena mengharapkan barang rampokan yang tidak sedikit jumlahnya.
Satu demi satu mereka roboh bahkan Panawa sendiri tubuhnya telah penuh dengan
luka-luka dan agaknya tak bakal dapat bertahan lama.
"Selesaikan dia!" kata Lor Parereg. Dia melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Sudah saatnya dia turun tangan melakukan sesuatu sesuai dengan
rencana-nya. Dia bergerak cepat ke arah kereta sebelah belakang.
Raden Mas Panawa yang dapat menduga apa yang
hendak dilakukan oleh kepala rampok itu cepat berteriak,
"Lindungi puteri!"
Sepuluh pengawal yang sejak tadi tidak ikut bertempur mendengar perintah itu
menjadi bingung. Semula mereka hendak membantu Panawa dan pengawal-pengawal lain
yang jelas kelihatan dalam keadaan kepepet. Namun kini mereka malah
diperintahkan mengamankan Ning Larasati.
Lalu siapa pula yang akan menjaga kereta pertama yang membawa uang dan harta
benda berharga itu"
Akhirnya lima pengawal bergerak ke arah kereta yang ditumpangi Ning Larasati dan
pengasuhnya sedang lima lagi memasuki kalangan pertempuran untuk menyelamatkan kawan-kawan dan pimpinan mereka. Namun
usaha mereka ini sia-sia saja.
Lima prajurit yang menjaga kereta sebelah belakang bukan apa-apa bagi Lor
Parereg. Satu demi satu mereka dihantam roboh. Lalu dia mendobrak pintu kereta
dan sepasang matanya melotot melihat wajah cantik yang ketakutan di dalam kereta
itu. Pengasuhnya yang memeluk dan berusaha melindunginya berkata, "Jangan ganggu
dia! Dia puteri Sultan!"
Lor Parereg menyeringai. Hidungnya kembang kempis membayangkan apa yang bakal
dinikmatinya. "Aku tidak akan menyakitimu Larasati. Asalkan kau mau keluar baikbaik dan ikut aku..."
"Tidak... pergi! Aku tidak mau ikut kau...!" jerit Ning Larasati beringsut ke
sudut kereta. "Gadis manis kau tak seharusnya menolak begitu..."
ujar Lor Parereg. Lalu sekali sentak saja dia berhasil menarik Ning Larasati
keluar dari kereta. Pengasuhnya yang berusaha mencegah ditendang hingga roboh
tak sadarkan diri.
Ning Larasati menjerit dan meronta-ronta dari
panggulan Lor Parereg. Namun tak berhasil melepaskan diri. Di bagian lain Panawa
yang berusaha berjuang mati-matian akhirnya tak sanggup lagi bertahan. Dia roboh
dengan tubuh mandi darah penuh bacokan. Dua pengawal yang masih hidup putus
nyali mereka dan ambil langkah seribu.
Sesuai dengan yang telah diatur, Rah Gludak kemudian memacu kudanya ke arah
timur. Kunto Handoko dan
Tunggul Bayana melarikan kereta berisi uang dan harta ke arah barat.
"Beres!" kata Lor Parereg puas. Ning Larasati dinaikkannya ke atas kuda lalu
kepala rampok ini memacu binatang ini memasuki rimba belantara dan lenyap dari
pemandangan. *** TEPAT tengah hari Kunto Handoko dan Tunggul Bayana
sampai di kuil tua yang terletak di Bukit Mangatas. Tunggul Bayana turun dari
kereta yang dikemudikannya itu dan membuka pintu. Ada empat buah peti besi di
dalam kendaraan ini. Setelah diperiksa ternyata dua peti berisi uang emas dan dua
lainnya penuh perhiasan berbagai bentuk.
"Kita akan kaya raya Bayana!" kata Kunto Handoko tertawa gembira.
Tunggul Bayana memutar kepala. Wajahnya tidak
menunjukkan kegembiraan.
"Ada apa dengan kau?" tanya Kunto Handoko agak heran. "Apa tidak senang mendapat
barang rampokan sebanyak ini" Tujuh turunan kurasa kita bisa ongkang-ongkang
kaki!" Tunggul Bayana tersenyum kecil.
"Yang aku khawatirkan adalah luka di bahumu yang membengkak, Kunto," kata
Tunggul Bayana.
Kunto Handoko baru ingat luka bekas tusukan keris Panawa pada bahunya.
"Luka biasa, tak perlu dikhawatirkan," kata Kunto Handoko pula.
"Aku yakin keris itu mengandung racun. Kalau tidak kenapa lukamu cepat sekali
membengkak dan berwarna biru begini?"
Kunto Handoko memperhatikan luka di bahunya. "Ah tak apa-apa," katanya kemudian.
"Sebaiknya kau telan obatku ini. Mujarab sekali untuk menolak segala macam
racun. Sementara itu aku akan ke belakang kuil memeriksa lobang tempat
penimbunan peti-peti itu."
Kunto Handoko mengambil sebutir obat berwarna
hitam yang diberikan Tunggul Bayana, lalu tanpa ragu-ragu menelannya. Ketika
Tunggul Bayana lenyap di balik reruntuhan tembok kuil sebelah belakang, cepatcepat Kunto Handoko mendekati empat peti besi dalam kereta.
Salah satu peti dibukanya lalu dimasukkannya tangannya mengeruk uang emas yang
terdapat dalam peti itu.
Sewaktu uang tersebut hendak dimasukkannya ke dalam sebuah kantong di balik
pakaiannya, tiba-tiba dirasakannya dadanya amat sakit. Begitu sakitnya hingga
uang yang ada dalam genggamannya terlepas dan kepalanya terasa berat sedang
pemandangannya berkunang-kunang. Kedua
tangannya kini memegangi dada yang terasa sesak. Tiba-tiba dia membuka mulut
hendak batuk tapi yang keluar adalah semburan darah!
"Jahanam!" maki Kunto Handoko. "Tunggul Bayana pasti telah memberikan racun
padaku!" Dihunusnya pedangnya lalu melangkah ke bagian belakang kuil namun
setengah jalan lututnya goyah. Sebelum terguling pingsan ke tanah Kunto Handoko
masih sempat menotok urat
besar di pangkal lehernya. Tunggul Bayana muncul.
Menyaksikan Kunto Handoko menggeletak tak bergerak dia tertawa gelak-gelak.
"Dasar manusia tolol!" katanya. "Sekarang semua uang dan harta itu menjadi
milikku! Semuanya! Aku akan jadi kaya raya! Ha... ha... ha!" Laksana orang gila
Tunggul Bayana membuka peti-peti itu satu demi satu dan
mengaduk-aduk isinya. Hatinya gembira setinggi langit. Dia puas sekali karena
rencana yang diam-diam diaturnya sejak lama kini menjadi kenyataan.
Kuda tunggangannya diikatkan di belakang kereta.
Sebelum meninggalkan tempat itu sekali lagi dia memandang pada sosok tubuh Kunto Handoko
"Sobatku yang tolol, sayang kau tak sempat menikmati hasil rampokan ini. Selamat
tinggal, selamat jalan ke akherat!" Dia tertawa panjang-panjang lalu
menyentakkan tali kekang.


Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggul Bayana tidak mengetahui sama sekali kalau saat itu Kunto Handoko cuma
menggeletak pingsan, bukan mati.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
4 OR PAREREG menunggang kudanya memasuki rimba
belantara. Meskipun pohon-pohon di situ tumbuh
Lrapat tapi karena sudah tahu betul seluk beluk daerah tersebut, dia dapat
memacu kudanya dalam kecepatan tinggi.
Kira-kira dua kali peminuman teh berlalu. Lor Parereg sudah berada di
pertengahan Hutan Roban. Di satu tempat dia menyeruak memasuki semak belukar
lebat. Di belakang semak belukar itu ternyata terdapat sebuah goa besar dan tinggi. Lor
Parereg melompat dari kudanya dan memanggul tubuh Ning Larasati memasuki goa.
Bagian dalam goa itu tak beda dengan sebuah ruangan dalam satu bangunan yang
bagus. Di sebelah depan terdapat seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan.
Ruangan itu dipisah dua oleh sebuah tirai bambu yang tipis.
Lor Parereg menyibakkan tirai bambu. Ruangan yang dimasukinya bagus sekali dan
di situ terdapat tiga buah pembaringan rotan. Pemimpin rampok ini melangkah ke
pembaringan di ujung kanan yaitu yang paling besar dan bagus. Ning Larasati yang
berada dalam keadaan pingsan dibujurkannya di atas pembaringan itu. Dari dalam
sebuah lemari Lor Parereg mengeluarkan sebuah kendi berisi tuak.
Sambil meneguk minuman itu dia duduk di tepi pembaringan memperhatikan wajah Ning Larasati.
"Cantik sekali... cantik sekali," kata Lor Parereg dalam hati berulang kali.
Hawa hangat dari minuman yang diteguknya memanasi jalan darahnya. Butir-butir
keringat memercik di keningnya. Hidungnya kembang kempis.
Nafsu mesum mulai membakar tubuhnya. Lor Parereg
beringsut. Dielusnya betis putih mulus gadis itu. Betapa lembutnya. Setelah puas
memijit-mijit betis Larasati tangannya menjalar ke atas lebih ingin tahu, makin
ke atas, membuat Lor Parereg menggeram panas dingin.
Tiba-tiba Ning Larasati siuman dari pingsannya dan menggeliat. Begitu sadar akan
dirinya puteri Sultan Demak ini menjerit dan melompat dari atas pembaringan
rotan. Dia memekik tiada henti, meronta dan menerjang.
Melakukan apa saja terhadap Lor Parereg yang coba mendekapnya. Namun kepala
rampok itu terlalu kuat bagi gadis sehalus Larasati. Pakaiannya robek-robek dan
tubuh Lor Parereg menghimpitnya dari atas. Karena tak tahu apa lagi yang dapat
dilakukannya untuk melepaskan diri, akhirnya Larasati hanya bisa menangis.
Seumur hidup tak pernah terpikir olehnya bakal mengalami nasib yang mengerikan
begini rupa. Dia menangis sambil
memejamkan matanya. Lalu dirasakannya tangan-tangan Lor Parereg melepas
pakaiannya secara paksa. Nafas lelaki itu yang berbau minuman keras menghembushembus di wajahnya. Kemudian terasa bulu-bulu dada Lor Parereg menggamangi
dadanya yang kini tiada tertutup lagi. Kemudian... kemudian...
Suara raungan laksana harimau lapar meledak keluar dari mulut Lor Parereg. Ning
Larasati terkejut. Dibukanya kedua matanya. Apa yang telah terjadi"
Dilihatnya Lor Parereg dalam keadaan setengah
telanjang terhampar di sudut ruangan. Di hadapannya berdiri seorang perempuan
amat tua berambut panjang terurai awut-awutan dan berwarna putih. Perempuan tua
ini mengenakan sehelai jubah panjang menyentuh lantai berwarna putih polos. Kaki
dan tangannya yang tersembul dari balik pakaian itu juga berwarna putih seputih
parasnya yang keriputan.
"Nenek tua berwajah putih ini apakah dia manusia atau setan?" pikir Larasati.
Untuk sesaat dia lupa akan keadaan dirinya. Begitu sadar cepat-cepat disambarnya
pakaiannya. "Bangsat tua! Siapa kau"!" teriak Lor Parereg seraya melompat.
Perempuan tua itu tertawa tawar. Barisan gigi-giginya ternyata masih utuh dan
berwarna putih bersih.
"Siapa aku...?" ujarnya. "Itulah yang aku sendiri tidak tahu!"
"Bedebah gila! Kalau tidak lekas angkat kaki dari sini kupatahkan batang
lehermu!" "Kau mau patahkan batang leherku" Lucu... lucu," kata si nenek sambil tertawa
geli. "Rupanya tendanganku tadi masih belum cukup?"
"Tua bangka keparat! Sampai ke liang kubur kau akan menyesali diri!" bentak Lor
Parereg. Lalu dia melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat hendak
menang- kap leher perempuan tua itu.
Plak! Lor Parereg terhuyung ke belakang. Tamparan nenek muka putih itu keras sekali
membuat pemandangannya berkunang-kunang. Amarahnya makin memuncak. Untuk kedua
kalinya dia menerjang ke muka namun sekali inipun tamparan lawan menghantam
parasnya lebih dulu. Membuat Lor Parereg untuk kedua kalinya berdiri nanar kesakitan!
"Anjing tua! Mampuslah!"
Lor Parereg lepaskan satu pukulan tangan kosong.
Angin deras menggebu. Itu adalah satu pukulan tangan kosong yang hebat. Tapi si
perempuan tua muka putih hanya ganda melambaikan lengan jubahnya maka
serangan Lor Parereg menjadi musnah. Tubuhnya lalu berkelebat lenyap dan
kemudian plak... plak... plak...
tamparan keras bertubi-tubi mendarat di muka Lor
Parereg. Kepala rampok ini terpelanting ke lantai. Mukanya sembab biru, bibirnya
pecah, salah satu giginya tanggal.
Dalam merintih menahan sakit Lor Parereg menyambar pedangnya dari atas tempat
tidur lalu untuk kesekian kalinya menyerbu lagi.
"Bajingan edan! Kau pantas dihajar setengah hidup setengah mampus!" nenek tua
itu berseru. Jengkel sekali dia kelihatannya, Selagi senjata lawan berkelebat
ganas siap membuat celaka tubuhnya, dengan satu gerakan aneh luar biasa
perempuan muka putih itu malah menyusup ke depan dan tahu-tahu tubuh Lor Parereg
terbetot sedang pedangnya sudah berpindah tangan!
Keringat dingin mengucur di tengkuk Lor Parereg. Kini dia sadar kalau sedang
berhadapan dengan manusia
berilmu tinggi luar biasa. Namun dia rasa-rasa masih kurang percaya. Dia masih
belum yakin lawannya benar-benar dapat bertindak begitu cepat. Ilmu silat apakah
yang telah dipergunakan oleh nenek tua bermuka putih itu"
Meskipun hatinya kecut namun kemarahannya melebihi segala-galanya. Dengan dua
tangan terpentang dan
rahang-rahang bertonjolan Lor Parereg maju mendekati si nenek.
"Makan ini!" bentak Lor Parereg seraya memukulkan kedua tangannya dengan
serentak. Empat rangkum angin yang berlainan warna menderu. Goa itu laksana mau
runtuh. Empat larik angin pukulan itu dengan hebatnya melabrak tubuh si muka
putih dari empat jurusan yang sukar untuk dikelit!
"Manusia bajingan! Pukulan Angin Empat Racun inikah yang hendak kau andalkan"
Belajarlah dulu sampai becus baru nanti dipergunakan lagi!" Habis berkata begitu
perempuan tua itu mendorongkan kedua telapak tangannya ke muka. Serangan Lor Parereg kontan tertahan dan kemudian membalik sebat ke
arah pemiliknya sendiri!
Lor Parereg berseru kaget. Jika saja dia tidak lekas menjatuhkan diri dan
berguling menjauh niscaya dirinya dilanda maut!
Melihat kenyataan ini kepala rampok Hutan Roban itu kini benar-benar sadar dan
putus nyalinya. Sekalipun dia punya lima kepala sepuluh tangan tak bakal dia
bisa mengalahkan perempuan tua yang muncul secara aneh itu.
Tanpa tunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan lari pontang-panting keluar
goa. Di mulut goa masih sempat didengarnya suara perempuan tua itu berkata,
"Kalau saja pantangan membunuhku sudah habis waktunya, niscaya sudah tadi-tadi
kupecahkan batok kepalamu!"
Lalu orang tua ini berpaling pada Ning Larasati dan menarik nafas dalam. Saat
itu Larasati berdiri di sudut ruangan dengan wajah pucat pasi.
"Kau tak usah takut. Mari ikut denganku," kata si nenek.
Larasati tak bergerak di tempatnya. Dia sadar telah ditolong oleh si nenek tapi
dia sendiri tidak tahu siapa orang tua ini. Apakah benar-benar bakal menolongnya
atau lebih jahat dari Lor Parereg.
Si orang tua mendatangi dan tersenyum. "Ayo kita keluar dari tempat ini."
"Nenek... terima kasih kau telah menolongku. Tapi kau siapa sebenarnya?" tanya
Larasati. Perempuan tua itu tertawa, "Siapa aku itulah yang aku sendiri tidak tahu. Namun
mimpiku semalam kini betul-betul menjadi kenyataan. Kau berjodoh denganku,
anak." Lalu tanpa banyak bicara lagi perempuan tua itu
memegang pinggang Larasati. Sekali lompat saja dia sudah berada di mulut goa!
*** KERETA itu bergerak cepat sekali menyusuri kali kecil berair kuning lalu
membelok memasuki jalan yang berbatu-batu. Di jalan seburuk itu tak mungkin
kereta bergerak secepat sebelumnya. Namun Tunggul Bayana mencambuki terus
punggung kedua kuda penarik kereta hingga
binatang ini lari seperti kesetanan. Kereta meluncur miring, kadang-kadang
terhempas dan mental ke atas.
Ketika matahari mulai condong ke barat baru Tunggul Bayana memperlambat lari dua
ekor kuda itu. Dia
kemudian memasuki sebuah lembah yang tak pernah
didatangi manusia dan menghentikan kereta di bawah sebuah pohon besar.
Setelah memandang dulu berkeliling baru dia melompat turun dari atas kereta.
Disibakkannya serumpunan semak belukar. Di balik semak-semak itu terdapat sebuah
lobang besar. Lobang ini memang telah disiapkannya sejak tiga hari lalu. Dia
kembali ke kereta lalu satu demi satu dengan susah payah keempat peti itu
diseretnya dan dimasukkannya ke dalam lobang. Dari salah satu peti diambilnya sejumlah uang emas dan
dimasukkannya dalam kantong.
Lobang itu kemudian ditimbunnya dengan tanah. Di atas timbunan ditutupnya dengan
potongan semak belukar sehingga tak kentara sama sekali kalau di tempat itu ada
bekas galian. Setelah meneliti dan memastikan segala sesuatunya, Tunggul Bayana
membawa kereta ke sebuah danau. Kendaraan ini ditenggelamkannya sedang dua ekor
kuda dilepaskannya. Lalu dengan menunggangi kudanya sendiri dia meninggalkan
lembah liar itu menuju ke utara yaitu ke jurusan Kotaraja.
*** SEWAKTU senja memasuki malam, dua orang prajurit
kerajaan tampak memacu kuda masing-masing memasuki Kotaraja. Salah seorang di
antaranya membawa sesosok tubuh perempuan di depan pangkuannya. Mereka langsung menuju istana dan sama sekali tidak melayani pertanyaan-pertanyaan para
pengawal. Di hadapan pintu gerbang besar sebelah dalam yang menuju ke tempat persemayaman
Sultan Trenggono, salah seorang dari prajurit itu berkata, "Beri tahu pada
Sultan bahwa kami ingin menghadap."
"Malam-malam begini, ada apa...?"
"Sesuatu telah terjadi dengan rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Kuharap kau
jangan banyak tanya dulu. Aku harus memberikan laporan!"
Mendengar itu prajurit-prajurit yang mengawal pintu gerbang tersebut segera
masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dan menerangkan bahwa
Sultan telah siap menunggu di ruangan dalam. Dengan masih membawa sosok tubuh
perempuan, kedua prajurit tadi bertindak masuk.
Air muka Sultan Trenggono tampak berobah melihat
masuknya dua prajurit itu. Sementara kedua prajurit menjura, mata Sultan memandang lekat-lekat pada perempuan yang ada di bahu kiri
salah seorang dari prajurit yang datang menghadap.
"Kalau aku tidak salah itu adalah pengasuh Larasati.
Apa yang terjadi" Dan mana puteriku?" tanya Sultan Trenggono.
"Kami dalam perjalanan pulang dari Leces. Perempuan ini kami temui di tengan
jalan di antara mayat-mayat prajurit kerajaan. Sebuah kereta istana juga kami
temui di situ dalam keadaan kosong."
Sultan Trenggono berdiri dari kursinya. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa
tegak mematung dengan mulut menganga dan kedua mata terbuka lebar.
"Pasti rombongan puteriku telah dihadang orang-orang jahat. Semua prajurit
pengawal mati katamu?"
"Betul Sultan. Bahkan mayat Raden Mas Panawa kami dapati di antara korban yang
tewas. Kami belum sempat mengurus mayat-mayat itu karena ingin cepat-cepat
melapor." "Celaka...," desis Sultan Trenggono. Dia maju beberapa langkah. Ditelitinya
sosok tubuh perempuan yang dipanggul. "Masih hidup?"
Prajurit yang ditanya mengangguk. "Bawa dia ke salah satu kamar di belakang.
Panggil tabib dan usahakan agar dia siuman secepat mungkin agar bisa ditanyai."
Sebelum menjalankan perintah dua prajurit itu menjura lebih dulu. Pengasuh yang
pingsan dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Tabib dipanggil dan segera datang.
Begitu perempuan itu siuman Sultan Trenggono segera diberitahu dan segera
datang. "Kau ikut bersama rombongan Larasati bukan?"
"Betul Sultan..."
"Kau ditemui dalam keadaan pingsan. Katakan apa yang terjadi."
Pengasuh Ning Larasati itu menyeka peluh di keningnya lebih dulu baru menjawab
dengan muka yang masih pucat.
"Waktu itu kami baru saja meninggalkan desa
Kalicamat. Tiba-tiba hamba dengar ringkikan-ringkikan kuda dan suara bentakan.
Ternyata rombongan kami telah dihadang orang jahat. Mereka berjumlah empat
orang, berpakaian serba hitam. Raden Mas Panawa turun dari kuda, bertempur
dengan salah satu orang jahat itu. Lalu perkelahian terjadi. Walau mereka
berjumlah cuma empat tapi ternyata mereka memiliki kepandaian tinggi. Perwira
muda itu dan seluruh pengawal menemui ajal. Gusti Ayu dipaksa keluar dari kereta
dan dilarikan. Hamba..., hamba tak kuasa melindunginya karena hamba ditendang
dan tak ingat apa-apa lagi..."
Sultan berpaling pada prajurit-prajurit yang telah menemukan pengasuh itu. "Apa kalian sudah meneliti tempat kejadian itu dan tidak
menemukan puteriku?"
"Sudah Sultan dan Gusti Ayu tidak ada di situ."
Sultan merasakan dadanya sesak. "Panggil Brajaseta kemari!" perintahnya.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
5 RAJASETA adalah Perwira Tinggi di Demak yang
memegang jabatan sebagai Kepala Pasukan
B Kerajaan. Orangnya tinggi kekar. Dia amat disegani dan dihormati karena ilmu
silat dan kesaktiannya yang tinggi.
Begitu Brajaseta memasuki kamar Sultan Trenggono
segera menerangkan apa yang telah terjadi dan memberi perintah agar saat itu
juga Brajaseta bersama beberapa perwira kerajaan dan seratus prajurit melakukan
penyeli- dikan dan pengejaran.
"Selambat-lambatnya besok pagi aku harus sudah mendapat kabar tentang puteriku
itu!" Lalu dengan hati masygul Sultan meninggalkan tempat tersebut. Baginya
kehilangan empat peti uang dan perhiasan bukan menjadi apa dibandingkan dengan
keselamatan puteri yang sangat disayanginya itu meski cuma puteri dari seorang
selir. Sultan Trenggono baru saja masuk ke dalam kamarnya sewaktu tiba-tiba pintu
diketuk dan Brajaseta muncul di ambang pintu.
"Ada apa Brajaseta" Bukankah kau seharusnya sudah berangkat?"
Perwira Tinggi itu menjura. "Harap dimaafkan Sultan.
Ketika saya menemui tokoh-tokoh silat istana untuk berunding, seorang pengawal
mengatakan ada seorang lelaki ingin menghadap Sultan. Ketika ditanya maksud
kedatangannya dia tidak mau menerangkan. Katanya dia hanya mau bicara dengan
Sultan dan katanya ada sangkut-pautnya dengan malapetaka yang barusan
dilaporkan."
"Bawa orang itu kemari!" kata Sultan seraya mendudukkan diri di kursi.
Sultan tak menunggu lama. Pintu ruangan terbuka dan Brajaseta bersama dua
prajurit masuk membawa seorang laki-laki berpakaian kumal, bermuka lusuh. Di
hadapan Sultan orang ini menjura dalam-dalam.
"Terangkan siapa kau dan jelaskan maksud
kedatanganmu," kata Sultan setelah lebih dulu meneliti orang itu beberapa saat
lamanya. "Nama hamba Wiku Tembereng. Hamba seorang petani miskin dari desa Kalicamat.
Pagi tadi hamba dalam perjalanan ke hutan untuk mencari kayu jati. Tiba-tiba di
balik semak belukar hamba lihat empat orang laki-laki berpakaian serba hitam.


Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka membicarakan sesuatu.
Karena sikap mereka mencurigakan maka diam-diam
hamba mencuri dengar apa yang dibicarakan. Rupanya mereka adalah perampokperampok Hutan Roban yang
hendak melakukan penghadangan. Nama-nama mereka
adalah Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Orang keempat tak tahu jelas siapa
namanya. Keempatnya
menyebut nama Gusti Ayu Ning Larasati..."
"Tunggu dulu!" potong Sultan Trenggono. "Bagaimana kau bisa tahu nama ketiga
orang itu?"
Si petani menelan ludahnya dan menjawab, "Mereka bicara saling memanggil
nama..." "Teruskan keteranganmu!"
"Yang bernama Parereg rupanya yang menjadi pimpinan di antara mereka. Hamba dengar dia mengatur rencana penghadangan dan
pelarian. Begitu penghadangan berhasil, salah seorang kawannya disuruhnya lari ke timur. Dua orang
membawa lari barang rampokan ke sebuan kuil di Bukit Mangatas dan menanamnya
dalam lobang. Parereg sendiri hamba dengar mengatakan bahwa dia akan menculik
Gusti Ayu dan menyembunyikannya di satu tempat lalu akan melakukan pemerasan
terhadap Sultan..."
"Bedebah!" maki Sultan sambil kepalkan tinju.
"Apa kau tahu ke mana Gusti Ayu dibawa?" tanya Brajaseta pada si petani.
"Hamba tidak tahu, perwira," jawab si petani, "Namun menurut Parereg besok
mereka akan bertemu di Bukit Mangatas itu dan kemungkinan Parereg akan membawa
Gusti Ayu ke situ."
Sunyi seketika.
"Coba kau terangkan ciri-ciri orang bernama Parereg itu," kata Brajaseta.
Wiku Tembereng menerangkan ciri-ciri Lor Parereg.
"Kemudian apa yang terjadi?" tanya sang perwira.
"Sebelum hamba ketahuan berada di situ, hamba cepat-cepat pergi dan pulang ke
rumah. Hamba ceritakan kejadian itu pada istri hamba dan dia mengusulkan agar
hamba cepat-cepat memberi tahu istana. Hamba seorang petani miskin, tak punya
kuda. Hamba jalan kaki untuk datang kemari. Itu sebabnya malam-malam begini baru
sampai." Sultan berpikir sejenak. Lalu berpaling pada Brajaseta.
"Bagaimana pendapatmu Dimas Brajaseta?"
"Ada baiknya jika saya melakukan penyelidikan dulu ke Bukit Mangatas."
"Bolehkah hamba mengemukakan pendapat?" tiba-tiba si petani menyeletuk.
Semua mata ditujukan pada Wiku Tembereng.
"Bicaralah," kata Sultan pula.
"Rampok-rampok Hutan Roban rata-rata licik dan amat cerdik dalam melakukan
segala tindakan. Hamba khawatir penyelidikan pendahuluan yang akan diadakan
diketahui oleh mereka. Mungkin Sultan bisa mendapatkan semua harta yang ditanam
di kuil itu kembali. Tapi Parereg tentu bakal diberi laporan sehingga dia tak
jadi datang ke situ. Ini berarti Gusti Ayu tak bakal bisa diselamatkan. Menurut
pendapat hamba yang tolol ini sebaiknya dilakukan penyergapan pada tengah hari
besok. Yaitu pada saat keempat penjahat itu melakukan pertemuan di Bukit
Mangatas di mana Parereg akan datang membawa Gusti Ayu..."
Apa yang dikatakan petani ini memang ada benarnya.
Untuk beberapa lamanya semua orang berdiam diri. Akhirnya Sultan Trenggono memecah kesunyian.
"Apa yang kau katakan itu pantas untuk dipikirkan."
Lalu Sultan berpaling pada salah seorang pembantu.
"Berikan lima keping uang perak dan seekor kuda padanya untuk pulang ke rumah."
"Sultan," si petani berkata seraya menjura, "apa yang hamba lakukan ini sama
sekali tidak mengharap pamrih balas jasa. Itu adalah kewajiban."
Sultan tersenyum. Dia memberi isyarat. Si petani
dibawa keluar ruangan.
"Sultan," kata Brajaseta begitu si petani pergi, "Hamba merasakan ada hal-hal
yang tidak wajar pada diri petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng itu."
"Hem, apa maksudmu Brajaseta?"
"Sikap hormat dan bicaranya seperti dibuat-buat..."
Sultan tersenyum "Lebih tepat kalau dikatakan petani itu agak gugup berhadapan
dengan kita. Tapi itu bukan alasan untuk curiga. Seorang rakyat biasa yang tak
pernah masuk istana dan berhadapan dengan rajanya, biasanya gugup macam begitu."
"Hal lain yang mencurigakan hamba...," kata Kepala Pasukan Demak itu, "ialah
jalan pikirannya yang cerdik.
Seorang petani biasa tak mungkin bisa mengemukakan pendapat secerdik dia..."
Sultan melambaikan tangannya. "Lenyapkan segala kecurigaanmu. Tidak selamanya
rakyat jelata atau orang dari kalangan rendah itu berotak tolol. Banyak dari
mereka yang pandai dan cerdik."
"Satu lagi Sultan," kata Brajaseta masih belum mau mengalah. "Wiku Tembereng
menerangkan bahwa dia telah berjalan kaki dari desanya kemari. Tadi saya
perhatikan. Boleh dikata hampir tak ada debu yang melekat di kedua kakinya. Mana mungkin..."
"Sudahlah. Yang penting sekarang siapkan orangmu dan besok siang tepat tengah
hari sudah harus ada di Bukit Mangatas." Habis berkata begitu Sultan Trenggono
berdiri. Brajaseta tak bisa berbuat apa-apa lagi padahal tadi dia sudah punya
rencana untuk memanggil petani itu kembali. Dalam hatinya dia tetap menaruh syak
wasangka. Sementara itu si petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng memacu kuda
hadiahnya keluar dari Kotaraja.
Sepanjang jalan lima keping uang perak yang dimasukkannya ke dalam saku pakaian berdering-dering. Sepanjang jalan itu pula di mulut Wiku Tembereng tersungging senyum.
"Kukira cuma si Kunto Handoko saja manusia tolol di dunia ini! Kiranya Sultan
dan Kepala Pasukan Demak itupun bisa kutipu! Ha... ha! Dan si Parereg itu pasti
akan terjebak kalau dia betul-betul datang ke Bukit Mangatas besok!"
Sekali lagi Wiku Tembereng tertawa terbahak-bahak.
Memang cukup lucu karena namanya sebenarnya bukanlah Wiku Tembereng melainkan Tunggul Bayana.
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
6 ETIKA pada tengah hari itu Rah Gludak sampai di
Bukit Mangatas, terkejutlah dia. Kunto Handoko
K ditemuinya menggeletak tak bergerak di tanah. Rah Gludak melompat dari
punggung kuda dan langsung
menghampiri sosok tubuh kawannya. Hatinya lega sedikit ketika mengetahui bahwa
Kunto Handoko masih bernafas meskipun satu-satu seperti orang siap sekarat
"Apa yang terjadi dengan dirinya," pikir Rah Gludak. Dia memandang berkeliling.
"Di mana pula si Tunggul Bayana.
Seharusnya dia ada di sini saat ini."
Selintas pikiran muncul di benak Rah Gludak. Dia cepat berdiri dan setengah
berlari menuju ke bagian belakang kuil. Sepasang matanya jadi melotot. Lobang
yang tempo hari digalinya bersama teman-temannya kosong melompong, tak beda dengan keadaan sebelumnya.
"Apa yang terjadi! Mungkinkah Tunggul Bayana berkhianat"!"
Rah Gludak cepat berpaling ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dari arah
belakang. Semula disangkanya Tunggul Bayana. Yang muncul ternyata Lor Parereg.
"Apa yang terjadi dengan Kunto Handoko?" tanya Lor Parereg.
Rah Gludak melihat bibir Lor Parereg pecah. Dia
menjawab, "Ada yang tak beres di sini Parereg. Tunggul Bayana tidak kelihatan
mata hidungnya! Harta-harta rampokan juga tidak ada. Lobang yang kita gali tempo
hari ternyata kosong melompong!"
Berobahlah paras Lor Parereg. Sekali lompat saja dia sudah berada di tepi
lobang. "Keparat!" kata Lor Parereg sambil mengepalkan tinju.
"Pasti si Tunggul Bayana itu berkhianat!" Dia kelihatan marah sekali. Pelipisnya
bergerak-gerak. Lalu dia pergi ke bagian depan kuil dan memeriksa tubuh Kunto
Handoko. "Dia telah diracuni!" kata Lor Parereg setelah meneliti keadaan Kunto Handoko.
Bibirnya jelas kelihatan membiru.
Kemudian dilihatnya bekas totokan pada pangkal leher anak buahnya itu. "Untung
dia masih bisa menotok jalan darahnya. Kalau tidak pasti dia sudah mati saat
ini!" Dari balik pakaiannya Lor Parereg mengeluarkan satu lipatan kertas berisi
sejenis bubuk berwarna putih. Bubuk ini dimasukkannya ke dalam mulut Kunto
Handoko. Setelah menunggu beberapa lama dilepaskannya totokan pada pangkal leher lakilaki itu. Tak selang berapa lama Kunto Handoko membuka kedua matanya perlahanlahan. Lor Parereg yang sudah tak sabaran menepuk-nepuk muka anak buahnya itu.
"Hai! Ayo bangun! Bangun! Sadar, jangan mimpi!"
Lor Parereg menyandarkan kepala Kunto Handoko pada reruntuhan tembok kuil.
Sepasang mata Kunto Handoko memandang berkeliling. Dia berusaha mengumpulkan
ingatannya kembali.
"Ceritakan apa yang terjadi," kata Lor Parereg.
Yang ditanya masih berdiam diri macam orang bingung.
"Ayo ceritakan! Kau kutemui menggeletak pingsan. Apa yang terjadi" Siapa yang
punya pekerjaan" Ayo!" Kembali Lor Parareg menepuk-nepuk pipi Kunto Handoko.
Rasa sakit pada mukanya memulihkan ingatan Kunto
Handoko. Tapi yang dilakukan laki-laki ini bukannya menjawab pertanyaan Lor Parereg melainkan duduk bersila mengatur jalan nafas dan
darahnya. Lor Parereg
menggerutu habis-habisan. Tapi dia memaklumi apa yang dilakukan Kunto Handoko
itu adalah satu keharusan yaitu untuk menghindarkan luka dalam akibat keracunan.
Selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya Kunto Handoko muntah-muntah.
Dadanya yang tadi sesak perlahan-lahan terasa lega. Kepalanya yang berat kini
menjadi enteng.
"Sekarang cepat terangkan apa yang terjadi!" kata Lor Parereg tak sabar lagi.
Kunto Handoko lalu menerangkan bahwa dia dan
Tunggul Bayana sampai di tempat itu sekitar tengah hari kemarin. Diceritakannya
bagaimana Tunggul Bayana
mengkhawatirkan luka di bahunya lalu memberikan sebutir obat. Tak lama sesudah
obat itu ditelannya kepalanya terasa berat. Dadanya sakit, lalu dia muntahmuntah dan tak ingat apa-apa lagi.
"Tunggul Bayana keparat haram jadah!" Suara Lor Parereg menggeram bergetar.
"Berani dia mengkhianati kita! Kita harus cari dia dan cincang sampai lumat!"
"Dia pantas digantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Lalu dihukum picis!" kata Rah Gludak yang sejak tadi diam saja.
Ketiga orang itu melangkah menuju ke kuda masingmasing. Namun langkah mereka serta- merta terhenti.
Sepasang kaki mereka laksana dipantek ke tanah. Mata mereka membeliak dan
memandang berkeliling.
Sesaat itu dari balik semak belukar muncul puluhan prajurit bersenjata lengkap,
mengurung puncak bukit itu dalam dua lapor berbentuk lingkaran. Seorang lelaki
berpakaian perwira dan bertubuh tinggi kekar diiringi oleh dua orang pemuda yang
juga mengenakan seragam
perwira kerajaan melangkah kehadapan Lor Parereg dan dua kawannya.
"Kalian bertiga sudah terkurung!" kata perwira yang paling depan dan bukan lain
adalah Brajaseta. "Tidak ada guna melawan. Menyerah lebih baik!"
"Apa-apaan ini"!" tanya Lor Parereg membentak.
"Kau dan dua kawanmu kami tangkap Parereg! Dan jangan banyak mulut!" kata
Brajaseta pula.
"Ditangkap?" Sepasang mata Lor Parereg melotot dan berputar liar "Bah! Kami
tidak ada urusan dengan kalian kecoak-kecoak kerajaan!"
Brajaseta menyeringai mendengar dirinya dan anak
buahnya disebut kecoak kerajaan. Dengan kedua tangan diletakkan di pinggang
Brajaseta kembali membuka mulut,
"Kau dan kawan-kawanmu telah menghadang rombongan Gusti Ayu Ning Larasati.
Merampok barang-barang kerajaan dan menculik puteri Sultan!"
Lor Parereg orangnya memang pandai dan licik. Dia memandang pada Kunto Handoko
dan Rah Gludak. Ketiga orang itu lalu tertawa gelak-gelak. Dua perwira muda yang
turut bersama Brajaseta kelihatan sudah tidak sabar untuk buru-buru turun
tangan. Namun tanpa mendapat isyarat atau perintah mereka tidak berani bertindak
mendahului. Sambil balas berkacak pinggang Lor Parereg berkata,
"Perwira, kau lihatkah matahari bersinar terik di atas batok kepalamu" Ini satu
pertanda bahwa saat ini tengah hari bolong! Dan adalah aneh kalau kau bicara
melantur macam orang mimpi mengigau! Jangan menuduh yang
bukan-bukan! Jangan mimpi di siang bolong!"
Dengan tenang malah sambil tertawa Brajaseta
menjawab, "Mungkin kau yang mimpi Lor Parereg!"
"Hem, tunggu dulu! Dari mana kau tahu namaku Lor Parereg"!"
"Tanya jawab ini bisa kita lanjutkan nanti di Kotaraja!"
jawab Brajaseta. Dia memandang berkeliling. "Setahuku kalian berjumlah empat
orang. Mana kunyuk yang satu lagi"!"
Lor Parereg geleng-gelengkan kepala.
"Sebaiknya jangan teruskan mimpi anehmu itu. Sekali aku bilang tak ada urusan
dengan kalian, tetap tak ada urusan. Sekarang minggir! Beri jalan!"
"Hem kau mau ke mana Parereg" Jika hendak pergi ke Kotaraja kami akan
mengantarkan kau dan kawan-kawanmu ke sana!" kata Brajaseta pula. Lalu dia goyangkan kepala pada dua perwira
muda di sampingnya. Ketiganya maju bersamaan.
"Gila! Kalian hendak turun tangan terhadap orang yang tidak punya salah apaapa"!" teriak Lor Parereg.
"Kejahatan kalian telah jelas. Segala apa yang kalian bicarakan sudah kami
dengar. Jika kau dan teman-temanmu tidak mau menyerahkan diri dengan damai, kekerasan mungkin lebih baik!"
"Cara kekerasan dan mengeroyok! Pengecut! Kau mengandalkan puluhan prajurit!"
kata Lor Parereg.
"Jangan khawatir. Prajurit-prajurit itu hanya menjadi penonton. Kecuali kalau
kau coba melarikan diri!"
"Perwira tolol! Kau mencari mati!" bentak Lor Parereg lalu hunus kerisnya. Kunto
Ilmu Ulat Sutera 15 Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat Pusaka Pantai Selatan 1

Cari Blog Ini