Ceritasilat Novel Online

Bulan Biru Di Mataram 3

Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram Bagian 3


dan hitam. Pangeran Matahari yang terkena sambaran cahaya yang keluar dari
Lentera Iblis mencelat ke udara, meledak hancur tak karuan rupa dalam keadaan
hancur. Sebelum meledak satu sosok aneh berwarna merah keluar dari tubuh sang
Pangeran. Walau samar namun Wiro dan kawan-kawan masih bisa melihat betapa sosok
itu luar biasa mengerikan.
Kepala hanya sebelah. Bagian mata merupakan rongga merah dalam. Mulut pencong
mencuatkan gigi panjang hitam. Dada dan perut bolong. Sebagian usus besar keluar
menggelembung. Tangan serta kaki hanya tinggal satu.
Seluruh kulit mengelupas merah! Di balik gundukan batu untuk beberapa lama Wiro,
Ratu Randang, dan Sakuntaladewi sama-sama mendelik melihat makhluk yang tadi keluar dari dalam tubuh
Pangeran Matahari. Tengkuk masing-masing terasa dingin padahal rimba yang
terbakar menghampar hawa panas!
Hutan jati diselimuti kesunyian. Sesekali hanya terdengar suara gemeretak ranting dan dedaunan yang terbakar. Serombongan burung yang terbang terlalu rendah di atas hutan begitu kena
sengatan kobaran api mencicit keras, jatuh ke tanah dalam keadaan gosong!
*** Di satu tempat sunyi di lereng barat Gunung Merapi awan kelabu yang berarak di
langit perlahan-lahan berubah putih bersih. Lalu awan putih ini melayang ke
timur, untuk beberapa lama diam menggantung di udara tinggi kemudian berubah menjadi biru.
Mimba Purana yang tengah duduk bersila di satu cabang pohon sejak tadi
memperhatikan keadaan langit.
Perubahan awan putih menjadi kebiruan tidak lepas dari pandangan matanya. Anak
sakti bergelar Satria Lonceng Dewa ini letakkan dua telapak tangan di atas dada.
Lalu dua telapak tangan disatukan dan digosok satu sama lain.
Setelah itu dua telapak dipisah. Tangan kiri diletakkan di kepala sebelah
belakang sementara sepasang mata memperhatikan telapak tangan kanan yang
dikembang. Di atas telapak tangan itu kelihatan satu lingkaran putih. Di dalam lingkaran
putih ada warna biru memenuhi dua pertiga luas lingkaran putih. Beberapa waktu
sebe- lumnya warna biru itu baru setengah luas lingkaran.
Melihat hal ini anak lelaki berusia dua belas tahun yang mencantol anting-anting
merah di telinga kanan tampak berseri wajahnya. Perlahan dia berucap.
"Luas warna biru dalam lingkaran putih bertambah besar. Berarti malam nanti
bulan purnama hari ke empat belas akan muncul dengan warna kebiru-biruan. Bahaya
yang selama ini mengungkung kerajaan akan segera lenyap. Aku tidak sabar untuk
menyaksikan. Tapi..."
Wajah Satria Lonceng Dewa Mimba Purana berubah suram. Ada kekhawatiran di dalam
hatinya. "Aku tahu, ada arti lain dari pertambahan warna biru di telapak tanganku. Ada
manusia yang berbuat kebajikan dan ada makhluk atau orang jahat musuh Raja dan
rakyat Mataram telah menemui ajal. Siapa?" Anak lelaki itu pejamkan mata seolah
berusaha melihat jauh ke dalam alam gaib. Namun apa yang diharapkan tidak
mendapat jawaban. Dua mata dibuka kembali. "Jangan-jangan kakanda Dirga Purana
yang bernasib malang..."
Anak lelaki di lereng Gunung Merapi itu bangkit berdiri.
Tubuh dan wajah dihadapkan ke selatan ke arah laut di kejauhan yang tidak
terlihat dari tempatnya berdiri. Namun dia sanggup mencium baunya hawa laut.
Sayup-sayup mendengar suara tiupan angin samudera selatan. Dua tangan dirangkap
di atas dada. Sepasang mata dipejam.
Dia mencoba lagi masuk ke dalam alam gaib. Selarik cahaya kuning keluar dari
ubun-ubun anak ini. Lalu di kejauhan terdengar suara lonceng. Setelah cukup lama
menjajagi Mimba Purana akhirnya buka kedua matanya.
"Aneh, semedi pendekku tidak mampu melihat atau mendapatkan satu petunjuk.
Mengapa aku mengalami kesulitan masuk ke alam gaib. Tidak pernah kejadian
seperti ini. Ada satu kekuatan membentuk tabir menghalangi semediku. Para Dewa di Kahyangan" Adakah kakak saya berada dalam keadaan
selamat" Saya mohon perlindungan Para Dewa atas dirinya..."
Tiba-tiba di arah timur menyambar cahaya serta gelegar petir. Darah Mimba Purana
tersirap. Lebih-lebih ketika dilihatnya di langit ada satu lingkaran kemerahmerahan mengelilingi matahari. Udara berubah redup seolah malam akan segera
datang. "Aneh, rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya.
Apakah ini merupakan suatu berkat atau..." Mimba Purana berdiri, menatap ke arah
kejauhan. Lalu dengan gerakan cepat tanpa suara, laksana terbang anak ini
berkelebat menuruni lereng barat Gunung Merapi.
*** KEMBALI ke hutan jati yang masih dilamun kobaran api berasal dari ledakan
Lentera Iblis. Wiro berpaling pada dua perempuan di sampingnya. "Nek, Dewi Kaki
Tunggal, kau tak apa-apa...?"
Meski jelas mereka terluka di dalam dan masih ada sisa lelehan darah di dagu
masing-masing namun dua perempuan itu sama menjawab kalau mereka baik-baik saja.
Wiro yang tidak percaya ucapan orang berpikir sejenak lalu segera keluarkan
delapan bunga matahari kecil dari balik pakaian.
"Mudah-mudahan bunga sakti ini bisa menolong
kalian." Lalu Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil ke kening dan dada Ratu
Randang serta Sakuntaladewi.
Kedua perempuan itu sama-sama batuk beberapa kali.
Ratu Randang tarik nafas panjang. "Rasanya tubuhku jauh lebih segar." Kata si
nenek sambil mengusap dada.
Sakuntaladewi menyambung ucapan Ratu Randang,
"Denyutan sakit di dadaku lenyap." Lalu dia bertanya pada Wiro. "Kau tidak
mengobati dirimu sendiri?"
"Dadaku memang sakit. Aliran darah terasa tersendat dan tubuhku terasa panas.
Kalau kalian tidak membantu ikut menghantam serangan yang dilakukan Pangeran
Keparat itu, rasanya saat ini aku bisa-bisa sudah jadi bangkai gosong!"
Wiro lalu usapkan delapan bunga matahari ke dadanya.
Setelah tubuhnya terasa lega bunga dicium berulang kali.
Terasa ada hawa sangat sejuk masuk ke dalam jalan pernafasan, mengalir dalam
semua saluran darah di tubuhnya. Kemudian delapan bunga disimpan kembali di
balik pakaian. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan.
Suara perempuan.
"Hai, kami berdua dicium. Hik... hik. Kalian berenam tidak beruntung rupanya.
Tidak kebagian ciuman..."
Wiro dan Ratu Randang serta Sakuntaladewi saling berpandangan.
"Siapa yang barusan bicara dan tertawa cekikikan?"
Berbisik Sakuntaladewi.
Wiro menggaruk kepala. "Kurasa makhluk di dalam bunga. Delapan pocong. Bukankah
mereka sebenarnya gadis dari alam gaib" Kalau kalian tidak percaya biar kucium
lagi. Sekarang aku akan cium delapan bunga itu bergantian agar tidak ada yang
iri." "Sudah..." kata Ratu Randang pula yang merasa disindir sambil cepat memegang
tangan kanan Wiro yang hendak mengeluarkan delapan bunga matahari kecil. Lalu si
nenek berkata. "Tadi waktu lima cahaya biru halus muncul, kau kudengar
mengatakan sesuatu. Lima Jarum Penjahit Raga.
Aku memang melihat sinar biru seperti benang dan lima jarum menancap di atas
kepala Ksatria Roh Jemputan. Jika itu nama satu ilmu kesaktian, dari mana kau
tahu" Siapa pemiliknya yang tadi menjahit lima bagian tubuh pangeran jahanam
itu?" "Pemilik satu-satunya Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga adalah Penguasa Atap
Langit." Menerangkan Wiro.
Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama tercengang. "Aneh!" Kata Sakuntaladewi.
"Wiro, bagaimana kau tahu nama ilmu aneh yang menjirat Pangeran Matahari itu"
Lalu juga dari mana kau tahu pemilik ilmu kesaktian itu adalah Penguasa Atap
Langit?" Bertanya Ratu Randang.
"Ketika berada di Negeri Atap Langit aku pernah melihat sendiri Penguasa Atap
Langit menyerang Ken Parantili dengan ilmu itu. Ken Parantili sempat kudengar
menyebut ilmu serangan itu. Yang membuat dia jadi lumpuh, tak mampu bergerak..."
"Ken Parantili. Di mana selir itu sekarang?" tanya Ratu Randang.
Wiro hanya gelengkan kepala lalu berpaling pada Sakuntaladewi. "Tadi kau bilang
aneh. Apa yang aneh?"
"Kalau Ilmu Jarum Penjahit Raga adalah milik makhluk yang kau sebut Penguasa
Atap Langit, berarti tadi dia berada di tempat ini."
"Kurasa begitu," jawab Wiro. "Tadi aku melihat ada bayangan hijau berkelebat di
dekat sosok Pangeran Matahari."
"Penguasa Atap Langit menjahit Pangeran Matahari dengan ilmu anehnya. Berarti
dia menolong kita. Mengapa dia melakukan hal itu" Waktu muncul tidak kelihatan,
setelah menolong dia lenyap begitu saja. Dari bayangan hijaunya tadi aku mengira
dia adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Ada apa sebenarnya dia datang ke Bhumi
Mataram ini" Untuk maksud baik atau jahat?"
"Nek, sebelum aku meninggalkan Negeri Atap Langit aku melihat ada beberapa
perubahan pada diri Penguasa Atap Langit. Dia seperti ingin menjadi makhluk
baik..." "Makhluk jahat seperti dia ingin berbuat baik" Tidak masuk di akal!" Sahut Ratu
Randang. "Satu makhluk jahat berubah menjadi baik secepat membalik telapak tangan memang
tidak masuk akal!"
Sakuntaladewi sambung ucapan si nenek
"Aku punya dugaan sebenarnya Penguasa Atap Langit makhluk baik. Beberapa
kesalahannya adalah memberikan ilmu kesaktian pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah
dan kawan-kawannya. Lalu Sinuhun sialan itu menyalahgunakan ilmu kesaktian yang didapatnya. Kesalahan lain adalah memelihara sekian
banyak gundik dan setiap enam bulan sekali membunuh selir pertama Setahuku dia
melakukan itu untuk kelanggengan ilmunya."
"Walau tadi kita sama menduga dia telah menolong kita dengan menjahit Ksatria
Roh Jemputan tapi aku merasa dia tetap makhluk jahat yang harus diwaspadai. Aku
yakin ada satu hal tersembunyi mengapa dia datang ke Bhumi Mataram."
"Nek, kurasa dia tengah mencari selir pertamanya, Ken Parantili!" Jawab Wiro.
"Gagal membunuh selir itu di Negeri Atap Langit lalu mau menghabisinya di Bhumi
Mataram ini?" Ucap Ratu Randang pula. Lalu si nenek menyambung ucapannya.
"Kalian lihat tadi ada makhluk mengerikan keluar dari tubuh Ksatria Roh Jemputan
sebelum meledak?"
"Itu sosok Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah." Yang menjawab Sakuntaladewi.
"Sosok rohnya tidak sempurna lagi karena tiga dari delapan pecahan nyawanya
sudah amblas. Ini sebagai akibat karena Wiro berhasil membunuh tiga anak kucing
merah itu."
"Dunia penuh keanehan!" Kata Ratu Randang sambil geleng-geleng kepala. Makhlukmahluknya lebih aneh lagi.
Dalam keanehan itu gentayangan segala macam niat jahat dan busuk!"
Wiro memandang berkeliling.
"Kawan-kawan, kita seperti melupakan Kunti Ambiri.
Jangan-jangan..."
"Aku khawatir sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam tanah, cahaya kuning
Lentera Iblis sempat menghantamnya." Berkata Sakuntaladewi sambil ikut pula memandang berkeliling.
"Jika dia tewas dengan tubuh terkutung, bagian tubuh sebelah atas pasti ada di
sekitar sini, bagaimanapun ujudnya." Jawab Wiro. Mendadak murid Sinto Gendeng
ingat sesuatu. Setengah berteriak dia berkata. "Astaga!
Kita juga melupakan Ni Gatri. Dan Jaka Pesolek! Di mana mereka"!"
Ketiga orang itu lalu sama-sama berteriak.
"Ni Gatri! Jaka Pesolek! Kalian di mana?"
Tak ada suara jawaban. Kobaran api yang membakar hutan jati semakin besar karena
tiupan angin dari arah barat.
"Aku akan mencari mereka! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menemui keduanya!" Kata Wiro.
"Kami berdua akan membantu! Sekalian kita menyelidik apa yang terjadi dengan sahabat Kunti Ambiri." Kata Ratu Randang pula.
"Sebaiknya kita berpencar. Aku akan naik ke atas salah satu pohon jati agar
lebih mudah menyelidik." Berkata Sakuntaladewi.
Baru saja ke tiga orang itu hendak berpencar, dari balik satu batang pohon jati
yang condong nyaris tumbang karena akarnya terbongkar berserabutan, sekonyongkonyong keluar seseorang, melangkah tertatih-tatih. Orang ini mengenakan pakaian
merah muda yang kotor dan penuh robek hingga auratnya tersingkap di mana-mana.
Rambut riap-riapan. Dia berjalan sambil menangis kucurkan air mata, menggendong seorang anak perempuan yang keadaannya sangat
memilukan. Pipi kiri sembab sampai ke mata seperti bekas pukulan. Pakaian
tersingkap tak karuan.
Orang yang menggendong bukan lain Jaka Pesolek, sedang yang digendong adalah Ni
Gatri! Saat itu Jaka Pesolek kelihatan tidak mampu lagi berdiri. Kedua kakinya
terlipat lalu tersungkur di tanah. Ni Gatri terguling lepas dari gendongannya.
Wiro, Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama berseru kaget dan menghambur mendatangi. "Jaka, apa yang terjadi padamu dan Ni Gatri"!" Tanya Wiro.
Jaka Pesolek tidak menjawab. Wajah tampak pucat, tubuh bergetar, mulut
sesenggukan dan ada air mata meluncur jatuh di pipinya.
"Celaka! Ada yang tidak beres!" Wiro membungkuk, memeriksa Ni Gatri. Sekali
pandang saja dia sudah tahu apa yang terjadi. Wiro coba tepuk-tepuk pipi anak
perem- puan itu. Tapi Ni Gatri diam saja. Si anak ternyata sudah tak bernafas lagi.
"Jahanam! Kau memperkosa anak perempuan ini! Ni Gatri sudah tidak bernyawa!
Pasti kau juga yang punya pekerjaan! Memperkosa lalu membunuhnya!" Wiro
berteriak menggeledek.
Tangis Jaka Pesolek menghambur. Kepala digeleng berulang kali. Tidak pikir
panjang lagi Wiro hantamkan kaki kanannya ke kepala Jaka Pesolek. Si gadis tidak
berusaha menghindar, seolah memang sudah pasrah!
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
14 ATU Randang cepat menggelung pinggang Wiro lalu menariknya ke belakang.
Bersamaan dengan itu
RSakuntaladewi palangkan kaki tunggalnya di arah tendangan.
Buukkk! Kaki kanan Wiro beradu dengan kaki tunggal Sakuntaladewi. Kepala Jaka Pesolek selamat dari tendangan maut Pendekar 212 namun
Sakuntaladewi terpekik kesakitan. Tubuhnya mencelat membal ke udara sampai tiga
tombak! Begitu turun dengan menahan sakit, terpincang-pincang Sakuntaladewi cepat mendatangi Jaka Pesolek sementara Ratu
Randang masih terus memegangi Wiro.
"Jaka Pesolek, katakan apa yang terjadi. Benar kau..."
Ditanya Sakuntaladewi seperti itu Jaka Pesolek gelengkan kepala dan menjawab. "Tidak, aku tidak berbuat sekeji itu. Anak ini..."
"Apa Pangeran Matahari yang telah berlaku biadab"
Memperkosa Ni Gatri"!" Tanya Sakuntaladewi memotong ucapan Jaka Pesolek.
"Tidak, bukan dia. Dia memang punya maksud mesum tapi tidak kesampaian..."
"Kami melihat sewaktu di telaga air terjun dia melarikan Ni Gatri. Pasti dia
telah melakukan sesuatu. Bagaimana kau bisa mengatakan tidak." Ratu Randang
berkata, masih dengan memegangi Wiro walau tidak seerat tadi.
"Aku menguntit pangeran itu ketika dia membawa lari Ni Gatri. Dia memang punya
maksud keji. Tapi saat itu sebenarnya Ni Gatri sudah tidak bernyawa akibat
perbua- tan terkutuk anak lelaki jahanam bernama Dirga Purana.
Aku yakin Ni Gatri telah dirusak kehormatannya ketika berada di dalam goa di
belakang air terjun. Pangeran Matahari marah besar ketika mengetahui kalau
dirinya telah kedahuluan. Namun entah setan apa yang masuk ke dalam tubuhnya,
tiba-tiba saja dia juga hendak memperkosa Ni Gatri. Aku berusaha mencegah. Tapi aku ditendang dan dihajar babak
belur. Ketika aku hampir mati di tangannya, untung kalian datang menolong.
Sewaktu terjadi pertarungan antara Wiro dengan Pangeran Matahari aku mendatangi
Ni Gatri yang terhampar di dalam hutan jati sana. Ketika aku periksa keadaannya,
anak malang itu ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya kugendong,
kubawa ke sini..." Jaka Pesolek bicara sambil berusaha menahan sesenggukan. Dia
sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga hendak diperkosa oleh Pangeran


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matahari sebelum sang pangeran tahu keadaan auratnya.
Mendengar cerita Jaka Pesolek itu Pendekar 212
berteriak marah. Sekujur tubuh bergetar. Ketika dia membuat sentakan keras, Ratu
Randang yang masih mencekalnya terlempar dan terjengkang di tanah. Wiro
menghambur memeluk Ni Gatri. Wajah anak perempuan itu dicium berulang kali.
Sambil mencium kening Ni Gatri Wiro berkata, "Adikku, maafkan aku tidak dapat
meno- longmu. Aku bersumpah akan membalaskan sakit hati serta kesengsaraan yang kau
alami! Adik, tidurlah dengan tenang."
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dua tangan dikepal.
Sepasang mata tampak merah.
"Kalian semua!" Wiro berkata dengan suara keras.
Tolong urus jenazah Ni Gatri. Kuburkan, jangan dibakar!"
"Kau sendiri mau ke mana"!" Tanya Ratu Randang sambil berdiri.
"Aku akan kembali ke air terjun mencari anak jahanam bernama Dirga Purana itu!
Dia harus mampus di tanganku.
Hari ini juga!"
"Wiro..." Teriak Sakuntaladewi berucap.
Namun Wiro mendahului sambil tunjukkan jari telunjuk ke langit, "Tidakkah kalian
melihat keanehan" Langit di atas sana tampak redup. Sore pergi begitu saja.
Malam datang lebih cepat..."
"Kami memang melihat keanehan." jawab Sakuntaladewi "Tapi, kami harap..."
Namun Wiro tak dapat menahan sabar. Sekali berkelebat dia sudah melesat ke arah barat.
Ratu Randang menarik nafas dalam lalu berkata pada Sakuntaladewi dan Jaka
Pesolek, "Kita bertiga harus menguburkan Ni Gatri cepat-cepat lalu mengejar
Wiro. Aku tidak mau dia pergi sendirian. Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah masih gentayangan. Masih ada saudara kembaran nyawanya Sinuhun Muda
Ghama Karadipa. Lalu bocah bernama Dirga Purana itu bukan pula anak sembarangan!
Apa lagi kalau saudaranya Mimba Purana turun tangan kembali menolongnya.
Ditambah dengan arwah-arwah bejat yang jadi kaki tangan Sinuhun Merah ada pula
di mana-mana. Jika mereka bergabung menghadapi Wiro, bisa celaka sahabat kita itu. Kawan-kawan, cepat bantu aku membuat
liang kubur!"
Baru saja Ratu Randang selesai berucap tiba-tiba ada perempuan berseru. "Sahabat
bertiga, tidak usah bersusah payah. Biar aku yang menyiapkan makam buat sahabat
kecil kita yang malang itu!"
Dua tangan halus putih mencuat keluar dari dalam tanah. Jelas tangan perempuan
mengenakan pakaian berlengan panjang warna hijau tipis! Lalu rrrtttttt. Dua
tangan bergerak menggurat tanah berbentuk empat persegi panjang. Sesaat kemudian
bersamaan dengan mencelatnya keluar orang yang menggurat, tanah berhamburan ke
udara dan tahu-tahu satu lobang besar sudah menganga di hutan jati!
"Sahabat Kunti Ambiri!" Berseru Sakuntaladewi ketika melihat siapa adanya orang
yang barusan keluar dari dalam lobang di tanah. Semua orang merasa gembira
melihat Kunti Ambiri tidak kurang suatu apa.
Saking girangnya melihat Kunti Ambiri selamat, Jaka Pesolek langsung saja hendak
memeluk dan mencium gadis cantik alam roh itu. Tapi cepat didorong oleh Kunti
Ambiri hingga terjajar ke belakang.
"Kunti Ambiri, syukur kau masih hidup. Sebelumnya kami sudah menduga yang tidaktidak! Kami menyangka kau sudah menemui ajal." Berkata Ratu Randang. "Apa yang
terjadi dengan dirimu?"
"Cuma nasib baik saja Nek," Jawab Kunti Ambiri. "Kalau terlambat sedikit saja
aku masuk ke dalam tanah, kepalaku pasti sudah leleh dihajar cahaya Lentera Iblis Pangeran keparat itu!"
"Dia sudah mampus dihajar ledakan Lentera Iblis miliknya sendiri." Menerangkan Ratu Randang.
Kunti Ambiri menatap ke langit. "Heran, mengapa hari ini sore cepat sekali
berlalu. Di langit sebelah sana malah sudah tampak bayangan rembulan..."
"Sahabat Wiro tadi juga mengatakan hal itu." Berkata Ratu Randang.
"Lalu sekarang dia berada di mana?" Tanya Kunti Ambiri pula.
"Dia pergi ke gua di balik air terjun. Katanya mau membunuh bocah bernama Dirga
Purana itu..."
"Astaga, apa yang terjadi"!" Kunti Ambiri baru sadar, menatap ke arah Ni Gatri.
Gadis cantik alam roh ini segera saja maklum apa yang telah dialami anak
perempuan itu sebelum menemui ajal. "Kurang ajar! Jika memang bocah itu telah
berbuat keji, dia pantas dihabisi!"
Setelah selesai mengubur Ni Gatri, Kunti Ambiri melirik ka arah Jaka Pesolek
yang berpakaian compang-camping penuh robekan, termasuk celana dalam yang
dikenakan- nya dan merupakan hadiah dari patung sakti Nyi Roro Jonggrang. Seperti
diceritakan sebelumnya celana dalam itu adalah untuk Kunti Ambiri tapi ditilap
oleh Jaka Pesolek.
Walau sampai saat itu masih merasa jengkel terhadap Jaka Pesolek bahkan tadi
sempat mendorongnya, namun merasa tidak tega melihat keadaan Jaka Pesolek yang
kusut masai tidak karuan. Dari balik pakaiannya Kunti Ambiri keluarkan sehelai
pakaian salinan berwarna hijau.
Pakaian dilempar ke arah Jaka Pesolek.
"Sahabat, aku sangat berterima kasih," kata Jaka Pesolek sambil segera
menyambuti pakaian yang dilempar.
Dia membungkuk berulang kali lalu cepat-cepat menyelinap ke balik semak belukar. Hanya beberapa saat setelah Jaka Pesolek lenyap di
balik semak belukar tiba-tiba terdengar suara jeritan gadis itu.
"Tolong... tol...!"
Suara jeritan putus.
Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi tersentak kaget. Ketiganya segera melesat ke balik rumpunan semak belukar. Namun Jaka
Pesolek tidak ada di situ!
"Jangan-jangan gadis itu sudah diculik Sinuhun Merah Penghisap Arwah!" Kata
Sakuntaladewi. Ketiga orang itu saling berpandangan.
"Nek, aku mencium bau kemenyan terbakar." Kata Sakuntaladewi.
"Aku juga," jawab si nenek sementara Kunti Ambiri menyelidik dengan pandangan
mata ke berbagai jurusan hutan jati. Walau tidak melihat ujud nyata tapi dia
merasa ada seorang lain di tempat itu.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
15 EADAAN di kawasan air terjun merayap gelap walau di barat sang surya masih
tampak menggelantung di Klangit. Dari balik semak belukar lebat untuk beberapa lama Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan keadaan sekitar telaga. Mata
dipentang telinga dipasang.
Kemudian dia memperhatikan ke arah air terjun. Dengan mengerahkan Ilmu Menembus
Pandang pemberian Ratu Duyung, Wiro mampu melihat mulut goa di tebing batu di
belakang air terjun. Goa yang selama ini menjadi tempat kediaman Dirga Purana
dan juga sering dipergunakan oleh Sinuhun Merah serta Sinuhun Muda.
"Aku harap bocah keparat itu belum kabur!" Kata Wiro dalam hati. Dia keluar dari
balik semak belukar, melesat ke tengah telaga, berdiri di atas sebuah batu
besar. Tenaga dalam dihimpun ke pertengahan perut lalu dialirkan ke arah tangan
kanan. Begitu kekuatan penuh telah terkumpul di tangan kanan, Wiro membuat gerakan mengayun lalu didahului satu teriakan
keras dia lepaskan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung, ilmu pukulan sakti yang
didapat dari gurunya Tua Gila di Pulau Andalas.
Curahan air terjun langsung terputus dan tertahan begitu pukulan melanda. Ketika
ujung angin sakti pukulan menghantam hancur tebing batu dan sebagian mulut goa,
Wiro cepat melompat sementara batu besar yang tadi dipijaknya berderak terbelah
di empat bagian. Tubuh Wiro melesat di udara, melewati celah air terjun dan
sesaat kemudian dia sudah berada di depan mulut goa. Air terjun yang terbelah
menyatu dan kembali mencurah jatuh ke dalam telaga.
Wiro cepat berkelebat masuk ke dalam goa. Sambil melangkah dia siapkan Pukulan
Sinar Matahari di tangan kanan hingga tangan kanannya berubah seputih perak
berkilau mulai dari ujung jari sampai ke siku. Selain itu agar lebih waspada dia
juga menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Namun aneh, dia tidak bisa melihat bendabenda lain selain lorong goa yang dilaluinya.
"Ada kekuatan hebat menahan Ilmu Menembus Pandang. Berarti anak jahanam itu
masih berada di sini.
Paling tidak ada kaki tangannya yang berjaga-jaga!" Wiro membatin. Dia terus
melangkah. Kalau sepuluh tombak pertama bagian dalam goa diselimuti kegelapan, namun
selewat sepuluh tombak keadaan mulai terang. Ternyata bagian dalam goa itu kini
berubah menyerupai satu bangunan kokoh. Lantai goa, dinding kiri kanan dan
bagian atas bukan lagi berupa tanah dan bebatuan namun berbentuk batu pualam
putih keabu-abuan. Hawa di tempat itu kini juga terasa sejuk.
Di pertengahan goa Wiro menemui sebuah kolam
bundar. Di tengah kolam terdapat sebuah patung. Wiro terkejut ketika melihat
patung itu merupakan ujud Penguasa Atap Langit!
"Aneh, mengapa Patung Penguasa Atap Langit ada di tempat ini" Apakah ini
termasuk kediaman dan daerah kekuasaannya" Atau mungkin patung itu dibuat oleh
orang-orang Sinuhun Merah Penghisap Arwah termasuk bocah jahanam itu sebagai
penghormatan pada sang guru"!"
Khawatir ada makhluk sembunyi di dalam patung Wiro segera memeriksa patung
dengan Ilmu Menembus Pandang. Kali ini ilmu kesaktian itu mampu diterapkan. Ternyata patung itu bersih, tak ada makhluk yang mendekam di dalamnya.
Wiro mengikuti lorong batu pualam di seberang kolam.
Berjalan sepuluh tombak lorong batu pualam ternyata buntu, tertutup sebuah batu
hitam besar berlapis lumut tebal berwarna merah. Ketika Wiro mendekati, sayup
sayup dia mendengar suara air mengalir.
"Kurasa ada sungai mengalir di belakang batu berlumut merah ini," membatin Wiro.
Karena sampai saat itu masih belum menemukan jejak anak lelaki yang dicarinya
Wiro berteriak. "Dirga Purana!
Bocah keji keparat! Di mana kau sembunyi"!"
Pada saat itulah secara tidak terduga lumut merah yang menyelubungi batu besar
bergerak aneh seperti mengelupas. Di lain kejap lapisan lumut telah berubah menjadi larikan kain lebar
berwarna merah dan secepat kilat berkelebat siap menyelubungi Wiro.
"Selubung Kain Kafan Merah!" Ucap Wiro tersentak kaget. Cepat dia menghantam
dengan tangan kanan. Wiro segera lepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih
berki- lau menggelegar dahsyat. Hawa panas menebar. Batu besar di depan sana hancur
berkeping-keping terkena hantaman Pukulan Sinar Matahari. Beberapa bagian dari
lorong goa yang dilapisi batu pualam ikut berderak runtuh.
Sementara itu walau Pukulan Sinar Matahari berhasil dibuat tercabik-cabik dan
dikobari api, secara aneh Kain Kafan Merah menyatu kembali dan dalam gerakan
lebih cepat dari serangan pertama berhasil menyelubung sosok Wiro mulai dari
kepala sampai ke betis.
Wiro berusaha merobek kain merah. Tapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya
hal itu tidak mampu dilakukan.
Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha menjebol kelumunan Kain Kafan Merah dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Pukulan
Tangan Dewa Menghantam Air Bah.
Dess! Desss! Dua pukulan sakti seperti menghantam bantalan kasur tebal dan empuk, lenyap
seolah hembusan asap!
"Gila!" Wiro memaki dalam hati. Dia jatuhkan diri, berguling di lantai goa.
Berusaha mencari jalan lain untuk selamatkan diri dari telikungan Kain Kafan
Merah. Namun Kain Kafan Merah semakin ketat menelikungnya. Malah dia merasakan
tubuhnya menjadi lemah. Tenaganya seolah tersedot!
Wiro ingat, ketika dia dan sukmanya ditelikung Kain Kafan Merah di Negeri Atap
Langit, sang sukma berhasil meloloskan diri. Maka Wiro cepat merapal ajian untuk
mengeluarkan sukmanya dari dalam tubuh.
"Sukmaku, keluarlah. Musnahkan Kain Kafan Merah!"
Namun setelah dicoba berulang kali sang sukma tak kunjung keluar. Malah kini
dadanya terasa sesak, tenggorokan seperti dicekik, sulit bernafas!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar mengiang riuh suara perempuan.
"Apa yang terjadi" Mengapa keadaan tiba-tiba menjadi gelap"!"
"Kita ini berada di mana"!"
"Aku tidak bisa bernafas!
"Kita harus melakukan sesuatu!"
"Tapi kita tidak mungkin bisa keluar lagi. Kecuali kalau diminta oleh Ksatria
Panggilan."
"Dia hanya bisa memanggil kita satu kali. Berarti kita tidak bisa menolong dia
untuk kedua kali. Padahal akan ada perkara besar menghadang! Bagaimana kalau
nanti ada urusan yang lebih hebat" Dia tidak bisa minta tolong, kita tidak bisa
menolong!"
"Lekas mencari akal!"
"Keluarkan Ilmu Madu Bunga Sakti Membersih Jalan Darah! "
Wiro tiba-tiba merasa ada hawa sejuk menjalar memasuki urat dan pembuluh darah
dalam tubuhnya.
Nafas yang sesak dan dada yang sakit lenyap. Ada rasa manis di dalam mulutnya
yang berdarah. Namun hanya sesaat! Hawa sejuk lenyap, berganti hawa panas yang
menerpa sekujur badan. Tenggorokan kembali seperti dicekik membuat dia sulit
bernafas! Rasa manis di dalam mulut berubah menjadi rasa pahit luar biasa!
"Tidak mempan!" Tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
"Celaka!"
"Tunggu! Aku melihat ada petunjuk dari bokong Ksatria Panggilan!"
"Kau ini bicara apa! Jangan berani kurang ajar!"
"Sudah! Lihat saja nanti!"
Suara perempuan bersahut-sahutan yang mengiang di telinganya membuat Wiro
tersentak dan berhenti berguling di lantai goa.
"Delapan Pocong Perempuan. Salah seorang dari mereka melihat ada petunjuk dari
bokongku. Apa maksudnya?" Ucap Wiro dalam hati. Dia berusaha berdiri dan ulurkan tangan hendak
mengusap pantat. Tapi bluukk!
Wiro langsung roboh karena dua kakinya seolah telah berubah menjadi benda leleh!
Suara perempuan riuh berpelukan.
"Celaka!"
Wiro semakin sulit bernafas. Sepasang mata mulai kabur lalu segala sesuatunya
berubah gelap. "Hekk!"
Lidah Wiro terjulur keluar bersama melelehnya darah kental. Suara pekikan
perempuan kembali mengiang di telinga Wiro. Dalam hati Pendekar 212 berucap,
"Gusti Allah, kematian adalah kuasaMu dan bagian semua makhluk hidup. Saya
pasrah menemui ajal! Tapi saya mohon! Bagaimana Eyang Sinto, bagaimana Kapak
Naga Geni. Bagaimana raja, rakyat dan Kerajaan Mataram..."
Begitu Wiro menyebut nama Mataram mendadak
sontak ada suara berdesir di belakang punggungnya di atas bokongnya! Dari bagian
tubuh ini kemudian muncul getaran hawa dingin menjalar di sekujur tubuh.
Wuuttt! Di dalam telikungan Kain Kafan Merah sebuah benda melesat keluar dari pinggang
sebelah belakang Pendekar 212, menabur cahaya sembilan warna! Lalu breett breett
brett. Kain Kafan Merah yang menelikung Wiro mulai dari kaki sampai ke betis
bukan saja robek besar di sembilan bagian, tapi sekaligus membuat hangus Kain
Kafan Merah, lalu berubah menjadi bubuk! Wiro cepat melompat menjauhi batu besar
di ujung lorong goa.
"Delapan Pocong! Terima kasih telah menolongku!''
"Ksatria Panggilan! Bukan kami yang menolongmu!"
Terdengar jawaban.
Wiro terkesiap. Dia memandang berkeliling. Saat itulah di depannya berkelebat
sebuah benda memancarkan sinar biru yang ketika diperhatikan ternyata adalah
Keris Kan- jeng Sepuh Pelangi.
"Keris sakti, terima kasih sampean menolongku." Wiro cepat gerakkan tangan untuk
menangkap senjata sakti itu.
Namun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lebih cepat menyelinap masuk ke balik punggung Wiro, menyusup ke dalam robekan kain pakaian Ratu
Randang yang jadi pembungkusnya.

Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum sempat Wiro menarik nafas lega tiba-tiba menggelegar satu letusan keras. Batu besar yang menutup ujung goa dan kini tidak
berlumut lagi meledak hancur. Di bekas batu yang hancur tampak satu lobang
besar. Saat itu pula terdengar suara menggemuruh. Ketika Wiro memandang ke depan
kagetnya bukan alang kepalang. Dari lobang besar bergemuruh air bah berwarna
merah! Saat itu jarak Wiro dengan ujung air bah sekitar dua belas tombak.
Cepatnya air bah yang datang menggulung tidak mungkin bagi Wiro untuk menyelamatkan diri dengan lari ke mulut goa.
Sambil bergerak mundur Wiro lepas dua pukulan. Yang pertama Pukulan Dinding
Angin Berhembus Tindih Menindih, yang kedua Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Dua pukulan sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng memang dapat menahan bahkan
mendorong datangnya serbuan air bah. Namun hanya sebentar. Tak selang berapa
lama air bah itu kembali menggemuruh lebih ganas ke arah Pendekar 212. Selain
itu Wiro melihat ada cairan aneh berkilau mengambang di atas permukaan air bah.
Wiro mencium sesuatu
"Aku mencium bau minyak..."
Baru saja Wiro keluarkan ucapan dalam hati tiba-tiba dari ujung sana kelihatan
dua sosok bayangan, satu kecil satu besar. Walau tidak kelihatan wajah mereka
namun keduanya tampak jelas menyulutkan api ke atas permukaan air bah yang digenangi minyak! Cepat sekali kobaran api membakar minyak di
permukaan air bah! Wiro berbalik, berusaha melesat mencapai mulut goa yang kini
berada belasan tombak di depan sana. Dua tawa bergelak menggelegar di dalam goa. Satu suara lelaki dewasa, satu lagi suara anak-anak.
"Pasti Sinuhun Muda keparat dan bocah sialan bernama Dirga Purana itu!" Rutuk Wiro dalam hati.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bergemuruh.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
16 EBING batu di atas mulut goa mendadak runtuh dan menutup mulut goa. Sekaligus
menutup jalan keluar!
TSementara gulungan air bah merah mendatangi
dengan cepat sambil membuntal kobaran api ganas! Udara di tempat itu yang
tadinya sejuk kini berubah menjadi panas. Di saat yang sama Wiro mendengar
lapat-lapat suara jeritan perempuan banyak sekali. Mereka jelas-jelas dalam
ketakutan yang amat sangat. Datangnya dari balik dinding batu pualam sebelah
kanan. "Delapan Pocong, kaliankah yang berteriak"!" Wiro bertanya ingin memastikan
kalau dia tidak salah mendengar. "Bukan kami! Jangan perdulikan kami! Selamatkan dirimu!" Terdengar jawaban
perempuan. "Aku tidak mungkin menyelamatkan diri!" Teriak Wiro.
"Jangan bicara tolol!"
"Betul! Keluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah! Gurat di lantai batu pualam
pada dinding kiri.
Jangan menggurat di dinding kanan! Alihkan arah air bah!
Cepat lakukan! Kalau terlambat, bulan biru tidak akan pernah muncul di langit
Mataram!" Wiro terperangah. Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah, itu memang ilmu kesaktian
yang dimilikinya. Tapi bulan biru di langit Mataram, apa maksudnya"
"Diberi tahu malah seperti orang melamun! Kau mau kita mati konyol semua dalam
goa ini"!"
"Sebaiknya kita cepat keluar dari dalam bunga matahari."
"Tunggu!" Wiro berteriak. Dia cepat melompat mundur.
Saat itu jarak antara dirinya dengan ujung air bah berapi hanya tinggal lima
tombak. Tiga tombak di belakang terletak kolam yang ada patung Penguasa Atap
Langit. Sambil merapal aji kesaktian Wiro guratkan kaki kanan di lantai batu pualam
sementara dua tangan didorong ke depan mengeluarkan kekuatan sakti untuk menahan
laju gemuruhnya arus air bah.
Rrreettt! Guratan menimbulkan kepulan asap. Wiro merasa ada satu kekuatan tersembunyi di
dalam lantai berusaha menyerangnya, membuat kakinya bergetar sampai ke lutut.
Dengan cepat dia melompat ke atas setinggi setengah tombak. Kaki kanan kembali
menggurat, kali ini digurat ke dinding goa sebelah kiri.
Rettt! Sekarang tidak ada lagi kekuatan tersembunyi yang menyerang kaki Wiro.
Asap mengepul dari dinding batu pualam. Terjadilah hal luar biasa hebat yang
Wiro sebelumnya tidak mengira. Di lantai goa menganga satu lobang besar dan
dalam. Demikian juga di dinding batu pualam sebelah kiri. Dari kedua lobang muncul
kekuatan menyedot dahsyat.
Jangankan manusia, seekor gajahpun mampu disedot hingga amblas.
Ketika air bah datang menderu, arahnya serta merta terpecah dua. Yang pertama
menggebubu masuk dan tersedot ke dalam lobang di lantai. Yang kedua bersibak
masuk disedot ke dalam lobang di dinding kiri goa. Dengan kejadian itu tidak ada
sedikitpun air bah berapi yang bisa terus melanda ke arah mulut goa. Di antara
gemuruh suara air bah yang bersibak, lapat-lapat Wiro mendengar suara seorang
menjerit. Lalu di ujung sana dia melihat ada satu bayangan hijau tergulung dalam
air bah merah berapi, ikut tersedot amblas ke dalam lobang besar di lantai goa!
Bersamaan dengan itu dia juga mendengar suara jeritan anak kecil disusul suara
genta lonceng. Sekilas dia seperti melihat ada cahaya kuning menyambar.
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari ke mulut goa sambil siapkan satu
pukulan sakti untuk mendobrak jalan keluar yang tertutup runtuhan batu-batu
tebing. Tiba-tiba kembali terdengar suara jerit pekik perempuan banyak sekali. Ada pula suara menangis meraung-raung.
"Tolong! Tolong!"
"Hyang Jagat Bathara! Selamatkan kami!"
Kini jelas suara teriakan itu berasal dari orang-orang yang minta tolong.
Seperti tadi datangnya dari balik dinding kanan goa. Karena Wiro menghadap ke
arah mulut goa, sekarang suara itu muncul dari balik dinding kiri.
"Suara perempuan berteriak minta tolong! Siapa mereka" Berada di mana"!" Wiro
perhatikan dinding goa di arah kiri. Dia segera mengeluarkan Pukulan Tangan Dewa
Menghantam Karang untuk menjebol dinding batu pualam di hadapannya.
Wuttt! Pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh menggelegar. Seantero goa
bergoncang laksana dihantam gempa keras namun dinding yang dipukul sedikitpun
tidak rusak apa lagi jebol! Di balik dinding suara jeritan perempuan semakin menjadi-jadi.
"Kasihan! Ada banyak nyawa yang agaknya terancam di balik dinding ini. Tapi aku
tak berdaya menolong!" Wiro garuk kepala lalu ingat ilmu yang diberikan kakek
sakti Kumara Gandamayana padanya yaitu ilmu mengamblaskan diri ke dalam tanah. Dengan masuk ke bagian bawah goa dia mungkin bisa
menemui perempuan-perempuan yang minta tolong itu. Dengan cepat Wiro hentakkan
kaki kanan ke lantai goa.
Bukkk! Lantai batu pualam bergetar sedikit. Pendekar 212
terkejut ketika ternyata dia tidak mampu mengamblaskan diri masuk menembus
lantai batu pualam!
"Aku harus cepat keluar dari sini. Aku akan coba menolong orang-orang itu dari
luar goa." Wiro balikkan badan, siap lari ke arah mulut goa yang tertutup
timbunan hancuran batu tebing.
Ketika lewat di samping kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit, tiba-tiba
terdengar suara mengiang di telinga kiri Pendekar 212.
"Yang Maha Kuasa berbuat sesuai kuasaNya. Niat dan perbuatan baik para makhluk
tidak akan pernah lepas dari perhatianNya. Pertobatan akan mendapat balas dengan
segala asih. Saat ini malam telah tiba. Lebih cepat datangnya dari seribu malam sebelumnya. Segala kebajikan menuai berkah. Rakhmat
sejahtera dan ketenteraman akan menjadi bagian Bhumi Mataram. Kuasa Para Dewa
akan muncul malam ini. Di langit warna biru nyaris sempurna memenuhi lingkaran rembulan empat belas hari.
Itulah pertanda dari Yang Maha Kuasa."
Wiro hentikan lari. Dia menatap ke arah kolam lalu perhatikan patung Penguasa
Atap Langit. "Siapa yang bicara?" Wiro bertanya. Tak ada jawaban.
Wiro ketok-ketok tempurung lutut kanan patung. Aneh!
Kaki yang diketuk berjingkat ke atas. Wajah patung batu Penguasa Atap Langit
tampak mengerenyit!
"Aku bertanya, siapa yang barusan bicara. Jika mau memberi petunjuk lekas
katakan!" Setelah kaki patung diketok mendadak saja ada jawaban, "Tidak usah bertanya
siapa diriku. Dan jangan jahil mengetuk tempurung lututku! Lekas masuk ke sini.
Lewat lobang ini kau akan sampai di ruangan sebelah, tempat para perempuan
berteriak minta tolong! Selamatkan mereka. Kebajikanmu akan membuat bulan berwarna biru penuh. Bhumi Mataram
akan kembali aman sejahtera." Wiro menggaruk kepala. "Penguasa Atap Langit" Kau yang barusan bicara" Aku
mengenali suaramu!" Wiro keluarkan ucapan. Hidung menghirup. Dia mencium bau
kemenyan terbakar.
"Sudah, waktumu tidak banyak. Lekas masuk ke dalam lobang ini!"
Wiro melongo kaget ketika mendengar suara berdesir dan melihat patung batu
Penguasa Atap Langit tiba-tiba bergeser ke kiri lalu menggantung di atas kolam.
Di bekas tempat tegaknya patung terlihat sebuah lobang batu empat persegi. Wiro
menggaruk kepala.
"Jangan menaruh curiga. Jangan bersyak wasangka.
Tidak ada maksud untuk menjebak. Lobang ini akan tetap terbuka sampai hitungan
dua ratus. Inilah jalan keselamatan! Mulailah menghitung."
Setelah menghilangkan kebimbangan hatinya Wiro mulai menghitung. Lalu dengan
cepat dia melompat ke atas lobang batu di tengah kolam yang berada pada
ketinggian sepinggang di atas air. Di bagian bawah lobang dia melihat delapan
anak tangga berwarna merah. Wiro cepat masuk ke dalam lobang lalu menuruni
delapan undakan batu. Di sebelah bawah, satu langkah di hadapannya dia menemukan sebuah tangga lain yang juga punya delapan anak tangga,
mengarah naik ke atas menuju sebuah ruangan dengan tiga dinding berwarna merah
sementara dinding ke empat di sebelah depan merupakan dinding tembus padang.
Entah dari mana datangnya, air berwarna merah tampak menggenangi ruangan. Saat
itu sudah mencapai ketinggian sebatas lutut. Belasan perempuan berada dalam
ruangan itu. Mereka berteriak-teriak, meraung menangis. Ada pula yang menggedor-gedor dinding
tembus pandang menyerupai kaca. Rata-rata mereka adalah gadis atau perempuan
muda berwajah cantik. Namun ada juga beberapa orang anak perempuan sebaya Ni
Gatri. Wiro melompati delapan anak tangga sekaligus. Pada hitungan ke tiga puluh enam
di depan dinding tembus pandang dia sama sekali tidak melihat pintu atau jalan
masuk. Wiro kerahkan sedikit tenaga dalam lalu menghantam dinding tembus pandang dengan satu jotosan keras.
Dinding tidak bergeming sedikitpun!
Wiro memberi tanda agar semua perempuan yang ada dalam ruangan menjauh dari
dinding tembus pandang karena dia siap menjebol dinding itu dengan pukulan sakti
berkekuatan tenaga dalam penuh. Namun hampir semua perempuan di dalam ruangan
berteriak dan memberi isyarat dengan goyangan tangan agar Wiro tidak melakukan hal itu. Beberapa di antaranya membuat gerakan tangan, menunjuk ke arah dinding batu
sebelah kiri di luar ruangan. Di salah satu bagian dinding menempel sebuah batu bulat berwarna merah.
"Batu merah! Tekan batu merah!" Perempuan-perempuan itu berteriak sambil mencontohkan gerakan menekan dengan telapak tangan
masing-masing. Saat itu Wiro sudah sampai pada hitungan ke seratus sepuluh.
Mendengar apa yang diteriakkan serta tanda yang diberikan beberapa perempuan di
dalam ruangan, Wiro cepat mendatangi dinding di samping kiri lalu tanpa ragu
menekan satu tonjolan batu berwarna merah. Saat itu juga terdengar suara aneh
seperti suitan bersahut-sahutan disusul suara deru keras. Bersamaan dengan itu
dinding tembus pandang terbelah di bagian tengah. Masing-masing belahan bergeser ke kiri dan ke
kanan. Air merah di dalam ruangan langsung mencurah ke ruangan bawah tempat dua
tangga batu berundak delapan bertemu. Beberapa orang perempuan hampir terpeleset akibat seretan air merah yang cukup deras.
"Lekas keluar! Ikuti aku!" Teriak Wiro. Namun dia sadar, orang-orang itu tidak
mungkin menuruni tangga yang satu lalu naik lagi ke tangga yang lain sementara
genangan air merah telah memenuhi lantai. Untuk disuruh menyeberang dengan cara
melompat pasti mereka tidak mampu, malah bisa-bisa tercebur ke dalam air merah.
Wiro menggaruk kepala. Tiba-tiba dengan cepat dia melompat ke udara, lalu
membelintang menelungkup antara dua buah tangga batu pada undakan ke lima. Dua
kaki bersitekan pada anak tangga ke lima di depan dinding tembus, dua tangan
berpegangan kuat pada anak tangga di sebelah lainnya. Tubuh dibuat demikian rupa
dijadikan jembatan penyeberang.
"Kalian semua! Lekas melintas di atas punggungku!
Menyeberang ke ruangan sebelah! Cepat! Satu-satu!
Jangan berebutan! Jangan saling dorong!"
Tapi yang namanya perempuan tetap saja mereka berteriak riuh. Apa lagi dalam
keadaan takut kacau balau mereka berebutan cari selamat saling mendahului satu
sama lain. Akibatnya dari enam belas perempuan yang berusaha menyeberang melalui
tubuh Wiro, tiga di antaranya terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam genangan air merah sedalam dua
ketinggian tubuh manusia! Wiro tak mungkin menolong sementara tubuhnya masih
terus dijadikan landasan jembatan untuk menyeberangi.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
17 lGA belas perempuan yang berhasil selamat setelah sampai di sebarang cepat
dituntun Wiro berlari Tmenaiki tangga menuju ke arah lobang empat persegi yang
masih menganga di atas kolam! Saat itu sudah sampai hitungan seratus empat
puluh! Pada hitungan ke seratus sembilan puluh satu, perempuan terakhir keluar
melewati lobang batu empat persegi. Begitu memasuki hitungan ke seratus sembilan
puluh sembilan patung batu Penguasa Atap Langit yang menggantung di atas kolam
bergeser kembali ke tempatnya semula, menutup lobang.
Wiro menarik nafas lega. Dia mendahului lari ke arah mulut goa yang saat itu
masih tertutup runtuhan batu-batu tebing yang hancur.
Dari jarak dua tombak Wiro lepaskan pukulan sakti dengan kedua tangannya yang
tak lain adalah Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung dan Benteng Topan Melanda
Samudera. Blaarr! Blaarr!
Timbunan puing batu di mulut goa hancur, beterbangan ke udara. Yang hancur
ternyata bukan timbunan batu tapi juga puing di atasnya. Suara bergemuruh dan
goncangan hebat melanda seantero tempat sewaktu dasar sungai besar di atas bukit
batu yang menjadi tempat aliran air bergeser jauh, membuat curahan air terjun
berpindah ke kanan sampai tiga tombak dari tempatnya semula dan kini tidak lagi
mencurah masuk ke dalam telaga!
Wiro berdiri di tepi telaga dikelilingi sepuluh gadis dan tiga anak perempuan.
Saat itu ternyata hari sudah malam.
Menatap ke langit dia melihat bulan purnama empat belas hari berwarna biru.
"Aneh, aku sudah beberapa kali mendengar orang menyebut bulan biru. Tapi tidak
menyangka kalau hal itu benar-benar berupa kenyataan. Apa yang sebenarnya telah
terjadi?" Wiro membatin dalam hati. Lalu dia berpaling pada tiga belas perempuan
cantik di sekelilingnya. Tiga di antaranya masih berusia belasan tahun.
"Kalian siapa" Mengapa berada di dalam goa?" Wiro bertanya.
Ditanya begitu rupa semua orang langsung jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga
yang kini airnya hanya tinggal setinggi mata kaki susut entah ke mana.
"Kami..., kami adalah orang peliharaan bocah bejat Dirga Purana. Kami sudah lama
disekap di dalam goa.
Kami harus melayani kemauan mesumnya..." Seorang perempuan muda bicara tersendat
memberi tahu. "Hah! Apa" Seorang bocah dua belas tahun punya belasan perempuan cantik sebagai
peliharaan"! Gila!" Wiro tak bisa mempercayai. "Bocah jahanam terkutuk! Aku
harap dia benar-benar sudah mampus di dalam goa sana!"
Dalam marahnya dia ingat apa yang telah terjadi dengan Ni Gatri. Anak perempuan


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malang itu telah menjadi korban kemesuman Dirga Purana. Tapi adalah aneh
bagaimana dia bisa berbuat mesum dengan gadis-gadis cantik yang lebih besar
sosok tubuhnya dan lebih tua usianya.
"Kalian diperlakukan mesum oleh bocah sekecil itu.
Bagaimana mungkin" Mengapa kalian mau saja"i" Wiro bertanya masih merasa tidak
percaya. Dengan menundukkan kepala salah seorang gadis menjawab, "Kami dicekoki semacam
obat yang mempengaruhi jalan pikiran dan tidak mampu menolak apa mau anak itu. Selain itu, jika
dia sedang berbuat keji tubuhnya berubah menjadi besar walau mukanya masih tetap
anak-anak."
"Dajal edan!" Teriak Wiro.
"Kakak siapa...?" Salah seorang gadis bertanya.
Wiro tak menjawab.
"Kami sangat berterima kasih pada kakak." Seorang gadis lainnya berkata sambil
berdiri. Yang lain-lain ikut berdiri. Lalu tiga belas gadis itu mengerubungi
Wiro. Ada yang mencium tangannya, ada pula yang memeluknya sambil kucurkan air
mata. Tiba-tiba ada suara orang berseru lantang.
"Oala! Orang yang kita khawatirkan keselamatannya ternyata tengah bersenangsenang dengan belasan gadis cantik!"
Tiga belas gadis cepat melepaskan pelukan. Wiro berpaling ke arah telaga sebelah
kiri. Di tepi telaga itu berdiri Ratu Randang senyum-senyum. Di sebelahnya tegak
Sakuntaladewi sambil menggigit-gigit bibir, sementara agak jauh Kunti Ambiri
berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada menatap ke langit memandangi
bulan biru. "Wiro, rejekimu rupanya besar nian malam ini! Dari mana kau dapat begitu banyak
kekasih cantik?" Ratu Randang kembali keluarkan ucapan.
"Nek, mereka bukan kekasihku. Mereka para gadis peliharaan Dirga Purana.
Mereka..."
"Sudah, sudah. Aku percaya pada ucapanmu. Rupanya Dirga Purana bocah kurang ajar
itu sudah mati di tanganmu! Jadi kini kau merasa semua peliharaannya menjadi milikmu!"
"Bukan begitu Nek. Aku... Tanya saja sama mereka apa yang telah terjadi. Apa kau
juga tidak melihat ada keanehan" Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna biru!"
"Weehhh! Jangan mengalih pembicaraan dari kepergok bercumbu-cumbuan kepada bulan
di langit tinggi. Jauh amat. Hik... hik... hik!"
Tiba-tiba di kegelapan malam melesat satu bayangan putih di tepi telaga sebelah
timur. Ketika semua mata dipalingkan ke arah itu, di atas sebuah batu kelihatan
berdiri satu jerangkong yang memancarkan cahaya putih.
Di atas tengkorak kepalanya bergelung sehelai sorban berwarna kelabu.
"Emban Buyut Kumara Gandamayana. Lor Pengging Jumena." Ucap Sakuntaladewi
perlahan dengan suara bergetar sementara Ratu Randang dan Kunti Ambiri menatap
tak berkesip. Tak ada yang berani bicara. Tiga belas gadis yang mengelilingi
Wiro tampak ketakutan.
Jerangkong yang berdiri di atas batu dongakkan kepala, memandang ke arah bulan
purnama biru di langit malam.
Lalu makhluk ini keluarkan ucapan bersuara lembut tapi jelas terdengar oleh
semua orang yang ada di sekitar telaga, padahal air terjun walau sudah berpindah
tempat suaranya masih tetap menggemuruh deras.
"Kebajikan telah dibuat. Berkah Yang Maha Kuasa telah turun. Bulan biru menjadi
kenyataan. Bhumi Mataram telah kembali pada ketenteraman. Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi Lokapala akan kembali memimpin kerajaan.
Lalu mengapa kita masih menaruh syak wasangka dan berprasangka buruk...?"
Ratu Randang yang maklum kalau ucapan itu ditujukan pada dirinya cepat menjawab,
"Embah Buyut Lor Pengging Jumena, maafkan saya. Sebenarnya tadi saya cuma
bercanda..."
Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si nenek, jerangkong di atas batu
lanjutkan ucapan.
"Di balik semua berkah itu masih ada perkara yang belum terselesaikan. Ksatria
Panggilan, pergilah ke Kotaraja. Sebelum fajar menyingsing, selagi rembulan biru masih kelihatan ujudnya di
langit Mataram, kau sudah harus sampai di sana. Temui Raja Mataram dan serahkan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada beliau. Setelah Raja menerima senjata sakti itu
minta izin padanya untuk kau pinjam barang seketika guna menyembuhkan cacat di
kaki gadis bernama Sakuntaladewi itu. Hanya kau yang ditentukan mampu menyembuhkan cacat yang membawa derita sengsara dirinya. Lalu jangan
lupa akan segala kaul yang telah terucap. Sebaik-baiknya hati adalah yang siap
mene- rima segala kenyataan. Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang dilakukan dengan
segala keikhlasan..."
Sosok jerangkong di atas batu yang tadi bersinar terang perlanan-lahan berubah
redup dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Ratu Randang tundukkan kepala. Kunti
Ambiri menatap ke arah air terjun yang kini telah berpindah tempat.
Sakuntaladewi melirik ke jurusan Pendekar 212, dan tiga belas gadis tampak
tertegun memandangi Wiro sang tuan penolong mereka.
"Kakak, kami akan mengantarmu ke Kotaraja..." Tiba-tiba salah seorang gadis
berkata. Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala. "Kita semua sama-sama menuju ke sana.
Kalau memang ada berkah Yang Maha Kuasa turun ke bumi, maka berkah itu adalah
juga bagian kita semua yang ada di sini. Kalau kita semua bisa berjalan cepat
sebelum tengah malam pasti sudah sampai di Kotaraja." Wiro lalu melangkah
mendekati Sakuntaladewi. Dipegangnya tangan gadis itu. "Aku sudah terlalu lama
tidak memperhatikan dirimu. Saatnya aku harus menolongmu. Kita berangkat ke
Kotaraja." Lalu Wiro mendekati Kunti Ambiri. Memeluk gadis cantik alam roh ini
pada punggungnya dan menggandengnya mendatangi Ratu Randang.
"Nek, sebelum aku merasa berkah Yang Maha Kuasa benar-benar menjadi bagian
diriku, aku ingin menerima berkah darimu terlebih dulu..."
Ratu Randang tampak terkejut. "A... apa maksudmu?"
Tanya Ratu Randang agak gagap.
"Ssstt! Berapa sisa ciumanku yang masih terhutang?"
Ujar Wiro pula dengan suara sengaja diperlahan.
Sepasang mata si nenek mendelik, tapi wajahnya tampak berseri. Tidak malu-malu dan tidak menunggu lebih lama lagi Ratu Randang
lalu rangkul dan daratkan belasan ciuman di wajah Pendekar 212. Kunti Ambiri
geleng-geleng kepala. Sakuntaladewi senyum-senyum. Sepuluh gadis dan tiga anak
perempuan tercengang-cengang melihat apa yang terjadi. Tapi tak urung semua
mereka kemudian bersorak bahkan ada yang berseru dan tertawa haha-hihi!
TAMAT Malapetaka di Bhumi Mataram belum sepenuhnya
berakhir, karena nasib Eyang Sinto Gendeng masih belum ada kejelasan. Apa yang
terjadi dengan Dirga Purana.
Benarkah anak lelaki itu telah menemui ajal di dalam goa"
Berhasilkah Wiro menyembuhkan cacat Sakuntaladewi dan terlaksanakah kaulan si
gadis untuk menjadikan Wiro sebagai suaminya"
Apa yang terjadi dengan Jaka Pesolek. Ke mana lenyapnya selir ke satu sang
Penguasa Atap Langit"
Silahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya dalam jalinan cerita dimulai dengan
judul: DEWI DUA MUSIM Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 2 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 19

Cari Blog Ini