Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila Bagian 3
Nan Rancak. Dia menjawab dengan suara perlahan dan tenang.
"Walau aku datang dari pulau terpencil, tapi aku tahu lembah ini adalah tanah
Tuhan. Semua milik Tuhan adalah milik dan diperuntukkan ummatNya juga. Karena
itu jangan kau merasa punya hak untuk mengusir diriku dari sini...."
"Hemmm.... Rupanya kau pandai juga bicara memakai dalih dan membawa nama Tuhan
segala! Apakah Tuhanmu akan menolongmu jika saat ini aku memecahkan kepalamu"!"
Bentak Sabai Nan Rancak.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Setiap orang wajib mengingat Tuhan di mana dan dalam keadaan bagaimana pun
juga! Karena itu jangan kau bersikap takabur dan berhati sombong!
Kau hendak memecahkan kepalaku Tuhan tak akan melarang. Tapi apakah kau tahu
bahwa Tuhan bisa berang?"
Sabai Nan Rancak yang telah kehabisan kesabarannya melompat ke depan. Tangan
kanannya dipukulkan ke batok kepala orang. Yang diserang tetap tegak tak
bergerak. Malah dia menatap seperti tadi ke arah si nenek yaitu jauh dan kosong.
Melihat sikap orang yang seolah menganggap enteng diri dan serangannya Sabai Nan
Rancak menjadi tambah garang.
Kalau tadi dia hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalamnya maka kini dia
menyalurkan hampir separuh kesaktian yang dimilikinya.
Sejengkal lagi gebukan Sabai Nan Rancak akan memecahkan kening orang berambut
putih itu, tiba-tiba ada satu gelombang kekuatan aneh keluar dari kepalanya.
Membuat tangan kanan si nenek terpental.
"Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat ini!" maki Sabai dalam hati. Kembali
dia menghantam. Kali ini dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam. Agaknya sekali
ini pukulan maut itu benar-benar akan memecahkan kepala orang dan merenggut
nyawanya. Tetapi luar biasanya orang yang diserang malah dengan tenang mengambil sirih
yang terselip di telinga kirinya lalu memasukkan sirih itu ke mulut dan
perlahan-lahan mulai mengunyah.
"Jahanam kurang ajar! Dia benar-benar menganggap enteng diriku!" Maki Sabai Nan
Rancak. Tangan kanannya diayun semakin kencang.
Ketika pukulan hanya tinggal setengah jengkal dari kepala tiba-tiba terdengar
pekik Sabai Nan Rancak. Kini bukan saja tangan kanannya yang terpental tapi
tubuhnya ikut sempoyongan.- Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri pasti akan
jatuh terhantar di tanah!
"Kekerasan tidak akan memecahkan persoalan. Mengapa ingin membunuh orang hanya
karena merasa seolah kau menguasai seluruh lembah" Di dunia manusia tidak bisa
hidup sendiri. Antara satu sama lain ada saling ikatan. Mungkin tali
persahabatan. Mungkin jalur ikatan darah. Mungkin juga hubungan budi baik...."
"Jangan bersyair di depanku!" teriak Sabai Nan Rancak marah sekali. Nenek ini
melompat berdiri. Dari jarak enam langkah dia pukulkan tangan kanannya. Selarik
sinar merah berkiblat ke arah orang berambut putih.
Sekali ini orang yang diserang tidak bisa setenang tadi lagi. Wajahnya jelas
memperlihatkan rasa kejut yang amat sangat. Pucat pasi. Dari mulutnya terdengar
seruan. "Pukulan sakti Kipas Neraka!" Orang itu tersurut mundur sampai beberapa langkah.
Agaknya dia menyadari bagaimanapun tingginya ilmu yang. dimilikinya tak bakal
sanggup menghadapi pukulan Kipas Neraka. Selain itu sebenarnya ada satu hal yang
membuat orang ini tercekat karena adanya satu dugaan berat dalam hatinya membuat
dadanya bergemuruh.
Walau terkejut mendengar orang mengetahui dan menyebut nama pukulan saktinya
tapi Sabai Nan Rancak terus saja menghantam. Sebelum larikan sinar merah angker
itu mengembang lebar membentuk kipas tiba-tiba satu seruan keras menggema di
seantero Lembah Merpati.
"Nek! Jangan bunuh orang itu! Kau bakal malu seumur-umur! Tahan Nek! Biar urusan
terang dulu! Jangan bertindak memalukan!"
Saat itu si nenek sedang geram setengah mati. Walau dia mengenali suara Iblis
Pemalu tapi tetap saja dia teruskan serangan Kipas Nerakanya.
Tiba-tiba dari samping ada satu bayangan kuning berkelebat. Tubuh Sabai Nan
Rancak terdorong. Sinar merah Kipas Neraka berkiblat tapi kini melesat ke arah
langit Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
terbuka, menghantam udara kosong walau sempat menghancurkan dan membakar cabangcabang pohon yang terserempet.
Sabai Nan Rancak menjerit keras saking tak dapat menahan luapan amarah yang
seolah membakar dirinya. Dia melompat dan berpaling ke samping sambil siap
melancarkan serangan Kipas Neraka sekali lagi. Tapi ketika dia memandang ke
depan hatinya mendadak menjadi kecut.
* * * SEBELAS Lima langkah dari hadapan Sabai Nan Rancak berlutut di tanah sosok tubuh
berpakaian dan bercadar kuning. Tangan kanannya diulurkan demikian rupa dengan
telapak terpentang diarahkan pada si nenek.
"Pukulan pemunah Kipas Neraka...." Desis Sabai Nan Rancak. Hatinya kecut karena
sebelumnya orang bercadar itu beberapa kali berhasil meredam pukulan saktinya.
Si nenek ingat pada Mantel Sakti yang dikenakannya. "Kalau dia sanggup menahan
pukulan Kipas Nerakaku, jangan harap dia mampu menghadapi Mantel Sakti ini.
Kalau masih belum mempan akan kuhantam sekalian dengan Mutiara Setan!" Lalu si
nenek membuat gerakan membuka mantel yang dikenakannya.
"Kekerasan tidak bisa mencari jalan penyelesaian. Membunuh tidak akan
mendatangkan keuntungan. Manusia hanya akan mendapat penyesalan. Urusan besar
belum sempat diteruskan. Rahasia belum sempat disingkapkan. Mengapa tidak mau
menahan hati. Padahal bukankah kita semua ingin mencari keselamatan diri"!"
Sabai Nan Rancak ingin sekali mendamprat marah. Namun ada rasa mengalah muncul
di lubuk hatinya. Dia urungkan membuka Mantel Sakti. Sesaat dia melirik pada
Iblis Pemalu yang tegak di samping si cadar kuning.
"Kalian telah datang. Apa yang yang sudah diatur bisa segera dibicarakan. Tapi
aku tidak suka manusia satu ini berada di Lembah Merpati. Jika kau tak ingin aku
mengusirnya maka harap kalian berdua segera melemparkannya ke luar lembah!"
"Memalukan! Itu cara dan tindakan memalukan! Nenek tua, aku tidak akan melakukan
apa yang kau katakan!"
"Perduli setan denganmu!" maki Sabai Nan Rancak walau dengan suara perlahan.
Dia berpaling pada si cadar kuning yang saat itu telah tegak dari berlututnya.
"Bagaimana dengan kau" Kau juga tidak mau melakukan apa yang aku katakan"!"
Orang bercadar gelengkan kepala. "Orang berpakaian hijau yang hendak kau
singkirkan itu justru adalah salah satu orang yang aku minta datang ke Lembah
Merpati ini."
"Tapi bukankah kau dulu menyebut orang lain itu adalah Dewi Payung Tujuh, Puti
Andini..." ujar Sabai Nan Rancak tidak mengerti.
"Tidak salah. Namun keadaan berubah. Ada perkembangan baru. Yang perlu diikuti
dan dicari tahu...."
"Kepalaku bisa pecah dengan segala urusan gila penuh teka-teki ini! Katakan
siapa Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
adanya orang ini!" ucap Sabai Nan Rancak hampir berteriak.
"Dia salah satu tokoh penting dalam urusan kita. Tanpa dia sulit membuka segala
rahasia. Kita bersyukur bahwa dia muncul di tanah Jawa. Seolah ini semua memang
kehendak Yang Kuasa. Kami bertemu tak sengaja satu hari yang lalu dengannya.
Sesuai petunjuk maka kami mengundangnya ke lembah." Menerangkan orang bercadar.
"Kalau memang kalian yang menyuruhnya datang ke sini aku tidak akan membuat
perkara. Tapi dia sengaja merahasiakan diri. Itu sebabnya aku menaruh
curiga...."
"Nenek, harap kau tidak marah, kecewa ataupun curiga. Dia bersikap seperti itu
karena aku yang meminta. Jangan sampai salah berkata. Sebelum kami berdua tiba
di lembah...."
"Hemmmm...." Si nenek hanya bisa bergumam mendengar kata-kata si cadar kuning.
"Sesuai perjanjian kita sudah berkumpul di tempat ini. Apalagi yang ditunggu.
Apakah persoalan segera bisa dibicarakan?"
Si cadar kuning berpaling pada Iblis Pemalu. Orang ini anggukkan kepalanya.
Sepasang matanya yang terlihat di sela-sela jari dua tangan yang menutupi
wajahnya sesaat tampak memancarkan sinar aneh. Sikapnya tidak dapat
menyembunyikan rasa tegang.
Orang bercadar melirik ke arah lelaki berpakaian hijau mengaku bernama Rajo Tuo
penguasa pulau Sipatoka yang nampak tegak dengan sikap tenang walau sebenarnya
perasaannya sendiri saat itu campur aduk sulit dikatakan.
"Iblis Pemalu, apakah kau sudah siap melakukan apa yang kita rencanakan?" tanya
si cadar kuning pada Iblis Pemalu. "Rahasia besar yang hendak kita ungkapkan
jalurnya bermula dari dirimu. Kalau kau merasa malu maka rahasia akan tetap
tertutup awan kelabu...."
Iblis Pemalu anggukkan kepala.
"Kalau kau sudah setuju bersudi diri harap segera lakukan rencana suci..." kata
orang bercadar pula.
Sabai Nan Rancak yang tidak tahu apa sebenarnya yang telah diatur oleh orang
bercadar dan Iblis Pemalu berseru ketika dilihatnya Iblis Pemalu hendak
melangkah ke arah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat.
"Tunggu dulu! Mengapa persoalan tidak dimulai dengan mencari tahu siapa
sebenarnya orang berpakaian hijau yang mengaku seorang raja dari pulau Sipatoka
ini!" "Tidak sulit mengikuti apa maumu. Tapi kami berdua telah mengatur rencana agar
persoalan tidak rincu. Jika kau tidak sepakat maka rahasia lama akan
terungkap...."
Sabai Nan Rancak terdiam sesaat. Akhirnya dia berkata. "Terserah padamulah. Aku
hanya mengikut saja. Tapi aku ingatkan semua yang ada di tempat ini. Berlakulah
jujur, jangan berbuat culas dan menipu dalam seribu teka-teki hidup ini!"
"Buang rasa curiga. Jauhkan sikap mendua. Kejujuran adalah sifat budi yang
paling tinggi. Kebenaran adalah kaidah hidup yang paling suci...." Si cadar
kuning goyangkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu.
Iblis Pemalu meneruskan langkahnya menuju ke balik pohon besar dan semak
belukar. Saat demi saat berlalu. Lembah Merpati diselimuti kesunyian. Sesekali
terdengar gemerisik dedaunan yang bergeser oleh tiupan angin. Sesekali terdengar
suara menggeru burung merpati atau suara kepakan binatang itu sewaktu melayang
terbang. Orang berbaju hijau tampak berdiri diam dan tenang. Si cadar kuning memandang ke
arah timur. Berusaha menahan gelora hatinya yang membuat dadanya berdebar keras.
Hanya Sabai Nan Rancak yang kelihatan gelisah. Nenek ini melangkah mundarmandir. Hatinya bicara sendiri. "Apa yang dilakukan Iblis Pemalu pergi ke balik pohon
itu, Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mendekam di sana berlama-lama. Aku ingat peristiwa waktu di pantai dulu. Aku
seolah merasa...."
Terdengar suara semak belukar bergemerisik. Sabai Nan Rancak yang pertama sekali
memalingkan kepala. Disusul oleh Rajo Tuo dan si cadar kuning.
Dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar lebat melangkah keluar seorang
perempuan berusia sekitar lima puluhan. Sebagian rambutnya yang disanggul di
atas kepala berwarna kelabu. Walau berusia setengah abad tapi wajahnya ayu
sekali. Di ujung alisnya sebelah kiri ada sebuah tahi lalat kecil. Kulitnya
kuning langsat. Dia mengenakan pakaian ringkas warna biru muda. Walau dia
melangkah tenang namun dari air mukanya jelas perempuan ini berusaha menekan
perasaan yang menggelora dalam dirinya. Orang ini melangkah dan berdiri di
samping si cadar kuning, menghadap ke arah Rajo Tuo dan Sabai Nan Rancak. Di
tangan kanannya dia memegang buntalan pakaian hitam lusuh serta segulung benda
tipis aneh yang ujungnya ada rambut palsunya; Orang ini mencampakkan pakaian dan
gulungan benda tipis itu ke tanah. Sesaat Sabai Nan Rancak perhatikan benda itu
dengan mata membelalak. Lalu diangkatnya kepalanya seraya berkata pada si cadar
kuning. Suaranya agak bergetar tanda perasaannya kembali bergejolak.
"Tidak pernah kulihat orang ini sebelumnya. Apa dia Iblis Pemalu yang tadi..."
Jadi selama ini dia melakukan penyamaran. Berupa seorang pemuda aneh yang selalu
menutupi wajah dengan dua tangan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia
setengah abadi Cadar kuning lekas kau terangkan siapa orang ini adanya!"
"Puluhan tahun dia hidup dalam penyamaran. Puluhan tahun dia hidup memendam
kegetiran. Puluhan tahun dia menunjukkan sikap aneh seolah kurang ingatan.
Rahasia diri dan perjalanan hidupnya selanjutnya biar dia sendiri yang memberi
keterangan." Jawab si cadar kuning seraya berpaling pada orang yang tegak di
sampingnya. Ketika perempuan itu membuka mulut ternyata suaranya berbeda sekali dengan suara
Iblis Pemalu. Sesuai keadaan dirinya suaranya kini benar-benar terdengar sebagai
suara perempuan.
"Maafkan keadaan diriku. Selama puluhan tahun aku harus hidup bukan sebagai
diriku sendiri. Selama berbulan-bulan aku terpaksa hidup dengan menyandang sifat
aneh bahkan tidak salah kalau dikatakan sebagai orang kurang waras. Hati ini
sebenarnya sudah letih menyamar diri memalsu sikap dan sifat. Namun satu
tuntutan besar meminta aku berlaku seperti itu. Hari ini aku bersyukur pada
Tuhan bahwa aku bisa lepas dari semua penyamaran itu. Sekitar lima puluh tahun
lalu aku dilahirkan di kaki Gunung Singgalang dari rahim seorang perempuan hasil
hubungannya dengan seorang kekasih. Ketika aku keluar dari perut ibu dan muncul
di perut bumi, ibuku jatuh pingsan. Ternyata kemudian di dalam kandungan ibuku
masih ada satu bayi lagi, yakni adik kembarku. Dukun yang menolong melahirkan
berjuang mati-matian untuk dapat mengeluarkan adik kembarku sementara ibuku
masih berada dalam keadaan pingsan.... Mungkin sudah ada yang mengatur bahwa
begitu diriku lahir maka aku akan diserahkan pada seseorang karena konon baik
ayah maupun ibuku merasa malu telah melahirkan seorang anak tanpa jalinan
hubungan perkawinan. Tapi ternyata setelah aku masih ada satu bayi lagi dalam
perut ibuku yakni adik kembarku tadi. Sejak aku masih bayi merah aku sudah
dipisahkan dengan adikku oleh satu riwayat hidup yang mungkin sudah menjadi
takdir Yang Maha Kuasa bagi kami berdua.
Masih belum bernama, dan mungkin juga wajahku tidak sempat dilihat oleh ibuku
sendiri, apalagi ayahku maka aku dibawa orang ke satu tempat yang sangat jauh,
dipelihara Oleh sepasang suami istri yang hanya punya satu anak lelaki dan
sangat menginginkan Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
seorang anak perempuan. Aku diberi nama Bululani. Adapun anak lelaki kakak
angkatku bernama Bululawang, tujuh tahun lebih tua dariku. Sebagai kakak adik
walau tidak sedarah sedaging kami hidup rukun di bawah naungan kasih sayang
orang tua kami berdua...."
Sampai di situ perempuan berambut kelabu yang menyamar sebagai Iblis Pemalu dan
sebenarnya bernama Bululani ini hentikan penuturannya. Kedua matanya dipejamkan.
Dia berusaha menahan gejolak dalam dirinya tapi tak dapat. Air mata meleleh
keluar dari sudut-sudut matanya yang dipejamkan.
"Perasaan yang keluar disertai air mata adalah perasaan paling suci dari seorang
anak manusia. Tapi jangan sampai hati naik ke kepala. Jangan sampai perasaan
mempengaruhi pikiran. Kuatkan hatimu Bululani. Teruskan penuturanmu...."
Mendengar ucapan orang bercadar, Bululani, perempuan berpakaian ringkas biru
muda itu seka ke dua matanya. Sementara itu Sabai Nan Rancak tegak tertunduk.
Dalam hati dia berkata. "Perempuan itu menuturkan riwayat dirinya. Namun rasarasanya ada sangkut paut dengan diriku. Siapa ayah dan ibunya...?"
Si nenek tak sempat berpikir lebih panjang karena saat itu Bululani telah mulai
meneruskan keterangan menyangkut rahasia dirinya.
* * * DUA BELAS Dalam kehidupan kami, orang tua kami tidak membedakan antara aku dengan anak
kandungnya. Kami diberikan pendidikan agama yang cukup. Juga berbagai ilmu
pengetahuan termasuk ilmu silat serta kesaktian. Beberapa waktu lalu, dalam usia
yang sebenarnya tidak muda lagi kakakku Bululawang melakukan perjalanan ke
berbagai daerah. Malang tak dapat ditolak, di satu tempat dia tewas menjadi
korban pembunuhan. Si pembunuh seperti kabar yang sampai kepadaku adalah seorang
pendekar muda bernama Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Untuk menuntut balas aku bersikeras meninggalkan rumah guna mencari pembunuh
kakakku. Kedua orang tua angkatku melarang. Sebenarnya mereka merasa kasihan
padaku karena sampai usiaku lanjut aku masih belum mendapatkan pasangan hidup.
Sesungguhnya banyak pemuda yang suka padaku, tapi entah mengapa aku seperti
tidak berkeinginan untuk berumah tangga. Walau ayah dan ibuku melarang habishabisan tapi aku tak bisa ditahan lagi. Suatu malam secara diam-diam aku
meninggalkan rumah.
Sebenarnya ada satu hal yang membuat mengapa aku menjadi nekad. Beberapa bulan
sebelum Bululawang dibunuh, seseorang memberitahu bahwa aku ini sebenarnya
Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah anak pungut atau anak angkat. Jadi bukan anak kandung. Semula ingin
kutanyakan kebenaran hal itu pada kedua orang tuaku. Namun aku takut mereka
tersinggung, atau sedih, atau mungkin juga marah. Maka kebenaran hal itu
akhirnya kutanyakan pada Bululawang. Mula-mula dia mengatakan bahwa hal itu
adalah dusta dan fitnah belaka.
Akari tetapi sebelum dia pergi, Bululawang sempat bicara denganku. Dia
mengatakan bahwa aku memang adalah anak angkat. Namun orang tuanya tidak
menganggap diriku sebagai anak angkat. Mereka menganggap aku sama dengan
Bululawang yaitu sebagai anak kandungnya sendiri. Bululawang juga berkata
begitu. Aku baginya adalah adik kandung Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Karya Bastian Tito
sedarah sedaging yang sangat disayanginya.
Begitulah, memang aku ingin meninggalkan rumah untuk mencari pembunuh
Bululawang. Tapi sekaligus aku juga ingin mencari tahu siapa adanya ke dua orang
tuaku. Dimana mereka berada. Apa masih hidup. Kalau sudah meninggal dimana kubur
mereka. Sebelum hal itu jelas, bagiku merupakan satu rahasia hidup yang sangat menekan
batinku. (Mengenai siapa adanya Bululawang harap, baca serial Wiro Sableng berjudul
Dendam Manusia Paku)
Untuk memudahkan diriku dalam perjalanan aku menyamar sebagai Iblis Pemalu.
Bersikap aneh seolah-olah gila dan menutupi wajah serta tanganku dengan lapisan
kulit. Dalam penyelidikan aku bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan. Antaranya
Pengiring Mayat Muka Hijau, seorang nenek bernama Sika Sure Jelantik dan seorang
kakek bermata memberojol besar bernama Datuk Gadang Mentari. Belakangan aku
ketahui mereka bertiga bukanlah orang baik-baik. Pengiring Mayat Muka Hijau
adalah tangan kanan Datuk Lembah Akhirat yang membunuh dan mengadu domba sesama
tokoh silat golongan putih.
Datuk Gadang Mentari kudengar kabar adalah kaki tangan seorang sakti dari Gunung
Singgalang yang punya urusan dengan murid Dewa Tuak. Katanya adiknya yang
bernama Datuk Mangkuto Kamang dibunuh oleh Anggini, murid Dewa Tuak. Belakangan
aku ketahui bahwa hal itu hanyalah fitnah orang sakti di puncak Singgalang itu
yang untuk tujuan tertentu sengaja menghasut Datuk Gadang Mentari agar bentrokan
dengan Dewa Tuak.
Lalu mengenai nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, belakangan kuketahui pula
bahwa dia adalah salah seorang kekasih ayahku di masa muda dan malah sampai saat
ini berusaha mencari ayahku .untuk membunuhnya guna melampiaskan dendam
kesumatnya. Si nenek itu kabarnya pernah menyamar jadi seorang dukun dan diam di sebuah
pulau kerajaan bernama Sipatoka...."
Orang berpakaian hijau yang sejak tadi berdiri tenang mendengar penuturan Iblis
Pemalu alias Bululani tersentak sampai kepalanya terdongak ke atas.
"Perempuan bernama Bululani..." kata orang itu dengan suara bergetar. "Dukun tua
yang kau sebutkan itu apakah dia yang pernah memakai nama Dukun Sakti Langit
Takambang?"
Bululani berpaling ke arah si baju hijau. Sesaat pandangannya tampak sayu. Lalu
perlahan-lahan dia anggukkan kepala. "Betul Rajo Tuo.... Dukun Sakti Langit
Takambang berada di pulaumu. Menyamar menjadi dukun sakti kepercayaanmu karena
sebenarnya dia mengincar sebuah benda sakti mandraguna...."
"Maksudmu...."
"Rajo Tuo, harap kau tidak menyebut dulu nama barang itu. Karena akan merusak
jalannya penuturan Bululani. Harap kau bersabar dulu. Agar semua nanti bisa
menahan diri."
Sampai di situ Sabai Nan Rancak yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.
"Orang bercadar dan kau perempuan bernama Bululani. Agaknya ada sesuatu yang
sengaja kalian rahasiakan terhadap diriku! Aku tidak suka cara kalian ini!"
"Rahasia di dalam rahasia. Kalau untuk manfaat bersama. Mengapa tidak ditunda
sesaat saja. Agar kita semua tidak kecewa. Semua akan segera nyata. Masalahnya
hanya menunggu waktu yang tepat saja..." jawab orang bercadar dengan gaya
bahasanya yang selalu berpantun.
"Baik! Aku bisa bersabar tapi tidak terlalu lama." Jawab Sabai Nan Rancak.
"Sekarang aku ingin tahu siapa nama ayah dan ibu yang melahirkanmu! Harap kau
segera menjawab Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
pertanyaanku Bululani!"
"Ketika aku dibawa pergi, aku masih bayi. Aku tidak pernah tahu nama ayan dan
ibu kandungku. Kedua orang tua angkatku juga tidak pernah memberitahu. Mungkin
mereka juga tidak tahu..." menjelaskan Bululani.
"Ini adalah aneh," kata Sabai Nan Rancak dengan wajah berkerut. "Kalau begitu
siapa yang memberitahu semua cerita yang barusan kau tuturkan itu!"
Bululani memandang ke arah orang bercadar.
"Biar aku yang menjawab," kata si cadar kuning pula. "Apa yang dituturkan
Bululani adalah sahih dan benar adanya. Dia tidak berbohong tidak pula berdusta.
Cerita itu didengarnya langsung dari seorang tokoh sakti di pulau Andalas. Kelak
pada saatnya kita akan menemui orang itu. Tidak akan lama lagi kebenaran rahasia
itu akan segera kita ketahui...."
"Walah!" Sabai Nan Rancak goleng-goleng kepala. "Bukankah kita berkumpul di sini
untuk Mengungkapkan segala rahasia yang ada. Sekarang mengapa malah menambah
rahasia?" "Harap kau mau bersabar Nek. Ini adalah atas permintaan tokoh silat sakti dari
Andalas itu. Kalau semua disingkapkan sekarang mungkin banyak hal yang akan
terabai. Paling tidak kau nanti akan menanyakan bukti. Padahal menurut pesan semua
kejelasan akan dikatakan sendiri oleh tokoh itu...."
Sabai Nan Rancak keluarkan suara seperti menggerendeng. "aku kenal semua tokoh
silat di Pulau Andalas. Katakan saja aku pasti tahu...."
Bululani menggeleng, "Harap maafmu Nek. Biar aku lanjutkan penuturanku...."
Walau tidak senang tapi Sabai Nan Rancak diam saja. Maka Bululani meneruskan
keterangannya. "Walau aku tahu Datuk Gadang Mentari, si nenek Sika Sure Jelantik
dan Pengiring Mayat Muka Hijau bukan manusia-manusia baik, tapi aku membutuhkan
mereka untuk mencari keterangan dimana adanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang
telah membunuh kakakku Bululawang. Di satu lembah batu kami akhirnya menemukan
pemuda itu yang kebetulan berada bersama Anggini, gadis yang tengah dicari-cari
Datuk Gadang Mentari.
Tapi justru saat itu pula aku mendapat penjelasan bahwa sesungguhnya kakakku
Bululawang menemui ajal karena ada sangkut paut dengan kejahatan yang dilakukan
oleh Dewi Ular. Dikatakan bahwa kakakku menemui ajal di tangan seorang pemuda
bernama Sandaka berjuluk Manusia Paku.
Sebelum persoalan menjadi lebih jelas suasana di lembah batu kacau balau karena
seorang pemuda bernama Panji yang jadi lawan Pendekar 212 melarikan sebuah kain
berisi peta penunjuk tempat disembunyikannya Pedang Naga Suci 212.
Sementara rimba persilatan bertambah kacau akibat lenyapnya banyak tokoh silat
golongan putih yang ternyata diculik dan dibawa ke Lembah Akhirat, aku beberapa
kali bertemu dengan orang bercadar kuning ini. Semula aku menganggapnya sebagai
musuh yang punya maksud jahat. Namun dalam beberapa pertemuan aku melihat dia
banyak tahu tentang riwayatku. Maka diam-diam aku juga menyelidiki. Pada
pertemuan terakhir kami berdua menyadari bahwa sesungguhnya antara kami berdua
ada hubungan darah yang sangat dekat. Mungkin dia adalah adik kembarku yang
selama puluhan tahun tak pernah kutemukan. Kukatakan mungkin karena kebenaran
hal ini harus dibuktikan dengan petunjuk oleh tokoh silat utama dari Pulau
Andalas itu...."
"Hemm..." Sabai Nan Rancak bergumam. "Orang bercadar, jadi kau sebenarnya adalah
seorang perempuan yang selama ini bersembunyi dibalik baju dan cadar kuningmu.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Usiamu tentu sama dengan usia Bululani. Sekitar setengah abad...." Si nenek
berpaling pada Bululani lalu berkata. "Jika kau sudah tahu orang bercadar ini
adalah saudara kembarmu, apakah kau sudah tahu siapa namanya?"
"Dia belum mau memberi tahu," jawab Bululani.
"Berarti dia melakukan kecurangan. Sengaja menyembunyikan sesuatu!" tukas Sabai
Nan Rancak. Nenek satu ini kembali menjadi geram.
"Aku tidak melakukan kecurangan. Tidak pula menyembunyikan sesuatu. Aku hanya
menunda keterangan. Sesuai petunjuk tokoh yang memberitahu. Biar kejelasan
terucap keluar dari mulut orang bukan dariku. Karena diri ini juga tersangkut
dalam rahasia yang satu."
Saking kesalnya Sabai Nan Rancak bantingkan kaki kanannya ke tanah hingga Lembah
Merpati terasa bergetar. Burung-burung beterbangan dan di tanah yang bekas
dihantam bantingan kaki tadi kelihatan satu lobang besar.
Walau kesal kelihatan namun Sabai Nan Rancak diam-diam merasa lega juga. Tadi
dia menduga bahwa jangan-jangan ibu Iblis Pemalu atau Bululani adalah dirinya
sendiri. Tapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu melahirkan sepasang bayi kembar
sedang dia hanya melahirkan seorang bayi saja, maka berarti bukan dirinya yang
dimaksudkan dalam penuturan Bululani.
"Orang berbaju hijau sekarang giliranmu!"
Si baju hijau yang tegak sambil mengunyah sirih terkejut mendengar kata-kata
Bululani itu. "Giliranku apa" Apa maksudmu?" Dia balik bertanya.
"Rajo Tuo," kini si cadar kuning yang bicara. "Orang yang mengaku saudara
kembarku ini telah menceritakan riwayat dirinya. Sekarang giliranmu untuk
menuturkan riwayat dirimu. Bukankah kau meninggalkan tempat kediamanmu karena
mencari puteramu" Harap kau menuturkan mulai dari perkawinanmu dengan ibu anakmu itu. Siapa nama istrimu dan bagaimana kau
sampai berada di tempat ini...."
Orang berbaju hijau sesaat hanya tegak berdiam diri. Lalu dia menyembur
mengeluarkan sirih yang dikunyahnya.
"Aku sudah menceritakan padamu. Sudah menceritakan semua."
"Padaku, tapi tidak pada nenek ini. Dan hanya sedikit pada saudaraku ini."
Orang itu memandang dulu pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia mulai dengan
penuturannya. "Aku kawin ketika berusia dua puluh enam tahun dan istriku delapan belas. Aku
tidak tahu asal-usul istriku. Jangankan diriku, istriku sendiri boleh dikatakan
tidak tahu siapa ayah ibunya. Menurut dia ibunya meninggalkan dirinya sejak dia
masih kecil. Dia dipelihara oleh satu keluarga miskin yang tak punya anak.
Mereka tinggal di satu gubuk kecil, terpencil di kaki gunung Singgalang. Setahun
setelah kawin istriku melahirkan seorang bayi perempuan. Keadaannya yang sakitsakitan ditambah ketidakmampuannya merawat anak yang masih kecil membuat aku
menjadi marah. Dia lalu minggat meninggalkan diriku. Sampai saat ini aku tidak
pernah mendengar kabar tentang dirinya.
Apa masih hidup atau sudah meninggal...."
Orang bercadar melirik pada Sabai Nan Rancak. Dilihatnya si nenek tegak tak
bergerak. Kepalanya tertunduk memandangi rerumputan yang tumbuh di tempat itu.
"Rajo Tuo," menegur orang bercadar. "Bagian terakhir dari ceritamu adalah palsu
dan dusta! Aku pernah mengatakan hal itu padamu dalam pertemuan kita sebelumnya.
Mengapa kau masih berani bicara dusta?"
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Wajah Rajo Tuo tampak berubah. Orang ini sesaat menatap jauh ke depan. Lalu
tenggorokannya turun naik dan suara sesenggukan keluar dari mulutnya. '
"Semua salahku.... Semua memang salahku..." katanya setengah meratap sambil
menutup wajahnya.
"Pertemuan ini bukan untuk mendengar ratap tangismu! Harap kau suka bicara
mengulang cerita. Hanya kejujuran yang akan membebaskan diri dari tekanan bathin
yang menghimpit dirimu!" ujar orang bercadar memperingatkan.
Rajo Tuo hapus air matanya. Dia coba menguatkan hati. Lalu mengulangi kembali
sebagian ceritanya tadi.
* * * TIGA BELAS Maafkan diriku.... Tadi memang ada ceritaku yang tidak benar. Aku terlalu takut
menghadapi hukuman Tuhan. Namun agaknya aku tak mungkin lari dari kenyataan. Aku
juga mengerti bahwa hanya dengan kenyataanlah rahasia besar yang menyangkut diri
kita semua bisa diungkapkan. Tadi aku ceritakan setelah melahirkan istriku
selalu sakit-sakitan. Dia memang sakit tapi bukan sakit jasmani melainkan lebih
banyak akibat tekanan bathin karena ulahku. Aku sering meninggalkannya.
Terkadang sampai berbulan-bulan. Perbuatanku yang semena-mena itu kulakukan
karena aku telah terpikat pada seorang gadis yang diam di sebuah pulau, bernama
pulau Sipatoka. Si gadis adalah puteri penguasa pulau yang telah menganggap
pulau itu sebagai satu kerajaan kecil.
Suatu saat penguasa pulau itu jatuh sakit. Sebelum meninggal dia minta aku
mengawini puterinya, sekaligus menyerahkan tahta kerajaan Sipatoka padaku. Sejak
aku kawin dan tinggal di pulau aku tak pernah menjenguk anak istriku. Satu
ketika aku mengutus seseorang untuk pergi ke kaki Singgalang guna menyelidiki
keadaan anak istriku. Ternyata gubuk kediaman mereka kosong. Menurut satusatunya tetangga ada seorang bernama Malin, mengaku sebagai suruhan, suatu hari
datang lalu membawa pergi anak istriku. Aku masih berusaha terus menyelidiki dan
mencari orang bernama Malin itu. Tapi di Andalas ada ratusan orang bernama
Malin. Anak dan istriku tak pernah kutemukan lagi sampai saat ini.... Tak bisa
kupastikan apa mereka masih hidup atau sudah meninggal. Kalau anakku itu masih
hidup tentu dia sekarang telah menjadi seorang gadis. Aku kemudian mengarang
cerita bahwa istriku telah meninggal dunia karena sakit-sakitan. Ah... aku
menyesal. Perbuatan di masa muda hanya menimbulkan derita sengsara di masa tua....
Bagaimana aku menebus segala dosa." Orang berbaju hijau itu tundukkan kepala
dengan wajah amat sedih.
"Ceritamu sudah benar, tapi ada yang belum kau jelaskan. Sebagai seorang Rajo
Tua dari kerajaan pulau Sipatoka kau tentunya punya nama. Istrimu tentu juga
punya nama dan anak kalian juga tentu punya nama.... Mengapa tidak kau jelaskan
siapa-siapa nama mereka?"
Rajo Tuo angkat kepalanya sedikit. Sejurus dia menatap pada orang bercadar lalu
melirik pada si nenek. Ada getaran-getaran aneh tiba-tiba dirasakan lelaki
berusia 60 tahun ini. "Aku tidak tahu..." katanya dengan suara tersendat.
"Apakah anakku itu masih memakai nama yang pernah aku berikan padanya...." Rajo
Tuo geleng-gelengkan kepala.
Mulutnya kembali terkancing. Air mata membasahi pipinya yang cekung.
"Jangan rahasia disimpan di dalam hati. Sebutkan nama agar kami semua tahu. Tak
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
ada lagi gunanya segala sembunyi. Ini saat paling baik untuk memberitahu."
"Aku.... Aku memberi nama anak itu Puti Andini...."
Sabai Nan Rancak memekik keras. Mukanya yang penuh keriput kelihatan seputih
kertas. Dadanya berguncang hebat. Sepasang kakinya tersurut sampai tiga langkah.
Tiba-tiba nenek ini melompat ke hadapan Rajo Tuo. Membuat lelaki ini kini yang
jadi tersurut saking kagetnya.
"Kau mengatakan anakmu itu bernama Puti Andini! Jangan kau berani bicara dusta!"
teriak Sabai Nan Rancak.
"Aku.... Aku tidak bicara dusta. Puti Andini memang nama yang kuberikan pada
anakku sebelum dia dan ibunya kutinggal pergi!" jawab Rajo Tuo.
"Aku punya seorang cucu perempuan yang juga bernama Puti Andini! Apa ini satu
kebetulan nama sama. Atau.... Kubunuh kau jika berani mengarang cerita dusta!"
"Nenek, siapa kau ini sebenarnya hingga marah begini rupa terhadapku?" tanya
Rajo Tuo dengan wajah yang kini juga menjadi pucat.
"Nenek, harap kau bisa menahan diri dan perasaan. Biar Rajo Tuo menyelesaikan
ceritanya...."
"Tidak!" teriak Sabai Nan Rancak. "Aku harus tahu siapa namamu! Aku harus tahu
siapa gelarmu!"
Rajo Tuo tak mau menjawab melainkan memandang pada Iblis Pemalu alias Bululani,
lalu pada orang bercadar.
"Rajo Tuo, penuhi permintaannya. Katakan namamu..." kata orang bercadar pula.
"Namaku Sidi Kuniang...." Rajo Tuo mengatakan namanya.
"Sidi Kuniang..." mengulang Sabai Nan Rancak dalam hati. "Tak aku kenal nama
itu. Tak pernah kudengar nama ini!" Si nenek berpaling pada orang bercadar lantas
berkata, "Aku tak kenal orang ini. Tak pernah mendengar namanya!"
"Rajo Tuo, orang tak kenal namamu. Mengapa tidak memberi tahu siapa gelarmu?"
Berkata si cadar kuning.
"Orang tuaku memberi aku gelar Datuk Paduko Intan..." kata orang berbaju hijau
Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan suara perlahan. Namun ucapan itu datangnya di telinga Sabai Nan Rancak
laksana petir menyambar.
Dia menjerit keras. Dari celah-celah antara kepala dan topi berkeluk yang
dikenakannya kelihatan kepulan asap pertanda dapat dibayangkan bagaimana
marahnya si nenek.
"Manusia jahanam! Laknat terkutuk! Jadi kau rupanya! Pembunuh anakku!
Penyengsara cucuku! Memang sudah lama kau kucari untuk kujadikan bangkai! Mampus
kau sekarang juga!"
Habis membentak begitu rupa Sabai Nan Rancak angkat kedua tangannya. Karena dia
mengalirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya maka dua
lengannya berubah menjadi merah. Si nenek jelas siap untuk menghantam dengan
pukulan maut Kipas Neraka. Dua pukulan sekaligus!
"Nenek siapa kau adanya!" seru Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dengan wajah
ketakutan dan melangkah mundur menjauhi si nenek.
"Siapa aku nanti bisa kau tanyakan di neraka!" jawab Sabai Nan Rancak. Dua
lengannya ditarik ke belakang.
"Nek! Tahan! Jangan bunuh dia!" teriak Iblis Pemalu alias Bululani yang kini
cara bicaranya tidak lagi seperti dulu yakni selalu menyebut-nyebut malu atau
memalukan. Kedua wajahnya pun tidak lagi ditutupnya dengan dua telapak tangan.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Tunggu!" teriak orang bercadar. Dia cepat berkelebat ke hadapan Sabai Nan
Rancak. "Jangan cepat turuti tangan. Tanpa alasan...."
"Aku punya sejuta alasan untuk membunuhnya! Dia adalah menantu yang tak pantas
Kusebut sebagai menantu. Manusia laknat terkutuk! Menyia-nyiakan anakku,
menyengsarakan cucuku!"
"Kalau kau ingin membunuhnya itu soal gampang. Apalagi kalau kau punya alasan
segudang. Tapi kejelasan perlu diungkap. Apa benar dia si menantu laknat...."
"Apa ada sepuluh Datuk Paduko Intan di dunia ini"!" sahut Sabai Nan Rancak pula.
"Aku yakin seribu yakin inilah Datuk Paduko Intan manusia yang telah mencelakai
anak cucuku!"
"Harap kau suka bersabar barang sedikit. Agar perbuatan keliru tidak membawa
sesal penyakit. Biar aku tanyakan beberapa hal padanya. Kalau dia menjawab tanpa
dusta. Maka semua akan jelas dan nyata...." Si cadar kuning memegang lengan Sabai Nan
Rancak. Semula si nenek hendak menyentakkan tangannya yang dipegang malah hendak
mendorong si cadar kuning dengan tangannya yang lain. Namun dia tercekat ketika
melihat sepasang mata bening orang bercadar basah oleh air mata. Gerakannya
ditahannya dan dia hanya mengikut saja ketika dibawa ke samping menjauhi Rajo
Tuo Datuk Paduko Intan.
"Kita berada di sini bukan untuk saling membunuh. Menyingkap rahasia hidup
adalah lebih utama dari kematian. Jangan memecah buluh. Kalau miangnya akan
meracun tubuh!"
Setelah yakin bahwa Sabai Nan Rancak tidak akan menyerang maka si cadar kuning
berpaling pada orang berpakaian hijau. "Rajo Tuo Datuk Paduko Intan...." Suara
si cadar kuning terdengar aneh di telinga Sabai Nan Rancak. Tidak lagi seperti
suaranya sebelumnya.
"Agar jelas bagi kami semua. Agar tidak ada yang salah langkah. Harap kau sudi
bicara. Katakan siapa nama istrimu. Juga apakah kau masih ingat siapa nama mertuamu baik
yang lelaki ataupun yang perempuan...."
"Sudah kukatakan aku tidak tahu nama kedua mertuaku...."
Si cadar kuning gelengkan kepala. "Tidak Rajo Tuo. Aku yakin kau tahu siapa nama
kedua mertuamu. Bukankah kau pernah ditemui oleh seseorang yang datang membawa
sebuah benda. Benda itu harus kau sampaikan pada.... Aku yakin kau tahu tapi kau
masih berusaha menyembunyikan. Aku tak tahu apa kau punya tujuan...."
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan kerenyitkan kening dan usap-usap dagunya sesaat.
Lama orang ini terdiam sebelum akhirnya dia berkata. "Orang yang datang
menemuiku membawa sebuah benda dalam satu kotak perak. Katanya benda itu harus
aku serahkan pada ibu mendiang istriku. Dia memang mengatakan siapa ibu mertuaku
itu. Seorang nenek bernama Sabai Nan Rancak. Aku juga diberitahu bahwa Sabai Nan
Rancak tengah mencari suaminya, ayah istriku, yang diketahuinya bergelar Tua
Gila. Katanya lagi Sabai Nan Rancak mencari Tua Gila untuk membunuh si kakek
karena dendam kesumat urusan cinta di masa muda!"
"Apa kataku! Apa kataku!" teriak Sabai Nan Rancak dengan tubuh tampak seperti
menggigil dan mata membeliak seolah mau melompat keluar dari rongganya. "Memang
dia jahanamnya! Memang manusia satu ini laknatnya! Aku tidak akan pernah
mengakuinya sebagai menantu! Keparat!"
Si cadar kuning angkat kedua tangannya. "Nek, aku masih ingin kau menunjukkan
kesabaran. Masih ada beberapa hal perlu kejelasan.... Rajo Tuo Datuk Paduko
Intan, kau tahu siapa nenek bermantel hitam yang tegak di hadapanmu ini?"
"A... aku tidak tahu. Tapi kini aku bisa menduga...."
"Apa dugaanmu Rajo Tuo?" Yang bertanya adalah Bululani.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Mungkin dia...dia adalah Sabai Nan Rancak, ibu istriku, ibu mertuaku!"
"Bukan mungkin! Tapi aku memang adalah Sabai Nan Rancak! Dan jangan kau berani
menyebut diriku sebagai ibu mertuamu! Jahanam keparat!"
"Rajo Tuo, satu hal lagi harus kau terangkan. Siapa nama istrimu gerangan....
Kalau kau tidak tahu namanya. Tidak pula menyebutkannya. Maka semua . ceritamu
tadi hanya dusta belaka!"
"Andam Suri. Namanya Andam Suri...." Rajo Tuo Datuk Paduko Intan lalu tutup
wajahnya dengan dua tangan. Tenggorokannya turun naik. Tubuhnya berguncangguncang tanda dia berusaha keras untuk menahan tangis.
"Manusia jahanam! Kau bukan saja busuk jahat. Tapi juga pengecut! Kau berpurapura menangis agar orang berhiba hati. Apapun yang terjadi aku tetap akan
membunuhmu! Orang bercadar harap kau lekas menyingkir!"
"Nenek Sabai, tunggu dulu! Sebagian rahasia memang sudah tersingkap. Tapi harus
ada bukti agar dapat menentukan sikap!" kata si cadar kuning pula.
"Pertanyaanku pada orang ini belum selesai. Datuk Paduko Intan, kalau Andam Suri
benar istrimu, apakah kau tahu atau mungkin pernah menyirap kabar dimana dia
berada saat ini?"
Yang ditanya turunkan tangan. Wajahnya tampak kuyu sedih. Lalu dia gelengkan
kepala. "Aku tidak tahu di mana dia berada. Kalau memang masih hidup aku ingin
sekali menemuinya dan bersujud minta ampun...."
"Minta ampun! Huh! Alangkah enaknya!" hardik Sabat Nan Rancak. Dia maju dua
langkah tapi cepat dihalangi si cadar kuning.
"Nek, setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Ukuran hukum atas diri
seseorang tidak hanya ditakar dari dosa dan kesalahannya belaka. Mungkin ada
alasan mengapa dia berbuat begitu. Mungkin ada rangkaian kejadian yang memaksa
dirinya melakukan sesuatu. Kita semua harus bertindak bijaksana. Sekali lagi aku
meminta. Rahasia memang sudah tersingkap. Tapi bukti perlu dilihat...."
"Bukti apa lagi"!" bentak Sabai Nan Rancak dengan mata membelalak.
"Bukti itu akan kita dapat dan ketahui pada hari empat belas bulan purnama
mendatang...."
"Aku ada urusan pada saat itu...."
"Hemmm.... Apakah terpikir olehmu bahwa urusanmu ada sangkut pautnya dengan
urusan kita semua. Bukankah seorang sakti berjuluk Kakek Segala Tahu yang
memintamu untuk datang ke satu tempat pada bulan purnama empat belas hari?"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Sabai Nan Rancak.
"Banyak yang kau tahu. Tapi masih lebih banyak yang aku tidak tahu. Karena itu
kita akan bertemu lagi pada hari empat belas malam mendatang. Semua bukti harus
dicocokkan. Kalau semua bukti tepat. Maka akan gampang menyelesaikan silang sengketa lantai
terjungkat. Bisakah aku mengharapkan kesabaranmu lagi Nek" Menunggu sampai hari
empat belas, malam bulan purnama penuh?"
"Rasa-rasanya aku sudah tidak bisa menunggu. Tak ada lagi kesabaran dalam
diriku! Tapi sekali ini aku terpaksa mengalah..." kata Sabai Nan Rancak dengan suara
datar. "Orang mengalah bukan berarti kalah. Orang mengalah bukan berarti mencari susah.
Orang mengalah justru menunjukkan budi luhur dan tinggi. Orang mengalah justru
akan mencapai kemenangan pribadi.... aku sangat berterima kasih...."
"Kau boleh saja berkata begitu! Tapi aku punya beberapa pertanyaan untuk Raja
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
geblek ini!"
"Silahkan kau bertanya...."
"Paduko Intan! Kau menuturkan ada orang datang padamu membawa sebuah kotak
perak. Orang itu meminta agar kau menyerahkan kotak tersebut pada seorang nenek
bernama Sabai Nan Rancak, yaitu diriku sendiri! Kau tahu apa isi kotak perak
itu?" "Sebuah kalung perak sakti bermata hijau bernama Kalung Permata Kejora...."
"Di mana kau simpan kalung itu sekarang"!" tanya Sabai Nan Rancak geregetan.
"Kuserahkan pada seseorang...."
"Kau serahkan pada seseorang"!" ujar si nenek dengan mata melotot. "Siapa
orangnya?"
"Seorang sahabat bernama Wiro Sableng," jawab Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
(Seperti dituturkan dalam Episode pertama Tua Gila Dari Andalas kalung sakti itu
diserahkan Datuk Paduko Intan pada Tua Gila untuk diserahkan pada Sabai Nah
Rancak. Ketika Datuk Paduko Intan menanyakan namanya, seenaknya saja Tua Gila
memberitahu bahwa namanya adalah Wiro Sableng)
Sabai Nan Rancak sampai terlonjak mendengar jawaban Datuk Paduko Intan itu.
"Manusia celaka! Kau benar-benar jahanam! Kalung itu kau serahkan pada musuh
besar yang harus kubunuh!" Sabai Nan Rancak melangkah mondar-mandir sambil
merepet tak karuan dan banting-banting kaki.
"Kalian semua dengar! Aku harus pergi dari sini! Dan kau!" Si nenek menunjuk
tepat-tepat pada Datuk Paduko Intan. "Aku tidak ingin melihat tampangmu lagi!
Sekali kau muncul di hadapanku amblas nyawamu!"
"Nek, kau mau ke mana?" tanya Bululani.
"Lama-lama di sini aku bisa mati berdiri!" jawab Sabai Nan Rancak. "Jangan harap
aku akan memenuhi, permintaan kalian datang pada pertemuan di Telaga
Gajahmungkur pada hari empat belas malam bulan purnama!"
"Nek, jalan yang kau lalui hanya tinggal beberapa depa. Rahasia sudah terungkap
hampir semua. Justru hari empat belas malam bulan purnama adalah saat paling
menentukan. Apa salahnya kau menyempatkan diri mencari kebaikan...."
"Mencari kebaikan" Buktinya saat ini aku menemui seribu satu macam perkara
jahanam! Jangan harap aku akan datang!"
"Nenek Sabai, aku khawatir kau akan menyesal. Bukankah kau sangat ingin
menyingkap tabir di mana beradanya anakmu Andam Suri" Bukankah kau ingin
mendapatkan Kalung Permata Kejora" Bukankah banyak hal lagi yang sebenarnya
ingin kau ketahui...?"
"Kalian semua orang-orang gila. Urusan yang kalian hadapkan padaku sama gilanya
dengan diri kalian!"
"Kalau kau ingin pergi dan tak mau datang ke tempat pertemuan bagi kami tidak
menjadi apa. Tapi kau akan sangat kecewa. Apalagi kelak orang mungkin akan
menyalahkan dirimu. Karena semua urusan ini terjadi akibat ulahmu...."
"Manusia bercadar! Jaga mulutmu!" teriak Sabai Nan Rancak marah.
"Benar apa yang dikatakan orang. Sejak muda kau lebih mendahulukan hati daripada
pikiran. Kau menghujat kesalahan orang tanpa menyadari kesalahan sendiri.
Bukankah karena menuruti hawa amarah dan perasaan hati sendiri lima puluh tahun
lalu kau sampai tega meninggalkan bayi yang kau lahirkan. Bayi yang masih merah!
Bahkan kau tak pernah tahu kalau kau punya anak kembar! Kau hanya tahu bahwa
anakmu hanya seorang yakni Andam Suri! Sampai saat ini kau seolah patung tak
punya perasaan, tak punya hati tak Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Karya Bastian Tito
punya pikiran. Apa kau tidak sadar kalau perempuan bernama Bululani yang tegak
di hadapanmu ini adalah salah satu dari dua anakmu" Anak kandung darah dagingmu!
Tapi kau bertindak acuh seolah dia hanyalah batu! Binatang masih mempunyai rasa
kasih sayang terhadap anaknya. Apakah kau lebih nista dari binatang"! Kau hanya
pandai melihat kesalahan orang lain! Tapi buta mengukur kesalahan sendiri! Apa
kau pernah sadar apa yang telah kau lakukan setelah kau meninggalkan bayimu" Kau
hanya mempermomok Tua Gila pada semua orang. Kau sendiri tidak sadar dengan
segala perbuatanmu! Kau telah mengotori Gunung Singgalang dengan segala tingkah
lakumu! Dalam lupa dirimu kau sampai tidak tahu kalau dirimu telah diperalat
orang untuk ikut mengadu domba antara sesama tokoh golongan putih! Membunuh
orang-orang tak bersalah! Jangan merasa dirimu sebagai malaikat yang hendak
membersihkan rimba persilatan. Kau jauh lebih kotor dari Tua Gila!"
"Orang bercadar, apa maksudmu...?" tanya Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar
dan muka putih seperti kain kafan.
"Tanyakan pada dirimu sendiri. Karena jawabnya ada dalam lubuk hatimu sendiri!"
jawab orang bercadar. Lalu dia memberi isyarat pada Bululani. Sekali berkelebat
kedua orang itu lenyap dari tempat itu.
Sabai Nan Rancak merasakan tubuhnya lemas. Lututnya gontai. Nenek ini jatuh
terduduk. Air mata meluncur deras di kedua pipinya. Dia memandang ke samping.
Ternyata Datuk Paduko Intan juga tak ada lagi di tempat itu.
"Ya Tuhan, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan diri tua rapuh ini...?"
kata Sabai Nan Rancak seraya gulingkan diri lalu menelungkup di atas rerumputan.
Suara tangisnya tenggelam seolah ditelan tanah.
Tiba-tiba dia bangkit terduduk. Memandang ke arah lenyapnya orang bercadar
kuning. "Aku membuat satu kesalahan besar. Mengapa aku tidak menanyakan siapa
sebenarnya orang berpakaian dan bercadar kuning itu...." Si nenek pukul-pukul
keningnya sendiri. Lalu kembali dia berbaring menelungkup dan menangis sejadijadinya. "Tuhan..." kata suara hatinya meratap. "Kalau memang aku ini salah jalan. Kalau
memang aku ini orang berdosa, turunkanlah kutuk dan hukumanmu! Hancurkan tubuh
tua tak berguna ini!"
* * * EMPAT BELAS Sabai Nan Rancak tidak tahu berapa lama dia menangis menelungkup di rumput
seperti itu. Dia baru hentikan tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari
bahwa dia tidak lagi seorang diri di Lembah Merpati itu.
Si nenek cepat bangkit dan duduk. Hanya tiga langkah di hadapannya dilihatnya
duduk seorang kakek berkepala botak, berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang
ke arahnya dengan pandangan dan sinar mata sayu.
"Aneh, walau aku tadi tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak
mendengar suara langkah kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung
yang melayang terbang lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini.
Agaknya dia Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
memiliki kepandaian tinggi."
"Apakah kehadiranku mengejutkan dirimu?" Kakek botak menegur. Dia tersenyum
walau senyuman ini tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.
"Kau bukan saja mengejutkan! Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan
di tempat sepi seperti ini. Padahal kita tidak saling kenal!"
Kakek botak bermuka sayu kembali tersenyum. "Lembah ini memang sepi dan indah
sekali. Itu sebabnya aku tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik
setelah melihat dirimu yang tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan
menelungkup. Memang hanya kita berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal.
Tapi apakah ada dan masihkah tua bangka seperti kita ini mau melakukan yang
bukan-bukan walau hanya kita berdua saja yang ada di tempat ini" Maafkan kalau
aku telah mengejutkan dirimu. Di tempat sepi begini berteman adalah lebih baik
daripada seorang diri. Walau tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut hiba
mendengar tangismu tadi. Nenek bertopi seperti tanduk kuda, menurut
penglihatanku kau pasti datang dari jauh, dari tanah seberang. Jauh-jauh datang
ke sini lalu menangis ini adalah satu hal yang ingin aku ketahui...."
"Hemmmm.... Ternyata selain kurang ajar kau juga lancangi" semprot Sabai Nan
Rancak. "Lancang bagaimana maksudmu Nek?"
"Kita tidak saling kenali Kau datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak
mencampuri urusan orang! Bukankah itu namanya lancang"!"
Si kakek usap-usap kepalanya yang botak. "Menurutmu lancang. Tapi menurutku lain
lagi. Karena maksudku bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu,
Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
walau tidak kenal aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang tengah
kau hadapi...."
"Sedih" Siapa bilang aku sedih"!"
"Orang menangis biasanya karena sedih, Bukankah begitu?" ujar si kakek pula.
"Tidak selamanya!"
"Ah, bagaimana kau bisa berkata begitu?"
"Karena aku menangis bukan sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati!
Kau tadi bilang ingin menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua
bangka keropos ini sampai mati"!"
Kakek botak ternganga lalu geleng-gelengkan kepala. "Kau ini ada-ada saja Nek.
Tapi kau tahu, aku suka berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin
kita bisa membagi pengalaman...."
"Sayang, aku justru tidak suka bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!"
kata Sabai Nan Rancak.
"Kalau begitu dengan berat hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum
pergi maukah kau mendengar beberapa bait nyanyianku...?"
"Ah, rupanya kau adalah seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja suaramu
tidak enak, apalagi menyanyi!"
Si kakek botak tertawa lebar. "Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan
manusia, tikus pun akan lari mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi
jaminan. Cobalah kau simak bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi
kelegaan di lubuk hatimu...."
Lalu tanpa perduli apakah orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala
memandang ke langit di atas Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Jauh berjalan banyak nan dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Lama hidup banyak nan dirasa
Segala suka segala duka
Kalau duka berlebihan dari suka
Pertanda diri akan binasa
Salah jalan bisa tersesat
Mengapa tidak kembali ke pangkal jalan
Salah hidup bisa celaka
Mengapa tidak mencari letaknya salah
"Tua bangka botak gila! Aku tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir dari
hadapanku!" membentak Sabai Nan Rancak.
Tapi seolah tidak mendengar ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi.
Kalau dendam membakar hati
Kalau dendam membakar pikiran
Kasih indah di masa muda seolah api
Membakar asmara menjadi ajang kematian
Apakah itu maunya manusia"
Kalau hati berselimut dendam
Kalau darah dibakar amarah
Lautan cinta menjadi padang maut
Padang asmara menjadi neraka kematian
Bisakah kesalahan ditumpahkan pada hanya satu insan"
Tidakkah ada lagi kasih sayang di hati manusia Tidakkah ada lagi seberkas cahaya
kenangan indah Tidakkah ada lagi kenangan indahnya asmara di hati insan
Apakah hidup hanya dibatasi garis bara api antara yang benar dan yang salah
Antara yang sengsara dan yang sesat
Kalau kematian memang sudah menjadi niat
Kalau malaikat maut memang sudah terpanggil
Lalu manusia bertindak sebagai pencabut nyawa diri sendiri dan nyawa orang lain
Alangkah sedihnya nasib dunia
Tangis dan air mata bukan lagi penyejuk hati
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Ratap minta pengampunan bukan lagi pelebur
amarah Desah kesedihan tidak lagi dorongan untuk menanyai diri sendiri
Manusia hanya bisa melihat jauh pada diri orang lain Seolah tidak mampu melihat
dekat pada diri sendiri Manusia ingin melihat kegelapan
Padahal dalam dirinya ada cahaya terang
Mengkaji lubuk hati
Sama hikmahnya dengan menyingkap rahasia diri Datanglah dendam
Datanglah salah sangka
Datanglah maut Datanglah kematian
Dekap tubuh tua penuh dosa erat-erat dalam
pelukanmu yang paling ganas Kematian datangnya hanya sekejap Sengsara tetap
berbekas sampai kiamat Apakah manusia lupa bahwa Tuhan selalu membuka pintu
tobat" Orang tua berkepala botak itu batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik.
"Ah suaraku memang tidak sedap didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan
kelakuanku yang tidak mengenakkan. Aku minta diri...."
Kakek ini membungkuk lalu putar tubuhnya.
"Tunggu!" seru Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di
hadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya si nenek.
"Kau tak suka padaku. Perlu apa tahu namaku...?"
"Nyanyianmu itu.... Apa maksudmu dengan nyanyian tadi?"
"Ah, nyanyian hanya sekedar paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama.
Kalau suaraku tidak sedap harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap
maafkan. Kalau bait-bait dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta
maaf beribu maaf."
"Tidak bisa! Aku ingin tanya! Tahu apa kau tentang diriku"!"
"Seperti katamu bukankah kita sebelumnya tidak saling kenal" Jadi apa yang bisa
kukatakan tentang dirimu" Sekali lagi harap maafkan diriku!"
Kakek botak itu kembali membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah
barat. Sabai Nan Rancak tegak termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata.
"Suaranya tidak sama. Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak
wasangka..." Ah sudahlah! Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau
pergi ke mana...?"
Sabai Nan Rancak memandang berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di
Lembah Merpati yang sunyi dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di
dunia ini. Tak terasa air mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba saja
si nenek teringat pada cucunya. "Puti Andini... di mana kau berada Nak...." Si
nenek memandang lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. "Aku harus
mencari cucuku itu...."
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
* * * TAMAT Episode berikutnya :
WASIAT MALAIKAT
Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito Wiro Sableng telah terdaftar
pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta,
Paten dan Merek dibawah nomor 004245
"Mengenang Alm. Bastian Tito"
Pengarang Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Komentar dan saran : samademail@gmail.com
IM : samchatacc@yahoo.com
Blog : http://samadblog.freehostia.com/Sam_WordPress atau Kaskus thread No.
865522 Sumpah Palapa 11 Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Perempuan Siluman 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama