Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Bagian 2
belangkon merah. Di bagian depan belangkon tersemat sebuah
hiasan berbentuk bintang sudut delapan terbuat dari suasa muda atau perunggu.
Delapan benjolan merah yang ada di kening kelihatan memancar terang pertanda ada
gejolak hati yang tidak senang kalau tidak mau dikatakan marah.
Hal ini juga kelihatan dari kumis, sepasang alis serta janggut merahnya yang
berjingkrak. Sepasang mata yang seluruhnya nyaris berwarna merah tampak menyorot
menatap ke arah si anak lelaki.
"Sinuhun, aku benar-benar tidak senang dengan kedatanganmu! Aku tidak suka
melihat caramu memandangku! Apa harus aku ingatkan dengan siapa kau berhadapan saat ini"!"
Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa tubuhnya
bergetar. Cepat dia membungkuk lalu luruskan tubuh dan berkata.
"Maafkan saya Kesatria Junjungan. Tapi keadaan di pihak kita saat ini benarbenar buruk. Sejak kau membawa gadis dari alam delapan ratus tahun mendatang
itu, kau seperti lupa segala-galanya..."
"Apakah kau berani melarangku berbuat yang aku suka, Sinuhun Merah"!" Dirga
Purana membentak seraya bangkit dan berdiri di atas batu sambil berkacak
pinggang. Wajah bocahnya tampak berubah tua dan angker.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat membungkuk
sekali lagi. "Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Mana mungkin saya berani
melarang.Namun selama beberapa waktu belakangan ini Junjungan sepertinya tidak
tahu lagi apa yang terjadi di pihak kita..."
"Memangnya apa yang terjadi, Sinuhun?"
"Ketua Seratus Jin Perut Bumi dan seluruh anak buahnya musnah! Arwah Ketua yang
saya tugaskan mencegat Raja Mataram terpaksa lebih dahulu saya
perintahkan pergi membunuh Kesatria Panggilan. Tapi nasibnya nahas. Empat Mayat
Aneh menguliti kulit luarnya.
Kesatria Panggilan kemudian memasukkannya ke dalam Candi Kalasan. Dari situ dia
mampu bertahan hidup dan mencari jalan menyelamatkan diri. Lalu Kumara
Gandamayana berhasil keluar dari dalam tanah. Dia ditolong oleh Kesatria
Panggilan dengan satu ilmu luar biasa sakti. Kesatria Roh Jemputan tidak tahu ilmu apa yang dimiliki keparat itu!
Sekarang Kumara Gandamayana bergabung dengan Rauh Kalidathi mengamankan Raja
Mataram...."
"Hanya semua itu saja, apakah kau merasa seolah langit sudah runtuh, bumi sudah
terbelah dan air laut menyapu daratan"!" Tanya Dirga Purana ketus.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah terdiam seketika.
Namun ketika bicara lagi suaranya terdengar keras, tandas walau bergetar.
"Bukan itu saja Kesatria Junjungan...."
"Lalu apa"!"
"Karena sibuk dengan anak perempuan itu Kesatria Junjungan sampai lupa
memperhatikan sesajen untuk
Delapan Sukma Merah!"
Dirga Purana tersentak kaget. Dari kepalanya langsung memancar cahaya kuning
kemerahan. Saat itu juga tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh.
Di udara menyambar keras bau kemenyan membuat
orang bisa merinding walau saat itu di siang bolong!
Wajah Dirga Purana berubah.
Tiba-tiba seolah terjun dari langit, delapan benda merah melayang turun. Laksana
burung, delapan benda itu hinggap di tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dan
mereka ternyata bukan burung! Empat meriung di atas kepala. Dua mengendap di
bahu kiri, dua lagi di bahu kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah!
" Rakanda Delapan Sukma Merah!" Ucap Dirga Purana.
Anak ini memanggil delapan mahluk dengan sebutan
Rakanda seolah mereka adalah kakak-kakaknya! Anak ini kemudian membungkuk sambil
kembangkan dua tangan
kesamping. Setelah meluruskan tubuh dia berpaling pada Sinuhun Merah Penghisap
Arwah dan membentak.
"Sinuhun Merah! Jangan salahkan diriku! Kau yang terlambat memberi tahu
mengingatkan!"
Sinuhun Merah Penghisap Arwah diam-diam merasa
jengkel karena dirinya dipersalahkan. Namun dengan tenang mahluk alam roh ini
menjawab. "Kesatria Junjungan. Tiada ada gunanya kita saling salah menyalahkan. Lebih baik
cepat dicari jalan sebelum Delapan Sukma Merah berubah buas dan mencabik-cabik
tubuh kita karena haus dan lapar! Saat ini saya merasakan tubuh Delapan Sukma
Merah mulai memanas. Jalan bagi saudara kembar senyawaku Sinuhun Muda Ghama
Karadipa untuk mendapatkan tahta Kerajaan masih sulit.
Jangan Junjungan menambah beban kesusahan..."
Rahang Dirga Purana menggembung. Dia hendak
mendamprat namun saat itu suara ngeongan riuh kembali menggelegar.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
10 AKANDA Delapan Sukma Merah, kami tidak berlaku
Rsengaja melupakan sesajen kalian minggu ini. Aku akan menggantikan dengan
hidangan yang lebih lezat.
Kemarilah!"
Habis berkata anak lelaki bernama Dirga Purana
bertepuk tangan tiga kali. Lalu dua tangan diulurkan.
Kembali terdengar suara mengeong. Delapan sosok merah kecil yang berada di
kepala dan bahu Sinuhun Merah Penghisap Arwah melompat masuk ke dalam gendongan
dua tangan Dirga Purana.
Ternyata delapan mahluk itu adalah delapan ekor anak kucing berbulu merah.
Binatang-binatang cilik ini memiliki beberapa keanehan kalau tidak mau dibilang
menyeramkan. Antaranya sepasang mata yang seluruhnya berwarna merah. Dua telinga
lebih besar dari anak kucing biasa, mencuat runcing di bagian atas. Sepasang
taring muncul di sela bibir kiri kanan. Ketika mulut terbuka kelihatan lidah
merah sepanjang satu jengkal. Lalu pada kening setiap anak kucing ini terdapat
satu tonjolan daging seujung jari kelingking berwarna merah pekat. Jika
diperhatikan, kepala delapan anak kucing itu lebih menyerupai kepala kelelawar.
Dirga Purana dekatkan delapan ekor anak kucing yang digendongnya ke wajahnya,
menciumnya satu persatu lalu berbisik. "Rakanda Delapan Sukma Merah, aku tahu
kalian lapar dan haus. Aku harap Rakanda semua tidak marah.
Sebagai ganti sesajen aku akan memberikan santapan yang sangat sedap untuk
kalian. Kalian pasti suka. Dari sini aku sudah mencium kelezatannya."
Delapan ekor anak kucing berbulu merah mengeong
keras. Lidah panjang merah mencuat keluar. Benjolan merah di kening memancarkan
cahaya terang. Delapan anak kucing ulurkan kepala dan dua kaki depan ke arah Ni
Gatri. Mulut dibuka lebar sambil keluarkan suara setengah mengeong setengah
mengaum! Ni Gatri terpekik
ketakutan. Dia hendak melompat turun dari atas batu tapi aneh, tubuhnya terasa
berat. "Ssss! Rakanda semua, jangan ganggu anak
perempuan itu. Dia adalah kekasihku." '
Delapan anak kucing merah menggeram halus lalu
mengeong keras!
Dirga Purana tekap delapan anak kucing ke dadanya sambil digoyang-goyang tidak
beda seorang ayah
menenangkan anaknya yang cerewet. Ketika binatang-binatang itu berhenti mengeong
dan tampak tenang Dirga Purana pejamkan mata. Kepala mendongak ke langit.
Hidung mencium dalam-dalam. Sesaat kemudian mulutnya tampak menyeringai.
"Rakanda Delapan Sukma Merah, mohon dimaafkan seribu maaf di atas langit dan di
dalam bumi. Sekali ini
Sesajen Atap Langit tidak dapat kami berikan pada Rakanda berdelapan. Sebagai
penggantinya telah tersedia santapan lezat yang saat ini telah menunggu dan
berada di Candi Kalasan. Kalian pasti menyukai. Pergilah, tapi ingat dan harap
bersabar, jangan menyantap hidangan sebelum sang surya melewati titik
tertingginya."
Dirga Purana kembangkan dua tangannya yang sejak
tadi menggendong delapan anak kucing berbulu merah.
Delapan anak kucing mengeong keras, telinga besar berkibas-kibas. Lalu benarbenar seperti kelelawar, mereka melayang ke udara, mengeong panjang. Berputarputar delapan kali di atas kepala si anak lelaki kemudian berrr.....! Melesat ke
arah timur. KUCING putih yang duduk di tangga depan Candi
Kalasan yang tengah menjilati sepasang kaki depannya tiba-tiba tersentak dan
dongakkan kepala. Dua mata membesar menatap ke arah matahari yang memancarkan
cahaya terik menyilaukan.
"Aku mencium bahaya. Tapi belum tahu datangnya dari mana.Mungkin dari arah
langit, bisa juga dari dalam tanah."
Binatang itu, yang bukan lain adalah ujud jejadian si nenek sakti Ratu Randang
yang tengah melindungi diri dengan ilmu kesaktian langka berucap dalam hati.
Sekali lagi sepasang matanya menatap ke arah matahari. Tiba-tiba di balik cahaya
yang menyilaukan dia melihat ada delapan titik merah. Walau darah tersirap hati
tercekat namun Ratu Randang bersikap tenang.
"Hemmm, aku sudah menduga. Siapa lagi yang punya pekerjaan kalau bukan dua
Sinuhun keparat itu. Mereka pasti akan mengirim serangan. Aku harus mencari
selamat" Ratu Randang membatin lalu merapal satu aji kesaktian yang telah
beberapa kali diterapkannya antara lain ketika menghadapi dan memperdayai dua
Sinuhun, Swara Pancala dan Iblis Menjunjung Dupa Kesatu dan Kedua.
Cepat sekali, laksana kilat menyambar delapan titik merah yang tadi terlihat
jauh di langit melesat turun ke bumi dan di lain kejap nyaris tanpa mengeluarkan
suara delapan ekor kucing merah Delapan Sukma Merah telah menjejakkan empat kaki
di depan tangga Candi Kalasan.
Mereka berpencar demikian rupa membentuk lingkaran, mengurung kucing putih di
tengah-tengah! Tubuh diangkat, berdiri diatas dua kaki belakang. Kuku-kuku dua
kaki depan mencuat sampai satu jengkal menyerupai pisau pendek berkeluk berwarna
merah pekat gelap pertanda ada racun jahatnya. Mulut dipentang lebar
memperlihatkan barisan gigi lancip serta sepasang taring runcing dan lidah
panjang. Didahului suara mengeong dahsyat, delapan anak
kucing berbulu merah menyergap kucing putih. Dari benjolan merah di kening
masing-masing menyembur
cahaya merah. Tanah di depan tangga candi berhamburan ke udara.
Kucing putih besar yang diserang tidak tinggal diam.
Sambil balas mengeong binatang ini melompat ke udara menghindarkan serangan
delapan cahaya merah serta sergapan delapan anak kucong. Begitu berhasil
selamatkan diri kucing putih mengeong tak kalah keras lalu melesat menyusup ke
bawah lancarkan serangan balasan.
Namun kedahsyatan serangan delapan anak kucing
yang disebut Delapan Sukma Merah itu benar-benar luar biasa dan mengerikan.
Selagi kucing putih masih
mengambang di udara mereka menerkam.
Kucing putih terkapar di tangga candi. Kaki kanan sebelah depan buntung disambar
tebasan cakar berbentuk pisau. Binatang ini terguling menggelepar di tanah
sementara seperti kesetanan delapan anak kucing
langsung membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok kucing putih
lenyap, bahkan tulangnyapun tidak bersisa. Di udara bulu-bulu putih beterbangan
membuat pemandangan bertambah angker. Di halaman candi sesaat masih menggehang
darah binatang ini sebelum meresap masuk ke dalam tanah.
Di atas pohon besar tak jauh dari Candi Kalasan, Ratu Randang yang bersembunyi
di balik kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin dan bulu kuduk
merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana nasib
dirinya kalau tadi sampai terlambat keluar dari sosok kucing putih itu.
"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka"
Binatang sungguhan atau jejadian" Aku merasa dan
melihat ada kekuatan luar biasa dahsyat dalam tubuh mereka. Benjolan merah di
kening mereka. Jumlah yang delapan, pertanda dugaanku tidak meleset. Mereka
pasti ada hubungan dengan dua Sinuhun keparat itu...!".
Belum sempat si nenek berpikir lebih jauh dibawah sana delapan anak kucing
mengeong aneh. Delapan
kepala mendongak ke langit. Buntut dikibas Kian kemari.
Sepasang mata menjorok keluar. Dari mulut keluar darah membusah. Darah kucing
putih. Mereka sudah menyantap daging sampai ke tulang, sudah menghirup darah
kucing putih. Tapi mereka tetap merasa lapar dan haus!
Tiba-tiba serentak delapan binatang ini palingkan kepala ke arah pohon besar
dimana Ratu Randang
bersembunyi membuat si nenek tercekat pucat.
"Celaka, apa delapan anak kucing keparat itu tahu kalau yang mereka santap tadi
bukan kucing benaran" Apa mereka tahu aku sembunyi di sini?"
Tidak tunggu lebih lama si nenek segera merapal lagi aji kesaktian. Kejap itu
juga tubuhnya berubah menjadi seekor kadal, menempel di dahan pohon. Tetapi
delapan ekor anak kucing yang bukan binatang sembarangan itu tidak dapat ditipu.
Delapan pasang mata merah berputar liar.
Didahului ngeongan keras mereka melesat ke atas pohon besar.
Ratu Randang cepat keluar dari dalam sosok kadal
pohon. Namun sekali ini dia tidak punya kesempatan untuk mengubah diri lagi memperdayai
delapan anak kucing!
Begitu dua kakinya menjejakkan tanah, delapan anak kucing merah sudah terjun
dari atas pohon. Mulut
terpentang lebar, empat kaki dengan cakar laksana pisau menyambar ganas!
"Hyang Jagat Bathara! Tamat riwayatku!" Jerit Ratu Randang dalam hati. Saat itu
dia melihat satu-satunya tempat untuk cari selamat adalah sebuah batu besar
tinggi yang belum selesai dibentuk menjadi sebuah candi kecil.
Ratu Randang segera merapal aji kesaktian
Menunggang Kabut Menembus Batu. Dia juga membarangi dengan ilmu kesaktian Insan
Berjalan Tanpa Bayangan agar tubuhnya tidak kelihatan.
"Wuuttt!"
"Desss!"
Sosok Ratu Randang amblas lenyap masuk ke dalam
batu namun delapan anak kucing mampu melihat ke arah mana lari dan lenyapnya si
nenek karena ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan asal muasalnya diperoleh Ratu
Randang dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan
Sinuhun Muda Ghama Karadipa sewaktu mereka masih
berhubungan dekat.
Di dalam batu, baru saja merasa sudah aman tiba-tiba braak! Batu besar kokoh
bergetar di delapan tempat!
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
11 ATU RANDANG tersentak kaget ketika di dalam batu
Rdia melihat delapan sosok anak kucing berbulu
merah muncul dan tahu-tahu sudah mengurungnya! Tidak mau memberi waktu pada si
nenek, delapan kucing
langsung menyerang! Mulut bertaring siap melumat, kaki berkuku seperti pisau
siap mencabik! Didahului suara mengeong dahsyat yang membuat batu bergetar,
delapan kucing menyerbu!
Ratu Randang berteriak keras.
"Sang Hyang Widhi! Saya minta perlindungan padaMu!"
Begitu berteriak si nenek gerakkan dua tangan sambil merapal aji kesaktian Di
Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat. Dua larik cahaya biru berkiblat.
Batu bergoyang keras lalu blaar! Batu besar runtuh, hancur berkeping-keping.
Ratu Randang terpental dua tombak, jatuh terbanting di tanah. Belum sempat
bergerak bangun suara ngeongan menggelegar dan delapan anak kucing merah tahutahu sudah berada di atasnya! Belasan cakar berbentuk pisau merah pekat
berkelebat ganas!
Ratu Randang coba selamatkan diri dengan
melancarkan serangan Tombak Dewa Memancung
Berhala. Kehebatan ilmu kesaktian ini adalah jumlah sinar biru yang membentuk
tombak akan muncul sesuai jumlah lawan yang diserang. Kalau lawan hanya seorang
maka tombak sakti akan melesat satu buah. Jika lawan ada tiga, tombak akan
keluar tiga. Saat itu cahaya biru yang membentuk tombak berkiblat delapan buah
Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yaitu sesuai dengan jumlah anak kucing merah yang menjadi sasaran.
Namun jarak antara si nenek dengan delapan lawan
saat itu sudah terlalu dekat. Dia tidak leluasa bergerak melancarkan serangan.
Walau delapan cahaya biru
menyambar keluar dari tangannya tapi breett!
Si nenek kena serangan lebih dulu. Anak kucing merah yang melesat di sebelah
kiri berhasil merobek lengan kanan pakaian dan melukai tangannya. Saat itu juga
Ratu Randang merasa sekujur tubuhnya menjadi panas,
padahal luka di tangan kanan hanya berupa goresan pendek! Sepasang lutut Ratu
Randang goyah, pandangan menjadi buram. Hanya sekejapan lagi. Delapan Sukma
Merah akan mencabik-cabik tubuhnya mendadak ada
suara bersiur disertai munculnya sebuah benda aneh menebar cahaya menyilaukan.
Cahaya ini adalah pantulan sinar matahari. Walau hanya merupakan pantulan tapi
mengandung hawa panas luar biasa. Hingga delapan anak kucing merah mengeong
keras lalu bersurut menjauhi sambaran cahaya panas.
Benda aneh itu menyerupai sebuah tabir putih besar.
Bagian bawah menancap di tanah menghambat
memisahkan delapan anak kucing merah dongan sosok Ratu Randang yang nyaris tidak
berdaya. Tabir putih ternyata merupakan sebuah cermin aneh.
Delapan anak kucing menggerung keras. Mereka merasa aneh melihat sosok mereka
berada di dalam cermin dan berubah buas. Benjolan merah di kening pancarkan
sinar terang. Enam belas kaki depan dipentang lalu berkelebat berusaha mencabik
permukaan cermin dengan cakar
pisau. Tapi tabir cermin seperti dilindungi lapisan sangat licin, tak mampu
dicabik atau dipecahkan, bahkan
tergorespun tidak!
Delapan anak kucing mengeong keras, melangkah
mundur. Serentak mereka menerjang ke depan,
menghantamkan kepala ke arah tabir cermin putih.
Sebelumnya, delapan anak kucing angker ini mampu
menghancurkan batu besar dengan hantaman kepala
mereka. Namun kali ini kekuatan kepala mereka yang dahsyat tidak sanggup
memecahkan cermin.
"Dukkk! Dukkk!"
Tabir cermin hanya bergetar sedikit.
Delapan anak kucing menjadi marah. Didahului suara mengeong mereka kembali
menyerang. Kali ini dengan lebih dulu menghantamkan delapan larik sinar merah
yang memancar dari delapan benjolan di kening.
"Wusss!"
Delapan cahaya merah angker berkiblat.
"Kraakkk....kraakk!"
Tabir kaca putih berlubang di delapon tempat lalu hancur berkeping-keping dan
akhirnya musnah. Ketika tabir lenyap dari pemandangan delapan kucing merah
melompat ke depan. Mereka menggerung marah karena tidak menemukan Ratu Randang.
Padahal mereka tahu sebelumnya si nenek telah terkapar tak berdaya di tanah di
balik tabir cermin putih. Delapan kucing mengeong dahsyat. Empat memandang
berkeliling, empat lagi
mengeruk-ngeruk tanah. Semuanya mengendus dalamdalam. Tapi mereka tidak mencium bau sosok si nenek.
Padahal penciuman mereka bisa menjajagi seseorang yang berada lebih dari dua
ratus tombak jauhnya!
Delapan ekor kucing berpandang-pandangan satu sama lain seolah saling bicara
tanpa suara. Setelah mengeong keras yang kali ini menyerupai suara raungan
anjing di malam buta, delapan mahluk itu melesat ke udara ke arah matahari yang
bersinar terik.
HANYA beberapa ketika sebelum delapan anak kucing merah menghancurkan tabir
cermin putih, di belakang sana entah dari mana datangnya mendadak ada sosok
seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu berkelebat.
Kakek ini langsung mengangkat tubuh Ratu Randang yang tidak berdaya,
menggendongnya ke arah sebuah pohon besar. Dalam satu kejapan saja sosok si
kakek dan si nenek telah masuk ke dalam batang pohon. Lalu ada cahaya berpijar
ke bawah dan di lain saat sosok kedua orang itu lenyap di arah akar pohon.
Ratu Randang yang berada dalam keadaan setengah
sadar, buka mata lebar-lebar tapi tetap saja sepasang mata itu setengah
terpejam. Dia hanya mampu melihat samar wajah si kakek. Ketika mulutnya berucap,
suaranya perlahan parau pertanda daya kekuatannya benar-benar terkuras oleh
racun jahat cakar pisau anak kucing berbulu merah.
"Kumara Gandamayana. Kau..... "
Si nenek merasa gembira dan menyebut nama orang
yang menggendongnya.
Seperti diketahui Kumara Gandamayana adalah kakek sakti pembantu utama Raja
Mataram yang sebelumnya dituturkan setelah dikeluarkan oleh Wiro dari dalam
tanah bergabung dengan Rauh Kalidhati untuk membawa sang Raja ke satu tempat
rahasia. "Aku bukan Kumara Gandamayana." Si kakek menjawab.
Tenggorokan Ratu Randang tercekat. Alis mencuat dan kening mengkeret.
"Bagaimana mungkin kau bicara dusta. Apa kau kira aku tidak mengenali lagi
dirimu. Sobat tua, walau aku keracunan tapi aku belum buta..."
"Aku bukan Kumara Gandamayana." Kembali si kakek mengulang ucapan.
"Lalu...lalu kau siapa" Setannya, atau jejadiannya atau apanya?" Tanya Ratu
Randang heran. Pandangan matanya semakin redup. Suara bertambah perlahan tapi
pendengaran masih cukup jelas.
"Aku berpantang memberi tahu nama." Si kakek berikan jawaban.
Mulut Ratu Randang bergerak pencong tanda jengkel mendengar jawaban orang tua
berjubah dan bersorban kelabu.
"Sebetulnya kalau kau memang orang baik dan sakti, tidak perlu menolong diriku.
Bukankah lebih baik kau memusnahkan delapan anak kucing celaka itu" Pahalamu
lebih besar. Aku yang sudah tua rongsokan dan bau tanah ini perlu apa ditolong"
Menyelamatkan Kerajaan jauh lebih penting dari menyelamatkan diriku."
"Jalan pikiran dan ucapanmu betul. Tapi mohon maaf.
Aku berpantang membunuh mahluk hidup. Sekalipun
semut atau anak kucing, apa lagi yang namanya
manusia..."
Ratu Randang tertawa tapi tidak bersuara. Hanya
mulutnya saja yang kembali tampak pencong.
"Orang tua, kau punya banyak pantangan rupanya. Tapi agaknya kau tidak punya
pantangan menggendong
perempuan sekalipun tua bangka sepertiku! Kurasakan nafasmu mengengah dan detak
jantungmu bergemuruh.
Aku kawatir sebenarnya kau bukan bermaksud
menolongku tapi tengah membawa aku ke satu tempat untuk digerayangi.
Hik...hik...hik."
"Desss!"
Si kakek terkejut. Tubuh Ratu Randang sampai terlepas dari gendongannya dan
mental ke udara. Sebelum jatuh ke bawah si kakek cepat-cepat menangkap tubuh
Ratu Randang lalu digendong kembali. Mulut dikancing tak mau lagi bicara.
"Eh, kita ini berada dimana sebenarnya" Aku melihat semua benda berwarna coklat
kehitaman. Mengapa tidak ada matahari, mana pepohonan. Tidak ada angin..."
Si kakek diam saja.
Ratu Randang pejamkan kedua matanya, lalu berlaku sama. Dia tidak bergerak. Tak
mau bicara. Bahkan
nafasnya yang sudah sesakpun sengaja ditahan. Kini si kakek jadi kawatir. Dia
berhenti berlari dan pandangi wajah si nenek. Lalu pipi kirinya di dekatkan ke
hidung Ratu Randang. Tidak ada hembusan nafas. Ganti telinga kirinya didekapkan
ke dada si nenek.
Saat itu terdengar tawa Ratu Randang.
"Kau mulai nakal. Kau berbuat apa menyentuh dadaku dengan telinga. Mengapa tidak
dengan tangan" Hik...hik..."
"Semakin banyak kau bicara semakin cepat racun Cakar Sukma Merah bekerja di
tubuhmu dan tambah cepat kau menemui ajal." Si kakek akhirnya keluarkan ucapan.
"Aku...aku memang sudah mati..." Kata Ratu Randang.
Lalu dari tenggorokannya terdengar suara gheekkk!
Kakek berjubah dan bersorban kelabu terkejut. Dia memandang berkeliling sambil
dalam hati berucap.
"Kurasa aku sudah berada delapan tombak di dalam perut bumi. Mudah-mudahan Para
Dewa menolong diriku dan dirinya."
Padahal, walau sakarat si nenek sebenarnya berpura-pura!
Dengan cepat Ratu Randang diturunkan dari
gendongan. Dibaringkan lalu dua tangan kanan menotok ubun-ubun si nenek. Luka di
tangan kanan diremas
demikian rupa hingga darah kehitaman mengucur deras.
Begitu darah berhenti mengucur kakek ini totok dada kiri Ratu Randang di arah
jantung. "Huaahh!"
Si nenek muntahkan darah kental bercampur sisa
racun! Ratu Randang buka sepasang mata. Mulut tertawa.
Tubuh tidak terasa lemas lagi. Pemandangannya terang. Si kakek merasa lega.
Dengan cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan
berkata. "Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dari racun Cakar Sukma Merah. Tapi
mengapa kau tidak
menolongku dari tadi?"
"Ada pantangan...."
"Oala! Lagi-lagi pantangan!"
"Maksudku, racun Cakar Sukma Merah tidak bisa dimusnahkan sebelum masuk ke perut
bumi sedalam delapan tombak."
"Astaga! Memangnya saat ini kita berada dimana?"
Tanya Ratu Randang sambil memandang berkeliling. "Aku baru sadar, tak ada cahaya
terang, tak ada matahari. Tak ada pepohonan atau rimba belantara. Tak ada
bebukitan. Juga tak ada sapuan angin. Semua berwarna kecoklatan, kadang-kadang hitam."
"Kita berada di dalam tanah. Di perut bumi..."
Menjelaskan si kakek.
"Oala! Pantas....aneh tapi nyata. Aku berada dalam tanah tapi nafas tidak sesak,
mata tidak kerurupan tanah, bisa bergerak kemana-mana. Eh Kek, kau mau membawa
aku kemana" Mengapa aku dibawa masuk ke dalam tanah padahal di luar sana kalau
kau mau ajak aku jalan-jalan pemandangan jauh lebih indah..."
"Seperti kataku tadi, racun Cakar Sukma Merah hanya bisa dimusnahkan kalau kau
berada delapan tombak di bawah tanah."
"Oo...begitu?"
Ratu Randang manggut-manggut.
"Sekarang aku sudah selamat dari racun jahat. Lalu kau mau membawa aku kemana?"
"Aku mau membawamu ke dalam tanah di bawah Candi Plaosan Lor..."
"Lagi-lagi jalan-jalan di dalam tanah." Kata Ratu Randang sambil unjukkan wajah
cemberut. "Tapi ya sudah!
Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?"
Ratu Randang lalu perhatikan si kakek mulai dari ujung sorban sampai ke kaki
yang berkasut putih.
"Ada apa"
"Sorban di kepalamu, wajahmu, jubahmu dan sepasang kasut putih di kedua kakimu.
Lalu juga suaramu! Semua menyatakan bahwa kau jelas-jelas adalah Kumara
Gandamayana, orang kepercayaan Raja Rakai Kayuwangi, sobatku di Bhumi Mataram.
Tapi mengapa kau tidak mau mengaku" Kau tiba-tiba saja menjadi aneh dan
sombong!" "Aku memang aneh tapi tidak sombong. Selain itu aku berpantang untuk mengatakan
siapa diriku. Biar nanti kau tahu dari orang lain saja siapa diriku."
"Orang lain siapa?"
"Aku akan membawamu menemui orang itu. Beberapa sahabatmu sudah ada di sana..."
"Maksudmu siapa...?" Ratu Randang bertanya.
Namun tidak terduga orang tua bersorban kelabu tiup wajah si nenek. Saat itu
juga Ratu Radang merasa kantuk yang amat sangat Nenek ini menguap satu kali lalu
tertidur lelap dalam keadaan berdiri. Si kakek cepat
menggendongnya.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
12 EKARANG mari kita ikuti apa yang terjadi dengan
S Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi. Diceritakan sebelumnya (baca "Tabir
Delapan Mayat") bahwa gadis berkaki satu itu telah dibawa oleh Empat Mayat Aneh
ke Candi Kalasan. Menurut pengakuan Empat Mayat Aneh kepada Wiro si gadis dibawa
atas suruhan seorang kakek bernama Empu Semirang Biru. Sang Empu adalah orang
yang atas perintah Raja Mataram membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, tinggal di
lereng Gunung Bismo.
DITUTURKAN dalam serial pertama ("Malam Jahanam Di Mataram") menjelang akan
datangnya malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram, selagi berada di Istana
bersama Raja dan para pejabat serta petinggi Kerajaan tiba-tiba saja berkelebat
satu bayangan kelabu dan tahu-tahu Empu Semirang Biru tak ada lagi di tempatnya
berdiri. Penculikan di siang bolong, dalam Istana, di tengah sekian orang banyak itu
tentu saja sangat menggemparkan.
Beberapa orang berkepandaian tinggi berusaha mengejar si penculik. Namun si
penculik bersama Sang Empu lenyap laksana ditelan bumi! Semenjak itu Empu
Semirang Biru maupun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak diketahui lagi dimana
rimbanya. KETIKA peti mati hitam besar menjejak halaman Candi Kalasan, Empat Mayat Aneh
segera membuka penutup peti mati untuk mengeluarkan Sakuntaladewi. Begitu
penutup peti terpentang lebar, Empat Mayat Aneh berseru kaget.
Sosok gadis cantik berkaki satu itu tidak ada di dalam peti.
Peti dalam keadaan kosong. Sebagian lantai peti mati tampak jebol seperti habis
dibongkar! Semula Empat Mayat Aneh mengira Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal berhasil
membongkar alas peti mati lalu menyusup keluar, mungkin masuk ke dalam tanah.
Peti mati digeser. Namun di tanah tidak tampak bekas-bekas adanya tanah yang
terbongkar atau berlubang!
Mayat Aneh Kesatu jitak-jitak keningnya sendiri. Mayat Aneh Kedua menduga si
gadis telah diculik oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mayat Aneh Keempat
menyelidik masuk ke dalam Candi Kalasan namun tak lama kemudian tubuhnya
terlempar keluar candi. Gulungan kain putih yang melibat sekujur tubuh sampai
kepala berwama hitam mengepulkan asap. Di sudut mulut tampak lelehan darah.
Tiga Mayat Aneh segera mengobati saudara mereka
Mayat Aneh Keempat. Saat itu muncul Delapan Tabir Mayat yaitu delapan sosok
mayat busuk mengerikan
ciptaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Melihat mahluk apa yang muncul dan sadar
kalau mereka tidak akan mampu menghadapi, Tiga Mayat Aneh cepat melempar
masuk lebih dahulu Mayat Aneh Keempat ke dalam peti mati. Ketika mereka siap
hendak melarikan diri, Tabir Delapan Mayat menyerbu dengan ilmu ganas disebut
Delapan Telunjuk Arwah Busuk.
Sekejap lagi peti mati akan hancur lebur dilanda
serangan, tiba-tiba dari dalam peti mati muncul Mayat Aneh Keempat menangkis
dengan dua pukulan yang
memancarkan sinar putih berkilau dan menghampar hawa panas.
Ternyata dibelakang sosok Mayat Aneh Keempat
bersembunyi Pendekar 212. Dialah yang melepas Pukulan Sinar Matahari dengan
mempergunakan sosok dan dua tangan Mayat Aneh Keempat sebagai perantara.
Sebelumnya secara cepat Wiro juga telah menolong
menyembuhkan luka dalam yang dialami Mayat Aneh
Keempat. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan di pihaknya, Tabir Delapan
Mayat sendiri kemudian
diperintahkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lewat suara mengiang agar segera
meninggalkan kawasan Candi Kalasan.
Empat Mayat Aneh tidak dapat menerangkan kemana
dan bagaimana lenyapnya Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal yang mereka bawa
di dalam peti. Kepada Wiro mereka akhirnya memberi tahu bahwa mereka
diperintahkan oleh Empu Semirang Biru untuk membawa Sakuntaladewi ke Candi
Kalasan. Tapi kakek itu sendiri tidak ditemui. Dalam keadaan seperti itu tiba
Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba muncul sosok raksasa Arwah Ketua. Apa yang terjadi selanjutnya telah
diceritakan di permulaan buku ini. Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan
Sakuntaladewi"
Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja"
SEWAKTU peti mati hitam hanya tinggal dua jengkal akan menyentuh tanah halaman
Candi Kalasan tiba-tiba, tanpa diketahui Empat Mayat Aneh, lebih dari separuh
lantai peti mati terkuak.
Di dalam peti Sakuntaladewi tersentak kaget ketika sepasang tangan mendadak
muncul mencekal
pinggangnya. Gadis kaki satu ini berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar dari
mulutnya. Dia lalu pergunakan tangan kiri kanan untuk memukul dua tangan yang
mencekal pinggangnya.Tapi astaga! Dua tangannya
laksana memukul udara kosong! Selagi tidak tahu mau berbuat apa sekonyongkonyong tubuhnya ditarik ke bawah.
"Hai! Bumi dan langit milik Yang Maha Kuasa! Siapa yang hendak berbuat jahat
membenam diriku ke dalam tanah!" Gadis berkaki satu itu membentak. Mendadak dia
merasa ada angin dingin menyapu wajahnya. Setelah itu gadis ini tak ingat apaapa lagi. Ketika sadar dan membuka mata Sakuntaladewi
dapatkan dirinya dalam satu tempat bercahaya redup.
Gadis ini cepat bangun dan berdiri, menatap berkeliling.
Ternyata dia berada dalam satu ruangan berbentuk
segitiga. Dia tidak melihat orang atau sepotong bendapun dalam ruangan, tapi dia
ingat, sebelumnya dia berada dalam peti mati. Dia sempat melihat peti itu turun
di halaman Candi Kalasan. Lalu tiba-tiba lantai peti mati terkuak dan dua tangan
menarik tubuhnya ke bawah.
"Siapa yang menarik tubuhku" Manusia atau mahluk alam gaib" Aku berada dimana
saat ini?"
Sakuntaladewi menunggu beberapa lama. Lalu gadis ini mulai melangkah dengan kaki
tunggalnya mengitari
ruangan. Dia mengelus dinding yang ternyata adalah tanah merah keras.
Tiba-tiba Sakuntaladewi dikejutkan oleh suara
mengiang. "Anak gadis berkaki satu, kau berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Kau tidak akan
melihat benda apapun dalam ruangan ini termasuk diriku sebelum kau mengusap
wajahmu tiga kalil dengan tangan kanan."
Sakuntaladewi memandang berkeliling. Dia tidak bisa mengetahui dari arah mana
datangnya suara tadi walau ngiangan terdengar sangat jelas tanda sumber suara
berada dekat dengan dirinya.
"Siapa yang barusan bicara?" tanya si gadis. Tak ada jawaban. Tapi ada suara
seperti orang menarik nafas.
Sakuntaladewi menatap ke atas, ke arah atap ruangan yang berbentuk kerucut.
Dalam hati dia berkata. "Suaranya seperti suara orang sudah berusia lanjut...."
Si gadis pejamkan mata. Nafas ditahan seketika lalu dihembuskan. "Hemm...aku
merasakan ada dua detakan jantung. Satu berada dalam ruangan ini. Satu lagi di
luar ruangan." Lalu kembali gadis ini menegur. "Hai, siapa yang tadi bicara"
Mengapa tidak mau unjukkan diri?"
"Lakukan saja apa yang tadi disarankan. Kita tidak punya waktu lama." Suara
mengiang menjawab. Kali ini bukan suara orang tua tapi menyerupai suara anak
lelaki. "Penghuni Ruang Segi Tiga Nyawa. Jika kalian bersahabat dengan diriku harap
perlihatkan diri."
"Sakuntaladewi, lakukan saja apa yang dikatakan orang. Kita tidak punya waktu
banyak." Kembali terdengar suara mengiang anak lelaki
mengulang ucapan.
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal terkejut.
"Mahluk yang bicara tahu namaku..." Ucap si gadis dalam hati.
Tiba-tiba ada suara seperti angin berdesir di atap sebelah atas. Lalu sayupsayup terdengar suara tambur dan tiupan suling.
Sakuntaladewi mendongak ke atas atap yang berbentuk kerucut.
Astaga! Samar-samar dia melihat sepasang kakek nenek
berselempang kain putih di atas sana, mengambang diluar atap.
"Kakek nenek berdua...."
Sakantaladewi rundukkan tubuh memberi
penghormatan. Dadanya berdebar tapi dia tetap berlaku tenang.
Dua kakek nenek di atap Ruang Segi Tiga Nyawa
gerakkan tangan dan jari jemari mereka. Menyampaikan ucapan bahasa orang bisu!
Kedua orang tua itu bukan lain adalah Sepasang Arwah Bisu yang merupakan kakek
nenek Sakuntaladewi.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
13 AKUNTALADEWI perhatikan gerakan jari dan tangan
S sepasang kakek nenek. Namun kedua orang itu
masih terlalu samar hingga Sakuntaladewi tidak dapat membaca atau mengartikan
apa yang tengah dikatakan Sepasang Arwah Bisu melalui gerakan jari dan tangan
mereka. Sakuntaladewi menunggu sebentar. Begitu sosok kakek dan neneknya berubah jelas,
gadis ini segera membuat gerakan jari dan tangan bahasa orang bisu tanpa
memperdulikan apa yang hendak disampaikan dua kakek nenek di atas sana.
"Kakek nenek berdua, apakah datang untuk
mengeluarkan saya dari dalam ruangan ini?"
Kakek berselempang kain putih langsung membalas
menjawab dengan gerakan jari dan tangan pula.
"Cucuku Sakuntaladewi, kami berdua datang bukan untuk mengeluarkanmu dari tempat
dimana saat ini kau berada "
Karuan saja Sakuntaladewi menjadi kaget. Dia adalah cucu darah daging dua kakak
sakti. Tapi mereka muncul justru bukan untuk menolongnya!
Nenek berselempang kain putih gerakkan jari dan
tangan. "Cucuku, jangan unjukkan air muka kecewa. Sesungguhnya kau berada dalam satu
keberuntungan dan kesempatan besar untuk menolong Raja dan Kerajaan Mataram."
Karena masi belum bisa mengerti Sakuntaladewi diam saja.
Si kakek lalu menggerakkan tangan.
"Kami datang untuk meminta agar kau mengikuti apa yang disampaikan orang melalui
suara mengiang. Karena itu adalah petunjuk Para Dewa. Kau akan menghadapi satu
kejadian besar. Jika kau berbuat bakti maka kau akan menerima pahala besar
termasuk penentuan jodoh bagi masa depanmu. Lekas lakukan sebelum orang dan roh
jahat muncul membuat kekacauan dan menghalangi
tindakanmu."
Sakuntaladewi terkejut. Dia bertanya dengan membuat gerakan tangan bahasa orang
bisu. "Kek, apa yang kau maksudkan dengan penentuan jodoh" Apakah..."
Nenek berselempang kain putih memotong gerakan
tangan bahasa yang disampaikan Sakuntaladewi.
"Cucuku, dari dulu kau selalu banyak bertanya. Padahal keadaan sudah sangat
mendesak. Lekas usap wajahmu tiga kali dengan tangan kanan."
Di kejauhan sayup-sayup kembali terdengar suara
tambur dan suling. Sosok sepasang kakek nenek perlahan-lahan berubah samar.
Sakuntaladewi tersentak.
"Tunggu!" Sakuntaladewi berseru namun Sepasang Arwah bisu raib sudah. Keadaan
dalam ruangan terasa sangat sunyi. Keredupan semakin temaram.
Sakuntaladewi angkat tangan kanan. Telapak
dikembangkan, dipandangi beberapa lama. Lalu wajah diusap tiga kali berturutturut. Begitu salesai mengusap di kejauhan terdengar suara dentangan lonceng.
Lalu ada cahaya kuning lembut menyapu seantero ruangan. Tempat yang disebut
Ruang Segi Tiga Nyawa itu, yang tadinya redup mendadak berubah terang. Ternyata
ruangan itu cukup luas dan keseluruhan lantai, dinding serta atap yang berbentuk
kerucut merupakan tanah merah keras.
Ketika menatap ke arah depan yang adalah ujung salah satu dari sudut segi tiga
dalam ruangan, Sakuntaladewi terkejut. Tadi sewaktu pertama kali ruangan berubah
terang dia tidak melihat benda itu.
Benda yang dilihat Sakuntaladewi adalah seuntai rantai besar merah, bergulung
demikian rupa, mengambang di dalam ruangan seolah melingkari sesuatu.
"Rantai besi aneh. Empat Mayat Aneh membawaku ke Candi Kalasan lalu ada orang
menarikku masuk ke dalam ruangan ini. Apakah hanya untuk melihat rantai ini"
Empat Mayat Aneh mengatakan ada seseorang yang menyuruh-nya. Di ruangan ini sama
sekali tidak ada sepotong ma-nusiapun!"
Dalam keadaan hati tidak enak kembali Sakuntaladewi menatap ke arah rantai besi
besar. Tiba-tiba rantai itu memancarkan cahaya merah seolah berubah menjadi bara
api walau tidak ada hawa panas terasa menebar. Belum habis kejut si gadis, di
dalam gulungan rantai menyala perlahan-lahan muncul sosok seorang kakek bertubuh
kurus kering, hanya mengenakan sehelai kain putih sebatas pinggang ke bawah.
Tulang-tulang iga bertonjolan seperti jerangkong. Muka yang tinggal kulit
pelapis tulang membuat tampangnya nyaris menyerupai tengkorak hidup namun
anehnya tampang itu tidak menyorotkan ke-angkeran atau rasa seram bagi orang
yang melihatnya.
Selain itu si orang tua memiliki rambut, kumis serta janggut berwarna biru.
Kakek itu duduk bersila di lantai tanah merah. Seluruh tubuhnya digulung oleh
rantai merah besar menyala.
Setelah terpana beberapa ketika menyaksikan sosok tua dalam libatan rantai merah
Sakuntaladewi membungkuk memberi penghormatan. Dia maklum orang tua itu pasti bukan orang
sembarangan. Lalu gadis ini beranikan diri menegur.
"Orang tua, saya tersesat masuk ke tempat ini. Mohon-maaf kalau saya mengganggu
ketenteramanmu..."
Orang tua di dalam gulungan rantai merah mengangkat kepala sedikit, menatap tapi
tidak menjawab.
"Kalau saya boleh tahu kau ini siapa?" Bertanya Sakuntaladewi.
"Aku seorang Empu. Berasal dari Gunung Bismo.
Namaku Semirang Biru." Si orang tua dalam gulungan rantai besi keluarkan ucapan
untuk pertama kalinya.
"Empu Semirang Biru?" Sakuntaladewi berpikir sejenak.
Tiba-tiba dia ingat. "Orang tua, kalau namamu memang itu, saya pernah menyirap
cerita. Bukankah kau pembuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dikabarkan lenyap
diculik orang dari dalam Istana Mataram sebelum bencana Malam Jahanam melanda
Bhumi Mataram?"
"Cerita itu memang benar "
"Empu, maaf kalau saya memotong bicaramu. Empat Mayat Aneh membawa saya ke Candi
Kalasan. Katanya atas suruhan seseorang..."
"Akulah orangnya yang menyuruh."
"Ooo..." Sakuntaladewi ternganga.
"Tapi saya rasa saat ini saya tidak berada di kawasan Candi Kalasan. Ada orang
yang membobol peti mati di mana saya berada, lalu menarik saya masuk ke dalam
tanah. Saya berusaha mengetahui orang itu tapi keburu tidak sadarkan diri."
"Anak gadis, ketahuilah saat ini kau berada tepat dibawah Candi Plaosan Lor.
Sesungguhnya aku sudah beberapa hari menunggumu."
Untuk kesekian kalinya Sakuntaladewi dibuat
tercengang. "Empu, rantai merah yang melingkari tubuhmu, apakah rantai itu milikmu atau...."
"Ada seseorang sakti tapi tidak berhati putih. Karena tidak bisa membunuhku
karena aku mendapat
perlindungan dari Para Dewa orang sakti itu lalu
membelenggu aku dengan rantai merah ini yang disebut Rantai Kepala Arwah Kaki
Roh. Rantai ini adalah benda curian milik seorang pertapa sakti dipuncak Gunung
Semeru." "Empu, siapa orang jahat yang mengikat dirimu dengan rantai itu?" Bertanya
Sakuntaladewi. "Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga Purana."
Lagi-lagi Sakuntaladewi dibuat terkejut.
"Kalau begitu biar aku coba membebaskan dirimu dari rantai itu," kata si gadis
pula. Empu Semirang Biru gelengkan kepala.
"Ada hal lain yang lebih penting yang dapat kau lakukan.
Jika kau berhasil maka kau akan mampu memutuskan
rantai merah ini. Kau sendiri kemungkinan akan bebas dari azab sengsara yang kau
derita selama ini."
Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang
Biru. Dia pegang rantai merah di bagian bahu kiri kanan si orang tua dan
berkata. Walau rantai itu tampak merah menyala namun dua tangannya terasa dingin
aneh hingga gadis itu menggigil dan giginya bergemeletukan.
Sakuntaladewi tarik kedua tangannya. Menatap Empu Semirang Biru dengan perasaan
heran karena orang tua ini sama sekali tidak tampak kedinginan. Padahal sekujur
tubuhnya digulung rantai.
"Hal apa Empu" Katakan apa yang harus saya
lakukan?" Empu berambut biru itu dongakkan kepala,
memandang ke arah atap runcing Ruang Segi Tiga Nyawa.
Sakuntaladewi ikuti pandangan si orang tua. Begitu dia melihat ke atas, dadanya
berdebar, darah berdesir dan sepasang bola mata membesar.
"Tadi benda itu tidak ada di sana. Apakah "
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
14 I ATAP ruangan segi tiga yang berbentuk kerucut,
Dmenancap sebilah keris. Bagian yang menancap
adalah gagang yang masih telanjang sementara bagian badan dan ujung yang runcing
menukik ke bawah.
Keseluruhan badan keris yang memiliki luk sembilan memancarkan cahaya biru.
Anehnya, di sebelah kanan badan keris, mulai dari ujung runcing sampai ke bagian
bawah yang melebar lancip, tampak gabungan cahaya tujuh warna, memanjang dan
bergelombang mengikuti luk keris yang sembilan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Walau berada jauh di atas atap ruang segi tiga namun Sakuntaladewi bisa merasa
dan mencium tebaran bau harum keluar dari badan keris.
"Sakuntaladewi, senjata tak bergagang itu adalah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Kelak senjata itu akan menjadi benda pusaka Kerajaan Mataram. Aku yang
membuatnya atas petintah Yang Mulia Rakai Kayuwangi Raja Mataram.
Kini aku dan keris bertuah berada dalam perlindungan Para Dewa di Ruang Segi
Tiga Nyawa ini! Tapi aku tetap merasa kawatir."
Sakuntaladewi tegak tak bergerak. Mata tak berkedip.
Tanpa mengalihkan pandangan gadis ini bertanya.
"Empu, bagaimana kejadiannya keris sakti Kerajaan dan dirimu bisa berada di
tempat ini?"
"Semua gara-gara perbuatan dua Sinuhun yang berhasil membujuk anak lelaki sakti
bemama Kesatria Junjungan itu." Jawab Empu Semirang Biru. "Sakuntaladewi, hanya
kau yang mampu menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Namun kita masih memerlukan bantuan
seseorang. Bukankah kau mengenal seorang gadis yang punya
kepandaian menangkap petir?"
"Maksud Empu gadis bernama Jaka Pesolek?" Tanya Sakuntaladewi.
"Kalau memang itu namanya maka itulah orangnya."
"Saya tidak tahu dia berada di mana. Terakhir sekali dia masih berada di Bukit
Batu Hangus sewaktu Empat Mayat Aneh memasukkan saya ke dalam peti mati."
"Aku punya firasat sebentar lagi gadis itu akan sampai di tempat ini. Biar kita
bersabar menunggu. " Kata Empu Semirang Biru pula.
"Empu, di sini tidak ada petir. Lagi pula kalau hanya untuk mengambil dan
menyelamatkan keris sakti di atas atap sana, saya bisa melakukan."
Habis keluarkan ucapan Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke lantai tanah
merah. "Desss!"
"Wutt!"
"Hyang Jagat Bathara! Jangan lakukan!" Teriak Empu Semirang Biru.
Tapi terlambat!
Tubuh Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal melesat membal ke atas atap
Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbentuk kerucut dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Tangan dipentang siap
untuk menjangkau senjata sakti. Namun baru satu tombak dia berada di atas lantai
ruangan tiba-tiba di atas sana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya
terang putih menyilaukan. Warna putih ini bukanlah warna atau
kekuatan asli yang mengendap dalam tubuh keris. Kejap itu juga terdengar suara
menggelegar. Lalu blaarr! Kilauan cahaya putih panas menyambar keluar dari keris
sakti! Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat! Dinding dan atap ruangan yang terbuat
dari tanah merah keras
berguguran, membuat keadaan dalam ruangan sesaat
menjadi redup merah. Empu Semirang Biru kembali
berteriak. Mulut menggembung lalu meniup. Satu
gelombang angin menderu menerpa ke arah
Sakuntaladewi, mendorong tubuh si gadis agar tidak berada di arah lurus
datangnya cahaya putih yang laksana petir. Namun sambaran cahaya putih
menyilaukan dan panas datang lebih cepat.
Sakuntaladewi sendiri saat itu menjerit ketika melihat kilatan putih panas
menggebubu ke arahnya. Untuk
melindungi diri gadis ini segera keluarkan jurus Enam Belas Gerakan Tangan Bisu.
Selain itu tubuhnya yang telah terdorong ke samping akibat tiupan Empu Semirang
Biru segera dibanting ke kiri hingga menghantam dinding ruang segi tiga.
"Wusss!"
Cahaya putih panas menyambar ganas.
Kembali terdengar jeritan si gadis. Lalu tubuhnya melayang jatuh ke bawah tapi
masih sanggup berdiri di atas kakinya yang cuma satu. Wajah tampak pucat.
Pakaiannya yang berwama jingga hangus hitam di sisi sebelah kanan.
"Sakuntaladewi, kau tidak apa-apa"!" Empu Semirang Biru berteriak cemas.
"Berkat pertolongan Empu melepas tiupan sakti tadi, saya selamat. Saya hanya
merasa sedikit kehilangan keseimbangan. Pakaian hangus, tubuh sebelah kanan
seperti mati rasa..." Menjawab Sakuntaladewi sambil bersandar ke dinding. Nafas
sesak dada turun naik. Selagi dia berusaha mengatur jalan darah dan mengalirkan
hawa sakti di dalam tubuh, tiba-tiba kaki tunggalnya merasakan getaran-getaran
di tanah. "Ada orang berjalan cepat. Menuju ke sini..." Ucap si gadis dalam hati. Baru
saja membatin begitu tiba-tiba dari arah kanan ruang segi tiga tampak samarsamar cahaya kuning. Cahaya kuning lenyap. Lalu ada suara seperti orang melengak
kaget, disusul ucapan.
"Aku takut. Aku mau kencing. Tapi tadi aku mendengar suara petir menggelegar.
Senang juga rasanya.
Oala...dimana aku ini sebenamya berada! Hai, di depan sana ada cahaya terang
kemerahan..."
Sakuntaladewi segera mengenali suara orang. Sesaat kemudian orangnya muncul,
mencuat keluar dari dinding tanah merah sebelah kanan, tegak terheran-heran.
Ketika pandangannya membentur sosok Sakuntaladewi orang ini langsung berteriak
girang! "Sobatku cantik! Ternyata kau ada di sini!"
"Huss! Jangan berteriak! Beri hormat dulu pada orang tua penghuni ruangan."
"Penghuni ruangan katamu! Hai apakah dia seorang lelaki gagah"!" Jaka pesolek
segera saja keluarkan cermin dan kotak bedaknya. Setelah berkaca dan memoles
bedak serta pemerah bibir dan merapikan rambut, gadis ini simpan semua benda itu
dan berpaling pada
Sakuntaladewi. "Mana" Siapa" Mana orang gagah itu?"
Sakuntaladewi geleng-geleng kepala. Dia menunjuk ke kiri. Jaka Pesolek mula-mula
hanya menampak gulungan rantai merah. Sesaat kemudian baru melihat sosok kakek
yang ada dalam libatan rantai. Si gadis terperangah karena sebelumnya menyangka
yang yang disebut sebagai
penghuni ruangan itu adalah seorang lelaki muda dan gagah. Ternyata seorang
kakek berwajah tengkorak dan bertubuh seperti jerangkong.
"Gadis berbaju merah, apakah kau masih ingin kencing?" Orang tua di dalam
gulungan rantai merah bertanya.
Jaka Pesolek menatap tak berkesip. Tersenyum lalu anggukkan kepala. "Sekarang
malah sudah terdesak.
Rasanya sudah diujung-ujung..."
Empu Semirang Biru ikutan tersenyum. Dia meniup ke arah tubuh Jaka Pesolek.
"Tahan dulu kencingmu sampai nanti."
Jaka Pesolek terperangah. Dia merasa ada hawa dingin menyapu tubuh. Buru-buru
gadis ini memegang bagian bawah perutnya. Aneh, rasa terdesak ingin kencingnya
telah lenyap. Sambil tersenyum dia berkata.
"Kek, ilmu menahan kencingmu boleh juga. Apa ada ilmu lain yang lebih
mantap.Misalnya membuat besar......"
"Huss! Jangan bicara sembarangan!" Bentak Sakuntaladewi. Lalu dia berpaling pada
Empu Semirang Biru dan berkata.
"Empu, ini gadis bernama Jaka Pesolek yang Empu cari."
Sepasang mata Empu Semirang Biru membesar, kening mengerenyit.
"Dewa Maha besar. Akhirnya orang yang ditunggu sudah datang." Kata Empu Semirang
Biru pula. Tapi sungguh aku tidak mengira. Yang namanya Jaka Pesolek itu
ternyata adalah seorang gadis cantik."
Jaka Pesolek tersenyum dan terbatuk-batuk. "Kek, terima kasih atas pujianmu,"
katanya. "Aku ini manusia paling beruntung di dunia. Karena dalam ujudku yang
seperti ini sebenamya aku bisa jantan bisa betina."
Kepala Empu Semirang Biru tertegak. Wajah terheran-heran.
Sakuntaladewi cepat berkata. "Empu, harap jangan dengarkan ucapannya."
Empu Semirang Biru untuk pertama kalinya keluarkan suara tertawa.
Tiba-tiba orang tua ini sadar. "Hyang Jagat Bathara mohon ampunMu. Tidak
sepantasnya aku tertawa.
Masalah besar masih menggantung..."
"Empu, orang yang Empu tunggu sudah berada di sini.
Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Bertanya Sakuntaladewi.
Empu Semirang Biru mengangguk. "Aku ingin bertanya dulu. Jaka Pesolek, gadis
cantik yang pandai menangkap petir. Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini.
Padahal aku baru menyusun rencana bersama Sakuntaladewi
untuk mencarimu..."
"Waktu berada di Candi Kalasan, tiba-tiba ada cahaya kuning menyelubungi diriku.
Tahu-tahu aku sudah amblas masuk ke dalam tanah. Di dalam tanah anehnya aku
seperti berada di alam terbuka saja. Cuma suasananya memang agak gelap. Lalu ada
satu cahaya kuning disertai gema suara lonceng di kejauhan. Cahaya kuning itu
bergerak ke depan. Aku mengikuti dan akhimya sampai di tempat ini."
"Cahaya kuning dan suara lonceng?" Ucap Empu Semirang Biru. "Para Dewa telah
menolongmu melalui kepanjangan tangan seorang anak sakti bernama Mimba Purana.
Aku bersyukur kau bisa selamat sampai di sini.
Kau memang sudah sangat ditunggu-tunggu. Sekarang...."
Belum sempat si orang tua menyelesaikan ucapan tiba-tiba ada suara perempuan
berseru. "Aku mendengar orang bicara! Tadi ada suara seperti petir menyambar. Apakah
kedatanganku juga sudah
ditunggu"!"
Sesaat kemudian satu bayangan hijau berkelebat
memasuki bagian terang merah Ruang Segi Tiga Nyawa disertai menebarnya bau
harum. "Hai! Kalian berdua ada di sini rupanya. Tapi mana sang Kesatria Panggilan"!"
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
15 ANG MUNCUL temyata Kunti Ambiri alias Dewi Ular.
Y Rambut panjang hitam yang tergerai lepas tidak lagi bermahkota membuat
wajahnya tambah cantik. Namun
wajah yang tadi cerah gembira kini kelihatan kecewa karena tidak melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat itu. Ketika memandang ke arah Empu Semirang
Biru yang berada dalam gulungan rantai merah, Kunti Ambiri tampak terkejut. Tapi
dia tidak lupa membungkuk memberi
penghormatan. "Kek, apa yang terjadi denganmu. Kau ini memang senang nyaman tinggal berada di
dalam gulungan rantai atau kau tengah menjalani hukuman?"
"Tak usah memikirkan diriku." Menyahuti Empu Semirang Biru. Lalu dia berpaling
pada Sakuntaladewi dan bertanya. "Sahabatmu yang baru datang ini, apa dia juga
bisa jantan bisa betina?"
"Weleh! Aku disamakan dengan si pencuri celana dalam ini! Puiiih!" Ucap Kunti
Ambiri sambil menunjuk Jaka Pesolek lalu tertawa gelak-gelak. Empu Semirang Biru
yang tidak tahu cerita celana dalam itu tentu saja terheran-heran sementara Jaka
pesolek mesem-mesem jengkel.
Kunti Ambiri kembali membungkuk ke arah si orang tua lalu berkata. "Kek, aku
Kunti Ambiri dan aku perempuan betulan." Lalu gadis dari alam roh ini berpaling
ke arah Sakuntaladewi. "Sahabat, aku lihat pakaianmu hangus di sisi kanan. Tadi
aku mendengar suara menggelegar
disertai kilatan terang seperti petir menyambar. Apa yang terjadi di sini.
Tempat apa ini namanya?"
Sakuntaladewi menunjuk ke atas atap ruangan.
"Tadi aku mencoba mengambil keris yang menancap di atas sana. Tak terduga
senjata itu mengeluarkan cahaya putih panas menggelegar laksana petir. Untung
kakek itu menyelamatkan diriku..."
Kunti Ambiri memandang ke atas. Yang lain-lain ikut memperhatikan.
"Keris tidak bergagang. Menancap di atap ruangan. Aku yakin senjata sakti ini
yang oleh dua Sinuhun disebut sebagai Mahkota di atas Mahkota. Aku mencium hawa
aneh dibalik keharuman yang menebar. Senjata itu dihuni kekuatan jahat."
"Kau benar Kunti Ambiri," berkata Empu Semirang Biru.
"Mungkin kau belum tahu. Aku membuat keris itu atas perintah Raja Mataram. Keris
bernama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Keris dicuri oleh dua Sinuhun dengan
memperalat arwah seorang pertapa sakti bernama Sedayu Galiwardhana yang saat ini
telah menemui kematian untuk kedua kalinya. Para Dewa menciptakan Ruang Segi
Tiga Nyawa ini untuk melindungi keris. Dua Sinuhun dan kaki tangannya termasuk
anak sakti Dirga Purana tidak mampu menembus ruangan ini untuk mengambil
keris..." "Tapi Kek, tadi aku mudah saja masuk ke ruangan ini.
Apa ilmu kesaktianku jauh lebih hebat dari dua Sinuhun dan anak bernama Dirga
Purana itu" Berkata Kunti Ambiri yang membuat Jaka Pesolek mencibir.
"Para Dewa telah membuat aturan," jawab Empu Semirang Biru. "Siapa saja orang
atau mahluk yang memiliki benjolan di keningnya tidak akan bisa menembus ruangan
ini. Mereka adalah dua Sinuhun dan para
pengikutnya. Tapi mereka tidak tinggal diam. Agar tidak ada orang yang dapat
mengambil senjata itu mereka lalu memasukkan satu kekuatan jahat ke dalam keris
berupa sambaran petir ganas. Siapa saja yang coba mendekat apa lagi berniat
mengambil keris pasti akan dihantam petir yang keluar dari dalam keris. Dewa
Agung! Keris itu harus diselamatkan sebelum dua Sinuhun dan lelaki sakti bernama
Dirga Purana bisa menemukan cara untuk
merampasnya. Tapi kekuatan jahat yang ada dalam keris menjadi penghalang sangat
berbahaya. Sakuntaladewi sudah merasakan..."
"Keris Kanjeng Sepuh Pelangi...." Ucap Kunti Ambiri. Dia berpaling kembali
memperhatikan Sakuntaladewi. Tiba-tiba gadis kaki satu ini bertanya.
"Kek, berapa jumlah luk keris buatanmu itu?"
"Sembilan." Jawab Empu Semirang Biru.
"Sakuntaladewi, apa yang ada di dalam pikiranmu?" Si orang tua bertanya.
"Saya merasakan ada sesuatu. Apakah Yang Mulia Raja Mataram yang minta agar Empu
menciptakan keris berluk sembilan?"
Empu Semirang Biru terpana mendengar pertanyaan si gadis.
"Tidak. Utusan Sri Baginda Raja Mataram hanya menyerahkan logam sakti cikal
bakal untuk pembuatan keris. Selagi aku membuat senjata itu seorang kakek aneh
muncul. Dia merubah kedua tanganku menjadi bara api hingga aku mampu membuat dan
membentuk keris dalam waktu sangat cepat. Ketika keris selesai baru aku sadari
kalau senjata itu memiliki sembilan luk. Sakuntaladewi, katakan apa yang ada
dalam benakmu."
Gadis berkaki satu usap pakaiannya yang hangus. Dari dalam gulungan rantai besi
Empu Semirang Biru berkata.
"Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu." Lalu orang tua ini meniup ke arah si gadis.
Inilah satu-satunya ilmu kesaktian yang dimilikinya. Pakaian jingga itu masih
tampak hangus namun mati rasa yang dialaminya pada sisi kanan tubuh lenyap
seketika. "Empu, terima kasih. Lagi-lagi kau menolongku."
"Sakuntaladewi, kau belum menjawab pertanyaanku.
Katakan apa yang ada dalam benakmu. Mengapa kau
menanyakan jumlah luk Keris Kanjeng Sepuh Pelangi?"
"Saya tidak tahu Empu. Hal itu muncul saja dalam jalan pikiran saya. Saya
menaruh dugaan jumlah luk yang sembilan merupakan..."
"Sudahlah, mengapa membicarakan luk keris itu." Kunti Ambiri memotong bicara
Sakuntaladewi. Lalu pada sang Empu dia berkata. "Kek, aku ingin sekali
menolongmu. Izinkan aku mengambil keris di atap ruangan."
"Kunti Ambiri, aku tahu kau bukan gadis sembarangan.
Tapi jangan berani mencoba...."
Sebelum selesai si orang tua berucap Kunti Ambiri telah berdiri dengan dua kaki
terkembang. Perut dibusungkan kedepan.
"Desss!"
Dari pusar Kunti Ambiri melesat keluar seekor ular hitam besar berkepala putih.
"Ambil keris di atas atap!" Memerintah Kunti Ambiri.
Sambil keluarkan suara mendesis keras ular hitam
kepala putih melesat ke atas atap. Seperti tadi
kejadiannya, pada saat sosok binatang jejadian ini baru berada sekitar satu
tombak di atas lantai ruangan tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan
cahaya putih terang. Lalu terdengar suara menggelegar yang
menggoncang seantero ruangan. Cahaya putih panas
menyilaukan berkiblat.
"Wusss!"
"Blaarr!"
Tubuh ular hitam kepala putih hancur berubah menjadi puluhan kepingan dikobari
api. Luruh jatuh ke lantai ruangan bersama runtuhan debu clan tanah merah.
Kunti Ambiri terpekik melihat apa yang terjadi. Seperti kalap dia siap melompat
ke atas atap. Dua tangan
dipentang pertanda akan segera melancarkan dua pukulan sakti.
"Kunti! Jangan! Tetap di tempatmu!" Empu Semirang Biru berteriak.
Sakuntaladewi cepat menghalangi namun Jaka Pesolek bertindak lebih cepat. Dengan
gerakan kilat dia menelikung pinggang Kunti Ambiri lalu menjatuhkan diri ke
lantai sambil menarik tubuh gadis alam roh itu.
"Tujuh puluh tahun aku memelihara mahluk itu.
Sekarang dia mati percuma. Lihat saja pembalasanku!"
"Sssttt, mengapa bicara menyebut bilangan tahun segala. Sama saja kau memberi
tahu kalau dirimu
sebenarnya sudah tua bangka!" Berkata Jaka Pesolek setengah berbisik.
Kunti Ambiri hendak menyemprot. Tapi Jaka Pesolek mendahului bicara. "Sssshhh,
apa kau lupa ucapan Nyi Loro Jonggrang. Kau sudah berubah jadi orang baik.
Jangan kesusu bertindak. Kita berada di tempat aneh.
Salah bertindak bisa konyol. Biar aku yang akan
mengambil keris di atas atap. Tanganku sudah gatal karena sudah lama tidak
bermain petir-petiran. Yang satu ini cuma petir kecil. Kalau keris sudah dapat
akan aku berikan padamu biar hatimu senang..."
"Sakuntaladewi, Jaka Pesolek, dengar apa apa yang aku katakan." Empu Semirang
Biru yang sempat mendengar ucapan Jaka pesolek berkata. "Kalian berdua memang
sudah diatur agar bisa datang ke sini. Sebelumnya aku menunggu kalian di Candi
Kalasan. Tapi keadaan tidak mengizinkan. Para Dewa memindahkan diriku ke tempat
ini dan membuat Ruang Segi Tiga Nyawa untuk melindungi diriku dan keris
sakti..." "Kek, mengapa Para Dewa tidak sekalian menolong memusnahkan rantai besi merah
yang melibat sekujur tubuhmu?" Kunti Ambiri bertanya.
"Semua sudah diatur. Rantai besi ini hanya bisa diputus oleh Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Sekarang jangan ada yang bertanya sebelum aku memberi tahu satu
petunjuk sesuai apa yang aku terima dari satu mahluk sakti.
Sakuntaladewi kau melesatlah ke atap. Seperti tadi keris sakti yang telah diisi
kekuatan jahat pasti akan menghantamkan cahaya kilat seperti petir. Jaka
Pesolek, kau punya kewajiban menangkap petir. Pada saat petir sudah
dilumpuhkan kekuatannya kau Sakuntaladewi cepat
Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil keris di atas atap..."
"Oala! Mengapa gadis itu! Aku juga bisa melakukan!"
Tiba-tiba satu suara menggema di luar Ruang Segi Tiga Nyawa.
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN SUKMA MERAH
16 ARI dinding sebelah kiri mencuat masuk ke dalam
Druangan seorang perempuan berusia lebih dari
setengah abad, rambut hitam agak awut-awutan. Pakaian kotor. Walau sudah berusia
lanjut tapi memiliki tubuh molek serta wajah cantik.
Melihat Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, perempuan yang baru datang
yang bukan lain adalah Ratu Randang langsung menegur.
"Kalian bertiga ternyata ada di sini." Lalu perempuan yang biasa dipanggil
dengan sebutan Ratu atau Nenek ini berpaling ke arah Empu Semirang Biru, yang
terakhir kali dilihatnya di Istana Raja Mataram sebelum diculik oleh seseorang.
"Sahabat lama Empu Semirang Biru, tidak kusangka kau punya tetirahan ditempat
ini. Terima salam hormatku."
Setelah membungkuk Ratu Randang mendekati sang
Empu, meraba rantai merah yang menggelung sekujur tubuh si kakek. "Aku bersedih
melihat keadaanmu. Sayang tingkat ilmuku tidak mungkin aku dapat melepaskan
rantai ini. Aku bisa menduga apa yang terjadi denganmu. Ini pasti pekerjaan dua
Sinuhun jahanam!"
Empu Semirang Biru tersenyum.
"Ratu Randang, aku gembira bisa bertemu denganmu lagi. Aku baik-baik saja.
Jangan kawatirkan diriku. Ratu, bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Empu
Semirang Biru pula.
"Ketika berada di depan Candi Kalasan sendirian, menyamar sebagai seekor kucing
putih, sekonyong-konyong ada delapan anak kucing merah melesat dari langit.
Langsung menyerangku." Si nenek memperlihatkan pakaiannya yang robek serta bekas
luka di tangannya.
"Delapan anak kucing merah!" Kata Empu Semirang Biru pula. "Binatang itu adalah
peliharaan anak lelaki jahat bernama Dirga Purana, junjungan dua Sinuhun."
"Aku juga menduga begitu," jawab Ratu Randang. Lalu meneruskan ceritanya.
"Ketika aku dibuat tak berdaya dan siap dijadikan mangsa dicabik-cabik tiba-tiba
ada orang menarik tubuhku hingga amblas masuk ke dalam tanah.
Aku memperhatikan. Ternyata orang itu adalah Kumara Gandamayana, orang
kepercayaan Raja Mataram dan juga sahabatku.Tapi anehnya dia tidak mengaku kalau
dirinya adalah Kumara Gandamayana. Padahal sorban di kepala dan jubah kelabu
serta kasut putih yang dikenakannya sangat aku kenali. Ketika aku memaksa agar
dia menerangkan siapa dirinya sebenarnya, orang tua itu malah berkata siapa dirinya
bisa ditanyakan pada orang yang akan aku temui. Aku kemudian disirap hingga
tertidur. Ketika terbangun aku telah berada beberapa langkah dari tempat ini. Dan ternyata
orang yang kutemui adalah dirimu.
Nah, cerita apa yang bisa kau berikan padaku Empu Semirang Biru?"
Sambil bertanya Ratu Randang melirik ke atap ruangan dimana masih menancap Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Dia juga memandang berkeliling. Merasa heran tidak
melihat Wiro berada di tempat itu. Padahal sebelumnya sewaktu masih berada di
Candi Kalasan sang pendekar
mengatakan akan menyusul Kunti Ambiri.
"Mengenai kakek bersorban dan berjubah kelabu itu, dia memang mempunyai banyak
pantangan. Salah satu diantaranya dia tidak akan mau memberi tahu nama. Aku
sendiripun tidak tahu siapa namanya...."
"Oala! Jauh jauh kesini ternyata kau sendiri tidak tahu siapa nama kakek yang
menolongku!" Tukas Ratu Randang.
"Soal nama tidak penting." Menyahuti Empu Semirang Biru. "Walau tidak tahu nama
tapi aku tahu siapa dia sebenamya. Dia adalah Embah Buyut dari Kumara
Gandamayana."
Ratu Randang terkejut. "Jadi dia adalah kakek dari kakek dari kakeknya Kumara
Gandamayana. Pantas wajah kakek itu mirip sekali dengan Kumara Gandamayana. Lalu
pakaian, sorban kelabu serta kasut putihnya juga sama."
"Dia juga adalah orangnya yang menculik aku dari Istana Mataram. Aku
diselamatkan di tempat yang aman bersama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang
berhasil direbut kembali dari roh jejadian pertapa Sedayu
Galiwardhana. Para Dewa kemudian memindahkan aku ke tempat ini karena kawatir
dua Sinuhun Muda akan
merampas senjata itu kembali dan membunuh aku. Walau diriku belum berhasil
mereka babisi tapi mereka
membuatku begini rupa. Digulung dengan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Seorang
anak lelaki sakti bernama Dirga Purana ikut membantu mereka..."
"Anak bernama Dirga Purana itu, menurut riwayat dia adalah saudara kembar anak
lelaki sakti Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa."
"Memang begitu riwayatnya Ratu. Dirga Purana tumbuh sebagai seorang anak jahat,
berpihak pada dua Sinuhun.
Mimba Purana menjadi anak baik, berpihak pada Raja Mataram." Kata Empu Semirang
Biru pula. Ratu Randang menatap ke atap ruangan. "Empu, senjata sakti yang bakal menjadi
Pusaka Istana Mataram itu, mengapa berada di atas sana?"
"Inilah yang menjadi persoalan," jawab Empu Semirang Biru. "Karena tidak dapat
menguasai senjata sakti itu dua Sinuhun menyusupkan kekuatan jahat berupa
sambaran kilat atau petir. Siapa saja yang mendekat keris pasti akan dihantam
hangus bahkan leleh!"
"Ooo, kebetulan aku sudah hampir satu hari tidak bermain petir-petiran. Jika
diizinkan biar aku membuntal petir yang keluar dari dalam keris lalu mengambil
senjata itu." Jaka Pesolek menyeletuk.
"Jaka Pesolek, aku yakin kau bisa memberangus petir yang keluar dari dalam keris
sakti. Itu memang bantuan yang sangat aku harapkan. Tapi tidak ada orang yang
bisa menyentuh apa lagi mencabut senjata itu dari atas atap sana kecuali gadis
bernama Sakuntaladewi ini."
Semua orang yang berada di ruangan itu sama-sama
terkejut. Jaka Pesolek langsung mendekati Sakuntaladewi dan berbisik. "Aku
cemburu. Keris sakti itu jenis kelaminnya pasti laki-laki dan ujudnya seorang
pemuda gagah. Kalau tidak mengapa cuma kau seorang yang bisa meraba dan
mencabutnya" Usapan tanganmu pasti
mantap! Dari dulu sebenarnya aku sudah tahu!
Hik...hik..hik?"
Tanpa berpaling Sakuntaladewi mencubit perut Jaka Pesolek yang berada di
belakangnya sampai gadis ini bergumam kesakitan. Tapi mulutnya masih saja usil.
"Nah, apa kataku. Cubitanmu saja membuat tubuhku glenyer-glenyer. Ayo cubit
lagi. Tapi ke sebelah bawah sedikit! Hik...
hik... hik."
"Dasar pencuri celana!" Kunti Ambiri mendamprat Jaka Pesolek. "Kau kira ini
tempat apa! Orang tengah menghadapi perkara besar bicara sembarangan!"
Jaka Pesolek mencibir lalu menjauhi Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri.
Saat itu terdengar Ratu Randang bertanya.
"Sahabatku Empu Semirang Biru. Mengapa hanya sobatku muda Sakuntaladewi yang
bisa menyentuh dan mencabut keris sakti itu?"
"Inilah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Karena keris sakti konon hanya bisa
disentuh dan dicabut dari atas ruangan oleh seorang gadis yang memiliki cacat
tubuh. Itulah keadilan Yang Maha Kuasa. Setiap insan yang cacat pasti diberi
kelebihan."
Semua orang terkejut mendengar jawaban sang Empu
dan sama-sama memandang ke arah Sakuntaladewi, gadis yang dua pahanya dempet dan
hanya punya satu kaki.
Selagi kesunyian menggantung di dalam Ruang Segi
Tiga Nyawa tiba-tiba di atas atap terdengar suara mengeong riuh dan keras.
Ketika semua orang menatap ke atas, di luar atap tampak delapan ekor anak kucing
berbulu merah membuka mulut memperlihatkan taring sambil mementang, cakar kaki
depan yang menyerupai pisau. Tiga dari delapan anak kucing itu bulu merahnya
kelihatan lebih pekat bahkan tampak kehitaman.
"Delapan Sukma Merah...." Desis Empu Semirang Biru.
"Kalian tidak usah takut. Mereka memiliki benjolan di kening. Mereka tidak akan
sanggup menembus masuk ke dalam ruangan ini...."
"Empu, sebaiknya kita cepat saja mengambil keris itu."
Kata Kunti Ambiri.
Empu Semirang Biru anggukkan kepala, memandang ke arah Jaka Pesolek dan
Sakuntaladewi. Di atas atap suara ngeongan delapan anak kucing semakin keras
hingga ruangan terasa bergetar!
Diam-diam Empu Semirang Biru merasa dadanya
berdebar. Orang tua ini membatin. "Bagaimana kalau dua Sinuhun memiliki ilmu
penangkal baru lalu sanggup menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Dewa
Agung, lindungi kami semua di ruangan ini. Selamatkan Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi dari tangan mahluk-mahluk jahat."
Baru saja Empu Semirang Biru membatinkan
kekawatirannya tiba-tiba brakkk!
Satu sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-robek dipenuhi noda darah.
Di wajah ada tiga guratan luka.
"Wiro!"
Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-sama berteriak. Jaka Pesolek
tidak berteriak tapi melompat lebih dulu menjatuhkan diri di samping sosok yang
terbujur di lantai, langsung memeluknya.
TAMAT Segera menyusul serlal selanjutnya dengan judul: SESAJEN ATAP LANGIT
Pendekar Elang Salju 6 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Pendekar Bodoh 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama