Ceritasilat Novel Online

Halilintar Di Singosari 3

Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari Bagian 3


"Paling tidak kau telah berusaha melakukan sesuatu untuk mengeluarkan diri saya
dari sini. Saya sangat berterima kasih..."
Gayatri tersenyum. "Budi pertolonganmu tempo hari belum dapat saya balas,
Wiro..." "Ah, hal itu tidak perlu disebut-sebut," jawab murid Sinto Gendeng.
"Dengar, kita tidak bisa berada lama-lama di tempat ini. Saya harus pergi.
Sebelum matahari terbit pergilah ke Lembah Bulan Sabit di sebelah Selatan
Kotaraja. Di situ ada sebuah pondok papan. Tunggu sampai saya datang."
Wiro hendak menanyakan sesuatu. Tetapi Gayatri sudah membalikkan tubuh
meninggalkan tempat itu.
*** KARYA 61 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
10 LEMBAH Bulan Sabit terletak di sebelah Selatan Tumapel, di satu daerah yang
jarang di datangi orang karena kawasan ini sering dipergunakan oleh Prabu
Singosari dan para petinggi Kerajaan untuk berburu. Malam itu udara dingin
sekali dan kesunyian yang mencekam sesekali ditandai oleh suara siuran angin.
Di lembah yang berbentuk bulan sabit itu terdapat sebuah pondok papan. Pondok
ini biasanya dipakal sebagal tempat beristirahat oleh orang-orang Keraton
Singosari yang berburu di kawasan itu.
Di dalam gelap dan dinginnya malam menjelang dini hari itu seseorang tampak
berkelebat cepat dari arah Timur. Inilah sosok di nenek Sinto Gendeng, guru
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
Aku tidak melihat bayangan orang berkerudung itu. Kalau dia menempuh jalan
memintas itu tidak mengherankan. Tapi bilamana dia mengambil jalan yang sama
yang aku tempuh.
Sungguh luar biasa kepandaiannya. Sinto Gendeng membatin sambil berlari menuruni
lembah. Di satu bagian lembah, dikelilingi oleh beberapa pohon besar pondok
papan itu dengan mudah terlihat walaupun malam gelap.
Si nenek berlari cepat ke arah bangunan ini. Tinggal beberapa belas langkah lagi
dari pondok itu, Sinto Gendeng telah dapat melihat sosok tubuh orang berkerudung
tegak di bagian depan bangunan. Pondok ini ternyata sebuah bangunan yang diberi
dinding papan pada bagian kiri kanan dan belakang sedang bagian depan dibiarkan
terbuka. Sebuah balai-balai kayu terletak di bagian kiri.
Ah, ternyata dia sudah sampai duluan, kata Sinto Gendeng ketika dia melihat
orang itu. Nenek ini naik ke baglan depan pondok papan. Untuk beberapa saat kedua orang ini
hanya saling pandang dari jarak tiga langkah.
Kegelapan tidak memungkinkan bagi Sinto Gendeng untuk melihat jelas apalagi
mengenali orang itu. Maka diapun berkata.
"Kau tahu namaku. Siapa kau sebenarnya" Kau menyuruh aku datang ke sini. Apa
KARYA 62 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
perlunya" Wajah di balik kerudung tersenyum.
"Kau tidak mengenaliku"
"Kau menyembunyikan wajahmu di balik kerudung. Mana mungkin aku mengenali.
Tetapi suaramu... suaramu mengingatkan aku pada seseorang yang aku pernah kenal
sekitar empat puluh tahun yang silam..." Sinto Gendeng hentikan ucapannya. Tibatiba saja dia merasakan jantungnya berdebar keras.
"Empat puluh tahun bukan waktu yang singkat," kata orang berkerudung disertai
tarikan nafas dalam. "Tapi perubahan kulihat sangat menyolok pada dirimu." masih
tegak membelakangi Sinto Gendeng perlahan-lahan orang itu membuka jubahnya. Di
balik jubah itu dia mengenakan pakaian putih.
"Kau seorang Pendeta Tantrayana..." kata Sinto Gendeng.
"Kau... Katakan siapa dirimu sebenarnya. Apakah kau bukannya.... Ah, mustahil.
Orang yang pernah kukenal itu sudah meninggal empat puluh tahun yang lalu."
Orang berpakaian pendeta membuka kerudungnya dan mencampakkannya ke lantai
pondok. Perlahan-lahan dia memutar tubuh menghadap ke ar. si nenek. Kedua mata
Sinto Gendeng terbuka lebar Merasa masih belum jelas dia melangkah mendekati
tiba-tiba langkahnya tertahan. Malah kini dia surut sampai dua langkah. Dia
melihat wajah itu kini dengan jelas. Dia mengenali orang itu.
"Ananta... Jadi benar kau rupanya!" Nenek itu merasakan sekujur tubuhnya
bergetar. "Atau aku salah lihat?"
Karena terlalu asyik dalam percakapan ke dua orang itu tidak mengetahui kalau
sesosok bayangan berkelebat di dekat pondok papan lalu mendekam di tempat gelap.
Orang ini bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng. Sesuai dengan pesan Gayatri malam itu sekeluarnya dari penjara Wiro
segera menuju pondok di Lembah Bulan Sabit itu. Baik Wiro maupun Gayatri tidak
mengetahui kalau sebelumnya orang berkerudung telah membuat janji pula dengan
Sinto Gendeng untuk bertemu di tempat itu. Walaupun hatinya jadi tidak enak
namun diam-diam Wiro mendengarkan percakapan ke dua orang itu.
"Tidak, kau tidak salah lihat Sinto. Yang berdiri di hadapanmu ini memang Ananta
Wirajaya. Sahabatmu empat puluh tahun lalu! Sahabat yang pernah mencintaimu dan
yang KARYA 63 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
juga pernah kau cinta! Hanya sayang perjalanan nasib tidak dapat menyatukan kita
sebagai..."
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata orang yang bicara dengan gurunya itu. Dari
tempatnya bersembunyi Wiro mengenali orang berpakaian Pendeta bukan lain adalah
Pendeta Mayana, salah seorang dari tiga Maha Menteri yang menjadi pembantu utama
Prabu Singosari. Kemudian kembali terdengar suara sang pendeta.
"Ananta..." kata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan untuk
menyembunyikan getaran hatinya. Namun tetap saja suara itu terdengar bergetar.
"Masa empat puluh tahun lalu tidak mungkin akan kembali. Apa yang terjadi dulu
tidak perlu diungkit apalagi disesalkan.
Dulu kita orang-orang muda yang keras hati, sombong, tidak mau mengalah, terlalu
menyanjung ilmu dan kesaktian. Apa vang akhirnya kita dapat" Kini kita hanya
jadi orang-orang tua yang tidak lebih dari sebatang kayu yang sudah dimakan
rayap!" "Sinto Weni, apakah kau menyembunyikan sesuatu di balik keadaan tubuh dan
wajahmu?" Sinto Gendeng tersentak. "Apa maksudmu Ananta?"
"Aku setuju kata-katamu tadi. Kita adalah orang-orang tua yang sudah jadi kayu
dimakan rayap, sudah bau tanah karena hampir masuk liang kubur. Tapi aku merasa
pasti tidak seharusnya kau seperti ini. Wajahmu tidak mungkin seperti yang aku
lihat. Juga keadaan tubuhmu..."
"Apa yang kau lihat adalah kenyataan Ananta. Tidak ada yang tidak berubah di
dunia ini."
"Aku tidak yakin," jawab Ananta Wirajaya alias Pendeta Mayana. "Boleh aku
melihat wajahmu yang asli, Sinto?"
"Eh, kau kira apakah saat ini kepalaku adalah kepala palsu" Terbuat dari kayu"!"
Sinto Gendeng coba bergurau.
"Kepalamu tidak palsu. Hanya saja kau...Maafkan kalau dugaanku salah. Kau
menyembunyikan seluruh kepala dan wajahmu di balik sebuah topeng. Mungkin juga
kau mengenakan topeng tipis yang menutupi sekujur tubuhmu..."
Sinto Gendeng tertawa panjang. Dia menatap ke mata Sang Pendeta yang bening itu.
Nenek sakti yang keras hati ini tidak sanggup menatap kedua mata Ananta
Wirajaya. Kekerasan hatinya seperti mencari oleh kenangan masa lalu. Dadanya berdebar.
Perlahan terdengar Sinto Gendeng berkata. '"Aku tidak bisa berdusta padamu.
Memang aku menutupi KARYA
64 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kepala, wajah dan tubuhku dengan sesuatu."
"Ah..." Pendeta Mayana berdesah.
Di dalam kegelapan Wiro Sableng jadi terkesiap mendengar pembicaraan gurunya
dengan Pendeta Mayana itu. Jika dia tidak mendengar sendiri rasanya tak akan
pernah dia percaya kalau wajah yang bertahun-tahun dilihatnya itu ternyata
adalah bukan wajah asli si nenek.
Lalu didengarnya suara Sinto Gendeng.
"Aku tidak mungkin memperlihatkan wajahku yang asli padamu, Ananta. Tidak pada
siapapun. Bahkan muridku yang hidup bersamaku lebih dari sepuluh tahun tidak
pernah mengetahuinya. Aku merasa lebih tenteram dengan wajah dan tubuh seperti
ini..." "Ketenteraman hidup tidak terletak pada wajah, Sinto," kata Ananta Wirajaya yang
di Keraton Singosari dikenal sebagai Pendeta Mayana itu. "Tapi di sini,"
sambungnya sambil menekapkan telapak tangan kirinya ke dada.
Untuk beberapa lamanya Sinto Gendeng tidak bisa berkata apa-apa. Pendeta Mayana
maju mendekatinya hingga jubah pendetanya hampir menyentuh pakaian si nenek.
Berada sangat dekat begitu rupa membuat Sinto Gendeng merasakan darahnya
mengalir lebih cepat dan jantungnya berdetak lebih keras.
"Ananta, aku harus pergi sekarang. Aku merasa senang setelah sekian puluh tahun
bisa bertemu denganmu lagi."
"Sinto..." kata Ananta Wirajaya. Suaranya tercekat seperti lidahnya menjadi kelu
saat itu. "Aku tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin tidak akan pernah
lagi. Selama perpisahan empat puluh tahun lalu aku tidak pernah melupakan
berjumpa mengapa kau ingin berlalu secepat ini. Apakah kau masih menanam rasa
sakit hati terhadapku...?"
Sinto Gendeng menggeleng. "Tidak, tidak ada rasa sakit hati. Semua yang terjadi
di masa lalu biarlah berlalu."
Ananta Wirajaya menarik nafas panjang.
"Kalau kau memang ingin pergi aku tak dapat mencegah. Aku pasrah." kata Ananta
Wirajaya. "Cuma aku mohon untuk terakhir kali, izinkan aku melihat wajahmu.
Sekejappun sudah cukup menjadi obat bagi penderitaan dan pelepas rindu selama
empat puluh tahun.
Mungkin perlu kau ketahui. Aku merubah jalan hidup, meninggalkan dunia
persilatan dan menjadi seorang Pendeta Tantrayana sejak aku menyadari
kesalahanku, mengecewakanmu."
KARYA 65 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Jadi dia telah menjadi Pendeta sejak empa puluh tahu silam, kata Sinto Gendeng
dalam hati. "Aku meminta Sinto, Bolehkah...?"
Hati nenek sakti dari Gunung Gede itu seperti leleh. Perlahan-lahan kedua
tangannya diangkat ke bagian bawah lehernya. Jari-jarinya menarik satu lapisan
sangat tipis yang selama ini menutupi wajahnya. Ketika lapisan itu tersingkap
kelihatan satu wajah berkulit halus putih.
Wajah itu memang sudah tua dan ada keriputnya tetapi bekas-bekas kecantikan
masih membayang sangat menonjol.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. Gila! Tidak pernah
aku menyangka dia menyembunyikan wajahnya yang asli. Ternyata meskipun tua tapi
cantik. Di waktu muda pasti wajahnya membuat setiap lelaki blingsatan
melihatnya! Pendeta Mayana yang aslinya bernama Ananta Wirajaya untuk beberapa lamanya
menatap wajah di depannya dengan pandangan mesra. Semua yang pernah dialaminya
empat puluh tahun silam bersama perempuan yang dikenalnya dengan nama Sinto Weni
itu seolah terbayang kembali. Perlahan-lahan dia mengangkat tangan kanannya.
Jari-jari tangannya membelai pipi Sinto Weni.
Diperlakukan mesra seperti itu Sinto Weni merasakan dirinya tergetar. Sesaat dia
tenggelam dalam rasa bahagia. Tapi nenek sakti ini cepat sadar diri. Dia mundur
dua langkah sambil cepat-cepat menutup kembali lapisan tipis ke wajahnya yang
asli, "Aku harus pergi Ananta. Maafkan aku..."
Walau sedih Ananta Wirajaya tampaknya pasrah. Dia menganggukkan kepala. "Kau tak
ingin meninggalkan pesan apa-apa?" tanyanya.
"Ya, memang ada pesanku," jawab Sinto Gendeng. "Jaga dirimu baik-baik. Aku
mendapat firasat ada sesuatu peristiwa besar akan terjadi di Singosari..."
"Firasatmu sama dengan firasatku," sahut Ananta Wirajaya. "Hanya saja sayang aku
dalam posisi yang lemah untuk memberi ingat Sang Prabu."
"Suatu ketika kiranya kita bisa bertemu lagi, Ananta."
"Memang itu yang jadi harapanku."
"Tolong kau perhatikan muridku yang bernama Wiro Sableng itu..."
"Sableng" Mengapa kau berikan nama aneh itu pada muridmu?" tanya Ananta Wirajaya
KARYA 66 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
heran. Sampai saat itu dia mengira pemuda yang muncul di Keraton Tumapel itu
bernama Wiro saja. Ternyata ada Sablengnya!"
Sinto Gendeng tersenyum. "Dia anak baik, polos. Dia memang suka bicara ceplasceplos. Tapi hatinya putih dan jujur. Ilmunya memang tinggi, tapi lebih suka mengikuti
kemauan hati dari pada kehendak otak. Tolong kau lihat-lihat dia dan beri
teguran jika tindak tanduknya salah. Aku menduga dia sedang berkeliaran di
Singosari ini. Entah apa yang dicarinya..."
Di tempatnya bersembunyi di kegelapan Pendekar 212 Wiro Sableng kembali garukgaruk kepala mendengar ucapan gurunya itu.
Setelah memegang lengan Ananta Wirajaya sesaat yang membuat sang pendeta merasa
seribu bahagia Sinto Gendeng berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Wiro menarik
nafas lega. Dia berpikir-pikir apakah akan terus mendekam di situ atau keluar saja.
Sementara Gayatri masih juga belum kelihatan. Bagaimana kalau gadis itu muncul
selagi Pendeta Mayana masih berada di tempat itu" Selagi dia berpikir-pikir
begitu tahu-tahu sang pendeta sudah berdiri di hadapannya.
Wiro jadi kaget. Sambil garuk-garuk kepala dia berdiri dan membungkuk memberi
hormat pada orang tua di hadapannya.
Pendeta Mayana tersenyum.
"Orang yang kau tunggu rupanya belum datang?"
Pertanyaan itu membuat Wiro terkejut besar.
Dari mana dia tahu" Pikir Wiro.
Pendeta Mayana tersenyum. "Hidup ini terkadang aneh. Kita manusia tidak bisa
menentukan karena semuanya berada di tangan Yang Kuasa. Kau telah mendengar
sendiri bagaimana jalan hidupku bersama gurumu. Namun sebagai manusia kita perlu
mawas diri. Ini membuat kita paling tidak bisa menjadi tabah menghadapi apa yang
bakal terjadi..."
"Saya tidak mengerti maksud Pendeta," kata Wiro pula.
Kembali orang tua itu tersenyum.
"Gadis itu mencintaimu Wiro...."
"Hah"!" Pendekar 212 terkesiap kaget. Wajahnya tentu saja menunjukkan rasa tidak
percaya. "Pendeta pastilah bergurau..." katanya.
"Aku tidak bergurau atau mengada-ada, anak muda. Pertolongan dan budi baikmu,
sikap KARYA 67 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
jujur polosmu membuat dia merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah
dirasakannya. Kehidupannya selama ini terkungkung dalam Keraton. Kau adalah
satu-satunya pemuda yang datang dalam kehidupannya pada saat dia membutuhkan
seseorang. Kemunculanmu juga membuat dia melihat sesuatu yang selama ini tidak dilihat atau
didapatkannya didalam Keraton...."
"Taruh kata apa yang Pendeta katakan itu betul, lalu apa yang akan saya lakukan"
Apa yang musti saya perbuat?"
"Kau mencintai gadis itu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala.
"Pendeta tahu siapa adanya Raden Ayu Gayatri. Saya tahu siapa saya. Saya tak


Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih dari seekor kodok di bawah tempurung atau pungguk merindukan bulan...
Jurang pemisah perbedaan antara kami sangat luas. Saya lebih banyak menaruh
hormat padanya dari pada memendam perasaan yang bukan-bukan."
"Anak muda, tahukah kau bahwa cinta melenyapkan segala perbedaan" Bahwa cinta
menyingkirkan segala pembatasan..."
"Di mata pendeta Mayana mungkin begitu. Tapi di mata Sang Prabu pasti lain. Kita
orang Jawa selalu akan melihat kepada bibit, bebet dan bobot. Saya tahu siapa
bibit saya, apa bebet dan bobot saya"
"Bibit, bebet dan bobot. Memang tiga hal itu harus menjadi bahan pertimbangan.
Namun terkadang di balik pengagungan terhadap tiga hal itu, manusia sering kali
khilaf sehingga karena terlalu mengharapkan akhirnya mendapatkan sesuatu yang
lain dari yang diinginkan Katakanlah bahwa kau tidak punya bibit, bebet ataupun
bobot. Namun dengan pribadimu apa adanya saat ini ditambah dengan apa yang kau
miliki sekarang ini kau mempunyai peluang untuk mendapatkan satu kedudukan dalam
Keraton. Mengapa kau tidak mengabdikan diri pada Kerajaan" Dengan kepandaianmu
kau bisa mendapatkan kedudukan tinggi dalam jajaran pasukan Kerajaan atau
pengawal Keraton. Aku menaruh keyakinan, kepandaian yang kau miliki saat ini
tidak berada di bawah apa yang dimiliki Panglima Pasukan Kerajaan yang sekarang.
Bukan maksudku merendahkannya."
"Lalu apa yang harus saya lakukan Pendeta Mayana?" tanya Wiro yang jadi pusing
mendengar tutur cakap Pendeta Mayana yang begitu panjang lebar.
KARYA 68 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Aku tidak bisa memberi tahu apa yang harus kau lakukan, apalagi kalau sampai
menyuruhmu. Kau kajilah sendiri. Jika kau mencintai Gayatri dan menginginkannya
sebagai pendamping hidupmu, pergunakan kemampuanmu sebagai batu loncatan.
Bilamana kau sudah menduduki satu jabatan penting dalam Istana, rasanya tak ada
alasan bagi Sang Prabu untuk tidak memikirkan kau sebagai menantunya..."
"Pendeta Maya, saya dilahirkan sebagai orang persilatan, hidup saya selama ini
dalam rimba persilatan. Istana atau Keraton bukan tempat saya "
Orang tua itu tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. "Orang banyak berlombalomba bahkan mungkin saling sikut untuk bisa mendapatkan satu kedudukan rendah
saja. Kau justru mempunyai peluang. Mengapa kau sia-siakan anak muda" Apa akan
kau tunggu setelah kau tua renta seperti aku ini?"
"Saya sangat menghargai semua ucapan dan dorongan yang kau berikan Pendeta
Mayana. Hanya mungkin saya terlalu bodoh untuk mampu berpikir ke arah itu. Terus terang
saya sudah cukup bahagia bisa jadi sahabat Raden Ayu Gayatri " kata murid Eyang
Sinto Gendeng pula.
'Pendeta Mayana memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. "Dia sudah datang. Aku
harus pergi. Tidak pantas orang tua ikut mendengar pembicaraan orang-orang
muda...." Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda.
Pendeta Mayana yang di masa mudanya dikenal dengan nama Ananta Wirajaya itu
mengambil jubah dan kerudungnya yang tercampak di lantai pondok lalu bergerak
pergi. "Pendeta, tunggu dulu!" seru Wiro.
Tapi sekali berkelebat orang tua berambut putih itu sudah lenyap. Wiro hanya
bisa garuk-garuk kepala. Wiro berpaling ketika derap kaki kuda terdengar muncul
di samping kanannya.
Seorang pemuda berpakaian ringkas warna biru gelap dengan kepala ditutup sehelai
sapu tangan lebar muncul menunggang kuda dari arah kegelapan. Di bawah hidungnya
ada sebaris kumis tipis. Jika sebelumnya tidak pernah bertemu, Pendekar 212
tentu tidak akan mengenali orang ini. Dia bukan lain adalah Gayatri, puteri
Prabu Singosari yang dalam keadaan menyamar.
Pendekar 212 cepat menyongsong kedatangan gadis itu.
"Kau sudah lama berada di sini?" tanya Gayatri.
Wiro mengangguk. Gadis itu turun dari kudanya lalu melangkah ke pondok dan duduk
di KARYA 69 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
atas balai-balai kayu.
"Maafkan kalau sebelumnya saya bersikap tidak pantas. Saya tidak tahu kalau
Raden Ayu adalah puteri Raja Singosari."
Gayatri tersenyum mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Ah, gadis ini cantik sekali. Ada apa dia meminta aku datang ketempat ini.
"Bagaimana samaran saya?" bertanya Gayatri.
"Sangat bagus. Sukar orang lain mengenali Raden Ayu."
"Ah! Tidak usah memanggil saya dengan sebutan itu, Wiro," kata Gayatri.
"Saya tidak berani berlaku lancang. Bagaimana pun Raden Ayu harus saya hormati."
Gayatri hendak membantah. Tapi Wiro cepat berkata dengan mengalihkan pada hal
lain. "Walau menyamar seperti ini tetapi keselamatan Raden Ayu tetap saja terancam.
Apa lagi tanpa pengiring atau pengawal sama sekali."
"Saya mengerti. Kabarnya mata-mata musuh bertebaran di mana-mana."
"Kalau saya boleh bertanya, mengapa Raden Ayu meminta saya datang ke pondok
ini?" "Tidak ada satu orangpun percaya pada keteranganmu. Saya telah berusaha meyakini
Ayahanda akan bahaya yang akan mengancam Singosari. Tapi percuma. Bagaimanapun
dia adalah ayah saya. Bila Kerajaan terancam berarti keselamatannya juga
terancam. Saya ingin kau melakukan sesuatu untuk saya. Untuk Kerajaan..."
"Kemampuan apa yang saya miliki hingga Raden Ayu mempercayai?" tanya Wiro.
"Saya kagum akan kesaktian gurumu. Dia sanggup menghancurkan gembok besi dengan
tangan kbsong. Jika gurunya sehebat itu muridnya tentu tidak seberapa beda."
"Raden Ayu keliwat memuji. Saya cuma orang gunung "
"Gadis itu tertawa lebar. Kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh. "Wiro,
saya ingin kau menyelidiki gerak-gerik Adikatwang. Saya yakin dia sumber
malapetaka yang akan menghancurkan Singosari." Ketika diperhatikannya Wiro masih
saja berdiri, Gayatri berkata.
"Duduklah di sini, di samping saya "
Wiro duduk di sebelah si gadis. Duduk berdekatan seperti itu sang pendekar dapat
mencium harumnya bau tubuh dan pakaian sang dara.
"Maafkan saya Raden Ayu. Saya tidak mungkin mencampuri urusan Kerajaan.
Singosari mempunyal seorang Patih, seorang Panglima. Bukankah mereka lebih punya
kewajiban dan KARYA
70 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
tanggung jawab untuk menjaga keamanan Kerajaan?"
"Mereka sudah jadi dungu karena terlalu patuh pada Ayahanda. Saya yakin
sebenarnya mereka pasti sadar akan bahaya yang mengancam." Gayatri tampak
gelisah. Murid Eyang Sinto Gendeng serasa terbang ketika Gayatri memegang
tangannya seraya berkata. "Wiro, saya tidak punya kakak laki-1aki. Saya
menganggapmu sebagai kakak sendiri. Bahkan lebih dari kakak. Itu sebabnya saya mempercayaimu!.."
Dia menganggap aku sebagai kakak, lebih dari kakak. Mengapa dia tidak terus
terang mengatakan aku sebagai kekasih" Gila! Wiro memaki sendiri dalam hati.
Masakan aku si sableng ini punya kekasih puteri Keraton Singosari" Bercinta
dengan Puteri Raja"! Sudah gila aku ini agaknya!
"Wiro," Gayatri masih memegang tangan pemuda itu. "Kau tadi bilang tidak mungkin
mencampuri urusan Kerajaan. Karena Singosari punya Patih, punya Panglima. Saya
tambahkan juga punya Raja. Saya mengerti. Salah-salah kau bisa dituduh lagi
sebagai orang jahat yang bersekutu dengan kelompok yang ingin menumbangkan Sang
Prabu. Tapi bagaimana kalau ada orang-orang dari dunia persilatan ikut campur
membela orang-orang jahat itu. Apakah itu tidak bisa dipakal alasan bagimu untuk
turun tangan membantu Singosari?"
Gadis ini benar-benar cerdik! "Raden Ayu, kau ternyata cerdik sekali. Alasan itu
mungkin mengena."
Gayatri tersenyum manis sekali. Kini tangannya bergerak menggenggam jari-jari
pemuda itu. "Hidup harus cerdik Wiro. Sebelum orang lain mempergunakan
kecerdikannya untuk menindas kita."
Wiro mengangguk. "Raden Ayu," katanya. "Jika suatu ketika kelak keturunan Raja
Singosari mempunyai Ratu maka saya yakin kaulah orangnya."
Gayatri tertawa berderai. "Jangan dulu ingat-ingat Singosari di masa tahunan
mendatang. Kita bicara saja dulu bahwa kau mau membantu. Demi Singosari dan juga demi
saya..." "Apa yang Raden Ayu ingin saya lakukan?"
"Selidiki gerak-gerik Adikatwang di Gelang-Gelang. Usahakan mendapatkan buktibukti nyata dan saksi atas maksud jahatnya yaitu bersekongkol dengan Adipati
Wira Seta dari Sumenep. Jika itu sudah kau dapat, hubungi saya. Kita bersamasama akan menghadap KARYA
71 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Ayahanda. Masakan nanti Ayahanda tidak akan mau percaya?"
"Saya mengenal sifat orang seperti Sang Prabu. Sulit diubah. Apa lagi saat ini
saya tak lebih dari seorang buronan. Bagaimana Sang Prabu bisa percaya?"
"Lupakan dulu sifat Sang Prabu. Kau bersedia mengabulkan permintaan saya Wiro?"
Wiro diam sesaat. Terbayang wajah gurunya. Apakah Eyang Sinto Gendeng tidak akan
mendampratnya habis-habisan, mungkin menggebuknya sampai babak belur jika nenek
sakti itu nanti mengetahui dia telah melanggar larangannya untuk tidak ikut
campur urusan Kerajaan"
"Baiklah. Saya akan melakukan apa yang saya bisa." Meluncur ucapan itu dari
mulut Pendekar 212.
"Saya mengucapkan terima kasih yang sangat dalam Wiro." Nada suara Gayatri jelas
terharu. "Yang Kuasa akan menolong dan memberkatimu Saya harus pergi sekarang.
Takut kesiangan. Apakah kau masih menyimpan peniti emas yang saya berikan tempo
hari?" Wiro mengangguk. "Apakah Raden Ayu hendak memintanya kembali?" Wiro meraba
pinggangnya di mana dia menyimpan peniti emas itu baik-balk.
Gayatrl tertawa lebar lalu menggeleng. "Tentu saja tidak," kata puteri bungsu
Prabu Singosari itu. "Saya hanya ingin kau menyimpannya baik-baik..."
"Saya selalu menjaganya baik-baik. Jangan Raden Ayu kawatir." Lalu enak saja
murid Sinto Gendeng meneruskan ucapannya begini. "Kalau saya rindu pada Raden
Ayu saya akan mengeluarkan peniti emas itu, memandanginya, membelainya dan
menciumnya." Wiro melirik. Dalam gelap dilihatnya wajah gadis di sampingnya
bersemu merah tapi bibirnya tersenyum. "Saya tidak punya apa-apa yang dapat saya
berikan sebagai pengganti peniti emas itu. Kalau Raden Ayu sudi menerima hanya
ini yang bisa saya berikan. "Lalu Wiro membuka kain putih pengikat kepalanya dan
menyerahkan benda ini pada Gayatri.
"Ah... Terima kasih," kata Gayatri seraya mengambil kain pengikat kepala itu
lalu mengikatkannya ke kepalanya sendiri.
Hati Pendekar 212 berbunga-bunga. Gadis baik, katanya dalam hati. Kain ikat
kepala jelek begitu mau saja dia menerima. Malah langsung diikatkan ke
kepalanya. "Saya senang memakal ikat kepala ini," kata Gayatri pula. "Kalau tidur, kain ini
akan saya letakkan di samping bantal saya "
KARYA 72 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Ala Mak! Jangan-jangan betul kata Pendeta Mayana bahwa dia mencintaiku!
Gayatri berdiri tapi jari-jari tangannya masih memegang dan saling bersilang
dengan jari-jari tangan Wiro.
Wiro ikut berdiri. Keduanya tegak berhadap-hadapan dekat sekali. Wiro dapat
merasakan hembusan nafas dan keharuman tubuh puteri Raja itu.
"Saya pergi sekarang Wiro...."
"Terima kasih atas semua yang telah Raden Ayu lakukan untuk saya," ujar Wiro.
Dilihatnya gadis itu mengangkat kepalanya dan tersenyum padanya. Kedua matanya
yang sebening kaca tampak bercahaya. Wiro menundukkan kepalanya mencium kening
Gayatri". Mencium kedua matanya yang indah itu. Kedua pipinya. Ketika Pendekar 212
mengecup bibir Gayatri terasa kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Lalu
dirasakannya kedua tangan gadis itu merangkul.erat-erat seperti tidak akan
dilepaskan lagi. Wiro balas memeluk. Dada mereka bersatu erat. Wiro dapat
merasakan detak jantung Gayatri. Kemudian pelukan gadis itu lepas.
"Aneh..." bisik Wiro sambil membelai pipi Gayatri.
"Aneh" Apa yang aneh?" tanya si gadis.
"Aku bermesraan dengan seorang gadis cantik tapi mempunyai kumis "
Gayatri memekik kecil. Tangan kanannya meraba kumis palsunya lalu tiba-tiba
tangan itu bergerak ke dada Wiro dan habislah dada pendekar ini dicubitinya
hingga Wiro terlonjak-lonjak kesakitan.
"Sudah.... sudah!" kata Wiro sambil menjauhi dadanya.
"Saya harus pergi sekarang,.,," kata Gayatri kemudian.
"Saya tahu. Hati-hati...." berbisik Pendekar 212.
"Kau juga hati-hati...." kata si gadis seraya tersenyum. Dia mundur beberapa
langkah lalu membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya.
Namun langkah gadis ini tertahan.
*** KARYA 73 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
11 SATU bentakan menggeledek dalam kegelapan malam.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Kita bertemu kembali! Apakah kau sudah siap
untuk menyambung peristiwa di tepi Kali Brantas tempo hari"!"
Murid Eyang Sinto Gendeng terkejut besar. Dia mengenali suara itu dan juga
mengenali siapa adanya orangnya. Bukan lain Gandita, pemuda kepercayaan pembantu
Adipati Wira Seta dari Sumenep.
Hemm, rupanya kadal satu ini masih menyimpan dendam terhadapku. Bagaimana dia
tahu gelarku. Jangan-jangan dia memang telah melakukan penyelidikan dan
merencanakan balas dendam.
Pendekar 212 sama sekali tidak takut apapun alasan kemunculan Gandita. Sudah
pasti untuk membalaskan sakit hati dipermainkan dan dipermalukan dulu itu. Yang
dikawatirkan Wiro saat itu justru adalah keselamatan Raden Ayu Gayatri, puteri
bungsu Sang Prabu Singosari. Kalau Gandita tahu siapa sebenarnya pemuda berkumis
itu, urusan bisa jadi celaka.
Tadi aku seperti melihat ada bayangan di sebelah sana. Apakah pengkhianat ini
datang bersama seorang lain" Berpikir sampai di situ Wiro cepat melangkah
mendekati gadis yang menyamar itu. Dengan suara perlahan dia berkata. "Lekas
naik ke atas kuda. Tinggalkan tempat ini segera."
"Siapa orang itu?" Gayatri bukannya pergi malah ajukan pertanyaan.
"Nanti saja saya terangkan. Sekarang lekas pergi...!"
Melihat air muka Wiro dan mendengar nada suaranya Gayatri segera melangkah
menuju kudanya. Pada saat yang bersamaan Gandita melompat ke hadapan Wiro, tegak
bertolak pinggang dengan seringai buruk tersungging di mulutnya.
"Penghinaan yang kau lakukan dulu, hari ini harus kau bayar dengan bunganya,
Pendekar 212!"
Wiro tertawa lebar.
"Sebagai orang persilatan kau rupanya tidak berpikiran cerdas. Otakmu perlu
diasah. KARYA 74 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Hatimu perlu dikikir. Rupanya pelajaranku tempo hari tidak cukup, tidak
membuatmu kapok dan tahu diri. Itu sebabnya kau mencariku. Datang untuk minta
pelajaran atau hajaran tambahan! Katakan saja apa maumu pendekar sombong. Apa
kau tidak sadar kau telah salah jalan sesat"!"
"Keparat bermulut besar! Biar hari ini aku Gandita merobek mulutmu!" teriak
Gandita marah sekali. Tangan kanannya berkelebat. Lima jari tangannya menyambar
ke mulut Wiro. Pendekar 212 terkejut dan juga heran ketika menyaksikan gerakan lawan yang
sangat cepat. Padahal dulu ketika pertama kali berhadapan meskipun kepandaiannya
tidak rendah tapi gerakan Gandita termasuk lamban.
Murid Sinto Gendeng tentu saja tidak tinggal diam. Dari gerak bahu lawan dia


Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dapat membaca apa yang hendak dilakukan orang. Dia menggeser kaki ke kiri
sambil memiringkan kepala. Barsamaan dengan itu tinju kanannya dihantamkan ke
arah muka lawan dalam kecepatan luar biasa.
Gandita menyadari bahwa serangan Wiro akan mengenai kepalanya sebelum dia sempat
merobek mulut lawannya itu. Dengan cepat dia tarik pulang serangannya lalu
melompat mundur dua langkah. Dari tempat dia berdiri dengan kuda-kuda baru
Gandita lepaskan satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan angin keras.
Selagi angin pukulan yang disertai tenaga dalam cukup tinggi itu menyambar
pemuda ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang lalu dia melompat ke arah lawan.
Tahu-tahu tangan kanannya sudah mencekal sebilah golok.
Senjata ini dibabatkannya ke perut Pendekar 212. Wiro merasakan adanya sambaran
angin dingin keluar dari golok pertanda golok itu bukan senjata biasa.
"Ha.... ha! Kau ternyata bukan saja sombong dalam ketidakcerdasanmu, tapi juga
berlaku pengecut. Adat seorang persilatan tangan kosong dilawan tangan kosong.
Ternyata kau berlaku licik memakai golok!"
"Jangan banyak cakap! Kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!" bentak
Gandita menantang.
"Untuk menghadapi anak masih bau air tetek macammu buat apa pakai senjata
segala! Cukup nanti aku menjewer telingamu dengan tangan kosong saja!" sahut Wiro sambil
menyeringai mengejek.
Tampang Gandita tampak merah diejek seperti itu. Kemarahannya menggelegak.
Terlebih KARYA 75 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
ketika serangan goloknya tadi tidak berhasil mencapai sasaran karena dengan
cepat lawan melompat ke belakang. Dia menyergap kembali dengan geram. Goloknya
menderu ganas. "Ganditai Tunggu dulu!" Wiro tiba-tiba berseru.
"Bangsat! Apa maumu"!" bentak Gandita.
"Hai! Di tempat angker seperti ini jangan bermulut kotor. Salah-salah kau bisa
dicekik dedemit!"
"Lekas katakan apa maumu!"
"Aku mau bicara..." kata Wiro.
"Kau mencari dalih karena takut"!"
Wiro tertawa bergelak. "Sekalipun kau punya delapan tangan, delapan kaki dan
empat kepala aku tidak bakal takut! Aku hanya ingin agar kau sadar. Apa
untungnya jadi pengkhianat jadi pemberontak. Bukan mustahil kau hanya dijadikan
alat oleh Adikatwang dan Adipati Wira Seta. Jika tujuan mereka sudah tercapai
mungkin saja kau nanti akan ditendangnya!"
"Mulutmu keji, memfitnah dan menghasut!" tukas Gandita. "Aku mengenal mereka
dari kecil. Mereka tidak sejahat yang kau katakana!"
"Kalau mereka bukan orang jahat lalu mengapa menyusun rencana gila, berkomplot
hendak menumbangkan singgasana Prabu Singosari"!"
"Kau orang kampong! Mana tahu segala urusan orang-orang besar!" jawab Gandita
sombong. Wiro ganda tertawa. "Walau aku orang kampung, jelek jelek begini aku tidak
pernah berkhianat pada Kerajaan. Tidak seperti kau jadi puntung pemberontak!
Harap kau mau berpikir sekali lagi. Belum terlambat untuk insyaf. Apalagi kalau
kau bisa menyadarkan Adikatwang dan Wira Seta."
"Jadi hanya itu yang hendak kau katakan"!" tanya Gandita.
"Masih ada," jawab Wiro. "Kau lebih suka berbuat dosa dad pada mencari pahala!"
"Eh, apa pula maksudmu"!" tanya Gandita agak heran.
"Memberontak adalah pekerjaan sesat dan dosa besar. Berbakti pada Kerajaan
adalah pahala besar..."
"Siapa sudi berbakti pada Prabu Singosari anak cucu pembunuh Raja Kediri! Kau
saja KARYA 76 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
yang sana pergi mencari pahala!"
"Dengar dulu Gandita. Kau bisa berbuat pahala pada Kerajaan dan sebagal imbalan
pasti kau akan mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi..."
"Hemmm... rupanya kau cecunguk Keraton Singosari yang dibayar untuk membujukku!"
"Tidak ada yang membayarku. Aku juga tidak membujukmu. Aku ingin agar kau sadar!
Jangan pergunakan kepandaianmu yang secuil untuk pekerjaan gila jadi
pemberontak!"
"Setan! Aku tidak gila! Semua yang aku lakukan sudah kupikirkan masak-masak."
"Mungkin keliwat masak hingga jadi busuk!" kata Wiro pula lalu tertawa gelakgelak. "Setan! Kalau tidak kucincang kau belum puas rasanya!"
Gandita gerakkan tangan kanannya. Goloknya kembali berkelebat. Serangannya kali
ini adalah kepala lawan. Wiro cepat rundukkan kepala sambil melompat mundur satu
langkah. Begitu golok menyambar lewat murid Eyang Sinto Gendeng ini mencoba menyergap ke
depan dan kirimkan satu jotosan ke perut Gandita. Namun tiba-tiba golok pendekar
dari Gunung Kelud itu menyambar ke bawah. Jika Wiro tidak lekas menarik pulang
serangannya, lengannya pasti dibabat putus!
"Hebat juga kampret sialan ini!" maki Wiro dalam hati. Tengkuknya terasa dingin.
Ilmu golok Gandita memang tidak bisa dibuat main-main. Serangan-serangannya
selain ganas juga bisa berubah atau susul menyusul secara tidak terduga.
Memasuki jurus ke delapan Gandita berada di atas angin. Serangan goloknya datang
bergulung-gulung, bukan cuma dari satu penjuru, tetapi seolah-olah bertebar dari
berbagai arah dan semua itu dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Raden Ayu Gayatri yang tegak di dekat kudanya merasa cemas melihat Pendekar 212
mulai terdesak hebat. Hendak membantu dia tidak punya kepandaian apa-apa. Diamdiam dia berusaha mencari akal bagaimana caranya agar dapat menolong Wiro,
pemuda kepada siapa dia menaruh rasa suka kalau belum mau dikatakan cinta.
Sebaliknya Wiro yang semakin mengawatirkan keselamatan si gadis berulang kali
memberikan isyarat agar Gayatri segera pergi dari tempat itu. Gandita bukannya
tidak melihat isyarat yang diberikan Wiro itu namun karena perhatiannya
ditujukan pada Wiro dan ingin membunuh lawannya itu secepat yang bisa
dilakukannya maka dia tidak begitu memperdulikan Gayatri.
KARYA 77 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Setelah terdesak hebat terus menerus, murid Eyang Sinto Gendeng kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya dan dia sengaja
berkelebat lebih cepat. Sampai dua jurus di muka Wiro sepertinya kini sanggup
mengimbangi serangan lawan dan mulai melancarkan serangan-serangan balasan.
Namun dua jurus selanjutnya didahului oleh satu bentakan keras Gandita robah
total permainan goloknya dan kini Pendekar 212 kembali terdesak hebat. Dalam
satu gebrakan keras menegangkan golok di tangan Gandita berkiblat membuat
silangan-silangan aneh.
Breettt...brettt...brettt!
Pakaian Wiro robek di tiga tempat di makan ujung golok Gandita!
Kalau Wiro sempat keluarkan seruan tertahan dan tengkuknya menjadi dingin, maka
Gayatri tak dapat lagi menahan kecemasannya gadis ini terpekik. Habis memekik
baru dia sadar dan cepat-cepat menekap mulutnya. Tapi suaranya sudah kepalang
terdengar oleh Gandita.
Pemuda dari Gunung Kelud itu melintangkan goloknya di depan dada dan memandang
ke arah Gayatri. Untuk beberapa saat lamanya dia memperhatikan dengan tajam lalu
tampak sering di mulutnya.
"Pemuda berkumis! Jadi kau seorang perempuan rupanya! Melihat potongan tubuh dan
raut mukamu pasti kau seorang gadis yang cantik jelita. Kau berdiri saja di
sana. Jangan ke mana-mana! Sehabis membereskan manusia satu ini kita bakal punya
kesempatan untuk berbincang-bincang! Bermesraan kalau perlu!"
Karena tidak dapat menahan marahnya mendengar ucapan Gandita, Gayatri membuka
mulut dan mendamprat dengan suara keras. "Pemberontak busuk! Hatimu bukan saja
jahat tapi mulutmu juga kotor!"
Gandita tertawa. Dia berpaling pada Wiro dan berkata. "Ha ...ha...! Rupanya
Pendekar 212 habis berbuat mesum dalam pondok itu dengan seorang gadis yang
sengaja menyamar sebagai laki-laki. Hebat! Menyuruh orang berbuat pahala dirinya
sendiri melakukan dosanya!"
"Setan alas! Kau kira aku ini manusia cabul!" teriak Wiro marah. Dia menerjang
ke depan. Gandita menyongsong dengan goloknya. Kembali terjadi perkelahian seru.
Dan kembali pula dalam waktu dekat murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak oleh
serangan golok yang benar-benar luar biasa. Belum pernah Wiro melihat ilmu golok
sehebat itu. Dia mulai KARYA
78 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
berpikir-pikir apakah akan mengeluarkan pukulan-pukulan sakti atau mulai
menghadapi lawannya dengan ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila
di Pulau Andalas atau segera saja mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Selagi
dia menimbang-nimbang begitu rupa, sekali lagi golok lawan berkelebat dan kali
ini leher bajunya yang kena disambar robek. Ujung golok bahkan sempat mengiris
samping kiri lehernya hingga terluka dan mengeluarkan darah. Paras Gayatri
menjadi pucat. Wiro keluarkan keringat dingin.
"Wiro! Lakukan sesuatu! Keluarkan senjatamu!" teriak Gayatri.
Murid Eyang Sinto Gendeng kini sadar dia memang harus melakukan sesuatu. Mungkin
juga mengeluarkan senjata seperti yang diteriakkan Gayatri tadi. Maka dia segera
gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjata mustika Kapak Maut
Naga Geni 212. Namun belum sempat dia mencabut senjata itu tiba-tiba dari dalam gelap terdengar
suara tertawa gelak-gelak. Suatukan suara tawa biasa. Tanah terasa bergetar dan
telinga mengiang sakit.
Itu suara tawa si gendut Kerbau Bunting! Ada apa dia muncul di tempat ini.
Hendak menolongku" Pikir Wiro. Gandita sendiri yang kembali hendak menyerbu
sesaat jadi tertegun.
Dari arah kegelapan di sebelah kirinya kelihatan muncul satu kepala yang aneh.
Astaga! Ternyata kepala seekor keledai!
Tak mungkin binatang ini yang tadi tertawa! Membatin Gandita. Dia tak menunggu
lama. Sesaat kemudian sosok keledai itu semakin jelas. Lalu tampak seorang bertubuh
gemuk luar biasa yang menjadi penunggang keledai kurus kecil itu.
Gila! Bagaimana mungkin keledai kecil kerempeng itu sanggup ditunggangi manusia
yang beratnya lebih dari dua ratus kati! Gandita semakin heran. Lalu dia melihat
ternyata si gendut itu hanya menempelkan pantatnya saja di atas punggung keledai
karena kedua kakinya menjejak tanah seperti orang berjalan biasa! Gandita mulai
menduga-duga siapa adanya manusia gemuk ini.
Si penunggang keledai masih tertawa-tawa sampai keluar air mata dari sepasang
matanya yang sipit. Baju dan celana hitamnya jelas kesempitan. Dadanya yang
gembrot dan perutnya yang melendung kelihatan berguncang-guncang kalau dia
tertawa. Orang ini memandang pada Wiro, berpaling pada Gandita lalu menoleh pada
Gayatri. Setelah itu dia kembali tertawa gelak-gelak.
KARYA 79 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Hai! Kenapa kalian berhenti berkelahi! Padahal aku datang ke sini untuk
menonton!"
kata si gendut. Dia melirik pada Gayatri lalu tertawa mengekeh hingga dia
terpaksa mengusut air mata yang keluar dari kedua matanya.
Manusia aneh. Pikir Gayatri . Apakah dia teman atau musuh Wiro. Kalau dia kelak
membantu pemuda pemberontak itu Wiro bisa celaka. Aku juga! Walaupun hatinya
cemas tapi sampai saat itu dia tetap saja tegak di tempat itu.
"Gendut gila!" tiba-tiba Gandita berteriak. "Hentikan tawamu! Pergi dari sini!
Jangan mengganggu urusanku!"
Dibentak seperti itu si Gendut tampak terkesiap. Tapi hanya sebentar. Sesaat
kemudian kembali terdengar suara tawanya menggelegar.
"Mana ada aturannya orang tidak boleh ketawa! Ha... ha... ha! Tempat ini bukan
milik nenek moyangmu mengapa berani menyuruh aku pergi! Siapa yang mengganggu
urusanmu"!
Jangan coba membanyol. Nanti aku bisa ketawa sampai ngompol! Kalau aku ngompol
apakah kau mau mencebokkan"! Ha... ha... ha ...!"
Gandita marah sekali mendengar kata-kata si gendut itu. "Gendut gila! Kalau kau
tidak berhenti tertawa, kusumpal mulutmu dengan golok ini!"
"Eh!" si gendut tampak terkejut. Matanya yang sipit dicobanya membuka lebarlebar tapi tetap saja sipit! "Astaga! Benaran kau hendak menyumpal mulutku
dengan golok itu"! Jangan!
Kalau kau mau menyumpal jangan dengan golok. Tapi dengan pisang goreng atau ubi
rebus! Baru sedap!"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala melihat tingkah si gendut yang dikenalnya
sebagai Dewa Ketawa dan yang dulu biasa dipanggilnya dengan sebutan Kerbau
Bunting! Kalau menurutkan kemarahannya mau rasanya Gandita menyerang si Gendut di atas
keledai dengan goloknya saat itu juga. Namun dia berlaku cerdik. Mengapa
menambah musuh baru sedangkan urusan dengan Wiro belum terselesaikan" Di samping
itu Gandita merasa bahwa si gendut ini tidak berada di pihaknya. Dugaan Gandita
tidak salah karena saat itu didengarnya si gendut. berkata pada Wiro.
"Sobatku Muda, aku gembira bisa ketemu kau lagi! Ha.., ha... ha ...!"
"Dewa Ketawa, aku juga gembira!" sahut Wiro. "Cuma sayang aku sedang ada urusan
dengan pemuda pemberontak ini!"
KARYA 80 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Ah, dia pemberontak rupanya! Ha... ha...ha...!" Dewa Ketawa lalu berpaling pada
Gandita. "Masih bau kencur sudah berani memberontak. Hal anak muda! Kau minum dulu
kencingku! Kalau sudah mampu minum kencingku baru boleh memberontak! Ha... ha...
ha...!" Rahang Gandita menggembung tanda amarahnya menggelegak. Tapi dia pandai membaca
keadaan. Apalagi tadi dia mendengar Wiro menyebut nama si gendut ini. Siapa
tidak kenal dengan orang sakti bergelar Dewa Ketawa" Otak cerdiknya bekerja.
Lalu mulutnya berkata.
"Orang tua gemuk, kalau kau betul Dewa Ketawa, aku minta maaf tadi tidak berlaku
hormat terhadapmu. Ketahuilah kakakmu si Dewa Sedih sudah bergabung dengan kami
untuk menumbangkan kekuasaan tidak syah Prabu Singosari! Sebagai adik tentu
tidak ada salahnya kau juga ikut kami!"
Wiro terkejut mendengar ucapan Gandita itu. Sebaliknya Dewa Ketawa tenang-tenang
saja, malah dia kembali perdengarkan suara tawanya. Mula-mula perlahan lalu
makin keras dan makin keras! Tiba-tiba clep! Tawanya dihentikan. Dewa Ketawa
membentak. "Siapa sudi mengaku kakak pada manusia sesat bernama Dewa Sedih itu! Dan kau
mau, kasih hadiah apa kalau aku bersedia bergabung dengan kalian kaum
pemberontak"!"
"Dewa Ketawa! Kau hendak..."
Orang tua bertubuh gemuk itu memandang pada Wiro sambil memalangkan jari
telunjuknya di depan mulut. "Diam, jangan bersuara. Biar monyet ini memberi tahu
apa hadiah untukku!"
"Dengar Dewa Ketawa, Raja yang baru pasti akan memberimu harta dan uang
berlimpah. Kau pasti akan diberikannya jabatan tinggi di Istana!"
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Gandita itu. "Bocah geblek!
Aku Tanya hadiah apa yang bisa kau berikan padaku. Bukan hadiah dari Raja. Lagi
pula siapa Raja barumu itu"!"
Wajah Gandita tampak menjadi merah.
"Dengar anak muda," kata Dewa Ketawa pula.
"Jika kau mau mengorek jantungmu sendiri lalu memberikannya padaku, baru aku mau
bergabung dengan kalian!"
KARYA 81 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari


Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika diturutkannya hawa amarahnya mau rasanya Gandita menyerang orang tua gendut
itu dengan goloknya. Tapi lagi-lagi dia berlaku cerdik. Jika dia melibatkan Dewa
Ketawa dalam perkelahian, berarti dia akan menghadapi dua lawan sekaligus yaitu
Wiro dan Dewa Ketawa.
Maka dia berusaha menekan amarahnya terhadap si gemuk itu dan kini segala
kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 dalam bentuk serangan ganas. Kedua
pendekar muda itu kembali berkelahi.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh melihat perkelahian itu tapi lama-lama dia tampak
seperti jemu. "Perkelahian membosankan! Buat apa ditonton! Lebih baik aku pergi saja! Ha...
ha... ha....!" Dewa Ketawa putar keledainya.
"Orang tua, kau mau ke mana?" tiba-tiba satu suara menegurnya.
Dewa Ketawa berpaling ke arah datangnya suara itu. Dilihatnya yang barusan
bicara adalah pemuda berkumis tipis berwajah klimis. Sesaat dipandanginya wajah
dan tubuh orang itu lalu meledaklah ketawanya.
"Biasanya lelaki yang suka jadi banci! Baru hari ini aku lihat ada gadis yang
mau jadi banci! Ha... ha... ha!" Dewa Ketawa lambaikan tangannya dan mengedipkan
matanya yang sipit pada Gayatri.
"Orang tua! Tunggu!" kembali Gayatri berseru. "Apa kau tidak mau menolong
sahabatmu Wiro?"
"Ah! Siapa sudi menolong orang tolol! Ilmunya segudang kepandaiannya selangit.
Mengapa tidak dipergunakan"! Dia bisa menghadapi cecunguk pemberontak itu
seorang diri. Dia tidak butuh pertolonganku!" Habis berkata begitu Dewa Ketawa mengekeh. Lalu
kedua kakinya bergerak mengiringi empat kaki keledai kurus pendek itu. Wiro
hendak berseru memanggil namun saat itu Gandita kembali menyerbu dengan goloknya
sedang si kakek gendut telah lenyap dalam kegelapan malam.
Pendekar 212 sambut serangan Gandita dengan jurus dan pukulan "Kilat menyambar
puncak gunung." Pukulan ini berupa satu tabasan tepi telapak tangan yang
dahsyat, yang dipelajarinya dari Tua Gila, seorang sakti di Pulau Andalas
beberapa tahun lalu.
Mendengar deru pukulan lawan serta ada hawa panas yang menyambar, mau tak mau
Gandita berpikir dua kali untuk meneruskan serangannya. Tangan kanan Wiro
menyambar di KARYA
82 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
samping golok terus melesat ke arah pergelangan tangannya. Gandita terpaksa
tarik pulang serangannya sambil. Tapi begitu tubuhnya terlontar ke kanan tibatiba sekali dia membuat gerakan aneh. Lalu tangan kirinya menyambar dan berhasil
menjambak rambut Wiro Sableng yang gondrong. Sekali dia menjentakkan tangan
kirinya maka tubuh Pendekar 212 dan terbanting jatuh punggung ke tanah. Wiro
merasakan tulang punggungnya seolah remuk.
Sedang kepalanya yang tadi sempat dijambak lawan masih mendenyut sakit. Meski
pemandangannya sedikit berkunang dia masih sempat berpikir. Gerakan orang ini
jauh lebih cepat dari dulu. Agaknya dia telah menimba ilmu baru. Aku harus
berhati-hati pada kampret satu ini! Selagi Pendekar 212 berusaha bangkit
berdiri, tiba-tiba dari depan Gandita sudah menyerbu kembali dengan goloknya!
Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menggeram. Dengan cepat dia alirkan
tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu memukulkannya ke arah lawan.
Wuttt! Segulung angin menggempur ke depan mengeluarkan suara menderu seperti ombak
mengamuk di tepi pantai. Inilah pukulan sakti bernama "Segulung ombak menerpa
karang." Gandita merasakan serangannya tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan.
Tangannya yang memegang senjata bergoyang-goyang sedang sekujur tubuhnya
bergetar. Semakin dia mengerahkan tenaga luar dalam untuk menerjang tembok gaib itu
semakin sulit keadaannya karena kekuatannya seperti membalik menggempur dirinya
sendiri. Wiro maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat
menghajarnya namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat
menghajarnya namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro cepat tambah kekuatan tenaga dalam ke telapak tangan kanan. Tiba-tiba dia
dorongkan telapak tangan itu dan sekaligus membalikkannya.
Di saat itu pula ketika merasa datangnya tekanan tenaga dalam lawan, Gandita
kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Justru disinilah kesalahannya. Tenaga dalamnya
terhimpit telak di bawah tenaga dalam Wiro!
Begitu dua kekuatan tenaga dalam saling bentrokan, tubuh Gandita tampak
terpuntir keras seperti ditabrak angin punting beliung, lalu terpental sampai
enam langkah. Golok di KARYA
83 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
tangannya terlepas jatuh.
"Jahanam!" maki Gandita dalam hati. "Bangsat ini harus segera kubunuh!" Murid
orang sakti dari Gunung Kelud ini cepat berdiri. Namun dadanya terasa sakit
sekali. Gerakannya yang sudah setengah berdiri jatuh kembali. Dia jatuh berlutut
sambil pegangi dada. Marah dan sangat penasaran membuat pemuda ini berusaha
bangkit kembali.
Karena dipaksakan sedang tubuh di bagian dalam terluka parah dia jadi terbatukbatuk beberapa kali. Tiba-tiba ada darah segar menyembur keluar dari mulutnya!
Tadinya murid Eyang Sinto Gendeng kembali hendak menyerbu. Tapi begitu lawan
dilihatnya terluka dalam cukup parah dia hanya berdiri berkacak pinggang.
"Syukur-syukur kau sudah kapok! Kalau belum silahkan menyerang lagi!" ejek Wiro.
Gandita meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah.
"Manusia keparat! Kau jangan merasa cepat-cepat menang. Aku punya niat untuk
menghabisi nyawamu malam ini juga. Niat itu harus terlaksana! Lihat keris!"
Tangan kanan Gandita bergerak ke balik pinggang pakaiannya. Lalu kelihatan
pancaran sinar kuning bercampur putih dalam kegelapan. Memandang ke depan Wiro
melihat Gandita telah menggenggam sebilah keris besar di tangan kanan dan
sarungnya di tangan kiri. Senjata ini terbuat dari perak murni bercampur paduan
emas. Gagang dan sarungnya berhlas beberapa butir batu permata. Inilah keris
Narasinga yang merupakan salah satu senjata pusaka Keraton Kediri dan berasal
dari sesepuh serta pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara. Senjata yang
sudah berusia puluhan tahun ini tentu saja merupakan senjata sakti mandraguna.
Dari sinarnya saja Wiro sudah maklum kalau Keris itu bukan merupakan senjata
sembarangan dan dia harus berhati-hati.
Sebagai puteri raja tentu saja Gayatri mengenali senjata itu. Gadis ini tidak
mengerti mengapa senjata pusaka Keraton bisa berada di tangan seorang
pemberontak seperti Gandita.
Saat itu Gandita sendiri sudah menyerbu seraya menusukkan keris Narasinga. Wiro
cepat berkelit. Ujung keris lewat hanya setengah jengkal dari keningnya. Matanya
terasa perih oleh sambaran angin keris sakti itu. Ketika lawan menyerbu kembali
Pendekar 212 kerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan siapkan did dengan
melipatgandakan tenaga dalam. Untung saja saat itu Gandita mengalami luka dalam
yang cukup parah hingga gerakannya menjadi lamban dan kadang-kadang rasa sakit
pada dadanya membuat serangannya seperti tertahan-tahan.
KARYA 84 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Kalau tidak akan sulitlah bagi Wiro untuk menghadapinya dengan mengandalkan
pukulan-pukulan tangan kosong walaupun mengandung tenaga dalam dan aji
kesaktian. Setelah menggempur terus-terusan tanpa hasil sedang dadanya sendiri terasa
semakin sakit Gandita mulai berpikir sebaiknya dia tinggalkan saja tempat itu.
Justru saat itu terdengar Gayatri berteriak. "Wiro! Keris itu senjata pusaka
milik Kerajaan!
Tidak layak berada di tangan seorang pengkhianat" Usahakan untuk merampasnya!"
Gandita terkejut mendengar seruan Gayatri. Perempuan yang menyamar dua tahu
senjata di tanganku ini. Siapa dia sebenarnya. Jangan-jangan... Gandita tak sempat
berpikir lebih jauh karena saat itu Wiro tiba-tiba menyergap dengan satu jotosan
tangan kirinya menyambar berusaha merampas keris.
Gandita yang mulai mencium bahaya dan takut kalau-kalau Wiro sempat merampas
keris Narasinga yang selama ini dipercayakan padanya untuk di simpan meloncat
mundur beberapa langkah.
"Pendekar 212! Sayang aku masih ada keperluan lalu yang lebih penting. Kalau
saat ini aku pergi jangan kira kau sudah merasa menang. Aku akan datang kembali
untuk membedol nyawa anjingmu! Kau tunggu saja saat kematianmu!" Habis berkata
begitu Gandita sarungkan keris Narasinga dan menyimpannya kembali di balik
pinggang pakaiannya.
Wiro menyeringai. "Yang aku kawatir yang muncul nanti bukan tubuh kasarmu
sungguhan, tapi setanmu atau roh halusmu! Luka dalam yang kau derita tidak bisa
dianggap enteng! Mungkin kau duluan yang menemul ajal dari pada aku!"
Gandita meludah ke tanah sekali lagi. Dia lalu berputar seperti hendak
meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba sekali dia membalik. Tangan kanannya
bergerak. Lima buah benda hitam yang merupakan senjata rahasia berupa paku-paku
kecil halus beracun melesat di udara, menyambar ke arah Pendekar 212.
"Laknat keparatI" teriak Wiro marah. Tangan kanannya bergerak menghantam dengan
pukulan "benteng topan melanda samudera." Segulung angin dahsyat menyambar
membuat semua senjata rahasia yang dilepaskan Gandita mencelat mental. Pukulan
sakti itu selanjutnya menerpa ke arah Gandita. Namun pemuda ini sudah lebih
dahulu berkelebat ke balik sebatang pohon besar lalu menghilang ditelan
kegelapan malam.
Braakkk! KARYA 85 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Batang pohon kayu berderak keras dilanda pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
"Wiro! Kau tak apa-apa"!" terdengar Gayatri berseru lalu gadis ini setengah
berlari menghampiri Pendekar 212.
"Saya tak kurang suatu apa. Terima kasih," jawab Wiro. "Seharusnya Raden Ayu
cepat-cepat pergi tadi..."
"Mana mungkin saya pergi sewaktu dirimu terancam bahaya."
Ah, dia mengawatirkan keselamatanku, Pikir Wiro. Lalu dia teringat pada Pendeta
Mayana yang mengatakan bahwa gadis itu mencintainya.
"Kalau saja saya mempunyai kepandaian hebat, sudah saya bunuh pemuda pemberontak
itu tadi," kata Gayatri pula.
"Dia akan menerima hukumannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Kalau
dia tidak segera mendapatkan obat nyawanya tak akan tertolong."
"Saya menyumpah biar dia menemui ajal!" kata Gayatri.
"Sekarang saatnya Raden Ayu meninggalkan tempat ini."
"Ya, cuma... Saya ingin kau mengantarkan saya sampai di pinggir Timur Kotaraja."
"Saya tidak membawa kuda," ujar Wiro walau sebenarnya dia bisa mengikuti kuda
gadis itu dengan berlari.
"Apa susahnya menunggang kuda berduaan. Kalau kau suka," jawab Gayatri.
Pendekar 212 merasakan dadanya berdebar. Sambil senyum dan garuk-garuk kepala
dipeganginya pinggang puteri Prabu Singosari itu dengan kedua tangannya lalu
dinaikkannya ke atas kuda. Wiro sendiri kemudian hendak duduk di belakang si
gadis. "Eh, kau seharusnya duduk di sebelah depan Wiro!" ujar Gayatri pula.
"Di sebelah manapun tak jadi soal!" sahut Wiro seraya melompat ke atas punggung
kuda, duduk di depan Gayatri. Lalu perlahan-lahan kuda bernama Grudo itu mulai
bergerak. Setelah lewat beberapa lama Gayatri berkata.
"Kuda ini seperti sakit pinggang. Mengapa tidak kau pacu agar kita lekas
sampai?" "Maafkan saya Raden Ayu. Seumur hidup baru sekali ini saya menunggang kuda
dengan seorang gadis yang sangat cantik, puteri Raja pula. Mana saya mau menyianyiakan kesempatan?"
"Eh, kau mulai bicara melantur. Apa maksudmu?"
KARYA 86 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Wiro tertawa lebar. "Maksud saya, biar lebih lama sampainya ke Kotaraja. Berarti
saya bisa lebih lama berdua-dua seperti ini dengan Raden Ayu...!"
"Tidak saya sangka kau ternyata seorang pemuda ceriwis!" kata Gayatri pula. Lalu
cubitannya mendarat berulang-ulang di punggung Pendekar 212 hingga pemuda ini
tersentak-sentak antara geli dan kesakitan.
"Kalau Raden Ayu terus mencubit, saya akan memacu kuda ini ke jurusan lain. Saya
akan menculik dan menyekap Raden Ayu di satu tempat!"
"Iih! Jika kau lakukan itu, aku bukan cuma mencubitmu Wiro. Tapi akan
menggigitmu!"
kata Gayatri pula. Lalu dia membuat gerakan seperti hendak menggigit bahu kanan
Pendekar 212. "Digigit mungkin sakit. Tapi terus terang saya ingin juga merasakan gigitan
Raden Ayu,"
sahut Wiro. Karena gertakannya tidak mempan Gayatri jadi kehabisan akal. Digelungkannya
kedua tangannya ke pinggang Wiro. Sambil memeluk jari jari tangannya
menggelitiki pinggang pemuda itu hingga Wiro terpekik-pekik kegelian dan
terpaksa memacu kudanya lebih cepat.
TAMAT KARYA 87 BASTIAN TITO Kutukan Patung Intan 1 Pendekar Slebor 13 Sepasang Bidadari Merah Bara Diatas Singgasana 24

Cari Blog Ini