11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25
" Tanpa hujan, petir akan dapat menumbangkan bukit. -desis Ki Patih Mandaraka.
Ki Wanayasa menggeram. Namun iapun berkata lantang kepada Ki Rangga Resapraja
" Tugasmu mengurus Rubah-rubah itu.
Ki Ranggapun segera meloncat keluar. Segera ia melihat dua diantara ketujuh orang
Rubah itu berloncatan dan bahkan berlari-lari menghindari lawan-lawannya. Karena itu,
maka Ki Rangga Resaprajapun segera menilai keadaan.
Dengan cepat Ki Rangga mengambil kesimpulan. Karena itu, maka iapun segera berlari
kearah Kerta Dangsa yang bertempur melawan tiga diantara ketujuh orang Rubah Hitam
itu. " Kau dengar isyarat kawanmu" desis Ki Rangga " Dua diantara kalian, tinggalkan
orang ini. " Perintah itupun segera dilaksanakan. Dua diantara ketiga orang Rubah itupun telah
meninggalkan Kerta Dangsa dan tergabung dengan kedua Rubah yang lain, yang
mengalami kesulitan. Dengan demikian, maka kedua orang murid Ki Ajar itu masing-masing harus
menghadapi dua orang dari antara ketujuh orang Rubah Hitam itu.
Sementara itu, Ki Rangga Resapraja telah mengambil alih Ki Ajar Gurawa dibantu oleh
seorang dari antara ketujuh orang Rubah itu.
Ki Ajar Gurawa tersenyum melihat kehadiran Ki Rangga Resapraja. Dengan nada tinggi
ia bertanya " Bagaimana, apakah kau sudah membunuh Ki Patih" "
" Setan kau " geram Ki Rangga " kau tahu hukuman bagi seorang pengkhianat. "
" Aku bukan pengkhianat " jawab Ki Ajar Gurawa " tetapi aku tentu akan diberi gelar
pahlawan, karena aku berhasil menyusup kesarangmu dan memberikan isyarat
gerakanmu malam ini. "
" Setan kau. Tetapi kau akan dibunuh di halaman ini. " geram Ki Rangga Resapraja.
Tetapi Ki Ajar Gurawa justru tertawa. Katanya " Jika aku terbunuh di sini, maka aku
benar-benar akan diberi gelar pahlawan. ~
" Iblis kau ~ Ki Rangga segera meloncat menyerangnya.
Tetapi Ki Ajar pun sudah siap menghadapinya. Karena itu, maka iapun segera bergeser
menghindar. Sementara itu, seorang Rubah yang berpakaian hitam itu tiba-tiba saja telah
menyambarnya dengan garangnya. Tangannya terayun siap mencengkam apapun yang
dapat digapainya. Namun ternyata Rubah itu tidak mampu menyentuh apalagi kulitnya,
pakaiannyapun tidak. Demikianlah, maka pertempuran di istana Kepatihan itupun menjadi semakin sengit.
Masing-masing seakan-akan telah dipertemukan dengan lawan-lawan yang menjadi
seimbang. Kadang-kadang memang terjadi pertukaran lawan atau yang satu membantu
yang lain sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang berkembang kemudian.
Sebagaimana juga terjadi pada para prajurit yang berada di sekitar istana, yang
bertempur melawan para penyerangnya.
Didekat gardu disebelah pintu gerbang yang tertutup, para prajurit ternyata tidak
mengalami kesulitan menghadapi para penyerang yang telah dipersiapkan menyerang
mereka. Mula-mula jumlah penyerang itu memang lebih banyak. Tetapi jumlah itu dengan
cepat susut ketika para prajurit itu menyerang mereka dengan busur dan anak panah.
Namun ketika kemudian kedua kelompok itu berbenturan, maka pertempuranpun menjadi
semakin sengit. Para penyerang dengan kasar telah berusaha untuk menghancurkan para
prajurit. Namun para prajurit yang terlatih menghadapi kekerasan dan kekasaran itupun
telah bertahan dengan gigihnya. Bahkan sebagaimana perintah yang mereka terima, maka
mereka sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Para prajurit itu tidak lagi menahan pedangnya,
apabila ujungnya menghunjam kedalam lawannya.
Demikian pula pertempuran yang terjadi disekilar istana itu. Para pengawal istana
Kepatihan, para abdi Kepatihan dan beberapa orang diantara kelompok Gajah Liwung
serta para petugas sandi pilihan yang dibawa oleh Ki Wirayuda masih juga bertahan. Tidak
seorangpun diantara para penyerang yang sempat memasuki istana. Bahkan semakin
lama mereka justru terdesak semakin men-jauhi pintu-pintu yang telah terbuka. Jika ada
satu dua orang diantara mereka yang mencoba untuk menyusup mendekati pintu, maka
seseorang tentu mencegahnya.
Dalam pada itu, yang seakan-akan terpisah dari segala hiruk pikuk pertempuran itu
adalah Ki Jayaraga yang sedang menghadapi Podang Abang. Keduanya seolah-olah tidak
menghiraukan lagi apa yang terjadi di istana Kepatihan itu. Yang mereka lakukan adalah
persoalan mereka berdua yang memang berniat ingin menyelesaikan lewat kemampuan
dan ilmu kanuragan. Dengan tangkasnya kedua orang itu saling menyerang dan bertahan. Mereka
berloncatan diatas rerumputan yang sehari-hari dirawat dengan baik. Bahkan pohonpohon
bungapun lelah berpa-tahan dan terinjak-injak.
Sementara itu Ki Ajar Gurawapun telah mendapat lawan pula, Ki Rangga Resapraja
ternyata juga seorang yang berilmu tinggi.
Dengan tangkasnya ia berusaha menguasai lawannya. Tetapi Ki Ajar Gurawa ternyata
mampu mengimbangi ketangkasan termasuk seorang Rubah Hitam. Yang telah terdesak
adalah justru orang-orang yang semula menjadi kepercayaan Ki Rangga Resapraja, Tujuh
orang rubah Hitam itu diharapkan akan dapat membuat goncangan-goncangan di halaman
istana Kepatihan. Namun ternyata mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan
berpasangan mereka menghadapi anak-anak muda yang dianggapnya sekedar ikut-ikutan.
Ternyata murid Ki Ajar Gurawa dengan mengerahkan kemampuannya berhasil
mengatasi sepasang Rubah Hitam yang garang itu. Demikian pula Sabungsari, sehingga
Rubah-rubah itu menjadi seakan-akan tidak berdaya.
Ki Rangga Resapraja yang menjadi sangat kecewa melihat mereka telah meneriakkan
isyarat yang hanya dapat dimengerti oleh lingkungan mereka. Ketujuh Rubah Hitam yang
mendengar isyarat itu telah menghentakkan kemampuan mereka. Sehingga tiba-tiba saja
mereka nampak menjadi semakin liar. Ketujuh Rubah itu menggeram, berteriak,
menyambar dengan kuku-kukunya dan sekali-sekali meloncat menerkam. Dalam
pertempuran berpasangan, keduanya memang mampu saling mengisi dengan tangkas dan
mapan. Tetapi lawan-lawan merekapun memiliki kemampuan yang dapat
mengimbanginya, sehingga dengan demikian, maka Rubah-rubah itu sama sekali tidak
dapat menunjukkan kelebihan apapun juga.
Betapapun mereka mencoba untuk menunjukkan betapa mereka merupakan
sekelompok orang-orang yang sangat berarti, namun mereka ternyata telah gagal.
Dipacala dan Truna Patrappun menjadi sangat kecewa terhadap orang-orang yang
disebut Rubah Hitam itu, yang sebelumnya memang mampu menunjukkan betapa mereka
merupakan sekelompok orang yang setiap kali mampu menyelesaikan persoalan. Tetapi
sepasang diantara mereka yang berhadapan dengan Sabungsari, semakin lama menjadi
semakin terdesak. Meskipun mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Mengaum, menggeram, menerkam, menyambar dan segala macam tingkah laku yang
keras dan garang, namun Sabungsari masih sempat tertawa dan berkata - Apa yang
sebenarnya ingin kalian lakukan" Bertempur atau mencoba-coba menirukan sejenis
binatang yang paling dibenci anak-anak. Menurut namamu, kalian ingin disebut sebagai
Rubah dan karena kalian berpakaian hitam, maka kalian bernama Rubah Hitam.
Sepengetahuanku rubah adalah sejenis binatang yang sering mencuri ayam. " Iblis kau " teriak seorang diantara mereka.
" Nah " sahut Sabungsari " sekali-sekali bicaralah dengan gaya seseorang. Kau tidak
perlu mengaum dan menggeram menirukan seekor rubah. Yang mengaum bukan rubah,
tetapi serigala. Dan serigala memang lebih garang dari rubah yang kecil. " Kubunuh kau " teriak yang lain.
" Aku senang mendengar kau berbicara seperti aku, meskipun sekedar mengumpat. "
desis Sabungsari. Kemarahan kedua orang Rubah Hitam itu bagaikan meledakkan ubun-ubunnya, Namun
keduanya memang tidak dapat berbuat banyak menghadapi Sabungsari yang telah
menarik pedangnya. Bahkan Sabungsaripun kemudian berkata " Aku tidak mempunyai
banyak waktu menggembalakan rubah yang sedang gila. ~
Sepasang Rubah Hitam yang merasa dirinya lebih kuat dari orang itu, benar-benar tidak
mampu berbuat apa apa. Semula mereka mengira, bahwa jika telah terjadi benturan kekerasan di istana
Kepatihan, maka ketujuh orang Rubah Hitam itu akan memegang peranan. Mereka akan
dapat mencerai-beraikan para prajurit pengawal. Membunuh pemimpin-pemimpinnya dan
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Ki Wanayasa, Ki Rangga Resapraja dan Ki
Rangga Ranawandawa untuk menyelesaikan Ki Patih Mandaraka yang memang dianggap
berilmu sangat tinggi. Bahkan jika diperlukan Ki Dipacala dan Ki Truna Patrap akan dapat
membantu Ki Wanayasa, karena menurut perhitungan ketujuh Rubah Hitam itu,
pertahanan para pengawal tentu akan dengan cepat dihancurkan.
Tetapi yang terjadi sama sekali berbeda dari perhitungan mereka. Ketujuh orang Rubah
Hitam itu tidak dapat berperan sama sekali. Demikian mereka mulai bertempur, maka
mereka langsung terikat kepada lawan-lawan yang tidak dapat mereka kalahkan.
Demikian pula Dipacala dan Truna Patrap. Mereka mengumpat tidak habis-habisnya.
Ternyata tidak semudah dugaan mereka untuk merampok istana Kepatihan dan
membunuh Ki Patih Mandaraka.
Bahkan mereka berdua ternyata tidak segera dapat mengatasi seorang anak muda
yang ditemunya di halaman itu. Menilik pakaian yang dikenakan, anak muda itu bukan
seorang prajurit. Kecuali jika ia termasuk seorang prajurit dalam tugas sandi.
Kekesalan, kemarahan dan dendam tertumpah kepada seseorang yang dikenalnya
bernama Kerta Dangsa. Demikian lembutnya muslihatnya sehingga ia dapat menyusup
memasuki lingkungan yang sebelumnya tertutup rapat.
Tetapi penyesalan itu tidak ada gunanya. Mereka sudah berhadapan dengan lawan di
arena pertempuran yang ternyata sulit untuk ditembus itu. Bahkan ketujuh orang Rubah
Hitam yang diharapkan akan dapat mengoyak seluruh pertahanan di istana itupun seakanakan
telah terkungkung dibawah tempurung. Sekali-sekali bahkan terdengar isyarat dari
mulut salah seorang diantara ketujuh orang Rubah Hitam itu memanggil kawan-kawannya
karena ia berada dalam kesulitan. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang dapat
menolongnya, karena semuanya berada dalam kesulitan.
Satu diantara Rubah itu yang bertempur bersama-sama Ki Resapraja menghadapi Ki
Ajar Gurawa, justru menjadi ragu-ragu. Ia mendengar seorang dari kawan-kawannya itu
memberikan isyarat seolah-olah merintih kesakitan. Namun ia tidak berani meninggalkan
Ki Rangga Resapraja tanpa perintahnya.
Namun Ki Rangga Resapraja akan dapat mengalami kesulitan jika ia harus bertempur
sendiri. Tetapi Rubah itu tahu, bahwa Ki Rangga Resapraja memiliki ilmu Pamungkas yang
dahsyat, karena Ki Rangga adalah salah seorang diantara pewaris dari ilmu Tapak Geni,
landasan dari ilmu yang jarang ada duanya, ilmu Tapak Gun-dala.
" Jika Ki Rangga terdesak kedalam kesulitan, maka ia tentu akan mempergunakan
ilmunya yang jarang sekali ditampakkan kepada siapapun juga. " berkata Rubah itu
didalam hatinya. Meskipun demikian, ia tidak dapat begitu saja meninggalkan Ki Rangga tanpa
perintahnya, meskipun ia beberapa kali mendengar isyarat dari seorang kawannya,
Namun akhirnya Ki Rangga Resapraja telah memerintahkan Rubah itu
meninggalkannya. Katanya - Selamatkan kawanmu itu. Cepat dan selesaikan orang-orang
gila di halaman ini. Buat apa aku memelihara kalian jika kalian tidak mampu berbuat apaapa.
Rubah itupun segera meloncat meninggalkan Ki Resapraja untuk menemukan
kawannya yang telah memberikan isyarat. Ternyata bahwa salah seorang diantara kedua
orang lawan Sabungsari telah meneriakkan isyarat untuk mendapatkan bantuan. Tetapi
yang datang hanya seorang.
Demikian orang ketiga itu datang Sabungsari segera berkata sambil berloncatan
menghindari serangan lawan-lawannya ~ Itulah salahnya, jika kalian terlalu biasa
bertempur dalam kelompok yang utuh. Tetapi disini kalian tidak dapat melakukannya. Jika
kalian berkumpul menjadi satu, berarti kawan-kawan kalian yang lain, yang tidak digelari
Rubah Hitam akan segera mati. " Persetan " geram Rubah yang baru datang.
" Kaupun mengumpat seperti kedua orang kawanmu. Agaknya kalian hanya dapat
menggeram dan mengumpat. - sahut Sabungsari.
Rubah-rubah itu tidak menjawab lagi. Mereka serentak telah menyerang dengan
garangnya. Melawan ketiga orang yang disebut Rubah Hitam itu, Sabungsari memang harus
mengerahkan kemampuannya. Ketiganya menjadi garang dan bahkan buas dan liar.
Namun dengan pedang ditanganSabungsari mampu melindungi dirinya dari seranganserangan
yang kasar itu. Tetapi ketiga orang dari antara ketujuh orang Rubah Hitam itu semakin lama menjadi
semakin garang. Mereka bergerak susul menyusul. Mereka menyambar dengan kukukukunya
yang tajam, bergantian sambil berlari berputaran.
Sabungsari yang harus bekerja keras untuk menghindari serangan beruntun tanpa
henti-hentinya itu berkata didalam hati -Inilah agaknya kelebihan Rubah Hitam itu.
Alangkah garangnya jiga mereka sempat bertempur bertujuh.
Semakin lama ketiganya bergerak semakin cepat, nampaknya mereka mulai mapan.
Sementara Sabungsari sibuk melindungi dirinya dengan putaran pedangnya.
Sementara itu, kedua orang murid Ki Ajar Gurawa yang masing-masing juga harus
bertempur melawan dua orang Rubah Hitam, harus juga bekerja keras untuk melawan
kecepatan gerak mereka. Semakin mapan para Rubah Hitam itu, maka mereka memang
menjadi semakin berbahaya.
Yang kemudian tidak kalah sibuknya adalah Glagah Putih. Ia harus bertempur melawan
Ki Dipacala dan Truna Patrap. Dua orang yang dianggap pemimpin langsung yang
mengatur orang-orang mereka yang jumlahnya cukup-banyak. Orang ketiga yang
dipersiapkan sebenarnya adalah Kerta Dangsa. Tetapi ternyata Kerta Dangsa telah
mengkhianati mweka. Ternyata bahwa Dipacala dan Truna Patrap telah mengerahkan kemampuannya pula.
Bagaimanapun juga keduanya adalah orang-orang yang berilmu. Dengan demikian maka
Glagah Putih memang harus memeras kemampuannya pula untuk mengatasi keduanya.
Pengalaman dan bekal kemampuan kedua orang itu kadang-kadang memang membuat
Glagah Putih harus menghentakkan unsur-unsur geraknya yang rumit.
Namun ternyata Dipacala dan Truna Patrappun ingin tugasnya menghadapi anak muda
itu cepat selesai. Karena itu, maka baik Dipacala maupun Truna Patrap telah
menggenggam senjatanya. Dalam medan yang dianggap berat, Dipacala telah membawa pedang yang cukup besar
dan panjang, sementara Truna Patrap membawa pedang lurus bermata rangkap.
" Senjata ini adalah senjata andalan " berkata Dipacala " dalam medan yang aku
anggap biasa-biasa saja, aku tidak membawa senjata pusaka ini. Ketika aku merampok
dibeberapa tempat senjata yang aku bawa bukan pusakaku ini. Tetapi sekarang aku
membawa senjata terbaik yang aku miliki. Satu diantara lebih dari sepuluh buah pedang
pilihan. Karena itu, maka pedang pusakaku yang telah berada diluar sarungnya ini, harus
dibasahi dengan darah. "
Glagah Putih telah meloncat mengambil jarak, ketika ia mendengar Dipacala berbicara.
Nampaknya Dipacala dan Truna Patrap memang memberinya kesempatan untuk berbicara
menjawab pernyataan Dipacala itu.
Tetapi Glagah Putih ternyata hanya tersenyum saja sambil menimang ikat pinggang
kulitnya. Dipacala dan Truna Patrappun sadar, bahwa ikat pinggang itu tentu bukan ikat
pinggang kebanyakan. Apalagi ketika mereka melihat, betapa Glagah Putih nampak
tenang-tenang saja dengan senjatanya yang tidak berbentuk senjata sebagaimana
umumnya. Truna Patrap yang melihat ketenangan sikap Glagah Putih itu jantungnya justru
menjadi panas. Katanya " Nampaknya kau memang sudah berputus asa, sehingga kau
tidak memberikan tanggapan apapun juga melihat senjata kami. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berdiri pada jarak yang cukup dari
kedua lawannya. Dengan nada berat ia berkata " Apa yang harus aku katakan tentang
senjata kalian" Senjata kalian adalah senjata yang biasa-biasa saja. Yang sudah terlalu
sering aku lihat. - " Bagus " geram Truna Patrap " kau semakin memuakkan. Bersiaplah untuk mati.
Aku tidak dapat membayangkan, bagaimana ujud mayatmu nanti. Kau sebenarnya masih
terlalu muda untuk mati. "
Glagah Putih justru tertawa. Katanya - Sudahlah. Nampaknya kita masing-masing
memang sudah jemu untuk bertempur terus. Karena itu, maka kita harus segera
menyelesaikannya. " Dipacala dan Truna Patrappun segera bersiap. Demikian pula Glagah Putih. Iapun
segera bersikap. Ikat pinggangnya mulai berputar. Sementara itu ia masih sempat berkata
" Senjataku ini aku terima dari Ki Patih Mandaraka sendiri. Nah, kau akan tahu betapa
senjata dari Kepatihan ini mampu melindungi diriku. -- Persetan. Kau mulai mengigau geram Dipacala. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia justru melangkah mendekat.
Dipacala dengan serta merta meloncat maju. Diayunkannya senjata yang dianggapnya
pusaka terbaiknya itu dengan sekuat tenaganya.
Namun Glagah Putihpun telah siap sepenuhnya. Ia memang tidak ingin menghindari
serangan itu. Tetapi Glagah Putih ingin menunjukkan betapa senjatanya yang diterimanya
dari Ki Patih itu sendiri benar-benar senjata yang sesuai baginya. Seakan-akan senjata itu
memang dibuat khusus bagi Glagah Putih.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras antara pusaka
Dipacala dengan senjata Glagah Putih yang sangat khusus itu.
Ternyata benturan itu sangat mengejutkan Dipacala. Bukan saja ikat pinggang kulit itu
seakan-akan telah berubah menjadi kepingan baja yang telah membentur pedang
pusakanya, namun kekuatan Glagah Putih yang muda itu benar-benar mengejutkannya.
Dua langkah Dipacala meloncat mundur. Tangannya memang serasa menjadi pedih.
Namun pusakanya itu masih saja berada dalam genggamannya, karena hulunya bagaikan
melekat pada telapak tangannya.
Truna Patrappun terkejut melihat akibat benturan itu justru karena mengenal dengan
baik kemampuan dan kekuatan Dipacala.
Kedua orang kepercayaan Ki Rangga Resapraja itu termangu-mangu sejenak. Anak
muda yang dihadapinya itu ternyata memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka duga. Benturan antara pedang pusaka Dipacala dan ikat pinggang Glagah Putih
telah memberikan isyarat kepada Dipacala, bahwa yang dihadapinya benar-benar seorang
anak muda yang pilih tanding.
Ketika ia bersama-sama dengan Truna Patrap bertempur melawan Glagah Putih,
semata-mata karena keduanya ingin dengan cepat membunuh anak muda itu sebelum
mereka membaurkan diri melawan orang lain. Mereka berharap bahwa kematian demi
kema-tian akan membuka kemungkinan yang lebih besar untuk menyelesaikan tugas
mereka di istana Kepatihan itu.
Namun ternyata anak muda itu benar-benar pantas untuk bertempur melawan mereka
berdua. Glagah Putih melihat kedua orang lawannya termangu-mangu. Ia justru seakan-akan
telah memberi kesempatan kepada mereka untuk merenung. Bahkan memperhatikan
seluruh halaman Kepatihan. Pertempuran telah terjadi dimana-mana. Podang Abang yang
bertempur melawan Ki Jayaraga seakan-akan telah memisahkan diri. Kemudian Ki Ajar
Gurawa yang mulai mendesak Ki Rangga Resapraja. Kedua orang yang diKertal sebagai
ke-manakan Kerta Dangsa melawan masing-masing dua orang dari antara ketujuh orang
Rubah Hitam. Kemudian Sabungsari yang sedikit mengaalami kesulitan melawan tiga
orang Rubah Hitam. Di-sekitar pintu gerbang, pertempuran masih berlangsung dengan
sengitnya. Para prajurit, yang telah berhasil menyusut lawan-lawan mereka, masih harus
bertahan terhadap sisa-sisa penyerang yang mulai merasa terjebak.
Sementara itu, pertempuran disekitar istana itu masih berlangsung pula dengan
sengitnya. " Bagaimana menurut penilaian kalian" " bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
Kedua orang itu memang agak terkejut mendengar pertanyaan yang tidak mereka
duga-duga. Sementara Glagah Putih masih bertanya pula " Apakah kalian masih juga
berpengharapan untuk dapat memenangkan seluruh pertempuran ini" "
" Anak muda " berkata Dipacala"jika kita jujur melihat keseimbangan pertempuran
itu, maka kita masih belum dapat menentukan siapa yang akan menang dan siapa yang
akan kalah. Ki Rangga Resapraja memang agak terdesak. Tetapi ia tentu masih belum
melepaskan ilmu pamungkasnya. Sementara itu Ki Podang Abang adalah orang yang sulit
dicari imbangannya dalam ilmu ka-nuragan. Adalah nasib buruk bagi seseorang yang
kebetulan menjadi lawannya. "
Tetapi Glagah Putih sempat pula menjawab " Yang bertempur melawan Podang Abang
itu adalah sahabat lamanya. Orang yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh Podang
Abang kapanpun juga. Kebetulan sekali, bahwa mereka telah bertemu lagi sehingga
mereka akan dapat menyelesaikan permainan mereka. Mudah-mudahan kali ini dapat
mereka tuntaskan. " -- Ki Podang Abang sekarang bukan Ki Podang Abang beberapa tahun yang lalu ~
berkata Ki Truna Patrap. Glagah Putih tertawa. Katanya ~ Baiklah. Kita akan dapat melihat, siapakah diantara
mereka yang tidak akan dapat keluar dari halaman istana Kepatihan ini. " ia berhenti
sejenak, lalu katanya " Nah, bagaimana dengan kita. "
Kedua orang lawan Glagah Putih itupun segera bersiap. Mereka melihat ikat pinggang
yang dikatakan oleh anak muda itu sebagai hadiah khusus dari Ki Patih Mandaraka telah
bergetar. Sejenak kemudian, Glagah Putihpun telah bertempur pula dengan sengitnya. Kedua
orang itu benar-benar memiliki ilmu yang mumpuni dalam permainan pedangnya. Namun
ikat pinggang Glagah Putih itu berputaran dengan cepat sekali melindungi seluruh
tubuhnya. Dalam pada itu, Sabungsari memang mengalami kesulitan melawan tiga orang Rubah
Hitam yang mulai, mapan. Mereka benar-benar mampu bertempur saling mengisi. Sasaran
serangan mereka justru bagian bawah tubuh lawannya. Mereka tidak menerkam kearah
leher dan dada. Tetapi mereka menyambar kaki dan perut Sabungsari. Dengan kukunya
yang tajam, mereka menerkam kemudian menggapai dengan cepat.
Sabungsari yang mempergunakan pedangnya untuk menahan serangan lawannya yang
menjadi semakin buas itu, harus berloncatan surut jika ketiganya menerkam bersamasama.
Mereka dengan cepat mengatur serangan disela-sela pertahanan pedang lawannya.
Di bagian lain, Rubah-rubah itu memang mulai menjadi mapan pula. Demikian pula
mereka yang bertempur melawan kedua orang murid Ki Ajar Gurawa. Kedua orang murid
Ki Ajar Gurawa itupun mempergunakan pedang pula untuk menahan Rubah-rubah yang
semakin lama menjadi semakin garang itu.
Yang seakan-akan terpisah dari pertempuran dalam keseluruhan adalah pertempuran
antara Podang Abang melawan Ki Jayaraga. Keduanya adalah orang yang berilmu sangat
tinggi. Mereka berdua menyadari, bahwa pertempuran itu akan menjadi pertempuran
yang menentukan mati dan hidup mereka. Mereka tidak akan menunda-nunda lagi
permainan diantara mereka meskipun Ki Podang Abang sempat menyesal, bahwa
Jayaraga hadir justru pada saat ia mengemban tugas yang penting. Membunuh Ki Patih
Mandaraka. Namun Ki Podang Abang berharap bahwa Ki Wanayasa yang juga berilmu tinggi akan
dapat menyelesaikan Ki Patih Mandaraka. Tetapi ternyata bahwa Ki Rangga Resapraja
yang juga berilmu tinggi yang diharapkan akan dapat membantu Ki Wanayasa
menyelesaikan Ki Patih Mandaraka, telah mendapatkan lawannya sendiri yang nampaknya
juga tidak mudah untuk dikalahkannya.
- Tetapi setidak-tidaknya Ki Wanayasa akan dapat mempertahankan diri dengan
ilmunya yang tinggi itu sampai seseorang datang membantunya. - berkata Ki Podang
Abang didalam hatinya. Tetapi ternyata Ki Rangga Resapraja memang tidak dapat dengan cepat menyelesaikan
Ki Ajar Gurawa. Ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk tidak terdesak
surut. Bahkan kemudian Ki Rangga Resapraja tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mempersiapkan ilmu pamungkasnya. Aji Tapak Geni.
Namun dalam pada itu, Ki Wirayuda ternyata mengalami kesulitan menghadapi Ki
Rangga Ranawandawa. Ternyata Ki Rangga Ranawandawa juga memiliki ilmu simpanan
yang mampu menyulitkan kedudukan Ki Wirayuda.
Karena itu, ketika Ki Rangga Ranawandawa mulai terdesak oleh ilmu pedang Ki
Wirayuda yang mumpuni, maka Ki Rangga Ranawandawa telah mulai dengan ilmunya
yang garang. Ternyata bahwa Ki Rangga Ranawandawa dan Ki Rangga Resapraja adalah dua orang
saudara seperguruan. Ketika Ki Rangga Ranawandawa mulai dengan melepaskan Aji
Tapak Geni, maka Ki Wirayuda nenjadi terdesak. Ditangan kanan Ki Rangga
Ranawandawa masih juga tergenggam pedangnya ketika telapak tangannya mulai
berasap. Namun bagaimanapun juga Ki Wirayuda adalah seorang prajurit yang baik. Karena itu,
maka dengan mengerahkan kemampuan ilmu pedangnya, Ki Wirayuda berusaha untuk
melindungi kulitnya dari sentuhan tangan Ki Rangga Ranawandawa.
Sebagaimana dilakukan oleh Rangga Ranawandawa, maka Ki Rangga Resaprajapun
melakukannya pula. Telapak tangan kirinya mulai berasap. Sementara pedangnya masih
juga menyambar-nyambar dengan garangnya.
Ki Ajar Gurawa memang sudah menyadari sejak semula bahwa Ki Rangga Resapraja
yang berani mengambil langkah yang sangat berat bersama Ki Wanayasa itu tentu
memiliki bekal yang cukup. Karena itu, demikian ia melihat telapak tangan K i Rangga
berasap, maka Ki Ajar Gurawa segera mengetahui, bahwa Ki Rangga Resapraja telah
membangunkan ilmunya yang dibanggakannya.
Sambil meloncat surut Ki Ajar Gurawa berdesis ~ Kekuatan apalagi yang akan kau
tunjukkan Ki Rangga" - Kau akan segera mati Kerta Dangsa. Pcngkhianatanmu memang harus kau tebus
dengan nyawamu " geram K i Rangga.
Ki Ajar Gurawa tidak menjawab. Ia melihat telapak tangan Ki Rangga Resapraja mulai
menjadi merah. Meskipun Ki Ajar Gurawa bukan orang kebanyakan, tetapi ia sadar, bahwa
ia berhadapan dengan ilmu yang tinggi. Sentuhan tangan yang membara itu akan dapat
membakar kulitnya, bahkan dagingnya
Sejenak kemudian, maka Ki Rangga Resapraja itu lelah berloncatan menyerang. Jika
lawannya menangkis dengan pedangnya, maka dengan cepat tangan yang membara itu
menerkam kea-rah dadanya. Tetapi Ki Ajar Gurawa cukup tangkas untuk menghindarinya.
Namun Ki Ajar Gurawa menjadi berdebar -debar ketika dengan kecepatan yang tinggi,
tangan Ki Rangga Resapraja terayun hampir saja menyentuh pundaknya, Meskipun
telapak tangan yang membara itu belum menyentuhnya, namun udara panas telah
menyambar kulit Ki Ajar Gurawa.
Ki Ajar Gurawa termangu-mangu sejenak. Ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Ki Rangga Resapraja justru menyarungkan senjatanya.
Namun sejenak kemudian jantung Ki Ajar seakan-akan berdetak semakin cepat. Ia
sadar, bahwa Ki Rangga lebih percaya kepada kedua telapak tangannya yang telah
menjadi merah daripada senjatanya.
Untuk beberapa saat Ki Ajar Gurawa masih mempertahankan senjatanya. Namun ketika
Ki Ajar menusuk kearah jantung, maka dengan sigapnya, kedua telapak tangan Ki Rangga
Resapraja telah menjepit daun pedang Ki Ajar Gurawa.
Pedang yang dipergunakan Ki Ajar adalah pedang kebanyakan. Ia tidak mengira bahwa
ia akan berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu yang dapat menyadap kekuatan
api. Karena itu, maka yang terjadi memang telah mendebarkan. Pedang Ki Ajar yang
dijepit oleh kedua telapak tangan Ki Rangga Resapraja dengan ilmu Tapak Geni, telah
membara pula, seperti besi baja yang diletakkan diperapian pande besi. Ketika kemudian
Ki Rangga menggerakkan tangannya berputar, maka Ki Ajar terpaksa melepaskan
pedangnya karena pedang itu tidak akan berarti lagi baginya.
Daun pedang yang bagaikan diletakkan diperapian pande besi itu telah menjadi merah
membara pula, bahkan kemudian melengkung karenanya. Daun pedang itu seakan-akan
telah menjadi lunak oleh panasnya bara api pada telapak tangan Ki Rangga Resapraja
yang telah mempergunakan Aji Tapak Geni.
Ki Ajar Gurawa itupun segera meloncat surut. Sambil melangkah mendekat Ki Rangga
Resapraja berdesis - Terimalah hukumanmu pengkhianat. Telapak tanganku akan
memberikan bekas didadamu. Yang akan menjadi pertanda pada mayatmu, bahwa kau
adalah seorang pengkhianat.
Ki Ajar Gurawa termangu-mangu sejenak. Telapak tangan Ki Rangga Resapraja benarbenar
telah merah membara. Bukan sekedar penglihatannya tetapi pedangnya benarbenar
telah kehilangan bentuknya oleh panasnya bara ditelapak tangan Ki Rangga itu.
Namun Ki Ajar bukannya tidak memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia bukan saja
seorang Kerta Dangsa yang memiliki tenaga yang besar dan kuat. Tetapi ia adalah Ki Ajar
Gurawa yang berilmu tinggi.
Untuk mengatasi kelebihan Ki Rangga Resapraja, maka Ki Ajarpun telah, melepaskan
kekuatan ilmunya pula. Ternyata Ki Ajar Gurawa memiliki kekuatan ilmu sebagaimana
dimiliki oleh Agung Sedayu. Meringankan tubuh.
Dengan demikian, maka Ki Ajar Gurawa itupun segera melenting tinggi. Meloncat
berputaran seakan-akan kakinya tidak menjejak tanah.
Ki Rangga Resapraja mengerutkan keningnya. lawannya memang menjadi sangat
berbahaya baginya. Sambil menggeram Ki Rangga Resapraja menghentakkan kemampuan
dan ilmunya. Setiap bayangan Ki Ajar bergetar melayang disekitarnya, maka dengan cepat
tangannya yang membara pada telapaknya itupun lelah menggapainya. Meskipun tidak
dengan sepenuh kekuatannya, tetapi sentuhannya saja akan dapat membakar kulit orang
tua itu. Tetapi Ki Ajar Gurawa benar-benar mampu bergerak dengan kecepatan melebihi
jangkauan tangan Ki Rangga Resapraja. Karena itu, maka sulit bagi Ki Rangga untuk
dapat menyentuh kulit lawannya.
Namun Ki Rangga Resapraja adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia tidak segera
kehilangan harapan untuk dapat membakar kulit orang yang diKenalnya bernama Kerta
Dangsa itu. Dengan penuh kesungguhan Ki Resapraja telah berusaha untuk segera
menghancurkan orang yang telah berkhianat, sehingga rencananya untuk merampok dan
sekaligus membunuh Ki Palih menjadi terhambat.
Dalam pada itu, Sabungsari sempat melihat, bagaimana Ki Wirayuda harus berloncatan
surut menghindari telapak langan Ki Rangga Ranawandawa yang memiliki ilmu
sebagaimana Ki Rangga Resapraja. Dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa
dan oncor di regol halaman, maka sekali-sekali kilatan warna merah bara pada telapak
tangan kedua orang saudara seperguruan itu telah mengejutkan Sabungsari.
Apalagi ketika kemudian ketiga orang diantara tujuh orang Rubah Hitam yang
berputaran disekitamya menjadi semakin mapan. Bukan saja serangan-serangan mereka
datang beruntun, susul menyusul tanpa henti-hentinya, sehingga setiap kali Sabungsari
harus berloncatan menghindar, namun angin yang timbul oleh gerak berputar mereka itu
semakin lama menjadi semakin hangat.
" Inilah agaknya kelebihan dari ketujuh Rubah Hitam itu " berkata Sabungsari
didalam hatinya. Dengan demikian maka Sabungsaripun harus mengerahkan kemampuan ilmu
pedangnya pula. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan Rubah Hitam itu. Tetapi
iapun telah mempergunakan setiap kesempatan untuk meloncat dengan pedang terjulur
lurus mematuk lawannya. Kemudian terayun deras atau menebas mendatar.
Namun Rubah-rubah itu berloncatan trengginas sambil menggeram. Sementara udara
yang mulai menjadi panas telah menebar dan mulai berputar mengikuti putaran ketiga
Rubah Hitam itu. Sabungsari yang bukan saja menilai ketiga orang lawannya, telah menjadi cemas pula
melihat perkembangan pertempuran di halaman. Ternyata para prajurit yang berada di
pintu gerbang mulai terdesak. Para penyerang meskipun pada mulanya jumlahnya cepat
surut, namun mereka masih saja lebih banyak dari para prajurit yang bertugas. Dengan
demikian, maka para prajurit itupun telah mengalami kesulitan menghadapi para
penyerangnya. Meskipun Sabungsari sama sekali tidak menjadi cemas melihat Ki Ajar Gurawa yang
seakan-akan telah berusaha menjadi bayangan yang berterbangan dan berputaran
disekitar Ki Rangga Resapraja, namun Sabungsari harus memperhitungkan juga keadaan
Ki Wirayuda. Meskipun ilmu pedangnya dapat dibanggakan, tetapi menghadapi ilmu Tapak
Geni, Ki Wirayuda memang harus menjadi sangat berhati-hati. Jika pedangnya sempat
dijepit dengan kedua telapak tangan lawannya, maka pedang itu akan kehilangan
bentuknya ,seperti pedang Ki Ajar Gurawa. Untunglah Ki ajar Gurawa memang tidak
bertumpu kepada kemampuan ilmu pedangnya. Tetapi ia masih memiliki jenis ilmu yang
dapat dipergunakannya untuk mengatasi kekuatan ilmu lawannya.
Bahkan sekali-sekali justru Ki Ajar Gurawa telah mampu mengenai tubuh Ki Rangga
Resapraja. Kemampuannya bergerak yang sangat cepat, dapat menyusup pertahanan
lawannya yang sangat berbahaya karena kedua telapak tangannya yang membara itu.
Karena itu, maka Sabungsari harus segera mengambil sikap. Yang mula-mula menjadi
perhatiannya adalah Ki Wirayuda yang terdesak. Kemudian kedua orang murid Ki Ajar G
urawr. Meskipun mereka masih juga mampu bertahan, namun Rubah rubah Hitam itu
mulai sempat berlari-lari berputaran sambil menyambar-nyambar dengan kukunya yang
panjang. Agaknya waktu memang menjadi semakin mendesak. Sementara ketiga lawan
Sabungsari itu telah membuainya semakin marah pula. Udara panas yang berputaran itu
telah membual Sabungsari semakin tidak sabar lagi.
Meskipun Sabungsari tahu bahwa kedua murid K i Ajar Gurawa itu juga mempunyai
ilmu yang tinggi dalam olah kanuragan, namun Sabungsari masih belum mengetahui,
apakah mereka mempunyai ilmu yang dapat menangkap udara panas yang dapat
ditimbulkan oleh kemampuan ilmu para Rubah Hitam itu selagi mereka berlari berputaran.
Tanpa udara panas itu, Sabungsari yang pernah saling menjajagi ilmu dengan kedua
orang murid Ki Ajar Gurawa itu yakin, bahwa kedua Rubah Hitamku akan dapat
dikalahkannya. Namun jika Rubah-rubah itu menjadi mapan, maka persoalannya mungkin
akan berbeda. Dengan demikian, maka Sabungsari tidak mempunyai pilihan lain untuk segera
mengatasi ketiga orang Rubah Hitam yang semakin mendesaknya. Bahkan Sabungsari
telah mulai merasa mengalami kesulitan menghadapi mereka.
Sekilas Sabungsari melihat Glagah Putih yang harus melawan dua orang kepercayaan Ki
Rangga Resapraja. Namun setidak-tidaknya Sabungsari masih mempunyai perhitungan,
bahwa anak muda itu akan mampu melindungi dirinya sendiri.
Demikianlah, ketiga ketiga orang Rubah Hilam yang melawan Sabungsari itu berputar
semakin cepat, serta udara yang mengalir melingkarinya menjadi semakin panas, maka
Sabungsari tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Keringatnya bagaikan telah terperas dari
tubuhnya, sehingga pakaiannyapun telah menjadi basah bagaikan tersiram hujan
seharian. Dalam keadaan yang demikian, maka Sabungsaripun telah meloncat mengambil jarak.
Dengan tangkas Sabungsari berusaha untuk memecahkan putaran itu. Hentakkan ilmu
pedangnya yang mumpuni memang mampu mengejutkan ketiga orang Rubah Hitam itu.
Dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, Sabungsari berusaha mengatasi udara panas
yang memutarinya. Sejenak kemudian Saabungsari telah berada beberapa langkah dari ketiga orang Rubah
Hitam yang termangu-mangu itu. Namun serentak ketiganya telah meloncat memburu
Sabungsari yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya.
Namun ketiga Rubah Hitam itu ternyata telah menghadapi satu kenyataan yang sangat
pahit. Sabungsari yang terdesak kekuatan ilmu Rubah Hitam yang menjadi mapan, telah
berusaha mengatasinya dengan ilmunya yang jarang ada duanya.
Demikian Rubah Hitam itu meloncat berlari, maka tiba-tiba saja seleret sinar memancar
dari mata Sabungsari yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya.
Justru pedangnya tertancap ditanah disisinya.
Seleret sinar itu telah menyambar salah seorang dari antara ketiga orang Rubah Hitam
itu. Terdengar teriakan kesakitan. Rubah Hitam menggeliat. Namun kemudian tubuhnya
telah terjatuh ditanah. Serangan kekuatan ilmu Sabungsari itu dilontarkan pada jarak yang terlalu dekat.
Karena itu, maka tubuh Rubah Hitam itupun telah mengepulkan asap. Ternyata tubuh itu
bagaikan telah terbakar. Baunya disapu angin memenuhi halaman istana Kepatihan.
Kedua orang kawannya terkejut melihat peristiwa itu. Sejenak mereka terpukau oleh
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenyataan yang mereka hadapi. Namun kemudian, kedua orang Rubah Hitam itu menjerit
tinggi. Hampir bersamaan mereka telah meloncat menyerang.
Sekali lagi Sabungsari meloncat mengambil jarak. Sekali lagi seleret sinar memancar
dari keduabelah matanya menyambar salah seorang Rubah Hitam yang menyerangnya itu.
Dan sekali lagi jerit mengerikan melenting tinggi.
Rubah Hitam yang seorang lagi telah jatuh pula ditanah.
Tetapi kawannya ternyata tidak menghiraukannya. Ia tidak berhenti menyerang.
Bahkan dengan cepat ia meloncat memburu dengan tangannya yang mengembang
menerkam Sabungsari. Sabungsari memang sudah menjadi marah sekali menghadapi Rubah-rubah Hitam itu.
Namun ia tidak meloncat mengambil jarak. Waktunya telah terlalu sempit baginya untuk
menghindar. Karena itu, maka dengan kemampuannya yang tinggi dalam olah kanuragan, maka ia
bergeser kesamping. Dengan tangkasnya ia menangkap pergelangan tangan kanan Rubah
Hitam itu dan kemudian memutarnya tubuhnya diudara.
Ternyata tenaga Sabungsari cukup besar untuk memutar tubuh Rubah Hitam itu.
Dengan geram tubuh itupun kemudian dilemparkannya kearah sebatang pohon sawo.
Demikian tangan Sabungsari melepaskannya, maka tubuh yang terputar itu meluncur
seperti anakpanah, tepat membentur sebatang pohon sawo di halaman istana Kepatihan.
Benturan yang sangat keras telah terjadi. Rubah itu memang menjerit pula. Tetapi
bukan karena serangan ilmu Sabungsari lewat sorot matanya. Tetapi karena benturan
yang sangat keras dengan sebatang pohon sawo yang besar itu.
Tubuh Rubah yang satu ini tidak menjadi hangus. Namun darah telah mengalir dari
kepalanya yang membentur pohon itu dengan kerasnya.
Orang-orang yang bertempur di halaman istana itu sempat melihat apa yang terjadi. Ki
Rangga Ranawandawapun melihat bagaimana Sabungsari seolah-olah membakar
lawannya dengan sorot matanya. Demikian pula Ki Rangga Resapraja yang telapak
tangannya bagaikan telah membara. Namun yang mengalami kesulitan untuk menyentuh
tubuh Ki Ajar Gurawa yang berterbangan bagaikan bayangan.
Sejenak Sabungsari berdiri tegak. Dipandanginya tubuh ketiga orang lawannya
berganti-ganti. Tidak seorangpun yang masih akan dapat mengganggunya lagi.
Tiga dari ketujuh orang Rubah Hitam itu telah terbunuh. Namun Sabungsari sempat
membayangkan, seandainya ketujuh orang itu menyatu melawan seseorang yang berilmu
tinggi sekalipun, lawannya itu tentu akan mengalami kesulitan. Mereka bertujuh seakanakan
digerakkan oleh satu otak sehingga tata gerak mereka yang saling mengisi seakanakan
tidak tcrdapai kesalahan betapapun kecilnya. Tiga orang diantara mereka yang
bertempur melawan Sabungsari itu telah benar-benar membuatnya terdesak sehingga
Sabungsari itu harus mempergunakan ilmu pamungkasnya.
Sementara itu pertempuran dihalaman istana Kepatihan itu menjadi semakin garang.
Yang menjadi perhalian Sabungsari pertama-tama adalah para prajurit di regol halaman
yang semakin terdesak. Jumlah para penyerang yang telah banyak disusul itu masih juga
terlalu banyak bagi para prajurit yang bertugas.
Karena itu, maka sambil menyambar pedangnya Sabungsari telah berlari ke pintu
gerbang. Dengan serta merta Sabungsari telah menceburkan diri kedalam pertempuran.
Kehadiran Sabungsari, meskipun hanya seorang, tetapi mampu merubah
keseimbangan. Para prajurit seakan-akan segera dapat bernafas kembali. Mereka sempat
menebar dan bertempur dengan garang.
Beberapa orang penyerang memang telah terikat dalam pertempuran melawan
Sabungsari. Mereka bersama-sama telah mengepungnya. Dua tiga orang yang melihat
apa yang lelah terjadi, berusaha untuk benar-benar mengurung agar Sabungsari tidak
sempat mengambil jarak. " Jangan beri kesempatan ia mengambil ancang-ancang untuk melepaskan ilmu
iblisnya " teriak seorang yang telah setengah baya. Agaknya orang itu memiliki
pengalaman yang sangat luas sehingga ia mampu melihat kelemahan Sabungsari yang
memerlukan ancang-ancang untuk melepaskan ilmunya meskipun hanya sekejap.
Tetapi Sabungsari yang bertempur dengan ilmu pedangnya itu berkata ~ Tiga orang
dari antara orang-orang yang kalian anggap terbaik, yaitu Rubah-rubah Hitam itu telah
terbunuh. Apakah kalian mampu menahan aku" Atau kalian dapat berpikir lebih baik untuk
menyerah saja" "
" Kau pikir hanya Rubah-rubah itu saja yang mampu berbuat sesuatu" " geram orang
yang sudah separo baya itu.
Sabungsari tidak menjawab lagi. Namun pedangnyalah yang segera berputar dengan
garangnya. Namun dalam pada itu, Ki Wirayuda benar-benar menjadi semakin terdesak. Ketika Ki
Wirayuda menangkis ujung pedang lawannya yang terjulur lurus kearah dada, maka Ki
Rangga Ranawandawa sempat memutar pedangnya dan pedang itupun segera menebas
mendatar. Ki Wirayuda meloncat menghindar. Namun hal itu telah diperhitungkan oleh Ki Rangga
Ranawandawa. Dengan tangkasnya Ki Rangga telah mengayunkan pedangnya kearah
pundak lawannya. Tetapi Ki Wirayuda masih juga mampu menangkisnya, sehingga terjadi
benturan yang keras. Pada kesempatan itulah, Ki Rangga Ranawandawa memutar pedangnya seakan-akan
membelit pedang lawannya. Sementara Ki Wirayuda mempertahankan pedangnya dan
menariknya dari libatan pedang Ki Rangga, maka Ki Rangga telah meloncat dengan cepat.
Ki Rangga tidak sempat mempergunakan pedangnya. Tetapi telapak tangannya yang
dilambari ilmu Tapak Geni itu sempat menyentuh lengan Ki Wirayuda.
Ki Wirayuda terkejut. Dengan cepat ia meloncat mengambil jarak. Bahkan beberapa
langkah. Ternyata bukan saja pakaiannya yang bagaikan terbakar, tetapi kulit lengannya menjadi
sangat pedih. Sentuhan kecil itu ternyata telah meninggalkan bekas yang sangat
menyakitkan. Bukan saja luka bakar yang ditimbulkannya, tetapi juga hati Ki Wirayudapun
menjadi sakit mengalami serangan yang telah membakarnya itu.
Namun Ki Wirayuda tidak dapat ingkar dari kenyataan bahwa lawannya memiliki
kelebihan. Meskipun dalam ilmu pedang Ki Wirayuda tidak akan dapat dikalahkannya.
Sebenarnyalah, Ki Rangga Ranawandawa yang tidak melepaskan pedangnya itu telah
mempergunakan selain pedangnya adalah telapak tangannya. Setiap kali Ki Rangga
berusaha untuk membenturkan pedangnya, kemudian menekan menyamping, sementara
tangannya yang membara itu menyambar tubuh Ki Wirayuda.
Beberapa kali Ki Rangga memang harus berloncatan menghindar. Ketika Ki Wirayuda
itu berusaha untuk menusuk lawannya dengan pedangnya saat pertahanan Ki Rangga
terbuka, maka Ki Rangga itupun dengan tergesa-gesa telah bergeser. Namun Ki Wirayuda
sempat menggeliat, sehingga pedangnyapun berubah arah.
Ki Wirayuda merasa betapa ujung pedangnya sempat menyentuh lambung Ki Rangga.
Meskipun hanya meninggalkan goresan tipis, tetapi dari luka itu telah mengembun titiktitik
darah. Namun bersamaan dengan itu, maka telapak tangan Ki Rangga telah
menjamah bagian belakang pundak Ki Wirayuda yang sedang menjulurkan pedangnya.
Keduanya, yang merasa tersengat oleh serangan lawannya telah berloncatan surut. Ki
Rangga Ranawandawa menggeram marah. Lambungnya ternyata telah terluka. Namun Ki
Wirayudapun telah menggeretakkan giginya. Sentuhan dibagian belakang pundaknya itu
terasa semakin menggigit kulit dagingnya.
Luka oleh Aji Tapak Geni itu rupa-rupanya bagaikan dilekati bara. Panasnya menyusup
sampai kecelah-celah tulang. Betapapun Ki Wirayuda mengerahkan tenaga serta daya
tahannya, namun ia tidak mampu meredam perasaan sakitnya.
Sementara Ki Rangga Ranawandawa mengumpat-umpat kasar. Bajunya memang telah
dikoyakkan oleh pedang Ki Wirayuda, bahkan kulitnyapun telah tergores ujung pedang
sehingga darahnya telah menodai pakaiannya.
- Iblis kau Wirayuda -- geram Ki Rangga Ranawandawa -kau kira kau akan dapat
mengimbangi ilmuku" Jika kau mau menyerah, aku masih mungkin mengampunimu. " Omong kosong " geram Ki Wirayuda sambil menyeringai menahan sakit"jika kau
berhasil membunuh Ki Patih Mandaraka, maka semua orang tentu kau lenyapkan untuk
menghindari kesaksian yang akan dapat menjeratmu ketiang gantungan. "
" Jika kau mau bekerja sama dengan kami, maka kami akan membuat pertimbangan
lain " jawab Ki Ranga Ranawandawa.
" Sebaiknya kau saja yang menyerah Ki Rangga. Aku berjanji untuk memohonkan
pengampunan. Jika kau menyerah sekarang, maka dosamu masih belum sampai keleher
" sahut Ki Wirayuda,.
Ki Rangga menggeram. Telapak tangannya yang masih membara diangkatnya. Katanya
" Jika telapak tangan ini menekan dadamu, maka kau tidak akan berpengharapan lagi. " Kau tidak akan sempat melakukannya Ki Rangga. Ujung pedangku masih setajam
ujung pedangmu. " jawab Ki Wirayuda.
Ki Rangga Ranawandawa yang masih belum setingkat dengan Ki Rangga Resapraja
masih belum melepaskan pedangnya. Ia masih mempergunakan pedangnya untuk
melindungi dirinya dari ujung pedang Ki Wirayuda.
Demikianlah keduanya segera terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Ia memang
berhasil menyentuh sekali lagi lengan Ki Rangga, tetapi jari-jari Ki Ranggapun sempat
menyentuh tangannya selagi tangannya itu terjulur menikam dengan pedangnya.
" Kau segera akan mati - geram Ki Rangga.
Ki Wirayuda tidak menjawab. Tetapi ia justru telah mengerahkan segenap kemampuan
ilmu pedangnya, meskipun setiap kali harus berloncatan mundur.
Dalam pada itu, kehadiran Sabungsari diantara para prajurit diregol benar-benar telah
memberikan pengaruh yang sangat besar. Keseimbangan pun segera berubah. Meskipun
Sabungsari sekedar mempergunakan pedangnya. Namun pedang Sabungsari juga tidak
ragu-ragu. Ia sadar, bahwa lawannya memang benar-benar kuat, sehingga setiap orang
yang mempertahankan istana Kepatihan itu tidak boleh ragu-ragu.
Demikian pula Glagah Putih. Ia memang dipengaruhi oleh sikap Agung Sedayu. Tetapi
iapun dipengaruhi oleh sikap Raden Rangga. Karena itu, maka Glagah Putih itupun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untukmelawan dua ujung senjata yang digerakkan
oleh tangan-tangan yang berpengalaman.
Namun ikat pinggangnya menyambar-nyambar dengan garangnya. Benturan-benturan
yang terjadi telah membuat kedua lawannya yang berpengalaman sangat luas itu masih
saja terkejut. Ikat pinggang itu benar-benar merupakan senjata yang mendebarkan.
Sekali-sekali Glagah Putih menggerakkan dengan sebelah tangannya. Namun kemudian
ikat pinggang itu direntangkannya dan dipeganginya dengan kedua belah tangannya.
Ketika pedang Dipacala terayun kearah ubun-ubun Glagah Putih, maka ikat pinggang
itu telah direntangkannya dialas kepalanya secepat ayunan pedang lawannya. Dengan
kedua belah tangannya Glagah Putih menahan ayunan pedang itu dengan sedikit
mengendorkan rentangan ikat pianggangnya. Namun yang kemudian telah
dihentakkannya kuat-kuat sehingga pedang Dipacala bagaikan didorong dengan kekuatan
yang sangai besar memental hampir saja terlepas dari tangannya.
Untunglah bahwa tangan Dipacala cukup kuai menahan hulu pedangnya, sehingga
pedangnya itu masih saja tetap didalam genggaman. Namun sementara itu, senjata Truna
Patrap telah terjulur lurus kearah lambung Glagah Putih sehingga anak muda itu harus
bergeser menghindarinya. Glagah Putih memang menghindar. Tetapi serangan Truna Patrap itu datang beruntun
susul menyusul dengan serangan-serangan yang diluncurkan oleh Dipacala, sehingga
Glagah Putih benar-benar merasa terdesak
Tetapi Glagah Putih masih belum sampai kepuncak. Namun bahwa ia telah terdesak
telah mendorongnya untuk memberikan perlawanan yang lebih baik. Apalagi ketika ia
melihat K i Wirayuda yang menjadi semakin terdesak oleh Ki Rangga Ranawandawa.
Demikianlah, maka Glagah Putihpun mulai merambah puncak ilmu yang diwarisinya dari
aliran Ki Sadewa lewat Agung Sedayu. Ia sengaja tidak menghentakkan ilmunya yang
disadapnya dari Ki Jayaraga yang mampu menghambur meluncur menyeberangi jarak.
Tetapi ia ingin mengalahkan lawannya pada jarak gapai senjatanya.
Sejenak kemudian, maka ikat pinggang ditangan Glagah Putih itupun berputar semakin cepat. Bukan saja semakin cepat, tetapi kekuatan yang tersalur daripadanya menjadi berlipat pula. Kekuatan puncak ilmu dari aliran Ki Sadewa itu telah tersalur melalui ikat pinggang kulitnya yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka.
Kedua lawannya terkejut karenanya. Tetapi mereka sudah tidak mempunyai waktu lagi.
Serangan Glagah Putih justru datang membadai.
Kedua orang lawannya berusaha menghentikan kemampuan mereka pula. Sebelumnya mereka merasa mampu mendesak anak muda itu, sehingga anak muda itu mengalami kesulitan. Namun ternyata kemudian, keseimbangan pertempuran itupun berubah dengan serta merta Keduanya tidak lagi mampu mendesak Glagah Putih. Bahkan keduanyalahyang kemudian merasa terdesak.
Tetapi baik Dipacala maupun Truna Patrap seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ikat pinggang Glagah Putih seakan-akan telah berubah menjadi kabut yang melingkari tubuhnya. Namun setiap kali, ikat pinggang itu dengan garangnya menyambar-nyambar kedua orang lawannya.
Tnina Patrap yang mencoba untuk membendung serangan itu, telah membentur ikat pinggang Glagah Putih. Adalah benar-benar diluar dugaan bahwa kekuatan benturan itu jauh melampaui kekuatan anak muda itu sebelumnya. Senjata Truna Patrap ternyata tidak lagi dapat dipertahankan. Benturan yang kuat itu telah melemparkan senjata Truna Patrap beberapa langkah dari padanya.
Dipacala yang melihat kesulitan kawannya itu dengan serta merta telah menyerang pula. Dengan mengerahkan kemampuan ilmu pedangnya yang tinggi. Tetapi ternyata Dipacalapun tidak lagi berkemampuan cukup untuk menghentikan amuk ikat pinggang Glagah Putih.
Bahkan Truna Patrap yang meloncat dan berusaha meraih senjatanya, telah kehilangan kesempatan untuk menghindari serangan Glagah Putih ketika anak muda itu menyusulnya.
Ikat pinggang dalam ujud dan kegunaannya sebagaimana ikat pinggang kulit pada umumnya itu telah terayun deras sekali menghantam punggung Truna Patrap.
Terdengar teriakan yang menggelepar mengoyak udara malam. Sejenak kemudian, dalam siraman cahaya oncor dan lampu minyak, tubuh Truna Patrap itu terdorong jatuh menelungkup. Orang itu masih mencoba menggeliat. Namun kemudian diam untuk selama-lamanya. Ternyata bahwa tulang punggungnya telah patah.
Glagah Putih masih belum sempat melihat keadaan lawannya yang seorang itu, karena Dipacala telah menyerangnya dengan garangnya. Namun Glagah Putih sempat mengelakkan serangan itu. Dengan tangkasnya, ia memutar ikat pinggangnya membelit daun pedang Dipacala. Dengan kedua tangannya, Glagah Putih merenggut pedang itu sehingga terlepas dari tangan lawannya.
Dipacala benar-benar terkejut mengalaminya. Demikian cepat dan tiba-tiba. Bahkan benar-benar diluar penalarannya bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Ikat pinggang yang lebar dan yang sekali-sekali mampu membentur pedangnya sebagai sekeping besi baja, tiba-tiba saja telah membelit pedangnya. Apalagi dengan kekuatan raksasa ikat pinggang itu telah merenggut pedangnya.
Dipacala yang kehilangan senjatanya itu meloncat mundur. Namun ujung ikat pinggang Glagah Putih telah memburunya. Satu sentuhan yang kuat telah menghantam pundaknya justru saat Dipacala menyelamatkan dadanya.
Kekuatan yang tidak pernah diduga sebelumnya telah melemparkan Dipacala sehingga orang itu jatuh terpelanting. Dua kali ia terguling.
Ketika Dipacala dengan serta-merta berusaha untuk bangkit, iapun telah terjatuh kembali. Wajahnya nampak menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan.
Glagah Putih termangu-mangu. Ketika ia berpaling memandang tubuh Truna Patrap, maka orang itu sudah tidak bernafas lagi. Namun Dipacala nampaknya masih akan mampu bertahan untuk hidup, meskipun sejenak kemudian terdengar orang itu mengerang kesakitan.
Glagah Putih masih juga sempat mengingat, bahwa diantara orang-orang itu, terutama pemimpinnya, diperlukan untuk memberikan keterangan tentang gerakan yang lelah mengejutkan istana Kepatihan itu.
Glagah Putih masih termangu-mangu sejenak. Namun iapun segera menyadari keadaan. Ki Wirayuda ternyata telah terdorong jatuh. Tetapi tangan Ki Rangga Ranawandawa telah menyentuhnya lagi. Bahkan didadanya.
Ki Rangga Ranawandawa yang melihat lawannya terjatuh dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak, tertawa meledak. Dengan lantang ia berkata - Inikah seorang yang dipercaya untuk memimpin pertahanan di istana Kepatihan" "
Ki Wirayuda memang bangkit berdiri. Tetapi ketika ia berusaha untuk tegak, maka keseimbangannya masih belum pulih seluruhnya. Apalagi luka-luka bakar ditubuhnya telah membuatnya seakan-akan tidak berdaya lagi.
Ki Rangga Ranawandawa tiba-tiba justru telah menyarungkan pedangnya. Dengan serta merta ia telah bersiap sambil mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap kepada Ki Wirayuda " Inilah saat terakhirmu. Tataplah langit yang kelam untuk yang terakhir kalinya. Bintang-bintang dan mega tipis itu. Kau akan segera tersungkur kepelukan bumi. "
Ki Wirayuda memang sudah tidak berdaya sama sekali. Ia memang sempat memandang lampu minyak dipendapa Kepatihan. Namun hatinya memang menjerit. Ia sadar, di ruang dalam Ki Patih Mandaraka sedang berhadapan dengan Ki Wanayasa, Ki Wirayuda sadar bahwa Ki Patih memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun jika kemudian beberapa orang sempat membantu Ki Wanayasa, maka Ki Patih memang berada dalam bahaya.
Tetapi Ki Wirayuda tidak dapat memerintahkan prajuritnya untuk membunyikan tanda bahaya. Karena Ki Patih telah memerintahkan untuk tidak melakukannya, agar rakyat Mataram terutama di Kotaraja tidak menjadi gelisah dan bahkan ketakutan.
Meskipun demikian, sebagai prajurit Ki Wirayuda masih belum melepaskan pedangnya.
Hulu pedangnya itu seakan-akan telah melekat pada kulit telapak tangannya. Bahkan ketika Ki Rangga mulai bergerak, Ki Wirayuda telah berusaha mengangkat pedangnya.
Namun tangannya seakan-akan sudah tidak berdaya. Pedang itu nampak gemetar dan sekali-sekali ujungnya bergerak turun betapapun setiap kali Ki Wirayuda berusaha mengangkatnya.
Dalam keadaan yang demikian Glagah Putih telah meloncat berlari. Tetapi jaraknya ternyata terlalu jauh. Sementara Ki Rangga Ranawandawa telah bergerak maju. Telapak tangannya yang membara siap menerkam Ki Wirayuda, meskipun ia masih menggenggam pedang, tetapi pedangnya sudah tidak bertenaga sama sekali. Namun justru karena pedang itu telah menggores tubuh Ki Rangga, maka Ki Ranggapun benar-benar telah siap membunuhnya. Jika kedua telapak tangannya itu sempat melekat didada Ki Wirayuda, maka ia tidak akan mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang masih berjarak beberapa langkah itu berteriak "
Tunggu. Kau tidak dapat membunuhnya. "
Ki Rangga berpaling sejenak. Namun Glagah Putih justru telah mendorong Ki Ranggauntuk lebih cepat bertindak. Apalagi Ki Rangga tahu berapa keseimbangan pertempuran dalam keseluruhan kurang menguntungkan bagi gerombolannya.
Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tclapi hanya sesaat, Ki Wirayuda yang sudah tidak berdaya meskipun tangannya masih menggenggam pedang itu memang sudah tidak berpengharapan. Sementara lawannya telah siap menerkam.
Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. la tidak mungkin dapat menyelamatkan Ki Wirayuda jika ia harus meloncat mendekat arena didepan tangga pendapa Kepatihan itu.
Karena itu, maka Glagah Putih pun justru berhenti. Ia memerlukan waktu sekejap dan kemampuan bidik yang tinggi. Demikian Ki Rangga Ranawandawa meloncat, maka Glagah Putihpun telah melepaskan ilmunya pula.
Seleret sinar telah memancar dari telapak tangan Glagah Putih yang memiliki landasan beberapa macam ilmu sekaligus. Selagi ia masih berada dalam puncak kekuatan ilmu yang disadapnya berdasarkan aliran Ki Sadewa lewat Agung Sedayu, maka ia telah melontarkan ilmunya yang diwarisinya dari Ki Jayaraga pada landasan kekuatan yang diterimanya dari Raden Rangga.
Karena itu, yang meluncur adalah ilmu yang dahsyat sekali, justru karena Glagah Putih tergesa-gesa sehingga ia tidak membuat pertimbangan-pertimbangan lebih panjang serta mempergunakan ilmunya yang lebih lunak.
Sambil berdiri tegak serta menyangkutkan ikat pinggangnya dilehernya Glagah Putih telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap kearah Ki Rangga Ranawandawa yang sedang meloncat.
Ternyata bahwa seleret sinar yang terlontar dari telapak tangan Glagah Putih itu tidak tepat menghantam tubuh Ki Rangga. Sinar itu seakan-akan hanya menyinggung punggungnya dan langsung menghantam tangga pendapa,sehingga tangga pendapa Kepatihan itu seakan-akan lelah meledak.
Semua orang yang sedang bertempur dihalaman itu terkejut. Dengan serta merta mereka telah berpaling. Mereka masih melihat bebatuan yang terlempar. Namun merekapun melihat tubuh Ki Rangga yang tersinggung oleh kekuatan ilmu Glagah Putih itu terlempar dan terbanting jatuh.
Sebenarnya keadaan Ki Rangga yang tidak tepat dikenai ilmu Glagah Putih itu tidak terlalu parah keadaannya. Tetapi karena terjatuh dan membentur sebongkah batu yang terlempar dari tangga pendapa, maka dengan serta merta, orang berilmu tinggi itupun telah menjadi pingsan.
Sementara itu, Ki Wirayuda yang lemah itupun tidak mampu bertahan atas goncangan ilmu Glagah Putih yang menghantam dan meledakkan tangga pendapa Kepatihan itu.
Karena itu, maka iapun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terguling di tanah.
Glagah Putih sendiri terkejut melihat akibat serangan ilmunya itu. Namun ia lebih terkejut lagi melihat keadaan Ki Wirayuda. Karena itu, maka iapun Segera berlari mendekatinya.
Ketika Glagah Putih berjongkok disisi Ki Wirayuda, maka dilihatnya orang itu tersenyum.
Bahkan mencoba untuk bangkit dan duduk bersandar pada kedua tangannya.
" Aku tidak apa-apa - desis Ki Wirayuda.
- Aku menjadi cemas sekali - sahut Glagah Putih.
- Ternyata kau sungguh-sungguh luar biasa. Kau memiliki ilmu yang tidak ada duanya - berkata Ki Wirayuda ~ dan kau sudah menyelamatkan nyawaku. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Rangga Ranawandawa yang masih terbaring diam.
" Aku akan melihat keadaannya " berkala Glagah Putih. Ki Wirayudapun mengangguk.
Sejenak kemudian Glagah Putih telah mendekati Ki Rangga Ranawandawa. Ternyata punggung Ki Rangga yang tersentuh ilmu yang terloncat dari telapak tangan Glagah Putih menjadi seakan-akan tersentuk lidah api.
Namun Ki Rangga itu masih tetap hidup. Bahkan kemudian terdengar mengerang kesakitan.
" Jika saja ia tidak berdiri terlalu dekat dengan Ki Wirayuda, maka aku tentu akan mengenainya dan tubuhnya tentu akan hancur " berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Sebenarnya ia telah merasa menyesal mempergunakan hampir seluruh kekuatan yang ada pada ilmunya yang tertimbun.
Karena itu, ia justru merasa bersukur bahwa ia telah melontarkan ilmunya dengan perhitungan agar tidak menyentuh tubuh Ki Wirayuda yang hanya berdiri kurang dari dua langkah dari Ki Rangga Ranawandawa, sehingga karena itu justru hanya menyinggung saja punggung Ki Rangga. Dengan demikian maka tubuh itupun tidak menjadi hancur karenanya.
Sejenak kemudian, Glagah Putihpun telah memapah Ki Wirayuda dan membawanya menepi. Menempatkannya ditempat yang lebih baik. Sementara pertempuranpun semakin lama menjadi semakin reda. Para prajurit diregol halaman bersama Sabungsari telah mampu menguasai para penyerangnya. Demikian pula agaknya para prajurit di sekitar istana yang bertempur bersama-sama sepuluh orang pilihan dari antara para petugas sandi serta beberapa orang anggota kelompok Gajah Liwung.
Yang masih bertempur di halaman adalah Ki Rangga Resapraja melawan Ki Ajar Gurawa. Ternyata keduanya benar-benar berilmu tinggi. Meskipun telapak tangan Ki Rangga Resapraja telah dilandasi dengan ilmu Tapak Geni, namun tangan itu seakan-akan tidak pemah mampu menyentuh tubuh lawannya. Sekali dua kali jari-jarinya memang mampu mengenai pakaian dan tubuh Ki Ajar Gurawa dan melukainya. Tetapi tidak banyak mempengaruhi kemampuan tempur Ki Ajar yang berloncatan bagaikan bayangan. Dengan tangkasnya, beberapa kali serangannya mampun menembus pertahanan Ki Rangga Resapraja meskipun ia memiliki Aji Tapak Geni. Sekali tangan Ki Ajar bahkan telah menghantam dada Ki Rangga. Kemudian tumitnya yang terjulur tepat mengenai lambungnya. Sambil terbang dan berputar diudara, tangan Ki Ajar sempat menyambar kening Ki Rangga Resapraja sehingga hampir saja Ki Rangga itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia cukup tangkas untuk tetap tegak berdiri.
Namun sentuhan-sentuhan tangan Ki Ajar Gurawa semakin lama semakin terasa betapa sakitnya. Ilmu meringankan tubuh Ki Ajar Gurawa ternyata mampu mengimbangi ilmu Tapak Geni Ki Rangga Resapraja sebagai bagian permulaan dari ilmu Tapak Gun-dala yang lebih dahsyat lagi. Bahkan mampu melontarkan kekuatan intinya panas api pada jarak tertentu.
Beberapa kali Ki Rangga Resapraja mengumpat. Ia harus mengakui kelebihan orang yang dikenalnya bernama Kerta Dangsa itu. Iapun menyesal bahwa ia terlalu percayakepada orang baru dilingkungannya meskipun telah melalui satu pendadaran yang berat.
" Apakah saat Kerta Dangsa melakukan pendadaran untuk membunuhku. Ia sudah mecurigai aku" " pertanyaan itu ternyata baru timbul kemudian.
Tetapi Ki Rangga Resapraja tidak sempat berpikir terlalu panjang. Serangan Ki Ajar Gurawa kemudian justru mengalir semakin keras. Sentuhan-sentuhan yang semakin menyakiti tubuhnya justru terjadi semakin sering.
Sementara itu, Ki Rangga Resaprajapun sempat melihat Glagah Putih yang telah berhasil mengalahkan kedua orang kepercayaan Ki Rangga Resapraja. Juga satu hal yang tidak disangka-sangka. Dua orang sekalipun,. Bahkan kemudian Ki Rangga Ranawandawa telah dihancurkan dengan ilmu yang dahsyat sekali, yang sama sekali tidak pernah diduganya akan dapat dilontarkan oleh seseorang yang ada di halaman istana Ki Patih Mandaraka.
Ki Rangga telah benar-benar terjebak. Namun ia masih mengharapkan Ki Wanayasa yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jika Ki Wanayasa mampu mengalahkan Ki Patih Mandaraka, betapapun besar kemampuan orang-orang yang ada di halaman itu, mereka tentu akan dihancurkannya.
Tetapi Ki Ranggapun menyadari bahwa Ki Patih Mandaraka adalah orang yang jarang ada duanya. Sementara itu, Podang Abang yang bertempur melawan Ki Jayaraga masih juga belum menunjukkan siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.
Sementara itu Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan melangkah mendekati Ki Rangga Resapraja yang bertempur melawan Ki Ajar Gurawa, atau mendekati Podang Abang yang bertempur melawan Ki Jayaraga ditempat yang agak jauh terpisah.
Namun dalam pada itu, para prajurit diregol tertutup halaman istana Kepatihan itu telah selesai dengan tugas mereka. Para penyerang yang tersisa telah menyerahkan diri.
Mereka telah melemparkan senjata-senjata mereka ketanah.
Dengan demikian maka tugas Sabungsari di pintu gerbang itupun telah selesai. Iapun kemudian meninggalkan para prajurit yang sedang menyelesaikan para tawanan itu.
Mengumpulkan dan kemudian menjaga mereka sebaik-baiknya.
Sambil mendekati Glagah Putih, Sabungsari sempat melihat betapa Ki Ajar Gurawa semakin mendesak lawannya yang tidak mampu mengimbangi kecepatan geraknya meskipun memiliki Aji Tapak Geni.
Namun ditubuh Ki Ajar Gurawapun terdapat pula luka-luka bakar dibeberapa bagian.
Pakaiannyapun masih juga berasap dan melontarkan bau yang menyentuh indera penciuman.
Tetapi keseimbangan pertempuran itu sudah menjadi jelas.
Demikian pula Ki Podang Abang yang bertempur melawan Ki Jayaraga. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dengan berbagai macam ilmu Ki Podang Apang berusaha untuk menghancurkan Ki Jagayara. Namun Ki Jayaraga masih juga mampu mengatasinya.
Ketika Ki Rangga Resapraja sudah tidak lagi mempunyai harapan untuk tetap bertahan, maka Sabungsari dan Glagah Putih justru meninggalkannya. Dipinggir halaman Ki Wirayuda masih juga dapat menunggui Ki Rangga Ranawandawa yang masih saja terbaring sambil mengerang kesakitan. Sedangkan Dipacala yang luka parah, tidak akan segera dapat bangun. Sementara Truna Patrap tidak lagi dapat bernafas.
Sabungsari yang sempat berbicara dengan Glagah Putih telah mengambil keputusan untuk membantu kedua orang murid Ki Ajar Gurawa yang pertahanan tubuh mereka mulai menurun, sementara Rubah-rubah Hitam itu menjadi semakin buas.
Rubah Hitam yang bertempur dengan kedua murid Ki Ajar itu berusaha untuk menyelesaikan keduanya sebelum Sabungsari dan Glagah Putih datang mendekat Namun kedua murid Ki Ajar Gurawa yang mengerti dan tanggap kepada keadaan, berloncatan mengambil jarak. Mereka sadar bahwa berat bagi mereka untuk melawan kedua Rubah itu sekaligus, meskipun dalam keadaan yang terpaksa mereka tidak akan ingkar.
Rubah-rubah Hitam yang mulai mapan itu menggeram. Mereka benar-benar menjadi buas. Kehadiran Sabungsari dan Glagah Putih membuat mereka semakin garang.
Tetapi Rubah-rubah itu tidak mempunyai kesempatan lagi. Sabungsari dan Glagah Putih telah memasuki arena pertempuran itu, sehingga dengan demikian, maka masing-masing harus bertempur melawan seorang saja dari antara Rubah-rubah Hitam itu.
Dengan demikian, maka keseimbangannyapun menjadi jelas. Kedua murid Ki Ajar itu juga memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sehingga mereka tidak mengalami kesulitan yang dapat membahayakan jiwa mereka.
Betapapun liar dan buasnya orang yang disebut Rubah Hitam itu, namun mereka benar-benar tidak mampu mengimbangi kemampuan lawan-lawannya.
Namun demikian mereka adalah orang-orang yang seakan-akan telah kehilangan perasaannya. Meskipun disaat-saat tertentu masih juga muncul gejolak dihatinya, namun menghadapi lawan-lawannya mereka sama sekali tidak lagi berjantung.
Murid-murid Ki Ajar Gurawasemakin lama menjadi semakin marah menghadapi Rubahrubah itu. Meskipun serangan mereka beberapa kali dapat mengenai tubuh lawannya, tetapi demikian Rubah itu terpelanting, secepat itu pula ia bangkit dan meloncat menyerang sambil mengaum tinggi.
Sabungsari menjadi jengkel terhadap lawannya. Ketika Sabungsari sempat menyerang dengan ujung pedangnya dan menyentuh pundak lawannya, maka Rubah itu memang meloncat surut. Tetapi sejenak kemudian iapun telah meloncat menerkam dengan garangnya.
Luka demi luka telah tergores ditubuh Rubah-rubah itu. Senjata murid-murid Ki Ajarpun telah melukai lawan-lawannya. Demikian pula ikat pinggang Glagah Putih. Tetapi ternyata Rubah-rubah Hitam itu sama sekali tidak berniat untuk menghentikan perlawanan.
*** API DI BUKIT MENOREH Jilid : 271 ~ 280
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karya S.H. Mintarja ________________________________________
JILID 271 MURID-murid Ki Ajar Gurawa justru mulai gelisah melihat lawan-lawannya. Mereka telah melukai dibeberapa tempat. Bahkan senjata-senjata mereka telah menggores dada, menusuk lambung dan pundak serta lengan mereka. Tetapi Rubah-rubah itu masih saja berloncatan menerkam tanpa perhitungan karena mereka tidak pernah berhasil.
Sabungsaripun akhirnya kehilangan kesabaran. Tetapi ia tidak merasa perlu untuk menghentikan kesabaran. Rubah Hitam itu dengan kekuatan sorot matanya. Tetapi ia justru meminjam kekuatan dorong Rubah itu sendiri. Ketika Sabungsari berhasil menyerang lawannya dengan kakinya yang menghantam dada, maka Rubah itu telah terlempar beberapa langkah. Namun tiba-tiba saja ia telah bangkit dan meloncat
menyerang sambil berteriak nyaring.
Sabungsari yang telah menjadi muak melihatnya, justru telah menunggu sambil mengacukan pedangnya, tepat saat Rubah Hitam itu meloncat.
Terdengar pekik kesakitan bagaikan mengguncang istana Ke-patihan. Ujung pedang Sabungsari justru telah menikam lawannya tepat diarah jantung. Ketika kemudian Sabungsari menarik pedangnya, maka Rubah Hitam itupun telah terjatuh menelungkup.
Bulu kuduk Sabungsari justru meremang ketika Rubah itu masih juga bangkit Namun selangkah ia maju, maka Rubah Hitam yang terluka sampai ke jantung itupun terjatuh kembali. Mati.
Pada saat yang hampir bersamaan pula, kedua murid Ki Ajar Gurawa terpaksa menghabisi kedua Rubah Hitam yang menjadi lawan mereka, justru karena Rubah-rubah Hitam itu telah membuat
mereka menjadi gelisah karena sikapnya yang seakan-akan tidak mengenal surut sama sekali.
Yang masih bertempur adalah Glagah Putih. Ketika ia melihat Rubah-rubah Hitam yang lain, maka timbul niatnya untuk menundukkan Rubah yang menjadi lawannya itu tanpa membunuhnya.
Sebenarnyalah Rubah Hitam itu seperti seorang yang kerasukan. Apa yang dilakukan itu seakan-akan bukan kemauannya sendiri. Matanya yang memancarkan kekosongan pribadinya justru menjadi menakutkan. Liar, tetapi beku.
Sabungsari yang telah kehilangan lawannya sempat memperhatikan, apa yang dilakukan oleh Glagah Putih, sementara kedua orang murid Ki Ajar Gurawa telah mendekati gurunya. Namun gurunya itu sempat berkata"Jangan mendekat. Tangan iblis itu sepanas bara api. "
Kedua orang muridnya memang tidak mendekat. Merekapun tidak menjadi cemas, karena mereka melihat bahwa gurunya masih tetap tegar menghadapi lawannya.
Meskipun ada beberapa noda sentuhan bara api dari Aji Tapak Geni ini, namun Ki Ajar justru
telah berhasil mendesak lawannya. Sentuhan-sentuhan tangan dan kaki Ki Ajar membuat Ki Rangga semakin kesakitan.
Dalam pada itu, Sabungsari yang menunggui Glagah Putih memang ingin mengetahui batas kemampuan wadag Rubah Hitam itu. Apalagi melawan ikat pinggang Glagah Putih.
Pertempuran itu memang menjadi sengit. Beberapa kali Rubah Hitam yang tinggal satusatunya
di antara ketujuh orang itu terlempar jatuh. Namun kemudian dengan cepat telah bangkit lagi. Menyerang, menerkam dan berteriak dengan buasnya.
Glagah Putih dengan sengaja tidak dengan seru merta membunuhnya. Tetapi ia telah mempergunakan kemampuannya untuk melawan Rubah Hitam yang justru membuatnya menjadi gelisah, sehingga hampir saja Glagah Putih menjadi tidak telaten dan menghancurkan lawannya dengan puncak ilmu dari aliran Ki Sadewa yang tentu tidak perlu mengulangi untuk kedua kalinya.
Tetapi Glagah Putih masih mencoba untuk bertahan. Dengan mempergunakan alat
pinggangnya dalam kemampuan kewadagan-nya yang wajar ia melawan kebuasan Rubah
Hitam itu. Beberapa kali Glagah Putih yang memiliki kemampuan yang mapan dengan senjatanya
itu telah berhasil mengenai tubuh Rubah Hitam itu. Beberapa kali Rubah Hitam itu
terpelanting jatuh. Namun iapun segera bangkit dan menyerang dengan garangnya.
Namun Glagah Putih masih juga menahan diri. Ia tidak ingin mematahkan tulang
belakang Rubah itu sehingga mati.
Namun dengan demikian maka Glagah Putih masih harus berloncatan menghindari
terkaman Rubah Hitam yang tinggal seorang itu.
Tetapi betapapun pengaruh kelam yang ada didalam diri Rubah Hitam itu, namun
ketahanan wadagnya ternyata ada batasnya pula. Ternyata Rubah Hitam itu tidak dapat
bertahan lebih lama lagi menghadapi sabetan ikat pinggang kulit Glagah Putih. Beberapa
kali ia terpelanting jatuh, meloncat bangkit dan jatuh lagi.
Tetapi akhirnya pada suatu saat Rubah Hitam itu telah kehilangan dukungan wadagnya.
Ketika ikat pinggang Glagah Putih menghantam keningnya, maka Rubah Hitam itu
terlempar kesam-ping dan jatuh berguling. Seperti saat-saat sebelumnya, maka dengan
tangkasnya Rubah Hitam itu melenting berdiri. Tetapi sebelum ia sempat menerkam
Glagah Putih, maka iapun telah terhuyung-huyung.
Masih terdengar Rubah Hitam itu menjerit tinggi sambil meloncat menyerang. Namun
tanpa dukungan kekuatan wadagnya maka Rubah Hitam itupun telah jatuh terjerembab.
Meskipun ia masih juga berusaha untuk bangkit, tetapi orang itu benar-benar su dah tidak
berdaya. Glagah Putih berdiri tegak disebelah tubuh yang terbaring diam itu. Tetapi masih
terdengar nafas yang terengah-engah mengalir lewat lubang hidung dan mulutnya.
Sabungsari yang mendekat, melihat betapapun pengaruh ilmu hitamnya yang mampu
membakar tekad dan kemampuannya untuk bertempur dan membunuh, namun wadagnya
sama sekali tidak lagi dapat mendukungnya,
Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak, ketika keduanya melihat
Rubah itupun kemudian justru menjadi
pingsan. Wadagnya telah mengerahkan kekuatan melampaui kewajaran.
Dengan isyarat Sabungsari memanggil dua orang prajurit yang sedang mengawasi
tawanan didepan pintu gerbang. Ketika keduanya mendekat, maka Sabungsari berkata "
Jaga orang ini. Biarlah ia hidup. Mereka akan menjadi sumber keterangan selain tentang
gerombolannya, juga tentang ilmunya yang aneh itu. Kedua orang prajurit itu mengangguk hormat. Meskipun keduanya sadar, bahwa orang
itu bukan salah seorang pimpinan jajaran keprajuritan yang bertugas di Istana Kepatihan,
namun sikapnya tidak berbeda dengan sikap para perwira, sehingga perintahnya terasa
mempunyai wibawa. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Sabungsari adalah salah
seorang perwira kepercayaan Untara di Jati Anom.
Setelah menyerahkan Rubah Hitam yang sudah tidak bertenaga lagi itu kepada kedua
orang prajurit, maka keduanya telah meninggalkannya. Namun langkah mereka terhenti
ketika dua orang menyusul mereka dengan tergesa-gesa.
Keduanya ternyata adalah Suratama dan Naratama.
" Apa yang terjadi" " bertanya Sabungsari.
" Pertempuran disekitar istana sudah selesai. " jawab Sura-, tama.
" Bagaimana dengan keadaan didalam istana" " bertanya Sabungsari kemudian.
" Kami tidak berani masuk " jawab Suratama. ~ Kenapa" - bertanya Sabungsari.
" Terjadi pertempuran diruang dalam. Rasa-rasanya ruang dalam telah menjadi
neraka. Sinar-sinar api sambar-menyambar. Kemudian kabut seakan-akan telah memenuhi
ruangan, namun sekejap kemudian lenyap seperti terhisap bumi. Sekali-sekali terdengar
suara prahara. Namun kemudian seakan-akan debur ombak bergulung menghantam batu
karang. " jawab Suratama.
Sabungsari dan Glagah Putih memaklumi apa yang terjadi. Ternyata Ki Wanayasa
adalah seorang yang memang, berilmu tinggi. Seandainya Ki Resapraja ada didalam ruang
dalam, maka kemampuannya tidak akan banyak berarti. Namun jika kedua
Rangga serta Podang Abang bersama-sama melawan Ki Patih Mandaraka, maka
keadaan Ki Patih memang menjadi agak sulit.
Namun pertempuran yang seperti itu terjadi juga disudut halaman Kepatihan. Podang
Abang yang sedang bertempur melawan Ki Jayaraga semakin lama menjadi semakin
sengit. Ternyata keduanya memang orang-orang berilmu tinggi. Agaknya seperti yang
terjadi diruang dalam. Setiap kali nampak cahaya yang meluncur dari kedua belah pihak
saling menyambar. Tetapi kedua belah pihak ternyata memiliki kecepatan yang mampu
mengimbangi kecepatan ilmu masing-masing.
Tetapi kadang-kadang keduanya, justru telah bertempur pada jarak jangkau tangantangan
mereka. Udara yang panas serta ilmu yang lebih tinggi tingkatnya dari Tapak Geni
ternyata dimiliki pula oleh Podang Abang. Aji Tapak Gundala. Namun Ki Jayaraga adalah
seorang yang memiliki landasan kekuatan dari ampat unsur kekuatan yang ada di alam
sekitarnya. Kekuatan yang mendukungnya dari inti kekuatan bumi, air, udara dan api.
Dalam gelapnya malam, maka kilatan-kilatan sinar yang sambar menyambar membuat
halaman Kepatihan itu menjadi sangat mengerikan. Maut seakan-akan telah berterbangan
membayangi seluruh halaman dan istana Kepatihan.
Sabungsari dan Glagah Putih seakan-akan justru telah melupakan pertempuran antara
Ki Ajar Gurawa yang ditunggui oleh kedua orang muridnya melawan Ki Resapraja justru
karena pertempuran yang mendebarkan disudut halaman itu.
Apalagi keduanya yakin bahwa Ki Ajar Gurawa akan dapat mengatasi lawannya yang
memiliki Aji Tapak Geni itu, karena Ki Ajar mampu bergerak jauh lebih cepat dari
kemampuan gerak Ki Rangga Resapraja, sehingga Ki Ajar telah mampu mengenai
lawannya jauh lebih sering dari sentuhan-sentuhan Aji Tapak Geni itu. Sedangkan
kekuatan tenaga cadangan Ki Ajar seakan-akan semakin lama semakin bertambahtambah.
Bukannya sebaliknya meskipun pertempuran itu telah terjadi beberapa lama.
Dalam pada itu, Sabungsari dan Glagah Putih menjadi tegang melihat pertempuran
antara Ki Jayaraga dan Podang Abang-Keduanya
pernah bersama-sama bertempur melawan Podang Abang yang kemudian
melarikan diri. Namun melihat Podang Abang bertempur melawan Ki Jayaraga, mereka
berdua masih juga merasa gelisah,
Dalam gelapnya malam, lontaran-lontaran ilmu dari kedua belah pihak nampaknya
seperti cahaya yang berterbangan. Sambar-menyambar dengan sengitnya. Namun
beberapa saat kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran dengan benturanbenturan
kewadagan. Namun sudah barang tentu dilam-bari dengan kekuatan ilmu yang
dahsyat, Ilmu Tapak Gundala sebagai satu kekuatan yang lebih tinggi dari ilmu Tapak
Geni memang dahsyat, Tetapi Ki Jayaraga memiliki sandaran kekuatan inti air dan udara
yang mampu mematahkan panasnya api ilmu Tapak Gundala. Sedangkan kekuatan yang
diserapnya dari getaran kekuatan bumi telah membuatnya menjadi kuat kokoh dan tidak
tergoyahkan oleh deraan serangan Podang Abang yang menghantamnya bagaikan gelegar
ombak yang datang bergulung-gulung.
Podang Abang yang merasa bahwa kemampuannya telah jauh meningkat dari beberapa
tahun sebelumnya sehingga ia merasa sudah menjadi lebih baik dari Ki Jayaraga, ternyata
masih belum mampu mematahkan perlawanan orang tua itu.
" Iblis kau " geram Podang Abang.
" Apapun yang kau katakan " sahut Ki Jayaraga yang justru mulai mendesak
lawannya. " Ilmu iblismu telah membuat semua muridmu menjadi iblis Bajak laut, perompak,
penyamun. He, adakah di antara murid-muridmu yang dapat kau banggakan" " geram
Podang Abang yang merasa mulai terdesak.
" Aku akui itu, Murid-muridku semua menjadi jahanam kecuali satu. - jawab Ki
Jayaraga" dan yang satu ini akan membuktikan, betapa hitamnya duniaku, namun masih
juga ada sepercik sinar yang dapat menerangi kegelapan disekelilingku. " Jika ia memiliki kemampuan yang cukup, maka iapun akan menjadi jahanam, justru
melampaui murid-muridmu yang lain. " teriak Podang Abang.
" Aku menemukannya setelah pribadinya terbentuk. Aku hanya menuangkan ilmuku
tanpa menggelitik pribadinya sama sekali " jawab Ki Jayaraga.
" Tetapi pancaran ilmumu sejalan dengan wajah kekelaman, sehingga betapapun kuat
pribadinya, maka pengaruh dunia kelammu akan mencengkamnya " berkata Podang
Abang lantang sambil melontarkan serangan-serangannya.
Glagah Putih yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi berdebar-debar. Ia memang
sudah mengetahui sebelumnya, bahwa murid-murid Ki Jayaraga sebelumnya tidak
seorangpun yang dapat menjadi murid kebanggaan. Semuanya tergelincir kedalam laku
kejahatan yang tidak dapat dimaafkan. Itulah sebabnya Ki Jayaraga ingin ikut serta
mengakui Glagah Putih yang pribadinya sudah terbentuk sebagai muridnya, karena ia
merindukan seorang murid yang akan dapat menjadi- orang kebanggaan.
Namun bagaimanapun juga, pembicaraan itu telah membuat Glagah Putih menjadi
berdebar-debar. Namun Sabungsari yang juga mendengar pembicaraan itu, berkata " Kau dengar cara
Podang Abang mempengaruhi lawannya lewat perasaannya" Satu cara yang sangat licik.
Ia berharap Ki Jayaraga menjadi gelisah sehingga tidak dapat memusatkan nalar budinya
menghadapi ilmu Podang Abang yang cukup berbahaya.
Glagah Putih mengangguk sambil berdesis " Cara yang harus dicegah. "
" Biarkan saja. Ki Jayaraga hatinya tidak serapuh dugaan Podang Abang. " jawab
Sabungsari. Sebenarnyalah Ki Jayaraga tidak banyak terpengaruh oleh lontaran kata-kata Podang
Abang yang dengan sengaja berusaha menyinggung perasaannya.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu masih saja berlangsung
sebagaimana sebelumnya. Podang Abang yang merasa ilmunya telah memanjat ketataran
yang semakin tinggi, harus menghadapi kenyataan bahwa Ki Jayaraga sekarang juga
bukan Ki Jayaraga beberapa tahun yang lalu.
Dengan demikian, maka Ki Jayaraga semakin lama semakin mendesak lawannya. Jika
benturan ilmu terjadi, maka kekuatan
ilmu Ki Jayaragalah yang berhasil mendesak kekuatan ilmu Podang Abang, betapapun
kecil selisihnya. Sentuhan serangan-serangan kedua belah pihak yang terjadipun
menunjukkan, bahwa ilmu dan kemampuan Ki Jayaraga masih berada diatas ilmu dan
kemampuan Podang Abang. Beberapa kali Podang Abang melangkah mengambil jarak. Namun Ki Jayaraga tidak
membiarkannya mengambil jarak terlalu jauh. Dengan kemampuannya melontarkan
kekuatan ilmunya, Ki Jayaraga telah mengurung Podang Abang yang selalu berusaha
memecahkannya dengan kemampuan ilmunya pula.
Namun semakin lama Podang Abang memang menjadi semakin sulit. Ruang geraknya
terasa menjadi semakin sempit. Sementara benturan-benturan ilmu yang terjadi telah
memberikan isyarat kepadanya, bahwa kemampuannya masih berada dibawah
kemampuan ilmu Ki Jayaraga meskipun hanya selapis tipis. Karena itu, kemungkinan yang
ditunggunya adalah jika Ki Jayaraga satu kali membuat kesalahan yang dapat
dimanfaatkannya. Tetapi Ki Jayaraga menyadari tingkat kemampuan Podang Abang, sehingga ia sama
sekali tidak menjadi lengah. Ia bahkan semakin lama semakin berhati-hati.
Podang Abang mengumpat tidak habis-habisnya. Tetapi kesadaran akan harga dirinya
telah membuatnya tetap garang menghadapi serangan-serangan Ki Jayaraga. Meskipun
serangan-serangan itu semakin lama justru semakin terasa menyentuh pakaiannya dan
bahkan kulitnya. Kedua orang itu bertempur justru semakin garang. Keduanya telah sampai kepuncak
ilmu mereka. Sambaran-sambaran ilmu dan kekuatan berbagai macam kemampuan kedua
orang itu telah mengoyak suasana malam. Sementara pertempuran-pertempuran di
lingkaran-lingkaran yang lain sudah berhenti sama sekali kecuali Ki Ajar Gurawa yang
telah berada pada tahap-tahap terakhir untuk menyelesaikan lawannya, Ki Rangga
Resapraja. Sabungsari dan Glagah Putih menjadi semakin tegang ketika kedua orang tua itu
kemudian telah bertempur lagi dalam jarak jangkau serangan-serangan kewadagan
mereka meskipun dilamban dengan berbagai macam ilmu dan kekuatan landasan penguasaan tubuh mereka.
Sentuhan-sentuhan tangan merekapun telah meninggalkan bekas yang sangat
mendebarkan. Betapapun Ki Jayaraga mampu memasang perisai dengan landasan
kekuatan ilmunya atas kekuatan Aji Tapak Gundala, namun bukan saja pakaiannya, tetapi
kulitnyapun telah dilukai oleh kekuatan Aji Tapak Gundala itu. Dibeberapa bagian
tubuhnya, nampak kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman. Namun dengan
kemampuannya mengetrapkan daya tahannya berlandasan kekuatan yang dapat disadapnya,
maka Ki Jayaraga masih tetap mampu bertahan. Ia mampu mengatasi
perasaan nyeri dan panas pada luka-lukanya itu.
Namun sebaliknya, hentakan kekuatan getaran bumi yang menjadi sandaran kekuatan
Ki Jayaraga bukan saja membuatnya tidak tergetar oleh serangan-serangan Podang
Abang, tetapi lontaran kekuatan itu telah membuat tulang-tulang Podang Abang bagaikan
menjadi retak. Perlahan-lahan, tetapi pasti, dukungan kewadagan Podang Abang mulai
turun. Podang Abang yang menyadarinya, mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak menjadi
gelisah karena kemampuan ilmu Jayaraga, tetapi juga karena kekuatannya mulai menjadi
susut setelah ia mengerahkan segenap kekuatan dan ilmunya. Betapa tinggi ilmu yang
dimilikinya, namun kemampuan dan daya wadagnya tetap terbatas.
Itulah sebabnya, maka semakin lama keadaannya menjadi semakin sulit. Podang Abang
semakin terdesak oleh serangan-serangan Ki Jayaraga.
Dengan landasan puncak-puncak ilmu mereka, maka keduanya telah menghentikan
segala-galanya. Podang Abang yang kekuatan dan kemampuannya menjadi semakin
surut, sama sekali tidak berusaha untuk menghemat tenaganya. Tetapi ia justru
menumpahkan segala kemampuannya untuk mengimbangi desakan Ki Jayaraga. Ki
Podang Abang ingin memanfaatkan satu kesempatan saja untuk menghancurkan
lawannya. Ki Jayaraga memang tertahan sesaat. Tetapi Ki Jayaragapun telah merasa terlalu lama
bertempur melawan Podang Abang. Segala macam kemampuan dan ilmunya telah
diperasnya. Karena itu, maka sudah saatnya untuk mengakhiri pertempuran itu sebelum se-ganap kekuatannya
menyusut. Dengan demikian maka nafas pertempuran itupun justru meningkat. Keduanya telah
menghentakkan sisa-sisa kemampuan mereka masing-masing.
Pada kesempatan itulah, Ki Jayaraga telah mengungkapkan segenap landasan kekuatan
yang ada padanya. Ia telah meredam kekuatan Tapak Gundala Podang Abang dengan
kekuatan yang bersumber pada kekuatan air dan udara, sementara ia telah
mempergunakan kekuatan yang diserapnya dari getaran bumi serta menyerang dengan
dasar kekuatan panasnya api.
Ki Jayaraga sama sekali tidak melontarkan ilmunya itu karena beberapa kali Podang
Abang mampu menghindarinya. Tetapi Ki Jayaraga langsung melibat Podang Abang dalam
satu pergulatan yang sengit. Betapa keduanya memiliki ketrampilan penguasaan tubuh
serta unsur-unsur gerak yang rumit, namun keduanya ternyata harus membenturkan
kekuatan dan ilmu mereka beberapa kali.
Ki Jayaraga merasa bahwa pertahanan Podang Abang semakin lama menjadi semakin
goyah. Karena itu, serangan-serangannya, justru menjadi semakin mendesak. Ketika Ki
Jayaraga melihat satu kesempatan terbuka, selagi serangannya sebelumnya hampir saja
menyambar keningnya, maka Ki Jayaraga tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Podang
Abang yang bergeser selangkah menyamping dengan tergesa-gesa hampir kehilangan
keseimbangannya. Justru selagi Podang Abang memperbaiki keadaannya, Ki Jayaraga
telah menyerangnya dengan menghentakkan segala kemampuan dan ilmunya sampai
tuntas. Serangan itu tersalur lewat lontarannya yang meluncur sederas anak panah. Kakinya
terjulur lurus mengarah kedada.
Podang Abang melihat serangan itu. Ia mencoba melawannya dengan ilmu Tapak
Gundala. Namun tenaganya sudah jauh berkurang karena wadagnya yang dalam
keterbatasan. Namun panasnya ilmu Tapak Gundala telah diredam oleh kekuatan ilmu Ki Jayaraga.
Kebekuan yang dinginnya berlipat dari air yang wayu sewindu, serta hembusan getaran
udara yang menukik pada intinya, berhembus dan mendorong dengan hembusan kekuatan yang tidak
terlawan, dilandasi dengan kekuatan getaran bumi serta kobaran panasnya api yang
mampu mengimbangi panasnya api Aji Tapak Gundala, telah melanda sederas hantaman
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
prahara yang dahsyat, memukul dada Podang Abang.
Benturan ilmu yang dahsyat telah terjadi. Bagaimanapun juga Ki Jayaraga telah
terpental selangkah surut. Tetapi betapa tubuhnya menjadi panas untuk beberapa saat,
sebelum panas itu dapat diredam dengan tuntas. Namun beberapa saat kemudian, maka
kea-daanpun segera berubah. Ki Jayaraga dengan cepat telah menguasai dirinya
sepenuhnya meskipun sakitnya luka pada kakinya masih terasa menggigit, setelah
panasnya diserap sampai batas kebekuan.
Namun dalam pada itu, Podang Abang ternyata telah mengalami keadaan yang sangat
buruk. Bukan saja kekuatan ilmu lawannya yang menghantamnya, tetapi ilmunya sendiri
yang terpental justru telah menusuk kepusat jantungnya.
Podang Abang menyeringai sesaat. Perasaan sakit yang tajam telah menusuk dadanya.
Namun kemudian seakan-akan seisi dadanya telah terbakar.
Podang Abang tidak sempat berbuat banyak. Ia mencoba menggeliat dan mengatur
pernafasannya dengan menyilangkan tangannya didadanya sambil terbaring diam. Namun
ternyata bagian-bagian wadagnya sudah tidak dapat bekerja lagi dengan baik. Karena itu,
ketika Ki Jayaraga kemudian tertatih-tatih mendekatinya, Podang Abang masih sempat
mengumpat " Kau benar-benar iblis. "
Ki Jayaraga sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya wajah Podang Abang yang
pucat. Kemudian terdengar giginya gemeretak. Podang Abang masih mencoba
mengangkat kepalanya dengan sorot mata penuh kebencian. Namun kemudian kepalanya
itu telah terhempas kembali ketanah dan sebuah tarikan nafas yang sendat telah menutup
jalan pernafasannya. Podang Abangpun terkulai untuk selama-lamanya.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Sabungsari dan
Glagah Putih sesaat. Dengan nada rendah ia
berkata " Cara inilah yang telah dipilihnya. Ia menghindari kema-tian saat orang ini
bertempur melawan kalian berdua. "
" Ternyata ia memiliki ilmu yang sangat tinggi " desis Sabungsari.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ilmunya memang sudah
meningkat. Kesalahannya adalah, bahwa ia tidak memperhitungkan bahwa orang lain juga
telah meningkatkan ilmunya pula. "
- Ilmu apinya sangat mendebarkan " desis Glagah Putih.
- Tapak Gundala " desis Ki Jayaraga.
" Ilmu itu tidak dipergunakannya ketika ia melawan kami berdua " berkata Glagah
Putuh kemudian. Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu sepenuhnya apa saja yang telah
terjadi pada saat itu. Namun katanya " Mungkin ia mempergunakan dalam ujudnya yang
lain. Tetapi iapun sadar, bahwa ilmu Tapak Gundalapun tidak akan dapat mengalahkan
kalian berdua. " " Kami tidak akan mampu mengimbanginya - sahut Glagah Putih.
- Itulah kelemahan kalian berdua - berkata Ki Jayaraga kemudian " kalian kurang
menyadari akan kemampuan diri. Mungkin menjadi kebiasaan kalian merendahkan diri
sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu adalah seorang yang
tidak dapat diperbincangkan. Ia seorang yang justru menjadi tidak wajar karena tingkat
ilmunya yang sangat tinggi. Hanya satu dua orang yang dapat mengimbanginya. Mungkin
Panembahan Senapati atau mungkin Kangjeng Adipati Pati. " orang tua itu berhenti
sejenak sambil memandang tubuh Podang Abang " kemampuan kalian berada jauh
diatas kemampuan Podang Abang jika kalian bergabung. Bahkan kalian masing-masing
sudah pantas untuk ditempatkan diantara kami. Hanya karena umur kalian yang masih
muda, maka kalian selalu merasa berada dibawah tataran ilmu orang-orang tua. Glagah
Putih memiliki kemampuan yang mempunyai landasan rangkap. Landasan ilmu itu sendiri
serta landasan ge taran kekuatan yang kau peroleh dari Raden Rangga. Disamping itu kau
memiliki penguasaan tubuh dan ketrampilan yang jarang
ada duanya. Paduan ilmu, kekuatan kewadagan dan ketampilan penguasaan tubuhmu
merupakan kekuatan utuh yang sangat besar. Sementara itu, angger Sabungsari yang
memiliki lontaran ilmu lewat sorot matanya yang menjadi matang, juga mempunyai
kelebihan ilmu yang dipancarkan lewat sorot mata sebagaimana Agung Sedayu itu
mempunyai luas sapuan yang lebih besar dari lontaran ilmu yang setingkat. "
- Tetapi Agung Sedayu mempunyai landasan ilmu yang tidak terhitung jumlahnya. "
desis Sabungsari. " Tetapi diantaranya mempunyai kesamaan dengan ilmu angger Sabungsari. " jawab
Ki Jayaraga. Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu. Mungkin yang dikatakan oleh Ki
Jayaraga itu benar. Justru karena mereka merasa masih muda, maka mereka justru
kurang yakin akan kemampuan dan ilmu yang telah mereka kuasai.
Sementara itu, ternyata bahwa Ki Ajai Gurawa benar-benar telah menguasai lawannya.
Ki Rangga Resapraja yang semakin sering dikenai oleh serangan-serangan Ki Ajar Gurawa
menjadi semakin tidak berdaya. Perasaan sakit telah mencekam seluruh tubuhnya. Nyeri
dan pedih oleh luka-luka yang ditimbulkan oleh serangan Ki Ajar Gurawa terasa dimanamana.
Tulang tulangnyapun seakan-akan telah retak disetiap sendi-sendinya.
Karena itu, maka Ki Rangga Resapraja itupun akhirnya tidak mampu lagi bertahan lebih
lama. Serangan-serangan Ki Ajar berikutnya telah mendorongnya semakin surut, sehingga
akhirnya, Ki Rangga itupun menjadi sangat sulit untuk mempertahankan
keseimbangannya. Tubuhnya yang lemah tidak berdaya sama sekali untuk menahan
serangan-serangan Ki Ajar yang menentukan. Sehingga akhirnya Ki Rangga itupun telah
jatuh terkulai dengan lemahnya.
Untunglah bahwa Ki Ajar Gurawapun mampu menahan diri. Ia sadar, bahwa Ki Rangga
berdua itu sungai diperlukan untuk memberikan keterangan dan pertanggung-jawaban
atas apa yang telah dikerjakannya.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang telah menyelesaikan tugasnya di halaman
istana itupun segera teringat kepada Ki
Wanayasa. Apa yang telah dilakukannya terhadap Ki Patih Manda-raka. Betapapun
mereka yakin akan kemampuan Ki Patih, namun mereka masih juga merasa berdebardebar.
" Biarlah aku menengok apa yang telah terjadi didalam " berkata Ki Jayaraga.
~ Aku akan melihat dari pintu butulan " desis Glagah Putih.
Akhirnya bersama-sama Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Ajar Gurawa telah
sepakat untuk melihat apa yang terjadi diruang dalam, namun dari pintu yang berbedabeda.
Tetapi belum lagi mereka beranjak dari tempat mereka, tiba-tiba angin yang sangat
kencang telah bertiup lewat pintu pringgitan istana Kepatihan. Demikian kencangnya
sehingga daun pintu yang terhenbus itupun ikut hanyut dan berderak terbanting di
pendapa. Selagi orang-orang yang melihat masih belum menyadari apa yang terjadi, maka tibatiba
pula sesosok bayangan telah terlempar demikian kerasnya jatuh terguling di pendapa.
Namun demikian derasnya hembusan angin yang bagaikan angin pusaran yang berputar
mendatar, maka sosok yang terguling dipendapa itu telah terlempar jauh melalui tangga
pendapa ke halaman. Orang-orang yang menyaksikannya tegak membeku di tempatnya. Sosok yang jatuh
terlempar kehalaman itu ternyata sudah tidak bergerak sama sekali. Namun sementara
itu, anginpun telah mereda. Suasanapun menjadi hening kembali.
Untuk beberapa saat lamanya, halaman istana Kepatihan itu bagaikan membeku.
Orang-orang yang berdiri tegak di halaman hanya saling memandang. Demikian pula para
prajurit di regol yang tertutup serta orang-orang yang telah menyerah.
Namun kemudian suasana itu telah dipecahkan oleh kehadiran seseorang dari ruang
dalam melalui pintu pringgitan yang telah rusak, yang daunnya telah dihanyutkan oleh
prahara yang berhembus deras dari dalam.
Ternyata Ki Patih Mandarakalah yang berjalan melintasi pringgitan dan kemudian
berdiri di pendapa Kepatihan.
Sejenak Ki Patih Mandaraka memandang berkeliling. Tidak seorangpun yang bergerak.
Semuanya tertegun diam, sementara
beberapa sosok terbaring diam di halaman.
Meskipun Ki Patih masih berdiri tegak, namun nampak betapa orang tua itu menjadi
letih. Agaknya Ki Patihpun telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuannya untuk
menghadapi Ki Wanayasa. Beberapa saat kemudian, maka Ki Patihpun telah melangkah menuruni tangga
pendapa. Sekilas ia sempat berpaling, memperhatikan bagian yang pecah dari tangga
pendapa yang dihantam oleh kekuatan ilmu Glagah Putih.
Demikian Ki Patih berdiri didekat tubuh yang terlempar dari ruang dalam itu, maka
iapun telah memberi isyarat kepada Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa dan yang lain untuk
mendekat. " Aku tidak dapat berbuat lain " desis Ki Patih setelah beberapa orang
mengerumuninya - Aku sudah menawarkan, agar Ki Wanayasa mengurungkan niatnya.
Kita dapat berbicara dengan baik tanpa harus mengisahkan tenaga dan membuat
penyelesaian dengan kekerasan. Tetapi orang itu ternyata hatinya sekeras batu, Ia benarbenar
ingin membunuhku, sehingga aku harus membela diri dengan cara ini. "
Orang-orang yang berkerumun itu mengangguk anggukk. Sementara itu Ki Patihpun
berkata " Seandainya ada seorang saja di-antara mereka yang membantu orang ini,
maka mungkin aku sudah tidak akan mampu bertahan. Apalagi menurut rencana mereka
aku harus menghadapi beberapa orang sekaligus. Seandainya rencana ini tidak tercium
oleh Ki Ajar Gurawa dan kemudian kalian datang membantu, aku hanya tinggal nama
saja. " Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan jujur ia berkata - Ternyata yang
datang ke istana Kepatihan adalah orang-orang berilmu tinggi. "
-- Ya " berkata Ki Patih. Namun kemudian sambil memandang berkeliling ia berkata Tetapi ternyata semua sudah tidak berdaya. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih
kepada kalian. " " Kami juga mempunyai kepentingan dengan mereka " berkata Ki Jayaraga "
terutama dengan Podang Abang, aku memang sudah berjanji untuk membuat
penyelesaian. -- " Adalah kebetulan bahwa penyelesaian itu kau lakukan di-sini, sehingga aku tidak
dibebani oleh ilmunya yang tinggi. Apalagi bersama-sama dengan Ki Wanayasa. " berkata
Ki Patih. Namun kemudian iapun bertanya " Dimana Ki Wirayuda. "
Glagah Putihpun kemudian telah dengan tergesa-gesa mendekati Ki Wirayuda yang
duduk dengan lemahnya. Namun ia sempat mengobati sebagian dari luka-lukanya.
Sementara ia sama sekali tidak meletakkan pedangnya.
" Ki Patih menanyakan Ki Wirayuda " berkata Glagah Putih. Ternyata Ki Wirayuda
sudah menjadi semakin lemah. Karena
itu, maka iapun menjawab " Aku ada disini. Aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk
menghadap. " Namun Ki Wirayuda memang tidak perlu menghadap. Ki Patih Mandaraka bersama
beberapa orang yang lain telah mendekatinya.
" Ternyata kita memerlukan perawatan dengan cepat " berkata Ki Patih.
Dengan isyarat Ki Patihpun kemudian memanggil beberapa orang prajurit.
Diperintahkannya untuk memanggil seorang tabib yang dianggap memiliki ilmu yang
tinggi. Tabib yang sering dipanggil menghadap Ki Patih Mandaraka jika ia memerlukan.
"Cepat. Beberapa orang memerlukan perawatan segera. Di-antaranya Ki Wirayuda.
Perintahku, tabib itu supaya membawa pembantunya sebanyak-banyaknya. " berkata Ki
Patih. Sejenak kemudian, maka ampat orang prajurit telah meninggalkan kepatihan. Rumah
Tabib itu memang tidak terlalu jauh dari istana Kepatihan.
Ki Patihpun kemudian telah memerintahkan beberapa orang prajurit yang ada di
halaman dan disekitar istana untuk mengumpulkan para tawanan. Kemudian membagi
tugas. Sebagian dari mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang telah
gugur dan telah terluka. Sedangkan para tawanan yang tenaganya masih cukup kuat,
diperintahkanluntuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang telah gugur dan telah
terluka. Sedangkan para tawanan yang tenaganya masih cukup kuat, diperintahkan untuk
mengumpulkan kawan-kawannya yang telah terbunuh dan yang
terluka untuk mendapat perawatan termasuk Ki Rangga Resapraja, Ki Rangga
Ranawandawa dan Ki Dipacala. Sedangkan Podang Abang, Trunapatrap dan para Rubah
Hitam seria yang terbunuh lainnya, telah disatuan disebelah pendhapa bersama tubuh Ki
Wa-nayasa. Ternyata Ki Patih tidak sempat menceriterakan apa yang telah terjadi. Ia lebih sibuk
memperhatikan mereka yang telah gugur dan terluka, sementara yang lainpun merasa
segan untuk menanyakannya.
Namun kemudian, setelah orang-orang itu berkesempatan untuk melihat bagian dalam
istana Kepatihan, barulah mereka dapat menduga, apakah yang telah terjadi.
Bagian dalam istana itu benar-benar telah hancur. Meskipun dindingnya masih berdiri
tegak, namun peralatan yang ada benar-benar telah lebur.
Dengan demikian, maka orang-orang itu dapat menduga, bahwa telah terjadi
pertempuran yang sangat seru diruang dalam. Tetapi yang Glagah Putih dan beberapa
orang yang lain tidak mengerti, kenapa lontaran-lontaran ilmu kedua orang yang
bertempur diruang dalam itu tidak merusakkan dinding. Sementara itu, sentuhan kekuatan
ilmu Glagah Putih telah memecahkan sebagian dari tangga pendapa.
" Tentu ilmu yang jarang ada duanya - berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Ketika fajar kemudian menyingsing, maka para prajurit dan para tawanan masih sibuk
mengumpulkan orang-orang yang terluka dan yang telah terbunuh di medan
pertempuran. Baik para prajurit maupun orang-orang yang telah menyerang istana
Kepatihan itu. Ki Rangga Resapraja dan Ki Rangga Ranawandawa menda- pat perawatan yang khusus
untuk menyelamatkan nyawa mereka. Keduanya adalah orang penting yang akan dapat
menjadi jalur keterangan tentang orang-orang yang telah menyerang istana Kepatihan itu.
Demikian pula Dipacala yang dianggap akan dapat menjadi sumber keterangan pula.
Sedangkan Ki Wirayuda yang telah mendapat pengobatan telah menjadi semakin baik.
Darahnya memang cukup banyak mengalir meskipun luka-lukanya sebagian berujud luka
bakar. Ketika kemudian matahari terbit, Ki Patih dan para pemimpin prajurit yang bertugas di
Kepatihan serta anggauta Gajah Liwung telah berkumpul di pendapa. Sepuluh orang
prajurit sandi dalam tugas khusus yang ditunjuk oleh Ki Wirayuda, ternyata dua orang diantaranya
terluka parah. Seorang telah gugur. Sedangkan anggauta Gajah Liwung
selamat, tetapi dua orang terluka agak parah. Ki Ru-meksa dan Pranawa. Namun luka-luka
mereka tidak sampai membahayakan jiwa mereka. Apalagi setelah dengan cepat
mendapat pengobatan. Baru ketika matahari telah terbit serta persoalan yang timbul di Kepatihan itu selesai,
maka berita tentang pertempuran itu telah menjalar. Namun Ki Patih sendiri, bersama
Sabungsari dan Glagah "utih disamping liga orang prajurit yang bertugas di Kepatihan
telah berpacu menuju ke istana Panembahan Senapati untuk memberikan laporan.
Disepanjang jalan, Glagah Putih sempat bertanya ~ Bagaimana jika tiba-tiba orangorang
itu merubah rencana mereka dan menyerang istana Panembahan Senapati. "
" Di Istana Panembahan Senapatipun telah disiapkan sekelompok pegawai yang kuat.
Diantara mereka terdapat para Pangeran yang akan dapat menyelesaikan persoalan.
Apalagi Panembahan Senapati sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Jumlah prajurit pengawalpun telah berlipat sejak aku memberikan isyarat tentang
kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi di Kepatihan " jawab Ki Patih
Mandaraka. Lalu katanya pula " Semuanya dilakukan dengan diam-diam pula. Namun
sejak semula aku telah mempunyai dugaan yang keras, bahwa serangan itu akan datang
kemari. - Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Patih berkata dengan nada rendah Diluar istana Panembahan Senapati telah disiapkan dua orang penghubung berkuda.
Seandainya serangan itu dirubah dan menuju ke istana Panembahan Senapati, maka dua
orang penghubung itu tentu akan menghubungi aku, schingga
kita akan dapat pergi ke istana. Setidak-tidaknya sebagian dari kita. " Ki Patih
berhenti sejenak. Lalu " Ternyata mereka benar-benar datang ke Kepatihan. "
Glagah Putih tidak sempat bertanya lagi. Mereka telah memasuki pintu gerbang
halaman istana. Dengan demikian maka mere-kapun telah berloncatan turun langsung
menghadap Panembahan Senapati.
Dengan cukup terperinci Ki Patih Mandaraka telah memberikan laporan, apa yang telah
terjadi di istana Kepatihan.
Panembahan Senapati mendengarkan laporan itu dengan sungguh-sungguh. Dengan
nada dalam ia bertanya " Jadi kedua orang Rangga itu masih tetap hidup" "
" Aku sudah berpesan kepada tabib yang merawat agar keduanya mendapat perhatian
terbanyak disamping Ki Wirayuda yang ternyata juga terluka parah. - jawab Ki Patih
Mandaraka. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Kepada Sabungsari dan Glagah Putihpun
Panembahan Senapati mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah, setelah semua laporannya diterima, maka Ki Patihpun segera mohon diri.
Geger Dunia Persilatan 2 Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut Alexs Wish 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama