Wiro Sableng 145 Lentera Iblis Bagian 3
kesulitan. Keselamatan mereka sama-sama terancam ...."
"Saya hanya menuruti apa pang baik kata Datuk."
"Waktu yang tepat adalah sekitar tujuh bulan di muka. Pada malam Satu Suro tahun
depan kita bertemu lagi. Saat itulah Ken Permata akan aku serahkan padamu.
Akan lebih baik kalau saat itu ibunya ada bersamamu.
Sementara itu dari sekarang sampai saat pertemuan nanti kuharap kau mau menjaga
keselamatan ibu anak ini."
"Terima kasih atas petunjuk Datuk. Perintah Datuk akan saya lakukan Saya tidak
akan menganggu Datuk lebih lama. Saya hanya mohon nasihat. Pesan wejangan atau
mungkin juga teguran. Agar saya bisa lebih lega dalam menghadapi berbagai
tantangan di masa yang skan datang."
Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum.
Bastian Tito 80 Lentera Iblis "Wiro. ketahuilah segala nasihat, pesan wejangan maupun teguran sesungguhnya
dimiliki dan berada dalam diri manusia itu sendiri. Semua yang datang dari orang
lain tidak akan ada gunanya jika tidak dituruti. Suara hati nurani sendiri, yang
datang dari lubuk terdalam hati tulus dan bersih adalah mata telinga bagi diri
seseorang untuk melangkah di jalan yang baik dan diredhohi Allah, Tuhan Seru
Sekalian Alam. Yang Maha Kuasa dan Maha
Mengetahui"
Wiro membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih
Datuk. Ucapan Datuk akan saya perhatikan sungguh-sungguh."
"Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. Dia usap
kepala Pendekar 212. Wiro turunkan Ken Permata dari gendongan. Ketika hendak
didudukan kembali di atas punggung harimau putih, anak ini menangis tak mau
pisah dengan Wiro. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus ketika Wiro mengusap
tengkuknya dan mencium
keningnya. Wiro tak lupa mencium tangan kanan Datuk Rao Basaluang Ameh sekali
lagi. "Wiro, sebelum pergi biar aku sembuhkan luka di punggungmu."
"Terima kasih Datuk memperhatikan saya. Saya ingin biar luka di punggung saya
akan menjadi cacat yang mengingatkan diri saya betapa pahitnya hidup ini.
Membuat saya bisa berbuat lebih baik dan lebih bijaksana.
Karena betapapun buruknya diri saya ini. saya masih tetap seorang anak manusia.
Bukan anak setan ...."
Lama Datuk Rao Basaluang Ameh tegak terdiam
mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Akhirnya si kakek mengulum senyum luruh,
membelai kepala sang pendekar dan berkata. "Kau anak baik. Namun sebagai manusia
kita tidak pernah lepas dari perasaan hati dan jalan pikiran.
Jaga dirimu baik-baik, Wiro ..."
Bastian Tito 81 Lentera Iblis Sosok si orang tua. harimau putih dan Ken Permata berubah samar. Kabut menipis.
Di kejauhan terdengar suara seruling. Tak lama kemudian ketiga mahluk itupun
lenyap dari pandangan.
Pendekar 212 menghela nafas. Hatinya membatin.
"Turut akal sehat otak manusia, siapa bisa percaya akan semua yang barusan
terjadi di tempat ini. Di balik semua keanehan, tangan dan kuasa Tuhan bergerak
memberikan segala rakhmatNya."
Wiro usapkan dua telapak tangan ke wajah. Sang surya masih menyisakan cahaya
terakhirnya di ufuk barat.
Sebentar lagi petang akan memasuki malam. Terbayang wajah Kiai Gede Tapa
Pamungkas "Apa yang ingin dibicarakan orang sakti itu hingga dia menyuruhku
datang menemuinya?" Pertanyaan itu muncul dalam hati sang pendekar.
-- << 6 >> -Bastian Tito 82 Lentera Iblis 7 UNCAK Gunung Gede. Sang surya belum lama
tenggelam namun kepekatan malam telah muncul
P memagut hingga segala sesuatunya kelihatan gelap dan hitam. Sosok yang datang
berkelebat dari arah timur untuk beberapa lama tegak diam tertegun. Mata
memandang berkeliling, wajah putih membayangkan perasaan heran sekaligus
keterkejutan. "Walau cuma satu kali datang ke sini, rasanya tak mungkin aku datang di tempat
yang salah. Pohon besar itu masih berdiri di sebelah sana. Sumur tua di sebelah
situ. Tapi mana gubuknya" Semua tinggal tanah rata."
Orang yang barusan datang, seorang nenek berwajah putih memandang berkeliling
lalu melangkah kian kemari seputar tanah datar dimana sebelumnya berdiri gubuk
kediaman Sinto Gendeng.
"Sesuatu telah terjadi di sini. Aku melihat pecahan-pecahan kayu. Kepingan
tempayan tanah ..." Di satu tempat si nenek berdiri agak lama. Kaki digeser
beberapa kali. Dada berdebar. "lni tempatnya. Apakah aku harus
......" Dalam membatin si muka putih ini merasa ragu. Dia melangkah kembali.
Di pinggir sebuah sumur tua, si nenek berhenti.
Pandangan diarahkan ke berbagai penjuru, telinga dipasang. "Tak ada tanda-tanda
manusia terkutuk itu telah muncul di tempat ini. Apakah aku datang lebih cepat,
lebih dahulu" Atau mungkin ditengah jalan dia merubah pikiran.
membatalkan niat datang ke tempat ini?" Suara hatinya itu dibantah sendiri.
"Tidak mungkin. Turut keterangan Ki Tambakpati dia menanyakan Kitab Seribu
Pengobatan. Dia mesti ke sini. Aku akan menunggu. Sekali ini dia tidak
Bastian Tito 83 Lentera Iblis bakal lolos dari tanganku! Manusia keji jahanam! Kau akan jadi bangkai di tempat
ini!" Baru saja si nenek berkata dalam hati seperti itu mendadak ada kilasan satu
cahaya di sebelah barat dan telinganya menangkap suara orang berlari cepat
sekali. "Pasti jahanam terkutuk itu!"
Secepat kilat nenek muka putih yang bukan lain Nyi Bodong adanya melesat ke atas
sebatang pohon besar.
Mendekam di situ, mata memperhatikan tak berkesip ke arah datangnya suara orang
yang berkelebat datang.
Hanya satu kejapan mata saja, seorang mengenakan jubah hitam dengan gambar
matahari bulat merah di bagian dada, bermuka cacat. tegak di pinggiran sumur,
tepat dimana si nenek tadi berdiri. Keningnya diikat secarik kain warna merah.
Di tangan kanan orang ini menenteng satu benda aneh, yakni sebuah lentera yang
cahayanya menerangi tempat terbuka sampai seluas tiga tombak persegi. Tidak
seperti lentera biasa, lentera ini memancarkan cahaya tiga warna yaitu merah di
sebelah atas, hitam di sebelah tengah dan kuning di sebelah bawah.
Di atas pohon besar Nyi Bodong bergerak hati-hati, masuk menyelinap ke balik
kelebatan daun pepohonan, melindungi diri dari cahaya terang lentera.
"Lentera lblis ...." ucap Nyi Bodong dalam hati. Dia ingat pada guratan tulisan
yang dilihat dan dibacanya dalam goa kediaman Si Muka Bangkai. "Jahanam itu
mengenakan pakaian baru berlambang gambar matahari.
Dia berani unjuk tampang tanpa mengenakan topeng setan. Berarti ada kekuatan
yang diandalkannya. Lentera itu .... " Mahluk jahanam! Hantu Pemerkosa alias
Pangeran Matahari! Kau datang ke sini mencari kitab keramat. Kalau kau
mendapatkan kau akan
menyerahkannya padaku bersama nyawamu! Apapun
penyakitmu kau tidak akan pernah tersembuhkan!
Bastian Tito 84 Lentera Iblis Mungkin ada hikmahnya Kiai mengembalikan kitab itu.
Kalau tidak aku tidak akan memergokinya di tempat ini!"
Orang yang memegang lentera yang memang
Pangeran Matahari adanya memperhatikan keadaan sekitar.
"Tak ada pondok! Tak ada gubuk! Tapi Si Muka
Bangkai menyuruhku datang kesini. Sekali ini mungkin dia benar-benar hendak
menipuku!"
Hati-hati Pangeran Matahari letakkan lentera di tanah. Mata tak berkesip
memperhatikan keadaan tanah.
yang diterangi lentera. Sesungging seringai menyeruak di mulut, hidung yang
pencong patah mendongak seperti binatang mencium sesuatu. Perlahan-lahan dia
berjalan ke bagian kanan lentera, berhenti sejarak tiga langkah. Kaki digeser.
Seringai kembali muncul di wajahnya.
"Pasti di sini tempatnya."
Tiba-tiba Pangeran Matahari membungkuk.
Bersamaan dengan itu tangan kanan dihantamkan ke tanah.
"Bruukkk!" Tangan menembus tanah sedalam tiga
jengkal. "Kraaak!" Ada satu benda berderak pecah dilanda hantaman tangan kanan. Ketika
Pangeran Matahari mengangkat tangannya keluar dari tanah yang terbongkar, di
pergelangan tangan itu menggelantung sebuah peti kayu warna hitam. Pangeran
Matahari menggeprak peti kayu dengan tangan kiri hingga pecah berantakan. Dari
dalam peti yang hancur jatuh ke bawah satu benda yang bukan lain adalah sebuah
kitab tebal terbuat dari daun lontar. Sang Pangeran cepat sambuti kitab daun
lontar itu dengan tangan kiri. Di atas pohon besar Nyi Bodong tegang sesaat.
"Kau tidak akan dapatkan kitab itu Pangeran jahanam! Aku akan membunuhmu!"
Bastian Tito 85 Lentera Iblis Saking girangnya Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa berteriak keras. Tangan
kanan dipukulkan ke dada.
"Kitab Seribu Pengobatan! Aku akan sembuh! Akan sembuh! Aku akan menguasai rimba
persilatan tanah Jawa! Guru, terima kasih atas semua petunjukmu!"
Pangeran Matahari masukkan kitab daun lontar ke dalam saku besar di kanan jubah
hitam. Lalu dia melangkah untuk mengambil Lentera Iblis. Namun sebelum tangannya
menyentuh gagang lentera, ada satu perasaan yang membuat dia mengeluarkan
kembali Kitab Seribu Pengobatan dari saku jubah. Kitab didekatkan ke lentera. Di
bawah penerangan cahaya tiga warna lentera Pangeran Matahari membuka halaman
pertama. Halaman itu kosong! Dibuka halaman kedua! Kosong polos! Begitu
seterusnya. Sampai halaman terakhir. Kitab daun lontar itu tidak satu halamanpun
ada tulisannya!
Pangeran Matahari berteriak keras! Marah sekali kitab dibanting hingga menancap
amblas dan lenyap di dalam tanah.
Di atas pohon wajah putih Nyi Bodong unjukkan rasa heran.
"Bagaimana mungkin," katanya dalam hati. "Apakah Kiai sengaja melakukan" Lalu
dimana kitab yang asli?"
"Keparat kurang ajar! Siapa menipuku! Jahanam
mana yang punya pekerjaan begini rupa! Muka Bangkai!
Kau yang jadi biang kerok menipuku"!" Pangeran Matahari menyalahi gurunya lalu
memakipanjang pendek.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba menggelegar suara tawa cekikikan dari salah
satu pohon besar.
"Pangeran Matahari! Hantu Pemerkosa! Kasihan sekali kau ditipu guru sendiri.
Kalau kau diperlakukan seperti itu berarti baginya kau tidak lebih baik dari
cacing dalam comberan! Hik ... hik. ..hik!"
Bastian Tito 86 Lentera Iblis "Jahanam keparat! Siapa berani bicara menghina diriku!"
Pangeran Matahari hantamkan tangan kanannya ke arah pohon. Udara mendadak
bertambah kelam. Dari atas pohon saat itu tiba-tiba menggelegar suara seperti
raungan srigala, disusul suara tawa bergelak dan di lain kejap berkiblatlah
selarik sinar biru pekat.
"Wusss! Buuummm!"
Tiga larik sinar pukulan sakti Gerhana Matahari yang dilepaskan Pangeran
Matahari berdentum keras, buyar tercabik-cabik. Sang Pangeran terpental ke arah
sumur tua, mulut muntahkan darah segar. Dia cepat gulingkan diri dan menyambar
Lentera Iblis. Ketika dia berdiri di hadapannya telah tegak sosok nenek muka
putih berpakaian biru gelap.
"Tua bangka jahanam Nyi Bodong! Kau berani
mengikutiku! Kau mencari mati mencari mampus!", teriak Pangeran Matahari.
Lentera ditangan kanan diangkat ke atas.
Nyi Bodong menyeringai.
"Kau kira Lentera lblis itu bisa menyelamatkan dirimu" Benda butut itu hanya
pantas dipakai ronda pamong desa! Hik ... hik ... hik!"
Kejut Pangeran Matahari bukan olah-olah.
"Dari mana hantu perempuan ini tahu yang kupegang adalah Lentera Iblis!" ucap
Pangeran Matahari dalam hati.
Seperti dapat membaca apa yang ada dalam hati
lawan, Nyi Bodong berkata. "Goa di puncak Merapi! Tiga jurus ilmu Lentera Iblis!
Hanya sayang, goa itu sudah aku hancurkan menjadi timbunan tanah tak berguna!
Hik ... hik ... hik ..."
Pangeran Matahari berteriak keras. Kaki kanan maju ke depan. Tenaga dalam
disalurkan ke tangan kanan.
Lentera lblis didorong ke arah Nyi Bodong.
Bastian Tito 87 Lentera Iblis Cahaya kuning memancar lebih terang dan angker dibanding dua warna cahaya
lainnya. "Jurus ketiga Lentera Iblis! Jurus Liang Lahat Menunggu! Hik..hik..hik!" Nyi
Bodong sebut nama jurus serangan maut yang hendak dilancarkan Pangeran Matahari.
Walau kaget bukan kepalang namun sang Pangeran terus dorongkan Lentera Iblis.
Cahaya kuning berkiblat dari dalam lentera. Bersamaan dengan itu Nyi Bodong
singkapkan pakaian birunya di bagian perut. Kaki kanan dihentakkan ke tanah,
tangan kiri meremas. Selarik sinar biru menggidikkan menderu memapaki cahaya
kuning serangan Lentera Iblis!
Nyi Bodong menjerit keras! Pohon besar
dibelakangnya tenggelam dalam kobaran api dan dalam sekejapan telah berubah
menjadi gosong kuning!
Puncak Gunung Gede sebelah utara bergoncang hebat ketika dua cahaya sakti saling
hantam di udara. Dentuman dahsyat menggelegar. Tubuh Pangeran Matahari
bergoyang-goyang. Darah mengucur di sela bibir. Muka pucat namun dia masih mampu
berdiri di atas ke dua kakinya.
Nyi Bodong sendiri mencelat mental. Terguling ke bagian gunung yang terjal dan
lenyap dari pemandangan.
Pangeran Matahari mengejar. Lentera diangkat tinggi-tinggi hingga tempat di
sekitarnya menjadi terang. Namun dia tidak menemukan sosok Nyi Bodong.
"Mampus! Mungkin sudah lumat jadi tanah!"
Pangeran Matahari seka darah di sudut bibir. Tertatih-tatih sambil pegangi dada
dia melangkah tinggalkan puncak Gunung Gede, menuruni lereng gunung ke arah
tenggara. Hatinya masih penasaran hendak mencari Nyi Bodong untuk memastikan apakah nenek
muka putih itu benar-benar sudah menemui kematian. Namun rasa kesal karena Kitab
Seribu Pengobatan palsu itu, akhirnya dia memutuskan untuk cepat-cepat
tinggalkan Gunung Gede.
Bastian Tito 88 Lentera Iblis Kini dia memiliki senjata luar biasa. Lentera lblis yang mampu menandingi
kehebatan Nyi Bodong. Begitu turun gunung tekadnya bulat untuk segera mencari
dan menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah itu satu persatu para tokoh
persilatan tanah Jawa akan
dihabisinya. *** TERPISAH hampir tiga hari dari kemunculan Pangeran Matahari dipuncak utara
Gunung Gede, pada satu siang yang cerah Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tepi
Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telaga tiga warna di puncak gunung sebelah timur.
Keanehan pada telaga ini, airnya selalu membentuk riak dan mengeluarkan suara
halus seperti air mendidih.
Pertama sekali yang jadi perhatiannya ialah dia tidak melihat sawung yang pernah
ada di tepi telaga itu.
Kemudian dia tersentak kaget dan melongo ketika di balik serumpunan pohon bunga
di tepi telaga duduk seorang perempuan muda bewajah cantik, rambut hitam tergerai, pakaian
kembang-kembang kuning dan biru. Sepasang alisnya yang tebal hitam naik ke atas,
bibir yang mungil mengulum senyum. Dua kakinya yang mulus putih berada dalam air
telaga sampai sebatas ujung lutut. Di atas pangkuannya ada sebuah boneka kayu
perempuan. "Den Ayu ... Nyi Retno Mantili, kaukah ini?" tanya Pendekar 212.
"Hik ... hik. Apakah kau tidakmengenali diriku lagi?"
tanya perempuan muda yang memang Nyi Retno Mantili adanya. Saat itu tubuh, wajah
dan rambutnya dalam keadaan bersih. Pakaian bagus, apik dan rapi. Alis hitam
kereng, pipi kemerahan dan bibir segar. Selain cantik dirinya tampak anggun
sekali. "Ah, maafkan. Saya hampir tidak mengenali," jawab Wiro terkagum-kagum.
Sebelumnya dia melihat Nyi Retno
Bastian Tito 89 Lentera Iblis dalam keadaan dekil kumal baik tubuh, rambut maupun pakaian.
"Guru menyuruhku membersihkan diri, memberi
pakaian baru, berdandan. Kalau dulu aku tidak mau. Tapi sekarang mau. Karena
menyambut kedatanganmu. Boleh
'kan" Kau suka Wiro" Hik .. hik ... hik."
Pendekar 212 jadi rikuh mau menjawab pertanyaan Nyi Retno. Dia malah balik
bertanya. "Guru" Maksud Nyi Retno guru siapa?"
"Nanti kau tahu sendiri."
"Aku lupa menanyakan perihal anakmu. Apakah
Kemuning baik-baik saja?" Wiro mengambil boneka kayu dari pangkuan Nyi Retno dan
menimang-nimangnya.
"Dia selalu rewel. Selalu menanyakan kapan kau datang. Kapan kau datang.
Sekarang lihat. Dia tersenyum-senyum. Gembira kau sudah datang. Terbukti
sekarang ...." Wiro tertawa. "Terbukti apa Nyi Retno"."
"Aku lebih dulu sampai darimu."
"Ya. kau orang hebat. Aku kagum padamu. Aku
mengaku kalah."
Nyi Retno tertawa panjang.
"Hai, apakah gurumu si nenek bawel itu tidak
mengikuti...?"
Wiro tertawa lebar.
"Dia guru baik. Semua nenek di dunia ini sama saja bawelnya. Nyi Retno, yang
masih jadi tanda tanya besar bagi saya, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke puncak
ini. Lalu tahu telaga ini" '
"Tanyakan saja pada Kemuning," jawab Nyi Retno lalu terlawa
"Kemuning. katakan pada saya bagaimana Kau tahu jalan ke sini. Juga tahu telaga
ini?" Wiro bertanya pada boneka lalu tertawa.
Bastian Tito 90 Lentera Iblis Nyi Retno ikut tertawa. Habis tertawa dia berkata.
"Tidak ada yang mengherankan. Rumahku di sini"
Wiro terkejut. Tiba-tiba di bagian pertengahan telaga air
membentuk gelombang-gelombang kecil. Bersamaan dengan itu kabut tipis turun
menutupi permukaan air. Tak selang berapa lama satu sosok putih melesat keluar.
Air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Di pertengahan telaga kemudian
kelihatan seorang tua berselempang kain putih, rambut. janggut dan kumis putih
melambai-lambai tertiup angin. Seperti berjalan di tanah datar begitulah dia
melangkah di atas air menuju tepi telaga dimana Wiro. Nyi Retno dan Kemuning
berada. Sekujur tubuh dan
pakaiannya sama sekali tidak basah sedikitpun!
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, terima hormat saya.
Saya Wiro menghadap Kiai sesuai dengan pesan Eyang Sinto Gendeng." Wiro
membungkuk dalam, menjabat tangan si kakek lalu menciumnya.
Yang membuat Pendekar 212 terkejut ialah ketika Nyi Retno Mantili melompat,
tertawa panjang lalu
membungkuk di hadapan si kakek. Seraya berkata.
"Guru..."
Wiro perhatikan Nyi Retno dengan pandangan heran yang dibalas pandang ditambah
senyuman. Wiro menatap pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru dari Sinto
Gendeng dan Tua Gila. (Kisahnya harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Pedang
Naga Suci 212". Juga dapat dibaca kisah muda kedua orang tokoh silat itu dalam
CERMIN berjudul "Selingkuh Rimba Persilatan")
Masih berdiri di atas air di tepi telaga. Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Wiro, dia memang muridku."
"Saya tidak mengira. Kalau saya boleh bertanya, bagaimana kejadiannya Kiai?"
"Sewaktu lari dari Gedung Tumenggung di Kotaraja.
Nyi Retno Mantili hampir dihabisi seorang nenek dari alam
Bastian Tito 91 Lentera Iblis roh bernama Nyi Tumbal Jiwo. Mahluk jejadian ini adalah guru dari Wira Bumi,
suami Nyi Retno yang waktu itu masih menjabat sebagai Tumenggung di Kotaraja.
Aku menyirap kabar sekarang dia sudah jadi Patih Kerajaan ..."
"Guru saya tidak mengenal siapa itu Wira Bumi. Saya tidak pernah punya suami.
Kalau saya mencari suami saya ingin orangnya yang seperti dia!" Tiba-tiba Nyi
Retno berkata sambil menunjuk pada Pendekar 212 membuat Wiro jadi merah mukanya
dan garuk-garuk kepala!
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia
melanjutkan ceritanya.
"Nyi Retno aku bawa kesini. Aku beri beberapa ilmu kesaktian dan sedikit
pelajaran silat. Tujuanku adalah agar dia mampu menjaga diri karena aku tahu
tidak akan bisa menahannya lama-lama di tempat ini. Kenyataannya satu tahun di
sini dia menghilang. Tahu-tahu beberapa hari lalu muncul bersama Kemuning. Aku
gembira melihat kalian semua. Wiro, sesuai dengan pesanku pada gurumu,
pembicaraan kita lanjutkan di dalam telaga."
"Kiai saya tak punya kemampuan masuk dan tinggal lama di dalam telaga." Ucap
Wiro terus terang.
"Tak usah kawatir. Kau dan juga juga Nyi Retno serta Kemuning tinggal
mengikutiku saja."
Wiro hanya bisa menggaruk kepala.
Tiba-tiba selintas pikiran muncul di benak Wiro.
"Jangan-jangan orang tua ini mempertemukan aku dengan Nyi Retno di sini untuk
maksud perjodohan. Tapi mana mungkin. Nyi Retno masih istri Wira Bumi. Ah, aku
mungkin sudah gila berpikir sampai ke situ ..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu bertanya.
"Pendekar, apa yang ada dalam hati dan benakmu?"
"Ah, agaknya Kiai tahu apa yang barusan aku
pikirkan," membatin Wiro. Dia cepat-cepat membungkuk.
Bastian Tito 92 Lentera Iblis "Harap maafkan kalau saya berpikiran sangat dangkal dan tolol."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
"Kiai, sebelum kesini saya singgah di puncak gunung sebelah utara. Saya tidak
melihat gubuk kediaman Eyang Sinto. Sepertinya telah terjadi sesuatu ..."
"Ketika gurumu bertemu denganmu saat
menyampaikan pesan, apakah dia tidak menceritakan apa-apa?"
"Banyak Kiai. tapi sama sekali tidak ada cerita tentang keadaan di tempat
kediaman Eyang."
"Kalau kau bertemu lagi, tanyakan langsung
padanya," kata sang Kiai pula. Dipegangnya tangan Wiro dan Nyi Retno. Lalu
seperti diajak terbang dia mengangkat tubuh ke dua orang itu ke udara. Kemudian
perlahan-lahan diturunkan di pertengahan telaga dan plaaass!
Ketiga orang itu lenyap masuk ke dalam air!
-- << 7 >> -Bastian Tito 93 Lentera Iblis 8 ASUK ke dalam telaga di puncak timur Gunung
Gede itu mengingatkan Wiro pada kejadian
M sewaktu dia dibawa masuk oleh Ratu Duyung ke dalam samudera pantai selatan
(baca serial Wiro Sableng berjudul "Kiamat Di Pangandaran") Ternyata di dasar
telaga terdapat tiga buah bangunan batu pualam yang indah sekali bentuknya. Dua
bangunan berukuran kecil, mengapit sebuah bangunan besar yang atapnya
menyerupai mesjid.
Nyi Retno. masuklah ke dalam bangunan di samping kiri. Tunggu sampai kami berdua
datang." "Guru. jangan suruh saya menunggu terlalu lama.
Nanti saya lari lagi seperti dulu..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas membelai rambut hitam Nyi Retno. mencubit pipi boneka
kayu. Setelah perempuan muda itu masuk ke dalam Bangunan batu di sebelah kiri
Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kulihat
keadaan Nyi Retno banyak berubah.
Pikirannya masih belum jernih tapi untuk hal-hal tertentu dia tampak secerdas
orang biasa. Mudah-mudahan Tuhan menolong dan memberkatinya."
Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke bangunan batu di sebelah kanan. Sambil
berjalan dia berkata "Kita nanti bicara di bangunan besar. Itu tempat
kediamanku. Sebelum kesana aku membawamu terlebih dulu ke
bangunan ini karena ada yang perlu aku perlihatkan.
Penuh tanda tanya Wiro mengikuti langkah sang Kiai.
Bagian dalam bangunan walau segala sesuatunya terbuat dar batu keadaannya tidak
beda dengan bangunan-bangunan kecil sekitar Istana di Kotaraja yang pernah
dilihatnya. Di hadapan sebuah pintu berwarna hijau muda
Bastian Tito 94 Lentera Iblis Kiai Gede Tapa Pamungkas berhenti. Pintu yang juga terbuat dari batu secara aneh
bergeser ke samping.
Setelah keduanya masuk, pintu bergeser menutup.
Ruangan dimana Wiro berada ternyata adalah sebuah ruang ketiduran yang bagus
sekali. Udara di sini nyaman dan sejuk. Nanya ada beberapa perabotan. Sebuah
pembaringan batu beralas seperai tebal berwarna biru muda lalu sebuah meja batu
diapit dua buah kursi.
Begitu masuk pandangan Wiro langsung tertuju pada satu sosok perempuan tua
berwajah putih yang terbujur di atas pembaringan. Rambutnya yang panjang hitam
menjulai sampai menyentuh lantai ruangan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah
tentutup sehelai selimut tebal.
"Nyi Bodong..." Ucap Wiro begitu melihat orang yang ada di atas pembaringan.
"Kau mengenal nenek ini?" tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai. saya sempat bertemu nenek ini beberapa kali.
Ilmunya tinggi. Terakhir sekali saya ketahui dia memburu seorang berjuluk Hantu
Pemerkosa yang bukan lain adalah Pangeran Matahari. musuh saya dan musuh para
tokoh rimba persilatan." Wiro diam sebentar, memperhatikan.
Dia hampir tidak melihat gerakan nafas di tubuh si nenek.
"Kiai, bagaimana orang ini bisa berada di sini. Apakah dia masih dalam keadaan
hidup?" "Nyi Bodong menderita luka dalam yang sangat
parah. Dua hari dia dalam keadaan sengsara dan nyaris sakarat. Ketika dalam
perjalanan ke sini, Nyi Retno yang melewati jalan memintas di arah timur
menemuinya di satu lekukan lereng. Nyi Retno membawanya kemari. Kau tahu sendiri
Wiro. Nyi Retno bertubuh kecil tapi mampu memanggul Nyi Bodong yang tinggi dan
lebih besar. Lalu, jika otaknya kita anggap tidak waras, dia tidak akan
memperdulikan nenek ini. Perlu apa menolong" Ternyata Tuhan memberikan perasaan
welas asih padanya hingga
Bastian Tito 95 Lentera Iblis dia mau membawa Nyi Bodong. Aku tidak tahu, berapa lama lagi dia sadar dari
pingsan. Mudah-mudahan Tuhan memperpanjang umurnya. Selama dia disini, kau tahu
siapa yang merawatnva?"
"Saya bisa memperkirakan Kiai. Tentu Nyi Retno Mantili." Jawab Wiro pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. Lalu
berkata. "Selama di sini, Nyi Retno banyak bicara tentang dirimu. Dia yang
memberi tahu bahwa kau akan datang."
"Nyi Retno orang baik. Punya niat baik untuk rimba persilatan. Hanya saja
nasibnya yang buruk ..." Wiro lalu melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri
dekat kepala Nyi Bodong.
"Kiai, apakah Kiai atau Nyi Retno tahu siapa yang mencelakai Nyi Bodong?"
"Kenapa kau bertanya begitu?"
"Setahu saya Nyi Bodong memiliki ilmu kesaktian langka. Dia bisa mengeluarkan
sinar biru sangat mematikan dari pusarnya."
"Setiap ada ilmu yang tinggi dan hebat. pasti ada lagi ilmu lain yang lebih
tinggi dan lebih hebat. Jangan kau pernah melupakan hal itu. Yang berarti
seorang pendekar tidak boleh sombong, tidak boleh takabur. Aku tidak tahu siapa
orang yang mencelakai Nyi Bodong. Keadaannya agak aneh. Pertama kali ditemui
sekujur tubuhnya berwarna kuning. Beberapa urat besar serta syarafnya mengalami
pembengkakan. Seperti dipanggang. Kalau dia siuman dan sembuh pasti akan aku
tanyakan. Aku menyempatkan diri pergi ke tempat dimana Nyi Retno menemui Nyi
Bodong. Kelihatannya ada pertempuran hebat disana. Satu pohon besar berubah
menjadi arang tapu berwana kuning. Kalau tidak dilindungi kekuatan hebat,
rasanya nasib Nyi Bodong tidak beda dengan pohon itu."
Bastian Tito 96 Lentera Iblis "Syukur Tuhan masih menyelamatkannya," kata Wiro.
"Rimba persilatan memerlukan orang seperti Nyi Bodong."
"Wiro, saatnya pergi ke tempat kediamanku dan
bicara." "Baik Kiai."
Sebelum meninggalkan ruangan Wiro pandangi
dekat-dekat wajah Nyi Bodong. Sebenarnya dia ingin menyingkap selimut yang
menutupi bagian kaki nenek muka putih itu. Namun dia tidak berani melakukan.
Takut dianggap berlaku lancang dan ditegur Kiai Gede Tapa Pamungkas. Akhirnya
Wiro hanya usapkan tangan kirinya di kening si nenek. Mulutnya berkata perlahan.
"Nyi Bodong, kau orang baik. Tuhan akan menolong menyembuhkanmu. Jika kau sembuh
aku ingin bertemu dan bicara banyak denganmu."
Namun seperti disentak. Wiro cepat-cepat menarik tangannya. Entah karena
sentuhan tangan atau karena memang sudah saatnya siuman. sepasang mata Nyi
Bodong yang sekian lama terpejam tiba-tiba membuka.
Mata itu mula-mula tampak sayu kuyu. Namun begitu pandangannya membentur wajah
Pendekar 212, sepasang mata jadi membesar, bersinar dan air muka si nenek
berubah. "Dia mengenalimu, Wiro..." kata Kiai Gede Tapa
Pamungkas pula.
"Saya ....'
"Kau mempunyai daya penyembuh pada tanganmu?"
"Tidak kiai. Saya tidak punya ilmu apa-apa..."
"Kalau begitu mari kita keluar dari sini." kata sang Kiai. Wiro mundur
selangkah. Dia merasa berdebar ketika melihat sepasang mata Nyi Bodong masih
memperhatikan. Sebelum pintu batu bergeser menutup. Wiro sempat melihat mata itu masih terus
Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mernandang ke arahnya.
Bastian Tito 97 Lentera Iblis Bahkan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Kiai. saya mohon pintu jangan ditutup dulu. Nyi Bodong seperti hendak
mengatakan sesuatu. Mungkin dia hendak memberi tahu siapa orang yang telah
mencelakainya"
Mendengar ucapan Wiro Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri di hadapan pintu batu.
Pintu terbuka. Nyi Bodong masih dalam keadaan seperti tadi. Mata memandang mulut
terbuka. "Nyi Bodong. kau hendak rnengatakan sesuatu?"
tanya Wiro. Tangannya kembali hendak mengusap kening si nenek.
Mulut si nenek terbuka. Suaranya serak parau tapi jelas. "Jangan kau berani
menyentuh diriku. Pergilah,"
Wiro tersurut mundur. Memandang pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di
sampingnya lalu cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Sambil berjalan mengikuti
sang Kiai. Wiro membatin.
"Dia dalarn keadaan cidera berat. Pingsan. Siuman secara tiba-tiba. Bicara
seperti itu padaku. Aneh. Rasanya aku ini sebagai seorang penjahat."
Di dalam bangunan batu yang atapnya berbentuk
mesjid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Wiro duduk di satu ruangan tak seberapa
besar. beralaskan permadani tebal.
Untuk beberapa lama Wiro hanya berdiam diri. Seolah menunggu apa yang akan
dikatakan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Namun sebenernya pikirannya masih tertuju
pada kejadian di kamar tempat Nyi Bodong terbaring tadi.
"Dia tidak senang padaku. Mengapa" Karena pertengkaran di pondok Ki Tambakpati
dulu atau..."
"Wiro, sebelum kita memulai pembicaraan ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kau
datang dengan baju putih robek besar di sebelah belakang. Di punggungmu ada
Bastian Tito 98 Lentera Iblis guratan luka. panjang dan cukup dalam. Apa yang terjadi?"
"Saya tersangkut di ranting pohon sewaktu melayang turun." jawab Wiro berdusta.
tidak mau menceritakan hal sebenarnya.
" Begitu?"
Wiro tidak berani mengangguk, tidak berani
mengiyakan. Hanya berdiam diri saja.
"Hanya ada satu manusia yang bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu. Gurumu
Sinto Gendeng. Betul?"
"Eyang Sinto bermaksud baik, Kiai. Sementara saya murid kurang ajar yang
sesekali memang perlu diberi peringatan."
Alis kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas lalu orang sakti ini berkata.
"Membaliklah. Biar aku sembuhkan cacat luka di punggungmu itu."
"Terima kasih Kiai. Saya memilih memiliki cacat ini.
Agar saya selalu ingat untuk berlaku baik."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa lebar. "Mengingati diri sendiri untuk berbuat
baik bukan dari cacat luka yang ada di tubuh. Tapi dari lubuk hati. Sudahlah.
jika kau ingin membawa cacat itu kemana-mana aku tidak bisa
melarang. Sekarang kita lanjutkan pembicaraan."
"Ba..baik Kiai. Saya menunggu. Sebelumnya saya menghaturkan terima kasih karena
Kiai mau meminta saya datang ke sini. Saya siap menerima nasihat maupun
teguran ..."
"Rimba persilatan ...." Kata sang Kiai memulai ucapannya. "Sekarang ini telah
jauh berbeda dengan saat ketika dulu kau dilahirkan, ketika kau pertama kali
turun gunung. Perubahan bukan saja terjadi pada sifat manusia dan para tokoh
yang ada. Tapi juga pada berbagai ilmu yang dimiliki orang-orang rimba
persilatan sendiri.
Dendam kebencian, keserakahan, kejahatan membuat
Bastian Tito 99 Lentera Iblis banyak orang menciptakan berbagai ilmu baru yang luar biasa dahsyatnya. Lebih
mengerikan lagi kalau manusia biasa berilmu tinggi berserikat dengan mahluk alam
roh, menciptakan ilmu yang bisa membuat rimba persilatan mengalami kiamat!
Contoh ketika Pangeran Matahari hendak mendirikan Partai Bendera Darah yang
bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Orang-orang rimba persilatan
golongan putih tidak mampu menghancurkan komplotan manusia pocong itu secara
seorang diri. Termasuk kau. Berapa tokoh yang bergabung untuk menghancurkannya" Itu telah
terjadi. Yang bakal terjadi mungkin jauh lebih dahsyat. Apa lagi Pangeran
Matahari masih hidup dan berkeliaran. Dendam kesumatnya terhadap dirimu selangit
tembus sedalam lautan. Satu hal harus kau ingat Wiro, manusia-manusia jahat itu
mudah sekali berserikat dalam kejahatan. Sebaliknya manusia yang katanya orang
baik-baik kerap kali tidak saling akur.
Itu sebabnya kejahatan terlihat selangkah lebih cepat dari kebaikan.
"Aku tahu kau memiliki banyak ilmu kesaktian untuk menghadapi musuh-musuhmu.
Tapi kau harus memahami bahwa setiap manusia itu punya hari sial. Hari apes.
Satu kali kau akan mengalami hal itu dan dirimu akan mendapat celaka besar
bahkan mati di tangan musuh-musuhmu. Itu garis nasib setiap orang. Kau tidak
terlepas dari garis itu. Seperti penyakit, mengapa kita tidak berusah
mencegahnya sebelum kena"
"Seorang pendekar tidak harus memperlihatkan jati dirinya dengan tanda-tanda
tertentu yang bisa
membahayakan jiwanya. Contoh nyata adalah dirimu. Ada rajah angka Dua Satu Dua
di dadamu. Melihat rajahan itu setiap orang akan akan mengenali siapa dirimu.
Hal ini mengandung bahaya besar yang mungkin tidak kau sadari. Juga
tidakdisadari oleh Sinto Gendeng ketika belasan tahun silam dia membuat rajah
itu di tubuhmu Bastian Tito 100 Lentera Iblis dengan jarum sakti. Sudah saatnya rajah itu dilenyapkan.
Kau memiliki senjata sakti mandraguna pemberian gurumu berupa Kapak Naga Geni
Dua Satu Dua dan batu hitam pasangannya. Senjata sebesar itu apakah kau tidak
rikuh membawanya kemana-mana?"
Ucapan Kiai Gede Tapak Pamungkas itu
mengingatkan Wiro akan apa yang belum lama terjadi antara dia dengan Eyang Sinto
Gendeng. Jangan-jangan ada pesan tertentu dari si nenek.
"Kiai, apakah Eyang Sinto berpesan minta saya
mengembalikan kapak dan batu sakti itu?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.
"Aku ingin senjata dan batu sakti itu tetap ada padamu. Tetapi tidak terlihat
secara kasat mata."
"Saya tidak mengerti maksud ucapan Kiai." Kata Wiro. "Kiai, terus terang saya
merasa lega kalau kapak dan batu sakti saya kembalikan pada Eyang Sinto. Kalau
diizinkan, saya juga ingin mengembalikan semua ilmu silat dan kesaktian yang
pernah saya dapatkan dari beliau.
Sehingga antara kami tidak ada lagi ganjalan."
"Ucapanmu memberi kesan kau membenci gurumu."
"Tidak Kiai, saya tidak membenci Eyang Sinto."
"Kau menaruh dendam atas apa yang telah
dilakukannya padamu?"
"Saya tetep menghormati Eyang Sinto," jawab Wiro dengan tenang walau hatinya
terasa perih. "Mulutmu berucap begitu, tapi aku tidak tau apa yang ada di lubuk hatimu. Sinar
matamu terlihat lain..."
"Kiai, saya ingin melupakan apa yang telah terjadi.
Saya ingin melupakan masa lalu dengan segala perbuatan buruk dan baik saya. Saat
ini saya punya keinginan meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya.
Saya rasa tanpa menjadi seorang pendekar sekalipun seseorang bisa berbuat baik."
Bastian Tito 101 Lentera Iblis Kalau saja sang Kiai tidak dapat menekan
keterkejutannya pastilah saat itu dia sudah terlonjak dari duduknya.
"Anak muda, kau ini bicara apa" Selagi rimba
persilatan dilanda kekacauan seperti ini, selagi rimba persilatan digentayangi
manusia-manusia jahat kau bermaksud meninggalkan rimba persilatan. Apakah kau
hanya mengikuti perasaan hati hingga mengorbankan akal sehat?"
"Kiai, mungkin perasaan hati terkadang menyesatkan.
Namun bagaimanapun juga perasaan hati adalah satu kejujuran yang tidak pernah
berkata dusta. Murni dan bersih separti tetesan-tetesan embun di pagi hari."
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan
batu hitam sakti. Dua senjata mustika ini diletakkan di atas permadani di
hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Dengan segala hormat dan mohon maap, kapak dan batu sakti saya serahkan pada
Kiai." "Wiro, jangan membuat aku bingung. Aku tidak bisa menerima perbuatanmu ini!"
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas
cepat angkat tangan kanan, telapak dikembang diarahkan ke dada Wiro.
"Kiai, kau mau berbuat apa" Membunuhku"!" seru Wiro.
-- << 8 >> -Bastian Tito 102 Lentera Iblis 9 ANG KIAI tak menjawab. Mukanya berubah merah.
Tangan kanan mulai bergetar. Lalu muncul satu
S cahaya putih melingkari tangan. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas mendorongkan
tangan itu ke depan, satu cahaya menyilaukan berkiblat ke arah dada Pendekar
212. Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental kedinding.
Rasa panas seperti ada bara di dalam dada membuat sekujur tubuhnya berkelojotan.
Dada itu dipenuhi kilatan ribuan bunga api. Sesaat kemudian perlahan-lahan bunga
api dan rasa panas lenyap, berubah menjadi hawa sangat sejuk hingga kini Wiro
jadi menggigil kedinginan dan giginya bergemeletukan.
Wiro menatap ke depan. Kiai Gede Tapa Pamungkas menatapnya tenang-tenang saja.
Ketika Wiro memperhatikan ke arah dirinya sendiri ternyata baju putihnya dalam keadaan
terbuka, dada tersingkap telanjang. Dan rajah tiga angka 212 yang selama ini ada
di dada itu kini telah lenyap!
"Kiai ....." ucap Wiro. "Saya ...."
Belum sempat Wiro menyelesaikan kata-katanya,
tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat dua tangan sekaligus. Mulutnya
berseru. "Wiro! Kapak Naga Geni Dua Satu Dua! Batu hitam sakti! Aku kembalikan
padamu!" Dua tangan ditepukkan satu sama lain.
"Blaar! Blaar!"
Dua cahaya sangat terang berkiblat. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti
berubah menjadi dua benda sangat menyilaukan. Melesat ke udara lalu menukik
turun dan sett ... sett! Sulit dipercaya. Dua senjata mustika sakti itu melesat
masuk ke dalam tubuh Pendekar 212 sebelah depan. Asap putih mengepul dari
telinga, hidung, mata
Bastian Tito 103 Lentera Iblis serta ubun-ubun Wiro! Untuk beberapa lamanya tubuh Wiro tampak kaku tak
bergerak. Keringat memercik dimana-mana. Tiba-tiba satu
jeritan keras menggeledek dari mulut sang pendekar.
Sepasang matanya berubah merah laksana bara menyala.
Tubuh bergoncang keras lalu terkulai lemas, tersandar ke dinding.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. Melangkah
mendekati Wiro. Telapak tangan kanan diletakkan di atas kepala Pendekar 212,
mulut komat kamit merapal sesuatu.
"Dess! Dess!"
Asap mengepul dari kepala Wiro.
"Rampung sudah. Tugasku sudah selesai. Semoga
Tuhan melindungi dan mernberkatimu ..." .
"Kiai, apa yang terjadi" Apa yang telah Kiai lakukan?"
tanya Wiro seperti orang baru sadar dari siuman.
"Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batuk hitam
sakti telah menyatu dalam tubuhmu. Kemana kau pergi dua senjata mustika itu akan
selalu bersamamu. Bilamana kau memerlukan mereka kau hanya berseru menyebut
Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau Batu Sakti! Maka secepat kilat kapak akan
berada di tangan kanan dan batu sakti di tangan kirimu."
Wiro terdiam. Bukan terpana kagum akan kehebatan yang telah diiakukan Kiai Gede
Tapa Pamungkas tapi justru terbalut oleh rasa penyesalan. Mengapa sang Kiai
tidak memberi tahu lebih dulu apa yang akan
dilakukannya. Padahal tadi dia jelas-jelas mengatakan ingin mengembalikan dua
senjata mustika sakti itu.
"Mengenai jarah tiga angka Dua Satu Dua di dadamu.
Angka-angka tersebut akan muncul di dada kirimu dengan sendirinya jika kau
sengaja menyibakkan baju di hadapan lawan."
Bastian Tito 104 Lentera Iblis "Kiai, apakah saya boleh minta diri sekarang?"
Bertanya Wiro. "Aku tahu kau tidak suka atas apa yang telah aku lakukan. Namun dikemudian hari
kau akan menyadari bahwa yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikanmu."
"Saya sangat berterima kasih. Kiai, saya mohon diri.
Sebelum pergi izinkan saya menemui Nyi Retno" Wiro berdiri.
Melihat air muka dan sikap Pendekar 212 Wiro
Sableng, sang Kiai tak punya niat untuk mencegah walau sebenarnya masih banyak
yang ingin dibicarakannya dengan pemuda itu.
Di bangunan batu sebelah kiri Nyi Retno Mantili telah resah rnenunggu. Bersama
Wiro dia ingin cepat-cepat keluar dari dasar telaga. Ketika Wiro muncul dia
menyambut dengan tertawa lega. Sambil menimang boneka kayu dan bertanya pada
Kiai Gede Tapa Pamungkas yang berada di samping Wiro.
"Guru, apakah kami boleh minta diri sekarang?"
Sang Kiai anggukkan kepala.
"Wiro, jaga Nyi Retno dan Kemuning baik-baik." Lalu orang sakti ini pegang
lengan Wiro dan Nyi Retno.
"Selamat jalan. Harap kalian selalu berhati-hati." Dua lengan disentakkan. Wiro
dan Nyi Retno melesat ke atas permukaan air terlaga.
Beberapa lama setelah Wiro dan Nyi Retno Mantili lenyap dari hadapannya Kiai
Gede Tapa Pamungkas masih tegak di depan bangunan besar yang atapnya berbentuk
mesjid. Orang tua ini menarik nafas panjang. Membalikkan badan seraya mulutnya
berucap perlahan. "Sinto, dari dulu kau tak pernah berubah. Kau akan menerima
azab akibat perbuatan semena-menamu terhadap murid sendiri.
Sayang .... sayang sekali. Padahal rimba persilatan sangat memerlukan orangorang seperti kalian."
Bastian Tito 105 Lentera Iblis Wiro dan Nyi Retno hampir tidak menyadari kapan mereka melesat keluar dari dalam
telaga. Tahu-tahu keduanya sudah ada di tepi telaga tiga warna sebelah timur.
"Aneh, tubuh dan pakaianku tidak basah!" kata Wiro sambil menggaruk kepala.
"Aku juga. Kemuning juga tidak basah! Kesaktian guruku pasti yang membuat kita
tetap kering begini! Hik
... hik ... hik. Aku suka pada Kiai itu. Tapi aku tidak senang akan semua ucapan
dan apa yang dilakukannya padamu waktu di gedung besar di dasar telaga tadi."
Wiro berpaling heran.
"Bagaimana kau bisa tahu segala pembicaraan dan apa yang terjadi di bangunan
besar?" tanya murid Sinto Gendeng pula.
"Aku ada di dalam ruangan."
Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro menggaruk kepala tak percaya.
"Kiai memberikan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri padaku. Aku pergunakan ilmu
itu. Tubuhku lenyap dari pemandangan mata. Aku masuk ke dalam ruangan. Kau tidak
tahu, tidak melihat. Kiai juga tidak tahu tidak melihat. Tapi aku kira dia tahu.
Cuma sengaja berpura-pura Hik ... hik ... hik. Aku kira dia menyesal memberikan
ilmu itu padaku."
"Kiai Gede Tapa Pamungkas orang baik dan sangat bijaksana. Dia tahu apa yang
dilakukannya."
"Kau juga orang baik. Kau baik padaku. Kau baik pada Kemuning ..." kata Nyi
Retno. Sambil melangkah pelan di samping Wiro, dia sandarkan kepalanya ke bahu
kiri sang pendekar. "Wiro, kita akan pergi kemana sekarang " " Nyi Retno
bertanya. "Nyi Retno, saya rasa saya harus mengantarkanmu ke pondok Ki Tambakpati..."
"Terserah kau mau bawa kemana. Aku dan Kemuning ikut ...."
Bastian Tito 106 Lentera Iblis Wiro menggaruk kepala.
"Kau tidak suka aku dan Kemuning ikut?"
"Tentu saja saya suka. Tapi ..."
"Tapi apa?"
Wiro memandang berkeliling. Dia melihat ada satu pohon rindang. "Ada yang hendak
saya ceritakan pada Nyi Retno. Mari kita bicara di bawah pohon sana."
Mendengar kata-kata Wiro itu Nyi Retno Mantili langsung mendahului lari dan
duduk di bawah pohon.
Begitu Wiro sampai dia berkata. "Senangnya hendak diceritakan sesuatu. Kau mau
cerita sekarang?" Nyi Retno menarik tangan Wiro. Keduanya duduk di tanah
berhadap-hadapan.
"Nyi Retno, beberapa hari lalu dari keterangan Djaka Tua saya berhasil mencari
tahu dimana bayimu berada ..."
"Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Bayiku ada di sini. Lihat, ini Kemuning!
Bayiku, anakku, puteriku." Nyi Retno mengangkat boneka kayu yang ada di
pangkuannya lalu tertawa panjang.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia tidak tahu musti bicara bagaimana. Setelah
berpikir-pikir, dia mendapat akal.
"Kau betul Nyi Retno. Kemuning ini memang puterimu yang manis. Semua orang suka
padanya.Tapi apa kau lupa kalau Kemuning punya kakak?"
Kening Nyi Retno mengerenyit, mulut dipencongkan, mata menatap lebar. "Kau
mempermainkanku. Kau jahat
..." "Tidak Nyi Retno. Kakak Kemuning juga seorang anak perempuan. Sama cantiknya
dengan Kemuning. Namanya Ken Permata. Usianya satu tahun ..."
"Kemuning juga berusia satu tahun. Kalau Kemuning punya kakak paling tidak
usianya dua tahun!"
"Celaka, katanya otaknya tidak waras. tapi ternyata tahu menghitung. Dia lebih
dari waras!" Ucap Wiro dalam hati. Wiro usap-usap kepala boneka. "Sudahlah,
nanti saja Bastian Tito 107 Lentera Iblis kita bicara lagi. Saya akan mengantarkan Nyi Retno ke pondok Ki Tambakpati.
Perjalanan kita jauh kali. Berhari-hari. Saya tahu tempat dimana kita bisa
mencari tumpangan gerobak kuda."
"Tadi malam saya bermimpi," kata Nyi Retno sambil berdiri. Untuk pertama kalinya
Wiro mendengar dia menyebut dirinya dengan kata saya, bukan aku.
"Mimpinya buruk. Dalam mimpi saya melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas
kepala ke bawah. Saya kawatir."
"Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Mimpi adalah mimpi. Djaka Tua berada
di tempat kediaman Ki Tambakpati, tempat yang aman."
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda. Perjalanan menuju
puncak Gunung Gede cukup sulit. Seseorang hanya bisa menunggangi kuda paling
jauh sampai dua pertiga ketinggian gunung. Jika sekarang ada yang mampu naik
sampai ke puncak, niscaya dia adalah seorang berkepandaian tinggi dan memiliki
kuda tunggangan yang cekatan luar biasa.
Wiro cepat menarik Nyi Retno ke balik pohon besar dan memberi tanda agar
perempuan itu tidak
mengeluarkan suara. Tapi tetap saja Nyi Retno membuka mulut. "Pasti yang lewat
manusia setan dan kuda setan.
Hik ... hik..hik."
Wiro cepat tekap mulut Nyi Retno. Celakanya walau cuma main-main Nyi Retno gigit
jari tangan Wiro hingga hampir saja Wiro mengaduh kesakitan.
Derap kaki kuda semakin keras. Sesaat kemudian seekor kuda putih muncul bersama
penunggangnya seorang mengenakan sorban dan jubah putih berkilat.
Yang membuat Wiro terkejut kuda putih itu terus saja lari ke arah telaga,
melompat tinggi dan jauh, lalu perlahan-lahan seperti dikendalikan, didahului
satu ringkikan keras binatang dan penunggangnya masuk ke dalam telaga,
Bastian Tito 108 Lentera Iblis tanpa membuat air telaga bermuncratan, hanya
menimbulkan riak gelombang kecil.
"Luar biasa.. .." Ucap Pendekar 212 sambil lepaskan tekapannya dari mulut Nyi
Retno Mantili. "Apa yang saya bilang terbukti. Yang naik kuda itu setan, kuda yang ditunggangi
juga setan."
"Kiai Gede Tapa Pamungkas kedatangan tamu hebat.
Nyi Retno, bisakah kita menunggu sampai orang berkuda tadi keluar dari telaga.
Saya ingin melihat lebih tegas, siapa dia adanya. Rasanya saya pernah ...." Wiro
menggaruk kepala mengingat-ingat.
Nyi Retno gelengkan kepala berulang kali lalu tarik lengan Wiro.
*** KITA kembali pada Hantu Malam Bergigi Perak yang tengah berusaha mengejar Sinto
Gendeng yang dicurigainya telah mendapatkan kembali Kitab Seribu Pengobatan. Si nenek merasa
jengkel karena dia tahu, di sebelah belakang kakek bermata belok berkuping lebar
bernama Setan Ngompol itu ternyata mengikuti. Namun rasa kesal itu jadi hilang
ketika otaknva berpikir mungkin orang itu bisa dimanfaatkannya.
Setelah berlari cukup jauh sementara matahari mulai memasuki ufuk tenggelamnya
mendadak Hantu Malam Bergigi Perak kehilangan jejak Sinto Gendeng.
"Kurang ajar! Tidak mungkin dia lenyap begitu saja.
Aku masih mencium bau pesingnya. Pasti dia sembunyi di sekitar sini." Nenek
berusia 70 tahun ini memperhatikan keadaan sekeliling. Tempat dimana dia berada
adalah kawasan hutan bambu. Pohon-pohon bambu itu tumbuh berjejer rapat seolah
membentuk dinding panjang dan tinggi. Perlahan-lahan Hantu Malam Bergigi Perak
langkahkan kaki, bergerak ke tempat yang mulai
Bastian Tito 109 Lentera Iblis diselimuti kegelapan. Asap hitam. merah dan biru yang keluar dari potongan bambu
yang ada di atas kepalanya kelihatan mengepul lebih tebal. "Tua bangka itu tidak
mungkin sembunyi karena takut," membatin Hantu Malam Bergigi Perak. "Dia tidak
punya ilmu melenyapkan diri. Dia bersiasat mau membokongku! Aku harus waspada."
Benar saja. Baru si nenek selesai mengucap dalam hati tiba-tiba didahului suara
lengking jerit keras berkiblat selarik sinar putih perak menyilaukan disertai
berhembusnya angin luar biasa panas!
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Hantu Malam Bergigi Perak kaget sekali.
"Jahanam itu inginkan nyawaku!"
Sambil berguling selamatkan diri si nenek angkat dua tangan di atas kepala.
Ketika dua tangan didorong terdengar suara bergemuruh. Dari potongan batang
bambu di atas kepala kepulan asap tiga warna keluarkan suara mendesis lalu
membuntal dan bergulung ke arah cahaya putih perak yang menyerang dirinya,
ltulah tangkisan dalam jurus yang disebut Hantu Malam Menyanggah Bumi.
"Buummm!"
Letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar.
Pepohonan berderak-derak. Salah satu diantaranya amblas dalam kobaran api. Walau
selamat dari serangan mematikan, Hantu Malam Bergigi Perak merasakan dadanya
berdenyut keras. Dia cepat berdiri ketika terdengar suara tertawa panjang.
Di depan sana, terpisah dua belas langkah, berdiri angker seorang nenek tinggi
kurus, berkulit hitam dengan mata dan pipi cekung serta kepala ditancapi empat
tusuk konde. Tangan kiri melintangkan tongkat kayu di depan dada dan dari
mulutnya mengumbar suara tertawa. Sinto Gendeng!
Hantu Malam Bergigi Perak mendengus.
Bastian Tito 110 Lentera Iblis "Tua bangka edan! Kita sama-sama orang rimba
hijau! Apa kau tidak punya peradatan" Sengaja
membokong diriku! Nama besar Sinto Gendeng ternyata hanya menampilkan seorang
nenek jelek berjiwa
pengecut!"
Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ketanah.
Lalu menjawab. "Apa kau sendiri punya peradatan"
Mengejar orang padahal aku tidak punya urusan" Kau bukan cuma tua bangka tidak
tahu peradatan tapi pasti juga punya niat jahat! Untung tubuhmu masih utuh!
Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku saat ini juga kau akan aku buat
lumat!" "Tidak heran kau bicara sombong!" sahut Hantu
Malam sambil berkacak pinggang. "Sepertinya cuma kau seorang yang punya ilmu
kesaktian di dunia ini! Tidak heran kau mau melumat diriku! Muridmu sendiri kau
aniaya sampai cacat! Hik..hik..hik! Aku mau lihat apa benar kau mampu melumat
diriku"!"
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng tersentak ke atas.
Sepasang matanya memandang mencorong, penuh kilatan hawa amarah.
"Kepentingan apa kau ikut campur aku punya urusan dengan muridku!"
"Sinto Gendeng, sudahlah. Aku tidak mau bicara panjang lebar, apa lagi yang
aneh-aneh. Aku langsung saja pada tujuanku. Aku butuh Kitab Seribu Pengobatan
yang ada padamu. Dalam waktu tiga puluh hari akan kukembalikan. Jika kau mau
meminjamkan kita akan menjadi sahabat malah mungkin jadi saudara dunia akhirat.
Tapi kalau kau tidak berbaik hati untuk meminjamkan, aku akan merampas kitab
itu. Kalau kau tetap keras kepala aku akan mengambil kitab berikut nyawamu!
Harap kau pikirkan ucapanku dengan otak sehat pikiran jernih!"
Bastian Tito 111 Lentera Iblis Sinto Gendeng balas berkacak pinggang lalu tertawa mengekeh.
"Ucapanmu seperti pemain sandiwara keliling.
Dengar, aku masih mau mengampuni selembar nyawa rombengmu kalau kau lekas
minggat dari hadapanku. Aku tahu diriku buruk jelek. Tapi melihat tampangmu aku
seperti mau muntah! Hueek! Siapa sudi jadi saudaramu dunia akhirat! Hik ...
hik ... hik!"
"Sinto, setahuku kitab itu bukan milikmu. Tapi milik Wiro muridmu! Mengapa kau
serakah mengangkangi"!
Kalau kau pinjamkan pada orang yang membutuhkan kesembuhan dari penyakit, kau
bukan saja akan mendapat nama harum tapi juga pahala besar."
"Jangan bicara soal pahala di hadapanku! Dosaku sudah setinggi gunung sedalam
lautan. Apa masih perlu aku mencari pahala"!"
"Kalau begitu kau akan mampus dalam kesesatan!
Kasihan sekali! Coba kau mendongak ke langit! Apa kau tidak melihat pintu neraka
sudah terbuka menantimu" Hik
.. hik ... hik!"
Sinto Gendeng berteriak marah.
Hantu Malam Bergigi Perak sendiri saat itu sudah melompat ke hadapan Sinto
Gendeng. Dari tabung bambu di atas kepalanya menyembur asap hitam, kuning dan
merah membuat pemandangan Sinto Gendeng jadi
terhalang dan matanya terasa agak perih. Bersamaan dengan itu Hantu Malam
lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
Sinto Gendeng menyeringai. Dia melompat ke
samping untuk selamatkan diri dari pukulan sakti sambil kepala dan tubuh
dirundukkan untuk menghindari halangan asap. Lalu secepat kilat tangan kirinya
yang memegang tongkat bergerak.
"Wuuut!"
"Breett!"
Bastian Tito 112 Lentera Iblis "Dukkk!"
Leher baju hitam berenda putih yang dikenakan
Hantu Malam Bergigi Perak robek besar disambar ujung tongkat Sinto Gendeng.
Mukanya yang tertutup dandanan tebal seolah kehilangan darah, pucat pasi seperti
kertas. Sebaliknya saat itu Sinto Gendeng sendiri tampak meringis dengan tubuh setengah
terlipat. Walau tidak telak satu tendangan lawan berhasil mendarat di perutnya.
Rupanya tadi pukulan tangan kosong yang dilancarkan Hantu Malam Bergigi Perak
hanya tipuan belaka karena sebenarnya kaki kanannyalah yang benar-benar
melakukan serangan dalam jurus bernama Hantu Malam Menusuk Rembulan Menikam
Matahari. "Manusia jahanam, kau akan mampus tak
berbentuk!" teriak Sinto Gendeng marah sekali. Dua matanya memandang membeliak
dan bagian putihnya perlahan-lahan berubah membiru. Nenek ini jelas-jelas hendak
mengeluarkan ilmu dahsyat Sepasang Sinar Inti Roh. Dari matanya akan melesat dua
larik sinar biru mematikan yang selama ini sulit lawan bisa menghindar cari
selamat. Ilmu inilah konon yang pernah diminta Wiro tapi tidak diberikan oleh
sang guru. Hantu Malam Bergigi Perak cukup banyak
pengalaman dan segera maklum ilmu kesaktian apa yang hendak dikeluarkan lawan.
Secepat kilat dia melompat mundur sambil dua tangan disilangkan di depan dada.
Mulut bergumam merapal mantera. Sekujur tubuh
bergetar. Asap tiga warna yang keluar dari tabung bambu di atas kepala menderu
keras lalu bergerak menyelubungi sekujur tubuh, mulai dari kepala sampai ke
kaki. Sosok si nenek lenyap dari pemandangan, hanya sepasang
matanya yang masih terlihat seolah mengintip melalui dua buah lobang. Ilmu yang
dikeluarkan Hantu Malam Bergigi Perak ini bernama Membungkus Jazad Melindung
Jiwa. Dari namanya sudah dapat diketahui ini merupakan ilmu
Bastian Tito 113 Lentera Iblis pelindung diri. Konon si nenek telah menghabiskan waktu tiga puluh tahun untuk
mendapatkan dan meyakini kesaktian ini. Selain mempersiapkan diri dalam
bertahan, dua tangan Hantu Malam Bergigi Perak yang bersilang di depan dada
kelihatan berubah menjadi hitam. Lima kuku jari mencuat panjang juga berubah
warna hitam dan pekat. Ilmu pertahanan yang telah disiapkannya rupanya sekaligus
mampu dibarengi dengan jurus menyerang yang disebut Limbah Neraka Menghujat
Bumi. Ini merupakan ilmu yang jahat sekali. Dari lima kuku jari akan menyembur
keluar cairan hitam berbau sangat busuk.
mengepulkan asap hitam serta menebar hawa luar biasa panas.
"Mampus!" teriak Sinto Gendeng. Sepasang mata
dikedipkan. "Balas kematian dengan kematian!" Hantu Malam
Bergigi Perak balas berteriak tak kalah garang. Dua tangan yang disilang di
depan dada dikibas ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak terlihat oleh Sinto
Gendeng karena kecuali sepasang mata sampai saat itu tubuh lawannya masih
tertutup dan terlindung rapat oleh ilmu
Membungkus Jazad Melindung Jiwa. Dua nenek sakti itu rupanya sudah sama-sama
nekad mengadu jiwa.
Di saat yang luar biasa menegangkan itu Setan
Ngompol sampai di tempat itu. Kakek ini langsung berteriak.
"Tahan serangan! Kalian berdua akan sama-sama
mati konyol!"
Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Tak
Wiro Sableng 145 Lentera Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
urung kencingya tetap memancur.
Dua nenek sama sekali tidak perdulikan peringatan Setan Ngompol. Malah masingmasing melipat gandakan hawa sakti dan kekuatan tenaga dalam.
"Celaka!" teriak Setan Ngompol. Dia segera melompat menjauhi. Dia sudah dapat
memastikan jika dua nenek
Bastian Tito 114 Lentera Iblis tetap meneruskan serangan, mereka akan sama-sama menemui ajal. Selain itu
bentrokan tenaga dalam dan hawa sakti akan melanda tempat itu, bisa-bisa
merenggut nyawanya sendiri. Itu sebabnya si kakek buru-buru melompat jauh
mencari selamat. Tentu saja dalam keadaan air kencing muncrat kemana-mana.
Dentuman dahsyat menggelegar di tempat itu. Langit laksana runtuh, tanah seperti
terbalik. Sinar biru, kuning, hitam dan merah mencuat tinggi ke langit, membeset
ke seantero tempat. Hantu Malam Bergigi Perak terpekik.
Tubuhnya mental sampai tujuh tombak, bergulingan di tanah. Walau tubuh masih
terbungkus asap pelindung tiga warna namun pada bahu kirinya kelihatan satu luka
menganga. Darah mengucur deras mengerikan.
Di bagian lain jeritan Sinto Gendeng seperti merobek langit. Nenek ini tidak
terpental, hanya jatuh duduk dengan tubuh mengepulkan asap hitam menebar bau
busuk. Mara kirinya tampak lebam merah biru. Empat tusuk konde di atas kepala
bergoyang-goyang
memancarkan sinar redup. Saat itu entah dari mana datangnya mendadak muncul
cahaya gemerlap. Sinto Gendeng yang hanya mampu melihat dengan satu mata,
terkesiap kaget ketika di hadapannya melayang mahluk aneh berbentuk bayangbayang berupa perempuan cantik sekali dengan rambut tergerai lepas. Mahluk ini
melayang ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto Gendeng merasa
ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya.
Dia berteriak. Lalu nenek ini tersungkur roboh, tergeletak di tanah dalam
keadaan pingsan!
Setan Ngompol yang berada lebih dari sepuluh
tombak dari pusat dentuman dahsyat terlempar dan menyangsrang di atas serumpunan
semak belukar. Muka pucat, mata setengah mendelik. Dada berdenyut sakit
sementara kencing kembali awur-awuran. Untuk berapa
Bastian Tito 115 Lentera Iblis lamanya kakek ini terpentang tak mampu bergerak.
Dirinya seolah lumpuh!
Mahluk bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek menatap
dengan mata melotot, tubuh terhuyung lemas dan pandangan sedikit demi sedikit
menjadi kabur. "Nek. aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan.
Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku akan mencarimu dan
menyerahkan padamu ..."
"Kau siapa .... ?" Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau dada
sesak. Nafas tinggal satu-satu.
"Aku seorang sahabat ..."
Si nenek menggeleng. "Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka dibahuku mengandung
racun jahat. Selain itu aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati
serahkan kitab itu pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia tahu masalah
yang dihadapi dua muridku yang sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk
dalam kitab yang bisa menyembuhkan. Jika Pendekar itu inginkan salah satu dari
dua muridku, dia tinggal memilih.
Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka berjodoh nan bahagia."
"Nek. kau tidak akan mati. Aku akan .. menolong."
Mahluk bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi
Perak. Namun kepala si nenek terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan
sepasang mata nyalang terbuka. Mahluk bayangan usap dua mata si nenek hingga
tertutup lalu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.
Tak selang berapa lama Sinto Gendeng mulai
sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu bergerak duduk di tanah. Meraba
seputar pinggang. Kagetnya seperti disambar petir.
"Jahanam kurang ajar! Siapa yang telah mencuri kitab"!" Nenek ini melompat dari
duduknya. Berdiri
Bastian Tito 116 Lentera Iblis terhuyung-huyung. Pandangannya membentur sosok Hantu Malam Bergigi Perak. Dia
dapatkan si nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh tubuh
Hantu Malam dan tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Saking kesalnya Sinto
Gendeng tendang tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak.
Sinto Gendeng putar tubuh. Pandangannya kini
tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak
menyangsrang tak berdaya di atas rumpunan semak belukar.
"Setan tua keparat! Semua terjadi gara-gara kau!
Mana kitab itu" Kau pasti yang mengambil!"
"Sinto, aku ....."
Plaakk! Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol
membuat pecah bibir si kakek.
"Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau
menghajarku teman sendiri! Apa sudah gila"!"
"Siapa bilang kita berternan"! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin
menghajarmu tapi
membunuhmu! Kau dengar" Aku ingin membunuhmu!"
Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke dada Setan
Ngompol. "Kraaakk!"
Setan Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini megap-megap
beberapa kali lalu tak berkutik lagi.
-- << TAMAT >> -Segera terbit Episode berikutnya berjudul :
AZAB SANG MURID
Bastian Tito 117 Document Outline
Cover Title Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Chapter 6 Chapter 7 Chapter 8 Chapter 9 Pendekar Guntur 21 Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian Tiga Pengemis Sakti 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama