Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 7

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7


Tetapi lawannya yang tua itu adalah Ki Jayaraga. Karena itu, maka betapapun cepatnya orang itu bergerak, tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan lawannya yang nampaknya lamban.
Bahkan beberapa saat kemudian, justru tangan Ki Jayaraga yang mampu menembus pertahanan orang itu. Semakin lama justru menjadi semakin sering.
Kemarahan orang itupun telah sampai kepuncak ubun-ubunnya. Dikerahkannya tenaga dalam yang mampu diungkapkannya sampai tuntas. Dengan segenap kekuatan dan kemampuannya orang itu berusaha secepatnya menyelesaikan orang tua itu, agar ia dapat segera membantu kedua orang pengawalnya yang nampaknya tidak dapat segera menguasai kedua orang perempuan itu.
Tetapi usaha orang itupun sia-sia. Dengan kemarahan yang membakar jantung, orang itu telah menyerang Ki Jayaraga dengan landasan kemampuan puncaknya. Sebuah loncatan yang deras sambil menjulurkan kedua tangannya menerkam kearah dada. Jari-jarinya yang mengembang bagaikan jari-jari seekor elang yang menerkam mangsanya.
Ki Jayaraga melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari tangan lawannya itu akan dapat mencengkeram dan bahkan mengoyak dadanya.
Karena itu, maka Ki Jayaragapun telah bersiap sepenuhnya. Demikian tangan itu hampir menggapai tubuhnya, maka Ki Jayaragapun segera meloncat kesamping.
Tetapi Ki Jayaraga tidak sekedar menghindar. Ketika demikian serangan itu menyambar sejengkal dari tubuhnya, maka Ki Jayaraga justru dengan cepat menyerang lawannya. Kakinya terjulur cepat sekali menghantam lambung.
Lawannya itu berteriak nyaring. Perasaan nyeri telah menyengat lambungnya. Bahkan dorongan kekuatan yang sangat besar telah melemparkan orang itu searah dengan loncatannya sendiri.
Karena itulah, orang yang berpakaian mahal itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya. Ia justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab.
Namun dengan tangkasnya orang itu berguling mengambil jarak. Sementara itu Ki Jayaraga memang tidak mengejarnya, sehingga orang itupun telah bangkit berdiri.
"Setan tua," geram orang itu, "jika kau keras kepala, maka kau akan benar-benar lebur menjadi debu."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. "Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Sementara itu kedua orangmu itupun sebentar lagi akan menjadi tidak berdaya. Nah, ada pilihan yang aku tawarkan kepadamu. Pergi dari tempat ini, atau kalian akan kami tangkap dan kami bawa menghadap ke Ki Gede. Kedua orang suami perempuan-perempuan itupun akan hadir. Mereka akan dapat melubangi perutmu dan perut kedua orang upahanmu itu dengan pedang-pedang mereka dihadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
Orang yang berpakaian bagus itu menggeram. Pakaiannya yang rapi telah menjadi kusut. Bahkan kotor oleh debu yang melekat pada pakaian yang basah karena keringat. Ketika ia berguling-guling ditanah, dan lumutpun telah melekat pula.
"Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebelum terlambat," berkata Ki Jayaraga yang memang tidak ingin menangkap orang itu agar orang itu sempat melaporkan kepada Resi Belahan.
Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itupun masih bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Orang yang harus bertempur melawan Sekar Mirah itupun sudah tidak berdaya sama sekali. Satu dorongan yang tidak terlalu kuat telah menggoyahkan keseimbangannya. Sementara itu keduanya masih belum berani mempergunakan senjata karena mereka tahu, orang yang mengupahnya itu tidak ingin perempuan-perempuan itu terluka.
Tetapi tanpa senjata, keduanya memang tidak bedaya. Dalam pada itu, orang-orang yang semula berpakaian rapi itu sedang berpikir. Ia tidak dapat menutup mata dari kenyataan yang dihadapainya. Apalagi sejenak kemudian, maka orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itupun telah terlempar jatuh. Dengan susah payah orang itu bangkit. Namun demikian ia mulai menapakkan kakinya, maka kawannya tiba-tiba saja telah terdorong surut oleh serangan Rara Wulan dan bahkan menimpanya.
Dengan demikian maka keduanyapun telah jatuh berguling beberapa kali.
"Nah, apakah kau lihat kedua orangmu itu," desis Ki Jayaraga, "Mereka sudah tidak berdaya sama sekali. Jika mereka kau paksa untuk bertempur terus, maka mereka benar-benar akan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Ingat, kedua perempuan itupun dapat kehilangan kesabaran. Apalagi mereka dibayangi oleh ketakutan bahwa mereka akan kau bawa serta. Ketakutan yang demikian besar akan dapat menjadi semakin garang. Melampaui kegarangan suami-suami mereka."
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun memang ia tidak melihat kemungkinan lain. Iapun menyadari bahwa orang tua itu tidak akan mudah dikalahkannya. Apalagi setelah kedua orang upahannya itu dapat dikalahkan oleh lawan-lawannya.
Karena itu, maka sambil melangkah surut iapun berkata, "Setan tua. Kau aku ampuni hari ini. Jika aku mau mencabut senjataku, maka umurmu tidak akan lebih panjang dari kejapan mata. Tetapi kali ini kau akan aku biarkan untuk hidup. Meskipun demikian, berhati-hatilah. Aku tidak akan berhenti sampai disini. Dendamku akan membakarmu dan kedua perempuan itu."
Ki Jayaraga tidak menjawab. Iapun memberi isyarat kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk tidak berbuat sesuatu.
Demikianlah maka orang yang berpakaian bagus itupun telah memberi isyarat kepada kedua kedua orang yang bertubuh raksasa itu.
Sehingga dengan demikian, maka merekapun telah melangkah mendekati kuda-kuda mereka.
Namun dalam pada itu, ternyata Rara Wulan masih juga bertanya dengan nada lembut sambil tersenyum, "Namamu siapa Ki Sanak, sudah sejak tadi kita berbincang, tetapi kau belum menyebutkan namamu."
"Persetan dengan kau perempuan iblis," geram orang itu.
Rara Wulan tidak hanya tersenyum. Tetapi iapun tertawa sambil berkata, "Apakah kau marah?"
"Kau akan menyesal dengan sikapmu," geram orang itu sambil meloncat kepunggung kudanya.
"Bukankah yang dua ekor kuda itu untuk kami berdua?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku sumbat mulutmu dengan hulu pedangku," geram orang yang semula berpakaian rapi itu.
Sekar Mirah dan Rara Wulan tertawa. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menggelengkan kepala. Ia tidak dapat mencegah kedua perempuan itu untuk mengganggu laki-laki yang bermata srigala tetapi berbullu domba itu.
Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak benar-benar merampas kedua ekor kuda yang nampaknya memang telah dipersiapkan bagi mereka berdua. Dibiarkanya laki- laki berpakaian mahal yang sudah menjadi kumal, kotor dan bahkan koyak itu melarikan kudanya disusul oleh kedua orang pengawalnya sambil masing-masing menuntun seekor kuda.
"Mudah-mudahan pancingan ini berhasil membawa Resi Belahan ke Tanah Perdikan Menoreh," desis Ki Jayaraga.
"Banyak kemungkinan dapat terjadi," berkata Sekar Mirah, "Kita sudah membuat jebakan untuk mengenal Resi Belahan. Tetapi kita tidak tahu, apakah Resi Belahan juga mempunyai cara-cara yang tidak kita perhitungkan sebelumnya untuk memecahkan permainan kita."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Permainan yang menuntut perhitungan yang cermat."
Demikianlah maka Ki Jayaragapun kemudian telah mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pulang. Hari menjadi semakin siang. Sementara itu mereka membawa barang-barang belanjaan mereka dari pasar.
Sekar Mirah dan Rara Wulan masih harus membenahi pakaiannya lebih dahulu, karena pakaian merekapun menjadi kusut pula oleh debu yang melekat karena pakaian mereka basah oleh keringat.
Sejenak kemudian maka merekapun telah bersiap-siap untuk meninggalkan pategalan itu.
Tetapi ketika mereka mulai beranjak, maka Ki Jayaragapun berkata, "Bagaimana dengan pategalan ini?"
Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi termangu-mangu. Tanaman memang menjadi rusak meskipun hanya ditempat tertentu. Kaki-kaki kuda telah mematahkan pepohonan.
"Apa boleh buat," berkata Sekar Mirah, "Tetapi jejak kaki kuda itu serta bekas yang ada, memberitahukan kepada pemiliknya bahwa telah terjadi pertempuran disini."
"Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang melihat kita turun kelorong yang menuju kepategalan ini?" desis Rara Wulan.
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirahpun berkata, "Kita akan membicarakanya nanti dirumah."
"Baiklah," berkata Ki Jayaraga, "kitapun nanti akan menghubungi pemiliknya jika perlu."
Dengan demikian ketiga orang itupun segera meninggalkan pategalan itu. Rara Wulan masih saja menjijing keranjang kecil yang berisi barang-barang belanjaan dipasar sebelumnya.
Namun demikian mereka keluar dari pategalan, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat Sabungsari dan Glagah Putih berjalan menuju kearah mereka.
"Kami menjadi gelisah," berkata Glagah Putih demikian mereka mendekat.
"Dari mana kau tahu bahwa kami ada disini?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ada orang yang memberitahukan kepada kami bahwa kalian telah berbelok lewat lorong sempit menuju ke pategalan. Dengan mengikuti jejak kalian, maka kami sampai disini," jawab Glagah Putih.
"Marilah kita pulang. Nanti aku ceritakan apa yang terjadi. Pategalan ini menjadi rusak agak ditengah oleh kaki kami dan kaki-kaki kuda," berkata Ki Jayaraga.
Tanpa banyak berbicara lagi, maka merekapun segera beriringan pulang. Ternyata memang ada orang yang menyampaikan kepada Glagah Putih tenteng kejanggalan yang dilihatnya, karena bertiga, Ki Jayaraga telah mengambil berbareng dengan orang-orang yang tidak dikenal. Dua diantara mereka adalah orang yang bertubuh raksasa.
Glagah Putih dan Sabungsaripun segera tanggap. Karena itu, maka merekapun berusaha menyusul.
Demikian mereka sampai dirumah, maka Ki Jayaragapun telah menceriterakan apa yang terjadi, Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan segera sibuk didapur, karena hari sudah menjadi semakin siang.
Glagah Putih dan Sabungsari mendengar ceritera Ki Jayaraga yang bersungguh-sungguh. Dengan demikian mereka sadar, bahwa agaknya yang berpakaian rapi dan dibuat dari bahan-bahan yang mahal itu sudah benar-benar mulai. Tetapi seperti dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka biarlah orang itu akan dapat dijadikan jembatan sampai kepada orang yang menyebut dirinya Resi Belahan.
"Jika demikian, maka kita harus bersiap-siap untuk menyongsong Resi Belahan," berkata Glagah Putih.
Ki Jayaraga menganguk-angguk. Mudah-mudahan Resi Belahan benar-benar akan tertarik hatinya untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh."
Disore ini ketika Agung Sedayu pulang dari barak, maka hal itu segera disampaikan oleh Ki Jayaraga. Bahkan dalam kesempatan itu Glagah Putih, Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan ikut duduk bersama diruang dalam.
"Tadi Ki Lurah hampir saja ikut aku kemari," berkata Agung Sedayu, "jika saja Ki Lurah benar-benar ikut, Ki Lurah akan dapat mendengarnya pula."
"Kenapa kakek tidak jadi datang kemari?" bertanya Rara Wulan.
"Nampaknya Ki Lurah ingin beristirahat," jawab Agung Sedayu.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Menurut keterangan orang yang kita temui di Kali Praga itu, mereka akan membawa kami ketempat yang tidak akan diketahui meskipun berada di Tanah Perdikan ini pula."
Jika demikian maka kita harus melihat tempat-tempat yang dianggap terpencil dan tersembunyi di Tanah Perdikan ini." sahut Agung Sedayu.
"Hutan di Tanah Perdikan ini masih cukup luas," desis Glagah Putih, "bahkan sampai ke lereng-lereng pegunungan membujur dari Utara ke Selatan. Kita akan mempergunakan waktu yang panjang untuk melakukan hal itu meskipun bukan berarti bahwa kita tidak akan dapat menjelajahi seluruh daerah ini. Kita akan dapat menyebar para pengawal dan mengamati lingkungan disekitar padukuhan mereka masing-masing. Sudah tentu termasuk hutan dilereng pegunungan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudaian berkata, "Tetapi kita tidak dapat melepaskan para pengawal itu tanpa petunjuk khusus. Jika mereka terjerumus kedalam jerat orang-orang yang berilmu tinggi yang ada diantara mereka, maka korban akan berjatuhan. Karena itu, maka mereka memerlukan bimbingan, sementara sebelumnya kita harus lebih banyak mengetahui keadaan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk, mereka memang sependapat dengan Agung Sedayu. Jika para pengawal itu, bahkan dengan Prastawa sekalipun, terjebak dalam persoalan dalam orang-orang berilmu tinggi, maka bencana akan terjadi atas mereka.
Karena itu, maka Agung Sedayu memang berniat memancing orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Resi Belahan itu keling-kungan halaman rumahnya untuk membatsi persoalan, apalagi dirumah itu terdapat beberapa orang yang akan dapat melawannya.
Namun Agung Sedayu masih juga berpesan, agar mereka tetap berhati-hati.
"Orang yang kita temui di Kali Praga dan yang telah membawa kalian ke pategalan itu tentu tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Meskipun mungkin ia tidak lagi berharap akan dapat membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan, namun dendam merekalah yang mungkin akan dapat menyala semakain besar. Mudah-mudahan benar seperti yang kita harapkan, orang itu datang dan bahkan membawa serta Resi belahan kemari. Tetapi jangan justru kita yang terjebak oleh rencana kita sendiri karena kita kurang berhati-hati."
Dengan demikian, Terutama Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka menjadi semakin jarang pergi ke pasar. Meskipun demikian, mereka bukan sepenuhnya mengurung diri dalam rumahnya. Mereka memang berharap bahwa keduanya diketahui tempat tinggalnya.
Dari hari kehari mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi ternyata untuk beberapa lama, mereka tidak lagi bertemu dengan orang yang mereka temui di Kali Praga dengan pakaian bagus yang terbuat dari bahan yang mahal itu, yang telah membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan ke pategalan meskipun orang itu justru harus mengalami kekalahan.
Yang terjai justru tidak terduga. Seperti petir yang menyambar saat matahari cerah, Wacanalah yang justru datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku datang dengan sikap laki-laki," katanya setelah ia dipersilahkan duduk.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak.
"Aku ingin berbicara langsung dengan Sabungsari," berkata Wacana kemudian.
"Kenapa dengan Sabungsari?" bertanya Agung Sedayu.
"Ada persoalan yang sangat penting yang harus aku bicarakan dengan orang itu," jawab Wacana dengan nada berat.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Wacana benar-benar ingin berbicara dengan Sabungsari langsung.
Karena itu, maka Sedayupun telah memanggil Sabungsari untuk menemui Wacana dipendapa. Hadir juga bersama Sabungsari, Glagah Putih dan bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan.
"Aku bukan orang yang senang menyimpan persoalan," berkata Wacana dengan tegas.
Orang yang menemuinya memang agak heran. Wacana seakan-akan telah berubah. Ia bukan lagi Wacana yang mereka temui dirumah Ki Rangga Wibawa dan Wacana yang telah mengantar Raden Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat.
"Katakanlah," desis Sabungsari meskipun dengan ragu.
"Aku memang tidak ingin berbicara hanya berdua saja. Biarlah orang lain menjadi saksi pembicaraan kita," berkata Wacana kemudian.
Sabungsari menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan Wacana. Tetapi karena Wacana sepupu Raras, serta ia tinggal untuk sementara dirumah Raras, apalagi Wacana adalah sahabat Raden Teja Prabawa, maka Sabungsari memang mengarahkan dugaanya bahwa persoalannya tentu berhubungan dengan Raras.
Namun Agung Sedayulah yang kemudian bertanya, "Apakah kalian ingin berbicara berdua saja?"
"Justru tidak," jawab Wacana.
"Jika demikian, katakanlah."
Wajah Wacana menegang sesaat. Namun kemudian ia berusaha untuk dapat berbicara dengan wajar dan jelas. Katanya, "Sabungsari. Kau tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang selama ini dikenal berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa, kakak Rara Wulan ini."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata benar. Arah pembicaraan Wacana terkail dengan persoalan Raras. Tetapi persoalan apa yang telah membuat Wacana dengan bersungguh-sungguh masih belum diketahui. Ia sendiri selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, sehingga mereka merasa bahwa ia belum pernah hadir diantara Raras dan Raden Teja Prabawa. Apalagi iapun telah berkeras untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjahui gadis itu.
Betapapun Ragunya, Sabungsaripun kemudian menjawab, "Ya. Aku mengerti."
"Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melibatakan diri menjadi orang ketiga dalam hubungan diantara mereka," berkata Wacana kemudian.
Sabungsari mengerutkan dahinya. Dengan darah rendah ia bertanya, "Kenapa kau berkata demikian Wacana" Apakah kau pernah melihat atau mendengar bahwa aku pernah menengahi hubungan mereka, atau bahkan melibatkan diri sebagai orang ketiga" Kau tahu bahwa aku masih belum begitu mengenal Raras. Demikian pula Raras. Aku jarang atau katakan hanya datang kerumah Raras dua atau tiga kali bersama-sama dengan beberapa orang untuk menengok dan kemudian minta diri. Sebagaimana kau ketahui aku sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bagaimana kau dapat mempersoalkan aku dalam hubungannya antara Raras dan Raden Teja Prabawa."
"Kau tidak usah ingkar Sabungsari. Bahkan seandainya apa yang kau katakan itu benar, itu agaknya memang lebih baik. Tetapi aku minta kau berjanji bahwa aku tidak akan bertemu dengan Raras lagi."
Wajah Sabungsari memang menjadi merah. Bukan karena aku tidak ingin melupakan Raras, karena hal itu memang sudah diinginkannya. Tetapi justru karena permintaan Wacana yang seakan-akan mengancamnya itu, ia sama sekali tidak senang.
Namun dalam papa itu bahwa Rara Wulanlah yang bertanya, "Wacana. Apakah kau datang atas nama kakangmas Teja Prabawa?"
Wacana menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa pada suatu saat bahwa Rara Wulan akan dapat bertanya langsung kepada Raden Teja Prabawa.
Karena itu, maka seperti apa yang dikatakannya, bahwa ia datang sebagai seorang laki-laki. Ia tidak ingin bersembunyi dibalik nama sia-papun juga. Karena itu maka jawabnya, "Tidak. Aku datang atas keinginanku sendiri. Aku berniat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan Sabungsari justru karena aku dan Sabungsari mempunyai kepentingan yang sama. "
"Kepentingan yang sama yang mana?" bertanya Sabungsari dengan serta merta.
"Aku akan berterus terang," berkata Wacana, "Raras menjadi sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa. Tidak ada orang yang berhasil menjelaskan persoalan yang sebenarnya tejadi atas Raden Teja Prabawa. Bahkan Raras telah menyatakan, terus terang atau tidak, bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan hubungannya dengan Raden Teja Prabawa, apalagi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Ayah Raden Teja Prabawa belum pernah datang melamar gadis itu."
Wacana berhenti sejenak, lalu iapun justru bertanya kepada Rara Wulan, "Bukankah begitu" Bukankah hubungan mereka baru terbatas dalam hubungan persahabatan meskipun memang menjurus kepada hubungan yang lebih khusus lagi" Katakanlah bahwa mereka agaknya mulai menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai pasangan yang akan menempuh hidup bersama. Mereka mulai meresa, sekali lagi, mereka baru mulai seakan-akan mereka saling jatuh cinta."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Keduanya baru mulai mengadakan pendekatan. Meskipun demikian Teja Prabawa benar-benar telah mencintai gadis yang bernama Raras itu.
Sementara itu Wacanapun berkata selanjutnya, "Tetapi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Bukankah begitu?"
Rara Wulan memang tidak dapat menjawab lain kecuali mengangguk mengiakan.
"Ya," katanya, "Ayah memang belum pernah melamarnya."
"Nah, dalam keadaan demikian, sikap Raras menjadi goyah. Justru karena sikap Raden Teja Prabawa sendiri. Raras mulai menyadari, bahwa hubungan mereka, maksudku antara Raras dan Raden Teja Prabawa tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya. Karena itu, maka Raras mulai bersikap, bahwa ia harus mulai menjauhi Raden Teja Prabawa. Bukan orangnya, karena mereka berdua akan dapat tetap bersahabat, tetapi persoalan khusus yang sebelumnya terasa mulai menjerat hati itu."
Rara Wulan tiba-tiba memotong, "Katakanlah, bahwa Raras tidak mencintai kakangmas Teja Prabawa lagi."
"Ya," jawab Wacana.
"Lalu apa hubungannya dengan kakang Sabungsari?" bertanya Rara Wulan.
"Aku akan berterus terang. Raras sekarang berada di jalan simpang," jawab Wacana.
"Jalan simpang yang mana?" desak Rara Wulan.
"Ada dua orang laki-laki yang mulai membayang di angan-angannya," jawab Wacana.
"Maksudmu ada dua orang laki-laki yang mencintainya atau Raras mulai mencintai dua orang laki.-laki sekaligus?" bertanya Rara Wulan.
"Apa bedanya?" bertanya Wacana.
"Tentu berbeda," jawab Rara Wulan, "jika ada dua orang laki-laki yang mencintainya, itu bukan salah Raras. Tetapi jika Raras mencintai dua orang laki-laki setelah ia melepaskan diri dari kakangmas Teja Prabawa, itu berarti bahwa Raras bukan seorang gadis yang baik."
Wajah Wacana menegang sejenak. Namun ia benar-benar sudah bertekad untuk menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari dengan sikap seorang laki-laki. Karena itu, maka jawabnya, "Sebaiknya jangan menjelekkan nama Raras. Katakanlah bahwa ada dua orang laki-laki yang mulai mencintainya," jawab Wacana.
"Selain kakangmas Teja Prabawa?" bertanya Rara Wulan.
Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab meskipun agak ragu, "Ya."
Tetapi kemudian dengan cepat ia berkata selanjutnya, "Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raras sendiri, bahwa ia tidak dapat lagi mengharapkan Raden Teja Prabawa untuk melindunginya di masa mendatang."
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Dari sisi yang mana sebenarnya kau berangkat" Dari sisi Raras atau dari sisi laki-laki yang mencintainya?"
Akhirnya Wacana tidak mau berbicara berputar-putar lagi. Katanya, "Aku tidak sempat memikirkannya. Tetapi yang penting, aku akan berbicara dengan Sabungsari. Kita tidak dapat bersama-sama hadir dihati Raras. Karena itu, salah seorang diantara kita harus menyingkir."
Meskipun sejak sebelumnya, Glagah Putih sudah menduga bahwa Sabungsari menaruh perhatian terhadap Raras, tetapi orang lain tentu belum dapat menilainya demikian. Sabungsari tidak pernah berhubungan dengan Raras secara khusus. Bahkan Sabungsari dengan sengaja telah menjauhkan dirinya dari Raras, bahkan dari Mataram, sebagaimana tadi dikatakannya.
Dalam pada itu Sabungsaripun merasa heran pula, sedangkan yang lain bahkan terkejut karenanya, justru karena pengakuan Wacana.
Hampir diluar sadarnya Rara Wulan bertanya, "Kenapa kau menganggap kakang Sabungsari terlibat dalam lingkaran hubungan dengan Raras. Sepengetahuanku, seperti dikatakan kakang Sabungsari, ia belum begitu mengenal Raras dan Raras-pun belum begitu mengenalnya. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa kakang Sabungsari tertarik kepada Raras. Dan bagaimana mungkin kau sendiri terlibat didalamnya, jika yang dimaksudkan dua orang laki-laki itu kau dan kakang Sabungsari" Bukankah kau sepupu Raras?"
"Siapapun aku, aku tidak menghiraukannya," jawab Wacana.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berusaha menengahi, "Aku mengerti sekarang. Ternyata Raras ingin menarik diri dari hubungannya yang khusus dengan Raden Teja Prabawa meskipun mereka masih akan dapat tetap bersahabat. Kemudian Wacana, meskipun saudara sepupu Raras, telah jatuh cinta kepada Raras. Tetapi Wacana menduga bahwa Sabungsaripun ternyata mencintai Raras juga, sehingga Wacana minta agar Sabungsari menyingkir dari persoalan yang berhubungan dengan Raras."
"Ya," jawab Wacana tegas, "aku minta jawaban Sabungsari."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, "Sejak semula sudah aku katakan, Wacana. Aku tidak begitu mengenal Raras. Raraspun tidak begitu mengenal aku. Aku tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan Raras. Apalagi bagi masa depannya yang panjang itu. Aku orang asing bagi Raras dan Raras orang asing bagiku."
Wacana mengerutkan dahinya. Dengan sorot mata yang tajam ia berkata, "Kau tidak usah berbelit-belit Sabungsari. Apapun yang kau katakan, tetapi bagiku, kau adalah orang yang akan dapat menghalangi niatku untuk mendekati Raras. Bukan sebagai seorang kakak sepupu, tetapi sebagai seorang laki-laki. Raras bagiku bukan sekedar adik sepupu, tetapi aku memang mencintainya."
Sebelum Sabungsari menjawab, maka Rara Wulan telah mendahuluinya bertanya, "Bagaimana sikapmu terhadap kakangmas Teja Prabawa" Bukankah justru kau orang ketiga yang berdiri diantara kakangmas Teja Prabawa, dengan Raras?"
"Aku tidak merasa perlu untuk berbicara tentang Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa telah tersisih dari hati Raras. Dan itu sama sekali bukan salahku," jawab Wacana, yang kemudian sekali lagi berkata, "Aku ingin mendengar jawaban Sabungsari."
"Kau sudah tahu jawabku Wacana. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Raras," jawab Sabungsari.
"Kenapa kau tidak bersikap jantan Sabungsari" Kenapa kau harus mengingkarinya" Apakah kau juga tidak berani bertanggung jawab seperti Raden Teja Prabawa?"
"Apa yang harus aku pertanggung jawabkan. Wacana, aku justru ingin tahu, kenapa kau menuduhku menyaingimu dalam hubungannya dengan Raras. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa aku berniat mendekati Raras dan bahkan menggeser Raden Teja Prabawa yang sudah sejak lama berhubungan dengan Raras."
"Aku tidak mau mendengar kata-katamu selain sikapmu terhadap Raras. Kau harus berjanji sebagai seorang laki-laki bahwa kau tidak akan mendekati Raras lagi," berkata Wacana.
"Wacana," akhirnya Sabungsari juga kehilangan kesabaran, "meskipun aku tidak tahu pasti, apakah yang kau maksud, tetapi aku ingin memperingatkanmu, bahwa aku bukan pengecut. Kau tahu itu. Aku sudah dengan suka-rela turun ke Susukan Kali Opak untuk membantu membebaskan Raras. Sebelumnya aku sudah menyatakan diri untuk ikut menghadapi Ki Manuhara sebelum Bajang Bertangan Baja itu datang. Persoalan yang melibatkan aku kedalamnya bukan sekedar soal perempuan. Tetapi persoalan yang lebih luas lagi tentang Mataram. Karena itu, maka aku tidak mau kau menyudutkan aku tanpa alasan, seakan-akan asal saja kau ingin mencari perkara. Jika kau ingin menantang aku katakanlah, bahwa kau menantang aku. Dengan cara apa yang kau kehendaki. Tetapi kau tidak dapat memperlakukan aku seperti itu."
Wajah Wacanapun menjadi, merah. Dengan nada tinggi ia menjawab, "Sabungsari. Jika kau ingin aku berkata lebih terbuka, baiklah. Bahwa kau bagiku adalah penghalang utama justru aku dengar langsung dari Raras. Raras sendiri mengatakan bahwa ia mulai tertarik kepada seorang laki-laki muda yang telah melindunginya di dekat Susukan Kali Opak. Apalagi setelah itu kau dengan sengaja berkali-kali datang kerumah Raras dengan alasan apapun juga. Dengan membawa perisai beberapa orang agar kau dapat mengelakkan tuduhan bahwa kau sengaja memancing perhatian Raras."
Jantung Sabungsari terasa berdegub semakin keras. Darahnya seakan-akan menjadi panas memanasi urat-urat nadinya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang telah dibebaskannya itu justru menaruh perhatian yang demikian besar kepadanya.
Namun dalam pada itu, Wacana berkata selanjutnya, "Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, seolah-olah Raras benar-benar telah jatuh cinta kepadamu. Yang terjadi pada gadis yang baru menginjak dewasa itu adalah sekedar kekaguman karena kau telah dianggap mampu menolongnya, melindunginya dan bertanggung jawab atas keselamatannya. Tetapi perasaan itu pada saatnya akan larut dengan sendirinya jika pandangannya mengenai kehidupan telah berkembang. Karena itu, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan menemuinya lagi dimanapun juga. Juga seandainya Raras mencarimu ke Tanah Perdikan ini."
Tiba-tiba saja dada Sabungsari bergejolak seperti gejolaknya laut yang diaduk oleh angin pusaran. Gelonibang yang menggelegar membentur dinding hatinya yang goneang karena pengakuan Raras.
Sementara itu Agung Sedayu dan mereka yang mendengarkan pembicaraan itu justru bagaikan terbungkam. Mereka tidak segera dapat mencari jalan untuk menengahinya. Meskipun demikian, Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk menyela, "Jika demikian, sebaiknya persoalan ini kita bicarakan dengan hati yang dingin. Jika kita menghanyutkan diri pada arus perasaan kita masing-masing, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Bahkan mungkin akan bertambah rumit. Persoalan yang kalian hadapi akan menyangkut pihak ketiga, justru pihak yang menentukan, yaitu Raras. Bukankah sebaiknya kalian mendengarkan pendapat Raras?"
"Aku tidak menganggap perlu," sahut Wacana, "yang penting bagiku adalah janji Sabungsari. Jika Sabungsari tidak lagi menemui Raras dengan alasan apapun juga, maka lambat laun kekaguman Raras akan menjadi luntur. Raras akan dapat berpikir lebih baik dan berdasarkan pertimbangan nalar. Bukan sekedar perasaan kagum yang berlebihan."
Agung Sedayu masih akan menyahut, tetapi Sabungsarilah yang kemudian mendahuluinya, "Wacana. Jika demikian sikap Raras terhadapku, maka dengarlah jawabku. Aku tidak akan berkisar dari tempatku berdiri sekarang. Sebenarnya aku tidak begitu menghiraukan Raras. Tetapi sikapmu memaksa aku untuk tidak bergeser sejengkalpun. Aku tanggapi sikapmu sebagai seorang laki-laki dengan cara seorang laki-laki pula. Aku akan melayani apa saja yang kau maui dariku."
Wajah Wacana menjadi tegang. Namun ia melihat sinar memancar dari mata Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki maka Sabungsari benar-benar telah dibakar oleh tantangan Wacana.
Dengan cepat Agung Sedayu mencoba untuk meredakan suasana. Katanya, "Apakah kita tidak dapat berbicara dengan cara yang lebih baik" Bukankah kita bukan kanak-kanak yang sedang berebut durian runtuh?"
"Agung Sedayu," jawab Sabungsari, "aku sudah mencoba untuk menjelaskan bahwa aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Raras. Aku tidak tahu bagaimana sikap Raras terhadapku. Bahkan aku sekarang sudah berada ditempat yang jauh dari rumah Raras. Tetapi Wacana memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku sebagai seorang laki-laki."
"Aku mengerti," jawab Agung Sedayu, "aku harap Wacanapun dapat mengerti pula. Bukankah yang tersirat dari pernyataan Sabungsari itu sudah merupakan sebuah pernyataan, bahwa ia tidak akan melibatkan dirinya dengan kehidupan Raras."
"Itulah yang ingin aku dengar dari mulut Sabungsari," jawab Wacana.
"Bukankah hal itu sudah dikatakannya bahwa ia orang asing bagi Raras dan Raras adalah orang asing bagi Sabungsari."
"Tidak," tiba-tiba Sabungsari memotong, "aku cabut pernyataanku justru karena sikap Wacana. Jika aku menyingkir dan menyatakan janji itu kepada Wacana, maka aku akan dianggapnya sebagai seorang pengecut. Apalagi Raras sendiri sudah mengatakan bahwa ia mengagumi aku dan sudah tentu tertarik kepadaku. Karena itu, maka aku tidak akan menghindar dan mengingkari sikap seorang laki-laki. Jika benar Raras tertarik kepadaku dengan alasan apapun juga, maka aku akan menyambutnya dan menghormati sikap apapun akibatnya."
"Bagus," jawab Wacana, "jika demikian, kita akan menentukan siapa yang akan minggir dari persoalan ini."
"Aku akan melayanimu, cara apapun yang kau kehendaki."
"Kita selesaikan persoalan kita diarena perang tanding. Siapa yang kalah, harus mengakui kekalahannya dengan jantan dan untuk seterusnya akan memegang janji untuk tidak berhubungan lagi dengan cara dengan alasan apapun juga," jawab Wacana.
"Bagus," jawab Sabungsari, "aku akan menerima tantanganmu ini. Bahkan aku menjadi tidak sabar lagi, kapan perang tanding yang kau maksudkan itu akan dilaksanakan."
"Kau yang menentukan," jawab Wacana, "kau pula yang akan menunjuk saksi yang adil. Bahkan seandainya tidak ada orang yang dapat dianggap adil, siapapun dapat kau tunjuk sebagai saksi karena kita masing-masing pasti akan mengakui didalam hati kita siapakah sebenarnya yang menang diantara kita."
"Aku tidak memerlukan saksi," jawab Sabungsari, "jika kau merasa perlu, carilah sendiri. Aku setuju dengan pendapatmu, kita akan tahu pasti, siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perang tanding itu."
"Tidak Sabungsari," Agung Sedayulah yang menyahut, "kalian memerlukan saksi. Sebenarnya aku condong untuk mencari jalan keluar yang lebih baik dari perang tanding. Apakah lambang kejantanan seseorang itu hanya dapat dilihat dengan kekerasan" Apakah dengan kekerasan kalian cukup menghargai sikap dan perasaan Raras?"
"Sejak semula aku tidak mengetahui perasaan Raras yang sebenarnya. Wacana telah datang dengan sikap dan caranya yang tidak aku sukai. Karena itu, maka aku memang berniat untuk berperang tanding," jawab Sabungsari yang nampaknya telah mengeraskan hatinya, ia benar-benar tersinggung oleh sikap Wacana sehingga tidak ada lagi jalan kembali dari keputusannya itu.
Sementara itu Wacanapun telah membulatkan tekadnya pula. Ia harus menyingkirkan Sabungsari dengan cara yang telah dipilihnya. Ia berharap Sabungsari bersikap kesatria sehingga ia akan memegang janjinya jika ia memang dapat dikalahkannya.
Karena itu, maka niat untuk berperang tanding itu tidak dapat diurungkan lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu hanyalah berusaha untuk menegakkan sifat kesatria kedua anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan itu.
"Aku akan menjadi saksi bersama Ki Jayaraga," berkata Agung Sedayu.
Ternyata baik Wacana maupun Sabungsari tidak ingin menunda penyelesaian yang telah mereka pilih. Mereka sepakat untuk membuat penyelesaian, besok saat fajar menyingsing.
Demikianlah, maka malam itu Wacana bermalam dirumah Agung Sedayu. Anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok. Demikian ia selesai makan malam, maka iapun telah memasuki bilik yang disediakan baginya, diujung gandok sebelah kanan. Beberapa saat kemudian, sudah terdengar nafasnya mengalir dengan tenang dan teratur. Ternyata Wacana itu sudah tertidur nyenyak.
Dengan demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga menganggap bahwa Wacana terlalu yakin akan dirinya. Perang tanding itu dianggapnya sebagai permainan saja tanpa harus direnunginya dan apalagi dipikirkannya berulang kali.
Dibilik yang lain, Sabungsari duduk bersama Glagah Putih yang lebih muda daripadanya. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, "Aku sama sekali tidak mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Glagah Putih dapat mengerti sepenuhnya sikap Sabungsari. Bahkan Glagah Putih sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengekang perasaannya seandainya ia yang mengalami perlakuan sebagaimana dialami Sabungsari. Meskipun demikian, justru karena Glagah Putih tidak mengalami, ia dapat mengambil jarak dari persoalan yang dihadapi Sabungsari itu. Dengan nada dalam ia bertanya, "Apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa mengambil sikap kakang?"
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hampir saja menjadi mata gelap. Aku sudah berjuang sejauh dapat aku lakukan untuk menahan diri. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan Raras. Bahkan aku benar-benar ingin menjauh daripadanya, meskipun aku tidak ingkar, bahwa aku memang tertarik kepadanya. Tetapi sikap Wacana sangat menyakitkan hati."
"Aku mengerti," Glagah Putih mengangguk-angguk, "tetapi jika aku boleh mengetahuinya, justru setelah Wacana datang kepadamu dengan sikapnya yang menyinggung perasaanmu, apakah kau akan mendekati Raras atau justru akan menjauhinya, tanpa menghiraukan kesudahan dari perang tanding yang akan kau lakukan esok pagi."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Aku masih memikirkan Teja Prabawa. Aku justru menjadi curiga, mungkin Wacana dengan sengaja mempengaruhi Raras untuk menjauhi Raden Teja Prabawa karena Wacana sendiri menginginkannya meskipun ia saudara sepupu Raras."
"Apakah kau akan tetap menghindari Raras?" bertanya Glagah Putih.
Sabungsari tidak segera menjawab. Dengan sayu Sabungsari menatap lampu minyak yang berkeredipan ditiup angin yang menyusup di sela-sela dinding.
"Glagah Putih," berkata Sabungsari kemudian, "seperti aku katakan tadi. Aku masih memperhitungkan Raden Teja Prabawa. Aku tidak mau menjadi penghalang hubungan antara keduanya. Kecuali jika Raras benar-benar tidak dapat lagi diharapkan untuk kembali kepada anak muda itu."
"Seandainya Raras masih dapat diharapkan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, bagaimana dengan engkau sendiri?" bertanya Glagah Putih kemudian.
"Aku tidak menyesali diriku sendiri. Aku akan merasa berbahagia jika keduanya dapat berbuat kembali dalam arti yang dalam. Bukan karena tekanan dari orang tua yang manapun juga," desis Sabungsari. Namun terdengar suaranya bergetar tertahan-tahan.
"Kau sudah mempertaruhkan jiwamu untuk membebaskannya. Apakah kau masih harus berkorban lagi?" bertanya Glagah Putih.
"Apakah ketika aku ikut membebaskannya terbersit pikiran bahwa akan timbul persoalan seperti ini" Aku membantumu membebaskan Raras, karena aku tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang akan menjadi sisihan Raden Teja Prabawa. Bukankah karena itu, maka kita semuanya berusaha untuk membebaskannya" Atau kita harus menyerahkan Rara Wulan" Seandainya kita tidak memikirkan untuk mengembalikan Raras kepada Raden Teja Prabawa, mungkin kita condong untuk sekedar menyembunyikan atau melindungi Rara Wulan sementara persoalan Raras kita percayakan kepada Ki Wirayuda. Adalah memang menjadi tugasnya atau katakanlah tugas para prajurit Mataram untuk melindungi rakyatnya. Tetapi kita tidak mau menyerahkan Rara Wulan dan tidak mau membiarkan Raras hilang untuk seterusnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, "Kau benar Sabungsari. Tetapi kita saat itu lebih condong membebaskan Raras sebagai satu laku untuk menegakkan kemanusiaan dan paugeran. Meskipun demikian, bahwa persoalan Raras menyangkut kita adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan erat dengan Raden Teja Prabawa. Sementara itu Raden Teja Prabawa adalah kakak Rara Wulan. Sedangkan yang dikehendaki oleh Raden Antal sebenarnya adalah Rara Wulan."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, "Bukan maksudku mengingkari laku kemanusiaan sebagai alasan utama dari langkah kita. Tetapi bagaimanapun juga, kaitannya adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Teja Prabawa."
Glagah Putih yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Jadi kau memang berniat untuk memberikan pengorbanan ganda?"
"Bukan maksudku untuk menjadi pahlawan, atau katakanlah, agar aku dianggap sebagai seorang yang luhur budi dan pantas untuk mendapat pujian setinggi bintang. Tetapi sebenarnyalah nuraniku berkata demikian."
"Jika ternyata Raras dan Raden Teja Prabawa sudah tidak dapat bertaut kembali?" desak Glagah Putih.
"Terserah kepada Raras," jawab Sabungsari.
"Dan arti dari perang tanding esok?"
"Bagiku tidak ada hubungannya langsung dengan Raras. Aku menerima tantangan itu karena hatiku terbakar oleh sikap Wacana yang bagiku sangat menyinggung perasaanku," jawab Sabungsari.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia merasa lebih muda, tetapi dipaksanya bibirnya berkata seakan-akan menasehati, "Tetapi aku harus mampu menahan diri kakang. Apalagi setelah semua jalur ilmumu terbuka, demikian pula saluran tenaga dalammu."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berkata, "Aku tidak tahu apakah ilmuku mampu mengimbangi ilmu Wacana yang nampaknya begitu yakin akan kemampuan diri. Ia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi meskipun ia juga masih terhitung muda."
Glagah Putih hanya dapat mengangguk kecil. Ia juga tidak tahu, seberapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh Wacana. Namun ia sependapat bahwa menilik sikap dan keyakinan diri, Wacana agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi.
Sambil bangkit Glagah Putihpun kemudian berkata, "Baiklah. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Wacana telah tertidur nyenyak didalam biliknya. Kau perlukan tenagamu besuk sehingga kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Katanya dengan nada dalam, "Mudah-mudahan kau tidak usah mengalami persoalan seperti ini. Persoalan yang sama sekali tidak aku harapkan. Justru terjadi pada diriku."
Glagah Putihpun kemudian meninggalkan bilik Sabungsari. Diluar udara malam terasa dingin. Angin bertiup lembut mengusap wajah Glagah Putih.
Diluar kehendaknya, maka Glagah Putihpun berjalan lewat halaman samping menuju ke halaman belakang. Malam menjadi semakin kelam. Bintang-bintang nampak bergayutan dilangit yang kehitam-hitaman.
Namun telinga Glagah Putih yang tajam, tiba-tiba saja mendengar sesuatu. Langkah lembut di kebun belakang. Gemerisik dedaunan kering yang terinjak kaki telah menimbulkan suara yang halus.
"Tentu langkah seseorang yang sangat berhati-hati," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Justru karena itu, maka Glagah Putih bergeser selangkah dengan sangat berhati-hati pula. Kemudian iapun telah berjongkok dibawah sebatang pohon perdu yang rimbun.
Tetapi Glagah Putih lupa bahwa beberapa ekor ayam yang dipelihara anak yang tinggal di rumah itu, tidur diatas cabang-cabang batang perdu itu, sehingga karena itu, maka ayam-ayam itu telah terbangun. Meskipun ayam-ayam itu tidak terkejut dan tidak berkotek keras-keras karena Glagah Putih bergerak dengan sangat berhati-hati, namun beberapa ekor diantaranya bergeser menjauhinya.
Ternyata suara ayam yang bergeser itu telah mengejutkan seseorang yang langkahnya telah didengar oleh Glagah Putih. Yang kemudian terjadi adalah, orang itu berlari dengan tangkasnya dan meloncati dinding halaman.
Glagah Putih memang mencoba untuk mengejarnya. Iapun meloncat keatas dinding dan hinggap seperti seekor burung yang hinggap diatas cabang pepohonan. Namun Glagah Putih tidak melihat sesuatu. Ia tidak melihat seseorang berlari. Iapun tidak melihat dedaunan yang bergoyang tersentuh tubuh orang yang berlari itu. Ia juga tidak mendengar derap kakinya.
Glagah Putih memang tidak mendengar dan tidak melihat sesuatu.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar suara berdesing. Ilmunya yang mapan segera mengisyaratkan kepadanya, bahwa bahaya tengah menyambarnya dari kegelapan dibelakang dinding halaman rumah Agung Sedayu.
Dengan gerak naluriah maka Glagah Putih telah meloncat kesamping sambil memiringkan tubuhnya. Ternyata sebuah lingkaran besi baja yang bergerigi hampir saja mengoyak kulitnya.
Dengan cepat Glagah Putih meloncat keluar dinding. Namun ia mendengar derap langkah orang berlari yang sudah menjadi semakin jauh.
Glagah Putih tidak mengejarnya. Ia justru kembali meloncat keatas dinding. Ketika dengan saksama ia memperhatikan cabang pohon yang tumbuh di kebun dibelakang ia berdiri, maka dalam kegelapan malam ia melihat lingkaran baja yang bergerigi itu tertancap dalam-dalam. Dengan hati-hati ia meraba benda yang bergerigi tajam itu dan dengan kuat ia menghentakkannya.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak, ia memang menjadi berdebar-debar. Jika saja gerigi itu tertancap didadanya.
Glagah Putih kemudian meloncat turun sambil membawa gerigi besi itu. Ia ingin memberitahukan hal itu kepada Agung Sedayu, meskipun seandainya sudah tertidur, maka ia akan membangunkannya.
"Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana," berkata Glagah Putih yang segera menghubungkan serangan itu dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang disebut Resi Belahan itu.
Glagah Putihpun kemudian kembali masuk kedalam rumahnya lewat pintu yang masih belum diselarak. Pintu dari-mana ia keluar tadi.
Ternyata Agung Sedayu masih belum tidur, ia masih mendengar suaranya perlahan-lahan dari dalam biliknya.
Semula Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia-pun kemudian memaksa diri untuk memanggil kakak sepupunya itu, karena ia menganggap peristiwa itu penting untuk segera diketahui oleh Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang keluar dari biliknya bersama Sekar Mirah sambil bertanya, "Ada apa Glagah Putih?"
(Bersambung ke Jilid 281)
API DI BUKIT MENOREH Jilid : 281 ~ 290 Karya S.H. Mintarja ________________________________________
Buku 281 GLAGAH PUTIH pun kemudian duduk diamben bambu yang besar diruang dalam bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Diceriterakannya apa yang telah dilihatnya di kebun belakang. Ditunjukannya lingkaran besi baja yang bergerigi itu kepada Agung Sedayu. Gerigi yang hampir saja mengoyak kulitnya.
"Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana," desis Glagah Putih.
"Ya," Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil mengamati lingkaran besi baja yang bergerigi itu.
Ternyata mereka sepakat bahwa senjata itu tentu saja dari salah seorang pengikut Resi Belahan. Mungkin orang yang ditemuinya di tepian Kali Praga serta yang telah berusaha mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan itu. Atau orang yang bersamanya dan yang disebut paman itu. Atau orang lain yang diminta oleh orang itu. Namun mereka tentu orang diantara para pengikut Resi Belahan itu.
"Bukankah itu yang kita kehendaki," berkata Agung Sedayu, "bahkan mudah-mudahan Resi Belahan sendiri akan datang kerumah ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita memang mengharapkan Resi Belahan itu sendiri yang datang."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu kemudian, "besok yang lain kita beri tahu pula tentang lingkaran bergerigi ini. Sayang, besok pagi-pagi aku dan Ki Jayaraga harus menyaksikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya selanjutnya, "Tetapi kita sudah tidak mampu lagi mencegahnya."
"Sekarang tidurlah. Kau besok sendirian dirumah. Aku dan Ki Jayaraga akan menjadi saksi dari perang tanding yang akan terjadi di-antara Wacana dan Sabungsari. Nampaknya Wacana juga orang yang berilmu, sementara Sabungsari yang telah berhasil membuka hambatan-hambatan didalam dirinya, tentu akan menjadi sangat berbahaya jika ia tidak dapat mengekang diri."
Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya kemudian, "Baiklah. Aku akan tidur sekarang."
Glagah Putih telah meninggalkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang masih duduk diruang dalam. Keduanya masih mengamati lingkaran besi baja yang bergerigi itu untuk beberapa saat.
Malam yang semakin menukik kekedalamannya itu menjadi semakin sepi. Bunyi belalang dan angkup nangka terdengar seolah-olah bersahut-sahutan mengusik sepinya malam.
Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke bilik mereka, mereka terkejut. Mereka mendengar isak tangis dari bilik Rara Wulan.
Sejak keduanya saling berpandangan. Meskipun agak ragu, Sekar Mirah berdesis, "Aku akan menengoknya."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun kemudian duduk kembali di-amben yang besar itu, sementara Sekar Mirah melangkah menuju ke bilik Rara Wulan.
Perlahan-lahan Sekar Mirah mengetuk pintu bilik Rara Wulan sambil berdesis, "Rara ?"
Terdengar langkah lembut mendekati pintu. Perlahan-lahan selarak pintupun diangkat dan pintu itupun berdiri perlahan.
Sekar Mirah melangkah masuk dan duduk disisi Rara Wulan yang duduk dibibir pembaringannya.
"Ada apa Rara. Aku dengar kau terisak." desis Sekar Mirah.
Rara Wulan mengusap matanya yang basah. Ia berusaha menahan isaknya. Namun sekali-sekali dadanya masih juga terangkat.
Tangannyalah yang sibuk mengusap air matanya dengan lengan bajunya.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Sekar Mirah.
Rara Wulan menunduk dalam-dalam.
"Katakanlah Rara. Setidak-tidaknya kau akan dapat mengurangi beban yang menggantung didadamu." desak Sekar Mirah.
"Mbokayu," suara Rara Wulan bergetar disela-sela isaknya, "kenapa persoalannya berkembang sedemikian buruknya. Aku merasa bahwa aku adalah sumber dari peselisihan yang berlarut. Seandainya aku tidak pernah dikenal oleh Raden Antal."
"Sudahlah Rara. Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika saja Raden Antal mempunyai landasan jiwani setidak-tidaknya sebagaimana orang kebanyakan, maka ia tidak menimbulkan malapetaka ini. Wacana tidak akan pernah berselisih dengan Sabungsari karena salah faham, karena tidak seorangpun yang perlu menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja serta Ki Manuhara, sehingga dengan demikian maka Raras tidak akan pernah berkenalan dengan Sabungsari."
Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, "Sebenarnya aku juga merasa kasihan kepada kakangmas Teja Prabawa. Ia seorang anak muda yang manja, hampir mirip dengan Raden Antal. Tapi hatinya jauh lebih kecil dari hati Raden Antal. Jika Raras melepaskan diri dari padanya, maka hatinya akan terpukul. Mungkian ia akan kehilangan gairah untuk menantang hari depannya dan tersisih dari lingkungannya. Dirinya akan terasa semakin kecil dan tidak berarti."
"Mudah-mudahan tidak Rara. Mudah-mudahan ia akan bangkit dan menghadapi masa depannya dengan dada tengadah. Yang terjadi itu akan menjadi pengalaman yang dapat menempa jiwanya," berkata Rara Wulan.
"Tetapi aku juga tidak dapat menyalahkan Wacana jika ia ingin menggeser kakangmas Teja Prabawa yang lemah itu."
Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ya. Kita dapat mengerti bahwa Wacana yang setiap hari menunggui Raras, akan dapat tertarik dan bahkan jatuh cinta kepadanya. Tetapi sebaiknya ia tidak kehilangan akal. Kenapa ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari mempergunakan cara yang keras yang barangkali akan justru dapat menyinggung perasaan Raras jika ia tahu. Kenapa persoalannya tidak diserahkan saja kepada Raras untuk menentukan pilihannya. Atau katakan bahwa yang dilakukan biarlah Sayembara Pilih, bukan Sayembara Tanding sebagaimana dilakukan sekarang."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, "Ya. Kekerasan akan dapat berakibat sangat buruk meskipun semula tidak dikehendaki."
"Tetapi apapun yang terjadi, itu bukan salahmu Rara," desis Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.
"Rara," berkata Sekar Mirah kemudian untuk mengalihkan perhatian Rara Wulan, "baru saja telah terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan atas Glagah Putih."
"Apa yang terjadi?" Rara Wulan terkejut.
"Apakah kau tidak mendengarkan pembicaraan kami. Maksudku antara Glagah Putih dengan kakang Agung Sedayu."
"Bukankah kalian membicarakan perang tanding esok pagi?" bertanya Rara Wulan ragu-ragu.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Mirahpun kemudian menceriterakan apa yang terjadi atas Glagah Putih yang berada di halaman belakang rumah itu. Hampir saja tubuhnya dikoyakkan oleh sebuah lingkaran besi baja bergerigi yang menyambarnya dari kegelapan.
"O," Rara Wulan menjadi cemas, "bagaimana dengan kakang Glagah Putih sekarang?"
"Ia tidak apa-apa. Ia sekarang berada didalam biliknya," jawab Sekar Mirah, "tetapi peristiwa ini merupakan satu peringatan bagi kita, bahwa orang-orang yang kita temui di tepian Kali Praga itu benar-benar telah terpancing. Mungkin kita dapat menyebut bahwa usaha kita berhasil memancing mereka. Tetapi disamping itu, kitapun harus menjadi sangat berhati-hati."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata, "Besok Glagah Putih sendiri yang menemani kita dirumah, karena kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga akan menjadi saksi perang tanding antara Wacana dengan Sabungsari."
Rara Wulan hanya dapat termangu-mangu. Sementara Sekar Mirah berkata selanjutnya, "Nah, sekarang, tidurlah Rara. Malam sudah menjadi semakin larut."
Rara Wulan memandang Sekar Mirah dengan tatapan mata yang sayu. Sambil tersenyum Sekar Mirah menepuk bahunya sambil berkata, "Aku juga akan tidur. Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali. Kita harus menyiapkan minuman dan makanan sebelum Wacana dan Sabungsari pergi ke tempat yang terasing untuk berperang tanding dengan disaksikan oleh kakang Agung sedayu dan Ki Jayaraga. Tetapi biar sajalah itu terjadi. Itu persoalan mereka. Bukan persoalan kita. Bukan pula salahmu, Rara."
Demikianlah, maka Sekar Mirahpun kemudian meninggalkan bilik Rara Wulan. Gadis itu memang mencoba untuk dapat segera tidur. Tetapi ternyata itu memerlukan waktu yang cukup panjang, karena angan-angannya masih saja menerawang jauh. Tetapi akhirnya gadis itupun sempat tidur pula lewat tengah malam.
Seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah, maka Sekar Mirah itupun bangun pagi-pagi sekali. Ketika ia sudah berada didapur, maka Rara Wulanpun menyusulnya pula. Matanya masih nampak bekas tangisnya semalam.
Tetapi sejenak kemudian mereka telah mendengar derit senggot di sumur. Sabungsari agaknya telah bangun pula dan mengisi jambangan di pakiwan. Tetapi Wacana agaknya masih berada di biliknya.
Ki Jayaraga yang kemudian juga berada di dapur sambil memanasi tangannya didepan perapian berdesis perlahan, "Wacana apakah memang terlalu yakin akan dirinya. Ia masih belum bangun. Agaknya ia tidur nyenyak sekali tanpa digelisahkan oleh perang tanding yang akan dilakukan pagi ini."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Katanya, "Agaknya ilmunya memang cukup tinggi. Jika ia tidak berilmu tinggi, maka ia tentu tidak akan menantang Sabungsari dalam perang tanding, karena ia sudah mendengar bagaimana Sabungsari mampu melindungi Raras dalam pertempuran didekat susukan Kali Opak itu."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Hampir berbisik ia berdesis, "Ya. Dan itulah yang mencemaskan."
Sekar Mirah tidak menyahut lagi. Sementara Ki Jayaragapun kemudian bangkit dan pergi ke belakang lewat pintu butulan didapur. Sambil menggeliat Ki Jayaraga menghirup udara sejuk didini hari.
Menjelang fajar maka semuanya telah berbenah diri. Wacanapun telah mandi pula. Mereka masih menghirup minuman hangat bersama-sama serta makan beberapa potong makanan. Tetapi mereka tidak lagi banyak berbicara.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah bersiap pergi ketempat yang akan ditentukan oleh Agung Sedayu.
Ketika mereka meninggalkan regol halaman rumah, Agung Sedayu berpesan, "Hati-hatilah Glagah Putih. Kau sendiri yang harus melindungi seisi rumah ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa tanggung jawabnya menjadi besar. Tetapi Glagah Putih tidak dapat mengingkarinya. Apalagi orang-orang yang harus dilindunginya serba sedikit memiliki kemampuan untuk menjaga diri mereka masing-masing. Bahkan Sekar Mirah yang menuntun Rara Wulan dalam olah kanuragan itu, sengaja atau tidak sengaja telah meningkatkan kemampuannya pula, karena ia hampir setiap hari berada disanggar setelah pekerjaannya selesai dengan atau tidak dengan Rara Wulan sambil menunggu Agung Sedayu pulang dari barak pasukan khusus.
Sementara itu, Agung Sedayu telah membawa Wacana dan Sabungsari kelereng pegunungan yang jarang dikunjungi orang. Mereka menuju didataran yang agak luas disela-sela dua buah bukit kecil. Ki Jayaraga meskipun agak segan berjalan sambil menunduk dibelakang mereka. Tertapi orang tua itupun tidak mampu merubah keputusan kedua orang yang akan berperang tanding.
Tetapi Ki Jayabaya tidak berharap bahwa perang tanding itu akan berlangsung jujur dan tidak dibakar oleh perasaan semata-mata, sehingga perang tanding itu akan dapat diakhiri tanpa harus merenggut korban jiwa salah seorang diantara mereka.
Ketika mereka sampai ditempat yang dimaksud oleh Agung Sedayu, ternyata langit sudah menjadi terang. Matahari bahkan sudah hampir menyingsing.
"Nah," berkata Agung Sedayu kemudian, "kami berdua akan menyaksikan perang tanding yang kalian maksud. Kalian adalah laki-laki yang bertanggung jawab atas perbuatan dan kata-kata kalian. Karena itu, maka perang tanding ini akan kalian hormati sebagai keputusan jantan. Siapa yang kalah akan mengaku kalah tanpa mendendam. Selanjutnya yang kalah akan memenuhi janji, tidak akan berhubungan lagi dengan Raras. Tentu saja dengan maksud yang khusus, karena persahabatan akan dapat saja berlangsung seterusnya."
"Apakah yang dimaksud dengan persahabatan akan dapat berlangsung seterusnya ?" bertanya Wacana.
"Maksudku," berkata Agung Sedayu, "siapa yang kalah akan melepaskan niatnya untuk memperistri Raras. Bukankah jelasnya demikian " Tetapi apakah itu berarti bahwa yang kalah harus menyingkir dari Mataram dan tidak akan boleh bertemu lagi dengan Raras " Itu sama sekali tidak wajar. Perkenalan dan persahabatan dapat saja terjadi tanpa harus berniat memperistri seseorang. Dan niat itu terikat oleh janji yang telah kalian ucapkan. Siapakah yang menang dan siapakah yang kalah."
Wacana nampaknya masih belum puas. Tetapi Agung Sedayu berkata, "Kami berdua bukannya saksi yang mati. Berbeda dengan bebatuan dan rerumputan yang menyaksikan perang tanding ini. Mereka tidak akan berbuat apa-apa meskipun kalian kemudian tidak menepati janji kalian. Tetapi kami tidak. Kami dapat setidak-tidaknya memperingatkan jika ada diantara kalian yang melanggar janji yang telah kalian ucapkan dalam perang tanding ini. Jika peringatan itu tidak kalian dengar, maka kami akan merasa terhina karena kesaksian kami tidak berarti apa-apa. Nah, kalian tentu mengetahui maksud kami, karena kami bukan saksi-saksi hidup yang tidak berdaya."
"Baiklah," berkata Wacana, "aku setuju. Tetapi bagaimana dengan Sabungsari ?"
"Aku tidak mempunyai syarat apapun. Aku hanya ingin kejelasan, siapakah yang terkuat diantara kita. Bahkan seandainya tidak ada seseorang yang bernama Raras sekalipun," jawab Sabungsari dengan nada datar.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa Sabungsari merasa tersinggung oleh sikap Wacana justru pada saat Sabungsari menjahui Raras.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayupun telah mempersilahkan keduanya untuk bersiap. Katanya kepada Ki Jayaraga, "Marilah. Kita mempunyai tugas yang sama sekali tidak menyengkan hati kita. Tetapi keadaan kita untuk menjadi saksi tentu akan lebih baik daripada kita tidak menghiraukan sama sekali peristiwa ini."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Satu persoalan yang sangat aku benci. Pertengkaran karena seorang perempuan."
"Perempuan merupakan lambang masa depan kita, Ki Jayaraga," sahut Wacana.
"Dan hidupku hancur karena seorang perempuan," jawab Ki Jayaraga. Namun katanya kemudian, "Tetapi baiklah. Aku akan menjadi saksi yang baik. Bukan waktunya untuk mengenang masa laluku sendiri sekarang."
"Terima kasih," desis Agung Sedayu. Lalu katanya kepada Wacana dan Sabungsari, "Bersiaplah. Kita akan mulai."
Demikianlah maka ketika matahari terbit, keduanyapun segera mempersiapkan diri. Fajar memang sudah lewat. Tetapi waktu memang masih cukup panjang. Bahkan seandainya tidak cukup sehari, maka perang tanding itu dapat berlangsung sehari semalam atau dua atau tiga hari sekalipun.
Wacana dan Sabungsari telah berdiri berhadapan. Sejenak kemudian mereka mulai bergeser selangkah-selangkah. Karena masing-masing sama sekali belum mengetahui tingkat kemampuan lawan mereka, maka merekapun nampak berhati-hati. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga memang menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari bahwa keduanya memiliki ilmu yang tinggi sehingga keduanya nampak sangat yakin akan dirinya.
Setelah bergeser beberapa langkah, maka Wacanapun mulai menyerang. Meskipun hanya sekedar untuk memancing lawan, namun ayunan tangannya telah menggetarkan udara disekitarnya.
Sabungsasri bergeser melangkah surut. Sentuhan getaran udara itu semakin mengingatkannya, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa.
Dengan langkah-langkah pendek, keduanya memang mulai saling menyerang. Ketika kaki Wacana terjulur, Sabungsari bergeser ke-samping. Tangannya terayun mendatar mengarah lambung. Namun Wacana dengan cepat menggeliat sekaligus memutar tubuhnya bertumpu pada satu kakinya, sedang kakinya yang lain terayun menyambar kearah kening. Sabungsari melihat kesempatan yang terbutka. Sambil menjatuhkan dirinya ia menyapu kaki Wacana yang menahan berat tubuhnya dengan cepat sekali. Wacana memang tidak sempat mengelak. Dibiarkannya kakinya disambar kaki Sabungsari. Tetapi Wacana yang terjatuh justru berguling sekali menjauh. Dengan cepat ia telah melenting berdiri dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan hampir berbareng dengan Sabungsari yang telah bangkit pula.
Demikianlah semakin lama perang tanding itu menjadi semakin cepat. Keduanya semakin meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis.
Agung Sedayu dan Ki Jayarga menyaksikan perang tanding itu dengan dada yang berdebar-debar. Keduanya mampu meningkatkan kemampuan mereka sejalan dengan tataran ilmu mereka, sehingga sama sekali masih belum diketahui, siapakah diantara mereka yang terbaik. Keduanya telah saling menyerang dan saling menangkis serangan-serangan yang kadang-kadang harus membenturkan kekuatan.
Kaki kedua orang yang berperang tanding itu berloncatan diatas tanah berpadas diatas bukit. Sekali-sekali mereka melenting tinggi. Namun keduanya kemudian keduanya menyerang dengan tanganya yang menyambar. Seakan-akan dua ekor alap-alap sedang berlaga di-udara. Tangan-tangan mereka yang kadang-kadang telentang seperti sayap-sayap yang kukuh. Sementara kaki-kaki mereka dengan garangnya menyambar kesasaran yang lemah ditubuh lawan.
Dilangit matahari merangkak semakin tinggi, sinarnya mulai terasa mulai memanasi tubuh. Keringat mulai mengalir ditubuh mereka yang sedang bertempur itu.
Meskipun demikian tenaga mereka masih tetap utuh dan segar.
Wacana memang sudah mendengar tentang kelebihan Sabungsari. Apalagi dari Raras yang mengaguminya saat Sabungsari itu melindunginya didekat susukan Kali Opak. Bahkan seorang Tumenggung Wredapun tidak mampu menembus dinding pertahanannya.
Dengan perang tanding itu Wacana dapat langsung mengetahui, bahwa sebenarnyalah Sabungsari adalah seorang yang berilmu tinggi.
Sebaliknya, Sabungsaripun telah menjajagi kemampuan Wacana harus mengakui, bahwa Wacana adalah seorang yang mempunyai kekuatan yang sangat bersar dan ketrampilan oleh kanurangan yang tinggi. Anak muda itu mampu bergerak dengan cepat dan kadang-kadang tidak terduga.
Dalam pada itu Ki Jayaraga yang mengakui perang tanding itu semakin lama menjadi semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Beberapa lapis mereka meningkatkan kemampuan mereka, namun keduanya masih mampu saling mengimbangi. Jika mereka meningkatkan semakin tinggi, maka akhirnya mereka akan sampai kepuncak kemampuan mereka. Jika demikian, maka sulit bagi keduanya untuk tetap mengekang diri.
Sebenarnyalah kedua anak muda itu semakin lama menjadi semakin meningkatkan ilmu mereka. Benturan-benturan yang keras mulai terjadi. Sekali-sekali Wacanalah yang terdesak surut. Namun pada kesempatan lain, Sabungsarilah yang terdorong mundur.
Agung Sedayupun semakin lama menjadi semakin tenang. Sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, Agung Sedayu menjadi cemas atas perang tanding yang mencapai tataran ilmu yang semakin tinggi itu. Wacana memang memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi Sabungsari juga seorang yang mumpuni.
Dengan demikian maka perang tanding itu memang tidak segera selesai. Ketika matahari mendekati sampai kepuncak, maka keduanya masih bertempur dengan sengitnya. Desak-mendesak serang menyerang. Keduanya masih belum menunjukkan bahwa tenaga dan kemampuan mereka mulai menyusut.
Ketika kamudian matahari mulai bergerak turun, Wacana tampak mulai gelisah. Ia masih melihat tanda-tanda bahwa ia akan dapat memaksa Sabungsari mengakui kekalahannya dan untuk selanjurnya tidak akan mendekati Raras. Ketika benturan-benturan kekuatan terjadi, maka Wacana masih merasakan betapa kekuatan betapa kekuatan Sabungsari masih utuh sebagaimana mereka memulai dengan pertempuran itu.
Berbeda dengan Wacana, maka ternyata Sabungsari yang merasa tidak menyulut api perang tanding itu masih saja bertempur dengan wajar. Ia tidak digelisahkan oleh beban apapun juga dalam dirinya. Meskipun ketika ia memasuki arena perang tanding itu ia merasa direndahkan oleh Wacana dengan tantangannya yang menyinggung perasaan, namun Sabungsari yang semakin mengenali kemampuan Wacana tidak terlalu didorong perasaannya untuk segera memenangkan perang tanding itu. Seandainya ia lebih banyak bertahan dan memelihara ketahanan wadag dan jiwanya untuk dipergunakan disaat-saat terakhir, rasa-rasanya itu sudah cukup. Yang penting baginya, ia tidak dapat dikalahkan oleh Wacana, cepat atau lambat.
Tetapi Wacana ternyata dapat membaca isi dada Sabungsari itu, maka ia berusaha untuk memaksa Sabungsari untuk bertempur dengan mengerahkan kemampuannya.
Dengan gejolak didalam jantungnya, maka Wacana semakin meningkatkan kemampuannya. Tataran demi tataran telah dipanjatnya sehingga Wacanapun hampir sampai pada tataran akhir dari kemampuannya. Gerakannya menjadi semakin cepat. Tenaganya tidak semakin menyusut, tetapi justru menjadi semakin meningkat sejalan dengan peningkatan tenaga dalam yang diungkapkannya dalam perang tanding itu.
Dengan demikian, maka Sabungsari memang terpaksa mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak dapat membiarkan dirinya semakin terdesak, sementara ia masih memiliki kemampuan untuk melawannya bahkan mengatasinya.
Karena itu maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Benturan-benturan menjadi semakin kuat. Serangan-serangan dari kedua belah pihak yang menembus pertahanan lawanyapun menjadi semakin sering.
Pertempuran yang semakin sengit itu memang telah mengisap tenaga kedua belah pihak. Keringat semakin deras terperas dari tubuh keduanya, sehingga pakaian mereka menjadi basah, seakan-akan mereka sedang bertempur didalam air. Pada kulit tubuh mereka terasa nyeri dan sakit yang menggigit karena serangan-serangan lawan yang mampu menembus pertahanan masing-masing.
Namun bagaimanapun juga Wacana masih belum dapat menundukkan Sabungsari. Sabungsari masih masih saja bertempur mengimbangi tataran kemampuan Wacana yang semakin meningkat itu.
Kegelisahan Wacana menjadi semakin nampak. Juga pada tata geraknya. Serangan-serangannya memang menjadi semakin cepat. Tetapi sasarannya menjadi kurang mapan.
Sabungsari melihat kegelisahan itu. Namun Sabungsari yang mempunyai pengalaman yang luas itu justru menjadi semakin berhati-hati. Ada dua kemungkinan yang dihadapinya. Jika Wacana kemudian sampai pada puncak kemampuannya maka ia akan dapat mengakui kekalahannya atau justru anak muda yang sedang terseret arus perasaannya itu akan melepaskan ilmu andalan yang dimilikinya. Ternyata bukan hanya Sabungsari sajalah yang kemudian menjadi semakin tegang menghadapi Wacana. Agung Sedayu dan Ki Jayaragapun berpendapat demikian. Dalam keadaan yang kalut itu, maka Wacana akan dapat kehilangan kendali meskipun agaknya Sabungsari justru mampu menguasai perasaannya, betapapun ia mulai tersinggung oleh sikap Wacana.
Namun sementara itu keduanya masih bertempur dengan serunya.
Wacana benar-benar telah mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Bahkan kemudian tenaga dalamnyapun telah diungkapkannya dalam pertempuran yang semakin sengit
Sabungsari memang harus mengimbanginya. Serangan-serangan Wacana menjadi semakin keras dan kuat. Ketika Sabungsari gagal menghindari serangan Wacana yang kuat sehingga serangan Wacana mengenai lambungnya, maka Sabungsari telah terdorong beberapa langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun Sabungsari menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali ketika Wacana memburunya. Namun kemudian dengan cepat ia melenting berdiri. Hampir saja kakinya menginjak bibir tebing bukit yang dapat menyeretnya bergulung kedalam jurang. Namun Sabungsari cepat bergeser. Ketika Wacana memburunya, justru Sabungsarilah yang meloncat menyerang. Karena itu, maka iapun segera menyilangkan tangannya didepan dadanya.
Ternyata serangan Sabungsari demikian kuatnya. Ketika kakinya membentur kedua tangan Wacana yang bersilang, maka Wacana itu-pun terguncang. Tetapi sambil melangkah surut melangkah, Wacana-pun segera bersiap. Sebelah kakinya agak kedepan dan ditekuknya pada lututnya. Sedikit agak memiringkan tubuhnya, Wacana siap menerima serangan Sabungsari berikutnya.
Sabungsari memang tidak langsung menyerang. Tetapi ia bergeser kesamping memperhitungkan arah. Namun Wacanalah yang menyerangnya dengan cepat. Tubuhnya berputar sedangkan kakinya terayun mendatar.
Sabungsari memang tidak mengelak. Ia membentur serangan itu dengan kedua tangannya yang merapat. Kakinya merenggang. Dibebankannya berat badannya sedikit kedepan.
Benturan yang terjadi memang keras. Sabungsari bergeser setapak mundur, sementara Wacanapun terguncang sesaat. Namun Wacana dengan cepat berdiri tegak.
Tetapi ternyata Sabungsari bergerak lebih cepat. Kakinya melangkah panjang kedepan. Sebelah tangannya menjulur lurus kedepan dengan kelima jari-jarinya yang terbuka merapat. Ujung jari-jarinya itu dengan kuat telah menekan lambung Wacana.
Terdengar Wacana mengaduh tertahan. Sementara itu, Sabungsari telah melangkah semakin dekat. Ketika Wacana sedikit terbungkuk oleh serangan jari-jari tangannya, maka dengan cepat Sabungsari menghantam kening Wacana dengan punggung tangannya yang mengepal. Demikian kerasnya sehingga Wacana tergeser beberapa langkah kesamping. Namun ketika Sabungsari memburunya, Wacana meloncat dengan cepat mengambil jarak. Sabungsari tertegun sejenak. Ternyata Wacana mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menyerang meskipun dengan tergesa-gesa.
Sabungsari memang tidak menduga. Serangan Wacana datang begitu cepat seperti anak panah yang meluncur dari busurnya. Demikian deras dan kuatnya serangan itu, sehingga tubuh Wacana seakan-akan merupakan sepotong galah yang meluncur. Kedua kakinya yang menyambar mengarah kedada Sabungsari.
Tidak ada kesempatan untuk mengelak. Yang dilakukan Sabungsari kemudian adalah mengerahkan kekuatannya dengan dukungan tenaga dalamnya yang sudah terbuka tanpa hambatan didalam dirinya pada kedua tangannya yang melindungi dadanya membentur serangan Wacana yang dikerahkannya dengan segenap kekuatannya.
Satu benturan yang sangat keras telah terjadi. Dorongan serangan Wacana benar-benar telah mengguncang pertahanan Sabungsari sehingga beberapa langkah ia terdorong surut Bahkan hampir saja Sabungsari kehilangan keseimbangannya. Namun meskipun terhuyung-huyung sesaat, Sabungsari masih mampu bertahan. Dengan cepat ia-pun telah tegak kembali untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, kedua kaki yang merapat seakan-akan telah membentur bukit karang. Betapa sakit terasa menggigit tulang dan lututnya. Bahkan Wacana telah terpental surut dan jatuh terbanting ditanah di-dataran yang berbatu padas diantara bukit-bukit kecil itu.
Wacana berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Namun kemudian dengan tangkasnya iapun lelah meloncat bangkit berdiri. Tetapi demikian ia tegak, maka perasaan sakit pada tulang-tulangnya seakan-akan telah mematahkan perlawanannya.
Wacana menggeram menahan kemarahan yang menyala didadanya. Dipandanginya Sabungasari yang masih berdiri tegak. Bahkan melihat keadaan Wacana, maka justru Sabungsari menjadi semakin tenang. Menurut perhitungannya, maka ia akan mampu bertahan untuk tidak dikalahkan oleh Wacana meskipun Sabungsari itu merasa bahwa tenaganya memang mulai menyusut. Tetapi iapun melihat bahwa keadaan Wacana agak lebih buruk daripada keadaannya.
Tetapi Sabungsari masih tetap berhati-hati. Ia masih belum membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Wacana. Menilik sikapnya yang keras maka ia tidak akan terlalu mudah untuk menyerah.
Dalam pada itu, maka Wacana merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Sabungsari dengan tataran kemampuannya. Tetapi ia yang sudah menyulut perang tanding itu, tidak akan menyerah. Wacana sudah siap menghadapi keadaan yang paling buruk sekalipun dalam perang tanding itu. Iapun merasa seandainya ia membuat lawannya terluka bahkan parah atau bahkan terbunuh, ia tidak dapat dipersalahkan.
Karena itu, maka apa yang dicemaskan Sabungsari itupun terjadi. Wacana agaknya tidak mau begitu cepat mengakui kesalahannya setelah ia berhasil memaksa Sabungsari untuk berperang tanding.
Karena itu, ketika ia merasa bahwa dengan tingkat kemampuan di tataran tertingginya tidak mampu mengatasi lawannya, maka Wacana telah merambah ke ilmu andalannya.
Sabungsari menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Wacana berdiri tegak sambil menakupkan kedua telapak tangannya didepan dadanya. Ia melihat tangan Wacana itu mulai berasap tipis.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga juga melihat asap tipis itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun dengan serta merta berusaha mencegahnya. Dengan serta merta Agung Sedayu berkata, "Wacana. Jangan."
Tetapi Wacana yang sudah dibakar oleh api yang menyala didadanya justru membentak, "Kau hanya berhak menyaksikan pertandingan ini. Kecuali jika Sabungsari menyerah."
Sekali lagi Sabungsari terasa tersinggung. Hampir saja ia kehilangan kendali dan menyerang Wacana dengan ilmu pamungkasnya. Untunglah ditempat itu ada Agung Sedayu yang mengingatkan apa yang pernah dilakukan Agung Sedayu pada waktu itu. Waktu yang telah lama berlalu. Yang telah membuka mata hatinya untuk meninggalkan dunianya yang hitam dan memasuki kehidupan wajar. Agung Sedayu pada waktu itu dengan mudah dapat mengatasi ilmunya yang mempunyai kesamaan ungkapan dengan ilmu Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak mau langsung melakukannya atas dirinya. Seandainya hal itu dilakukannya, maka umur Sabungsari tentu akan terpenggal sampai saat itu. Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya.
Hal itulah yang agaknya mampu mengendalikan gejolak perasaannya. Meskipun demikian ketika ia melihat Wacana yang bediri didepan dinding padas tebing bukit kecil yang membatasi arena perang tanding itu, maka Sabungsaripun dengan cepat telah mengerahkan nalar budinya. Dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuan ilmunya. Apalagi setelah segala macam hambatan didalam dirinya telah berhasil disingkirkannya.
Sementara itu, Wacanapun telah siap pula untuk melontarkan ilmu andalannya pula. Tangannya yang berasap tipis itu telah menjadi kemerah-merahan. Telapak tangannya seakan-akan telah menjadi bara.
Sabungsari menyadari jika tangan itu menyentuh tubuhnya, maka tubuhnya akan menjadi hangus karenanya, setidak-tidaknya seluas sentuhan telapak tangan yang telah membara itu.
Karena itu, maka Sabungsari tidak mau didahului oleh serangan Wacana yang sangat berbahaya itu. Sebagai seorang yang juga berilmu tinggi dengan taruhan harga diri dan namanya, Sabungsari juga tidak mau dianggap kalah dalam perang tanding itu.
Karena itu, maka Sabungsaripun telah siap untuk melepaskan ilmunya. Serangan yang dipancarkan lewat sorot matanya.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga benar-benar menjadi tegang. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, pada saat terakhir mereka melihat perbandingan ilmu kedua orang itu. Betapapun tinggi ilmu Wacana tetapi ia tidak akan dapat bertahan atas serangan Sabungsari dengan ilmu pamungkasnya setelah ia bebas dari segala hambatan didalam dirinya. Jika serangan kekuatan ilmu Sabungsari itu benar-benar diluncurkan itu lewat sorot kedua matanya dan mengenai Wacana, maka Wacana tentu akan dihancurkan tanpa ampun.
Api di Bukit Menoreh IX - 26
Sementara itu, agaknya Wacana tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Ia sama sekali tidak berniat untuk meloncat mengelakkan serangan Sabungsari atau mungkin Wacana memang tidak menyadari bahwa dari kedua mala Sabungsari itu akan meluncur serangan yang akan dapat menghancurkan isi dadanya.
Bahkan Wacana itu telah bersiap untuk meloncat menyerang Sabungsari dengan telapak tangannya yang telah membara.
Sebenarnyalah bahwa Sabungsari telah siap melepaskan serangannya. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga tahu pasti, bahwa saat yang paling menegangkan itu akan segera meledak oleh serangan Sabungsari yang meluncur lewat kedua matanya.
Namun yang terjadi adalah diluar dugaan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Ternyata ingatan Sabungsari atas kekalahannya dari Agung Sedayu tanpa menciderainya telah mendorong Sabungsari untuk melakukan hal yang sama. Justru pada saat terakhir, Sabungsari telah berkisar dari sasaranya. Matanya tidak tertuju pada Wacana lagi. Tetapi tertuju pada sebongkah batu karang yang melekat ditebing bukit di belakang Wacana agak kesamping.
Dengan segenap kekuatan, kemampuan serta ilmu yang jarang tandingannya itu, apa lagi setelah segala macam hambatan dalam dirinya telah terbuka, maka Sabungsari telah meluncurkan seranganya lewat sorot matanya menghantam batu karang yang melekat pada dinding tebing bukit kecil.
Seakan-akan sebuah ledakan telah terjadi. Batu karang itu pecah dan kepingannyapun rontok berhamburan.
Wacana yang sudah siap meloncat untuk menyerang Sabungsari dengan ilmunya yang dianggapnya akan dapat menyelesaikan perang tanding itu dengan memaksakan kemenangan, terkejut bukan buatan. Ia melihat seleret sinar meluncur dari sepasang mata Sabungsari. Kemudian disusul dengan ledakan dan tebing itu seakan-akan telah runtuh.
Sesaat Wacana telah temangu-mangu. Yang terjadi itu bagaikan sebuah mimpi yang dahsyat. Seandainya seleret sinar itu menyambar tubuhnya, maka tubuhnya itulah yang akan hancur seperti batu karang itu. Daya tahan tubuhnya tidak akan mampu melawan ilmu yang demikian menggetarkan jantungnya itu.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan yang mencekam dada mereka tiba-tiba bagaikan telah diurai dan menjadi cair, sehingga merekapun menjadi berlega hati. Sabungsari yang tesinggung oleh sikap Wacana itu ternyata masih mampu menahan diri.
Sementara itu, Sabungsari sendiri berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya tergantung disisi tubuhnya. Bagaimanapun juga ia masih bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Wacana berdiri termangu-mangu memandang Sabungsari, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga berganti-ganti. Terasa jantungnya berdegup semakin keras. Bahkan kakinya terasa bergetar. Ia benar-benar terkejut melihat serangan Sabungsari yang sengaja diarahkan pada sebongkah batu karang yang ada ditebing bukit kecil itu.
Namun tiba-tiba Wacana itu mengangguk dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Aku mengaku kalah. Ternyata kau benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi."
Sabungsari yang masih siap sepenuhnya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melangkah menuju mendekati mereka yang berperang tanding itu.
"Bukankah dengan demikian berarti bahwa perang tanding ini sudah berakhir?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya," jawab Wacana dengan suara lirih, "aku sudah menyatakan diriku kalah. Apapun yang aku lakukan kemudian, aku tidak akan dapat menang."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "aku menjadi saksi dari perang tanding ini. Aku dan Ki Jayaraga telah melihat hasilnya dan kami berdua akan selalu memberi kesaksian sebagaimana yang telah terjadi."
"Ya," jawab Wacana, "aku tidak akan ingkar. Aku mengakui kekalahan dan akan menepati perjanjian yang telah kita buat."
"Bagaimana menurut pendapatmu Sabungsari ?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika Wacana sudah menganggap bahwa perang tanding ini selesai, aku hanya dapat mengiakannya," jawab Sabungsari.
Bahkan Wacanapun kemudian berkata, "Aku menerima kekalahan ini dengan mengucapkan terima kasih. Ternyata selama ini aku benar-benar tidak tahu diri. Seandainya serangan Sabungsari itu diarahkan kepadaku, maka yang akan meninggalkan bukit ini hanyalah tinggal namaku saja."
Agung Sedayu menepuk bahu Wacana sambil berkata, "Ternyata kau cukup jantan untuk mengakui kekalahanmu."
Wacana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "bukan soal jantan. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini. Aku memang kalah."
"Pengakuan itulah yang aku maksudkan," berkata Agung Sedayu, "karena jarang sekali orang mengakui kekurangannya. Hanya mereka yang berjiwa besar sajalah yang dengan ikhlas mau mengakui kekurangannya. Termasuk kekalahan."
Wacana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia berdesis, "Aku juga berterima kasih kepadamu, bahwa kau memandangku dari segi yang baik. Karena orang lain justru akan mengatakan, bahwa aku adalah seorang pengecut. Seorang laki-laki jantan akan menyelesaikan perang tanding sampai akhir hayatnya."
"Yang terbaik adalah mereka yang memegang janji dalam perang tanding. Bukankah kalian tidak menyatakan bahwa perang tanding akan diakhiri dengan kematian " Bukankah kalian hanya ingin mengetahui siapakah diantara kalian yang menang dan yang kalah " Dan hal itu sudah kalian lakukan, sehingga segala sesuatunya telah terjadi," berkata Agung Sedayu pula.
Wacana mengangguk-angguk pula. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan melengkapi kekalahanku dengan minta maaf kepadamu, Sabungsari. Aku menyadari tergesa-gesaanku."
"Tidak ada yang salah diantara kita," berkata Sabungsari.
"Tentu ada," jawab Wacana, "dan untuk selanjutnya aku tidak akan mengganggu hubunganmu dengan Raras. Meskipun aku akan tetap menjaganya sebagai kakak sepupunya. Aku tahu bahwa nal ini akan dapat membuat hatiku pedih. Tetapi lambat laun kau akan dapat mengatasinya."
"Kau memang tidak harus memisahkan diri secara mutlak dengan Raras," berkata Agung Sedayu pula.
Wacana mengangguk lagi. Dengan wajah menunduk ia berkata, "Kesalahanku yang lain, bahwa semula aku tidak merenungkan dalam-dalam."
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu, "kita akan kembali. Glagah Putih tentu sudah menjadi gelisah. Siapapun yang menang dan yang kalah, perang tanding ini membuatnya gelisah. Semetara itu, peristiwa semalam perlu mendapat perhatian kita pula."
Ki Jayaraga yang sejak semula lebih banyak berdiam diri berkata, "Kita lupakan saja peristiwa yang telah menimbulkan perselisiahan. Sehingga harus diselesaikan dalam perang tanding ini. Kita harus memikirkan kehadiran orang asing dirumah kita."
"Ya," jawab Agung Sedayu, "Kita sudah cukup lama berada di-sini. Marilah, kita akan pulang. Seperti dikatakan Ki Jayaraga, kita akan melupakannya."
"Aku akan melupakannya keculai janji yang sudah kami buat bersama Sabungsari," berkata Wacana kemudian.
Tetapi Sabungsari segera menyahut, "Aku tidak peduli akan janji itu. Apakah yang kita lakukan di sini berpengaruh terhadap perasaan Raras terhadap kita dan juga Raden Teja Prabawa " Jika kita memaksakan hasil perang tanding ini kepadanya, bukankan sama saja bahwa hal itu merupakan pemerkosaan terhadap perasaan gadis itu. Apalagi jika hasilnya bertentangan dengan keinginannya. Jika Raras itu membenciku, apakah kemenanganku akan merubah perasaannya terhadapku " Karena itu segala sesuatunya biarlah Raras yang memutuskan. Jika ia memutuskan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, biarlah ia kembali. Jika ia kemudian ternyata mencintai Wacana, biarlah cintanya tidak terganggu oleh kehadiranku."
Wacana menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa semakin kecil di-hadapan Sabungsari. Dengan nada rendah dan hampir tidak terdengar Wacana berkata, "Sabungsari. Aku sendiri mendengar pengakuannya. Bahwa ia tertarik kepadamu."
"Aku setuju pendapatmu, bahwa Raras tertarik kepadaku karena perasaan berhutang budi dan barang kali sedikit mengagumi aku karena aku telah melindunginya didekat susukan Kali Opak. Tetapi perasaan kagum atau terima kasih itu tidak selalu menumbuhkan perasaan cinta yang sebenarnya. Karena itu, biarlah Raras menetukan, apa yang akan dilakukannya karena persoalannya adalah persoalan perasaannya. Kita adalah orang-orang yang bediri diluar dirinya, sehingga kita tidak akan dapat membuat ketentuan yang mendasar di hatinya, apapun yang kita lakukan dengan perjanjian atau sumpah demi langit dan bumi sekalipun."
Wacana merasa menjadi semakin kerdil. Pendirian dan sikapnya telah mencoreng arang diwajahnya sendiri, sehingga Wacana menjadi malu sekali terhadap dirinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Sehingga yang dapat dilakukannya kemudian adalah memperbaiki tingkah lakunya. Yang terjadi merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya.
Demikianlah, maka mereka berempatpun segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Tempat yang jarang sekali dikunjungi orang karena letaknya diantara bukit kecil yang dilingkungi oleh hutan yang memanjat lereng dekat dengan perbatasan.
Matahari yang merangkak dilangit telah bergulir disisi Barat. Tetapi sinarnya justru menyengat kulit. Ketika mereka bergeser dari tempat mereka, maka mereka telah menyusuri lereng pegunungan disisi Barat Tanah Perdikan Menoreh, menyusup diantara hutan-hutan pegunungan yang tidak terlalu lebat. Jalan yang mereka telusuri justru memanjat tebing untuk beberapa ratus pathok, sebelum mereka menuruni jalan setapak kepedukuhan kecil dikaki bukit itu.
Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka melihat asap yang mengepul dibalik puncak perbukitan yang berderet membujur ke Utara itu.
Agung Sedayu yang berjalan paling depan berdesis, "Apakah adi api dihutan dibalik puncak bukit itu ?"
"Ya," sahut Ki Jayaraga, "nampaknya memang demikian. Asap itu tentu berasal dari api."
"Siapakah yang membuat api dihutan " Dalam teriknya panas seperti ini akan dapat menyebabkan kebakaran hutan dilereng perbukitan itu," berkata Agung Sedayu pula.
"Apakah sebelah bukit itu masih termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Sabungsari.
"Ya," jawab Agung Sedayu, "masih ada beberapa puluh patok dibawah bukit itu termasuk Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi ketika aku dan Glagah Putih menjumpai kelompok orang yang menebangi hutan dibawah bukit disisi Barat, daerah itu sudah bukan daerah Tanah Perdikan lagi."
"Daerah Kademangan Kleringan maksudmu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Daerah Kademangan Kleringan," jawab Sabungsari.
"Dibeberapa bagian disebelah Barat Bukit memang sudah bukan daerah Tanah Perdikan lagi. Daerah Kademangan Kleringan memang ada yang menjorok sampai ke kaki bukit Tetapi tidak dibawah kaki bukit ini. Bahkan dikaki bukit sebelah Barat dari Gunung Waras itu sudah termasuk Kademangan yang lain lagi. Kademangan Waja," jawab Agung Sedayu.
"Jika disisi Barat Bukit ini masih termasuk Tanah Perdikan, bukankah ada baiknya jika kita melihat siapa yang telah membuat api di hutan lereng bukit itu " Atau jika terjadi kebakaran dedaunan kering karena panasnya matahari, selagi belum menjadi semakin besar," berkata Ki Jayaraga.
"Marilah," jawab Agung Sedayu.
Namun Sabungsari memperingatkan, "Beberapa saat yang lalu, ada sekelompok orang-orang yang nampaknya pendatang, menebangi pepohonan dikaki pebukitan. Waktu itu mereka sudah berjanji untuk menghubungi Ki Demang Kleringan. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka telah melanggar janji itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita memang harus berhati-hati. Mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki di kaki bukit itu."
Ki Jayaragalah yang kemudian berkata, "Orang-orang yang ingin mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan ketika mereka pergi ke-pasar bersamaku itu mengatakan, mereka akan membawa kedua perempuan itu ketempat yang tidak akan dapat diketahui oleh keluarga mereka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi pada dasarnya kita harus hati-hati. Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi mungkin juga beberapa orang pencari kayu yang tidak berhati-hati membuat perapian."
Demikianlah mereka berempat dengan hati-hati justru memanjat bukit semakin tinggi. Ketika mereka melewati puncaknya maka mereka menjadi semakin berhati-hati. Disela-sela pepohonan hutan puncak bukit itu, mereka bergeser kearah asap api yang mengepul.
Keempat orang itu terkejut. Mereka melihat sebuah perkemahan dilereng bukit itu. Gubug-gubug kecil berserakan diantara pepohonan. Berbeda yang telah dilihat oleh Sabungsari dan Glagah Putih, orang-orang yang agaknya tinggal di perkemahan itu tidak menebangi pepohonan yang ada disekitar perkemahan.
"Siapakah mereka ?" desis Agung Sedayu yang masih berada ditempat yang agak tinggi.
"Sekelompok orang yang jumlahnya cukup banyak," desis Ki Jayaraga.
"Tentu bukan orang-orang yang kehilangan tinggalnya karena tanah longsor dan banjir itu," berkata Agung Sedayu.
"Ya, agaknya memang bukan," jawab Sabungsari, "mereka tidak membuat perkemahan seperti itu. Mereka ingin membuka tempat penghunian dengan menebangi pepohonan bahkan dilereng bukit."
"Kita akan mendekat," berkata Sabungsari.
"Jangan sekarang," berkata Agung Sedayu, "melihat perkemahan yang mereka dirikan, jumlah mereka tentu cukup banyak."
"Kita hanya akan melihat saja. Kita tidak akan mengambil tindakan apa-apa," berkata Sabungsari kemudian.
Agung Sedayu memandang Ki Jayaraga sejenak. Kemudian ia-pun berdesis, "Bagaimana jika kita melihat perkemahan itu tanpa mendekat ?"
Ki Jayaraga mengangguk. Katanya, "Marilah. Setidaknya kita mempunyai sedikit gambaran tentang mereka."
"Bagaimana pendapatmu Wacana ?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Aku setuju. Kita melihat meskipun tidak terlalu dekat," jawab Wacana.
Demikianlah maka mereka berempatpun merayap dengan sangat berhati-hati menuruni tebing disisi Barat. Daerah itu tidak termasuk Kademangan Kleringan, karena masih ada dilingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi nampaknya Perkemahan itu membujur memanjang dikaki bukit, sehingga ujung perkemahan itu dapat saja memasuki daerah Kademangan Kleringan.
Tetapi keempat orang itu tidak mengamati perkemahan itu terlalu dekat. Meskipun demikian mereka sempat terkejut melihat beberapa orang yang berada disekitar perkemahan itu.
"Nampaknya mereka orang-orang yang pernah aku temui bersama Glagah Putih," berkata Sabungsari kemudian, "Tetapi kini jumlahnya jauh lebih banyak."
Ki Jayaraga bergeser selangkah maju. Sambil berjongkok dibelakang pohon ia melihat beberapa orang melintas sambil memikul seekor babi hutan yang agaknya hasil buruan mereka. Melihat pakaian mereka yang sangat sederhana, agaknya mereka termasuk orang-orang yang masih hidup dalam lingkungan yang agak terbelakang.
"Sangat menarik untuk diamati," berkata Ki Jayaraga, "Tetapi kita tidak boleh tertipu oleh penglihatan kewadagan. Mungkin yang nampak adalah sekedar topeng untuk menutupi wajah mereka yang sebenarnya. Atau seandainya cara hidup mereka masih tertinggal satu dua langkah dari cara hidup kita, mungkin mereka tidak bergerak menurut kehendak mereka sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita memang harus berhati-hati. Tetapi bukan berarti kita tidak berbuat sesuatu. Malam nanti kita akan mencoba untuk melihat lebih dekat. Untuk sementara kita menghubungkan kehadiran mereka dengan orang-orang yang pernah berusaha membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan. Juga dengan kehadiran Resi Belahan di Mataram."
Demikianlah, maka keempat orang itupun segera meninggalkan tempat itu. Mereka bergegas untuk mencapai padukuhan yang terdekat dan langsung menemui Ki Bekel di padukuhan itu.
Dengan singkat Agung Sedayu memberitahukan bahwa disebelah perbukitan itu terdapat sebuah perkemahan dari orang-orang yang tidak dikenal. Nampaknya belum terlalu lama. Karena itu, padukuhan itu hendaknya berhati-hati. Mungkin orang-orang yang ada di perkemahan itu akan melintasi puncak bukit dan turun ke padukuhan itu untuk mencari makan atau untuk hal-hal yang lain. Bahkan mungkin merampok.
"Jumlah mereka cukup banyak. Karena itu hubungi padukuhan-padukuhan terdekat, sehingga jika diperlukan kalian saling dapat membantu. Di padukuhan induk, kami juga akan menyiapkan pengawal Tanah Perdikan yang siap bergerak setiap saat."
"Terima kasih atas pemberitahuan ini," jawab Ki Bekel, "saat ini juga dibiarkan kami menghubungi padukuhan-padukuhan terdekat."
"Tetapi ingat," pesan Agung Sedayu, "jangan mendekat perkemahan itu. Jangan memancing persoalan dengan mereka sebelum kita yakin apa yang sebenarnya kita hadapi."
Ki Bekelpun mengangguk mengiakan. Katanya, "Kami akan berbuat sebaik-baiknya bagi keselamatan kita semua."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan ketiga orang yang lain dengan cepat melintasi bulak dan padukuhan. Mereka ingin segera sampai di padukuhan induk dan memberikan laporan kepada Ki Gede tentang orang-orang disebelah bukit itu. Namun merekapun ingin segera bertemu dengan Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang tentu menjadi sangat gelisah menunggu kedatangan mereka yang sedang berperang tanding serta saksi-saksinya.
Sebenarnyalah ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, maka mereka melihat Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk di pendapa. Agaknya mereka menjadi tegang menunggu mereka yang berperang tanding itu pulang.
Demikian mereka melihat keempat orang itu masih utuh memasuki regol, maka dengan serta merta mereka segera bangkit dan turun kehalaman.
Glagah Putih yang berjalan paling depan menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu tersenyum. Kesan yang nampak pada senyum Agung Sedayu sudah sedikit mengurangi ketegangan perasaan Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Apa lagi ketika ia melihat Ki Jayaraga, bahkan Sabungsari juga tersenum, sementara Wacana ternyata hanya dapat menunduk dalam-dalam.
"Apa yang terjadi ?" bertanya Glagah Putih.
"Marilah, duduklah. Kalian tidak perlu menjadi gelisah," berkata Agung Sedayu.
Sejenak kemudian maka merekapun telah duduk bersama-sama di pendapa. Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang sudah terjadi di antara yang diapit oleh dua buah bukit kecil.
"Jadi kalian pergi ke Bukit Talang ?" bertanya Glagah Putih.
"Ya," jawab Agung Sedayu.
"Sokurlah, bahwa semuanya sudah dapat dilalui dengan baik," desis Sekar Mirah, "jantung kami bagaikan hampir maledak menunggu kalian pulang."
"Aku mohon maaf mbokayu," berkata Wacana sambil menunduk, "aku memang tidak tahu diri. Aku kira aku adalah orang yang memiliki ilmu terbaik dimuka bumi. Setidak-tidaknya di Mataram. Tetapi ternyata jiwakulah yang sangat kecil. Untunglah bahwa Sabungsari adalah orang yang bijaksana dan sabar. Hatinya agak luas tidak bertepi."
"Sudahlah," sahut Sabungsari, "jangan memuji lagi."
"Aku tidak bermaksud memuji. Tetapi apa yang harus aku katakan tentang kenyataan yang aku hadapi sekarang ini ?" sahut Wacana.
Glagah Putih kemudian berdesis, "Agaknya persoalan diantara Wacana dan kakang Sabungsari telah dapat diselesaikan. Namun ternyata bahwa kita menghadapi persoalan bara yang cukup rumit."
"Persoalan apa ?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih tcrmangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sekar Mirah dan Rara Wulan. Dengan Ragu-ragu ia berkata, "Biarlah mbokayu Sekar Mirah sajalah yang menyampaikannya."
"Sudahlah," sahut Sekar Mirah, "katakanlah."
"Kakang," berkata Glagah Putih, "tadi ada utusan Ki Gede kemari. Jika kakang tidak pergi kebarak, kakang dipanggil oleh Ki Gede."
"O," wajah Agung Sedayu berkerut, "apa katamu ?"
"Aku katakan bahwa kakang memang tidak pergi kebarak. Tetapi kakang sedang pergi untuk menyelesaikan satu masalah," jawab Glagah Putih, "Tetapi aku tidak mengatakan masalah apa yang sedang kakang selesaikan itu."
"Apakah persoalan yang ingin disampaikan Ki Gede itu sangat penting ?"
"Nampaknya memang demikian," jawab Glagah Putih, "menurut utusan Ki Gede, dirumah Ki Gede ada utusan dari Kademangan Kleringan."
"Kademangan Kleringan ?" Ulang Agung Sedayu.
"Ya," jawab Glagah Putih, "agaknya utusan itu menunggu sampai kakang datang."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "Jika demikian biarlah aku pergi kerumah Ki Gede bersama Glagah Putih."
"Sebenarnyalah sejak tadi aku juga ingin pergi ke sana. Mbokayu Sekar Mirahpun telah menyetujui agar aku pergi. Tetapi aku selalu saja ragu-ragu, justru karana kedatangan orang yang tidak kita kenal semalam."
"Baiklah. Marilah kita pergi," berkata Agung Sedayu.
Tetapi Sekar Mirah menahan mereka sejenak. "Makan telah lama disiapkan." Karena itu, maka mereka diminta untuk makan lebih dahulu.
Demikian mereka selesai makan, maka Agung Sedayupun telah minta diri bersama Glagah Putih pergi kerumah Ki Gede. Kepada Ki Jayaraga ia menitipkan seisi rumahnya. Bukan saja karena ada ancaman dari luar, tetapi nampaknya Agung Sedayu masih mencemaskan hubungan antara Sabungsari dan Wacana meskipun ia percaya bahwa sikap Wacana adalah jujur, sementara Sabungsari sama sekali tidak ingin bermusuhan.
Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih di rumah Ki Gede ternyata memang ditunggu-tunggu. Utusan dari Kademangan Kleringan masih berada dirumah Ki Gede.
Setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk diantara mereka yang sudah lebih dahulu berada di pendapa, maka Ki Gedepun berkata langsung pada persoalannya, "Utusan dari Kademangan Kleringan ini akan memberitahukan kepada kita tentang kehadiran orang yang tidak dikenal di lingkungannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Apa yang akan disampaikan oleh utusan itu sudah diketahuinya. Namun demikian Agung Sedayu tidak memotongnya.
Setelah Ki Gede mempersilahkan, maka orang itupun segera menceriterakan kembali kedatangan beberapa kelompok orang yang telah membuat perkemahan di daerah Kademangan Kleringan, sebagaimana sudah dilaporkan kepada Ki Gede. Namun kemudian utusan Ki Demang itu berkata, "Tetapi perkemahan mereka ternyata telah menebar sampai kewilayah Tanah Perdikan Menoreh. Mereka telah berkemah disisi Barat perbukitan."
"Nah," berkata Ki Gede setelah utusan selesai berbicara, "sudah tentu bahwa kita tidak dapat tinggal diam."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ki Gede. Sebenarnyalah bahwa aku telah melihat mereka. Aku baru saja menyusuri perbukitan dari Selatan ke Utara. Orang-orang yang ada di perkemahan itu ujudnya mirip dengan orang-orang yang pernah datang lebih dahulu beberapa waktu yang lalu."
"Ya," jawab utusan itu, "penglihatanmu tepat. Orang-orang yang datang lebih dahulu itu telah menghadap Ki Demang. Jumlah mereka tidak telalu banyak, sehingga Ki Demang memang menempatkan mereka di hutan perdu. Setelah dibuat parit melintasi daerah itu dengan membendung sungai kecil yang membujur di pinggir padang perdu itu, ternyata tanahnya cukup baik untuk ditanami."
"Apakah yang sekarang datang juga sudah menghubungi Ki Demang ?" bertanya Agung Sedayu.
"Belum," jawab utusan itu, "tetapi seandainya mereka menghubungi Ki Demangpun, Ki Demang tentu tidak akan dapat memberikan tempat kepada mereka."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, "Tetapi orang-orang yang datang sekarang, tidak menebangi hutan dilereng bukit itu. Mereka hanya membuat gubug-gubug bambu beratap ilalang kering."
"Ya, tepat," berkata utusan itu.
"Kita belum tahu apa maksud mereka berkemah ditempat itu," berkata Agung Sedayu kemudian, "tetapi kita akan menyelidiki."
"Terima kasih," berkata utusan Ki Demang, "Kami, Kademangan Kleringan yang tidak mempunyai kekuatan seperti yang ada di Tanah Perdikan ini akan menunggu, tindakan apa yang akan diambil oleh Tanah Perdikan ini."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "tetapi aku mohon agar Ki Demang di Kleringan berhati-hati menghadapi orang-orang itu. Nampaknya mereka tidak akan mematuhi semua paugeran. Mereka terbiasa hidup bebas menurut keinginan mereka sendiri."
Utusan Ki Demang memang mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah ngger. Aku akan menyampaikan pesan angger dan pesan Ki Gede yang tadi sudah diberikan kepada Ki Demang Kleringan."
"Jika terjadi sesuatu, segera hubungi kami Ki Sanak," pesan Ki Gede Menoreh kemudian.
"Jangan berkecil hati," berkata Agung Sedayu, "selain kesediaan Ki Gede Menoreh untuk bekerja sama, maka aku janjikan, Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini akan membantu jika memang terjadi sesuatu."
Demikianlah maka utusan itupun segera minta diri untuk menyampaikan pesan Ki Gede dan Agung Sedayu kepada Ki Demang di Kleringan.
Sepeninggal utusan Ki Demang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih masih tinggal beberapa lama di rumah Ki Gede. Mereka masih membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa yang hadir pula dalam pembicaraan itu telah mendapat perintah dari Ki Gede untuk mempersiapkan para pengawal menghadapi segala kemungkinan.
"Malam ini kami akan melihat lingkungan mereka," kata Agung Sedayu, "besok kami akan menyampaikan hasil pengamatan kami kepada Ki Gede. Aku juga akan menyiapkan Pasukan Khusus itu agar jika diperlukan setiap saat, kami dapat dengan cepat bergerak."
"Terima kasih ngger. Mudah-mudahan Tanah Perdikan ini tidak diguncang lagi dengan benturan kekerasan yang hanya akan mengganggu kehidupan yang tenang di Tanah Perdikan ini," berkata Ki Gede Kemudian.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun didalam hatinya telah tejadi pergolakan yang membuat degup jantungnya bergetar semakin cepat. Agung Sedayu seakan-akan merasa bersalah, bahwa ia telah menarik persoalan Resi Belahan ke Tanah Perdikan itu. Sehingga dengan demikian akan dapat timbul benturan kekerasan yang akan menelan korban jiwa orang-orang yang tidak bersalah sama sekali. Agung Sedayu tidak mengira bahwa Resi Belahan telah membawa kekuatan yang cukup besar untuk mengguncang ketenangan hidup di Tanah Perdikan. Dan itu dapat berarti isyarat buruk bagi penghuni Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menarik kembali apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan itu. Orang-orang yang diduga para pengikut Resi Belahan itu telah berada di Tanah Perdikan Menoreh, dan di Kademangan Kleringan. Nampaknya mereka ingin membuat perhitungan sampai tuntas. Tetapi agaknya yang akan dilakukan itu juga dimaksudkan sebagai peringatan bagi Mataram.
Setelah berbincang beberapa lama, maka Agung Sedayupun kemudian telah minta diri. Kepada Ki Gede ia berjanji untuk segera memberikan laporan tentang orang-orang yang berada dikaki sebelah Barat perbukitan itu.
Tetapi didalam hati Agung Sedayu berjanji bahwa persoalan yang akan berkembang itu tidak akan menjadi malapetaka bagi Tanah Perdikan yang sudah terlalu sering dibakar oleh apinya peperangan. Kerusakan yang timbul di Padukuhan Induk oleh kelicikan Ki Manuhara rasanya baru saja kemarin di perbaiki. Namun agaknya mendung yang kelam telah membayang lagi diatas Tanah Perdiakan itu.
Ketika keduanya berada dirumah, maka merekapun mulai membicarakan rencana mereka untuk mengintai perkemahan itu. Agung Sedayupun kemudian memutuskan untuk pergi bersama Galagah Putih dan Sabungsari. Agung Sedayu minta Ki Jayaraga dan Wacana untuk berada dirumah dan melindungi seisi rumah itu jika terjadi sesuatu.
"Baiklah," berkata Ki Jayaraga, "aku akan menunggui rumah. Sebenarnya aku akan melihat air disawah, malam nanti kita mendapat giliran air."
"Biarlah kita minta tolong anak sebelah. Bukankan anak muda itu sudah sering juga membantu kita memelihara sawah kita ?" sahut Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ia mengerti kenapa kita tidak dapat pergi kesawah setiap kali."
Dengan demikian maka Glagah Putih dan Sabungsaripun telah bersiap-siap. Malam nanti mereka akan ikut bersama Agung Sedayu melihat perkemahan orang-orang yang belum dikenal itu diseberang perbukitan.
Ketika saja turun, maka Agung Sedayupun berkata kepada Glagah Putih dan Sabungsari, "Setelah makan beristirahatlah sebaik-baiknya. Mungkin kita akan berada dibukit sampai fajar."
"Kapan kita akan berangkat ?" bertanya Glagah Putih.
"Wayah sepi wong," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia dan Sabungsari memang mendapat kesempatan untuk beristirahat setelah makan dan berbaring di pembaringan sejenak. Tetapi karena mereka tidak terbiasa tidur di ujung malam, maka mereka justru lebih senang duduk di serambi sambil berbincang-bincang. Bahkan kemudian Rara Wulan talah menghidangkan minuman panas bagi mereka.
Muslihat Cinta Iblis 2 Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Simbol Yang Hilang 9

Cari Blog Ini