Ceritasilat Novel Online

Delapan Pocong Menari 3

Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari Bagian 3


yang lebih mendekatkannya pada Wiro.
Merasa tidak enak Ken Parantili berkata. "Sahabat semua. Sebenarnya kami dalam
perjalanan ke satu goa rahasia. Tempat di mana jantungku disekap oleh Penguasa
Atap Langit..."
"Ken Parantili. Kami semua melihat kau sebagai
manusia hidup, tidak beda dengan diri kami. Bagaimana mungkin kau mengatakan
tidak memiliki jantung?" Kunti Ambiri tiba-tiba memotong ucapan Ken Parantili.
Ken Parantili diam saja. Dia tahu kalau Kunti Ambiri bukan manusia. Tapi makhluk
dari alam roh karena pernah menemui ajal dibunuh Wiro.
Jaka Pesolek menyeletuk. "Soal kau punya jantung atau tidak, walau aneh aku
tidak perduli. Kau datang ke sini, berarti kau selamat, tidak jadi dibunuh
Penguasa Atap Langit. Kalau menurut jalan ceritanya Penguasa Atap Langit saat
ini pasti sudah mati. Semua itu menerangkan bahwa kalian berdua telah
melaksanakan syarat
pertolongan. Yaitu tidur atau melakukan hubungan badan mulai dari matahari
tenggelam sampai fajar menyingsing!
Nah itu yang kita-kita di sini ingin tahu bagaimana jalan ceritanya!"
Wajah Ken Parantili tampak bersemu merah. Saat itu pikirannya sedang kacau.
Ucapan Jaka Pesolek, gadis yang dianggapnya aneh itu membuat dia gemas. Pendekar
212 sendiri melongo mendengar ucapan Jaka Pesolek itu.
Walau jengkel, dengan tenang Ken Parantili menjawab.
"Selama berada di Negeri Atap Langit kami tidak pernah melakukan hubungan badan!
Jangan para sahabat di sini menyangka yang bukan-bukan. Tidur tidak sama dengan
melakukan hubungan badan..."
"Tapi!" Kunti Ambiri memotong namun tidak
melanjutkan ucapan.
Masih dengan wajah merah Ken Parantili berpaling
pada Wiro dan berkata. "Aku mohon, sebaiknya kau saja yang menerangkan. Jelaskan
semuanya pada para sahabat di sini. Jangan ada yang terlupa, jangan ada yang
disembunyikan."
Wiro menggaruk kepala. Karena tidak bisa mengelak dia lalu menuturkan apa yang
terjadi sejak meninggalkan Bhumi Mataram pergi ke Negeri Atap Langit dan berada
di puncak gunung itu. Semua orang terdiam mendengar
cerita Wiro. Sampai Sakuntaladewi kemudian membuka mulut untuk pertama kali.
"Soal katamu kau tidak memiliki jantung. Bagaimana kami bisa percaya. Tidak ada
manusia bisa hidup tanpa jantung."
"Aku bukan tidak memiliki jantung. Tapi jantungku berada di luar tubuh. Disekap
Penguasa Atap Langit di dalam sebuah goa."
Dari wajah-wajah yang memandang pada Ken Parantili jelas mereka tidak bisa
mempercayai apa yang dikatakan selir itu.
"Ken Parantili, kalau kau tidak membuktikan sendiri sulit para sahabat di sini
mempercayai ucapanmu.
Perlihatkan pada mereka dada kirimu."
Mendengar ucapan Wiro, Jaka Pesolek pentang
matanya lebar-lebar, menatap tak berkesip. Ken Parantili melangkah mendekati
Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi. Dia sengaja membelakangi Jaka
Pesolek. Tapi gadis ini dengan cepat melompat ke samping Kunti Ambiri hingga dia bisa
melihat jelas apa yang akan dilakukan orang.
Dengan tangan kirinya Ken Parantili menyibakkan dada pakaian putih berenda di
bagian dada sebelah kiri. Begitu dadanya yang bagus terpentang putih, dengan
ujung ibu jari tangan kanan dia menggurat kulit dan daging dadanya.
Sreett! Dada kiri terkuak menganga, isi rongganya terlihat jelas. Semua orang
yang berdiri di hadapan Ken Parantili tersentak kaget dan tersurut mundur satu
langkah! "Para sahabat semua. Kalian tahu apa yang dinamakan jantung. Lihat baik-baik,
apa ada jantung di dalam rongga dadaku sebelah kiri"!"
Tak ada yang menyahut. Semua hanya bisa menatap
dengan mata mendelik dan mulut ternganga.
Ken Parantili usap dadanya dengan telapak tangan
kanan. Dada kiri yang terbelah terkuak, menutup kembali tanpa bekas tanpa darah!
Walau merasa agak lega namun Wiro tetap saja
menaruh khawatir. Dia mendekati Ken Parantili. Setengah berbisik Wiro berkata.
"Waktu mengusap punggungmu tadi, aku merasa ada sebuah benda di balik pakaianmu.
Sewaktu Delapan Pocong menolongmu, aku sempat
melihat salah seorang dari mereka memasukkan sesuatu ke balik punggung bajumu.
Kurasa saat ini benda itu masih ada di belakang punggungmu."
Ken Parantili terkejut. Cepat-cepat dia mengulur tangan ke belakang. Dia jadi
lebih terkejut lagi sewaktu melihat benda yang sejak tadi ada di punggungnya
ternyata adalah lembaran daun keladi yang ditemuinya di sela-sela daun pohon
beringin. Yang telah membuat dirinya sangat tergoncang dan nekad bunuh diri.
"Kau telah membaca apa yang tertulis di daun itu.
Sekarang beritahu padaku apa bunyi tulisan itu. Jika kau ada kesulitan aku pasti
akan menolong."
"Tidak, kesulitanmu lebih besar dan lebih banyak dari yang aku hadapi." Jawab
Ken Parantili. Wajah pucat dan suara agak gagap. "Aku... aku harus pergi
sekarang. Harap dimaafkan. Kau... kau pegang saja daun ini."
"Kau... kau mau pergi ke mana?" Tanya Wiro.
Ken Parantili hanya menggeleng. Tiba-tiba tubuhnya berputar. Dua kaki bergeser
membuka. Desss! Sosok Ken Parantili lenyap. Di tanah kelihatan sebuah lobang
sepemasukan tubuh manusia. Lobang itu kemudian lenyap tanpa bekas.
"Terowongan Arwah! Aku tidak mengira dia memiliki ilmu kesaktian itu!" Ucap Wiro
melongo. "Dengan terowongan seperti ini Empu Semirang Biru meloloskan diri sewaktu kabur
mencuri Keris Kiai Sepuh Pelangi di Ruang Segi Tiga Nyawa." Ratu Randang memberi
tahu Wiro. "Kau punya dari kakek sakti Kumara Gandamayana.
Ilmu menyusup masuk ke dalam tanah. Apa kau tidak ingin mengejar selir itu?"
Bertanya Kunti Ambiri.
Murid Sinto Gendeng seperti tidak perduli dengan apa yang dikatakan si nenek dan
Kunti Ambiri walau dia mencium kalau dalam diri Kunti Ambiri masih terasa adanya
kecemburuan. Wiro bentangkan lembaran daun keladi yang telah lusuh dan
memperlihatkan pada Ratu Randang.
"Nek, kau orang Bhumi Mataram. Pasti bisa membaca tulisan ini. Tolong bacakan
untukku apa isinya."
Kening si nenek mengerenyit. Sepasang mata juling perhatikan tulisan yang
tertera di daun keladi. Dia mulai membaca dan mulut berucap.
Ken Parantili, Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam masa bertobat ini
aku ingin memberi tahu padamu
Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil
"Oala!" Jaka Pesolek berseru. "Hebat sekali! Baru tadi malam ditiduri sahabat
kita ini! Sekarang sudah hamil!"
Ratu Randang hentikan bacaan. Wiro menatap geram
pada Jaka Pesolek. "Pasang kupingmu! Pakai otakmu!
Kalau tidak mengerti arti tulisan yang dibaca nenek itu pergi saja dari sini
sebelum kutampar mulutmu!"
Jaka Pesolek melangkah mundur. Takut benar-benar
ditampar Wiro. "Nek, lanjutkan bacaanmu. Sebaiknya diulang lagi dari semula biar gadis kacoak
ini mengerti!" Kata Wiro pada Ratu Randang.
Si nenek kembangkan daun keladi yang dipegangnya.
Sebelum kembali membaca dia menatap dulu pada Jaka Pesolek. "Kalau kau berani
lagi memotong bacaanku, aku yang akan lebih dulu meremas mulutmu sampai
mencong!" "Tidak Nek, aku tidak akan mengganggu bacaanmu."
Jawab Jaka Pesolek sambil menekap pipi kiri kanan.
Maka Ratu Randang mulai lagi membaca apa yang
tertulis di atas daun keladi. Mulai dari bait pertama.
Ken Parantili, Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam masa bertobat ini
aku ingin memberi tahu padamu
Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil
Usia kandunganmu telah tiga bulan
Bilamana kau melahirkan nanti
Maka bayimu adalah seorang anak laki-laki
Beri dia nama Bintang Langit
Jika Yang Maha Kuasa memberi izin
Aku sangat berharap dapat menemui dirimu
dan anak kita. Wiro termenung beberapa lamanya. Dalam hati dia
menduga-duga. "Pasti kehamilan itu yang telah
menggoncang diri Ken Parantili. Dia mengandung jabang bayi hasil hubungannya
sebagai selir dengan Penguasa Atap Langit. Hingga dia berbuat nekad menghambur
hendak bunuh diri"
"Hanya itu saja Nek?" Tanya Wiro. "Tidak tertera siapa yang membuat tulisan
itu?" Ratu Randang menggeleng. "Walau tidak ada siapa
penulisnya tapi aku yakin kita semua sudah tahu siapa yang membuat tulisan di
atas daun keladi ini."
"Aku mengerti dan tahu maksudmu Nek. Yang
membuat pasti Penguasa Atap Langit." Kata Wiro pula.
Lalu dia menyambung ucapan. "Aku hanya merasa aneh.
Kalau memang sudah mengandung tiga bulan, mengapa Ken Parantili seperti tidak
mengetahui hal itu?"
"Apa kau tidak menanyakan hal itu padanya?" Tanya Kunti Ambiri.
"Soal kehamilan ini baru sekarang aku tahu, setelah Ratu Randang membacakan apa
yang tertulis di daun keladi."
"Bisa saja yang membuat tulisan di atas daun bukan Penguasa Atap Langit. Tapi
seseorang yang menjadi selingkuhan selir itu." Berkata Jaka Pesolek.
Wiro menarik nafas dalam. "Semua bisa terjadi di
Negeri Atap Langit yang serba aneh ini. Waktu nanti yang akan mengatakan.
Sekarang aku harus menemukan Ni
Gatri secepat-cepatnya. Semula ada dua bahaya
mengancam keselamatan dan kehormatan anak
perempuan ini. Kini kurasa Penguasa Atap Langit tidak lagi punya niat
melanjutkan maksud mengambil Ni Gatri
menjadi selir pengganti Ken Parantili. Berarti satu-satunya bahaya yang
mengancam datang dari anak lelaki sakti bernama Dirga Purana yang biasa disebut
dengan panggilan Ksatria atau Sang Junjungan oleh para
pengikutnya. Nek, menurut Ken Parantili kau mungkin bisa memberi tahu di mana
gadis itu berada. Karena katanya kau pernah berada di sana."
"Apa Ken Parantili menyebut nama tempat itu?" Tanya Ratu Randang.
"Dia tidak menyebut nama. Tapi tempat itu adalah
sebuah telaga yang di belakangnya, terdapat satu air terjun. Di balik air terjun
ada sebuah goa. Di dalam goa itu Ni Gatri disekap."
Ratu Randang tersentak kaget. Lalu rundukkan kepala sembunyikan senyum.
"Kau masih bisa tersenyum Nek," kata Sakuntaladewi.
"Aku hanya teringat pada satu kejadian. Di tempat itu aku menipu Sinuhun Merah
dan Sinuhun Muda. Mereka mengira meniduri diriku. Padahal aku sudah mengganti
tubuhku dengan seekor anjing jejadian! Hik... hik... hik."
Bercerita Ratu Randang.
"Kau tahu letak goa itu Nek?" Tanya Wiro.
Si nenek mengangguk lalu memandang berkeliling.
"Siapa mau ikut?"
"Kami semua Nek," jawab Kunti Ambiri. Sakuntaladewi mengangguk tanda mengiyakan
ucapan Ratu Randang.
"Bagaimana denganmu?" Tanya Ratu Randang pada
Jaka Pesolek yang saat itu kembali membayangkan dada Ken Parantili yang bagus
sebelum dibelah dikuak
mengerikan. Ditanya orang, gadis ini jadi terkejut. Dia menjawab tapi salah
bicara. "Iya, dadanya putih bagus. Walau tidak ada jantung tak jadi apalah. Tidak
kelihatan ini dari luar..."
Ratu Randang langsung saja jewer telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang
ahli menangkap petir ini teraduh-aduh kesakitan. "Ditanya lain dijawab lain!" Si
nenek mengomel.
*** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
12 ANG surya baru saja muncul jauh di ufuk timur. Udara masih agak temaram dipagut
ujung malam. Satu
Sbayangan merah berkelebat lalu berdiri di atas
sebuah batu hitam yang bertebaran di pinggir telaga. Dua tangan diangkat ke
atas. Saat itu juga curahan air terjun di depan telaga mendadak berhenti. Antara
air terjun di sebelah atas dan sebelah bawah muncul ruang terbuka.
Suasana sunyi karena terhentinya deru air terjun
mendadak dirobek oleh suara aneh. Suara riuh ngeongan kucing.
Orang di atas batu, yang mengenakan blangkon dan
pakaian serba merah serta memiliki delapan benjolan merah di kening, jadi
tercekat. Dalam hati berkata. "Dia membawa serta peliharaannya Delapan Sukma
Merah ke dalam goa. Jangan-jangan anak perempuan itu sudah..."
Ucapan hati orang di atas batu terputus ketika dari dalam goa kemudian ada suara
membentak. "Siapa berani kurang ajar mengganggu
ketenteramanku"!"
Suara yang membentak suara anak kecil. Tapi memiliki gelegar hebat pertanda si
bocah memiliki tenaga dalam hebat.
"Ksatria Junjungan Dirga Purana! Mohon maafmu. Saya Sinuhun Merah Penghisap
Arwah datang menghadap.
Membawa kabar kurang baik!"
Dari dalam goa terdengar suara kutuk serapah.
"Lagi-lagi kau! Ini kedua kali kau berani mengganggu diriku! Aku hendak
bersenang-senang! Kau datang
mengganggu dengan membawa kabar tidak baik! Apa kau tidak dapat menelan dulu
kabar buruk itu di dalam perut busukmu"! Sinuhun! Jangan kau berani berlaku
kurang ajar padaku!"
"Mohon maafmu Sang Junjungan. Namun ini sangat
penting! Sebenarnya saya sudah menunggu sejak tengah malam tadi di sekitar
telaga. Sekarang malam telah berganti siang. Saya tidak mungkin menunggu lebih
lama." Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah Penghisap Arwah sesaat nampak
memancar terang lalu redup kembali.
Diam seketika. Lalu dari dalam goa terdengar suara.
"Kau tunggu di telaga! Banyak hal aneh terjadi belakangan ini. Aku akan meminta
Rakanda Delapan Sukma Merah untuk mengawasi keadaan lebih dulu. Jika kau membawa
kabar buruk bukan mustahil ada yang menguntitmu datang ke tempat ini! Jika
sampai orang luar tahu aku berada di sini bersama kekasihku, amblas nyawamu!"
"Saya menurut perintah!" Jawab Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.
"Aku juga akan memerintah Rakanda Delapan Sukma
Merah untuk memeriksa dirimu. Apa kau Sinuhun Merah Penghisap Arwah sungguhan
atau jejadian yang datang menyamar untuk mencelakai diriku!"
"Sang Junjungan, kau terlalu berkhawatir. Masakan tidak percaya padaku" Siapa
orang lain yang mampu menahan deru air terjun selain diriku dan saudara nyawa
kembarku Sinuhun Muda Ghama Karadipa!" Sinuhun
Merah merasa tidak senang hendak diperlakukan seperti itu. Dari dalam goa
terdengar jawaban.
"Aku percaya padamu. Tapi aku lebih percaya pada
kenyataan. Bukankah kau pernah ditipu nenek bernama Ratu Randang"! Kau merasa
dan melihat meniduri dirinya.
Padahal yang kau tiduri adalah seekor anjing! Ha... ha... ha!


Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak lupa cerita itu!"
Rahang Sinuhun Merah Penghisap Arwah
menggembung. Tampang yang sudah merah kini menyala seperti saga. Kakinya
bergetar. Kraak! Batu yang dipijak sampai retak akibat amarah yang menggelegak.
Tak selang berapa lama tempat itu dibuncah oleh suara ngeongan keras. Dari dalam
goa melesat keluar delapan benda merah yang ternyata adalah delapan ekor anak
kucing berbulu merah. Inilah binatang peliharaan Dirga Purana yang dipanggil
dengan sebutan Rakanda Delapan Sukma Merah. Seolah delapan anak kucing itu
adalah saudara-saudara tuanya! Delapan anak kucing ini bukan binatang biasa.
Selain bulunya, sepasang mata juga berwarna merah. Daun telinga mencuat ke atas
dan lebih besar dari anak kucing biasa. Di sudut bibir kiri kanan kelihatan
taring lancip. Di kening ada satu benjolan merah.
Dan hebatnya mereka memiliki kesaktian tinggi.
Delapan anak kucing itu melesat ke arah delapan
pohon besar di sekeliling telaga. Di atas pohon mereka kembali mengeong riuh
sambil sepasang mata
memandang liar ke berbagai penjuru.
"Binatang tolol!" Maki Sinuhun Merah Dalam Hati.
"Majikanmu ingin menyembunyikan diri di tempat ini! Kau malah mengeluarkan suara
yang bisa menjadi perhatian orang!"
Baru saja Sinuhun Merah memaki, delapan anak kucing melompat dari atas pohon
laksana terbang, lalu hinggap di kepala, bahu dan punggungnya. Binatang-binatang
ini mengendus dan mencium-cium. Kalau saja kucing-kucing itu adalah kucing
biasa, saat itu juga pasti sudah digebuk hancur kepala mereka oleh Sinuhun
Merah. Setelah memastikan tidak ada kelainan dan bahwa
orang yang mereka periksa adalah benar Sinuhun Merah Penghisap Arwah, delapan
anak kucing mengeong keras lalu melesat ke udara, menembus celah air terjun yang
menggantung dan masuk kembali ke dalam goa!
"Jahanam!" Rutuk Sinuhun Merah.
Suasana sunyi hanya berlangsung sebentar. Dari dalam goa menggelegar keluar
suara bocah yang disebut Ksatria Junjungan Dirga Purana.
"Sinuhun Merah! Kau tidak perlu masuk ke dalam goa!
Aku yang akan keluar menemuimu!"
"Saya menunggu." Jawab Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Tak lama kemudian dari dalam goa melesat sosok
seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Anak ini mengenakan
seperangkat baju dan celana hitam yang diberi hiasan renda kuning emas pada
kerah baju, lengan baju serta pergelangan kaki. Bagian atas baju tidak
dikancing. Celana agak kedodoran. Rambut tebal awut-awutan. Wajah tampak merah.
Anting-anting emas yang mencantel di telinga kiri berkilauan terkena sinar
matahari pagi. Dengan gerakan enteng dia melayang turun dan jejakkan kaki di
atas batu yang ada di depan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Berdiri dengan
berkacak pinggang bersikap congkak. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat
membungkuk dan susun sepuluh jari di atas kepala.
"Katakan, kabar buruk apa yang kau bawa!" Sang
Junjungan Dirga Purana keluarkan ucapan. Waktu bertanya dia tidak menatap ke
arah Sinuhun Merah tapi
memandang berkeliling mengawasi keadaan sekitar telaga.
"Ksatria Junjungan, petang kemarin saya berusaha
menemui Penguasa Atap Langit..."
"Bukan saatnya kau harus menemui makhluk itu!"
Memotong Ksatria Junjungan.
"Benar sekali Sang Junjungan. Tapi saya merasa perlu menemui untuk memberi tahu
kalau ada yang akan
menyusup ke dalam Negeri Atap Langit untuk
mencelakainya."
"Ckk... ckk... ckk!" Si bocah keluarkan suara berdecak.
"Hebatnya dirimu. Kau lebih senang menjaga keselamatan Penguasa Atap Langit
daripada menjaga diriku! Apa kepentinganmu! Kau menyembunyikan sesuatu padaku"!"
"Bukan begitu Sang Junjungan. Saya tidak punya
kepentingan pribadi. Juga tidak menyembunyikan sesuatu.
Karena kalau Penguasa Atap Langit celaka, kita juga celaka. Bukankah kita hanya
tinggal menunggu Sesajen Atap Langit sekali lagi lalu baru melancarkan rencana
menyingkirkannya dari Negeri Atap Langit"
"Hemmm..." Ksatria Junjungan bergumam. "Beritaku
padaku. Siapa yang menyusup hendak mencelakai
Penguasa Atap Langit."
"Siapa lagi kalau bukan pemuda dari negeri delapan ratus tahun mendatang itu!"
"Maksudmu pemuda berambut panjang yang dikenal
dengan julukan Ksatria Panggilan itu?"
"Betul Sang Junjungan. Dia dibantu oleh selir pertama Penguasa Atap Langit
bernama Ken Parantili..."
"Hemm..." Dirga Purana kembali bergumam. Mulut
sunggingkan senyum. "Siapa nama selir yang jadi kekasih selingkuhanmu di Negeri
Atap Langit?"
"Namanya Windu Resmi. Tapi saat ini saya rasa dia sudah menemui ajal. Dibunuh
selir pertama, dibantu Ksatria Panggilan."
"Kau sudah bersusah payah mendatangkan Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran
Matahari untuk menghabisi si gondrong itu. Ternyata terus-terusan gagal. Semua
karena kesalahan dan ketololanmu sendiri bersama saudara nyawa kembaranmu Ghama
Karadipa! Sekarang kau mau melakukan apa" Mau minta bantuan apa padaku"!"
Tampang Sinuhun Merah tampak tegang. Dengan
menindih rasa jengkel karena dianggap tolol, dia
menjawab. "Saya datang tidak untuk minta bantuan apa-apa. Saya datang hanya
memberi tahu. Membawa pesan Penguasa Atap Langit."
"Pesan apa?" Tanya Dirga Purana dengan mata
mendelik. "Penguasa Atap Langit minta seseorang mengantarkan anak perempuan bernama Ni
Gatri itu kepadanya karena akan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken
Parantili!"
"Aku tidak tuli, telingaku belum pekak! Penguasa Atap Langit inginkan Ni Gatri
untuk jadi selirnya! Ha... ha... ha!
Mengapa tidak dia sendiri yang datang kemari untuk menjemput"!"
Sinuhun Merah tidak menjawab.
Dirga Purana angkat kepala, menatap ke langit yang bertambah terang di atas
telaga. "Jika Penguasa Atap Langit inginkan Ni Gatri sebagai selir baru, berarti
selir pertama Ken Parantili saat ini sudah tamat riwayatnya.
Dibunuh sang Penguasa. Bukankah begitu hukum setan yang dibuat sendiri oleh
Penguasa Atap Langit"! Selir tertua harus dibunuh kalau hendak mengambil selir
baru! Tapi mengapa kemudian si gondrong Ksatria Panggilan keparat itu muncul di
Negeri Atap Langit" Mau menolong Ken Parantili" Katakan apa yang kau ketahui
mengenai nasib terakhir selir pertama itu bersama Ksatria Panggilan.
Mungkin keduanya saat ini sudah pada mampus! Tapi bisa juga masih gentayangan!"
Si bocah tiba-tiba ceburkan dirinya ke dalam telaga.
Ketika muncul kembali dan berdiri di atas batu, wajahnya tampak segar. Kulit
lebih bersih. Tapi rambut, tubuh maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
"Pergi kembali ke Negeri Atap Langit! Katakan pada Penguasa Atap Langit bahwa
aku tidak akan menyerahkan anak perempuan itu. Apapun yang terjadi!"
"Sang Junjungan, kita masih perlu beberapa ilmu
kesaktian lagi dari Penguasa Atap Langit. Bagaimana kalau kita bersikap lunak,
berlaku cerdik. Kita berikan anak perempuan itu tapi kita tipu dia. Bukankah
Sang Junjungan tidak bermaksud akan memiliki Ni Gatri untuk selama-lamanya" Di
Bhumi Mataram ini kelak saya bisa
mencarikan gadis pengganti yang lebih cantik dan molek dari Ni Gatri. Jika perlu
yang berusia delapan sampai sepuluh tahun, agar sebanding dengan Sang Junjungan.
Ni Gatri itu, bukankah dia dua tahun lebih tua dari Sang Junjungan?"
Si bocah Dirga Purana usap-usap anting emas di telinga kiri. Merenung sejenak
lalu bertanya. "Sinuhun Merah, tipuan apa yang kau maksudkan yang akan kita
lancarkan pada Penguasa Atap Langit?"
"Kita berikan saja Ni Gatri padanya. Tapi..."
"Tapi apa?" Tanya Dirga Purana.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah melangkah mendekati Dirga Purana. Tubuhnya yang
tinggi dibungkukkan, lalu mulut membisikkan sesuatu ke telinga si bocah.
Sepasang alias mata sang Junjungan mencuat ke atas, bola mata membesar lalu dia
tertawa bergelak.
"Kau benar, Sinuhun. Aku sudah cukup lama menunggu sampai anak itu mau aku
gauli. Kali ini aku akan
mencekoknya sedikit dengan ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak agar dia
mengikuti semua apa mauku! Malah bisa-bisa nanti dia yang akan ketagihan! Ha...
ha... ha! Kalau aku sudah puas, menjelang siang kau boleh
membawa dan menyerahkan anak itu pada Penguasa Atap Langit..."
"Bukan saya, tapi saya akan menyuruh Ksatria Roh
Jemputan untuk membawa dan menyerahkan anak
perempuan itu pada Penguasa Atap Langit. Ini karena katanya dia tidak mau
melihat tampang saya lagi!"
"Begitu?" Dirga Purana kembali tertawa. "Aku akan masuk kembali ke dalam goa.
Kau berjaga-jaga. Kecuali aku memerlukanmu jangan sekali-kali berani
mengganggu!"
"Perintah Sang Junjungan akan saya lakukan. Jangan khawatir. Pagi ini udara
tampak cerah. Segala sesuatunya pasti akan berjalan lancar. Selamat bersenangsenang saya ucapkan." Kata Sinuhun Merah sambil tersenyum dan membungkuk hormat.
Si bocah sakti Dirga Purana melesat melewati celah air terjun yang masih
menggantung. Begitu sosoknya lenyap di dalam goa, air terjun kembali bertaut dan
mencurah dengan mengeluarkan suara menderu berkepanjangan.
*** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
13 ERSAMAAN dengan mulai naiknya matahari pagi,
empat orang berlari cepat di dalam rimba belantara.
B Orang kelima berkelebat melompat dari satu pohon ke pohon lain. Agaknya dia
memiliki ilmu meringankan tubuh serta gerakan kilat. Empat orang yang berlari di
dalam rimba adalah Wiro, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Orang
yang berkelebat dari pohon ke pohon bukan lain gadis berpakaian merah muda Jaka
Pesolek. Di satu tempat, di bawah sebuah pohon besar Wiro
hentikan lari. Memberi tanda pada teman-temannya.
"Ada apa?" tanya Sakuntaladewi.
"Aku mendengar deru suara air." Jawab Wiro.
"Berarti kita sudah dekat ke tempat yang dituju. Hati-hati. Bocah sakti itu
pasti..." Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun Jaka Pesolek.
"Aku melihat..."
"Ssssh. Bicara perlahan. Kita sudah dekat dengan
telaga dan air terjun." Kunti Ambiri mengingatkan.
"Apa yang kau lihat"!" Bertanya Wiro.
"Aku melihat telaga. Lalu air terjun. Lalu ada orang duduk bersila di atas batu
di tepi telaga. Kebetulan dia menghadap ke arahku. Orang itu Sinuhun Merah
Penghisap Arwah." Menerangkan Jaka Pesolek.
"Jika Sinuhun keparat itu ada di sekitar air terjun, berarti bocah mesum itu
juga ada di sana. Pasti Sinuhun Merah tengah berjaga-jaga. Berarti kita bakal
menemukan Ni Gatri. Aku akan membekuk batang leher makhluk itu lebih dulu. Ikuti
aku." Ratu Randang pegang lengan Wiro. "Hati-hati dan ingat.
Apa yang kau lihat belum tentu benda atau keadaan aslinya. Jika Sinuhun berjagajaga dia pasti mengeluarkan ilmu untuk berlindung. Dia punya Ilmu Penyesat. Dia
juga memiliki ilmu yang disebut Tabir Langit Turun ke Bumi.
Pandangan mata kita bisa tertipu."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus mendahului menipunya."
"Apa maksudmu, Nek?"
"Kita semua merubah diri menjadi binatang."
"Ihhh! Binatang apa, Nek?" Tanya Jaka Pesolek yang langsung jadi dingin
tengkuknya. "Kau mau jadi apa" Monyet, kadal, anjing..." Balik bertanya Ratu Randang.
"Aku tidak mau jadi apa-apa Nek." Jawab Jaka Pesolek pula. "Takut kalau sudah
jadi monyet tidak bisa balik!"
"Nek, kita tetap saja dalam keadaan ujud apa adanya.
Yang penting kalian semua sudah aku beri tahu ilmu penangkal kalau Sinuhun Merah
menyerang dengan ilmu kesaktian yang memancarkan cahaya merah. Bocah
bernama Dirga Purana itu pasti punya ilmu yang sama."
"Aku setuju!" Celetuk Jaka Pesolek. "Dengar kalian semua. Aku akan menancing tua
bangka itu agar dia lengah."
"Apa yang hendak kau lakukan" Jangan mencari mati percuma!" Mengingatkan
Sakuntaladewi. "Kalian lihat saja. Kalau dia sudah terpancing kalian boleh membantainya
beramai-ramai..."
"Tidak semudah itu!" Kata Ratu Randang pula.
"Mudah atau tidak itu urusan kita bersama. Aku tak punya ilmu kesaktian. Aku
hanya bisa memancing.
Lebihnya kalian yang punya pekerjaan. Gara-gara Empu Semirang Biru, aku tidak
bisa kencing. Sekarang sepertinya aku merasa seperti mau kencing."
"Kau mau mengencingi Sinuhun itu"!" Tanya Wiro.
"Dia yang akan mengencingiku! Hik... hik!" Jaka Pesolek menutup mulut dengan
tangan kiri menahan tawa lalu berkelebat pergi.
"Gadis konyol itu bisa merusak semua rencana kita.
Sebaiknya lekas diikuti!" Kunti Ambiri mendorong
punggung Wiro. Di depan sana Jaka Pesolek tanpa suara membuat
gerakan kilat. Cepat sekali tahu-tahu dia sudah berada di dalam telaga pada
bagian yang dangkal, hanya beberapa langkah di depan batu besar di mana Sinuhun
Merah duduk bersila dengan mata terpejam.
"Gadis gila! Apa yang dilakukannya!" Wiro yang
sembunyi di balik semak belukar lebat bersama tiga orang lainnya tersentak kaget
ketika melihat di depan sana Jaka Pesolek menyibak bagian bawah pakaian merahnya
sampai setinggi pinggul, melorotkan pakaian dalam lalu duduk menyonggeng.
Mendengar suara kecipuk air, Sinuhun Merah segera buka kedua mata yang terpejam.
Begitu memandang ke depan langsung matanya membentur dua benda putih
bulat, terbelah di sebelah bawah. Mula-mula dia tidak sadar benda apa itu adanya
karena bagian tubuh atas Jaka Pesolek tertutup oleh batu besar. Ketika dia
memperhatikan lagi dengan tak berkesip, kaget sang Sinuhun bukan kepalang. Darah
tersirap! Yang dilihatnya di depan mata bukan lain adalah bokong manusia. Dari
putih dan mulusnya jelas itu adalah aurat perempuan!
Di dalam telaga Jaka Pesolek sengaja goyanggoyangkan auratnya sebelah bawah sambil mendesah.
"Ssshhh... sshhhhh." Aurat diogel-ogel. Lalu dalam hati gadis ini mengomel.
"Sial! Tadi sudah terasa tersesak kencing. Sekarang kenapa tidak mau keluar"!"
Sinuhun Merah melompat bangun dari duduknya.
Langsung membentak. "Makhluk kurang ajar! Kuremas barangmu berani kencing di
telaga milikku. Telaga pemandian Ksatria Junjungan!"
Jaka Pesolek berpura-pura kaget. Dia memekik lalu melompat ke atas batu. Untuk
sekejapan kedua tangannya masih menyingsingkan bagian bawah pakaian ke atas,
membuat Sinuhun Merah yang menyaksikan jadi ternganga tak berkedip!
"Oala! Aku tak mengira ada orang di sini! Tapi jangan marah! Aku belum sempat
kencing! Hik... hik... hik!" Sambil tertawa-tawa Jaka Pesolek cepat tarik ke
atas pakaian dalamnya lalu pakaian luar diturunkan ke bawah.
"Hai! Apa aku mengenalmu?" Sinuhun Merah bertanya ketika melihat ternyata orang
yang dihardik adalah gadis berwajah cantik bertubuh tinggi semampai.
"Aku orang kampung. Mana kau mengenalku. Tapi
sebaliknya aku mengenalmu. Bukankah kau orang gagah terkenal yang dipanggil
dengan sebutan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aih... namanya seram angker
mengerikan. Ternyata orangnya walau sudah bangkotan tapi masih gagah! Hik...
hik... hik! Hai, jangan katakan aku tidak tertarik..."
"Siapa namamu" Kau datang dari mana" Mengapa bisa muncul di tempat ini?"
Bertanya Sinuhun Merah. Suaranya yang tadi tinggi kini melembut.
"Sinuhun, mohon maafmu. Aku tak sengaja terpesat.
Aku seorang sinden. Namaku Ni Goyang Apik..."


Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nama aneh..."
"Itu karena aku menyanyi sambil bergoyang. Baru
menyanyi di atas panggung, belum di tempat ketiduran..."
"Mulutmu agak jahil. Tapi aku suka!" Kata Sinuhun Merah pula sambil mesem-mesem.
"Aku juga suka! Jarang aku menemui orang gagah
sepertimu." Balas Jaka Pesolek sambil melepas senyum dan goyangkan pinggul.
"Tadi kau lagi mau apa" Mau kencing tapi belum
kesampaian..."
"Maafkan aku Sinuhun."
"Kalau kau mau meneruskan kencing, silahkan saja.
Biar aku menjagai."
"Oooh baiknya Sinuhun..."
Sinuhun Merah pentang mata lebar-lebar ketika
dilihatnya gadis cantik di atas batu menggerakkan tangan hendak menyingsingkan
pakaian. Namun tiba-tiba ada empat bayangan berkelebat. Disertai suara lantang
mengejek mempermainkan.
"Kami juga mau kencing! Tolong Sinuhun menjagai!"
Lalu di tempat itu menggelegar tawa bergelak. Ada suara tawa lelaki, yang lebih
banyak suara tawa
perempuan. Dan di atas batu, sambil berkacak pinggang Jaka Pesolek ikutan
tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dua tangan diturunkan. Dipakai mengibas-ngibas
bagian bawah pakaian merah muda. Sesekali lidah dicibirkan ke arah Sinuhun
Merah. *** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
14 INUHUN Merah sadar kalau dirinya telah tertipu,
dibuat lengah hingga tidak mengetahui kemunculan
Sempat orang yang bukan lain adalah Pendekar 212, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Dengan cepat Sinuhun Merah kuasai diri dari
keterkejutan. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam ke kening. Delapan benjolan di
kepalanya pancarkan cahaya terang. Wiro dan kawan-kawan berlaku waspada. Tapi
Sinuhun Merah tidak lancarkan serangan. Malah tangan kiri berkacak pinggang dan
tangan kanan menunjuk ke arah Ratu Randang. Mulut membentak. "Nenek bejat!
Dicari-cari menghilang! Sekarang datang sendiri mengantar nyawa!"
"Huss! Jangan bicara seperti itu pada bekas kekasih.
Aku datang bukan mengantar nyawa. Tapi mengantar dada dan paha! Hik... hik...
hik!" "Perempuan iblis!" Teriak Sinuhun Merah marah luar biasa. Dua lutut melipat,
tubuh merunduk, delapan benjolan merah memancar terang.
"Tunggu!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak.
"Sinuhun Merah. Ilmumu boleh selangit tembus! Tapi menghadapi kami berlima kau
bisa konyol sebelum
hitungan ke sepuluh! Kami mungkin bisa mengampuni roh busukmu kalau kau mau
memberi tahu di mana beradanya anak perempuan bernama Ni Gatri!"
"Ha... ha! Jadi anak itu yang kau cari. Sayang terlambat!
Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah membawanya ke Negeri Atap
Langit untuk diserahkan pada sang Penguasa di sana dan dijadikan selir pengganti
selir pertama Ken Parantili! Apa kalian semua tidak diundang menghadiri pesta
peresmian anak itu jadi selir"!"
Kunti Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek sama terkesiap
mendengar ucapan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Tapi Wiro yang sudah tahu jalan cerita cuma menyeringai.
"Percuma kau jadi kacung pengawal Sang Junjungan.
Ternyata kau tidak tahu banyak apa yang terjadi di Negeri Atap Langit! Apa
majikanmu bocah mesum itu pernah memakimu sebagai makhluk tolol!"
Tampang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti bara menyala.
"Kalau kau tidak memberi tahu di mana anak
perempuan itu berada, kami akan membantaimu bersama-sama!" Wiro mengancam.
"Ancaman hebat! Tapi pengecut!" Teriak Sinuhun
Merah. "Jauh-jauh datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang keberaniannya
ternyata hanya mengandalkan bantuan orang lain! Main keroyok!"
"Jika bertarung satu lawan satu apakah kau berani menyerangnya dengan Ilmu
Delapan Arwah Sesat
Menembus Langit yang kau keluarkan dari delapan benjolan di keningmu. Atau kau
mampu menghantamnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah?" Yang bicara adalah
Kunti Ambiri. Dia sengaja mengatur jebakan setelah Wiro menceritakan penangkal
semua pukulan lawan yang memancarkan cahaya merah.
"Aku punya puluhan ilmu kesaktian! Mengapa harus
mengandalkan Delapan Sukma Merah"!"
"Ah! Rupanya Penguasa Atap Langit tidak lagi
memberikan dua ilmu itu padamu. Apa itu gara-gara kau ketahuan berselingkuh
dengan Selir Ketiga Windu Resmi"
Ha... ha... ha! Kakek butut, sebaiknya kau tak usah petatang-peteteng gagahgagahan masih menyandang
benjolan di kening!" Wiro mengejek habis-habisan.
"Betul! Mendingan delapan benjolan itu kau pindahkan ke pantat!" Mengejek pula
Ratu Randang. Meledaklah amarah Sinuhun Merah.
"Perempuan jahanam! Mulutmu kotor! Dosa kejimu
padaku sudah lewat takaran! Biar kau kubunuh duluan!"
"Oh ya"! Biar aku pentang dada menyambut
seranganmu!" Tantang si nenek, lalu singkapkan dadanya yang masih bagus. "Dulu
kau pernah membuat tanda
telapak tangan berjari empat di dada ini! Coba aku lihat!
Apa kau masih mampu melakukan!"
Amarah Sinuhun Merah tambah menggelegak. Tanpa
sadar kalau dirinya tengah dijebak orang, didahului teriakan garang dia lepas
Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit dari delapan benjolan di kening.
Serangan ini diarahkan pada Ratu Randang. Di saat bersamaan dia juga hantamkan
dua tangan ke arah Wiro.
Jari tengah sengaja dilipat ke telapak tangan. Delapan sinar merah Pukulan
Delapan Sukma Merah berkiblat!
Kawasan sekitar telaga terang benderang oleh kilatan cahaya merah. Sampai-sampai
air terjun sesaat terlihat dari putih berubah merah. Gelegar mengerikan menggema
dahsyat. Pendekar 212 berteriak keras.
"Delapan jari menusuk batu!" Wiro pentang empat jari tangan kiri kanan.
Mendengar teriakan itu tiga orang yakni Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti
Ambiri kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti kedua tangan masing-masing. Jari
tengah dilipat. Empat jari lainnya mencuat lurus laksana potongan besi. Lalu
dengan kecepatan kilat mereka ikuti apa yang dilakukan Wiro. Hanya Jaka Pesolek
yang tetap berdiri tak bergerak karena dia memang tidak punya kemampuan tenaga
dalam dan hawa sakti.
Kraaakk! Enam belas jari secara hampir bersamaan menancap di bebatuan di tepi telaga.
Empat batu besar berderak hancur. Bersamaan dengan itu menggelegar dentuman luar
biasa dahsyat. Air telaga muncrat ke udara sampai tiga tombak. Air terjun
bergoyang-goyang, memukul ke kiri kanan tebing batu hingga longsor bergemuruh.
Bebatuan di dalam telaga bermentalan. Pepohonan di hutan
bertumbangan. Di mana-mana terlihat buntalan api!
Wiro dan semua orang yang ada di telaga mencelat ke udara. Tanpa mampu
mengimbangi diri semuanya jatuh berkaparan. Ada yang setengah kecebur ke dalam
air, ada yang terbanting di pinggiran telaga. Beberapa di antaranya kucurkan
darah dari mulut, termasuk Jaka pesolek.
Akan halnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah, yang
oleh Penguasa Atap Langit tidak pernah diberi tahu ilmu pantangan atau ilmu
penangkal pukulan sakti yang
dilancarkannya, menjerit setinggi langit. Enam belas cahaya merah pukulan sakti
yang dilepaskan menghantam dirinya sendiri hingga terkutung-kutung dan tercabikcabik. Sebagian tubuh hancur tak berbentuk lagi. Salah satu kutungan kaki menyangsrang
di atas pohon. Belahan kepala mengapung di permukaan telaga!
Di saat-saat luar biasa mengerikan itu mendadak
terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah walau ujud utuhnya tidak
kelihatan. "Saudara nyawa kembar!
Jemput rohku!"
Air terjun seketika seolah berhenti mengucur. Di langit tiba-tiba ada cahaya
kuning yang dengan kecepatan kilat melesat ke arah telaga. Di atas telaga cahaya
kuning berubah membentuk sosok seorang pemuda berpakaian serba hijau.
"Sinuhun Muda Ghama Karadipa..." Desis Wiro
mengenali orang yang muncul dari langit. Saat itu dia dalam keadaan terkapar di
tepi telaga, di antara semak belukar. Wiro berusaha bangkit, khawatir Sinuhun
Muda akan melakukan serangan balasan. Dia beringsut
menghampiri Ratu Randang yang berada paling dekat.
"Nek, kau tak apa-apa?"
"Aku, dadaku mendenyut sakit. Tapi tidak apa-apa.
Sudah, jangan bicara dan jangan bergerak dulu. Kita tidak tahu apa yang terjadi.
Mendekat ke sini. Di sini belukarnya lebih lebat." Jawab Ratu Randang.
Apa yang dikatakan si nenek memang benar. Belukar yang ada di depan Ratu Randang
lebih lebat dan lebih tinggi hingga sulit bagi orang lain bisa melihat mereka.
Wiro mendekat hingga tubuhnya saling bersentuhan dengan tubuh si nenek. Ratu
Randang memperhatikan wajah sang pendekar sebentar tapi diam saja tidak berkata
apa-apa. "Walau keadaan genting, tapi dia pasti senang dempet-dempetan seperti ini." Kata
Wiro dalam hati sambil senyum-senyum.
"Kau pasti merasani aku dalam hati!" Ratu Randang pelototkan matanya yang juling
tapi bagus. "Tidak, Nek. Aku hanya mengawatirkan keadaan teman-teman yang lain." Bisik Wiro.
"Ssshh... Sudah, jangan bicara lagi." Kata Ratu
Randang lalu kembali menatap ke arah sosok Sinuhun Muda yang melayang bergerak
turun mendekati telaga.
Sebelum terjadi serangan Ratu Randang sengaja
menyibakkan dada bajunya untuk mengejek sekaligus menantang dan memancing
kemarahan Sinuhun Merah.
Ketika dia kemudian membuat gerakan menusuk batu
dengan delapan jari, nenek ini tidak punya kesempatan untuk menutup bajunya
kembali. Kini tanpa disadari pakaian itu masih tersingkap lebar dan Wiro tak
sengaja melihatnya!
"Masih bagus..." Tak sadar Wiro keluarkan ucapan.
Ratu Randang melirik "Aku sudah bilang jangan bicara!"
"Ya sudah, Nek. Aku diam saja. Tidak bicara lagi." Kata Wiro sambil memandang ke
jurusan lain. Begitu si nenek tidak menatapnya lagi, kembali matanya mampir ke
dada orang. "Eh, tadi kau bilang apa" Apa yang masih bagus." Tiba-tiba Ratu Randang
bertanya. "Anu, itu Nek. Yang putih menyembul. Masih mantap..."
Jawab Wiro sambil senyum-senyum dan pura-pura menatap ke arah telaga.
Ratu Randang sibakkan sedikit semak belukar.
Memperhatikan ke arah telaga dan sekitarnya. Dia tidak melihat sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan ucapan Wiro tadi. Penasaran si nenek tancapkan cubitan ke
pinggang Wiro. "Kau mau berteriak silahkan! Biar kacau semua urusan di tempat ini! Kalau kau tidak mau mengatakan apa maksud ucapanmu, aku cubit pinggangmu
sampai dagingnya somplak!"
"Jangan Nek, aku tidak bermaksud usil. Tapi aku lihat sendiri..."
"Kau masih bicara berbelit-belit. Apa yang kau lihat sendiri"! Ayo katakan terus
terang!" "Itu Nek..." Wiro goyangkan kepalanya ke arah dada Ratu Randang. Si nenek
tundukkan kepala, memandang ke arah dadanya sendiri.
"Oala! Gila! Sudah lama menikmati baru kau memberi tahu! Culas!" Ratu Randang
mengomel tapi acuh saja dia tidak berusaha menutupi dada, hanya menggerakkan
badan memunggungi Wiro.
Di udara sosok Ghama Karadipa mengambang sepuluh
jengkal di atas permukaan telaga. Dua tangan dikembang.
Dua telapak tangan pancarkan cahaya merah kekuningan.
"Apa yang dilakukan bangsat nyawa kembaran Sinuhun Merah itu!" Pikir Wiro. Diamdiam dia sudah siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.
Mendadak terjadi satu hal aneh. Semua kutungan
tubuh, belahan kepala, cabikan daging, hancuran tulang belulang Sinuhun Merah
Penghisap Arwah seperti disedot dua tangan Sinuhun Muda yang memancarkan cahaya,
melayang ke udara, bergabung membentuk sosok samar lalu masuk menyatu ke dalam
tubuh saudara nyawa
kembarnya Sinuhun Muda Ghama Karadipa!
"Nek, rupanya benar kata orang!" Wiro berkata pada Ratu Randang. "Sinuhun itu
rohnya tidak bisa dihabisi.
Karena satu sama lain merupakan nyawa kembar! Yang satu mati, yang satu sebagai
nyawa cadangan!"
"Paling tidak sekarang hanya satu Sinuhun saja yang akan kita hadapi," jawab si
nenek pula. "Makhluk-makhluk jahanam di bawah sana!" Sambil
melayang ke udara Sinuhun Muda berteriak. "Kalian akan menerima pembalasanku!"
Wiro angkat tangan kanan.
"Sang Junjungan di dalam goa! Kau sudah tahu apa
yang terjadi! Kau tunggu apalagi! Bunuh mereka semua!"
Kembali Sinuhun Muda berteriak.
Ketika Wiro siap menghantamkan Pukulan Sinar
Matahari tiba-tiba di belakangnya air terjun berhenti mencurah. "Nek, air terjun
terbelah. Ada celah aneh..."
"Ada yang akan keluar dari dalam goa! Waspadalah!"
Kata Ratu Randang.
Saat mereka bicara di atas telaga sosok Sinuhun Muda yang dimasuki roh nyawa
kembarnya laksana kilat melesat ke langit, lenyap dari pemandangan.
"Sial! Aku terlambat!"
Baru saja Wiro berucap tiba-tiba terdengar suara
mengeong riuh. Di antara air terjun yang terbelah menggantung melesat delapan
ekor anak kucing merah.
Empat ekor menyambar ke arah semak belukar di balik mana Wiro dan Ratu Randang
berada. Dua ekor berkelebat ke jurusan Kunti Ambiri dan dua ekor lagi menyerbu
Sakuntaladewi yang terbaring di tepi telaga berdampingan dengan Jaka Pesolek.
Pukulan Sinar Matahari yang tadi hendak dilepas untuk menghantam Sinuhun Muda,
oleh Wiro kini diarahkan pada empat ekor anak kucing merah yang menyerbunya.
Ratu Randang tidak tinggal diam. Dia segera lepaskan Pukulan Tombak Dewa
Memancung Berhala! Di tempat lain Kunti Ambiri berguling di tanah lalu dalam
kuda-kuda setengah mencangkung dia menggebrak dua pukulan ke arah dua anak
kucing yang menyerbu.
Jaka Pesolek yang tidak punya ilmu pukulan secepat kilat melesat ke atas sebuah
pohon. Meninggalkan
Sakuntaladewi yang kini seorang diri harus menghadapi serangan dua ekor anak
kucing merah. Gadis berkaki satu ini dengan cepat gerakkan dua tangan, keluarkan
jurus Ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam belas cahaya biru berkiblat,
menghambur ke arah dua ekor kucing. Ngeongan keras terdengar di mana-mana. Namun
semua keriuhan itu ditelan oleh gelegar suara teriakan anak lelaki.
"Semua menahan diri! Siapa berani menyentuh satu
saja dari Rakanda Delapan Sukma Merah, nyawa anak perempuan ini jadi tumbalnya!"
Delapan anak kucing mengeong keras. Tubuh
mengambang di udara. Wiro sendiri dan empat orang lainnya tersentak kaget.
Ratu Randang memandang ke arah goa di balik air
terjun. Apa yang dilihatnya membuat nenek ini serta merta berteriak. "Tahan
serangan!"
*** WIRO SABLENG DELAPAN POCONG MENARI
15 ELAPAN ekor kucing merah walau tidak bergerak
namun terus saja unjukkan sikap garang siap
Dmenyerang. Taring mencuat dan kuku merah runcing siap melancarkan serangan
Cakar Sukma Merah.
Dari dalam goa di balik air terjun yang curah airnya tertahan, melesat sosok


Wiro Sableng 182 Delapan Pocong Menari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang anak lelaki. Di atas bahu kanan anak ini memanggul tubuh seorang anak
perempuan. Ketika anak perempuan ini disandarkan ke tebing di tepi telaga dan
wajahnya yang pucat terlihat jelas, kagetlah semua orang yang mengenali.
"Ni Gatri!" Wiro, Ratu Randang dan Kunti Ambiri sama-sama berteriak.
Keadaan anak perempuan itu sangat menyedihkan.
Rambut kusut masai awut-awutan. Pakaian tidak karuan dan nyaris tersingkap di
beberapa tempat. Sepasang mata nyalang tapi menatap kosong! Tidak dapat
dipastikan apakah Ni Gatri dalam keadaan pingsan atau sedang sekarat!
"Bocah keparat! Kau membunuh anak itu!" Teriak Wiro.
"Diam!" Sentak Dirga Purana. "Semua orang yang ada di tempat ini! Dengar
ucapanku!" Bocah yang tadi
memanggul Ni Gatri dan bukan lain adalah Sang Junjungan Dirga Purana berdiri
sambil mencekik leher anak
perempuan itu. Lima jari tangan yang mencekik tampak luar biasa besar dan
panjang, tidak pantas sebagai jari bocah berusia dua belas tahun. Rupanya Dirga
Purana punya semacam ilmu yang membuat jari tangan bisa
menjadi besar. "Dengar ucapanku!" Dirga Purana kembali berteriak. "Jika kalian
ingin anak perempuan ini hidup, cepat tinggalkan tempat ini. Kecuali yang merasa
diri berjuluk Ksatria Panggilan!"
Wiro mendelik. Rahang menggembung menahan
amarah. "Nek, aku mau mengadu jiwa dengan bocah
keparat itu!" Kata Wiro pada Ratu Randang.
"Aku khawatir itu tidak akan menyelamatkan Ni Gatri.
Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi dengan anak perempuan itu!"
"Dirga Purana!" Berseru Ratu Randang. "Tinggalkan anak itu di tepi telaga. Kau
boleh pergi!"
"Begitu" Mudah dan enak sekali! Tapi dengan satu
syarat!" "Syarat apa?" Tanya Ratu Randang.
"Ksatria Panggilan harus lebih dulu bunuh diri
membenturkan kepala ke batu besar di hadapanku!"
"Laknat jahanam!" Rutuk Wiro.
"Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana semula! Bunuh mereka semua!"
Delapan anak kucing jantan merah mengeong keras.
Gerakan mereka menyerang yang tadi tertahan kini
diteruskan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara gamelan ditingkah bunyi
rebab, tiupan seruling dan tabuhan gendang.
"Gila! Lagu gamelan itu adalah lagu pengiring
kematian!" Teriak Ratu Randang dengan wajah pucat.
"Nek, aku belum mau mati!" Jaka Pesolek berkata
setengah meratap dan melompat turun dari atas pohon, mendekati Ratu Randang
seolah minta dilindungi.
Namun salah seekor anak kucing yang ada di depannya serta-merta menyerang. Mulut
siap menggeragot, cakar siap merobek leher si gadis. Jaka Pesolek yang selama
ini masih belum bisa kencing, saking takutnya saat itu sampai pancarkan air
kencing! Tujuh ekor kucing lainnya tidak tinggal diam. Binatang-binatang itu segera
menyerbu ke arah orang-orang yang sudah diincar.
Ketika suara gong terdengar mengalun keras, tiba-tiba delapan sosok aneh yang
mula-mula berbentuk delapan benda bersinar, muncul di tengah telaga. Perlahanlahan ujud berubah menjadi asap lalu membentuk sosok pocong.
Di sebelah atas berselubung kain coklat, di pinggang ada ikat pinggang kuning
lalu di bagian bawah dilibat kain warna hijau. Delapan makhluk ini melayang
mengambang di atas telaga, meliuk-liuk seperti menari mengikuti alunan gamelan!
Sesekali wajah mereka menghadap ke arah
orang-orang di tempat itu. Ternyata mereka memiliki wajah polos licin! Tak ada
mata, hidung ataupun mulut!
"Delapan Pocong Menari!" Ucap Wiro.
"Kau kenal mereka?" Tanya Ratu Randang tercekat.
"Mereka... mereka berasal dari delapan bunga matahari kecil." Wiro memberi tahu
lantas raba pinggang pakaian.
Ternyata delapan bunga matahari tidak ada lagi di balik pinggangnya.
Selagi semua orang kecuali Wiro terheran-heran, Dirga Purana merasa getaran aneh
menjalari tubuhnya. Telinga kiri berdenging-denging. Dia punya firasat ada
bahaya besar mengancam.
Dari tengah telaga, delapan pocong tiba-tiba keluarkan suara menyanyi.
"Mulut tidak ada, bagaimana bisa menyanyi?" Kata
Jaka Pesolek heran ada takut juga ada.
Tidak dipanggil datang sendiri
Ini untuk terakhir kali
Karena delapan musuh sudahlah pasti
Mengadu jiwa menghadang mati
Berserah diri kepada Yang Kuasa
Kalaupun mati haruslah pasrah
Delapan pocong di tengah telaga bertepuk tiga kali.
Pada tepukan yang ketiga dua tangan saling
menggenggam. Didahului gerakan lemah gemulai dua
tangan kemudian dikembang. Dari sela tangan yang
mengembang itu berlompatan delapan anak kucing betina gemuk berbulu putih.
Binatang-binatang ini mengeong keras lalu melompat ke arah delapan kucing merah.
Kejut bocah Dirga Purana bukan alang kepalang.
"Rakanda Delapan Sukma Merah! Lekas masuk ke
dalam goa!" Dirga Purana berteriak memanggil delapan anak kucing merah. Tapi
yang dipanggil sudah keburu melihat kemunculan kucing betina. Bukannya mereka
menurut perintah sang majikan, malah melompat girang menghampiri delapan kucing
betina montok dan mulai mencium menjilati.
"Celaka! Celaka besar!" Dirga Purana pukul kepala sendiri. Ni Gatri yang tadi
dicekiknya terlepas jatuh ke tanah. Dua mata Dirga Purana membelalak ketika dia
melihat delapan anak kucing jantan merah peliharaannya mulai mengeong keras
menunggangi anak-anak kucing betina berbulu putih!
Dirga Purana berteriak keras. Jatuhkan diri hingga keningnya menyentuh tanah.
"Pantangan besar telah dilanggar! Pantangan besar telah dilanggar!" Katanya
berulang kali. Lalu didahului teriakan menyerupai lolongan anjing dia berdiri
bangkit, siap melesat ke udara, masuk ke dalam goa lewat air terjun yang saat
itu masih berhenti mencurah. Namun sang bocah tersentak kaget ketika dapatkan
dirinya telah dikelilingi Wiro dan kawan-kawan!
TAMAT Episode Berikutnya: BULAN BIRU DI MATARAM
Kisah Para Penggetar Langit 9 Gento Guyon 21 Sang Petaka Lembah Merpati 5

Cari Blog Ini