Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh Bagian 2
mereka terasa dingin.
Dari lobang-lobang di kening menyembur hawa panas yang membuat air laut berbusah
empat warna. Saat itu juga terjadi satu keanehan. Secara bersamaan empat lobang
di kening Wiro, Purnama, Rayi Jantra serta dua lobang di kening Jatilandak
lenyap. Kekuatan luar, tenaga dalam serta kesaktian yang mereka miliki serta
merta pulih walau kulit mereka masih belang-belang. Keempat orang munculkan diri
ke permukaan air laut, berseru keras, lalu serentak melesat ke udara dan berdiri
berjejer tegak di pasir pantai. Mereka kemudian sama-sama mendekati Nyi Roro
Manggut. Wiro mencari-cari, memandang seputar laut. Dia tidak melihat lagi kakek
muka merah kepala botak tadi. Orang tua itu lenyap bersama perahunya. Mendadak
Wiro ingat. Kakek botak muka merah itu adalah kakek yang dilihatnya di luar tembok halaman
gedung Kadipaten Losari.
Kakek yang membunuh perajurit Jumena.
"Mungkin dia mengenali diriku," pikir Wiro. Lalu bertanya pada Nyi Roro Manggut
"Nek, kau melihat kemana lenyapnya kakek muka merah di atas perahu satunya?"
Sebelum si nenek sempat menjawab, di depan sana, di atas perahu yang sudah
berhenti, kakek berjubah kuning yang mukanya ada parut memanjang cacat bekas
luka sudah lebih dulu membuka mulut, keluarkan suara lantang.
"Nyi Roro Manggut! Sahabat lama! Jauh-jauh dari selatan, ada apa gerangan muncul
di laut utara"!"
Si nenek pandang sesaat kakek di atas perahu, mendongak ke langit seolah menatap
bulan sabit lalu tertawa panjang. Dalam tertawa dia sengaja kerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti hingga permukaan laut bergetar dan perahu di depan sana
bergoyang oleng. Kakek jubah kuning jadi terkesiap. Dia cepat kerahkan tenaga
dalam. Dua kaki laksana dipancang di atas lantai perahu. Hawa sakti menembus sampai ke
permukaan air laut. Namun goncangan perahu di atas mana dia berada hanya
berkurang sedikit pertanda tenaga dalam kakek ini masih berada jauh di bawah Nyi
Roro Manggut. Setelah puas tertawa nenek sakti dari kawasan laut selatan, pembantu utama Nyi
Roro Kidul turunkan pandangan, berpaling ke arah kakek berjubah kuning lalu
berucap. "Pengging Kuntala! Kau rupanya. Belasan tahun tidak bertemu, kurasa kau sudah
jadi tulang-belulang, bersatu dengan dasar laut utara!"
"Nyi Roro Manggut! Kau masih seperti dulu saja! Sikap pongah bicara sombong!
Tidak tahu diburuk rupa!
Ha... ha... ha! Apa kau tidak sadar kalau telah mengotori kawasan laut Utara.
Kau kencing dimana, mengapa berani cebok di sini"!"
Nyi Roro Manggut angguk-anggukan kepala beberapa kali. Lalu menjawab. "Baru air
kencing saja kau sudah kalang kabut! Kau ingin aku berak di sini saat ini juga"!
Hik... hik... hik!"
. "Nenek buruk jahanam! Berani kau..."
"Kakek jubah kuning!" tiba-tiba Wiro membentak memotong bentakan Pengging
Kuntala. "Jangan berani bicara kurang ajar pada nenek ini kalau tidak mau
kutambah cacat di mukamu! Jawab pertanyaanku! Tadi kau muncul bersama seorang
kakek botak muka merah! Kemana lenyapnya sobatmu itu"! Katakan siapa dia adanya
dan dimana aku bisa menemui!"
Si kakek di atas perahu yang bernama Pengging Kuntala berpaling ke arah orang
yang barusan bertanya padanya. Seperti melihat orang di kejauhan, dia tudungkan
telapak tangan kiri di atas mata. "Malam boleh gelap, tampangmu boleh belangbelang. Tapi aku masih bisa mengenalimu. Bukankah kau pemuda bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua?"
Wiro heran bagaimana kakek yang baru sekali itu dijumpainya bisa mengetahui
siapa dirinya. Apalagi wajahnya masih tertutup empat warna Racun Inti Bumi.
Pasti kakek botak muka merah tadi yang memberi tahu. Lalu bagaimana si muka
merah itu mengenal dirinya kalau bukan karena pertemuan pada malam Kematian
Jumena"! Pengging Kuntala berpaling pada Rayi Jantra seolah tidak acuhkan pertanyaan
Wiro. "Dan kau, bukankah kau Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari"
Mengapa ikutan berada di sini?" Tanpa menunggu jawaban orang kakek berjubah
kuning ini kemudian memandang ke arah Purnama dan Jatilandak. "Kalian berdua aku
tidak kenal. Tapi kalian tetap akan mendapat hukuman karena ikutan mengotori
kawasan laut utara!"
Mendengar ucapan si kakek Wiro jadi kesal.
"Tua bangka muka parut! Kau belum menjawab pertanyaanku!"
"Kalau aku tak mau menjawab?" sahut Pengging Kuntala pula menantang.
Wiro menyeringai. "Kalau kau tak mau menjawab, biar aku tamb kotoran di laut
utara ini!" Selesai keluarkan ucapan, Wiro miringkan tubuhnya sedikit lalu enak
saja dia rorotkan celana ke bawah dan serr! Air kencingnya mengucur ke dalam air
laut. Dia ingat pada sobat tuanya Setan Ngompol. Kalau kakek tukang beser itu
ada di situ pasti keadaannya jadi bertambah seru!
"Manusia kurang ajar! Kau mencari mati!" teriak Pengging Kuntala marah dan
merasa sangat dihina. Dari atas perahu dia hantamkan tangan kanan ke arah Wiro.
"Wuuss!"
Selarik sinar kuning menyambar Pendekar 212 disertai suara gemuruh seperti topan
melabrak. Inilah pukulan sakti yang disebut Badai Laut Utara Mengamuk.
"Pengging Kuntala! Jangan cuma berani pada bocah ingusan! Aku lawanmu! Bukankah
sejak kau diusir dari laut selatan sudah lama kita tidak pernah saling jajal
ilmu kepandaian"!"
"Nenek buruk sombong! Jika itu maumu aku tidak menolak!" Jawab Pengging Kuntala.
Kakek ini lipat gandakan hawa sakti dan tenaga dalamnya. Serangan yang tadi
ditujukan pada Wiro kini diarahkan pada si nenek.
"Wusss!"
Teluk Losari kuning terang benderang oleh sinar pukulan sakti yang dilepaskan
Pengging Kuntala disertai deru dahsyat laksana badai mengamuk. Air laut muncrat
setinggi dua tombak. Kalau sampai Nyi Roro Manggut terkena hantaman pukulan
sakti itu, tubuhnya akan hancur berkeping-keping dan kepingan tubuh itu kemudian
akan leleh mengerikan.
"Hebat!" si nenek berteriak seolah memuji. Namun kemudian dia tertawa mengekeh
seperti melecehkan.
Dia tahu serangan pukulan apa yang dilancarkan Pengging Kuntala.
"Pukulan lama ilmu butut! Apa kau tidak punya ilmu baru sejak minggat belasan
tahun?" Nyi Roro Manggut cepat angkat kedua tangannya.
Pengging Kuntala menggembor marah. Pukulan yang memang sudah dimiliki sejak
puluhan tahun lalu.
Dulu ketika masih mengabdi pada Nyai Roro Kidul pukulan itu diberi nama Badai
Laut Selatan. Setelah dia minggat ke utara dan menjadi orang krpercayaan Ratu
Laut Utara nama pukulan tersebut diganti menjadi Badai Laut Utara Mengamuk. Ilmu
pukulan sakti yang telah dimilikinya sejak puluhan tahun itu kini kehebatannya
telah berlipat janda. Kakek ini yakin dengan sekali hantam saja si nenek cebol
akan hancur luluh sekujur tubuhnya.
"Terima kasih untuk seranganmu! Biar aku kembalikan dengan segala kerendahan
hati!" Nyi Roro Manggut gerakkan dua tangannya. Dua larik cahaya biru berkiblat.
"Desss! Desss!"
Di atas perahu Pengging Kuntala berseru kaget ketika tubuhya terdorong dan
perahu menjadi oleng.
Sebelum dia bisa mengimbangi diri tiba-tiba cahaya kuning pukulan saktinya
menghantam balik ke arah dirinya. Akibat bentrokan dengan dua larik sinar biru
tangkisan Nyi Roro Manggut, cahaya kuning berubah menjadi kobaran api luar biasa
dahsyat. Si kakek menjerit keras sewaktu jubah kuningnya meletup dan nyala api
membakar sekujur tubuhnya! Setelah menjerit sekati lagi Pengging Kuntala
ceburkan diri ke dalam laut.
Kini hanya kelihatan perahu yang tadi ditumpanginya dilamun kobaran api. Untuk
beberapa saat lamanya nyala api mengambang di permukaan laut seolah ada lapisan
minyak yang terbakar.
Nyi Roro Manggut berpaling pada empat orang di sampingnya. "Kakek sialan itu
sudah kabur. Dia pasti mengadu pada pimpinannya. Ratu kurang ajar yang katanya
menjadi penguasa kawasan laut utara."
"Nek, siapa adanya kakek berjubah kuning tadi?" tanya Wiro.
"Dulu dia adalah salah seorang yang ditugaskan Nyi Roro Kidul untuk menjaga
tembok batas kawasan pantai selatan. Mungkin merasa dirinya lebih hebat dari
hanya seorang penjaga tembok batas Kerajaan bawah laut, sekitar dua puluh tahun
silam dia minggat tanpa pamit. Kemudian belum lama ini diketahui dia telah
menjadi orang kepercayaan perempuan jalang yang menamakan diri Ratu Laut Utara,
penguasa laut utara.
Orang-orang laut utara punya sikap bermusuhan dengan kami orang-orang dari laut
selatan. Mereka selalu berusaha membuat kekacauan. Selain itu juga coba membujuk
orang-orang kepercayaan Nyi Roro Kidul untuk bergabung dengan mereka."
"Nek, kalau Ratu Laut Utara aku pernah kenal. Orangnya baik," kata Wiro pula.
"Namanya Ayu Lestari.
Dia mendapat warisan keratuan dari Ratu yang asli..."
"Ayu Lestari yang kau kenal itu sekarang sudah jadi orang sekapan. Dipendam oleh
Ratu palsu berhati jahat di dasar laut. Kakek tadi menjadi salah satu orang
kepercayaan si ratu jahat!" (Mengenai Kisah Ayu Lestari yang jadi Ratu Laut
Utara harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Pembalasan Ratu Laut Utara").
"Lalu kakek botak muka merah tadi" Apa kau kenal dia?" tanya Wiro lagi.
"Aku tak kenal si botak itu. Dia kabur dengan perahunya ketika aku melemparkan
kalian ke dalam laut."
Jawab Nyi Roro Manggut. "Ah, aku lihat kalian sudah pulih semua. Tidak ada lagi
lobang di kening..."
"Semua berkat pertolonganmu Nek. Kami sangat berterima kasih..."
Nyi Roro Manggut goyangkan kepalanya ke arah Jatilandak. "Jangan berterima kasih
pada aku saja. Ingat Gusti Allah yang menolong kalian. Selain itu, pemuda ini
ikut membantu menyelamatkan kailan. Dengan ujudnya yang seperti landak dia
membobol dasar tembok batu dimana kalian terkurung."
Wiro dan Rayi Jantra langsung membungkuk seraya mengucapkan terima kasih pada
Jatilandak yang disambut putera Purnama ini dengan sikap rikuh.
"Aku sampai di sini secara kebetulan belaka," menjelaskan Jatilandak. "Aku diamdiam mengikuti perjalanan ibu karena katanya ada mahluk alam gaib yang selalu
menjahili dirinya."
"Kau anak baik," kata Nyi Roro Manggut pula. "Urusanku sudah selesai. Aku harus
kembali ke selatan."
"Tunggu, jangan pergi dulu Nek," Wiro cepat pegang tangan si nenek:.
"Apa maumu bocah ingusan?" Mendadak si nenek ingat sesuatu. "Eh, apa kipas kayu
cendana yang aku titipkan padamu sudah kau serahkan pada kakek itu?" Nyi Roro
Manggut bertanya.
"Maksudmu Kakek Segala Tahu, Nek?"
"Memangnya kau berikan pada siapa kipas itu?"
"Sudah Nek, jangan khawatir. Kakek Segala Tahu sangat senang. Walau dia tidak
mengatakan tapi aku tahu dia akan berusaha mencari dan menemuimu."
Nyi Roro Manggut tersenyum.
"Nah, kalian baik-baik saja. Aku harus pergi sekarang."
"Nyi Roro, aku berterima kasih atas pertolonganmu. Aku masih menyimpan baik-baik
sapu tangan pemberianmu. Kalau kau memang mau pergi, bolehkan aku menitipkan
pesan untuk seseorang?"
"Pasti titipan untuk seorang gadis!" ucap si nenek pula.
Wiro tertawa. "Ada pesan untuk Ratu Duyung dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia
diminta datang bersamaku menemui orang tua itu. Aku akan menunggunya di tepi
telaga di puncak timur Gunung Gede pada saat rembulan empat belas hari bulan di
muka." Nyi Roro Manggut melirik sekilas pada Purnama lalu berkata. "Anu... hemm, baik,
akan aku sampaikan pada gadis bermata biru itu. Jika kau bertemu lagi dengan
Kakek Segala Tahu, katakan aku menunggunya di Istana Tiga Menara di dasar
samudera selatan."
"Pasti aku sampaikan Nek," jawab Wiro. Lalu buru-buru dia ambil tangan kanan si
nenek dan menciumnya.
"Sekali lagi terima kasih Nek."
Nyi Roro Manggut pegang bahu sang pendekar dan berkata perlahan. "Kalau saja
tidak ada orang-orang itu kau pasti bukan mencium tanganku. Tapi mencium
pipiku." "Kalau kau memang suka aku akan melakukannya sekarang juga, Nek!" jawab Wiro.
Lalu cuupp... cuupp! Enak saja Wiro cium pipi si nenek kiri kanan! Nyi Roro
Manggut terpekik.
Orang-orang yang menyaksikan terkesiap kaget melihat kejadian itu. Lalu samasama tertawa. "Bocah ingusan konyol!" Nyi Roro Manggut tarik telinga kiri Pendekar 212 sambil
tertawa panjang. Belum habis gema tawanya, sosok si nenek sudah lenyap di
kegelapan malam.
"Sebaiknya kita segera pergi saja dari teluk ini," berkata Wiro. "Kalau kakek
bermuka cacat tadi adalah kaki tangan Ratu Laut Utara yang jahat, bukan mustahil
dia akan muncul kembali membawa kawan-kawan.
Melayani mereka berarti menghambat urusan kita."
Namun sebelum sempat beranjak dari tempat itu tiba-tiba dari arah pantai sebelah
timur terlihat dua penunggang kuda memacu tunggangan masing-masing ke arah
mereka. Dua orang ini membawa serta seekor kuda cadangan. Sampai di hadapan
keempat orang itu mereka segera melompat turun dan memberi salam.
Wiro dan kawan-kawan membalas salam. Yang datang ternyata seorang pemuda gagah
dan seorang gadis jelita. Wiro segera mengenali sang pemuda sedang si gadis
cantik dia menduga-duga apa pernah bertemu sebelumnya.
*** ENAM "SAHABAT Panjirama, sungguh tidak disangka kita bisa bertemu lagi..." Wiro
menyapa. Pemuda gagah yang disebut dengan nama Panjirama menatap Pendekar 212
sesaat. Lalu berkata. "Wajahmu yang tertutup empat warna aneh membuat aku agak
sulit mengenali dirimu. Tapi aku masih bisa mengenali suaramu.
Bukankah kau sahabat yang tak mau memperkenalkan nama dan telah menolong kami di
sebuah candi ketika kami berkelahi melawan Pengemis Mata Putih dan anak
buahnya." (Mengenai perkenalan Wiro dengan Panjirama harap baca serial
sebelumnya berjudul "Dadu Setan").
"Kau keliwat merendah. Padahal kau dan kawanmu saat itu yang telah menolongku,"
jawab Wiro pula. Dia melirik pada gadis jelita di samping Panjirama lalu
bertanya. "Panji, mana adikmu Ariadarma?"
Ditanya begitu Panjirama tersenyum. Akhirnya pemuda ini berkata. "Sekarang aku
terpaksa berterus terang. Ariadarma memang adikku. Tapi sebenarnya dia adik
perempuan yang saat bertemu denganmu dalam penyamaran sebagai seorang pemuda
berkumis. Dialah orangnya." Panjirama berpaling pada gadis cantik di sebelahnya.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. Ah, jadi benar
apa yang aku lihat saat itu melalui ilmu Menembus Pandang. Pemuda berkumis kecil
bernama Ariadarma itu ternyata memang seorang perempuan. Seorang gadis cantik."
"Kalau begitu siapa sahabat berdua ini sebenarnya?" tanya Wiro.
"Saat ini agaknya kami tidak perlu lagi menyembunyikan siapa kami adanya.
Sahabat, aku adalah Walang Sungsang bergelar Pangeran Cakrabuana. Dan ini adikku
Nyai Rara Sintang. Kami kakak beradik berasal dari Kerajaan Pajajaran. Kami
putera-puteri Prabu Siliwangi."
Mendengar ucapan pemuda yang dikenalnya dengan nama Panjirama itu, Pendekar 212
segera bungkukan badan memberi penghormatan. Hal yang sama juga dilakukan olah
Rayi Jantra, Purnama dan Jatilandak.
"Ah, tak perlu memakai segala peradatan," ucap Panjirama alias Walang Sungsang
alias Pangeran Cakrabuana seraya menepuk bahu Pendekar 212.
Wiro kemudian memperkenalkan ketiga sahabatnya ini pada Pangeran Cakrabuana dan
Nyai Rara Santang.
Ketika memperkenalkan diri Rayi Jantra membungkuk seraya berkata. "Saya Rayi
Jantra, kita pernah bertemu.
Apakah Pangeran Cakrabuana masih ingat?"
Pemuda di hadapan Rayi Jantra memperhatikan wajah Rayi Jantra yang berbelangbelang itu beberapa lamanya. Kemudian dia berseru dan melangkah mendekat lalu
merangkul Kepala Pasukan Kadipaten Losari itu.
"Benar-benar pertemuan tidak disangka. Kami berdua punya pesanan dari Ayahanada
Prabu Silrwangi untuk mencari sahabat, untuk menyerahkan satu barang titipan.
Nanti akan aku serahkan padamu. Biar aku bicara dulu dengan sahabatmu si
gondrong ini."
Sambil menggaruk kepala Wiro berkata. "Ketika berada di candi, aku sama sekali
tidak mengetahui siapa adanya sahabat berdua. Waktu itu aku..." Wiro tidak
meneruskan ucapannya melainkan memandang pada Nyai Rara Santang.
Puteri Kerajaan Pajajaran itu tersenyum. "Aku tahu..." katanya. "Kau
mempergunakan ilmu kepandaian untuk mengetahui siapa diriku sebenarnya."
"Aku mengaku bersalah. Aku memang manusia jahil. Dan aku minta maaf," ucap Wiro
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
polos. "Kau sudah dimaafkan," kata Nyai Rara Santang pula. "Kau mungkin tidak
menyadari. Karena perbuatan jahilmu itu kau tidak mampu lagi mengerahkan ilmu
kesaktian untuk melihat di luar batas kemampuan manusia biasa. Tapi sekarang
karena sudah kumaafkan, kurasa ilmu itu sudah kembali."
Karuan saja murid Sinto Gendeng jadi terperangah dan garuk-garuk kepala. Dia
kini ingat. Sebelumnya beberapa kali dia pernah mengerahkan Ilmu Menembus
Pandang pemberian Ratu Duyung itu. Namun selalu gagal. Wiro tidak menyangka
kalau Nyai Rara Santang punya kemampuan menjajagi ilmu kepandaiannya. Dia merasa
lega dan membungkuk. "Sekali lagi aku mohon maaf." Lalu Wiro bertanya. "Sahabat
berdua, apakah mempunyai hubungan dengan seorang nenek sakti yang sudah tewas
berjuluk Eyang Sepuh Kembar Tilu?"
Dua kakak beradik itu tampak terkejut.
"Kami memang punya hubungan dengan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tapi kami tidak tahu
kalau beliau sudah tewas. Siapa yang membunuhnya?" bertanya Pangeran Cakrabuana.
"Kami justru tengah menyelidiki siapa pembunuh nenek itu," jawab Wiro.
"Mengapa sahabat menanyakan perihal hubungan kami?" Nyai Rara Santang bertanya.
"Sebelum menghembuskan nafas nenek sakti itu berpesan agar aku menemui Nyai Rara
Santang dan mencari pembunuhnya."
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang saling pandang. Sang adik kemudian
berkata. "Kami memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar Tilu untuk
disampaikan hanya pada satu orang tertentu. Dan ini merupakan satu hal yang
rahasia." "Kalau boleh tahu, siapa orang itu?" tanya Wiro pula.
"Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede." Nyai Rara Santang hentikan ucapan dan menatap wajah belang pemuda di
hadapannya. "Apakah kau...."
"Mohon dimaafkan. Akulah si sableng murid Eyang Sinto Gendeng itu." Kata Wiro
pula sambil membungkuk. Setelah meluruskan tubuh dia bertanya. "Kalau boleh aku
tahu, mengapa Nyai Rara Santang memberikan pesan itu pada Eyang Sepuh Kembar
Tilu?" Nyai Rara Santang memandang pada kakaknya. Pangran Cakrabuana memberi isyarat
anggukan kepala.
Lalu Nyai Rara memberi keterangan. "Sebenarnya ini merupakan hal yang ssangat
rahasia. Tapi kami percaya padamu dan juga pada para sahabat lain yang ada di
sini. Kami tidak begitu berhasrat menjadi pewaris tahta Kerajaan Pajajaran yang
sekarang berada di tangan ayahanda Prabu Siliwangi. Kami dalamsatu usaha hendak
mendirikan sebuah kerajaan di wilayah Cirebon. Ini satu pekerjaan yang tidak
mudah. Banyak pihak yang berusaha menghalangi. Terutama dari para pejabat
Kerajaan di timur dan kaki tangannya para tokoh rimba persilatan. Selain itu
mereka juga berusaha membujuk para pejabat dari beberapa kerajaan di barat
termasuk Pajajaran. Mereka memiliki kekuatan serta dana besar. Kami tidak tahu,
hanya bisa mengira-ngira dari mana mereka mendapat dana tersebut. Kami
membutuhkan banyak bantuan dari orang-orang yang bisa diandalkan dan dapat
dipercaya. Baik semasa dalam usaha mendirikan maupun setelah Kerajaan Cirebon
nanti berdiri. Salah seorang yang sangat kami percayai adalah sahabat kami sendiri. Kami punya
rencana untuk meminta kesudian sahabat untuk kelak menjabat Panglima Balatentara
Kerajaan Cirebon."
Wiro menggaruk kepala dan tadinya hendak tertawa. Namun melihat kesungguhan pada
wajah dua kakak adik dihadapannya maka diapun berkata. "Sungguh luar biasa. Hari
ini aku menerima kepercayaan besar. Nyai Rara Santang, Pangeran Cakrabuana aku
sangat berterima kasih dan sangat menghormati apa yang menjadi rencana para
sahabat berdua. Namun ijinkan aku untuk mempertimbangkan permintaan itu. Mungkin
aku juga perlu nasihat kawan-kawan yang lain..."
"Kami dapat memaklumi," kata Pangeran Cakrabuana. "Kalau kami boleh bertanya apa
yang membuat pendekar dan tiga sahabat berada di Teluk Losari malam-malam
begini. Lalu mengapa kulit wajah serta tangan kalian berwarna hijau, merah,
kuning dan biru?"
Wiro lalu menuturkan riwayat bagaimana mereka sampai berada di teluk itu.
Mendengar penjelasan sang pendekar Nyai Rara Santang berkata. "Sepanjang yang
kami ketahui Raja Racun Bumi Langit adalah salah seorang kaki tangan orang-orang
yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Cirebon." Puteri Kerajaan Pajajaran ini
kemudian berpaling pada kakaknya. "Kanda Walang Sungsang, kita datang terlambat.
Tapi itu ada baiknya. Secara tidak langsung kita sudah melihat keculasan orangorang laut utara."
Tanpa diminta kemudian Pangeran Cakrabuana menceritakan bahwa kedatangannya ke
Teluk Losari malam itu adalah untuk bertemu dengan Pengging Kuntala selaku wakil
Ratu Laut Utara.
"Kami bermaksud melakukan perundingan dengan Pengging Kuntala. Meminta agar
pimpinannya yaitu Ratu Laut Utara tidak mencampuri apa lagi menghalangi maksud
kami mendirikan Kerajaan Cirebon. Selama ini kami tahu sang Ratu berada di
belakang layar. Memerintahkan orang-orangnya untuk menghancurkan kami. Kami juga
punya dugaan keras Ratu Laut Utara bekerjasama dengan para pejabat Kerajaan di
timur serta musuh dalam selimut dari Kerajaan di barat"
"Karena telah terjadi bentrokan antara para sahabat dengan Pengging Kuntala dan
kami menduga kakek itiu mungkin sudah tewas, paling tidak luka parah maka kami
rasa kami akan terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati Kami berharap sahabat
Wiro mau memenuhi harapan kami ini."
Wiro anggukkan kepala. Sambil menggaruk-garuk dia kemudian bertanya. "Apakah
sahabat berdua tidak merasa perlu menghubungi Adipati Losari" Dia salah seorang
pejabat tinggi di wilayah barat yang besar kuasa dan pengaruhnya,"
"Begitu besar kuasa dan pengaruhnya hingga dia telah memerintahkan menangkap
sahabat hidup atau mati dengan imbalan lima ringgit emas?" ujar Pangeran
Cakrabuana pula sambil tersenyum.
Wiro tertawa. "Adipati itu hanya tahu aku sebagai pembunuh Adipati Brebes. Tapi
tidak mau tahu kejahatan apa yang telah dilakukan Adipati Brebes hingga aku
membunuhnya."
"Kami berdua tahu sedikit banyak tentang keburukan perilaku Karta Suminta
Adipati Brebes. Kami yakin sahabat punya atasan kuat untuk membunuhnya." Ucap
Pangeran Cakrabuana pula. "Mengenai Adipati Losari, dia pejabat yang baik. Kami
bersahabat dengan Adipati Raden Seda Wiralaga. Dia sangat mendukung usaha kami
untuk mendirikan Kerajaan Cirebon. Sepulang dari Gunung Jati kami akan
menyambanginya."
Menjelaskan Pangeran Cakrabuana.
Nyai Rara Santang berpaling pada Jatilandak lalu berkata. "Sementara sahabat
Wiro mempertimbangkan permintaan kami, tidak ada salahnya kami juga menawarkan
satu jabatan tinggi lainnya pada sahabat. Jika berkenan sahabat bisa ikut
bersama kami saat ini juga. Jika perlu waktu untuk berpikir temui kami di mesjid
besar Gunung Jati. Kami akan berada di sana selama dua minggu."
"Saya merasa mendapat penghargaan sangat besar. Saya mengucapkan terima kasih.
Saya tidak punya kemampuan apa-apa. Tapi saya punya keinginan untuk membantu apa
saja yang bisa saya lakukan...." jawab Jatilandak sambil membungkuk hormat.
"Namun saat ini saya perlu tetap bersama teman-teman. Kami tengah menghadapi
satu urusan besar..."
"Jatilandak," berucap Purnama pada puteranya "Untuk melakukan suatu perbuatan
baik serta pengabdian luhur rasanya tak ada di antara kami yang keberatan kalau
kau ikut bersama dua sahabat ini."
Sebenarnya Jatilandak merasa tertarik dengan ajakan Nyai Rara Santang itu. Ada
beberapa hal yang mendorongnya. Pertama mencari pengalaman baru. Kedua dia masih
merasa kurang enak melakukan perjalanan bersama-sama Wiro sejak peristiwa
hubungannya dengan Bidadari Angin Timur tempo hari {Baca serial Wiro Sableng
berjudul "Bendera Darah"). Hal ketiga dia merasa ibunya akan menjadi rikuh
didampingin terus-menerus karena dia tahu sang ibu tengah jatuh cinta pada
pendekar 212 Wiro Sableng. Tidak mustahil tadi ibunya sengaja memberikan
semangat agar dia mau mengikuti dua muda-mudi dari Kerajaan Pajajaran itu karena
merasa kurang enak jika dia hadir terus di tengah perjalanan bersama Wiro.
Melihat Jatilandak bimbang, Pangeran Cakrabuana berkata. "Kebetulan kami membawa
kuda cadangan. Kita bisa pergi bersama-sama saat ini juga."
Wiro pegang bahu Jatilandak. "Tak usah khawatir dengan segala yang tengah kami
hadapi. Tawaran baik dari dua sahabat ini jangan sampai ditolak."
Jatilandak menatap ke arah ibunya. Purnama tersenyum dan angggukan kepala.
"Mungkin sudah jadi perlangkahan saya. Mengabdi pada sahabat berdua...."
"Tidak, kau tidak mengabdi pada kami. Tapi menjadi sahabat kami..." kata Rara
Santang pula. Lalu gadis ini ambil ujung tali kekang kuda cadangan dan
menyerahkannya pada Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tak bisa
menolak lagi. Pangeran Cakrabuana mendekati Rayi Jantra. Dari dalam kantong kain yang
dibawanya dia mengeluarkan sebilah kujang dibungkus sarung yang masih baru.
Melihat senjata itu, hati Rayi Jantra berdetak. Walau masih terbungkus sarung
namun dia punya perasaan bahwa senjata itu adalah miliknya yang sirna dan
kembali ke tempat asalnya. Kujang dicabut keluar dari sarung. Cahaya kuning
memancar menerangi tempat itu. Sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata
lima terbuat dari emas mumi dipadu batu keramat dari Gunung Salak dan baja putih
dari tanah Banten.
Rayi Jantra merasa gembira ketika mengenali senjata itu memang adalah kujang
sakti miliknya yang dulu diberikan sendiri oleh Pangeran Cakrabuana kepadanya.
"Rayi Jantra, kau mau menceritakan bagaimana senjata sakti
Kujang Emas Kiai Pasundan ini kembali
padaku?" "Pangeran, saya mohon maaf. Senjata itu terpaksa saya pergunakan ketika
bertempur melawan Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis, salah seorang
bergundal yang jadi pengawal apa yang dinamakan Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Saya berhasil menusuk mata kanan Ki Sentot Balangnipa. Sebelum saya
pingsan Kujang Emas Kiai Pasundan melesat dan kembali pada Pangeran." (Kisah
kujang ini dapat dibaca dalam serial sebelumnya berjudul "Dadu Setan")
Pangeran Cakrabuana mengangguk-angguk. Kujang disarungkan kembali lalu
diserahkan pada Rayi Jantra.
"Terimalah kembali. Jaga baik-baik senjata bertuah ini."
Rayi Jantra ambil senjata sakti itu. Letakkan di atas kepala lalu bungkukkan
badan seraya berkata. "Terima kasih Pangeran." Rayi Jantra selipkan senjata
sakti itu di balik pakaian di pinggang kiri.
"Pangeran dan Nyai Rara," Wiro berkata. "Sebelum pergi aku ingin bertanya.
Apakah pernah mendengar tentang dua buah benda yang disebut dadu setan?"
"Kami pernah menyirap kabar tentang seorang paderi dari Tiongkok yang datang
kesini dan konon tengah mencari dua buah dadu itu," kata Nyai Rara Santang pula.
Pangeran Cakrabuana melanjutkan ucapan adiknya. "Kami juga mendengar kabar bahwa
selain merupakan senjata sakti dua buah dadu itu telah dipergunakan sebagai alat
judi untuk mengeruk kekayaan menghimpun dana besar. Dana besar ini konon
sebahagian dipergunakan untuk membiayai penumpasan usaha kami mendirikan
Kerajaan Cirebon. Kami berusaha mencari tahu siapa yang menjadi dalangnya. Namun
sampai saat ini belum berhasil. Salah satu tujuan kami untuk nanti menemui
Adipati Losari Seda Wiralaga adalah menanyai perihal dua buah dadu itu."
"Apakah sebelumnya Pangeran dan Nyai Rara Santang berdua pernah mendengar satu
tempat yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?" bertanya Rayi Jantra.
"Kami sering mendengar. Kalau Istana itu benar-benar ada, besar kemungkinan
itulah tempat para musuh kami menggarap kekayaan untuk mendanai penumpasan usaha
mendirikan Kerajaan Cirebon. Konon tempat itu tak jauh dari teluk ini. Di arah
selatan..."
"Kami sudah mendatangi tempat itu. Letaknya di kaki sebuah bukit batu. Ternyata
tempat itu kosong. Di situ kami hampir menemui ajal dijebak Raja Racun Bumi
Langit." "Tabir asap tambah terkuak." Kata Pangeran Cakrabuana pula. "Kalau diusut dan
dicari tahu untuk siapa Ki Sentot Balangnipa dan Raja Racun Bumi Langit bekerja,
akan ketahui siapa dalang dibalik Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Kami punya
rencana untuk menyelidik. Namun masih ada satu urusan penting yang harus kami
lakukan di Gunung Jati..."
"Sahabat berdua, untuk sementara biar kami yang mewakili mencari dadu setan itu.
Banyak sahabat kami serta orang-orang tak berdosa yang telah tewas gara-gara
benda celaka itu." Kata Pendekar 212 pula.
"Kami berdua sangat berterima kasih jika pendekar mau melakukan hal itu," ucap
Pangeran Cakrabuana.
"Saya ada satu pertanyaan, jika dua sahabat tidak berkeberatan." Purnama yang
sejak tadi diam membuka mulut.
"Silahkan, sahabat yang cantik hendak bertanya apa?" ujar Nyai Rara Santang
pula. Sepasang matanya memperhatikan dan mulutnya tersenyum. Saat itu dia sudah
bisa merasakan bahwa Purnama bukanlah gadis biasa dan memiliki ilmu kesaktian
yang sulit dijajaki ketinggiannya. Kalau saja dia bisa mengajak gadis ini.
"Pangeran, Nyai Rara, apa pernah mendengar nama atau kenal dengan Pangeran
Kumbara Ajiwinata?"
"Dia salah seorang keponakan Ayahanda kami Prabu Siliwangi." Jawab Pangeran
Cakrabuana. "Ada apakah sahabat menamakan dianya?"
"Ada seorang bernama Danang Seta. Dia salah seorang yang mengetahui tempat
rahasia bernama istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Namun dia keburu tewas di
hadapan makam kekasihnya, seorang gadis bernama Ningrum. Sebelum terbunuh pemuda
itu memperlihatkan sebilah keris kecil yang dipakai orang untuk membunuh
kekasihnya. Menurut Danang Seta keris itu adalah milik Pangeran Kumbara
Ajiwinata..."
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang sama-sama
terdiam. Kemudian sang Pangeran berkata. "Aku tidak menaruh sangka kalau
Pangeran Kumbara ikut terlibat menjadi kaki tangan orang-orang yang hendak
menghambat berdirinya Kerajaan Cirebon..."
"Menurut Danang Seta sebelum mati. keris itu adalah buatan seorang empu di
Karang ampel, bernama Empu Barada." Purnama menambahkan keterangannya. Lalu dari
balik pakaiannya gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengeluarkan sebilah
keris. Ujung senjata ini ada noda darah yang telah mengering dan pada dua belah
gagangnya ada hiasan sebutir intan.
Melihat senjata itu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang serta merta
mengenali. "Keris Gunung Intan." Ucap dua kakak beradik itu hampir bersamaan. Lalu sang
kakak menambahkan.
"Kami tidak mengarang cerita. Tapi kami tahu betul bahwa sejak dua tahun silam
senjata ini telah diberikan kepada seorang sahabatnya oleh Pangeran Kumbara."
"Apakah Pangeran tahu siapa nama sahabat itu?" tanya Rayi Jantra.
"Kalau aku tidak salah namanya Bayumurti. Kabarnya dia sekarang menjadi Adipati
Brebes pengganti Adipati Karta Suminta." ucapnya. "Sulit dipercaya kalau
Bayumurti ikut terlibat dalam hal yang berbau kejahatan. Tapi ada baiknya para
sahabat melakukan penyelidikan. Banyak hal yang membuat seseorang bisa berubah.
Uang, jabatan...."
"Dan perempuan..." sambung Pendekar 212 sambil tersenyum. Lalu dia berkata.
"Petunjuk Pangeran akan kami ikuti. Kami akan menemui Adipati Brebes yang baru
itu." "Agar tidak mendapat kesulitan, jika berhadapan dengan Bayumurti katakan padanya
bahwa kami berdua yang mengutus para sahabat untuk melakukan penyelidikan."
Berkata Nyai Rara Santang.
Pangeran Cakrabuana menyambung ucapan adiknya. "Malam sudah jauh larut. Ijinkan
kami melanjutkan perjalanan dan membawa serta sahabat Jatilandak."
Jatilandak mendatangi ibunya.
"Ibu, saya mohon diri."
Jatilandak yang sekarang berpenampilan sebagai seorang pemuda gagah telah
disembuhkan oleh sang ibu berkat petunjuk Kitab Seribu Pengobatan mencium tangan
Purnama. Sambil mengusap kepala puteranya Purnama berkata. "Pergilah, kau tak
usah merisaukan diriku. Aku akan selalu memperhatikan dirimu dari jauh..."
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memperhatikan sementara dalam hati
masing-masing bertanya-tanya bagaimana seorang gadis cantik seperti Purnama bisa
punya seorang putera yang sudah pemuda begitu rupa.
Jatilandak kemudian memberikan penghormatan dengan membungkukkan diri pada Wiro
dan Rayi Jantra lalu melompat ke atas punggung kuda, memacu tunggangannya
mengikuti Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang yang telah lebih dulu
membedal kuda masing-masing.
Setelah tiga orang itu lenyap dalam kegelapan malam wiro bertanya pada Purnama.
"Kau tidak pernah bercerita tidak pernah mengatakan kalau keris kecil itu ada
padamu." "Kejadiannya sewaktu kau meminta aku memata-matai paderi perempuan dari Tiongkok
itu. Senjata itu aku ambil setelah Danang Seta tewas. Sayang aku tidak melihat
siapa pembunuhnya." Menerangkan Purnama lalu keris Gunung Intan yang sejak tadi
dipegangnya diserahkan pada Pendekar 212.
*** TUJUH
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
DALAM perjalanan menuju Brebes untuk menemui Adipati Bayumurti, Rayi Jantra,
Wiro dan Purnama mampir di sebuah kedai minuman. Menyantap ubi dan pisang rebus
ditemani secangkir teh manis hangat pagi hari itu sungguh sedap rasanya.
Pengunjung kedai cukup ramai. Semua orang yang ada di kedai merasa heran melihat
ada tiga orang tamu yang kulit wajah serta tangan dan kakinya berbelang empat
warna. Namun mereka tidak berani memperhatikan secara berlebihan apa lagi
mempergunjingkan karena maklum tiga tamu itu pasti orang dari rimba hijau dunia
persilatan. Wiro dan kawan-kawan melihat pada salah satu dinding papan kedai minuman
menempel sehelai kertas bergambar wajahnya. Pada kertas selebaran itu tertulis
kata-kata dirinya sebagai buronan pembunuh dan siapa mampu menangkap hidup atau
mati akan mendapat hadiah lima ringgit emas. Selebaran itu ditandatangani oleh
Seda Wiralaga, Adipati Losari. Sebetulnya Wiro telah melihat dan membaca
selebaran itu yakni yang dibawa oleh Eyang Sinto Gendeng ketika bertemu beberapa
waktu lalu. "Untung Raja Racun Bumi Langit membuat mukaku belang-belang. Hingga tak ada satu
orangpun di kedai ini yang tahu kalau akulah buronan sialan itu," kata Wiro
sambil tersenyum dan menggaruk kepala.
Selesai membayar, ketika Wiro dan kawan-kawan siap hendak meninggalkan kedai, di
halaman rumah minuman itu berhenti sebuah gerobak. Di samping kusir gerobak
duduk seorang lelaki separuh baya berwajah klimis, bertubuh kurus tinggi. Di
dalam gerobak terdapat tumpukan peti barang serta keranjang. Rayi Jantra dan
Purnama sudah berdiri, namun Wiro memberi isyarat dan tetap saja duduk di bangku
kayu. Matanya memperhatikan tak berkesip lelaki tinggi kurus yang turun dari
gerobak dan melangkah masuk ke dalam kedai, duduk di salah satu sudut.
"Orang yang barusan masuk..." bisik Wiro pada Rayi Jantra dan Purnama. "Dia
mengenakan jas tutup kebesaran. Lihat kancing ke dua dari atas. Bentuk dan
warnanya agak berbeda dari empat kancing lainnya."
"Tampaknya dia seorang pedagang." Kata Rayi Jantra sambil memperlihatkan si
tinggi kurus lalu memandang ke arah gerobak yang penuh dengan barang di halaman
kedai. Dari dalam saku pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kancing baju yang dulu
diberikan Eyang Sepuh Kembar tilu padanya sebelum menemui ajal. Setelah
diperhatikan ternyata kancing baju yang terbuat dari kayu keras itu sama bentuk
dan warnanya dengan empat kancing jas tutup yang dikenakan lelaki tinggi kurus
itu. "Mari kita temui orang itu," kata Wiro pula.
Belum lagi sempat mengupas pisang rebus di atas meja, lelaki klimis tinggi kurus
merasa heran dan terganggu ketika dua orang pemuda dan seorang gadis berwajah
belang-belang mendatangi lalu langsung duduk di hadapannya.
"Ada apa, kalian siapa" Pemain sandiwara topeng?" Orang itu bertanya.
Wiro tersenyum, cepat menjawab. "Bapak, mohon maaf. Kami tidak bermaksud
mengganggu. Jas tutup yang Bapak kenakan. Kami sangat tertarik. Potongannya
bagus dan bahannya pasti mahal."
"Lalu kenapa?" tanya orang di hadapan Wiro sambil mengusap-usap dada pakaiannya
yang barusan dipuji Wiro.
Wiro memegang bahu Rayi Jantra. "Sahabat saya ini sangat tertarik pada jas tutup
yang Bapak kenakan.
Kami tahu Bapak seorang pedagang. Tentu punya banyak uang. Tapi kalau Bapak
tidak keberatan, kami ingin membeli jas tutup Bapak. Maaf kalau kami dianggap
lancang." Selesai bicara Wiro lalu meletakkan sekeping perak murni di atas meja.
Sepasang mata lelaki baya yang mengenakan jas tutup membesar. Dongan sekeping
perak itu dia bisa membuat atau membeli dua bahkan mungkin tiga helai jas tutup
baru. "Pemuda gondrong muka belang, kau bicara tidak main-main?"
"Tentu saja tidak," jawab Wiro. "Hanya saja kami mohon maaf. Kalau Bapak sudi
menjual jas itu, Bapak harus menyerahkannya sekarang juga."
"Eh, gila kau gondrongi!" Si tinggi kurus tampak seperti marah. Tapi kemudian
tanpa banyak bicara lagi orang ini ambil kepingan perak murni dan segera
dimasukkan ke dalam saku celana. Lalu dia membuka jas tutup yang dikenakannya,
dilipat baik-baik dan diletakkan di atas meja.
"Terima kasih, bolehkan kami mengetahui siapa nama Bapak?" tanya Pendekar 212.
"Namaku Bentar Jagung. Aku pedagang. Semua orang di daerah ini tahu diriku."
"Ah, Bapak orang terkenal rupanya...."
Dipuji begitu rupa pedagang bernama Bentar Jagung itu berkata. "Jika kalian juga
butuh celanaku, aku bersedia menjualnya. Tidak mengapa pulang ke rumah cuma
pakal kolor. Ha...ha...ha."
"Terima kasih. Sahabat saya ini hanya ingin membeli jas tutup." Wiro mengambil
jas di atas meja, pura-pura memperhatikan dengan penuh kagum. Lalu berkata
"Bagus sekali. Jarang orang yang punya jas tutup seperti ini. Boleh kami tahu
dimana Bapak menjahitnya" Atau mungkin membelinya sudah dalam keadaan jadi?"
"Jas tutup itu aku dapat dari seorang sahabat. Namanya Dali Rumpun. Seseorang
memberikan jas ini padanya dengan perintah agar jas tutup itu dibakar. Dia tidak
membakar, malah menjualnya padaku."
"Aneh, ada orang menyuruh bakar pakaian sebagus dan semahal ini. Bapak Bentar
Jegung, apa Bapak tahu siapa orang yang menyuruh bakar jas tutup itu?"
Si pedagang bermuka klimis gelengkan kepala.
Wiro tahu orang ini berdusta.
"Kita sudah bersahabat. Mengapa Bapak tidak mau menerangkan..."
"Aku tak mau mengatakan." Jawab si pedagang memotong ucapan Wiro.
Wiro meletakkan lagi sekeping perak di atas meja. Agak lebih kecil dari kepingan
perak yang tadi.
"Itu untuk pembayar harga celanaku?" tanya Bentar Jegung. Lalu dia berdiri.
Kedua tangannya siap hendak menanggalkan celana panjang lurik hitam yang
dikenakannya. "Tidak," jawab Wiro. "Itu hadiah kalau Bapak mau memberitahu orang yang
memberikan jas tutup itu pada Dali Rumpun."
Bentar Jegung mengusap-usap dagunya beberapa lama. Bibir bawah digigit-gigit.
Sambil berpikir-pikir dia memandang seputar kedai. Akhirnya dia memandang pada
Wiro kembali dan berkata.
"Baik, akan kukatakan padamu. Tapi hanya kau sendiri yang tahu. Jangan diberi
tahu pada orang lain.
Termasuk dua temanmu ini."
"Tentu! Tak akan saya beri tahu pada orang lain," kata murid Sinto Gendeng pula
sambil senyum-senyum.
"Kita sudah bersahabat. Jadi harus saling percaya. Bukan begitu?"
Bentar Jegung merunduk, dekatkan mulutnya ke telinga kiri Wiro lalu membisikkan
sebuah nama. Sepasang alis mata Pendekar 212 berjingkat ke atas, mata membesar lalu mulut
tersenyum. "Terima kasih Bapak. Terima kasih... Kami berangkat duluan."
"Ya... ya." Sahut Bentar Jogung sambil mengusap-usap kepingan perak dalam saku
celana panjang yang kini jadi dua.
Wiro serahkan jas tutup pada Rayi Jantra. Lalu ketiga orang itu segera
tinggalkan kedai minuman.
Setelah meninggalkan kedai minuman cukup jauh Purnama berkata. "Kita ke timur,
mencari Adipati Brebes. Semua pekerjaan ini menyangkut dadu setan. Bagaimana
dengan Pedang Naga Merah. Bukankah kau juga harus mendapatkan senjata sakti
itu?" "Pedang Naga Merah sampai saat ini masih berada di tangan Nio Nio Nikouw. Aku
tidak begitu berkhawatir. Cepat atau lambat paderl perempuan itu akan muncul
sendiri." Jawab Wiro.
"Aku masih sangat penasaran dengan lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan. Gara-gara
kelalaianku hal itu terjadi...."
"Semua urusan kita hadapi satu persatu. Mudah-mudahan kitab itu bisa kita
temukan." Wiro pegang lengan Purnama. Lalu keduanya lari mengejar Rayi Jantra
yang berada di sebelah depan.
"Wiro, nama siapa yang tadi dibisikkan Bentar Jegung padamu waktu di kedai?"
bertanya Purnama.
"Kau tak bakalan percaya." Ucap Wiro.
"Siapa?"
"Bayumurti. Adipati Brebes yang hendak kita temui."
"Berarti, jangan-jangan dialah dalang semua pembunuhan sekaligus jadi pengelola
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga."
"Kita lihat saja nanti...," jawab Pendekar 212.
*** KEMBALI ke kedai minuman. Hanya sesaat setelah Wiro dan kawan-kawan meninggalkan
tempat itu pedagang bernama Bentar Jegung dengan cepat keluar dari kedai. Dia
mengambil sehelai pakaian hitam dari atas gerobak lalu menyelinap ke balik
sebuah pohon besar. Di balik pohon itu tertambat seekor kuda coklat.
Bentar Jegung lepaskan tali tambatan kuda lalu melompat ke punggung binatang
itu. Gerobak dan kusir ditinggal begitu saja. Kuda tunggangannya dipacu ke arah
timur melewati jalan pintas yang tak banyak diketahui orang.
*** KETIKA Wiro dan kawan-kawan sampai di Gedung Kadipaten Brebes, matahari telah
tenggelam dan keadaan mulai gelap. Tidak seperti biasanya, di depan pintu
gerbang tampak banyak sekali para pengawal. Di tembok halaman kiri kanan
kelihatan sekitar empat puluh perajurit berjaga-jaga.
"Aku punya firasat, Adipati Brebes sudah tahu kedatangan kita." Ucap Wiro. Dia
lebih dulu sampai di depan pintu gerbang. Pengawal Kepala cepat mendatangi dan
menegur galak. Orangnya bermuka hitam bopengan.
"Kalian manusia-manusia muka belang. Ada keperluan apa" Lekas menyingkir dari
sini kalau tidak mau kugebuk kepala kalian dengan tombak ini!" Kepala Pengawal
Pintu Gerbang melintangkan tombak besi di depan dada.
Wiro tersenyum dan garuk kepala.
"Kau perajurit hebat. Kedatangan kami bertiga untuk menghadap Adipati
Bayumurti."
Kepala Pengawal perhatikan ke tiga orang itu beberapa ketika lalu bertanya pada
Pendekar 212. "Kau siapa"!"
"Namaku Wiro. Ditambah Sableng. Jadi Wiro Sableng," jawab murid Sinto Gendeng.
"Hah!" Kepala Pengawal unjukkan wajah kaget. Dia tidak menyangka pendekar
terkenal ini mukanya belang-belang dan datang lebih cepat dari yang diduga.
"Adipati memang menunggu kedatanganmu! Yang aku dengar Pendekar Dua Satu Dua
Wiro Sableng mukanya tidak belang-belang...."
"Soal tampangku mengapa dipermasalahkan. Kami bertiga tengah mempelajari ilmu
bengkarung." Jawab Wiro pula.
"Hmmm, begitu?" ujar si muka bopeng percaya saja. 'Tapi, hanya kau seorang yang
diperkenankan masuk!"
"Kami datang bertiga dan ingin masuk bertiga."
"Tidak bisa! Kalau kau membangkang silahkan minggat dari sini!"
Wiro garuk kepala.
"Kami diutus oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang dari Pajajaran."
Mendengar keterangan Wiro, Kepala Pengawal Pintu Gerbang lantas berkata. "Kalian
tunggu disini. Jangan berani bergerak barang sejengkalpun! Aku akan melapor dulu
pada Adipati." Orang ini masuk ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi. Dia
membuka pintu gerbang lebih lebar dan memberi isyarat agar ke tiga orang itu
masuk. Dalam perjalanan dari pintu gerbang menuju gedung Kadipaten sekitar dua
puluh perajurit mengawal di sisi kiri kanan.
"Lihat sikap para pengawal itu..." bisik Wiro pada Rayi Jantra. "Ada yang tidak
beres." Purnama mendekati Wiro. Lalu ganti berbisik. "Kalau benar Bayumurti menjadi
dalang semua kejadian ini, rasanya dia tidak akan bertindak seperti ini. Pasti
dia sudah memerintahkan para pengawal untuk meringkus kita."
"Bayumurti tahu kita bukan tikus yang mudah diringkus. Pasti dia telah
merencanakan satu jebakan untuk kita." Ucap Rayi Jantra.
"Ada apa bicara berbisik-bisik"!" bentak Kepala Pengawal bermuka bopeng, "Jalan
terus!" Wiro dan kawan-kawan dibawa dan disuruh menunggu di pendopo gedung Kadipaten.
Kepala Pengawal masuk ke dalam gedung memberi tahu atasannya. Tak lama kemudian
Adipati Bayumurti keluar menemui tamunya. Berdiri di hadapan ketiga orang itu
sang Adipati tampak heran. Seumur hidup dia belum pernah melihat orang bermuka
belang empat warna. Yang mana Pendekar 212 Wiro Sableng" Pemuda gondrong di
hadapannya. "Apa benar kalian datang diutus oleh putera-puteri Prabu Siliwangi dari
Pajajaran?" Bayumurti bertanya.
"Benar sekali Adipati." Jawab Wiro. Murid Sinto Gendeng merasa heran. Adipati
ini tidak menanyakan perihal mukanya dan muka Rayi Jantra serta Purnama yang
belang-belang. Apakah dia sudah dilapori oleh pengawal muka bopeng sebelumnya"
Atau sudah lebih dulu mengetahui keadaan diri mereka. Tapi bagaimana dan siapa
yang memberi tahu"
Bayumurti menatap Rayi Jantra sejurus lalu bertanya. "Apakah aku mengenal
dirimu?" "Aku Rayi Jantra."
"Rayi Jantra! Kepala Pasukan Kadipaten Losari!"
"Betul sekali Adipati."
"Mengapa keadaanmu seperti ini. Bukankah seharusnya kau berada di Losari?"
Bayumurti perhatikan jas tutup yang ada di kepitan Rayi Jantra. Melirik ke arah
Purnama lalu karena Rayi Jantra tak menjawab pertanyaannya, Adipati Brebes ini
berpaling pada pemuda gondrong dihadapannya. "Kau pasti pendekar terkenal Wiro
Sableng. Pendekar Dua Satu Dua...."
"Betul sekali Adipati. Maaf kalau kedatangan kami mengganggumu. Tapi kami tidak
akan lama. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang ingin mengetahui bagaimana
ceritanya keris yang pernah diberikan oleh Pangeran Kumbara Ajiwinata pada
Adipati bisa berada diluaran dan sempat membunuh seseorang di Losari?"
Wiro lantas keluarkan Keris Gunung Intan tak bersarung. Adipati Bayumurti tekap
mulut dan dagunya dengan tangan kanan, berusaha menindih keterkejutannya.
"Aku sendiri tidak mengerti bagaimana senjata pemberian Pangeran Kumbara itu
berada diluaran...."
"Bagaimana mungkin Adipati bisa berkata begitu?" tanya Rayi Jantra. "Bukankah
seharusnya senjata ini disimpan di satu tempat yang terjaga baik?"
"Keris itu...." Bayumurti gelengkan kepala dan tidak meneruskan ucapannya."
"Adipati, kami tidak memaksa kalau kau tidak mau memberi tahu." Kata Wiro pula.
Lalu dia mengambil jas tutup yang ada dalam kepitan Rayi Jantra. Sambil
membentangkan pakaian itu Wiro berkata. "Jas ini kami dapat dari seseorang.
Orang itu mengatakan jas tutup ini adalah milik Adipati. Kami punya dugaan
pemilik jas tutup ini adalah pembunuh seorang sahabat kami seorang nenek bernama
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Sebelum dibunuh rupanya nenek itu masih sempat
menyambar salah satu kancing jas tutup. Namun kami tidak percaya dan tak mungkin
mau menduga kalau Adipatilah pembunuh nenek itu." Wiro ambil kancing kayu yang
ada dalam saku celananya, lalu ditunjukkan pada Bayumurti. Kancing kayu itu
sangat sama dengan empat kancing yang melekat di jas tutup.
Setelah memperhatikan sebentar, Bayumurti bertanya.
"Siapa orang yang memberikan jas tutup dan mengatakan kalau jas tutup itu adalah
milikku?" "Namanya Bentar Jegung. Katanya dia seorang pedagang terkenal."
"Begitu?" Bayumurti tersenyum.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dan seorang lelaki tinggi kurus
berpakaian serba hitam tahu-tahu sudah berdiri di tempat itu. Bentar Jegung!
Karuan saja Wiro, Rayi Jantra dan Purnama jadi heran melihat bagaimana pedagang
tinggi kurus yang menjual jas tutup di kedai minuman tadi pagi tahu-tahu kini
berada di Gedung Kadipaten! Ketiga orang ini serta merta bersikap penuh waspada.
Masih tersenyum Bayumurti bertanya pada Wiro. "Pendekar, ini orang yang kau
maksudkan?"
"Benar sekali Adipati." Jawab Wiro dan agar orang tidak merasa di atas angin dia
sengaja tidak bertanya mengapa orang itu kini berada di tempat itu atau apa
hubungannya dengan sang Adipati.
Lelaki tinggi kurus membuka mulut "Namaku bukan Bentar Jegung. Tapi Ki Surat
Balangnipa. Aku adalah adik dari Ki Sentot Balangnipa!"
Kejut Wiro dan kawan-kawan terutama Rayi Jantra bukan alang kepalang. Tapi
mereka masih bisa bersikap tenang. Kejutan terjadi lagi ketika Adipati Bayumurti
berkata. "Dia adalah orang kepercayaan yang bekerja sebagai mata-mata."
Keadaan di pendopo untuk beberapa lamanya hening seperti dikuburan. Keheningan
itu tiba-tiba dipecahkan oleh gelak tawa Adipati Bayumurti.
"Kalian tak perlu terkejut, tak usah takut! Kita adalah orang-orang di pihak
yang sama. Aku tahu kalian tengah menyelidik soal apa. Aku akan memberi tahu
siapa yang jadi biang racun semua kejadian ini. Namun sehabis berjalan jauh|
kalian tentu letih, haus dan lapar. Sementara menunggu makan malam disiapkan,
silahkan mencicipi teh hangat lebih dulu."
'"Adipati, kau baik sekali. Tak usah repot-repot. Mungkin kau bisa menerangkan
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa maksud ucapanmu bahwa kita adalah orang-orang dipihak yang sama?" bertanya
Wiro. "Sahabat, tunda dulu pertanyaanmu itu. Mari kita mereguk minuman lebih dulu."
Jawab Adipati Bayumurti sambil memegang pundak kiri Pendekar 212 dengan tangan
kiri. Sembari memegang Adipati ini kerahkan tenaga dalam hingga murid Sinto
Gendeng merasa bahunya laksana ditindih batu besar ratusan kati. Orang yang tak
punya kemampuan apa-apa saat itu juga pasti jatuh ambruk bahkan tulang pundaknya
bisa patah! Sadar orang hendak menjajal kekuatan dirinya, Wiro segera kerahkan hawa sakti ke
pundak kiri. Diam-diam Adipati Bayumurti merasa kaget ketika ada satu kekuatan dahsyat
menerpa tangan kirinya.
Sebelum tangan kiri terpental dia cepat menarik. Memandang ke bawah Bayumurti
melihat ada kepulan asap tipis keluar dari lantai batu yang berada di bawah
kedua injakan kakinya. Adipati yang masih muda belia ini maklum kalau mau pemuda
gondrong bermuka belang di hadapannya itu bisa membuatnya mati konyol, paling
tidak luka di dalam saat itu juga. Ternyata nama besar Pendekar 212 yang dikenal
di delapan penjuru angin bukan nama kosong belaka.
"Aku terpaksa merubah rencana semula. Aku tak mungkin menangani sendiri manusia
satu ini. Apalagi dia membawa dua teman yang pasti tingkat kepandaiannya tidak
rendah." Membatin Bayumurti lalu untuk menutupi keterkejutannya dia sengaja
sunggingkan senyum. Apa yang terjadi tidak luput dari penglihatan Ki Surat
Balangnipa. Diam-diam nyali orang ini mulai bergetar.
Saat itu seorang pelayan perempuan keluar membawa nampan besar berisi lima
cangkir teh manis hangat dicampur jahe. Setelah masing-masing mengambil satu
cangkir, Adipati Bayumurti segera mempersilahkan ketiga tamunya meneguk minuman.
Karena memang haus Rayi Jantra segera saja hendak meneguk minumannya. Tapi Wiro
yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dan bersikap waspada saat itu juga entah
mengapa menaruh curiga dan menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Dia melihat ada
selarik genangan cairan biru di dalam teh. Murid Sinto Gendeng serta merta
berteriak. "Jangan diminum! Teh itu ada racunnya!"
Wiro lemparkan cangkir tanah yang dipegangnya hingga menghantam cangkir yang ada
di depan mulut Rayi Jantra. Duah buah cangkir pecah berantakan. Begitu cairan
dalam cangkir menyentuh lantai, sekilas terlihat asap kebiruan mengepul.
"Bayumurti, kami datang tidak bermaksud jahat! Mengapa kau ingin membunuh kami
dengan racun yang dimasukkan dalam minuman"!"
Pemuda yang belum satu minggu menjabat sebagai Adipati Brebes itu ganda tertawa.
"Siapa bilang kedatangan kalian tidak dibekali niat jahat! Pendekar Dua Satu
Dua, aku bersedia melepaskan dua temanmu jika kau mau menyerahkan diri. Kau aku
tangkap karena telah melakukan pembunuhan atas diri Adipati Brebes yang lama!"
"Ah! Rupanya kau sudah jadi kaki tangan Adipati Losari!"
"Hukum berlaku dimana-mana!" jawab Bayumurti. "Apakah kau mau menyerah secara
baik-baik atau aku harus mematahkan batang lehermu lebih dulu"!"
Pendekar 212 tertawa lebar. Dari bentrokan tenaga dalam tadi dia sudah tahu
sampai dimana tingkat kehebatan sang Adipati. Sambil garuk-garuk kepala dia
berkata. "Belum satu minggu jadi Adipati sifatmu sudah sombong sekali. Sayang
sekali. Jabatanmu sekarang punya masa depan cemerlang. Tapi agaknya kau sengaja
menghancurkan diri sendiri. Siapa yang membujuk dan menipumu, Bayumurti?"
Rahang Bayumurti menggembung. Sepuluh jari tangan diremas hingga mengeluarkan
suara berkeretekan.
Dia seperti hendak menelan dan melumat Wiro. Namun sampai saat itu dia tidak
membuat gerakan atau tanda-tanda hendak menyerang.
Tanpa banyak bicara Wiro segera melesat menerjang Bayumurti. Dia membuka
serangan dengan jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan kanan melesat ke arah
kepala Bayumurti. Lawan yang diserang yang sadar bahwa tingkat kepandaiannya
masih jauh di bawah Pendekar 212 berlaku cerdik. Setelah melompat mundur dia
berteriak. "Ki Surat! Ringkus pembunuh ini!"
Si tinggi kurus berpakaian serba hitam menyeringai. Didahului bentakan keras dia
melesat ke arah Wiro.
Sementara tubuhnya melayang di udara dua tangannya mendadak berubah panjang.
Sepuluh ujung kuku mencuat menyerupai tali temali. Bersilang berwarna merah dan
mengepulkan asap. Inilah yang disebut Ilmu Jaring Api. Sudah banyak musuh yang
kena diringkus Ki Surat Balangnipa. Selain jarang yang bisa meloloskan diri,
sekali masuk dalam libatan jaring, musuh akan menemui ajal dengan tubuh hangus
tercabik-cabik.
"Ki Surat Balangnipa! Aku lawanmu!" Tiba-tiba Rayi Jantra berteriak lantang.
Masih mengempit jas tutup di ketiak kiri dia menghadang gerakan orang.
Ki Surat Balangnipa tertawa mengejek. "Rupanya kau sudah kepingin mati lebih
dulu. Majulah! Biar aku balaskan dendam kesumat kakakku!"
"Sett... settt!"
Sepuluh tali temali merah menderu, melibas ke arah Rayi Jantra. Kepala Pasukan
Kadipaten Losari ini dorongkan dua tangannya. Dua larik cahaya putih berkilau
berkiblat. "Dess! Taarr...tarrr!"
Ki Surat Balangnipa tersentak kaget ketika melihat sepuluh tali temali merah
yang siap hendak menggulung Rayi Jantra terdorong ke belakang. Orang ini segera
kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya.
"Wusss!"
Sepuluh tali temali merah menggebubu dahsyat. Saat itu juga terdengar seruan
Rayi Jantra. Sekujur tubuhnya terlibat oleh sepuluh tali temali merah. Pakaian
kepulkan asap, termasuk jas tutup yang dikepit di ketiak kiri. Daging tubuh
luka. Ki Surat Balangnipa silangkan dua lengan. Sekali dia menarik kedua lengan
itu maka hangus dan hancurlah tubuh Rayi Jantra. Namun sebelum ajal berpantang
mati! Dari samping kiri berkelebat bayangan biru Purnama. Bersamaan dengan itu
melesat cahaya biru begemerlap ke arah Ki Surat Balangnipa.
*** DELAPAN GADIS CANTIK dari Latanahsilam itu melepas Ilmu Menahan Raga Menyerap Tenaga,
membuat Ki Surat Balangnipa berseru kaget. Kakek ini tidak mampu gerakkan dua
tangan yang bersilang hingga dia tak bisa meringkus Rayi Jantra dengan Ilmu
Jaring api. Malah bukan cuma tangan, kedua kakinyapun kini terasa lemas tak
mampu digerakkan.
"Perempuan jahanam! Apa yang kau lakukan pada diriku!" teriak Ki Surat
Balangnipa pada Purnama.
Walau anggota badan tak berdaya namun Ki Surat bisa bersuara. Satu jotosan keras
tiba-tiba menghantam wajahnya, membuat hidungnya remuk, bibir pecah, darah
mengucur. Dalam kalapnya Rayi Jantra siap menghabisi lawan yang tidak berdaya
ini dengan pukulan tepi telapak tangan ke batok kepala. Purnama cepat menahan
bahu pemuda itu seraya berkata. "Jangan dibunuh. Kita perlu dia hidup-hidup
untuk dimintai keterangan. Tuan besarnya sudah tak ada lagi di tempat ini."
Saat itu baru Rayi Jantra dan Wiro menyadari kalau Adipati Bayumurti tidak ada
lagi di tempat itu.
Sementara di luar sana puluhan perajurit pengawal Gedung Kadipaten datang
menyerbu dengan berbagai senjata di tangan. Wiro cepat panggul tubuh Ki Surat
Balangnipa. Beberapa perajurit menghamburkan panah.
Namun sasaran telah lenyap dalam kegelapan malam.
"Kalian mau membawa aku kemana"!" Ki Surat Balangnipa berteriak.
"Huss! Tenang sajalah! Kita jalan-jalan sebentar!" jawab Pendekar 212 sambil
mengeplak kepala Bentar Jegung alias Ki Surat Balangnipa.
Wiro membawa mata-mata kaki tangan Adipati Brebes itu ke sebuah parit busuk di
pinggiran kota. Di tepi parit dia lebih dulu menggeledah celana Ki Surat
Balangnipa dan menemukan dua keping perak yang tadi pagi diberikannya di kedai
minuman. "Bangsat pencuri! Perak itu sudah jadi milikku! Kembalikan!" teriak Ki Surat
Balangnipa marah.
"Kau mendapatkannya karena menipuku!" jawab Wiro lalu masukkan dua keping perak
ke kantong celananya. Tanpa perdulikan kutuk serapah orang Wiro kemudian
ceburkan Ki Surat Balangnipa ke dalam kubangan hingga hanya tinggal kepala saja
yang muncul di permukaan air berlumpur kotor dan busuk itu.
"Bentar Jegung! Ki Surat Balangnipa! Siapapun namamu! Katakan siapa sebenarnya
pemilik jas tutup yang kau jual padaku itu!"
"Di warung minuman pagi tadi aku sudah menerangkan! Pakaian itu milik Adipati
Bayumurti. Dia memberikan pada sahabatku Dali Rumpun. Dali disuruh membakar
pakaian itu tapi dia menjualnya padaku."
"Kau berdusta!" kata Wiro pula dan kembali tangannya mengeplak batok kepala Ki
Surat Balangnipa. "Aku tahu Bayumurti yang memerintahmu mengarang cerita untuk
menjebakku! Apa perlunya bagimu pakaian yang kebesaran ini. Dari potongan jas
tutup itu aku juga tahu pemiliknya adalah seorang berperut gendut buncit.
Ayo katakan siapa orangnya"!"
"Aku tidak tahu!"
"Pendusta sialan!" Kini Wiro jitak kening Ki Surat Balangnipa. Karena bukan
jitakan biasa maka kening itu jadi benjol bengkak. Ki Surat Balangnipa
gembungkan rahang menahan sakit.
"Kau pernah dengar Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?" Wiro kembali ajukan
pertanyaan. Ki Surat Balangnipa gelengkan kepala.
"Plaaak!" Wiro keplak jidat Ki Surat Balangnipa di bagian yang benjol hingga
orang ini menjerit kesakitan.
"Kalau kakakmu Ki Sentot Balangnipa adalah kaki tangan Istana Seribu Rejeki
Seribu Sorga, sedikit banyak paling tidak kau juga ikut jadi cecunguknya!"
"Aku tak mau bicara! Kau mau bunuh aku silahkan saja! Apa kau kira aku takut
mati".'"
Wiro tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang. "Nyalimu hebat juga! Kau pasti
punya nyawa cadangan hingga sesumbar tidak takut mati!" Wiro usap-usap belakang
kepala Ki Surat Balangnipa lalu bertanya.
"Katakan kemana kaburnya Adipati Bayumurti."
"Aku tidak tahu."
"Kau pasti tahu!" bentak Rayi Jantra. Tidak dapat menahan jengkel dia hantamkan
satu jotosan ke mata kiri Ki Surat Balangnipa. Kalau jotosan ini mengenai
sasarannya pasti mata kiri Ki Surat akan hancur. Wiro cepat pegang lengan Rayi
Jantra seraya berkata.
"Sebelum kita hajar, ada baiknya kita beri makan dulu sampai kenyang cecunguk
pendusta ini!" Melirik ke kiri Wiro melihat seekor kodok buduk coklat sejak tadi
ada di atas sebuah batu. Wiro cepat tangkap binatang ini lalu bertanya lagi pada
Ki Surat kemana perginya Bayumurti. Yang ditanya tetap menjawab tidak tahu.
"Agar kau lebih lancar bicara dusta biar aku berikan makanan enak untukmu! Kata
orang kodok goreng enak sekali! Kurasa kodok mentah jauh lebih sedap! Nah,
makanlah!" Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Wiro pencet pipi Ki Surat
Balangnipa. Begitu mulut terbuka tangan kanan Wiro sumpalkan kodok hidup ke
dalam mulut itu.
"Huk... huk... huk!" Ki Surat Balangnipa berusaha semburkan kodok buduk hidup
yang mencuit dan melejang-lejang di dalam mulut tapi tidak bisa karena Wiro
dengan cepat menyumpalkan lumpur busuk ke dalam mulut itu. Ki Surat megap-megap,
mata terbeliak, tenggorokan turun naik.
"Kata orang makanan tanpa bumbu penyedap tidak enak. Ki Surat ini aku berikan
bumbu penyedap padamu!" Sambil tertawa-tawa dari pingggir parit Wiro sunggingkan
pantat tepat ke muka Ki Surat. Lalu buutt! Wiro pancarkan kentut keras dan
panjang dan tentu saja bau!
"Huk... huk... huk!"
"Aku akan keluarkan kodok itu dari dalam mulutmu. Kau mau bicara"!" Wiro
bertanya. Ki Surat Balangnipa dalam keadaan megap-megap masih nekad gelengkan kepala.
"Sialan!" maki murid Sinto Gendeng.
"Biar kupecahkan saja kepalanya sekarang juga!" kata Rayi Jantra. "Habis makan
enak dia perlu diberi minuman lezat!" Lalu Wiro benamkan kepala Ki Surat
berulang kali ke dalam parit busuk. Terakhir sekali kepala itu muncul di
permukaan parit, Ki Surat Balangnipa sudah tidak sadarkan diri lagi.
"Manusia-manusia pengecut! Beraninya menganiaya orang yang tidak berdaya!" Satu
bentakan tiba-tiba terdengar disusul suara berkesiuran.
"Sett...sett... settt!"
"Awas senjata rahasia!" teriak Wiro seraya pukulkan tangan kiri ke depan. Sebuah
benda hitam panjang sejengkal terpental di hantam angin pukulan. Rayi Jantra dan
Purnama sama-sama jatuhkan diri ke tanah ketika dua benda yang sama melesat dan
lewat di atas punggung mereka. Salah satu dari senjata rahasia itu menancap pada
batang pohon di samping kiri Purnama. Wiro cepat mencabut dan memperhatikan.
"Paku berduri..." ucap Wiro.
"Aku pernah melihat senjata rahasia ini sebelumnya. Sewaktu menguntit paderi
perempuan dari Tiongkok itu di satu pekuburan di Losari." Berkata Purnama.
"Aku tahu siapa pemilik senjata ini," kata Rayi Jantra sambil perhatikan paku
berduri yang dipegang Wiro.
"Siapa?" tanya Wiro pula.
"Bayumurti."
"Kurang ajar! Jangan-jangan dia dalang semua kekacauan ini." Kata Wiro lalu dia
masukkan paku berduri ke dalam kantong celananya. Pada saat itulah entah dari
mana datangnya tiba-tiba bergelimpangan dua sosok tubuh berpakaian jubah kuning.
Satu tergeletak kaku tak bergerak, satunya menangis ha-hu ha-hu! Yang menangis
ini adalah seorang kakek muka merah berkepala botak. Kaget Wiro dan kawan-kawan
bukan kepalang. Terlebih dia mengenali kakek muka merah ini adalah orang yang
dilihatnya pada malam tewasnya Jumena. Orang ini kemudian muncul di teluk Losari
bersama Pengging Kuntala mengenakan jubah biru.
Orang kedua yang tergeletak kaku ternyata adalah seorang nenek rambut kelabu.
Mata merah mendelik tak berkesip. Telinga dicanteli anting terbuat dari tulang
jari manusia. Di lehernya menancap sebuah benda hijau tipis, yang ketika
diperhatikan ternyata benda itu adalah sehelai daun mengkudu. Dari sudut bibir
si nenek meleleh darah kental.
"Aneh, mengapa nenek kembar jejadian Eyang Sepuh Kembar tilu bisa bersama-sama
dengan kakek muka merah?" pikir Wiro.
Tiba-tiba kakek kepala botak gerakkan dua tangan ke atas kepala. Ketika tangan
itu menarik bagian kepala botak sebelah atas, muncullah satu kepala nenek rambut
kelabu. "Kalian berdua rupanya!" seru Pendekar 212. Kedua nenek ini bukan lain adalah
kembaran jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Apa yang terjadi?" tanya Rayi Jantra.
"Ha-hu ha-hu..."
Wiro jadi curiga dan cekal bahu nenek yang tadi pakai topeng kakek muka merah
kepala botak. "Nek, jadi kau orang yang menyaru memakai topeng kakek muka merah.
Membunuh Jumena dan muncul di Teluk Losari bersama kaki tangan Ratu Laut Utara!
Ternyata kau musuh dalam selimut!"
"Ha-hu ha-hu!" Si nenek gelengkan kepala dan goyangkan tangan kiri berulang
kali. Dia menunjuk-nunjuk pada kembarannya yang tergeletak tak bergerak lalu
membanting-banting topeng kakek muka merah seraya tangan kiri menunjuk ke arah
kejauhan. Purnama jatuhkan diri di samping nenek yang tergeletak di tanah.
Setelah memeriksa, gadis dari alam 1200 tahun silam ini gelengkan kepala. "Tak
mungkin ditolong. Ajalnya sudah di depan mata. Dia tewas akibat daun pantangan
yang menancap di leher. Lagi pula dia bukan mahluk biasa...."
Mendengar ucapan Purnama, nenek satunya menggerung keras. Dia nekad hendak
mencabut daun mengkudu di leher saudara kembarnya namun cepat dicegah oleh Wiro.
"Jangan sentuh daun itu! Kau bisa celaka!" Wiro berpaling pada Purnama. "Mungkin
bisa dicoba penyembuhan dengan petunjuk Kitab Seribu Pengobatan...?"
Purnama pejamkan mata. Sesaat kemudian mata dibuka. "Aku hanya bisa berusaha..."
Lalu gadis dari Latanahsilam ini sambung ucapannya. "Kitab Seribu Pengobatan.
Halaman seratus sembilan puluh enam.
Pengobatan ke..."
Belum sempat Purnama menyelesaikan ucapan yang dilafalkan berdasarkan apa yang
telah diserapnya dari Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba nenek yang tergeletak di
tanah keluarkan suara mengorok keras lalu hek!
Nyawanya putus.
Bersamaan dengan itu sosoknya mengepulkan asap kelabu, membumbung ke udara dan
akhirnya lenyap dalam kegelapan malam. Yang masih tertinggal di tanah adalah
daun mengkudu yang tadi menancap di lehernya. Nenek satunya langsung menjerit
Rayi Jantra dan Wiro berusaha menenangkan.
"Nek, kau harus menceritakan pada kami apa yang terjadi dengan saudaramu
sebelumnya. Kau juga harus memberi tahu dari mana kau mendapatkan topeng kakek
muka merah itu."
"Ha-hu ha-hu..." Si nenek gulingkan diri di tanah, meraung meratapi kematian
saudara kembarnya yang kemudian secara aneh jasadnya lenyap ke alam gaib.
Sementara menunggu sampai si nenek tenang Wiro, Purnama dan Rayi Jantra dapatkan
belang empat warna yang ada pada wajah dan tubuh mereka kini tinggal tiga yakni
Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merah, biru dan kuning. Warna hijau telah lenyap. Ini sesuai dengan petunjuk
dalam Kitab Seribu Pengobatan bahwa empat warna itu akan hilang satu persatu
selama empat hari.
Setelah nenek rambut kelabu tampak agak tenang Wiro dan Purnama serta Rayi
Jantra berusaha mendapat keterangan. Setiap ditanya nenek gagu ini selalu
menunjuk ke arah kejauhan. Setiap kali keluarkan suara ha-hu-ha-hu dia selalu
membanting topeng kakek muka merah ke tanah. Wiro ambil topeng kakek muka merah
dari tangan si nenek. Wiro ingat sebelumnya dia telah meminta tolong pada dua
nenek kembar untuk menyelidik dan mencari siapa adanya kakek muka merah
berkepala botak. Ternyata salah seorang dari kembar muncul membawa sebuah topeng
kakek muka merah botak dan sekaligus membawa saudaranya yang tengah sekarat.
Berarti manusia dengan ujud seorang kakek muka merah kepala botak itu sebenarnya
tak pernah ada.
Keberadaannya hanyalah seseorang yang mengenakan topeng untuk menutupi jati
Rencong Pemburu Tabib 2 Pendekar Pulau Neraka 30 Dewi Asmara Darah Ratu Penggoda Siluman Ayu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama