Ceritasilat Novel Online

Delapan Sukma Merah 1

Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG DELAPAN SUKMA MERAH
Sumber: Kitab 212 (Bastian Tito)
EBook: Fujidenkikagawa
WIRO SABLENG DELAPAN SUKMA MERAH
ucing putih terkapar di tangga candi. Seperti
Kkesetanan delapan anak kucing merah langsung
membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok kucing putih lenyap, bahkan
tulangnyapun tidak bersisa.
Di atas pohon Ratu Randang yang bersembunyi dibalik kerimbunan dedaunan merasa
tengkuk menjadi dingin, bulu kuduk merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa
yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana nasib dirinya kalau tadi sampai
terlambat keluar dad sosok kucing putih itu. "Delapan anak kucing merah.
Binatang apa mereka"
Binatang sungguhan atau jejadian" Benjolan merah di kening. Jumlah yang delapan.
Mereka pasti ada hubungan dengan dua Sinuhun keparat itu...!"
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
1 UJAN rintik-rintik masih terus turun walau langit Htampak cerah. Candi Kalasan
menjulang gagah
meski banyak bagian candi rusak dan tertutup lumut karena tidak terawat. Konon
candi ini dibangun puluhan tahun silam oleh Raja Kedua dalam silsilah Mataram
Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran.
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Tabir Delapan Mayat) ketika
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Empat Mayat Aneh berada di halaman candi, tibatiba menggelegar suara mengorok keras. Begitu memandang ke bagian belakang
candi, Wiro melihat satu sosok raksasa menyembul, melebihi tingginya candi!
Mahluk ini mengenakan jubah biru tak berkancing
menyibak dada penuh ditumbuhi bulu. Kepala botak
memiliki sebuah tanduk berwarna merah. Kumis dan
janggut serta sepasang alis hitam berkilat, mencuat ke atas. Mahluk mengerikan
ini memiliki sepasang mata besar menjorok keluar, berwarna putih dengan titik
kecil aneh di sebelah tengah. Dari balik candi dia mengangkat tangan kiri,
menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng sambil hembuskan nafas yang
memerihkan mata.
"Arwah Ketual" Ucap Wiro. Lalu pada Empat Mayat Aneh yang ada di dekatnya, Wiro
memberi tahu. "Sebelumnya mahluk ini bermaksud jahat hendak membunuhku. Kali ini
kalau dia hendak melakukan kembali, aku tidak perduli larangan Sepasang Arwah
Bisu! Aku akan menghabisinya!"
Empat Mayat Aneh saling pandang mendengar ucapan
Wiro. "Pemuda keparat! Lancangnya kau berani menyebut langsung namaku! Semua orang di
Bhumi Mataram memanggilku dengan sebutan Kanjeng!" Arwah Ketua memaki marah. Tanduk di
kepalanya pancarkan cahaya merah terang.
Wiro pencongkan mulut lalu prett! Keluarkan suara seperti orang kentut.
Mayat Aneh Kedua berkata. "Aku mencium bau amis."
"Bau amis itu adalah bau amis sosok Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang disusupkan
masuk ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ini semua perbuatan jahat keji Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Aku menaruh kasihan pada mahluk
raksasa ini. Tapi kalau dia memang ingin membunuhku, apa boleh buat. Aku
terpaksa menghabisinya lebih dulu!"
"Kalau dalam tubuhnya memang ada roh jahat Ketua Jin Seratus Perut Bumi, lebih
baik serahkan pada kami.
Biar kami menguliti!" Kata Mayat Aneh Ketiga lalu memberi isyarat pada tiga
saudaranya. "Kalian akan mengulitinya" Seperti menguliti kerbau"!"
tanya Wiro sambil menggaruk kepala heran. "Ah, ini satu ilmu baru yang ingin
sekali aku menyaksikannya!"
Empat Mayat Aneh saling mendekat lalu tempelkan dua tangan satu sama lain.
" Delapan Pahat Pengikis Arwah!"
Empat Mayat Aneh serentak sama keluarkan seruan.
"Sreettt!"
Gulungan kain putih yang membungkus sepasang
tangan Mayat Aneh bergulung membuka sampai ke
pergelangan. Delapan tangan tersingkap.
"Dess! Dess! Dess! Desss!"
Ujung tangan yang seharusnya berupa lima jari ternyata berubah berbentuk sebuah
pahat besar. Delapan pahat angker terpentang berkilau saking tajamnya.
Mahluk raksasa Arwah Ketua kembali keluarkan suara mengorok. Demikian hebatnya
hingga tanah bergetar.
Mulut menyeringai memperlihatkan gigi dan taring besar tajam mengerikan. Tangan
kanan diletakkan di bagian atas candi lalu mencengkeram seolah siap hendak
mematah menghancurkan.
Melihat hal ini Mayat Aneh Kesatu usap mata, Mayat Aneh Kedua mengusap mulut
sambil menunjuk ke arah candi dan berteriak.
"Mahluk raksasa! Siapapun kau adanya! Jika kau berani merusak Candi Kalasan biar
kami berempat mewakili kemurkaan Para Dewa!"
"Siapa takut murkanya Dewa!" jawab Arwah Ketua takabur. "Junjunganku adalah
Sinuhun Merah Penghisap Arwah!"
"Jelas sudah! Jelas sudah kaki tangan siapa mahluk ini adanya!" Berkata Mayat
Aneh Keempat. Arwah Ketua kembali menyeringai. Tampangnya yang
angker tampak kaku membesi. Tangan kanan diturunkan ke partengahan bangunan
candi. Lalu sambil keluarkan teriakan menggelegar dia membuat gerakan mendorong.
"Rrreeekkkkkk!"
Candi Kalasan bergoyang keras lalu bergeser ke depan hampir setengah tombak!
Empat Mayat Aneh cepat
melompat berpencar. Dua ke samping kiri candi, dua lainnya ke sebelah kanan
candi. Sementara Wiro sendiri menyaksikan apa yang dilakukan Arwah Ketua
terkagum-kagum, sesaat jadi lupa kalau mahluk raksasa ini punya niat hendak
membunuhnya. "Saudara-saudaraku! Saat menguliti sudah tiba!
Lakukan sekarang juga!" Berteriak Mayat Aneh Kesatu.
Empat Mayat Aneh kemudian melesat ke udara.
Delapan tangan berbentuk pahat menderu ke arah Arwah Ketua.
"Mahluk-mahluk salah ujud! Kalian memang sudah saatnya disingkirkan dari Bhumi
Mataram untuk selama-lamanya!" Membentak Arwah Ketua. Dua tangan dipentang ke
udara. Dua telapak tangan dikembang lalu digerakkan dibolak balik! Tidak ada
sambaran angin, tidak ada getaran, bahkan tidak ada suaral Namun saat itu juga
Empat Mayat Aneh dapatkan diri mereka yang tengah melesat di udara dan hanya
tinggal sepejangkauan dari sosok lawan tiba-tiba mengapung tak mampu bergerak.
Naik tidak, turunpun tidak!
" Ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah! " Teriak Mayat Aneh Kesatu yang
mengenali nama ilmu kesaktian yang dikeluarkan Arwah Ketua untuk menyerang diri
dan tiga saudaranya.
"Celaka kita semua!" Berteriak Mayat Aneh Ketiga.
"Pelihara mulut hanya bicara kebaikan! Mengapa menyumpahi diri sendiri!
Pergunakan akal! Menangkal serangan memakai kesaktian lawan! Lekas kalian
menyirap membayangkan Batu Asmasewu yang ada dalam tubuh Arwah Ketua! Pasti
tembus!" Yang berteriak adalah Mayat Aneh Kedua.
Batu Asmasewu adalah sebuah batu sakti luar biasa, berukuran seujung ibu jari
tangan, berwarna hijau bergemerlap. Batu sakti ini selalu dibawa kemana-mana
oleh Arwah Ketua karena berada di dalam rongga dadanya.
Setelah berteriak, diikuti oleh tiga saudaranya Mayat Aneh Kedua pejamkan mata
membayangkan sosok tubuh Arwah Ketua di bagian dada!
"Celaka!" Mayat Aneh Keempat berteriak.
Menyusul Mayat Aneh Ketiga berseru. "Batu Asmasewu tidak terlihat di dalam tubuh
mahluk raksasa itu!"
"Jangan-jangan sudah digasak Sinuhun keparat!" Teriak Mayat Aneh Kesatu.
Arwah Ketua yang masih berada di belakang Candi
Kalasan tertawa bergelak.
"Ajal kalian sudah di depan mata! Ha ...ha...ha!"
Mayat Aneh Keempat gerakkan tangan hendak
menekap bagian bawah perut tapi sampai saat itu dia sama sekali tidak mampu
menggerakkan tangan ataupun kaki. Namun mahluk ini tidak kehabisan akal.
" Air Dosa Penangkal llmu Gaib!" Teriak Mayat Aneh Keempat.
Tiga Mayat aneh lainnya tersentak kaget lalu!
"Rrrrttttt! "
"Edan!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak kaget ketika menyaksikan apa yang
terjadi. Gulungan kain putih yang membungkus bagian bawah perut Empat Mayat Aneh
bergulung membuka. Empat burung lucu tak bersayap mencuat keluar lalu serrrrr!
Empat larik air kencing menderu deras ke arah sosok Arwah Ketua.
"Jahanam kurang ajar!" Arwah Ketua memaki marah.
Tampangnya yang garang tampak berubah. Sementara
Empat Mayat Aneh tertawa haha-hihi. Arwah Ketua
keluarkan suara mengorok keras. Mahluk raksasa ini cepat melompat mundur
menghindari siraman empat larik air kencing. Namun serangan aneh berupa semburan
air kencing itu tidak semuanya dapat dihindari!
Arwah Ketua menggeliat dan berteriak keras ketika ada sebagian curahan air
kencing menyiprat mengenai pipi kiri serta membasahi bahu kanan.
"Tembus!" Teriak Mayat Aneh Keempat.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
2 EGITU air kencing mengenai kepala dan bahunya,
B ilmu kesaktian Arwah Ketua Menahan Angin
Menggantung Arwah yang menguasai Empat Mayat Aneh sera merta menjadi musnah.
Saat itu juga Empat Mayat Aneh mampu menggerakkan lagi dua tangan dan kaki.
Sementara gulungan kain putih di bagian bawah perut kembali bertaut, Empat Mayat
Aneh melesat dua tombak ke atas, jungkir balik satu kali lalu secepat kilat
melayang turun ke arah Arwah Ketua. Delapan tangan berbentuk pahat besar dan
luar biasa tajam menderu mengerikan.
Arwah Ketua mengorok marah. Dua tangan dipentang
untuk melindungi diri dengan ilmu yang disebut Seribu Arwah Menutup Awan Memagar
Langit. Namun delapan tangan berbentuk pahat besar keburu menyusup. Lalu
terdengar suara sett...sett berulang kali disertai teriakan kesakitan
menggelegar dari mulut Arwah Ketua. Dari tempatnya berdiri Wiro hanya melihat
cahaya delapan pahat berkiblat tiada henti. Beberapa kejapan mata berlalu tibatiba braakkk! Satu benda aneh terkapar di halaman candi, tepat di depan Pendekar 212 Wiro
Sableng membuat murid Sinto Gendeng tersurut kaget dua langkah. Hidung mencium
bau amis luar biasa santar. Mata mendelik memperhatikan.
Padahal saat itu dia tengah memikirkan sesuatu. Yaitu air kencing Empat Mayat
Aneh yang mampu memusnahkan
ilmu kesaktian Arwah Ketua. Dia coba mengingat-ingat dan menghubungkan hal yang
barusan disaksikan dengan satu kejadian lain di masa lalu. Namun jalan
pikirannya jadi buyar. Ketika dia menatap ke depan, astaga!
Satu benda aneh menyerupai kulit binatang teronggok di tanah setinggi pinggang.
Bagian yang berasal dari kepala memiliki cula merah, kumis, alis serta janggut
hitam. Bagian dada dipenuhi bulu! Lalu ada bagian membentuk dua tangan dan kaki. Wiro
merasa tengkuknya merinding dingin.
"Ilmu menguliti mahluk.... Delapan Pahat Pengikis Arwah," ucap Wiro dengan suara
bergetar. "Apa ini benar tubuh Arwah Ketua yang telah dikuliti" Lalu mana ujud
asalnya" Mana tulang belulangnya" Tidak ada daging, tidak ada darah!"
Wiro melirik ke arah Empat Mayat Aneh. Empat mahluk itu ternyata dalam keadaan
tegak mematung. Gulungan kain putih yang menutup kepala, di bagian mulut tampak
berwarna merah. Wiro terkejut.
"Mereka terluka di dalam...."
Baru saja Wiro keluarkan ucapan tiba-tiba satu benda merah panas menyala laksana
ular besar dan panjang melesat ke arah lehernya.
Walau belum jelas mengetahui benda apa yang
menyerang Wiro cepat jatuhkan diri sambil menghantam dengan pukulan Kilat
Menyambar Puncak Gunung.
Satu raungan keras menggelegar di tempat itu.
Memandang ke depan Wiro melihat sosok Ketua Jin
Seratus Perut Bumi yang kaki kirinya buntung sebatas paha terjajar beberapa
langkah ke belakang. Benda merah panas yang bukan lain adalah lidah panjangnya
putus di sebelah tengah. Bagian yang terlampar ke udara berubah menjadi kobaran
api lalu lenyap. Bagian lidah yang masih berada dalam mulut kepulkan asap merah
disertai hamparan bau amis!
"Mahluk jahanam dari alam delapan ratus tahun mendatang! Hari ini aku mengadu
nyawa denganmu!"
Ketua Seratus Jin Perut Bumi keluarkan ancaman.
Suaranya sember karena lidah telah menjadi pendek. Dua tangan dipentang.
Didahului teriakan keras mendadak sontak dua lengan menjulur panjang dan sepuluh
jari mencuat berubah menjadi cakar elang raksasa!
"Breettt!"
Baju Pendekar 212 robek di bagian dada terkena
sambaran cakar tangan kiri Ketua Seratus Jin Perut Bumi.
Empat Mayat Aneh yang baru saja selesai mengobati luka dalam mereka dengan cara
menghimpun hawa sakti gaib berseru kaget.
"Sahabat! Biar kami habisi mahluk laknat alam roh ini!"
Teriak Mayat Aneh Ketiga.
"Yang satu ini bagianku!" Jawab Wiro lalu tidak menunggu lebih lama dia melesat
ke udara. Dua kaki menderu mengirimkan tendangan berantai ke arah muka Ketua
Seratus Jin Perut Bumi.
"Praakk.... praakk!"
Wajah Ketua Seratus Jin Perut Bumi remuk di bagian dagu dan pipi kiri. Namun
sosoknya tetap berdiri malah menggereng garang seperti harimau terluka.
Hebatnya, dagu dan pipi yang hancur sesaat kemudian kembali bertaut seperti
semula! Tampang menyeringai, mulut terbuka lalu meniup!
"Wusss!"
Satu gelombang angin amis berwarna kehitaman
menderu menyambar ke arah Pendekar 212. Bersamaan dengan itu dua tangan Ketua
Jin Seratus Perut Bumi berkelebat ke depan. Gerakan yang luar biasa cepat nyaris
menelikung tubuh Wiro kalau Empat Mayat Aneh tidak menghalangi dengan serangan
delapan tangan yang masih berbentuk pahat besar!
"Crass! Crasss!"
Dua pahat menghunjam lengan kiri kanan. Ketua Jin Seratus Perut Bumi mengerang
pendek lalu dukk! Kaki kanannya yang masih utuh berhasil menendang Mayat Aneh
Ketiga hingga mencelat mental dan jatuh di atas peti mati. Megap-megap sebentar
lalu diam tak berkutik, entah mati entah sudah menemui ajal!
Tiga Mayat Aneh lainnya berteriak marah. Mereka siap menyerbu namun Wiro yang
tidak mau membuang waktu segera berteriak.
"Sahabat bertiga lekas menyingkir!"
"Kau mau melakukan apa" Mahluk keparat ini telah membunuh saudara kami Mayat
Aneh Ketiga. Biar kami.....
" Berteriak Mayat Aneh Keempat.
"Kalau begitu kalian lekas menolong Mayat Aneh Ketiga sebelum rohnya minggat!"
balas berteriak Wiro.
Tiga Mayat Aneh merasa kurang senang. Ketika mereka memandang ke arah Wiro. Saat
itulah mereka melihat satu cahaya putih menyilaukan menderu dahsyat keluar dari
tangan kanan pemuda yang mereka kenal dengan sebutan Kesatria Panggilan itu.
Mayat Aneh Keempat cepat dorong dua saudaranya
hingga terpelanting jatuh lalu dia sendiri jatuhkan diri bergulingan di tanah.
"Wusss!"
Sinar putih menderu dahsyat. Seantero halaman Candi Kalasan mendadak sontak
menjadi panas luar biasa.
Melihat datangnya serangan dahsyat begitu rupa dan sebelumnya sudah mengetahui


Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai dimana kehebatan ilmu kesaktian Wiro, Ketua Jin Seratus Perut Bumi tidak
berani membalas serangan dengan serangan pula.
Secepat kilat dia amblaskan diri ke dalam tanah. Tapi baru sebatas pinggul masuk
ke dalam tanah, Pukulan Sinar Matahari menghajar tubuhnya!
Maka terjadilah satu pemandangan mengerikan. Tubuh sebelah atas Ketua Seratus
Jin Perut Bumi hancur lebur menjadi puluhan cabikan gosong! Sosok sebelah bawah
yang amblas di dalam tanah kepulkan asap menebar bau amis.
Tiga Mayat Aneh tidak memperhatikan apa yang terjadi dengan Ketua Jin Seratus
Perut Bumi. Mendengar teriakan Wiro tadi mereka memang jadi kawatir akan keadaan
Mayat Aneh Ketiga.
Mayat Aneh Kedua berbisik.
"Tugas kita membawa gadis kaki satu itu sudah selesai.
Soal orang tua yang dulu menyuruh kita tidak ada di sini itu bukan urusan kita
lagi! Lebih baik kita segera menolong Saudara Ketiga dan pergi dari sini!"
Tiga Mayat Aneh lantas belompatan ke arah peti mati.
Sesaat kemudian peti itu mengeluarkan suara menderu.
Dari bagian dasar peti menyembur cahaya hitam
kecoklatan. Di lain kejap peti mati telah melesat tinggi ke udara.
Wiro merasa hanya meminta Tiga Mayat Aneh menolong saudaranya, bukan pergi
meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak berteriak memanggil tiba-tiba wuttt!
Dari dalam tanah melesat kutungan tubuh bagian
bawah Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Kaki kiri buntung sebatas paha. Ketika Wiro
memperhatikan kaki kanan mahluk jin ini kejutnya bukan kepalang. Kaki kanan yang
masih utuh sebatas lutut kebawah tampak berwarna putih perak serta mengeluarkan
hawa panas. "Kaki itu seperti tanganku yang menyirap Pukulan Sinar Matahari,"
pikir Pendekar 212. Bagaimana mungkin!"
Tiba-tiba kaki kanan menendang ke depan.
"Wuss!"
Selarik sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa panas menyerupai Pukulan
Sinar Matahari, bedanya yang datang ini berupa tendangan, menderu ke arah Wiro.
"Gila!" Teriak Wiro.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
3 ETIKA cahaya putih panas yang menyerang Wiro
Kberkiblat di udara sekonyong-konyong ada orang
berseru. "Kalian bermain petir-petiran! Mengapa aku tidak diajak!"
Lalu ada teriakan susulan.
"Manusia tolol! Lekas menyingkir! Kau mau mampus! itu bukan petir!"
Seorang mengenakan pakaian merah muda melesat
turun dari atas satu pohon besar di halaman Candi Kalasan. Tidak perduli
peringatan orang dia tetap saja berkelebat menyongsong datangnya sambaran cahaya
putih perak panas menyilaukan yang melesat dari kaki kanan Ketua Seratus Jin
Perut Bumi. Lalu dengan kedua tangannya ujung cahaya putih ditangkap, dibuntal
sambil berguling-guling di tanah! Tertawa haha-hihi seperti anak kecil yang
kegirangan bermain-main!
Siapa lagi yang punya kemampuan aneh, hebat dan gila seperti itu kalau bukan
gadis langka Jaka Pesolek yang berjuluk Si Penangkap Petir! Sebelumnya dia juga
pernah menangkap serangan Lentera Iblis yang dilancarkan Pangeran Matahari alias
Kesatria Roh Jemputan yang disangkanya petir. Saat itu Jaka Pesolek tidak
mengalami cidera sebaliknya pecahan serangan Lentera Iblis
memusnahkan puluhan Jin Perut Bumi. Sang Ketua sendiri putus paha kirinya ( Baca
serial sebelumnya berjudul "Jaka Pesolek Penangkap Petir")
Selagi Wiro masih terkesiap kaget sekaligus kawatir kalau kali ini Jaka Pesolek
akan menemui celaka karena membuntal Sinar Matahari, Ketua Seratus Jin Perut
Bumi yang sosoknya hanya berupa buntungan sebatas pinggang ke bawah memutar
tubuh ke arah si gadis. Di udara terdengar suara bentakan keras.
"Mahluk jahanam! Banci keparat! Kau membunuh puluhan anak buahku! Kau juga yang
membuat kaki kiriku buntung! Kau muncul tanpa kucari! Sekarang kau ikut aku ke
neraka alam roh! Tapi nyawamu harus minggat dulu dari tubuhmu yang salah
kaprah!" Kaki kanan yang masih berwarna putih perak dan panas kembali menendang. Kali ini
tanpa menyemburkan cahaya.
Namun jika sampai menghantam Jaka Pesolek pada
bagian dada yang diincar, kejap itu juga gadis itu akan meregang nyawa dengan
dada jebol tembus sampai ke punggung, tubuh hangus!
Wiro yang merasa dirinya telah diselamatkan Jaka
Pesolek dari serangan balik Sinar Matahari yang
dilancarkan Ketua Seratus Jin Perut Bumi melompat satu tombak ke udara lalu dari
atas melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Tanah ke arah kutungan tubuh
Ketua Seratus in Perut Bumi. Namun dia kalah cepat dengan Jaka Pesolek yang
punya gerakan kilat.
Marah karena dirinya dimaki banci keparat Jaka
Pesolek berteriak.
"Ihhh! Tubuh tinggal sepotong! Mulut saja tidak punya!
Masih bisa bicara tak karuan! Ini makan pencarianmu!"
Jaka Pesolek kemudian lemparkan buntalan cahaya
putih yang ada di kedua tangannya.
"Wusss!"
Cahaya putih yang sebenamya adalah cahaya Pukulan Sinar Matahari menderu ke
depan lalu! "Blaarr!"
Satu letusan dahsyat menggelegar. Potongan tubuh
Ketua Seratus Jin Perut Bumi bertaburan ke udara dalam bentuk ratusan keping
tulang dan daging! Asap hitam bau amis mengepul memenuhi halaman Candi Kalasan.
Di kejauhan terdengar suara mahtuk meraung beberapa kali.
Ketika suara raungan lenyap dan asap hitam pupus, lapat-lapat terdengar suara
aneh. Suara kucing mengeong, banyak sekali!
Wiro yang masih mengapung di udara dan tadi hendak melepaskan pukulan sakti
untuk menghajar potongan tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi sesaat merasa
tercekat namun kemudian cepat-cepat melayang turun mendatangi Jaka Pesolek yang
tertelentang di tanah dengan tubuh mengepul. Wiro ulurkan tangan untuk
membantu si gadis bangkit berdiri. Ketika tangannya bersentuhan dengan tangan
Jaka Pesolek, Wiro tersentak kaget dan kibas-kibaskan tangannya. Tangan Jaka
Pesolek panas laksana api!
"Oala! Aku belum mengeluarkan sisa panas di dalam tubuhku." Kata Jaka Pesolek.
Nafas ditahan di bagian perut lalu berlahan-lahan mulut meniup. Kepulan asap
putih panas keluar dari dalam mulut, liang hidung dan telinga.
Sesaat kemudian tampak gadis ini tersenyum.
"Sobatku hebat! Kau tidak apa-apa?" Tanya Wiro yang saat itu masih dalam keadaan
membungkuk. "Ah, aku senang bertemu kau lagi," jawab Jaka Pesolek lalu enak saja dua
tangannya dipagutkan ke leher Wiro. Si gadis berusaha menarik Wiro ke bawah agar
wajah mereka saling bersentuhan.
Tiba-tiba ada suara teriakan.
"Jaka Pesolek! Awas di belakangmu!"
"Wiro ada serangan cahaya merah di depanmu!"
Wiro yang dalam keadaan membungkuk tersentak
kaget. Ketika dia mengangkat kepala di atasnya berkelebat ganas delapan larik
cahaya merah pekat.
"Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!"
Kembali ada yang berteriak.
Kedudukan dirinya tidak memungkinkan Wiro untuk
menangkis serangan ganas itu. Yang bisa dilakukannya adalah segera menjatuhkan
diri, bergulingan di tanah bersama Jaka Pesolek.
Sinar merah menyambar. Hampir bersamaan dari
sebuah pohon besar melesat dua larik sinar lain. Satu bercahaya biru, satu lagi
berwarna hijau. Kelihatannya dua sinar ini berusaha menangkis atau memotong
serangan cahaya merah. Namun cahaya merah melesat lebih cepat.
"Bummm!"
Delapan dentuman menggelegar secara bersamaan.
Saat itu juga di halaman Candi Kalasan tampak menguak delapan lobang besar
dikobari api. Tanah yang atau muncrat ke udara berhamburan ke bawah mengotori
tubuh serta pakaian Wiro dan Jaka Pesolek.
"lhhh! Aku takut! Ada orang membuat liang kubur untuk kita! Tapi mengapa sampai
delapan"!" Jaka Pesolek keluarkan ucapan sambil kencangkan rangkulannya di tubuh
Wiro. "Gadis konyol! Kau sudah diselamatkan! Sekarang jangan pergunakan kesempatan mau
bersuka-sukaan!
Pura-pura ketakutan tapi niatmu sebenarnya hanya ingin memeluk pemuda itu!"
Dua orang berkelebat dari atas pohon besar. Salah seorang diantaranya menarik
dua tangan dan kaki Jaka Pesolek yang dirangkulkan ke punggung dan pinggang
Pendekar 212. "Hik...hik! Siapa yang mau bersuka-sukaan"! Enak saja bicara!"
Jaka Pesolek terpaksa lepaskan rangkulan lalu
melompat bangun sementara Wiro juga sudah berdiri sambil mesem-mesem. Keduanya
membersihkan tanah
yang menutupi pakaian dan mengotori rambut serta wajah.
Memandang berkeliling keduanya melihat di tempat itu kini telah ada Ratu Randang
dan Kunti Ambiri alias Dewi Ular.
Jaka Pesolek tahu kalau yang tadi bicara adalah Ratu Randang. Setelah mencibir
pada si nenek dia berkata.
"Nek, aku tahu kau cemburu. Tapi jangan kelewatan.
Aku baru sekali ini memeluknya. Kau sendiri sudah puluhan kali menciumnya!
Hik...hik!"
Wajah si nenek cantik bersemu merah. "Gadis bengal!
Jaga mulutmu! Jangan sampai kutampar!" Mengancam Ratu Randang.
Jaka Pesolek menyahuti. "Nek, kita sudah senasib. Kita sudah bersahabat, jangan
galak-galak padaku."
Wiro garuk-garuk kepala. Sekali memperhatikan dia melihat kalau bulu-bulu halus
seperti kumis tipis di atas bibir Jaka Pesolek tidak ada lagi. Lalu dia menoleh
ke arah Kunti Ambiri yang berdiri sambil memegang delapan kuntum kecil Bunga
Matahari. "Heran, mengapa wajah gadis alam roh ini tampak jernih ayu tidak galak seperti
biasanya" Di tangannya ada delapan Bunga Matahari kecil. Dari mana dia
mendapatnya?" Wiro membatin. Ketika dia berpaling pada Ratu Randang, kembali
Wiro terheran-heran. Dilihatnya nenek itu lebih cantik dan lebih muda dari
sebelumnya. Raut tubuhnyapun tampak lebih molek.
"Nek..."
"Apa"! Barusan matamu kulihat jelalatan memandang.
Ayo, ada apa"!"
"Anu Nek...Hemmm, bibirmu kulihat tidak jontor lagi."
"Kalau tidak jontor memangnya kenapa" Apa kau mau membuat jontor lagi"!"
"Nek! Kau sendiri mengundang pemuda ini untuk bersuka-sukaan! Jelas kau mau
minta dicium `kan"!" Jaka Pesolek berteriak yang segera dibentak oleh Ratu
Randang. Wiro berpaling pada Dewi Ular.
"Kunti, kau menyuruhku datang ke Candi Kalasan ini.
Ketika aku pertama kali sampai di sini aku menemui Empat Mayat Aneh. Aku sengaja
rnenyelinap masuk ke dalam peti mati. Ternyata peti itu kosong. Sahabat kita
Dewi Kaki Tunggal tidak ada di dalam peti. Lalu muncul mahluk raksasa bernama
Arwah Ketua...."
"Kami bertiga sempat melihat apa yang terjad di sini.
Kami berada di atas pohon besar sana," menjawab Kunti Ambiri. "Cuma mengenai
lenyapnya Dewi Kaki Tunggal memang merupakan satu hal yang mengherankan...."
Tiba-tiba Wiro ingat pada sosok Arwah Ketua yang tadi dikuliti Empat Mayat Aneh.
Onggokan kulit tubuh, tangan, kaki serta kepala Arwah Ketua masih tidak bergeser
dari tempat semula. Puluhan lalat entah dari mana datangnya mengerubungi.
"Apa yang akan kita lakukan dengan onggokan kulit ini?" Wiro minta pendapat.
"Mengapa dipusingkan" Bakar saja!" Berkata Jaka Pesolek.
Tiba-tiba terdengar suara mengorok keras. Seperti orang marah. Siapa yang
mengorok tidak ketahuan.
Keempat orang itu sama-sama terkejut dan saling
pandang. Wiro perhatikan lagi onggokan kulit setinggi pinggang lalu gelengkan
kepala. "Aku melihat onggokan kulit itu seperti hidup. Apa kalian tidak melihat ada
gerakan berdenyut-denyut?"
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
4 EMBALI terdengar suara mengorok. Kali ini lebih
Kperlahan dan halus.
"Kita datang kesini bukan untuk mengurusi kulit busuk itu," kata Jaka Pesolek.
"Lagi pula bukankah mahluk itu sebelumnya hendak membunuhmu"!"
"Dia bertindak diluar sadar karena dirasuk mahluk jin yang dimasukkan Sinuhun
keparat ke dalam tubuh dan otaknya. Jin itu sudah menemui ajal di tanganmu, kita
harus menolong Arwah Ketua. Jika dia hidup lagi aku rasa sifatnya kembali
seperti semula. Bukan mahluk jahat.
Mungkin dia bisa membantu kita," kata Wiro pula.
"Menolongnya" Oala! Apa yang kini terjadi atas dirinya sudah pantas diterimanya
sebagai hukuman dari Para Dewa!" Menyahuti Jaka Pesolek.
"Wiro, bagaimana kita menolongnya" Kau bisa
melakukan apa?" Ratu Randang bertanya.
Wiro menggaruk kepala. Dia menatap ke arah candi.
Lalu memandang ke langit.
"Terus terang aku sendiri memang tidak tahu
bagaimana menolong mahluk ini. Mungkin untuk
sementara kulitnya kita masukkan saja ke dalam Candi Kalasan biar rohnya tenang
dan tidak gentayangan."
Saat itu terdengar lagi suara mengorok halus. Wiro melirik ke arah onggokan
kulit tubuh Arwah Ketua. Hatinya bimbang tapi nyata-nyata suara mengorok itu
datang dari arah onggokan kulit.
"Candi adalah bangunan suci. Tidak pantas menjadi tempat mahluk busuk dan jahat
seperti Arwah Ketua!" Lagi-lagi Jaka Pesolek mengatakan ketidak senangannya.
Wiro menggaruk kepala kembali. Ketika pandangannya membentur delapan kuntum
kecil Bunga Matahari di
tangan Dewi Ular maka diapun bertanya.
"Kunti, dari mana kau dapat delapan Bunga Matahari kecil itu. Aku ingat bunga
yang besar dibawa kabur Jaka Pesolek. Sekarang dimana bunga itu."
Jaka Pesolek mengangkat bahu.
"Bunga Matahari besar telah berubah menjadi delapan Bunga Matahari kecil"
Menerangkan Dewi Ular.
"Bagaimana mungkin?"
"Nyi Loro Jonggrang yang melakukan."
Saat itu Wiro lebih memperhatikan raut wajah serta sikap Dewi Ular dari pada
mendengarkan apa yang
diucapkannya. Raut wajah gadis cantik ini tidak garang seperti yang selama ini
dilihatnya. Sikapnya tidak kaku dan sombong. Lalu gerak geriknyapun tampak
anggun. Dan kemudian Wiro juga menyadari kalau nada suara si gadis terdengar
agak lembut. "Wiro, apakah kau mendengarkan apa yang barusan dikatakan Kunti Ambiri?" Ratu
Randang bertanya, diam-diam merasa tidak suka melihat Wiro memperhatikan si
gadis lama-lama dan hampir tidak berkesip.
"Ya, aku mendengar, Nek." Jawab Wiro. Lalu pada Dewi Ular dia bertanya. "Kunti,
Nyi Loro Jonggrang itu...maksudmu patung Nyi Loro Jonggrang di Candi Prambanan?"
Dewi Ular mengangguk.
"Patung itu muncul dari dalam telaga. Luar biasa hebat dan hidup. Bisa bergerak
bisa bicara." Kata Dewi Ular pula.
Wiro jadi ingat ketika atas permintaan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal dia
membawa Bunga Matahari besar dan Ni Gatri menemui patung Nyi Loro Jonggrang di
Candi Siwa yang berada di kawasan Prambanan. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Sepasang Arwah Bisu")
"Luar biasa. Bagaimana ceritanya"!" Tanya Wiro pula.
"Kunti sebaiknya segera saja kau beritahu pada Wiro apa yang telah terjadi.
Jangan lupa menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang." Berkata Ratu Randang.


Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kunti Ambiri kemudian menceritakan mulai dari saat dia bersama Ratu Randang dan
Jaka Pesolek berada di satu telaga lalu tiba-tiba muncul patung Nyi Loro
Jonggrang. "Patung cantik dan sakti itu menolong dan memberi berkah pada kami bertiga. Nyi
Loro Jonggrang pula yang merubah Bunga Matahari besar hingga menjadi delapan
Bunga Matahari kecil. Nyi Loro kemudian menyuruh kami agar cepat-cepat datang ke
Candi Kalasan ini. Ada pesan untukmu dan delapan Bunga Matahari kecil ini harus
aku serahkan padamu."
Wiro ingat ucapan kakek sakti Kumbara Gandamayana tentang Candi Kalasan. Dia
ingin mengetahui apa ada kaitan antara yang dikatakan Nyi Loro Jonggrang dan
yang pemah diucapkan Dewi Ular. "Kunti, tunggu dulu.
Sebelumnya kau juga mengatakan akan menungguku di candi ini. Apakah itu ada
hubungannya dengan permintaan Nyi Loro Jonggrang."
Dewi Ular menggeleng lalu menerangkan. "Aku minta kau datang ke sini karena
ketika masih berhubungan dengan dua Sinuhun, aku pernah mendengar mereka
bercakap-cakap dan mengatakan Candi Kalasan akan
mereka jadikan sebagai salah satu benteng dan tempat rahasia dari keberadaan
satu benda sangat bertuah."
"Benda apa?" tanya Wiro.
"Aku tidak pasti." Jawab Dewi Ular. "Mereka menyebut benda itu Mahkota di atas
Mahkota." "Mahkota Kerajaan masih ada di tangan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi." Ratu
Randang ikut bicara.
Tiba-tiba Dewi Ular ingat sesuatu. Dia menggerakkan tangan kiri meraba ke atas
kepala dimana berada sebuah mahkota kecil terbuat dari perak berbentuk kepala
ular, bermata batu mustika hijau. Mahkota perak ini adalah pemberian Sinuhun
Merah Penghisap Arwah pengganti mahkota asli yang terbuat dari emas. Seperti
diketahui pada waktu itu baik Sinuhun Merah maupun Sinuhun
Muda sama-sama berpantang tidak boleh bersentuhan dengan emas murni. Saat itu
Dewi Ular baru menyadari keanehan bahwa mahkota masih ada di atas kepalanya
padahal sebelumnya dia bersama mahkota perak telah tercebur ke dalam telaga.
"Aku rasa tidak ada gunanya lagi aku memakai mahkota ini. Nyi Loro mengatakan
aku telah berubah secara lahir dan batin. Aku mohon jangan ada lagi pada semua
sahabat yang ada di sini memanggilku dengan nama Dewi Ular..."
Wiro terheran-heran mendengar ucapan Dewi Ular.
Dalam hati Wiro berkata. "Aneh, tapi kelihatannya gadis ini benar-benar telah
mengalami perubahan. Mudah-mudahan saja dia tidak menipu."
Habis keluarkan ucapan Dewi Ular tanggalkan mahkota perak dari atas kepala lalu
dilempar ke tanah. Tidak sengaja mahkota yang dilempar jatuh di atas onggokan
kulit tubuh Arwah Ketua. Saat itu juga mahkota perak mental ke udara. Lima
tombak di atas tanah mahkota meledak. Puluhan kepingan berubah menjadi asap
kuning bercampur hitam lalu lenyap dari pemandangan. Onggokan kulit tubuh Arwah
Ketua tampak bergerak-gerak sementara suara mengorok terdengar berulang kali.
Tiba-tiba saja Wiro ingat pada ilmu kesaktian yang dimilikinya yaitu yang
didapat dari Ratu Duyung.
Dengan cepat Wiro menerapkan Ilmu Menembus
Pandang. Saat itu juga dia melihat, di dalam onggokan kulit ada sosok Arwah
Ketua mengkerut bergelung. Wajah
tampak memelas. Sepasang mata menatap sayu ke arah Wiro. Mulut terbuka bergerakgerak. Lalu sayup-sayup Wiro mendengar ngiangan suara di telinganya.
"Aku mohon, masukkan aku ke Candi Kalasan. Lakukan dengan tendangan kaki kanan.
Jangan mempergunakan lebih dari sepertiga tenaga dalammu. Dari Candi Kalasan aku
akan mencari jalan sendiri ke tempat kediamanku di Candi Miring. Aku tidak akan
melupakan budi baikmu."
"Arwah Ketua...apakah kau yang barusan bicara?" Wiro bertanya ingin meyakinkan.
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara
mengorok halus.
"Wiro,kau barusan bicara dengan siapa?" Ratu Randang bertanya. Ketika tadi Arwah
Ketua mengeluarkan ucapan, nenek ini dan juga Kunti Ambiri hanya mendengar suara
perlahan tidak jelas.
Wiro tidak perdulikan pertanyaan Ratu Randang
melangkah mendekati onggokan kulit. Sambil melangkah dia melihat ke jurusan
pintu depan Candi kalasan yang berada dalam jarak sekitar lima tombak dari
onggokan kulit.
"Aku diminta tolong. Aku harus menendang. Aku harus mempergunakan tidak lebih
dari sepertiga tenaga dalam.
Mengapa?" Kembali Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang.
Walau onggokan kulit masih bergerak berdenyut-denyut namun di dalamnya Wiro
tidak melihat lagi sosok Arwah Ketua. Setelah membuang kebimbangan yang ada
dalam hatinya Wiro lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua.
"Wuuuuttt!"
Kaki kanan menendang ke arah onggokan kulit.
Puluhan lalat yang mengerubung beterbangan lenyap ke udara.
"Dess!"
Wiro merasa seperti menendang tumpukan kapas!
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
5 UNDUKAN besar onggokan kulit mencelat ke udara
lalu melesat ke arah pintu depan Candi Kalasan.
G Hanya satu jengkal onggokan kulit itu akan lenyap masuk ke dalam Candi Kalasan
mendadak dari langit sebelah timur menyambar delapan larik sinar merah.
" Delapan Arwah Sesat Menembus Langit menyerang lagi! Awas ada cahaya kuning
menyertai!" Teriak Ratu Randang. Si nenek langsung pukulkan dua tangan ke udara.
Dua cahaya biru berkiblat. Dewi Ular juga tidak tinggal diam. Sambil sedikit
merunduk dia menghantam ke atas. Dua sinar hijau menggebubu.
"Kalian menyingkir saja. Biar aku menangkap serangan gila itu!" Jaka Pesolek
berteriak. Tapi sebelum sempat bergerak bahunya telah dipegang Wiro dengan
tangan kiri sementara tangan kanan melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam
Matahari. Satu cahaya putih menyambar ke udara.
Langit laksana runtuh, tanah bergetar hebat. Candi Kalasan bergoyang-goyang
ketika bentrokan beberapa sinar sakti menimbulkan dentuman dahsyat, menggelegar
dua kali disertai taburan cahaya api. Wiro dan Jaka Pesolek jatuh terduduk ke
tanah. Si gadis langsung terkulai pingsan. Wiro cepat menolong. Di tempat lain
Dewi Ular dan Ratu Randang terhempas jatuh, megap-megap
beberapa saat sebelum mampu berdiri dengan wajah
pucat. Wiro turunkan tangan kanan yang tadi memukul. Di
kejauhan tiba-tiba terdengar lagi suara aneh,suara kucing mengeong riuh.
"Nek, Kunti, kalian terluka di dalam..." Wiro berseru.
"Aku baik-baik saja," jawab Ratu Randang.
"Aku juga!" ucap Dewi Ular.
Kedua perempuan yang berpura-pura ini tersenyum lalu sama mengusap pinggiran
mulut yang ada lelehan
darahnya. "Ada kekuatan lain menyertai serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit," kata
Ratu Randang. "Aku juga melihat. Ada cahaya kuning agak redup melapisi cahaya merah!" kata
Wiro. Melihat akibat yang ditimbulkan yaitu sampai ketiga orang itu menderita
cidera Wiro yakin kalau kekuatan yang menyertai serangan delapan sinar merah
tadi bukan cuma berasal dari Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah.Tapi ada satu
kekuatan lain yang lebih dahsyat.
"Ah sayang aku tidak bisa menangkap delapan petir itu!"
Terdengar ucapan Jaka Pesolek yang baru saja siuman setelah ditolong Wiro.
Ratu Randang dan Dewi Ular cepat-cepat mengobati
luka dalam masing-masing dengan cara mengerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti ke dada. Wiro membantu dengan menempelkan telapak
tangan kiri kanan ke
punggung kedua orang itu sambil mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Setelah
batuk-batuk beberapa kali baik Ratu Randang maupun Dewi Ular tampak cerah merah
kembali wajah mereka.
"Kalian bertiga, apakah tadi juga mendengar suara kucing mengeong?" Wiro
bertanya. Jaka Pesolek menggeleng. "Mana mungkin ada kucing di sekitar sini."
Ratu Randang clan Dewi Ular sama-sama mengatakan
bahwa mereka memang mendangar suara kucing
mengeong. Dan ini merupakan kali kedua suara aneh itu terdengar.
Wiro tiba-tiba ingat pada onggokan kulit Arwah Ketua yang tadi ditendangnya.
Apakah berhasil masuk ke dalam Candi Kalasan atau musnah terkena serangan
delapan sinar merah. Dengan cepat dia berlari ke arah candi langsung masuk ke
dalam. Jaka Pesolek, Ratu Randang dan Dewi Ular sesaat saling pandang lalu
menyusul mengikuti Wiro.
Di dalam candi sama sekali tidak ditemukan onggokan kulit Arwah Ketua. Namun
pada salah satu dinding dalam candi terlihat guratan membentuk tulisan
berbunyi : Jangan tinggalkan candi. Mahkota di atas Mahkota ada di sini.
Sesuatu akan terjadi pada saat sang surya berada di titik tertinggi. Arwah
Ketua. "Onggokan kulit Arwah Ketua lenyap. Menurut kalian apakah guratan tulisan ini
benar Arwah Ketua yang membuat" Bagaimana kalau ada satu mahluk lain
melarikan kulit Arwah Ketua lalu membuat tulisan sebagai jebakan?" Wiro bertanya
sambil memandang pada tiga orang di hadapannya.
Jaka Pesolek hendak menjawab tapi Ratu Randang
memberi isyarat agar dia menutup mulut.
"Mungkin aku bisa mencari tahu dan membuktikan apa gurat tulisan itu memang
Arwah Ketua yang membuat."
Kata Ratu Randang lalu melangkah mendekat dinding. Dua telapak tangan dikembang
dan diusapkan di atas dinding candi tepat di permukaan guratan tulisan. Dua kaki
digeser-geser ke lantai batu. Perlahan-lahan mulutnya berucap menyebut nama ilmu
yang akan disirap. " Tangan Langit Kaki Bumi."
Tiba-tiba dess!
Gurat tulisan di dinding candi mengepulkan asap
kelabu. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar suara mengorok.
"Tulisan di dinding memang Arwah Ketua yang
membuat." Berkata Ratu Randang sambil menurunkan kedua tangan dan mengusap
wajah. Wiro merasa lega. "Berarti mahluk raksasa itu berada dalam keadaan selamat dan
saat ini dia tengah dalam perjalanan ke Candi Miring tempat kediamannya."
"Bagaimana kau tahu kalau Arwah Ketua tinggal di Candi Miring?" tanya Ratu
Randang. "Ketika masih berbentuk onggokan kulit, dia memberi tahu padaku lewat suara
mengiang," jawab Pendekar 212.
Dia kembali memperhatikan tulisan di dinding. "Kalian mau menunggu sampai tengah
hari seperti yang ditulis Arwah Ketua?" Wiro bertanya.
"Sebaiknya memang begitu," jawab Ratu Randang.
"Mahkota di atas Mahkota, aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan." Dewi
Ular berkata sambil duduk di tangga candi.
"Kalau aku bicara jangan kalian melecehkan," berkata Jaka Pesolek.
"Memangnya kau mau bicara apa?" tanya Dewi Ular.
Dewi Ular bertanya baik-baik, tapi Jaka Pesolek
menjawab dengan bergurau mempermainkan.
"Sobatku cantik, maksudku aku belum mau bicara soal celana dalam pemberian Nyi
Loro Jonggrang. Aku belum akan memberikannya padamu. Selain masih enak dan
sejuk celana ini mantap dipakainya. Hik...hik...hik!"
Tahu dipermainkan Dewi Ular tenang-tenang saja balas mempermainkan Jaka Pesolek.
"Silahkan kau pakai dan jangan dicuci-cuci. Apa kau tidak tahu itu bukan celana
dalam sembarangan" Anumu bisa berjamur dan gatalan! Anumu bisa ubanan!
Hik...hik...hik!" Dewi Ular lalu lalu tertawa cekikikan.
"Jaka Pesolek, apa sebenarnya yang hendak kau katakan"!" Ratu Randang bertanya.
"Ah, kalau kau yang bertanya Nek, aku mau memberi jawaban apa adanya," sahut
Jaka Pesolek. Lalu si gadis menyambung. "Menurut pengertianku, yang disebut
Mahkota di atas Mahkota itu adalah sebuah benda yang jauh lebih berharga dari
Mahkota Raja Mataram. Dan seperti yang ditulis si mahluk raksasa benda itu ada
di Candi Kalasan sini."
Wiro perhatikan wajah si gadis dan dalam hati
membatin. "Gadis ini bukan cuma pandai menangkap petir tapi otaknya juga jalan."
Wiro lalu berkata pada yang lain-lainnya. "Empat Mayat Aneh membawa Dewi Kaki
Tunggal ke tempat ini. Sayang mereka sudah pergi hingga tak bisa ditanyai. Tapi
sebelum pergi mereka memberi tahu bahwa ada seseorang yang menyuruh mereka
membawa Dewi Kaki Tunggal ke sini. Menurut mereka orang itu adalah seorang Empu bernama
Semirang Biru..."
Ratu Randang keluarkan suara tertahan. Wiro berpaling pada si nenek. "Nek Ratu,
apa kau kenal Empu itu?"
"Cukup kenal. Dia adalah Empu yang diperintahkan Sri Maharaja Mataram untuk
membuat sebuah senjata sakti berupa sebilah keris yang diberi nama Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi. "
"Hal itu memang dijelaskan oleh Empat Mayat Aneh,"
kata Wiro pula. "Tapi Empat Mayat Aneh tidak sempat meneruskan keterangan karena
tiba-tiba muncul Arwah Ketua yang ujudnya telah disusupi Ketua Jin Seribu Perut
Bumi." ` "Kalau aku boleh bicara lagi," tiba-tiba Jaka Pesolek menyeletuk. Sebelum
meneruskan ucapan dia keluarkan cermin pemberian Nyi Loro Jonggrang. Setelah
mematut rambut dan wajahnya baru dia berkata. "Kalau aku boleh mengemukakan
pendapat, jangan-jangan keris sakti itu yang dikatakan sebagai Mahkota di atas
Mahkota oleh dua Sinuhun. Dan senjata itu ada di Candi Kalasan. Tapi di sebelah
mana" Di dalam candi, di luar, di halaman, di bawah...."
"Sudah! Jaka Pesolek jangan kau nyerocos terus!" Dewi Ular memotong ucapan Jaka
Pesolek sambil layangkan pandangan ke ujung barat halaman luas Candi Kalasan.
Parasnya berubah ketika pandangan mata membentur
sosok seseorang yangberlari cepat ke arah candi. Saking cepatnya dua kakinya
seolah tidak menyentuh tanah sementara debu beterbangan di belakangnya.
"Hai! Lihat! Ada orang datang!" Dewi Ular berdiri.
"Astaga! Bagaimana mungkin! Sendirian pula!"
Kurang dari sekejapan mata orang itu sudah sampai di depan tangga Candi Kalasan.
Sadar berhadapan dengan siapa Dewi Ular cepat-cepat membungkuk memberi hormat
walau hatinya bertanya-tanya.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
6 ATU RANDANG dan Jaka Pesolek segera
Rmenghambur ke pintu depan candi begitu
mendengar seruan Dewi Ular. Wiro untuk beberapa lama masih memperhatikan keadaan
bagian dalam candi
berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Ketika sampai di ambang pintu candi, Jaka Pesolek dan Ratu Randang sama
terkejut. Orang yang tengah diberi penghormatan oleh Dewi Ular dan berdiri di
depan tangga candi bukan lain adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala. Ratu Randang buru-buru menuruni tangga. Sampai di hadapan Raja dia juga
membungkuk hormat seraya
berkata. "Yang Mulia, saya gembira melihat Yang Mulia tidak kurang suatu apa. Tapi kalau
saya boleh bertanya
bukankah Yang Mulia sebelumnya diantar Rauh Kalidathi melakukan perjalanan ke
satu tempat rahasia" Saya merasa heran tiba-tiba Yang Mulia muncul di sini
seorang diri, di tempat sejauh ini. Tanpa seorang pengawalpun..."
"Aku memang telah sampai di tempat rahasia itu.
Semua dalam keadaan selamat. Keadaan aman. Atas
petunjuk seseorang aku perlu segera ke sini." Jawab Raja sambil matanya melirik
ke arah delapan Bunga Matahari kecil yang ada di tangan Dewi Ular.
"Yang Mulia, bukan saya hendak berlaku lancang. Kalau boleh bertanya siapa orang
yang memberi petunjuk itu dan apa yang akan Yang Mulia lakukan?" Bertanya Ratu
Randang. Raja Mataram usap dagunya yang ditumbuhi janggut
kasar hitam. "Aku...aku tidak bisa memberi tahu padamu siapa orang itu Ratu
Randang. Tapi aku ke sini untuk menjemput Jaka Pesolek. Gadis berpakaian merah
muda itu." Mendengar Raja datang untuk menjemput dirinya, walau agak heran,


Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senangnya Jaka Pesolek bukan main.
Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan Raja lalu berlutut.
"Saya merasa sangat terhormat kalau Yang Mulia datang ke sini untuk menjemput
saya. Menjemput mau dibawa kemana, saya menurut saja..." Jaka Pesolek kedipkan
mata dan basahi bibir dengan ujung lidah.
"Jaka Pesolek, berdirilah. Aku ingin kau membawaku ke satu tempat dimana Ni
Gatri berada. Gadis yang diculik itu dalam keadaan bahaya. Kau memiliki ilmu
gerakan kilat. Kita harus cepat sampai kesana..."
"Yang Mulia, saya senang Yang Mulia mempercayai saya. Perintah Yang Mulia tentu
saja akan saya laksanakan. Tapi mohon maaf. Bagaimana mungkin saya mampu membawa diri Yang
Mulia yang begini besar dan berat...."
"Kau tak usah kawatir. Aku akan memanggulmu. Kau hanya mengerahkan ilmu
kepandaianmu untuk membuat kita bisa melesat laksana kilat. Dan kau tahu, tempat
yang bakal kita datangi itu banyak petirnya."
Wajah Jaka Pesolek tampak berseri girang mendengar kata-kata terakhir sang Raja
Mataram. "Kalau begitu kata Yang Mulia saya menurut saja." Kata Jaka Pesolek. Lalu gadis
itu keluarkan kaca kecil dan kotak hiasnya. Dengan cepat dia membedaki wajah,
menebalkan alis dan memerahkan bibir.
"Jaka, simpan peralatanmu. Kita harus segera pergi."
Raja Mataram jadi tidak sabaran melihat apa yang
dilakukan Jaka Pesolek.
"Maafkan saya Yang Mulia. Tapi saya hendak berjalan bersama Raja Mataram.
Rasanya tidak pantas kalau wajah celemongan dan rambut acak-acakan," kata Jaka
Pesolek pula sambil tersenyum lalu setelah mematik dan mengatur rambut, cepatcepat menyimpan cermin dan kotak bedak.
Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah muncul di ambang pintu candi. Jaka
Pesolek dilihatnya tengah hendak dipanggul oleh seorang lelaki tinggi besar
mengenakan mahkota. Wiro segera mengenali kalau orang itu adalah Raja Mataram.
"Jaka Pesolek! Kau mau pergi kemana"!" Wiro berteriak bertanya.
"Tidak usah dijawab, kita harus pergi cepat. Sekarang juga!" Raja berbisik pada
Jaka Posolek. Si gadis condongkan tubuh, siap merangkul dan naik ke bahu Raja
yang siap memanggulnya.
"Aneh, Raja Mataram muncul seorang diri padahal seharusnya ada di Sumur Api
bersama Rauh Kalidhati, mungkin juga sudah ditemani kakek sakti Kumara
Gandamayana. Gadis itu mau dibawa kemana" Mengapa dia tidak menjawab
pertanyaanku?" Berpikir sampai di sini dan mendadak muncul rasa syak wasangka
dalam hatinya, entah mengapa Pendekar 212 segera saja merapal aji kesaktian.
Begitu pandangannya membentur sosok Raja Mataram kaget Wiro bukan alang kepalang
sampai dia berteriak keras. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke
halaman candi. Sambil melompat Wiro
berteriak. "Jaka! Cepat jauhi orang itu!"
"Hai! Ada apa ini" Raja hendak..."
Ucapan Jaka Pesolek terputus karena saat itu dengan tangan kirinya Wiro
mendorong si gadis dengan satu pukulan jarak jauh sementara tangan kanan
lancarkan jurus pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar, ditujukan ke arah
Raja Mataram. Ratu Randang dan Dewi Ular tentu saja kaget melihat apa yang dilakukan Wiro.
Namun dalam kagetnya untuk beberapa ketika mereka hanya tertegun berdiam diri.
Serangan yang dilancarkan Wiro dengan telak menghajar kepala Raja Mataram hingga
mahkotanya remuk dan
tercampak jatuh sementara sosoknya terjengkang di tanah.
Namun kepala sang Raja tetap utuh tanpa cidera
sedikitpun! Sosok Raja yang terkapar di tanah cepat berdiri lalu sekali lompat saja dia
sudah berada di hadapan Jaka Pesolek. Tangan kanan diangkat. Dari ujung ibu jari
muncul cahaya merah terang yang dengan cepat berubah
membentuk lingkaran besar berupa roda bergigi tajam berkilauan. Dengan suara
menderu roda bergigi ini menyambar ke arah Jaka Pesolek. Sekali tubuh si gadis
kena dilibas pasti akan hancur terkutung-kutung
mengerikan! " Cakra Dewa Membersih Bumi!" Ucap Ratu Randang kaget. Lalu berkata pada Dewi
Ular. "Kunti, setahuku Raja tidak pernah memiliki ilmu aneh seperti itu!"
"Orang hendak mencelakai sahabat Jaka Pesolek!
Jangan berdiam diri!" Teriak Dewi Ular yang akhirnya sadar melihat apa yang
terjadi dan berteriak keras. Lalu wuuttt!
Dari pusarnya melesat keluar sosok besar seekor ular hitam kepala putih. Dengan
cepat binatang ini menyusup ke bagian bawah roda merah bergigi dan menyundul
tiga kali. "Tringg...tring...tring!"
Tiga kali bunga api bermuncratan.
Roda merah terpental setengah tombak ke atas tapi masih terus menyambar ke arah
Jaka Pesolek walau kini lebih tinggi dari sasaran hingga serangannya hanya
mengenai udara kosong.
"Jaka! Lekas menyingkir! Sembunyi di balik pohon besar sana!" Teriak Ratu
Randang. "Kau punya ilmu gerakan kilat! Mengapa tidak dipergunakan!" Menyusul berteriak
Dewi Ular. Mendengar teriakan kedua orang itu Jaka Pesolek
segera berkelebat ke balik pohon besar. Roda besar bergigi tiba-tiba membuat
gerakan berputar lalu, melesat
mengejar ke arah Jaka Pesolek.
"Wusss!" Crasss!" "Braakk!"
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
7 OHON besar putus di bagian tengah lalu tumbang
Pdengan suara bergemuruh. Terdengar Jaka Pesolek
menjerit lalu suara jeritannya lenyap.
Raja Mataram gerak-gerakkan ujung ibu jari tangan kanan. Di udara roda merah
bergigi berputar-putar di atas tumbangan pohon. Agaknya tengah mencari Jaka
Pesolek. Ketika tidak berhasil menemukan gadis itu, roda bergigi berputar dan kini
melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng sementara Raja Mataram tampak berdiri
dengan dua kaki renggang, tubuh tak bergerak dan ibu jari tangan kanan terus
diacung ke atas mengendalikan arah gerakan senjata dahsyatnya.
"Yang Mulia, hentikan serangan!" Dewi Ular berteriak.
Raja Mataram hanya menyeringai. Ibu jari ditudingkan lurus ke arah Wiro. Membuat
gerak serangan roda merah menjadi dua kali lebih cepat!
"Celaka Kunti!" teriak Ratu Randang. "Jangan-jangan Raja sudah berada dibawah
kuasa dan kendali dua
Sinuhun!" Lalu nenek ini coba memotong serangan roda bergigi dengan pukulan
sakti bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat. Selarik cahaya
biru berkiblat. Begitu cahaya biru membentur roda merah satu letusan dahsyat
menggelegar. Cahaya merah dan biru saling menyabung di udara. Ratu Randang
terpekik, tubuh terbanting ke tanah. Walau sanggup berdiri dengan cepat namun
tampak wajahnya pucat pasi. Dewi Ular cepat mendatangi dan memeriksa. Ternyata
si nenek tidak menderita cidera. Di udara cahaya biru lenyap. Sebaliknya cahaya
roda merah kembali menderu dan meneruskan
serangan ke arah Wiro.
Menyaksikan apa yang terjadi Wiro segera melepas
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.Yang diarah adalah roda merah
bergigi. Cahaya putih membeset ke udara. Seperti tadi satu letusan keras
menggelegar, kali ini lebih dahsyat. Roda merah terpental dua tombak ke udara
tapi tetap utuh bahkan kembali melesat turun untuk menyerang Wiro!
Wiro sendiri saat itu walau hanya merasa getaran kecil di dada, namun dapatkan
dua kakinya melesak sampai setengah jengkal ke dalam tanah. Ketika melihat roda
merah bergigi kembali menderu ke arahnya, sang
pendekar kertakkan rahang.
"Pukulan sakti Datuk Rao tidak mempan. Apa aku harus lagi-lagi menghantam dengan
Pukulan Sinar Matahari?"
Pikir Wiro. Ketika dia siap merapal aji pukulan sakti itu dan ujung tangan
kanannya mulai berubah menjadi seputih perak mendadak dari samping kanan
set ...set:..set melesat sepuluh benda aneh berwarna hitam berbelang merah.
Ternyata benda itu adalah sepuluh ekor ular.
" Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi! Pasti Kunti Ambiri!" Wiro berkata dalam
hati. Dia pernah melihat dan mengenali ujud sepuluh ular. Dia melirik rucap
dalam hati seraya melirik ke arah Dewi Ular. Wiro melihat gadis alam roh ini
berdiri dengan dua kaki merenggang, kepala menyondak. Dari sepuluh liang yang
ada di kepala dan tubuhnya tampak asap hitam bercampur merah mengepul.
Karena memang sepuluh ekor ular ganas itu keluar dari dua liang hidung, dua
mata, dua lobang telinga, mulut, pusar, dubur dan kemaluan.
Sambil berdiri Dewi Ular acungkan jari tangan kanan.
Ibu jari mencuat ke atas sama seperti yang dilakukan Raja Mataram. Mulut berucap
perlahan. "Anak-anak, santapanmu adalah ujung jari Raja Mataram! Itu pangkal bahala!"
Sepuluh ular merah hitam yang melesat di udara
kibaskan buntut, kepala mendongak, mulut mendesis.
"Wutttt!"
Sepuluh mulut ular bertaring luar biasa tajam disertai semburan racun sangat
jahat menyambar ke arah ibu jari tangan kanan Raja Mataram yang sampai saat itu
masih diacungkan ke udara.
"Greeekk!"
Raja Mataram menjerit keras ketika ibu jari tangan kanan sampai setengah bagian
telapak lenyap diterkam sepuluh ular. Darah menyembur sementara sepasang kaki
Raja tampak goyah dan terhuyung ke belakang. Di langit tiba-tiba ada cahaya
kuning kemerahan berkelebat disertai suara riuh kucing mengeong.
"Blaarr!"
Roda merah bergigi meledak. Kepingannya
menghunjam masuk ke dalam tanah.
Wiro yang tadi hendak menyerang Raja Mataram
dengan Pukulan Sinar Matahari kini hantamkan pukulan sakti pada cahaya kuning
merah yang menyerang dirinya.
Untuk kesekian kalinya kawasan Candi Kalasan dilanda gelegar suara letusan
dahsyat. Halaman bergetar,
bangunan candi nampak bergoyang. Tanah dan debu
beterbangan ke udara. Dalam keadaan seperti itu Raja Mataram pergunakan
kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali menjejak tanah seharusnya dia sudah mampu
melesat ke udara. Namun gerakannya lamban. Dua kaki seperti diganduli batu.
Tangan kanan yang putus masih mengucurkan darah hitam pekat. Itu pertanda racun
ular sudah merasuk di seluruh pembuluh darahnya.
Raja Mataram keluarkan teriakan keras seolah putus asa. Perlahan-lahan tubuhnya
jatuh berlutut di tanah.
Ketika ada satu bayangan samar terlihat di dalam
tubuhnya, saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke hadapan Raja
sambil lancarkan tendangan kaki kanan.
"Praakk!"
Kalau sebelumnya tendangan Wiro tidak mampu
menciderai kali ini kepala Raja Mataram remuk
mengerikan. Sosok terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Sekujur tubuh tampak hitam berbelang merah. Racun Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke
Bumi sungguh luar biasa jahat. Kalaupun kepalanya tidak hancur dilanda tendangan
Wiro, sang Raja tetap saja tidak akan mampu bertahan hidup dari ganasnya racun
ular! "Celaka! Kita telah membunuh Raja Mataram!" Ratu Randng keluarkan suara
tercekat. Dewi Ular tertegun tak bergerak. Wiro garuk-garuk kepala sambil
berkata. "Para sababat, jangan kawatir. Tidak satupun dari kita yang telah membunuh Yang
Mulia Raja Mataram."
"Kau...kau bicara apa Wiro" Kau saksikan sendiri..."
Ratu Randang hentikan ucapannya sewaktu Wiro
menunjuk ke arah tubuh Raja yang tergelimpang di
halaman candi. Belum sempat Wiro mengatakan sesuatu, saat itu terjadi keanehan.
Asap kelabu tiba-tiba mengepul keluar dari mayat Raja. Begitu kepulan asap
menghilang tertiup angin, sosok mayat Raja ikut lenyap. Di tanah kini tampak
tergelimpang sosok mayat seorang tua berpakaian selempang kain putih. Kepala
hancur tapi tidak ada darah membasahi wajah ataupun pakaiannya.
Ratu Randang keluarkan suara tercekat. Tangan kanan kemudian ditekapkan ke
mulut. Wiro berpaling.
"Ratu, kau kenal siapa adanya orang tua ini?" Tanya Wiro pada si nenek.
Ratu Randang anggukkan kepala. Turunkan tangan
yang menutup mulut, menarik nafas dalam baru bicara.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
8 AKEK ini bernama Sedayu Galiwardhana.
KMenerangkan Ratu Randang. "Menurut Empu
Semirang Biru ketika berada di Istana Mataram kakek inilah yang mencuri Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Tapi sebenarnya dia sudah menemui ajal terbunuh beberapa
tahun silam...." (Agar lebih jelas mengenai riwayat Sedayu Galiwardhana, harap
baca serial "Mimba Purana. Satria Lonceng Dewa")
"Berarti arwahnya telah dihisap oleh Sinuhun Merah, dimunculkan kembali ke dunia
nyata, dikuasai lalu dikendalikan." Berkata Dewi Ular.
"Kau benar Kunti," sahut Ratu Randang. Si nenek berpaling pada Pendekar 212.
"Wiro, aku menduga kau sebelumnya sudah tahu kalau sosok Raja yang tadi datang
kesini bukan Raja Mataram sungguhan. Benar begitu?"
Bertanya Ratu Randang.
"Benar Nek. Ketika aku menerapkan Ilmu Menembus Pandang, aku melihat sosok kakek
ini dalam tubuh Raja.
Lalu semuanya berlangsung serba cepat. Aku tidak sempat memberitahu."
"Akan kita apakan mayat kakek ini?" bertanya Dewi Ular.
"Tidak perlu diapa-apakan. Ujudnya akan segera lenyap kembali ke alam roh..."
Berujar Ratu Randang. Baru saja si nenek selesai berucap tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara ngeongan kucing.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang, menatap ke
arah datangnya suara mengeong tadi yaitu di udara lepas sebelah barat sana.
Walau dia tidak melihat apa-apa namun sepasang matanya terasa agak perih dan
denyutan jantung menyentak.
Dewi Ular memandang berkeliling lalu berkata.
"Suara kucing mengeong itu. Aku sudah mendengar beberapa kali. Aku punya dugaan
jangan-jangan binatang itu ada sangkut paut dengan ...."
Tiba-tiba ada suara bergemerisik disusul teriakan seseorang.
"Aku terpendam di bawah dedaunan lebat. Mengapa tidak ada sahabat yang
menolong"!"
"Astaga! Itu suara Jaka Pesolek!" Ratu Randang lalu lari ke arah pohon besar
yang tumbang. Wiro dan Dewi Ular menyusul. Dari balik daun pohon yang lebat
tampak Jaka Pesolek berusaha menyeruak keluar.
Meski ikut menolong tapi Dewi Ular tersenyum mesem-mesem melihat keadaan si
gadis. Rambut awut-awutan, wajah kacau balau, pakaian kotor dan ada yang robek
di sebelah bahu serta punggung.
"Ihhh! Ada semut rangrang merah!" Pekik Jaka pesolek ketika dilihatnya banyak
semut rangrang besar menjalar di bagian perut pakaiannya.
"Tidak apa-apa. Semut itu tidak akan menggigitmu karena kau pakai celana dalam
dari Nyi Loro Jonggrang!"
Kata Dewi Ular pula. "Kalau kau tidak percaya coba saja masukkan semut-semut itu
ke dalam celanamu!
Hik...hik...hik!"
Jaka Pesolek julurkan lidahnya.
"Nek, aku punya dugaan Sinuhun Merah sengaja mendatangkan jejadian kakek yang
sudah mati itu dalam ujud Raja Mataram sengaja hendak membunuh Jaka
Pesolek." "Jaka, kau punya silang sengketa apa dengan kakek bernama Sedayu Galiwardhana
itu?" Bertanya Dewi Ular pada Jaka Pesolek.


Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenal saja tidak. Kapan matinyapun aku tidak tahu.
Bagaimana mungkin aku punya silang sengketa dengan kakek itu," jawab Jaka
Pesolek pula. "Tapi orang hendak membunuhmu, pasti ada
alasannya." Ucap Ratu Randang.
Jaka Pesolek hanya mengangkat bahu. Lalu sadar akan keadaan dirinya yang tidak
karuan rupa karena barusan keluar dari timbunan lebat daun pohon besar, gadis
ini segera ambil kaca dan kotak hiasnya.
"Kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dicuri kakek itu dan dia tahu-tahu muncul di
sini, bisa saja senjata sakti milik Raja Mataram itu berada di sekitar sini.
Mungkin di dalam Candi Kalasan" Wiro tatap wajah tiga orang di hadapannya.
Lalu menyambung ucapannya. "Aku ingat tulisan Arwah Ketua di dinding yang
memberi tahu bahwa Mahkota di atas Mahkota ada di dalam candi. Mungkin apa yang
aku duga dan apa yang tadi dikatakan Jaka Pesolek benar adanya. Keris sakti yang
diumpamakan sebagai Mahkota di atas Mahkota itu ada di Candi Kalasan. Bagaimana
kalau kita masuk lagi ke dalam candi untuk menyelidik."
"Tulisan Arwah Ketua di dinding candi. Apakah peristiwa mahluk jejadian hendak
membunuh Jaka Pesolek tadi yang dimaksudkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi
dan kita jangan meninggalkan candi?" Dewi Ular berkata, membuat semua orang
memandang ke langit lalu
memperhatikan bayang-bayang tubuh mereka di tanah halaman candi.
"Masih ada bayang-bayang walau tinggal pendek.
Berarti sang surya belum mencapai titik tertinggi." Kata Wiro.
"Berarti apa yang dikatakan Arwah Ketua masih belum terjadi tapi segera akan
terjadi." Jaka Pesolek keluarkan ucapan. Ada bayangan rasa kawatir pada nada
suara dan raut wajah gadis ini.
Ratu Randang mendekati Wiro dan berkata setengah
berbisik agar tidak terdengar oleh Jaka Pesolek.
"Wiro, gadis itu tidak punya ilmu kesaktian apa-apa.
Kecuali gerakan kilat serta kehebatannya menangkap petir. Apakah menurutmu orang
hendak membunuhnya
karena dua kemampuannya yang luar biasa itu" Dia
mampu menangkap petir dan pukulan sakti mengandung hawa panas lalu melemparkan
buntalan petir atau pukulan sakti pada musuh. Kau saksikan sendiri apa yang
terjadi dengan Ketua serta puluhan anak buah Seratus Jin Perut Bumi."
Untuk beberapa lama Wiro terdiam mendengar ucapan Ratu Randang.
"Nek, kalau dugaanmu betul, berarti nyawa gadis itu masih akan terus terancam.
Kita harus melindunginya."
Jaka Pesolek menyimpan cermin dan kotak bedaknya.
Sambil melirik pada Wiro dan Ratu Randang gadis ini berkata.
"Aku tahu kalian berbisik-bisik merasani diriku "
"Kami kawatir akan keselamatanmu," berkata Ratu Randang.
"Kalau begitu baiknya aku pergi saja dari sini. Aku mau mencari tempat yang
banyak petirnya." Kata Jaka Pesolek pula.
"Walau kau punya gerakan kilat, tapi berada seorang diri, bahaya dan celaka bisa
lebih cepat menimpamu. Apa kejadian tadi tidak membuat dirimu kawatir" Kau
jangan pergi kemana-mana."
Setelah berpikir sejurus akhimya Jaka Pesolek berkata.
"Kalian semua orang baik. Tapi aku rasa aku memang harus pergi. Nanti kapankapan aku menemuimu lagi." Jaka Pesolek berpaling pada Dewi Ular. Kedipkan mata
dan bertanya. "Kunti, apa kau masih mau mengambil celana dalam pemberian Nyi
Loro Jonggrang" Kalau kau
menginginkan akan aku tanggalkan dan berikan padamu sekarang juga."
"Kau boleh memakai celana itu sampai bulukan!" Jawab Dewi Ular lalu pencongkan
mulut. "Ah, kau masih marah padaku. Aku minta maaf. Aku harus pergi sekarang."
Jaka Pesolek seperti hendak melambaikan tangan
sebagai tanda berpisah. Di saat yang sama di kejauhan terdengar suara gema
lonceng. Di langit sebelah timur ada kilasan cahaya kuning lembut. Laksana kilat
cahaya kuning ini melesat ke bawah dan tahu-tahu telah melingkari tanah dimana
Jaka Pesolek berdiri.
"Wusss!"
Cahaya kuning menjalar ke atas, membungkus tubuh
dan kepala Jaka Pesolek. Lalu desss....desss! Tubuh Jaka Pesolek amblas masuk
dan lenyap ke dalam tanah.
Wiro, Ratu Randang dan Dewi Ular sama-sama berseru kaget. Ketiganya berusaha
mengejar tapi terlambat. Jauh dari dalam tanah masih terdengar sayup-sayup suara
jeritan Jaka Pesolek lalu hening.
"Ada yang menculik Jaka pesolek. lni pasti pekerjaan dua Sinuhun keparat! Kalian
berdua tunggu di sini!" Kata Wiro sambil cepat menerapkan ilmu kesaktian yang
diberikan Kumara Gandamayana. Dia hunjamkan dua kaki ke tanah. Saat itu juga
sosoknya masuk lenyap ke dalam bumi!
Ratu Randang tersentak kaget.
"Oala! Baru tahu aku kalau dia punya ilmu bisa masuk ke dalam tanah!" ucap si
nenek sambil berpaling pada Dewi Ular.
Kunti Ambiri sendiri yang juga rnemiliki sejenis ilmu yang hampir sama dan
didapat dari Sinuhun Merah
Penghisap Arwah ketika hubungan mereka masih baik mengangkat tangan kanan yang
memegang delapan Bunga Matahari kecil seraya berkata.
"Nek, aku mau menyusul Wiro. Aku belum
menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang dan belum
menyerahkan delapan Bunga Matahari ini pada Wiro! Kau tunggu di sini! Jangan
kemana-mana!"
"Wuttt! Desss!"
Sosok Dewi Ular juga lenyap masuk ke dalam tanah.
"Sialan! Aku ditinggal sendirian!"
- Si nenek mengomel panjang pendek sambil melangkah mundar mandir. Tiba-tiba dia
hentikan langkah, menatap ke tanab. Astaga! Tubuhnya tidak lagi membentuk
bayang-bayang. Dia mendongak ke langit.
Sang surya bersinar terik.
"Tepat tengah hari. Ini rupanya yang disampaikan Arwah Ketua melalui tulisan di
dinding candi. Tapi apa sebenarnya yang terjadi" Apakah aku harus menunggu di
sini seorang diri?" Ratu Randang kembali melangkah mundar mandir.
Tiba-tiba dia hentakkan kaki dan berhenti melangkah.
"Benar-benar gila! Mengapa tidak tadi-tadi Kunti Ambiri menyampaikan pesan dan
menyerahkan delapan Bunga
Matahari kecil pada pemuda itu. Celaka! Jangan-jangan."
Sepasang mata juling Ratu Randang membesar.
"Oala...Jangan-jangan gadis itu sengaja melakukan karena ingin berdua-dua di
dalam tanah dengan Wiro! Edan!"
Saking kesalnya si nenek merasa tubuhnya jadi lemas.
Dia memandang berkeliling. Keadaan di sekitar Candi Kalasan tampak sunyi. Silir
tiupan angin terasa aneh di jangat. Beberapa pohon kecil tampak bergoyang-goyang
ranting dan dedaunannya, namun tidak mengeluarkan suara bergemerisik. Perasaan
si nenek tidak enak.
"Aku kawatir bahaya maut bisa saja datang tidak terduga. Lebih baik aku merubah
diri menjadi mahluk hidup lain apa saja."
Lalu si nenek merapal ajian kesaktian. Sesaat
kemudian sosok Ratu Randang berubah samar lalu lenyap, berganti menjadi seekor
kucing putih, duduk menjelepok di depan tangga paling bawah pintu depan Candi
Kalasan sambil menjilati kaki dan tubuhnya.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
9 IR TERJUN mencurah bergemuruh jatuh ke dalam
Atelaga dangkal. Di seberang sana, di atas sebuah batu besar di tepi telaga anak
lelaki berambut tebal dan beralis kereng berusia sekitar dua belas tahun duduk
setengah berbaring sambil mengelus kening anak
perempuan yang tergolek tak bergerak mata terpicing.
Sesekali kening itu diciumnya. Anak perempuan ini berwajah ayu, bertubuh sintal,
berusia empat belas tahun.
Perlahan-lahan anak lelaki yang memakai anting-anting emas di telinga kirinya
itu dekatkan wajah ke telinga anak perempuan. Setelah mencium lembut pipi kiri
anak perempuan itu dia berbisik.
"Ni Gatri, bangunlah. Pagi sudah datang, mentari telah memperlihatkan diri.
Tidakkah kau ingin menghirup udara segar serta melihat pemandangan indah sekitar
telaga?" Si anak lelaki lalu kembangkan telapak tangan kanan dan disapukan di atas wajah
anak perempuan yang
ternyata adalah Ni Gatri. Dua kali menyapukan tangan sepasang mata Ni Gatri
masih terpejam dan keadaannya masih seperti tadi seolah tidur nyenyak.
"Aneh, mengapa tidak bangun?" ucap si anak lelaki.
Tangan kanannya kembali disapukan di atas wajah Ni Gatri. Tetap saja anak
perempuan itu terus terlelap.
Anak lelaki bergerak duduk di atas batu, memandang berkeliling. Matanya menatap
ke arah air terjun yang mencurah bergemuruh.
"Ah....mungkin ini sebabnya. Suara deru air terjun membuat pendengaran Ni Gatri
terhalang. Aku tahu itu bukan air terjun biasa." Anak lelaki tersenyum. Lalu
tangan kanan di angkat sambil mulut berucap.
"Air terjun! Berhentilah mencurah barang beberapa lama!"
"Wuttt!"
Selarik sinar kuning kemerahan menyambar keluar dari telapak tangan kanan anak
lelaki, melesat ke arah curahan air terjun. Dan astaga! Seolah ada satu kekuatan
dahsyat yang menahan, curahan air terjun terbendung sepuluh tombak di atas
telaga! Keadaan di tempat itu kini serta merta menjadi senyap.
Dengan tenang si anak lelaki kembali usapkan telapak tangan kanan di atas wajah
Ni Gatri. Kali ini, hanya sekali mengusap sepasang mata Ni Gatri langsung
terbuka nyalang dan tubuh bergerak bangkit lalu duduk clan memandang berkeliling.
"Ni Gatri, aku senang kau sudah bangun dari tidurmu..."
Si anak lelaki tekapkan dua tangannya di pipi Ni Gatri.
Ni Gatri yang saat itu tengah menatap ke arah air terjun pergunakan dua tangan
untuk manyibakkan tekapan
sepasang tangan si anak lelaki darl wajahnya.
"Aku tidak tidur. Aku tahu. Kau telah menyirapku. Kau telah menyihirku!" Tibatiba Ni Gatri keluarkan ucapan keras.
Si anak lelaki tertawa. "Adikku sayang, kau ini bicara apa" Aku tidak,
menyirapmu. Siapa yang telah
menyihirmu" Apa wajahku kau lihat seperti nenek angker tukang sihir?"
"Aku tahu dan ingat sernua apa yang telah terjadi. Kau tak perlu berdusta!"
"Kalau begitu, apakah kau masih ingat namaku?" tanya si anak lelaki pula.
"Namamu Dirga Purana. Kau anak jahat yang menculikku!"
"Ha ...ha! Aku senang kau masih ingat namaku. Adikku sayang, lihatlah
berkeliling. Tidakkah tempat ini indah sekali dan kita berdua bisa bermain
bersenang-senang di sini. Aku akan gembira selangit kalau kita bisa mandi
berdua-dua di telaga berair jernih dan sejuk ini."
Ni Gatri tertawa sinis.
"Katamu umurmu dua belas tahun. Aku empat belas tahun! Bagaimana kau bisa-bisaan
memanggil aku adikmu" Aku bukan adikmu! Aku tidak mau bermain
denganmu. Apa lagi mandi bersamamu di telaga! Kau anak jahat! Aku ingin pulang!"
"Pulang" Pulang kemana" Rumahmu, rumah kita
berdua ada di Bhumi Mataram ini."
Ni Gatri menggeleng. Ketika anak lelaki bernama Dirga Purana itu hendak memegang
wajahnya Ni Gatri cepat membentak.
"Jangan kau berani menyentuh diriku!"
"Kau adikku sayang. Kau kekasih buah hatiku! Mengapa aku tidak boleh
menyentuhmu"!"
"Ihh! Kau bicara seperti orang gila! Mungkin juga kau sudah kemasukan mahluk
halus penghuni telaga!"
"Ssshhh, jangan bicara seperti itu. Dengar, aku memang gila. Tergila-gila
padamu!" Anak lelaki itu kembali gerakkan tangan hendak memegang wajah Ni Gatri.
"Kalau kau berani menyentuhku lagi...!" Mengancam Ni Gatri.
Dirga Purana tertawa. "Kau anak berani. Aku suka orang berani. Jika aku
menyentuh tubuhmu lagi, kau hendak berbuat apa"
"Menamparku" Memukulku?"
"Aku akan membunuhmu!" Jawab Ni Gatri dan matanya menyorot tajam ke arah mata
Dirga Purana. "Hebat!" Kata Dirga Purana pula. "Aku ingin kau membuktikan ucapanmu!" Lalu anak
lelaki ini condongkan tubuh dan ulurkan tangan. Sambil merangkul dia jatuhkan
diri diatas tubuh Ni Gatri hingga anak perempuan ini jatuh tertelentang di batu
dan di atasnya Dirga Purana
menghimpit. Dalam usia yang masih dua belas tahun anak lelaki itu memperlihatkan
sikap seperti orang dewasa.
Ciumannya bertubi-tubi jatuh di wajah Ni Gatri. (Mengenai siapa anak lelaki
bernama Dirga Purana silahkan pembaca ikuti riwayatnya dalam serial "Mimba
Purana Satria Lonceng Dewa" karangan Bastian Tito)
Ni Gatri berteriak, dua tangan berusaha memukul, dua kaki mencoba menendang.
Namun begitu Dirga Purana meniup keningnya, kekuatan anak perempuan ini serta
merta hilang. Tubuhnya mendadak lemas hingga tidak mampu bergerak bahkan
berteriakpun dia tidak bisa. Ni Gatri hanya tinggal pasrah diperlakukan secara
tidak senonoh seperti itu.
Semakin memuncak nafsunya, semakin gila dan kurang ajar perbuatan Dirga Purana.
Dalam keadaan diri Ni Gatri dipermalukan seperti itu tiba-tiba satu bayangan
merah samar berkelebat dari depan gua yang terletak di balik air terjun. Sosok
ini laksana berlari di atas air telaga, bergerak cepat ke arah batu besar dimana
Dirga Purana dan Ni Gatri berada.
"Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Saya tidak tidak ingin mengganggu
kesenanganmu...."
Dirga Purana angkat kepala. Sebelum menoleh ke arah datangnya suara dia
membentak. "Tidak ingin menganggu tapi berani muncul! Siapa yang bicara"!"
"Saya berada di sini. Saya Sinuhun Merah Penghisap Arwah." Terdengar suara
jawaban. Dirga Purana berpaling ke kiri. Di situ dia melihat sosok samar merah yang
perlahan-lahan berubah utuh. Sosok itu seorang kakek berpakaian dan mengenakan
Neraka Hitam 8 Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan Ksatria Negeri Salju 1

Cari Blog Ini