Ceritasilat Novel Online

Hantu Tangan Empat 3

Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat Bagian 3


Wiro membentak.
Kakek pesek itu monyongkan mulutnya, simpan
gendang dan penabuhnya di dalam kantong panjang, rangkapkan tangan di depan dada
lalu bertanya. "Apa katamu"! Aku melakukan apa" Memangnya aku
mengerjakan apa"!"
"Kau melepas ikatan tali celanaku lalu merorotkan celanaku sampai ke paha!" kata
Wiro pula. "Siapa lagi kalau bukan kau yang melakukan! Sebelumnya kau telah
mengerjai aku seperti itu!"
Payung di atas kepala si kakek mumbul sampai
beberapa jengkal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
Wiro jadi tambah jengkel dia melompat berdiri. "Kek!
Jangan kau tertawa! Mengaku saja! Saya..." Wiro
mendadak jadi kelabakan karena baru sadar saat itu dia berdiri dengan tubuh
bugil sebelah bawah karena lupa mengikat kembali tali celana putihnya. Si
Pelawak Sinting tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut
murid Sinto Gendeng. Wiro cepat-cepat menarik celananya ke atas dan mengikatnya
kuat-kuat, merapikan letak kapak dan batu hitam.
"Anak muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa perlu aku membukai celanamu!
Celana perempuan saja tak ingin aku bukai! Ha... ha... ha...!"
"Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain itu kau punya kesukaan
jelek, tukang merorotkan celana orang!"
"Waw... waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu kejelekan" Aku sendiri
pakai celana melorot seperti itu!
Lihat saja!" Lalu si kakek putar tubuhnya memperlihatkan pantatnya yang memang
tersingkap karena celananya sengaja dilorotkan di bagian belakang! "Anak muda,
sebenarnya tadi aku tidak mau mengganggu kau lagi asyik bersama kekasihmu.
Bercumbu rayu boleh-boleh saja. Tapi kalau sampai main gerayang-gerayangan ke
dalam celana, walau ini tempat sunyi, kurasa sudah melewati batas! Pasti tadi
kau keenakan ya diraba-raba seperti itu" Ha... ha...
ha!" "Kek, jangan kau berkata yang bukan-bukan! Apa maksud ucapanmu. Siapa yang
bercumbu rayu! Siapa yang meraba-raba! Siapa yang punya kekasih"!"
Si Pelawak Sinting tertawa panjang lalu menjawab.
"Terima kasih kau tidak mau mengaku. Tapi aku melihat dengan mata kepala
sendiri..."
"Gila!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Saya sendirian di tempat ini! Tapi
coba katakan apa yang kau lihat Kek"!"
"Terima kasih kau memintaku memberi penjelasan!"
jawab Si Pelawak Sinting. Lalu dia bercerita. "Waktu aku sampai di tempat ini
kulihat kau berbaring menelentang, matamu terbuka meram melek tanda kau sedang
keenakan. Kan begitu tandanya orang keenakan" Betul tidak" Hik... hik... hik!"
"Teruskan saja ceritamu Kek..." kata Wiro menahan jengkel.
"Di sampingmu duduk seorang gadis. Dia tengah
meraba-raba ke balik celanamu..."
"Gila! Kau mengarang cerita atau bagaimana"!"
"Terima kasih kau menganggap begitu! Tapi aku tidak mengarang cerita. Aku
melihat dengan dua mataku ini!"
Lalu si kakek buka lebar-lebar matanya yang belok dan monyongkan mulutnya yang
tonggos. "Seorang gadis merabai diriku...!" Wiro menatap tajam wajah tua di depannya.
"Apa warna pakaian gadis itu"!
Jingga"!"
"Tidak ada warna apa-apa..."
"Tidak ada warna bagaimana! Orang berpakaian walau terbuat dari apa pasti ada
warna. Hitam, putih, biru atau merah atau jingga..."
"Gadis itu tidak mengenakan pakaian. Dia jongkok di sampingmu dalam keadaan
bugil! Jadi apa salah kalau kukatakan aku tidak tahu warna pakaiannya" Ha...
ha... ha... ha!"
"Edan! Benar-benar edan...!" kata Wiro sambil
menggaruk kepalanya habis-habisan.
"Sekarang setelah ketahuan kau pura-pura marah. Tadi waktu diraba-raba kau diam
saja keenakan..."
"Kek, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Sesuatu yang aneh telah terjadi
dengan diriku..."
"Kau betul anak muda. Sekarang sebaiknya kau periksa bagian bawah perutmu. Apa
perabotanmu masih lengkap"
Jangan-jangan sudah dicopot dan dilarikan gadis bugil itu..."
"Enak saja kau bicara..."
"Eh, jangan berkata seperti itu. Tadi kau bilang sesuatu yang aneh telah terjadi
dengan dirimu. Lekas kau periksa di balik celanamu! Kalau kau sampai hidup tanpa
perabotan seumur-umur..."
Murid Sinto Gendeng jadi bimbang. Tapi dia merasa malu untuk memeriksa bagian
bawah tubuhnya itu.
"Wahai! Bukankah di negeri kelahiranmu ada orang yang punya ilmu aneh dan jahat.
Yaitu bisa mencopot dan memasang kembali perabotan orang. Tunggu... kalau tidak
salah orangnya berjuluk Datuk Lembah Akhirat..."
Air muka Pendekar 212 jadi pucat. "Bagaimana kau bisa tahu hal itu?" tanyanya
dengan suara gemetar (Mengenai Datuk Lembah Akhirat harap baca serial "Tua Gila
Dari Andalas", terdiri dari 11 Episode).
"Aku cuma dengar-dengar saja. Tapi benar, kan" Nah, sekarang apakah kau masih
belum mau memeriksa
keadaan dirimu?"
Dada sang pendekar jadi berdebar. Tanpa tunggu lebih lama dan tanpa merasa malu
lagi segera Wiro longgarkan ikatan tali celananya lalu memperhatikan ke bawah.
Masih belum puas dia susupkan tangan kirinya.
"Untung Kek..." kata Wiro dengan wajah lega.
"Untung bagaimana maksudmu?"
"Masih ada Kek. Masih lengkap..." jawab Wiro.
"Kantong menyannya masih ada?"
Wiro mengangguk.
"Lontong tak berdaunnya masih ada?"
Wiro mengangguk lagi.
"Ijuknya juga masih ada?"
"Brengsek kau Kek!"
"Eh, aku tanya ijuknya masih ada atau tidak"!"
"Adaaaa!!!" jawab Wiro keras-keras.
Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
Wiro memandang ke puncak bukit, ke arah telaga. Sepi, tak ada siapa-siapa. Gadis
cantik bernama Luhjelita itu tak kelihatan lagi di sana. Lalu dia memungut bunga
mawar kuning yang tergeletak di tanah dan mengacungkannya pada si kakek.
"Kek, seumur hidup baru sekali ini aku melihat bunga mawar berwarna kuning.
Ketika tadi aku mengendus keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi
kabur..." "Lekas kau buang bunga celaka itu! Mawar kuning itu bunga beracun yang bisa
membunuh. Jangankan manusia, gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui ajal jika
menciumnya. Kau beruntung tidak sampai mati. Berarti kau menyimpan satu ilmu
kesaktian yang bukan
sembarangan..."
"Aku tidak punya ilmu apa-apa. Tapi aku ingin bilang terima kasih padamu. Kalau
kau tidak muncul mendadak di tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah
terjadi atas diriku..."
"Terima kasih kau menganggap aku menolongmu.
Padahal tidak..." jawab Si Pelawak Sinting sambil menyeringai.
"Kek, kau mungkin tahu asal-usul bunga mawar kuning itu" Dari mana asalnya...
Siapa pemiliknya..."
"Wahai, siapa pemiliknya aku tidak tahu anak muda.
Tapi dari mana berasalnya memang aku tahu..."
"Dari mana?" tanya Wiro.
"Mawar kuning berbisa itu hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh. Di alam
kehidupan para Peri..."
Wiro terkejut. Dadanya bergetar dan mukanya berubah.
"Kalau begitu ini adalah pekerjaan Peri Angsa Putih!"
"Terima kasih kau pandai menuduh. Tapi jangan sekali-kali berprasangka buruk
tanpa bukti!" mengingatkan Si Pelawak Sinting.
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Saya berkata begitu karena Peri Angsa Putihlah
satu-satunya Peri yang saya temui sebelumnya... Saya harus menyelidiki hal ini!
Saya harus mencari Peri Angsa Putih dan menanyainya!" Wiro kepalkan tangan
kanannya penuh perasaan geram.
"Sudahlah, aku tidak mau ikut campur urusanmu. Aku mau pergi. Apa kau mau ikut?"
"Kau mau menyuruh saya memayungimu lagi, kau
bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke mana kau pergi?"
Si Pelawak Sinting tertawa bergelak. "Terima kasih kau menyatakan
ketidaksenanganmu. Tapi sekali ini aku mengajakmu untuk berbuat pahala!"
"Apa maksudmu Kek" Jangan-jangan kau hendak
mengerjai saya lagi,..."
"Sekali ini tidak. Maksudku belum. Aku mau menolong sahabatku si Hantu Tangan
Empat dari tekanan Hantu Muka Dua. Jika orang-orang seperti Hantu Tangan Empat
tidak ditolong, Hantu Muka Dua semakin merajalela. Hantu Muka Dua telah menculik
Luhbarini, istri Hantu Tangan Empat. Perempuan itu disekapnya di satu liang batu
tak jauh dari istana yang tengah dibangunnya yakni Istana Kebahagiaan. Dengan
menguasai Luhbarini, Hantu Muka Dua bisa memaksa Hantu Tangan Empat melakukan
apa saja. Termasuk memerintahnya untuk membunuhmu!"
"Tapi... Saya lihat Hantu Tangan Empat seperti pasrah saja. Tidak berusaha
membebaskan istrinya."
"Dia tidak berdaya. Tidak mampu melakukan apa-apa sekalipun ilmunya tinggi..."
"Kalau saya tidak salah Hantu Tangan Empat masih kakek Peri Angsa Putih. Mengapa
para peri tidak turun tangan membantu?"
"Hantu Muka Dua ilmunya sangat tinggi, terkadang sangat aneh. Selain itu dia
punya belasan kaki tangan yang juga berkepandaian tinggi. Di antara mereka
banyak yang terpaksa atau terjebak masuk perangkap Hantu Muka Dua.
Seperti yang terjadi dengan Hantu Tangan Empat. Kalau nekad mungkin dia bisa
menyerbu ke tempat kediaman Hantu Muka Dua. Tapi kalau kelak istrinya sendiri
menjadi korban apa gunanya" Sekarang aku punya maksud hendak menolong
membebaskan istri Hantu Tangan Empat. Kau mau ikut bersamaku?"
"Tentu mau Kek. Aku perlu membayar hutang budi
Hantu Tangan Empat yang pernah saya terima..." jawab murid Eyang Sinto Gendeng
pula. "Terima kasih kau punya pikiran begitu. Ayo ikuti aku!"
Si kakek keluarkan tambur dan penabuhnya. Ketika dia siap menyanyi tiba-tiba dia
melompat mundur sambil tarik tangan Wiro, menyelinap ke balik serumpunan semak
belukar. "Ada apa Kek?" tanya Wiro.
"Sssstt... jangan keras-keras bicara. Lihat ke depan sana..." Si Pelawak Sinting
monyongkan mulut tonggosnya ke arah lereng menurun di bawah sana. Wiro cepat
memperhatikan. Dia melihat kobaran api aneh bergerak cepat ke arah timur.
"Celaka! Kita kedahuluan!" ujar Si Pelawak Sinting.
"Lekas ikuti aku!" Sekali bergerak kakek itu sudah berada tiga tombak di sebelah
depan. *** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
11 ESAAT Wiro merasa bimbang. Tapi ketika dia ingat hutang budi pada Hantu Tangan
Empat segera saja
Sdia berkelebat menyusul Si Pelawak Sinting. Wiro tak perlu bertanya apa yang
terjadi atau siapa yang tengah mereka ikuti. Di sebelah depan sana dia melihat
satu sosok aneh, berlari cepat ke arah timur di mana terdapat kawasan berbatubatu berwarna kelabu. Sosok itu tidak beda adanya dengan sosok tubuh manusia.
Tapi anehnya sekujur badan mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api!
Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebiru-biruan pertanda panas dan
daya bakarnya lebih hebat dari api biasa!
Sambil lari orang ini memanggul sesosok tubuh. Ketika Wiro memperhatikan,
astaga! Kagetlah sang pendekar.
Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata adalah si kakek Hantu Tangan
Empat! Luar biasanya, walau
dipanggul di atas bahu yang dikobari api namun sosok Hantu Tangan Empat tidak
ikut terbakar! "Kek, siapa adanya manusia berapi itu"!" tanya Wiro pada Si Pelawak Sinting.
"Hantu Api Biru! Itu nama panggilannya! Wahai! Dia adalah salah satu dari tokoh
hebat di Latanahsilam yang telah kena dibujuk Hantu Muka Dua, dijadikan kaki
tangan pembantunya!"
"Celaka kalau begitu! Bagaimana Hantu Tangan Empat bisa jatuh ke tangannya" Kita
harus segera membebaskan kakek itu!"
"Jangan gegabah anak muda! Hantu Api Biru tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Kita
ikuti saja dulu makhluk itu.
Kurasa dia pasti akan membawa Hantu Tangan Empat ke sarangnya Hantu Muka Dua.
Kalau aku tidak salah
menduga di balik kawasan batu kelabu itu terletak liang batu di mana istri Hantu
Tangan Empat disekap. Lalu di seberangnya tengah dibangun apa yang dinamakan
Istana Kebahagiaan!"
"Saya menurut saja. Makin cepat kita menolong Hantu Tangan Empat dan istrinya
makin baik!" ujar Pendekar 212.
Makhluk yang tubuhnya dikobari api biru sampai ke kawasan yang dipenuhi batubatu besar dan tinggi berwarna kelabu. Dia memandang berkeliling seperti
mencari-cari sesuatu. Ketika matanya membentur sebuah batu yang di sebelah
atasnya ditumbuhi cendawan hitam, makhluk ini segera berkelebat ke batu itu lalu
pergunakan tumitnya untuk menendang batu tiga kali berturut-turut.
Wiro bersama Si Pelawak Sinting yang mendekam di balik sebuah batu memperhatikan
bagaimana dua buah batu kelabu di depan batu yang ditumbuhi cendawan hitam tibatiba bergeser ke samping disertai suara berdesing halus. Di antara dua batu
besar yang membuka itu kini kelihatan sebuah liang yang merupakan tangga turun
setinggi tiga tombak. Hantu Api Biru segera melompat ke dalam liang batu. Dua
buah batu besar kembali keluarkan suara berdesing lalu merapat. Liang batu
lenyap dari pemandangan. Si Pelawak Sinting melirik pada Wiro. Dia menunggu
sesaat lalu tarik lengan pemuda itu dan melompat ke arah batu pembuka liang.
Seperti yang dilakukan Hantu Api Biru, Si Pelawak Sinting hunjamkan tumitnya
tiga kali berturut-turut. Dua batu besar serta merta terkuak ke samping.
"Cepat!" ujar Si Pelawak Sinting lalu menerobos masuk ke dalam liang batu.
Wiro mengikuti dengan perasaan tegang. Ketika liang menutup kembali ternyata
ruang di bawahnya tidak menjadi gelap. Si Pelawak Sinting sampai di bagian
terbawah tangga batu. Kakek ini lalu menyusup ke sebuah lorong. Di depan sana
kelihatan cahaya terang dari nyala api di tubuh Hantu Api Biru. Di sebelah
ujung, lorong bercabang dua. Si Pelawak Sinting membelok ke kiri. Saat itu
timbul tanda tanya di benak murid Sinto Gendeng.
Mengapa si kakek langsung saja memilih lorong yang sebelah kiri. Namun dia tidak
punya waktu untuk berpikir panjang.
Tak selang berapa lama sosok Hantu Api Biru kelihatan di depan sana. Tegak di
sebuah lobang batu yang sangat besar. Menurut perhitungan Wiro lobang itu
berukuran tinggi sekitar lima tombak sedang panjang dan lebarnya kira-kira
delapan kali delapan tombak. Dari tempatnya berdiri yang berada di ketinggian,
Pendekar 212 melihat beberapa sosok tubuh bergeletakan di lantai lobang batu
itu. Lalu ada satu sosok tubuh seolah dicetak, terpendam ke dalam salah satu
dinding. Lapat-lapat terdengar suara seperti orang merintih.
"Ruangan apa itu Kek," tanya Pendekar 212 dengan tengkuk agak dingin.
Belum sempat dia mendapatkan jawaban di bawah
sana Hantu Api Biru kelihatan turunkan sosok Hantu Tangan Empat lalu tiba-tiba
sekali Hantu Tangan Empat dilemparkannya ke dalam lobang besar itu.
Bukkkkk! Sosok Hantu Tangan Empat bergedebuk di lantai batu.
Tidak keluarkan suara tidak juga bergerak.
"Jahanam! Kita harus segera menghajar makhluk api itu Kek!" Wiro mulai tidak
sabaran. "Ini pasti ruang penyekapan! Mungkin istri Hantu Tangan Empat juga ada
di sini!" Si Pelawak Sinting melintangkan jari telunjuknya di atas mulutnya yang monyong
lalu berkata. "Ikuti aku..."
Sambil memegang tangan kiri Wiro dia bergerak cepat ke bawah. Begitu kakinya
menginjak tepi lobang batu, si kakek berseru, "Hantu Api Biru! Aku datang!"
Sosok yang dikobari nyala api putar tubuhnya. Lalu tertawa mengekeh. "Aku sudah
menjalankan tugasku!


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana dengan kau wahai kerabatku"!"
"Jika kau mampu mengapa aku tidak! Lihat siapa di sampingku!" Si Pelawak Sinting
menjawab. Hantu Api Biru memandang pada Wiro yang tegak mulai merasa heran bahkan curiga.
Bicara kedua orang itu membuat dia tersentak tidak enak. Hantu Api Biru tertawa
mengekeh. Si Pelawak Sinting menimpali. Tiba-tiba, sama sekali tidak terduga
oleh murid Eyang Sinto Gendeng, Si Pelawak Sinting dorong tubuhnya. Demikian
hebatnya kekuatan dorongan itu membuat Wiro tidak mampu
mempertahankan diri dan tak ampun lagi tubuhnya
melayang jatuh, masuk ke dalam lobang batu besar! Dalam jatuhnya masih untung
Pendekar 212 tidak panik dan kehilangan akal. Dengan cepat dia kerahkan ilmu
meringankan tubuh lalu berjungkir balik dua kali hingga begitu jatuh dia tetap
berdiri di atas dua kakinya.
Di atas sana, di tepi lobang batu, Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa
gelak-gelak. "Jahanam! Aku tertipu! Kakek sinting itu ternyata kaki tangan Hantu Muka Dua!
Mengapa aku jadi sebodoh ini"!"
Wiro memaki habis-habisan. Dia kerahkan hawa sakti ke kaki, siap mengenjot ke
atas untuk melesat keluar dari dalam lobang batu. Lobang setinggi lima tombak
itu tidak terlalu tinggi untuk bisa dilompatinya. Tapi ketika sosoknya baru
mencapai ketinggian tiga tombak tiba-tiba ada hawa aneh datang dari atas,
menekan tubuhnya demikian rupa hingga dia terbanting ke bawah. Wiro semakin
marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sampai tiga kali dicobanya tetap
saja dia terbanting jatuh kembali! Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa
gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.
"Pelawak Sinting! Kakek sialan penipu! Kalau kau tidak segera keluarkan aku dari
tempat ini akan kuhabisi kau saat ini juga!" Wiro mengancam lalu kerahkan hawa
sakti ke tangan kanan. Tangan itu mulai dari siku ke bawah serta merta berubah
menjadi putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.
"Anak muda, percuma saja. Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menembus Tabir
Roh yang mengapung di atas permukaan lobang ini. Lagi pula makhluk yang kau
panggil dengan nama Pelawak Sinting itu bukan Pelawak Sinting karena akulah Si
Pelawak Sinting sebenarnya!"
Tentu saja murid Sinto Gendeng tersentak kaget
mendengar suara itu. Dia berpaling ke dinding sebelah kiri.
Astaga! Yang barusan bicara adalah sosok yang mendekam amblas di dalam dinding
batu itu! Dan yang paling membuat Wiro melengak besar adalah ketika menyaksikan
bagaimana raut muka, bentuk sosok tubuh orang ini sangat sama dan menyerupai Si
Pelawak Sinting!
"Bagaimana mungkin!" pikir Wiro.
Di atas sana tiba-tiba terdengar Si Pelawak Sinting berseru. "Pendekar 212 Wiro
Sableng, kau dan semua yang ada dalam lobang celaka itu akan menemui kematian
secara perlahan-lahan. Mungkin satu tahun, mungkin tiga atau lima tahun. Kalian
akan lepas dari kematian jika bersedia tunduk patuh menjadi anak buah pembantu
Hantu Muka Dua! Untuk itu orang-orang kami akan datang menanyaimu sekali dalam
tujuh hari!"
"Manusia tonggos keparat! Kau rasakan dulu ini!" teriak Wiro marah. Tanpa pikir
panjang dia langsung lepaskan pukulan Sinar Matahari! Sinar putih panas
menyilaukan berkiblat ke atas.
Bummmm! Bummmm!
Dua letusan keras menggelegar. Lobang batu bergetar hebat. Pukulan Sinar
Matahari musnah tanpa bekas pada ketinggian empat tombak! Wiro jatuh terbanting
di lantai! Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. Dia balikkan tubuhnya dan songgengkan
pantatnya ke arah Wiro. Ketika bersama Hantu Api Biru dia hendak tinggalkan
tempat itu, orang yang melesak di dalam dinding batu berteriak.
"Labodong! Kau makhluk jahanam! Kembalikan
payung, tambur dan penabuh milikku! Kalau aku benar-benar menemui ajal di tempat
ini rohku akan datang mencarimu dan mencekikmu sampai mampus!"
Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. "Aku memang tidak lagi memerlukan barangbarang busuk ini! Ambil saja kembali!" Dari atas sana Si Pelawak Sinting lalu
lemparkan ke dalam lobang payung daun, tambur serta penabuhnya.
Lalu sambil tertawa-tawa bersama Hantu Api Biru dia tinggalkan tempat itu.
"Sialan! Benar-benar sialan!" maki Wiro tidak habis-habisnya menyesali diri
dalam kemarahan yang hampir tidak terbendung.
"Tidak ada kesialan dalam hidup ini wahai anak muda.
Yang ada ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri kita sudah diatur
oleh para Dewa penguasa alam..."
Wiro hendak memaki tapi ketika sadar yang berucap itu adalah sosok yang melesak
ke dinding batu dia segera palingkan kepala.
"Kek, siapa kau adanya"! Bagaimana wajah dan bentuk tubuhmu sangat sama dengan
manusia di atas sana yang tadi menyonggengkan pantatnya?" Wiro ajukan
pertanyaan. "Terima kasih! Pertanyaanmu segera akan kujawab.
Tapi harap kau lebih dulu turun tangan menolong Hantu Tangan Empat..." Orang
yang melesak di dalam dinding batu menjawab.
Mendengar ucapan itu Wiro segera mendekati sosok Hantu Tangan Empat yang
tergeletak di lantai ruangan.
"Aneh, dia dilemparkan dari ketinggian sana. Tapi tak ada bekas cidera
sedikitpun..." Wiro membatin begitu dia memeriksa keadaan Hantu Tangan Empat.
Segera saja dia kerahkan tenaga dalam. Sambil tempelkan dua tangannya ke dada
dan pusar si kakek perlahan-lahan Wiro alirkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian kakek itu mulai siuman dan buka
sepasang matanya. Selagi pemandangannya masih
mengabur kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar suara erangan. Dia kenali
betul suara itu. Hantu Tangan Empat cepat bangkit dan duduk. Lalu memandang
seputar ruangan. Dia kembali memandang ke arah Wiro.
Ingatannya masih belum jernih.
"Anak muda, aku rasa-rasa pernah melihat wajahmu. Di mana aku berada saat ini?"
"Wahai kerabatku Hantu Tangan Empat," sosok yang melesak di dinding berkata.
"Istrimu Luhbarini ada di sudut kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kau
pasti bisa menolongnya."
Mendengar ucapan itu Hantu Tangan Empat segera
berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan nafasnya serasa berhenti. Satu sosok
tubuh perempuan dilihatnya terhantar di lantai ruangan, kurus mengenaskan, tak
bergerak tapi keluarkan suara erangan.
"Istriku Luhbarini! Wahai!" Hantu Tangan Empat berseru setengah menggerung. Lalu
dia lari dan jatuhkan diri, memeluk sosok tubuh istrinya kemudian merangkulnya.
Suara erangan terputus. Dua mata yang selama ini terkatup, membuka sedikit. Lalu
terdengar suara berucap halus dan lirih. "Hantu Tangan Empat, suamiku! Kaukah
yang memeluk diriku saat ini..."
"Luhbarini. Ini memang aku suamimu. Hantu Tangan Empat..."
"Ah... Kau kutunggu begitu lama. Mengapa baru datang sekarang?"
Sepasang mata Hantu Tangan Empat berkaca-kaca.
"Maafkan diriku wahai Luhbarini. Keadaan membuatku tidak berdaya. Tapi saat ini
aku tidak peduli lagi. Kita harus keluar dari tempat ini sekalipun putus nyawa
di badan, mati jazad berkalang tanah."
Hantu Tangan Empat peluk tubuh istrinya erat-erat.
Kedua orang ini saling rangkul dan sama-sama terisak.
Wiro hanya bisa memperhatikan dengan perasaan haru.
Dia memandang berkeliling. Dalam liang batu itu beberapa sosok manusia
dilihatnya bergeletakan di sana sini.
Mereka pasti musuh-musuh Hantu Muka Dua yang menjadi korban disekap di tempat
ini, pikir Wiro. Dia bermaksud mendekati orang-orang itu kalau-kalau bisa
menolong. Namun orang tua yang terpendam di dinding batu tiba-tiba keluarkan ucapan.
"Anak muda, terima kasih. Tapi tak ada gunanya
menolong mereka. Mereka semua telah jadi mayat..."
Wiro terkesima dan hentikan langkah. "Kakek di
dinding, kau belum menerangkan siapa dirimu. Bagaimana kau sampai disekap di
sini dan bagaimana aku bisa menolongmu. Lalu bagaimana kita bisa selamatkan diri
keluar dari tempat ini..."
"Aku adalah Labudung, adik kembar dari Labodong, manusia yang padamu mengaku
sebagai Si Pelawak
Sinting. Sebenarnya akulah Si Pelawak Sinting. Kakakku jatuh dalam bujuk rayu
Hantu Muka Dua dan berusaha mengajakku bergabung di Istana Kebahagiaan yang kini
tengah dibangun. Aku menolak. Seperti terhadapmu dia menipuku lalu menjebloskan
aku ke dalam tempat ini.
Anak muda, aku sudah lama menunggumu. Firasat
mengatakan bahwa kau yang bisa membawa kami keluar dari tempat ini..."
"Bagaimana caranya?" tanya Wiro bingung sambil garuk kepala. Dia berpaling ke
arah Hantu Tangan Empat. "Kek, kau mungkin tahu?" Wiro ajukan pertanyaan.
Hantu Tangan Empat gelengkan kepala.
Wiro melangkah mendekati dinding di mana Labudung terpendam.
Si kakek tersenyum lalu berkata. "Aku tahu maksudmu.
Kau tak mungkin mengeluarkan aku dari dalam pendaman batu ini. Kau dan Hantu
Tangan Empat serta istrinya segera saja berusaha mencari jalan keluar dari
tempat ini. Kau datang dari tanah seribu dua ratus tahun mendatang yang lebih
maju. Kau pasti bisa mendapatkan petunjuk. Satu hal harus kau ketahui, Labodong
berdusta bahwa kita bisa bertahan hidup sampai satu tahun atau lebih. Juga dia
dusta bahwa kita akan bebas dan dijadikan pembantu kepercayaan Hantu Muka Dua
jika mau tunduk dan patuh pada Hantu Muka Dua. Aku mendapat firasat Hantu Muka
Dua akan menghancurkan liang batu ini dan kita akan dikubur hidup-hidup di
tempat ini!"
"Gusti Allah! Tolong kami!" kata Wiro dengan suara keras. Dia memandang
berkeliling. Dua tangannya bergetar tanda dia kembali mengerahkan tenaga dalam
menyiapkan pukulan. Maksudnya hendak menghantam salah satu
sudut ruangan batu itu yang mungkin bisa dihancurkan agar dapat jalan keluar.
"Anak muda, bagaimanapun hebatnya tenaga
dalammu, apapun senjata yang kau miliki, jangan harap bisa menjebolkan dinding
liang batu itu..." kata Labudung alias Si Pelawak Sinting yang sebenarnya.
Kesal dan geram Wiro garuk-garuk kepala dan
melangkah mundar-mandir.
"Anak muda..." tiba-tiba Hantu Tangan Empat berkata.
Saat itu dia tengah memapah istrinya dan berusaha melangkah ke arah Wiro.
"Setahuku kau mempunyai ilmu mengerahkan hawa sakti yang bisa melihat ke arah
kejauhan. Lekas kau pergunakan kepandaianmu itu untuk melihat siapa tahu ada
jalan keluar. Aku yakin, pasti ada jalan rahasia jalan keluar dari tempat celaka
ini..." Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia berpaling pada Labudung.
Orang tua ini tertawa lebar dan anggukkan kepala lalu berucap. "Kalau saja aku
bisa menggerakkan tanganku untuk menabuh tambur itu, pasti aku bisa membantumu
mencari jalan sambil menyanyi. Sayang diriku kena dipendam manusia celaka Hantu
Muka Dua itu..."
Sejak tadi Wiro tidak begitu memperhatikan. Tapi ketika dia melihat sekali lagi
ke arah kakek yang terpendam itu dia jadi tertawa geli dan garuk-garuk kepala.
Ternyata kakek satu ini juga mengenakan celana yang didodorkan sampai ke bawah
pusar. Perlahan-lahan Wiro rangkapkan dua tangannya di depan dada. Aliran darah
dan tenaga dalam diatur sedemikian rupa hingga bergerak ke arah kepala. Wiro
kemudian kedipkan kedua matanya, menatap ke depan. Kegelapan. Dia hanya melihat
kegelapan di depan sana. Dia coba alihkan pandangan mata ke dinding kiri. Tetap
saja dia tak bisa melihat apa-apa. Berputar ke dinding sebelah kanan Wiro jadi
berdebar. Tak ada petunjuk, hanya kegelapan yang dilihatnya. Perlahan-lahan dia
putar lagi tubuhnya. Kini menghadapi dinding batu yang tadi dipunggunginya.
Dadanya kembali berdebar. Samar-samar dia melihat sesuatu.
"Aneh, dua benda apa itu...?" Murid Sinto Gendeng membatin. Dia lipat gandakan
tenaga dalamnya. Kini di belakang dua benda aneh itu dia melihat tegak dua sosok
menyerupai sosok manusia.
"Aku mendengar suara sesuatu!" Labudung berucap.
Daun telinganya bergerak-gerak.
"Aku juga," kata Hantu Tangan Empat.
Wiro sendiri belum mendengar suara apapun. Pertanda dalam ilmu mendengar ini dua kakek aneh itu memiliki
kepandaian jauh lebih tinggi darinya.
"Suara apa Kek?" tanya Wiro pada Hantu Tangan
Empat. "Seperti suara tanah digangsir orang..." jawab Hantu Tangan Empat sambil usap
janggut putihnya.
Wiro buka matanya lebar-lebar. Kerahkan seluruh hawa sakti yang dimilikinya
hingga tubuhnya bergetar dan kucurkan keringat. Dia kedipkan lagi matanya dua
kali berturut-turut. Sesaat kemudian apa yang tadi dilihatnya kini tampak lebih
jelas. Dari mulutnya keluar seruan.
"Tuhan Maha Besar! Pertolongan Gusti Allah sudah datang!" Wiro berseru gembira
dan memandang pada Si Pelawak Sinting dan Hantu Tangan Empat.
"Tuhan... Siapa Tuhan yang kau maksudkan itu anak muda" Siapa pula Gusti Allah
yang kau sebutkan itu?" Si Pelawak Sinting bertanya.
"Masakan kau..." Wiro cepat sadar. Orang-orang di Negeri Latanahsilam termasuk
Si Pelawak Sinting ini mana tahu Tuhan atau Allah. Dia berusaha memberi
penjelasan. "Tuhan adalah Dia yang menjadikan langit dan bumi ini.
Termasuk kita semua! Tak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari yang dimilikiNya.
Tak ada ilmu kepandaian yang dimiliki siapapun melebihi yang dimilikiNya! Dia
Maha Pengasih, Maha Penolong dan Maha Pelindung..."
"Apakah dia sama dengan Dewa wahai anak muda?"
"Sulit bagi saya menjelaskannya Kek. Yang jelas saat ini pertolonganNya segera
menjadi kenyataan!"
Baik Hantu Tangan Empat maupun Si Pelawak Sinting sama-sama memandang seputar
ruangan batu. "Aku hanya mendengar, tidak melihat apa-apa. Apakah yang kau sebut Tuhan atau
Allah itu hanya bersuara, tidak berbentuk, tidak memperlihatkan diri?"
Wiro tersenyum sambil garuk-garuk kepala. "Kalau tanpa memperlihatkan diri Gusti
Allah sanggup menolong kita, apa perlunya Dia memperlihatkan diri!"
"Ah, kalau begitu ingin sekali aku mengenal Tuhan atau Allahmu itu..." ujar Si
Pelawak Sinting sambil hendak manggut-manggut tapi mengerenyit sakit karena
kepalanya sebelah belakang melekat ke batu!
Sesaat kemudian suara seperti gerinda menderu
memenuhi liang penyekapan itu. Lantai dan dinding bergetar hebat. Telinga
seperti ditusuk. Tiba-tiba salah satu dinding ruangan jebol besar. Batu-batu
berpelantingan.
Debu beterbangan. Begitu debu surut ke bawah, muncullah dua sosok makhluk yang
membuat Hantu Tangan Empat tersurut sampai dua langkah sementara Si Pelawak
Sinting buka matanya yang belok lebar-lebar. Belum lagi habis kaget mereka, ke
dalam liang menyusul melesat dua sosok tubuh, satu bersisik, satunya ditumbuhi
duri-duri panjang mengerikan!
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
12 UA SOSOK makhluk yang menerobos masuk
pertama sekali adalah sepasang landak raksasa
Dyang dikenal Wiro sebagai Laeruncing dan Laelancip.
Lalu di belakang mereka menyusul makhluk bersisik yang bukan lain adalah Hantu
Jatilandak. Makhluk ke tiga berbentuk dahsyat. Sekujur kepala, muka dan tubuhnya
tertutup sisik hitam sekeras baja. Matanya angker sekali karena hanya berbentuk
dua buah tonjolan putih seperti combong kelapa. Dia bukan lain adalah makhluk
aneh berkepandaian tinggi yang dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu.
Dialah tadi yang bersama-sama dua landak raksasa menggasir tanah, menjebol
dinding batu dan menerobos masuk ke dalam liang penyekapan itu! (Untuk lebih
mengetahui siapa adanya mereka harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu
Jatilandak").
"Tuhan Maha Besar!" seru Pendekar 212 Wiro Sableng setengah berjingkrak. "Kalian
semua benar-benar hebat!
Kami semua berterima kasih atas pertolongan kalian!"
Wiro mengusap-usap Laelancip si landak betina dan Laeruncing si landak jantan
lalu memeluk Hantu Jatilandak yang telah menganggapnya sebagai saudara dan tak
lupa menjura hormat kepada Tringgiling Liang Batu.
"Aku banyak mendengar, tapi baru kali ini melihat sendiri kalian semua wahai
makhluk-makhluk gagah! Aku dan istri mengucapkan terima kasih atas usaha kalian
menolong kami!" berkata Hantu Tangan Empat.
"Kita harus bergerak cepat!" Tringgiling Liang Batu berkata. "Sebelum menerobos
masuk ke sini dari arah barat, kami melihat ada beberapa kelompok orang


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan sesuatu. Kelihatannya mereka hendak
meroboh atau menimbun tempat ini!"
"Apa kataku!" Si Pelawak Sinting berkata. "Hantu Muka Dua jahanam itu benarbenar makhluk Segala Keji! Lekas kalian tinggalkan tempat ini!"
"Kau bagaimana wahai sobatku?" tanya Hantu Tangan Empat.
"Jangan pedulikan diriku! Kalau kalian bisa selamat semua aku sudah senang.
Lekas pergi...!"
"Kami tidak akan pergi jika tidak bersamamu!" Selarik sinar putih berkiblat
disertai suara menggaung seperti seribu tawon mengamuk.
Traang! Tangan kanan Wiro bergetar hebat. Kapak Maut Naga Geni 212 memercikkan bunga api
terang benderang. Murid Eyang Sinto Gendeng melompat mundur dan membelalak.
Senjata mustika yang sangat diandalkannya itu tidak mampu menghancurkan dinding
batu di mana Si Pelawak Sinting melesak terpendam. Wiro melirik pada sepasang
landak. Dalam hatinya dia membatin. "Dua landak raksasa itu mampu menjebol
dinding ini dengan taring-taringnya.
Mengapa kapak ini..."
Laeruncing dan Laelancip seolah tahu apa yang ada di pikiran sang pendekar
kedip-kedipkan mata mereka lalu keluarkan suara menggereng perlahan. Di dinding
sana Si Pelawak Sinting mengekeh.
"Kek, kau ini aneh. Semua orang merasa bingung dan sedih tak bisa menolong
mengeluarkan kau dari pendaman batu. Tapi kau sendiri malah tertawa begitu!"
"Na... na... na...! Ni... ni... ni! Aku bukan saja tertawa tapi masih bisa
menyanyi. Terima kasih! Kenapa kalian susah-susah pakai bingung dan sedih
segala" Sudah lekas pergi.
Tinggalkan tempat ini cepat. Tak usah pedulikan diriku lagi.
Siapa tahu wahai anak muda, Tuhan atau Allahmu itu masih ingat diriku dan
menolong! Hik... hik... hik...!"
Wiro garuk-garuk kepala mendengar kata-kata Si
Pelawak Sinting itu. Hantu Jatilandak berpaling pada Tringgiling Liang Batu yang
sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. Maklum arti pandangannya sang cucu ini
Tringgiling Liang Batu lalu melompat ke dinding tempat Si Pelawak Sinting
terpendam. Sepuluh jari-jari tangannya yang memiliki sisik dan kuku hitam
setajam baja langsung ditancapkan ke dinding batu sepanjang sosok si kakek
terpendam. "Hai! Hendak kau apakan diriku! Hendak kau gelitik..."!"
seru Si Pelawak Sinting lalu tertawa cekikikan seperti orang kegelian.
Laksana pahat sakti jari-jari tangan Tringgiling Liang Batu menancap dan
kepulkan cahaya hitam di dinding batu dan sekaligus membongkarnya. Pecahan batu
dan debu beterbangan. Satu lobang besar terbentuk sekeliling sosok si kakek.
Sesaat kemudian sambil pegang celananya yang kedodoran Si Pelawak Sinting
melompat dari dinding.
Begitu injakkan kaki di lantai dia segera menyambar payung daun, tambur dan
penabuh miliknya. Kemudian sambil menabuh tambur itu dia tegak membungkuk, tanpa
pedulikan celananya yang kembali merosot kedodoran, memberi hormat satu persatu
pada semua orang yang ada di situ termasuk Laeruncing dan Laelancip sepasang
landak raksasa sambil berulang kali mengucapkan terima kasih.
"Anak muda," kata Si Pelawak Sinting pada Wiro.
"Tuhan Gusti Allahmu benar-benar hebat! Bagaimana caranya aku berterima kasih
padaNya"!"
"Dia Maha Tahu, Maha Mendengar apa isi hatimu. Tak usah mengatakanpun Gusti
Allah sudah tahu kalau kau menyukuri pertolonganNya..."
"Ah, begitu..." Aneh juga ya" Hik... hik... hik!"
"Para kerabat! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
Tringgiling Liang Batu berkata.
"Laelancip dan Laeruncing, kau di sebelah depan..."
kata Hantu Jatilandak pada dua ekor landak raksasa yang selama sekian tahun
memeliharanya di sebuah pulau. Dua landak raksasa itu segera balikkan tubuh dan
melesat masuk ke dalam lobang besar di dinding. Hantu Jatilandak menyusul, lalu
Hantu Tangan Empat yang saat itu telah memanggul istrinya. Di sebelah belakang
Pendekar 212 dan Si Pelawak Sinting lalu di belakang sekali Tringgiling Liang Batu.
Setelah melewati terowongan cukup panjang yang
sebelumnya dibuat oleh rombongan Tringgiling Liang Batu, orang-orang itu sampai
di satu tempat terbuka di sebelah timur kawasan berbatu-batu. Pada saat itu
mendadakterdengar suara gemuruh hebat di belakang mereka. Ketika berpaling
terkejutlah orang-orang itu.
Kawasan liang batu di mana mereka berada sebelumnya tampak ambruk longsor. Batubatu besar bergelindingan dahsyat menimbun tempat itu. Di udara debu dan pasir
beterbangan sampai beberapa tombak.
"Pasti pekerjaan orang-orang Hantu Muka Dua!" kata Si Pelawak Sinting.
Tringgiling Liang Batu melompat ke depan lalu berkata.
"Ambil jalan ke kiri! Ikuti aku!"
Orang-orang itu segera melakukan apa yang dikatakan Tringgiling Liang Batu.
Namun begitu debu dan pasir turun luruh dan pemandangan menjadi jelas kembali,
mereka dapati berada dalam keadaan terkurung. Beberapa orang dengan sikap garang
berdiri di atas batu-batu besar. Yang pertama adalah Si Pelawak Sinting palsu
alias Labodong.
Lalu di sebelahnya, di atas sebuah batu datar tegak Hantu Api Biru. Tak jauh di
sebelah kiri di atas dua buah batu berdiri sepasang saudara kembar Lagandrung
dan Lagandring yang sebelumnya pernah berkelahi adu
kekuatan melawan Hantu Tangan Empat dan Pendekar 212 Wiro Sableng! Melihat
Lagandring Wiro segera ingat kaca merah bulat milik orang itu yang sampai saat
itu masih berada dalam saku pakaiannya.
"Asyik sekali!" tiba-tiba Si Pelawak Sinting berseru.
"Terima kasih kalian berempat memberi kesempatan lolos pada kami dari timbunan
batu itu. Juga terima kasih kalian mau susah-susah mengadakan penyambutan atas
kedatangan kami! Hanya sayang mana majikan besar kalian penguasa Istana
Kebahagiaan yang katanya adalah Raja Diraja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam"! Apa masih enak ngorok atau belum cebok dan belum mandi"!
Ha... ha... ha!"
"Tua bangka tolol! Nyawa hanya tinggal sekejapan mata malah bicara ngelantur!"
Yang membalas ucapan Si Pelawak Sinting adalah makhluk aneh yang sekujur
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api warna biru.
"Wahai para sobatku, hari ini mari kita berbagi pahala!"
kata Si Pelawak Sinting. "Manusia-manusia kaki tangan Hantu Muka Dua pantas
dibasmi. Aku biarlah menghadapi kakakku sendiri Si Pelawak Sinting palsu bernama
Labodong itu. Kecuali jika dia mau menyadari dosa-dosanya, pergi dari sini
bertobat seumur-umur! Kalian mau cari pasangan lawan silakan pilih sendiri.
Hik... hik... hik!"
Hantu Tangan Empat maju selangkah lalu berkata
"Sebelumnya si kembar Lagandrung senang bermain-main dengan aku! Bagusnya
permainan di tepi telaga dulu kita lanjutkan kembali! Ha... ha... ha...!" Saat
itu juga Hantu Tangan Empat robah sosok tubuhnya. Rambutnya menjadi merah tegak
berjingkrak. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Empat tangan mencuat dari
tubuhnya, bergerak-gerak kian kemari mengeluarkan desau angin dingin menggidikkan.
Di atas batu besar Lagandring diam-diam merasa kecut kalau-kalau Pendekar 212
Wiro Sableng akan buka mulut memilih dirinya sebagai lawan. Ternyata Wiro punya
jalan pikiran lain.
"Pelawak Sinting sobatku," katanya pada Labudung.
"Sebenarnya aku ingin sekali memberi pelajaran pada kakakmu si Labodong itu.
Tapi karena kau sudah
memilihnya jadi lawan, biar aku menghadapi manusia puntung neraka itu yang
kabarnya punya nama hebat Hantu Api Biru!"
"Terima kasih kau mau mengerti!" kata Si Pelawak Sinting yang asli lalu tertawa
gelak-gelak. Mendadak Wiro mendengar suara mengiang di
telinganya sebelah kiri. "Anak muda, kalau kau memilih Hantu Api Biru sebagai
lawanmu, hanya ada satu dari sekian ilmumu yang sanggup menghadapinya. Keluarkan
Ilmu Angin Es! "
Murid Sinto Gendeng terperangah dan menoleh ke
samping ke arah Hantu Tangan Empat karena dia tahu kakek inilah yang barusan
bicara padanya. "Heran, bagaimana dia tahu aku memiliki ilmu itu?" Namun diamdiam Wiro merasa berterima kasih. Jika dipikir memang kekuatan paling ampuh
dalam menghadapi ilmu api adalah ilmu angin es yang selama ini hampir tak pernah
dikeluarkannya seperti juga Ilmu Belut Menyusup Tanah.
"Kalian semua sudah memilih lawan, biar aku yang jelek ini menghadapi si kembar
muda itu!" kata Hantu Jatilandak. Si kembar muda yang dimaksudkannya adalah
Lagandring. "Nasibku jelek! Agaknya aku hanya akan jadi
penonton!" kata Tringgiling Liang Batu.
Menganggap enteng Hantu Jatilandak, Lagandring
menyeringai buruk lalu berkata. "Sebelum kami mencabut nyawa kalian satu persatu
aku harap pemuda asing bernama Wiro lebih dulu mengembalikan kaca merah milikku
yang dicurinya di tepi telaga tempo hari!"
Mendengar ucapan itu Wiro segera keluarkan kaca
merah yang ada dalam saku pakaiannya. "Orang jelek! Kau inginkan kacamu silakan
ambil sendiri! Kalau kau mampu membunuhku kau tentu sanggup mengambilnya!" Wiro
acungkan kaca itu ke atas. Tak sengaja sambil mengacung dia usap-usap kaca merah
itu. Wiro tidak menyadari apa akibat usapan yang dilakukannya ini. Tiba-tiba
tubuhnya berubah besar dan menjadi lebih tinggi. Terus... terus sampai sosoknya
mencapai dua kali lebih besar dan lebih tinggi dari semula! Wiro berseru kaget.
Semua orang yang berada di pihaknya juga terheran-heran kecuali Si Pelawak
Sinting yang tertawa-tawa cekikikan. Hantu Api Biru yang menjadi lawannya diamdiam merasa kecut juga. Karena itu dia memutuskan untuk menyerbu lebih dulu.
Sambil melompat ke depan dia hantamkan dua tangannya kiri kanan.
Wusss! Wussss! Dua larik kobaran api warna biru menggebubu
menyambar dahsyat ke arah Pendekar 212. Tubuh Wiro yang besar merupakan sasaran
empuk bagi serangan lawan. Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras lalu mencelat
ke atas sampai dua tombak. Di bawahnya
sebuah batu besar yang kena hantaman dua larik kobaran api langsung terbelah
empat dan tenggelam dalam
kobaran api biru! Mau tak mau Wiro jadi tercekat juga menyaksikan hal itu.
Dengan keluarkan jurus Tangan Dewa Menghantam Tanah yakni jurus ke enam dari
ilmu silat langka yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dia lindungi
dirinya ketika berjungkir balik turun ke tanah. Besar tubuhnya yang dua kali
wajar membuat setiap gerakan yang dilakukan Wiro mengeluarkan deru angin keras.
Hantu Api Biru cepat mengelak cari selamat. Di saat yang sama Wiro sudah tegak
di belakangnya.
Hantu Api Biru menggertak marah walau sebenarnya hatinya mendadak kecut melihat
lobang besar yang menganga di tanah akibat pukulan yang dilepaskan Wiro tadi.
Cepat dia balikkan badan. Memandang ke depan dia melihat musuh tegak sambil
angkat dua tangan tinggi-tinggi ke atas. Sepasang telapak membuka lebar,
diarahkan ke depan sambil digoyang-goyangkan. Tampang Hantu Api Biru menjadi
gelisah. Di atas batu dia kerahkan tenaga dalam ke kaki untuk membentengi kudakuda yang dibuatnya. Tiba-tiba dia merasakan ada hawa dingin menerpa ke arahnya.
"Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing ini!"
maki Hantu Api Biru dalam hati sementara sekujur tubuhnya terasa dingin. Dia
lipat gandakan tenaga dalamnya. Lalu seperti tadi memukul dengan dua tangan
sekaligus. Dua larik api biru laksana amukan gelombang menerpa ke depan. Kalau
dalam serangan pertama
sebelumnya Pendekar 212 selamatkan diri dengan
melompat ke udara, kali ini dia tetap tegak di tempatnya, tak bergerak.
Rahangnya menggembung. Hanya tinggal satu tombak dua gelombang api biru siap
menghantamnya tiba-tiba Wiro pukulkan dua tangannya ke depan.
Suara angin seperti tiupan seribu seruling membuncah udara. Bersamaan dengan itu
dua gelombang hawa yang bukan olah-olah dinginnya menyambar. Semua orang yang
ada di tempat itu menggigil kedinginan. Hantu Api Biru kerahkan seluruh
kekuatan. Dua gelombang apinya
bergetar hebat. Dua kakinya goyah. Tiba-tiba dia keluarkan bentakan garang. Kaki
kanannya dihantamkan ke batu hingga mengepulkan asap. Bersamaan dengan itu dia
dorongkan dua tangannya hingga dua gelombang api biru melesat lebih deras.
Pendekar 212 merasa sekujur tubuhnya bergetar keras dan panas. Dia terjajar lima
langkah. Dia berusaha bertahan namun dua gelombang api biru terus merangsak.
Wussss! Wussss!
Wiro berteriak keras, sakit dan kaget. Pakaian putih yang dikenakannya berubah
hitam. Hangus! Untung
tubuhnya sendiri tidak cidera hanya mengalami rasa panas yang amat sangat.
"Anak muda, jangan menganggap enteng musuh! Kalau kau hanya mengerahkan setengah
kekuatan tenaga
dalammu, kau tak akan mampu menghadapi Hantu Api Biru. Sebelum kau dipanggangnya
hidup-hidup lekas lipat gandakan tenaga dalammu!"
Wiro mendengar suara mengiang di telinga kirinya. Lagi-lagi Hantu Tangan Empat
memberi kisikan menolong sang pendekar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera
kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai-sampai dua kakinya melesak sepertiga
jengkal ke dalam batu yang dipijaknya.
Hantu Api Biru melengak kaget ketika melihat
serangannya tadi hanya mampu menghanguskan pakaian lawan. Dia lebih kaget lagi
sewaktu menyaksikan dua gelombang api birunya perlahan-lahan terdorong berbalik
ke arahnya. Makin lama makin menciut. Dia berusaha bertahan. Mendadak ada hawa
aneh yang sangat dingin menjalar ke dalam tubuhnya lewat sepasang lengan.
"Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing keparat ini"!" rutuk Hantu Api
Biru dalam hati. Dia berusaha bertahan. Tubuhnya bergoncang keras. Hawa dingin
luar biasa membungkus dirinya mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki.
Semakin dia bertahan semakin parah keadaannya. Asap putih tampak mengepul dari
batok kepala, lobang hidung dan mulut. Jantungnya mendenyut sakit seolah
berhenti berdetak. Dari mulut, hidung, telinga dan pinggiran matanya keluar
lelehan darah. Wiro dorongkan dua tangannya ke arah lawan. Tak ampun lagi
musnahlah dua gelombang api biru. Bersamaan dengan itu tubuh Hantu Api Biru
mencelat mental, jatuh tersandar di sebuah batu besar. Sekujur tubuhnya tak
berkutik lagi diselimuti lapisan aneh berwarna putih keras dan mengepulkan hawa
dingin membeku. Sepasang matanya mendelik tak berkesip.
Kraak... kraaakkk... kraaakkk!
Lapisan putih beku dan dingin berupa kepingankepingan es yang membungkus tubuh Hantu Api Biru pecah-pecah lalu berjatuhan ke
tanah. Sosok Hantu Api Biru tetap tak bergerak. Mata terus membelalak tak
berkesip tapi dia tidak bisa melihat apa-apa lagi karena saat itu nyawanya telah
putus meninggalkan jazadnya!
Wiro yang sempat jatuh terduduk di tanah akibat
bentrokan adu kekuatan tadi dengan muka pucat perlahan-lahan bangkit berdiri
sambil mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya.
Kini kita saksikan apa yang terjadi antara Hantu Jatilandak dan Lagandring.
Seperti Hantu Api Biru, Lagandring melancarkan serangan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Sebaliknya Hantu Jatilandak begitu menggebrak
menyongsong serangan lawan langsung saja lepaskan selusin duri-duri landaknya ke
arah lawan. Sama sekali tidak menduga kalau duri-duri itu bisa lepas dari tubuh
lawan dan merupakan senjata dahsyat, Lagandring kaget besar dan berseru keras.
Dia cepat berkelebat selamatkan diri. Namun hanya sembilan saja duri beracun itu
yang bisa dielakkannya. Dalam keadaan berbahaya itu dari samping Lagandrung
segera membantu adiknya. Dari kaca bulat putih yang melekat di keningnya dia
semburkan sinar maut yang disebut Sinar Darah Putih. Sinar ini laksana kilat
menyambar ke arah kepala Hantu Jatilandak.
"Curang pengecut! Aku lawanmu!" Hantu Tangan Empat membentak marah. Sekali
berkelebat tinju kanannya tahu-tahu sudah ada di atas kepala lawan.
Lagandrung membentak garang. Tangan kanannya
dipukulkan ke atas menangkis hantaman lawan. Tapi tangan ke dua Hantu Tangan
Empat bergerak lebih cepat mencekal lengan kanannya. Terpaksa Lagandrung
pergunakan tangan kiri untuk menyodok perut lawannya.
Bukkk! Praaakk! Jotosan Lagandrung memang menyusup telak di perut Hantu Tangan Empat hingga
tubuh si kakek terangkat satu jengkal ke atas. Walau kena hantaman begitu rupa
namun Hantu Tangan Empat sama sekali tidak mengalami cidera.
Sebaliknya Lagandrung harus membayar mahal karena kemplangan tangan pertama
Hantu Tangan Empat tidak sanggup dikelit ataupun ditangkisnya. Begitu tinju
Hantu Tangan Empat mendarat di batok kepalanya tak ampun lagi Lagandrung meraung
keras lalu menggelepar di tanah.


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tertua dari dua saudara kembar ini menemui ajal dengan kepala rengkah mata
mencelet! Suara raungan Lagandrung bukan saja membuat sang adik merinding ngeri, sekaligus
tambah kewalahan menghadapi tiga duri landak serangan Hantu Jatilandak yang
masih terus mengejarnya. Sambil jatuhkan diri Lagandring lepaskan pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Namun hanya satu dari tiga duri
landak beracun yang sanggup dibuat mental. Dua lainnya menancap di dada kiri dan
bahu kanan. Lagandring menjerit keras. Mukanya pucat. Dia berusaha mencabut dua
duri itu. Walau berhasil namun racun duri landak telah menjalar ke dalam
darahnya. Dia merasakan nafasnya sesak. Lehernya terjulur seolah ada yang
mencekik. Sesaat kemudian tubuhnya limbung lalu terkapar di tanah.
Kakinya melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanya
lepas sudah! Sementara itu perkelahian antara dua kakak beradik kembar lainnya yakni Labudung
alias Si Pelawak Sinting asli dengan Labodong atau Si Pelawak Sinting palsu
berlangsung seru. Sebagai adik, Labudung memang
setingkat lebih rendah kepandaiannya. Namun dia
mempunyai kepandaian mengejek dan mempermainkan si kakak hingga Labodong menjadi
sakit hati dan termakan kejengkelannya sendiri. Akibatnya serangan-serangan
Labodong banyak yang ngawur!
Dari cara dua saudara kembar ini berkelahi baik Wiro maupun yang lain-lainnya
mengetahui bahwa walau dua kakak adik itu mengerahkan tenaga dalam yang hebat
namun mereka sama sekali seperti sengaja tidak
mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi langka dan mematikan yang mereka
miliki. Dalam waktu singkat tiga puluh jurus berlalu cepat dan kelihatan
Labodong mulai terdesak. Demi mencari selamat Labodong akhirnya mulai keluarkan
pukulan-pukulan sakti sementara sang adik andalkan payung daun, tambur dan
penabuhnya. Sambil menari-nari seperti orang sinting payung di atas kepala Labudung bergerak
mumbul kian kemari. Setiap putaran yang dibuat payung ini pinggiran payung yang
laksana gerinda besar siap membabat kepala, leher atau tubuh lawan. Sementara
suara tambur yang ditabuh dengan mengerahkan tenaga dalam membuat tempat itu
seperti didera guruh tiada henti. Di satu gebrakan yang tampaknya seperti mainmain Labudung secara tak
terduga berhasil susupkan sikut kanannya ke rusuk kakaknya.
Kraaaakkk! Dua tulang iga Labodong patah. Orang ini terjajar ke belakang sambil pegangi
rusuknya. Mukanya merah
mengelam dan keningnya mengerenyit menahan sakit.
Ketika Labudung kembali hendak menggebrak dengan serangan, sang kakak angkat
tangan seraya berseru.
"Tahan!" Sambil berteriak Labodong melompat mundur tiga langkah. "Cukup
Labudung! Hentikan perkelahian gila ini! Kau mau membunuh kakak sendiri! Wahai!"
"Kau yang minta mampus sendiri! Sekarang apa
perlunya menyesali diri!" bentak Labudung.
"Dengar..." kata Labodong pula. "Aku berjanji
meninggalkan Hantu Muka Dua. Aku bertobat..."
"Manusia tolol! Coba tadi-tadi kau bilang begitu, tak perlu aku menjatuhkan
tangan keras!" kata Labudung.
"Aku minta maaf... Padamu... pada semuanya!"
Labodong menjura berulang kali lalu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
"Ingat Labodong!" berkata Labudung. "Jangan kau
berani lagi mengaku-aku memalsu diri sebagai Si Pelawak Sinting! Jika aku tahu
kau mengulangi perbuatan itu, aku akan kocok kepalamu sampai kau benar-benar
sinting!" "Wahai... aku! Aku..." Labodong putar tubuhnya lalu melangkah pergi.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Wiro yang saat itu masih berada dalam keadaan tubuh
tinggi dan besar seperti raksasa berseru.
"Anak muda, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Labodong.
"Pelawak Sinting palsu, bagaimana aku harus
membalas semua budi baikmu selama ini sampai akhirnya kau menjebloskan aku ke
liang batu itu!"
"Ah... wahai! Aku tak mengerti maksudmu! Jangan
menyebut segala macam budi. Aku..."
"Kalau begitu kau boleh pergi dengan aman. Tapi aku minta sesuatu darimu!" Habis
berkata begitu Wiro ulurkan tangan kirinya mencekal pinggang Labodong. Lalu
tangan kanannya bergerak menanggalkan celana yang dikenakan si kakek hingga
orang ini berada dalam keadaan bugil di sebelah bawah.
"Nah, sekarang kau boleh pergi, Kek. Selamat jalan!"
kata Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Semua orang yang ada di tempat itu termasuk
Labudung ikut-ikutan tertawa.
"Wahai! Bagaimana ini!" Labodong alias Si Pelawak Sinting palsu jadi kalang
kabut, berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangan. Akhirnya dia menyambar
serumpun pohon berdaun lebat. Dengan daun-daun itu ditutupnya tubuhnya sebelah
depan lalu lari terbirit-birit tinggalkan tempat itu diikuti gelak tawa semua
orang yang ada di situ.
Wiro tiba-tiba hentikan tawanya. Dia memandang pada dirinya sendiri lalu
berpaling pada Hantu Tangan Empat.
"Celaka Kek! Tubuhku masih sebesar raksasa begini!
Bagaimana aku mengembalikannya ke bentuk semula?"
Hantu Tangan Empat yang saat itu telah merubah diri kembali menjadi kakek
bermuka datar tertawa lebar.
"Bukankah lebih enak jadi orang besar seperti
keadaanmu sekarang ini, wahai anak muda" Ke mana-mana kau pasti menjadi
perhatian orang... Akan banyak para gadis tergila-gila padamu. Akan banyak orang
perempuan ingin mengetahui keadaan auratmu. Nah, apa tidak senang hidup seperti
itu" Hik... hik... hik...!"
"Kakek Pelawak Sinting, jangan kau menggodaku!
Walah! Bisa repot Kek! Tolong Kek!"
"Anak muda, dulu kau kalang kabut minta tolong agar tubuhmu dibesarkan. Kini kau
mendapat berkah dua kali lebih besar! Apa tidak enak?" ujar Hantu Tangan Empat
pula sambil menyeringai.
"Jangan kalian mempermainkan diriku. Jika tahu
caranya harap segera saja mengatakan!" kata Wiro pula.
"Wahai, yang tahu bagaimana caranya mengembalikan dirimu seperti semula hanya
Lagandrung dan Lagandring!
Kau lihat sendiri, dua orang itu sudah menemui ajal!" Yang bicara adalah Si
Pelawak Sinting. Kakek ini lalu tertawa mengekeh. Membuat Wiro jadi tambah
bingung. "Salah satu dari kalian pasti tahu. Tapi kalian sengaja membuat aku bingung
kalang kabut!"
"Aku mau pergi..." Si Pelawak Sinting enak saja bicara.
"Aku juga!" kata Hantu Tangan Empat sambil
menggandeng istrinya.
"Kami juga!" kata Tringgiling Liang Batu.
"Sebelum diriku berubah seperti semula jangan ada yang berani pergi dari sini!"
kata Wiro setengah mengancam.
Tapi Si Pelawak Sinting malah tambah keras
ketawanya. Dia lalu melangkah mendekati murid Sinto Gendeng itu lalu berkata.
"Punya otak untuk diolah. Punya akal untuk diasah. Punya pikiran untuk
mengingat! Wahai anak muda, sebelumnya bukankah kau sudah pernah
melihat Lagandrung dan Lagandring" Sebelumnya
bukankah kau sudah menyaksikan di mana mereka
meletakkan kaca aneh itu?" Habis berkata begitu si kakek lalu melangkah pergi.
Wiro garuk-garuk kepala. Diperhatikannya kaca merah yang sejak tadi dipegangnya.
"Memang aku yang tolol!" kata Wiro sambil pukul
jidatnya sendiri. Dia melirik sebentar pada mayat Lagandrung. Lalu dengan cepat kaca merah itu ditempelkannya ke pertengahan keningnya.
Wiro mendengar seperti ada suara berdesing di telinganya kiri kanan. Secara
ajaib tubuhnya yang tadi besar kini berubah, kembali ke ukuran semula. Wiro
geleng-gelengkan kepala. Menarik nafas lega lalu garuk-garuk kepalanya sambil
senyum-senyum sendiri.
TAMAT Episode Berikutnya: HANTU MUKA DUA
Kisah Membunuh Naga 31 Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol Kampung Setan 13

Cari Blog Ini