Ceritasilat Novel Online

Purnama Berdarah 2

Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Bagian 2


Sementara gadis-gadis dusun kulihat kawin dengan pemuda-pemuda
gagah..." "Jangan sesali hidup ataupun orang tuamu," kata Nandang pula seraya tangannya
meluncur ke bawah.
"Lupakan Sentot. Bukankah aku akan selalu berada di dekatmu setiap saat kau
membutuhkan diriku?"
Sarti menyusupkan kepalanya ke dada Nandang. "Aku memang membutuhkanmu Nandang.
Aku tak bisa berpisah denganmu. Bawa aku ke mana kau pergi..."
"Akan tiba saatnya Sarti. Pasti..." jawab Nandang lalu merebahkan istri Sentot
di atas bangku panjang. Sambil tersenyum Sarti memperhatikan pemuda kekasihnya
itu membuka bajunya. Di atasnya bulan purnama empat belas hari memancarkan sinar
indah sekali. Belum pernah Sarti melihat bulan purnama seindah itu. Keindahan
itu seperti bertambah-tambah ketika Nandang meneduhi tubuhnya, menciumi lehernya
dengan penuh nafsu. Sarti memagut punggung pemuda ini kuat-kuat. Tapi tiba-tiba
sekali dilepaskannya.
"Ada apa, Sarti?" bertanya Nandang.
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
5 ELIHAT wajah Sarti yang seperti ketakutan
Nandang memandang berkeliling. Lalu dia
Mbertanya sekali lagi. "Ada apa...?"
"Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak.
Aku khawatir ada orang mengintai perbuatan kita..."
"Itu hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini," kata Nandang
pula lalu ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah, leher dan dada Sarti. Sesaat
perempuan ini jadi hanyut lupa diri. Namun di lain ketika kedua tangannya
mendorong dada Nandang ke atas.
"Eh, apa-apaan kau ini, Sarti?" Nandang jadi kesal.
"Apa kau tidak mendengar" Ada suara gemerisik
semak-semak. Aku seperti melihat bayangan sesuatu di sebelah sana..." Sarti
memandang ke jurusan gelap dekat serumpunan pohon salak.
"Supaya kau tidak ketakutan terus biar aku menyelidik ke sekitar pohon salak
itu. Ada-ada saja kau Sarti. Kau tunggu di sini..."
Sarti menutupi tubuhnya dengan kain panjang. Nandang memegang lengannya seraya berkata. "Awas kalau kau mengenakan pakaianmu
kembali. Aku akan menyelidik. Cuma sebentar. Pasti kau hanya takut tak beralasan...
Tak ada apa-apa di sekitar sini."
Nandang bangkit berdiri. Dia tidak perduli lagi kalau saat itu dia sama sekali
tidak mengenakan apa-apa. Dalam keadaan bugil pemuda ini melangkah ke arah pohon
salak. Dia datang dari sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau bayangan apa pun di situ. Nandang meneruskan langkahnya memutari pohon salak ke
sebelah belakang. Juga tidak ada apa-apa.
"Sarti... Sarti... Jangan-jangan dia hanya mempermainkan aku," kata Nandang. Dia segera hendak meninggalkan tempat itu. Namun sudut
matanya menangkap dua buah cahaya aneh di sebelah kiri. Pemuda ini cepat
berpaling. Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan kirinya dilihatnya sosok binatang
seperti seekor anjing besar mendekam duduk dengan moncong terbuka. Kedua matanya berwarna merah, memancarkan sinar aneh menggidikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya besar tajam mengerikan.
Suara nafas makhluk ini terdengar seperti gerengan harimau. Tengkuk Nandang menjadi dingin. Namun jika dia
menoleh ke samping kanan binatang itu, terlihat satu pemandangan lain. Di bawah sinar bulan purnama tegak
seorang perempuan berwajah cantik, mengenakan kemben dan kain panjang halus.
Rambutnya yang panjang tergerai lepas di atas bahunya yang putih.
Kalau binatang di sampingnya menyorotkan pandangan yang mengerikan sebaliknya
perempuan cantik ini tampak tersenyum. Hanya saja Nandang tidak memperhatikan
bahwa di balik senyum itu tersembunyi satu bayangan angker menyeramkan.
"Kau... kau siapa...?" tanya Nandang dengan suara agak tersendat.
Perempuan muda dan cantik di depannya tidak menjawab. Kedua matanya memperhatikan tubuh si pemuda yang sama sekali tidak
mengenakan apa-apa. Pandangan perempuan itu membuat Nandang sadar akan keadaan
dirinya. Dia menurunkan kedua tangannya berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya.
Si cantik di depannya kembali tersenyum. "Tak usah kau menutupi aurat. Aku suka
melihat tubuhmu yang tegap!"
Ucapan itu tentu saja membuat dada Nandang jadi berdebar. "Ah, wanita muda
cantik berpengawal anjing besar ini jangan-jangan seorang peri..." membatin
Nandang. "Anak muda, apakah kau mau membagi kesenangan
yang kau berikan pada perempuan di atas bangku itu padaku?" Tiba-tiba si cantik
di bawah bulan purnama berkata.
Semakin menggeletar sekujur tubuh Nandang.
"Aku tidak tahu siapa kau adanya..."
"Namaku Kemala. Apakah nama itu tidak bagus?"
"Bagus sekali. Sebagus orangnya..." jawab Nandang.
Perempuan cantik itu tertawa perlahan. "Kau pemuda pandai memuji dan merayu.
Pantas perempuan itu tergila-gila padamu meski sudah jadi istri orang. Sekarang
jawab pertanyaanku tadi."
Nandang tak bisa menjawab.
"Apa wajahku lebih buruk dari istri Sentot. Apa tubuhku lebih jelek dari
perempuan kekasih gelapmu itu?"
Nandang harus mengakui bahwa wajah perempuan di depannya jauh lebih cantik dari
Sarti, juga potongan tubuhnya begitu indah dan sangat menggiurkan. Namun tetap
saja dia tidak mau menjawab.
"Kau tidak mau membagi kebahagiaan itu padaku?" Si cantik bertanya lagi sambil
mengusap kepala binatang di sampingnya.
"Dengar, aku..."
"Sudahlah! Tak usah banyak bicara lagi!" Si cantik menghentikan usapannya pada
kepala srigala besar di sampingnya lalu berkata. "Datuk, lakukan tugasmu..."
Sepasang mata srigala ini membersitkan sinar merah mengerikan. Bersamaan dengan
itu dari mulutnya keluar suara lolongan panjang. Nandang merasakan nyawanya
seperti terbang dan lututnya bergetar goyah. Sebelum sempat dia melakukan
sesuatu tiba-tiba srigala besar itu sudah melompat dan menerkamnya. Nandang
berteriak keras. Tapi suara teriakan itu putus begitu kaki kanan srigala yang
berkuku panjang menyambar lehernya. Batang leher Nandang koyak besar mengerikan.
Tulang lehernya patah. Darah menyembur muncrat!
Di atas bangku panjang di bawah pohon Sarti setengah terlompat ketika mendengar
suara lolongan binatang dari arah pohon salak. Lalu menyusul suara teriakan
orang. "Itu Nandang..." kata Sarti dalam hati. Mukanya mendadak pucat. Cepat-cepat dia menutupi tubuhnya dengan kain panjang lalu dengan
dada berdebar dia melangkah ke arah pohon salak ke jurusan mana tadi lenyapnya
Nandang. "Nandang... Nandang..." memanggil Sarti. Tak ada jawaban. "Nandang kau di
mana...?" Sarti sampai di dekat pohon salak lalu memandang perkeliling. Tibatiba satu jeritan keras keluar dari mulut Sarti. Kedua matanya seperti hendak
tanggal dari rongganya. Hanya beberapa langkah di hadapannya menggeletak tubuh
Nandang. Tubuh tanpa pakaian itu bergelimang darah penuh luka cabik-cabik. Wajahnya
hampir tak bisa dikenali lagi. Salah satu matanya mencuat keluar, hidungnya
tanggal dan mulutnya sobek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih mengucurkan
darah! Sarti membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam ketakutannya. Namun di
hadapannya tiba-tiba saja muncul seekor binatang besar menghadangnya dengan
mulut berlumuran darah terbuka mengerikan. Kedua matanya seperti bara api
menyala! Untuk kedua kalinya Sarti menjerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya terserandung akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tubuhnya jatuh terduduk. Srigala
besar melangkah mendekati. Saat itulah dalam takutnya Sarti melihat ada sosok
seorang perempuan cantik melangkah di belakang srigala besar itu.
"Tolong... tolong...!" jerit Sarti.
"Perempuan serakah! Tak ada yang bakal bisa menolongmu!" Si cantik di belakang srigala berkata. "Sudah punya suami tak cukup
bagimu! Masih mau main gila dengan lelaki lain! Apa kau kira hanya kau satusatunya perempuan yang hidup di dunia ini"!"
"Tolong! Siapa kau..."!" teriak Sarti.
"Datuk, bunuh perempuan itu!"
Mendengar perintah itu srigala besar meraung panjang lalu menerkam tubuh Sarti.
Perempuan ini masih sempat menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap,
bertukar dengan suara tubuh yang dicabik-cabik srigala itu.
Sosok tubuh Sarti terbujur di tanah dalam keadaan hancur koyak mengerikan. Si
cantik bernama Kemala yang rambutnya tergerai lepas ke bahu sesaat memperhatikan
tubuh itu tanpa bergeming. Lalu dia berkata pada binatang di depannya.
"Datuk, kau boleh pergi sekarang. Kita bertemu lagi tiga puluh hari di muka.
Tepat pada saat purnama tiga belas hari muncul di langit."
Srigala bermata merah itu memutar tubuhnya lalu merunduk seperti menyembah.
Setelah menggereng keras binatang ini melompat ke kiri dan lenyap dalam
kegelapan malam.
Tempat itu kini kembali sunyi senyap. Di langit rembulan masih tampak seindah sebelumnya. Hanya kini ada awan hitam bergerak
menutupi. Perempuan yang tinggal seorang diri di tempat itu terdengar menghela nafas
panjang. Lalu diusapnya wajahnya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu bersamaan dengan
bertiupnya angin malam yang dingin.
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
6 STRI Gandar Seto tidak bisa memicingkan matanya sementara suaminya sudah
tertidur ngorok di sebelahInya. Pikiran perempuan ini masih mengingat pada ketegangan yang terjadi antara
dia dan suaminya di satu pihak dan dengan puteri mereka Ratih Kiranasari.
Setelah bolak-balik beberapa kali akhirnya perempuan ini turun dari tempat
tidur. Di luar kamar dia termenung sesaat sebelum kemudian melangkah menuju
kamar tidur anaknya. Dia tahu Ratih telah mengunci kamar itu dari dalam.
Tetapi entah mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan langsung membukanya.
Agak heran ternyata dia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke dalam. Kamar berada
dalam keadaan gelap. Namun cahaya rembulan yang menyeruak masuk lewat lobang
angin cukup membantu hingga dia dapat melihat keadaan seisi kamar. Di atas
ranjang sama sekali tidak ada sosok tubuh puterinya!
"Ke mana anak itu...?" bertanya istri Perwira Tinggi ini dalam hati.
Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah memastikan Ratih tidak ada dalam kamar, perempuan ini cepat keluar. Dia memeriksa
seluruh rumah. Anak gadisnya tetap tidak ditemukan. Dia segera menuju ke pintu
depan, mem- buka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak tertidur pulas.
Penjaga yang biasa meronda tidak kelihatan.
Perempuan ini tidak dapat lagi menahan rasa khawatirnya.
Setengah berlari dia masuk ke dalam kamar, membangunkan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka lenyap entah ke mana.
"Jangan-jangan dia telah diculik pemuda asing itu Pak-ne!" kata istri Gandar
Seto. Gedung kediaman Perwira Tinggi itu menjadi heboh.
Semua pengawal dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan mereka diperintahkan
untuk segera mencari Ratih Kiranasari. Namun orang-orang itu termasuk Gandar Seto sendiri tidak tahu harus
mencari ke mana. Tejo si kusir tua jadi bingung. Malam itu sebelumnya putri
majikannya itu telah menemuinya dan menanya apakah dia tahu di mana beradanya pemuda bernama Wiro. "Kini kalau dia tiba-tiba lenyap jangan-jangan dia
mencari pemuda itu. Den Ayu Ratih, kenapa senekad itu dirimu..."
Gerak gerik kusir tua yang tidak seperti biasanya itu terlihat oleh Gandar Seto.
Perwira Tinggi ini jadi curiga. Dia menghampiri orang tua ini dan berkata. "Pak Tejo, sikapmu agak lain kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang
terjadi dengan anakku... Selain kami orang tuanya kau adalah orang yang paling
dekat dengan Ratih. Apa yang kau ketahui Pak Tejo"!"
"Saya... saya tidak tahu..." Kusir tua itu bukan saja jadi gugup tetapi juga
mulai ketakutan.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda.
"Ada orang datang!" seru seorang pengawal.
Semua orang yang ada di depan gedung sama
berpaling ke arah pintu gerbang. Seekor kuda ditunggangi dua orang memasuki
halaman dan sampai di tangga depan gedung. Semua orang karuan saja jadi
terkejut. Karena yang duduk di sebelah belakang adalah Ratih Kiranasari sendiri,
sedang di sebelah depan yang memegang tali kekang kuda adalah seorang pemuda tak
dikenal beram- but gondrong. Gandar Seto melompat. Dengan cepat dipegangnya
pinggang puterinya lalu diturunkannya ke tanah. Sepasang matanya memperhatikan
sekujur tubuh anaknya mulai dari rambut sampai ke kaki.
"Ratih, kau tidak apa-apa" Kau barusan dari mana"!"
Gadis itu tak menjawab. Ibunya sudah sampai pula di tempat itu, memeluknya lalu
membimbingnya ke dekat tangga gedung. Gandar Seto kini membelalak memandang pada
si gondrong yang masih duduk di atas kuda dan yang bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Kau siapa"!" bentak Perwira Tinggi itu keras sekali.
Wiro segera turun dari punggung kuda. Dia membungkuk dengan sikap hormat. "Saya Wiro. Saya..." jawab Pendekar 212. Belum sempat
dia meneruskan ucapannya Gandar Seto sudah mendamprat.
"Jadi kau pemuda gelandangan yang..."
"Ayah! Jangan menghina dia!" Tiba-tiba terdengar teriakan Ratih Kiranasari.
Perwira Tinggi itu melotot ke arah anaknya. Hampir terlompat makian dari
mulutnya. Dengan suara bergetar dia berkata. "Kau membelanya! Benar rupanya kau
me- nyukai pemuda ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu orang tua!" Gandar Seto
berpaling pada Wiro. "Berani kau main gila dengan anakku! Kau bawa anakku di
malam buta lalu kau kembalikan lagi dengan cara seperti ini! Benar-benar kurang
ajar! Kupecahkan kepalamu!"
Gandar Seto melompat ke hadapan Wiro.
"Perwira, biar saya jelaskan dulu..." kata Wiro.
Namun jotosan Perwira Tinggi itu sudah menghantam pipi kanannya lebih dulu.
Bukkk! Wiro terjajar dan terpuntir ke belakang. Pipi kanannya tampak memar merah dan
bengkak. Ratih Kiranasari berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat
meme- gang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar Wiro kembali.
"Jangan, Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang menolong saya..."
"Menolongmu" Dia" Si gelandangan ini" Apa yang
sebenarnya terjadi anakku"! Dia membawamu dari rumah ini lalu kau bilang dia
menolongmu!"
"Tidak, saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya tidak sadar apa yang saya
lakukan. Ketika dia menemui saya, saya tergolek di sebuah pondok di pinggiran
Desa Gedangan. Dia lalu membawa saya pulang ke mari..."
"Ceritamu tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti telah diguna-gunainya
hingga bisa keluar malam-malam untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah
kau lakukan pada anak gadisku"!"
Gandar Seto mendorong Ratih Kiranasari ke samping lalu dia menyerbu Wiro dengan
ganas. Si gadis menjerit keras. Dia melompat di antara ayahnya dan Pendekar 212.
Wiro tahu betul serangan yang dilancarkan oleh Perwira Tinggi itu bukan serangan
main-main atau hanya sekedar melampiaskan kemarahan. Tetapi merupakan serangan
ganas yang bisa membunuhnya karena jelas dirasakannya serangan itu disertai
tenaga dalam tinggi. Di Kotaraja siapa yang tidak kenal dengan Perwira Tinggi
Gandar Seto yang dijuluki Manusia Besi. Dia dikabarkan memiliki aji kesaktian yang jika dikeluarkan akan merubah sekujur tubuhnya menjadi sekeras dan
seatos besi. Apa saja yang kena gebuk atau tendangannya pasti akan hancur


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binasa, termasuk tubuh manusia jika kena dihantamnya! Dan kini agaknya dia telah
mengeluarkan aji kesaktiannya itu untuk menyerang Wiro yang dianggapnya telah
melakukan sesuatu yang memalukan atas diri puterinya.
Ratih yang sudah tahu akan ilmu yang dimiliki ayahnya itu dan takut Wiro akan
mendapat celaka cepat menghalangi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya sehingga Perwira Tinggi
itu kini jadi sulit bergerak.
"Anak setan! Lepaskan rangkulanmu!" teriak Gandar Seto. "Atau kepalamu ikut aku
pecahkan saat ini juga!"
"Jangan ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melakukan apa-apa! Dia menemukan
saya dalam keadaan setengah sadar lalu membawa saya ke mari!"
"Anak setan! Siapa percaya ucapanmu!" Gandar Seto menggerakkan tubuhnya tapi
Ratih pun mengencangkan rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak
selain membentak dan memaki habis-habisan.
"Wiro! Pergilah! Lari cepat!" teriak Ratih. Gadis ini khawatir dia tidak bisa
bertahan lama sebelum ayahnya melemparkannya ke tanah.
Pendekar 212 sesaat masih tertegak di tempat itu.
Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih sakit lagi diperlakukan dan
dihina semena-mena seperti itu.
"Pengawal! Jangan biarkan bangsat ini lari! Tangkap dia!" teriak Gandar Seto
sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan puterinya. Delapan orang pengawal
segera menyerbu ke arah Wiro.
"Wiro! Lari!" teriak Ratih sekali lagi.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Lalu sekali lompat saja dia sudah berada di
atas punggung kuda.
Namun empat orang pengawal masih sempat mengejarnya.
Pengawal kelima malah sudah merangkul leher kuda tunggangannya. Di saat itu pula
Gandar Seto hampir dapat melepaskan diri dari pelukan anak gadisnya.
Wiro gerakkan kaki kiri menendang salah seorang pengawal yang coba menarik
pinggangnya. Orang ini terjungkal dan tergelimpang di tanah sambil menjeritjerit kesakitan. Pengawal yang coba menahan lari kuda dengan merangkul leher
binatang itu dihantamnya dengan satu pukulan ke atas batok kepalanya hingga
melosoh jatuh dan pingsan dengan mata melotot. Ketika kudanya mulai bergerak,
seorang pengawal lagi berusaha menghalangi sambil membabatkan sebilah golok
pendek. Wiro jambak rambut orang ini lalu menyeretnya sampai belasan langkah. Di satu tempat orang ini dihempaskannya ke tanah.
Begitu jatuh, kaki kiri kuda sebelah belakang menginjak dadanya. Terdengar suara
berderak patahnya tulang-tulang iga. Pengawal ini menjerit pendek lalu diam
entah pingsan entah mati.
"Kejar!" teriak Gandar Seto marah sekali. Beberapa orang pengawal segera
menyiapkan kuda. Namun gerakan mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar
suara ken- tongan dipukul orang dari arah selatan. Lalu disahuti oleh kentongan lain dari
jurusan berbeda. Malam yang tadinya sepi ini kini jadi ramai oleh suara
kentongan. "Anak kurang ajar!" hardik Gandar Seto marah. Tangan kanannya melayang dan,
plakk! Tamparannya mendarat di pipi Ratih Kiranasari yang sampai saat itu masih
memeluki tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebelah kiri. Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya lalu melangkah pergi.
Sang ayah seperti sadar apa yang telah dilakukannya cepat mengejar, namun saat
itu ada dua orang penunggang kuda memasuki halaman. Begitu sampai di hadapan
Gandar Seto keduanya melompat turun dan menjura. Salah seorang dari mereka
berkata. "Perwira, kami dari Desa Gedangan. Kepala Desa
meng-Zutus kami untuk memberikan laporan. Satu hal mengerikan telah terjadi di
desa kami..."
"Apa yang terjadi di desamu"!" tanya Gandar Seto dengan rahang menggembung tanda
menahan amarah.
"Seorang pemuda desa bernama Nandang ditemukan
mati dalam keadaan muka dan tubuh tercabik-cabik. Di samping mayatnya tergeletak
mayat Sarti, istri penduduk desa bernama Sentot. Keadaannya sama. Mati dengan
tubuh koyak-koyak mengerikan..."
"Gila!" teriak Gandar Seto.
Orang desa yang satu lagi terdengar menambahkan.
"Tubuh Nandang dan Sarti ditemukan tanpa pakaian sama sekali..."
Gandar Seto kepalkan kedua tinjunya. Kepalanya
mendongak. Di langit tak sengaja dia melihat rembulan empat belas hari. Di mata
Perwira Tinggi ini, bulan purnama yang begitu indah terlihat seperti sebuah bola api yang mengerikan. Sekilas
kembali terbayang kematian mengerikan yang terjadi malam kemarin atas diri bawahannya Randu Wulung dan Rumini,
sepasang pengantin yang sangat malang itu. Semua mereka menemui kematian dengan
cara yang sama! Biadab mengerikan!
"Jangan-jangan pemuda gondrong bernama Wiro itu yang melakukannya..." desis
Gandar Seto. Ucapan yang meskipun perlahan ini ternyata masih sempat terdengar oleh Ratih
Kiranasari yang saat itu sesenggukan tenggelam dalam pelukan ibunya. Si gadis
mengangkat kepalanya. Lalu berkata, "Ayah! Kau sungguh keterlaluan! Kini kau
menuduh pemuda itu sebagai pembunuh Nandang dan Sarti!"
Amarah Gandar Seto menggelegak kembali. Dengan
langkah-langkah besar dia mendekati puterinya. Tangan kanannya diangkat siap
untuk menampar lagi. Namun kali ini Perwira Tinggi ini masih bisa menguasai
dirinya. Perlahan-lahan tangannya diturunkan kembali. Dia memandang berkeliling. Begitu dia
melihat kusir tua Tejo, dia segera berkata. "Siapkan kudaku! Kita harus menemui
Patih Kerajaan malam ini juga! Keamanan Kotaraja terancam.
Dua pembunuhan terjadi dua malam berturut-turut!
Seorang pemuda gelandangan yang sangat aku curigai gentayangan bebas! Aku yakin
dia makhluk jahatnya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu!"
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
7 ENDEKAR 212 Wiro Sableng menatap wajah kusir tua yang basah oleh keringat itu
beberapa saat lalu samPbil menggaruk kepala dia berkata, "Kotaraja dan tempat-tempat ramai lainnya
tidak aman bagiku sekarang ini Pak Tua. Perwira Tinggi Gandar Seto kabarnya
telah mengeluarkan perintah untuk mencari dan menangkap diriku hidup atau mati!
Gila! Aku dituduh sebagai pembunuh sepasang pengantin Randu Wulung dan Rumini. Lalu aku juga dikatakan yang
menghabisi pemuda sesat Nandang dan Sarti di Gedangan. Edan!"
"Anak muda, harap kau jangan marah. Apa betul bukan kau yang membunuh keempat
orang itu?"
Kedua mata Pendekar 212 memandang mendelik. "Pak Tua, kalau bukan kau yang
bicara begitu sudah kubetot lepas lidahnya..."
"Jangan marah padaku Wiro. Itulah anggapan semua orang di Kotaraja dan
sekitarnya saat ini. Atau mungkin..."
"Mungkin apa?" tanya Pendekar 212 jadi tambah
jengkel. "Perwira Tinggi majikanku juga punya anggapan semua korban itu mati akibat
koyakan binatang buas. Lalu dia ingat pada cerita puterinya tentang srigala yang
ditemukan di Hutan Jati Mundu. Jangan-jangan srigala itu binatang
peliharaanmu..."
"Itu lebih gila! Lebih edan!" kata Wiro.
"Kalau tidak mengapa binatang buas itu begitu jinak padamu, anak muda...?"
"Itu yang aku tidak mengerti," jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. Lalu dia
berkata, "Saat ini aku tidak lebih dari seorang buronan. Tapi belum ada seorang
petugas pun dari Kotaraja mengetahui kalau aku ada di sini. Kau berhasil mencari
dan menemukanku, Pak Tua. Sungguh hebat! Sekarang katakan apa keperluanmu."
"Terus terang, aku disuruh oleh Den Ayu Ratih. Dia ingin bertemu dengan kau
malam ini..."
"Hemmm..." Wiro kembali garuk-garuk kepala.
"Kau harus menemuinya Wiro. Dia merindukan dirimu tanda dia benar-benar
menyukaimu. Katanya sudah satu minggu lebih dia tidak melihatmu..."
Wiro mengusap pipi kanannya yang masih kelihatan bengkak akibat jotosan Gandar
Seto tempo hari.
"Anak muda, aku tahu kau tentu sangat membenci
ayahnya karena telah memukulmu. Lebih dari itu dia juga telah menuduhmu dan
menjadikan dirimu sebagai seorang buronan. Namun jangan kau melihat semua itu.
Den Ayu Ratih memerlukanmu."
"Baiklah Pak Tua. Di mana aku harus menemuinya?"
tanya Pendekar 212.
"Kau tahu reruntuhan Candi Blorok di timur desa Tumpakrejo?"
Wiro berpikir sebentar lalu mengangguk.
"Den Ayu Ratih akan datang ke sana. Tepat pada pertengahan malam..."
"Sendirian?"
"Aku minta menemaninya. Tapi dia bersikeras akan datang seorang diri..."
"Baiklah. Aku akan menunggu di Candi Blorok," kata Wiro.
Tejo si kusir tua tersenyum. Sebelum pergi dia memberi hormat dan berkata. "Anak
muda, kau orang baik. Kalau kau nanti memang berjodoh dengan puteri majikanku
itu nasibku tentu akan tambah baik..."
*** Di langit tak ada bulan. Bintang pun cuma ada satu dua. Malam gelap, sunyi dan
dingin. Bangunan Candi Blorok yang beberapa bagiannya sudah runtuh tampak
menghitam angker dalam kegelapan malam. Satu bayangan putih berkelebat di belakang candi lalu lenyap dalam kegelapan dan tahutahu dia sudah berada di pelataran candi sebelah dalam. Sesaat dia memandang
berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu, dia lalu pergi duduk di
atas sebuah arca tanpa kepala.
"Memang lebih baik biar aku yang menunggu," kata orang ini dalam hati. Dia
memandang ke langit di atasnya.
"Belum tengah malam," dia kembali membatin. Lalu pikirannya mengelana jauh.
"Walaupun gadis itu menyukaiku setengah mati dan aku memang ada rasa senang padanya, tapi untuk berjodoh
dengan dirinya... Ah! Ini satu hal yang berat. Bahkan tidak mungkin. Apa yang
akan dibicarakannya malam ini" Kalau dia merayuku dengan kecantikan wajah dan
keindahan tubuhnya dan aku tidak bisa bertahan bisa celaka diriku!" Orang yang
duduk di atas arca buntung ini lalu garuk-garuk kepala. Gerakannya terhenti
ketika tiba-tiba dia mendengar ada suara derap kaki kuda di kejauhan. Makin lama
suara itu makin keras tanda semakin dekat dan memang mengarah ke candi di mana
dia berada. Orang itu bangkit dari arca yang didudukinya. Di samping kiri candi dilihatnya mendatangi seorang penunggang kuda. "Ah, dia
datang..." Orang ini menarik nafas lega dan tersenyum. Namun kemudian kedua
matanya menyipit dan senyumnya lenyap. "Eh, bukan dia. Penunggang kuda itu
seorang lelaki, bukan Ratih..." Orang ini melangkah ke dinding candi sebelah
kiri agar bisa melihat lebih jelas.
Begitu dia mengenali penunggang kuda itu parasnya jadi berubah oleh rasa kejut.
"Astaga! Itu Perwira Tinggi Gandar Seto! Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di
tempat ini"!
Jangan-jangan..."
Orang yang datang menunggang kuda coklat memang adalah Perwira Tinggi Gandar
Seto. Dari pakaian ringkas yang dikenakannya serta sebilah golok besar yang
terselip di pinggangnya jelas kalau kedatangannya ke tempat itu bukan suatu
kebetulan belaka. Dan ini segera terbukti.
Setelah hentikan kudanya di depan Candi Blorok, Perwira Tinggi itu lalu
berteriak. "Manusia buronan bernama Wiro! Lekas serahkan diri!
Kau sudah terkurung! Jangan harap bisa lolos!"
Murid Eyang Sinto Gendeng yang memang adalah orang yang berada dalam Candi
Blorok seperti disentakkan.
Kedua matanya membesar ketika memandang berkeliling.
Dari kegelapan di seputar bangunan candi muncul banyak sekali orang. Jumlah
mereka tidak kurang dari seratus.
Sebagian menunggang kuda. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian pasukan
kerajaan. "Kurang ajar! Aku dijebak!" maki Pendekar 212 dengan kedua tangan terkepal. Dia
kembali memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Di samping Perwira Tinggi Seto kini dilihatnya berjejer
enam orang penunggang kuda. Empat di antara mereka adalah perwira-perwira muda
Kerajaan yang dari sikap mereka jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Murid Eyang Sinto Gendeng tidak begitu mengkhawatirkan kehadiran empat perwira
muda itu maupun puluhan prajurit yang telah mengurung seantero bangunan Candi Blorok.
Yang dirisaukannya selain si Perwira Tinggi sendiri terlebih lagi adalah dua
orang yang berada di kiri kanannya. Orang di sebelah kiri seorang nenek berambut
putih jarang, berkulit hitam. Sekilas tampangnya seperti Eyang Sinto Gendeng. Di
keningnya ada sebuah benjolan hampir menyerupai tanduk pendek. Bibirnya sumbing
hingga seluruh gigi atasnya yang masih utuh berwarna hitam tonggos kelihatan
menjorok ke luar, menjijikkan. Di tangan kirinya nenek ini memegang sebuah
pendupaan berisi bara api menyala dan menabur asap kelabu berbau aneh.
Pendupaan itu tentu saja panas sekali tetapi si nenek memegangnya tenang-tenang
saja seperti memegang sebuah kayu.
Pendekar 212 mengingat-ingat. "Kalau aku tidak salah duga nenek berbibir sumbing
itu dikenal dengan julukan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Kepandaian silatnya tidak seberapa. Tetapi pendupaan di tangan kirinya itu telah membuat dirinya
menjadi momok nomor satu dan ditakuti di tanah Jawa ini!" Lalu dalam hati Wiro
memaki-maki dirinya sendiri habis-habisan yang telah berlaku bodoh hingga sampai
tertipu dan terjebak di tempat itu.
"Kusir tua keparat itu, dia ternyata ular kepala dua!"
Wiro mengalihkan perhatiannya pada kakek berpakaian merah yang menunggangi kuda
di sebelah kanan Perwira Tinggi Gandar Seto. Kepalanya yang gundul sengaja dicat
merah. Ketika menyeringai kelihatan gigi-giginya juga dicat merah. "Si Bayangan
Api..." desis Wiro. "Aneh, mengapa jago-jago tingkat tinggi ini bisa bergabung
dengan orang-orang Kerajaan?" pikir Wiro lagi.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini tidak tahu bahwa secara diam-diam Gandar Seto
telah melakukan penyelidikan atas dirinya. Dari beberapa sumber dia kemudian
mengetahui bahwa pemuda bernama Wiro itu sebenarnya adalah Wiro Sableng yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Menyadari siapa
sebenarnya orang buronannya maka itulah sebabnya Gandar Seto membawa serta si
Bayangan Api dan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut, ditambah dengan empat orang
perwira muda berkepandaian tinggi dan puluhan prajurit.
Beberapa orang di Kotaraja yang kenal siapa adanya Pendekar 212 tidak menyetujui
cara Gandar Seto yang langsung melakukan pencarian terhadap Wiro. Mereka
mengusulkan agar menghubungi Sinto Gendeng terlebih dahulu di Gunung Gede karena
mereka tidak bisa percaya begitu saja kalau murid nenek sakti itu kini telah
menjadi orang jahat dan melakukan pembunuhan keji di beberapa tempat. Namun
Gandar Seto dapat meyakinkan Patih Kerajaan bahwa tindakannya adalah benar dan
harus cepat dilaksanakan sebelum pemuda buronan itu kembali melakukan pembunuhan
lagi. Di samping itu Gandar Seto juga menyimpan dendam tertentu terhadap
Pendekar 212. Dia menganggap pemuda ini juga menjadi biang racun yang hendak menjerat
puterinya. "Pendekar 212 Wiro Sableng!" teriak Gandar Seto.
"Apakah kau nyatanya begini pengecut tidak berani menyerahkan diri"!"
Wiro tentu saja terkejut ketika orang menyebut gelar dan nama panjangnya. "Dari
mana keparat ini tahu siapa diriku," katanya dalam hati dan masih tetap
berlindung di balik dinding candi.
Dari atas kudanya Perwira Tinggi Gandar Seto kembali berteriak. "Pendekar 212!
Jika kau tidak mau menyerahkan diri maka aku akan menyerbu ke dalam candi!"
"Sialan! Dia benar-benar tahu kalau aku berada di tempat ini!" maki murid Eyang
Sinto Gendeng. Sambil mengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan akhirnya dia
keluar dari balik dinding dan melangkah menuruni bagian depan Candi Blorok. Tiga
langkah dari depan reruntuhan tangga Pendekar 212 berhenti. Dia memandang pada
Gandar Seto dan bertanya.
"Aku sudah berada di hadapanmu. Katakan apa keper

Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luanmu Perwira Tinggi!"
"Kau yang harus mengatakan apa kau mau ditangkap hidup-hidup dengan tubuh utuh
atau ingin menyerahkan diri setelah sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai ke
kaki kami cincang lumat!" Gandar Seto menjawab dengan pelipis bergerak-gerak dan
rahang menggembung tanda dia mulai mendekati puncak amarahnya.
"Perwira, kau ingin menangkap dan mencincang diriku!
Katakan apa salahku!"
Gandar Seto keluarkan suara mendengus. "Lagakmu sungguh hebat! Kau membunuh
secara keji empat orang tak berdosa. Kau bahkan menculik puteriku..."
"Tuduhan dusta! Kau punya bukti kalau aku yang membunuh empat orang itu" Kau juga punya bukti bahwa aku menculik puterimu" Padahal
puterimu sendiri mengatakan aku tidak menculiknya. Aku menemuinya dalam keadaan
setengah sadar di dekat Gedangan!"
Perwira Tinggi itu menggerakkan tangannya. Empat orang perwira muda melompat
turun dari kuda masing-masing, langsung mengurung Pendekar 212.
"Manusia iblis ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama. Cincang sampai
lumat!" perintah Gandar Seto kemudian.
Empat golok besar mengeluarkan suara berseresetan begitu dicabut dari sarungnya.
Tanpa menunggu lebih lama keempat perwira muda yang mengurung menyerbu Wiro.
Empat bilah golok besar berkelebat dalam kegelapan malam.
Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya merunduk.
Bersamaan dengan itu dia hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua orang perwira
muda berteriak kesakitan. Tubuh mereka mencelat mental lalu terhampar di tanah.
Megap-megap sebentar setelah itu pingsan tak berkutik lagi.
Dua bilah golok lagi datang membabat dari belakang.
Murid Eyang Sinto Gendeng jatuhkan diri ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu membalik
sambil kaki kanan menendang.
Terdengar dua kali suara bergedebukan. Dua perwira muda yang tadi menyerang dari
belakang sama-sama menjerit.
Yang satu langsung roboh begitu tulang kering kaki kirinya patah dihantam
tendangan Wiro. Satunya lagi mencelat lalu terkapar di tanah dengan perut pecah.
Nyawanya tidak ketolongan lagi!
Selagi Wiro bergerak bangkit, Gandar Seto yang sudah gatal tangan menarik tali
kekang kudanya. Binatang ini melompat ke depan ke arah Wiro. Bersamaan dengan
itu Perwira Tinggi lepaskan satu pukulan jarak jauh. Serangkum angin menderu menyambar Pendekar 212 membuat tubuhnya bergetar keras. Dia
merasakan seperti ada sebuah jaring yang tak kelihatan membungkus tubuhnya.
Sebelum dirinya menjadi tidak berdaya, Wiro jatuhkan tubuh ke tanah lalu
berguling ke kiri guna menghindari injakan empat kaki kuda tunggangan Gandar
Seto. Ketika Perwira Tinggi itu berusaha memutar kudanya dan hendak menyerang
kembali, Pendekar 212 untuk pertama kalinya lepaskan serangan balasan. Dia
berlaku cerdik. Dia tidak menghantam ke arah Gandar Seto. Yang ditujunya justru
kuda tunggangan Perwira Tinggi itu. Kuda betina ini meringkik keras sewaktu
angin pukulan jarak jauh yang dilepaskan Wiro melabrak rusuknya. Tubuhnya
terhuyung ke kiri. Selagi penunggangnya berusaha mengendalikan kuda itu, Wiro
kembali menghajar dengan pukulan sakti berikutnya yaitu Benteng Topan Melanda
Samudera. Angin sederas topan prahara membuat kawasan di
sekitar Candi Blorok jadi bergetar. Gandar Seto dan kudanya terhempas ke kiri. Sebelum binatang ini jatuh tersungkur Perwira Tinggi itu sudah lebih dulu melompat ke udara.
Gerakannya melompat disertai dengan gerakan mencabut golok besar di pinggang.
Begitu dia menukik, tubuhnya kelihatan melesat ke arah Wiro. Senjata di
tangannya menyambar ganas. Yang diincar adalah batang leher murid Sinto Gendeng
itu! Untuk kesekian kalinya Wiro terpaksa jatuhkan diri.
Hanya kali ini gerakan mengelak itu disertai dengan tendangan kaki ke arah tangan lawan yang memegang senjata.
Kraakk! Terdengar suara patahan tulang begitu kaki kanan Wiro menghajar lengan Gandar
Seto. Perwira Tinggi ini menjerit keras. Goloknya terlepas mental sedang tangan
kanannya kelihatan mengambai-ambai!
Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja sangat terkejut menyaksikan apa
yang terjadi. Gandar Seto yang dikenal dengan julukan Manusia Besi, memiliki
tubuh atos tak mempan senjata tajam, kini ternyata mengalami hari naas. Kena
diciderai hingga patah lengan kanannya! Iblis Sumbing diam-diam merasa tidak
enak sedang si Bayangan Api sesaat tampak tertegun. Mereka jadi berpikir.
Rupanya nama besar Pendekar 212 bukan satu nama kosong belaka!
Beberapa orang perajurit cepat bergerak hendak
menolong Perwira Tinggi yang cidera itu. Namun saat itu kakek berpakaian dan
berkepala botak merah sudah mendahului. Sekali dia berkelebat turun dari
kudanya, tubuhnya berubah laksana sambaran api. Di lain kejap tahu-tahu dia
sudah merangkul Gandar Seto yang kemudian dibawanya ke tempat yang lebih aman.
"Harap kau tidak bergerak dari tempat ini Perwira.
Kulihat cideramu cukup parah!" kata si Bayangan Api. "Biar aku yang akan
menangkap pemuda itu. Aku akan menghajarnya sampai lumat lebih dulu sebelum kuhabisi nyawanya..."
Ketika dia hendak melangkah mendekati Wiro, nenek berjuluk Iblis Sumbing Pembawa
Pendupa Maut sudah memajukan kudanya seraya berkata. "Sobatku, kau jaga saja
perwira itu. Biar aku yang menangani kecoak satu ini!"
Lalu sambil meninggikan tangannya yang memegang pendupaan, nenek itu mengarahkan
kudanya mendekati Wiro. "Manusia bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar 212
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede! Apa kau sudah tahu kalau nyawamu hanya
tinggal beberapa kejapan lagi?"
Karena mulutnya sumbing maka kata-kata yang
diucapkannya terdengar lucu dan sulit dimengerti Wiro.
Seumur-umur baru kali itu dia mendengar orang sumbing bicara. Maka pemuda ini
pun berkata. "Nek, kalau bicara biar betul. Jangan telo seperti orok!
Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan!" Brengseknya waktu bicara ini Wiro
sengaja menirukan suara si nenek yang tidak karuan! Tentu saja hal ini membuat
Iblis Sum- bing Pembawa Pendupa Maut menjadi marah setengah mati. Tangan kirinya yang
memegang pendupaan diturunkan sejajar bahu. Kepulan asap kelabu berbau aneh semakin menggebubu.
Tiba-tiba dari mulut yang sumbing itu keluar suara pekik menggidikkan. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya bergerak. Tahu-tahu dari tangan si nenek ada lima
buah senjata rahasia berbentuk paku menyambar ke arah murid Sinto Gendeng.
Dari sinar redup hitam yang keluar dari lima buah senjata rahasia itu Wiro
segera maklum kalau senjata-senjata terbang itu mengandung racun jahat. Maka dia
segera menghantam dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Lima senjata
rahasia berbentuk paku mencelat bermentalan. Tapi si nenek justru malah tertawa
nyaring. Kepalanya merunduk seperti hendak mencium Wiro. Pendupaan di tangan
kirinya didekatkan ke mulut.
Wiro kirimkan satu jotosan kilat ke lambung lawan yang masih berada di atas
punggung kudanya ini. Tapi tiba-tiba sekali si nenek meniup. Asap kelabu berbau
aneh menyambar ke arah muka Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menutup jalan
nafasnya dan berusaha melompat menjauhi. Namun terlambat! Hawa aneh yang keluar
dari asap kelabu itu telah lebih dahulu menyusup memasuki hidung dan mulutnya.
Saat itu juga Wiro merasakan kepala dan kedua matanya menjadi sangat berat.
Sekujur anggota badannya terasa lemah. Dia seperti amblas ke dalam sebuah lobang
gelap dan tidak sadarkan diri lagi. Jatuh tergelimpang di depan kaki kuda
tunggangan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Nenek tua ini tertawa mengekeh lalu memandang pada si Bayangan Api. "Kau tunggu
apa lagi sahabatku" Lekas ringkus pemuda itu. Kita bawa ke hadapan Patih
Kerajaan agar dia segera dijatuhi hukuman mati. Atau ada yang akan
mempesianginya saat ini juga"!"
"Aku yang akan menghabisinya!" kata Gandar Seto lalu dengan susah payah berusaha
berdiri. "Pinjami golokmu!"
katanya pada seorang prajurit yang tegak di sampingnya.
"Dimas Gandar. Tak perlu susah-susah. Biar kuseret pemuda keparat ini ke
hadapanmu!" kata si Bayangan Api pula. Lalu dicekalnya salah satu pergelangan
kaki Wiro. Tubuh pemuda itu kemudian diseretnya ke hadapan si Perwira Tinggi. Rahang Gandar
Seto tampak menggembung. Matanya berkilat. Golok yang di tangan kiri digenggamnya erat-erat. Begitu sosok Wiro dilemparkan di hadapannya, dengan bergegas Perwira Tinggi ini ayunkan senjatanya ke arah batang
leher Pendekar 212!
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
8 URID Sinto Gendeng hanya bisa terima nasib. Dia menghadapi kematian dengan
sepasang mata Mtidak berkesip sementara golok di tangan kiri
Gandar Seto membabat deras ke bawah. Sesaat lagi bagian tajam dari senjata itu akan menebas putus batang lehernya tiba-tiba entah
dari mana munculnya satu bayangan berkelebat. Gerakan tubuhnya mengeluarkan angin deras. Tubuh Gandar Seto
tahu-tahu terjajar sampai tiga langkah. Dari mulutnya keluar seruan pendek
disusul dengan terlepas mentalnya golok yang ada di tangan kirinya!
"Manusia kurang ajar! Siapa kau"!" teriak Perwira Tinggi itu. Ketika dia dan
semua orang yang ada di situ memandang ke depan, mereka menyaksikan satu pemandangan yang sulit dipercaya!
Seorang gadis berpakaian hijau gelap tegak di tengah kalangan perkelahian dengan
memanggul tubuh Pendekar 212 di bahu kirinya. Pandangannya tampak bengis tetapi
kebengisan ini tidak melenyapkan kecantikan wajahnya.
"Ada bidadari nyasar dan ikut campur urusan kita..."
kata si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh.
"Siapa kau"'" Gandar Seto kembali membentak.
"Mengapa kau menginginkan pemuda itu"!" ikut membentak Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Lalu si Bayangan Api menimbrung kembali. "Apa hubunganmu dengan Pendekar 212"!"
Gadis di tengah kalangan menyeringai sinis.
"Siapa aku kalian tak layak bertanya. Mengapa aku inginkan pemuda ini bukan
urusan kalian. Apa hubunganku dengan dirinya perlu apa kalian mengetahui"!"
"Gadis cantik! Lagakmu sombong banget!" kata si Bayangan Api sambil usap-usap
kepalanya yang gundul dan dicat merah itu. Mata kirinya dikedipkan berkali-kali.
"Dengar, berikan pemuda itu pada kami!"
"Untuk apa"!" tanya gadis cantik itu.
"Kau tak layak bertanya!" jawab si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh. Kedua
tangannya diulurkan ke depan.
"Lekas serahkan pemuda itu padaku! Atau aku akan mengambilnya bersama-sama
tubuhmu sekaligus!"
"Tua bangka buruk berkepala seperti pantat monyet!"
bentak si gadis yang memanggul Wiro. "Kalau kau merasa mampu coba kau rampas
pemuda ini dariku!"
Tampang si Bayangan Api jadi tampak merah seperti udang rebus. "Gadis yang masih
bau pupuk! Rupanya kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hingga bicara
kurang ajar seenaknya!"
"Aku cukup tahu siapa kau! Gelarmu si Bayangan Api.
Kau mengerjakan apa saja asal dibayar. Seperti tadi aku bilang, kepala botakmu
yang merah sama dengan pantat monyet."
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Yang tertawa ternyata adalah Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
"Kau gadis kocak! Celotehmu enak didengar. Aku mulai suka denganmu. Gadis
jelita, apakah kau juga tahu siapa diriku?" Sambil berkata begitu nenek berbibir
sumbing yang keningnya ada benjolan seperti tanduk ini melangkah mendekati si
gadis. Yang didekati tenang saja seolah tidak takut sama sekali.
"Kau minta aku menerangkan siapa dirimu"!" Gadis di tengah kalangan sunggingkan
senyum. "Aku mulai dengan usiamu nenek tua! Umurmu saat ini kalau aku tidak
salah duga sudah hampir tujuh puluh! Benar"!"
"Eh, kau benar!" jawab si nenek dan diam-diam merasa heran.
"Kau datang dari Madura, mencari makan di tanah Jawa. Betul"!"
"Ah, kau juga betul!" jawab Iblis Sumbing mangkel tapi tambah heran.
"Kau dijuluki orang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut!"
"Kau gadis hebat. Pasti kau seorang tokoh persilatan baru yang mulai naik daun!"
Memuji si nenek.
"Apa sudah cukup penjelasanku tentang dirimu"!"
"Eh!" Si nenek jadi agak tersentak. Kini dia mulai merasa tidak enak. "Apa lagi
yang kau ketahui tentang diriku?"
"Banyak!"
"Misalnya?"
"Bukan misalnya. Tapi nyatanya! Kau mau dengar?"
"Bilang saja!"
"Kau tidak bakalan malu nantinya"!"
"Gadis sialan! Malu" Mengapa musti malu"!"
Si gadis perdengarkan suara tertawa panjang. "Baiklah, akan kukatakan apa
adanya. Bibirmu sumbing bukan cacat dari lahir. Seorang musuh merobek bibirmu
itu!" "Astaga!" Si nenek terkejut dalam hati. "Siapa gadis ini sebenarnya. Mengapa dia
tahu banyak tentang diriku?"
"Orang itu membuatmu cacat dalam satu perkelahian.
Gara-gara kau menculik anak gadisnya. Betul...?"
Wajah buruk Iblis Sumbing berubah gelap. "Cukup!
Hentikan ocehanmu! Sekarang serahkan pemuda itu padaku dan lekas minggat dari
sini!" "Ha... ha...! Sekarang kau takut sendiri mendengar ocehanku. Padahal aku belum
selesai! Aku tahu kau bangsa perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu.
Karena itu seumur-umur kau tidak pernah kawin! Kau lebih suka bercinta dengan
perempuan..."
"Gadis sundal haram jadah! Biar kurobek mulut
kotormu!" Iblis Sumbing menggembor lalu tangan kirinya tiba-tiba berkelebat ke
arah muka si gadis. Yang diserang tundukkan kepala dan pukulkan tangan kanannya
untuk menangkis. Karena menganggap enteng, si nenek tidak berusaha menghindari
terjadinya bentrokan lengan.
Bukkk! Gadis jelita yang memanggul tubuh Wiro merasakan lengannya bergetar keras.
Sebaliknya Iblis Sumbing keluarkan jerit kesakitan. Tangannya seperti dipukul besi. Rasa sakit pada lengannya
itu menjalar ke seluruh tubuh hingga dia terhuyung-huyung sampai tiga langkah.
Marah dan malu membuat si nenek jadi kalap.
Didahului oleh satu teriakan dahsyat si nenek melompat ke depan. Pendupaan di tangan kirinya diturunkan ke muka. Asap kelabu
mengepul deras. Lalu dia meniup kuat-kuat, Wusss!
Asap kelabu yang menebar bau aneh dan sangat
berbahaya menderu ke muka si gadis, langsung masuk ke rongga hidung dan
mulutnya. Sesaat dia tampak seperti kelagapan. Iblis Sumbing tertawa panjang.
Sekejapan lagi gadis ini akan tidak berdaya, limbung lalu jatuh seperti apa yang
telah terjadi dengan pemuda yang barusan ditolongnya. Tetapi alangkah terkejutnya si nenek ketika melihat gadis di hadapannya itu
bukannya jatuh malah dari mulutnya terdengar suara tawa panjang menimpali suara tawanya sendiri! Selagi perempuan tua ini dibungkus rasa kaget tiba-tiba si gadis
runcingkan mulutnya dan meniup asap kelabu yang mengepul keluar dari dalam
pendupaan. Wusss! Kepulan asap itu kini berhembus deras ke arah si pemilik pendupaan. Senjata
makan tuan! Iblis Sumbing menjerit keras. Kedua matanya terasa perih dan karena dia barusan
membuka mulut begitu lebar, kepulan asap serta merta memenuhi mulutnya terus
memasuki rongga-rongga pernafasan. Akibatnya tak tertolong lagi. Sekujur
tubuhnya menjadi lemas. Mata dan kepalanya terasa berat. Sesaat kemudian tak
ampun lagi tubuhnya amblas jatuh ke tanah.
Kakek bergelar si Bayangan Api cepat menolong Iblis Sumbing sementara Gandar
Seto melompat ke arah gadis yang memanggul Wiro sambil berteriak pada anggota
pasukannya untuk bantu menyerang. Puluhan perajurit berserabutan melakukan


Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyerangan. Gadis yang jadi bulan-bulanan serangan tertawa nyaring. Tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas. Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuhnya. Sulit sekali dicari orang pandai yang mampu melompat setinggi itu
sambil membawa beban manusia di bahunya!
"Kejar! Jangan biarkan dia melarikan diri!" teriak Gandar Seto.
Beberapa perajurit melemparkan golok dan tombak mereka. Tetapi tak satu pun yang
mengenai sasaran,
"Keparat! Seharusnya aku membawa serta pasukan
panah!" maki Gandar Seto. Dalam keadaan salah satu tangannya patah begitu rupa
Perwira Tinggi ini mencoba menyusul melompat ke atas sambil lepaskan satu
pukulan tangan kosong. Tapi hantamannya luput. Sosok tubuh si gadis dilihatnya
berkelebat turun ke arah kiri candi.
"Biar aku yang mengejar!" Di bawah sana terdengar suara teriakan si Bayangan
Api. Seperti angin dia berkelebat ke samping kiri Candi Blorok. Dia masih sempat melihat bayangan si gadis. Serta merta kakek ini lepaskan pukulan sakti. Tapi
serangannya hanya menghantam pinggiran candi. Bangunan yang kena hantam ini
hancur berserakan.
"Gadis keparat! Apa kau kira bisa lolos dari tanganku!"
kertak si Bayangan Api. Tidak percuma dia mendapat gelar seperti itu. Sekali dia
bergerak tubuhnya tenyap dan hanya bayangan merah tertinggal di belakangnya.
Saat itu dia sudah berada di bagian candi yang lain. Di satu tempat gelap dia
kembali melihat bayangan orang yang dikejarnya.
Dengan geram orang tua berkepala botak ini keruk saku pakaian merahnya. Setengah
lusin senjata rahasia berupa panah-panah kecil berwarna merah melesat dalam
kege- lapan malam meninggalkan cahaya merah panjang seperti nyala api di ekornya.
"Pasti kena!" kata si Bayangan Api penuh yakin karena selama ini tidak ada yang
bisa lolos dari serangan senjata rahasianya itu. Ia berkelebat menyusul ke arah
lesatan senjatanya, Tapi dia jadi terperangah dan berseru kaget ketika tiba-tiba
dari depan dilihatnya ada satu gelombang angin dahsyat yang membuat lima panah
merah yang tadi dilepaskannya berbalik dan menghantam ke arah dirinya sendiri
pada lima sasatan yang sulit dielakkan!
"Perempuan celaka. Kurang ajar!" maki si Bayangan Api panjang pendek. Dia
jatuhkan diri ke tanah. Tiga anak panah lewat di atas tubuhnya. Anak panah ke
empat menembus leher pakaiannya. Anak panah ke lima menancap di bahu kirinya. Si botak tua ini menjerit kesakitan!
WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
9 AWA aneh berasal dari asap kelabu pendupaan Iblis Sumbing yang membuat Pendekar
212 jadi lumpuh
Htak berdaya perlahan-lahan keluar dari rongga
hidungnya setiap dia bernafas. Perlahan-lahan pula dia mulai sadar dan ingat apa
yang telah dialaminya. Dalam keadaan masih lemas dia hanya bisa berdiam diri di
atas panggulan bahu kiri perempuan yang melarikannya. Wiro berusaha melihat
wajah orang yang menolongnya itu tapi tak berhasil.
"Kuharap saja tuan penolongku ini bukan seorang nenek sakti berwajah
menyeramkan," kata Wiro dalam hati. "Bau tubuhnya harum semerbak. Ilmu larinya
tinggi sekali. Dia memiliki tenaga luar biasa. Siapa perempuan ini sebenarnya?"
Wiro coba mengingat-ingat. "Mungkin Pandansuri, anak angkat mendiang Raja
Rencong Dari Utara" Tak mungkin dia berada sejauh ini sampai ke tanah Jawa.
Barangkali Anggini, murid Dewa Tuak..." Wiro berusaha memutar kepalanya agar
dapat melihat wajah perempuan yang memanggulnya. Tapi masih susah.
"Anggini selalu mengenakan pakaian ungu. Agaknya bukan dia. Astaga! Janganjangan Dewi Bunga Mayat!" Wiro kembali mengingat lebih dalam. "Ah, bukan dia.
Dewi Bunga Mayat selalu berkebaya putih dan mengenakan kain panjang. Tubuhnya
menebar harum bunga kenanga. Yang mendukungku ini memiliki wewangian semerbak
yang tak pernah aku baui sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya..."
Selagi berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba Wiro merasakan orang yang
memanggulnya menghentikan larinya. Lalu perlahan-lahan tubuhnya diturunkan,
dibaringkan di atas tanah. Wiro tidak perdulikan di mana dia berada. Yang
dilakukannya saat itu adalah segera melihat wajah orang di sampingnya itu. Hati
sang pendekar jadi berdebar. Kedua matanya membesar dan mulutnya berdecak
melihat bahwa orang yang menolongnya ternyata seorang gadis muda berwajah
cantik. Dia mengenakan baju ringkas warna biru.
Seperti mendapat kekuatan Wiro bangkit dan duduk di tanah. Karena si gadis
bersimpuh di sebelahnya maka tubuh dan wajah mereka berada begitu dekat.
Sepasang mata bening sang dara memandang tak berkedip padanya.
"Gadis cantik tuan penolong. Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana.
Kalau aku boleh tahu siapa kau ini adanya?"
Gadis di samping Wiro tersenyum mendengar ucapan itu. "Tolong menolong adalah
satu keharusan dalam dunia persilatan. Memberitahu siapa diriku bukan satu keharusan," berkata sang dara.
Wiro tertawa lebar. "Ah, bagaimana aku akan mengingat budi orang. Kalau namanya saja aku tidak tahu... Dan aku bukan cuma
berhutang budi. Tapi nyawa. Kau telah menyelamatkan diriku dari nenek bermulut
sumbing itu."
"Sudah, hal itu tidak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting sekarang kau sudah
selamat. Dan aku harus segera meninggalkan tempat ini."
Wiro memandang berkeliling. Ternyata dia dan gadis penolongnya itu berada di
puncak sebuah bukit kecil.
Ketika dilihatnya si gadis hendak berdiri, cepat Wiro memegang tangannya. Untuk
sesaat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
"Sahabatku yang cantik. Sebelum pergi beritahu siapa namamu. Dan katakan apa
yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu."
Gadis itu masih menatap Wiro beberapa jurus lamanya lalu berkata. "Aku bisa
memberikan seribu nama padamu."
"Kalau begitu sebutkanlah. Siapa tahu aku bisa menghafalnya," jawab Wiro sambil menahan tawa.
"Kau cerdik dalam kelucuanmu Pendekar 212!"
"Eh, dia tahu siapa diriku!" membatin Wiro.
"Namaku Kemala. Panggil aku dengan nama itu."
"Namamu indah, wajahmu cantik. Aku benar-benar
seperti kedatangan bidadari." Wiro lalu lepaskan pegangannya pada tangan si gadis. "Terima kasih. Aku akan mengingat nama itu
sepanjang zaman. Kalau saja aku bisa bertemu lagi kelak..."
"Pendekar 212. Ada satu cara jika kau memang ingin membalas budi kebaikanku."
"Katakanlah."
"Temui seorang gadis bernama Ratih Kiranasari. Dia menyukaimu. Bukan cuma suka
tapi juga cinta. Bawa dia ke mana kau pergi. Ambil dia jadi istrimu..."
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi melengak. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Gadis bernama Kemala juga berdiri. Keduanya berdiri berhadap-hadapan.
"Permintaanmu terlalu berat. Tidak mungkin kupenuhi.
Bagaimana kau bisa tahu..."
"Kabulkan saja harapanku. Sekarang aku harus pergi,"
kata sang dara.
"Tunggu!" ujar Wiro. "Aku bisa memenuhi permintaanmu menemui puteri Perwira Tinggi itu. Tapi aku tak mungkin membawanya ke mana aku pergi. Apa lagi mengambilnya jadi istri. Orang gelandangan macam aku ini..."
Gadis di hadapan Wiro maju selangkah. "Kalau dengan aku, kau mau..."!" Wiro jadi
salah tingkah dan garuk-garuk kepala. Dia tak bisa menjawab. Jantungnya berdetak
keras membuat debaran pada dadanya.
Kemala berdiri sangat dekat di hadapannya. Dia dapat merasakan hembusan nafas
gadis cantik itu. Si gadis berjingkat. Tubuhnya kini hampir sama tinggi dengan
Pendekar 212. Kedua tangannya digelungkan di belakang leher Wiro. Kepalanya
diangkat. Sesaat kemudian bibirnya menempel di permukaan bibir Wiro. Ketika sang
pendekar memberikan reaksi, Kemala mengecup bibir pemuda itu penuh nafsu. Wiro
siap merangkul dan balas melumat bibir yang membara itu. Namun dia hanya
merangkul angin.
Kemala secara luar biasa cepatnya berkelebat pergi. Di satu tempat dia berhenti
lalu mengusap wajahnya dua kali.
Setelah itu dia pun lenyap dari tempat itu.
Di atas puncak bukit itu kini hanya Pendekar 212
seorang diri tenggelam dalam kegelapan malam.
Wiro termangu sambil garuk-garuk kepala. "Ilmunya luar biasa. Kecupannya membuat
aku seperti mau gila. Gadis aneh. Muncul menolong secara aneh. Perginya juga
aneh. Sebelum pergi meninggalkan pesan aneh! Gila! Bagaimana aku harus kawin dengan
puteri Perwira Tinggi itu" Ayahnya saja benci setengah mati padaku. Ingin
membunuhku! Ah!
Bagaimana ini! Daripada kawin biar aku menanggung dosa mungkir janji! Melanggar
pesan orang! Kalau dengan dia sih... ah!" Wiro tidak meneruskan ucapannya.
*** Tepat tigapuluh hari berlalu sejak kematian mengerikan menimpa diri Sarti dan
Nandang di Desa Gedangan, pagi hari itu Kotaraja digemparkan oleh peristiwa
pembunuhan yang bentuk serta keadaannya sama dengan yang dialami Sarti dan
Nandang serta Randu Wulung dan Rumini. Korban kali ini adalah puteri sulung seorang bangsawan yang baru melangsungkan
perkawinan selama tiga bulan di mana sang isteri berada dalam keadaan hamil
muda. Keduanya ditemukan telah jadi mayat dalam kamar tidur.
Sekujur muka serta badan luka dicabik-cabik mengerikan.
Perwira Tinggi Gandar Seto didampingi oleh Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut
serta si Bayangan Api pagi itu juga segera menemui Patih Kerajaan. Tangan
kanannya yang patah tampak dibalut dan masih belum begitu sembuh.
Tanpa banyak basa basi dan peradatan segala, Perwira Tinggi itu langsung saja
bicara menyangkut masalah besar yang telah menggemparkan Kotaraja itu.
"Paman Patih, ini adalah kali yang ketiga sepasang orang yang sedang berkasihkasihan menemui ajal. Dibunuh secara keji dan kejam. Saya meminta izinmu untuk melakukan sesuatu...!"
Patih kerajaan mengusap janggut putihnya. "Apa yang hendak kau lakukan Dimas
Gandar?" "Saya akan memperbanyak menyebar mata-mata di
seluruh negeri. Si pembunuh harus segera dibekuk batang lehernya! Kalau tidak
pasti korban-korban berikutnya akan segera menjadi mangsa si pembunuh biadab
itu!" Patih kerajaan mengangguk. "Aku setuju sekali maksudmu itu Dimas Gandar. Kalau aku tidak salah ingat, bukankah kau pernah
mengatakan bahwa kau sudah tahu siapa orangnya. Yaitu seorang pendekar sesat
bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" Bukti perbuatan
jahatnya masih tampak pada tangan kananmu yang cidera."
Paras Perwira Tinggi Gandar Seto tampak menjadi kemerahan.
"Betul sekali Paman Patih. Pencarian atas dirinya tetap kami lakukan... Hanya
saja saya mulai merasa adanya sedikit keraguan. Jangan-jangan bukan dia
pelakunya."
"Semua urusan kuserahkan padamu Dimas Gandar.
Kalaupun bukan dia orangnya, apakah kau tidak bermaksud menangkap pemuda itu" Bagaimanapun juga dia telah mencelakaimu. Dan pernah
menculik puterimu."
Gandar Seto terdiam.
"Bagaimana keadaan puterimu sekarang Dimas Gandar?" Patih kerajaan mengalihkan pembicaraan setelah melihat sang perwira
seperti tertekan tidak enak.
"Ratih Kiranasari ada dalam keadaan baik-baik saja Paman Patih. Terima kasih
atas perhatianmu."
Patih tua itu mengangguk. Dia memandang pada dua orang yang ikut menemani
bawahannya itu lalu berkata.
"Kulihat kau membawa serta dua orang sahabat berkepandaian tinggi yang bisa diandalkan. Lalu apa sulitnya menangkap si pembunuh
biadab dan mencari Pendekar 212 Wiro Sableng?"
Karena Gandar Seto tak bisa menjawab maka si
Bayangan Api lalu membuka mulut. "Seperti Paman Patih ketahui kami bertiga
pernah menjebaknya di Candi Blorok.
Tapi kita lihat saja hasilnya. Pendekar 212 bukan seorang pendekar tingkat
bawah. Kami memang berniat untuk memburunya sampai kapan pun. Namun sekali ini
kami tidak saja harus mengandalkan kepandaian tapi juga kecerdikan. Apalagi tiga
kali pembunuhan itu kami rasa ada sisi keanehannya di balik kekejaman dan
kekejian nyata yang kita lihat."
"Hem... aneh bagaimana maksudmu?" tanya Patih
Kerajaan, "Tiga kali pembunuhan terjadi atas diri lelaki perempuan yang merupakan pasangan saling berkasih sayang, walau satu pasang yaitu
Nandang dan Sarti merupakan pasangan sesat memalukan. Lalu hal lain yang kami
per- hatikan, ketiga pembunuhan itu terjadi pada setiap bulan purnama. Selanjutnya
kematian mereka dalam cara yang sama yaitu mati seperti dicabik-cabik binatang
buas. Menurut beberapa orang yang mengetahui, menjelang saat terjadinya peristiwa
mengerikan itu terdengar seperti suara lolongan anjing! Hal lain, Den Ayu Ratih,
puteri Perwira Tinggi Gandar Seto mengatakan pernah melihat seekor srigala
berkeliaran di Hutan Jati Mundu. Bukan mustahil binatang ini pembunuhnya. Tapi
dia tidak seorang diri.
Pasti ada yang memelihara dan memerintahkannya. Kami bertiga tadinya yakin
Pendekar 212 yang memelihara binatang buas itu. Namun seperti tadi yang
dikatakan Perwira Tinggi Gandar Seto, kami mulai merasa ragu. Apa benar dia
terlibat dalam semua pembunuhan itu atau tidak."
"Segala keanehan akan tetap terpendam aneh. Semua hal yang bersifat rahasia akan
tetap tidak terungkap jika kita tidak memecah dan mengungkapkannya. Oleh karena
itu sekali lagi aku katakan, kalian bertiga aku tugaskan untuk menyingkap
keanehan dan misteri ini, menangkap pelakunya. Entah dia itu seekor binatang
buas, seorang manusia atau punsetan iblis! Jika kalian merasa masih kurang kuat,
aku bersedia menghimpun beberapa orang pandai lagi untuk membantu..."
"Terima kasih atas petunjuk Paman Patih," kata Gandar Seto pula. "Biarlah kami
bertiga dulu meneruskan pengusutan. Bilamana dirasakan perlu akan tenaga tambahan kami tentu akan memberitahu
Paman Patih. Sekarang kami bertiga mohon diri..."
Patih Kerajaan berdiri dari kursinya lalu mengantarkan ketiga orang itu sampai
ke pintu. WIRO SABLENG PURNAMA BERDARAH
10 ALAM sebelum pagi yang menggemparkan itu.
Seorang berpakaian biru gelap berlari kencang dari Mjurusan timur. Dari
rambutnya yang riap-riapan jelas dia adalah seorang perempuan. Hampir dia sampai
ke pinggiran Kotaraja di kawasan timur itu tiba-tiba perempuan ini hentikan larinya. Cahaya rembulan tiga belas hari menimpa kepala dan
tubuhnya. Ternyata perempuan ini adalah seorang gadis muda berwajah cantik
jelita. Si gadis menoleh ke belakang. Lalu memandang berkeliling. "Jelas tadi kurasa ada seseorang mengikuti. Tapi tahu-tahu dia lenyap
seperti ditelan bumi. Biar kupancing."
Gadis itu melanjutkan larinya kembali. Sambil berlari dia memasang telinganya
tajam-tajam. Sekitar duapuluh langkah berlari telinganya kembali menangkap ada
sese- orang membayang-bayanginya dari belakang. Di satu tempat kembali gadis ini
hentikan larinya lalu membalik dan hantamkan tangan kanannya ke jurusan di mana
dia merasa pasti beradanya orang yang mengikutinya.
Wuuuttt! Angin pukulan yang deras bersiuran di kegelapan malam.
Braaak! Sebatang pohon waru kecil patah dan tumbang dengan suara berisik. Hanya itu yang
terdengar lalu sepi lagi. Tak ada suara orang menjerit atau mengeluh kesakitan
Pedang Hati Suci 3 Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Hong Lui Bun 11

Cari Blog Ini