Ceritasilat Novel Online

Malaikat Gerbang Neraka 1

Pendekar Naga Putih 25 Malaikat Gerbang Neraka Bagian 1


1 Saat itu matahari sudah menampakkan kekuasaannya, sinarnya yang kuning keemasan,
menyirami dataran
Lembah Tiga Setan. Hembusan angin bertiup keras, karena dataran lembah itu
sangat lebar dan luas.
Tidak seperti biasanya, pagi ini Lembah Tiga Setan tampak dipenuhi manusia. Dari
lereng saja sudah terlihat jelas banyaknya sosok tubuh yang berkelebat mendaki
Gunung Kalaban, untuk kemudian menuruni Lembah Tiga Setan.
Dari gerakan dan langkah kaki sosok-sosok tubuh itu, jelas kalau rata-rata
terdiri dan tokoh persilatan. Apalagi di pinggang mereka tampak menyembul gagang
senjata. Bisa ditebak, sosok-sosok tubuh itu merupakan kaum rimba persilatan.
Rombongan pertama yang terdiri dari dua belas orang laki-laki bertampang kasar,
menghentikan langkah di tengah lembah. Laki-laki tinggi kurus dan berwajah pucat
yang merupakan kepala rombongan itu melangkah berkeliling sambil mengedarkan
pandangan. Sikapnya terlihat jumawa, dan meremehkan orang lain.
"Hm..... Mana orang yang mengaku berjuluk Malaikat Gerbang Neraka" Mengapa batang
hidungnya tidak
kelihatan" Apakah ia sengaja hendak mempermainkan Tengkorak Hutan Jati?" gumam
laki-laki tinggi kurus itu sambil bertolak pinggang dengan sikap jumawa.
Kesombongan yang diperlihatkan laki-laki tinggi kurus itu memang wajar. Memang,
dalam rimba persilatan, julukan Tengkorak Hutan Jati sangat ditakuti. Entah
sudah berapa banyak tokoh golongan putih yang tewas di
tangannya. Kekejamannya yang tidak tanggung-tanggung membuat orang semakin segan
berurusan dengannya.
Dengan ilmunya yang bernama 'Cakar Penghancur Tulang'.
Tengkorak Hutan Jati tampak semakin sombong. Dan
memang, dia belum pernah dicundangi orang. Tidak heran kalau ia cenderung
memandang remeh orang lain.
Kedatangannya pagi ini ke Lembah Tiga Setan atas
undangan orang yang mengaku berjuluk Malaikat Gerbang Neraka. Dan sebenarnya ia
tidak tahu kapan orang aneh itu mengirimkan undangan kepadanya. Tentu saja hal
ini membuatnya jadi penasaran, sehingga membawanya ke Lembah Tiga Setan.
Bukan hanya Tengkorak Hutan Jati saja yang
mendapatkan undangan yang penuh teka-teki itu. Masih banyak tokoh persilatan
lain yang juga mendapat
undangan sama, dan dengan alasan yang juga tidak
berbeda. Kebanyakan dari mereka datang hanya karena penasaran terhadap si
pengirim undangan. Mereka ingin melihat, bagaimana rupa orang yang telah begitu
berani mengirimkan undangan kepada mereka. Jadi tak heran kalau Lembah Tiga
Setan dipenuhi manusia golongan sesat.
Mereka yang mendapatkan undangan aneh itu ternyata bukan hanya penjahat-penjahat
kelas teri. Bahkan para datuk sesat di empat penjuru mata angin pun mendapat
undangan yang sama. Tentu saja keadaan di lembah itu semakin semarak dan ramai.
"He he he.... Tak disangka, orang yang paling berkuasa di daerah Timur pun sudi
juga memenuhi undangan gila ini," cetus seorang kakek berusia enam puluh tahun.
Wajahnya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna dua. Pakaian yang
dikenakannya pun tampak lusuh dan agak kotor.
Suara berat dan parau yang terdengar pelan namun
cukup menggetarkan hati itu tentu saja membuat terkejut para tokoh yang hadir.
Serentak mereka menoleh ke arah asal suara tadi. Namun sampai lelah mata mereka
mencari, tak ada seorang pun yang patut dicurigai. Tak ada yang tahu kalau kakek
itu mengucapkan kata-katanya tanpa menggerakkan bibir. Padahal orang yang
mengeluarkan ucapan itu sebenarnya ada di antara
mereka. "Memedi Karang Api...!"
Terdengar suara mendesis lirih yang bersahut-sahutan dari beberapa orang tokoh
sesat terkemuka saat ini.
Beberapa pasang mata tokoh persilatan itu tampak
menyiratkan sinar kegentaran dan rasa hormat ke arah kakek berjubah putih kumal
itu. Dari nada suara yang terdengar agak bergetar, jelas kalau mereka merasa
tunduk terhadap kakek yang berjuluk Memedi Karang Api.
Bahkan Tengkorak Hutan Jati yang semula bersikap
sangat sombong, langsung merubah sikap melihat
kehadiran Memedi Karang Api. Hal itu wajar saja. Karena kakek itu merupakan raja
kaum sesat di wilayah Barat. Dan karena Tengkorak Hutan Jati juga berasal dari
daerah itu, maka secara tidak langsung, ikut mengangkat kakek itu sebagai raja.
Namun, hal itu tanpa sepengetahuan Memedi Karang Api sendiri.
"Ini baru hebat, kalau sampai seorang datuk seperti Memedi Karang Api sampai
datang memenuhi undangan.
Dan tentu si pengundang memiliki keistimewaan yang membuatnya penasaran!"
celetuk salah seorang tokoh sesat bertubuh gendut dan berkepala botak. Sebelah
matanya yang tertutup kulit binatang, membuatnya dijuluki sebagai Garuda Mata
Satu. "Hm.... Kau benar, Garuda Mata Satu. Bukan hanya Memedi Karang Api saja yang
muncul di sini. Aku sempat mendengar, apa yang diucapkannya tadi. Dan kalau
tidak keliru, mungkin yang dimaksud orang paling berkuasa di daerah Timur itu
adalah Datuk Panglima Sesat. Siapa lagi kalau bukan dia yang di maksud Memedi
Karang Api."
timpal laki-laki berwajah kekanakan.
Dia berdiri di sebelah Garuda Mata Satu. Menilik dari ucapannya, jelas kalau
orang itu pun pasti bukan orang sembarangan. Buktinya, ia cukup mengenal tokohtokoh kelas atas dalam golongannya.
"Tapi, mengapa aku tidak melihatnya..." Apa kau melihat adanya tokoh sakti itu?"
tanya Garuda Mata Satu sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
Namun meski sampai pegal kepalanya tetap saja tidak bisa menemukan orang yang
dimaksud. "He he he... Jangan samakan ketajaman mata dan pendengaranmu dengannya. Dan aku
percaya, apa yang dikatakannya itu benar. Meskipun, aku sendiri belum
melihatnya," sahut laki-laki berwajah kekanakan itu sambil tertawa lirih.
Tak lama, selagi kedua orang itu terlibat dalam
percakapan, terdengar suara langkah kaki berderap yang membuat semua orang
menolehkan kepala ke arah asal suara.
"Pasukan Datuk Panglima Sesat..!" Kiranya dia juga menyempatkan diri memenuhi
undangan ini" Hm... Bukan mustahil kalau kedua orang datuk lainnya akan muncul
juga di Lembah Tiga Setan ini. Benar-benar sebuah peristiwa yang jarang sekali
terjadi. Entah apa daya tarik yang dimiliki tokoh berjuluk Malaikat Gerbang
Neraka itu"
Kalau melihat dari hadirnya datuk-datuk di empat penjuru mata angin ini, jelas
kalau Malaikat Gerbang Neraka memiliki kelebihan yang membuat para datuk
tertarik,"
gumam Tengkorak Hutan Jati dengan hati semakin ciut.
Memang, tokoh-tokoh itu merupakan pentolan-pentolan kaum sesat. Maka begitu
melihat kehadiran Memedi
Karang Api dan Datuk Panglima Sesat, barulah Tengkorak Hutan Jati merasa betapa
dirinya masih terlalu jauh untuk dapat disejajarkan dengan kedua orang tokoh
itu. Sementara itu, rombongan orang berseragam serba
putih dengan sulaman benang emas di bagian dada kiri sudah memasuki lembah dan
memilih tempat teduh.
Seorang laki-laki tinggi besar yang kumis dan jenggotnya tercukur rapi tampak
berdiri angkuh sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Sikapnya
terlihat menimbulkan perbawa kuat. Menilik dari pakaiannya yang mirip pakaian
Panglima kerajaan, jelas sudah kalau laki-laki berusa sekitar lima puluh tahun
itulah yang berjuluk Datuk Panglima Sesat. Dan orang itu pulalah yang
dimaksudkan sebagai penguasa daerah Timur.
Tingkah dan cara kehidupan yang dijalani tokoh
menggiriskan itu memang aneh sekali. Di tempat
kediamannya, ia membangun sebuah tempat tinggal yang megah dan mirip istana.
Bahkan pata pembantunya yang berjumlah seratus orang, diwajibkan mengenakan
pakaian prajurit bila berada di tempat kediamannya. Sedangkan ia sendiri tidak
pernah melepas pakaian panglimanya itu. Dan karena sikapnya yang tidak mirip
seorang panglima, maka kalangan rimba persilatan memberi julukan Panglima Sesat
kepadanya. Kepandaiannya memang hampir tanpa tandingan. Inilah yang
menyebabkannya dalam waktu yang singkat dapat menempatkan diri sejajar dengan
tiga orang datuk sesat lainnya.
Kedatangannya ke Lembah Tiga Setan adalah karena
sebuah undangan yang sampai ke tempat kediamannya tanpa seorang pun
mengetahuinya. Bahkan ia sendiri juga tidak tahu, kapan undangan itu dikirimkan.
Dan semula dia menduga kalau si pengirim jelas bukan orang sembarangan. Maka
dengan hati penasaran, Datuk Panglima Sesat pun menyempatkan diri memenuhi
undangan itu. Kepala laki-laki tinggi besar yang terlihat gagah ini terangguk kaku ketika
sepasang matanya tertumbuk pada sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah
putih kumal. Jelas, tokoh sesat yang satu ini benar-benar memiliki sikap sangat
angkuh. Jangankan terhadap tokoh di bawahnya, sedangkan terhadap Memedi Karang
Api yang setingkat dengannya pun masih juga menunjukkan ketinggian hatinya. Dia
benar-benar menganggap sebagai seorang Panglima yang patut di hormati. Dan itu
sepertinya cukup wajar. Sebab selain kepandaiannya sulit diukur, datuk sesat
yang satu ini memang orang terkaya di daerah Timur.
"Hm... Kiranya kau tertarik juga dengan undangan gila ini, Memedi Karang Api?"
tegur Datuk Panglima Sesat.
Pandangan Datuk Panglima Sesat beralih sejenak ke arah kakek berjubah putih
kumal itu. Suaranya terdengar sangat angkuh. Sepertinya ia ingin membedakan
kalau dirinya masih jauh lebih patut dihormati ketimbang Memedi Karang Api.
Namun Memedi Karang Api sendiri sama sekali tidak tersinggung atas teguran Datuk
Panglima Sesat. Ia hanya terkekeh serak memperlihatkan gigi-giginya yang
ternyata terawat baik dan sangat kuat. Meskipun urakan, jelas kalau Datuk
Wilayah Barat ini sangat memelihara
kebersihan. Sayangnya, semua itu seolah disembunyikan di balik pakaiannya yang
lusuh dan kumal. Entah apa maksud kakek itu berbuat demikian.
"He he he.... Sebenarnya hanya kita berdua saja yang begitu gila, sehingga
memenuhi undangan ini. Semenjak tadi aku tidak melihat dua tokoh lain. Apakah
kau melihat mereka. Datuk Panglima Sesat?" tanya Memedi Karang Api. Datuk
Panglima Sesat yang biasa dipanggil dengan sebutan 'tuanku', tentu saja tidak
merasa keberatan atas panggilan itu. Sebab biarpun berpenampilan sangat lusuh,
tapi tetap saja kakek itu dipandangnya sebagai orang yang seangkatan. Apalagi
kepandaian mereka hampir-hampir tidak berselisih.
"Ya! Aku pun tidak melihat mereka. Mungkin hal ini dianggap tidak terlalu
penting. Lain dengan kita yang merasa tersinggung oleh undangan itu. Bagiku,
surat itu lebih tepat sebuah tantangan ketimbang undangan. Untuk itulah aku
datang kemari. Bagaimana dengan kau,.
Memedi Karang Api" Apa alasanmu memenuhi undangan gila ini?" tanya Datuk
Panglima Sesat, tetap tidak merubah nada suara maupun sikapnya
"He he he.... Aku tidak segila dirimu, Datuk Panglima Sesat. Kehadiranku di sini
hanya untuk menonton
keramaian. Sebab, jarang sekali pertemuan seperti ini bisa terjadi. Sayang Datuk
Selatan dan Datuk Utara tidak bisa hadir. Kalau saja mereka berada di tempat
ini, mungkin hatiku akan semakin gembira," sahut Memedi Karang Api.
Dia tidak peduli, apakah ucapannya akan menyinggung perasaan lawan bicaranya
atau tidak. Memang, sudah begitulah sikap dan tingkah lakunya. Datuk Panglima
Sesat pun memang sudah maklum akan sifat kawan
segolongannya itu.
"Ha ha ha.... Dasar jembel tua kekurangan tontonan!
Kalau hanya untuk alasan seperti itu, mengapa tidak singgah saja ke tempat
kediamanku" Di sana kau akan menikmati tontonan-tontonan menarik setiap saat.
Bahkan wanita-wanita cantik pun tinggal pilih saja," kata Datuk Panglima Sesat
sambil tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan sahabatnya.
Apa yang dikatakan Datuk Panglima Sesat tentu saja bukan hanya omong kosong
saja. Sebagai seorang datuk yang paling kaya di wilayah Timur, tentu apa yang
ducapkannya tidaklah berlebihan. Bahkan tempat
kediamannya masih lebih besar dan megah daripada
istana kadipaten. Sehingga, Adipati Blambangan sendiri tidak berani mengusiknya.
Dan jelas, hal itu hanya akan mendatangkan penyaklt saja.
"Apakah ucapanmu ini merupakan undangan resmi untukku..?" kelar Memedi Karang
Api. Hatinya benar-benar gembira membayangkan apa yang dijanjikan sahabatnya itu.
Sepasang matanya yang kocak, berputar liar. Seolah-olah, kakek itu sudah merasa
gembira walau hanya membayangkannya saja.
"Mengapa tidak" Kalau kau memang kebetulan
melewati tempat kediamanku, singgahlah. Tak perlu undangan resmi segala." sahut
Datuk Panglima Sesat, kembali memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan.
"He he he.... Pasti... pasti..." sambut Memedi Karang Api sambil tersenyum-senyum
bagaikan orang menang undian.
Tengah kedua orang datuk itu bercakap-cakap, tiba-tiba berhembus angin dingin
yang sangat keras. Daun-daun kering beterbangan, sehingga membuat suasana di
sekitar Lembah Tiga Setan itu menjadi kacau. Belum lagi rasa heran orang-orang
yang berada di lembah itu hilang, terdengar suara tawa berkepanjangan yang
mengandung kekuatan hebat.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa serak yang jelas mengandung kekuatan
tenaga dalam tinggi itu membuat beberapa orang tokoh persilatan yang tidak kuat
tenaga dalamnya, jatuh bergelimpangan. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka,
tampak mengalir darah segar. Tubuh mereka pun berkelojotan bagai seekor ikan
yang diangkat dari dalam air.
Untunglah tawa yang mengandung kekuatan dahsyat
itu tidak berlangsung lama. Sehingga, tokoh-tokoh yang memiliki tenaga dalam
pas-pasan hanya tergeletak
pingsan. "Hm ... Tampaknya keramaian akan segera dimulai..,"
gumam Memedi Karang Api.
Dia tampaknya sama sekali tidak terpengaruh suara tawa itu. Hanya Memedi Karang
Api saja yang mengetahui kalau ucapan kakek sakti itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam. Sehingga secara sekilas, kakek itu bagaikan tidak
merasakan serangan yang dilontarkan melalui suara itu.
Lain halnya Datuk Panglima Sesat. Tokoh sakti
penguasa wilayah Timur itu menahan napasnya untuk melindungi isi dada dari
serangan tawa yang menggetarkan itu. Diam-diam tokoh yang menggiriskan ini juga
merasa terkejut oleh kekuatan tenaga dalam si pengirim suara.
Namun keterkejutannya hanya disimpan dalam hati.
Sedangkan mulutnya terkatup rapat tanpa kata.
Bersamaan lenyapnya suara tawa yang menggetarkan
tadi, hembusan angin dingin pun lenyap pula. Kesunyian dan ketegangan pun
menyelimuti sekitar Lembah Tiga Setan. Hati mereka semua berdebar tegang
menantikan munculnya si empunya suara yang diduga sebagai Malaikat Gerbang
Neraka. Namun setelah agak lama menantikan, sosok yang
dibayangkan para tokoh persilatan itu tak kunjung muncul.
Beberapa di antaranya mencoba menggerakkan kepala memandang ke sekeliling
dataran lembah itu. Tapi, tanda-tanda kemunculan tokoh aneh yang jelas sangat
sakti itu belum juga nampak.
"Gila! Permaian apa lagi yang akan dipertunjukkan manusia gila itu"!" umpat
Garuda Mata Satu.
Dia sepertinya merasa tidak enak oleh ketegangan dan kesunyian yang menyelimuti
hatinya. Rasanya ia lebih suka berhadapan langsung dengan maut, dari pada
dilanda ketegangan yang tak ada habtsnya itu.
Tapi begitu ucapannya selesai, tahu-tahu saja Garuda Mata Satu merasakan
tubuhnya terbang dari tempatnya berpijak.
"Hei... hei! Apa ini.."!"
Garuda Mata Satu seorang tokoh sesat yang kejam dan tidak pernah mengenal rasa
takut tiba-tiba berteriak-teriak bagai anak kecil. Hatinya benar-benar merasa
ngeri atas keanehan yang terjadi pada dirinya. Sehingga tanpa sadar, ia pun
berteriak-teriak ketakutan.
Laki-laki gemuk kekanakan yang berada di sebelah
Garuda Mata Satu kontan terbelalak pucat. Kedua lututnya goyah, bagaikan tak
sanggup lagi menahan bobot tubuhnya yang gemuk itu. Jelas, hatinya merasa ngeri
oleh kejadian yang menimpa kawannya. Dan memang, ia sendiri tidak tahu apa yang
menyebabkannya.
Tubuh Garuda Mata Satu yang tengah melayang di


Pendekar Naga Putih 25 Malaikat Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara setinggi satu setengah tombak, tiba-tiba terhempas begitu saja di atas
permukaan tanah berbatu.
Bruggg! Tokoh sesat berkepala botak yang sebelah matanya tertutup kulit binatang itu
berteriak ketakutan! Tubuhnya terbanting begitu saja, tanpa diketahui apa yang
telah menyebabkannya.
"Kurang ajar...! Siapa yang berani main-main dengan Garuda Mata Satu"! Hayo,
tunjukkan dirimu!" teriak laki-laki berkepala botak itu menantang-nantang.
Tentu saja ucapannya itu dikeluarkan hanya untuk
menutupi rasa malu karena merasa dipermainkan di
hadapan orang banyak. Meskipun jelas wajahnya terlihat memucat, namun dengan
lagak sornbong ia bertolak
pinggang sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Para tokoh persftatan yang tidak mengetahui apa yang menyebabkan Garuda Mata
Satu melayang dan kemudian terjatuh, tentu saja merasa geli melihat tingkah
tokoh itu. Bahkan beberapa orang di antaranya tertawa lirih. Untuk beberapa saat lamanya,
ketegangan yang semenjak tadi melanda hati mereka lenyap.
Namun tawa para tokoh persilatan itu mendadak
terhenti, ketika tanpa diketahui di sebelah kanan Garuda Mata Satu telah berdiri
sesosok tubuh tinggi kurus. Dia mangenakan jubah panjang berwarna hitam. Wajah
sosok tubuh yang entah kapan datangnya, tertutup kerudung yang membungkus
kepalanya. Hanya sepasang matanya saja yang terlihat mencorong tajam bagaikan
mata seekor harimau di dalam gelap. Tentu saja kehadiran orang aneh itu membuat
para tokoh persilatan yang hadir merasa ngeri.
"Dia... dia pasti bukan manusia! Mana ada manusia yang datang ke tempat terbuka
seperti ini tanpa ada yang mengetahuinya...?" terdengar suara lirih yang
bergetar karena terselubung rasa ngeri.
Sayang ucapan yang terdengar lirih itu ternyata telah menjadi suatu ancaman
baginya. Buktinya, sosok tubuh tinggi kurus yang saat itu tengah berdiri di
samping Garuda Mata Satu langsung menolehkan kepala ke arah orang yang
mengeluarkan ucapan tadi. Sepasang matanya yang bersinar kemerahan tertuju
langsung dengan pengaruh yang membuat seorang penakut menjadi lemas persendian
lututnya. "Kemari kau..." terdengar desis yang menebarkan hawa dingin dan menggetarkan
jantung. Jelas, sosok tubuh itu sama sekali tidak terlihat menggerakkan bibirnya. Namun,
perintah yang jelas diucapkannya ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat
hebat. Sehingga, tubuh orang yang ditatapnya kontan menggigil hebat, bagaikan
orang terserang demam.
*** 2 Seluruh tokoh persilatan yang hadir menjadi terkesima melihat tubuh laki-laki
pendek kekar yang mengeluarkan ucapan tadi bergerak melangkah maju. Pandangan
matanya tertuju lurus ke depan. Sedikit pun kepalanya tidak menoleh ke tempat
lain. Jelas, orang itu sudah berada dalam pengaruh orang tinggi kurus yang
berjubah hitam panjang itu.
"Hm.... Coba ulangi ucapanmu tadi!" pinta sosok berjubah hitam itu dengan suara
kaku dan tetap tanpa menggerakkan bibir.
"Aku... eh! Aku..., tidak...."
Rasa takut dan ngeri yang mencengkeram dan
melenyapkan seluruh keberaniannya, membuat laki-laki pendek kekar itu tidak
sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Bahkan untuk mengingat kata apa yang harus diucapkan pun tidak mampu lagi.
"Hm...," sosok tinggi kurus itu bergumam kaku.
Dia kemudian membalikkan tubuhnya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menilik dari sikapnya yang angker dan penuh
perbawa, jelas kalau orang itu bukanlah orang sembarangan
"Sahabat-sahabat sekalian. Aku senang atas kehadiran kalian yang sudi datang
memenuhi undanganku ini.
Sebagaimana yong tertulis dalam setiap undangan yang kukirimkan, akulah si
Malaikat Gerbang Neraka. Dan mulai saat ini, aku mengangkat diriku sebagai datuk
dari segala datuk kaum rimba persilatan golongan sesat!" sosok tinggi kurus
berjubah hitam itu menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat tanggapan para
tokoh yang hadir.
Namun, setelah menanti sekian lama tidak juga ada yang membantah, maka setelah
menarik napas sejenak, ucapannya kembali dilanjutkan.
"Aku akan membawa golongan kita ke kejayaan. Tidak ada lagi tokoh golongan putih
yang akan menghalangi perbuatan kita. Bila hal itu masih juga terjadi, cari dan
bunuh tokoh golongan putih yang sangat sombong dan memandang hina kita." kembali
tokoh yang mengaku berjuluk Malaikat Gerbang Neraka itu menghentikan katakatanya. Puluhan orang tokoh persilatan yang telah melihat kesaktian dan keangkeran
Malaikat Gerbang Neraka serentak menyambut ucapan itu dengan sorak-sorai bergemuruh. "Hidup Malaikat Gerbang Neraka...!"
"Hidup sang Pemimpin Agung...!"
"Hidup golongan hitam...!"
Teriakan-teriakan yang merupakan ungkapan rasa
setuju terdengar saling bersahutan. Dan untuk beberapa saat lamanya, dataran
Lembah Tiga Setan bagaikan tengah diadakan sebuah pesta besar yang meriah.
Sebentar sinar mata di balik kerudung hitam itu ber-binar-binar, lalu tiba-tiba
kembali menyorot tajam. Dan memang, ia melihat belum semua yang hadir ikut
menyambut gembira ucapannya itu. Sepertinya, Malaikat Gerbang Neraka masih belum
merasa puas atas sambutan yang diterimanya.
Dengan gerakan perlahan dan angker, sosok tinggi
kurus itu mengangkat kedua tangannya ke atas. Suara sorak-sorai yang semula
bergemuruh langsung lenyap.
Keheningan pun kembali menyelimuti dataran Lembah Tiga Setan. Melihat kepatuhan
sebagian besar dari tokoh persilatan yang hadir, Malaikat Gerbang Neraka
sepertinya belum merasa puas.
"Kalau di antara kalian masih ada yang tidak setuju dan meragukan kemampuanku,
silakan maju! Jangan hanya membungkam seperti perawan pingitan," tantang
Malaikat Gerbang Neraka dengan suara masih tetap dingin dan kaku.
Datuk Panglima Sesat yang memang merasa sangat
penasaran oleh si pengirim undangan aneh itu, melangkah maju dengan sikap
angkuh! Jubahnya yang lebar dan hampir menyentuh lutut, dibuka dan diserahkannya
ke salah seorang pengikutnya. Jelas kalau tokoh kelas satu wilayah Timur ini
merasa tersinggung oleh tantangan sosok tinggi kurus itu.
"Hm... Malaikat Gerbang Neraka! Kami tidak tahu asal-usulmu. Dan kami juga belum
tahu, apa maksudmu
dengan mengangkat diri sebagai pimpinan seluruh tokoh sesat di negeri ini! Satu
hal yang perlu kau ketahui. Aku Datuk Panglima Sesat tidak bersedia menjadi
pembantu orang sepertimu.'' tegas Datuk Panglima Sesat seraya men-dongakkan
dagunya dengan sikap yang tidak kalah garang.
Malaikat Gerbang Neraka tentu saja tahu, siapa orang di hadapannya. Dan ia pun
sadar, orang seperti Datuk Panglima Sesat sangat diperlukan. Selain kepandaian
dan kekuasaannya, tokoh kelas satu wilayah Timur itu bisa dijadikan tenaga
pembantu yang diandalkan. Itulah sebab-nya, mengapa ia tidak menjadi marah
meskipun laki-laki tinggi besar yang gagah itu telah melontarkan kata-kata yang
menyakitkan hati.
"Hm.... Datuk Panglima Sesat. Aku telah lama mengenal dan menyelidikimu. Kalau
hari ini hendak bertarung denganku, apakah yang akan kau pertaruhkan?" tantang
Malaikat Gerbang Neraka.
Sikapnya memang amat cerdik. Sebab, ia tahu seorang tokoh besar seperti Datuk
Panglima Sesat tidak boleh di-jatuhkan begitu saja di depan orang banyak.
Masalahnya, hal itu bisa menyinggung harga diri Datuk Wilayah Timur itu. Dan
apabila hal itu terjadi, ia akan kehilangan seorang pembantu yang sangat langka.
Oleh karena itulah, ia dengan cerdiknya menantang bertaruh.
"Ha ha ha...!" tawa Datuk Panglima Sesat berkumandang ketika mendengar
pertanyaan itu.
Sebagai seorang datuk persilatan yang belum pernah menemui tandingan, tentu saja
ia sangat yakin akan kemampuan yang dimiliki. Jangankan Malaikat Gerbang Neraka
yang baginya hanya merupakan seorang tokoh baru. Sedangkan tiga datuk penguasa
wilayah lainnya pun belum tentu dapat mengalahkannya. Maka, tentu saja tantangan
itu disambut suara tawa sombongnya.
"Sebutkan! Apa yang kau inginkan, Malaikat Gerbang Neraka" Jangankan hanya
kekayaan. Kepalaku pun boleh kau ambil asalkan bisa mengalahkanku!" tantang
Datuk Panglima Sesat dengan takaburnya.
Kelihatannya, Datuk Panglima Sesat lupa akan kodrat alam. Setiap sesuatu yang
tinggi, tentu masih ada yang lebih tinggi. Dan setiap ada orang pandai, maka
akan selalu ada orang yang lebih pandai. Sehingga, tidak ada satu pun di dunia
ini yang bisa di katakan paling besar ataupun paling tinggi.
"Tidak perlu sampai sejauh itu, Datuk Panglima Sesat,"
sahut Malaikat Gerbang Neraka yang menjadi girang melihat pancingannya ternyata
membawa hasil. "Bila kalah, kau cukup kujadikan pembantuku. Bagaimana?"
"Terserah apa saja maumu, Malaikat Gerbang Neraka.
Satu yang harus kau ingat! Kalau kau sampai kalah di tanganku, maka bukan saja
tidak melanjutkan cita-citamu.
Tapi, nyawamu pun akan segera pindah ke neraka!" ujar Datuk Panglima Sesat
sengaja menekankan kata-kata
'neraka' untuk memancing kemarahan laki-laki tinggi kurus yang menjadi calon
lawannya. Namun, apa yang diharapkan Datuk Panglima Sesat
ternyata sama sekali tidak menjadi kenyataan. Sosok tinggi kurus berjubah hitam
itu tetap tenang dan angker. Seolah-olah ucapan yang mengandung ejekan dari
tokoh sakti wilayah Timur itu sama sekali tidak didengarnya.
"Apakah kau sudah siap, Malaikat Gerbang Neraka...?"
ujar Datuk Panglima Sesat mengingatkan.
Sepertinya, dengan berbuat demikian hendak ditunjukkan kalau ia berada pada
tempat yang lebih tinggi dari calon lawannya.
"He.... Semenjak berbicara tadi pun, aku sudah siap!"
sahut Malaikat Gerbang Neraka. Suaranya dingin dan tetap tidak terpengaruh oleh
ucapan calon lawannya.
Dua sosok tubuh yang sama tinggi itu berdiri tegak dan saling berhadapan dalam
jarak dua tombak. Sepasang mata mereka mencorong tajam saling meneliti sikap
lawan. Namun, sikap yang ditunjukkan Malaikat Gerbang Neraka sama sekali tidak
menunjukkan kesiagaannya. Sepertinya, tokoh yang belum diketahui dari mana
asalnya itu sama sekali tidak berhasrat bertarung.
Tentu saja Datuk Pangllma Sesat menjadi jengkel melihat sikap lawannya. Ia yang
semenjak tadi menunggu serangan lawan, jadi tidak sabar.
"Mengapa kau tidak menyerang, Malaikat Gerbang Neraka" Apakah kau berubah
pikiran?" tegur Datuk Panglima Sesat. Nada suaranya jelas menunjukkan kejengkelan hati.
"Hm... Kalau memang itu maumu, bersiaplah....'' sahut laki-laki tinggi kurus
itu. Nadanya tetap dingin dan tanpa amarah.
Namun, di balik semua ketenangannya, tersembunyi
sifat sadis dan kejam yang bahkan melebihi kekejaman para datuk sesat sekarang
ini. Semua itu dapat terlihat jelas dari pancaran sepasang matanya yang
terkadang menimbulkan kilatan aneh dan mengerikan.
Hati Datuk Panglima Sesat sempat bergetar juga
melihat sikap lawan yang bagaikan tak memiliki semangat hidup itu. Namun, semua
itu tertutup oleh rasa sombong di hatinya. Dan ia hanya berdiri tegak dengan
kedua kaki terpentang untuk menghadapi serangan lawan.
"Sambut seranganku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang sempat
membuat Datuk Pangllma Sesat terkejut. Memang ketika bentakan itu terdengar,
sosok tinggi kurus di hadapannya ternyata sudah lenyap entah ke mana. Sadar
kalau lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat langka, maka tokoh sakti
wilayah Timur itu segera mengerahkan indera pendengarannya untuk menghadapi
gempuran lawan. Wuttt! Datangnya angin pukulan yang menimbulkan suara
mencicit tajam itu, membuat Datuk Panglima Sesat meng-geser kaki kanannya ke
samping kiri. Gerakannya dibarengi egosan tubuh yang meliuk bagaikan seorang
penari lihai. Bahkan Datuk Panglima Sesat masih sempat juga
melancarkan serangan balasan yang cukup berbahaya.
Bettt! Bettt! Dua pukulan balasan yang dilancarkan Datuk Panglima Sesat hanya mengenai angin
kosong, karena saat ttu tubuh lawan kembali telah lenyap dari hadapannya.
Namun, kepekaan pendengaran laki-laki tinggi besar itu memang patut mendapat
acungan jempol. Begitu terasa ada angin lembut di sebelah kanannya, kakinya yang
besar itu langsung saja melepaskan sebuah tendangan kilat yang mengejutkan.
Zebbb! Sayang serangan yang dilancarkan Datuk Panglima
Sesat kembali menghantam tempat kosong. Bahkan tubuh lawan yang mengegos itu
tiba-tiba muncul di depannya.
Langsung dikirimnya pukulan lurus menuju dada Datuk Timur itu. Dari suara angin
pukulannya yang mencicit tajam, jelas kalau tenaga dalam yang terkandung dalam
pukulan lawan sangat kuat.
Tapi memang tidak percuma Datuk Panglima Sesat
menjadi tokoh kelas satu di wilayah Timur. Serangan yang sangat cepat dan tak
terduga itu sama sekali tidak membuatnya gugup. Dengan sebuah gerakan
mengejutkan, tubuh laki-laki tinggi besar itu roboh ke belakang. Sambil
menjatuhkan diri dengan sikap telentang, dan bertumpu pada telapak tangan,
sepasang kakinya melakukan tendangan beruntun ke dada lawan.
Pada jurus yang kedua puluh lima ini, Malaikat Gerbang Neraka memperlihatkan
kehebatannya. Kepalanya yang semula meluncur lurus ke dada lawan, berputar
cepat. Langsung disambutnya dua tendangan lawan.
Plak! Plak! Terdengar suara nyaring begitu dua gelombang tenaga sakti yang sama kuat beradu.
Dan dengan cerdiknya, Malaikat Gerbang Neraka meminjam tenaga benturan
untuk mencelat di atas tubuh lawan. Ternyata lompatan tubuhnya masih disertai
sambaran telapak tangan yang meluncur deras mangancam pelipis Datuk Panglima
Sesat. Sebuah serangan hebat, dan menandakan kecerdikan
tokoh sesat bertubuh tinggi kurus itu.
Bresssh! Dua gelombang tenaga sakti yang sama dahsyatnya
kembali bertumbukan ketika Datuk Panglima Sesat menjatuhkan tubuh dan
mendorongkan telapak tangannya untuk menyambut tamparan lawan.
Hebat sekali akibat benturan dua gelombang tenaga raksasa itu. Tubuh Malaikat
Gerbang Neraka melambung beberapa tombak ke udara. Hal itu terjadi, karena saat
berbenturan, tubuh laki-laki tinggi kurus itu tengah berada di udara. Sehingga,
benturan itu tidak mendatangkan kerugian baginya.
Sebaliknya, Datuk Panglima Sesat yang keadaannya
tengah telentang, merasakan tubuhnya bagai dihimpit tenaga raksasa yang membuat
dadanya sesak. Untunglah kekuatan tenaga saktinya sudah sangat tinggi. Kalau
tidak, kemungkinan besar tokoh kelas satu wilayah Timur itu akan menderita luka
dalam yang parah.
"Haiiit..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh Datuk
Panglima Sesat melenting ke udara. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah,
tubuh tinggi besar itu meluncur bagai sebatang tombak ke arah lawan.
Wuttt! Wutt! Tubuh yang meluncur lurus itu masih dibarengi putaran sepasang tangannya. Angin
keras menyambar-nyambar bagaikan putaran gelombang angin puyuh!
"Hmh...!"
Malaikat Gerbang Neraka hanya menggeram ketika
melihat datangnya serangan lawan. Sadar kalau Datuk Panglima Sesat telah
menggunakan seluruh tenaga
dalamnya, maka laki-laki tinggi kurus yang menggiriskan itu pun memantek
sepasang kakinya di atas tanah. Sementara sepasang tangannya menyilang di depan
dada. "Heaaat..!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, laki-laki bertubuh tinggi kurus itu


Pendekar Naga Putih 25 Malaikat Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorongkan sepasang telapak tangannya menyambut hantaman sepasang telapak
tangan Datuk Panglima Sesat.
Wusss! Wusss! Dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin meluncur deras mengiringi dorongan telapak tangan mereka.
Dan... Blarrr..,! "Aaakh...!"
Dataran di sekitar Lembah Tiga Setan seketika bagaikan diguncang gempa ketika
dua tenaga raksasa yang sangat dahsyat saling bertumbukan keras. Ledakannya
bagaikan gemuruh petir. Sehingga, membuat beberapa orang tokoh sesat yang
menyaksikan pertarungan maut itu bergeletakan pingsan. Bahkan beberapa orang
terlemah, langsung tewas seketika! Rupanya, ledakan dahsyat itu telah membuat
dada mereka terguncang keras.
Akibat yang diderita Datuk Panglima Sesat pun cukup parah. Tubuh laki-laki
tinggi besar yang selalu mengenakan seragam seorang panglima kerajaan itu
terpental balik dengan luncuran yang sangat deras.
Pada saat tubuh tinggi besar itu meluncur hendak
menabrak sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, sesosok bayangan putih
berkelebat bagai kilat menyambutnya.
Tappp! Dengan gerakan sangat indah dan cekatan, sosok
bayangan putih itu langsung menangkap tubuh Datuk Panglima Sesat. Sehingga,
tubuh tinggi besar itu tidak sampai membentur pohon besar di belakangnya.
Sebelum menjejakkan kakinya di atas tanah, sosok
tubuh berjubah putih kumal itu berputar dua kali di udara.
Memang, sosok itu tak lain adalah Memedi Karang Api.
Rupanya, Datuk Wilayah Barat inilah yang telah menyelamatkan kawan seangkatannya
itu. "Ah...! Orang itu benar-benar lihai sekali, Memedi Karang Api," aku Datuk
Panglima Sesat yang sama sekali tidak mengucapkan rasa terima kasih atas
pertolongan kakek itu.
"Benar. Tuanku Panglima Sesat. Nampaknya laki-laki yang berjuluk Malaikat
Gerbang Neraka itu benar-benar patut dijadikan pimpinan tokoh golongan hitam,"
sahut kakek berjubah putih lusuh itu seraya tersenyum gembira
"Dasar Memedi jembel! Apa kau pikir, aku bersedia menerimamu sebagai pembantu,
hanya karena telah
menolongku," sergah Datuk Panglima Sesat menimpali ucapan Memedi Karang Api yang
baru saja menyebutnya sebagai 'Tuanku Panglima'. Karena kakek urakan itu hanya
sekadar bergurau, maka Datuk Panglima Sesat tidak menjadi marah.
"Hm.... Apakah sekarang kau masih tidak setuju dengan keinginan orang itu, Datuk
Gila Pangkat?" kembali Memedi Karang Api berkelakar.
Datuk Panglima Sesat tidak segera menjawab pertanyaan Memedi Karang Api. Dihapusnya cairan merah yang saat itu masih mengalir
di sudut bibirnya. Wajahnya yang saat itu masih nampak pucat, mengulas senyum
dingin. "Kau bagaimana..?" Datuk Panglima Sesat balik ber-tanya.
Sepertinya laki-laki tinggi besar itu hendak menjajaki hati sahabatnya terlebih
dahulu sebelum menjawab.
"Rasanya aku menyetujui keinginannya itu. Dan kalau kita telah mengangkatnya,
lalu ia berbuat macam-macam, tinggal tebas saja batang lehernya. Beres kan?"
ujar Memedi Karang Api seenak perutnya.
"Huh! Kau pikir siapa kau ini! Kalau aku saja dapat ditundukkannya dalam waktu
kurang dari empat puluh jurus, bagaimana denganmu yang sudah tinggal tulang
terbungkus kulit?" omel Datuk Panglima Sesat yang merasa sebal dengan ucapan
takabur kakek itu.
Makian itu sama sekali tidak membuat Memedi Karang Api menjadi marah. Bahkan
malah terkekeh melihat
kekesalan Datuk Panglima Sesat.
"Bagaimana, Sahabat.." Apakah masih perlu diadakan perkelahian yang tidak
berguna ini?" Tiba-tiba terdengar teguran parau dari Malaikat Gerbang Neraka.
Datuk Panglima Sesat dan Memedi Karang Api samasama menolehkan kepala mendengar pertanyaan itu.
Karena jarak di antara mereka masih terpisah beberapa belas tombak, maka kedua
orang datuk itu pun sadar kalau Malaikat Gerbang Neraka telah menggunakan ilmu
"Mengirim Suara dari Jauh' dalam menyampaikan per-tanyaannya. Dan lagi, hanya
mereka bertigalah yang mengetahuinya.
Kedua orang datuk sesat itu sama-sama menganggukkan kepala sebagai isyarat menyetujui pengangkatan pemimpin golongan hitam itu.
"Bagus. Kalau begitu, kita segera mengatur rencana secepatnya." sambilt Malaikat
Gerbang Neraka seraya menarik napas lega.
Kegembiraan tokoh tinggi kurus yang menggiriskan itu, membuatnya melepaskan
Garuda Mata Satu dan laki-laki pendek kekar yang semenjak tadi hanya berdiri
kaku dalam keadaan tertotok.
"Terima kasih atas kebaikan hati Pemimpin Agung terhadap kami," sembah kedua
orang itu seraya menjatuhkan diri, langsung berlutut di depan Malaikat Gerbang
Neraka. "Hm...," laki-laki tinggi kurus itu hanya menggeram sambil mengibaskan tangannya
menyuruh keduanya
bangkit. "Bagi kedua datuk yang tidak hadir, biarlah aku yang akan memberi pelajaran
kepada mereka," tegas Malaikat Gerbang Neraka.
Kemudian laki-laki berjubah hitam itu segera mengajak tokoh-tokoh terkemuka
untuk diajak berunding. Sedangkan yang lainnya diperbolehkan meninggalkan Lembah
Tiga Setan. *** 3 Saat ini, matahari baru saja menampakkan dirinya. Kokok ayam jantan saling
bersahutan menyambut datangnya sang mentari pagi. Angin pagi yang segar,
bersilir lembut menyapa dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik lirih.
Sayangnya, suasana pagi yang begitu tenang dan indah harus terusik oleh suara
derap kaki kuda bergemuruh.
Kepulan debu membumbung tinggj. Udara yang semula bersih, kontan menjadi kotor
dan gelap. "Heyaaa.... Heyaaa...!"
Seorang laki-laki berkepala botak membedal kudanya disertai teriakan nyaring. Di
belakangnya tampak puluhan orang laki-laki bertampang kasar yang juga menunggang
kuda. Rupanya, rombongan itulah yang telah merusak suasana pagi yang hening dan
indah ini. Rombongan berkuda yang kurang lebih berjumlah dua puluh orang itu terus memacu
kudanya melewati per-batasan sebuah desa. Itu terlihat dari adanya sebuah tiang
batu setinggi bahu laki-laki dewasa yang terpancang di mulut desa.
Tak berapa lama kemudian, mulut Desa Karang Dadap pun mulai terlihat. Beberapa
orang petani yang hendak berangkat ke sawah, bergegas menyingkir. Mereka yang
tidak sempat menyingkir langsung terlempar ke tepi jalan, akibat tercambuk oleh
orang-orang yang berkuda terdepan.
"Minggir... minggir!" bentak laki-laki berkepala botak yang sebelah matanya
tertutup kulit binatang.
Sambil berteriak-teriak, laki-laki itu melecutkan cambuk di tangannya dengan
bengis. Ctarrr! Ctarr! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua orang petani yang tidak sempat menyingkir,
tersengat lecutan cambuk yang keras dan menyakitkan.
Tubuh mereka langsung terlempar ke tepi jalan. Darah segar mengucur pada luka
memanjang akibat kerasnya sengatan cambuk itu.
Tanpa mempedulikan korban lecutan cambuknya, laki-laki berkepala botak yang tak
lain adalah Garuda Mata Satu terus saja melanjutkan perjalanannya. Tak sedikit
pun terlintas rasa iba dalam hatinya meskipun korban lecutan cambuk itu merintih
kesaktian. Begitu tiba di mulut Desa Karang Dadap, beberapa
orang yang berada di barisan belakang berlompatan turun.
Sedangkan Garuda Mata Satu dan sebagian yang lain terus membedal kuda menyusuri
jalan utama desa.
Sebagian kelompok rombongan berkuda yang berlompatan turun di mulut desa langsung saja bergerak memasuki rumah-rumah
penduduk. Seketika, terdengar jerit kematian yang susul-menyusul saat sepuluh
orang yang ternyata anggota perampok itu menyabetkan pedang.
Brettt! Brettt!
Darah segar langsung merembes bersama robohnya
penduduk desa yang hendak melakukan perlawanan.
Beberapa penghuni rumah terdepan yang terletak di mulut Desa Karang Dadap
langsung dibantai apabila melawan.
Sedangkan harta benda mereka digondol sepuluh orang laki-laki bertampang bengis
itu. Tanpa mempedulikan jerit tangis wanita dan anak-anak yang kehilangan orang tua
maupun suaminya, para
perampok itu berlompatan ke atas punggung kuda mereka.
"Binatang kau! Dasar perampok laknat!"
Seorang wanita setengah baya berlari mengejar salah seorang perampok yang telah
membunuh suaminya. Tanpa rasa takut, wanita itu menarik turun kaki perampok yang
bertubuh kurus. Wajahnya yang pucat telah dibasahi air mata.
"Pergi kau. Perempuan Setan...!" bentak laki-laki kurus itu sambil berusaha
melepaskan kakinya dari pegangan perempuan setengah baya yang bagai kerasukan
setan. Kegeraman laki-laki tinggi kunis itu bangkit ketika cengkeraman wanita itu tidak
juga mau terlepas dari kakinya. Dengan luapan amarah, perampok itu menendang
dada wanita malang itu sekuat tenaga.
Buggg! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh wanita itu langsung jatuh terjengkang. Darah
segar menyembur dan mulutnya.
Belum lagi wanita malang itu sempat bangkit, perampok yang telah kalap ini
melompat turun. Langsung goloknya ditusukkan ke dada wanita malang itu.
Darah segar pun langsung menyembur membasahi
tanah lembab. Diiringi jeritan pilu, tubuh wanita setengah baya itu pun ambruk
tak bergerak-gerak lagi.
"Ayo cepat berangkat..!" perintah anggota perampok yang merupakan pimpinan
sepuluh orang, dengan suara lantang.
Tanpa menoleh lagi, anggota perampok bertubuh kurus itu bergegas melompat ke
atas punggung kudanya. Sesaat kemudian, mereka membedal kudanya menyusuri jalan
utama Desa Karang Dadap tanpa mempedulikan korban korbannya yang bergelimpangan
di tengah jalan.
*** "Hei, berhenti..! Mau ke mana kalian...?" seru seorang laki-laki berseragam hitam
yang bertugas menjaga rumah kediaman Kepala Desa Karang Dadap. Tubuhnya berdiri
tegap menghadang jalan masuk rumah kediaman sang
Kepala Desa. Namun rombongan penunggang kuda itu sama sekali
tidak mempedulikannya. Mereka terus saja bergerak masuk menuju halaman depan
rumah besar itu
Merasa peringatannya tidak diindahkan, laki-laki berseragam hitam itu melolos
senjatanya yang berupa
sebatang golok panjang. Dengan sikap gagah, goloknya dihunus untuk menghadapi
kemungkinan yang bakal
dihadapi. Garuda Mata Satu yang menjadi pemimpin rombongan, tertawa terbahak-bahak. Saat
itu juga, tangannya bergerak melepaskan lecutan pecut di tangannya.
Ctarrr! "Aaakh...!"
Hebat sekali lecutan yang dilancarkan Garuda Mata Satu. Bagaikan seekor ular
hidup, pecut itu langsung melibat tangan laki-laki berseragam hitam yang
menggenggam senjata. Dan sebelum orang itu sempat
menyadari apa yang terjadi, terdengar bentakan keras.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, Garuda Mata Satu membetot gagang cambuknya. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuh laki-laki itu
terjerunuk deras ke depan.
Cepat bagai kilat, tangan Garuda Mata Satu bergerak cepat mencabut keluar
senjatanya. Sekali mengibas saja, terdengar teriakan ngeri yang disusul robohnya
tubuh laki-laki penjaga pintu gerbang Kepala Desa Karang Dadap dalam keadaan
mandi darah. Setelah berkelojotan sesaat orang itu pun diam tak bergerak. Tewas,
dengan luka memanjang di lehernya.
"Ayo, tunggu apa lagi.."!" seru Garuda Mata Satu sambil melompat turun dari
punggung kudanya.
Dari gerakannya yang lincah dan ringan, dapat ditebak kalau kepandaian Garuda
Mata Satu tidak bisa dipandang ringan.
"Hei"! Siapa kalian, hah! Pembunuh keji!" seru seorang laki-laki bertubuh gendut
yang mengenakan ikat kepala berwama hitam.
Wajah laki-laki yang terhias brewok itu tampak
memucat melihat tubuh kawannya yang telah tergeletak mandi darah. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, orang itu pun langsung berteriak memberitahukan
kawan-kawannya yang lain.
"Pembunuh...! Ada pembunuh...!" teriak laki-laki gemuk itu sekuat tenaga.
Setelah berkata demikian, ia pun segera melolos keluar senjatanya yang berbentuk
golok. Tanpa rasa gentar sedikit pun, dihadangnya rombongan itu dengan sikap
gagah. Teriakan laki-laki gemuk itu tentu saja membuat orang-orang yang berada di dalam
rumah besar berlarian ke luar.
Di tangan mereka tampak telah tergenggam senjata
telanjang. "Sarpan! Ada apa...?" tanya seorang laki-laki bertubuh tegap.
Wajah laki-laki itu terhias kumis tebal. Di tangannya telah tergenggam sebatang
tongkat dari kayu besi. Melihat dari sikapnya yang berwibawa, jelas kalau dia
termasuk tokoh penting di Desa Karang Dadap.
"Jumala terbunuh, Kakang. Entah dari mana datangnya rombongan manusia liar itu,"
lapor laki-laki gemuk yang bernama Sarpan itu tergesa-gesa. Tangan kanannya yang
memegang golok, menuding rombongan yang tengah
berlarian ke arah mereka.
"Kurang ajar...! Cegah orang-orang liar itu...!" perintah laki-laki tegap yang
merupakan kepala keamanan di Desa Karang Dadap itu. Kemudian, tubuhnya segera
melayang bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main di angkasa.
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah, tongkat di tangannya langsung
berkelebat melancarkan serangan ke arah laki-laki terdepan. Dari sambaran
tongkatnya yang menimbulkan desir angin kuat, dapat ditebak kalau tenaga sakti
yang dimilikinya cukup tinggi.
Wuttt! "Hmh...!"
Orang terdepan yang tak lain adalah Garuda Mata Satu mendengus kasar. Melihat
dari caranya memandang, jelas kalau Garuda Mata Satu menganggap remeh lawannya.
Tubuhnya bergerak ke kiri menghindari sodokan tongkat yang mengancam perutnya.
Gerakan mengelak itu ternyata masih dibarengi luncuran cambuknya yang melesat
mengancam leher lawan.
Bagali, laki-laki tinggi tegap yang merupakan kepala keamanan Desa Karang Dadap
ternyata bukan orang
lemah. Melihat datangnya lecutan cambuk yang mengancam leher, cepat tubuhnya
mengegos ke kiri sambil membabatkan tongkat secara mendatar.
Namun, Garuda Mata Satu bukanlah tokoh kemarin
sore. Sepak terjangnya sebagai seorang kepala rampok yang mempunyail banyak
anggota telah terkenal. Bahkan sifatnya sangat kejam, sehingga semakin ditakuti
lawan-lawannya. Tidak sedikit para tokoh golongan putih yang tewas karena hendak
mencegah perbuatannya.
Dalam menghadapi Bagali yang merupakan kepala
keamanan desa, Garuda Mata Satu seperti tidak merasa perlu menggunakan ilmu
andalannya. Selama bertarung dalam dua puluh jurus, ia hanya menggunakan
cambuknya sebagai senjata.
Tapi, jangan dipandang ringan cambuk di tangan tokoh sesat itu. Garuda Mata Satu


Pendekar Naga Putih 25 Malaikat Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkenal sangat lihai dalam permainan cambuk. Sehingga, wajar saja kalau Bagali
merasa kerepotan dalam menghadapi serangan cambuk yang dilancarkan kepala rampok
itu. "Haiittt...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang kedua puluh tiga, Garuda Mata Satu
memekik nyaring.
Pekikannya yang mengejutkan masih disusul lesatan tubuhnya. Berbarengan dengan
itu, cambuk di tangannya berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membuat
lawan kebingungan. Sehingga, keadaan Bagali benar-benar terancam.
Ctarrr! Ctarrr!
Bunyi ledakan cambuk yang memekakkan telinga
kontan membuyarkan perhatian Bagali. Dan sebelum laki-laki tegap itu sempat
menyadari datangnya bahaya, tahu-tahu saja cambuk lawan telah membelit lehernya.
Keterkejutan itu membuatnya melakukan gerakan
menebas. Maksudnya, untuk memutuskan senjata lawan.
Tapi, Garuda Mata Satu tidak ingin memberi
kesempatan kepada lawan untuk membebaskan diri.
Dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam, laki-laki berkepala botak itu
membetot cambuk yang membelit leher Bagali. Begitu tubuh Bagali terjerunuk ke
depan, langsung disambiltnya dengan hantaman lutut
Buggg! "Huagkh...!"
Tubuh Bagali terbungkuk akibat sodokan lutut yang telah menghantam dadanya.
Darah segar seketika
termuntah dari mulut laki-laki gagah itu. Belum lagi rasa sakitnya lenyap,
sebuah hantaman sisil telapak tangan miring yang dilakukan Garuda Mata Satu
membuatnya menggelepar sekarat. Sesaat kemudian, Bagali pun
menghembuskan napas terakhirnya.
*** Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara
para pengikut Garuda Mata Satu melawan para pengawal kepala desa sudah pula
hampir berakhir.
Anggota perampok yang berjumlah sepuluh orang
ternyata memiliki kepandaian lumayan. Sehingga, dua belas orang pengawal Kepala
Desa Karang Dadap harus berusaha mati-matian mempertahankan selembar nyawanya.
Darah segar sudah menggenang membasahi pelataran rumah Kepala Desa Karang Dadap.
Empat sosok mayat sudah tergeletak dengan tubuh berlumuran darah segar.
Mereka adalah para pengawal kepala desa yang menjadi korban keganasan para
perampok. Meskipun demikian, kedua belas orang pengawal
kepala desa lainnya tetap mempertaruhkan selambar nyawanya untuk ketenteraman
desa mereka. Sayang, perlawanan para pengawal itu seperti sta-sia saja. Apalagi
dengan terbunuhnya Bagali. Maka, keadaan mereka pun semakin kocar-kacir.
"Heaaat..!"
Brettt! Crakkk!
"Aaakh...!"
Dua orang pengawal Kepala Desa Karang Dadap
kembali tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Keduanya kontan tewas dengan luka
yang sangat parah.
Kenyataan itu tentu saja semakin membuat yang lain menjadi ciut nyalinya.
Sehingga tanpa disadari serangan-serangan mereka pun mulai tak beraturan.
Kekacauan perlawanan para pengawal kepala desa itu membuat para pengikut Garuda
Mata Satu semakin
bersemangat. Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun, mereka segera membantai
para pengawal satu persatu.
Malang sekali nasib anggota keamanan Desa Karang
Dadap. Satu persatu tubuh mereka berjatuhan dalam keadaan tewas. Bau anyir darah
pun semakin santer, mengotori udara di sekitar halaman rumah kepala desa.
Selesai membantai belasan orang pengawal Kepala
Desa Karang Dadap, Garuda Mata Satu mengajak para pengikutnya untuk memasuki
rumah kediaman kepala
desa itu. "Hei, Kacung! Di mana kepala desamu bersembunyi"
Cepat katakan, sebelum golokku menyembelih lehermu!"
bentak salah seorang pengikut Garuda Mata Satu, kepada seorang pelayan berusia
sekitar tiga puluh lima tahun.
"Ki..., Ki Kampala sedang menderita sakit, Tuan.
Beliau... terbaring di kamarnya." sahut laki-laki bertubuh kurus kecil itu,
gemetar. Wajahnya pucat bagai tak dialiri darah. Saking kuatnya rasa takut
melihat mata golok yang menempel di kuat lehernya, sehingga celananya pun basah.
Dia terkencing-kencing!
"Bangsat! Huh...!" perampok berhidung besar itu menjadi berang ketika mencium
bau tak sedap yang
berasal dari celana kacung itu. Dengan wajah merah, ditebasnya leher pelayan tak
berdosa itu. Tanpa mempedulikan tubuh pelayan yang menggelepar mandi darah, laki-laki
berhidung besar itu pun bergegas mengikuti pemimpinnya memasuki kamar pribadi Ki
Kampala. Brakkk! Daun pintu yang terbuat dari papan tebal itu kontan hancur berantakan akibat
tendangan Garuda Mata Satu.
Sambil memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan, laki-aki berkepala botak itu bergegas memasuki kamar.
Sepasang mata liar Garuda Mata Satu tertumbuk pada pembaringan. Senyum iblisnya
mengembang ketika
melihat dua sosok tubuh wanita yang tengah menunggui Ki Kampala.
Sedangkan kepala desa itu sendiri tampak terbaring lemah dengan wajah pucat.
"Seret dan bunuh orang tua tak berguna itu!" perintah Garuda Mata Satu tanpa
rasa iba sedikit pun.
"Oh...! Jangan, Tuan. Suamiku sedang sakit...," rintih wanita berwajah manis,
dan berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Sedangkan wanita yang satunya lagi, hanya dapat
memandang dengan mata membelalak ketakutan! Isaknya terdengar lirih sambil
memeluk tubuh wanita berwajah manis itu.
"Dan itu anakmu, bukan..." He he he...," Garuda Mata Satu menjilati bibirnya
melihat gadis remaja berusia sekitar tujuh belas tahun yang tengah memeluk tubuh
ibunya Sementara itu, dua orang anak buah Garuda Mata Satu segera melaksanakan
perintah pimpinannya. Ki Kampala yang terbaring lemah segera diseret tanpa rasa
belas kasihan. Tidak dipedulikannya rintih kesakitan yang keluar dan mulut lakilaki setengah baya itu.
Istri Ki Kampala menjerit-jerit memohon ampun sambil memeluk kedua kaki Garuda
Mata Satu. "Dia..., dia sedang sakit, Tuan. Jangan siksa dia....
Bunuh saja aku. Atau kalau Tuan memerlukan harta, silakan Tuan bawa semuanya
asalkan kami jangan
diganggu." ratap wanita berwajah manis itu, memelas.
"He he he.... Wajahmu cukup manis, nisanak," ujar Garuda Mata Satu samba
mengelus pipi wanita itu.
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah para
pengikutnya, "Bawa dan kurung gadis ayu itu"
"Ibuuu...." gadis itu hanya dapat menangis ketika dua orang pengikut Garuda Mata
Satu membawanya keluar dari kamar.
"Kalian boleh pergi dan jaga di depan. Kalau yang lainnya sudah tiba, baru kita
tinggalkan desa ini. Kelak wanita ini akan kuserahkan pada kalian," ujar Garuda
Mata Satu dengan suara rendah.
"Baik..." jawab salah seorang pengikutnya yang segera beranjak meninggalkannya.
Sepeninggal para pengikutnya, Garuda Mata Satu
mengalihkan perhatian kepada istri Ki Kampala. Seringai iblis tersirat di wajah
laki-laki bermata cacat itu.
"Nah! Kalau kau ingin suami dan anakmu selamat, layanilah aku dengan sebaikbaiknya. Kalau tidak, terpaksa mereka kusiksa sampai mati." bujuk Garuda Mata
Satu sambil mengelus punggung wanita itu.
"Jangan, Tuan.....! Aku.... mempunyai suami..," rintih wanita itu dengan suara
memelas. Sadar kalau laki-laki berkepala botak itu berniat tidak baik terhadap dirinya,
maka ia pun berusaha melarikan diri dari dalam kamar itu.
"Keparat! Dasar tidak tahu disayang orang..!" geram Garuda Mata Satu, langsung
disambarnya tubuh mulus itu dan dilemparkan ke pembaringan. Sambil tertawa
terbahak-bahak, diterkamnya tubuh wanita malang itu.
Seketika terdengar rintih memelas dari istri kepala desa itu. Namun suara itu
bagi Garuda Mata Satu bagai rintihan nikmat. Laki-laki bejat itu segera
melampiaskan nafsunya dengan napas memburu.
Setelah beberapa lama kemudian, Garuda Mata Satu
telah melepaskan hasrat bejatnya. Kini, kakinya melangkah keluar dari kamar itu.
"Kawan-kawan kita yang lain sudah tiba, Ketua." lapor salah seorang anggota
perampok, menyambut kedatangan Garuda Mata Satu.
"Hm.... Ayo kita tinggalkan tempat ini. Wanita tak tahu diuntung itu terpaksa
kubunuh, karena tidak menyenang-kan hatiku. Bagaimana dengan kepala desa
penyakitan itu?" tanya Garuda Mata Satu kemudian.
"Sudah beres, Ketua." sahut orang itu lagi.
"Bagus. Ayo kita pergi, dan bawa serta gadis itu."
pertntah Garuda Mata Satu lagi.
"Ia.... ia telah bunuh diri, Ketua..." jawab pengikutnya takut-takur.
"Setan...!" maki Garuda Mata Satu yang segera bergegas ke luar, diikuti para
pengikutnya. *** 4 "Batas Desa Karang Dadap," sebut seorang gadis jelita berpakaian serba hijau,
membaca tulisan yang tardapat pada tiang batu setinggi bahunya. "Apakah kita
akan singgah di desa ini, Kakang?"
Kepala gadis itu segera menoleh ke arah seorang
pemuda tampan yang mengenakan jubah putih.
"Terserah kau" Apakah bernial ingin singgah, atau kita mengambil jalan lain
saja," sahut pemuda berjubah putih menggerakkan bahunya sambil memandang ke
sekeliling tempat itu yang memang terdapat dua jalan.
"Lebih baik, kita singgah saja, Kakang. Kalau desanya cukup ramai dan
penduduknya ramah, kita bisa menginap barang semalam," saran gadis jelita itu
sambil menatap wajah pemuda di sampingnya lekat-lekat. Seolah-olah, ia ingin
mendengar tanggapan pemuda itu tentang usul yang diajukannya.
"Baiklah kalau itu maumu," jawab pemuda tampan itu seraya tersenyum.
Setelah mendapatkan jawaban, wajah jelita itu tampak berseri gembira. Kakinya
kemudian melangkah mengiringi pemuda berjubah putih yang berjalan tanpa terburuburu. Saat itu, matahari tengah memancarkan cahayanya
yang terik. Pantulan sinarnya yang menerobos rimbunan pohon tampak memecah
membentuk lingkaran garis-garis berwarna-warni. Namun, semua itu sama sekail
tidak menarik perhatian mereka. Langkah kaki keduanya terus saja terayun
menyusuri jalan lebar yang menuju Desa Karang Dadap. Tak sepatah kata pun yang
terucap dari mulut mereka. Sepertinya, kedua orang itu ikut terhanyut oleh
keheningan suasana di sekitarnya.
Ketika di kiri kanan jalan itu tampak membentang persawahan luas, pemuda
berjubah putih itu mengerutkan keningnya. Sejenak langkahnya dihentikan, seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling menatapi sawah yang berpetak-petak itu.
"Ada apa, Kakang" Mengapa berhenti...?" tegur gadis jelita itu. Dia merasa heran
melihat kerutan di wajah pemuda tampan teman seperjalanannya.
"Hm.... Perhatikanlah di sekelilingmu. Apakah kau melihat sesuatu yang
ganjil...?" tanya pemuda itu seolah-olah tidak mendengar pertanyaan tadi.
Pertanyaan yang mengandung teka-teki itu tentu saja membuat gadis jelita ini
mengerutkan kening. Namun, ia tetap mengikuti permintaan itu meski dengan benak
dipenuhi pertanyaan.
Setelah agak lama memperhatikan sekelilingnya, gadis jelita itu menolehkan
kepala sambil mengangkat bahu.
Jelas kalau ia tidak menemui keanehan seperti yang dimaksud pemuda itu.
"Kau tidak menemukannya, Kenanga?" tegur pemuda berjubah putih yang tak lain
adalah Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Tidak. Apakah Kakang menemukan sesuatu yang aneh di sekitar tempat ini" Tapi,
sepertinya semua dalam keadaan wajar...," sahut gadis jelita bagai bidadari
sambil menggelengkan kepala. Dan memang, gadis berpakaian serba hijau itu adalah
Kenanga. "Ah! Mengapa pertanyaan semudah itu tidak dapat kau temukan jawabannya" Coba
perhatikan sawah-sawah itu.
Adakah kau lihat seorang petani di sana?" tanya Panji lagi dengan maksud jelas,
dan mudah dimengerti.
"Oh! Mengapa aku begitu bodoh! Persoalan sepe1e ini seharusnya sudah dapat
kuterka sejak tadi!" seru Kenanga yang baru menyadari keanehan itu.
"Hm.... Ke mana saja pikiranmu sejak tadi?" ledek Panji sambil tersenyum
menggoda. Tapi Kenanga yang sudah mulai mengerti apa yang
dimaksudkan kekasihnya, tidak menimpali ucapan itu.
Keningnya tampak berkerut dalam. Jelas, pikiran gadis jelita itu tengah
tenggelam oleh keanehan yang
ditemukannya. "Hei! Kau memikirkan apa?" goda Panji sambil mencubit hidung gadis jelita yang
mungil dan mancung itu.
Kesadaran gadis itu baru tergugah ketika Pendekar Naga Putih mencubit hidungnya.
Lamunannya pun lenyap seketika. Tapi, kali ini ia malah menatap wajah pemuda
kekasihnya lekat-lekat.
"Apa dugaanmu tentang keanehan ini, Kakang?" tanya gadis itu sambil tetap
memandang wajah kekasihnya.
Nampaknya Kenanga telah menyerah karena tidak
menemukan jawaban atas keanehan yang dilihatnya itu.
"Aku pun tidak bisa menebaknya secara pasti.
Sedangkan pesta panen biasanya diadakan malam hari.
Lagl pula, saat ini belum musim menuai. Tapi tidak adanya para petani di sekitar
persawahan luas ini, tentu karena adanya sesuatu yang penting di dalam desa.
Maka sebaiknya kita lihat saja. Ayo!" ajak Panji yang segera menarik lengan
kekasihnya dan dibawanya berlari secepat terbang.
Karena Kenanga dan Pendekar Naga Pufih
mengerahkan ilmu lari yang amat langka, sebentar saja mereka telah tiba di mulut
desa. Bau kamenyan yang terasa menyengat hidung, membuat keduanya bergegas
memasuki desa itu.
Pendekar Naga Putih mulai membaui sesuatu yang
tidak wajar ketika kesepian yang mencekam menyambut kedatangan mereka. Tentu
saja mereka menjadi heran.
Sebab, bagaimana mungkin kalau persawahan yang padi-nya telah mulai menguning,
tapi desanya tidak ber-penduduk. Lalu, siapa yang telah menggarap sawah yang
demikian luas itu"
Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hati Panji dan Kenanga mulai mendekati
jawaban ketika tiba di balai desa. Bau kemenyan yang semakin menyengat,
menyambut kedatangan pasangan pendekar muda itu.
Apa yang terbentang di depan mata mereka, benarbenar membuat keduanya terkejut. Puluhan sosok mayat, tampak berjejer memenuhi
halaman depan balai Desa Karang Dadap.
"Apa yang telah menimpa desa ini, Paman..?" tanya Panji begitu melihat dua orang
laki-laki setengah baya yang muncul dari dalam balai desa.
Kening pemuda itu kembali berkerut ketika melihat adanya luka memanjang pada
wajah salah seorang dari mereka. Jelas kalau luka itu bukan karena kecelakaan.
"Kalian berdua siapa" Dan apa maksud kalian datang ke desa ini?" tegur laki-laki
yang wajahnya terdapat luka.
Nada suara orang itu sama sekali tidak enak di dengar telinga. Jelas, kedua
laki-laki setengah baya itu tidak menyukai kehadiran orang asing di desa mereka.
Karena suara pertanyaan orang itu cukup keras, maka tiga orang laki-laki lain,
dan enam orang wanita berusia hampir separuh baya tampak berdatangan ke tempat
itu. Mereka muncul begitu saja dari dalam balai desa. Dari cara memandang, jelas
tersirat sinar kebencian mereka yang mendalam terhadap Pendekar Naga Putih dan
Kenanga. Panji yang memaklumi akan perasaan orang-orang itu tersenyum sabar. Dengan sikap
tetap tenang dan tanpa merasa tersinggung, ia pun memperkenalkan diri.


Pendekar Naga Putih 25 Malaikat Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf kalau kehadiran kami berdua telah mengganggu ketenteraman Paman dan yang
lainnya. Namaku Panji.
Sedangkan kawanku bernama Kenanga. Kami berdua
adalah perantau yang kebetulan lewat di desa ini. Karena melihat keanehan dan
juga mayat-mayat yang menurut kami jelas diakibatkan senjata tajam, maka kami
ingin meminta sedikit keterangan dari Paman. Siapa tahu, kami dapat membantu,"
jelas Panji dengan tutur kata sopan dan wajah penuh senyum bersahabat.
Mendengar jawaban ramah itu, para penduduk Desa
Karang Dadap yang masih selamat saling bertukar
pandang sejenak. Kemudian, laki-laki bermuka codet yang jelas merupakan sebuah
luka baru itu memandang Panji dan Kenanga penuh selidik. Sepertinya, orang itu
masih ragu dan hendak menilai kedua orang asing yang singgah di desanya.
Laki-laki berwajah codet itu tertegun sejenak ketika sepasang matanya tertumbuk
pada gagang senjata yang menyembul dari balik punggung Panji. Tatapan matanya
kemudian beralih kepada sosok gadis jelita itu. Maka hatinya kembali tertegun.
Karena, di pinggang ramping gadis itu pun tampak gagang pedang yang seperti
melingkarinya. "Kalau sekiranya kalian berdua memang bukan orang jahat, tentu merupakan orangorang persilatan yang berjuluk pendekar" Lalu, manakah yang lebih benar?"
tanya laki-laki itu dengan wajah menegang. Jelas kalau hatinya merasa tidak
tenang setelah melihat Panji dan Kenanga membawa pedang.
"Kami memang disebut sebagai pendekar persilatan.
Oleh karena itu, janganlah Paman dan yang lainnya merasa takut. Bahkan kalau ada
persoalan, kami berdua siap membantu." sahut Panji yang terpaksa menerangkan apa
adanya. Dan memang, siapa tahu dengan pengakuannya akan lebih mudah mendapatkan
keterangan dari mereka.
"Ah! Kalau begitu, marilah kita masuk dan berbicara di dalam," ajak si muka
codet dengan wajah berubah ramah.
Dengan langkah agak terburu-buru, dibawanya Panji dan Kenanga ke dalam balai
desa. *** "Jadi gerombolan perampok yang dipimpin laki-laki berkepala botak dan bermata
satu yang menyebabkan kejadian ini?" tanya Panji meminta penegasan setelah
mendengarkan keterangan dari laki-laki bermuka codet, tentang musibah yang baru
saja tertadi di desa itu.
"Benar, Tuan Pendekar. Seluruh keluarga kepala desa kami dan para keamanan, juga
dibantai secara biadab oleh perampok berhati iblis itu. Harta-harta kami semua
digondol. Beberapa orang penduduk yang mencoba
melawan, dibunuh secara kejam! Entah apa yang membuat mereka begitu berani
melakukan parampokan di pagi hari.
Padahal setahuku, para perampok itu biasa bertindak hanya pada waktu malam
saja." lanjut laki-laki bermuka codet itu memberikan keterangan.
"Benar, Paman. Hal ini memang terdengar sangat aneh!
Tapi, sudahlah. Kami berdua akan membantu
menghentikan kejahatan para perampok yang tengah
merajalela itu," jelas Panji menghibur sisa penduduk Desa Karang Dadap itu
dengan janji yang akan ditepatinya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami benar-benar tidak tahu, harus bagaimana untuk
menghadapi gerombolan perampok biadab itu. Dan kami pun ikut mendoakan, semoga
usaha yang Tuan Pendekar jalankan bisa
menghentikan kekejaman orang-orang liar itu. Lebih baik lagi, mereka semua itu
dibinasakan. Agar kejadian seperti ini tidak menimpa desa-desa lain. Rasanya
hati kami belum puas kalau para perampok biadab itu hanya diberi
ampunan saja," tandas laki-laki bermuka codet itu lagi, mengandung kegeraman.
"Benar, Tuan Pendekar. Orang-orang seperti mereka, rasanya tidak layak dibiarkan
berkeliaran di muka bumi ini.
Habisnya, kerja mereka hanya menjadi pengacau saja,"
timpal laki-laki setengah baya yang wajahnya tampak sudah mulai berkeriput. Nada
suaranya pun jelas mengandung dendam yang sama besarnya dengan laki-laki bermuka
codet itu. Demikian pula para penduduk yang lainnya. Mereka
yang hanya tinggal beberapa orang pun mengajukan
tuntutan yang sama kepada Pendekar Naga Putih.
Sehingga, suasana di dalam ruang pertemuan balai desa itu menjadi hiruk pikuk
oleh seruan dendam mereka.
Panji tersenyum sabar mendengar tuntutan penduduk Desa Karang Dadap. Perlahan
kedua tangannya diangkat ke atas untuk menghentikan suasana gaduh itu.
"Saudara-saudara sekalian." ucap Panji setelah suasana menjadi tenang kembali.
Dirayapinya wajah-wajah sedih yang berjejer di hadapannya. "Meskipun orang-orang
itu telah bertindak di luar batas kemanusiaan, tapi aku yakin mereka hanya
sekedar boneka yang digerakkan orang lain. Dan kalau ternyata mereka masih bisa
diajak sadar, lalu bisa kembali ke masyarakat, apa salahnya kalau kita
memaafkan. Dengan demikian, bukankah kita telah melepas satu kebaikan dan
melenyapkan kejahatan.
Tapi kalau gerombolan perampok itu tidak mau sadar, terpaksa kita berikan
pelajaran yang lebih keras"
Mendengar keterangan Panji yang panjang lebar, sisa para penduduk Desa Karang
Dadap menundukkan kepala dalam-dalam. Jelas, mereka belum dapat melupakan apa
yang telah menimpa saudara-saudara mereka. Sehingga, apa yang diuraikan pemuda
tampan itu sama sekali tidak bisa diterima. Hanya saja mereka tidak berani
membantah-nya. Panji pun bukan tidak mengetahui apa yang tengah dirasakan mereka
saat itu. Dan ia pun maklum kalau perkataannya tidak dapat diterima para
penduduk. Tapi biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih telah cukup puas dengan
kata-kata berupa nasihat yang diucapkannya.
"Karena semuanya telah cukup jelas bagjku, ada baiknya kalau mayat-mayat itu
dikuburkan sekarang.
Setelah itu, kalian dapat beristirahat dengan tenang, atau dapat juga
mengerjakan sawah yang terbengkalai," usul Panji setelah merasa tidak ada lagi
keterangan yang dipertukan.
Laki-laki bermuka codet dan yang lainnya hanya
mengangguk sebagai tanda setuju atas usul pemuda
tampan itu. Bergegas mereka bangkit dan mengikuti pemuda yang telah melangkah
keluar bersama gadis jelita teman seperjalanannya.
Penguburan puluhan mayat itu tidak berlangsung lama.
Apalagi, Panji menggunakan tenaga saktinya untuk
membuat sebuah lubang besar yang kira-kira cukup untuk menguburkan mayat-mayat.
Semuanya ditanam sekaligus untuk menyingkat waktu.
Setelah selesai menguburkan puluhan mayat-mayat,
Panji dan Kenanga pun berpamitan. Mereka berdua
berjanji untuk menghentikan kekejaman para perampok yang kini tengah mengganas
itu. Para penduduk Desa Karang Dadap menyertai
kepergian Panji dan Kenanga. Mereka berharap agar apa yang dilakukan pasangan
pendekar itu dapat berhasil baik.
*** 5 Kekejaman dan keganasan para perampok yang semakin bertambah berani tentu saja
membuat seluruh tokoh golongan putih menjadi geram. Beberapa perguruan yang
merasa berkewajiban mencegah dan menghentikan
keganasan para perampok, segera mengirimkan murid-murid terbaik mereka. Bahkan
beberapa perguruan malah menurunkan ketuanya sendiri yang dibantu murid-murid
terpandainya. Seolah-olah perbuatan para perampok itu memang sengaja hendak
menantang tokoh-tokoh golongan putih.
"Hm.... Hal ini memang tidak bisa berlangsung berlarut larut. Siapa lagi yang
akan mencegah kalau bukan orang-orang seperti kita" Tidak ada gunanya
mengharapkan tentara-tentara kerajaan ataupun kadipaten. Aku pikir, mana mungkin
mereka akan menurunkan demikian
banyak tentara untuk membasmi para perampok yang
tempatnya berlainan. Apalagi, tempat perampok itu berpindah-pindah. Bisa-bisa
hal itu hanya akan mengganggu ketenteraman rakyat saja," kata seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun dengan berapi-api.
Sedangkan tiga orang lainnya hanya mendengarkan
penuh perhatian. Melihat dari lambang yang tersulam di dada kiri pakaian yang
tidak berbeda. Jelas kalau keempat orang laki-laki itu merupakan saudara satu
perguruan. Pada dada kiri mereka memang terdapat sulaman bergambar ombak laut berwarna biru
bercampur putih.
"Benar, apa yang kau katakan itu, Kakang Badalawa.
Perbuatan para perampok itu memang telah melewati ukuran. Bayangkan saja. Dalam
beberapa pekan terakhir ini, sudah banyak desa yang menjadi korban keganasan
mereka. Dan yang lebih membuat geram, perampokan dan pembunuhan itu dilakukan
tanpa mengenal waktu. Kalau siang maupun pagi mereka sudah berani bergerak, jelas kalau perbuatan itu memang sengaja untuk
menantang orang-orang golongan putih. Dan ini tidak bisa didiamkan,"
timpal laki-laki lain yang berusia sepuluh tahun lebih muda dari laki-laki yang
dipanggil Badalawa. Alisnya yang tebal dan hitam tampak bergerak-gerak ketika
mengucapkan kata-katanya.
"Hm. Coba kalian dengar baik-baik. Suara bergemuruh itu jelas seperti rombongan
orang berkuda. Bukankah menurut kabar, para perampok itu selalu datang
menunggang kuda?" kata laki-laki lain yang bertubuh tinggi namun berperawakan
tegap. Sambil berkata demikian, ia memandang yang lainnya bergantian. Sepertinya ia
hendak meminta pendapat dari kawannya.
"Hm.... Derap kaki kuda itu jelas tengah menuju ke arah kita. Ada baiknya kalau
kita bersembunyi di balik semak-semak itu untuk melihat apakah dugaan kita
benar," usul Badalawa yang merupakan orang tertua di antara mereka.
Mendengar usul yang cukup bisa diterima, ketiga orang lainnya sama-sama
menganggukkan kepala tanda setuju.
Sesaat kemudian, tubuh mereka lenyap di balik rimbunan semak belukar yang banyak
terdapat di tepi jalan.
Tidak berapa lama setelah tubuh mereka lenyap, terdengar suara bergemuruh yang
semakin dekat. Kepulan debu membumbung tinggi menandakan kalau rombongan
penunggang kuda itu cukup banyak jumlahnya.
Badalawa dan kawan-kawannya menanti berlalunya
rombongan berkuda itu dengan hati tegang. Memang, menilik derap kaki kuda yang
bergemuruh, dapat diduga kalau jumlah mereka cukup banyak. Sehingga, ketegangan
mereka pun semakin memuncak.
"Heya... Heyaaa...!"
Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat yang berada di depan berteriak-teriak
untuk mempercepat lari kudanya.
Melihat dari sikap dan tingkahnya. Jelas kalau ia adalah kepala rombongan.
Keempat orang yang tengah bersembunyi di balik
semak-semak di tepi jalan itu semakin menundukkan kepala ketika rombongan itu
lewat di depan mereka.
"Hayo, cepat ikuti mereka...!" perintah Badalawa ketika penunggang kuda terakhir
telah lewat beberapa tombak dari tempat persembunyian mereka.
Setelah menutup sebagian wajah dengan sabuk yang
melilit pinggang, keempat laki-laki gagah itu bergegas melakukan pengejaran
menggunakan ilmu lari mereka.
Badalawa mengisyaratkan kawan-kawannya untuk
mengatur jarak agar tidak terlalu dekat dengan rombongan berkuda itu. Untungjah
kepulan debu yang membumbung membuat tubuh mereka agak terlindung. Sehingga,
Badalawa dan kawan-kawannya yang mengikuti dalam
jarak sepuluh tombak, tidak sampai terlihat rombongan itu.
Apalagi terkadang keempatnya menyelinap di antara rerimbunan semak-semak.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan orang-orang berkuda itu pun mulai memasuki
sebuah mulut hutan.
Badalawa dan kawan-kawannya menarik napas lega.
Sebab dengan demikian, mereka akan lebih mudah dan aman dalam mengikuti
rombongan itu. Pada saat rombongan penunggang kuda itu tiba pada sebuah dataran yang cukup luas
dan terbuka, laki-laki tinggi kurus mengangkat tangan kanannya ke atas.
Sedangkan ia sendiri sudah memperlambat lari kudanya, kemudian berhenti sama
sekali. "Kita bermalam di dalam hutan ini...!" perintah laki-laki tinggi kurus itu
dengan suara lantang. Lalu dengan gerakan ringan, tubuhnya meluncur turun dari
atas punggung kuda.
Tapi, Ketua.... Bukankah hari masih siang,.." Mengapa perjalanan ini tidak
dilanjutkan saja?" bantah salah seorang anggota rombongan yang sepertinya kurang
menyetujui perintah laki-laki tinggi kurus itu.
Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat yang tak lain Tengkorak Hutan Jati
menolehkan kepala dengan kening berkerut. Jelas, ia merasa tidak senang atas
bantahan salah seorang anggotanya.
"Hm.... Kau tahu apa"! Kalau kuperintahkan bermalam di dalam hutan ini,
turutilah. Jangan sekali-sekali membantah perintahku. Mengerti"!" ujar Tengkorak
Hutan Jati sambil melangkah maju dengan sikap mengancam.
Tokoh yang terkenal kejam dan bertangan dingin ini sepertinya sudah siap
menjatuhkan tangan maut kepada anggotanya yang membantah itu. Untunglah, orang
itu sempat menyadari kesalahannya dan cepat melompat
turun dari atas punggung kuda.
"Ampun, Ketua... Aku hanya mengajukan usul," sahut orang itu sambil menjatuhkan
diri, berlutut di depan kaki Tengkorak Hutan Jati. Wajahnya tampak pucat dengan
butir-butir keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
"Bagus, kalau kau menyadari kesalahanmu. Sekarang beristirahatlah. Dan, jangan
coba-coba bertingkah macam-macam lagi!" ancam Tengkorak Hutan Jati, dingin.
"Terima kasih, Ketua ... Terima kasih...," ucap orang itu sambil menganggukanggukkan kepala berkali-kali.
Kemudian tanpa banyak cakap lagl, orang itu segera menambatkan kudanya pada
sebatang pohon. Kemudian segera berkumpul dengan kawan-kawannya yang lain.
*** Rombongan perampok yang baru saja hendak
melepaskan lelah itu, tersentak bangkit ketika tiba-tiba mendengar bentakan.
Dengan sigap, mereka lalu mencabut senjatanya masing-masing dan siap menghadapi
segala kemungkinan.
"Perampok-perampok laknat! Kalian tidak patut dibiarkan hidup!"
Belum juga bentakan keras itu hilang gemanya, tiba-tiba berlompatan delapan
sosok tubuh dari atas pohon di sekeliling tempat itu.
Delapan orang laki-laki mengenakan seragam biru laut, kembali melenting ketika
kaki mereka menjejak tanah. Dan sesaat saja, delapan orang laki-laki yang
bersikap gagah itu telah berdiri berjajar sambil menghunus senjata.
"Tenang..!" seru Tengkorak Hutan Jati sambil merentangkan tangan kanannya ke
samping. Seruannya yang cukup keras membuat para anggota
perampok yang semula bersiap hendak menerjang, menghentikan langkahnya. Mereka
berdiri di belakang pimpinannya, bersikap mengancam.
Dengan langkah tenang, Tengkorak Hutan Jati mendekati delapan orang laki-laki yang jelas menantang mereka. Setelah merayapi dan
meneliti lambang dua pedang yang bersulam benang perak di dada delapan orang
itu, terdengar suara bernada meremehkan.
"Hm.... Rupanya Perguruan Pedang Perak telah mengirimkan tokoh-tokohnya untuk
menguntitku. He he he...
Bodoh sekali si tua Jalaksa itu! Mengapa ia begitu ceroboh mengirimkan muridmuridnya untuk mencegah perbuatan-ku" Lebih baik kalian kembali, daripada datang
Pendekar Bayangan Setan 13 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bayangan Setan 2

Cari Blog Ini