Ceritasilat Novel Online

Rahasia Cinta Tua Gila 2

Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila Bagian 2


"Saya mengaku salah Kiai. Maafkan saya. Tapi saya tidak menyangka Kiai akan
menjatuhkan hukuman begini rupa." kata Naga Kuning dengan suara perlahan dan
bernada sedih penuh penyesalan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Naga Kuning.
Dia angkat tangannya sekali lagi. Sinar putih kembali berkiblat. Disusul letusan
keras. Kali ini tak ada kepulan asap putih. Tapi ada suara menggemuruh.
"Kiai!" jerit Naga Kuning.
Dinding batu setengah lingkaran secara aneh bergerak turun memasuki Liang Lahat
hingga akhirnya lenyap bersama tubuh Naga Kuning.
* * * Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
ENAM Puti Andini merasa ngeri mendengar jeritannya sendiri. Tubuhnya melayang dalam
liang sangat gelap. Udara sepanjang lobang tempatnya melayang jatuh menebar hawa
aneh membuat nafasnya pengap. Gadis ini pegang! kepalanya erat-erat. Dia tidak
tahu akan berapa lama dia melesat jatuh begitu rupa. Namun dasar lobang tak
kunjung sampai.
Kalaupun akhirnya dia menyentuh dasar lobang pasti dia tidak akan mengetahui
lagi karena saat itu juga kepalanya akan hancur dan tubuhnya remuk tak karuan!
Sekujur tubuh gadis ini dibalut hawa dingin. Dia masih terus berteriak sampai
suaranya parau dan tenggorokannya sakit. Beberapa kali dia menggerakkan kaki dan
tangan, berusaha menggapai sesuatu. Namun dia tak bisa memegang apa-apa.
Usahanya agar bisa melayang jatuh dengan kaki ke bawah pun tidak berhasil. Makin
jauh masuk ke dalam Liang Lahat makin tak sanggup gadis ini berpikir lagi. Yang
bisa dilakukannya hanyalah menjerit dan menjerit parau. Pada puncak rasa
takutnya kesadarannya mulai lenyap. Dua tangannya yang diletakkan di atas kepala
terkulai ke bawah.
Dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu jauh
di sebelah bawah ada satu titik putih yang lambat laun berubah menjadi cahaya
terang. Bersamaan dengan itu dari bawah melesat hawa dan kabut dingin yang secara aneh
menahan sosok Puti Andini. Kalau sebelumnya sosok gadis itu jatuh sangat deras,
kini tubuh itu seperti mengapung. Masih terus jatuh ke bawah tapi perlahanlahan. Puti Andini yang berada dalam keadaan setengah sadar baru ingat dirinya ketika
hawa dingin sekali membuat sekujur tubuhnya bergeletar. Selain itu ada suara
"duk... duk...
duk" menghentak aneh membuat badannya ikut tersentak-sentak. Masih dalam keadaan
terbaring, pertama sekali yang dilakukan gadis ini adalah memegang kepalanya
dengan kedua tangan. Lalu dia bangkit mencoba duduk. Ternyata dia berada di satu
tempat ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat air.
"Astaga, aku kembali berada dalam air. Masih bisa bernafas seperti biasa.
Berarti ilmu menyelam yang diberikan nenek sakti itu masih kumiliki.... Kepalaku
tidak pecah. Tubuhku tidak hancur. Berada di mana aku saat ini" Apa masih berada
dalam Telaga Gajahmungkur"
Aku masih bisa melihat jernih dalam air. Aku masih bisa bernafas seperti di
tempat terbuka.
Aku...." Ucapan si gadis terhenti ketika tengkuknya mendadak menjadi dingin. Dalam air di
sekelilingnya melayang belasan jerangkong. Manusia yang telah berubah menjadi
tulang belulang ini sebagian dalam keadaan bersambung utuh. Namun banyak di
antaranya telah tercerai putus. Ada yang tanggal kaki atau tangannya. Ada yang
tidak berkepala lagi.
Tengkorak-tengkorak kepala manusia melayang-layang dalam air. Namun yang paling
mengerikan adalah dua mayat yang masih utuh, berada dalam keadaan kaku. Dua
mayat ini adalah yang dilihat Naga Kuning sebelumnya yakni mayat Datuk Bonar
alias Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Satunya lagi mayat seorang nenek bernama
Nyi Ulan, dikenai dengan julukan Singa Betina Pedataran Bromo. Dalam Episode
Liang Lahat Gajahmungkur dituturkan bahwa dua orang sakti itu berusaha mencari
Pedang Naga Suci 212 namun mereka berhasil dicegat oleh sepasang naga besar.
Ketika mereka melawan, dua naga serta merta membunuh keduanya.
Tak berani memperhatikan dua sosok mayat itu lebih lama Puti Andini putar kepala
ke jurusan lain. Dia melihat pasir putih menghampar di dasar air. Lalu ada suara
"duk-duk-Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
duk" berkepanjangan dan sesuatu yang membuat tubuhnya terlonjak-lonjak. Telapak
tangannya meraba ke bawah. Diusap-usapnya. Terasa sirip-sirip licin mengeluarkan
hawa hangat. Gadis ini menoleh ke kiri lalu memandang ke bawah. Langsung saja
jeritan keras hendak melesat dari mulutnya. Jantungnya seolah lepas dan nyawanya
seperti melayang terbang! Betapakan tidak! Dia baru sadar kalau saat itu dia
duduk di atas perut ular naga besar betina yang sebelumnya dilihatnya di Liang
Akhirat. Binatang ini tergolek melingkar.
Ekornya di pasir sedang kepalanya jauh di atas menyondak batu-batu hitam runding
membentuk langit-langit aneh. Setiap bernafas perut naga raksasa itu berguncangguncang membuat Puti Andini ikut terguncang-guncang. Lalu suara "duk-duk-duk"
tak berkeputusan bukan lain adalah degup jantung sang ular. Binatang aneh ini
diam tak bergerak. Sepasang matanya terpejam. Puti Andini ingin segera melompat
dari atas perut naga itu. Namun ada rasa khawatir kalau gerakannya akan membuat
sang naga yang diperkirakannya tertidur itu menjadi terbangun.
"Celaka.... Apa yang harus aku lakukan. Cepat "atau lambat binatang aneh ini
pasti akan bangun. Begitu dia melihatku, pasti diriku akan ditelannya bulatbulat! Tua Gila!
Menyesal aku menuruti perintahmu!"
Si gadis memandang ke samping kanan. Untuk kedua kalinya dia hampir menjerit
kalau dua tangannya tidak cepat dipergunakan untuk menutupi mulut. Hanya sepuluh
langkah di sampingnya terpentang kepala naga jantan, mendekam di atas gulungan
tubuhnya sendiri. Dua matanya yang merah besar memandang menyorot. Mulutnya
terbuka lebar memperlihatkan lidah bercabang serta gigi dan taring besar
mengerikan. Hembusan nafas binatang ini membuat air bergejolak dan menyambar
panas ke arah Puti Andini.
Kepala naga jantan bergerak. Sebagian tubuhnya menggeliat. Dari mulut binatang
ini menyambar desisan keras. Membuat air menggelombang. Menghantam Puti Andini
hingga gadis ini terpental dan jatuh ke atas pasir putih. Gelombang air membuat
naga betina terusik, membuka matanya sebentar lalu menggerakkan tubuhnya bagian
bawah dan mengangkat ekornya. Ketika ekor itu diturunkan, tepat menindih tubuh
Puti Andini. Ekor yang beratnya hampir seratus kati itu membuat si gadis tak
bisa berkutik. Bagaimana pun dia berusaha melepaskan diri tetap saja dia
tersepit antara pasir putih dan ekor naga betina!
"Celaka! Apa yang harus aku lakukan"!" Ekor naga betina itu makin lama makin
terasa berat. Puti Andini mulai megap-megap. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga yang
masih ada. Di sebelah belakang dua kakinya ditekankan ke pasir. Di depan
sepasang tangannya menggaruk pasir putih. Dia kerahkan tenaga agar bisa
meloloskan tubuh dari himpitan ekor naga betina. Namun sampai sepuluh jari
tangannya menggali pasir sampai membentuk lobang tetap saja gadis ini tak mampu
lolos. Sementara itu beberapa potongan tulang belulang manusia dan sebuah
tengkorak melayang di sekitar kepalanya.
"Pedang Naga Suci 212.... Aku bukan menemukan senjata sakti itu. Tapi mencari
mati sendiri!"
Seolah pasrah Puti Andini akhirnya hanya geletakkan diri menelungkup di pasir.
Saat itulah samar-samar dia melihat sebuah benda putih tersembul di antara pasir
dalam lobang di sebelah kanan. Ketika disentuh dengan tangan ternyata keras dan
licin. Karena mengira hanya sebuah batu putih biasa Puti Andini tidak acuh. Dia
kembali berbaring sambil terus mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri.
"Kalau kukerahkan tenaga dalam, lalu menghantam dengan pukulan sakti....
Mungkin pukulanku tidak mempan. Tidak terasa apa-apa. Tapi siapa tahu binatang
ini terbangun, menggerakkan ekornya...." Memikir begitu maka Puti Andini segera
alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi selintas pikiran lain muncul dalam
benak gadis ini.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kalau ular besar ini tersentak bangun tapi lantas menjadi marah dan menyerang
diriku. Tamatlah riwayatku...." Puti Andini batalkan niatnya untuk menyerang naga
betina. Kembali dia berbaring tak bergerak. Dua matanya lagi-lagi membentur batu putih
di dalam lobang. "Kalau kuambil batu itu, lalu kulempar ke tubuh naga yang
menghimpitku. Akibatnya mungkin tidak sehebat jika aku menghantam dengan pukulan sakti. Paling
tidak aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak melakukan apa-apa, cepat atau
lambat aku akan menemui ajal di bawah tindihan ekor binatang raksasa ini...."
Puti Andini ulurkan tangannya. Ternyata tidak mudah mengambil batu dalam lobang
itu. Batu itu seolah bersatu dengan pasir putih di sekitarnya yang telah
membeku. Puti Andini berhenti menggali ketika dirasakannya tiba-tiba ada hawa
sangat dingin keluar dari dalam lobang.
"Ada yang aneh..." membatin si gadis. Lalu dia kembali meneruskan menggali.
Mendadak naga jantan yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan, menyorotkan
pandangan buas. Sepasang matanya memancarkah sinar merah dan dari mulutnya
keluar suara mendesis keras. Gerakan Puti Andini tertahan. "Binatang itu seperti
marah. Tapi tak ada sambaran angin, tak ada sambaran gelombang...." Si gadis
menunggu sesaat lalu kembali menggali. Untuk mengeluarkan batu dari dasar lobang
dia harus menggali bagian pasir di sekitar batu putih, ini tidak mudah karena
pasir itu telah membeku dan menyatu dengan batu. Si gadis paksakan diri sampai
jari-jari tangannya luka dan berdarah. Namun usahanya tidak sia-sia. Dia
akhirnya berhasil mengambil batu putih itu dari dalam lobang.
"Batu aneh..." ujar Puti Andini dalam hati seraya memperhatikan benda di tangan
kanannya. Dia coba membersihkan sisa-sisa pasir yang masih melekat pada batu
putih itu. "Batu apa ini.... Bukan kerang bukan pula karang. Enteng sekali. Mungkin bekas
rumah siput besar" Dua sisi rata. Sisi lainnya bulat membentuk lingkaran.... Ada
hawa dingin keluar dari batu, menjalar masuk ke dalam tanganku...." Puti Andini
terus saja membersihkan batu putih yang besarnya hampir dua kepalan itu.
Tiba-tiba naga jantan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Puti Andini
menggerakkan tubuhnya. Mulutnya yang besar membuka lebar. Lidahnya menjulur
panjang. Di kejauhan Puti Andini mendengar suara seperti lolongan anjing
bersahut-sahutan di malam buta membuat si gadis tercekat kecut. Lalu, saat
itulah naga jantan mendesis keras.
Gulungan tubuhnya terbuka. Kepalanya naik ke atas lalu menyambar ke arah Puti
Andini. Ketika naga jantan mendesis keras, hawa sangat dingin disertai gelombang air
yang dahsyat menghantam ke arah Puti Andini. Gadis ini terpekik. Tubuhnya
terlempar jauh bersamaan dengan terangkatnya ekor ular naga betina lalu
terguling-guling di atas pasir putih. Beberapa jerangkong yang masih utuh hancur
cerai berai. Batu putih yang tadi dipegangnya terlepas. Sesaat batu ini terapung mengambang
dalam air. Naga jantan merunduk. Kepalanya menyambar ke arah batu putih.
Mulutnya dibuka lebar lalu menyedot keras. Batu putih yang melayang dalam air
langsung tertarik ke dalam mulut naga jantan itu.
Namun terjadi satu hal tidak terduga. Naga betina yang sejak tadi seperti diam
tak bergerak tersentak dari tidurnya akibat dorongan gelombang air. Begitu dua
matanya yang merah membuka pandangannya langsung membentur batu putih yang
melesat tersedot ke arah mulut naga jantan. Naga betina keluarkan suara
menggerang dahsyat. Ekornya disentakkan ke atas. Laksana petir menyambar ekor
itu menghantam ke arah kepala naga jantan.
Puti Andini walau dalam keadaan cidera akibat hantaman gelombang air tadi masih
sempat melihat apa yang terjadi dengan mata membelalak.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
* * * TUJUH Hantaman ekor naga betina menimbulkan gelombang air besar luar biasa, mendera ke
arah naga jantan. Sesaat naga jantan terkesiap kaget lalu balas menghantam
dengan satu semburan yang memancarkan sinar putih dari hidungnya. Tapi
gerakannya terlambat karena gelombang air lebih dulu menghantam kepala dan
sebagian tubuhnya. Naga jantan terpental ke atas. Kepalanya membentur langitlangit berbatu runcing hingga hancur berkeping-keping. Tanpa perdulikan cidera
di kepalanya naga jantan menukik. Dengan nekad binatang ini kembali hendak
menyambar batu putih yang melayang jatuh ke dasar telaga. Namun lagi-lagi naga
betina gerakkan ekornya. Satu sinar hitam keluar dari ujung ekor lalu menyambar
bergulung-gulung ke arah naga jantan. Yang diserang tidak tinggal diam.
Keluarkan suara mendengus. Dua larik sinar merah melesat dari sepasang matanya.
Naga betina meraung aneh. Dari tanduk di kepalanya menyembur cairan hijau yang meredam dan memusnahkan
serangan lawan. Naga jantan mengkirik kecut lalu meluncur mundur dan jatuhkan
diri bergelung di pasir putih. Kepalanya masih terpentang tegak namun sinar
merah di kedua matanya telah meredup.
Keanehan yang mengerikan dan memukau Puti Andini tidak hanya sampai di sana.
Naga betina memutar kepala, memandang berkeliling. Begitu pandangannya membentur
batu putih yang melayang jatuh hampir mencapai dasar telaga, naga betina segera
menyambarnya dengan mulutnya. Batu langsung ditelan! Naga jantan yang
menyaksikan kejadian itu menggeram tapi tidak berbuat apa-apa.
"Batu putih itu..." kata Puti Andini dalam hati. "Dua naga berkelahi
memperebutkannya. Pasti benda itu...."
Si gadis tidak sempat melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba naga betina
meluncur ke arahnya. Binatang ini menurunkan kepalanya sedatar dasar telaga.
Mulutnya terbuka lebar. Lidahnya yang bercabang diulurkan panjang-panjang.
"Ya Tuhan!" Puti Andini terpekik. Ketika kepala binatang itu hanya tinggal dua
tombak dari hadapannya, gadis ini seolah baru menyadari kalau ular besar itu
hendak menelannya hidup-hidup. Puti Andini cepat berenang menjauhi, tapi sang
naga datang lebih cepat. Tak ada jalan lain. Tangan kanannya yang sudah dialiri
tenaga dalam segera dipukulkan ke depan. Memang ada kekuatan sakti yang sanggup
dilepaskan oleh cucu Tua Gila dan Sabai Nan Rancak itu. Membuat air telaga
menggelombang, pasir putih bertaburan ke atas dan tulang-tulang serta tengkorak
manusia berpelantingan kian kemari. Termasuk sosok kaku mayat Datuk Bonar dan
Nyi Ulan. Namun ular naga betina sama sekali tidak bergeming. Malah sebaliknya Puti Andini
tersentak kaget ketika dia sadari tangannya yang tadi memukul ke depan tak bisa
ditarik lagi. Karena satu sedotan dahsyat membuat tangan itu terpentang luruslaksana kaku dan bersamaan dengan itu tubuhnya ikut tertarik. Lalu melesat dua
benda aneh yang ternyata adalah lidah ular naga betina yang bercabang dua.
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Ketika dua belahan lidah hendak melibat tubuh Puti Andini tiba-tiba di atas sana
terdengar suara menggemuruh. Sebuah benda meluncur jatuh. Air telaga tersibak
laksana dibelah. Lalu satu dinding batu berbentuk setengah lingkaran dan tinggi
belasan tombak menghunjam ke dasar telaga. Air muncrat sampai ke langit-langit
batu runcing. Pasir putih menggebubu menutupi pemandangan. Udara sangat dingin
mencekam. Ketika air kembali tenang, pasir luruh ke dasar telaga dan pemandangan
perlahan-lahan jernih, terlihat tubuh Puti Andini melayang-layang dalam air,
setengah sadar setengah pingsan. Dalam keadaan seperti itu dia mendengar
seseorang berteriak.
"Puti Andini! Keluarkan ilmu silat payung tujuh! Andalkan ilmu meringankan
tubuh! Kau bisa menyelamatkan diri dengan ilmu itu!"
Seperti tersentak Puti Andini angkat kepalanya. Dia masih belum bisa melihat
siapa yang berteriak. Tapi dia kenali suara orang.
"Itu suara bocah berpakaian hitam yang menceburkan diriku ke dalam Liang Lahat.
Dimana dia.... Apa maksudnya?" Si gadis putar otaknya mencerna teriakan tadi.
"Anak itu benar. Aku bisa memainkan ilmu silat payung tujuh tanpa payung. Tapi
apakah aku bisa keluar dari telaga maut ini?"
Belum sempat dia berpikir lebih lama tiba-tiba naga betina mendesis lalu
tukikkan kepalanya ke bawah. Puti Andini segera kerahkan tenaga dalam dan ilmu
meringankan diri.
Tubuhnya melesat ke atas. Kepala naga betina lewat di sampingnya. Mulut yang
hendak menelannya menggembor marah. Puti Andini terpental tiga tombak. Gadis ini
segera berjungkir balik lalu menghampiri kepala naga dari belakang. Secepat
kilat kaki kanannya ditendangkan ke tengkuk naga. Tapi dia mengeluh sendiri.
Kesakitan dan terpelanting karena tubuh naga itu ternyata licin. Sambil


Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeram naga betina cambukkan ekornya.
Puti Andini masih sempat mengelak bahkan kaki kirinya bisa menendang ke pelipis
naga. Tapi lagi-lagi tak ada hasilnya karena kembali kakinya terasa sakit. Tubuhnya
terjungkir. Naga betina kembali menyerbu. Si gadis mainkan jurus-jurus ilmu silat Payung
Tujuh. Tubuhnya melesat kian kemari. Sesaat naga betina seolah tertegun memperhatikan.
Tapi tiba-tiba binatang ini melesat ke atas sambil mengibaskan ekornya. Selagi
Puti Andini terlempar oleh gelombang air telaga akibat hantaman ekor, di sebelah
atas kepala naga betina melesat ke bawah. Kali ini si gadis tidak punya
kesempatan lagi untuk selamatkan diri.
"Puti Andini! Pukul tanduk di kepala binatang itu!" Kembali si gadis mendengar
teriakan orang. Sang dara berpaling ke kiri. Dia melihat sosok Naga Kuning
menempel di bagian bawah dinding batu setengah lingkaran. Dalam kagetnya gadis
ini tidak punya kesempatan melakukan apa yang dikatakan si anak. Lidah bercabang
naga betina melesat ke depan, melibat tubuh gadis itu. Lalu sekali lidah itu
disentakkan ke belakang maka amblaslah sosok Puti Andini lenyap ke dalam mulut
naga! Naga jantan yang menyaksikan kejadian itu kembali menggeram dan angkat kepalanya
sedikit tapi seolah takut, tak berani melakukan apa-apa.
Naga Kuning pejamkan ke dua matanya. Tidak tega melihat Puti Andini ditelan
hidup-hidup oleh naga betina itu. Hatinya geram dan sedih tak bisa menolong.
Tubuhnya terpendam laksana disemen sama rata ke bagian bawah dinding Liang
Lahat. Seperti diceritakan sebelumnya Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menjatuhkan
hukuman terhadap Naga Kuning. Menjebloskan anak itu ke dalam batu lalu
memasukkannya ke dalam Liang Lahat yang ternyata dasarnya adalah di tempat
dimana dua naga raksasa berada.
"Naga betina menelan gadis itu. Tamatlah riwayatnya. Dia tak akan pernah Wiro
Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
menemukan Pedang Naga Suci 212. Pendekar 212 tidak akan dapat disembuhkan. Rimba
persilatan akan kejatuhan bencana besar...." Naga Kuning hendak dongakkan
kepalanya ke atas. Tapi tidak bisa karena bagian belakang kepalanya menempel
laksana disemen ke dinding batu Liang Lahat. Anak ini hanya bisa melirik ke atas
dan menggumam jengkel.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas.... Jika memang ini maumu maka apa yang kau inginkan
sebagian telah menjadi kenyataan! Semoga kau merasa puas...."
Baru saja Naga Kuning mengeluarkan rasa kesalnya dalam hati tiba-tiba laksana
dihantam gempa yang datang dari dasar telaga, tempat itu bergoncang keras.
Dinding batu dimana Naga Kuning dipendam bergetar. Air telaga membentuk
gelombang-gelombang besar di beberapa tempat. Dua ekor naga tegakkan kepala lalu
keluarkan suara melolong aneh.
"Apa yang terjadi!" pikir Naga Kuning. "Tempat ini seolah siap meledak. Atau
mungkin dunia sudah kiamat?"
Di atas sana Naga Kuning melihat petir menyambar sampai empat kali berturutturut, itu pertanda Kiai Gede Tapa Pamungkas tengah marah besar..." ujar Naga
Kuning dalam hati. Lalu samar-samar di sebelah atas dia melihat larikan-larikan
air telaga berwarna kuning. Hidungnya membaui sesuatu.
* * * DELAPAN Tak selang berapa lama setelah dinding batu setengah lingkaran amblas ke dalam
Liang Lahat dan Naga Kuning yang dipendam menempel ke dinding itu ikut lenyap,
Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tegak di atas makam besar. Orang tua yang sulit
diduga berapa usianya ini dan disebut sebagai setengah manusia setengah roh
tegak dengan mata terpejam, kepala mendongak dan tangan rangkap di depan dada.
"Mungkin aku salah berbuat. Tapi bagaimana pun juga hukum harus ditegakkan.
Mungkin hukum itu sendiri satu kekeliruan. Tapi tidak berbuat sesuatu adalah
lebih jahat dari mengaminkan kesalahan...." Kata-kata itu muncul di lubuk hati
sang Kiai. Kemudian perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan kedua tangannya ke
atas membuat sikap seperti orang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu sayupsayup terdengar suara gaungan aneh. Makin lama makin keras. Kabut putih di liang
makam tampak turun ke bawah. Dua kali secara aneh kilat menyambar keluar dari
dalam liang makam. Lalu ada goncangan keras. Sosok tubuh Kiai Gede Tapa
Pamungkas ikut turun, perlahan-lahan masuk ke dalam liang makam. Begitu
kepalanya yang berambut putih lenyap maka didahului dengan suara menggemuruh,
batu besar penutup liang makam yang berada di sebelah kanan bergeser ke kiri.
Sekali lagi petir menyambar keluar. Lalu makam itupun tertutup. Kabut putih
lenyap. Suasana di Liang Akhirat sunyi senyap benar-benar seperti di pekuburan.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sekonyong-konyong ada suara menggemuruh
keluar dari perut bumi. Dasar Telaga Gajahmungkur bergoyang keras. Liang Wiro
Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Akhirat bergetar hebat. Di luar sana air telaga membentuk gelombang-gelombang
besar dan menghantam pintu serta dinding-dinding Liang Akhirat. Beberapa bagian
dinding hitam tampak retak dan air merambas masuk ke dalam ruangan.
Makam batu putih di tengah ruangan bergoyang-goyang. Liang Lahat yang ada di
samping makam mengepulkan asap panas. Satu hal yang tak pernah terjadi
sebelumnya. Suara gemuruh menambah ngerinya suasana. Lalu dari celah-celah makam dan batu
penutup membersit cahaya menyilaukan disertai suara menggelegar. Batu makam yang
tadi tertutup bergerak ke kanan. Lalu membuka disertai suara menggaung keras.
Kilat menyambar dari dalam liang makam disusui dengan kepulan asap putih. Lalu
melesat sesosok tubuh yang bukan lain adalah sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tidak seperti biasanya wajah orang tua ini tampak sangat pucat. Sikapnya luar
biasa gelisah. Sepasang matanya memandang seputar Liang Akhirat. Lalu dia
mengerahkan kesaktian untuk menembus dinding dan pintu batu, memandang ke
Seantero Telaga Gajahmungkur. Kepalanya seperti disentakkan sewaktu melihat ada
bagian air telaga berwarna kuning di sekitar permukaan.
"Malapetaka besar menimpa telaga. Bahaya jatuh atas Liang Akhirat dan Liang
Lahat! Ada orang menebar air larangan! Siapa yang punya pekerjaan jahat ini"!" Sang
Kiai lalu dongakkan kepala dan mencium udara sekitarnya dalam-dalam. "Jalan
pernafasanku membaui sesuatu. Tak salah lagi. Yang kucium adalah air larangan!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas kepalkan tangan kanannya. Lalu dihantamkan ke atas.
Terjadilah satu hal aneh. Dari tinju kanan sang Kiai melesat keluar cahaya
terang benderang laksana kilat menyambar. Cahaya tersebut menembus dinding Liang
Akhirat tanpa merusaknya sama sekali. Sampai diluar kilatan petir ini terus
melesat menuju permukaan Telaga Gajahmungkur dan menghantam bagian telaga yang
airnya berwarna kekuningan.
Di atas sana air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Salah satu bagian dari
tanah tepian telaga laksana meledak, menghamburkan hancuran tanah, bebatuan dan
pohon serta semak belukar.
"Manusia-manusia jahat! Siapa kalian yang berani menebar air larangan di kawasan
kediamanku"!" Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru. Dia jentikkan tangan kirinya.
Terdengar suara mendesir. Pintu goa yang terbuat dari batu bergerak membuka.
Kiai Gede langsung melesat ke luar. Liang -Akhirat, terus berenang. Demikian
cepatnya hingga kurang dari sekejapan mata dia sudah- muncul di permukaan air
telaga. Jika ada orang melihat sang Kiai saat itu maka dia akan merasa aneh.
Walau barusan jelas keluar dari dalam air namun tubuh, pakaian selempang kain
putih, rambut, janggut dan kumisnya sama sekali tidak basah!
Memandang berkeliling dia tidak melihat seorang pun. Orang tua ini kertakkan
rahang. "Aku belum melihat orangnya. Tapi aku sudah bisa menduga!" Kiai Gede
Tapa Pamungkas menyelam kembali. Dia berenang berputar-putar. Dia tak mencari
lama. Di kejauhan di arah timur dia melihat gerakan-gerakan dalam air. Air
telaga tampak berwarna kekuningan.
"Ada dua orang di sebelah sana. Yang satu bisa kuterka. Sulit kuduga siapa orang
ke dua...." Sang Kiai lalu melesat cepat ke arah dua orang yang berada di telaga
sebelah timur itu.
Melihat ada orang mendatangi, dua orang yang berenang saling memberi isyarat.
Lalu keduanya cepat melesat ke atas. Kiai Gede Tapa Pamungkas segera mengejar.
Ketika dia muncul di permukaan air dua orang tadi dilihatnya tegak di tepi
Telaga Gajahmungkur dalam keadaan basah kuyup. Dua-duanya menyeringai buruk
walau jelas keduanya tampak Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
menggigil kedinginan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat keluar dari dalam air telaga. Sesaat kemudian
orang tua ini sudah berdiri tegak di hadapan dua orang itu. Orang tua ini
mencium bau pesing yang sangat santar menebar dari sosok dua orang yang tegak di
hadapannya itu.
Cuping hidungnya sampai kembang kempis karena berusaha menahan nafas dan
mengernyit menahan perutnya yang mendadak menjadi mual.
Melihat keadaan sang Kiai seperti itu dua orang tadi tertawa cekikikan. Tapi
salah seorang dari mereka yakni nenek-nenek hitam kurus kering yang memegang
sebuah kendi tanah berwarna merah sehabis tertawa cepat-cepat membungkuk memberi
penghormatan. "Sinto Weni! Aku sudah menduga kalau kau yang punya pekerjaan! Mengapa kau
berlaku jahat terhadap aku, gurumu sendiri"!"
Orang yang ditegur dengan nama Sinto Weni itu bukan lain adalah nenek sakti dari
Gunung Gede, guru Pendekar 212 yang lebih dikenal dengan sebutan Sinto Gendeng.
Si nenek rapikan barisan lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya baru
menjawab. "Kiai harap maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud jahat...."
"Di mata dan pikiranmu apa yang kau lakukan tidak jahat. Tapi di mata orang lain
termasuk diriku apa yang kau lakukan benar-benar satu kejahatan! Kau menebar air
larangan yang menjadi pantangan besar bagi Telaga Gajahmungkur! Kau mengacaukan
dan merusak semua pekerjaan yang telah aku mulai sejak puluhan tahun lalu...."
"Kiai, jangan kau bersalah duga. Saya...."
"Sinto Weni! Sejak kau memilih Kapak Naga Geni 212 di puncak Gunung Gede puluhan
tahun silam. Sejak kau melarikan Pedang. Naga Suci 212! Aku sudah tahu kalau kau
adalah seorang berhati jahat dan culas! Serakah dan juga kejam!"
Sinto Gendeng sampai tersurut mendengar dampratan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu.
Dia pukul-pukul kepalanya sendiri lalu menjawab. "Kiai, terserah kau mau
mengatakan saya ini apa. Saya menerima pasrah. Saya kemari mencari obat untuk
murid saya. Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkena musibah...."
"Aku sudah tahu musibah apa yang menimpa muridmu! Aku juga tahu siapa dirinya
adanya! Pemuda bernafsu kotor! Musibah yang menimpa dirinya sudah lebih dari
pantas!" "Kiai, saya tahu siapa murid saya. Harap kau jangan menghina dirinya! Apapun
perbuatannya, salah atau benar akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat!"
"Ucapanmu hanya menyatakan sifatmu yang congkak!" tukas Kiai Gede Tapa Pamungkas
pula. "Puluhan tahun aku menunggumu. Berharap agar kau kembali menyerahkan Kapak
Naga Geni 212 yang kau ambil tempo hari. Juga menyerahkan Pedang Naga Suci 212
padaku!" * * * SEMBILAN Sinto Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan sang Kiai. Lalu dengan suara
perlahan dia berkata. "Saya tidak membawa Kapak Naga Geni 212. Pedang Naga Suci
212 juga tidak ada pada saya...."
"Kau pandai bicara mencari dalih!"
"Kiai, saya tidak berdalih. Kapak Naga Geni 212 tidak ada pada saya. Juga saat
ini Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
saya menyirap kabar senjata itu tidak berada di tangan murid saya. Pedang Naga
Suci 212 secara kurang ajar memang saya ambil waktu puluhan tahun lalu di puncak Gunung
Gede itu. Tapi saya punya alasan melarikan senjata mustika itu. Untuk
menghindari dunia persilatan dari malapetaka besar. Karena kalau pedang mustika
sakti waktu itu sampai jatuh ke tangan Sukat Tandika alias Tua Gila pasti dia
akan mempergunakannya untuk maksud jahat! Lagipula saya melarikan Pedang Naga
Suci 212 bukan untuk dipakai sendiri tapi saya sembunyikan di satu tempat. Di
dasar Telaga Gajahmungkur ini! Kelak siapa yang benar-benar berjodoh dengan
senjata itu pasti akan mendapatkannya. Karena mendengar murid saya ditimpa
musibah dan konon pedang itu bisa menjadi obat yang mujarab maka itulah saya
kembali ke tempat ini untuk mencarinya, untuk pengobat Pendekar 212. Bukan untuk
maksud lain...."
"Kau tahu penyakit kutuk yang menimpa muridmu akan lenyap dengan sendirinya
setelah seratus hari.... Mengapa bersusah payah mencari Pedang Naga Suci 212
yang bukan milikmu"!"
"Syukur Kiai telah mendengar dan mengetahui musibah yang menimpa murid saya.
Kapan akan punahnya musibah kutukan itu tidak saya ketahui. Sementara itu rimba
persilatan saat ini tengah dilanda mara bahaya besar. Orang-orang Lembah Akhirat
gentayangan ke mana-mana mengadu domba antar sesama tokoh silat golongan putih.
Bagaimana kalau celaka lebih dulu datang menimpa murid saya sebelum seratus
hari" Kiai...." "Cukupi Aku tak perlu keterangan panjang lebar!" memotong Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "Aku perintahkan agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Bawa
serta kawanmu kakek-kakek bermata belok jereng! Berkuping lebar, bertampang
seperti jurik ini!"
Saking marahnya sang Kiai tak bisa lagi mengendalikan kata-katanya.
"Kiai, sekali ini mungkin saya tidak dapat menuruti perintahmu. Saya lebih
mementingkan keselamatan muridku si anak setan itu dari pada diriku sendiri.
Saya tidak perduli kau akan memukul rengkah batok kepala saya. Atau menanggalkan
anggota badan saya satu persatu. Atau mencincang diriku sampai lumat. Murid saya
dalam bahaya. Saya wajib menolongnya. Mengenai kawanku ini terserah padanya apa
dia mau pergi atau tidak...." Sinto Gendeng lalu berpaling pada kakek yang tegak
di sampingnya. "Kakek bermata jereng! Siapa kau adanya!" Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak
keras. Tidak mengira akan dibentak orang, kakek di sebelah Sinto Gendeng sampai
terlompat saking kagetnya. Wajahnya sesat pucat dan "serrrrr." Ada cairan kuning
hangat mengalir dari bagian bawah perutnya. Karena dia berdiri dekat sekali ke
tepi telaga maka cairan ini terus mengalir dan masuk ke dalam air.
Di dasar telaga lapat-lapat terdengar suara menggemuruh. Kiai Gede Tapa
Pamungkas menjadi kalap dan hendak membentak kembali. Tapi Sinto Gendeng
mengangkat tangan kirinya dan berkata. "Kiai, sahabatku ini punya kelainan aneh.
Kalau tidur seperti anak kecil, suka ngompol! Jika dia berada dalam keadaan
terlalu tenang maka dia akan beser tanpa terasa. Kalau dia mendadak kaget
kencingnya lebih banyak lagi! Saya harap Kiai jangan membentaknya. Karena
berarti makin banyak air kencingnya yang akan masuk ke dalam telaga. Dan makin
porak-poranda keadaan di bawah sana. Hik... hik... hik...!
Kalau Kiai ingin tahu nama sahabat satu ini dia adalah yang dipanggil orang
dengan sebutan Setan Ngompol! Julukannya aneh dan lucu! Hik... hik... hik!"
"Sinto Gendeng! Kau mempergunakan air larangan itu untuk mencelakai diriku dan
hendak menghancurkan tempat kediamanku!"
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Maafkan saya Kiai. Kau menyebutnya air larangan. Kami berdua menyebutnya air
kencing. Orang beradab dan bersopan santun punya bahasa halus menyebutnya air
seni! Tapi apapun namanya tetap bau pesing! Hik... hik... hik!"
"Sinto! Bawa temanmu ini. Lekas angkat kaki dari sini!"
"Maafkan saya Kiai. Saya baru pergi kalau sudah mendapatkan Pedang Naga Suci 212
itu...." "Kau tak bakal menemukannya. Senjata itu tak ada di sini...."
Sinto Gendeng tertawa lebar. "Saya tahu di mana beradanya pedang itu Kiai.
Karena puluhan tahun yang lalu saya yang menyembunyikannya di dasar telaga...."
"Keadaan telaga puluhan tahun lalu telah jauh berbeda saat ini. Pedang sakti itu
mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Mungkin sudah dihanyutkan aliran air ke
tempat lain. Kau membutuhkan waktu lama dan nasib baik untuk bisa
menemukannya...."
"Bagaimanapun sulitnya saya akan tetap mencoba...."
"Sinto Gendeng kau licik dan jahat. Kau tahu pantangan di tempat ini. Itu
sebabnya kau pergunakan air kencingmu dan mengajak serta kawanmu si Setan
Ngompol ini untuk mencemari air telaga!"


Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan saya Kiai. Saya terpaksa melakukannya. Mungkin sudah saatnya Kiai
kembali ke puncak Gunung Gede...."
"Aku tidak perlu nasihatmu. Kau tetap memaksa tidak mau pergi dari tempat ini?"
"Maafkan saya Kiai..." jawab Sinto Gendeng sambil membungkuk dalam.
"Kalau begitu terpaksa aku menurunkan tangan kasar, Sebelum kulakukan aku tanya
sekali lagi. Kau tetap tidak mau meninggalkan telaga ini?"
Sinto Gendeng gelengkan kepalanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas habis kesabarannya. Orang tua ini kembangkan lengannya
ke samping. Lalu jari-jari tangannya kiri kanan dijentikkan.
Di dasar telaga terdengar suara menggemuruh keras. Lalu di permukaan telaga
berkiblat petir dua kali berturut-turut. Air telaga bergolak muncrat setinggi
belasan tombak.
Sesaat kemudian dua sosok kuning besar mengerikan melesat keluar dari dalam
telaga. Yang muncul bukan lain adalah naga jantan dan naga betina bermata merah dan
bertanduk hijau.
Dua Kakek nenek sama-sama terkejut mundur. Setan Ngompol langsung beser.
Sedang Sinto Gendeng menggigil dan coba menekap perutnya dengan tangan kiri tapi
gagal mencegah terkencing. Begitu cairan ini masuk ke dalam telaga, di dasar
telaga terdengar suara menggemuruh.
Kiai Gede sekali lagi menjentikkan tangannya kiri kanan. Sepasang naga
menggeliat dan keluarkan suara mendesis. Dua binatang ini siap menerkam ke arah
dua orang tua di pinggir telaga.
"Kiai! Tahan!" Sinto Gendeng berteriak seraya acungkan tangan kanannya yang
memegang kendi tanah warna merah. Teriakan si nenek membuat kaget si Setan
Ngompol hingga kembali kakek bermata belok ini kucurkan air seni. "Saya ikhlas
dihukum dan menemui kematian di tangan Kiai. Tapi saya tidak ikhlas murid saya
menemui ajal karena saya tidak melakukan apa-apa. Lihat Kiai! Kendi ini penuh
berisi air kencing saya dan air kencing si Setan Ngompol! Dua naga peliharaan
Kiai mungkin bisa membunuh saya. Tapi sebelum nyawa saya putus, saya masih punya
kesempatan untuk melemparkan kendi ini ke dalam telaga. Akibatnya Kiai tahu
sendiri!" Kiai Gede Tapa tersurut dua langkah begitu mengetahui bahwa isi kendi yang
diacungkan muridnya itu adalah air kencing. Sedikit saja cairan larangan itu
mengenai Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tubuh atau pakaiannya maka dia akan mengalami cidera yang sulit dibayangkan.
Selain itu yang paling ditakutkan sang Kiai ialah dia tak akan sanggup
meneruskan keadaan dirinya seperti sekarang ini karena kesaktiannya akan menjadi
lumpuh. "Sinto Weni! Kau benar-benar murid kurang ajar! Murtad!" teriak Kiai Gede Tapa
Pamungkas dengan suara menggelegar.
"Aduh! Aku ngompol lagi!" Si Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. Coba
bertahan. Tapi sia-sia saja. Kakek ini kembali terkencing di celana akibat kaget
mendengar teriakan sang Kiai tadi.
Walau darahnya mendidih dan ingin sekali menghajar Sinto Gendeng namun Kiai Gede
maklum dia tak bisa berbuat apa-apa. Orang tua ini membathin. "Heran, dari mana
dia mengetahui pantangan air larangan itu.... Siapa membocorkan rahasia!"
"Bagaimana Kiai..,?" Sinto Gendeng bertanya sambil menyeringai.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berusaha menindih amarahnya. Kedua matanya dipejamkan.
Tangan kirinya berulang kali mengusapi dadanya.
"Sinto Weni, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan," sang Kiai berucap. "Hari
ini kau boleh menikmati kemenanganmu. Tapi hari ini pula pula putus hubungan
kita sebagai guru dan murid!"
"Kiai!" seru Sinto Gendeng seraya jatuhkan diri berlutut. "Saya menerima salah
namun saya harap Kiai mau mengerti....".
"Selamat tinggal Sinto Weni. Mulai saat ini aku tak ingin melihat dirimu lagi!
Aku akan meninggalkan Telaga Gajahmungkur ini. Tapi aku tidak suka begitu mudah
bagimu gentayangan di tempat ini. Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang
Neraka akan tetap berjaga-jaga di tempat ini! Mudah-mudahan kau dan kawanmu itu
tidak akan menemui ajal di tangan mereka!"
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan tangannya kiri kanan.
Dua ekor naga besar mendesis keras lalu selulupkan kepalanya ke dalam air dan
lenyap dari pemandangan. Kiai Gede Tapa tidak menunggu lebih lama. Orang tua ini
rangkapkan dua tangan di depan dada. Perlahan-lahan tubuhnya masuk lurus ke
dalam air, kaki lebih dulu, menyusul badan dan terakhir sekali kepala. Di bekas
tempat lenyapnya sang Kiai untuk beberapa ketika tampak kabut putih mengambang
di atas permukaan telaga.
Sinto Gendeng melirik ke arah telaga. Perlahan-lahan nenek ini bangkit berdiri.
Sambil acungkan kendi merah di tangan kanannya dia tertawa cekikikan. Si Setan
Ngompol buru-buru tekap bagian bawah perutnya sambil berusaha menahan tawa. Tapi
sia-sia. Begitu tawanya meledak, di sebelah bawah dia kembali bocor! *
"Dia tertipu! Dia tertipu! Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng tertawa cekikikan
sambil acungkan kendi; merah.
"Kiai gurumu itu pasti sudah mulai pikun! Apa dia tidak bisa membedakan bau
pesingnya air kencing dengan bau wanginya tuak murni" Ha... ha...ha...!" ujar si
Setan Ngompol lalu ikut-ikutan tertawa. Makin keras tawanya makin deras mengucur
kencingnya. "Dia percaya saja waktu kubilang kendi ini berisi air kencingku dan air
kencingmu! Padahal isinya tuak harum yang aku dapat dari kawanku si Dewa Tuak! Hik...
hik.:. hik!"
"Serahkan kendi itu padaku Sinto! Tenggorokanku jadi kering karena tertawa
terus! Kau orang perempuan jangan banyak-banyak meneguk tuak. Bisa mandul! Ha... ha...
ha... ha!" "Diriku memang sudah mandul sejak lahir! Hik... hik... hik!" menyahuti Sinto
Gendeng dan tertawa gelak-gelak. Tuak dalam kendi diteguknya satu kali. Walau
cuma minum satu teguk namun muka keriputan Sinto Gendeng langsung menjadi merah
dan Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tubuhnya bergetar sedang kedua matanya berkedap-kedip.
"Apa kataku!" ujar Setan Ngompol. "Tuak keras ini minuman lelaki. Bukan minuman
nenek-nenek sepertimu. Untung kau tidak sampai terangsang. Bisa-bisa aku kau
tarik ke balik pohon! Ha... ha... ha! Lekas kau serahkan padaku kendi itu! Aku
perlu minum banyak biar bisa ngompol banyak!"
"Enak saja kau bicara!" kata Sinto Gendeng merengut. Kendi tanah warna merah
diserahkannya pada si kakek. "Minum sepuasmu! Selamat menenggak tuak wangi!
Selamat ngompol! Hik... hik... hik!"
Setan Ngompol dongakkan kepala lalu mengucurkan tuak dalam kendi ke mulutnya
yang dibuka lebar-lebar. "Sialan! Baru kuteguk sedikit sudah habis!" Memaki
Setan Ngompol begitu tuak dalam kendi habis dan tak ada lagi yang mengucur ke
dalam tenggorokannya. Bibir kendi dijilatinya. Belum puas tiba-tiba kendi tanah
itu diremasnya hingga hancur. Lalu "krak... kruk... krak.... kruk!" Kepingankepingan pecahan kendi yang masih dilekati sisa-sisa tuak itu dimasukkan ke
dalam mulut, dikunyah seolah dia tengah makan kerupuk!
Sinto Gendeng tertawa mengekeh melihat perbuatan si Setan Ngompol itu. Lalu
nenek sakti ini berseru. "Kalian berempat yang sembunyi lekas unjukkan diri!
Urusanku masih panjang! Jangan membuang waktu!"
Dari balik sebuah batu besar yang dikelilingi semak belukar terdengar suara
kaleng rombeng berkerontang bising membuat telinga berdenyut sakit. Air di
pinggiran telaga tampak beriak dan membentuk gelombang-gelombang kecil. Sesaat
kemudian muncul sosok seorang kakek berpakaian compang-camping penuh tambalan.
Di pundaknya ada sebuah buntalan butut. Tangan kiri memegang tongkat yang
ujungnya patah. Tangan kanan memegang sebuah kaleng yang digoyang-goyangkan.
Sepasang matanya berwarna putih.
"Ah panasnya siang ini! Caping yang hancur belum kuganti! Sialnya nasib tua
bangka ini!"
Kakek buta yang membuat suara berisik ini adalah Kakek Segala Tahu salah seorang
dedengkot rimba persilatan. Dia keluar dari balik batu digandeng seorang pemuda
berpakaian hijau dan memakai anting-anting emas di salah satu telinganya. Dia
bukan lain Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Di belakang ke dua Orang ini
menyusul gadis berwajah cantik mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya panjang
tergerai dan sepasang matanya yang berwarna biru menambah pesona kecantikan
parasnya. Dialah Ratu Duyung. Lalu di belakang Ratu Duyung sambil garuk-garuk
kepala melangkah pemuda gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Begitu empat orang tersebut berada di hadapan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol,
si nenek segera berkata.
"Aku dan Setan Ngompol akan menyusup masuk ke dalam telaga. Kuharap kalian
berempat tetap menunggu di sini." Lalu Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung.
"Kami perlu bantuanmu sekali lagi. Memberikan sirap kekuatan agar bisa berada
lama di bawah air. Aku khawatir sirap yang kau berikan sebelumnya pada kami
berdua tidak berlangsung lama. Bisa-bisa kami kakek nenek jelek ini menemui ajal
di dasar telaga! Hik...
hik... hik!"
Seperti diketahui Ratu Duyung dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan laut
selatan. Dia memiliki kemampuan untuk berenang, menyelam atau berada di dalam
air laut dalam waktu tidak terbatas.
"Saya akan lakukan Nek," jawab Ratu Duyung. "Tapi daya sirap itu hanya
berkekuatan setengah hari. Jadi kau dan kakek ini paling lama hanya bisa
bertahan sampai Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
lewat tengah malam nanti."
"Itu pun sudah cukup," menjawab Setan Ngompol seraya kedip-kedipkan matanya dan
usap bagian bawah perutnya menahan kencing.
Ratu Duyung melangkah mendekati Sinto Gendeng lalu dari belakang gadis ini peluk
si nenek. Matanya dipejamkan. Dalam hati dia merapal sesuatu. Mulut Sinto
Gendeng berkomat-kamit ketika dia merasakan ada hawa aneh memasuki tubuhnya.
Selesai menyirap si nenek dengan kekuatan yang membuatnya mampu masuk ke dalam
air untuk jangka waktu lama maka Ratu Duyung mendekati Setan Ngompol.
Belum apa-apa kakek berkuping luar biasa lebar dan bermata jereng ini sudah
tertawa cekikikan sambil memegangi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan.
"Aku tak sanggup menahan geli. Aku tak sanggup menahan kencing...!" katanya,
berulang kali. Begitu Ratu Duyung memeluknya dari belakang kakek ini tertawa
keras. Sekujur tubuhnya bergeletar dan "Ssrrr.... Ssrrrr." Pakaiannya basah kuyup di
sebelah bawah. "Aku mencium bau pesing! Siapa yang beser! Kau Sinto"!" Bertanya Kakek Segala
Tahu lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
"Enak saja kau bicara! Bukan aku! Tapi kakek jelek yang tubuhnya tak punya
saringan lagi ini!" jawab Sinto Gendeng merengut.
Sebelum pakaiannya ikut terciprat basah Ratu Duyung sudahi pelukannya yang
memberi sirap kekuatan pada Setan Ngompol.
Tiba-tiba Pendekar 212 maju mendekati Ratu Duyung. "Ratu, aku ingin menemani dua
orang tua ini ke dasar telaga. Harap kau suka memberikan ilmu kuat menyelam itu
padaku...."
"Anak setan! Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu!" Sinto Gendeng
membentak. "Sebenarnya kau cuma ingin dipeluk gadis cantik ini, bukan"!"
Wiro garuk-garuk kepala. "Maksudku bukan begitu Nek. Aku...."
"Kau dan Kakek Segala Tahu serta pemuda satu ini tetap berada di sini. Berjagajaga!" Berkata Setan Ngompol.
"Aku tak mungkin berlama-lama di sini. Aku perlu pergi ke satu tempat menemui
seseorang," ujar Kakek Segala Tahu. "Tapi sebelum pergi, aku punya penglihatan.
Ada baiknya kalian mengajak serta anak muda bernama Panji ini."
Sinto Gendeng mengerling pada Wiro dan Ratu Duyung. Lalu nenek ini mendekati
Kakek Segala Tahu dan menarik tangannya. Agak menjauh dari orang-orang itu Sinto
Gendeng berkata. "Apa maksudmu menyuruh pemuda itu ikut dengan kami. Agar
muridku anak setan itu bisa berdua-dua dengan Ratu Duyung"! Hemmm.... Janganjangan kau punya rencana hendak mengatur jodoh muridku! Apa kau tidak tahu kalau
anak setan itu kuinginkan kawin dengan Anggini, murid Dewa Tuak?"
Kakek Segala Tahu tertawa lebar. Setelah kerontangkan kalengnya dia berkata.
"Aku bukan mak comblang, tukang menjodohkan orang. Soal jodoh ada di tangan Yang
Kuasa. Maumu muridmu kawin dengan Anggini. Tapi apa mereka suka satu sama lain" Aku
bilang aku hanya melihat sesuatu. Tapi tidak bisa mengatakan panjang lebar pada
kalian. Aku cuma menyarankan agar kalian membawa serta pemuda itu."
"Sinto sebaiknya turuti anjurannya, mungkin kita memerlukan bantuan pemuda ini
kelak...."
"Jangan dengarkan kata-kata tua bangka itu. Dia merasa maha segala tahu.... Ayo
ikuti aku!"
Tapi mendadak Ratu Duyung melangkah ke belakang Panji dan memeluk pemuda Wiro
Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
ini, memberikan sirapan kekuatan untuk masuk ke dalam air. Selesai menyirap sang
Ratu berkata. "Aku tahu kau punya kekuatan alam untuk berenang dan menyelam lama
dan jauh ke dalam laut. Tapi Telaga Gajahmungkur bukan telaga biasa...."
"Terima kasih Ratu. Kau mau memberikan kekuatan hebat padaku," jawab Panji.
"Sebelumnya aku memang telah masuk ke dalam telaga. Tapi tak sanggup bertahan
lama...." Kakek Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya lalu berkata pada Sinto
Gendeng. "Sinto, aku siap pergi sekarang. Tapi jangan lupa pesanku tempo hari.
Pada bulan purnama empat belas hari nanti, kita berkumpul lagi di tempat ini!"
Sinto Gendeng menggumam lalu anggukkan kepala.
"Apakah kau tidak mengundang diriku serta?" Si Setan Ngompol bertanya.
"Orang sepertimu buat apa diundang. Hanya akan membuat buruk suasana. Tukang
ngompol. Membuat bau pesing menebar di mana-mana!" jawab Kakek Segala Tahu
sambil tersenyum pertanda sebenarnya dia juga menginginkan orang tua aneh itu
ikut hadir pada malam yang ditentukan.
Si Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kembali dia terkencing. "Orang tidak
mengundang. Betapa jeleknya nasibku. Padahal pada malam bulan purnama justru
kencingku banyak sekali! Ha... ha...ha!"
Kakek Segala Tahu usap-usap rambutnya yang putih.
"Kalian bertiga tunggu apa lagi"!" ujar si kakek. Setelah mengguncang kaleng
rombengnya dua kali maka dia pun berkelebat pergi.
Sinto Gendeng sesaat tegak termangu. Dia melirik pada Ratu Duyung lalu seolah
tak perduli lagi nenek ini melompat masuk ke dalam telaga. Setan Ngompol
menyusul. Panji memandang dulu pada Wiro dan Ratu Duyung baru ikut menceburkan
diri ke dalam Telaga Gajahmungkur.
* * * SEPULUH Sebelum melanjutkan bagaimana kejadian Puti Andini yang ditelan naga betina
raksasa serta apa yang bakal dilakukan Sinto Gendeng bersama rombongannya di
Telaga Gajahmungkur, kita kembali dulu ke Lembah Merpati.
Di atas sebuah pohon besar berdaun rindang, tampak menyelinap seorang nenek
berambut putih digulung di atas kepala. Dia mengenakan sebuah mantel berwarna
hitam. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah lembah di mana saat itu ada
seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun yang duduk menjelepok di atas gundukan
tanah berumput.
Dia seolah tidak memperdulikan keadaan di Lembah Merpati itu. Tidak perduli
dengan burung-burung merpati yang berterbangan atau hinggap di sekitarnya.
Seolah tidak mendengar suara binatang itu bersahut-sahutan satu sama lain. Dia
hanya melihat sesuatu kekosongan di kejauhan.
Nenek di atas pohon yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak masih terus
memperhatikan lelaki berambut putih itu. Dalam hati si nenek muncul berbagai
tanya dan duga. "Hari perjanjian dan pertemuan saat ini agaknya bakal tidak
beres lagi. Tempat ini telah kedahuluan didatangi orang. Siapa adanya kakek
berambut putih itu. Wajahnya sayu, Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Karya Bastian Tito
sikapnya acuh. Aku melihat dia beberapa kali mengusap matanya yang cekung. Dia
seperti menangis.... Kurasa bukan satu kebetulan dia berada di tempat ini.
Mungkin ini termasuk apa yang diatur orang bercadar kuning itu" Mungkin
seseorang yang juga ada sangkut pautnya dengan rahasia besar kehidupan diriku,
Sukat Tandika dan Iblis Pemalu serta orang bercadar itu" Tapi hemmm.... Aku
ingat. Waktu bertemu di sini dua hari lalu orang bercadar itu mengatakan bahwa


Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang tidak datang itu adalah Puti Andini, cucuku sendiri."
Sabai Nan Rancak terus perhatikan lelaki di lembah. "Hemmm, pakaian hijau
berenda benang emas yang dikenakan orang itu. Aku pernah melihat orang lain
mengenakan pakaian serupa itu. Aku tak bisa mengingat. Otakku penuh dibuncah
oleh berbagai persoalan gila" Apalagi baru saja aku menyirap kabar bahwa Sutan
Alam Rajo Di Langit lenyap dari Gunung Singgalang. Dikabarkan dia tengah
menyeberang ke tanah Jawa Ini.
Gerangan apa yang membuatnya datang ke sini. Tentu ada satu perkara besar.
Jangan-jangan dia pergi ke.... Ah! Makin buncah kepalaku! Lelaki di lembah itu.
Siapa dia adanya.
Daripada merusak rencana pertemuan dengan Iblis Pemalu dan orang bercadar lebih
baik orang ini aku usir lebih dulu!" Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak
segera melayang turun dari atas pohon dan tegak tiga langkah tepat di hadapan
orang tua berambut putih.
Walau ada orang muncul dengan sangat tiba-tiba, apalagi melayang turun dari atas
pohon, membuat burung-burung merpati berterbangan tapi lelaki berpakaian bagus
hijau yang duduk menjelepok di tanah tidak terkejut atau bergerak sedikit pun.
Sepasang matanya masih memandang kosong ke arah kejauhan seolah menembus sosok
tubuh Sabai Nan Rancak yang berdiri di hadapannya. Dari matanya yang cekung
menggelinding, tetesan air mata ke pipinya yang pucat.
"Aku yakin orang ini tidak buta dan juga tidak tuli! Adalah aneh dia menganggap
seolah aku tidak ada di depannya!" Sabai Nan Rancak merasa heran walau dalam
hati dia juga merasa geram.
"Rambut putih berpakaian hijau! Siapa kau! Ada keperluan apa berada di Lembah
Merpati ini!" Sabai Nan Rancak membentak dengan suara keras dan garang.
Hardikannya ini membuat puluhan ekor burung merpati yang ada di sekitar situ
melompat terkejut lalu terbang ke udara. Tapi anehnya, orang yang duduk di atas
gundukan tanah berumput tetap saja tidak bergerak, tidak berkesip apalagi
membuka mulut memberikan jawaban.
Putuslah kesabaran Sabai Nan Rancak. Nenek ini angkat kaki kanannya, siap untuk
menendang. Yang diarahnya adalah bagian pinggang orang berpakaian hijau. Tapi
setengah jalan tendangannya melesat tiba-tiba orang yang duduk di tanah itu
angkat tangan kirinya.
Satu gelombang angin bergetar di udara membuat kaki kanan Sabai Nan Rancak
seolah ditahan satu benda sangat lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat hingga
tendangannya tak bisa diteruskan. Perlahan-lahan kakinya terdorong dan kembali
ke tempat semula, tegak mendampingi kaki kiri!
Kini terbelalaklah Sabai Nan Rancak. Bersamaan dengan rasa terkejutnya maka
kecurigaannya bertambah besar. "Astaga! Orang ini memiliki ilmu kapas putih.
Kekuatan yang sanggup meredam kekerasan secara lembut tanpa menciderai lawan!
Dia dari golongan putih. Tapi jelas dia punya maksud dan tujuan tertentu berada
di lembah ini!"
Di hadapannya orang itu tiba-tiba memasukkan tangan kanannya ke balik pakaian
hijaunya yang gombrong. Ternyata dari balik pakaian itu dia mengeluarkan sebuah
tempat sirih terbuat dari emas yang memantulkan cahaya berkilau-kilau terkena,
sinar matahari pagi.
"Dia memiliki tempat sirih terbuat dari emas. Jangan-jangan orang ini seorang
hartawan kaya raya atau bangsawan terkemuka. Mungkin pula seorang Tumenggung.
Tapi Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mengapa tampaknya pandir-pandir saja dan seperti kurang ingatan!" Kembali Sabai
Nan Rancak membathin.
Di dalam tempat sirih itu terdapat tujuh helai daun sirih yang masih segar.
Sejumput tembakau yang menebar bau harum, segumpal kapur putih serta dua bongkah
pinang. Dengan tenang orang ini mengambil dua lembar daun sirih, menjumput secuil
tembakau, memecah pinang dan mengambil secuil kapur lalu mulai meramu sirih.
Semua itu dilakukannya dengan kepala diarahkan ke depan, sepasang mata tetap
memandang kosong dan jauh. Sambil meramu sirih orang ini berkata dengan suara
perlahan tapi sangat jelas sampainya ke telinga Sabai Nan Rancak.
"Hidup penuh teka-teki. Sengaja aku meninggalkan pulau. Melanggar segala
pantangan dan larangan. Hanya untuk mencari anak yang pergi. Entah masih hidup
entah sudah mati. Kalau sudah mati dimana kuburnya. Kalau masih hidup dimana
tersesatnya...."
Orang itu hentikan ucapannya. Daun sirih dilipatnya dua kali berturut-turut.
Kening keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah keriput. Mendadak saja dadanya
berdebar dan hatinya jadi penuh dengan segala tanya.
"Orang tak dikenal. Pulau apa yang kau tinggalkan. Pantangan dan larangan apa
yang kau langgar! Siapa anak yang kau cari! Harap kau suka menjawab
pertanyaanku. Kalau tidak menjawab terpaksa aku mengusirmu dari sini saat ini juga! Kalau
tidak mau pergi, aku tidak ragu menurunkan tangan keras. Jangan mengira ilmu
kapas putih yang kau miliki bisa kau andalkan terlalu banyak! Aku tahu kelemahan
ilmu itu!"
Orang yang duduk menjelepok di tanah membuat lipatan terakhir pada daun sirih
yang diramunya. Selesai meramu sirih, tempat sirih yang terbuat dari emas itu
dimasukkannya kembali ke dalam pakaian hijaunya yang gombrang. Semula Sabai
mengira orang ini akan segera menyuapkan sirih ke dalam mulut. Ternyata sirih
yang sudah dilipat itu disisipkannya di atas daun telinganya sebelah kiri!
"Orang gila macam apa pula manusia satu ini! Meramu sirih tapi hanya diselipkan
di atas kuping!" membathin Sabai Nan Rancak. Lalu dia membentak. "Kau belum
menjawab pertanyaanku!"
"Orang bertanya aku pantas menjawab. Karena setiap pertanyaan mustahil tak ada
jawabannya. Pulauku adalah pulau Sipatoka. Pulau yang sudah dilupakan orang.
Dilupakan karena tak ada yang mau mengingat. Pantang dan larangan yang kulanggar
adalah pantang dan larangan seorang pimpinan meninggalkan pulau dan rakyat. Anak
yang kucari adalah sang putera mahkota. Disebut dengan nama Datuk Pangeran Rajo
Mudo. Pergi menurut kehendak sendiri. Terbujuk oleh dorongan darah muda. Padahal
dunia penuh tantangan dan petaka. Padahal ilmu hanya panjang sedepa..."
Sepasang mata Sabai Nan Rancak mendadak membesar dan memancarkan sinar aneh.
Mulutnya terkancing rapat. Tapi gemuruh di dadanya bertambah keras. Hatinya
kembali berkata. Cara bicara orang ini hampir sama dengari orang bercadar kuning
itu. Mungkin sekali ada hubungan antara mereka satu sama lain" Aku tak pernah
mendengar ada pulau bernama Sipatoka. Apalagi kerajaan Sipatoka. Dulu memang ada
seorang bernama Datuk Sipatoka. Tapi sudah lama mati. Dia mengaku mencari
anaknya yang putera mahkota" Memangnya apakah dia ini seorang raja"!"
"Orang yang tegak di depanku. Melihat sikap dan cara bicaramu. Mendengar tutur
ucapmu serta melihat air mukamu, kau pastilah seorang pandai bijaksana, luas
pengalaman luas pengetahuan. Apakah kau bisa menolong diriku" Mungkin kau pernah
mendengar nama anakku. Mungkin juga kau tahu di mana dia berada?"
Sabai Nan Rancak menggeleng perlahan. "Aku tak pernah mendengar nama Wiro
Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
puteramu itu. Aku juga tidak tahu di mana dia berada."
"Ah, sayang.... Sungguh sayang. Mungkin jiwanya sudah melayang, mungkin aku akan
pulang berhampa tangan. Tapi rasanya lebih baik ikut mati daripada pulang
sendirian." Orang itu menghela nafas dalam beberapa kali sementara air mata
makin banyak jatuh ke pipinya.
"Kau sudah memberikan banyak keterangan. Tapi satu hai belum kau katakan. Siapa
namamu?" Bertanya Sabai Nan Rancak.
"Aku Rajo Tuo penguasa Kerajaan Sipatoka. Hanya itu yang bisa kuberitahu
padamu...."
"Baik, aku tidak memaksa. Kalau kau tak mau bicara lagi harap kau suka
meninggalkan Lembah Merpati ini, Dan jangan berani mendekati tempat ini lagi!
Silahkan pergi!"
"Ah.... Begini rupanya nasib diri. Belum dapat apa yang dicari sudah disuruh
pergi. Tapi aku tak akan meninggalkan Lembah Merpati. Agar kau senang biar aku hanya
beranjak sedikit saja dari sini!"
Habis berkata begitu lelaki berambut putih berpakaian hijau bagus ini perlahanlahan berdiri. Dia melangkah ke arah pohon di mana tadi Sabai Nan Rancak berada.
Sesaat dia dongakkan kepala memandang ke atas. Dua kakinya kemudian digesergeserkan secara aneh ke tanah. Dari mulutnya melesat suara suitan nyaring. Saat
itu juga tubuhnya melesat ke udara dan sesaat kemudian dia sudah tegak di cabang
pohon. Sabai Nan Rancak yang memperhatikan apa yang dilakukan orang dalam herannya
kembali membathin. "Tadi waktu dia mengeluarkan ilmu kapas putih menahan
tendanganku, dia sama sekali bukan mengandalkan tenaga dalam. Barusan waktu
melesat ke atas pohon dia juga tidak mengandalkan tenaga dalam atau ilmu
meringankan tubuh.
Orang ini memiliki ilmu aneh. ada satu kekuatan gaib dalam dirinya!"
Sabai memandang berkeliling sebentar. "Heran, mengapa Iblis Pemalu dan orang
bercadar itu masih belum datang?" Lalu kembali dia memandang ke atas pohon.
"Orang di atas pohon. Karena pohon ini masih dalam kawasan Lembah Merpati dan
aku tak suka kau berada di lembah maka harap kau segera turun dan pergi dari
sini!" Sabai Nan Rancak berteriak.
Mendengar teriakan si nenek, orang di atas pohon gesek-gesekkan telapak kakinya
yang tidak berkasut ke cabang pohon. Sesaat tubuhnya seolah mumbul ke atas namun
di lain kejap tubuh itu bergerak turun ke bawah. Dia sudah tegak di tanah lembah
hanya terpisah sepuluh langkah dari Sabai Nan Rancak.
"Aneh, ilmu apa yang dimiliki orang ini. Bisa naik turun seperti itu..." pikir
si nenek. Lalu karena dilihatnya orang masih belum pergi dari tempat itu maka. dia kembali
membentak. "Jangan kau menguji kesabaranku. Aku tidak ada ganjalan apa-apa untuk
mencelakai dirimu! Lekas angkat kaki dari sini. Atau kau minta kusingkirkan
dengan cara mengeluarkan rohmu lebih dulu dari tubuh!"
Orang yang diancam sepertinya tidak perduli dan tidak takut dengan ancaman Sabai
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 15 Pendekar Rajawali Sakti 178 Satria Pondok Ungu Kutuk Sang Angkara 1

Cari Blog Ini