Ceritasilat Novel Online

Pelangi Di Majapahit 1

Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Bagian 1


Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
PELANGI DI MAJAPAHIT
BAB I Kuda bernama Gruo yang ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri bergerak
tidak terlalu cepat. Sebentar lagi mereka akan keluar dari kawasan hutan
belantara an langsung menuju pinggiran Timur Kotapraja. Disitu Wiro akan
melepaskan putri bungsu Prabu Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban
berat menjaga keselamatan sang dara namun perpisahan membuat hatinya agak haru.
Saat itu menjelang dini hari. Udara masih gelap dan hawa terasa dingin.
Mendekati dua buah pohon besar yang terletak mengapit kira-kira dua tombak di
depan jalan yang mereka tempuh murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah
Grudo. Dia memandang tak berkesip ke arah dua pohon besar di kiri kanan jalan.
"Ada apa," bisik Gayatri bertanya.
"Saya punya firasat tidak enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di
balik pohon menghadang kita," jawab Wiro.
"Gandita?"
"Mungkin, tapi bisa juga orang lain. Atau Gandita bersama orang lain."
"Kalau begitu kita ambil jalan lain saja," mengusulkan Gayatri.
Wiro mengangguk. Dia menarik tali kekang Grudo. Namun belum sempat dia memutar
kuda itu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara desiran angin disertai
berkelebatnya satu bayangan hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di
belakang Wiro terdengar menjerit.
Wiro membalik. Dan terkejut besar. Gayatri tak ada lagi di belakangnya!
Pendekar 212 melompat dari atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi dia tidak melihat bayangan siapapun. Tibatiba terdengar suara kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara
kerontangan mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
lenyap, menyusul terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat
berpaling ke arah itu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar
dilihatnya Gandita bertolak pinggang.
"Bangsat! Kau menculik..."
"Apa kau lihat kawanmu itu ada bersamaku?" ujar Gandita dengan seringai
mengejek. Aneh, bangsat ini tampak biasa-biasa saja. Padahal sebelumnya dia jelas
menderita luka dalam parah! Pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengan dirinya.
Mungkin ada orang pandai luar biasa yang menolong dan mengobatinya.
Gandita tak bergerak di tempatnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak
menyerang. Dengan senyum mengejek dia berkata.
"Kau masih ingin mencari temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti
perempuan itu"! Lihat apa yang terjadi di balik pohon besar sebelah kanan sana!"
Sesaat Wiro agak bimbang. Namun ketika dia menangkap suara seperti orang sedang
berkelahi dari arah pohon besar yang disebutkan Gandita maka murid Eyang Sinto
Gendeng segera berkelebat ke balik pohon itu.
Begitu sampai di balik pohon besar murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut
menyaksikan apa yang terjadi.
Di situ dilihatnya seorang kakek berkulit hitam dengan rambut di gelung ke atas
dan bertubuh tinggi dengan tampang kuyu sedih tengah mengepit tubuh Gayatri di
tangan kirinya. Orang tua berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara
seperti orang menangis sesenggukan terus menerus.
Astaga! Manusia ini adalah Dewa Sedih, kakak Dewa Ketawa, pentolan kaki tangan
pemberontak! Celaka! Membatin Wiro. Jangan-jangan dia yang telah mengobati
Gandita! Gayatri sendiri yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan
dikepit erat oleh kakek berkulit hitam.
Sambil mengepit Gayatri si kakek berkelahi menghadapi seorang lawan dan dari
mulutnya masih saja terus terdengar suara seperti menangis.
Yang dihadapi Dewa Sedih saat itu adalah seorang kakek aneh memakai caping lebar
di kepalanya. Dia memanggul sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
memegang sebuah tongkat kayu sedang di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng
berisi batu-batu kerikil. Setiap saat kaleng rombeng ini digoyang-goyangkannya
sehingga mengeluarkan suara berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang tongkat
bergerak kian kemari dalam gerakan aneh yang ternyata adalah serangan-serangan
ganas yang mengurung kakek hitam.
Bagaimanapun kakek hitam ini berusaha bertahan dan mencoba membalas namun
serangan tongakt itu sulit ditembusnya.
Masih untung dia belum sempat kena gebuk atau tertusuk ujung tongkat. Yang
sungguh luar biasanya lagi ialah bahwa kakek bercaping lebar dan berpakaian
compang-camping seperti pengemis itu ternyata kedua matanya tidak memiliki
bagian hitam barang sedikitpun. Sepasang mata kakek aneh ini putih semua dan
tentu saja ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak dapat melihat alias buta!
"Kakek Segala Tahu!" seru Pendekar 212 ketika dia mengenali siapa adanya kakek
buta itu. "Husss! Jangan berisik! Biar aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng yang
hendak menculik temanmu ini! Jika dia tidak mau melepaskan temanmu itu, terpaksa
aku menghentikan tangisnya! Menghentikan tangisnya berarti menghentikan jalan
nafasnya!" berkata si kakek buta lalu kembali dia goyang-goyangkan kaleng
rombengnya sambil tertawa mengekeh.
"Ah benar dugaanku..." kakek hitam yang mengepit Gayatri membatin sambil terus
saja sesenggukan. "Memang dia rupanya. Tapi mengapa ilmunya setinggi ini. Aku
hanya tahu dia sebagai seorang pengemis yang pandai meramal. Ternyata aku tidak
sanggup keluar dari kurungan tongkatnya! Sudah kepalang! Lebih baik mati
daripada menerima malu besar!"
Kakek hitam itu menggerung keras. Saat itu ujung tongkat menyambar ke mukanya
lalu membabat pakaiannya. Breeet! Dada pakaiannya robek besar.
"Itu peringatan pertama dan terakhir!" kata Kakek Segala Tahu. "Kalau kau masih
belum mau melepaskan orang itu, kali berikutnya tongkatku akan menyatai
tenggorokanmu!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Kau yang bakal mampus duluan pengemis busuk!" teriak kakek hitam lalu kembali
menggerung. "Baiknya lekas kau beri tahu nama atau gelarmu agar setan-setan
rimba belantara ini mengantarmu dengan senang ke rimba kematian!"
Kakek bermata buta berpakaian seperti pengemis hanya sunggingkan tawa mengejek.
Kakek hitam jadi naik darah. Dia menggerung keras. Tangan kanannya dipukulkan ke
depan. Terjadilah satu keanehan dari telapak tangan kakek hitam itu berputar
keluar bola api yang langsung melesat ke arah kakek buta!
"Kakek Segala Tahu! Awas! Lawan menyerangmu dengan bola api!" berteriak Wiro.
Tangan kanannya sendiri sudah siap diangkat siap untuk memberi pertolongan.
Tapi Kakek Segala Tahu tetap tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa.
Wuss! Bola api menyambar. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu
membungkuk. Tapi gerakannya agak terlambat. Bola api menyambar ganas menghantam
caping lebarnya. Caping ini langsung terbakar dibuntal bola api dan terpental
jauh. Paras Kakek Segala Tahu jadi berubah. Sebaliknya di depannya kakek hitam
malah menangis keras-keras. Mungkin begitu caranya dia menyatakan rasa puas
melihat serangannya berhasil walaupun yang menyambar dan membakar caping lawan.
" Dalam dunia persilatan hanya ada satu manusia yang bersenjatakan bola api!
Kau pasti adalah Dewa Sedih!"
Kakek hitam dongakkan kepala dan menggerung pilu sekali. "Kau sudah tahu siapa
aku. Akupun sudah tahu siapa kau! Kita orang-orang persilatan akan saling
berbunuhan! Salah satu dari kita akan menemui kematian. Betapa menyedihkan...Dewa Bathara
kasihani pengemis malang ini..." lalu orang tua ini yang sebenarnya memang
adalah Dewa Sedih menangis sejadi-jadinya.
"Manusia edan!" maki Wiro dalam hati. "Kakek Segala Tahu, biar aku yang memberi
pelajaran pada tua bangka cengeng ini!"
"Tetap di tempatmu Pendekar 212! Jangan campuri urusan kami dua tua bangka
keblinger!" Kakek Segala Tahu membentak, membuat Wiro terpaksa hentikan gerakan.
Hatinya berkebat-kebit apakah kakek buta ini sanggup menghadapi Dewa Sedih yang
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
punya senjata berupa bola api yang dahsyat itu. Selama ini Wiro hanya mengenal
Kakek Segala Tahu sebagai seorang jago ramal tiada duanya. Sekarang dia
menyaksikan sendiri bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu silat yang bukan
sembarangan. Dengan tongkat bututnya dia sanggup membuat Dewa Sedih tidak
berdaya. Tapi apakah tongkat buruk itu bisa menghadapi bola api"! Selain hal itu
yang dikhawatirkan Wiro adalah keselamatan Gayatri yang saat itu masih berada di
kepitan tangan kiri Dewa Sedih.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit yang mulai kelihatan terang tanda sebentar
lagi pagi akan tiba. Tangan kanannya digoyang-goyangkan. Kaleng rombeng itu
mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga. Tangan kirinya mengetuk-ngetukkan
tongkat kayunya ke tanah.
"Dewa Cengeng!" Kakek Segala Tahu sengaja menyebut nama Dewa Sedih menjadi Dewa
Cengeng. "Aku bertanya untuk penghabisan kali! Kau mau serahkan pemuda yang
hendak kau culik atau tidak!"
Suara gerung tangis Dewa Sedih terdengar perlahan. Lalu dia berucap. "Malang
benar nasibmu pengemis jelek. Rupanya bukan hanya matamu yang buta, telingamupun
sudah tuli. Orang dalam kepitanku ini kau katakan pemuda. Padahal jelas dia
menjerit mengeluarkan suara perempuan!"
Wiro merasakan wajahnya menjadi pucat dan kuduknya menjadi dingin. Kakek hitam
itu ternyata sudah mengetahui bahwa orang yang tengah diculiknya itu adalah
seorang perempuan. Apakah dia juga sudah mengetahui siapa adanya orang itu"!
Gayatri harus cepat dirampas. Aku harus ikut turun tangan. Persetan sekalipun
Kakek Segala Tahu akan marah besar padaku!
Begitu Wiro bertekad dalam hati. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan
kanan. Kalau tidak dapat merampas Gayatri tanpa menciderai,membunuh kakek
cengeng inipun aku tak perduli. Apalagi dia berkomplot dengan pemberontak
bernama Gandita itu! Namun gerakannya lagi-lagi berhenti ketika didengarnya Dewa
Sedih berkata. "Kau inginkan pemuda banci ini, pengemis buruk" Boleh saja. Akan kuberikan
padamu tapi telan dulu bola apiku ini!"
Habis berkata begitu Dewa Sedih kembali mengisak-isak lalu tangan kanannya
dipukulkan ke depan.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Dari telapak tangannya untuk kedua kalinya melesat keluar bola api, menderu
deras ke arah mulut Kakek Segala Tahu!
"Ah makanan enak! Aku suka sekali!" Kakek Segala Tahu berucap keras. Lalu buka
mulutnya lebar-lebar seperti siap untuk benar-benar menegak bola api yang
disuruh telan itu. Sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng rombegnya.
Pinggulnya digoyang-goyangkan seperti menari tapi tentu saja maksudnya mengejek
lawan. Sudah gila tua bangka ini rupanya! Maki Wiro menyaksikan kelakuan Kakek Segala
Tahu. Serangan maut dihadapinya seperti itu! Mau tak mau murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini segera angkat tangannya, hendak menghantam bola api
dengan pukulan "Dewa topan menggusur gunung"
*** BAB II "Makanan Enak! Aku suka sekali!" kembali terdengar Kakek Segala Tahu berucap.
"Cuma sayang aku sedang berpuasa!"
Lalu mendahului gerakan Pendekar 212 Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu gerakkan
tangan kirinya. Tongkat kayu butut melesat ke atas. Ujung tongkat menusuk bola
api. Seperti menusuk bola sungguhan, bola api itu tampak tidak bergerak lagi seolah
ditancap mati. Si kakek goyangkan tangannya sedikit. Bola api itu berputar
seperti titiran.
"Sayang aku sedang berpuasa, kau saja yang makan kue enak ini!" seru Kakek
Segala Tahu. Lalu sekali tangan kirinya bergerak, bola api itu menderu, melesat
ke arah kepala Dewa Sedih.
Kakek berkulit hitam itu berseru keras lalu meratap dalam kagetnya. Dia tak
pernah menyangka senjata yang sangat diandalkannya bisa dikembalikan untuk
menyerang dirinya sedemikian rupa. Sambil menangis Dewa Sedih cepat jatuhkan
diri cari selamat. Pada saat itulah tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu
berkelebat menggebuk bahu kirinya. Kali ini Dewa Sedih keluarkan jerit
kesakitan. Tulang bahunya serasa hancur. Tubuhnya terbanting ke tanah.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Kempitannya pada tubuh Gayatri terlepas. Melihat hal ini Wiro cepat pergunakan
kesempatan menyambar tubuh puteri bungsu Prabu Singosari itu dan membawanya ke
tempat yang aman.
Dewa Sedih mencoba bangun dan mulai menangis lagi. Namun saat itu ujung tongkat
kayu di tangan Kakek Segala Tahu sudah menusuk tenggorokannya.
"Menangis sepuas hatimu! Manusia biang kerok sepertimu tidak layak hidup lebih
lama!" Tampang kakek muka hitam itu menjadi pucat.
Keringat mengucur di keningnya. Tapi dasar manusia aneh dalam ketakutan seperti
itu dia masih saja terus menangis. Sebenarnya Kakek Segala Tahu hanya bermaksud
menggertak. Dia tidak punya keinginan untuk membunuh Dewa Sedih.
Pandangan hidupnya ilmu silat dan segala macam ilmu kesaktian adalah untuk
melindungi diri sendiri, keluarga dan sahabat, bukan untuk membunuh orang,
apapun alasannya. Soal bunuh membunuh biar serahkan saja pada orang lain.
Sebaliknya merasa dirinya tidak mungkin akan selamat dari kematian Dewa Sedih
hanya bisa pasrah. Dia mulai meratap memilukan. Menyaksikan kejadian itu Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala. Lalu dia ingat pada keadaan Gayatri. Totokan yang
membuat kaku sekujur tubuh gadis ini segera dilepaskannya.
Tiba-tiba dari samping kiri pondok kayu berkelebat satu bayangan besar disertai
mengumandangnya suara tawa bergelak disusul suara seruan.
"Jangan bunuh saudaraku!"
Selarik angin menyambar.
Wuttt! Kakek Segala Tahu merasakan tangan kirinya bergetar. Tongkat yang ditusukkannya
ke leher Dewa Sedih bergoyang-goyang. Semula dia berusaha mengerahkan tenaga
untuk bertahan. Tapi memikir tak ada gunanya maka dia kendurkan pegangannya dan
tongkat itu terpelanting kiri namun tak sampai lepas dari pegangannya.
Di hadapan Kakek Segala Tahu kini berdiri seorang bertubuh gemuk luar biasa,
mengenakan baju dan celana yang kesempitan. Sepasang matanya sipit hampir
berbentuk garis, rambutnya disanggul ke atas. Dari mulutnya tiada hentinya
keluar suara tertawa gelak-gelak.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Gayatri yang tegak disamping Wiro dan sudah bebas dari totokan pegang lengan
Pendekar 212 dan berbisik.
"Manusia-manusia apa sebenarnya yang ada di depan kita ini" Sebaiknya kita lekas
pergi saja dari sini."
Keadaan tidak berbahaya seperti tadi lagi Raden Ayu. Kalau tadi memang saya yang
menginginkan agar kau cepat pergi, kini tak ada yang perlu dikhawatirkan. Orang


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gendut seperti kerbau bunting itu adalah Dewa Ketawa. Kalau aku tidak salah dia
adalah adik dari kakek hitam berjuluk Dewa Sedih itu..."
"Kalau begitu kita ketambahan seorang musuh."
"Tidak. Walau bersaudara tapi Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tidak sehaluan.
Dewa Ketawa selalu berpihak pada orang persilatan golongan putih..."
"Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana ada manusia-manusia aneh seperti mereka
itu!" "Dunia persilatan justru menjadi ramai oleh manusia-manusia semacam
mereka...Kita lihat saja apa yang akan terjadi."
Mengenali siapa yangdatang Kakek Segala Tahu bermata buta itu tampak gelenggelengkan kepala. Dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya dan ketuk-ketukkan
tongkat bututnya ke tanah.
"Tertawa sepanjang hari. Berbobot sebesar sapi. Siapa lagi kalau bukan Dewa
Ketawa" Ha..ha..ha! Kalau sudah tahu apa yang terjadi mengapa tidak meminta
kakakmu si Dewa Sedih agar segera meninggalkan tempat ini?"
Dewa Ketawa puaskan dulu gelaknya lalu mengangguk-angguk, kemudian berpaling
pada kakaknya. "Kau sudah dengar ucapan orang! Sudah untung kau masih bisa bernafas saat ini.
Ayo lekas minggat dari sini!"
Sepasang mata Dewa Sedih tampak melotot memandang pada adiknya. Namun sesaat
kemudian terdengar kembali isak tangisnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri
sambil pegangi bahu kirinya yang mendenyut sakit akibat pukulan tongkat Kakek
Segala Tahu tadi.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Kau tidak pernah berubah," Dewa Ketawa teruskan omelannya. "Masih saja
melibatkan "Masih saja melibatkan diri dengan orang-orang tidak baik. Apa
untungmu bergabung dengan orang-orang yang berniat jahat terhadap Singosari"!"
"Urusanmu urusanmu. Urusanku urusanku!" jawab Dewa Sedih. Dia melangkah
mendapatkan Gandita.
Dewa Ketawa mengekeh mendengar ucapan kakaknya itu. Dia menyahuti dengan suara
keras. "Bagus kalau begitu ucapanmu! Lain hari, jangan harap aku akan
menolongmu!"
"Aku tidak perlu segala macam pertolongan adik durhaka sepertimu!" teriak Dewa
Sedih lalu kembali terdengar suara isak tangisnya. "Kita pasti akan bertemu
lagi. Kau akan menyesal! Pasti menyesal!"
Dewa Ketawa mencibir. "Tua bangka tolol! Sudah bau tanah masih mau melantur!" Si
gendut ini perhatikan kepergian kakaknya bersama Gandita lalu berpaling pada
Kakek Segala Tahu. Dia mulai tertawa.
"Sahabatku pengemis yang turun dari Kahyangan, apa kabarmu?"
Kakek Segala Tahu tersenyum. "Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan dirimu"
Kau kelihatan agak langsingan!"
Mendengar ucapan itu meledak tawa Dewa Ketawa hingga kedua matanya berair.
"Selama tiga bulan ini beratku telah bertambah dua puluh kilo. Bagaimana kau
bisa mengatakan aku agak langsing"! Ha..ha..ha..!" Dewa tertawa lalu melirik ke
arah Wiro. "Kampret Gondrong!" katanya menyebut Wiro dengan panggilan mengejek seenaknya
itu. "Selamat bertemu kembali dengan orang yang kau juluki Kerbau Bunting!"
Gayatri menutup mulutnya agar suara tertawanya tidak membersit keluar. Wiro
garuk-garuk kepala tapi cepat menjawab, "Aku si Kampret Gondrong baik-baik saja.
Kukira kau sudah beranak Kerbau Bunting, rupanya belum!"
Dewa Tertawa kembali meledak tawanya. Kakek Segala Tahu dan Gayatri ikut tertawa
gelak-gelak. "Kalau aku beranak, siapa yang akan menolong! Tidak ada dukun beranak di tempat
ini!" kata Dewa Ketawa pula.
Kembali tempat ini menjadi riuh oleh suara tertawa.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Kakek Segala Tahu mengangkat tongkatnya dan meletakkan benda ini di atas bahu
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Anak muda, kau selalu saja mencari-cari penyakit!" berkata si kakek
"Saya tidak bermaksud berbuat begitu. Penyakit apakah yang kau maksudkan Kakek
Segala Tahu?"
Si kakek ketuk-ketukkan tongkatnya ke bahu Wiro sedang tangan kanannya
menggoyang-goyangkan kaleng rombeng.
"Kau tahu penyakit apa yang aku maksudkan Wiro. Yang jelas saat ini kau berada
berdua-duaan di dalam hutan bersama seorang puteri Kerajaan Singosari!"
"Astaga!" Wiro melengak.
Dewa Ketawapun tampak keheranan. Siapa yang dimaksud kakek buta itu dengan
puteri Keraton Singosari" Dia hanya melihat seorang pemuda berkumis tipis
disamping Wiro.
"Kakek Segala Tahu, bagaimana kau...?"
Gayatri sendiri tidak kalah kagetnya. Diam-diam dia mulai merasa gelisah. Dia
hendak membisikkan sesuatu pada Wiro tapi tak jadi karena saat itu terdengar
kakek buta berkata.
"Tak usah teruskan pertanyaanmu itu. Aku mencium bau harum semerbak dari pakaian
dan tubuh orang yang tegak di sampingmu. Wewangian seperti itu hanya dimiliki
oleh permaisuri atau puteri-puteri Keraton Singosari! Apa salah dugaanku?"
"Kau..kau betul," jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. Bertemu dengan Kakek
Segala Tahu belum tentu bisa sekali dalam tiga tahun. Maka murid Sinto Gendeng
cepat berkata. "Kek, selagi kau ada di sini, aku mohon petunjukmu..."
"Petunjuk mengenai hubunganmu dengan gadis Keraton ini?" tanya Kakek Segala Tahu
lalu tertawa mengekeh. Dewa Ketawa ikut-ikutan tertawa. "Jangan mimpi kau bakal
berjodoh dengannya, Pendekar 212!"
Paras Wiro dan wajah samaran Gayatri tampak kemerah-merahan. Wiro cepat berkata.
"Maksudku bukan itu kek. Aku ingin kau meramal tentang Singosari di masa
mendatang. Hal ini kutanyakan karena saat ini ada komplotan jahat yang hendak
memberontak dan merebut tahta kerajaan dari tangan Sang Prabu.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Kalau itu yang kau tanyakan sulit bagiku untuk menjawab," sahut Kakek Segala
Tahu sambil mendongak lalu goyang-goyangkan kaleng rombeng berisi batu di tangan
kanannya. Wiro tahu orang tua bermata putih dan buta itu berdusta. Dipegannya tangan Kakek
Segala Tahu. Sebelum dia berkata si kakek berpaling ke arah Gayatri lalu
berkata. "Sebentar lagi pagi akan datang. Apakah kau tidak bakal mengalami kesulitan jika
kembali ke Keraton kesiangan?"
Ucapan Kakek Segala Tahu itu membuat Gayatri sadar. Dia memandang ke Timur.
Langit di ufuk sana tampak mulai benderang. Puteri bungsu Prabu Singosari ini
memandang pada Wiro. Mungkin banyak yang ingin dikatakannya tapi dia hanya
mengucapkan: "Jika kau ingin menemui saya di Keraton, carilah seorang abdi tua
bernama Damar..." Habis berkata Gayatri tinggalkan tempat itu. Dia menemukan
kudanya tak jauh dari situ lalu bersama tunggangannya ini berlalu dengan cepat.
"Nah, gadis itu sudah pergi. Sekarang baru aku bisa leluasa meramal. Aku tadi
tidak ingin dia mendengar ramalanku," kata Kakek Segala Tahu. "Rupanya dia
sangat menyukaimu Pendekar 212..."
"Lupakan dulu gadis itu. Ucapkan ramalanmu," kata Wiro.
"Ya, ya...Aku juga ingin mendengar," kata Dewa Ketawa lalu mengekeh panjang.
Mulut Kakek Segala Tahu tampak komat-kamit. Dengan ujung tongkatnya dia
menggurat tanah di depannya membuat gambar segitiga.
"Akan kucoba meramal. Benar tidaknya ramalanku hanya kenyataan nanti yang kelak
akan membuktikan. Terus terang ini Cuma ramalan seorang tua bangka tolol. Jadi
jangan terlalu percaya!"
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang tua itu. Kakek Segala
Tahu memulai ramalannya.
Kaleng rombeng di tangan kanannya digoyang keras-keras. "Kejadian pertama.
Akan terjadi perang saudara antara Singosari dengan orang-orang Kediri.
Singosari runtuh tapi bukan tidak bisa diselamatkan. Seoarang kesatria akan
muncul menyelamatkan tahta baru." Ujung tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu
bergeser ke ujung segitiga sebelah kanan bawah. "Kejadian kedua. Akan datang
balatentara dari utara menyerbu tanah Jawa. Siapa yang dapat mempergunakan
kesempatan dalam kekalutan mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
akan mendapat pahala besar. Akan muncul lagi seorang kesatria baru. Dia bakal
mendapat bantuan dari kesatria pertama tadi."
Kakek Segala Tahu kembali goyang-goyangkan kaleng bututnya. Lalu ujung tongkat
ditekankan ke arah ujung segitiga sebelah atas. "Aku melihat sinar terang, tapi
tidak terlalu terang. Sinar ini bukan sinar matahari, juga bukan sinar rembulan
atau cahaya bintang-bintang. Ada tujuh warna bertabur memanjang. Mungkin ini
yang dinamakan pelangi. Ingat pelangi selalu muncul setelah hujan turun dan
reda. Berarti ada cahaya harapan memayungi bekas bumi Singosari..." Kakek Segala
Tahu mengakhiri ramalannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu menggoyanggoyangkan kalengnya.
"Terima kasih kau telah mau meramal. Hanya saja ada yang kurang jelas. Kek,
dapatkah kau menerangkan mengenai balatentara dari Utara dan cahaya pelangi
itu..." Kakek Segala Tahu mendongak lalu gelengkan kepalanya.
"Sayang waktuku terbatas. Aku harus pergi sebelum siang datang. Pendekar 212
ada satu hal yang perlu aku sampaikan padamu. Betapapun sukanya Puteri Raja itu
terhadapmu, jangan kau berani bermain cinta. Karena bagaimanapun kalian tidak
berjodoh..."
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Terdengar suara kaleng
berkerontangan. Ketika memandang ke depan astaga! Kakek Segala Tahu tidak ada
lagi di tempatnya. Hanya suara kaleng rombengnya yang terdengar di kejauhan.
Dewa Ketawa menepuk bahu Pendekar 212. "Kampret Gondrong! Aku juga harus pergi
sekarang. Ingat pesan orang tua tadi. Kampret sepertimu jangan bercinta dengan
Puteri Raja! Ha..ha..ha..!"
"Kerbau Bunting sialan!" maki Wiro tapi hanya dikeluarkannya dalam hati.
Dewa Ketawa masukkandua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Lalu terdengar suara
siutan nyaring sekali. Sambil terkekeh-kekeh dia memandang seekor keledai yang
keluardari balik semak-semak.
"Tungganganku sudah datang. Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita ngobrol
lagi Kampret Gondrong! Ha..ha..ha..!"
Dewa Ketawa melompat ke punggung keledai kecil itu. Binatang ini melenguh pendek
lalu melangkah cepat. Seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya Wiro
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
melihat Dewa Ketawa hanya menumpang duduk di atas punggung keledai sementara
kedua kakinya yang menjejak tanah melangkah cepat mengikuti langkah keledai.
*** BAB III Malam itu hujan turun lebat sekali. Di bawah curahan hujan deras dan dinginnya
udara seorang penunggang kuda nampak memacu tunggangannya memasuki Singosari
dari pintu gerbang Utara. Busur dan kantong anak panah tersandang di bahunya.
Sebilah golok panjang tergantung pada ikat pinggang besar yang dikenakannya.
Bahu kirinya dibalut kain tebal untuk menutupi luka besar yang masih
mengeluarkan darah. Ternyata dia adalah seorang anggota pasukan Singosari
berpangkat setinggi di bawah kepala pasukan.
Luka di bahu kirinya membuat tubuhnya panas dingin. Tapi perajurit ini berusaha
menguatkan diri. Apapun yang kemudian terjadi atas dirinya dia tidak perduli.
Yang penting dia harus menyampaikan berita besar itu pada Patih Kerajaan.
Seharusnya dia melapor pada atasan tertinggi yaitu Panglima Perang Argajaya.
Namun karena kediaman sang Panglima terletak jauh di selatan sedangkan Patih
Raganatha diam di kawasan kraton yang lebih dekat sementara lukanya cukup parah,
maka prajurit itu memutuskan menghubungi Patih Kerajaan lebih dulu. Tetapi para
pengawal di gedung Kepatihan tidak satupun yang berani membangunkan Raganatha.
Perajurit itu disarankan agar melapor pada Panglima Argajaya saja.
Udara mulai terang-terang tanah ketika akhirnya prajurit itu sampai di tempat
kediaman Panglima Pasukan Singosari. Dia harus menunggu lama sampai seorang
pengawal keluar menanyakan keperluannya.
"Serombongan pasukan menyerang balatentara Singosari di Welirang... Perajurit
kita banyak yang menemui ajal akibat serangan mendadak ini. Kepala pasukan
berusaha bertahan. Aku diutus untuk melapor serta minta bala bantuan."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Tunggu di sini. Aku akan beritahu Panglima Argajaya," kata pengawal itu.
Tak selang berapa lama Panglima Balatentara Singosari itu muncul di hadapan si
prajurit. Prajurit ini segera menghatur hormat.
"Saya Kijangat, Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong di utara. Saya dikirim
Kepala Pasukan untuk menghadap dan melapor."
"Pengawal mengatakan ada pasukan tak dikenal menyerang pasukanmu. Betul?"
Kijangat mengangguk. "Jumlah mereka cukup banyak sedang kekuatan kita di wilayah
itu terbatas. Saat ini pasukan Singosari pasti berada dalam bahaya besar. Kepala
Pasukan minta saya mendapatkan bantuan dengan segera."
"Kalian tahu kira-kira pasukan dari mana yang berani menyerbu bala tentara
Singosari itu?" tanya Panglima Argajaya.
"Besar dugaan mereka adalah orang-orang Kediri..."
"Orang-orang Kediri berani melakukan itu" Pasti Adikatwang yang punya pekerjaan!
Keparat!" Argajaya tampak berang besar.
"Ada satu hal lagi Panglima," kata Kijagat.
"Apa?"
" Dalam rombongan penyerbu itu bercampur pula orang-orang Madura..."
Paras Panglima Argajaya yang tadi sudah merah kini jadi tambah merah mengelam.
"Aku harus segera bertindak!" katanya. "Tapi lukamu perlu diobati."
Argajaya berteriak memanggil pengawal. Begitu pengawal muncul dia berkata.
"Rawat lukanya. Kalau sudah biarkan dia istirahat di salah satu kamar belakang."
Dalam keadaan letih karena perjalanan jauh dan karena banyak darah yang keluar
Kijangat dipapah oleh dua orang pengawal. Tapi dua pengawal ini ternyata tidak
melakukan seperti apa yang diperintahkan Argajaya. Kijangat dinaikkan ke atas
sebuah gerobak lalu dilarikan menuju ke Selatan. Pengawal yang satu bertindak
sebagai kusir gerobak sementara satunya lagi menduduki punggung Kijangat yang
dipaksa menelungkup di lantai kereta.
"Hai! Kalian mau bawa kemana aku"!" teriak Kijangat. "Kalian diperintahkan untuk
mengobati lukaku!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Tutup mulutmu atau kubunuh kau saat ini juga!" bentak pengawal yang menduduki
punggung Kijangat hingga orang ini tidak berkutik. Sebilah golok pendek
disilangkannya di batang leher Kijangat.
Gerobak meluncur kencang di atas jalan tanah berbatu-batu menuju arah Selatan
Tumapel ibukota Singosari.
Di satu tempat yang sunyi dan ditumbuhi pepohonan lebat, pengawal di sebelah
depan hentikan gerobak. Dia memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu sunyi
senyap. Udara pagi masih terasa dingin. Mereka berada di bibir timur Lembah
Bulan Sabit. Keadaan di situ diselimuti kesunyian.
"Kurasa ini tempat yang baik," berbisik pengawal yang mengemudikan gerobak.
Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kawannya di sebelah belakang serta
merta angkat tangan kanannya yang memegang golok. Lalu sekuat tenaga senjata itu
dihunjamkannya ke punggung Kijangat.
Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong itu meraung keras. Kepalanya mendongak
sesaat lalu terbanting ke atas lantai gerobak. Darah mengucur membasahi punggung
pakaiannya. Kedua kaki dan tangannya mengejang beberapa kali lalu diam tak
berkutik lagi. Dua pengawal menurunkan tubuh Kijangat dari atas gerobak. Lalu


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh itu mereka lemparkan ke lembah.
Tak lama setelah gerobak bersama dua pengawal itu berlalu, dari pusat Lembah
Bulan Sabit sayup-sayup terdengar suara orang bersiul menyanyikan lagu tak
menentu. Mendadak suara siulan itu berhenti. Menyusul terdengar satu seruan.
"Astaga! Binatang atau manusia yang melingkar di semak belukar itu!"
Orang yang bersiul menggaruk kepalanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng yang tengah meninggalkan Lembah Bulan Sabit setelah pertemuan
dengan Gayatri, Dewa Ketawa, dan Kakek Segala Tahu. Wiro mendekati dengan cepat
sosok yang terbaring di tanah dengan pakaian penuh lumuran darah. Orang ini
berseragam prajurit Singosari. Sosok ini adalah Kijangat yang sebelumnya telah
ditusuk oleh pengawal Panglima Argajaya. Wiro memeriksa keadaan prajurit yang
malang itu. "Masih hidup. Tapi tak bakal lama," pikir Wiro. Bibir Kijangat
tampak bergetar.
Dari sela bibir itu terdengar suara mengerang. Murid Eyang Sinto Gendeng segera
alirkan tenaga dalam untuk memberi kekuatan pada orang yang tengah sekarat itu.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Prajurit Singosari, katakan apa yang terjadi," Wiro menekan dada Kijangat
dengan telapak tangan kanannya. Mulut Kijangat terbuka sedikit. Namun bukan
suara yang keluar melainkan lelehan darah. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya.
Sepasang mata Kijangat membuka, hanya putihya yang kelihatan.
Pas..pasukan musuh me.. menyerang di Utara..." Kijangat berucap dengan susah
payah. "Aku...aku melapor pad Panglima...Dua peng.. pengawalnya membawaku ke
sini. Aku..aku ditusuk... Pengawal itu sengaja... membunuhku.
Beritahu Patih. Penyerang adalah orang-orang Kediri...orang-orang Madura.
Aku..." Kijangat megap-megap.
"Beritahu siapa namamu!" ujar Wiro.
"Aku...aku Kijangat. Aku..." kata-kata Kijangat terputus. Nyawanya lepas.
Wiro menghela napas panjang. Dia ingat ramalan Kakek Segala Tahu. "Agaknya
ramalan orang tua itu akan segera menjadi kenyataan," kata Wiro dalam hati.
*** Bagi Wiro yang merasa dirinya tidak lebih sebagai seorang buronan tidak mungki
untuk menemui Patih Singosari guna melaporkan apa yang diketahuinya. Sesuai
dengan petunjuk Gayatri, pagi itu dia berusaha untuk menyelinap di sekitar
Keraton, mencari seorang abdi tua bernama Damar.
Namun anehnya setiap orang yang ditanya mengatakan tidak ada orang bernama
Damar. Selagi kebingungan tiba-tiba ada seorang anak lelaki mendatangi dan
sengaja menabraknya.
Wiro yang sedang bingung hendak mendamprat anak itu. Tapi si anak berkata tanpa
berpaling, "Ikuti saya. Saya tahu orang bernama Damar itu."
Wiro cepat ikuti si anak. Dia dibawa ke tembok belakang Keraton, menuju
sederetan kandang kuda. Seorang lelaki tua bertubuh katai tampak tengah memaku
ladam kaki kiri belakang seekor kuda besar. Anak tadi menunjuk pada orang tua
katai itu lalu cepat-cepat bertindak pergi.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Murid Sinto Gendeng dekati orang tua bertubuh katai yang tengah memperbaiki
ladam di kaki seekor kuda. Abdi yang tingginya hanya sepinggang Wiro menatap
Pendekar 212 dengan pandangan dingin.
"Apa keperluanmu?" tanya orang tua katai ini. Ternyata suaranya besar sekali.
"Saya mencari seorang bernama Damar," jawab Wiro.
"Dari mana kau tahu nama itu?" tanya lagi si katai.
Wiro jadi ragu untuk menjawab.
"Orang bertanya apakah kau tuli"!"
"Puteri bungsu Sang Prabu yang memberi tahu nama itu," Wiro akhirnya menjawab.
"Namamu sendiri siapa"!"
Dalam hati Wiro mulai mendumal. Si katai tua ini banyak sekali tanyanya. Tapi
karena perlu maka diapun menjawab juga. "Saya Wiro. Sahabat Raden Ayu Gayatri."
Si katai menyeringai sinis. "Puteri Gayatri mana punya sahabat orang sepertimu!"
Habis berkata begitu acuh tak acuh si katai membalikkan tubuh. Dia mengambil
sebuah ladam besi dari dalam sebuah kotak kayu. Tangan kanannya yang memegang
ladam itu bergerak meremas. Kraaakkk! Ladam besi patah tiga!
Selagi Wiro mengagumi kehebatan orang ini, tiba-tiba si katai melemparkan tiga
besi potongan ladam tadi ke arahnya.
Tiga potongan besi itu menderu ke arah kepala, dada, dan perut Pendekar 212.
Kaget murid Sinto Gendeng bukan kepalang. Cepat dia menghantam lepaskan pukulan
sakti Tameng sakti menerpa hujan. Tiga kepingan ladam maut mental. Dua menancap
di atap kandang kuda, satu lagi menancap di tembok belakang Keraton. Angin
pukulan sakti itu terus menggebubu menyapu ke arah si katai. Dengan cekatan
orang tua ini melompat ke samping. Di lain kejap dia telah duduk seenaknya di
atas punggung seekor kuda. Wajahnya masih sedingin tadi walau kini tampak
senyumnya yang sinis.
Ketika Wiro hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong berikutnya, si katai
cepat mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Tahan!" katanya. "Sekarang aku baru percaya kau pemuda yang bernama Wiro,
sahabat Raden Ayu Gayatri. Aku mendengar kehebatanmu darinya. Karena itu aku
perlu mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
menguji lebih dahulu. Kau mampu melumpuhkan seranganku. Hanya orang yang
berkepandaian setinggi puncak Gunung Semeru yang dapat melakukan hal itu!"
"Orang tua, siapa kau sebenarnya"!" tanya Wiro.
Orang tua itu tidak menjawab. Dia membuat gerakan ringan dan sekali berkelebat
kini dia sudah berdiri di atas punggung kuda. Tangan kanannya diulurkan ke atas
atap. Wiro melihat ada sebuah bungkusan di atap kandang kuda itu.
Orang tua ini mengambil bungkusan itu, membukanya lalu melemparkan isinya pada
Wiro. "Tukar pakaianmu dengan itu!" kata si katai.
Wiro perhatikan apa yang barusan dilemparkan orang tua katai itu. Ternyata
seperangkat pakaian prajurit Singosari.
"Kalau kau ingin menemui Raden Ayu Gayatri, lekas kenakan pakaian itu. Aku tak
punya waktu lama."
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
"Kau pasti sudah lama tidak mandi. Sejak tadi kulihat sudah beberapa kali kau
menggaruk-garuk kepala!"
"Kurang ajar! Sialan!" maki Wiro dalam hati.
*** BAB IV Patih Raganatha yang ditemani Pendeta Mayana untuk beberapa saat seperti tidak
bisa percaya atas apa yang barusan disampaikan Raden Ayu Gayatri.
"Kami akan sampaikan berita ini pada Panglima Argajaya agar dia segera melakukan
tindakan," kata Patih Raganatha.
"Saya lebih suka kalau Paman Patih langsung menyampaikan pada Sang Prabu,"
kata Raden Ayu Gayatri.
"Jika itu keinginan Raden Ayu akan kami laksanakan," jawab Pendeta Mayana.
"Lalu bagaiman dengan Panglima Argajaya" Apakah tidak dilakukan pengusutan atas
dirinya?" mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Patih Raganatha tersenyum. "Kita tidak tahu pasti apakah memang dia yang
menyuruh bunuh prajurit yang datang dari Porong itu. Atau kedua pengawalnya itu
yang sebenarnya telah menjadi kaki tangan orang-orang Kediri."
"Kalau begitu kedua pengawal itu harus ditangkap, diperiksa!"
Patih Raganatha mengangguk. "Serahkan semua urusan ini pada kami berdua."
Patih Raganatha dan Pendeta Mayana mengantarkan Gayatri sampai di pintu. Di situ
berdiri seorang prajurit bertubuh tegap yang tadi ikut datang mengantar puteri
Sang Prabu itu dan menunggu di luar.
"Raden Ayu," tiba-tiba Patih Raganatha ingat sesuatu.
"Dari siapa sebenarnya Raden Ayu mendapat berita penyerangan itu. Bukankah
prajurit yang datang melaporkannya mati dibunuh?"
Gayatri tak bisa menjawab. Dia berpaling pada prajurit yang tegak di samping
pintu. "Maafkan saya," kata prajurit itu setelah menghaturkan sembah hormat. "Pagi tadi
kebetulan saya melakukan perondaan di Lembah Bulan Sabit. Saya yang menemukan
prajurit itu. Dalam keadaan sekarat dia masih sempat menceritakan apa yang
terjadi di Utara."
Patih Raganatha menatap paras prajurit itu sesaat.
"Jika kau yang menemukan prajurit itu, selayaknya kau melapor pada Panglima,
bukan pada Raden Ayu Gayatri..."
Pendeta Mayana melirik ke arah Gayatri. Dia melihat perubahan pada wajah puteri
sang Prabu ini ketika mendengar kata-kata Patih Raganatha.
"Terus terang..." kata prajurit itu. "Seharusnya memang saya melapor pada
Panglima atau Kepala Pasukan dipindahkan. Tetapi setelah saya tahu ada yang
tidak beres dengan kematian prajurit itu maka saya merasa khawatir dan berpikir
lebih baik melapor pada Paduka Patih saja. Dalam perjalanan ke sini saya
berpapasan dengan Raden Ayu. Saya ceritakan padanya kejadian itu. Kami bersamasama kemudian menghadap Paduka Patih."
Patih Raganatha mengangguk-angguk tapi kedua matanya tetap mengawasi prajurit
itu. mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Paman Patih, ingat. Kerajaan dalam bahaya besar. Sebaiknya segera saja menemui
Ayahanda," kata Gayatri memotong karena mulai merasa tidak enak. Dia membalikkan
diri dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Si prajurit melangkah di
sampingnya. "Tunggu!" tiba-tiba Patih Ragantha berseru dan memburu. Dia memotong jalan si
prajurit dan menghadang di depannya. Pendeta Mayana bergegas menyusul. "Aku
merasa pernah melihatmu sebelumnya," kata Patih Raganatha.
Tangannya diulurkan menarik rambut prajurit yang tergelung di atas kepala.
Ketika ikatan rambut itu terbuka dan rambut si prajurit menjulai gondrong
sebahu, ingatan Patih Raganatha pulih penuh. Dia mengenali siapa adanya prajurit
itu. "Kau...! Aku sudah duga dan curiga! Kau ternyata buronan bernama Wiro itu!
Serahkan dirimu!"
"Paman Patih! Siapa dia tidak penting!" Gayatri keluarkan suara keras seraya
menyeruak lalu tegak diantara Wiro dan Patih Raganatha. "Yang lebih penting
adalah menyelamatkan Kerajaan dari kaum penyerbu Kediri dan Madura!"
Paras Patih Singosari itu nampak membesi. "Manusia satu ini tak kalah pentingnya
Raden Ayu. Saya harus menangkapnya saat ini juga!"
Di saat itu pula Wiro tiba-tiba mendengar suara mengiang di telinga kirinya.
Seseorang mengirimkan suara tanpa berucap kepadanya, "Anak muda, lekas kau
lakukan sesuatu sebelum Patih Raganatha menangkapmu."
Wiro maklum, yang mengirimkan ucapan itu adalah Pendeta Mayana, kekasih gurunya
di masa muda. Saat itu pula dilihatnya Patih Raganatha melompat ke hadapannya.
Kedua tangannya diulurkan ke depan dan Wiro melihat kedua tangan itu berubah
panjang sekali, bercabang-cabang seperti gurita.
"Astaga!" Pendeta Mayana terkejut melihat apa yang dilakukan Patih Raganatha.
"Mapatih mengeluarkan ilmu Seratus gurita mengamuk. Murid Sinto Gendeng itu tak
mungkin bisa lolos!"
Diam-diam dari belakang dalam gerakan yang tidak kelihatan dan terlindung di
balik pakaiannya, Pendeta Mayana mengangkat tangan kanannya lalu menariknya ke
belakang. mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Gerakan Patih Raganatha mendadak seperti tertahan. Dalam kejutnya Patih Kerajaan
ini lipat gandakan tenaga dalamnya.
Justru saat itu dari depan Wiro mendahului dengan mendorongkan tangan kiri ke
arah dada, mengirimkan pukulan tangan kosong
kunyuk melempar buah. Raganatha
merasa seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Dia cepat berkelit ke
samping. Namun angin pukulan Wiro masih sempat menabrak bahunya. Patih Singosari ini
terpuntir keras dan terbanting ke lantai. Dua tangannya yang tadi berubah
panjang vercabang-cabang lenyap dan kembali ke bentuknya semula. Ketika dia
mencoba bangkit dengan mengerenyit kesakitan ditolong oleh Pendeta Mayana,
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng sudah tidak ada lagi di tempat
itu. Patih Ragantha memandang tak berkesip pada Raden Ayu Gayatri. Kalau saja bukan
puteri sang Prabu yang dihadapinya mungkin saat itu sudah ditamparnya. Dia
menoleh ke arah Pendeta Mayana, pandangan matanya tampak beringas.
Ah, dia tahu kalau aku tadi menahan gerakannya, membatin sang Pendeta. Lalu dia
cepat berkata: "Mapatih, kita harus segera menghadap Sang Prabu."
"Biarkan saya sendiri yang menghadap Sang Prabu," kata Patih Raganatha. Lalu
dengan bergegas ditinggalkannya tempat itu. Pendeta Mayana dan Gayatri hanya
bisa saling pandang untuk beberapa saat lamanya. Sang Pendeta kemudian berkata.
"Raden Ayu, seperti Raden Ayu, saya merasa yakin bahwa saat ini Singosari benarbenar berada dalam bahaya besar. Saya akan menghubungi Damar. Hati-hatilah
bicara dan bertindak.
Bukan mustahil dalam Keraton ini ada musuh dalam selimut."
Raden Ayu Gayatri mengangguk.
Ketika Patih Raganatha masuk ke ruangan dimana sang Prabu biasa menerima
kedatangan para pejabat dan petinggi Keraton, di tempat itu ternyata sudah ada
Panglima Argajaya tengah bicara dengan sang Prabu.
"Mungkin apa yang saya hendak sampaikan pada sang Prabu, sama dengan apa yang
tengah dibicarakan Panglima dengan sang Prabu saat ini," kata Patih Raganatha.
Lalu dia menerangkan kabar penyerbuan orang-orang Kediri yang dibantu oleh
orang-orang Madura.
"Paman Patih benar," kata Panglima Argajaya.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Saya baru saja menyampaikan laporan itu pada sang Prabu. Bahkan saya sudah
mengirimkan satu kelompok kecil pasukan ke Utara."
"Satu kelompok kecil?" ujar Patih Raganatha. "Kaum penyerbu dikabarkan berjumlah
cukup besar dan pasukan kita di sekitar Porong saat ini terdesak hebat."
"Ah, dari manakah sumber keterangan Paman Patih?" bertanya Argajaya.
Sesaat Patih Raganatha terdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk bicara apa adanya.
Lalu diceritakannya kedatangan Raden Ayu Gayatri bersama pemuda bernama Wiro
itu. Terkejutlah Sang Prabu mendengar keterangan Sang Patih. "Pemuda kurang ajar
buronan itu berani masuk Keraton dan bersama puteriku! Paman Patih! Tugasmu
menagkapnya!"
"Saya sudah melakukannya Sang Prabu. Tapi pemuda itu sempat melarikan diri.."
jawab Patih Raganatha.
"Kalau memang dia yang jadi sumber keterangan, jangan-jangan kita sudah kena
ditipu!" berkata Argajaya.
"Berarti tepat tindakan saya hanya mengirimkan satu pasukan kecil ke Utara"
"Saya mencium hal yang mencurigakan," menyahut Patih Raganatha. Ketika bicara
dia memandang pada Sri Baginda.
"Maksud Mapatih?" tanya Sang Prabu.
"Menurut keterangan yang saya terima, prajurit yang datang dari Utara membawa
laporan dan pesan, dibunuh oleh dua orang pengawal yang bertugas di tempat
kediaman Panglima...Hal ini perlu diusut!"
"Secara tidak langsung Paman Patih bermaksud mengatakan bahwa saya harus
dicurigai dan diusut!" Panglima Argajaya tidak dapat menyembunyikan rasa


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marahnya. Suaranya bergetar.
"Saya tidak mengatakan demikian Panglima. Tapi jika keterangan itu benar, harus
dicari tahu mengapa hal itu terjadi," jawab Patih Raganatha.
"Mencurigai sesama kita tidak baik," ujar Sang Prabu.
"Saya setuju dengan ucapan Sang Prabu," kata Panglima Argajaya. "Lagi pula saya
suvah melakukan pengusutan sebelum Paman Patih mengemukakan. Prajurit yang
datang dari Utara berada dalam keadaan luka parah. Ketika hendak diobati dia
berusaha mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
melarikan diri. Karena tidak mau menyerah, dua pengawal saya terpaksa
menyerangnya. Dia memang tewas."
"Tapi mengapa mayatnya ditemukan dekat Lembah Bulan Sabit" Tidak di Tumapel?"
Panglima Argajaya tampak merah wajahnya. Lalu didengarnya Patih Kerajaan
bertanya, "Bisakah saya bicara dengan dua pengawal yang Panglima sebutkan tadi?"
"Bisa saja. Tapi keduanya sudah saya kirim ke Utara bersama kelompok pasukan
bantuan." jawab Argajaya pula. Lalu dia berpaling pada Sri Baginda. "Sang Prabu,
kta berada di sini bukan untuk membicarakan kematian prajurit atau kecurigaan
terhadap dua pengawal saya ataupun diri saya sendiri. Yang harus kita lakukan
adalah menumpas kaum pemberontak itu. Saya telah mengirimkan sejumlah pasukan ke
Utara. Seseorang sudah saya minta untuk melihat situasi dan kembali memberikan
laporan siang ini juga.
Bagaimanapun juga saya mohon petunjuk Sang Prabu lebih lanjut."
"Kalian melaporkan adanya orang-orang Kediri dan pasukan dari Madura yang
bergabung dalam pasukan penyerbu itu," berucap Sang Prabu. "Sekali lagi saya
katakan tidak mungkin Adikatwang ataupun Wira Seta punya niat jahat terhadap
Singosari. Saya setuju dengan tindakan Panglima hanya mengirim serombongan
pasukan kecil. Yang penting seluruh pasukan disiapsiagakan untuk melindungi
Tumapel. Tapi ingat, satu lapis pasukan harus dikirim ke luar Kotapraja sebelah Utara
untuk menjaga segala kemungkinan."
"Perintah Sang Prabu akan saya lakukan," kata Panglima Argajaya pula. "Jika
tidak ada hal-hal lain, saya minta diri untuk menjalankan perintah."
"Kau boleh pergi Panglima. Beritahu setiap ada perkembangan baru pada saya."
"Akan saya lakukan sang Prabu." Kata Argajaya pula.
Lalu setelah melontarkan lirikan tajam ke arah Patih Raganatha diapun keluar
dari ruangan itu.
"Saya rasa sayapun bisa minta diri jika diizinkan," kata Patih Singosari setelah
hanya dia saja yang berada di ruang itu bersama sang Prabu.
"Tolong panggilkan Pendeta Mayana. Minta dia datang ke ruangan berdoa. Saat-saat
seperti ini meminta perlindungan dari Yang Kuasa adalah sangat penting. Jika
Paman Patih suka bisa ikut mengadakan upacara pemanjatan doa bersama-sama."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Saya akan panggilkan Pendeta Mayana," kata Patih Raganatha lalu meninggalkan
ruangan setelah terlebih dulu menjura hormat.
*** BAB V Beberapa pengawal yang bertugas di halaman belakang Keraton meliha ada orang
lari segera mengejar. Di sebelah depan sempat menghadang empat orang prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang. Namun keempatnya langsung terjengkang begitu
kaki dan tangan Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat menghantam.
Dengan gerakan ringan apalagi setelah menerima ilmu meringankan tubuh dari Dewa
Ketawa, Wiro Sableng melompati tembok belakang Kraton tanpa kesulitan. Para
pengawal tak mungkin mengejar. Begitu menjejakkan kaki di jalan belakang tembok
sesaat Wiro berpikir kemana dia harus pergi dan apa yang musti dilakukannya.
Selagi dia berpikir begitu di depannya dilihatnya seorang nenek berjubah merah
muda berbelang-belang merah tua melangkah ke arahnya. Semakin dekat perempuan
tua ini mendatangi tambah jelas keanehan pada wajahnya dilihat Wiro. Nenek ini
memiliki mata semerah buah saga. Telinganya dicantoli giwang panjang berwarna
merah. Tiupan angin dan langkah yang dibuatnya menyebabkan sepasang giwang itu
bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara bergemerincing. Sesekali si nenek
mengulurkan lidah membasahi bibirnya. Lidah itu mengerikan sekali. Bukan saja
karena panjang tetapi juga warnanya yang merah seperti api.
Di belakang rambutnya yang berwarna merah lepas riap-riapan ada secarik pita
yang juga berwarna merah. Wajahnya yang angker tampak lebih mengerikan karena
sepasang alisnya yang panjang menjulai ternyata juga berwarna merah pekat!
Nenek aneh ini melangkah ke arah Wiro. Begitu sampai di hadapannya baru murid
Sinto Geneng ini menyadari betapa tingginya si nenek. Kepalanya hanya sampai di
dada perempuan tua itu.
Si nenek mengeluarkan tangan kanannya. "Minta sedekah!" katanya kasar.
Pandangan mukanya garang dan kedua matanya membara. Ketika bicara lidahnya
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
menjulur keluar seperti lidah api menyambar. Wiro merasa ada hawa panas keluar
dari mulut dan mungkin juga dari kedua mata perempuan tua ini.
Ah, pengemis dia rupanya, kata Wiro dalam hati.
Perasaannya yang tidak enak kini menjadi lega. Namun dia tidak bisa memberikan
apa-apa dan harus segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang mengejar.
"Harap mafkan, saya
tidak punya uang," kata Wiro lalu cepat memutar diri hendak tinggalkan tempat
itu. Tapi tiba-tiba, sama sekali tidak terduga, tangan kanan yang masih
diulurkan itu meluncur ke arah dada Wiro Sableng. Pendekar ini merasakan ada
hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia tidak bisa bergerak
tidak bisa bersuara! Ternyata nenek pengemis itu telah menotoknya dengan ilmu
totokan yang aneh. Semakin lama Wiro merasakan tubuhnya semakin panas!
Celaka! Keluh Pendekar 212.
Di hadapannya si nenek tertawa mengekeh. Lidahnya terjulur-julur seperti lidah
api menyambar-nyambar. Kedua matanya bertambah merah. Dia membungkuk, siap
memanggul tubuh Wiro. Pada saat itulah ada angin menyambar disusul oleh satu
letupan halus. Segulung asap putih menggebubu menutupi jalan seluas lima tombak
persegi. Wiro merasa ada seseorang tiba-tiba memegang pinggangnya, tubuhnya dikempit lalu
dibawa lari laksana melayang. Di belakangnya terdengar suara nenek memaki marah
lalu ada suara menderu keras. Wiro memandang ke belakang. Dari gelungan asap
putih tebal dilihatnya ada lidah api mencuat mengerikan. Lidah api ini mengejar
ke arahnya. Panas dan ganas. Orang yang mengempitnya melompat ke kiri sambil mengebutkan
lengan jubah pakaiannya. Semburan lidah api tampak bergoyang-goyang.tubuh si
pengempit bergetar keras hampir jatuh. Tapi lidah api berhasil dibuat mental
hingga Wiro dan orang yang mengempitnya tidak sempat disambar lidah api itu.
Dalam waktu beberap kejapan saja si pengempit sudah membawa Wiro jauh dan tak
mungkin dikejar oleh nenk pengemis tadi.
Di satu tempat yang sunyi, orang yang mengempit menurunkan Wiro ke tanah.
Tegak berhadap-hadapan Wiro cepata memandang ke arah wajah orang yang telah
menolongnya itu. Ternyata orang itu mengenakan sehelai cadar hitam untuk
menutupi wajahnya. Tapi dari pakaiannya Pendekar 212 mulai menduga-duga.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Orang bercadar membuka dada pakaian Wiro lalu dari balik cadarnya dia meniupi
dada yang ditotok oleh nenek pengemis tadi. Wiro merasa ada hawa hangat sejuk
menembus kulit dan daging tubuhnya, terus menyusup ke seluruh peredaran
darahnya. Sesaat kemudian tubuhnya yang tadi serasa panas hingga dia kucurkan keringat
sebesar-besar butir jagung kini menjadi dingin dan saat itu pula dia bisa
menggerakkan kaki tangannya dan membuka suara.
"Terima kasih," ucap Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
"Sahabat, siapakah kau yang telah menolongku" Dan siapa nenek pengemis tadi"
Mengapa dia menotok saya?"
"Dia bukan pengemis," jawab orang bercadar. "Dia adalah Dewi Maha Geni, seorang
tokoh silat istana yang ilmu luar biasa tapi diragukan kesetiaannya.
Kemungkinan dia adalah kaki tangan orang-orang Kediri... Dia pasti bermaksud
menculikmu. Ada dua kemungkinan mengapa dia melakukan hal itu, pertama
membujukmu ikut dalam gerakan Adikatwang dan Wira Seta. Atau menyerahkan
kepalamu pada orang-orang Kediri!"
Wiro terkesiap mendengar ucapan orang itu. "Kau, kau sendiri belum mengatakan
siapa dirimu. Saya seperti mengenal suaramu tapi agak meragu. Bukankah kau..."
Orang di hadapan Wiro membuka cadar hitamnya. Wiro melihat satu wajah yang
bersih dan mata yang bening.
"Pendeta Mayana!" seru Wiro sementara orang di hadapannya hanya tersenyum kecil.
"Saya memang sudah menyangka tadi.."
"Waktuku tidak banyak. Aku perlu beberapa bantuan darimu," kata Pendeta Mayana.
"Katakanlah, matipun aku mau mengingat budi besarmu" jawab Pendekar 212
tanpa ragu-ragu.
"Tidak, bantuan itu bukan untuk pribadiku. Tapi untuk Kerajaan. Untuk
Singosari," kata Pendeta Mayana pula. "Kita sudah sama tahu bahwa musuh mulai
menyerbu dari Utara."
Wiro mengangguk. Sang Pendeta meneruskan. "Aku punya firasat bahwa Singosari
akan jatuh. Beberapa petunjuk Dewa mengatakan begitu. Sementara Sang Prabu
seperti tidak mau percaya pada kenyataan. Jika bahaya benar-benar tak dapat
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
dihindari, aku mohon kau menyelamatkan keempat puteri sang Prabu dan dua buah
pusaka Kerajaan yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Dua benda itu
adalah yang menentukan syah tidaknya seseorang menjadi Raja Singosari."
"Saya akan lakukan hal itu pendeta. Namun saya butuh petunjukmu bagaimana
melakukannya."
Pendeta Mayana mengangguk. "Bila saatnya sudah tiba, aku akan tunjukkan dimana
adanya kedua benda pusaka itu."
"Bagaimana caranya saya menghubungi pendeta?" tanya Wiro.
"Seorang sahabat yang akan menghubungimu. Berusahalah agar tidak jauh-jauh dari
Keraton. Kalau perlu menyamar."
"Akan saya lakukan," jawab Wiro. Lalu dia bertanya.
"Siapa sahabat yang akan menghubungi saya itu?"
"Damar."
"Damar" Orang katai perawat kuda-kuda Keraton itu?"
Pendeta Mayana tersenyum. "Itu pekerjaannya sehari-hari. Tapi sebenarnya dia
adalah orang kita yang disusupkan ke Keraton untuk membayangi tindak-tanduk Dewi
Maha Geni. Cuma aku khawatir tingkat kepandaiannya masih berada jauh di bawah
nenek bermata dan berlidah api itu. Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baikbaik..." "Sekali lagi terima kasih saya untukmu Pendeta. Kau juga harus berhati-hati.
Saya menduga Keraton telah disusupi musuh dalam selimut..."
Pendeta Mayana mengangguk segera tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba Wiro ingat
pada pesan Eyang Sinto Gendeng, gurunya. Pendeta Mayana juga tahu sekali pesan
itu karena disampaikan lewat dirinya.
"Pendeta, tunggu dulu!" seru Wiro. Dia lari mengejar.
"Ada apa?" tanya Pendeta Mayana seraya hentikan larinya.
"Saya punya ganjalan dalam melakukan permintaanmu.
Ingat pesan Eyang Sinto Gendeng yang disampaikannya untukku melaluimu di pondok
Lembah Bulan Sabit tempo hari?"
Pendeta Mayana tersenyum. "Aku tidak lupa hal itu. Pesan orang tua dan guru
wajib diingat dan dihormati. Tetapi harus kau ketahui setiap pesan bisa saja
tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kehendak waktu. Lebih dari itu berbuat satu
kebajikan untuk mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
orang banyak apalagi Kerajaan lebih banyak hikmahnya daripada hanya mengikuti
suatu pesan yang tidak dapat lagi dipertahankan. Kau mengerti maksudku?"
"Saya mengerti Pendeta," jawab Wiro.
"Apakah kau kini masih merasa ada ganjalan?"
"Tidak."
"Bagus. Kalaupun nanti gurumu marah, biar aku yang menghadapinya. Aku yang akan
bertanggung jawab terhadap dirinya."
"Kalau begitu sekarang saya benar-benar merasa lega."
Pendeta Mayana mengangguk dan tinggalkan tempat itu.
*** Patih Raganatha tidak berhasil menemui Pendeta Mayana. Sang Pendeta saat itu
secara diam-diam hendak menemui Raden Ayu Gayatri di Kaputeran.
Di taman indah di samping Kaputeran Pendeta Mayana berpapasan dengan seorang
pemuda bertubuh tinggi langsing berparas cakap. Dia adalah Raden Juwana, calon
menantu sang Prabu yang kelak akan dinikahkan dengan puteri sulung Tribuana
Tunggadewi. Saat itu Raden Juwana tengah bercakap-cakap dengan calon istrinya
yang ditemani oleh seorang pengasuh. Melihat jalan Pendeta Mayana yang begitu
bergegas, Raden Juwana menegur hormat.
"Rupanya ada sesuatu yang penting hingga Pendeta tampak melangkah cepat.
Ada apakah hingga Pendeta mengambil jalan melintas menuju Kaputeran?"
"Syukur Raden ada disini. Mari kita sama-sama masuk Kaputeran. Ada hal penting
yang perlu kita bicarakan."
Raden Juwana dan Pendeta Mayana melangkah di depan. Tribuana mengikuti dari
belakang diiringi pengasuh. Di dalam Kaputeran yang kemudian dihadiri juga oleh
tiga puteri Raja lainnya termasuk puteri bungsu Gayatri, Pendeta Mayana
menjelaskan tentang adanya serangan oleh musuh Kerajaan di sebelah Utara.
"Saya bukan seorang peramal. Tetapi dalam kehidupan ini segala sesuatunya dapat
kita hubungkan dengan petunjuk dari Dewata. Beberapa waktu lalu ada hal aneh
yang terjadi di candi Jago. Petir dahsyat menyambar di siang hari.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Getarannya terasa sampai di jantung. Ini satu pertanda dari para Dewa bahwa
sesuatu akan terjadi di Singosari. Jika hal itu adalah sesuatu yang baik, kita
tidak perlu membicarakannya. Tetapi bagaimana kalau kelak itu adalah pertanda
akan terjadinya sesuatu yang buruk, suatu malapetaka?"
"Maksud Pendeta Mayana?" tanya Raden Juwana.
"Orang-orang Kediri dibantu oleh orang-orang Madura mengirimkan pasukan,
menyerbu kedudukan pasukan kita di Utara sekitar Porong. Panglima telah
mengirimkan bala bantuan namun saya merasa khawatir pihak kita akan mengalami
kekalahan."
"Mana mungkin Singosari bisa dikalahkan. Kta mempunyai jumlah pasukan yang lebih
besar dan terlatih. Apakah Raden Adikatwang dan Wira Seta ikut terlibat dalam
gerakan penyerbuan itu?"
"Saya rasa begitu," jawab Pendeta Mayana. Lalu dipegangnya bahu Raden Juwana dan
diajaknya berjalan agak menjauh dari Tribuana. "Dengar..." kata Penveta Mayana
pula. "Singosari memang punya bala tentara besar dan terlatih. Tetapi baik
Panglima maupun Mapatih serta sang Prabu merasa bahaya itu tidak perlu
dikhawatirkan. Lain dari itu, saya merasa kita telah disusupi oleh musuh-musuh dalam selimut."
"Kalau Pendeta mengetahui siapa orangnya, mengapa tidak dilaporkan pada sang Sri
Baginda?" ujar Raden Juwana.
"Saya dan beberapa petinggi Kerajaan berada dalam kesulitan. Sang Prabu tidak
mau mendengar pandangan kami."
"Menurut Pendeta apakah keadannya gawat sekali?"
"Saat ini mungkin belum. Tapi siapa tahu apa yang terjadi besok atau lusa...?"
Saat itu seorang prajurit Kraton muncul memberi tahu bahwa Pendeta Mayana
ditunggu Sang Prabu di Ruang Pemanjatan Doa.
"Kita akan bicara lagi nanti," kata Pendeta Mayana lalu tinggalkan tempat itu


Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti prajurit tadi.
*** BAB VI mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Malam itu Tumapel dilanda kehebohan. Deretan gudang panjang di selatan Kotaraja
dilanda kebakaran. Di bagian lain hampir dua ratus ekor kuda yang ketakutan
menjadi liar, mendobrak palang pembatas dan lari ke pelabagai arah sulit untuk
dikejar. Di halaman kandang kuda enam orang tidak dikenal menggeletak jadi mayat dengan
kepala pecah. Orang tua katai bernama Damar memandangi mayat itu satu per satu. Tak seorangpun
yang dikenalinya.
Seharusnya tidak semua kubunuh, kata Damar dalam hati penuh penyesalan. Kini dia
tidak bisa mengetahui siapa adanya keenam orang yang dengan sengaja telah
melepaskan ratusan ekor kuda itu. Damar berlutut di samping salah satu mayat.
Dirabanya pakaian orang itu. Terasa tebal. Tangannya bergerak merobek dada
pakaian mayat. Ah! Orang tua katai ini melengak. Di bawah pakaian yang barusan dirobeknya
terlihat sehelai pakaaian berwarna hitam bergaris-garis kuning. Itu adalah
pakaian seragam prajurit Kediri!
Pasti mereka juga yang telah melakukan pembakaran atas gudang senjata! Damar
segera tinggalkan tempat itu, bergegas menuju gedung Kepatihan.
Sampai di depan gedung dilihatnya Patih Raganatha tegak di tangga depan,
memandang ke arah timur dimana langit tampak merah terbakar.
"Mohon maafmu, Mapatih Singosari," kata Damar.
"Orang-orang Kediri berhasil menyusup dan melepas kuda-kuda milik kita. Saya
berusaha mengejar binatang-binatang itu. Tapi sia-sia saja. Enam penyusup
berhasil saya tewaskan..."
"Orang-orang Kediri rupanya tidak main-main," kata Patih Raganatha. Hatinya
mulai merasa khawatir. Dia berpaling pada seorang pembantu kepercayaan yang
tegak di sampingnya. "Apa sudah ada kabar dari Panglima mengenai keadaan di
Utara?" Yang ditanya menggeleng. "Orang saya berusaha menemui Panglima. Namun pengawal
di sana mengatakan bahwa Panglima tengah melakukan pertemuan di Selatan dengan
beberapa Kepala Pasukan untuk membuat persiapan berjaga-jaga melindungi
Kotaraja."
"Ada beberapa keanehan!" kata Patih Kerajaan pula.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Orang-orang Kediri menyusup begitu mudah. Ratusan kuda yang bisa diandalkan
untuk perang dilepas orang! Panglima tidak ada di tempat. Lalu gudang senjata
dibakar orang! Tak ada yang bisa diselamatkan! Lalu tak ada sama sekali kabar
dari medan pertempuran di Utara."
"Maaf Mapatih," berkata pembantunya. "Mungkin keterangan saya sebelumnya kurang
jelas. Mengenai gudang senjata yang terbakar, gudangnya memang musnah tetapi
sewaktu kebakaran terjadi tidak ada sepotong tombak atau pedang ataupun tameng
di dalamnya."
"Berarti gudang itu memang sudah kosong sebelum terjadi kebakaran!" sepasang
mata Patih Raganatha membeliak.
"Mungkin memang begitu adanya, Mapatih," jawab si pembantu.
"Aku segera menemui sang Prabu. Beliau masih berada di Ruang Pemanjatan Doa saat
ini." Patih itu berpaling pada Damar lalu berkata.
"Lakukan apa yang bisa kau lakukan. Usahakan mengembalikan kuda-kuda yang
Pedang Penakluk Iblis 6 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Persembahan Raja Setyagara 1

Cari Blog Ini