Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 15

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


- O - Ki Wijil mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya - Tugas kemana " Cantrik itu menggeleng sambil menjawab - Tidak seorangpun tahu. Disore hari kami, para cantrik masih melihat kakang Putut Majuga. Tetapi ketika kami terbangun menjelang fajar, kakang Majuga sudah tidak ada dipadepokan. Bahkan para cantrik yang bertugas berjaga-jaga dimalam haripun tidak melihat kakang Putut Majuga meninggalkan padepokan. Ki Wijil mehgahgguk-angguk. Namun katanya kemudian Baiklah. Adalah kebetulan bahwa aku singgah. Barangkali aku dapat menengok keadaan Ki Ajar Trikaya. - Aku tidak tahu, apakah Ki Ajar dapat menerima tamu.- Bukankah sakitnya tidak parah " - Kami tidak tahu, apakah sebenarnya sakit Ki Ajar itu parah atau tidak.Ki Wijil mengerutkan dahinya Namun seorang cantrik yang lain telah mendatanginya. Seorang cantrik yang lebih tua dari cantrik yang terdahulu.
- Ki Wijil " - desis cantrik itu.
- Nah, kau dapat mengenali aku. - Tentu Ki Wijil - jawab cantrik itu - sudah agak lama Ki Wijil tidak singgah di padukuhan ini. - Ya. Sudah agak lama. - jawab Ki Wijil
- Sudah terjadi beberapa perubahan disini, Ki Wijil. - Maksudmu " - - Ki Ajar sedang sakit - - Siapa yang sekarang memegang pimpinan " Menurut cantrik ini, Pulut Majuga juga tidak ada di padepokan. - Ya. Kakang Putut Majuga sedang pergi. - Jadi, siapakah yang memerintah " - Saudara seperguruan Ki Ajar Trikaya dan empat orang pembantunya dibantu oleh dua orang murid utama Ki Ajar yang belum lama dipanggil ke padepokan ini. Seorang diantaranya cacat. Ki Wijil mengangguk-angguk. Dahinya nampak berkerut. Namun kemudian dengan nada datar ia berkata - Terakhir aku datang ke Padepokan ini, murid ini, murid utama Ki Ajar Trikaya yang cacat itu sudah berada disini. Cantrik itu mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berceritera lebih banyak. Meskipun agaknya masih ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi cantrik itu terpaksa mengurungkannya.
Dari pendapa bangunan utama padepokan itu, seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan berteriak - He, apa yang kalian lakukan disitu " Cantrik yang tua itupun kemudian melangkah mendekat ke pendapa. Di bawa tangga pendapa ia bekata - Ada tiga orang tamu, paman. - Kenapa kau yang menemuinya " Apakah itu kewajibanmu "
- Mereka baru saja datang. Kami menanyakan keperluannya. - Jawab cantrik itu. Lalu katanya. - Apalagi seorang diantara mereka adalah Ki Wijil. Seseorang yang sudah seringkah datang ke padepokan ini. - Seringkah " - orang yang bertubuh tingi itu mengulang -jika ia sudah sering kali kemari, kenapa aku belum pernah melihatnya sebelumnya " - Memang sudah agak lama Ki Wijil tidak datang kemari. - Cukup - bentak orang itu - kau terlalu banyak bicara. Kau kira kau berhak berbicara panjang lebar di hadapanku " Cantrik itu memang terdiam. Sementara orang itupun berkata lantang - Kemarilah, Ki Sanak. Siapa yang kau cari " Ki Wijil memang melihat perubahan yang terjadi di padepokan itu. Agaknya selama ia tidak berkunjung, beberapa orang baru telah berdatangan. Bukan saja anak-anak muda yang menyatakan diri menjadi cantrik di padepokan itu, tetapi juga orang-orang yang kemudian justru mengendalikan padepokan ini. - Marilah kita mendekat - berkata Ki Wijil kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Agung Sedayupun mengangguk.
Bertiga mereka melangkah mendekati orang yang masih saja berdiri di pendapa itu. Dengan angkuhnya orang itupun kemudian bertanya - Kau cari siapa, he " Ki Wijil memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian dengan nada rendah ia menjawab - Aku ingin bertemu dengan Ki Ajar Trikaya. Aku orang Jatisrana yang sudah sering datang kemari. Tetapi pada saat terakhir aku memang sudah agak lama tidak naik, sehingga aku tidak tahu bahwa Ki Ajar sedang sakit. - Nah, aku sudah tahu, bahwa Ki Ajar sedang sakit. Lain kali sajalah jika Ki Ajar Trikaya sudah sembuh. - Aku ingin menengoknya justru saat ia sedang sakit, Orang itu bergeser selangkah maju sambil berkata - Tidak, kau dengar. Pergilah. Besok jika Ki Ajar Trikaya sudah sembuh, datanglah kembali. -Aku hanya ingin menengoknya. Jika sakitnya parah, aku tidak akan mengganggunya. Aku tidak akan berbicara apa-apa. Aku hanya ingin melihat keadaannya. Sudah aku sudah katakan, bahwa kau tidak boleh menemuinya. Tetapi Ki Wijil tidak beringsut pergi. Katanya - Aku mohon, Ki Sanak. Orang itu menjadi marah. Sementara itu, seorang yang lain telah keluar dari ruang tamu dan melangkah mendekati orang yang bertubuh tinggi itu.
- Ada apa " - orang itu bertanya.
- Orang ini memaksa untuk menemui Ki Ajar Trikaya. Sudah aku katakan, bahwa Ki Ajar Trikaya sedang sakit. Ia tidak dapat menemui siapapun untuk sementara. Tetapi orang ini agaknya ingin memaksa..Orang yang baru keluar dari ruang dalam itu melangkah maju. Sejenak ia berdiri termangu-mangu memandangi Ki Wijil, Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Berbeda dengan orang yang lebih dahulu berdiri di pendapa, orang ini bertubuh sedang. Bahkan sedikit gemuk. Perutnya yang besar dilingkari dengan ikat pinggang yang benimang emas.
- Pergilah Ki Sanak. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kata kami, maka kami akan mendorong kalian keluar. Jika kalian tetap bersikeras, maka kami akan memaksa kalian dengan cara yang keras pula. Ki Wijil termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata - Apakah keberatan Ki Sanak jika aku menemui Ki Ajar Trikaya yang sedang sakit itu " "Apakah kalian mengira bahwa kedatanganku akan dapat membuatnya semakin parah " Tidak, Ki Sanak. Ia akan bergembira jika aku datang menengoknya. Sakitnya tentu akan terasa lebih ringan. Nah, katakan kepada Ki Ajar Trikaya bahwa akulah yang datang. Tentu ia akan menerimanya - Kau sudah terlalu banyak bicara, Ki Sanak. Pergilah selagi kau mempunyai kesempatan. - Tolong, katakan kepada Ki Ajar Trikaya. Jika Ki Ajar Trikaya yang menolak aku datang, apa boleh buat. Kedua orang yang berdiri di pendapa itu menjadj marah. Orang yang bertubuh tinggi itu membentak - Cukup. Jangan banyak bicara lagi. Pergilah. Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba terdengar sedikit keributan di ruang dalam. Tiba-tiba saja pintu terbuka. Ki Ajar Trikaya telah melangkah sambil mengibaskan tangan orang yang mencoba menahannya.
Demikian Ki Ajar Trikaya berdiri dipintu, maka iapun berkata lantang - Ki wijil. Kaukah itu " - Ki Ajar - sahut Ki Wijil sambil melangkah naik ke pendapa. Kedua orang yang sudah berdiri di pendapa itu mencoba menghalangi. Namun kemudian Ki Ajar Trikaya itupun berkata -Biarlah Ki Wijil itu naik. Aku senang sekali karena ia datang menengokku saat aku sakit Ki Wijil tidak menghiraukan lagi kedua orang yang mencoba menghalanginya itu. Kepada Agung Sedayu iapun berkata - Marilah ngger. Kita temui Ki Ajar Trikaya. Mudah-mudahan sakitnya tidak terlalu parah. Sejenak kemudian, Ki Wijil telah duduk dihadapan Ki Ajar Trikaya. Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun telah duduk pula disebelahnya. Sementara itu, kedua orang yang mencoba menahan Ki Wijil telah duduk pula bersama mereka. Sedangkan dibelakang Ki Ajar duduk seorang yang disebut muridnya itu.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah memandang orang itu hampir tidak berkedip. Sementara itu, Ki Ajarpun telah memperkenalkannya - ini salah seorang murid utamaku. Putut Jaka Dwara. Tetapi sayang anak yang tampan dan lembut ini mengalami cacat Ia bisu meskipun tidak tuli. Tetapi ada sesuatu di tenggorokannya, sehingga ia tidak dapat berbicara.
- Ki Wijil mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya - Ia mengerti makna dari kata-kata " - Ya - Ki Ajar mengangguk-angguk.
Sementara itu Putut Jaka Dwara itu selalu menundukkan wajahnya yang nampak bersih. Meskipun ia bukan kanak-kanak lagi, bahkan sudah lewat dewasa, namun wajahnya memang nampak kekanak-kanakan.
- Apakah ia sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara "- tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
- Tidak - Ki Ajar Trikaya menggeleng. Namun kemudian iapun bertaya - Tetapi agaknya kau belum pernah mengenal kedua orang ini, Ki Wijil. Siapakah mereka itu " - Keduanya adalah suami istri, Ki Ajar. Laki-laki ini adalah kemenakanku. - O - Ki Ajar itupun mengangguk-angguk - dimana mereka tinggal " - Mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Disebelah Barat Kali Praga. - Disebelah Barat Mataram, maksudmu " - Ya, Ki Ajar. - - Demikian jauhnya. - - Sudah agak lama kami tidak mengunjungi paman Wijil -sela Agung Sedayu.
- Aku mengucapkan selamat datang di padepokan kecil yang tidak berarti ini angger berdua. - Terima kasih, Ki Ajar. Kami merasa senang sekali mendapat kesempatan untuk mengunjungi Ki Ajar serta adi Putut Dwara. Kesempatan yang sebelumnya tidak pernah aku duga bahwa pada suatu saat aku akan dapat berada di sebuah padepokan yang sejuk serta damai ini. Ki Ajar tersenyum, sementara kedua orang yang mencoba menghalagi kehadiaran Ki Wijil itu nampak gelisah. Bukan saja kedua orang itu. Tetapi murid utama Ki Ajar Trikaya yang cacat itupun nampak sangat gelisah pula.
Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang menghalangi Ki Wijil itupun berkata - Ki Ajar. Aku minta Ki Ajar kembali ke dalam bilik Ki Ajar. Nanti keadaan Ki Ajar memburuk lagi. Hari ini Ki Ajar merasa sedikit ringan. Tetapi jika Ki Ajar terlalu lama berada di luar, sakit Ki Ajar akan menjadi semakin parah. Ki Ajar itupun tertawa. Katanya - Aku sudah tua. Seandainya penyakitku tidak terobati, aku tidak menyesal. - Jangan begitu, Ki Ajar. Ki Ajar adalah sandaran bagi seisi padepokan ini. Ki Ajar tertawa. Suara tertawanya terasa menggelitik perasaan Ki Wijil.
- Jangan memperlakukan aku seperti kanak-kanak. Putut Jaka Dwara yang cacat itu tidak dapat mengucapkan kata-kata, tetapi tangannya mulai menarik-narik lengan Ki Ajar dan memberi isyarat Ki Ajar segera masuk kembali.
Tetapi Ki Ajar itupun berkata - Sebentar lagi, Jaka Dwara. Bukankah kau juga senang dapat berbicara dengan orang lain " Selama ini kita hanya selalu berhubungan dengan orang-orang seisi padepokan ini saja. Putut Jaka Dwara menggeleng. Namun demikian, Ki Ajar itupun berkata - Sabarlah sedikit. Aku merasa sehat hari ini. - Justru karena itu, Ki Ajar jangan terlalu lama berada diluar. - berkata orang yang bertubuh gemuk.
- Sudahlah. Jika kalian ingin meninggalkan aku disini, tinggalkan aku. Masuklah kalian agar kalian tidak menjadi sakit Wajah kedua orang yang semula berniat menahan Ki Wijil itu menjadi tegang. Sementara Putut Jaka Dwara itu kembali menarik lengan Ki Ajar.
Tiba-tiba saja wajah Ki Ajar menegang. Hanya sesaat. Namun kemudian Ki Ajarpun telah mengusap keringat yang mengembun di kening. Demikian pula wajah Putut Jaka Dwara itu juga menjadi berkeringat pula.
Namun dalam pada itu sambil tersenyum Ki Ajar itupun bertanya - Bukankah tidak ada sesuatu yang penting Ki Wijil "
Ki Wijil segera menjawab. Tetapi wajahnya nampak menegang sejenak. Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Meskipun yang terjadi hanya sekejap, tetapi ketiganya mengetahui bahwa telah terjadi sentuhan kekuatan ilmu antara Ki Ajar Trikaya dengan orang yang disebutnya murid utamanya yang cacat yang disebutnya Putut Jaka Dwara itu.
Agaknya Putut Jaka Dwara berusaha memaksa Ki Ajar Trikaya dengan kekuatan tenaga dalamnya, agar Ki Ajar meninggalkan pendapa. Tetapi Ki Ajar telah melawannya dengan tenaga dalam pula, sehingga Putut Jaka Dwara tidak berhasil memaksakan kehendaknya.
Namun dalam pada itu, Ki Wijilpun segera menyadari, bahwa ia harus menjawab pertanyaan Ki Ajar Trikaya yang ingin menyamarkan sentuhan kekutan ilmu yang baru saja terjadi itu.
Karena itu, maka sambil tertawa Ki Wijilpun menjawab -Tidak Ki Ajar. Tidak ada yang penting. Kebetulan saja aku dan kemenakanku ini lewat tidak jauh. dari padepokan ini, sehingga aku telah mengajaknya untuk singgah. - Sokurlah - Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya kemudian - Aku merasa senang sekali bahwa Ki Wijil telah datang menengok keadaanku. Mudah-mudahan aku segera menjadi baik. - Mudah-mudahan Ki Ajar. Mudah-mudahan Ki Ajar segera sembuh. Jika Ki Ajar sembuh kelak, maka kami akan mencoba mohon bantuan Ki Ajar. - Bantuan apa, Ki Wijil. Jika saja aku dapat melakukannya. - Bukan sesuatu yang penting, Ki Ajar. Sebaiknya Ki Ajar memikirkan kesehatan Ki Ajar lebih dahulu. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata - Sebenarnya kami sedang mencari seseorang, Ki Ajar. Barangkali Ki Ajar dapat memberikan beberapa petunjuk. - O - Ki Ajar mengangguk-angguk - petunjuk apa ngger " -Agung Sedayu memandang Ki Wijil sejenak, seakan-akan minta petimbangan.,
- Jika kau menganggap perlu untuk mengatakannya sekarang, katakanlah. Jika yang kau inginkan hanya sekedar petunjuk, maka agaknya Ki Ajar tidak akan berkeberatan. - Ya, paman. Tetapi jika Ki Ajar tidak merasa terganggu. Apalagi dalam keadaan sakit seperti sekarang ini. - Tidak. Aku tidak akan terasa terganggu. Namun tiba-tiba Putut Jaka Dwara itu menariknya lagi. Sekali lagi terjadi ketegangan sejenak. Tetapi Putut Jaka Dwara itu tidak mampu memaksa Ki Ajar untuk beringsut dari tempatnya.
- Ki Ajar - berkata Agung Sedayu kemudian - sebenarnyalah aku sedang mencari seseorang. - Siapa yang kau cari ngger " Sebelum Agung Sedayu menjawab, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu telah memotong - Siapa pun yang dicarinya, bukankah Ki Ajar Trikaya tidak berkepentingan " - Jika kita mampu, menolong orang lain adalah kepentingan setiap orang - jawab Ki Ajar. Bahkan katanya kemudian - Jika kau belum pernah mendengar aku mengajarkan kepada cantrik-cantrikku, maka dengarlah sekarang, bahwa menjadi kewajiban menolong orang lain jika kita mampu. Sudah tentu menolong dalam arti yang baik untuk kepentingan yang baik pula.
- Apakah Ki Ajar tahu, bahwa pertolongan yang diinginkan orang ini untuk satu kepentingan yang baik " - Bagaimana aku dapat menilai baik atau buruk, jika ia belum mengatakannya " Orang bertubuh tinggi itu terdiam. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Demikian pula orang yang bertubuh agak gemuk itu.
Apalagi orang yang disebut murid utama Ki Ajar yang cacat itu. Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian berkata - Ki Ajar. Apakah Ki Ajar mengenal seseorang yang bernama Empu Wisanata
- Empu Wisanata " - dahi Ki Ajar berkerut.
- Ia mengaku tinggal diujung Kali Geduwang. Padahal menurut Ki Wijil, tidak ada lagi tempat pemukiman yang lebih tinggi dari padepokan ini. Ki Ajar Trikaya itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis. - Aku belum pernah mendengar nama itu, ngger. Aku berkata sebenarnya. Mungkin seorang telah mengaku bernama Empu Wisanata yang menyebut tempat ini sebagai tempat tinggalnya.
- Aku memang sudah mengira, Ki Ajar - jawab Agung Sedayu - tetapi sebenarnya bukan orang itulah yang aku cari. Tetapi aku sedang mencari orang lain. Namanya Ki Saba Lintang. Seandainya aku bertemu dengan Empu Wisanata, aku juga hanya ingin bertanya, dimana kami dapat menemui Ki Saba Lintang. - Nama itupun belum pernah aku dengar ngger - jawab Ki Ajar Trikaya dengan sungguh-sungguh. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata - Untuk apa angger mencari orang yang bernama Ki Saba Lintang itu " - Aku sangat kecewa pada sikapnya. - O - Ki Ajar Trikaya mengangguk-angguk.
- Dua hari yang lalu, Ki Saba Lintang datang menemui isteriku. Ada semacam pembicaraan tentang sebuah rencana yang penting. Tetapi kedatangannya dua hari yang lalu ternyata sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rencananya itu. - Jadi untuk apa ia datang menemui angger " - Ternyata Ki Saba Lintang berbicara tentang seorang gadis. - Seorang gadis " - Agung Sedayu mengangguk kecil. Dengan nada berat ia berkata - Ki Ajar. Aku mempunyai adik sepupu. Seorang gadis yang cantik. Beberapa kali Ki Saba Lintang datang menemui isteriku untuk membicarakan persoalan yang penting, ia melihat gadis sepupuku itu. Sekali menghidangkan minuman, lain kali secara kebetulan sepupuku itu sedang duduk-duduk di serambi gandok. Nampaknya dua orang diantara mereka yang sering menemui isteriku itu, termasuk seorang diantaranya adalah Ki Saba Lintang, tertarik kepada gadis sepupuku itu. - O - Ki Ajar Trikaya mengangguk-angguk.
- Dua hari yang lalu, Ki Saba Lintang datang ke'rumah menemui isteriku. Tetapi persoalan yang dibicarakan bukan persoalan yang menyangkut kepentingan yang besar itu. Yang dibicarakan oleh Ki Saba Lintang adalah tentang gadis sepupuku itu. -0- - Ki Saba Lintang datang kerumah dengan orang yang menyebut dirinya bernama Sawung Semedi. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak sedang memperhatikan Putut Jaka Dwara, namun mereka melihat sekilas, bahwa Putut itu beringsut setapak mendekati Ki Ajar Trikaya. Keringatnya semakin banyak membasahi keningnya. Dengan lengan bajunya sekali-sekali ia mengusap keringat dikeningnya itu.
- Lalu, apa yang terjadi " - bertanya Ki Ajar.
- Ki Saba Lintang ingin memiliki sepupuku. Ia akan menukar dengan kepentingan yang besar dari persoalan-persoalan yang telah dibicarakan dengan isteriku sebelumnya. - Jadi " - - Tentu saja gadis sepupuku itu menolak. Ki Saba Lintang sudah terlalu tua baginya. Namun yang tidak terduga-duga itu terjadi "- Maksud angger " - - Rara Wulan itu hilang. Dua orang menyaksikan bagaikan orang itu menculik Rara Wulan' yang sedang mencuci pakaian di pinggir sungai. - Jadi, diambilnya gadis itu " - Ya. - - Bohong - teriak orang yang bertubuh tinggi.
- Apa yang bohong " - justru Ki Ajarlah yang bertanya.
- Ceritera itu ceritera bohong. - Kenapa kau dapat menganggap bahwa ceritera itu bohong " - desis Ki Ajar Trikaya.
Ternyata Sekar Mirah tanggap pada ceritera Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun menambahinya - Aku juga seorang perempuan Ki Ajar. Aku dapat merasakan, betapa tajamnya pandangan mata Ki Saba Lintang terhadap Rara Wulan. Rasa-rasanya ingin langsung menembus sampai kepusat jantungnya. - Jadi, Ki Saba Lintang mengambil sepupu angger Agung Sedayu dengan paksa " - Ya, Ki Ajar. Padahal menurut pengamatanku, usia Ki Saba Lintang jauh lebih tua dari Rara Wulan. Sudah tentu bahwa Rara Wulan merasa berkeberatan. - sahut Agung Sedayu.
Bahkan Sekar Mirahpun berkata - Tetapi agaknya memang demikian sifat Ki Saba Lintang. Ketika aku pertama kali bertemu, sebelum Ki Saba Lintang melihat Rara Wulan, matanya terasa menjadi liar. Ia memandang aku dari ujung rambut sampai ke ujung kakiku. - Ah - desah Ki Ajar - apakah orang itu mengaku tinggal di ujung Kali Geduwang " - Bukan orang itu yang tinggal diujung Kali Geduwang, Ki Ajar. Tetapi orang lain. Sahabat orang itu. Jika kami datang kemari, kami berharap bahwa Empu Wisanata akan dapat menunjukkan kemana aku harus mencari Ki Saba Lintang. - Itu fitnah - bentak orang yang bertubuh agak gemuk itu -jadi kalian datang untuk menyebarkan fitnah " - Ki Sanak - berkata Agung Sedayu - kau belum mengenal orang yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi ajak sekali saja Ki Saba Lintang itu singgah dirumahmu dan melihat isterimu, maka kau akan percaya kepadaku. Wajah-wajah disekitar Ki Ajar Trikaya itu menjadi tegang. Orang yang bertubuh tinggi dan bertubuh gemuk itu bahkan menjadi panas. Sementara wajah Putut Jaka Dwara seakan-akan telah membara. Keringatnya membasahi keningnya dan bahkan pakaiannya.
Tiba-tiba saja orang itu bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan Ki Ajar Trikaya.
Orang yang bertubuh tinggi dan bertubuh gemuk itu terkejut. Yang bertubuh tinggi dengan serta merta telah menyusulnya sambil berkata - Jaga Ki Ajar. Jangan biarkan ia terlalu lama berada diluar.
Sebelum orang bertubuh gemuk itu menjawab maka orang bertubuh tinggi itu telah hilang dibalik pintu pringgitan.
- Kenapa " - bertanya Agung Sedayu.
Ki Ajar termangu-mangu. Katanya - Entahlah. Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi. Sejenak kemudian, maka telah terdengar derap kaki kuda. Tiga orang berkuda melarikan kuda mereka disebelah pendapa bangunan utama padepokan itu, menuju ke pintu gerbang.
Seorang diantara mereka adalah Putut Jaka Dwara.
Orang .. yang duduk dipendapa itu memandang dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak berbuat sesuatu. Agung sedayu dan Sekar Mirahpun tidak berbuat apa-apa pula.
- Kenapa mereka pergi " - bertanya Ki Ajar Trikaya kepada orang yang bertubuh gemuk.
- Tentu saja ada persoalan penting, Ki Ajar - jawab orang itu. Lalu katanya - Sebaiknya Ki Ajar masuk saja kedalam bilik. - Sudah aku katakan, bahwa aku merasa segar hari ini. Apalagi jika sahabat-sahabatku datang menengokku. Dalam pada itu, Ki Wijil yang duduk bersama mereka memang heran. Ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, yang ternyata berbeda dengan apa yang dikatakan kepadanya saat mereka berada di Jatisrana. Iapun menjadi bingung melihat sikap Putut Jaka Dwara dan kedua orang yang semula menahannya untuk tidak menemui Ki Ajar Trikaya.
Tetapi Ki Wijil percaya, bahwa sikap Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu tentu mengandung maksud tertentu yang belum sempat dijelaskan kepadanya.
Sementara itu, Agung Sedayupun berkata - Aku mohon maaf, Ki Wijil dan Ki Ajar Trikaya. Mungkin sikap kami kurang dapat dimengerti. Tetapi nanti kami akan menjelaskannya. - Sementara itu, orang yang gemuk itu sekali lagi berkata - Ki Ajar. Aku mohon Ki Ajar masuk kembali kedalam bilik Ki Ajar. Angin dan udara yang tidak baik ini akan dapat membuat sakit Ki Ajar menjadi parah. Tetapi jawaban Ki Ajar mengejutkan-orang itu - Apakah aku sakit "- Ki Ajar memang sakit. - jawab orang itu - karena itu, aku persilahkan Ki Ajar masuk. Sejak semula Ki Ajar merasa bahwa Ki Ajar tidak sakit. Tetapi jika sesak nafas dan denyut jantung yang tidak teratur itu kambuh, maka Ki Ajar hanya dapat mengeluh dan merintih. Ki Ajar Trikaya justru tertawa. Katanya - Kau orang yang terlalu baik. Kau berusaha menjaga kesehatanku sebaik-baiknya. Aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sebaiknya kau lupakan saja, bahwa sebenarnya aku tidak sakit Orang yang bertubuh gemuk itu menjadi sangat tegang. Untuk beberapa saat lamanya ia duduk bagaikan membeku.
Sementara itu, tiga ekor kuda berlari kencang keluar dari regol halaman padepokan yang luas". Beberapa saat kuda itu masih berlari."Namun kemudian lari kuda itu harus diperlambat ketika mereka sampai ditempai yang agak sulit. Jalan yang turun dan mendaki. Batu-batu padas yang runcing tetapi licin. Jalan .yang kadang-kadang menjadi sempit dan miring.
Pada saat ketiga ekor kuda itu bergerak tidak lebih cepat dari orang yang sedang berjalan, maka tiba-tiba saja telah muncul empat orang dari balik gerumbul-gerumbul perdu disebelah-menyebelah. Mereka adalah Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga.
Para penunggang kuda itu telah menarik kendali kuda mereka, demikian mereka melihat orang-orang itu meloncat menghadang ditengah jalan.
Ki Jayaraga yang berdiri dipaling depan itupun mengangguk-angguk hormat sambil berdesis - Kita bertemu lagi, Empu Wisanata. Wajah orang yang disebut Empu Wisanata itu menjadi tegang. Sementara itu, kedua orang yang lain sejenak menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Namun tiba-tiba saja Empu Wisanata itupun berkata - Kita kembali ke padepokan. - Tunggu, Empu - berkata Ki Jayaraga.
Tetapi ketiga orang penunggang kuda itu telah memutar kudanya dan melarikannya menuju ke padepokan.
Tetapi Putut Jaka Dwara itu terkejut. Tiba-tiba saja seseorang telah memegang kendali kudanya sambil berkata - Jangan tergesa-gesa. Bukankah kita dapat berbicara. Glagah Putih yang memegangi kendali kuda itulah yang kemudian terkejut ketika Putut Jaka Dwara itu melecut pergelangan tangannya dengan cemeti kudanya. Demikian Glagah Putih melepaskan kendali kuda itu, maka kuda itupun berlari menyusul kedua ekor kuda yang lain. Meskipun kuda-kuda itu tidak dapat berlari kencang, namun mereka yang berlari menyusulnya itupun harus berhati-hati agar mereka tidak tergelincir jatuh, sementara batu-batu padas yang runcing itu telah menyakiti kaki mereka.
Tetapi Ki Jayaragapun kemudian berkata - Biarlah mereka kembali ke padepokan. Mungkin kita dapat berbicara dengan mereka nanti. - Lalu apa yang terjadi dengan kakang Agung Sedayu, mbokayu Sekar Mirah dan Ki Wijil " Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi dengan cepat mereka bergerak memasuki regol halaman padepokan itu pula.
Dalam pada itu, keadaan di padepokan itu sudah menjadi tegang. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Wijil tidak lagi duduk di pendapa. Tetapi mereka sudah berdiri di halaman. Sementara itu, beberapa orang berdiri di tangga pendapa dengan wajah yang tegang.
Disebelah menyebelah Ki Ajar Trikaya berdiri dua orang yang berwajah keras dan kasar.
Dalam pada itu, Empu Wisanata, Putut Jaka Dwara dan seorang lagi, setelah meloncat turun dari punggung kudanya, segera naik ke pendapa pula.
Orang yang bertubuh tinggi dan orang yang bertubuh gemuk itupun sudah berada di pendapa itu pula.
Orang yang berkuda bersama Empu Wisanta dan Putut Jaka Dwara itupun kemudian beridiri di paling depan. Dengan wajah tegang ia berkata kepada seorang yang berjanggut dan berkumis putih - Empu. Orang-orang ini telah melanggar hak kita atas padepokan ini. Tetapi Ki Ajar itupun menyahut - Apa yang telah mereka lakukan sehingga kau dapat mengatakan bahwa mereka telah melanggar hak kita atas padepokan ini " Mereka datang untuk menengok aku yang kalian sebut sedang sakit. Bukankah itu tidak melanggar hak siapapun. Bahkan mereka telah berbuat satu kebaikan atas sahabatnya. - Sudahlah Ki Ajar - berkata orang yang kembali bersama Empu Wisanta dan Putut Jaka Dwara itu - kau tidak usah ikut campur. Kami akan mempersilahkan Ki Ajar untuk masuk kembali kedalam bilik. Kami akan menyelesaikan orang-orang yang telah dengan sombong memasuki padepokan ini. - Aku peringatkan, mereka adalah tamu-tamuku. - Aku tidak peduli - berkata orang itu. Lalu katanya kepada orang berjanggut dan berkumis putih itu - Kami mohon perintah Empu. Orang berjanggut dan berkumis putih itupun memandang Ki Ajar Trikaya sejenak. Kemudian dipandangnya orang-orang yang berada di halaman.
Sementara itu, Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan
Sayogapun telah memasuki halaman padepokan itu pula.
- Siapa pula mereka itu " - bertanya orang berjanggut putih itu.
Agung Sedayu yang kemudian berpaling menjawab - Mereka adalah sanak kadangku. Ketika aku memasuki padepokan ini, aku minta mereka menunggu diluar. Rasa-rasanya tidak enak memasuki padepokan ini bersama-sama dengan banyak orang. Orang berjanggut putih itupun berkata - Kalian memang telah menimbulkan keresahan di padepokan ini. Karena itu, maka kalian harus ditangkap. Kalian harus menjalani pengadilan dan menerima hukuman yang akan dijatuhkan kepada kalian. Ketika Ki Ajar bergeser, maka kedua orang yang berdiri disebelah-menyebelah telah menangkap lengannya. Namun tiba-tiba saja kedua orang itu terdorong beberapa langkah surut.
Dengan tangkasnya Ki Ajar Trikaya itupun meloncat turun dari pendapa dan berdiri disebelah Ki Wijil. Katanya - Aku sudah jemu dengan permainan kalian. Aku tidak tahu, apakah Ki Wijil bersedia membantuku. Tetapi rasa-rasanya sudah saatnya kau bergerak bersama para cantrik dari padepokan ini. Jika dengan demikian, kami harus musnah, kami tidak berkeberatan. Mumpung ada orang lain yang menjadi saksi, bahwa padepokan ini Ki Ajar Trikaya sudah dimusnahkan oleh orang-orang yang ingin merebut padepokan itu dengan kekerasan. Orang berjanggut putih itu masih tetap tenang. Dengan nada rendah ia berkata - Apa yang membuatmu menjadi demikian gelisah, Ki Ajar. Jika kau terlalu letih, maka bayangan-bayangan buruk itu tentu akan segera datang kembali. Karena itu, beristirahatlah. Kau akan menjadi tenang kembali. Bayangan-bayangan buruk itu akan segera hilang. - Bayangan buruk yang mana Empu - bertanya Ki Ajar -bukankah orang-orangmu yang telah membuat bayangan-bayangan buruk di padepokan ini " Kau paksa aku seakan-akan sedang sakit Kau takut-takuti para cantrik dengan segala macam cara. Tetapi semuanya itu sudah berakhir. Aku dan para cantrik akan bangkit untuk melawan kalian meskipun sekali lagi aku tegaskan, seisi padepokan ini akan musnah. Aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Tetapi ilmu yang tinggi itu tidak akan dapat membunuh kebenaran yang ada di padepokan ini. Dua orang cantrik yang ada di halaman itu menyaksikan pembicaraan itu dengan berdebar-debar. Ketika seorang lagi datang, aka iapun memberi isyarat untuk memperhatikan pembicaraan itu. Cantrik yang datang kemudian itupun kemudian dengan tangannya telah memanggil cantrik yang lain dan yang lain, sehingga akhinya beberapa orang cantrik berusaha ikut mendengarkan pembicaraan yang terjadi di tangga pendapa.
- Aku dan para cantrik sudah jemu. Kami akan bangkit apapun yang terjadi. Para cantrik itu menjadi tegang. Mereka saling berbisik diantara mereka. Namun mereka terkejut ketika terdengar seseorang membentak - Apa yang kalian lakukan disini, he " Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Namun tiba-tiba seorang diantara mereka berkata -Dengarlah pembicaraan di tangga pendapa itu. - Persetan. Pergi. Kerjakan tugas-tugas kalian. Biarlah para pemimpin kita menyelesaikan persoalan mereka, sementara kalian nenyelesaikan tugas-tugas kalian sendiri. - Kami tidak akan pergi. - .
- Kau berani menentang aku " - Aku minta kau dengar pempbicaraan itu. Ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. - Cukup. Pergi kebelakang. Cantrik itupun menjawab. Tetapi ia tidak beringsut ditempat-nya. Sementara itu, Ki Ajarpun tidak goyah pula pada sikapnya.
Orang yang berjanggut putih itupun kemudian berkata -Kedatangan orang yang bernama Ki Wijil itu telah mengacaukan penalaran Ki Ajar yang sakit. Karena itu, maka Ki Wijil beserta orang-orang yang datang bersamanya harus ditangkap.
Tetapi Ki Jayaragalah yang melangkah kedepan sambil berkata - Maaf, Ki Ajar Trikaya. Mungkin Ki Ajar belum mengenal aku. Tetapi perkenankan aku ikut mencampuri persoalan ini. - Silahkan, Ki Sanak - sahut Ki Ajar Trikaya.
Ki jayaraga itupun.kemudian memandang orang-orang yang berdiri di tangga dan di pendapa Dengan jelas Ki Jayaraga itupun berkata - Yang kami kenal dari semuanya adalah Empu Wisanata. Aku tidak tahu, apakah orang itu disini juga mempergunakan nama Empu Wisanata. Kepadanya aku ingin bertanya, permainan apakah yang sedang dilakukannya disini. - Kau siapa " - orang-orang yang dikenal bernama Empu Wisanata itu bertanya.
-jangan begitu, Empu. Bukankah kita sahabat lama" Demikiankah cara Empu menyambut kehadiran seorang sahabat Namun sebelum Empu Wisanata menjawab, Glagah Putih itpun bertanya sambil menunjuk Putut Jaka Dwara - Siapakah orang ini " Yang menjawab adalah Ki Ajar Trikaya - Putut Jaka Dwara.
- Apakah benar, bahwa Putut Jaka Dwara itu salah seorang murid utama Ki Ajar Trikaya. - bertanya Ki Wijil.
Ki Ajar tertawa. Katanya - Tidak. Itu termasuk permainan yang sedang terjadi di padepokan ini.Sedangkan Sekar Mirahpun kemudian bertanya - Apakah benar ia cacat "Ki Ajar masih saja tertawa. Katanya - Bertanyalah langsung kepadanya. Sekar Mirahlah yang kemudian tertawa. Katanya - Nyi Dwani. Jangan berpura-pura begitu. Kenapa kau harus bersembunyi dibalik nama Putut Jaka Dwara " Wajah Putut itu menjadi merah. Sementara Glagah Putihpun berkata - Nah, aku sudah mengira. Ketika aku melihat Empu Wisanata diatas punggung kuda,'maka aku langsung mengenalinya sebagai Nyi Dwani. Tetapi kenapa ia memakai pakaian seperti seorang laki-laki. Meskipun mbokayu Sekar Mirah juga mengenakan pakaian yang khusus, tetapi ia tetap seorang perempuan. - Untuk menyembunyikan suara perempuannya itulah agaknya maka ia lebih baik tidak berbicara sama sekali dan mengaku cacat bisu. - Jadi kalian sudah saling mengenal " - bertanya Ki Ajar Trikaya.
- Inilah orang-orang yang aku cari. - jawab Agung Sedayu.
- O - Ki Ajar Trikaya mengangguk-angguk. Katanya - Jadi jika mereka menyebut ujung Kali Geduwang itu yang dimaksud adalah padepokan ini. - Agaknya memang demikian, Ki Ajar. Ternyata bahwa aku telah menemukan mereka di padepokan ini. - Aku tidak akan pernah melupakan paras yang cantik dari seorang perempuan yang bernama Dyi Dwani - berkata Sekar Mirah - meskipun ia mengenakan pakaian dan mengaku dirinya laki-laki. Ikat kepalanya dan bahkan sedikit sapuan debu diwajahnya agar kelihatan kasar. Namun aku tetap mengenalinya. Nyi Dwani masih tetap diam. Namun Sekar Mirahpun kemudian berkata lantang kepada beberapa orang cantrik yang masih tetap berada di halaman - lihatlah, betapa cantiknya Putut Jaka Dwara. - Cukup - ternyata Nyi Dwani tidak mampu menahan gejolak di dadanya, sehingga iapun telah memotong kata-kata Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah itu masih berkata selanjurnya - Sayang, bahwa kecantikannya masih diperbandingkan dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja meningkat dewasa. Seharusnya Ki Saba Lintang tetap mengagumi kecantikan dan kematangan Nyi Dwani daripada mengambil seorang gadis kecil yang masih belum mengenal pahit getirnya kehidupan. - Diam kau Sekar Mirah, atau aku yang akan membungkam mulutmu itu " - teriak Nyi Dwani dengan suara seorang perempuan.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrikpun saling berbisik -Jadi kakang Putut Jaka Dwara itu seorang perempuan. - Kau dengar namanya tadi disebut Nyi Dwani. - Kenapa hal itu dilakukannya " - Menurut Ki Ajar Trikaya, permainan sudah selesai. Selama ini kita telah diombang-ambingkan oleh permainan kasar orang-orang berilmu tinggi yang mampu menguasai Ki Ajar, karena Ki Ajar hanya seorang diri. - Sekarang kalian sudah tahu - geram orang yang tadi memaksa para cantrik itu untuk kembali ke pekerjaan mereka masing-masing di belakang, namun perintahnya tidak pernah dipatuhi. Lalu katanya kemudian - Kalian mau apa " "
Para cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua diantara mereka berkata - Kami menunggu perintah Ki Ajar Trikaya. Jika selama ini kami diam, itu juga karena perintah Ki Ajar Trikaya. Tetapi jika Ki Ajar memerintahkan kami bergerak, maka kamipun akan bergerak. - Setan. Aku tidak akan memberi kesempatan kalian menunggu. Aku ingin tahu, apa yang akan kalian lakukan. Cantrik itu menjadi tegang. Namun pada saat itu, Ki Ajarpun berkata - Sekali lagi aku katakan, permainan ini sudah selesai. Pernyataan Ki Ajar itu bagaikan aba-aba yang diberikan kepada para cantriknya. Dengan dada tengadah cantrik, yang tertua diantara mereka yang berkerumun itupun berkata - Semuanya sudah selesai. Kami sudah siap untuk menegakkan kembali panji-panji perguruan kami atau kami akan dimusnahkan sama sekali. - Kalian sudah menjadi gila. Kalian tahu akibat dari kegilaan kalian itu " - Sudah aku katakan. Akibatnya, kami akan tegak kembali atau musnah sama sekali. Kami siap menghadapi akibat yang manapun yang akan terjadi. Orang yang berusaha menguasai para cantrik itupun menjadi sangat marah. Sejenak kemudian terdengar orang itu bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya, bahwa para cantrik mencoba untuk melawan.
Tetap para cantrik itu kemudian telah mempersiapkan diri. Yang tertua diantara merekapun berkata - beritahu kakang Supi dan kakang Sentana. Dua orang cantrik berlari meninggalkan kawan-kawannya. Ketika orang yang mencoba menguasai mereka itu mencoba untuk menghalanginya, cantrik yang tertua itupun telah menyerangnya, disusul oleh para cantrik yang lain.
Ilmu orang yang mencoba menguasai para cantrik itu memang lebih tinggi dari para cantrik yang melawannya. Tetapi jumlah para cantrik itu cukup banyak, sehinggga karena itu, maka sambil bertempur orang itu selalu berloncatan mundur.
Dalam pada itu, di depan bangunan utama, suasana sudah menjadi demikian panasnya. Mereka memang sempat berpaling dan melihat bahwa para cantrik justru telah mulai lebih dahulu.
Orang yang berjanggut putih yang terdiri di pendapa itupun berkata - Ini sudah merupakan satu pemberontakan. Ki Wijil dan kawan-kawannya harus bertanggung jawab atas peristiwa ini, karena sebelumnya tidak terjadi sesuatu. Karena itu, maka yang pertama-tama harus ditangkap adalah Ki Wijil dan kawan-kawannya. Jika mereka melawan, maka mereka akan menghadapi kekerasan. Kematian adalah akibat yang terjadi dalam tindak kekerasan. Karena itu, jangan menyalahkan kami.
Orang berjanggut putih itu menjadi tegang, ketika ia mendengar Sekar Mirah berkata lantang - Bagus. Nyi Dwani. Apakah kita masih sempat bermain-main sekarang ini " Bukankah permainan kita masih belum tuntas " Sebenarnya kami datang tidak untuk berkelahi. Tetapi apa boleh buat, jika kalian memaksakan kehendak kalian untuk berkelahi. Wajah Nyi Dwani pun menjadi semakin tegang. Dimalam hari, saat purnama memancar dengan cerah, ia tidak mampu mengalahkan Sekar Mirah. Apalagi saat itu.
Sementara itu, Ki Jayaragapun berkata - Empu Wisanata. Aku tidak menyangka, bahwa kita akan mendapat kesempatan lagi untuk berkelahi. Agaknya memang aneh, bahwa orang-orang tua masih harus berkelahi. Tetapi seperti yang dikatakan Ny Lurah, jika kalian mencoba memaksa kami untuk melakukannya, maka kami pun akan melakukannya. - O, o, o - orang berjanggut putih itu menyahut - jadi kami telah kedatangan sekelompok perampok yang sengaja ingin mengacaukan padepokan kami. Sekelompok perampok yang agaknya sudah mengadakan pembicaraan sebelumnya dengan orang dalam. Dengan Ki Ajar Trikaya. Baiklah. Jangan biarkan mereka mendapat kesempatan untuk keluar lagi dari padepokan ini. - - Empu - berkata Ki Ajar Trikaya - para cantrik akan menjadi saksi, siapakah yang mengemban kebenaran di padepokan ini. Justru mereka sudah mulai menuntut kebebasan mereka. Jangan terkejut jika orang-orangmu akan dihancurkan oleh para cantrik yang sudah terlalu lama merasa ditindas.

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang berjanggut putih itu memang memandang kesamping bangunan utama. Beberapa orang cantrik memang sudah mulai bertempur. Jumlah mereka semakin lama menjadi semakin banyak.
Beberapa orang yang ditempatkan orang berjanggut putih itu diantara para cantrik mencoba untuk mengatasi mereka. Tetapi jantung para cantrik serasa sudah meledak. Dua orang cantrik yang bernama "Supi dan Sentana, yang agaknya masih tetap menjadi panutan kawan-kawannya telah hadir pula diantara mereka.
- Ki Ajar sudah memerintahkan agar kita mengakhiri mimpi buruk ini " Supi dan Sentana mula-mula merasa ragu. Tetapi ketika mereka mendengar sepatah dua patah kata yang diucapkan orang-orang di depan pendapa padepokan induk, serta sikap Ki Ajar Trikaya, maka merekapun menjadi yakin, bahwa mereka harus segera bangun. Dengan demikian, maka Supi dan Sentana itupun telah melibatkan diri pula dalam pertempuran melawan lima orang pengikut orang berjanggut putih itu.
Kelima orang itupun segera saja telah terdesak. Biasanya, jika kelima orang itu menghadapi keadaan gawat, maka para pengikut orang berjanggut putih yang berilmu tinggi, selalu ikut campur. Bahkan pernah terjadi dua orang cantrik dihukum cambuk sampai hampir mati, karena keduanya tidak tunduk kepada perintah. Beberapa orang cantrik termasuk Supi dan Sentana yang ingin membela mereka, dengan cepat ditundukkan dan mengalami siksa yang berat dan untuk lebih dari sepekan.
Tetapi orang-orang berilmu tinggi itu sedang sibuk di pendapa menghadapi orang yang agaknya juga berilmu tinggi.
Dalam keadaan yang semakin gawat itu, maka orang berjanggut putih itupun telah meneriakkan aba-aba - Tangkap Ki Wijil dan kawan-kawannya. Kita akan menghukumnya dihadapan para cantrik yang telah terpengaruh oleh para perampok ini. Agaknya Ki Ajar Trikaya sedikit demi sedikit telah mengajari mereka untuk memberontak. Tetapi Ki Wijillah yang menyahut - Kau masih saja menganggap kami anak-anak yang tidak tanggap akan keadaan. Empu, yang aku sayangkan, bahwa Empulah yang tidak tanggap pada keadaan. Wajah orang berjanggut putih itu menjadi tegang. Dengan lantang iapun berkata - Jangan membuang waktu lagi. Kita selesaikan mereka sampai orang yang terakhir. Orang-orang yang berada di pendapa itupun segera bergerak turun. Sementara itu, orang-orang yang ada di depan pendapa itupun segera memencar. Sekar Mirah nampaknya telah siap untuk bertemu lagi dengan Nyi Dwani. Sementara Ki Jayaraga tersenyum sambil berdesis - Empu Wisanata. Bukankah Empu masih belum jenuh melihat wajahku. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun berbisik di telinga Ki Wijil - Biarlah aku menghadapi orang berjanggut putih itu, Ki Wijil. - Biarlah aku menyelesaikannya, ngger. - Akulah yang paling berkepentingan dengan padepokan. "
Ki Wijil menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Agung Sedayu dengan'tajamnya. Namun akhirnya Ki Wijil itupun yakin, bahwa Agung Sedayu memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi orang berjanggut putih itu, yang agaknya merupakan pimpinan dari orang-orang yang telah menguasai padepokan yang terpencil itu.
Karena itu, maka Ki Wijilpun berdesis - Berhati-hatilah, ngger. - Dalam keadaan terpaksa, aku akan mohon bantuan Ki Wijil - berkata Agung Sedayu.
Ki Wijil tersenyum. Namun ia tidak sempat menjawab karena orang-orang yang turun dari pendapa itu mulai menyerangnya.
Seorang yang berusaha meninggalkan padepokan itu bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani itulah yang langsung menyerang Ki Wijil sambil berkata lantang - Kaulah sumber keributan yang terjadi di padepokan kami yang tenang ini. Ki Wijil bergerak surut. Namun ia masih sepat menjawab -Aku memang merasakannya, Ki Sanak. Alangkah tenang dan damainya padepokan ini karena aku sering datang kemari sebelum kalian dengan paksa menguasai padepokan ini. - Persetan dengan mimpi burukmu - jawab lawan Ki Wijil.
Ki Wijil tidak menjawab. Tetapi ia sudah' siap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Seperti yang diharapkan oleh Sekar Mirah, maka Nyi Dwanipun telah meloncat untuk menghadapi Sekar Mirah. Sejenak kemudian keduanyapun sudah berhadapan, sementara Sekar Mirah telah bergeser menjauhi tangga pendapa.
-Nyi Dwani - berkata Sekar Mirah kemudian - inikah persiapan bagi sebuah pertemuan besar antara para murid perguruan Kedung Jati itu " - Ya - jawab Nyi Dwani - padepokan ini akan menjadi ajang pertemuan itu jika tidak ada perubahan. Tetapi kau telah merusak persiapan yang sudah hampir menjadi matang itu. - Kami minta maaf, Nyi Dwani. Kami sama sekali tidak sengaja. Sebagaimana kami katakan tadi, bahwa kami sedang mencari Ki Saba Lintang yang lebih dahulu merusak segala-galanya. Aku yang sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk menerima tawaran kalian, telah dikaburkan dengan ketamakan orang yang bernama Ki Saba Lintang, yang justru seorang yang sampai saat ini dipercaya sebagai seorang pemimpin tertinggi dari perguruan yang bakal dibangun kembali itu.
- Bukankah itu hanya fitnah " - Fitnah " Buat apa aku memfitnah " - bertanya Sekar Mirah. Namun kemudian ia bertanya - Kapan kau bertemu dengan Ki Saba Lintang yang terakhir kalinya " - Kira-kira dua pekan yang lalu. - Apakah ia tidak berbicara tentang Rara Wulan " - Sama sekali tidak. - - Ketika Ki Welat Wulung masih hidup, matanya* yang liar itulah yang aku curigai. Ia selalu memandang wajah Rara Wulan tanpa berkedip. Namun ternyata sepeninggal Welat Wulung, Ki Saba Lintang yang melakukannya. Justru lebih kasar. Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sekar Mirahpun berkata - Nah Nyi Dwani. Aku sudah siap. Nyi Dwani memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang memancarkan kebimbangan hatinya. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata - Apakah aku harus bertempur lagi melawanmu "
- Kenapa " - - Aku sudah kau kalahkan justru dalam perang tanding. Tetapi kau saat itu tidak membunuhku meskipun kau dapat melakukannya. - Jadi " - - Ada dua alasan kenapa aku ragu-ragu. Pertama, dibawah cahaya bulan yang dapat membakar kemampuanku, aku sudah kau kalahkan. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Kedua, aku sudah berhutang budi kepadamu. Seandainya aku yang menang waktu itu, maka aku tentu sudah membunuhmu - Lupakanlah - jawab Sekar Mirah - kita akan mencoba lagi. - Aku memang akan melakukannya. Tetapi aku tahu, itu hanya sia-sia saja. Sekar Mirah menatap mata Ny Dwani yang redup. Ada semacam kepasarahan yang membayang. Rasa-rasanya di mata itu tidak lagi nampak pengharapan sama sekali.
Apalagi ketika kemudian Nyi Dwani berdesis - Ny Lurah. Aku tahu, bahwa kau tidak akan memberi ampun kepadaku untuk yang kedua kalinya jika kita membenturkan ilmu sekarang ini. - Aku tidak akan membunuhmu, Nyi Dwani. Terus terang, aku justru ingin bekerja bersamamu. Kita mempunyai kepentingan yang sama meskipun dari sisi pandang yang berbeda. - Maksudmu " - - Jika kau jujur, katakanlah, bahwa aku mencintai Ki Saba Lintang. Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Bahkan Nyi Dwani itu sempat mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Diseputarnya pertempuran telah menyala. Hanya orang berjanggut putih itu sajalah yang masih berdiri di atas tangga pendapa, sementara Agung Sedayu berdiri tegak beberapa langkah di hadapannya.
- Siapakah orang berjanggut putih itu, Nyi Dwani " - Empu Tunggul Pawaka. Ia termasuk orang yang dihormati diantara para pendukung Ki Saba Lintang. Ia mendapat tugas untuk menguasai padepokan ini. Seandainya padepokan ini pada suatu saat diperlukan, maka padepokan ini akan diambil alih oleh perguruan Kedung Jati. - Apalagi juga padepokan ini yang disebut-sebut Ki Saba Lintang sebagai salah satu pilihan tempat untuk menyelenggarakan pertemuan itu " Nyi Dwani mengangguk. - Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan " - Terserah kepada Nyi Lurah. Aku sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. - Sudah aku katakan. Aku tidak akan membunuhmu, Nyi. Bahkan mungkin kita dapat bekerja sama. Tetapi kau masih belum menjawab, apakah kau mencintai Ki Saba Lintang " Nyi Dwani itu mengangguk. Katanya - Ya. Aku tidak akan ingkar. - Terima kasih atas kejujuranmu - Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya kemudian - Bagaimana jika kita mengadakan semacam kesepakatan untuk bekerja bersama " - Maksudmu " - - Kau tidak akan kehilangan Ki Saba Lintang. Dan kami tidak akan kehilangan Rara Wulan. Nyi Dwani tidak segera menjawab. Namun pandangan matanyapun kemudian menerawang menembus kekosongan.
Sementara itu, orang berjanggut putih itu telah menuruni tangga pendapa. Selangkah ia maju mendekati Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu.
- Apakah kau memang menunggu aku " - bertanya orang berjanggut putih itu.
- Ya, Empu. Tetapi perkenankan aku bertanya, siapakah nama Empu. Sejak tadi aku hanya mendengar orang menyebutmu Empu. Tetapi aku belum mendengar namamu disebut. Orang berjanggut putih itu tersenyum. Katanya - Namaku Tunggul Pawaka. Eh, barangkali aku kurang memperhatikan, apakah namamu tadi sudah disebut " - Namaku Agung Sedayu, Empu. - Aku kagum akan keberanianmu. Kau dengan sengaja telah menunggu aku dan siap bertempur melawanku. - Sebenarnya aku bukan orang yang mempunyai kesenangan untuk berkelahi. Jika itu aku lakukan disini, maka karena kau tidak mempunyai pilihan lain. Empu Tunggul Pawaka itu tertawa. Katanya - Kau bicara yang aneh-aneh saja. Kau sudah memasuki padepokan. Tetapi kau masih berkata bahwa kau tidak ingin berkelahi. - Benar, Empu. Ketika aku memasuki padepokan ini, sebenarnya aku , isteriku dan Ki Wijil ingin menemui Ki Ajar Trikaya. Tetapi ternyata keadaan padepokan ini sudah berubah, sehingga yang terjadi adalah seperti yang kita lihat sekarang ini. - Apapun yang ingin kau lakukan, tetapi kesiapanmu untuk melawan aku sungguh-sungguh menunjukkan keberanianmu. Tetapi anak-anak yang berani meraba bara yang merah itu sama sekali bukan karena keberaniannya. Tetapi karena ketidak-tahuannya. Aku kira kau sekarang juga seperti kanak-kanak itu. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi. Bukankah ada beberapa orangtua yang datang bersamamu termasuk Ki Wijil " Tetapi bukan mereka yang siap untuk menghadapi aku. Tetapi kau yang masih terhitung muda dibandingkan dengan aku. Tentu saja bukan hanya umurnya, tetapi tentu juga kematangan ilmunya. - Mungkin Empu. Tetapi jika kita harus bertempur, apa boleh buat, meskipun aku lebih senang jika kita tidak usah beradu kekerasan. - Apakah ini suatu permohonan ampun " - Tidak, Empu - jawab Agung Sedayu - aku tidak ingin monon maaf, karena aku tidak bersalah. Empulah yang mengambil keputusan untuk melakukan kekerasan. Empu Tunggul Pawaka tertawa lagi. Katanya - Aku senang terhadap sikapmu. Tetapi itu juga pertanda bahwa kau tentu berilmu tinggi.- Mudah-mudahan Empu benar. - Nah, sekarang bersiaplah. Aku harap kau tidak mengecewakan aku yang sudah terlanjur mengagumimu. Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab - Terima kasih, Empu. Tetapi apa yang Empu kagumi " Apakah Empu Wisanata dan Nyi Dwani belum pernah bercerita tentang aku, tentang isteriku dan tentang Tanah Perdikan Menoreh " - Cerita tentang apa " - Tentang perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. "
Empu Tunggul Pawaka yang berjanggut putih itu menggeleng, sambil menjawab - Tidak. Mereka tidak bercerita tentang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka juga tidak berceritera tentang orang yang bernama Agung Sedayu. - Bahkan mereka datang bersama Ki Saba Lintang. Empu Tungul Pawaka itu menjawab - Aku jarang berbicara dengan Saba Lintang, dengan Wisanata dan dengan Dwani. Kami hanya berbicara tentang hal-hal yang penting. - Tentang tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Ya. Tongkat yang dimiliki oleh Saba Lintang. - Bukanlah tongkat itu ada sepasang " - Satu lagi akan dimiliki oleh Dwani. Tetapi tongkat itu masih berada dipertapaannya. Meskipun demikian, Saba Lintang telah mendapatkan isyarat, sehingga tinggal menunggu saatnya untuk mengambilnya. - O - Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Ceritera yang menarik. Empu. - Ya. Aku sudah mengatakan kepada Saba Lintang, bahwa aku baru akan tampil jika kedua tongkat itu sudah berada ditangan-nya. - Empulah yang sangat mengagumkan. - berkata Agung Sedayu kemudian.
- Kau terlambat mengagumi aku, Agung Sedayu. " jawab Empu Tunggul Pawaka. Namun kemudian iapun bertanya - Tetapi kenapa hal itu kau katakan kepadaku sekarang. - Aku baru yakin jika Empu seorang yang sangat pandai mengendalikan perasaan, berpura-pura dan menyamarkan keadaan sebagaimana Empu memasang topeng diwajah padepokan ini. Wajah Empu Tunggul Pawaka menjadi tegang. Dengan lantang ia bertanya - Apa yang kau maksud " - Terus-terang Empu. Sikap, kata-kata dan ceritera Empu meragukan aku. Juga pengakuan Empu bahwa Ki Saba Lintang , Empu Wisanata dan Nyi Dwani tidak pernah bercerita tentang Tanah Perdikan Menoreh dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.Telinga Empu Tunggul Pawaka itu bagaikan telah tersentuh api. Dengan garangnya ia bertanya - Kau memang harus mati. - Permainan Empu hampir sempurna. Tetapi ketidak tahuan Empu yang berlebihan, justru sangat meragukan. Empu Tunggul Pawaka tidak menjawab lagi. Iapun segera bersiap untuk menyerang Agung Sedayu. Namun Empu itu sempat berteriak - Jaka Dwara. Jangan ragu-ragu. Bunuh saja perempuan itu.Tetapi Agung Sedayu justru menyahut - Bukankah Empu tahu bahwa Nyi Dwani tidak mampu mengalahkan Sekar Mirah " Bagaimana Empu dapat memerintahkan kepada Nyi Dwani untuk membunuhnya " Apakah itu bukan berarti bahwa Empulah yang telah dengan sengaja menyurukkan Nyi Dwani kedalam genggaman maut"- Cukup - teriak Empu Tunggul Pawaka. Getar suaranya terasa menggetarkan udara. Dari mulutnya yang terasa udara panas berhembus menyentuh kulit Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa orang yang bernama Empu Tunggul Pawaka itu tentu orang yang berilmu tinggi. Tetapi Agung Sedayupun harus menyadari pula, bahwa ternyata dibelakang orang yang bernama Ki Saba Lintang itu terdapat banyak orang berilmu tinggi.
Empu Tungul Pawaka itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera menyerang Agung Sedayu dengan garangnya.
Meskipun janggutnya dan rambutnya telah memutih, namun ternyata bahwa Empu Tunggul Pawaka masih seorang berilmu tinggi yang garang. Dukungan kewadagannya masih tetap menggetarkan lawannya. Agung Sedayupun telah benar-benar bersiap. Ia tidak mau terjebak kedalam kesulitan karena kelengahannya. Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun segera berloncatan mengimbangi serangan-serangan Empu tunggul Pawaka.
Dengan demikian pertempuranpun berlangsung dengan sengitnya. Nyi Dwanipun telah menyerang Sekar Mirah pula.
- Ternyata kau seorang yang mampu mempergunakan segala macam senjata Nyi - desis Sekar Mirah.
- Senjata apapun yang aku pergunakan, tidak akan ada gunanya untuk melawan ilmumu, Nyi Lurah. Kenapa kau tidak langsung saja memukul tengkukku dengan tongkatmu itu.- Sudah aku katakan, kita dapat bekerja sama. Kau akan tetap hidup. Dan kau tidak akan kehilangan Saba Lintang. - Tawaran mu memang menarik. - Pertimbangkan Nyi. - - Bagaimana aku dapat mempertimbangkan, jika aku harus bertempur. - Kau tahu, kau tidak bersungguh-sungguh. - Ya. Jika kau bersunguh-sungguh, kau sudah mati. - Kau masih mempunyai kesempatan, Nyi. Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi perempuan itu berloncatan sambil memutar pedangnya.
Bagaimanapun juga Sekar Mirah tetap berhati-hati. Ia tidak dapat mempercayai sepenuhnya Nyi Dwani yang dapat saja memanfaatkan kelengahannya sehingga ujung pedangnya menghujam kejantungnya.
Pertempuran di padepokan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Bukan saja orang-orang berilmu tinggi di halaman bangunan utama. Tetapi para cantrikpun telah memutuskan ikatan yang membelenggu kebebasan mereka selama beberapa orang berilmu tinggi itu datang ke padepokan mereka. Sejak orang-orang itu mengambil kepemimpinan padepokan dari tangan Ki Ajar Trikaya dan memaksa Ki Ajar sakit beberapa lama, maka para cantrik itu kedudukannya tidak lebih dari budak-budak yang harus bekerja keras untuk kepentingan-orang-orang itu.
Tetapi Ki Ajar Trikaya yang sendiri tidak mampu melawan beberapa orang berilmu tinggi yang diturunkan ke padepokan itu. Diantara mereka adalah Empu Tunggul Pawaka.
Pada saat para cantrik itu melihat satu kesempatan, maka mereka telah bergerak serentak. Orang-orang berilmu tinggi itu sedang terikat dalam pertempuran di halaman bangunan utama, sehingga karena itu, maka para cantrik itu harus dengan cepat menguasai orang yang selama ini memperlakukan mereka dengan keras dan kasar sebagaimana memerintah budak-budak belian.
Orang-orang yang garang itu ternyata memang tidak dapat bertahan lerlalu lama. Jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah para cantrik yang marah. Cambuk mereka yang untuk beberapa lama sangat ditakuti, tidak dapat menghentikan kemarahan para cantrik yang tertimbun didalam jantung mereka.
Di halaman, orang-orang berilmu tinggi yang untuk beberapa lama berkuasa di padepokan itu, sedang berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kedatangan Ki Wijil bersma beberapa orang itu telah merusakkan segala rencana yang sudah disusun oleh orang-orang yang mengambil alih padepokan itu. Ki Ajar Trikaya yang selama ini dinggap sakit itupun bertempur dengan tangkasnya. Sama sekali tidak ada kesan bahwa Ki Ajar itu sedang sakit, karena sebenarnyalah KiAjar memang tidak sakit
Jilid 312 NAMUN diantara pertempuran yang sengit itu, Sekar Mirah masih sempat bertanya - Bagaimana Nyi Dwani, apakah kau setuju " Jika kau setuju, maka kita membuat persetujuan tersendiri. "
- Tetapi apakah kau berkata sebenarnya bahwa Ki Saba Lintang telah mengambil Rara Wulan"- Jika tidak, kami tidak akan menempuh perjalanan yang demikian jauhnya. Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi di ulurkannya pedangnya kearah dada Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah menangkis serangan itu sambil bergeser kesamping.
- Aku akan berbicara dengan ayah - desis Nyi Dwani kemudian.
- Ayahmu mengulangi pertempurannya melawan Ki Jayaraga.Ki Jarayaraga tahu, bahwa ketika Empu Wisanata bertempur di tanah Perdikan menoreh, ia belum sampai puncak tertinggi ilmunya. Agaknya masih ada yang tersisa. Nah, mungkin ayahmu akan melepaskannya dalam pertempuran ini. Jika demikian, maka akan terjadi pertempuran habis-habisan antara Empu Wisanata melawan Ki Jayaraga.
- Apakah Ki Jayaraga masih mampu meningkatkan ilmunya lagi " - bertanya Nyi Dwani.
- Ya Ki Jayaraga adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ny Dwani meloncat surut. Pedangnya masih teracu. Tetapi ia bertanya - Apakah ilmu itu sangat berbahaya " - Tetapi Ki Jayarga bukan seorang yang tidak mampu mengendalikan perasaannya. Ia seorang tua yang jiwanya sudah mengendap, sehingga ia tidak akan bertindak tanpa kendali. Nyi Dwani memutar pedangnya. Sekali-sekali pedang itu menebas mendatar. Sekali-sekali mematuk kearah jantung. Tetapi pedang itu tidak pernah menyentuh kulit Sekar Mirah.
Dalam pada itu, Nyi Dwanipun kemudian berkata -Sebenarnya ayah tidak begitu sependapat dengan cara yang ditempuh oleh Empu Tunggul Pawaka ini. Ayahpun tidak sependapat bahwa aku harus dilibatkan langsung. Aku harus mengawasi Ki Ajar Trikaya sehari-hari. Aku tidak boleh berbicara terutama dihadapan para cantrik, sehigga aku disebutnya cacat. - Nah, pertimbangkan baik-baik, Nyi. - berkata Sekar Mirah.
Nyi Dwani tidak segera menjawab. Tetapi keduanya masih bertempur terus, keduanya berloncatan semakin cepat Senjata merekapun berputaran di sekitar tubuh mereka. Benturan sering pula terjadi. Namun tongkat baja putih Sekar Mirah juga masih belum menyentuh tubuh Nyi Dwani.
- Nyi - bertanya Sekar Mirah kemudian - seandainya tadi Nyi Dwani lepas, sebenarnya Nyi Dwani akan pergi ke mana " - Aku akan mencari Saba lintang, ceritera Ki Lurah Agung Sedayu dan ceritamu membuat hatiku panas. Aku tidak mau mendengar ayah mencegahku. Sehingga ketika aku pergi, ayah . menyusulku bersama seorang pembantu Empu Tunggul Pawaka. Aku tidak mengira bahwa diluar padepokan ini masih ada orang lain. - Nyi Dwani memang harus bertemu dengan Ki Saba Lintang. - Nyi Dwani terdiam. Sementara itu terdengar seorang bertempur sambil berteriak-teriak kasar.
- Siapa yang berteriak-teriak itu " - Seorang yang berilmu tingi. Namannya Ki Sela Antep. - Apakah ia juga murid perguruan Kedung Jati " - Bukankah kau dapat mengenali ilmunya " - Aku sedang bertempur. Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Aku tahu. Kau harus tetap hati-hati karena aku memegang pedang yang benar-benar tajam sehingga akan mampu mengoyak kulitmu.
Sekar Mirah terseyum. Katanya - Kau tersinggung, Nyi Dwani " "
- Tidak. Aku tidak tersinggung. Aku hanya mengatakan bahwa aku mengerti sikapmu itu. " Terima-kasih, Nyi Dwani. Segala sesuatunya memang tergantung kepada sikap kita masing-masing. Jika kita benar-benar berniat bekerja bersama, tentu kita kemudian harus berusaha saling mempercayai. Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi pedangnya berputar semakin cepat
Di Lingkaran pertempuran yang lain, Ki Ajar Trikaya bertempur dengan tangkasnya. Jika sebelumnya ia tidak melawan, pertimbangannya justru karena nasib para cantriknya. Ki Ajar sendiri tidak menjadi gentar menghadapi apapun juga. Tetapi ia tidak akan sampai hati membiarkan cantrik-cantriknya menjadi korban.
Ketika ia melihat kesempatan terbuka, maka Ki Ajarpun berusaha untuk memanfaatkannya meskipun ada juga sedikit kecemasan terberat di dadanya. Jika orang-orang yang datang ke padepokannya itu tidak mau melibatkan diri, maka ia akan mengalami kesulitan. Tetapi ia tidak melihat kesempatan yang lebih baik dari kunjungan Ki Wijil itu, karena Ki Ajar Trikaya sudah mengenal Ki Wijil sebelumnya. Juga karena Ki Ajar mengetahui, bahwa Ki Wijil dan anak laki-lakinya itu memiliki kemampuan yang tinggi.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berusaha menguasai padepokan itu mulai merasa mengalami kesulitan. Empu Wisanata sejak semula menyadari, bahwa ilmunya masih selapis dibawah tataran ilmu Ki Jayaraga.
Namun Empu Wisanata mengetahui apa yang dilakukan oleh anak perempuannya, sehingga karena itu, maka iapun tidak segera meningkatkan ilmu sampai ke puncak.
- Ki Lurah dan Nyi Lurah berhasil membakar jantung anakku - berkata Empu Wisanata.
Ki Jayaraga tidak segera menyahut. Ia tidak mendengar pembicaraan Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Nyi Dwani sejak semula. Jika ia mengatakan sesuatu, jangan-jangan tidak sama sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Namun Ki Jayaragapun melihat, bahwa Sekar Mirah memang tidak ingin segera mengakhiri pertempurannya melawan Nyi Dwani.
Karena itu, maka Ki Jayaraga itupun berkata " Nyi Lurah masih mengekang diri. " Aku tahu itu. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. - sahut Empu Wisanata.
Ki Jayaraga tidak berbicara lebih banyak. Ia takut jika ia justru salah ucap, sehingga dapat menimbulkan persoalan baru.
Tetapi Ki Jayaraga itupun semakin menekan Empu Wisanata sehingga beberapa kali Empu Wisanata meloncat surut. Meskipun demikian Empu Wisanata memang tidak ingin melepaskan ilmu puncaknya. Jika ia melakukannya, maka Ki Jayaragapun akan melakukannya pula. Empu Wisanata sadar, bahwa dalam benturan puncak ilmu yang demikian, akibatnya justru akan dapat menjadi gawat baginya, karena Empu Wisanata harus mengakui bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi.
Disisi lain, pertempuran menjadi semakin sengit. Ternyata para pengikut Empu Tunggul Pawaka adalah orang-orang berilmu tinggi yang tidak lagi mengekang dirinya. Mereka meningkatkan ilmunya dengan cepat. Bahkan mereka sudah benar-benar berniat untuk membunuh lawan-lawan mereka sebagaimana diperintahkan oleh Empu Tunggul Pawaka
Glagah Putih yang bertempur dengan orang yang bertubuh tinggi, merasa bahwa lawannya memang ingin benar-benar mengakhirinya dengan cepat. Tetapi ketika orang itu membentur kemampuan Glagah Putih, maka orang itu mulai mengumpat-umpat.
Disebelah lain, Sabungsari mulai menjadi pening mendengar lawannya berteriak-teriak sambil mengumpat-umpat kasar. Ketika jantungnya serasa hampir meledak, maka Sabungsari itupun berteriak tidak kalah kerasnya -- Apakah kau tidak dapat menutup mulutmu " "
Orang itu terkejut. Beberapa langkah ia meloncat surut. Sementara Sabungsari berkata " Kita akan menyelesaikan pertempuran itu dengan ilmu kanuragan. Tidak dengan mulut. ~
" Anak setan. Anak Demit. Apa pedulimu " jawab orang itu. Namun iapun berkata " Siapa namamu, he " Agaknya kau memang mempunyai bekal cukup untuk melawan aku. Tetapi jangan menyesal jika sesaat lagi aku akan membantaimu. " Namaku Sabungsari. Siapa namamu " "
- Sela Antep. ~ Sabungsari tertawa. Disela-sela suara tertawanya ia bertanya -Apanya yang antep " Mulutmu " "
-Anak iblis - teriak orang itu - kau berani menghina aku " " Kau tidak panatas memakai nama itu. Kesan yang timbul dari namamu adalah orang yang tenang, berwibawa, namun memiliki ilmu dan kemampuan yang tinggi. - Kau kira aku tidak seperti itu " - Sebaiknya kau berganti nama. Watu Kambang. ~
" Iblis gila. Demit anak banaspati. Sebut nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi kau akan mati. - Mengumpatlah selagi kau masih sempat, Sela Kambang. ~ geram Sabungsari yang mulai kehilangan kesabaran.
Sela Antep masih saja berteriak-teriak dan mengumpat-umpat Namun ilmunya semakin lama menjadi semakin meningkat.
Sabungsaripun telah meningkatkan ilmunya pula. Teriakan-teriakan itu menyakitkan telinganya
Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Sela Antep itu menjadi semakin sengit. Sela Antep berloncatan semakin cepat mengitari Sabungsari yang berdiri dengan mantep. Sekali-sekali Sabungsari yang berdiri dengan mantap. Sekali-sekali Sabungsari bergeser. Namun jika ia melihat satu kesempatan, serangannya telah datang membadai, melanda Sela Antep yang seakan-akan tidak berjejak diatas tanah itu.
Namun semakin sengit mereka bertempur, mulut Sela Antep itupun menjadi semakin terkatub, sehingga rasa-rasanya telinga Sabungsari mulai menjadi dingin. Karena itu, maka Sabungsari semakin mendesaknya, agar mulut itu benar-benar terdiam.
Namun Sela Antep itu berteriak mengumpat keras-keras ketika kaki Sabungsari berhasil menerobos pertahanan Sela Antep. Justru pada saat Sela Antep itu menyerang, Sabungsari sempat bergeser dengan cepat sambil memutar tubuhnya. Ternyata-kakinya yang juga berputar mendatar, sempat menyambar pundaknya.
Keseimbangan Sela Antep memang menjadi goyang. Namun Sela Antep sempat meloncat jauh-jauh surut untuk mengambil jarak.
Sabungsari memang tidak memburunya. Seakan-akan ia memberi kesempatan kepada Sela Antep untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Keringat telah membasahi segenap tubuh Sela Antep. Kemarahannya telah membakar jantungnya pula. Serangan Sabungsari yang mengenai pundaknya itu telah menyakitinya
Mulut Sela Antep itu mulai mengumpat-umpat lagi. Dengan garangnya ia meloncat menyerang sementara mulutnya masih saja berteriak-teriak dengan kasarnya.
Tidak jauh dari sudut halaman Glagah Putihpun bertempur dengan garangnya pula. Orang yang bertubuh tinggi, mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera menyelesaikan anak muda yang dianggapnya sangat sombong itu.
Namun Glagah Putih dengan sengaja memancing kemarahan lawannya yang memang darahnya cepat mendidih. Dengan demikian, maka penalaran orang itu rasa-rasanya cepat pula menjadi kabur.
Dengan demikian, maka orang itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Serangan-serangan menjadi semakin garang.
Namun Glagah Putihpun telah mengimbanginya pula. Dengan demikan, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin sengit.
Benturan-benturan terjadi semakin keras. Orang yang bertubuh tinggi itu benar-benar berusaha untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih dengan membunuhnya.
Tetapi ternyata tidak mudah menundukkan Glagah Putih. Bahkan semakin lama perlawanan Glagah Putihpun menjadi semakin keras pula.
Serangan-serangan Glagah Putihpun menjadi semakin berbahaya. Apalagi kemudian sekali-sekali Glagah Putih telah berhasil menggapai tubuhnya.
Namun orang bertubuh tinggi itupun mampu membalas dengan serangan-serangan yang berbahaya pula. Seperti Glagah Putih, maka serangan-serangannya telah mampu mengenai tubuh lawannya.
Dalam pada itu, Sayogapun telah bertempur dengan sengitnya. Lawannya yang gemuk memiliki tenaga yang sangat besar. Beberapa kali serangan Sayoga mengenai tubuh lawannya. Tetapi orang itu seakan-akan tidak merasakannya. Serangan-serangan Sayoga tidak dapat menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan orang itu masih saja melangkah maju tanpa menghiraukan serangan-serangan lawannya.
Namun akhirnya Sayoga menyadari, bahwa ia tidak dapat menyerang membabi buta. Ia harus mempergunakan perhitungan nalarnya. Ia harus mengerahkan serangannya ke sasaran yang berbahaya.
Pengenalan Sayogya atas bagian-bagian tubuh yang lemah, telah menuntun serangan-serangannya kemudian. Namun agaknya orang bertubuh gemuk itupun berusaha untuk melidungi bagian-bagian tubuhnya yang lemah. Meskipun demikian Sayoga tidak menjadi gentar menghadapi lawannya yang gemuk itu. Semakin lama serangan-serangannya menjadi semakin keras.
Betapapun tinggi daya tahan orang bertubuh gemuk itu, ia mulai merasa, betapa sakit dan nyeri telah menyengatnya. Usaha Sayoga mulai berhasil ketika serangan-serangannya "mampu menyusup pertahanan lawannya yang gemuk itu, menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang paling lemah.
Kemarahan telah membakar orang bertubuh gemuk itu. Tetapi ia memang tidak dapat bergerak lebih cepat lagi. Namun ternyata bahwa melawan anak muda berilmu tinggi itu, ia tidak dapat mengandalkan daya tahan tubuhnya saja.
Yang kemudian berhadapan dengan Ki Wijil adalah orang yang hampir saja meninggalkan padepokan itu bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Bahkan orang itu tidak sendiri. Ki Wijil yang dianggap sebagai sumber keonaran, harus dapat diselesaikan dengan cepat agar yang lain kehilangan gairah perlawanan mereka.
Seorang yang berwajah kasar telah bertempur melawan Ki Wijil pula.
Dalam pada itu, Ki Ajar Trikayapun akhirnya harus bertempur melawan dua orang. Dua orang yang wajahnya mirip yang satu dengan yang lain.
Tetapi keduanya jelas bukan dua orang yang kembar menilik umurnya. Yang seorang kumisnya sudah mulai bercampur putih, yang seorang belum.
Bahkan yang seorang masih nampak muda. Seandainya ia tidak berkumis, maka ia akan nampak lebih muda lagi.
Sambil tersenyum Ki Ajar itupun berdesis " Kau bawa anakmu ke neraka ini, Wanda " "
" Ia harus mulai mengenali arti hidup ini, Ki Ajar "
" O " Ki Ajar meloncat surut ketika orang yang disebut Wanda itu meloncat menyerangnya. Ketika anaknya memotong gerak Ki Ajar, maka sambil menggeliat Ki Ajar mengayunkan tangannya.
Anak orang yang disebut Wanda itu terkejut. Dengan serta merta ia menangkis ayunan tangan Ki Ajar.
Ketika benturan terjadi, orang itu terdorong selangkah surut sambil mengaduh kesakitan.
Sementara itu Ki Ajar justru bertanya - Arti hidup yang manakah yang kau maksud, Wanda " "
- Hidup tidak hanya makan dan tidur, Ki Ajar. Bukankah begitu " Tetapi seseorang harus berjuang untuk menegakkan keyakinan yang dipegangnya. - Kau ajari anakmu memperjuangkan keyakinannya " "
- Ya. - " Jika demikian anakmu saat ini bertempur dengan keyakinan yang utuh. "
~Ya.~ - Keyakinan apa " - bertanya Ki Ajar.
Wanda itu menggeram. Dengan lantang ia berkata " Menyerahlah. Lanjutkan sakitmu agar kau selamat. Ki Ajar tertawa. Katanya - Aku senang pada kelakar-kelakarmu. Seharusnya bukan kau dan anakmu yang bertempur melawan aku. "
". Pemberontakan yang.Ki Ajar lakukan ini sudah keterlaluan. Jika Ki Ajar tidak mau menyerah dan tidak mau sakit lagi, mungkin Ki Ajar justru akan mengalami keadaan lebih buruk dari sakit itu.-- Aku tahu. Kau akan membunuhku jika kau gagal menangkap aku hidup-hidup.
~ Apa boleh buat. - Ki Ajar tidak sempat menyahut. Serangan orang itupun kemudian datang membadai. Sementara itu, anaknyapun menjadi .semakin berhati-hati.
Namun beberapa kali anak orang yang bernama Wanda itu terdorong sambil mengaduh kesakitan. Sentuhan-sentuhan tangan Ki Ajar benar-benar menyakitinya.
Tetapi ketika Wanda itu sendiri meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Ki Ajarpun harus melakukannya pula. Ki Ajar sadar, bahwa Wanda adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun sebenarnya orang itu menurut pendapat Ki Ajar tidak segarang kawan-kawannya yang berada di padepokan itu.
Meskipun demikian, dalam keadaan yang menentukan itu, Wanda tentu akan mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghentikan seluruh kegiatan Ki Ajar Trikaya.
Sementara itu, Empu Tunggul Pawaka bertempur dengan sengitnya melawan Agung Sedayu. Tetapi Empu itu demikian yakin akan kemampuannya yang sangat tinggi. Menurut pendapatnya, betapapun tinggi ilmu orang yang bernama Agung Sedayu itu, namun ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuannya.
Karena itu, sambil bertempur Empu Tunggul Pawaka itu masih sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Ketika ia melihat sekilas Sekar Mirah yang bertempur melawan Nyi Dwani, maka dahinya nampak berkerut.
- Perempuan ini benar-benar murid dari perguruan Kedung Jati. Tongkat itulah yang harus dimiliki oleh Nyi Dwani. - berkata Empu Tunggul Pawaka " sukurlah bahwa tongkat itu dibawanya. Setelah aku menyelesaikan suaminya, maka perempuan itupun harus diselesaikan pula. Agaknya Nyi Dwani memang tidak dapat menyelesaikannya sendiri. "
Namun dalam pada itu Sekar Mirahpun sempat melihat sekilas-sekilas, bahwa tidak ada diantara mereka yang berada di padepokan itu, benar-benar murid perguruan Kedung Jati yang murni. Orang yang berteriak-teriak dan menyebut dirinya bernama Sela Antep itu juga bukan murid perguruan Kedung Jati.
Dengan demikian Sekar Mirah dapat mengetahui, bahwa sebuah permainan yang kasar telah terjadi.
" Tetapi mereka tentu memerlukan waktu yang panjang untuk mengikuti jejak perguruan Kedung Jati " berkata Sekar Mirah didalam hatinya.
Sementara itu, para cantrikpun telah hampir menyelesaikan pertempuran. Dua tiga orang datang membantu mereka yang untuk beberapa lama menguasai padepokan. Tetapi merekapun tidak berdaya melawan para cantrik yang marah. Karena itu, maka orang-orang yang terdesak itu berusaha untuk menghindar dari tangan-tangan para antrik. Dengan kelebihan mereka secara pribadi, ada diantara mereka sempat melepaskan diri dari padepokan itu.
Namun para cantrik itu selalu memburunya. Kemampuan mereka berlari.
Meskipun demikian, kelebihan mereka seorang-seorang sempat juga membingungkan para cantrik.
Tetapi dua orang dari mereka yang untuk beberapa lama menguasai dan memperlakukan para cantrik itu seperti budak-budak belian, tidak dapat lepas dari kemarah para cantrik, sehingga jiwa mereka tidak dapat diselamatkan lagi.
Disudut halaman Glagah Putih bertempur semakin sengit. Lawannya yang bertubuh tinggi telah mengerahkan segenap kemampuannya. Sepasang pedang pendek berada di genggaman kedua belah tangannya.
Glagah Putih tidak mau menjadi korban ilmu pedang orang itu. Ilmu pedang yang tinggi. Putaran sepasang pedang itu bagaikan kabut yang menyelimuti tubuhnya sehingga merupakan perisai yang sangat rapat. Namun kadang-kadang kabut itu menjilat kearah tubuh Glagah Putih yang berloncatan dengan tangkasnya.
Sementara itu Glagah Putihpun telah mengurangi senjatanya pula. Ikat pinggangnyapun mulai berputar.
Benturan-benturanpun tidak dapat dihindarkan lagi. Namun, setiap kali orang bertubuh tinggi itu mengumpat marah. Ikat pinggang kulit anak muda itu ternyata mampu menggetarkan pedang-pedang pendek di kedua belah tangannya.
Kemarahan yang menyala didada orang itu telah menghentaknya sehingga serangan-serangannya menjadi semakin garang. Tetapi ternyata sulit baginya untuk dapat menembus putaran ikat pinggang ditangan Glagah Putih.
Bahkan orang bertubuh tinggi itu terkejut ketika ujung ikat pinggang anak muda itu mulai menyengat tubuhnya.
Seleret luka telah menggores pundak orang bertubuh tinggi itu. Darah yang hangat mulai mengalir dari lukanya.
Darah itu membuat kendali orang bertubuh tinggi itu patah. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa seorang anak yang masih terlalu muda mampu melukainya.
Karena itu, maka kemampuan orang itupun telah memanjat sampai ke puncak.
Glagah Putih tertegun ketika ia melihat loncatan-loncatan bunga api dari pedang yang satu kepedang yang lain sehingga terbentang sebuah bidang yang dipenuhi dengan loncatan-loncatan bunga api yang panas.
Kemanapun sepasang senjata itu bergerak, maka loncatan-loncatan bunga api itu terjadi. Bahkan ketika sepasang pedang itu ada disebelah-menyebelah tubuh orang itu.
Glagah Putih meloncat surut untuk mengambil jarak. Dengan kerut di dahi, ia mencoba memahami ilmu lawannya.
Namun orang bertubuh tinggi itu tidak memberinya waktu. Dengan garangnya orang itupun telah meloncat menyerangnya.
Glagah Putihpun dengan tangkasnya menghindar. Namun serangan itu sangat menyulitkannya. Sepasang senjata itu telah menyebarkan udara panas dengan menaburkan bunga-bunga api. Jika Glagah Putih terjebak diantara sepasang pedang itu, maka rasa-rasanya tubuhnya bagaikan dipanggang diatas bara. Bahkan bunga-bunga api yang berloncatan itu telah mnimbulkan bintik-bintik luka bakar dikulitnya.
Glagah Putihpun segera mngalami kesulitan. Ia seakan-akan tidak lagi mampu mendekati lawannya. Jika ia memaksakan diri mnggapai lawannya, maka trasa udara panas itu membakarnya. Sengatan-sengatan bunga api di kulitnya semakin mnyakitinya.
Dngan demikian, maka Glagah Putih menjadi semakin terdesak. Srangan-serangan lawannya datang beruntun, seperti datangnya badai api yang mendera tubuhnya.
- Jangan menyesal anak muda - geram orang bertubuh tinggi r- kau telah masuk kedalam neraka yang akan membakarmu menjadi abu. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak ingkar, bahwa ia menjadi semakin terdsak.
Dalam keadaan yang gawat itu, Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ketika ia terdesak ke sudut halaman, sehingga seakan-akan tidak- lagi ada jalan keluar, maka Glagah Putihpun harus menyelamatkan diri dengan kemampuan puncaknya.
Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu berdiri tegak dengan sepasang pedang ditangannya. Dengan sorot mata yang menyala orang itu berkata - Ternyata umurmu terlalu pendek anak muda. Kau mati saat kau sedang mulai mekar. Saat ilmumu berkembang dengan suburnya.Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun mulai memusatkan njlar budinya untuk mempersiapkan ilmu pamungkasnya.
Ketika lawannya maju setapak, maka Glagah Putihpun telah melingkarkan ikat pinggangnya di lehernya.
Lawannya terkejut melihat sikap Glagah Putih. Dengan wajah yang tegang iapun bertanya -. Apa yang akan kau lakukan "

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putih masih tetap berdiam diri.
Namun lawannyapun mengerti, bahwa anak muda itupun sedang mengerahkan segenap ilmu dan kemampuannya.
Karena itu, maka ia tidak memberinya kesempatan. Sepasang pedangnyapun segera bergetar.
Tetapi pada saat orang bertubuh tinggi itu meloncat, Glagah Putih yang berdiri tegak itu sedikit merendahkan tubuhnya pada lututnya. Kedua tangannyapun bergerak menghentak dengan telapak tangannya menghadap kearan lawannya itu.
Akibatnya memang dahsyat sekali. Orang yang sedang meloncat itu telah disambar oleh sepercik cahaya yang meloncat dan meluncur dari telapak tangan Glagah Putih.
Orang bertubuh tinggi itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnyapun kemudian terbanting ditanah. Sepasang pedangnya terlepas dari genggamannya.
Orang bertubuh tinggi itu masih sempat berteriak nyaring. Kemarahan bagaikan meledak didadanya. Namun kemudian suaranya itupun terputus.
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan. Para pengikut Empu Tunggul Pawaka itu terhentak melihat kenyataan yang tidak pernah mereka duga kecuali Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang sudah mengetahui tataran kemampuan anak muda itu.
Tidak seorangpun yang sempat mendekati tubuh orang yang terkapar tidak jauh dari sudut halaman bangunan utama padepokan itu. Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri mempertahankan hidupnya sendiri. Jika hal itu tidak dilakukannya, maka Glagah Putih sendirilah yang akan menjadi abu.
Meskipun demikian, detak jantungnya terasa menjadi semakin cepat Di pandanginya tubuh yang terbaring diam itu.
" Aku tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, pertempuran di halaman itu masih berlangsung dengan sengitnya. Empu Tunggul Pawaka yang melihat salah seorang kawannya yang dibanggakan itu terbunuh, hatinya terguncang juga. Kecuali ia kehilangan seorang andalannya, maka keseimbangan pertempuran itu akan segera berubah. Anak muda yang telah kehilangan lawannya itu, akan segera menempatkan dirinya untuk menghadapi lawannya yang baru.
Untuk beberapa saat Glagah Putih masih berdiri ditempatnya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Semua orang yang berada dihalaman itu sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Glagah Putihpun melihat Sekar Mirah yang sedang bertempur melawan Nyi Dwani. Kedua-duanya bergerak dengan cepat. Nyi Dwani ternyata menggenggam sehelai pedang tipis, sementara Sekar Mirah mempergunakan tongkat baja putihnya.
Sejak berangkat dari Tanah Perdikan, Glagah Putih mempunyai keyakinan, bahwa Sekar Mirah tidak akan banyak menemui kesulitan seandainya ia harus bertempur lagi melawan Nyi Dwani.
Tetapi pertempuran itu sudah berlangsung terlalu lama. Namun masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa Sekar Mirah akan segera menguasai lawannya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Sekali lagi diamatinya orang yang terbaring beberapa langkah dihadapannya.
Tetapi orang itu tidak bergerak sama sekali.
" Apakah daya tahannya tidak mampu melindungi nyawanya " - bertanya Glagah Putih didalam hatinya.
Dengan hati-hati Glagah Putih mendekatinya. Dipeganginya ikat pinggangnya dengan kedua tangannya pada ujung-ujungnya.
Namun orang itu benar-benar sudah tidak bernafas lagi.
Glagah Putihpun kemudian telah beringsut lagi dari tempatnya. Hampir diluar sadarnya, Glagah Putih telah melangkah mendekati Sekar Mirah.
Empu Tunggul Pawaka menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa Nyi Dwani dapat menjadi pasangan yang mapan untuk memimpin sebuah perguruan yang bakal bangkit bersama Ki Saba Lintang. Jika anak muda itu ikut campur, maka Nyi Dwani memang akan dapat dihentikan sampai sekian. Nyi Dwani tidak akan mampu bertahan untuk menghadapi kedua-duanya. Sedangkan untuk menghadapi Sekar Mirah seorang diri Nyi Dwani sudah harus mengerahkan segenap kemampuan mengalahkan lawannya dan dalang membantunya, itu sudah satu keuntungan baginya. Namun ternyata yang datang justru salah seorang diantara sekelompok lawan yang datang ke padepokan itu.'
Ketika Glagah Putih berdiri didekat arena pertempuran antara Sekar Mirah dan Nyi Dwani, ia menjadi heran. Dari sorot mata Sekar Mirah sama sekali tidak nampak kesungguhannya bertempur melawan Nyi Dwani.
~ Kami sudah mendapatkan kesepakatan " berkata Sekar Mirah.
" Tentang apa " " bertanya Glagah Putih.
" Diamlah " berkata Sekar Mirah kemudian - nanti aku akan memberitahukanmu. --Jadi"- " Dekatilah Ki Ajar Trikaya yang mulai terdesak. "
-- Apakah kalian akan membunuh semua orang yang mencoba menduduki padepokan ini " - bertanya Nyi Dwani.
" Tidak. Setidak-tidaknya kau dan Empu Wisanata. " Kau yakin, bahwa Ki Jayaraga tidak akan membunuh ayah"-Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia masih berloncatan sambil memutar tongkatnya. Namun kemudian iapun berkata " Katakan kepada Ki Jayaraga, bahwa aku dan Nyi Dwani telah mencapai satu persetujuan. " Persetujuan apa mbokayu " "
" Nanti kau akan tahu ~ jawab Sekar Mirah.
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Iapun kemudian telah bergeser mendekati Ki Jayaraga yang masih bertempur melawan Empu Wisanata.
Ki Tunggul Pawaka menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya Nyi Lurah Agung Sedayu itu tidak membutuhkan bantuannya, sehingga anak muda yang telah membunuh lawannya itu bergeser ke tempat yang lain.
Glagah Putih melangkah dengan cepat melintas medan. Sekar Mirah sudah berpesan agar ia membantu Ki Ajar Trikaya. Tetapi ia harus menyampaikan pesan Sekar Mirah lebih dahulu kepada Ki Jayaraga.
Beberapa saat kemudian Glagah Putih telah berdiri di dekat arena pertempuran antara Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. Sebenarnyalah bahwa Empu Wisanata harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk mengalahkan Ki.Jayaraga. Bahkan nafas Empu Wisanata sudah mulai terengah-engah. Sementara itu, Empu Wisanata tidak berniat untuk melepaskan puncak ilmunya. Karena jika hal itu dilakukannya, maka hal itu berarti bahwa ia telah membunuh diri, Ki Jayaraga tentu juga akan melepaskan ilmu pamungkasnya.
Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sementara Empu Wisanatapun menjadi berdebar debar juga. Ia sadar bahwa anak muda itupun memiliki ilmu yang tinggi. Jika anak muda itu memasuki arena, maka Empu Wisanata itu tidak akan mampu mempertahankan diri untuk sepenginang lagi.
Tetapi Glagah Putih tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan nampak keragu-raguan membayang diwajarinya.
Namun akhirnya Glagah Putih itupun berkata - Ki Jayaraga. Mbokayu Sekar Mirah berpesan, bahwa mbokayu dan Nyi Dwani telah mencapai satu persetujuan. - Persetujuan apa "-- bertanya Ki Jayaraga.
- Mbokayu tidak mengatakannya - jawab Glagah Putih.
-Lalu"- - Terserah kepada kebijaksanaan Ki Jayaraa dan Empu Wisanata. Tetapi sebagai perbandingan bagi Empu dan Ki Jayaraga, mbokayu Sekar Mirah dan Nyi Dwani anaknya tidak bertempur bersungguh-sungguh. "
- Kau yakin " - bertanya Ki Jayaraga.
- Aku yakin. - Empu Wisanata meloncat mengambil jarak. Dengan kerut dikening ia bertanya - Apakah ini satu jebakan " - Tidak Empu ~ jawab Ki Jayaraga - jika aku berniat memenangkan pertempuran ini, maka aku tidak memerlukan jebakan itu. - Aku harus mengakuinya, Ki Jayaraga - Nah, sekarang aku harus mendekati Ki Ajar Trikaya yang harus bertempur melawan dua orang berilmu tinggi. ~ Untuk apa " " bertanya Empu Wisanata.
- Bukankah kita berada di sebuah medan pertempuran " -jawab Glagah Putih.
Empu Wisanata tidak menjawab. Namun ia harus segera berloncatan menghindari serangan Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga itu berdesis " Kita akan mengakhiri pertempuran ini sampai orang yang terakhir. "
Empu Wisanata tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksud Ki Jayaraga.
Dalam pada itu, Ki Ajar masih bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Wandala dan anak laki-lakinya yang wajahnya mirip sekali dengan Wanda sendiri. Hanya karena umurnya yang terpaut panjang, maka rambut Wanda sudah berwarna dua, sedangkan rambut anaknya nampak hitam lekam.
Ki Ajar Trikaya yang bertempur melawan keduanya harus meningkatkan ilmu semakin tingi. Jika semula anak Wanda itu tidak banyak dapat membantu ayahnya, namun semakin lama anak itu justru menjadi semakin segar. Jika Ki Ajar Trikaya yang mengerahkan kemampuannya itu mulai berkeringat, anak Wanda itu justru sebaliknya. Semakin lama ia menjadi semakin tangkas. Rasa-rasanya ilmunya menjadi semakin tinggi Ki Ajar Trikaya tidak lagi dengan mudah dapat mengenainya. Bahkan jika anak Wanda itu menangkis serangannya, maka benturan yang terjadi justru menyakiti tubuh Ki Ajar Trikaya.
- Kenapa dengan anak ini " - bertanya Ki Ajar didalam hatinya.
Yang ia lihat, setiap kali Wanda dan anaknya itu selalu menakupkan telapak tangan kanan mereka.
- Tentu ada artinya - berkata Ki Ajar didalam hatinya. Tetapi sangat sulit bagi Ki Ajar untuk mencegahnya. Setiap kali Ki Ajar terdesak beberapa langkah surut, maka keduanya mendapat kesempatan untuk menakupkan telapak tangan kanan mereka.
Semakin lama Ki Ajar memang semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangan kedua orang itu menjadi semakin keras dan cepat Susul menyusul. Sekali-sekali serangan mereka mampu menembus pertahanan Ki Ajar, sehinga Ki Ajar itupun setiap kali harus menahan sakit yang menyengat. Meskipun Ki Ajar sudah meningkatkan daya tahan tubuhnya, tetapi kekuatan kedua lawannya itu mampu menyakitinya.
Glagah Putih yang telah menyampaikan pesan Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga melangkah perlahan-lahan mendekati Ki Ajar Trikaya. Dengan saksama ia mencoba mengamati apa yang sedang terjadi. Semula Glagah Putih tidak menghiraukan, bahwa setiap kali Wanda dan anaknya itu selalu menakupkan telapak tangan kanan mereka. Namun setiap kali hal itu terjadi, maka Ki Ajarpun menjadi semakin terdesak. Yang muda diantara kedua lawan Ki Ajar itu menjadi semakin segar dan bertenaga.
Glagah Putih termangu-manu sejenak. Ia pernah mengalami bertempur melawan orang-orang yang mempunyai ilmu yang aneh. Diantaranya, dua orang saudara seperguruan yang ilmu keduanya meninkat semakin tiniggi, jika keduanya menjadi semakin dekat. Glagah Putihpun pernah menyaksikan ilmu yang membuatnya agak gelisah. Sentuhan kewadagan lawannya yang mendahului ujud wadag itu sendiri. Baru saja iapun telah menghadapi sejenis ilmu yang mendebarkan nya. Bidang panas yang menghubungkan sepasang senjata ditangan orang bertubuh tinggi itu.
Dengan seksama Glagah Putih memperhatikan ilmu kedua orang itu, sementara Ki Ajar Trikaya semakin lama terdesak. Meskipun Ki Ajar Trikaya juga seorang berilmu tinggi, namun sulit baginya untuk mengatasi kemampuan kedua orang lawannya yang bertempur berpasangan itu. Nampaknya Ki Ajarpun masih belum sempat melepaskan ilmu puncaknya, karena libatan serangan kedua orang lawannya yang tanpa berkeputusan itu.
Namun kehadiran Glagah Putih, agaknya telah membuat kedua orang itu gelisah. Apalagi mereka mengetahui, bahwa Glagah Putih telah berhasil menyelesaikan lawannya, seorang yang berilmu tinggi. Salah seorang kepercayaan Empu Tungul Pawaka.
- Jika anak ini melibatkan diri, maka keseimbanganpun akan segera berubah. - berkata Wanda didalam hatinya.
Sementara itu-Glagah Putihpun menjadi semakin memahami ilmu lawannya. Ki Ajar Trikaya agaknya memang belum sempat melepaskan ilmu puncaknya. Bahkan jika pertempuran itu berlangsung terus, agaknya Ki Ajar memang akan mengalami kesulitan untuk mengatasi kedua orang lawannya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian melangkah mendekat sambil berkata " Maaf, Ki Ajar. Aku telah kehilangan lawan. Orang itu demikian cepat menjadi jemu dan menghentikan perlawanannya. Sementara itu, Ki Ajar mempunyai kelebihan lawan.
Ki Ajar Trikaya meloncat surut. Namun Ki Ajar itu justru bertanya " Bagaimana dengan Ki Wijil" Bukankah ia harus bertempur melawan dua orang " "
Glagah Putih melepaskan pandangan matanya kearah Ki Wijil yang sedang bertempur melawan dua orang. Namun agaknya kedua orang itu tidak terlalu berbahaya bagi Ki Wijil meskipun keduanya juga berilmu tinggi.
Bahkan sesaat Glagah Putih tertegun melihat betapa Ki Wijil mengatasi kedua orang lawannya.
- Jika Ki Wijil itu salah seorang yang dikenal baik dan mengenal baik Ki Patih Mandaraka, pantaslah bahwa ilmunya sangat tinggi. Glagah Putih tersadar ketika Ki Ajar harus meloncat mengambil jarak dari kedua lawannya. Namun sebelum kedua .lawannya itu memburunya, Glagah Putih itupun melangkah mendekat sambil berkata " Biarlah aku terlibat disini saja lebih dahulu Ki Ajar. Aku berharap bahwa seseorang yang lain akan mengambil alih salah seorang lawan Ki Wijil itu. ~ Tetapi berhati-hatilah ngger - pesan Ki Ajar.
Dalam pada itu Wanda yang menjadi berdebar-debar itu berteriak - Marilah anak muda, jika kau ingin dengan cepat mengakhiri hidupmu. " Jangan mengelabuhi diri sendiri - desis Glagah Putih " kalian berdua tentu menyadari, bahwa kedudukan kalian akan menjadi semakin sulit. Tanpa akupun kalian tidak akan mungkin dapat mengalahkan Ki Ajar Trikaya. Apalagi jika aku campur dalam pertempuran ini.
" Persetan dengan kesombonganmu anak muda. Marilah, kau akan lebih cepat mati. "
" Kematianku tidak berada di tanganmu. Lihat kawanmu yang bertubuh tinggi itu. Meskipun aku sama sekali tidak berniat membunuhnya tetapi ia telah mati.
" Cukup - teriak Wanda yang dengan garangnya menyerang Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia mengelak.
Ternyata Wanda itu tidak memburunya. Dengan cepat orang itu meloncat kembali mendekati anaknya yang sedang mengelakkan serangan Ki Ajar.
Keduanya setiap kali masih menakupkan telapak tangan mereka. Namun kemudian mereka pun bersiap menghadapi kedua orang lawan yang berdiri disisi yang berbeda.
Glagah Putih mulai memahami ilmu lawannya. Karena itu, maka ia harus berusaha menjauhkan kedua orang ayah dan anaknya itu.
Dalam pada itu, Ki Ajarpun telah menyerang lawannya yang muda, sedangkan Glagah Putih menyerang ayahnya. Betapapun serangan itu datang beruntun, namun keduanya tetap bertahan. Mereka bertempur beradu punggung, berkisar sedikit mengikuti gerak lawan yang bergeser. Tetapi keduanya tidak saling menjauhi.
" Sentuhan telapak tangan keduanya agaknya sangat berpengaruh atas ilmu mereka " berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka Glagah Putihpun menjadi semakin yakin. Setiap kali salah seorang dari mereka berdua tersentuh serangan lawan, daya tahan mereka rasa-rasanya menjadi semakin meningkat sehingga mengatasi sengatan rasa sakit apabila mereka menakupkan telapak tangan mereka. Jika salah seorang mengalami kesulitan, maka sentuhan telapak tangan mereka itu dengan cepat telah menghentakan mereka mengatasi kesulitannya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian bergeser mendekati Ki Ajar sambil berdesis " Kita akan menyerang bersama-sama. Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tanggap. Dengan demikian, keduanya ayah dan anak itu tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk menyatukan telapak tangan mereka.
Karena itu, maka ketika Glagah Putih kembali bergeser menjauh, Ki Ajarpun segera mempersiapkan dirinya. Kesempatan memang telah terbuka baginya, sejak Glagah Putih hadir diarena itu. Kedua lawannya tidak lagi mendapat kesempatan untuk menyerangnya beruntun seperti angin prahara.
Dalam para itu, kedua orang ayah dan anaknya itupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pada saat yang gawat, maka sekali lagi mereka mengatupkan telapak tangan kanan mereka.
Glagah Putih dan Ki Ajar Trikaya menjadi berdebar-debar ketika.mereka melihat pada saat kedua telapak tangan itu dikatupkan, asap putih yang mengepul dari antara kedua telapak tangan itu.
Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Ki Ajar Trikaya yakin, bahwa Wanda dan anaknya itu telah sampai kepuncak ilmunya pula.
Glagah Putih yang tidak mempergunakan senjatanya, telah memusatkan nalar budinya. Untuk menghadapi lawannya yang sudah berada dipuncak ilmunya, maka Glagah Putihpun telah melakukannya pula. Namun ia tidak lagi ingin menyerang lawannya dangan lontaran ilmunya dari telapak tangannya. Tetapi Glagah Putih telah siap untuk menghadapi lawannya dengan ilmunya Sigar Bumi yang diwarisinya dari Ki Jayaraga.
Demikianlah, maka pada saat yang hampir bersamaan, Ki Ajarpun telah bersiap pula untuk menyerang.
Namun ternyata bahwa Wanda dan anaknya tidak sekedar menunggu. Mereka tidak ingin mendapat serangan Glagah Putih dari jarak beberapa langkah. Karena itu, maka Wandalah yang kemudian meloncat sambil mengayunkan tangannya kearah ubun-ubun Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak membiarkan kepalanya dibelah oleh ilmulawannya. Pada saat yang bersamaan iapun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya pula untuk melepaskan ilmunya, Sigar Bumi.
Wanda tidak mengira bahwa anak muda itu akan membentur serangannya. Ia mengira bahwa Glagah Putih akan menyongsong ilmunya dengan lontaran ilmu dari telapak tangannya.
Jika itu yang terjadi, Wanda telah bersiap untuk menggeliat menghindar sambil berputar sekaligus mengayunkan tangannya ke tubuh lawannya.
Tetapi ternyata tidak. Glagah Putih tidak menyerangnya dari jarak beberapa langkah. Tetapi tidak menyerangnya dari jarak beberapa langkah. Tetapi Glagah Putih justru telah meloncat menyerangnya.
Dengan demikian maka Wanda tidak dapat sekedar menggeliat menghindari serangan anak muda itu. Jika ia menggeliat, maka anak muda itu akan dapat mengubah arah serangannya, sehingga justru akan menjadi sangat berbahaya baginya.
Karena itu, maka Wanda itu tidak dapat berbuat lain. Ia harus membenturkan ilmunya. Ia memperhitungkan bahwa lawannya yang masih muda itu tentu belum sempat mematangkan ilmunya, sehingga ia masih berharap bahwa ilmunya akan selapis lebih tinggi dari lawannya yang masih muda itu.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Dua jenis ilmu yang jarang ada duanya.
Glagah Putih ternyata telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Dadanya serasa tertindih oleh batu yang sangat berat, sehingga nafasnyapun menjadi sesak. Pandangan matanya menjadi kabur ke kuning-kuningan.
Namun dalam pada itu, lawannyapun terpelanting dengan kerasnya. Tubuhnyapun kemudian tebanting diatas tanah yang keras.
Benturan ilmu itu membuat jantungnya seakan-akan menjadi pecah.
Mata Wandapun menjadi berkunang-kunang. Langitpun rasa-rasanya telah berputar. Bahkan rasa-rasanya langit ku menjadi retak dan runtuh menimpanya.
Semuanya kemudian menjadi gelap.
Sementara itu, anak Wanda itupun tidak mempunyai-banyak kesempatan. Karena ia meloncat menyerang Ki Ajar Trikaya, maka telah terjadi pula benturan ilmu ,yang keras. Anak yang wajahnya mirip sekali dengan ayahnya itupun terlempar pula beberapa langkah. Dadanya bagaikan pecahan isinya seakan-akan telah menjadi rontok karenanya.
Anak Wanda itupun tidak: mampu mempertahankan hidupnya. Ki Ajar Trikaya ternyata tidak mampu diimbanginya. Ilmu Ki Ajar - terlalu tinggi baginya.
Sejenak Ki Ajar Trikaya dan Glagah Putih itu berdiri termangu-mangu. Jika Wanda itu juga mati, maka Glagah Putih telah membunuh dua orang di halaman padepokan itu.
Namun dalam pada itu, tubuh Glagah Putih sendiri menjadi gemetar. Kakinya seakan-akan tidak kuat menyangga tubuhnya, sehingga karena itu, maka Glagah Putih itupun telah melangkah dengan gontai ke tangga pendapa. Tanpa menghiraukan pertempuran itu lagi, Glagah Putih telah duduk di tangga pendapa untuk mengatur pernafasannya.
Ki Ajar Trikaya itupun melangkah mendekatinya. Dengan cemas ia bertanya - Kenapa ngger " Apakah benturan ilmu itu membuat goncangan didalam dadamu " " Ya. Ki Ajar. ~ desis Glagah Putih!
" Kau harus minum obat untuk membantu daya tahan tubuhmu, ngger. ~ Aku sudah membawa, Ki Ajar. Kakang Agung Sedayu selalu membekalinya."
" Baiklah. Minumlah. Kau akan segera menjadi baik kembali.Glagah Putihpun mengambil sebuah bumbu kecil dari kantong bajunya, dari dalamnya diambilnya sebutir obat yang kemudian ditelannya. Obat yang terdiri dari reramuan dedaunan yang dibuat oleh Agung Sedayu yang ternyata juga mewarisi sebagian dari kemampuan Kiai Gringsing tentang obat-obatan.
Glagah Putihpun kemudian duduk dipendapa dengan menyilangkan kaki dan tangannya. Sambil mengatur pernafasannya, Glagah Putih merasakan aliran darah di urat-urat nadinya. Semakin lama menjadi semakin teratur.
Dalam pada itu, Ki Ajar masih berdiri ditangga pendapa mengamati keadaan Glagah Putih. Namun beberapa saat kemudian, ia melihat perubahan telah terjadi. Wajah anak muda itu tidak lagi menjadi pucat. Karena itu, maka Ki Ajarpun menjadi yakin, bahwa anak-muda itu akan segera menjadi baik.
Karena itu, maka Ki Ajarpun segera melayangkan pandangan matanya ke halaman. Pertempuran masih terjadi. Dilihatnya Ki Wijil masih bertempur melawan dua orang yang sekali-sekali berhasil mendesaknya. Namun kemudian Ki Wijillah yang telah mengejutkan mereka, sehingga kedua lawannya itu berloncatan surut.
Meskipun Ki Wijil masih tetap bertahan, namun agaknya sulit bagi Ki Wijil untuk dapat mengalahkan kedua orang lawannya. Bahkan semakin lama, Ki'Wijil yang harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya itu, akan menjadi letih.
Ki Ajar menarik nafas panjang. Ki Wijil terjebak dalam pertempuran saat ia datang menengoknya. Karena itu, maka Ki Wijil tidak seharusnya mengalami kesulitan, apalah cidera, sementara ia sendiri selamat dan terlepas dari lawan lawannya.
Karena itu, maka Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Glagah Putih yang keadaannya sudah menjadi semakin baik. Hati-hatilah, anak muda. Aku akan melibatkan diri dalam pertempuran itu lagi. Aku ingin membantu Ki Wijil yang bertempur melawan dua orang lawan.
Glagah Putih yang memang sudah merasa lebih baik itupun berkata - Silahkan, Ki Ajar. Ki Ajarpun kemudian bergeser, meninggalkan GLagah Putih ang masih duduk dipendapa Dihindarinya lingkaran lingkaran pertempuran yang masih terjadi dihalaman, karena Ki Ajar ingin langsung bergabung dengan Ki Wijil yang masih harus bertempur melawan dua orang. Keduanya berilmu tinggi. Namun tataran kemampuannya yang seorang tidak setinggi seorang yang lain.
Namun langkah Ki Ajar tertegun ketika ia melihat seorang yang menyebut dirinya Sela Antep itu bagaikan harimau yang terluka mengamuk dengan sebatang tongkat besi ditangannya. Sambil mengayun-ayunkan tongkat besinya yang berat, ia mendesak lawannya yang setiap kali berloncatan surut.
Sabungsari yang bertempur melawan Sela Antep itu memang agak terdesak surut. Sela Antep yang bertempur sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat dengan kasar itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Semakin lama kekuatannya seakan-akan tumbuh semakin besar. Sabungsari yang bersenjata pedang, mengalami kesulitan menghadapi lawannya itu. Tenaganya semakin lama tidak menjadi semakin surut. Tetapi dalam benturan-benturan yang terjadi terasa bahwa kekuatan ilmu Sela Antep itu memang menjadi semakin besar.
Sabungsari menyadari bahwa hal itu terjadi karena ilmu Sela Antep yang tinggi. Iapun mengerti bahwa peningkatan tenaga dan kekuatan itupun akan sampai pada satu batas tertentu, sehingga kekuatan itu tidak akan bertambah lagi. Bahkan kemudian sejalan dengan tenaga dari kekuatan yang dikerahkan, maka tenaga dan kekuatan itu akan menyusut lagi.
Tetapi Sabungsari itu tahu, sampai sebatas mana tenaga dan kekuatan itu akan bertambah-tambah lagi. Sampai sebatas mana Sela Antep mampu bertahan pada puncak ilmunya.
Sabungsari tidak yakin, bahwa ia akan mampu mengimbangi kemampuan lawannya pada saat lawannya mencapai puncak kemampuannya. Karena itu, maka Sabungsaripun tidak mempunyai pilihan kecuali berusaha menghentikan pertempuran itu secepatnya.
Ketika ayunan batang besi di tangan Sela Antep itu semakin mendesak Sabungsari, maka rasa-rasanya Sabungsari benar-benar kehilangan kesempatan. Satu benturan yang keras telah terjadi, justru pada saat Sela Antep berada pada puncak kemampuannya.
Sabungsari terkejut. Tangannya yang menggenggam hulu pedangnya itu bagaikan menggenggam bara. Demikian kerasnya benturan itu terjadi, pedih yang menyengat telapak tangan serta benturan yang demikian tiba-tiba, membuat Sabungsari kehilangan kesempatan untuk mempertahankan senjatanya. '
Kelana Buana 18 Dewa Arak 01 Pedang Bintang Kaki Tiga Menjangan 11

Cari Blog Ini