Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh Bagian 1
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Episode : Sang Pembunuh
Ebook by Kalibening
SATU DI UFUK barat cahaya sang surya mulai memudar. Warnanya yang putih benderang
perlahan-lahan berubah kuning kemerahan pertanda tak selang berapa lama lagi
akan memasuki titik tenggelam. Cahaya kuning ini menyaput sebuah bukit batu di
selatan Losari yang puncaknya berbentuk aneh yaitu merupakan dua buah dinding
tinggi pipih dan saling terpisah hanya sejarak satu jari. Jika angin bertiup
melewati celah maka akan terdengar suara seperti tiupan seruling. Penduduk desa
sekitar kaki bukit menganggap bukit itu angker.
Boleh dikatakan tak ada seorangpun yang berani menginjakkan kaki di sekitar kaki
bukit dan mereka memberi nama bukit itu Bukit Batu Bersuling.
Pada petang menjelang senja itu empat orang kelihatan berkelebat dari arah
timur. Gerakan mereka luar biasa cepat dan nyaris tanpa suara. Pertanda mereka
adalah orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi.
Di depan sekali Rayi Jantra, bertindak sebagai penunjuk jalan. Lelaki muda yang
masih menjabat Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini berkat pengobatan yang
diberikan Purnama, dalam waktu dua hari mengalami kesembuhan dari cidera yang
dialaminya. Di belakang Rayi Jantra berlari kakek berkepala botak plontos berpakaian
compang-camping, menggantung empat buah batok kelapa di leher. Kakek ini adalah
Pengemis Empat Mata Angin yang telah menyelamatkan Rayi Jantra ketika dibuang di
jurang oleh orang-orang Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
Sambil berlari sebentar-sebentar si kakek menoleh ke belakang ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Hai gondrong! Kapan kau akan memperbaiki letak anuku..." Si kakek bertanya.
"Sssshhh. Sepanjang jalan kau mungkin sudah bertanya seratus kali! Tenang saja
Kek...." jawab Wiro.
"Siapa bisa tenang! Kalau aku kencing mancurnya ke atas, bukan ke bawah!"
Pengemis Empat Mata Angin meradang. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya
(Misteri Pedang Naga Merah) karena kejahilan Pengemis Empat Mata Angin, dengan
mempergunakan Ilmu
Menahan Darah Memindah Jasad
yang didapatnya dari Luhkentut yaitu seorang nenek sakti di negeri Latanahsilam, Wiro
mempermainkan si kakek dengan cara menanggalkan anggota rahasianya. Ketika
dipasang kembali Wiro sengaja memasang terbalik. Ini yang membuat Pengemis Empat
Mata Angin menjadi khawatir uring-uringan dan terus-terusan mendesak bertanya.
"Kek, kita tengah menghadapi urusan besar. Nanti kalau sudah beres pasti anumu
itu aku perbaiki letaknya!"
Pengemis Empat Mata Angin hanya bisa menggerutu panjang pendek mendengar ucapan
Wiro. Orang ke empat dalam rombongan adalah Purnama, gadis jelita dari Latanahsilam,
negeri 1200 tahun silam.
Dia berlari di samping Wiro dan senyum-senyum melihat Pengemis Empat Mata Angin
yang berlari sambil mengomel.
"Aku mendengar suara tiupan suling..." Wiro keluarkan ucapan.
"Kita hampir sampai," menyahuti Rayi Jantra. Dia menunjuk ke arah utara. Di
kejauhan di atas pepohonan rimba belantara tampak tersembul menjulang Bukit Batu
Bersuling. "Jika angin bertiup melewati celah dua lamping bukit akan
mengeluarkan suara seperti suara seruling." Menerangkan Rayi Jantra. Lalu dia
menyambung ucapannya. "Di sekitar sini biasanya banyak berkeliaran para pengawal
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Hati-hati, setiap saat serangan bisa muncul
membawa maut."
"Aku tidak sudi mati dengan anuku terbalik!" Kata Pengemis Empat Mata Angin pula
masih kesal. Rayi Jantra menyelinap ke balik kerapatan pepohonan, berlari cepat di satu jalan
setapak yang mendaki.
Begitu jalan berubah menurun, di bawah sana kelihatan satu bangunan besar
beratap rumbia tanpa dinding.
Rayi Jantra hentikan lari, memandang tajam-tajam ke arah bangungan, pasang
telinga. "Aneh, mengapa sepi-sepi saja" Menurut perhitunganku malam ini akan ada
pertemuan. Ternyata tak ada seekor kudapun dalam bangunan itu. Tak ada tamu yang
datang." "Jangan-jangan kedatangan kita ke sini ada yang membocorkan," ucap Purnama.
"Siapa?" tanya Rayi Jantra. Tak ada yang memberikan jawaban.
"Mana bangunan yang dinamai Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?" tanya Wiro
sambil membuka caping bambu pemberian Eyang Sinto Gendeng.
"Ikuti aku," jawab Rayi Jantra.
Angin menjelang senja semakin kencang. Suara seperti tiupan seruling terdengar
bertambah keras. Rayi Jantra dan tiga orang lainnya lewati bangungan beratap
rumbia, berlari memasuki sebuah jalan kecil diapit deretan batu hitam setinggi
dua tombak. Jalan kecil itu tertutup batu-batu bulat pipih. Namun keempat orang
itu berlari di atasnya tanpa batu bergesek atau mengeluarkan suara. Mereka
sampai di sebuah rumah panggung yang keadaannya kotor sekali.
"Jadi ini istana yang kau katakan itu...?" tanya Wiro.
Rayi Jantra cepat menjawab dengan goyangkan tangan lalu berbisik. "Aku melihat
semakin banyak keanehan. Pertama keadaan yang sepi. Kedua, rumah panggung ini
setahuku selalu dijaga oleh beberapa pengawal bercelana dan berdestar hitam,
bertelanjang dada membekal golok. Ilmu golok mereka tidak bisa dianggap enteng.
Saat ini tak seorangpun dari mereka tampak mata hidungnya."
"Aku malah mencium adanya jebakan..." ucap Wiro pula sambil menggaruk kepala dan
memandang berkeliling.
"Kita turun ke bawah," kata Rayi Jantra. "Istana bejat itu ada di kolong
bangunan ini. Aku bimbang apakah kita bisa memasuki. Setahuku pintu masuk hanya
lewat satu pintu rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membukanya."
Keempat orang itu segera menuruni tangga. Di sebelah bawah mereka menemui sebuah
dinding batu warna merah. Pada bagian tengah dinding terdapat sebuah pintu dalam
keadaan terbuka.
"Pintu rahasia itu..." ucap Rayi Jantra perlahan sambil memperhatikan ke depan
setengah tidak percaya.
"Lagi-lagi aneh. Biasanya pintu rahasia itu selalu dalam keadaan tertutup."
"Agaknya orang memberikan sambutan istimewa bagi kita. Ah pasti banyak sedekahan
di dalam sana,"
ucap Pengemis Empat Mata Angin sambil usap kepalanya yang botak plontos. "Aku
kepingin tahu sorga apa yang ada dalam istana itu. Ha... ha... ha..."
Rayi Jantra, Wiro dan Purnama memperhatikan ke dalam bangunan lewat pintu batu
yang terbuka. Gelap.
Wiro kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung untuk
melihat dan memeriksa keadaan dalam bangunan yang gelap itu. Namun tak berhasil.
"Aneh, sudah beberapa kali aku mencoba tapi Ilmu Menembus Pandang tidak bekerja.
Apakah ada orang sakti yang mampu menolak di dalam bangunan gelap itu" Atau ada
yang tidak beres dengan diriku." Wiro bertanya-tanya dalam hati.
"Kita masuk..." bisik Rayi Jantra.
"Hati-hati senjata rahasia," kata Purnama. "Biar aku yang masuk duluan." Lalu si
cantik dari negeri 1200
tahun silam ini melesat ke dalam bangunan batu lewat pintu di dinding merah yang
terbuka. Ketika melewati ambang pintu sosoknya berubah samar. Sampai di dalam
bangunan tubuhnya kembali nyata seperti semula.
Tidak terjadi apa-apa. Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin tidak
menunggu lama langsung menerobos masuk. Di dalam gelap empat orang yang barusan
masuk itu serta merta bisa mengetahui kalau di ruangan batu itu bukan hanya
mereka yang ada.
"Anak-anak! Ada rombongan tamu besar datang mengapa ruangan dibiarkan dalam
keadaan gelap"!
Sungguh tidak sopan!" Tiba-tiba satu suara membahana di dalam ruangan batu. Wiro
dan kawan-kawan merasakan ada getaran di dinding dan lantai batu yang mereka
pijak. Saat itu juga ruangan yang tadi gelap mendadak menjadi terang benderang. Delapan
buah obor besar tiba-tiba menyala di delapan tempat Wiro dan kawan-kawan cepat
memperhatikan keadaan. Belum selesai meneliti kembali suara tadi berucap
menggetarkan ruangan.
"Di luar angin agak kencang dan udara mulai dingin. Sebaiknya pintu ruangan
ditutup saja!"
Ada suara berkesiur halus lalu pintu batu dinding merah yang tadi terbuka
bergeser menutup.
"Ada rencana jahat!" bisik Purnama.
Wiro pegang lengan gadis itu, memberi tanda kalau dia juga sudah tahu. Rayi
Jantra serta Pengemis Empat Mata Angin juga sudah menyadari hal ini.
Di ujung ruangan, di dinding kiri kanan, terpisah sejarak dua belas kaki berdiri
masing-masing empat orang lelaki rata-rata bertubuh tinggi besar, mengenakan
celana hitam dan bertelanjang dada. Kepala diikat sehelai destar hitam. Di
pinggang tergantung melintang sebilah golok besar.
Di antara ke delapan orang ini tegak seorang kakek berjubah biru. Mata kanan
yang cacat ditutup potongan kulit warna hitam. Kaki yang tersembul di ujung
jubah berbentuk sepasang kaki kuda lengkap dengan ladam besinya. Mata kiri
memandang tak berkesip pada Rayi Jantra. Sebaliknya Rayi Jantra menatap dengan
pandangan penuh dengan dendam kesumat. Rahang menggembung pelipis bergerakgerak. "Ki Sentot Balangnipa! Bergundal Istana bejat! Kau yang menyuruh melempar
tubuhku ke dalam jurang!
Hari ini aku bersumpah membalas kebiadabanmu!" Rayi Jantra ucapkan kata-kata itu
dalam hati dengan tubuh bergetar karena berusaha menahan diri.
Sementara Rayi Jantra dipanggang amarah dendam kesumat, Pendekar 212 Wiro
Sableng memikirkan kenyataan yang dilihatnya. Ki Sentot Balangnipa ada di tempat
itu. Berarti dia ada sangkut pautnya dengan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
Lalu ketika dia menyerbu gedung kediaman Adipati Brebes untuk menyelamatkan Loan
Nio Nikouw dari kebejatan Adipati Karta Suminta, Ki Sentot Balangnipa juga ada
di gedung itu. Malah mereka sempat bentrokan dimana saat itu Ki Sentot
menyerangnya dengan Pedang Naga Merah mirip sang paderi. Berarti Adipati Brebes
yang dibunuhnya itu mungkin punya hubungan dengan Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Mungkin dia pemilik bangunan yang disebut istana yang tak lain dari
sebuah rumah judi dan tempat mesum. Berarti kalau dua dadu setan itu memang ada,
maka dialah pemiliknya. Murid Sinto Gendeng ini tak sempat meneruskan jalan
pikirannya karena saat itu antara Rayi Jantra dan Ki Sentot Balangnipa terjadi
perang mulut. Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis cukup terkesiap besar ketika melihat
salah satu dari empat orang yang berada dalam ruangan ternyata adalah Rayi
Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari yang disangkanya telah tamat riwayatnya
di dalam jurang tapi ternyata masih hidup.
"Ki Sentot! Bergundal Istana mesum! Kau terkejut melihat diriku"! Apa
pandanganmu masih cukup jelas melihat hanya dengan satu mata"!" Rayi Jantra
keluarkan ucapan lantang.
Ki Sentot Balangnipa dongakkan kepala. Amarah membuat kepalanya untuk sesaat
berubah menjadi kepala kuda benaran, keluarkan ringkikan keras lalu jawab ucapan
orang sambil wajah sunggingkan seringai mengejek.
"Manusia malang, aku hanya bertanya-tanya. Yang ada di tempat ini apa Rayi
Jantra benaran atau rohnya yang gentayangan jadi setan penasaran!"
"Mahluk setengah manusia setengah binatang! Kasihan sekali! Ternyata
penglihatanmu benar-benar sudah tidak karuan! Dari pada picak memang bagusnya
kubuat dua matamu buta kiri kanan!"
Ki Sentot Balangnipa tahan amarah dengan keluarkan tawa meringkik. Dia melirik
ke samping kiri Rayi Jantra dimana berdiri Purnama. Dia tidak mengetahui siapa
adanya gadis ini namun mengenali Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek lalu
alihkan pandangan pada Pendekar 212 yang mengenakan caping. Sepasang mata
membesar, mulut kembali sunggingkan seringai.
"Kau!" sentak Ki Sentot Balangnipa sambil tudingkan jari telunjuk ke arah Wiro.
"Kau boleh sembunyikan kepala dan tampangmu dibalik caping! Tapi jangan
menyangka aku tidak tahu siapa kau! Kau Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng
pembunuh Adipati Karta Suminta dari Brebes!"
Wiro keluarkan suara bersiul, buka capingnya, lalu membungkuk seolah memberi
penghormatan pada Ki Sentot Balangnipa.
"Kakek muka kuda, aku kepingin tahu apa kemaluanmu juga menyerupai kemaluan
kuda!" Habis berkata begitu Wira tertawa gelak-gelak. Rayi Jantra dan Pengemis
Empat Mata Angin juga ikutan terbahak-bahak.
Tampang Ki Sentot Balangnipa merah mengelam seperti saga. Rahang menggembung.
Wiro lanjutkan ucapannya. "Kurasa kau lebih pantas memakai caping ini untuk
menutupi matamu yang picak! Ini pakailah!"
Habis berkata begitu wuuttt! Wiro lemparkan caping bambu ke arah si kakek.
Lemparan ini bukan lemparan biasa karena disertai aliran tenaga dalam. Caping
melesat mengeluarkan suara menderu. Ki Sentot Balangnipa memaki dan cepat
rundukkan kepala. Dia tahu betul, walau hanya sebuah caping dari bambu namun
kalau sampai membabat batang lehernya pasti amblas putus!
Caping melesat hanya sejarak satu kuku di atas kepala Ki Sentot Balangnipa alias
si Kuda Iblis. Pinggiran caping menancap di dinding batu sedalam setengah
jengkal. Untuk sesaat tampang Ki Sentot tampak pucat.
"Ck... ck... ck!" Yang mengeluarkan suara berdecak adalah seorang kakek pendek
mengenakan pakaian selempang hitam dan sejak tadi berdiri di sudut ruangan
sambil dua tangan dirangkap di atas dada. Manusia satu ini memiliki keanehan
menggidikkan. Selain rambutnya yang berwarna kuning dan dua bola mata berwarna
putih berkiblar seperti perak, kulit muka dan tubuh setiap saat berganti warna
yaitu merah, lalu biru kemudian berubah lagi menjadi hijau. Begitu terusterusan. Setiap dia melepas nafas dari hidungnya keluar kepulan asap warna ungu.
Setelah menatap Wiro sesaat kakek ini berkata. "Caping buntut itu tidak pantas
menjadi penghias dinding ruangan!" Lalu dia meniup. Selarik cahaya ungu
menyambar caping yang menancap di dinding. Saat itu juga caping bambu berubah
menjadi bubuk dan melayang jatuh ke lantai batu!
"Ck... ck... ck." Suara berdecak kali ini bukan dibuat oleh kakek rambut kuning
tapi oleh Purnama. Dia arahkan tangan kirinya ke tumpukan bubuk caping di lantai
batu. Selarik sinar biru begermerlap berkelebat. Di lain kejap gadis jelita ini
sudah memegang caping milik Wiro di tangan kiri dalam keadaan utuh.
*** DUA WALAU tersentak kaget melihat kehebatan ilmu gadis jelita berpakaian biru itu
namun kakek pendek rambut kuning cepat sembunyikan keterkejutannya dengan
keluarkan tawa bergelak lalu berkata. "Ki Sentot hari ini aku benar-benar
gembira. Kita kedatangan para tamu berkepandaian tinggi. Tapi ilmu sihir
kampungan apa perlunya dikagumi! Ha... ha... ha!"
Wiro dekati Rayi Jantra lalu berbisik.
"Rayi. kau pernah menghajar Ki Sentot Balangnipa sampai mata kanannya buta. Aku
pernah menggebuknya. Jika sekarang dia unjukkan nyali besar pasti dia
mengandalkan tua bangka yang kulitnya bisa berubah warna seperti bengkarung itu.
Kau tahu siapa adanya kakek itu?"
"Aku tidak tahu pasti." Jawab Rayi Jantra. "Aku hanya pernah mendengar cerita.
Mungkin dia adalah orang yang dijuluki Raja Racun Bumi Langit. Dia punya
hubungan dekat dengan para pejabat di kerajaan barat dan timur. Sifatnya sangat
culas hingga dia juga dijuluki Ular Kepala Sepuluh! Aku..."
Rayi Jantra tidak sempat lanjutkan kata-katanya karena saat itu si kakek aneh
keluarkan ucapan. Suaranya menggetarkan seantero ruangan batu.
"Ki Santot, kalau ini manusianya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Dua
Satu Dua, bukankah kepalanya dihadiahi lima ringgit emas oleh Adipati Losari?"
"Betul sekali Raja Racun Bumi Langit," sahut Ki Sentot Balangnipa. Ternyata
kakek pendek berambut kuning itu memang Raja Racun Bumi Langit seperti yang
diduga Rayi Jantra. "Dia memang bergundal penjahat yang membunuh Adipati Brebes
Karta Suminta. Aku menyaksikan sendiri peristiwanya."
"Berarti kita tidak perlu susah-susah mencari. Dia datang sendiri. Kita tinggal
memotes kepalanya. Dan dapat hadiah lima ringgit emas!" Raja Racun Bumi Langit
tertawa bergelak. Asap ungu mengepul keluar dari hidung dan mulutnya.
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Orang mempermainkan dan menganggap enteng
dirinya. Biar dia memberi sedikit pelajaran.
"Kakek pendek rambut kuning. Jika kau memang inginkan kepalaku dan mau dapatkan
lima ringgit emas, kau tak perlu susah-susah turun tangan. Biar aku sendiri
menyerahkan padamu!"
Wiro kerahkan Ilmu
Menahan Darah Memindah Jasad.
Dipadu dengan Ilmu
Meraga Sukma yang
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
didapatnya dari Nyi Roro Manggut, seorang nenek sakti yang jadi salah satu orang
kepercayaan Ratu Penguasa samudera selatan Nyai Roro Kidul. (Baca serial Wiro
Sableng berjudul "Meraga Sukma") Wiro cengkeramkan tangan kanan ke dagu dan
rahang. Tangan kiri menekan batok kepala. Dua tangan bergerak serentak ke arah
yang berlawanan.
"Kreek!"
Kepala Pendekar 212 Wiro Sableng tanggal dari leher.
Raja Racun, Ki Sentot dan delapan lelaki bercelana hitam melengak kaget luar
biasa. Purnama dan Rayi Jantra serta Pengemis Empat Mata Angin ternganga
bergidik. "Wiro, apa yang kau lakukan"!" ujar Purnama penuh khawatir. Dia hendak mendekat
Wiro tapi lengannya cepat dipegang Pengemis Empat Mata Angin. Si kakek berbisik.
"Ilmu gila itu yang dipakainya mencopot anuku. Jangan diganggu. Kalau sampai
jalan pikirannya kacau bisa berbahaya."
Pendekar 212 melangkah ke arah Raja Racun Bumi Langit membawa kepalanya sendiri.
"Kau inginkan kepalaku! Ambillah!" Kutungan kepala keluarkan ucapan dan Wiro
angsurkan kepalanya dekat-dekat ke muka si kakek. Mata dipelototkan, lidah
dijulur. Karuan saja Raja Racun Bumi Langit jadi bergidik dan menyingkir mundur.
Rambut kuning berjingkrak saking kaget dan ngeri. Kulit muka yang berubah-ubah
warna berhenti pada warna hijau. Nyalinya bergetar, tengkuk terasa dingin.
Karena orang tidak menyambuti kepalanya Wiro melangkah mundur. Kepala
ditempelkan kembali ke kutungan leher. Sebenarnya hati sang pendekar merasa
kebat-kebit khawatir kalau kepalanya tidak tersambung kembali. Ilmu Menahan
Darah Memindah Jasad selama ini hanya dipergunakan terhadap lawan atau orang
lain. Belum pernah dipergunakan untuk diri sendiri. Apalagi dipadu dengan Ilmu
Meraga Sukma. Tapi untung kepala itu menempel seperti semula. Wiro merasa lega.
"Manusia kulit bengkarung. Ternyata nyalimu cuma sampai di pantat!" Wiro
mengejek. Meski marah dimaki begitu rupa tapi Raja Racun Bumi Langit masih mampu
kendalikan diri. Dia tidak mau bertindak salah sebelum rencana utamanya
dilaksanakan. Dia tidak menyangka akan berhadapan dengan orang-orang yang ilmu
kesaktiannya begitu hebat. Maka kakek ini segera berbisik pada Ki Sentot.
"Kita harus bertindak cepat. Kalau tidak urusan bisa jadi kapiran!"
Ki Sentot Balangnipa maklum kalau Raja Racun ingin segera melaksanakan rencana
besarnya, maka dia maju selangkah.
"Kalian tamu. Kami tuan rumah. Walau kalian datang menyusup pertanda punya niat
buruk, kami masih punya sopan santun untuk bertanya. Ada keperluan apa kalian
datang ke sini"!"
"Kami ingin memastikan bahwa tempat ini adalah apa yang disebut Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga.
Sarang judi dan tempat mesum terkutuk! Kami ingin tahu siapa penguasa atau
pimpinan di sini!" Yang bicara adalah Rayi Jantra.
"Kami mengetahui ada dua buah dadu disebut dadu setan. Dipergunakan sebagai alat
judi, alat menipu dan menguras siapa saja yang ikut bermain! Kami ingin kalian
menyerahkan dua buah dadu itu!" Wiro kini yang keluarkan ucapan.
Pengemis Empat Penjuru Angin ikut membuka mulut.
"Tadinya aku mengira bisa mencari rejeki sedekahan besar di tempat sini.
Ternyata yang ada ruang kosong melompong serta manusia-manusia jejadian. Satu
mahluk setengah manusia setengah kuda. Satu lagi setengah manusia setengah
kadal! Kuda dan kadal mana bisa memberi sedekah! Ha... ha.... ha."
Raja Racun Bumi Langit ikutan tertawa. Begitu hentikan tawa dia menatap ke arah
Purnama. "Gadis jelita! Dibalik keharuman tubuhmu aku mencium kalau kau sebenarnya adalah
mahluk dari alam lain. Apakah kau juga mau ikutan bicara?"
Diam-diam Purnama merasa kagum akan ketinggian ilmu kakek rambut kuning yang
mampu mengetahui siapa dirinya.
"Aku menyirap kabar kalau yang namanya Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu
selain dijadikan tempat perjudian dan tempat mesum, juga dijadikan tempat
pertemuan para tokoh tertentu yang hendak menghancurkan kerajaan di barat!"
Raja Racun Bumi Langit tersenyum. Dia memandang pada Ki Sentot Balangnipa lalu
dua kakek ini tertawa gelak-gelak. Ki Sentot berkata.
"Kalian semua tidak buta! Apa tempat ini pantas disebut istana"!"
"Memang tidak!" jawab Rayi Jantra. "Kalian telah lebih dulu merubahnya!"
Ki Sentot Balangnipa mendengus.
Wiro sambung ucapan Rayi Jantra. "Kalau ini bukan bangunan penting dan rahasia
lalu apa perlunya kehadiran kalian di sini! Untuk menjaga kecoak dan tikus"!"
"Dengar," kata Raja Racun pula. "Aku ingin bertanya. Siapa yang memperdayai dan
memperbodoh kalian untuk menyelidik istana yang tak pernah ada itu. Siapa pula
yang membuat kalian jadi orang-orang tolol dan mempercayai keberadaan dua buah
dadu setan! Orang-orang di kerajaan barat atau seorang paderi perempuan berasal
dari Tiongkok?"
"Kami tidak ada sangkut paut dengan siapapun!" Jawab Rayi Jantara.
Wiro maju selangkah hingga dia kini berhadap-hadapan dengan Ki Sentot
Balangnipa. Dia tiup muka si kakek. Saking geramnya dia langsung hantamkan satu
jotosan ke muka Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat tangkap tinju kanan si kakek.
Dua tangan bergetar. Aliran tenaga dalam sama-sama dikerahkan. Ki Sentot
Balangnipa merasa tangannya panas pertanda tenaga dalamnya masih berada dibawah
lawan. Dengan satu sentakan keras dia cepat-cepat menarik tangan kanannya. Kakek
ini beruntung karena kalau terlambat pasti tangan kanannya itu akan hancur
karena saat itu Wiro sudah mengerahkan ilmu Koppo yaitu ilmu mematahkan tulang
yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura. Ki Sentot Balangnipa bersurut
dua langkah penuh geram sambil usap-usap tangan kanannya dengan tangan kiri.
"Aku mau balik bertanya! Siapa yang memperbodoh dan membayar kalian untuk jual
tampang di tempat ini!" Hardik Pendekar212.
Raja Racun tersenyum. "Berdebat tak akan ada habisnya. Bagaimana kalau aku
mengajukan satu tawaran bagus. Bagaimana kalau kalian berempat bekerja dan jadi
anak buahku saja! Kalian akan mendapat bayaran besar. Dalam waktu enam bulan
dari hasil bayaran itu kalian bisa membangun rumah sebagus istana!"
Wiro menggaruk kepala lalu tertawa, diikuti oleh Purnama, kakek pengemis dan
Rayi Jantra. Pengemis Empat Mata Angin angsurkan tangan kanannya yang memegang batok. "Aku
mau bukti dulu.
Aku minta sedekah!"
Setelah menunggu sesaat dan Raja Racun Bumi Langit hanya diam saja kakek
pengemis tertawa mengekeh.
"Memberi sedekah saja kau tidak mampu! Bagaimana mau membayar kami berempat
dengan bayaran yang bisa membuat istana"! Ha... ha... ha!"
"Manusia rambut kuning. Tawaranmu menarik juga," kata Wiro sambil garuk kepala.
"Sebelum kami setuju menerima, kami perlu tahu siapa pimpinan kalian dan kami
orang-orang tolol ini tetap minta kalian menyerahkan, paling tidak memberi tahu
dimana beradanya dua dadu setan."
Raja Racun Bumi Langit goleng-goleng kepala.
"Aku jarang memberi tawaran bagus. Kalian malah menyia-nyiakan kesempatan."
Kakek rambut kuning ini dekati Ki Sentot Balangnipa lalu berkata. "Ki Sentot,
seperti dugaanku semula, orang-orang itu memang tak bisa dibujuk. Saatnya kita
menyelesaikan pekerjaan. Aku tak mau urusan jadi bertele-tele. Lakukan
sekarang!"
Mendengar ucapan kakek rambut kuning Ki Sentot Balangnipa menatap ke arah Wiro
dan kawan-kawan.
"Diberi berkah malah minta sengsara!" ucapnya. Lalu dia berpaling pada delapan
lelaki bercelana hitam dan berteriak berikan perintah.
"Cincang mereka semua!"
"Srett!"
Delapan golok besar berkiblat dicabut dari sarungnya lalu berdesing di udara
menyerbu ke arah Wiro dan kawan-kawan.
Delapan lelaki bercelana hitam bertelanjang dada yang menyerang itu rata-rata
memiliki ilmu golok tingkat tinggi. Selain ganas, gerakan mereka cepat luar
biasa dan kesiuran senjata yang mereka pegang mengeluarkan hawa dingin. Wiro
yang berada paling depan dibuat kaget ketika ujung golok salah seorang lawan
menderu di depan hidungnya sementara dari samping kiri lawan kedua membabatkan
golok ke pinggang.
Pendekar 212 cepat melompat mundur. Hidungnya terasa dingin sewaktu ujung golok
menyapu lewat hanya sepertiga jengkal.
"Brettt!"
Baju putih Wiro robek besar di pinggang. Lelaki yang menyerang cepat berbalik
begitu serangannya tidak mampu melukai lawan. Dia menerjang sambil bacokkan
golok. Namun jotosan Wiro menghantam mukanya lebih dulu. Hidung hancur, gigi
rontok, tubuh tergelimpang di lantai. Kawannya yang tadi hampir memapas buntung
hidung sang pendekar menerima nasib lebih jelek. Tendangan kaki kanan Wiro
mendarat telak di dadanya. Tubuhnya mencelat terbanting ke dinding, muntah darah
lalu melosoh jatuh tak berkutik lagi.
Di bagian lain ketika dua orang menyerbu ke arahnya, Rayi Jantra membuat gsrakan
melompat setinggi setengah tombak. Dia berhasil menjambak rambut penyerang
paling dekat. Sekali sentak saja lawan dibuat jungkir balik menghantam lantai
batu, menemui ajal dengan kepala pecah. Goloknya yang terpelanting di udara
cepat disambar Rayi Jantra lalu trang! Rayi Jantra pergunakan golok untuk
menangkis serangan lawan kedua.
Bentrokan senjata membuat penyerang terjajar ke belakang. Selagi dia coba
imbangi diri Rayi Jantra lemparkan golok di tangan kanannya. Senjata ini
menancap telak di pertengahan dada lawan.
"Kek, biar aku yang melayani empat ekor monyet ini. Kau tenang sajalah!" kata
Purnama pada Pengemis Empat Mata Angin ketika empat orang lelaki bertelanjang
dada dengan golok di tangan menyerbu ke arah mereka.
"Aku mau cari sedekahan!" jawab si kakek sambil dua tangannya yang memegang
batok kelapa berkelebat ke depan.
Namun Purnama sudah mendahului. Caping di tangan kiri dicampakkan lalu dua
tangan dia angkat ke depan. Dua larik angin halus bersiur dan empat penyerang
tahu-tahu tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Saking penasaran
karena kedahuluan Purnama, Pengemis Empat Mata Angin kemplangi kepala ke empat
orang itu dengan batok kelapanya hingga benjut dan kucurkan darah. Lalu kakek
ini menggeledahi celana keempat orang itu dan berhasil menemukan beberapa keping
uang tembaga. "Lumayan... lumayan!" katanya sambil tertawa mengekeh lalu masukkan uang logam
itu ke dalam kantong kain buntut yang tergantung di dada.
Ternyata serangan yang dilakukan delapan lelaki bercelana hitam bersenjata golok
tadi hanyalah satu umpan atau tipuan saja sesuai rencana Raja Racun Bumi Langit.
Karena begitu perkelahian terjadi Raja Racun cepat hentakkan kaki kanannya ke
salah satu bagian di lantai batu. Ternyata di situ ada bagian lantai yang
berhubungan dengan alat rahasia. Saat itu juga lantai bergeser membentuk lobang
empat persegi. Tidak menunggu lebih lama Raja Racun melompat masuk ke dalam
lobang sambil mulut meniupkan asap ungu dan dua tangan bergerak melempar empat
buah benda berbentuk bola berwarna perak.
Ki Sentot Balangnipa terkejut. Apa yang dilakukan Raja Racun tidak sesuai dengan
yang diatur sebelumnya. Mereka akan keluar dari ruangan itu lewat lobang rahasia
di lantai secara bersama-sama.
"Raja Racun! Tunggu!"
Di dalam lobang terdengar suara tawa Raja Racun Bumi Langit.
"Ki Sentot! Aku sudah lama tidak senang dirimu! Kau layak mampus bersama
manusia-manusia tolol itu!
Selamat menikmati Racun Inti Bumi. Ha... ha... ha!"
"Jahanam kurang ajar! Manusia culas!" Kejut Ki Sentot Balangnipa. Racun Inti
bumi adalah racun paling jahat yang dimiliki Raja Racun Bumi Langit. Racun ini
terdiri dari empat unsur yaitu Racun Tanah, Racun Air, Racun Api dan Racun
Udara. Tidak ada satu orangpun yang bisa lolos dari kematian jika menghisapnya.
Sosok Raja Racun tak kelihatan lagi di dalam lobang. Pada saat lantai menutup
kembali sampai setengahnya, dengan nekad Ki Sentot Balangnipa terjunkan diri ke
dalam lobang. Namun hanya bagian dada ka bawah yang lolos. Lobang batu keburu
menutup. Kraakkk! Tubuh Ki Sentot Balangnipa terjepit. Dada hancur putus. Sebelum menemui ajal
kakek ini keluarkan suara meringkik. Kepala berubah jadi kepala kuda. Setelah
itu ujudnya kembali ke bentuk semula. Potongan tubuhnya tergeletak menelungkup
di lantai batu hanya bagian dada sampai kepala.
Sementara itu di empat sudut ruangan mengepul dahsyat empat asap berwarna merah,
hijau, kuning dan biru. Udara terasa pengap dan panas. Lantai yang kering
seperti ada basahan air. Hawa panas laksana ada kobaran api besar.
"Awas racun jahat! Tutup jalan parnafasan!" teriak Rayi Jantra.
Purnama gerakkan bahu. Cahaya biru begemerlap keluar dari tubuh, melindungi diri
serta tiga orang lainnya. Namun cahaya sakti biru ini hanya mampu menahan
sedikit keganasan racun yang memenuhi ruangan batu, tak mampu melindungi jalan
pernafasan. Wiro sadar apa yang terjadi. Jika tidak cepat meloloskan diri mereka
semua akan menemui ajal di ruangan itu. Dia lepaskan pukulan Sinar Matahari,
menghantam ke arah salah satu dinding batu. Ruangan batu tergoncang dahsyat.
Namun apakah pukulan sakti itu tidak mampu menjebol dinding. Sementara kepulan
asap empat warna mulai bersatu bergulung-gulung di udara membentuk racun luar
biasa jahat yang dinamakan Racun Inti Bumi.
Ke empat orang itu merasakan dada menyesak dan lutut gontai. Pemandangan
mendadak gelap dan tubuh menjadi lemas. Rayi Jantra jatuh duluan, terguling di
lantai batu. Mulutnya keluarkan busa. Menyusul Pengemis Empat Mata Angin. Wiro
berusaha keluarkan Kapak Naga Geni 212 untuk dipakai menghancurkan dinding.
Namun keadaannya sudah sangat lemah. Purnama satu-satunya yang masih mampu
berdiri tegak berusaha kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuh. Dua bahu
digoyang. Cahaya gemerlap memancarkan ribuan percikan bunga api berwarna biru
melesat di udara. Cepat sekali ribuan percikan cahaya warna biru ini menyatu
membentuk sebuah bola besar lalu melesat ke arah pintu rahasia di mana
sebelumnya Wiro dan kawan-kawan masuk.
"Bummm!"
Ruangan batu laksana dihantam gempa. Langit-langit ruangan mau runtuh. Dinding
seolah mau jebol dan lantai laksana amblas. Tujuh dari delapan obor besar padam.
Ilmu kesaktian Purnama yang disebut Menggusur Gunung Menjungkir Langit ternyata
tidak sanggup menjebol pintu rahasia. Malah kini dia dan Wiro serta Rayi Jantra
dan Pengemis Empat Mata Angin tergeletak megap-megap di lantai ruangan yang
keadaannya berubah redup karena tinggal satu obor yang menyala. Dari hidung dan
telinga ketiga orang itu keluar cairan berwarna hijau.
Sementara itu delapan lelaki bercelana hitam berkaparan dalam keadaan sudah tak
bernyawa lagi. Sebagian menemui ajal akibat racun yang menembus jalan
pernafasan. Muka dan sekujur kulit tubuh mereka berwarna belang-belang merah,
biru dan kuning.
"Purnama...." Wiro berbisik sambil berusaha menggapai dan memegang tangan
Purnama. "Kau punya kemampuan untuk keluar dari sini. Kembali ke sosok aslimu.
Pergilah...."
"Tidak...." jawab Purnama perlahan lirih. "Apapun yang terjadi aku akan
bersamamu di tempat ini." Lalu gadis dari masa 1200 tahun silam ini kumpulkan
tenaga dan berusaha menggulingkan diri hingga berhasil mendekati Wiro. Begitu
tubuh mereka bersentuhan Purnama berusaha memeluk sang pendekar. Wajahnya
didekatkan ke muka Wiro. Mulutnya masih sanggup membisikkan kata-kata. "Kalau
memang ada kematian kedua bagiku, aku ingin dan rela mati bersamamu di tempat
ini dalam pelukanmu...."
Pendekar 212 gerakkan tangan untuk merangkul punggung Purnama. Namun dua tangan
itu terjatuh lemas ke lantai. Wiro dan Purnama terkulai tak berkutik.
Ruang batu tenggelam dalam kesunyian sementara kepulan asap racun makin
membuntal ganas. Tiba-tiba kesunyian itu terusik lapat-lapat oleh satu suara
aneh. Suara menderu tak berkeputusan. Datangnya dari arah dinding merah, arah
letak pintu rahasia dimana tadi Wiro dan kawan-kawan masuk.
*** TIGA KAWASAN samudera selatan, yang dikenal sebagai daerah luas kekuasaan Nyi Roro
Kidul. Petang itu laut tampak tenang. Cahaya sang surya yang tak selang berapa
lama akan segera tenggelam membuat sebagian permukaan laut berwarna merah
kekuning-kuningan. Di dasar laut dalam sebuah bangunan besar bagus memiliki tiga
buah menara, seorang nenek cebol berambut putih panjang yang dikenal dengan
panggilan Nyi Roro Manggut duduk di tepi kasur tebal memegang dan menatap
sehelai sapu tangan biru muda bernoda darah yang telah mengering. Ingatannya
kembali pada satu peristiwa di masa waktu lalu. Ketika dia mempergunakan sapu
tangan biru muda itu untuk menyeka noda darah yang ada di wajah seorang pemuda
gagah bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar 212.
"Aneh, mengapa aku tiba-tiba ingat pada pemuda yang aku sebut bocah ingusan
itu," ucap si nenek perlahan. Matanya yang juling bergerak-gerak, kepala
manggut-manggut. "Perasaanku tak enak. Dadaku berdebar. Sesuatu terjadi dengan
dirinya. Mungkin sekali dia berada dalam bahaya besar. Nyawanya terancam.
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak pernah kejadian hal seperti ini. Aku harus menyelidik...."
Si nenek duduk bersila, letakkan sapu tangan biru muda di atas pangkuan, tubuh
tak bergerak lalu pejamkan mata. Hanya sesaat, tiba-tiba tubuhnya bergetar dan
ada cahaya merah berkelebat memasuki ruang penglihatannya. Dalam pandangan
sepasang mata si nenek yang terpejam, dia melihat langit berwarna aneh.
Seorang pemuda berpakaian putih berlari menjauhi langit merah darah yang hendak
menggulungnya. Namun dua kakinya goyah, tubuh tersungkur jatuh. Sekilas pada
keningnya tampak kilatan satu cahaya hijau.
Nenek cebol buka kedua matanya kembali, menarik nafas dalam beberapa kali lalu
bergerak bangkit.
Tangan kiri mengusap wajah keriput yang basah oleh keringat.
"Memang dia! Wiro dalam bahaya. Ada tanda hijau di keningnya. Pertanda dia telah
menyalah gunakan cara pemakaian ilmu yang aku berikan. Aku harus menemui
Junjungan Agung sekarang juga!"
Nyi Roro manggut tinggalkan bangunan tiga menara, melesat di dasar laut menuju
ke satu bangunan luar biasa indahnya, berwarna dan bercahaya kuning karena
hampir seluruh dindingnya dilapisi emas murni. Di atas bangunan terdapat satu
menara besar dikelilingi delapan menara kecil yang juga dilapisi emas.
Beberapa penjaga disetiap pintu yang dilalui si nenek tidak berani menghalangi.
Dan semua pintu bangunan emas itu terbuka dengan sendirinya begitu si nenek
berada tujuh langkah di depannya.
Tak tana kemudian Nyi Roro Manggut sampai di sebuah ruang terbuka yang amat
bagus. Pada dua sudut ruangan terdapat pendupaan besar mengepulkan asap
kekuningan menebar bau harum kayu cendana. Tiga buah dinding seolah terbuat dari
kaca hingga apa yang ada di luar, yakni pemandangan laut yang luar biasa
indahnya kelihatan nyata serasa bisa digapai tangan. Ratusan macam ikan laut
berbagai warna dan ukuran berenang kian kemari diantara terumbu karang dan
tetumbuhan laut. Di kejauhan sayup-sayup terdengar gema alunan gamelan.
Dinding ke empat yaitu dinding yang ada di hadapan Nyi Roro Manggut tertutup
hiasan tujuh lapis tirai tipis tujuh warna dan dari balik tirai menebar bau
harum mewangi yang menindih harum kayu cendana dari dua pendupaan. Si nenek
berlutut rapatkan dua tangan lalu diangkat di atas kepala.
"Junjungan Agung Nyi Roro Kidul, saya Nyi Roro Manggut mohon ijinmu untuk
meninggalkan kawasan istana. Ada seorang kerabat membutuhkan pertolongan di
dunia luar sana."
"Nyi Roro Manggut, aku sudah mengetahui. Orang itu memang perlu segera
diselamatkan. Karena jika terjadi apa-apa dengan dirinya rimba persilatan akan
mengalami goncangan hebat. Kawasan samudera selatan dimana kita berada akan
terkena imbasnya. Selain itu orang-orang kawasan laut utara akan merasa lebih
leluasa bertindak jahat terhadap kita. Pergilah sekarang juga karena waktumu
sangat sedikit. Aku khawatir kau tak punya kesempatan. Aku mengijinkan kau
mempergunakan Batu Mustika Angin agar kau bisa segera
sampai di tempat orang yang membutuhkan pertolongan." Satu suara halus lembut
menjawab dari balik tujuh lapis tirai.
"Terima kasih atas perhatian dan ijin Junjungan Agung. Selain itu ada satu hal
yang perlu saya tanyakan.
Orang yang hendak saya tolong ini pernah saya berikan Ilmu Meraga Sukma. Saya
mendapat pertanda bahwa dia telah memadu ilmu itu dengan ilmu lain. Saya mohon
petunjuk Junjungan Agung apakah setelah menyelamatkan dirinya saya perlu
menjatuhkan hukuman, mengambil ilmu itu kembali atau bagaimana?"
"Ilmu dari alam kita selama ini memang tidak boleh digabung atau dipadu dengan
ilmu dari alam lain.
Namun keadaan sudah banyak berubah. Jika maksudnya baik dan hasil paduan itu
lebih banyak manfaatnya mengapa tidak" Bahkan boleh jadi kita bisa saja
mempelajari apa yang telah dilakukan orang itu."
Nyi Roro Manggut membungkuk dalam.
"Terima kasih atas petunjuk Junjungan Agung. Saya mohon diri sekarang. Atas ijin
Nyi Roro Kidul saya akan mengambil Batu Mustika Angin di ruang penyimpanan benda
pusaka." "Pergilah dan tetap ingat keterbatasan waktumu berada di dunia luar sana.
Selesai menolong orang segera kembali ke sini."
"Perintah Junjungan Agung akan saya perhatikan. Saya pergi sekarang."
Setelah membungkuk sekali lagi dengan langkah bersurut mundur Nyi Roro Manggut
tinggalkan ruangan besar yang sangat indah itu.
Diantar dua orang pengawal si nenek mengambil sebuah batu sakti yang disebut
Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang disimpan di sebuah ruangan sangat
rahasia. Pintu ruangan hanya bisa dibuka dan ditutup oleh Nyi Roro Kidul dan
dengan kesaktiannya hal ini mampu dilakukan dari kejauhan.
Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru
berbentuk bulat lonjong hampir menyerupai telur ayam dan
memancarkan cahaya kebiru-biruan. Begitu memegang batu dan melafalkan satu
mantera dalam hati, sosok Nyi Roro Manggut lenyap, seolah berubah menjadi angin.
Dengan kecepatan laksana angin pula dia melesat keluar dari samudera selatan,
menembus udara petang dikala sang surya tengah menggelincir masuk ke titik
tenggelamnya. Ketika Nyi Roro Manggut laksana terbang keluar menembus melewati Tembok Karang
Abadi yang merupakan batas kawasan kediaman Nyi Roro Kidul dan langsung menembus permukaan
laut, di pantai sebelah timur seorang gadis berpakaian hitam dihias manik-manik
putih dan hijau hentikan larinya. Rambut hitam tergerai panjang disibak ke
belakang. Dua orang gadis jelita yang jadi pengiringnya berhenti pula berlari,
salah seorang dari mereka bertanya.
"Ada apa, Ratu?"
"Kalian lihat ke arah utara sana. Ada cahaya kebiruan. Ada kerabat penting
meninggalkan kawasan kediaman Ratu Nyi Roro Kidul...." Orang yang dipanggil
dengan sebutan Ratu menjawab. Dua pengiring memandang ke arah utara. Namun
mereka tidak melihat apa-apa. Si cantik berambut panjang dan mengenakan pakaian
hitam bertabur manik-manik putih serta hijau keluarkan sesuatu yang ternyata
adalah sebuah cermin bulat. Setelah menatap sesaat ke dalam cermin, dia lalu
berkata. "Nyi Roro Manggut.... Ah, dia membekal
Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Pertanda dia tengah melakukan satu
perjalanan jauh dan cepat serta sangat penting. Kemana...?"
Si gadis cantik bukan lain adalah Ratu Duyung gerak-gerakkan cermin sakti di
tangannya. Samar-samar dia melihat satu bukit batu, lalu sosok tubuh manusia
yang bergelimpangan di tanah. Hatinya mendadak berdebar.
"Terlalu samar. Satu tempat sangat jauh. Mungkinkah dia...." Tak mungkin aku
menyusul. Bagaimana baiknya" Apakah aku harus menemui sang Ratu untuk
menanyakan" Belum lama aku mendatanginya. Aku khawatir Sang Ratu merasa
terganggu...." Setelah merenung sejenak walau hatinya merasa tidak enak akhirnya
Ratu Duyung memutuskan untuk menunggu di tempat itu sampai Nyi Roro Manggut
kembali. Dua pengiring diminta untuk meninggalkannya sendirian di tempat itu.
EMPAT orang tak berdaya, tergeletak siap meregang nyawa di dalam ruangan batu
yang sebelumnya memang merupakan Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Mereka tidak
dapat mendengar suara menderu di luar bangunan dimana mereka terperangkap Racun
Inti Bumi. Dinding batu merah bergetar hebat. Suara menderu terdengar semakin
kencang. Sesekali diseling suara benda keras jebol dan pecah serta suara aneh
seperti kerbau melenguh.
"Kraakk! Dess!"
Tiba-tiba salah satu bagian pintu batu merah berderak hancur. Sebuah lobang
besar menguak. Tekanan tinggi yang ada di dalam ruangan batu menghambur keluar,
membersitkan Racun Inti Bumi dalam bentuk kepulan asap biru, merah, kuning dan
hijau luar biasa dahsyat. Satu mahluk aneh berduri sebesar anak kerbau yang ada
di depan lobang terpental, keluarkan jeritan melenguh lalu terkapar tak bergerak
lagi. Mahluk ini ternyata adalah seekor landak raksasa. Duri lebat coklat yang
menutupi badannya banyak yang patah. Darah menggelimangi muka dan hampir seluruh
sosok tubuh binatang ini. Cairan hijau meleleh dari mulut.
"Gusti Allah! Tolong! Mudah-mudahan aku tidak terlambat!"
Mendadak ada orang berseru. Lalu satu bayangan hijau berkelebat, menerobos masuk
ke dalam bangunan batu melalui lobang di dinding pintu merah. Begitu berada di
dalam, orang ini yang bukan lain adalah Nyi Roro Manggut keluarkan seruan kaget.
"Racun jahat! Luar biasa jahat!" Si nenek cepat tutup jalan penciuman begitu
dadanya terasa sesak setelah sempat menghirup sisa-sisa Racun Inti Bumi yang
masih ada di dalam bangunan bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.Memandang
berkeliling dia melihat sosok seorang gadis tertelungkup di atas tubuh Pendekar
212. Lalu di sebelah sana berguling seorang kakek botak dan seorang lelaki muda.
Nyi Roro Manggut angkat tangan kanan ke atas. Mulut merapal mantera. Lima kuku
jari mengeluarkan cahaya biru. Cahaya menjalar hingga sekejapan tubuhnya tampak
berwarna biru. Ketika cahaya biru lenyap sosok si nenek telah berubah. Tingginya
menjadi dua kali dan besarnya hampir tiga kali dari semula. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Menggunung Raga Melaut Tenaga. Dengan gerakan cepat Nyi
Roro Manggut mengangkat Purnama dan Rayi Jantra lalu ditumpuk letakkan di atas
bahu kiri Wiro dan Pengemis Empat Mata Angin dipanggul di bahu kanan. Lalu
sekali berkelebat nenek ini melesai keluar dari bangunan batu, menerobos lewat
lobang besar di dinding merah.
Di luar goa keadaan mulai gelap karena sang surya telah tenggelam. Di udara
terdengar suara aneh seperti suara tiupan seruling. Walau heran tapi si nenek
tidak perdulikan suara itu. Nyi Roro Manggut baringkan ke empat orang yang
barusan diselamatkannya di tanah. Sosoknya yang tinggi besar pancarkan cahaya
biru dan ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang nenek cebol.
Ketika memperhatikan sosok empat orang yang tadi dilemparkannya keluar bangunan
beracun, kejut Nyi Roro Manggut bukan kepalang. Sekujur kulit orang-orang itu,
mulai dari muka sampai ke kaki kelihatan belang empat warna yaitu merah, hijau,
kuning dan biru. Si nenek segera mengenali.
"Racun inti Bumi. Racun paling jahat kedua setelah Racun Inti Neraka!"
Cepat si nenek telungkupkan tubuh keempat orang itu. Satu demi satu dia totok
dua urat besar di pangkal leher mereka. Setelah menunggu beberapa lama tidak
terjadi apa-apa tidak ada sosok yang bersuara apa lagi bergerak. Si nenek jadi
cemas. Nyi Roro Manggut balikkan kembali tubuh keempat orang itu hingga
terbaring menelentang lalu tangan kiri ditempelkan di dada mereka.
"Masih hidup...," ucap si nenek begitu dia merasa ada suara degup jantung di
dada Wiro walau sangat halus.
"Aku harus menyedot keluar racun yang ada dalam tubuhnya. Apakah masih keburu?"
Nyi Roro Manggut cengkeramkan sepuluh jari tangannya ke kening dan batok kepala
Wiro lalu kerahkan tenaga sakti untuk menyedot. Si nenek tiba-tiba mengeluh
pendek. Dada terasa sakit dan jalan nafas seperti terkancing. Ketika dia memaksa
tubuh cebolnya terpental tiga langkah.
Hal yang sama dialami Nyi Roro Manggut ketika dia berusaha menyedot racun jahat
dari dalam tubuh Rayi Jantra. Si nenek kecewa. Dia tidak mengira ilmu kepandaian
yang dimilikinya selama ini ternyata tidak mampu menyelamatkan kedua orang itu.
Ketika memeriksa Pengemis Empat Mata Angin, si nenek dapatkan kakek kepala botak
itu telah menemui ajal.
Nyi Roro Manggut dekati sosok landak raksasa. Dia memperhatikan. Pada tubuh
binatang itu hanya terdapat dua warna racun yaitu hijau dan merah. "Binatang
jejadian. Bukan mahluk alam sini." Nyi Roro Manggut membungkuk. Seperti yang
dilakukannya pada Wiro dan Rayi Jantra dia lalu cengkeramkan sepuluh jari tangan
di kepala landak besar itu. Begitu dia mengerahkan tenaga dalam, binatang itu
melenguh keras.
Tubuhnya melesat setinggi satu tombak ke udara lalu ketika terbanting jatuh di
tanah keadaannya berubah menjadi sosok seorang pemuda berpakaian kelabu dengan
kulit berwarna merah dan hijau. Wajah dan tangan penuh luka bercelemong darah.
Ketika diperiksa oleh Nyi Roro Manggut ternyata pemuda ini masih bernafas.
Keadaannya tidak separah yang dialami orang-orang lainnya. "Hemmm.... Dia punya
kesaktian dari alam lain." Si nenek membatin lalu berpaling ke arah Purnama.
Lewat sepasang mata dia mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya. Dia melihat
satu cahaya aneh membungkus tubuh gadis jelita itu. Sambil usap dagu Nyi Roro
Manggut berkata perlahan. "Kau juga bukan mahluk alam sini. Kau punya kesaktian
lebih hebat dari pemuda itu. Seharusnya kau mampu menolak racun jahat itu."
Nyi Roro Manggut letakkah tangan kiri di atas dada Purnama. Tidak terasa suara
detak jantung. Dia pegang urat besar di pangkal kiri leher si gadis. Tidak ada
getaran denyut aliran darah. "Tak ada detak jantung. Tak ada aliran darah. Tapi
aku tahu kau masih hidup. Mungkin kau punya nyawa lebih dari satu!" Nyi Roro
Manggut cengkeramkan sepuluh jari tangan ke kepala Purnama.
"Desss!" .
Si nenek keluarkan pekik terkejut ketika sosok gadis yang ditolongnya tiba-tiba
lenyap dan berubah jadi kepulan asap biru. Lalu terlihat sosok samar yang
perlahan-lahan kembali berubah menjadi sosok utuh seperti semula. Sosok ini coba
berdiri. Namun seperti tidak punya kekuatan roboh jatuh dan terguling di tanah.
"Mati?" pikir Nyi Roro Manggut lalu memeriksa.
*** EMPAT TIBA-TIBA sepasang mata Purnama terbuka. Mata itu berputar bergerak, memandang
ke arah Wiro, Rayi Jantra dan Pengemis Empat Mata Angin. Ketika pandangannya
membentur sosok Jatilandak, detak jantungnya seolah berhenti sesaat
"Anakku, bagaimana kau bisa berada di tempat ini" Apakah kau masih hidup...."
Purnama perhatikan keadaan dirinya sendiri. Ketika melihat tangan kirinya gadis
ini jadi tercekat "Racun empat warna...." ucapnya dalam hati. Jalan pikirannya
ternyata masih cukup jernih. Bibir bergetar. Dia berpaling menatap si nenek
kembali. "Nek, pasti kau yang telah menyelamatkan diriku dan para sahabat. Aku sangat
berterima kasih. Namun nyawa kami masih terancam. Aku tahu kau bukan orang
sembarangan. Saat ini aku tak punya daya tak punya tenaga. Pinjamkan seluruh
tenaga dalam dan hawa saktimu padaku. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa
menyelamatkan nyawa orang-orang itu dan diriku sendiri."
"Heh?" Nyi Roro Manggut tercekat mendengar ucapan Purnama. "Tidak mungkin...
tidak mungkin aku melakukan itu."
"Di alammu dan di alamku banyak hal yang tidak mungkin. Tapi di alam sini
segalanya serba mungkin.
Ulurkan tanganmu tekankan telapak tangan kiri di tumit kananku, telapak tangan
kanan ke tumit kiri. Cepat lakukan. Waktu kita tidak banyak. Jika kau ingin
menyelamatkan Wiro lakukan sekarang juga. Demi Tuhan lakukanlah!"
Wajah si nenek tampak berubah. "Kau menyebut nama Tuhan. Padahal kau mahluk alam
lain. Apa di alammu ada Tuhan" Apa kau mengenal Tuhan?"
Purnama menarik nafas dalam. "Nek, kau hanya membuang waktu saja. Tapi biar
kujawab pertanyaanmu.
Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan. Kau dan aku ada di dalam alam yang sama.
Apa itu bukan berarti kita mempunyai Tuhan yang sama. Apakah untuk menolong
kami...." Nyi Roro Manggut angkat tangan kirinya. "Sudah... sudah." Si nenek lalu menatap
ke arah Pendekar 212.
"Ah, bocah ingusan itu. Pesan Junjungan Agung. Aku harus menolongnya. Tapi
bagaimana kalau gadis alam gaib ini menipuku" Bagaimana kalau setelah tenaga
dalam dan hawa sakti aku berikan, dia tidak mengembalikan?"
"Nek! Waktu kita tidak lama!" Berseru Purnama.
Setelah tetapkan hatinya Nyi Roro Manggut akhirnya lakukan apa yang dikatakan
Purnama. Telapak tangan kiri ditekankan ke tumit kanan dan telapak tangan kanan
ditekankan di tumit kiri Purnama.
"Desss!"
"Desss!"
Nenek cebol menjerit keras ketika tubuhnya terpental dua tombak lalu berguling
lemas. Dia coba bangkit tapi terhuyung lalu jatuh terlentang. Tubuhnya seolah
tidak memiliki tulanglagi.
"Gusti Allah, apa yang terjadi dengan diriku! Gadis itu menguras seluruh tenaga
dalam dan hawa sakti yang aku miliki!"
Kalau si nenek terpental dan terbanting di tanah maka Purnama mencelat ke udara,
lalu melayang turun dalam ujud utuh. Begitu menginjak tanah dia cepat mendekati
Wiro. Mulutnya berucap.
"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus tiga puluh. Pengobatan ke lima ratus
dua puluh enam. Dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar
kami semua mendapat kesembuhan."
Habis keluarkan ucapan sesuai dengan apa yang dibaca dan diingatnya dalam Kitab
Seribu Pengobatan Purnama pentang empat jari tangan kanan yaitu ibu jari, jari
telunjuk, jari tengah dan jari manis. Keempat jari yang seolah berubah menjadi
empat potongan besi itu kemudian drtotokkan ke keningnya sendiri!
"Craass! Kraaakkk!"
Empat jari menembus daging dan tulang kening hingga di kening itu kini kelihatan
empat buah lobang.
Begitu lobang terkuak maka mengucur empat cairan masing-masing berwarna merah,
hijau, kuning dan biru.
Dalam keadaan seperti itu, agak terhuyung-huyung Purnama mendekati Wiro dan Rayi
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jantra. Dengan empat jarinya dia menotok kening ke dua orang itu hingga
berlobang empat dan mengucurkan cairan empat warna.
Dia lalu memeriksa sosok Pengemis Empat Mata Angin dan hanya bisa merasa sedih
mengetahui si kakek sudah tidak bernyawa lagi. Purnama kemudian berpindah pada
sosok puteranya. Terhadap Jatilandak Purnama hanya pergunakan dua jari untuk
menotok kening yaitu sesuai dengan dua warna yang terlihat di kulit tubuh, merah
dan hijau. Begitu dua buah lobang muncul di kening, cairan merah dan hijau
langsung mengucur.
Selesai melakukan semua pekerjaan itu Purnama cepat menghampiri Nyi Roro Manggut
yang terlentang di tanah dalam keadaan lemas tak mampu bergerak sedikitpun.
"Hah, apa yang hendak dilakukannya. Jangan-jangan dia hendak membunuhku!'' pikir
si nenek. "Nek, aku akan kembalikan tenaga dalam dan hawa sakti yang tadi aku pinjam. Maaf
kalau aku harus menginjak tanganmu."
Gadis dari negeri 1200 tahun silam itu kemudian injak telapak tangan kiri kanan
si nenek hingga Nyi Roro Manggut berteriak kesakitan.
"Dess!"
"Dess!"
Purnama dan Nyi Roro Manggut sama-sama keluarkan jeritan keras. Kalau Purnama
kemudian terpental hampir sepuluh langkah lalu jatuh terguling di tanah maka si
nenek mencelat ke udara dan walau mampu jatuh dengan dua kaki menginjak tanah
lebih dulu namun sempat terkencing-kencing!
"Wong edan! Baru sekali ini aku sampai mengalami ngompol seperti ini. Memalukan!
Aku terpaksa harus mandi kembang tujuh rupa sebelum masuk ke laut selatan!" Nyi
Roro Manggut lalu melangkah menghampiri Purnama yang tergeletak di tanah
sementara cairan empat warna masih mengucur dari empat buah lobang di keningnya.
"Mahluk hebat!" puji si nenek. "Aku telah menyangka buruk. Tadinya aku mengira
kau tidak akan mengembalikan tenaga dalam dan hawa saktiku."
Purnama tersenyum. "Kau yang hebat Nek. Aku berterima kasih kau telah sudi
menolong."
"Gadis cantik, aku tahu sedikit mengenai Racun Inti Bumi yang mencelakaimu dan
kawan-kawan. Warna yang ada di kulit kalian akan hilang satu hari satu warna.
Berarti untuk pulih kembali sudah membutuhkan empat hari...."
"Tidak jadi apa Nek. Yang penting kami semua sudah selamat, hanya tinggal
menunggu kesembuhan...."
Sebenarnya ihwal ini sudah diketahui Purnama dari Kitab Seribu Pengobatan.
"Eh, kalau boleh aku bertanya dari mana kau mendapatkan ilmu cara pengobatan
seperti yang kau lakukan tadi?" bertanya Nyi Roro Manggut.
"Aku mendapat petunjuk dari sebuah kitab kuno bernama Kitab Seribu Pengobatan,"
jawab Purnama. Dia ingat sampai saat itu masih tidak diketahui siapa pencuri dan
dimana keberadaan kitab tersebut.
"Aaaah.... Aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Sungguh luar biasai!" Nyi
Roro Manggut manggut-manggut beberapa kali. "Sekarang apa yang bisa aku lakukan"
Cairan empat warna masih mengalir dari empat buah lobang di kening kalian.
Bagaimana cara menghentikannya?"
"Tak usah khawatir Nek, jika nanti angin dari laut mulai bertiup agak kencang
dan kepala kami menjadi dingin, cairan berwarna itu akan berhenti mengucur..."
"Lalu empat buah lobang menganga yang ada di keningmu, juga di kening dua orang
lain itu" Apa kalian akan hidup dengan kening bolong seumur-umur?"
Purnama terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia lalu berkata. "Ini yang agak
merisaukan aku Nek.
Menurut petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan untuk menghilangkan lobang yang
ada di kening, kepala kami harus disiram air laut. Kami harus mandi dan
mencelupkan kepala di laut...."
"Laut, apakah laut jauh dari sini?" tanya Nyi Roro Manggut
"Tidak seberapa jauh. Ada sebuah teluk di sebelah utara. Aku dan puteraku...."
"Eh, siapa yang kau maksud puteramu itu?" Nyi Roro Manggut bertanya memotong
ucapan Purnama.
"Pemuda berpakaian kelabu yang masih pingsan di sebelah sana," jawab Purnama
pula. Si nenek memandang ke arah Jatllandak. Dia ingat, sebelumnya sosok pemuda itu
adalah seekor landak raksasa. Bagaimana ceritanya seorang cantik dan masih gadis
seperti itu punya seorang putera yang ujud aslinya adalah seekor landak. Ingin
dia bertanya namun akhirnya membatalkan niat.
"Nek, setelah kucuran cairan berwarna berhenti, tenaga dalam dan semua
kesaktianku, juga puteraku belum akan kembali. Dengan mengandalkan tenaga luar
kami mungkin mampu pergi sendiri ke teluk. Tapi bagaimana dengan Wiro dan Rayi
Jantra. Walau kucuran cairan racun empat warna berhenti, namun mereka masih
belum punya tenaga untuk pergi ke laut. Berjalanpun mereka tidak akan mampu."
"Kalau begitu aku yang akan membawa kailan masuk semua ke teluk. Tapi...."
"Tapi apa Nek?" Selain bingung apakah nenek cebol itu mampu membawa mereka
berempat ke teluk, Purnama juga merasa cemas ada sesuatu yang menjadi ganjalan
si nenek. "Apakah aku punya waktu?"
"Maksudmu Nek?"
"Sepertimu, aku berasal dari alam lain. Tanpa ijin dari pimpinanku Junjungan
Agung tidak mungkin bisa berada lama di alam sini...."
"Kalau aku boleh tahu siapa gerangan Junjungan Agung itu, Nek?" tanya Purnama.
"Nyi Roro Kidul, pemimpin, penguasa dan pemelihara kedamaian laut selatan."
"Ah... aku pernah mendengar riwayatnya. Aku sangat mengagumi Ratu-mu itu Nek."
"Dengar... Eh, siapa namamu" Apa kau punya nama?"
Purnama tertawa. "Pendekar Dua Satu Dua memberi aku nama Purnama."
"Begitu?" Si nenek manggut-manggut beberapa kali dan ikutan tertawa. Dia
memandang ke arah sosok Wiro yang tergeletak di tanah. Dalam hati berkata.
"Bocah ingusan, kau tentu memberi nama itu tidak cuma-cuma! Paling tidak kau
sudah pemah memeluk atau mencium gadis ini!"
"Nek, ada apa kau senyum-senyum?" tanya Purnama.
Nyi Roro Manggut angkat kedua bahunya lalu gelengkan kepala.
"Nek, kalau waktumu memang terbatas dan kau memang bisa menolong, setelah cairan
berwarna berhenti mengucur...."
"Sudah kau tak usah kawatir. Urusan dengan Junjungan Agung biar aku yang nanti
bertanggung jawab. Aku akan membawa kalian sekarang juga ke teluk...."
"Nek, bagaimana dengan jenasah Pengemis Empat Mata Angin," bertanya Purnama.
Saat itu Wiro dan Rayi Jantra telah mulai siuman dari pingsannya. Sebagian
pembicaraan Nyi Roro Manggut dan Purnama sempat mereka dengar. Rayi Jantra
merasa sangat sedih mengetahui kalau Pengemis Empat Mata Angin telah tewas. "Aku
belum sempat membalas budi, kakek itu sudah pergi duluan. Kalau bukan dia yang
menolongku di jurang, aku sudah lama jadi bangkai." Ucap Rayi Jantra dalam hati.
Lalu Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini kumpulkan tenaga untuk bisa sekedar
keluarkan ucapan. "Nek, sebelum pergi aku mohon, tolong jenasah kakek itu
diurus. Dikubur. Jangan ditinggal tergeletak begitu saja."
"Urusan kecil!" jawab Nyi Roro Manggut. Nenek ini hantamkan tangan kanannya ke
bawah. Tanah bermuncratan membentuk sebuah lobang besar.
"Kalian tengah melakukan apa?" Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya perlahan dari
tempatnya tergeletak.
Dia merasa heran ketika tubuh dan mukanya kejatuhan muncratan tanah.
"Kami hendak mengubur jenasah kakek Pengemis Empat Mata Angin." Menerangkan
Purnama. "Kasihan kakek itu...." ucap Wiro. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Tunggu! Jangan
dikubur dulu!"
"Memangnya kenapa?" tanya Purnama.
"Ingat apa yang telah aku lakukan terhadapnya" Rohnya tidak akan tenteram di
alam akhirat kalau letak....
letak... anunya itu masih terbalik."
Wajah Purnama tampak berubah. Gadis ini ingat kalau anggota rahasia Pengemis
Empat Mata Angin yang pernah ditanggalkan Wiro dengan ilmu Menahan Darah
Memindah Jasad masih dalam keadaan terbalik.
(Kisah lucu sampai Wiro menanggalkan anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin
dan kemudian memasangnya kembali sengaja terbalik dapat dibaca dalam Episode
sebelumnya berjudul "Misteri Pedang Naga Merah").
"Kau mau melakukan apa?"
"Aku akan coba memperbaiki letaknya kembali."
"Dalam keadaan seperti ini apa kau sanggup melakukan?" tanya Purnama.
Saat itu Nyi Roro Manggut datang mendekati dan bertanya. "Kalian bicara apa" Ada
apa sebenarnya ini"
Mengapa jenasah kakek botak itu tak segera dikubur?"
Purnama tak bisa menjawab. Akhirnya Wiro yang bicara.
"Nek, aku butuh pertolonganmu. Tolong tarik aku ke dekat jenasah kakek botak
itu." "Eh, kau mau melakukan apa?"
"Sudah, lakukan saja Nek," ucap Wiro.
Karena Nyi Roro Manggut tidak mau melakukan apa yang dikatakan Wiro maka Purnama
lalu cekal pergelangan kaki sang pendekar dan menariknya hingga berada di
samping jenasah kakek pengemis. Nyi Roro Manggut mengikuti langkah Purnama dan
berdiri di samping jenasah Pengemis Empat Mata Angin.
"Nek, kalau tidak aku terangkan kau tidak akan mengerti." Dengan suara perlahan
karena tubuhnya nyaris tiada daya Wiro lalu menerangkan apa yang telah
dilakukannya pada Pengemis Empat Mata Angin. "Kakek itu pernah bilang, kalau dia
mati, dia tidak akan tenteram jika anunya itu masih dalam keadaan terbalik.
Sekarang agar rohnya tenteram aku harus membalikkan kembali letak anunya kakek
itu." "Oala! Bocah ingusan! Dari dulu kau memang selalu jahil. Kini orang lain kau
bikin susah termasuk aku!"
si nenek cebol berkata setengah mengomel.
"Nek, tolong kau tarik ke bawah celana panjang kakek botak itu."
"Apa"!" Nyi Roro Manggut tersentak kaget dan delikkan mata.
"Aku tak mungkin memperbaiki letak anggota rahasianya kalau celananya tidak
dibuka," ucap Wiro pula.
"Kau gila!"
"Nek, kalau nanti roh kakek itu gentayangan, bukan aku yang dicarinya tapi
dirimu. Karena kau tidak mau menolong!"
"Perduli setan!" jawab si nenek.
"Terserahmu Nek, aku hanya mengingatkan."
"Nek, tolong. Lakukan apa yang dikatakan sahabatku itu...." Rayi Jantra berucap.
Diam-diam Nyi Roro Manggut jadi mengkirik juga kuduknya mendengar ucapan Wiro
tadi. Dia tidak mau mendapat susah. Apalagi kalau sampai terhalang kembali
pulang ke laut selatan. Akhirnya dia membungkuk dan tarik celana Pengemis Empat
Mata Angin hingga anggota rahasianya tersingkap. Purnama cepat-cepat balikkan
diri. Walau sudah melengos tak sengaja si nenek sempat melihat aurat terlarang
itu dan mulutnya langsung ketelepasan bicara.
"Weh, kok jelek amat!"
"Nek, memangnya kau pernah melihat anu yang lain yang lebih bagus?" Wiro
ketelepasan bicara pula, bertanya seenaknya.
"Bocah ingusan geblek! Sudah mau mati masih saja bicara ngelantur!" damprat Nyi
Roro Manggut lalu palingkan wajahnya yang tersipu malu.
"Nek, tolong angkat tangan kananku. Letakkan di atas anunya si kakek."
"Edan! Kau benar-benar keterlaluan!"
"Nek..."
Dengan lebih dulu melengos si nenek lakukan juga apa yang dikatakan Wiro.
Setelah tangan kanannya berada di bagian bawah perut Pengemis Empat Mata Angin,
Wiro masih memerlukan pertolongan si nenek.
"Satu permintaan lagi, Nek..."
"Edan! Apa lagi?"
"Alirkan tenaga dalammu ke tangan kananku," jawab Wiro.
Nyi Roro Manggut menarik nafas panjang, menoleh pada Purnama. Ketika gadis dari
negeri 1200 tahun silam ini anggukkan kepala si nenek letakkan tangan kanannya
di atas bahu kanan Wiro lalu alirkan tenaga dalam. Dengan kekuatan tenaga yang
diberikan Nyi Roro Manggut murid Sinto Gendeng mampu mengerahkan ilmu Menahan
Darah Memindah Jasad dan berhasil memindah serta memperbaiki letak anggota
rahasia Pengemis Empat Mata Angin yang tadinya terbalik.
"Sudah Nek," ucapWiro.
"Apanya yang sudah?" tanya Nyi Roro Manggut.
"Anunya si kakek sudah aku putar."
"Lalu"!"
"Tolong kau lihat, apa letaknya sudah bagus, sudah lempang."
"Setan alas!" Nyi Roro Manggut memaki jengkel dan marah. Dia lalu gulingkan
tubuh Wiro ke samping dan siap untuk memasukkan jenasah Pengemis Empat Mata
Angin ke dalam lobang.
"Tunggu Nek! Celananya belum dinaikkan! Anunya belum tertutup!" ucap Wiro.
"Perduli setan aku!" kata si nenek. Lalu dia dorong tubuh Pengemis Empat Mata
Angin ke dalam lobang.
"Celaka Nek! Bagaimana kalau di alam roh burungnya kakek itu nanti terbang
kelayapan karena celananya tidak ditutup. Pasti kau yang dicari dan dipatuknya!"
"Perduli setan!" Ucap Nyi Roro Manggut hampir berteriak sementara Purnama hanya
bisa tersenyum geli dan geleng-gelengkan kepala. Dia sudah banyak mendengar dan
melihat keusilan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun yang sekali ini benar-benar edan. Padahal keadaan Wiro saat itu masih
belum terlepas penuh dari ancaman bahaya Racun Inti Bumi.
*** LIMA DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dan Ilmu
Menggunung Raga Melaut Tenaga Nyi Roro Manggut yang memanggul Wiro, Rayi Jantra,
Purnama dan Jatilandak di bahu kiri kanan, dalam bilangan kejapan mata saja
telah berada di Teluk Losari. Angin mengandung garam bertiup dingin. Di langit
bulan sabit tampak samar tertutup saputan awan tipis. Deburan ombak menderu tak
berkeputusan. Tak jauh di tengah laut, beberapa buah pulau kelihatan menghitam
seperti gundukan batu dalam gelapnya malam.
"Purnama... Kau bisa mendengar suaraku?" Nyi Roro Manggut keluarkan ucapan.
Sunyi tak ada jawaban. Sesaat kemudian baru terdengar suara gadis dari negeri
Latanahsilam itu. "Aku mendengar Nek. Aku mendengar suara debur ombak. Kita...."
"Kita sudah sampai di teluk. Apa yang harus aku lakukan. Melemparkan kalian
semua ke dalam laut?"
bertanya Nyi Roro Manggut.
"Baringkan kami di atas pasir. Kalau ombak datang kepala kami akan terguyur air
laut. Lobang-lobang di kening kami akan lenyap. Dengan ijin Tuhan kami semua
akan terbebas dari racun jahat Inti Bumi. Tenaga dalam serta semua kesaktian
yang kami miliki akan pulih kembali. Begitu petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan...."
Saat itu si nenek masih memanggul keempat orang tersebut di bahu kiri kanan,
Entah mengapa hatinya mendadak terasa tidak enak. Setelah berpikir sejenak dia
berkata. "Sudah, aku akan bawa kalian ke dalam laut. Biar aku ikut mandi sekalian. Hik...
hik... hik...."
Lalu, tidak menunggu lebih lama nenek sakti dari laut selatan itu berlari
merancah laut menerobos ombak.
Baru air laut mencapai sebetis dan tubuh keempat orang yang dipanggulnya masih
belum terkena air laut, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul dua buah
perahu meluncur cepat ke arah teluk. Diantara deru ombak ada orang berseru
keras. "Siapa yang berani mengotori laut kawasan kakuasaan Ratu Laut Utara malam-malam
buta begini!"
Dua perahu semakin dekat. Di atas perahu sebelah kanan berdiri seorang kakek
berambut kelabu riap-riapan, mengenakan jubah kuning. Pada pertengahan kening,
melintang sampai ke pipi kiri ada cacat bekas luka yang membuat mata kirinya
agak terpuruk hingga wajahnya tampak angker seram. Dua tangan dirangkap di atas
dada. Kaki kiri dicelup ke dalam air laut, dijadikan pendayung dan membuat
perahu melesat pesat di atas air. Kakek inilah yang barusan keluarkan saruan.
Di atas perahu kedua tampak seorang kakek berjubah biru, berkepala botak dan
memiliki wajah berwarna merah. Walau sudah tua namun sosoknya yang tinggi besar
dan buncit tampak masih kukuh tegap. Di tangan kiri dia memegang sebuah dayung
kayu besar yang dicelupkan ke dalam air laut. Setiap kali dia mengayuh, perahu
melesat cepat dipermukaan air laut. Siapa gerangan dua orang tua berkepandaian
tinggi ini"
Sewaktu terdengar suara seruan tadi, empat orang di atas bahu kiri kanan Nyi
Roro Manggutcoba bergerak mengangkat kepala untuk melihat ke depan,
"Nek, aku mencium bahaya. Lekas lemparkan kami ke dalam laut!" Purnama keluarkan
ucapan. Wiro sendiri saat itu ketika melihat kakek berjubah biru bermuka merah
terkesiap. "Kakek muka merah di atas perahu. Aku pernah melihat orang ini
sebelumnya. Dimana... kapan?"
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum ingatan Pendekar 212 pulih, tubuhnya sudah dilempar Nyi Roro Manggut ke
dalam laut bersama tiga orang lainnya. Si nenek sendiri kemudian mundur tiga
langkah, sosok kembali ke ujud semula pendek cebol, mata menatap tak berkesip ke
arah dua perahu. Ketika perahu mendekat dia segera mengenali kakek berjubah
kuning namun tidak tahu siapa adanya kakek bermuka merah berkepala botak di atas
perahu satunya.
Begitu Wiro, Purnama, Rayi Jantra dan Jatilandak masuk ke dalam air laut, kepala
Malaikat Gerbang Neraka 1 Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Ikat Pinggang Kemala 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama