Ceritasilat Novel Online

Bayi Satu Suro 1

Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro Bagian 1


BAYI SATU SURO Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara perhatikan air di dalam nampan. Lalu berkata
" Nyai Tumbal Jiwo, Patih Wira Bumi, jika memang kalian inginkan bayi itu,
sebelum tengah hari besok kita akan mendapatkannya. Ada petunjuk bayi itu akan
dibawa ke tanah Jawa.Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau menunggu
sampai bayi berada di tanah Jawa."
Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami ingin pekerjaan
ini dilakukan sekarang juga." Kata Nyai Tumbal Jiwo.
Nyi Kuncup Jingga menghadap lurus-lurus ke arah Nyai Tumbal Jiwo dan Patih Wira
Bumi. "Sebagai jaminan kalian tidak berdusta dan tidak akan melanggar janji,
atas nama Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan selaku yang berkepentingan harus
menyerahkan mata kirinya!" NyaiTumbal Jiwo tersurut satu langkah. Patih Wira
Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya.
* * * SATU PESTA besar yang diadakan Wira Bumi di Gedung Kepatihan di maksudkan untuk tanda
syukur atas pengangkatan dirinya sebagai Patih Kerajaan berubah menjadi
malapetaka. Ditemani Pendekar 212 Wiro Sableng, Nyi Retno Mantili berhasil menyusup ke
tempat pesta. Meskipun Wiro dapat mencegah Nyi Retno Mantili membunuh Patih
Kerajaan yang adalah suaminya sendiri, namun tiga orang menemui ajal. Korban
pertama adalah Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
Seperti diceritakan sebelumnya takoh silat ini adalah orang yang membunuh
DjakaTua pengasuh Kemuning, boneka yang dalam otaknya yang tidak waras dianggap
seperti bayinya sendiri oleh Nyi Retno Mantili. Cagak Lenting dihantam dengan
ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala.Yaitu dua larik sinar putih yang keluar dari
sepasang mata boneka kayu. Mayatnya dilempar ke panggung pertunjukan, disaksikan
orang banyak hingga menimbulkan kegegeran besar.
Korban kedua dan ketiga adalah Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh adat Istana
Ki Mulur Jumena. Keduanya juga tewas di tangan Nyi Retno Mantili.Wira Bumi yang
merasa ilmu kesaktian yang telah di dapatnya tidak mampu berbuat banyak karena
dia masih belum berhasil membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili, malam
itu juga menghubungi Nyai Tumbal Jiwo. Sang guru ternyata tidak bisa muncul,
hanya mengirimkan suara mengiang.
Nenek dari alam roh itu memberi tahu bahwa akibat kekalahannya sewaktu bertarung
melawan Purnama, ujud rohnya tercabik-cabik dan dia baru mampu memperlihatkan
diri kembali setelah 120 hari.
Untuk melindungi murid dan sekaligus kekasih budak nafsunya itu Nyai Tumbal Jiwo
memasukkan lewat dubur sebuah paku sakti ke dalam tubuh Wira Bumi yang konon
disebut Paku Merah
Penyumbat Bala. Wira Bumi juga dinasihatkan agar untuk sementara pergi dulu
mengamankan diri ke Goa Girijati di pantai selatan.
* * * DUA hari kemudian, saat malam menjelang pagi, masih gelap dan dingin.Tiga kuda
besar berlari cepat rnenunju pantai selatan. Kuda di sebelah depan penunggangnya
adalah Patih Kerajaan Wira Bumi.
Kuda kedua di samping kanan ditunggangi searang kakek berjubah ungu, berkulit
hitam keling, dikenal sebagai tokoh silat lstana bernama Ki Luwak Ireng. Kuda ke
tiga berada di sebelah belakang, ditunggangi lelaki muda bertubuh tegap kekar
bernama Bantarangin, diketahui sebagai Kepala Pengawal Gedung Kepatihan.
Di satu kelokan jalan Wira Bumi berpaling pada Ki Luwak Ireng, memberi isyarat
dengan gerakan kepala. Lalu hentikan kuda, diikuti dua orang lainnya.
"Saya sudah tahu Kanjeng Patih Ada orang mengikuti kita." Ucap Ki Luwak Ireng.
"Jika Kanjeng Patih mengizinkan ..."'
"Aku mencium bahaya ...." potong Wira Bumi.
Kepala Pengawal Gedung Kepatihan Bantarangin cepat mengambil keputusan. "Kanjeng
Patih dan Ki Luwak Ireng Biar saya yang rnenangani. Saya akan menghadang dan
mencari tahu siapa orang yang berani menguntit kita. Pasti dia membekal niat
jahat." "Pergilah, kami menunggu di sini." Kata Ki Luwak Ireng.
Setelah cukup lama ditunggu Kepala Pengawal tak kunjung muncul.
Ki Luwak lreng mulai gelisah dan Patih Wira Bumi merasa curiga.
"Ki Luwak, ada yang tidak beres." Kata sang Patih.
"Aku kawatir sesuatu terjadi dengan Kepala Pengawal"
"Saya akan rnenyelidik," kata tokoh silat lstana itu.
"Pergi cepat. Aku menunggu disini. Jika terjadi sesuatu lekas kembali."
Saat itu satu cahaya merah entah dari rnana datangnya menyusup masuk ke dalam
kepala lewat ubun-ubun Wira Bumi. Lalu ada suara mengiang di telinga sang Patih
"Wira Bumi, harap kau berlaku waspada. Dirimu dalam bahaya ..."
Wira Bumi kenali suara itu.
"Nyai Tumbal Jiwo"
Tubuh Wira Bumi bergetar. Sesaat kemudian secara aneh wajah dan tubuhnya telah
berubah menjadi seorang gadis cantik mengenakan pakaian ringkas warna merah
muda. lnilah penampilan penjelmaan yang biasa dilakukan NyaiTumbal Jiwo jika dia
hendak bercinta dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu kesaktian tersebut
dipergunakan untuk melindungi sang murid.
Menyadari dirinya berubah tentu saja Wira Bumi rnenjadi kaget. Wira Bumi, kau
tak usah kaget atau takut. Dirimu berubah demi keselamatanmu." Suara Nyai Tumbal
Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi membuat sang Patih merasa lega.
Sesuai perintah Wira Bumi, Ki Luwak Ireng segera menggebrak kuda tunggangannya.
Namun di depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda hitam, berlari kencang membawa
sesosoktubuh berlumuran darah.
"ltu kuda Bantarangin! Apa yang terjadi" Astaga! Orang di punggung kuda itu!
Luwak iekas periksal"
Meskipun ujudnya telah berubah menjadi seorang gadis cantik namun suara sang
Patih masih tetap suara laki-laki. Suara Wira Bumi.
Ki Luwak lreng cepat melompat dari punggung kuda. Dengan gerakan kilat dia
menyambar tali kekang kuda hitam hingga binatang ini tersentak meringkik keras
dan berhenti berlari. Sepasang mata Ki Luwak lreng mendelik.Tengkuk dingin
merinding. Dia segera mengenali sosok bergelimang darah di punggung kuda hitam
dan cepat-cepat menurunkan, lalu dibaringkan di tanah.
"Kanjeng Patih Bantarangin dibunuh!" Ki Luwak , berpaling ke arah patih
Kerajaan. "Kanjeng Patih ..."
Ki Luwak lreng terperangah kaget.Yang dilihatnya duduk di atas punggung kuda
bukan Patih Kerajaan Wira Bumi tetapi seorang gadis cantik berpakaian . merah
muda berkulit kuning langsat.
"Kau siapa"!" tanya Ki Luwak heran.
"Mana Kanjeng Patih Wira Bumi."
Gadis di atas kuda tidak menjawab. Dia memutar kuda siap meninggalkan ternpat
itu. Tapi cepat dihalangi oleh Ki Luwak sambil menahan tali kekang kuda. Si
gadis pegang tangan tokoh silat lstana itu lalu berkata. Suaranya kini suara
perempuan. "Ki Luwak, aku pergi duluan. Kutunggu kau di Goa Girijati. Ada orang lain
mendatangi ke arah tempat ini!"
"Aku tidak mengerti." Ki Luwak berucap.
"Orang lain siapa" Kau sendiri siapa?" Ki Luwak lreng memandang berkeliling tapi
dia tidak melihat Patih Kerajaan. Dia memperhatikan kuda yang ditunggangi si
gadis. Jelas itu adalah kuda yang sebelumnya ditunggangi sang Patih.
Tokoh silat lstana ini tidak bisa berpikir lebih panjang karena saat itu di
hadapannya mendatangi seekor kuda cokiat, ditunggangi seorang perempuan muda
cantik bertubuh kecil dalam bentuk samar!
"Siapa lagi ini! Perempuan bertubuh samar! Edan! Mengapa banyak ke anehan di
tempat ini"!" Membatin Ki Luwak Ireng.
Sementara itu gadis berpakaian ringkas merah muda yang sebenarnya adalah Patih
Wira Bumi dengan gerakan cepat segera menggebrak kuda meninggalkan tempat itu.
Sosok perempuan samar di atas kuda coklat keluarkan pekikan keras. Sementara
tubuhnya berubah menjadi lebih jelas, dia melesat ke udara lalu melayang turun
menghadang jalan kuda yang ditunggangi gadis berpakaian merah muda yang asli
sebenamya adalah Patih Wira Bumi!.
* * * DUA KETlKA Wira Bumi yang penampilannya sebagai seorang gadis cantik berpakaian
merah muda melihat siapa adanya gadis bertubuh kecil yang menghadang ditengah
jalan, kagetnya bukan alang kepalang.
"Retno Mantili ....." ucap patih Kerajaan dengan suara bergetar dada berdebar.
Saat itu si gadis berpakaian merah muda mendengar suara mengiang.
"Wira Bumi, rohku ada dalam tubuhmu. Cepat tinggalkan tempat ini.
Segera pergi ke Goa Girijati. Aku sudah membuat benteng perlindungan bagi dirimu
di sana." "Nyai Tumbal Jiwo. Aku harus membunuh perempuan muda yang membawa boneka itu!
Kau lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili!
Istriku!" "Kasip! Keadaan sudah kasip! Saatnya tidak tepat. Biar Ki Luwak lreng yang
mengurus perempuan itu!" jawab suara mengiang.
Di tengah jalan Nyi Retno Mantili tolakkan tangan kiri ke pinggang sementara
tangan kanan memegang boneka kayu. Dua kaki dikembang. Mata memandang berkilat
tak berkesip ke arah gadis pakaian merah dan Ki Luwak Ireng.
"Kalian berdua jangan ada yang berani bergerak! Apa lagi berani tinggalkan
tempat ini!," Nyi Retno Mantili mengancam. Tangan yang memegang boneka perlahanlahan diangkat setinggi dada.
"Ki Luwak! Lekas bereskan perempuan sinting itu!" Perintah gadis baju merah
muda. Ki Luwak jadi bingung.
"Kanjeng Pa ..." Ki Luwak gelengkan kepala.
"Aku ..."
Gadis berpakaian merah muda jadi tidak sabaran. Dia menggebrak kuda
tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan siap menerjang Nyi Retno
Mantili. "Hik ... hik! Perempuan di atas kuda! Jangan mengira aku tidak tahu siapa ujudmu
sebenarnya!" Nyi Retno umbar suara tertawa.
Ketika terjadi perubahan atas diri Wira Bumi tadi Nyi Retno Mantili sempat
melihat dan juga mendengar Ki Luwak lreng masih memanggil gadis berpakaian merah
dengan sebutan Kanjeng Patih.
Walaupun otaknya tidak waras namun dalam keadaan dan hal-hal tertentu Nyi Retno
Mantili mampu berpikir lebih jernih dari orang waras.
Nyi Retno arahkan boneka kayu pada kuda besar yang hendak menabraknya. Jari-jari
tangan menekan. Dua larik cahaya putih menyambar keluar dari dalam dua mata
boneka kayu. Menghajar telak kuda besar yang ditunggangi gadis berpakaian merah
muda..llmu Sepasang Cahaya Batu Kumala!. Dada terbelah, kaki kanan buntung. Kuda
keras meringkik dahsyat lalu roboh ke tanah.
Wira Bumi dalam ujud gadis berpakaian merah muda cepat selamatkan diri dengan
melesat ke udara, jungkir balik lalu melayang turun ke belakang Ki Luwak lreng
yang sampai saat itu masih kebingungan. Apa lagi barusan menyaksikan kematian
kuda besar dihantam dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka kayu.
"Ki Luwak Ireng! Aku Patih Kerajaan! Bunuh perempuan yang memegang boneka itu!"
Saat itu fajar telah menyingsing dan keadaan menjadi cukup terang.
Ki Luwak berpaling. Dia tetap saja melihat gadis cantik berpakaian merah,
bukannya sang Patih Kerajaan. Tokoh silat ini jadi tambah bingung. Di saat yang
sama Nyi Retno Lestari sudah melompat ke hadapan kedua orang itu sambil
mengacungkan boneka kayu.
"'Ki Luwak! Lekas hantam! Tunggu apa lagi."Teriak gadis baju merah muda alias
wira Bumi yang jengkel melihat tokoh silat itu hanya tertegak bengong.
"Habisi perempuan yang memegang boneka itu! Pasti dia yang telah membunuh
Bantarangin!"
Untungnya Ki Luwak lreng cepat sadar dan menguasai diri. Tokoh silat ini memang
tidak tahu siapa sebenarnya perempuan cantik bertubuh kecil memegang boneka itu.
Dia melompat ke arah Nyi Retno Mantili sambil tangan kanan lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam jurus yang disebut Angin
Melanda Puncak Mahameru.
" Wussss!"
Angin sedahsyat badai menghantam Nyi Retno Mantili hingga tubuhnya yang kecil
terangkat satu tombak ke udara. Ki Luwak lreng susul serangannya tadi dengan
pukulan tangan kiri bernama Tombak Akhirat
Dalam keadaan tak berdaya selagi tubuhnya terangkat ke udara, Nyi Retno Mantili
tidak mampu mengelakkan serangan kedua yang jangankan tubuh manusia, tembok
batupun bisa jebol!
Pada saat itulah dari tubuh boneka kayu tiba-tiba melesat keluar cahaya berwarna
jingga, menebar demikian rupa membentengi tubuh Nyi Retno Mantili di sebeiah
depan. Nyi Retno sendiri tidak menyadari hal ini bisa terjadi karena Kiai Gede
Tapa Pamungkas secara sengaja dan diam diam telah menyimpan ilmu yang disebut
Cahaya Dewa Turun Ke Bumi di dalam boneka kayu untuk sewaktu-waktu melindungi
perempuan malang itu.
"Dess .... dess!"
Dua kekuatan balas menerpa pukulan Tombak Akhirat. Ki Luwak lreng berseru kaget.
Tubuhnya terjajar ke belakang. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, Nyi Retno
Mantili gerakkan lima jari yang memegang pinggang boneka kayu.
"Tua bangka. hitam keling! Aku tak ingin membunuhmu! Tapi kau yang sengaja minta
mati! Hik ... hik!"
Lima jari memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih menyambar. Ki Luwak
lreng berseru kaget. Dia sudah mendengar bagaimana kematian menimpa dua orang
kawannya di Gedung Kepatihan malam tadi. Barusan dia juga melihat tewasnya
Bantarangin Kepala Pengawal. Jangan-jangan .... !
"Drettt ... dreettd!"
Seperti digorok gergaji besar tubuh Ki Luwak lreng terbelah mulai dari bahu kiri
sampai kepinggul kanan.Tokoh silat lstana ini keluarkan jeritan panjang sebelum
tubuhnya roboh tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Darah menggenang.
Sadar kalau kini dirinya kini yang akan jadi incaran, gadis berpakaian merah
muda alias Patih Wira Bumi, walau telah dilarang oleh Nyai Tumbal Jiwo, dalam
kekawatirannya segera saja lepaskan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat ke arah
Nyi Retno Mantili.
Selarik angin ganas dan luar biasa dingin menyambar ke arah batok kepala
perempuan itu. Bilamana serangan ini mengenai sasaran maka kepala Nyi Retno Mantili akan
ditambus hawa dingin laksana dipendamdi gunung salju lalu kepala itu akan
meledak secara mengerikan!
"Hik ... hik! Kemuning! Ada orang hendak membunuh kita dengan ilmu setan!"
Satu kekuatan aneh menarik Nyi Retno Mantili hingga terguling di tanah.
Bersamaan dengan itu tangan kanan diangkat. Lima jari memencet pinggang boneka
kayu yang telah diarahkan pada gadis berpakaian merah muda alias Wira Bumi.
Hanya dalam kejapan mata dari dalam dua mata boneka kayu menyambar keluar
Sepasang Cahaya Batu Kumala.
"Craasss!"
Seperti dibabat golok besar luar biasa tajam leher gadis baju merah muda putus!
Tak ada jeritan.Tubuh terbanting jatuh, kepala menggelinding di tanah. Di saat
yang bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing mengembik. Aneh!
Nyi Retno Mantili tertawa panjang.
"Kemuning! Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat pembunuh pengasuhmu sudah mampus!
Dia kira dengan berganti rupa kita bisa ditipu! Hik ... hik! Apa kita akan
meneguk darahnya" lhhh, jijik Ayo anakku, kita pergi sekarang!"
Nyi Retno Mantili sisipkan boneka kayu ke dalam kain bedongan yang melintang di
atas dada, memutar tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Kalau saja
perempuan ini mau menyempatkan diri berada barang beberapa lama di tempat itu
maka dia akan menyaksikan satu keanehan yang sulit dipercaya. Dia menyangka
telah membunuh Wira Bumi yang merubah diri menjadi gadis cantik berpakaian
merah, muda itu. Padahal itu tidak pernah terjadi!
Setelah Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat pembantaian tanpa membawa kuda
coklat, dari bangkai kambing yang tergeletak di tanah melesat keluar sosok gadis
berpakaian merah muda. Gadis ini melompat ke punggung kuda coklat. Satu cahaya
rnerah berkelebat.
Ujud gadis pakaian merah muda berubah menjadi sosok Patih Wira Bumi.
* * * TIGA SEHABIS membunuh Cagak Lenting alias Si Mata Elang. Perwira Tinggi Suko Daluh
dan tokoh silat lstana Ki Wulur Jumena di Gedung Kepatihan, Nyi Retno Mantili
meninggalkan Pendekar 212
Wiro Sableng begitu saja. Hal ini karena kesal sebab Wiro mencegah bahkan


Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah memaksa agar dia tdak membunuh patih Wira Bumi yang sebenarnya adalah
suaminya sendiri. Wiro berusaha mengejar namun tak berhasil karena perempuan itu
menerapkan ilmu kesaktian yang didapatnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas yaitu
llmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri.
Setelah merasa berhasil membunuh Wira Bumi yang menyamar diri sebagai gadis
cantik berpakaian ringkas merah muda kini Nyi Retno Mantili teringat sendiri
pada sang pendekar.
Sambil mengelus punggung boneka kayu Nyi Retno berkata
"Kemuning anakku, kita harus mencari ayahmu itu. Hik ... hik!
Apakah dia memang rnau jadi ayahmu"
Kita harus memberi tahu bahwa kita sudah berhasil membunuh manusia jahat bernama
Wira Bumi.Tapi kita mau cari dia dimana"
Jangan-jangan dia marah sama aku, sama kamu! Hik..hik ... Kalau dia memang marah
lebih baik kita pergi saja ke tempat eyang sepuhmu Kiai yang di puncak Gunung
Gede itu. Dulu kita pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Kalaupun dia marah,
melihat kita datang lagi pasti Kiai merasa senang. Hik ... hik. Eh, mengapa aku
bingung" Mana yang harus ake lakukan. Mencari ayahmu atau pergi ke Gunung Gede?"
Sementara Nyi Retno Mantili berada dalam keadaan bingung, di tempat lain murid
Sinto Gendeng juga bingung tidak tahu mau mencari perempuan itu kemana.
"Dua hari dia menghilang. Apakah mungkin dia kembali ke Kotaraja.
mengincar Wira Bumi di Gedung Kepatihan?" Wiro garuk-garuk kepala lalu duduk di
bawah sebatang pohon tak jauh dari satu bukit kecil di selatan Kotaraja. Dia
kemudian ingat akan ucapan Datuk Rao Basaluang Ameh sewaktu muncul bersama
harimau putih sakti membawa bayi Nyi Retno Mantili yang diberi nama Ken Permata.
"Ada baiknya kau dampingi ibunya. Bukan hanya untuk mengharapkan kesembuhan
penyakitnya. Tapi juga untuk melindungi perempuan malang itu dari bermacam
bahaya yang mengancam."
Dalam hati Wiro berucap sendiri. "Nyi Retno menerima banyak ilmu dari Kiai
GedeTapa Pamungkas. Dia mampu menjaga diri. Namun ada ucapan Datuk Rao yang
membuatku merasa punya ganjalan."
Dalam pertemuan itu memang Datuk Rao Basaluang Ameh mengeluarkan kata-kata :
"Sebelum pergi ada satu hal yang perlu aku beritahukan .... Kau harus mengerti
dan bersiap diri... . Hadapi dengan bijaksana kalau nanti kau melihat kenyataan
bahwa Nyi Retno Mantili, ibu Ken Permata mencintai dirimu ..."
Lama Wiro merenung. Perempuan itu memang sering menunjukkan rasa suka dan juga
rasa cemburu padaku. Tapi apakah hal itu keluar dari hati dan pikirannya yang
waras" Ah, dimana dia sekarang.
Mungkin kembali ke tempat Kiai Gede di Gunung Gede?"
Saat itu matahari baru saja tersembul di permukaan bumi.Tiupan angin masih
terasa dingin. Wiro merasa letih dan ingin istirahat sekedar memejamkan mata.
Tiba-tiba dia mendengar suara kambing mengembik.
Mula-mula Wiro tidak mengambil perhatian. Acuh saja dia terus pejamkan kedua
matanya.Tapi pikirannya jalan.
"Masih pagi begini rupa apa sudah ada orang mengangon ternak"
Suara embikan kambing tadi. Bukan suara embikan biasa. Suara embikan binatang
yang ketakutan sewaktu mau dijagal!"
Mendadak lapat-lapat dia kemudian mendengar suara tawa cekikikan. Suara tawa
perempuan. Murid Sinto Gendeng langsung melompat dari duduknya. Tegak menggaruk
kepala. "Aku mengenali betul! Itu suara tawa Nyi Retno Mantili!" Tidak menunggu lebih
lama Wiro melompat dan lari ke arah terdengarnya suara tawa cekikikan tadi.
Dalam kencang-kencangnya berlari Wiro tiba-tiba berhenti. Di hadapannya
terpentang satu pemandangan mengerikan.
Di tengah jalan berputar-putar seekor kuda besar. Tak jauh dari situ
tergelimpang sesosok tubuh bergelimang darah. Wiro cepat mendekati.
"Gila, dadanya terbelah. Siapa orang ini?" Wiro membungkuk.
Lalu menarik kalung yang masih tergantung dileher mayat. Kalung itu terbuat dari
perunggu, berbentuk bola dunia diapit dua ekor naga bermahkota bintang di atas
kepala. "lni lambang abdi tingkat tinggi Kerajaan ..." ucap Wiro."Orang ini pasti
pejabat Kerajaan .... dugaan Wiro tidak salah karena mayat yang ditemukannya itu
adalah mayat Bantarangin Kepala Pengawal Gedung Kepatihan.
Memandang berkeliling di bagian lain jalan tanah Wiro melihat seekor kuda besar
tergeletak Salah satu kaki depan buntung, dada terbelah. Tak jauh dari bangkai
binatang ini terkapar sosok seorang kakek berjubah ungu yang telah jadi mayat
dengan luka melintang di dada.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala, masih ada satu sosok lagi yang terkapar
di tengah jalan.Yaitu seekor kambing dalam keadaan kepala putus. Kutungan kepala
tersuruk di kaki semak belukar di pinggir jalan.
"Ada kuda mati dengan dada terbelah kaki buntung. Dua mayat manusia. Dua-duanya
tewas dengan tubuh setengah terbelah. Lalu ada kambing yang lehernya dibabat
putus! Kambing! Aneh!
Mengapa ada kambing di tempat ini" Apa ada orang yang mau menyate"!"
Dua mayat manusia, seekor kuda dan seekor kambing. Tampaknya menemui kematian
dengan cara yang sama.
"Mungkin si penjagal menggunakan golok luar biasa besar untuk menebar maut! Tapi
mengapa kulihat ada tanda-tanda daging hangus dipinggiran luka yang menguak ....
Berarti ada tenaga dalam dan hawa saki menyertai serangan yang mematikan."
Wiro perhatikan lagi dua mayat yang tergeletak di tanah sambil menduga-duga
siapa adanya kedua orang ini.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang menangis. Pilu berhiba-hiba.
Wiro memandang ke arah kejauhan dari mana datangnya suara tangisan. Dia
melangkah mendatangi. Begitu sampai di tempat yang diperkirakan asal suara orang
menangis dia tidak menemukan siapa-siapa. Suara tangisan pun tidak terdengar
lagi. "Aneh, suara itu aku yakin tadi datangnya dari sekitar tempat ini."
Wiro memandang berkeliling sambil menggaruk kepala.
Tiba-tiba suara tangisan terdengar lagi. Kini datangnya dari balik deretan
pepohonan besar yang tumbuh rapat di ujung kiri.Wiro menunggu sebentar. Suara
tangisan semakin keras dan memilukan.
Setelah memastikan dari mana arah datangnya tangisan itu Wiro berkelebat ke
balik deretan pohon besar, menyelinap ke balik serumpunan semak belukar dan
mengintip. Hanya sejarak sekitar sepuluh langkah di hadapannya dia melihat seorang
perempuan berpakaian ringkas merah muda duduk di atas gundukan tanah
membelakanginya. Kepala ditumpangkan di atas lutut. Wajah ditutup dengan dua
tangan. Dari potongan pakaian yang membungkus tubuhnya yang bagus, wiro bisa
menduga perempuan yang menangis masih berusia muda.
Wiro menggaruk kepala.
"Pagi hari, di tempat sepi begini rupa ada perempuan terpesat dan menangis.
Pakaiannya rapi berarti tidak ada orang yang mencelakainya. Perlu juga kucari
tahu siapa dial apa masalah yang tengah dihadapinya. Mudah-mudahan saja dia
seorang gadis berwajah cantik. Kalau ternyata dia seorang nenek bertampang
buruk, sial diriku. Pagi-pagi sudah melihat pemandangan menyepatkan mata!"
Wiro keluar dari balik semak belukar, mendekati perempuan yang menangis dari
arah belakang. Perempuan yang duduk di gundukan tanah hentikan tangis. Lalu
terdengar suaranya berucap.
"Suprana, aku tak mau melihatmu tagi! Pergilah! Kau telah menewaskan kudaku! Kau
telah membunuh dua pengawalku!
Sekalipun kau membunuh diriku, aku tidak akan menyerahkan batu pusaka Widuri
Bulan Kembar padamu!" Habis berucap perempuan ini kembali menangis.
Wiro hentikan langkah. Menggaruk kepala lalu sambil tersenyum bertanya. "Apakah
orang bernama Suprana itu juga membunuh kambingmu?"
Gadis yang duduk di tanah hentikan tangis. Kepala diangkat tapi dua tangan masih
menutupi wajah.
"Kau siapa" Suaramu lain. Kau bukan Suprana!"
"Aku memang bukan Suprana. Sahabat, agaknya kau baru mengalami satu peristiwa
hebat mengenaskan." Wiro bergerak melangkah.
"Tunggu! Tetap di tempatmu! Aku tidak percaya pada laki-laki yang belum kenal
tapi sudah bicara berbaik-baik ..."
Wiro tertawa tapi seperti yang dikatakan orang dia hentikan langkah.
Perempuan yang duduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri lalu memutar tubuh.
Ketika dua tangannya diturunkan Wiro melihat satu wajah cantik, berpipi dan
berbibir merah segar. Sepasang mata coklat menatap penuh pesona.
"Kau siapa" Sudah berapa lama kau mengintipku menangis?"
bertanya gadis berbaju merah muda.
"Aku bukan lelaki tukang intip. Kebetulan saja aku mendengar suara tangismu lalu
mendatangi ke tempat ini."
"Rambutmu gondrong! Bajumu sengaja dibuka di bagian dada. Itu pertanda kau
seorang pemuda nakal!"
Wiro tertawa gelak-gelak
"Kalau kepalaku botak lalu bajuku ditutup rapat seperti pocong, apakah kau akan
menilaiku sebagai pemuda baik-baik?"
Si gadis tidak menjawab. Hanya menatap memperhatikan sang pendekar. Dia kemudian
menutup wajah dengan kedua tangan seperti hendak menangis kembali.
"Sudah, mengapa menangis terus-terusan. Katakan apa yang telah terjadi. Siapa
tahu aku bisa menolong. Tadi kau menyebut-nyebut seorang bemama Suprana. Orang
itu membunuh kuda dan dua pengiringmu serta seekor kambing ..."
"Kambing itu bukan milikku.Tapi kebetulan lewat dan terkena tendangan
nyasar. .."
"Ah ... Kalau kambing itu terkena tendangan nyasar pasti kepalanya hancur.Tapi
mengapa lehernya yang putus?"
"Kau ... kau hendak mengatakan aku berdusta", Kau jahat!"
"Tidak, maksudku bukan begitu," jawab Wiro.
"Orang hendak merampas batu Widuri Bulan Kembar milikku. Kalau aku tidak lekas
menyelamatkan diri pasti dia juga sudah membunuhku."
"Batu Widuri Buian Kembar itu pasti sangat berharga."
"Kau tidak pernah mendengar Batu Widuri Bulan Kembar yang bisa membuat orang
kebal segala macam senjata dan pukulan sakti musuh?" Bertanya si gadis.
Wiro gelengkan kepala.
"Batu itu berasal dari batu pusaka milik satu kerajaan di timur. Kalau aku
perlihatkan padamu, apakah kau tidak akan bermaksud jahat merampasnya?"
Wiro tertawa. "Aku bukan pencuri, juga bukan rampok Apa lagi bapak moyangnya rampok!"
"Baik, akan kuperlihatkan padamu. Batu itu diikat dalam bentuk kalung yang
tergantung dileherku."
Si gadis maju dua langkah mendekati Wiro lalu menggerakkan dua tangannya.Tadinya
murid Sinto Gendeng mengira si gadis akan menarik keluar kalung dari balik
pakaiannya. Tapi apa yang dilakukan si gadis sungguh diluar dugaan.Tiba-tiba
saja dengan cepat sekali dia membuka lebar-lebar baju merahnya di bagian atas.
Sepasang mata Pendekar 212 membesar. Kalung yang tergantung di leher si gadis
ternyata tidak memiliki ikatan mata berupa batu yang disebut Batu Widuri Bulan
Kembar. "Sudah kau lihat batunya?" bertanya si gadis.
"Aku ...." Wiro menggaruk kepala. Matanya masih tidak bisa lepas dari
memperhatikan pemandangan yang menakjubkan di depannya.
'Aku .... aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Yang aku lihat benda
kembar. ..."
Si gadis tertawa.
Wiro ikutan tertawa.
Tiba-tiba sekali, tidak disangka-sangka tangan kanan gadis itu melesat ke depan.
"Bukkk!"
Wiro terpental lima langkah. Mulut semburkan darah segar. Dua lutut goyah.Tubuh
ambruk ke tanah!
Gadis baju merah muda memekik girang. Aku berhasil membunuhnya!" Sebagai jawaban
ada suara mengiang di telinga si gadis.
"Bagus! Rimba persilatan tanah Jawa akan geger! Wira Bumi, apa yang telah kau
lakukan membuat aku bisa lebih cepat enam puluh hari mernperlihatkan ujudku
kernbali. Tapi lekas tinggalkan tempat ini. Ada seseorang mendatangi."
* * * EMPAT DUA ORANG berkelebat. Satu dari arah barat, satu lagi dari jurusan timur. Yang
dari tirnur sampai duluan di samping sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tergeletak di tanah. Orang ini terguncang hebat. Mulut langsung keluarkan seruan
tertahan. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik berambut hitam tebal panjang
sepinggang, bermata biru. Telinga di hias anting, leher digantungi kalung dan
dua tangan digelung gelang.Semua perhiasan ini terbuat dari kerang hijau dan
membuat penarnpilannya tampak lebih anggun.
Ratu Duyung! Siapa lagi kalau bukan gadis sakti kepercayaan Nyai Roro Kidul penguasa laut
selatan! Gadis yang selama ini diketahui mencintai pendekar 212 Wiro Sableng
dengan setulus hati. Telah begitu banyak berbagi suka dan duka, saling menaut
budi bahkan saling menyelamatkan jiwa.
"Wiro! Apa yang terjadi"!"
Jawaban hanya suara mengerang halus. Berarti Wiro dalam keadaan setengah siuman
setengah pingsan dan lemas tiada daya.
Ratu Duyung berlutut di tanah, merneriksa keadaan Pendekar 212.
Darah yang menodai mulut dan dagu Wiro diseka dengan ujung lengan jubah. Gadis
ini kemudian letakkan telinga di dada kiri. Dia masih mendengar detak jantung
tapi sangat lemah. Ratu Duyung tempelkan dua telapak tangan di dada Wiro lalu
kerahkan tenaga dalam sakti mengandung hawa dingin hingga tubuh Pendekar 212
kepulkan asap putih.
"Wiro sadar! Buka matamu! Wiro!" Ratu Duyung tepuk-tepuk pipi Wiro. Namun dua
mata Wiro tetap saja tertutup. Tarikan nafas perlahan sekali dan wajahnya
perlahan-lahan tampak agak kebiruan.
"Ada racun jahat dalam tubuhnya. Aku harus mengeluarkan! Tapi bagaimana"! Aku
harus melakukan sesuatu! Paling tidak menghambat jalan racun agar tidak masuk ke
dalam jantung! Gusti Allah tolong kami!"
Ratu Duyung lalu membuat lima totokan di tubuh Wiro. Dua di pangkal leher kiri
kanan. Satu pada pertengahan dada. Dua di dada kiri arah jantung. Selesai
menotok Ratu .Duyung tatap sekujur tubuh Wiro lalu kerahkan ilmu Menembus
Pandang yang seharusnya tidak boleh dilakukan untuk melihat aurat orang lain apa
lagi aurat lawan jenis. Namun dia tidak bisa berbuat lain karena dia harus tahu
bagian tubuh mana dari sang pendekar yang cidera, sekaligus mencari tahu dari
mana masuknya racun yang kini ada dalam tubuh pemuda itu.
Lewat ilmu yang diterapkan gadis bermata biru ini melihat ada sesuatu di dada
Wiro. Dengan cepat dia membuka baju putih yang dikenakan Wiro. Begitu bagian
dada tersingkap gadis ini tersentak kaget. Pada dada Wiro sebelah kiri, sedikit
di bawah arah jantung dia melihat tanda merah kehitaman berbentuk telapak tangan
dengan lima jari terkembang.
Satu bayangan putih tiba tiba berkelebat. Ini adalah orang yang datang dari arah
barat. Sesaat kemudian di tempat itu telah berdiri seorang kakek berambut putih
panjang riap-riapan. Janggut sedada, kumis menjulai putih. Dua mata gembung
rapat seperti buta.
"Pukulan Telapak Roh. Jahat sekali!"
Orang tua berpakaian putih keluarkan ucapan. Suaranya bergetar seperti orang
menggigil kedinginan.
Ratu Duyung melompat bangkit. Tangan kanan cepat sekali diletakkan di atas batok
kepala si orang tua.Tangan yang sudah dipenuhi tenaga dalam tinggi itu siap
untuk melancarkan pukulan maut bemama Genta Laut Selatan. Jika pukulan itu
sampai dilakukan, si orang tua akan rengkah kepalanya dan nyawa tidak akan
tertolong lagi. Namun si orang tua tetap unjukkan sikap tenang, menatap Ratu
Duyung sejurus lalu perhatikan sosok wiro dengan pandangan sedih.
"Kau siapa?" tanya Ratu Duyung dengan suara keras mata mendelikdan hati penuh
curiga. "Namaku Ki Balang Kerso. Aku seorang kuncen." Orang tua bermata gembung
berpakaian putih menjawab.
"Kuncen"! Setahuku tidak ada makam apa lagi pekuburan di kawasan ini." Ratu
Duyung memperhatikan penuh selidik.
"Aku kuncen di pemakaman Kebonagung, di luar Kotaraja!"
"Kau mengetahui nama pukulan yang menciderai pemuda itu. Berarti kau tahu siapa
orang yang mencelakai sahabatku ini!"
"Ah. ternyata dia sahabatmu. Aku tahu siapa yang punya ilmu pukulan Tapak Roh
itu. Namun belum tentu dia pelakunya ..."
"Kuncen, apa maksudmu"!" tanya Ratu Duyung.
"Ilmu Tapak Roh kini dimiliki dua orang. Pertama Nyai Tumbal Jiwo
...." "Aku pernah mendengar nama itu. Bukankah dia nenekjahat dari alam roh?" Kuncen
bernama Ki Balang Kerso anggukkan kepala.


Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa pemilik ilmuTapak Roh yang kedua?"
"Murid Nyai Tumbal Jiwo. Namanya ...."
Belum sempat Ki Balang Kerso selesaikan ucapan tiba-tiba lima lariksinar merah
menyambar mengarah bagian belakang tubuh Ki Balang Kerso.
"Awas, ada yang membokong!" teriak Ratu Duyung lalu jatuhkan diri sambil secepat
kilat mendorong tubuh si orang tua hingga keduanya jatuh bergulingan di tanah.
Ki Balang Kerso terdengar mengerang.
Empat larik sinar merah menderu di atas tubuh kedua orang itu.
Larikan ke lima masih sempat menyerempet bahu kanan Ki Balang Kerso hingga
menimbulkan luka besar menguak Darah mengucur deras. Tubuh sang kuncen sebelah
kanan tampak menghitam.
"Pukulan Lima Jari Akhirat ...." Ucap Ki Balang Kerso diantara erang
kesakitan.Terbungkuk-bungkuk dia bangkit lalu dengan tubuh menghuyung dia cepat
tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" Teriak Ratu Duyung.
"Kau mau kemana"! Kau belum mengatakan pemilik ilmu pukulan Tapak Roh kedua ..."
Tanpa berhenti Ki Balang Kerso menyahuti.
"Aku lebih mementingkan keselamatan diriku! Kalau aku tidak menemukan obat
penangkal sampai tengah hari nanti, sekujur tubuhku akan membusuk!"
Ratu Duyung hendak mengejar. Namun terpaksa batalkan niat karena bagaimanapun
juga Wiro harus ditolong lebih dulu. Dia harus berbuat sesuatu. Racun dalam
tubuh Wiro harus segera dikeluarkan.
Tapi bagaimana caranya" Sambil mengusap kening Pendekar 212
Ratu Duyung berpikir keras. Ketika dia hendak membersihkan sisa darah yang masih
melekat di bibir Wiro, gadis ini berpikir. "Darah keluar dari mulut. Berarti ada
racun yang ikut keluar. Kalau aku bisa menguras darah itu dengan cara
menyedot ..."
Tidak berpikir panjang lagi Ratu Duyung membungkuk. Mulutnya ditempelkan ke
mulut Pendekar 212. Belum sempat dia menyedot tiba-tiba ada tawa cekikikan
disusul ucapan.
"Hik ... hik! Apa enaknya berciuman dengan orang pingsan!"
* * * LIMA RATU Duyung tersentak kaget sekaligus marah mendengar ucapan orang. Berpaling ke
kiri dia melihat bocah berambut jabrik berpakaian hitam Naga Kuning berdiri
beberapa langkah di sampingnya.
"Bocah jahil! Enak saja kau bicara! Siapa yang hendak berciuman!
Kau lihat sendiri keadaan Wiro yang seperti orang sekarat!" Ucap RatuDuyung
dengan suara keras dan mata melotot.
Bersama Naga Kuning ada nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati dan Purnama si
cantik dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Ratu Duyung walau jengkel mendengar ucapan Naga Kuning namun dia lebih merasa
tidak enak melihat munculnya Purnama di tempat itu. Apalagi jika dia ingat
peristiwa di goa di Teluk Losari ketika Purnama memeluk, menciumi bahkan
menindih tubuh Wiro.
(Baca serial Wiro Sableng "Topan Di Gurun Tengger) Namun sadar kalau selama ini
dia dan gadis dari alam roh itu sudah senasib sepenanggungan saling berbagi budi
maka Ratu Duyung unjukkan wajah jernih dan hati polos.
"Sahabat Purnama, syukur kau datang." Kata Ratu Duyung.
"Aku menemukan Wiro tergeletak pingsan. Ada orang mencide-rainya dengan pukulan
mengandung racun bernama pukulan Telapak Roh.
Menurut seorang kuncen yang barusan saja meninggalkan tempat ini salah seorang
dari dua yang memiliki ilmu pukulan beracun itu adalah seorang nenek jahat
bernama NyaiTumbal Jiwo ...."
"Apa?" Kejut Purnama bukan alang kepalang.
" Aku sudah melabrak nenek jahat itu. Sosoknya sudah tercabik-cabik dan dia
tidak bisa keluar dari alam roh selama seratus dua puluh hari ..."
"Tapi ada lagi orang lain yang memiliki ilmu itu. Sayangnya si kuncen tidak
sempat memberi tahu. Dia buru-buru pergi setelah celaka oleh serangan
membokong ..." Menerangkan Ratu Duyung.
"Aku telah menotok tubuhnya di beberapa tempat untuk mencegah menjalarnya
racun.Tapi aku tidak pasti dia bisa selamat sebelum racun dikuras dari aliran
darahnya. Itu sebabnya tadi aku hendak menyedot racun langsung dari
tubuhnya.Tapi bocah bermulut ember ini menuduhku yang bukan-bukan ..."
"Maafkan aku Ratu.Tadi aku hanya bergurau.." kata Naga Kuning.
Gondoruwo Patah Hati berkata. "Bergurau ada tempatnya! Itu sebabnya aku berulang
kali mlnta kau menjaga mulutmu yang seperti kaleng rombeng itu!"
Habis memarahi si nenek jitak kepala si bocah hingga Naga Kuning meringis
kesakitan. Ratu Duyung sibakkan baju Wiro untuk menunjukkan bekas pukulan
berbentuk telapak tangan dengan lima jari terkembang.
"Heran, mengapa belakangan ini musibah datang silih berganti menimpa Wiro ..."
Ucap Purnama. Ratu Duyung hanya bisa gelengkan kepala lalu berkata." Sahabat, aku tahu, kau
hafal semua isi Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin kau bisa menemukan cara untuk
mengobati Wiro.''
"ltu memang yang akan aku lakukan. Berdoalah bagi keselamatan Wiro." jawab
Purnama. Lalu gadis ini letakkan tangan kanan di atas dada yang ada tanda
pukulan. Setelah merenung sejenak Purnama pejamkan mata. Tak selang berapa lama
mulutnya berucap.
"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman Dua Ratus Lima. Pengobatan ke Delapan Ratus
Dua Puluh. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera
langsung pada bagian tubuh yang dipukul maka berarti aliran darahnya telah
tercemar racun dan menyebabkan nyawanya hanya bisa bertahan paling lama satu
minggu. Untuk menolong ada tiga hal yang harus dilakukan.
Pertama memohon dan berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang
yang cidera disembuhkan dan penyakitnya.
Kedua memasukkan tenaga dalam tinggi ke dalam tubuhnya.
Ketiga membuat sayatan kecil pada dua ujung ibu jari kaki. Maka darah hitam
kental akan keluar. Bilamana darah berubah menjadi merah segar pertanda orang
itu sudah selamat dari keganasan racun. Untuk membuat seluruh tubuhnya menjadi
lebih bersih, orang tersebut harus minum godokan air sirih dicampur merang
selama tiga hari berturut-turut. Namun ada satu hal perlu diingat. Bilamana
orang yang cidera rnemiliki ilmu kebal racun atau mempunyai pegangan berupa
benda sakti di dalam tubuhnya, maka jangan sekali-kali memasukkan tenaga dalam
tinggi. Sebaliknya justru kekuatan tenaga dalam dipergunakan untuk menyedot
kekuatan yang ada di tubuh orang itu atau yang ada dalam benda pegangan lalu
dialirkan kembali ke dalam tubuhnya. Setelah kekuatan memancar dan mengalir ke
dalam tubuh orang yang cidera maka darahnya akan bersih, semua racun akan keluar
melalui sayatan di dua ibu jari kaki. .."
Selesai berucap Purnama buka kedua mata, menatap pada Ratu Duyung, Naga Kuning
dan Gondoruwo Patah Hati.
"Kita harus melakukan sekarang juga sesuai petunjuk Kitab."
Berkata Gondoruwo Patah Hati.
"Setahuku Wiro punya ilmu kebal racun!" kata Naga Kuning.
"Selain itu Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Batu Sakti Hitam berada dalam
tubuhnya. Berarti dia sudah punya kekuatan penangkal. Hanya saja tidak bisa di
berdayakan karena dia keburu pingsan."
Gondoruwo Patah Hati usap kepala si bocah. "Kowe anak pinter.
Berarti kita tidak perlu memasukkan tenaga dalam ke dalam tubuh Wiro. Justru
menyedot dan mengandalkan kekuatan yang ada dalam tubuh dan senjata
pegangannya."
"Kau juga pinter Nek," jawab Naga Kuning sambil mengusap pantat si nenek. Karuan
saja Gondoruwo Patah Hati sikut rusuk si bocah hingga untuk kesekian kali Naga
Kuning meringis kesakitan.
"Kurasa sebaiknya kita mulai sekarang juga." Kata Ratu Duyung.
"'Aku memilih bagian kepala." Lalu gadis bermata bim ini letakkan telapak tangan
kanannya di atas kening Wiro.
"Aku bagian dada." ucap Purnama seraya tempelkan dua tangan sekaligus di dada
sang pendekar. Aku di sini saja," kata Gondoruwo Patah Hati kemudian letakkan dua tangan di
atas perut di bawah pusar Wiro. Melihat hal ini Naga Kuning langsung senyumsenyum dan berkata.
"Nek, kau selalu mencari tempat yang enak dan empuk."
"Jangan usil! Kita semua bermaksud menolong. Tidak ada yang punya niat jahil,
tahu!" Jawab si nenek yang mukanya menjadi merah kelam karena jengah.
"lya Nek," Kata Naga Kuning yang melihat si nenek marah lalu alihkan
pembicaraan. "Siapa yang akan membuat sayatan di ujung ibu jari Wiro" Tentu saja
kau Nek. Kau punya sepuluh kuku jari panjang dan lancip. Habis menyayat langsung
saja letakkan tanganmu di dua kaki Wiro untuk menyedot tenaga dalam. Aku biar
memegang di bagian perut."
"Bocah culas!" Umpat Gondoruwo Patah Hati kembali jengkel. Naga Kuning senyumsenyum cengengesan. Mau tak mau si nenek angkat tangannya dari bawah pusarwiro
lalu dengan kuku tangan yang panjang dia membuat dua sayatan kecil di ujung ibu
jari kaki Wiro kiri kanan. Setelah itu masih agak jengkel dia letakkan dua
tangannya di paha Wiro pada bagian di atas lutut. Masing-masing saling memberi
isyarat lalu semuanya mulai menyedot kekuatan hawa sakti yang ada di dalam tubuh
Wiro. "Dess .... desss ... desss .... desss!"'
Tubuh Wiro bergoncang keras. Empat letupan terdengar disertai keluarnya kepulan
asap merah dari tubuh sang pendekar. Ratu Duyung dan tiga orang lainnya
merasakan ada hawa panas yang tersedot, membuat tangan mereka bergetar.
Perlahan-lahan hawa panas berubah menjadi hawa sejuk. Bersamaan dengan lenyapnya
getaran pada tangan, dari dua sayatan kecil di ibu jari dua kaki Wiro mengucur
keluar darah hitam pekat. Tak lama kemudian warna darah yang keluar sedikit demi
sedikit berubah menjadi merah segar lalu kucuran darah berhenti sama sekali.
Semua orang menarik nafas lega.
Sepasang mata Wiro masih tertutup. Namun mulut terbuka lalu pemuda ini berucap.
"Aku .... aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Aku melihat dada besar.
Nyi Retno Mantili kau berada dimana ... ?"
* * * ENAM KARUAN saja semua orang jadi terkejut mendengar ucapan Wiro dan saling pandang
sementara si bocah Naga Kuning tidak dapat menahan tawa cekikikan.
"Ada yang tidak beres. Pasti ada kejadian hebat sebelum sobat kita ini jatuh
pingsan! Mungkin juga dia pingsan karena melihat dua payudara besar, putih dan
kencang! Hik...hik...hik..."
Tawa cekikikan naga kuning terhenti begitu jambakan Gondoruwo Patah Hati mapir
di rambutnya yang jabrik.
"Nek, kenapa kau marah! Aku cuma mengulang ucapan sobat kita tadi," kata Naga
Kuning sambil meringis kesakitan dan usap-usap kepalanya.
"Soal apa yang terjadi nanti tanya saja sama Wiro. Lihat, matanya sudah terbuka
tanda dia sudah siuman."
Saat itu Wiro memang telah sadar. Dia tampak terheran-heran melihat dirinya
terbaring di tanah, dikelilingi oleh Ratu Duyung, Pumama, Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati. Sambil menggaruk kepala Wiro memandang berkeliling.
"Siapa yang kau cari?" tanya Naga Kuning mulai usil lagi.
"Dua dada besar putih dan kencang" Hik.. hik ... hik!"
Wiro melongo. Dia belum mengerti arti pertanyaan si bocah jabrik.
"Heh. apa yang terjadi. Bagaimana kalian semua bisa ada di sini?"
"Nek, ayo tanya saja sama dia. .." Naga Kuning berkata pada Gondoruwo Patah
Hati. Si nenek membuka mulut. Tapi bukan bertanya soal payu dara yang besar putih dan
kencang melainkan apa yang terjadi dengan Wiro.
Murid Sinto Gendeng menerangkan pertemuannya dengan gadis berpakaian merah muda.
Ketika sampai pada kejadian si gadis membuka baju memperlihatkan dada. Wiro
tidak meneruskan. Dia berpaling pada anak ini. Naga Kuning cepat berkata.
"Nah Nek, apa kataku,"Gondoruwo Patah Hati yang diajak bicara diam saja
sementara Purnama dan Ratu Duyung saling pandang.
"Naga Kuning. memangnya apa yang terjadi dengan diriku?"
bertanya Wiro. "Sobat, tadi kau seperti orang bermimpi mengigau. Kau berkata begini. Aku tidak
melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Kau juga menyebut nama Nyi Retno Mantili. Nah,
nah, kau mau menerangkan bagaimana?"
Wiro menatap Naga Kuning sesaat lalu menggaruk kepala. Karena Wiro masih belum
memberikan jawaban Naga Kuning kembali membuka mulut.
"Aku yakin kau bukan cuma mengigau. Tapi melihat dada benaran.
Aku juga yakin yang kau lihat bukan dada Nyi Retno Mantili. Karena perempuan
cantik itu tubuhnya kecil. Berarti dadanya juga kecil.
Padahal yang lihat dada besar. .."
"Huss! Bocah konyol! Kau ini bicara apa!" Hardik Gondoruwo Patah Hati sambil
mencubit pinggang Naga Kuning hingga bocah ini melintir kesakitan.
Setelah pandangi orang-orang yang ada di hadapannya Wiro akhirnya berkata. "Aku
memang tidak mimpi.Tidak ngigau. Aku memang melihat dada benaran. Gadis yang aku
temui sedang menangis.Gadis itu sendiri yang membuka pakaiannya dan
memperlihatkan padaku ..."
Naga Kuning tertawa cekikikan sementara dua gadis dan satu nenek hanya berdiam
diri dengan wajah berubah merah.
"Aneh, ceritamu tidak nyambung. Kalau menangis mengapa memperlihatkan dada?"
tanya Naga Kuning pula.
"Gadis itu menipuku. Dia sengaja bertindak begitu untuk membuatku lengah. Ketika
aku benar-benar lengah dia menghantam dengan satu pukulan keras."
Pukulan Telapak Roh hanya dimiliki NyaiTumbal Jiwo," kata Ratu Duyung pula.
"Tapi turut keteranganmu yang memukulmu adalah seorang gadis."
"Kau tahu siapa adanya gadis berpakaian merah yang mencelakai dirimu itu?"
bertanya Purnama. Wiro menggeleng.
"Lalu kenapa kau tadi menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantili?"
tanya Gondoruwo Patah Hati.
"Perempuan itu menghilang setelah kuhalangi waktu dia hendak membunuh Wira Bumi
Patih Kerajaan. Aku tengah mencarinya.
Karena aku merasa bertanggung jawab jika sesuatu sampai terjadi dengan dirinya.
Begitu pesan salah seorang guruku."
"Aku menyirap kabar ada tiga orang tokoh berkepandaian tinggi tewas sewaktu
berlangsung pesta besar di Gedung Kepatihan.
Apakah itu pekerjaan Nyi Retno Mantil?" Bettanya Purnama.
Murid Sinto Gendeng mengangguk.
"Wiro, bagaimana perasaanmu sekarang?" bertanya Ratu Duyung.
"Aku merasa sehat. Astaga. Kalian semua telah menolongku. Aku masih belum
mengucapkan terimakasih! Jeleknya adatku!"
Pendekar 212 lalu membungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang pada ke
empat orang itu.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan" Masih mau mencari Nyi Retno Mantili,"
tanya Naga Kuning.
Wiro pegang bahu si bocah "Aku tidak tahu, Mungkin...."
"Wiro," memotong Ratu Duyung.
"Aku hanya sekedar rnengingatkan. Bukankah kita berdua di minta datang ke gunung
Gede oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas?"
"Aku ingat. Pesan itu disampaikan melalui Eyang Sinto Gendeng.Tapi kurasa tidak
ada perlunya lagi. Kiai Gede Tapa Pamungkas minta kita datang ke tempat
kediamannya dengan membawa Pedang Naga Merah yang pernah dimiliki paderi
perempuan Loan Nio. Pedang itu sudah diambil oleh Eyang Sinto sewaktu terjadi
pertempuran di Gedung Kadipaten Losari. Pasti pedang sudah diantar dan
diserahkan sendiri oleh Eyang Sinto pada Kiai!"
"Aku ingat sekali kejadian di Gedung Kadipaten Losari," kata Ratu Duyung pula.
"Walau sudah mendapatkan Pedang Naga Merah tapi gurumu yang saat itu bersama
kakek Tua Gila sebelum pergi masih berkata agar aku dan kau tetap harus menemui
Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Berarti ada alasan lain mengapa Eyang Sinto tetap menyuruh kita menemui Kiai
Gede. Kalau kau tidak ingin kesana karena ada urusan lain, aku tetap akan
menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti yang dikatakan Eyang Sinto."
Wiro menggaruk kepala.Tak bisa rnenjawab. Naga Kuning dekati Wiro, berjingkat
lalu berbisik "Wiro, kalau aku jadi kau lebih baik jalan bersama si cantik
bermata biru ini. Dari pada mencari perempuan kurang waras yang punya anak kayu
itu." "Mulutmu sama jabriknya dengan rambutmu!" kata Wiro sambil tusukkan telunjuk
tangan kanannya ke perut Naga Kuning. Membuat si bocah meliuk kegelian.
Setelah beberapa saat akhirnya Wiro berkata. "Kurasa memang ada perlunya kita
menemui Kiai GedeTapa Pamungkas. Namun kalau tidak keberatan Ratu, kau boleh
pergi lebih dulu. Aku menyusul beberapa hari berselang."


Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu maumu, aku berangkat sekarang juga." Kata Ratu Duyung pula lalu
tanpa banyak bicara lagi dia tinggalkan tempat itu.
"Wiro, seharusnya kau pergi sama-sama dengan sahabatmu itu."
Berkata Purnama.
"Jika kau tak mau jalan bersamanya biar aku yang menemaninya.
"Habis berkata begitu gadis dari Latanahsilam ini segera mengejar Ratu Duyung.
Wiro terdiam tapi berpikir. Dalam hati dia berkata.
"Aku kawatir, Purnama ingin menemani Ratu Duyung. Jangan-jangan ada yang ingin
diketahuinya mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas meminta aku dan Ratu Duyung
datang. Dia ingin menyirap kabar. Kalau-kalau ...."
''Wiro,'" kata Naga Kuning.
"Aku yakin Ratu Duyung kecewa dengan sikapmu. Bahkan Purnama bisa menyelami hati
gadis bermata biru itu."
"Mungkin tindakanku keliru dan menyakitkan hati orang," sahut Wiro.
"Tapi saat ini Patih Kerajaan terancarn keselamatannya hendak dibunuh oleh Nyi
Retno Mantili. Jangan-jangan Patih itu memang sudah dibunuh."
"Apa sebenarnya kepentinganmu sampai membela dan melindungi Patih Kerajaan
begitu rupa?" bertanya Gondoruwo Patah Hati.
"Setahuku Wira Bumi bukan orang baik. Bukankah kita semua sudah tahu kalau dia
berguru pada nenek jahat Nyai Tumbal Jiwo, lalu punya niat keji membunuh bayinya
sendiri, juga istrinya sendiri."
"Aku bukan membela dan melindungi Wira Bumi. Justru aku membela Nyi Retno
Mantili dan bayinya. Karena seseorang punya pesan padaku. Bayi itu akan
diserahkan pada ibunya pada malam Satu Suro mendatang di satu tempat di pantai
selatan." "Satu Suro masih cukup lamadari sekarang:' kata Naga Kuning.
"Selain itu kau mau-mauan secara tolol mencelakai diri sendiri untuk menolong
orang." "Aku menolong siapa saja yang aku suka. Semua tanpa pamrih.
Kukira hal itu sudah menjadi pegangan semua orang-orang rimba persilatan." Jawab
Wiro. Lalu menyambung ucapannya."Aku juga dipesankan menjaga keselamatan Nyi
Retno agar kelak bisa bertemu dengan puterinya dan diharapkan sembuh dari
penyakit kehilangan ingatan. Kalau perempuan itu keburu mati, apa tidak kasihan
pada sang bayi?"
"Kalau aku boleh tahu, dimana bayi itu sekarang?" tanya Gondoruwo Patah Hati
pula. "Di tanah seberang. Di Pulau Andalas. Dalam pemeliharaan seorang Datuk yang diam
di dekat Danau Maninjau!" Jawab Wiro.
Tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat dari balik pohon besar.
"Hai! Kau!"
Wiro sempat melihat gerakan orang dan cepat mengejar. Namun yang dikejar lenyap
seperti ditelan bumi.
"Siapa?" tanya Gondowwo Patah Hati.
"Gadis baju merah muda yang memukulku."
"Pasti dia sembunyi sejak tadi di balik pohon itu. Jangan-jangan dia mendengar
semua pembicaraan kita." Kata Gondowwo Patah Hati.
"Kawan-kawan, aku terpaksa meninggalkan kalian berdua." Kata Wiro.
"Kau mau kernana"!" tanya Gondoruwo Patah Hati.
"Aku belum tahu.Tapi aku punya firasat bayi Nyi Retno Mantili dalam bahaya!"
jawab Wiro lalu berkelebat pergi ke arah lenyapnya bayangan merah tadi. Sambil
lari murid Sinto Gendeng terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia melengak kaget
ketika melihat jauh di depan sana seorang nenek berambut merah, bertubuh tinggi
kerempeng berlari cepat ke arah selatan tanpa selembar benang pun menutupi
auratnya. Wiro percepat lari agar bisa mengejar.
Namun di satu lembah kecil dia kehilangan jejak.
"Apakah nenek bugil itu yang memukulku"Tidak mungkin. Aku ingat sekali. Yang
memukul seorang gadis cantik ...." Wiro akhirnya hentikan lari sambil garukgaruk kepala. "Nenek itu menuju selatan. Kawasan laut. Apa aku harus menyelidik kesana" Lalu
bagaimana dengan Nyi Retno?" Wiro juga ingat Ratu Duyung dan Purnarna. Dan tibatiba saja dia ingat pada kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu yang terakhir
muncul sebagai Dewi Pemikat.
(Baca serial Wiro Sableng "Petaka Patung Kamasutra", "Misteri Bunga
Noda","lnsanTanpa WajahW,"Sang Pemikat", "Topan Di Gurun Tengger" dan
NyawaTitipan) "Nek, apa kau ada di sini" Aku ingin ketemu dan bicara denganmu,"
kata Wiro dengan suara perlahan.
"Wuuuttt!"
Satu bayangan hitam berkelebat. Bau pesing menebar. Yang muncul bukan nenek alam
roh kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tapi sang guru Eyang Sinto Gendeng
ditemani kakek sakti yang dikenal dengan panggilan Tua Gila! Temyata sang guru
masih berdua-dua dengan kekasih lama. Wiro cepat-cepat memberi penghormatan
dengan membungkuk dalam-dalam.
"Eyang Sinto, Kakek Tua Gila terima penghormatanku!"
Mulut perot Sinto Gendeng pencong ke kiri. Susur yang tersembul diarnbil dengan
tangan kanan. Lalu keluar ucapannya yang sudah tidakasing lagi.
"Anak setan! Kau ternyata kesasar ke sini. Bukankah aku sudah memberi tahu agar
kau segera menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede?"
"Anu Nek, bukankah Pedang Naga Merah sudah nenek ambil sendiri
..." "Anu. ..anumu geblek! Aku tidak bicara soal Pedang Naga Merah.
Aku bicara soal permintaan guruku dan perintah dariku!"
"Ratu Duyung sudah berangkat duluan Nek Nanti aku menyusul ..."
"Dasar tolol! Kau belum budek waktu dulu aku bicara! Kau dan Ratu Duyung harus
sama-sama menemui Kiai GedeTapa Pamungkas!"
"Kalau begitu aku akan berangkat sekarang juga. Cuma, kalau aku boleh tahu Kiai
Gede mau bicara apa, Nek?"
"'Mana aku tahu"!"
Tua Gila pegang bahu Sinto Gendeng.
"Sinto, sebaiknya kau katakan saja terus terang pada muridmu."'
"Begitu?" sepasang mata si nenek berputar lalu mulutnya berucap.
"Anak setan. Kaiau kau memang ingin tahu lebih dulu baik aku katakan! Kiai
GedeTapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung! Selarna
ini kau petatang peteteng kemana-mana seperti kuda liar. Sudah saatnya kau hidup
punya pasangan!"
"Tapi Eyang Sinto ...."
"Tapi apa" Dulu kau diributkan sudah kawin bahkan menghamili Wulan Srindi. Di
negeri Latanahsilarn konon kau juga sudah kawin dengan nenek jelek yang mukanya
seperti burung nazar!
Hik ... hik! Belakangan ini kau kawin dengan perempuan bernama Nyi Retno Mantili
dan punya anak boneka kayu! Hik ... hik ... Apa kau mau hidup gila seperti itu
terus-terusan"!"'
"Nek, aku ...."
"Sudah! Aku tahu apa yang hendak kau katakan. Kau mau bilang belum ingin kawin!
lya kan"! Kau masih ingin jadi kuda liar punya segudang simpanan gadis
cantik ..."
"Nek, maksudku bukan begitu ..."
"Sudah! Aku tidak mau dengar ucapan apapun darimu. Pokoknya sebelum bulan
purnama muncul kau sudah harus menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas!"
Sinto Gendeng tarik tangan Tua Gila. Sepasang kakek nenek sakti itu berkelebat
lenyap dari hadapan Wiro. Sang pendekar sendiri jatuhkan diri, duduk di tanah
sambil garuk-garukdan goleng-goleng kepala. Ucapan sang guru terngiang kembali
di telinganya. "Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung."
Wiro baringkan diri di tanah, menatap ke langit lepas. Namun yang dilihatnya
adalah bayangan wajah-wajah Bunga, Anggini, Bidadari AnginTimur, Purnama dan Nyi
Retno Mantili. Hatinya berucap.
"Eyang kau cuma bisa memaksakan kehendak. Menyuruh aku kawin. Kau sendiri
seumur-umur sampai jadi tua bangka kisut tidak pernah kawin!"
Sambil pejamkan mata hatinya kembali bicara."Ratu Duyung, kau seperti memaksa
ingin cepat-cepat menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau sudah tahu bahwa
Kiai akan membicara kan soal perjodohanmu dengan diriku ... ?"
* * * TUJUH DI DALAM Goa Girijati di pantai selatan. Wira Bumi yang telah kembali ke ujud
aslinya, sambil menatap ke arah laut luas berkata, ternyata pukulan Telapak Roh
tidak membuat Pendekar Dua Satu Dua menemui ajal. Selama dia masih hidup berarti
kita akan mengalami kesulitan untuk membunuh Nyi Retno Mantili dan bayinya. Lalu
bagaimana dangan keampuhan ilmu kesaktian yang kumiliki"'"
Nyai Tumbal Jiwo yang tidak tampak ujudnya menjawab dengan suara mengiang ke
telinga sang murid. "Kau tidak perlu kecewa Wira Bumi. Dari ucapan pemuda itu
yang kau dengar sendiri, kita sudah mengetahui kira-kira dimana beradanya bayi
Nyi Retno Mantili.
Mengenai ilmu kesaktianmu, selama aku bisa masuk ke dalam tubuhmu kau tak perlu
kawatir." "Kalau begitu mengapa Nyai tidak pergunakan ilmu kesaktian untuk mengambil dan
membawa bayi itu kesini. Bukankah Nyai bisa memindahkan benda yang ada di tempat
jauh" Seperti dulu Nyai mampu mengambil golok besar milik saya dari tempat
kediaman saya sewaktu masih menjadi Tumenggung?"
"Jangan keliru Wira Bumi. Golok adalah benda rnati. Sedang bayi adalah benda
hidup, benda bernyawa. llmu kesaktianku tidak punya kemampuan untuk mengambil
benda hidup. Selain itu bayi Nyi Retno pasti dipagari satu kekuatan hebat. Tidak
sembarang orang bisa mendekatinya. Apa lagi hanya mempergunakan ilmu kesaktian
dari jarak jauh. Termasuk golok milikmu yang kini entah berada di mana. Senjata
itu sudah dilindungi orang yang menguasainya."
Wira Bumi merasa kecewa. Tapi dia tidak mau mengatakan. Dia mengalihkan
pembicaraan. "Nyai, kau tahu sebagai Patih Kerajaan saya tidak mungkin
meninggalkan Kotaraja terlalu lama. Besok atau paling lambat lusa saya harus
kembali.'"
"Aku mengerti. Aku tengah memikirkan sesuatu. Mengatur rencana bagaimana caranya
kita bisa mendapatkan bayi itu. Begitu matahari terbenam kita sama-sama
bersamadi. Sebelum tengah malam aku yakin kita sudah mendapat jalan. Paginya
kita sudah tahu dimana keberadaan bayi itu. Malamnya kau sudah bisa kembali ke
Gedung Kepatihan walau sebenarnya tempat ini lebih aman karena sudah
kupagari.Tidak ada orang bisa menemui goa ini selain kita berdua."
"Nyai punya rencana apa" Boleh saya tahu?"
"Aku akan menghubungi Ratu Pantai Utara. Kesaktiannya memang tidak sehebat Nyai
Roro Kidul, tapi dia bisa kita andalkan untuk minta tolong. Lagi
pula kedua orang itu sejak lama telah berseteru. Kita bisa memancing di air
keruh." "Kawasan pantai utara jauh dari sini. Bagaimana mungkin Nyai mampu menghubungi
Ratu Pantai Utara dalam waktu cepat?"
Di telinga Wira Bumi terdengar ngiang tawa cekikikan Nyai Tumbal Jiwo.
"Kekasihku, serahkan semua padaku. Bila aku berhasil jumlah hari penantian saat
aku mampu unjukkan diri akan berkurang lagi setengahnya. Hik ... hik. Tiga puluh
hari dimuka kita sudah bisa bercumbu bermesraan lagi.Tidakkah kau kangen akan
aku yang bagus mulus hangat menggelora ... ?"
"Saya memang kangen Nyai. Saya serahkan semua pada Nyai.
Saya percaya pada Nyai ..." jawab Wira Bumi.
* * * KAWASAN lstana Emas tiga menara di dasar samudera selatan.
Genta besar berbunyi bertalu-talu. Tanda bahaya! Sesuatu telah terjadi! Semua
penghuni geger. Ratusan pengawal bersenjata tombak biru yang terdiri dari gadisgadis cantik berpakaian minim melesat ke delapan penjuru angin dasar samudera.
Menutup jalan keluar dan jalan masuk. Berjaga-jaga sepanjang Tembok Karang
Abadi. Jangankan penyusup, seekor ikan pun tidak akan mampu menyelinap tembus.
Nyi Roro Manggut, nenek sakti kepercayaan Nyai Roro kidul datang menghadap sang
Ratu. 'Nyi Roro Manggut, aku sudah tahu apa yang terjadi. Hanya saja silahkan kau
bicara. Aku mau tahu lebih jelas." Kata sang Ratu begitu si nenek membungkuk di
hadapannya sambil mangut-manggut.
Junjungan Ratu Samudera Selatan, mohon maaf beribu maaf.
Mohon ampun beribu ampun. Batu mustika Angin Laut Kencana Biru lenyap dari
tempat rahasia penyimpanannya."
Seperti diketahui batu sakti bernama Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dapat
dipergunakan untuk pergi ke satu tempat jauh hanya dalam bilangan kejapan mata.
Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung pernah mempergunakannya ketika menolong
pendekar 212. "Terakhir sekali batu mustika itu dipinjam oleh Ratu Duyung, tapi telah
dikembalikan," menjelaskan Nyi Roro Manggut, nenek sakti tangan kanan
kepercayaan Nyai Rota Kidul. "Setelah dikembalikan, pagi tadi diketahui batu
sakti tersebut lenyap tanpa bekas."
"Jelas ada orang yang mencuri. Sesuai kesaktiannya batu pasti dipergunakan untuk
pergi ke satu tempat jauh. Nyi Roro Manggut.
telusuri melalui limu Menjajag Raga Menjajag Keringat...."
"Saya sudah melakukan Ratu. Nyatanya orang itu tidak mempunyai raga, tidak
meninggalkan jejak. Dia juga tidak berkeringat ...."
"Berarti dia bukan manusia biasa. Dia mahluk alam roh. Nyi Roro Manggut kau tahu
siapa saja mahluk alam roh yang gentayangan di dunia luar sana?"
Si nenek manggut-manggut dulu beberapa kali baru menjawab.
"Saat ini banyak sekali mahluk dari alam roh yang berkeliaran.
Sebagian besar dari mereka adalah orang orang dari negeri seribu dua ratus tahun
silam yang disebut latanahsilam. Saya tidak tahu mereka satu persatu ..."
"Siapa saja yang kau kenal" Aku mencium yang punya perbuatan adalah mahluk alam
roh perempuan karena aku mencium bau kembang melati."
"Yang saya tahu adalah mahluk cantik bernama Pumama. Gadis ini dari
Latanahsilam. Lalu ada Bunga, gadis alam roh dari tanah Jawa.
Kemudian seorang nenek sakti dikenal sebagai kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar
Tilu. Lalu ada gadis bernama Luhrembulan.
Seperti Purnama dia juga berasal dari negeri Latanahsilam. Masih ada seorang
nenek alam roh asal tanah Jawa dikenal dengan panggilan Nyai Tumbal Jiwo. Hanya
itu yang saya tahu Junjungan Ratu!"
Nyai Roro Kidul angkat kepala sedikit lalu picingkan mata sekejap dan mencium
dalam-dalam. Kemudian penguasa samudera selatan yang luar biasa cantik ini
berkata. "Aku mendapat petunjuk dari cahaya dan bebauan. Semua mahluk alam roh itu
terkait dengan murid nenek sakti dari Gunung Gede Sinto Gendeng ..."
"Maksud Ratu, Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng?" tanya Nyi Roro Manggut.
"Betul. Sahabatmu itu masih saja dikungkung kesulitan. Kurasa lewat dia kau akan
mampu menjajagi siapa yang mencuri batu mustika sakti dan kemana dia menuju.
Selain itu kau juga harus menerapkan ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak
Jantung. Kalaupun dia memang mahluk alam roh kau pasti bisa mengetahui siapa orangnya.,
dimana beradanya. Lakukanlah, tapi hati-hati Nyi Roro Manggut. Aku punya
perasaaan ada seseorang yang tahu seluk beluk ke adaan kawasan kita yang ikut
berperan dalam lenyapnya batu pusaka itu. Kau juga harus mencari tahu siapa
adanya orang ini. Isyarat memberi tahu orang itu berada di sebelah utara."
Nyi Roro Manggut membungkuk dalam-dalam. "Kalau Ratu menyebut orangnya ada di
kawasan utara, mungkin saya sudah bisa menduga siapa dia adanya."
Nyai Roro Kidul mengangguk. Dia mengepalkan jari-jari tangan kanan, ketika
kepalan jari dibuka di telapak tangannya ada sebuah batu bulat berwarna merah.
"Nyi Roro Manggut, masukkan batu ini ke dalam kepalamu lewat ubun-bun. Semoga
Gusti Allah melindungi dimana kau berada, apapun yang kau lakukan."
Sepasang mata Nyi Roro Manggut membesar berkilat, kepala manggut-manggut. Mulut
yang perot sunggingkan senyum gembira.
Dia tahu, jarang sekali sang Ratu menyerahkan batu itu pada orang
kepercayaannya.
"Terima kasih Ratu telah mempercayakan Batu Cahaya Rembulan Dan Matahari untuk
saya bawa". Si nenek ambil batu berwana merah, letakkan di atas ubm-ubun. Begitu
tangan tekan batu masuk ke dalam kepala.Wajah si nenek tampak cerah dan dia
kelihatan jauh lebih muda. Kerut-kerut di wajah dan tangannya hilanng. Si nenek
terheran-heran, mengusap wajah dan tangan berulang kali.
Nyai Roro Kidul tersenyum.
'Nyi Roro Manggut, pergilah."
Si nenek membungkuk. "Saya siap melaksanakan tugas. Saya minta diri dan mohon
restu Ratu."
Setelah Nyi Roro Manggut berlalu Nyai Roro Kidul turun dari singgasana.
Melangkah ke balik tirai biru yang begemerlap taburan batu-batu permata
berkilat. Di ujung ruangan di balik tirai biru terdapat sebuah tembok bening.


Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seolah kaca tembus pandang di belakang tembok kelihatan pemandangan laut yang
indah sekali. Di bagian tengah tampak sebuah gundukan batu berwarna kuning emas.
Di atas gundukan batu emas ini berdiri seorang pemuda berambut panjang sebahu,
berpakaian. Putih mernegang sebuah kapak bermata dua di tangan kiri.
"Pendekar Dua Satu Dua ... !" ucap Nyai Roro Kidul.
"Jadi benar petunjuk yang aku terima. Dirimu terlibat dalam urusan pelik. Bukan
cuma urusan nyawa manusia, tetapi juga urusan cinta.
Kuharap kau bisa menghadapi semuanya ..."
Nyai Roro Kidul melangkah mendekati tembok tembus pandang. Di belakang sana
sosok Pendekar 212 turun dari atas gundukan batu emas. Lalu melangkah ke arah
tembok Nyai Roro Kidul memberi isyarat lalu tempelkan telapak tangan kanannya ke
tembok tembus pandang. Wiro melakukan hal yang sama. Dua telapak tangan saling
bertempelan, terpisah oleh tembok tembus pandang.
Satu kilatan kecil Menyilaukan berpijar di antara dua telapak tangan.
Nyai Roro Kidul bersurut satu langkah. Telapak tangan kanan bergetar. Getaran
mengalir sejuk masuk ke sekujur tubuh. Sesaat sang Ratu perhatikan telapak
tangannya lalu ditempelkan ke hidung.
"Harum segar bau kayu cendana. Ah, temyata dia masih perjaka."
Nyai Roro Kidul tersenyum. Ketika sosok Pendekar 212 di balik tembok tembus
pandang perlahan-lahan berubah samar dan akhirnya lenyap, sang Ratu balikkan
tubuh, tinggalkan tempat itu masuk kedalam sebuah kamar besar dan bagus. Sambil
berbaring menelentang di atas ranjang yang empuk kembali telapak tangannya
diletakkan di atas hidung.
"Luar biasa, benar-benar aku tidak menyangka. Berarti apa yang aku dengar selama
ini tentang dirinya hanya gunjing fitnah belaka ...."
Sang Ratu berucap dalam hati."Aku menyirap kabar ada orang yang ingin
menjodohkannya dengan Ratu Duyung. Apakah hal itu akan benar-benar terjadi" Apa
mereka memang saling mencinta?"
* * * DELAPAN Nyi Kuncup Jingga berlutut dihadapan perempuan yang duduk di kursi. besar
berlapis emas dalam ruangan besar terang benderang dan berhawa sejuk. Perempuan
ini walau sudah berusia lebih dari empat puluh tahun namun masih memiliki wajah
cantik jelita, tubuh bagus dan mulus. Sepasang mata dengan bola mata kelabu
memperhatikan segala sesuatu dengan pandangan tajam terkadang dingin. Pakaian
biru kelam panjang yang dikenakannya di belah tinggi di sisi kiri kanan hingga
menyibakkan Sepasang paha gempal putih sampai ke pangkal pinggul. Di kepala
bertahta sebuah mahkota emas bertabur batu permata langka aneka warna.
Nyi Kuncup Jingga sendiri adalah seorang nenek berkepala aneh.
Wajah bewarna ungu, bibir tebal dower merah seperti diselomoti darah. Dua mata
bengkak seolah terpejam. Kepala di bagian atas lebih kecil dibanding dagu dan
pipi. Rambut jarang kelabu. Tidak salah kalau namanya Nyi Kuncup jingga.
"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Kuncup Jingga datang untuk
memberi tahu. Ada seorang tamu minta bertemu dengan Sri Paduka Ratu. Tamu itu
seorang gadis cantik jelita mengaku bernama Nyl Wulas Pikan. Saat ini dia masih
berada di teluk Losari. Dijaga oleh lima orang Abdi Kawal."
Perempuan cantik yang dipanggil Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara
bertanya."Apa kepentingannya?"
"Dia membutuhkan pertolongan Sri Paduka Ratu. Jika Sri Paduka Ratu berkenan
menolong maka selesai urusan dia akan menyerahkan sebuah benda sakti mandraguna
pada Sri Paduka Ratu. Perlu Sri Paduka Ratu ketahui, dari penjajagan saya gadis
itu datang dari kawasan pantai selatan."
Sri Paduka Ratu tersenyum.
"Bawa gadis itu ke hadapanku!"
Nyi Kuncup Jingga segera bangkit berdiri, membungkuk lalu sekali berkelebat
sosoknya lenyap dari ruangan.Tak selang berapa lama si nenek telah melesat
keluar dari dalam laut utara dan rnuncul di Teluk Losari. Saat itu tepat tengah
hari. Sang surya bersinar terik membuat perih jangat walau angin laut bertiup
cukup kencang. Di depan sederetan pohon kelapa, lima orang lelaki yang disebut
Abdi Kawal mengelilingi seorang gadis cantik berpakaian hijau muda.
Melihat kedatangan Nyi Kuncup Jingga, lima pengawal segera membungkuk rnernberi
jalan. "Sri Paduka Ratu telah mengizinkan gadis ini datang menghadap.
Kalian boleh pergi." Lima Abdi Kawal tidak menunggu lebih -lama segera melompat
masuk ke dalam laut. Nyi Kuncup Jingga memberi tanda agar si gadis mengikutinya.
"Kita akan masuk ke dalam Iaut."
Menerangkan Nyi Kuncup Jingga.
"Tapi Nek, aku tidak punya kemampuan berenang apa lagi menyelam ..." kata si
gadis yang mengaku benarna Nyi Wulas Pikan.
Si nenek tertawa. Bia ulurkan lengan kiri. Pegang tanganku. Setelah itu tak ada
yang perlu kau kawatirkan ."
Nyi Wulas Pikan pegang lengan kiri si nenek. Nyi Kuncup Jingga usap tangan si
gadis."Mulus sekali ..."
katanya sambil senyum-senyum. Lalu cup ... cup! Dia-mengecup tangan putih Nyi
Wulas Pikan. "Nek.." Nyi Wulas kegelian juga merasa heran. Si nenek sentakkan lengan, tubuh
melesat ke udara. Nyi Wulas Pikan ikut melayang.
Sesaat kemudian kedua orang itu lenyap masuk ke dalarn laut utara.
* * * NYI Wulas Pikan melangkah menaiki tangga batu pualam berkilat mengikuti si
nenek. Di mana-mana kelihatan banyak pengawal lelaki dan perempuan.
, "Nek, apakah saat ini kiia berada di dalam laut?" Bertanya Nyi Wulas Pikan.
"Betul."
"Mengapa tidak ada air laut" Mengapa kita tidak basah?" Nyi Kuncup Jingga
tertawa. "Sudah, jangan banyak bertanya. Kita akan segera masuk ke tempat Sri Paduka Ratu
Penguasa Laut Utara. Jika kau sampai di hadapannya harap pergunakan peradatan.
Cepat-cepat jatuhkan diri berlutut, sebut namamu dan ucapkan salam hormatmu. Apa
kau mengerti?"
"Saya mengerti Nek," jawab si gadis berpakaian biru muda.
"Ada satu hal lagi yang kau mengerti!" Ucap Nyi Kuncup Jingga.
"Hal apakah itu, Nek?" tanya Nyi Wulas Pikan.
"Jika semua urusanmu sudah selesai, sebelum kembali ke selatan kau harus
menginap di tempat kediamanku barang beberapa malam untuk bersenang-senang."
Nyi Wulas Pikan tatap wajah ungu si nenek. Dia hendak bertanya namun di
telinganya mengiang satu suara.
"Jawab saja ya. Nenek ini tua bangka aneh yang suka sesama jenis."
"Baik Nek, saya akan menginap di tempat kediamanmu,'" berkata Nyi Wulas Pikan.
Si nenek tampak gembira.
Memasuki sebuah ruangan besar Nyi Wulas Pikan melihat seorang perempuan cantik
duduk di atas kursi emas. Si nenek memberi tanda. Begitu sampai di hadapan
perempuan yang duduk di kursi, Nyi Wulas Pikan segara berlutut.
"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Wulas Pikan.Terima salam hormat
saya. Saya datang dari jauh untuk mohon pertolongan Sri Paduka Ratu." Perempuan
cantik di atas kursi tatap sosok Nyi Wulas Pikan mulai dari ujung rambut sarnpai
ke kaki lalu sunggingkan senyum.
"Nyi Wulas Pikan, harap kau perlihatkan dulu Sosok dirimu yang sebenamya! Baru
kita bicara!"
Gadis berpakaian biru muda bernama Nyi Wulas Pikan sembunyikan rasa terkejutnya
Si Pemanah Gadis 7 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Sepasang Golok Mustika 1

Cari Blog Ini