Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 25

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25


"Tetapi mereka berjalan dengan tenang. Jika mereka anak buah perampok yang merampok rumah ini, mereka tentu nampak gelisah atau tergesa-gesa."
"Tetapi seharusnya mereka tidak pergi begitu saja. Setidaknya aku sempat mengucapkan terima kasih kepada mereka."
Dalam pada itu, semakin lama semakin banyak orang yang datang ke rumah yang dirampok itu. Orang-orang yang pergi nonton tari topeng sebagian sudah kembali. Mereka yang mendengar bahwa telah terjadi perampokan segera pergi ke rumah itu.
Sementara itu, diluar padukuhan, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan, berjalan dengan cepat menjauh. Mereka sengaja meninggalkan rumah orang yang dirampok itu dengan diam-diam setelah mereka yakin, bahwa Ki Demang dan para bebahu sudah datang bersama beberapa orang. Apalagi para perampok itu sudah tidak berdaya.
"Kita tidak mau tertahan terlalu lama di padukuhan ini," berkata Ki Citra Jati, "jika kita harus menemui Ki Demang, maka belum tentu esok pagi kita dapat melanjutkan perjalanan. Kita harus memberikan keterangan tentang para perampok itu."
"Ya, ayah," sahut Glagah Putih, "semakin cepat kita sampai ke tujuan, tentu semakin baik."
"Kita sudah berjanji untuk tidak melibatkan diri serta mencampuri persoalan yang terjadi pada orang lain di sepanjang perjalanan," berkata Nyi Citra Jati, "tetapi kita tentu tidak akan dapat tinggal diam jika terjadi peristiwa seperti ini."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk, "yang kita lakukan termasuk kewajiban kita bagi sesama."
"Itulah sebabnya kita terpaksa terlibat," sahut Ki Citra Jati, "tetapi jangan menyita waktu terlalu banyak. Karena itu, kita memilih untuk segera pergi."
"Pemilik rumah itu tentu mencari kita," desis Rara Wulan.
"Ya. Bahkan Ki Demang-pun tentu mencari kita pula."
"Apa boleh buat," gumam Ki Citra Jati seolah-olah ditunjukkan kepada diri sendiri.
Keempat orang itu-pun berjalan semakin lama semakin jauh. Sementara itu malampun telah memasuki dini hari.
"Apakah kita masih akan berhenti?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Nampaknya di depan kita itu terbentang sebuah padang perdu. Kita dapat beristirahat sampai fajar."
Keempat orang itu-pun berjalan terus. Seperti yang mereka duga, maka beberapa saat kemudian mereka-pun memasuki sebuah padang perdu yang menyekat bulak persawahan dengan hutan yang membujur panjang.
"Kita beristirahat sebentar. Kita dapat duduk dibawah pohon itu. Mungkin kita akan dibasahi oleh titik-titik embun."
"Seekor binatang buas dapat saja mendatangi kita menjelang fajar."
"Binatang yang malang. Tetapi rasa-rasanya kita berada di jarak yang cukup jauh, sehingga binatang buas itu tidak akan mencium bau kehadiran kita."
"Angin bertiup ke arah hutan itu."
"Binatang buas itu tentu sudah kenyang."
Yang mendengar jawaban Ki Citra Jati-pun tertawa.
Sejenak kemudian, mereka berempat-pun berhenti dibawah sebatang pohon yang besar. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun kemudian duduk diatas akar pohon yang besar itu bersandar pada batangnya. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah duduk pada akarnya pula. Akar pohon yang menjalar panjang diatas tanah.
"Agaknya lebih hangat bermalam di banjar itu," desis Nyi Citra Jati.
Ki Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.
"Dibanjar itu aku dapat berbaring di pembaringan," sambung Rara Wulan.
"Disini akar batang yang besar ini-pun basah oleh embun," sahut Nyi Citra Jati.
"Bukankah kita memilih duduk disini, dibawah titik-titik embun dari pada duduk di pringgitan rumah orang yang dirampok itu. Disana kita akan mendapat minuman hangat. Sementara itu di dapur para pembantu orang kaya itu sibuk menyiapkan makan pagi bagi kita. Menangkap seekor ayam atau beberapa butir telur atau kedua-duanya."
"Tidurlah. Mungkin mimpi kita akan sama. Nasi hangat, ingkung seekor ayam jantan yang tidak terlalu besar, telur dadar, pepes gurameh."
Keempat orang itu tertawa menyentak.
"Sst. jangan mengejutkan seekor harimau yang sedang tidur."
Ternyata mereka tidak begitu lama duduk dibawah pohon itu. Ketika bayangan fajar mewarnai ujung langit, maka mereka-pun segera bangkit dan melanjutkan perjalanan.
"Kita tentu akan melintasi sungai," desis Ki Citra Jati.
Sementara itu, puncak Gunung Merapi dan Merbabu-pun menjadi merah. Sinar Matahari yang bangkit dari kaki langit, memancar menyiram puncak sepasang gunung yang berdiri berjajar itu. Gunung yang menjadi ancar-ancar perjalanan mereka.
Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, mereka sampai ke sebuah tebing yang rendah. Dibawah tebing itu mengalir sebatang sungai yang tidak begitu besar.
"Airnya jernih sekali," desis Rara Wulan, "butir-butir pasir yang lembut didasar sungai itu dapat dilihat dengan jelas. Bahkan kelompok-kelompok wader pari yang berenang menyongsong aliran sungai itu."
"Tetapi kita tidak akan dapat menangkap ikan-ikan kecil itu," desis Glagah Putih.
"Jika kita mempunyai irig, kita akan dapat menangkapnya."
"Tetapi hanya satu dua."
"Ya." Demikianlah keempat orang itu sempat mencuci muka di sungai kecil itu. Membenahi pakaian, dan sejenak kemudian, mereka-pun siap untuk melanjutkan perjalanan yang panjang.
Meski-pun mereka semalam tidak tidur, tetapi mereka sudah terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat. Bahkan menjalani laku tidak hanya sehari dua hari. Sehingga karena itu, maka mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka tanpa merasa terganggu.
Bahkan mereka-pun sudah bertekad untuk tidak melibatkan diri kedalam persoalan orang lain yang mereka temui di perjalanan. Kecuali yang sangat mendesak serta menyangkut keselamatan nyawa sesama.
Sehari itu, mereka benar-benar dapat menyingkirkan dari hambatan-hambatan. Ketika mereka berhenti di sebuah kedai, maka mereka benar-benar tidak menghiraukan orang-orang yang ada dis-ekitar mereka. Demikian mereka selesai makan dan minum, maka mereka telah sampai ke jalan yang sudah mereka kenal dengan baik, terutama Glagah Putih, meski-pun ia jarang melewatinya. Jalan itu adalah jalan yang menuju ke Sangkal Putung.
Tetapi mereka bertekad untuk tidak singgah di Sangkal Putung. Tetapi mereka akan singgah di padepokan kecil dari perguruan orang bercambuk esok pagi.
Ketika malam turun, mereka masih belum mencapai padepokan kecil itu. Malam itu mereka bermalam di sebuah banjar padukuhan kecil. Banjarnya juga tidak terlalu besar. Penunggu banjar itu juga seorang yang hidupnya sehari untuk sehari.
Tetapi penunggu banjar itu ternyata seorang yang baik hati. Malam itu, penunggu banjar itu telah mencabut sebatang ketela pohon di kebun belakang banjar padukuhan itu untuk direbus dan dihidangkan kepada keempat orang yang bermalam di banjar itu.
"Terima kasih Ki Sanak," berkata Ki Citra Jati.
Apa yang diberikan oleh penunggu banjar itu yang terhitung miskin sangat berarti bagi keempat orang yang sedang dalam perjalanan. Apa yang diberikan itu bagi penunggu banjar itu terhitung sangat berharga. Lebih berharga dari semangkuk nasi dengan telur dan daging-dari seorang yang berkecukupan, karena harga nasi, telur, dan daging itu bagi orang yang berkecukupan tidak berarti apa-apa.
Dikeesokan harinya, ketika Ki Citra Jati sekeluarga minta diri, maka Nyi Citra Jati telah memberikan beberapa keping uang kepada anak penunggu banjar itu. Anak yang masih kecil yang belum tahu arti uang beberapa keping itu.
Tetapi ibunyalah yang terkejut. Uang beberapa keping itu baginya banyak untuk sebuah pemberian.
Karena itu, maka perempuan itu-pun bertanya dengan suara bergetar, "Apakah Nyai tidak keliru" Nyai memberikan beberapa keping uang itu kepada anakku."
"Tidak. Aku tidak keliru. Kau sangat baik kepada kami. Kau berikan kami makan pada saat kami merasa sangat lapar."
"Tetapi yang kami suguhkan tidak lebih dari beberapa potong ketela pohon yang kami cabut di kebun belakang."
"Beberapa potong ketela pohon itu artinya bagi seseorang yang lapar jauh lebih besar dari beberapa keping uang yang aku berikan kepada anakmu. Tetapi bukan maksud kami menghargai pemberianmu itu dengan uang. Seandainya aku mempunyai uang berlebih, belum tentu aku mendapatkan makan ketela yang beberapa potong itu malam tadi. Yang aku berikan kepada anakmu itu sekedar pernyataan terima-kasih kami kepada keluargamu."
Perempuan itu mencium tangan Nyi Citra Jati. Dengan nada dalam ia-pun berkata, "Kami sangat berterima kasih atas kemurahan hati Nyai serta keluarga Nyai."
Demikianlah, maka sejenak kemudian keempat orang itu-pun telah meninggalkan banjar padukuhan yang tidak cukup besar itu. Tetapi yang agaknya cukup memadai bagi sebuah padukuhan yang sederhana.
Ketika matahari naik, keempat orang itu telah berada di sebuah bulak yang panjang.
"Kita menuju ke Jati Anom, ayah," berkata Glagah Putih kepada Ki Citra Jati.
"Jati Anom." "Ya. Ayah tinggal di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing yang disebut Orang Bercambuk, sehingga padepokan kecil itu juga kami sebut padepokan Orang Bercambuk."
"Jadi, semua orang di padepokan itu membawa cambuk?" Yang mendengar pertanyaan itu tertawa.
Namun Ki Citra Jati itu-pun kemudian berkata, "aku sudah mendengar tentang orang Bercambuk itu. Meski-pun kami tidak menyebutnya demikian, tetapi perguruan kami mengenal seseorang yang bersenjata sehelai cambuk."
"Orang itu telah meninggalkan sebuah padepokan kecil yang sekarang ditunggui oleh ayahku. Ayahku dahulu seorang prajurit. Namun kemudian ia memilih untuk hidup di padepokan kecil itu."
"Kami akan senang sekali dapat berkenalan dengan ayahmu yang sebenarnya."
"Terima kasih, ayah," sahut Glagah Putih.
Dalam pada itu, matahari-pun memanjat langit semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik tubuh mereka. Keringat-pun mulai mengembun dan membasahi pakaian mereka.
"Kalau kita mengambil jalan kekiri disimpang ampat tadi, bukankah kita akan sampai ke Sangkal Putung?"
"Ya. Jalan itu akan sampai ke Sangkal Putung," jawab Glagah Putih.
Tetapi mereka mengambil jalan yang lurus, yang akan langsung sampai ke padepokan kecil yang terletak di sebelah Timur Jati Anom itu.
Semilir angin yang bertiup dari. Selatan membuat tubuh-tubuh yang kepanasan itu menjadi agak segar. Namun bukan hanya mereka berempat sajalah yang berjemur di teriknya matahari. Beberapa orang yang bekerja di sawah-pun telah berjemur pula, sementara kaki mereka berendam di dalam lumpur.
Beberapa orang perempuan yang sedang matun mengenakan caping bambu yang lebar untuk melindungi kepala mereka dari panasnya cahaya matahari.
Baru lewat tengah hari, mereka memasuki jalan yang langsung menuju ke padepokan kecil dari perguruan yang kemudian disebut Perguruan Orang Bercambuk.
Ki Citra Jati-pun kemudian bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, "Alangkah asrinya padepokan itu."
"Ayah dan para cantrik tidak sempat memelihara padepokan itu sebaik-baiknya, ayah. Tidak seperti padepokan yang dipimpin oleh kakang Mlaya Werdi yang rajin dan tertata rapi."
"Bahkan kebun di belakangnya-pun nampak seperti sebuah taman dengan beberapa buah kolam yang dihiasi dengan ikan-ikan yang berwarna-warni."
Ki Citra Jati tertawa. Katanya, "Kau terlalu memuji, Glagah Putih. Padepokan itu sejak semula tatanannya memang kurang terpelihara. Orang-orang di padepokan itu perhatiannya hanya tertuju kepada olah kanuragan tanpa sempat memperhatikan lingkungannya, yang ternyata memegang peran yang penting bagi kehidupan sekelompok orang."
"Para cantrik yang tinggal di padepokan kecil itu juga terlalu sibuk, ayah. Selain harus berlatih dalam olah kanuragan, mereka harus bekerja bagi persediaan bahan pangan mereka serta kelengkapan yang lain. Di malam hari mereka harus mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang kehidupan yang harus mereka jalani, serta mempelajari pengetahuan yang akan diperlukan di hari-hari mendatang. Terutama tentang tatanan hidup dalam lingkungan sesama serta pengetahuan tentang pertanian, memelihara ternak, kolam ikan dan membaca serta menulis meski-pun tidak sedalam yang didapat oleh para cantrik di padepokan kakang Mlaya Werdi."
Nyi Citra Jatilah yang menyahut, "Kami tentu akan kerasan tinggal dipadepokan itu, Glagah Putih. Jangan-jangan kami segan melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa, sementara Ki Citra Jati-pun berkata, "Di padepokan itu tidak diperlukan juru dang, karena para cantrik sudah pandai menanak nasi sendiri."
Nyi Citra Jati-pun tertawa berkepanjangan.
Sejenak kemudian, maka mereka-pun telah sampai di pintu gerbang padepokan kecil dari perguruan yang disebut perguruan Orang Bercambuk.
Seperti yang dikatakan Qleh Ki Citra Jati yang melihat dari luar pintu gerbang, bahwa padepokan itu memang nampak terpelihara rapi. Ketika ia memasuki pintu gerbang, maka Ki Citra Jati menjadi semakin yakin, bahwa isi padepokan itu mempuyai perhatian yang sangat tinggi terhadap lingkungannya.
Kedatangan Galgah Putih dan Rara Wulan di padepokan itu memang agak mengejutkan para cantrik. Mereka tahu bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan sedang menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka untuk mencari dan mendapatkan tongkat baju putih, pertanda kepemimpinan dari sebuah perguruan besar yang disebut perguruan Kedung Jati. Perguruan yang semula mempunyai pengikut terbesar di Jipang. Bahkan ada diantara para pemimpin perguruan itu yang menjadi pemimpin pula di Jipang.
Tetapi yang kemudian, perkembangannya menjadi lain. Ketika para pemimpin Jipang tidak lagi memegang pimpinan di perguruan itu, maka perguruan itu seakan-akan telah berubah haluan. Para pemimpin perguruan itu tidak lagi berpegang pada paugeran dan perguruan yang ingin mereka angkat kembali ke permukaan.
Mereka justru hanya ingin menumpang pada kebesaran nama perguruan itu untuk kepentingan yang tidak jelas dari beberapa orang yang berkesempatan untuk menyatakan diri sebagai penumpin perguruan itu.
Dalam pada itu, dua orang cantrik telah menyongsong kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan seorang cantrik telah memberitahukan kehadiran mereka kepada Ki Widura yang sedang berada di belakang bengunan utama padepokannya bersama beberapa orang cantrik yang sedang memperbaiki dinding serambi yang lapuk.
Dengan tergesa-gesa Ki Widura-pun meninggalkan cantrik-cantriknya sambil berpesan, "Selesaikan kerja ini. Anakku datang kemari."
Ketika Ki Widura keluar dari pintu pringgitan bangunan utama padepokan kecil itu, maka ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan.
"Marilah Glagah Putih, Rara Wulan. Silahkan Ki Sanak berdua naik."
Sejenak emudian mereka telah duduk di pringgitan. Ki Widura-pun kemudian mengucapkan selamat datang kepada anak dan menantunya serta kedua orang tamu yang datang bersama mereka.
"Kami semuanya selamat di perjalanan ayah," sahut Glagah Putih, "bagaimana dengan ayah dan seluruh isi padepokan ini?"
"Semuanya baik-baik saja, Glagah Putih."
"Ayah," berkata Glagah Putih kemudian. Ia-pun segera memperkenalkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati bukan saja sebagai ayah dan ibu angkat mereka, tetapi juga sebagai guru mereka.
"Saya mengucapkan terima kasih, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang telah mengangkat anak dan menantuku menjadi anak angkat. Bahkan lebih dari itu, keduanya telah mendapat bimbingan untuk dapat menguasai ilmu yang akan sangat berarti bagi masa depan mereka."
"Kami bukan orang-orang berilmu tinggi," berkata Ki Citra Jati, "kami hanya ingin menitipkan ilmu yang dengan susah payah kami pelajari agar tidak menjadi punah. Anak kandung kami yang hanya seorang, ternyata telah memilih mewarisi ilmu yang dialiri oleh cabang perguruan yang lain, sehingga justru karena itu, ia tidak lagi dapat mewarisi ilmu kami. Sementara itu, aku melihat kelebihan pada Glagah Putih dan Rara Wulan, sehingga menurut pendapat kami, akan dapat menjadi sarang kemampuan kami yang tidak seberapa berarti itu. Dengan demikian sepeninggal kami berdua, ilmu kami masih akan tetap hidup di dalam diri Glagah Putih dan Rara Wulan bersama-sama dengan cabang ilmu berbagai perguruan yang sudah ada lebih dahulu di dalam diri mereka."
"Ilmu yang Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berikan, akan melengkapi perbendaharaan ilmu mereka. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih."
"Selanjutnya, perkenankanlah kami berdua tetap ikut mengaku keduanya anak dan menantu kami."
"Silahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Anak-anak itu tentu merasa semakin hangat jika mereka mempunyai orang tua rangkap, di samping mertua mereka."
Perkenalan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dengan Ki Widura-pun cepat menjadi akrab. Mereka merasa bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan merupakan perekat dari hubungan mereka.
Hari itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati beristirahat di padepokan kecil di Jati Anom itu. Sementara itu, Glagah Putih-pun telah menceritakan perjalanannya sejak ia berangkat sampai ia kembali dan singgah di padepokan kecil itu.
"Murut keterangan yang aku dengar itu, Ki Saba Lintang sedang bersiap-siap untuk mendatangi rumah kakang Agung Sedayu."
"Bukankah mereka pernah mencobanya dan ternyata mereka tidak berhasil?"
"Ya, ayah." Ki Widura mengangguk-angguk. Namun nampak di wajah Ki Widura bahwa ada sesuatu yang ingin diungkapkannya meski-pun agak ragu-ragu.
"Glagah Putih," berkata Ki Widura, "sekarang sebaiknya kalian beristirahat saja lebih dahulu. Mungkin kau ingin menunjukkan kepada ayah dan ibu angkatmu, lingkungan yang terdapat di padepokan ini. Halaman depan, halaman samping, beberapa barak, kebun dengan kolam-kolam ikan, serta sebidang tanah untuk peternakan selain sawah ladang kami yang terbentang sampai ke pinggir hutan. Tetapi kalian tentu tidak akan pergi keluar dinding padepokan sehingga yang kalian lihat-pun tentu hanya terbatas saja."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Meski-pun kepalanya mengangguk, tetapi ia masih belum menjawab.
"Nanti malam aku ingin berbicara tentang usaha orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu."
"Kenapa menunggu nanti malam, ayah?" bertanya Glagah Putih.
Ki Widura tersenyum. Katanya, "di malam hari kita akan berada di dalam suasana yang lebih tenang. Udara tidak terlalu panas dan rasa-rasanya tugas-tugas kita yang lain untuk hari ini sudah kita selesaikan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Baik ayah."
"Nah, ajak ayah dan ibu angkatmu beristirahat sambil melihat-lihat kolam ikan kami. Para cantrik agaknya berhasil memelihara ikan dan mentemakkannya."
Seperti yang dikatakan ayahnya, maka Glagah Putih-pun telah mempersilahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk melihat-lihat lingkungan di padepokan itu disertai oleh Rara Wulan. Ternyata mereka sangat tertarik kepada beberapa kolam ikan yang terdapat di bagian belakang dari padepokan itu.
"Sangat menyenangkan," berkata Nyi Citra Jati, "kolam-kolam ini terpelihara sangat baik. Perputaran airnya sangat teratur, sementara penangkarannya-pun dapat berlangsung dengan baik. Dengan memisahkan anak-anak ikan dengan ikan-ikan yang lebih besar, dapat memberikan kemungikan hidup lebih banyak bagi bibit-bibit ikan itu."
"Ya ibu," sahut Glagah Putih, "ada beberapa orang cantrik yang mengkhususkan diri memelihara kolam-kolam ini serta isinya, sehingga hasilnya menjadi cukup baik."
"Tidak hanya cukup baik. Tetapi sangat baik."
"Rasa-rasanya aku ingin menangkap satu dua ekor."
"Jika ayah menginginkannya?" berkata Glagah Putih
"Tadi seorang cantrik sudah menangkap dua ekor gurameh yang besar," berkata Rara Wulan.
Ki Citra Jati mengangguk-angguk sambil berdesis, "Nah, kesempatan juga keinginanku itu."
"Tetapi apakah gurameh itu akan diperuntukkan bagi kita?" sahut Nyi Citra Jati.
"He?" Nyi Citra Jati tertawa. Glagah Putih dan Rara Wulan-pun tertawa pula. Demikian pula Ki Citra Jati.
Beberapa saat lamanya mereka berada di kebun padepokan kecil itu. Namun kemudian mereka-pun telah kembali ke barak kecil yang diperuntukkan bagi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan juga akan berada di serambi samping barak kecil itu.
Ketika matahari terbenam, serta lampu-lampu minyak sudah menyala dimana-mana, maka Ki Citra Jat dan Nyi Citra Jati dipersi-lahkan ke bangunan utama padepokan itu untuk makan malam bersama dengan Ki Widura, Glagah Putih dan Rara Wulan. Nyi Citra Jati sempat menggamit Ki citra Jati ketika mereka melihat dua ekor gurameh yang besar telah ikut dihidangkan pula diantara beberapa macam lauk yang lain.
"Ayah," desis Rara Wulan sambil memandang wajah Ki Citra Jati.
Ki Citra Jati yang tanggap itu-pun tertawa pula.
Sejenak kemudian, mereka-pun makan malam bersama-sama. Sambil makan Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Widura banyak berbicara tentang lingkungan padepokan itu. Tetang kerja para cantrik disamping latihan-latihan olah kanuragan yang berat.
Demikianlah setelah mereka selesai makan malam serta beristirahat sejenak, maka Ki Widura-pun mempersilahkan mereka untuk duduk di pringgitan bangunan utama itu.
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan," berkata Ki Widura terutama ditujukan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Jika kami tidak dapat ikut dalam pembicaraan itu biarlah kami berada di barak yang telah disediakan untuk kami," berkata Ki Citra Jati.
"Tidak. Ki Citra Jati dan Nyi Citra dapat saja ikut dalam Pembicaraan itu. Bukan satu hal yang perlu dirahasiakan diantara kita."
"Terima kasih, Ki Widura," desis Ki Citra Jati.
Sejenak kemudian, mereka berlima-pun telah berada di pringgitan. Seorang cantrik telah menghidangkan minuman hangat pula bagi mereka yang duduk di pringgitan itu.
Baru sejenak kemudian Ki Widura-pun berkata, "Glagah Putih. Aku ingin menanggapi ceriteramu tentang orang-orang dari perguruan Kedung jati yang dipimpin Ki Saba Lintang itu."
Glagah Putih-pun beringsut setapak. Sambil mengangguk ia-pun menyahut, "Ya, ayah. Kami memang sangat mengharapkannya."
"Mungkin kau akan terkejut mendengar kabar yang bagaikan tertiup angin. Sebentar saja telah menebar di sekitar Mataram. Aku mendengar dari seorang cantrik yang kebetulan pulang menengok orang tuanya yang tinggal di Cupu Watu."
"Berita apa yang didengarnya ayah?"
"Kalau hal ini aku katakan kepadamu, Glagah Putih, bukan berarti bahwa aku mempercayainya."
"Ya, ayah." Terasa jantung Glagah Putih bagaikan berdetak semakin cepat. Ia mengerti, betapa ayahnya sangat berhati-hati untuk mengucapkan ceritera yang didengarnya. Namun dengan demikian Glagah Putih-pun menduga, bahwa ceritera itu tentu sangat penting artinya bagi dirinya dan barangkali juga bagi tugas yang diembannya dalam hubungannya dengan tongkat baja putih, tertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati.
"Glagah Putih," berkata Ki Widura selanjutnya, "menurut kabar yang tersebar di sekitar Mataram, kedua tongkat baja putih dari perguruan Kedung Jati itu justru sudah menyatu. Pada saat kau mengembara untuk menemukan tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang, maka ceritera yang kemudian tersebar itu mengatakan, bahwa banyak orang yang telah melihat, dua orang laki-laki dan perempuan dengan berkuda putih berkeliaran di kaki Gunung Merapi. Kedua-duanya membawa tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Parahnya, Glagah Putih, orang-orang itu telah menyebut perempuan yang membawa tongkat baja putih itu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu yang namanya sendiri adalah Sekar Mirah. Sedang laki-laki itu adalah Ki Saba Lintang. Sekar Mirah ternyata telah terpikat oleh ujud kewadagan Ki Saba Lintang, yang wajahnya cemerlang bagaikan bintang. Sebenarnyalah di dalam diri Ki Saba Lintang telah menitis bintang yang disebut Lintang Rinonce, yang digambarkan sebagai sosok manusia yang ketampanannya tidak ada taranya. Sepadan dengan Arjuna dalam dunia pewayangan. Atau Kamajaya dari alam Kadewatan atau bagaikan Panji Asmarabangun dalam ceritera Panji."
Wajah Glagah Putih terasa menjadi panas mendengar ceritera itu. Sementara itu, Rara Wulan yang tidak dapat menahan perasaannya lagi tiba-tiba saja memotong, "Aku tidak percaya, ayah."
"Ya. Aku-pun tidak percaya. Tetapi ceritera itu semakin lama semakin meluas. Sebentar lagi, angger Swandaru-pun tentu akan segera mendengarnya. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh angger Swandaru jika ia mendengar ceritera itu."
"Ini fitnah, ayah," geram Glagah Putih.
"Ya. Tentu saja itu fitnah."
"Apakah mbokayu Sekar Mirah sendiri sudah mendengarnya?"
"Aku belum tahu, Glagah Putih. Aku belum sempat pergi ke Tanah Perdikan. Dongeng itu baru aku dengar tiga atau ampat hari yang lalu, setelah cantrik itu kembali ke padepokan ini."
"Jika demikian, kami harus segera sampai di Tanah Perdikan Menoreh, ayah. Kami harus segera memberi tahukan kepada kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah agar merekan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan."
"Ya. Bukankah esok pagi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh" Kau dapat berbicara dengan kakangmu serta mbokayumu."
"Kami akan berangkat malam ini, ayah."
"Kau tidak perlu berangkat malam ini, Glagah Putih. Bukankah bedanya tidak akan terlalu lama?"
"Tidak ayah. Jika ayah menceriterakan fitnah ini sore tadi, kami akan dapat berangkat lebih awal."
"Bermalamlah disini malam ini. Berangkatlah esok pagi-pagi sekali."
"Tidak. ayah. Aku akan berangkat malam ini."
"Itulah yang aku cemaskan, Glagah Putih. Jika aku mengatakannya sore tadi, kau-pun tentu akan segera berangkat pula. Karena aku ingin kau berada disini agak lebih lama, maka baru sekarang aku menceriterakannya dengan harapan, bahwa kau dapat menunda keberangkatanmu sampai esok pagi."
"Ayah, bukankah tidak ada masalah di padepokan ini sehingga kehadiranku disini tidak terlalu penting. Tetapi ke datanganku di Tanah Perdikan Menoreh, mungkin akan dapat membawa perubahan terhadap keadaan yuang akan sangat mengganggu ketenangan keluarga kakang Agung Sedayu itu."
Ki Widura menarik nafas panjang. Katanya, "jika demikian, terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan minta Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk tetap berada di padepokan ini setidak-tidaknya untuk malam ini."
"Terima kasih Ki Widura. Tentu masih ada waktu bagi kami berdua untuk datang pada kesempatan lain jika Yang Maha Pencipta memberi kami umur panjang."
"Apaboleh buat," berkata Ki Widura, "aku tidak berani menahan Glagah Putih dan Rara Wulan. Jika terjadi sesuatu, aku akan dapat dianggap bersalah."
"Bukan begitu ayah," sahut Glagah Putih, "aku hanya ingin berbuat sesuatu sejauh dapat aku lakukan, sehingga aku akan dapat menyelesaikannya."
"Baiklah. Pergilah. Kalian tidak perlu berjalan kaki sampai Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat berkuda dari padepokan ini. Kami juga akan menyediakan kuda bagi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan agak ragu ia-pun bertanya. Jika kami membawa ampat ekor kuda dari padepokan ini, apakah kami tidak mengganggu kegiatan yang berlangsung di sini?"
"Tidak, Glagah Putih, kami tidak mempunyai banyak kegiatan. Sedangkan di padepokan ini masih ada beberapa ekor kuda."
"Terima kasih, ayah," desis Glagah Putih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera berbenah diri. Mereka benar-benar akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh malam itu juga bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Menjelang tengah malam, maka Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sudah siap untuk berangkat. Ki Widura dan beberapa orang cantrik melepas mereka di pintu gerbang.
"Hati-hatilah, Glagah Putih," pesan Ki Widura.
"Ya, ayah." "Jika kudamu letih, jangan paksa berlari terus. Sekali-sekali kau harus beristirahat. Seandainya bukan kau yang letih, kudamulah yang memerlukan beristirahat barang sejenak. Mungkin minum atau sedikit makan rumput yang tumbuh di tanggul-tanggul parit."
"Ya, ayah." Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun sudah berada di punggung kuda mereka. Sebelum kuda mereka berlari meninggalkan regol padepokan, Glagah Putih masih berpesan.
"Baktiku berdua buat kakang Untara di Jati Anom, ayah. Jika ayah bertemu dengan kakang Untara, tolong katakan bahwa aku tidak sempat singgah. Mungkin ayah-pun perlu menyampaikan fitnah itu kepada kakang Untara. Juga jika ayah bertemu dengan kakang Swandaru. Aku tidak sempat singgah di Jati Anom, mau-pun di Sangkal Putung."
"Baik. Glagah Putih. Mereka akan mengerti, kenapa kau tidak singgah."
"Terima kasih, ayah."
Sejenak kemudian, maka empat ekor kuda telah berlari di jalan-jalan bulak yang panjang. Gelap malam tidak menjadi hambatan perjalanan mereka. Mereka sudah terbiasa melintasi kegelapan. Meskipun demikian, mereka tidak memacu kuda mereka terlalu kencang.
Meski-pun mereka tidak akan singgah di Mataram, tetapi mereka mengambil jalan yang terbaik bagi perjalanan mereka, sehingga kuda-kuda mereka tidak mengalami kesulitan di perjalanan.
"Bukankah jalan ini jalan yang menuju ke Mataram?" bertanya Ki Citra Jati.
"Ya, ayah. Kita akan mengambil jalan pintas setelah kita mendekati kotaraja. Tetapi kita akan segera memasuki jalan utama, menuju ke Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sebagai seorang pengembara, maka ia-pun pernah menjelajahi daerah yang dilaluinya itu. Ia-pun pernah, bahkan tidak hanya sekali pergi untuk melihat-lihat kotaraja. Ia-pun pernah menelusuri jalan menyeberangi Kali Praga memasuki daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati belum pernah tersangkut dengan persoalan-persoalan yang terjadi di Mataram dan di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, maka keduanya-pun hanya sekedar lewat dan tidak mengenali daerah itu lebih kekedalamannya.
Ketika keempat orang itu sampai di Kali Opak, maka mereka berempat-pun bersepakat untuk beristirahat. Agaknya kuda-kuda mereka telah merasa letih.
Mereka-pun membiarkan kuda mereka minum air sungai yang sejuk dan bening. Apalagi di malam hari.
Sementara kuda mereka beristirahat, maka keempat orang itu-pun duduk pula diatas batu-batu besar yang berserakan di Kali Opak. Meski-pun batu-batu itu basah oleh embun, namun keempat orang itu tidak menghiraukannya.
"Malam ini terasa dingin," desis Ki Citra Jati.
"Angin basah bertiup dari. Selatan," sahut Nyi Citra Jati, "embun-pun sudah menitik membasahi bebatuan dan dedaunan. Jika kita tidak duduk di punggung kuda yang berlari, mungkin kita-pun akan merasa malam ini lebih dingin lagi."
Ki Citra Jati tidak menyahut. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bintang-bintang sudah bergerak dari tempatnya.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih yang gelisah-pun berkata, "Apakah kita dapat segera melanjutkan perjalanan?"
"Marilah," Nyi Citra Jati-pun segera bangkit, "jika kita berhenti terlalu lama, mataku justru mulai mengantuk."
Yang lain-pun segera bangkit pula. Sementara Ki Citra Jati-pun berkata, "kuda-kuda itu sudah cukup beristirahat. Tetapi kita masih harus beristirahat lagi sebelum kita menyeberang Kali Praga."
Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh itu, mereka tempuh tanpa hambatan yang berarti. Mereka berhenti hanya sekedar untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat.
Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, maka mereka melihat matahari mulai naik. Tetapi sinarnya masih sangat lemah, sehingga masih belum terasa menjamah kulit mereka.
Dikejauhan terdengar suara burung liar yang berkicau dengan riang menyambut hari baru yang cerah.
Sementara itu di tepian sudah ada beberapa orang yang siap untuk menyeberang pula.
Ketika sebuah rakit dari seberang menepi, keempat orang itu masih belum mendapat tempat, apalagi mereka membawa empat ekor kuda.
Seorang yang memikul dua bakul besar dengan ramah berkata, "Maaf Ki Sanak. Aku mendahului."
"Silahkan. Itu dari seberang telah meluncur sebuah rakit yang besar. Kami akan menumpang rakit itu."
Orang yang memikul dua bakul yang besar itu-pun segera naik. Tetapi matanya masih saja menatap Glagah Putih dan Rara Wulan. Kemudian berganti menatap Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
"Tatapan mata orang itu terasa aneh," desis Glagah Putih.
"Ya. Aku juga memperhatikannya," sahut Rara Wulan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun rakit yang membawa orang itu-pun mulai bergerak mengikuti arus Kali Praga. Namun kemudian rakit itu-pun menjadi semakin ketengah, melintas ke sisi Barat.
Baru beberapa saat kemudian, sebuah rakit yang terhitung besar menepi. Penumpangnya-pun segera turun ke tepian. Sementara itu, Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun naik ke atas rakit yang besar itu.
Yang naik bersama mereka hanyalah dua orang perempuan yang membawa seikat setagen lurik dan seikat kain lurik.
Rakit itu tidak terlalu lama berhenti di sisi sebelah Timur. Ketika rakit yang lain mulai bergerak ke Timur, maka rakit yang terhitung besar dengan ampat orang tukang satang itu-pun mulai bergerak pula.
Ketika mereka berempat turun di tepian sebelah Barat Kak Praga, Glagah Putih dan Rara Wulan masih melihat orang yang memikul sepasang bakul itu berdiri di tepian. Bahkan orang itu-pun kemudian berjalan mendekatinya.
"Apakah aku boleh bertanya Ki Sanak," desis orang itu hampir berbisik kepada Glagah Putih.
"Apa yang akan kau tanyakan?"
"Siapakah diantara kalian yang disebut Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang kemudian telah bergabung dengan perguruan Kedung Jati?"
Terasa jantung Glagah Putih bagaikan tersentuh bara. Namun dengan sekuat tenaga Glagah Putih berusaha untuk menahan diri. Bahkan ketika Rara Wulan dengan serta merta melangkah maju, Glagah Putih sempat menahannya.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak berdiri terlalu dekat dengan mereka, sehingga keduanya tidak segera mengetahui apa yang dibicarakan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dengan orang yang membawa dua bakul serta pikulan itu.
Betapa-pun panasnya dada Glagah Putih, namup ia sempat tersenyum. Glagah Putih itu-pun justru bertanya, "Nah, siapakah menurut pendapatmu" Aku dan perempuan itu atau orang tua itu dengan perempuan yang bersamanya. Siapakah yang lebih pantas dari kami memiliki tongkat baja putih sebagai lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati."
Orang itu merasa ragu. Diluar sadarnya ia-pun berkata, "Aku tidak dapat menebak. Tetapi menurut gambaranku, kedua orang tua itu tentu terlalu tua untuk disebut Ki Saba Lintang, titisan dari Lintang Rinonce yang bercahaya di waktu fajar."
"Itu Lintang Panjer Raina," potong Rara Wulan.
"Tetapi menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang itu bukan titisan Lintang Panjer Raina."
"Jadi?" "Apakah kau yang disebut Ki Saba Lintang dan perempuan ini Nyi Lurah Agung Sedayu?"
"Jadi menurut pendapat Ki Sanak, aku pantas menjadi titisan Lintang Rinonce?"
"Menurut pendapatku, Ki Sanak ini masih terlalu muda."
"Apakah aku masih nampak sangat muda?"
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia-pun memandang Rara Wulan sambil berkata, "Aku meragukan Nyi Lurah Agung Sedayu itu."
Glagah Putih tertawa. Dengan nada tinggi ia-pun bertanya. "Kenapa kau meragukannya?"
"Apakah Nyi Lurah masih semuda itu?"
"Ketika ia menikah dengan Ki Lurah, umurnya baru tiga belas tahun. Tetapi kemampuannya sudah berada diatas kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu. Pada umur tiga belas tahun, dibawah bimbingan gurunya yang disebut Ki Sumangkar, ia adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi, yang pantas mewarisi tongkat baja putih itu. Namun akhirnya, Nyi Lurah itu telah kembali ke kandangnya. Nyi Lurah telah bergabung bersamaku. Kedua orang tua itu adalah penasehatku. Bukan saja tentang olah kanuragan, karena keduanya juga guruku, tetapi juga tentang cara-cara yang harus aku tempuh untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati yang sudah cukup lama terbengkelai."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun orang itu agak terkejut ketika Glagah Putih bertanya. "Darimana kau dengar, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu sudah bergabung dengan aku" Kenapa pula kau bertanya kepadaku, apakah aku yang disebut Ki Saba Lintang?"
"Aku adalah penjual berbagai jenis akar, batang dan daun untuk obat-obatan. Untuk daya tahan tubuh, kekebalan dan sebagainya. Aku juga berjualan bebatuan yang mengandung kasiat. Aku berkeliling dari pasar ke pasar, dari rumah ke rumah dan dari satu tempat ke tempat yang lain."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi karena hubunganmu sangat luas, maka kau telah mendengar dari salah seorang dari mereka bahwa Nyi Lurah Sekar Mirah telah bergabung dengan Ki Saba Lintang."
"Ya." "Tetapi darimana kau tahu, bahwa akulah Ki Saba Lintang itu dan perempuan ini adalah Nyi Lurah Agung Sedayu?"
Orang itu tertawa pendek. Katanya, "Menurut ujud lahiriah, aku hanya seorang yang menjajakan daganganku dalam sepasang bakul yang aku pikul kesana-kemari, tetapi ternyata aku mempunyai tanggapan jiwani yang sangat peka. Demikian aku melihat kalian berdua, maka jiwaku telah tergetar. Seakan-akan ada suara gaib yang berbisik di telingaku, bahwa aku telah bertemu dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Sepasang titah linuwih yang masing-masing memiliki tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati."
"Ternyata bahwa kau mempunyai kelebihan dari kebanyakan orang. Ternyata penggraitamu sangat tajam. Kau mempunyai rabaan indera keenam yang tidak dimiliki oleh orang lain."
"Ya. Justru karena pekerjaanku, maka aku sering menjalani laku prihatin. Aku sering berziarah ke tempat-tempat wingit. Ternyata laku yang aku jalani tidak sia-sia. Aku mempunyai rabaan indera keenam."
"Meski-pun aku belum pernah melihat kalian, tetapi aku langsung dapat melihat, bahwa kalian berdua adalah dua orang linuwih itu."
"Terima kasih. Sekarang aku minta diri."
"Kalian akan pergi kemana?"
"Ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Untuk apa" Apakah Nyi Lurah Agung Sedayu akan pulang dan meninggalkan Ki Saba Lintang?"
"Bagaimana menurut penglihatan indera keenammu?" Glagah Putih justru bertanya.
"Tidak. Ki Saba Lintang akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Menantangnya berperang tanding dan akhirnya membunuhnya."
"Kau benar-benar mempunyai indera keenam. Penglihatanmu terang. Kau dapat melihat apa yang belum terjadi. Jadi, apakah aku akan berhasil?"
"Ya. Kau akan berhasil."
"Bagus," sahut Glagah Putih, "aku minta, pergilah ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau akan melihat bagaimana aku berperang tanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu."
Orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya, "Aku ingin Ki Sanak. Tetapi sayang, aku harus pergi ke Sumpyuh. Ada orang sakit yang harus aku obati. Tetapi jika aku selesai dengan pengobatan itu, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Baik. Aku tunggu kau di Tanah Perdikan Menoreh."
"Meski-pun aku tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Saba Lintang. Tetapi aku tetap melihat apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu."
"Ya. Indera keenammu akan melihat apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera memberi isyarat kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang kemudian mendengarkan pembicaraan Glagah Putih dan orang yang memikul sepasang bakul itu mengetahui maksud pembicaraan mereka. Karena itu, ketika mereka sudah berkuda meninggalkan orang yang memikul sepasang bakul itu-pun berkata, "Kasihan orang itu."
"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu, kakang?" Rara Wulan justru bertanya.
"Aku tidak sampai hati merusak kebanggaannya. Ia merasa bahwa ia memiliki penglihatan batin yang sangat tajam."
"Tetapi pengakuanmu bahwa kau adalah Ki Saba Lintang telah menyesatkannya."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Aku memang tidak seharusnya berbuat seperti itu. Tetapi jika ia tahu, bahwa ia telah keliru, maka ia akan menjadi sangat kecewa."
"Tetapi itu lebih baik. Ia segera mengetahui kesalahannya."
"Ya. Sebaiknya aku memang berkata apa adanya, tetapi rasa-rasanya aku tidak sampai hati."
"Kau harus melakukannya sejak awal," berkata Ki Citra Jati, "ketika mula-mula ia menebak bahwa kau adalah Ki Saba Lintang, kau sengaja mengiakannya karena kau ingin memancing pendapatnya lebih lanjut. Tetapi setelah ia berkata lebih jauh, kau tidak sampai hati mengingkarinya dan mengatakan apa yang sebenarnya."
"Ya, ayah." "Meski-pun kadar peristiwanya tidak sama, tetapi apa yang terjadi pada kakang Swandaru juga karena kakang Agung Sedayu tidak sampai hati untuk mengatakan yang sebenarnya, sehingga penilaian yang salah terhadap kakang Agung Sedayu itu berkembang semakin jauh."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya. "Jika ia berniat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, ia akan aku beritahu yang sebenarnya, betapa-pun pahit baginya. Tetapi itu adalah kebenaran yang harus diterimanya."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku kira ia akan benar-benar pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah, maka mereka berempat-pun kemudian telah melarikan kuda mereka memasuki lingkungan tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan rasa-rasanya Glagah Putih menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin segera sampai di rumah Ki Lurah Agnng Sedayu.
Namun sebenarnyalah disudut jantung Glagah Putih tersalip pula kecemasan. Jika benar Sekar Mirah hilang dari Tanah Perdikan Menoreh, maka hancurlah keluarga kakak sepupunya itu.
Karena itu, maka diluar sadarnya kuda Glagah Putih-pun berlari semakin lama semakin cepat. Namun setiap kali Rara Wulan memperingatkannya, maka Glagah Putih-pun berusaha mengurangi kecepatannya.
"Di jalan-jalan menjadi semakin banyak orang, kakang," desis Rara Wulan setiap kali melihat orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar. "Orang-orang yang pergi ke sawah dan mungkin juga satu dua orang yang bepergian serta menempuh perjalanan jauh seperti kita berempat."
Glagah Putih-pun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Rara."
Bahkan ketika mereka mulai memasuki padukuhan, satu dua anak muda yang berpapasan, langsung dapat mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan demikian, maka mereka-pun selalu bertanya, sudah agak lama keduanya tidak kelihatan di Tanah Perdikan.
Glagah Putih selalu mencoba tersenyum dan menjawab meski-pun hanya dengan kalimat-kalimat pendek. "Aku berada di Jati Anom."
Anak-anak muda itu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Glagah Putih memang nampak tergesa-gesa.
Sebenarnyalah ketika mereka memasuki pintu gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan, rasa-rasanya Glagah Putih ingin meloncat langsung ke halaman rumahnya. Tetapi ia tidak dapat melarikan kudanya lebih cepat lagi agar tidak terlalu banyak menarik perhatian. Karena semakin banyak orang yang melihat kehadiran mereka, maka akan semakin banyak pula orang yang bertanya-tanya tentang kepergian mereka.
Namun akhirnya mereka sampai pula ke regol halaman rumah Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dengan serta merta meloncat turun dari kudanya dan dengan tergesa-gesa menuntun kudanya memasuki regol halaman itu.
Di halaman Glagah Putih melepaskan saja kudanya sehingga Rara Wulan harus menangkap kendalinya dan menuntunnya ke samping pendapa. Mengikat pada patok-patok yang sudah disediakan. Demikian pula Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Sementara itu, Glagah Putih telah berlari memasuki pintu seketeng.
Di longkangan Glagah Putih tertegun. Rumah itu nampak sepi, ia tidak melihat seorang-pun Ki Lurah atau Nyi Lurah atau Ki Jayaraga atau siapa-pun.
Namun tiba-tiba dari arah belakang dapur muncul Sukra yang juga terkejut melihat Glagah Putih.
"Kakang Glagah Putih."
Glagah Putih tidak sabar lagi untuk segera mengetahui apakah Sekar Mirah ada di rumah. Karena itu, maka dengan serta merta ia-pun bertanya. "Dimana mbokayu Sekar Mirah?"
Sikap Sukra membuat Glagah Putih berdebar-debar. Sambil menggelengkan kepalanya Sukra-pun menjawab. "Nyi Lurah tidak ada di rumah."
"Tidak ada di rumah?"
"Sejak dua hari yang lalu."
Jantung Glagah Putih terasa berdenyut semakin keras, "Kemana?"
"Ke Mataram." "Kakang Agung Sedayu?"
"Ki Lurah juga pergi ke Mataram mengantar Nyi Lurah. Nyi Lurahlah yang terutama di panggil ke Mataram dua hari yang lalu. Ki Lurah hanya mengantarnya saja."
"Ada apa mbokayu Sekar Mirah dipanggil ke Mataram?"
Sukra menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak tahu."
Dada Glagah Putih masih berdebar-debar. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Dimana Ki Jayaraga?"
"Ke sawah. Sejak pagi tadi."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Bukalah pintu pringgitan. Aku membawa dua orang tamu selain Rara Wulan."
Glagah Putih-pun kembali ke halaman lewat pintu seketeng sementara Sukra-pun masuk ke dalam rumah lewat pintu butulan untuk membuka pintu pringgitan.
Agaknya Rara Wulan-pun ingin segera mengetahui tentang Sekar Mirah, sehingga karena itu, maka ia-pun segera bertanya. "Bagaimana dengan mbokayu Sekar Mirah?"
"Mbokayu Sekar Mirah pergi ke Mataram bersama kakang Agung Sedayu."
"Siapakah yang mengatakannya?"
"Sukra." "Untuk apa?" "Sukra tidak tahu."
Rara Wulan mengangguk kecil. Sementara itu Glagah Putih-pun mempersilahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati naik ke pendapa.
Demikianlah mereka duduk, maka pintu pringgitan-pun telah terbuka.
Tetapi Rara Wulan tidak ikut duduk bersama mereka. Ia-pun langsung masuk ke ruang dalam untuk mempersiapkan minuman bagi kedua orang tua angkatnya serta Glagah Putih.
"Bantu aku," berkata Rara Wulan kepada Sukra.
Sukra tidak menjawab. Tetapi ia ikut pergi ke dapur. Ia-pun mengisi air kedalam belanga tembaga, sementara Rara Wulan menyalakan api.
"Sukra," berkata Rara Wulan setelah apinya menyala, "ceritakan, apa yang kau ketahui tentang mbokayu Sekar Mirah?"
"Tidak banyak," jawab Sukra, "aku hanya tahu bahwa Nyi Lurah dipanggil ke Mataram. Kemudian Ki Lurah mengantarkannya. Aku tidak tahu ada persoalan apa sehingga Nyi Lurah harus pergi ke Mataram."
"Bagaimana dengan Ki Jayaraga" Apakah Ki Jayaraga mengetahuinya?"
"Mungkin." "Baiklah. Pergilah menyusul Ki Jayaraga. Katakan bahwa aku dan kakang Glagah Putih telah pulang."
Sukra tidak menjawab. Tetapi ia-pun kemudian meninggalkan dapur lewat pintu belakang.
Rara Wulanlah yang kemudian sibuk sendiri di dapur. Disiapkannya beberapa buah mangkuk yang tersimpan rapi didalam geledeg bambu. Agaknya Rara Wulan masih belum lupa letak perkakas dapur di rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Sejenak kemudian, minuman-pun telah siap. Rara Wulan sendiri yang membawa minuman itu ke pringgitan.
"Dimana Sukra?" bertanya Glagah Putih.
"Menyusul Ki Jayaraga. Mungkin Ki Jayaraga mengetahui, kenapa mbokayu Sekar Mirah dipanggil ke Mataram."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Citra Jati-pun bertanya, "Siapakah Ki Jayaraga itu?"
"Seseorang yang sudah kami anggap keluarga sendiri. Ki Jayaraga adalah salah seorang guruku."
"Menarik sekali. Dimana Ki Jayaraga sekarang?"
"Di sawah." "Di sawah?" "Ya. Untuk mengisi waktunya, Ki Jayaraga rajin sekali pergi ke sawah. Beberapa kotak sawah digarapnya sendiri. Sejak membajak sampai membajak lagi."
"Seorang yang sangat rajin. Berapakah usia Ki Jayaraga?"
"Seusia ayah." Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang tua memanggul cangkul di pundaknya memasuki regol halaman rumah Ki Lurah Agung Sedayu diikuti oleh Sukra.
"Itulah Ki Jayaraga, ayah," berkata Glagah Putih sambil bangkit berdiri.
Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun bangkit berdiri pula. Demikian Ki Jayaraga naik ke pendapa Glagah Putih mengangguk hormat, sementara Ki Jayaraga-pun berkata, "Kau sudah pulang, Glagah Putih."
"Ya. Ki Jayaraga, aku pulang bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Keduanya telah mengangkat kami berdua sebagai anak mereka. Selebihnya, keduanya telah menurunkan ilmu terpenting kepada kami berdua."
"Ah. Ilmu yang tidak ada artinya apa-apa," desis Ki Citra Jati.
"Mari, mari, silahkan duduk," berkata Ki Jayaraga kemudian. Sejenak kemudian, mereka berlima-pun telah duduk dipringgitan.
Sementara Sukra-pun telah pergi ke dapur. Meski-pun Sukra seorang laki-laki, tetapi ia cukup terampil karena ia sudah lama tinggal bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Karena itu, maka dengan cekatan Sukra-pun telah mencuci beras dan menanak nasi. Bahkan Sukra-pun kemudian telah memungut beberapa butir telur. Memetik sebuah ketela gantung muda dan beberapa lembar daun so dikebun.
Dalam pada itu, ternyata Rara Wulan tidak ingat lagi untuk menyiapkan makan bagi mereka. Ia dengan sungguh-sungguh mendengarkan ceritera Ki Jayaraga tentang Nyi Lurah Sekar Mirah.
"Jadi para petugas di Mataram telah mendengar desas-desus tentang mbokayu Sekar Mirah yang berpihak kepada Ki Saba Lintang itu?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Karena itu para pejabat di Mataram ingin membuktikannya. Mereka telah memanggil Nyi Lurah Agung Sedayu untuk pergi ke Mataram, menghadap langsung Ki Tumenggung Wiradilaga atas perintah langsung dari Ki Patih Mandaraka dan Kangjeng Pangeran Purbaya."
"Aku akan menyusul kakang Agung Sedayu," berkata Glagah Putih.
"Jangan Glagah Putih," sahut Ki Jayaraga, "kau jangan membuat persoalannya menjadi keruh."
"Tidak. Aku justru ingin menjernihkan persoalannya. Bahwa mbokayu Sekar Mirah telah berpihak pada Ki Saba Lintang adalah fitnah semata-mata. Maksudnya sudah jelas untuk mencemarkan nama baik mbokayu Sekar Mirah, justru karena mbokayu Sekar Mirah tidak mau bergabung dengan Ki Saba Lintang dengan janji apa-pun juga."
"Kakakmu Agung Sedayu tentu akan dapat membersihkan nama mbokayumu. Sampai sekarang kakakmu Agung Sedayu masih mendapat kepercayaan dari para pejabat di Mataram."
"Tetapi kami berdua setidak-tidaknya dapat menjadi saksi, bahwa berita tentang bergabungnya mbokayu Sekar Mirah pada perguruan Kedung Jati itu benar-benar fitnah. Aku dan Rara Wulan mengalami langsung akibat dari fitnah itu."
"Apa maksudmu, Glagah Putih?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menceriterakan pertemuannya dengan seorang yang memikul sepasang bakul berisi bahan obat-obatan serta bebatuan yang dianggapnya berkhasiat.
Ki Jayaraga mendengarkan ceritera Glagah Putih itu dengan bersungguh-sungguh.
"Memang menarik sekali Glagah Putih," berkata Ki Jayaraga kemudian, "tetapi jika hari ini kau pergi ke Mataram, mungkin sekali kau akan berselisih jalan, karena kakakmu sudah dua hari berada di Mataram. Ia tentu tidak akan dapat berlama-lama meninggalkan tugasnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kau menunggu. Jika sampai malam nanti kakakmu belum pulang, berarti ada masalah yang sangat penting yang harus dipecahkannya. Aku tidak berkeberatan jika esok kau pergi ke Mataram."
"Baiklah," sahut Glagah Putih kemudian, "aku akan menunggu sampai esok pagi."
Hari itu rasa-rasanya menjadi sangat panjang. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengisi waktunya dengan berbincang-bincang bersama Ki Jayaraga. Sementara itu Glagah Putih telah melakukan apa saja yang dapat dikerjakan. Rara Wulan sibuk di dapur. Namun ketika ia melihat bahwa Sukra telah menanak nasi dan menyiapkan lauknya menurut kemampuannya, Rara Wulan itu-pun berkata, "Ternyata kau terampil juga Sukra. Terima kasih. Perhatianku sepenuhnya tertuju kepada mbokayu Sekar Mirah sehingga aku lupa bahwa harus dipersiapkan makan bagi tamu-tamu kita."
Sukra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan pujian Rara Wulan.
Menjelang senja, ternyata yang dikatakan oleh Ki Jayaraga benar. Agung Sedayu telah pulang dari Mataram.
Agung Sedayu memang terkejut melihat orang yang belum pernah dikenalnya duduk di pringgitan rumahnya bersama Ki Jayaraga. Namun Glagah Putih yang menyongsongnya segera memperkenalkannya dengan kedua orang tua angkatnya. Bahkan sekaligus yang telah menurunkan warisan ilmu kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Terima kasih atas kebaikan hati Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati terhadap adikku berdua," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Yang kami lakukan tentu tidak berarti apa-apa. Kami hanya ingin menitipkan sedikit yang kami miliki agar tidak punah bersama keper-gian kami kelak."
"Tentu sangat berarti bagi adikku berdua," sahut Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih-pun berkata, "Kakang. Aku menunggu kedatangan kakang dengan tegang. Aku segera ingin tahu, bagaimana dengan mbokayu Sekar Mirah sekarang. Kenapa kakang tidak pulang bersama mbokayu Sekar Mirah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ada yang telah memfitnah mbokayumu, Glagah Putih."
"Aku juga telah mendengarnya kakang. Justru dari ayah Widura di padepokan."
"Apa yang kau dengar?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih-pun segera menceritakan, apa yang telah didengarnya tentang Sekar Mirah.
"Apa yang dikatakan paman Widura itu benar Glagah Putih. Kabar itu telah tersebar di sekitar Mataram, sehingga telah didengar oleh para pejabat di Mataram."
"Apakah para pejabat itu mempercayainya?"
"Sebagian besar, mereka yang telah lama berhubungan dengan aku dan mbokayumu, tidak mempercayainya. Tetapi mereka harus meyakinkan orang-orang yang baru muncul kemudian di gelanggang pemerintah Mataram bahwa ceritera itu sama sekali tidak benar."
"Jika demikian, kenapa mbokayu Sekar Mirah tidak pulang bersama kakang?"
"Salah satu cara untuk meyakinkan mereka yang bimbang. Jika selama mbokayumu berada di Mataram, ceritera tentang perempuan yang selalu bersama-sama dengan Ki Saba Lintang itu masih berlanjut, maka ceritera itu adalah cerita bohong."
"Apakah kesaksianku tidak cukup untuk menjelaskan fitnah itu, kakang."
"Ceriteramu akan dapat membantu memberikan penjelasan. Tetapi mbokayumu sendiri setuju, bahwa untuk sementara ia berada di Mataram."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia-pun berkata, "Kakang. Jika kakang tidak berkeberatan biarlah kami, maksudku aku dan Rara Wulan berusaha memburu perempuan yang mengaku Sekar Mirah itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Glagah Putih. Aku harus berbicara lebih dahulu dengan para pemimpin di Mataram. Selama ini Mataram telah menaburkan beberapa orang petugas sandi untuk menangkap kabar berikutnya tentang perempuan yang mengaku bernama Sekar Mirah serta memiliki salah satu dari sepasang tongkat baja Putih itu."
"Tetapi dimana tongkat itu sekarang, kakang?"
"Ada di tangan mbokayumu di Mataram. Bukankah mungkin saja orang membuat tiruan tongkat baja putih itu"."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Dengan menunjukkan tongkat baja putih di tangan mbokayu Sekar Mirah, apakah orang-orang Mataram yang bimbang itu masih juga belum dapat diyakinkan?"
"Mereka memang memerlukan waktu untuk dapat meyakininya, Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa ada satu dua orang pemimpin di Mataram yang benar-benar mencurigai mbokayumu."
"Ia mengira bahwa mbokayu Sekar Mirah yang benar-benar telah bergabung dengan Ki Saba Lintang" Jika demikian, siapakah perempuan yang datang bersama kakang Agung Sedayu itu menurut mereka?"
"Ada diantara mereka yang menganggap bahwa perempuan yang datang bersamaku itu pulalah perempuan yang kadang-kadang melakukan perjalanan di Mataram dan sekitarnya. Keduanya dengan sengaja memperlihatkan diri kepada rakyat Mataram untuk menarik perhatian mereka."
"Gila. Itu pikiran gila. Jika benar terjadi demikian, apakah kakang Agung Sedayu akan tetap berdiam diri" Bahkan bersedia mengantar perempuan itu ke Mataram?"
"Ada seribu penalaran di seribu kepala, Glagah Putih. Karena itu, untuk membersihkan namanya, mbokayumu bersedia berada di Mataram."
"Tetapi perempuan yang bersama-sama dengan Ki Saba Lintang itu tentu bukan perempuan yang bodoh. Setidak-tidaknya atas gagasan Ki Saba Lintang. Demikian mereka mendengar mbokayu Sekar Mirah berada di Mataram, maka mereka akan menghentikan kegiatan mereka."
"Kemungkinan seperti itu sudah aku sampaikan. Tetapi orang-orang Mataram menganggap bahwa keberadaan mbokayumu di Mataram itu merupakan satu rahasia."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Kita harus berjaga-jaga kakang. Keberadaan mbokayu Sekar Mirah di Mataram memang dirahasiakan. Tetapi siapa tahu, bahwa ada orang-orang Ki Saba Lintang yang berada di Mataram. Atau setidak-tidaknya orang yang berpihak kepadanya."
"Kemungkinan itu juga sudah aku katakan. Tetapi orang-orang Mataram yakin, bahwa tidak ada diantara mereka yang mempunyai hubungan dengan Ki Saba Lintang."
Buku 346 GLAGAH PUTIH mengangguk-angguk. Meski-pun demikian, diwajahnya nampak keragu-raguannya.
Beberapa saat Glagah Putih terdiam. Namun kemudian Ki Jayaragalah yang berbicara, "Ki Lurah, Ada baikya disamping usaha para petugas sandi untuk mengamati keadaan, kita berusaha untuk menemukan perempuan yang mengaku bernama Nyi Lurah Agung Sedayu itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia-pun kemudian berkata, "Ki Saba Lintang telah mengenal kita. Karena itu, tidak mudah bagi kita untuk menemukannya."
"Tetapi kita tidak sendiri di lingkungan ini, Ki Lurah. Disini ada kita. Di Jati Anom ada Ki Widura, ada Ki Untara sedangkan di sangkal Putung ada angger Swandaru. Mereka tentu tidak berkeberatan membantu kita menemukan dua orang laki-laki perempuan yang mengaku memiliki sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita memang dapat melakukannya. Tetapi agar tidak terjadi benturan dengan para petugas sandi yang dikirim langsung oleh Mataram, aku harus membicarakannya dengan para pemimpin di Mataram."
"Baik, kakang. Jika demikian kita besok pergi ke Mataram. Kita sampaikan niat kita itu sekaligus untuk memberikan kesaksian, bahwa orang-orang yang menganggap bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu telah menyatukan diri dengan Ki Saba Lintang itu adalah sekedar desas-desus yang tidak terbukti kebenarannya. Ternyata mereka tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya orang yang bernama Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang itu. Sehingga siapa saja, seorang laki-laki dan seorang perempuan, dapat mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Besok kita pergi ke Mataram. Jika hari ini aku pulang, karena ketika aku pergi, aku masih belum sempat memberikan pesan dan membagikan tugas-tugas keprajuritan kepada anak buahku."
"Kakang akan pergi ke barak?" bertanya Glagah Putih.
"Aku tadi sudah singgah di barak. Selain memberikan tugas-tugas kepada mereka, aku juga minta bantuan mereka."
"Bukankah mereka yakin bahwa yang berkeliaran itu bukan Nyi Lurah?"
"Mereka yakin. Mereka mengenal Sekar Mirah dengan baik"
"Sokurlah." "Mereka-pun tidak menganggap aku orang gila, sehingga aku membiarkan isteriku melakukannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan berhubungan dengan kakang Untara, dengan ayah di padepokan dan dengan kakang Swandaru di Sangkal Putung."
"Sayangnya, kakakngmu Swandaru dikenal dengan baik oleh Ki Saba Lintang, sehingga geraknya akan menjadi sangat terbatas. Adi Swandaru panah memberikan pengakuan kepadaku pada saat ia tergelincir menghadapi kaki tangan Ki Saba Lintang."
"Kita akan mendapatkan cara, kakang," berkata Glagah Putih dengan nada berat.
Ki Citra Jati yang hanya berdiam diri saja mendengarkan pembicaraan itu, tiba tiba menyela, "Ki Lurah. jika aku diberi kesempatan, maka aku dan isteriku akan dapat membantu asal kami mendapatkan petunjuk-petunjuk seperlunya."
"Terima kasih, ki Citra Jati. Kami akan merasa senang sekali dengan bantuan Ki Citra Jati berdua. Tetapi saat ini kami masih belum tahu, apa yang sebaiknya kami lakukan."
"Kami akan menunggu, Ki Lurah. Jika diperkenankan, kami akan menumpang disini selama kami menunggu kemungkinan untuk melibatkan diri dalam persoalan ini."
"Tentu, Ki Citra Jati. Kami akan senang sekali jika Ki Citra Jati berdua bersedia tinggal disini. Kami tentu akan sangat memerlukan bantuan Ki Citra Jati berdua."
"Tetapi apa yang dapat kami lakukan tentu hanya sangat terbatas, Ki Lurah. Meski-pun demikian, kami akan mencobanya."
"Sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Citra Jati berdua membantu kami."
Namun demikian, Ki Lurah masih belum dapat menyebut langkah-langkah apakah yang akan diambilnya sebelum ia esok pagi pergi ke Mataram bersama Glagah Putih.
Dalam pada itu, ketika malam turun, seisi rumah itu-pun telah dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berhenti di depan regol halaman rumah.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan kemudian memasuki regol halaman sambil menuntun kuda mereka.
Glagah Putihlah yang tergesa-gesa menyongsong mereka. Dengan nada tinggi ia-pun menyapa, "Kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi."
Keduanya tersenyum. Dengan nada datar Swandaru-pun bertanya, "kakangmu ada?"
"Ada kakang. Mari silahkan naik."
Setelah mengikat kudanya, maka keduanya-pun naik kependapa dan duduk di pringgitan.
Ketika Agung Sedayu diberitahu bahwa yang datang adalah Swandaru dan Pandan Wangi, maka dengan tergopoh-gopoh Agung Sedayu-pun pergi menemui mereka di pringgitan.
"Kalian berdua selamat diperjalanan, di" Dan bagaimana keadaan keluarga di Sangkal Putung?"
"Selamat kakang. Keluarga di Sangkal Putung-pun baik baik saja. Bagaimana dengan keluarga disini?"
"Kami semuanya dalam keadaan baik, di. Meski-pun ada sedikit persoalan yang kami hadapi."
"Itulah yang kami dengar kakang."
"Apa yang kalian dengar?"
"Sekar Mirah telah berkhianat" Menurut berita yang kami dengar. Sekar Mirah telah terbujuk oleh Ki Saba Lintang untuk berpihak kepadanya. Keduanya akan bersama-sama memimpin kebangkitan kembali perguruan Kedung Jati serta mengambil kembali wahyu keraton dari istana Mataram. Karena menurut orang-orang dari perguruan Kedung Jati, Panembahan Senapati tidak berhak menjadi raja dan memerintah tanah ini."
"Ya, di. Memang ada berita semacam itu tersebar di sekitar Mataram."
"Tetapi dimana Sekar Mirah sekarang" Apakah ia benar-benar berkhianat?"
"Tidak, di. Sekar Mirah tidak berbuat apa-apa. Yang tersebar itu adalah fitnah semata-mata."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pandan Wangi-pun berkata, "Jadi berita itu tidak benar, kakang?"
"Tentu tidak." "Tetapi sekarang dimana Sekar Mirah?" bertanya Swandaru.
"Sekar Mirah berada di Mataram."
"Di Mataram. Ada apa?"
Agung Sedayu-pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi dengan Sekar Mirah. Ia harus membuktikan kebersihannya dengan tinggal untuk beberapa lama di Mataram.
Itu memang salah satu cara. Tetapi tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa Sekar Mirah akan dapat membersihkan namanya. Jika keberadaannya di Mataram itu diketahui oleh Ki Saba Lintang yang cerdik dan licik itu, kegiatannya untuk berkeliaran dan mengambil hati banyak orang disekitar Mataram akan dihentikannya pula."
"Ya. Tetapi menurut para petugas sandi di Mataram, tentu tidak akan ada pengikut Ki Saba Lintang yang menyusup di lingkungan para pejabat di Mataram."
"Mudah-mudahan, kakang."
Dalam pada itu Swandaru dan Pandan Wangi-pun telah diperkenalkan pula dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Keduanya adalah orang tua angkat Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya telah bersedia untuk melibaikan diri dalam persoalan yang menyangkut nama baik Sekar Mirah itu.
"Sukurlah," desis Swandaru, "semakin banyak kawan, maka kita ikan menjudi semakin banyak jalan. Terima kasih."
"Namun segala sesuatunya masih harus menunggu esok," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Kenapa?" "Besok aku dan Glagah Putih akan pergi ke Mataram. Kami akan membicarakan langkah-langkah yang dapat kita ambil kemudian agar tidak terjadi benturan dengan para petugas sandi Mataram yang memantau persoalan ini terus-menerus. Terutama apakah perempuan itu masih berkeliaran bersama Ki Saba Lintang."
Mal im itu rumah Ki Lurah Agung Sedayu terkesan lebih ramai dari biasanya. Selain Glagah Putih dan Rara Wulan telah pulang, maka di rumah itu bermalam Swandaru dan Pandan Wangi serta Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Namun meski-pun rumah Agung Sedayu tidak terlalu besar, tetapi di rumah itu terdapat gandok kiri dan kanan. Swandaru dan Pandan Wangi mendapat bilik di gandok sebelah kiri, sedangkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dipersilahkan mempergunakan bilik di gandok sebelah kanan.
Ketika malam menjadi semakin dalam, serta para tamu sudah berada di dalam bilik mereka masing-masing maka Glagah Putih sempat menemui Sukra di dapur.
"Kau belum tidur ?" bertanya Glagah Putih yang duduk di lincak panjang yang berada di dapur.
"Sebagaimana kau lihat, bukankah aku belum tidur ?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Lidahmu masih tetap menyengat. He, bagaimana dengan latihan-latihanmu ?"
"Bagaimana ilmuku dapat meningkat tanpa ada orang yang memberikan petunjuk-petunjuk ?"
"Bukankah kau sudah menguasai dasar olah kanuragan " Jika kau rajin berlatih, maka ilmumu tentu akan meningkat meski-pun perlahan-lahan. Tetapi untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu, kau tidak memerlukan siapa-siapa setelah kau kuasai dasar-dasarnya."
"Ki Lurah Agung Sedayu ternyata berbaik hati untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepadaku. Tetapi kau tahu waktunya terlalu sempit. Ia hanya dapat memberikan waktu sepekan sekali menjelang wayah sepi bocah."
"Itu sudah cukup. Nah, ilmumu tentu sudah meningkat jauh sekarang.
"Belum apa-apa. Sekali-sekali aku mencoba berlatih dengan Nyi Lurah. Tetapi seluruh tubuhku menjadi sakit semuanya. Kulitku menjadi merah biru dibeberapa tempat. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu lebih telaten dari Nyi Lurah."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Esok, kita masuk ke dalam sanggar."
"Bukankah esok kau akan pergi ke Mataram bersama Ki Lurah" Apakah kau akan segera kembali?"
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis. "Ya. Esok aku akan pergi ke Mataram."
"Besok malam, setelah kau pulang dari Mataram."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menjawab. "Baik. Setelah aku pulang dari Mataram."
Glagah Putih-pun kemudian meninggalkan Sukra di dapur. Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar suara-suara malam yang memecahkan keheningan. Derik bilalang dan irama suara katak yang saling bersahutan.
Di keesokan harinya, menjelang matahari terbit, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap. Setelah berbincang sejenak dengan Ki Jayaraga, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta Glagah Putih minta diri kepada Ki Citra Jatidan Nyi Citra Jati serta Swandaru dan Pandan Wangi.
"Pagi ini akan menghadap Ki Gede," berkata Swandaru.
"Silahkan di, Ki Gede tentu sudah rindu kepada kalian."
Demikianlah maka ketika matahari terbit, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun meinggalkan regol halaman rumahnya. Kudanya berlari menyusuri jalan utama padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun keduanya tidak langsung pergi ke Mataram. Ki Lurah Agung Sedayu masih merasa perlu singgah di baraknya untuk memberikan pesan-pesan kepada para prajuritnya.
Baru kemudian setelah matahari sepenggalah keduanya-pun melarikan kuda mereka menuju ke Mataram.
Di penyeberangan Glagah Putih berharap dapat bertemu dengan orang yang membawa sepasang bakul di pikulannya. Tetapi orang itu tidak berada di tepian penyeberangan.
"Disini aku bertemu dengan orang itu," berkata Glagah Putih, "jika orang itu menganggap aku dan Rara Wulan sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, bukankah berarti bahwa orang-orang yang mendengar dan kemudian menyebarkan desas-desus itu tidak mengenal siapakah Nyi Lurah itu sebenarnya?"
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya. Sebagian besar para pemimpin di Mataram percaya."
Kesaksianku akan menghilangkan keragu-raguan mereka. Yang disebut Nyi Lurah Sekar Mirah yang berpihak kepada Ki Saba Lintang itu dapat saja perempuan yang mana-pun juga dengan mengenakan pakaian khusus dan membawa tongkat baja putih tiruan. Bahkan laki-laki yang berkeliaran bersamanya di atas kuda itu-pun belum tentu kalau Ki Saba Lintang yang sebenarnya."
"Ya. Agaknya memang demikian. Tidak banyak atau bahkan hampir tidak ada orang kebanyakan yang mengenal langsung Ki Saba Lintang."
Demikianlah ketika matahari menjadi semakin tinggi panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Keringat mulai membasahi punggung, sementara kuda mereka tidak dapat berlari lebih cepat lagi, karena semakin banyak orang yang turun ke jalan.
Di tengah hari, keduanya-pun memasuki gerbang kota. Keduanya langsung menuju ke kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka, yang kebetulan sudah pulang dari istana.
Ketika mereka mendekati pintu gerbang Kepatihan, Glagah Putih-pun bertanya, "Apakah kakang tidak menghadap Ki Tumenggung Wiradilaga ?"
"Ki Tumenggung Wiradilagalah yang telah memanggil aku dan mbokayumu. Tetapi sekarang aku ingin berbicara lebih dahulu dengan Ki Patih Mandaraka. Ki Tumenggung Wiradilaga termasuk seorang pemimpin Mataram yang merasa ragu atas kebersihan mbokayumu Sekar Mirah."
"Apakah Ki Tumenggung tidak tahu apa yang pernah terjadi serta usaha mbokayu Sekar Mirah mempertahankan tongkat baja putihnya ?"
"Ki Tumenggung Wiradilaga adalah seorang Tumenggung yang baru diangkat. Semula ia adalah seorang Rangga yang bertugas di daerah Salam. Karena pengabdiannya yang panjang, maka Ki Rangga Wiradilaga telah diangkat menjadi seorang Tumenggung serta bertugas di kotaraja."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Itukah sebabnya, maka ia tidak mengenal keluarga kakang Agung Sedayu dengan baik. Tetapi apakah para pemimpin yang lain tidak dapat meyakinkannya bahwa Nyi Lurah itu tidak akan mungkin berkhianat " Apakah ia tidak berpikir bahwa kakang Agung Sedayu sendiri akan sanggup mengekang agar kemungkinan seperti itu tidak terjadi ?"
"Entahlah. Tetapi agaknya Ki Tumenggung Wiradilaga ingin menunjukkan, bahwa ia telah berbuat sesuatu demikian ia berada di kotaraja."
Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh. Mereka berdua telah berada di depan pintu gerbang Kepatihan.
Sejenak kemudian, keduanya-pun telah meloncat turun dari kuda dan menuntunnya memasuki pintu yang dijaga oleh dua orang prajurit.
Tetapi para prajurit itu sudah mengenal Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu tidak tertahan di pintu gerbang.
Keduanya-pun kemudian mengikat kuda mereka pada patok kayu di sebelah gardu para prajurit yang bertugas di Kepatihan.
"Apakah Ki Patih ada ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ada Ki Lurah. Ki Patih baru saja kembali dari istana."
"Aku ingin menghadap."
"Silahkan duduk. Biarlah kami memberitahukan kehadiran Ki Lurah kepada petugas di dalam."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menunggu beberapa saat. Baru kemudian seorang prajurit menemuinya dan mempersilahkannya masuk ke serambi samping.
Baru saja Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk. Ki Patih Mandaraka-pun keluar dari ruang dalam.
Demikian Glagah Putih melihat Ki Patih Mandaraka, maka dahinya-pun telah berkerut. Baru beberapa lama ia tidak melihat Ki Patih Mandaraka. Namun tiba-tiba saja Ki Patih itu nampaknya demikian cepat bertambah tua.
Tetapi Glagah Putih-pun kemudian menundukkan wajahnya.
"Kau sudah kembali dari pengembaraanmu Glagah Putih?"
"Ampun Ki Patih. Perjalanan hamba tidak membawa hasil apa-apa. Hamba pulang dengan tangan hampa."
"Bukan salahmu. Yang kau cari adalah seseorang yang hidup, yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika kau pergi ke Utara, orang itu justru sedang pergi ke Selatan."
"Hamba Ki Patih."
"Kemarin, kakakmu masih belum mengatakan bahwa kau telah kembali."
"Baru kemarin hamba kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Patih, Ketika di pengembaraan kami, kami mendengar orang yang kami cari itu justru sedang membidik Tanah Perdikan Menoreh. Namun kemudian yang kami dengar pada saat kami mendekati Tanah Perdikan, justru fitnah terhadap mbokayu Sekar Mirah."
Ki Patih mengangguk-angguk. Namun ia-pun bertanya, "Coba katakan, apa yang kau dengar tentang Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Ampun Ki Patih. Hamba mendengar bahwa mbokayu Sekar Mirah telah berbalik dan berpihak kepada Ki Saba Lintang, justru untuk menggabungkan sepasang tongkat baja Putihnya, sehingga secara bersama-sama mereka akan dapat memimpin perguruan Kedung Jati."
Ki Patih itu-pun tersenyum. Katanya, "Ya Dongeng itulah yang merebak di Mataram dan sekitarnya."
"Tetapi seperti yang Ki Patih katakan, semuanya itu hanya dongeng. Bahkan fitnah."
"Ya. Aku juga berpendapat demikian. Tetapi tidak semua orang berpendapat seperti itu."
"Hamba dapat memberikan kesaksian sebagaimana yang pernah hamba alami di penyeberangan Kali Praga."
"Apa yang kau alami ?"
Glagah Putih-pun kemudian menceriterakan dengan singkat, pertemuannya dengan orang yang agaknya menganggap bahwa para pemimpin perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan dari orang lain.
"Bukankah dengan demikian, siapa-pun asal seorang laki-laki dan seorang perempuan, dapat didesas-desuskan sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
Ki Patih-pun tersenyum. Katanya, "Aku percaya kepadamu, Glagah Putih. Tetapi tentu tidak semua orang percaya sebagaimana aku mempercayaimu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Ki Patih Mandaraka-pun berkata kepada Agung Sedayu, "Ki Lurah. Aku merasa perlu untuk menyampaikan kepadamu, laporan dari beberapa orang petugas sandi yang mendapat tugas untuk memantau dongeng tentang Nyi Lurah Agung Sedayu yang menyeberang itu."
"Apa kata mereka, Ki Patih ?"
"Beberapa orang diantara mereka melaporkan, bahwa sejak beberapa hari yang lalu, Ki Saba Lintang tidak nampak bersama dengan Nyi Lurah Agung Sedayu."
"Itu tentu laporan orang gila," geram Glagah Putih.
"Glagah Putih," potong Ki Lurah Agung Sedayu, "dengan siapa kau berbicara ?"
"Ampun, Ki Patih, Hamba mohon ampun."
Ki Patih Mandaraka hanya tersenyum saja. Bahkan kemudian ia-pun berkata, "Aku juga pernah muda seperti Glagah Putih."
"Laporan itu dapat menyesatkan, Ki Patih," berkata Glagah Putih.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi belum tentu bahwa para petugas sandi itulah yang bersalah. Tetapi memang ada orang-orang Ki Saba Lintang yang menyusup di lingkungan para pemimpin Mataram. Mereka telah membocorkan rahasia keberadaan Nyi Lurah di Mataram, sehingga Ki Saba Lintang yang cerdik dan licik itu dengan sengaja menyebarluaskan desas-desus, bahwa sejak beberapa hari Nyi Lurah Agung Sedayu tidak bersamanya," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya, kakang. Tetapi laporan itu akan dapat memberatkan kecurigaan beberapa orang pemimpin Mataram kepada mbokayu Sekar Mirah."
"Memang sasaran itulah yang ingin mereka capai. Jika hal itu terjadi, maka mereka akan merasa berhasil."
Glagah Putih menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya."
"Ki Lurah," berkata Ki Patih Mandaraka, "aku ingin menyampaikan satu gagasan kepadamu dan kepada Glagah Putih."
"Hamba akan menjalankan apa saja yang dapat membersihkan nama mbokayu Sekar Mirah, Ki Patih," sahut Glagah Putih dengan serta merta.
"Apakah Ki Lurah tidak berkeberatan jika Nyi Lurah tetap berada di Mataram untuk beberapa hari lagi?"
"Jika dengan demikian namanya dapat dibersihkan, hamba tidak berkebaratan, Ki Patih," jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
"Selama ini, Ki Saba Lintang tentu dengan sengaja membuat dongeng bahwa Nyi Lurah tidak ada bersama Ki Saba Lintang. Apakah yang berkeliaran itu benar-benar Ki Saba Lintang, atau seorang yang memerankannya dalam lakon yang mendebarkan ini."
"Ya, Ki Patih."
"Untuk mengimbangi lakon yang disusun oleh Ki Saba Lintang, maka Ki Lurah harus membuat lakon yang lain lengkap dengan pemeran-pemerannya."
"Maksud ki Patih?"
"Biarlah Glagah Putih melanjutkan perburuan yang dilakukan. Tetapi dengan cara yang lain. Biarlah ia memerankan tokoh Ki Saba Lintang. Sedang isterinya, Rara Wulan akan menjadi Nyi Lurah Agung Sedayu. Mereka akan berkeliaran di sekitar Mataram. Maka kesan bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu tidak nampak dalam beberapa hari ini, justru pada saat Nyi Lurah berada di Mataram, akan berubah. Para petugas sandi akan memberikan laporan, bahwa Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah masih tetap berkeliaran, justru pada saat Nyi Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya berada di Mataram, yang ternyata telah dibocorkan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Dengan demikian maka mereka yang ragu-ragu akan kebersihan nama Nyi Lurah Agung Sedayu akan dapat diyakinkan."
"Tetapi apakah para petugas sandi tidak akan mengambil tindakan terhadap Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu sehingga akan dapat mengakibatkan benturan kekerasan ?"
"Tidak. Perintah kepada para petugas sandi tidak untuk menangkap mereka. Tetapi pada tahap pertama untuk meyakinkan siapakah mereka sebenarnya. Yang mungkin akan terjadi benturan kekerasan adalah pemeran Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu dengan Ki Saba Lintang yang sebenarnya atau orang yang mula-mula memerankannya."
"Hamba mengerti, Ki Patih. Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang itu mungkin akan datang kepadaku tanpa harus bersusah payah mencarinya."
"Tetapi kau harus yakin akan dapat mengimbangi ilmunya. Mungkin Ki Saba Lintang itu tidak hanya berdua. Mungkin ia membawa beberapa orang pengikutnya."
"Jika kami juga tidak hanya berdua ?"
"Tidak apa. Berceriteralah kepada orang-orang yang kalian temui di manapun, bahwa kalian adalah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu serta pengikut-pengikutnya yang terdekat."
"Terima kasih, Ki Patih. Hamba akan melakukannya dengan senang hati jika kakang Agung Sedayu tidak berkeberatan."
"Gagasan yang menarik. Kau dapat mencobanya Glagah Putih. Aku setuju. Tetapi kau dan Rara Wulan harus benar-benar siap."
"Kami sudah siap, kakang. Kami sudah siap sejak kami berangkat melaksanakan perintah untuk menemukan tongkat baja putih itu."
"Bagus. Kita akan segera mulai dengan lakon yang menarik ini."
Terasa dada Glagah Putih bergejolak. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu untuk memerankan sosok orang yang dibencinya itu menurut lakon yang disusun oleh Ki Patih Mandaraka. Namun Ki Patih itu masih juga berpesan. "Tetapi biarlah kita bertiga saja yang mengetahui permainan ini. Bagaimana-pun juga aku merasa curiga, bahwa ada diantara para pemimpin atau petugas di Mataram yang berpihak kepada Ki Saba Lintang. Meski-pun mungkin orang itu justru ingin memperalat Ki Saba Lintang bagi kepentingannya sendiri."
"Ya, Ki Patih," Glagah Putih mengangguk, "hamba mengerti."
"Kau dapat segera mulai dengan permainan ini Glagah Putih. Semakin cepat semakin baik, agar kecurigaan terhadap Nyi Lurah Agung Sedayu itu-pun segera dapat disingkirkan.
"Hamba Ki Patih. Hamba segera mohon diri."
"Glagah Putih," desis Agung Sedayu, "kita masih harus menghadap Ki Tumenggung Wiradilaga."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
"Ki Lurah," berkata Ki Patih Mandaraka, "Ki Tumenggung Wiradilaga termasuk salah seorang yang masih harus diyakinkan, bahwa Nyi Lurah tidak pernah berhubungan dengan Ki Saba Lintang. Karena itu, berhati-hatilah berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradilaga. Ia terhitung seorang pejabat baru yang mungkin ingin menunjukkan bahwa ia telah berbuat sesuatu."
"Ya. Ki Patih."
"Pergilah. Aku lihat, Tumenggung Wiradilaga tadi juga sudah pulang dari istana. Jika ia tidak singgah kemana-mana, ia tentu sudah ada di rumahnya. Bukankah kau sudah tahu dimana letak rumahnya ?"
"Ya. Ki Patih."
"Untuk sementara ia tinggal di rumah mertuanya. Rumahnya sendiri baru dibangun di sebelah rumah mertuanya itu."
Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun segera minta diri. Namun kedua belah pihak telah menyesuaikan rencana mereka masing-masing untuk menyelamatkan nama baik Nyi Lurah Sekar Mirah.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah menghadap Ki Tumenggung Wiradilaga. Sebelum Glagah Putih mulai dengan permainan yang disusun oleh Ki Patih, ia mencoba meyakinkan Ki Tumenggung Wiradilaga dengan menceriterakan peristiwa yang dialaminya di tepian Kali Praga.
"Lalu apa hubungannya dongengmu itu dengan kebersihan nama Nyi Lurah Sekar Mirah ?"
"Ki Tumenggung," berkata Glagah Putih. "Aku ingin mengatakan bahwa sesungguhnya yang disebut Nyi Lurah Sekar Mirah dalam desas-desus itu, tentu bukan Nyi Lurah yang sebenarnya. Ki Saba Lintang dapat melahirkan sosok Nyi Lurah itu dengan peraga siapa saja asal ia seorang perempuan dalam pakaian yang khusus, dengan membawa tongkat besi yang berwarna putih."
"Tetapi setelah Nyi Lurah itu berada di Mataram, para petugas sandi yang dikirim oleh Mataram telah menangkap berita bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu itu tidak lagi nampak berkeliaran bersama Ki Saba Lintang. Nah, setiap orang yang dapat mempergunakan nalarnya dengan baik, akan dapat mengambil kesimpulan."
Glagah Putih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia berusaha untuk menjaga agar mulutnya tidak mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan Ki Tumenggung yang baru itu.
Namun Ki Tumenggung itu-pun kemudian berkata. "Tetapi Ki Patih sudah memerintahkan, agar Nyi Lurah jangan diijinkan pulang lebih dahulu. Ki Patih Mandaraka masih ingin meyakinkan, bahwa yang disebut Nyi Lurah Agung Sedayu itu benar-benar Nyi Lurah Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya, Ki Tumenggung," desis Agung Sedayu.
"Para petugas sandi-pun masih mendapat perintah untuk terus menerus memantau keadaan."
"Ya Ki Tumenggung."
"Kita akan menunggu beberapa hari lagi."
"Selama ini, aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh agar tugasku tidak terbengkelai."
"Tetapi harus kau sadari Ki Lurah. Jika kami mendapat keyakinan, bahwa isterimu telah melakukan perbuatan yang melanggar paugeran, maka kau-pun tentu akan terpercik juga."
Terasa jantung Glagah Putih tergetar. Tetapi ia masih menyadari, bahwa ia harus menjaga dirinya untuk tidak terlepas dari kendali nalarnya.
"Sebenarnya aku merasa heran," berkata Ki Tumenggung kemudian, "bagaimana Ki Lurah telah kehilangan pengawasan terhadap isterinya sendiri. Mungkin Ki Lurah sibuk di barak Pasukan Khusus itu. Meski-pun demikian, bukankah setiap hari Ki Lurah pulang " Bagaimana mungkin Ki Lurah tidak mengetahui bahwa Nyi Lurah telah berhubungan dengan Ki Saba Lintang."
"Ki Tumenggung," sahut Ki Lurah Agung Sedayu, "apakah itu berarti bahwa Ki Tumenggung sudah menetapkan isteriku bersalah " Bahwa yang berkeliaran bersama Ki Saba Lintang itu benar-benar isteriku yang sekarang berada di Mataram ini ?"
Ki Tumenggung tertawa. Katanya, "Sebenarnya aku merasa kasihan kepadamu Ki Lurah. Bahwa kau masih saja tidak dapat meyakini kesalahan isterimu. Tetapi baiklah. Akhirnya yang salah akan diketahui juga. Pada suatu saat kau harus melihat kenyataan pahit itu. Tetapi kau sudah terlambat."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab ia hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu darah dijantung Glagah Putih terasa bagaikan bergejolak.
Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung itu-pun kemudian berkata, "Baiklah, Ki Lurah. Agaknya tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Untuk beberapa hari lagi, biarlah isterimu tetap berada di Mataram."
"Bukankah ia mendapat perlakuan baik selama ini" Isterimu masih belum diputuskan bersalah. Karena itu, maka ia masih diperlakukan sebagai seorang tamu."
"Terima kasih, Ki Tumenggung," sahut Ki Lurah Agung Sedayu yang kemudian telah minta diri, "Ki Tumenggung. Perkenankanlah kami berdua mohon diri."
"Setelah sepekan, sebaiknya kau datang lagi kepadaku. Mungkin ada perkembangan baru yang dapat aku sampaikan kepadamu tentang isterimu. Mudah-mudahan tidak membuatmu terkejut."
"Ya Ki Tumenggung. Sepekan lagi aku akan datang menghadap. Mudah-mudahan selama ini para petugas sandi dapat menangkap keadaan yang sesungguhnya."
Ki Tumenggung itu tersenyum. Katanya, "Ya. Selama ini mereka masih tetap memantau keadaan."
Keduanya-pun kemudian meninggalkan rumah Ki Tumenggung Wiradilaga. Ketika Ki Lurah bertanya apakah sebaiknya mereka singgah di rumah Ki Patih atau tidak, Ki Tumenggung-pun berkata, "Apakah kau mempunyai keperluan khusus dengan Ki Patih?"
"Tidak. Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggunglah yang mempunyai keperluan yang harus kami sampaikan kepada Ki patih."
"Ki Patih mempunyai banyak kesibukan, Ki Lurah. Ia tidak akan mempunyai cukup banyak waktu untuk menerima Ki Lurah dan sepupu Ki Lurah itu. Jika Ki Lurah singgah mungkin sekali Ki Patih tidak sempat menemui Ki Lurah."
"Jika demikian kami tidak perlu untuk singgah."
Sebenarnyalah keduanya memang tidak merasa perlu untuk singgah di Kepatihan, karena mereka sudah berada di Kepatihan, sebelum menghadapi Ki Tumenggung Wiradilaga.
"Malam nanti aku akan berangkat, kakang," berkata Glagah Putih.
"Berangkat kemana?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Kemana saja. Aku dan Rara Wulan akan mengembara di Kaki Gunung Merapi di sisi Selatan sampai ke sisi Timur. Kemudian menelusuri Kali Opak ke Selatan, di sebelah pegunungan Baka sampai ke tempuran terus menyusuri pantai Lautan Kidul."
"Tetapi sebaiknya kau berada lebih banyak di kaki Gunung Merapi daripada di pantai Lautan Kidul. Berita kehadiran Ki Saba lintang lebih keras bertiup di kaki Gunung Merapi."
"Apakah sebaiknya aku bertemu dan berbicara dengan kakang Untara agar tidak terjadi salah paham dengan prajurit- prajuritnya di Jati Anom."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya. Sebaiknya kau singgah di Jati Anom. Tetapi biarlah Kakang Untara tidak terlalu banyak mencampuri persoalan ini. Orang-orang Mataram tidak akan mempercayainya sepenuhnya. Apalagi orang-orang baru yang selalu mencurigai siapa-pun saja atau mereka yang ingin dengan cepat mendapat pujian."
Glagah Putih mengangguk pula sambil berdesis, "Ya, kakang. Tetapi bagaimana dengan Kakang Swandaru?"
"Biarlah kakangmu Swandaru tidak mencampuri persoalan ini. Justru karena ia adalah kakang mbokayumu Sekar Mirah. Kesaksian yang dikemukakannya tentu dianggap sekedar untuk memperingan kesalahan adik perempuannya."
Glagah Putih terdiam. Kudanya berlari di sebelah kuda Agung Sedayu. Jika saja Glagah Putih ingin berpacu lebih dahulu, maka kuda Glagah Putih adalah kuda yang sangat baik.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Derap kaki kuda mereka terdengar bagaikan dua ekor kuda yang saling bekejaran.
Sedikit lewat senja, keduanya telah memasuki regol halaman rumah Agung Sedayu. Ki Jayaraga, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyongsong mereka di halaman.
Rara Wulan yang berada di dapur, segera berlari-lari kehalaman depan ketika ia mendengar ringkik kuda Glagah Putih.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah duduk di pringgitan. Sementara Sukra menuntun kuda mereka ke belakang.
"Bagaimana dengan mbokayu Sekar Mirah?" Rara Wulan tidak sabar lagi.
"Menurut Ki Tumenggung Wiradilaga, ia dalam keadaan baik."
"Kakang berdua tidak menengok mbokayu?"
"Tidaak hari ini, Rara," jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
"Kenapa?" "Baru kemarin aku menemuinya. Biarlah besok atau besok lusa. Jika aku terlalu sering menemuinya, orang-orang Mataram yang mencurigainya akan menjadi semakin curiga."
"Apakah kesaksian kakang Glagah Putih dapat meyakinkan mereka bahwa yang disebut Sekar Mirah yang bersama-sama dengan Ki Saba Lintang itu orangnya dapat siapa saja?"
Ki Lurah Agung Sedayu menggeleng lemah. Katanya, "Sayang. Mereka tidak yakin karenanya."
"Lalu apa yang akan kakang lakukan?" desak Rara Wulan yang semakin menjadi gelisah itu.
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia-pun bertanya, "Dimana Adi Swandaru dan isterinya?"
"Mereka masih berada di rumah Ki Gede. Agaknya malam ini mereka akan bermalam disana," jawab Ki Jayaraga.
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun Rara Wulan-pun kemudian telah mendesaknya pula, "Apa yang akan kakang lakukan?"
"Kami sudah mempunyai rencana, Rara. Tetapi biarlah kami mandi dahulu. Nanti, kita akan berbicara. Mungkin sebuah pembicaraan yang panjang.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, kakang. Biarlah aku menyediakan minuman serta makan malam."
Ketika Rara Wulan dan Sukra sibuk di dapur, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah sempat mandi dan berbenah diri.
Malam itu, sambil makan malam, mereka-pun berbicara tentang rencana untuk mengimbangi tindakan licik. Ki Saba Lintang.
Ki Lurah Agung Sedayu telah menceriterakan pertemuannya dengan Ki Patih Mandaraka. Ki Lurah Agung Sedayu-pun telah menjelaskan rencana permainan yang akan dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Satu gagasan yang menarik," sahut Rara Wulan dengan serta-merta, "kapan kami harus melakukannya kakang?"
"Secepatnya, Rara. Selagi mbokayumu masih di Mataram, serta perhatian para petugas sandi masih utuh terhadap persoalan ini. Jika kalian hadir di sekitar Mataram, justru para petugas sandi tidak lagi mempunyai greget untuk memantaunya, maka kehadiran kalian akan sia-sia."
"Aku siap berangkat malam ini," berkata Rara Wulan.
"Tidak usah malam ini. Besok saja kalian berangkat. Singgah sebentar menemui Kakang Untara untuk menjelaskan persoalannya agar tidak terjadi salah paham dengan prajurit-prajuritnya. Kemudian aku akan minta kakangmu Swandaru untuk tidak dengan tergesa-gesa melibatan diri, justru karena adi Swandaru adalah kakak Sekar Mirah. Apa-pun yang dikatakannya tidak akan dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang Mataram. Karena adi Swandaru akan dianggap berusaha untuk menyelamatkan nama baik adiknya.
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Jika saja kami tidak terlalu tua," berkata Ki Citra Jati sambil tersenyum.
Ki Jayaraga-pun tertawa. Namun kemudian Ki Jayaraga itu-pun bertanya, "bukankah mungkin sekali Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu disertai para pengikutnya?"
"Mungkin sekali."
"Jika demikian, kami bertiga dapat ikut serta dalam permainan yang menarik ini," berkata Ki Jayaraga.
"Ya. Jika kami boleh ikut, maka kami akan dengan senang hati melakukannya."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Baiklah agaknya tidak ada keberatannya. Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang memiliki sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu berkeliaran bersama beberapa orang pengikutnya.
"Tetapi usahakan agar kalian tidak berada terlalu lama disuatu tempat. Mungkin beberapa orang yang pernah bertemu dan melihat Ki Saba lintang dengan perempuan yang disebutnya Nyi Lurah Agung Sedayu akan mempersoalkan dengan kehadiran kalian."
"Baik, kakang. Kami akan hadir di satu tempat seperti bayangan yang segera menghilang agar tidak dapat diperbandingkan dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu jika mereka pernah hadir di satu di suatu yang akan kami datangi.
"Baiklah. Malam ini aku dan Glagah Putih akan menemui adi Swandaru di rumah Ki Gede."
Demikianlah, setelah selesai makan malam, serta setelah duduk-duduk diserambi sambil berbincang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun minta diri untuk pergi ke rumah Ki Gede. Kecuali untuk menemui Swandaru dan isterinya yang bermalam di rumah Ki Gede, mereka-pun akan memberikan laporan tentang persoalan yang menyangkut Nyi Lurah Sekar Mirah.
Ketika Pandan Wangi mendengar rencana yang akan dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka ia-pun berkata, "Bukankah rencana itu lebih tepat jika aku dan kakang Swandaru yang melakukannya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Para pengikut Saba Lintang sudah banyak yang mengenal Swandaru dan isterinya. Bahkan Swandaru pernah terjerumus kedalam perangkap Ki Saba Lintang, sehingga kehadiran mereka didalam permainan ini akan cepat diketahui oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Sebaliknya, meski-pun Glagah Putih dan Rara Wulan juga sudah dikenal, tetapi tidak terlalu jauh sebagaimana Swandaru yang justru telah dikenal terlalu dalam.
Namun sudah tentu Agung Sedayu tidak dapat mengucapkannya. Yang dikatakannya adalah, justru karena Swandaru adalah kakak Sekar Mirah, maka persoalannya akan dapat menjadi lain.
Dengan demikian, maka Pandan Wangi itu-pun bertanya, "Apakah kau sudah benar-benar siap Glagah Putih?"
"Sudah mbokayu."
"Berhati-hatilah. Kau berhadapan dengan orang yang licik tetapi cerdik."
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Ya, mbokayu. Jika kami menghadapi kesulitan dalam tugas kami, maka kami akan menemui kakang Swandaru jika aku berada di sekitar Sangkal Putung. Jika aku dekat dengan Jati Anom, maka aku akan menyampaikannya kepada Kakang Untara atau kepada ayah di padepokan kecil itu."
"Baiklah," berkata Swandaru, "kami akan selalu bersiap membantu jika kau mengalami kesulitan di sekitar kademangan Sangkal Putung."
"Terima kasih, kakang."
"Kapan kau akan mulai dengan permaiananmu, Glagah Putih?" bertanya Ki Gede.
"Esok pagi, Ki Gede. Kami akan singgah di Jati Anom, memberi laporan kepada kakang Untara, agar tidak terjadi salah paham dengan prajuritnya."
"Tugas yang berat. Mudah-mudahan kau dapat melakukannya dengan selamat, Glagah Putih. Seperti pesan mbokayumu Pandan Wangi, berhati-hatilah."
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun mohon diri. Sekali lagi Glagah Putih mohon doa restu kepada Ki Gede agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan selamat dan berhasil sebagaimana diharapkan."
Malam itu adalah malam yang gelisah bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka sama sekali tidak menjadi cemas oleh tugas yang harus mereka jalankan itu, tetapi yang mereka cemaskan adalah justru Sekar Mirah. Jika mereka terlambat, maka Sekar Mirah akan dapat ditetapkan bersalah.
Karena itu, rasa-rasanya malampun menjadi sangat panjang. Bahkan waktu-pun seakan-akan tidak bergerak.
Namun akhirnya mereka-pun sampai juga pada saat menjelang fajar.
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera bersiap. Demikian pula Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga.
Tetapi mereka tidak akan menempuh perjalanan bersama-sama. Tetapi mereka sepakat untuk bertemu di Jati Anom, di padepokan Orang Bercambuk. Setelah singgah untuk menemui Untara, maka Glagah Putih dan Rara Wulan akan langsung pergi ke padepokan Orang Bercambuk, semental a Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga telah lebih dahulu sampai di padepokan itu.
Sebelum matahari terbit, maka semuanya telah bersiap, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga berangkat lebih dahulu. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun menyusul pula. Tetapi mereka tidak akan melalui jalan yang sama. Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga akan menyeberang di penyeberangan sebelah Utara, sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan akan menyeberang di penyeberangan sebelah Selatan.
Ki Lurah Agung Sedayu melepas mereka dengan jantung yang berdebaran. Sebelumnya ia tidak mengira sama sekali, bahwa Sekar Mirah akan difitnah oleh orang-orang yang mengaku dari perguruan Kedung Jati, sehingga Sekar Mirah harus berada di Mataram untuk beberapa lama.
Tetapi Agung Sedayu-pun yakin, bahwa di lingkungan para pemimpin di Mataram, tentu ada orang-orang yang bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun melarikan kuda mereka menempuh perjalanan panjang. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga untuk menyeberang, maka matahari telah merambat naik. Tetapi panasnya masih belum terasa menggigit kulit.
Sebenarnyalah Glagah Putih ingin bertemu dengan orang yang pernah menyapanya sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, Tetapi orang itu tidak menyeberang hari itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah berada di tepian itu tidak langsung naik ke atas rakit yang sudah siap menyeberang. Bukan karena rakit itu sudah tidak muat lagi, tetapi Glagah Putih dan Sekar Mirah memang menunggu rakit yang agak besar, yang pernah membawa orang dengan pikulan dan sepasang bakul itu menyeberang mendahului rakit yang kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan
Baru sejenak kemudian, rakit itu merapat di sisi sebelah Barat. Beberapa orang turun sementara Glagah Putih dan Rara Wulan-pun naik sambil menuntun kuda mereka.
Beberapa saat mereka masih menunggu beberapa orang penumpang yang berlari-lari di tepian agar tidak ditinggal oleh rakit yang merapat itu.
Demikian rakit itu bergerak, maka Glagah Putih-pun bertanya kepada salah seorang tukang satang, "Ki Sanak. Bukankah kemarian lusa, seorang yang membawa pikulan berisi reramuan obat-obatan itu menyeberang dengan rakitmu ini?"
Tukang satang itu mengerutkan dahinya. Sambil mengayuh rakitnya ia-pun kemudian bertanya, "Maksudmu Ki Kayuracik."
"Aku belum tahu namanya, Ki sanak. Tetapi orangnya agak kekurus-kurusan. Berkumis jarang dan membawa sepasang bakul dengan sebuah pikulan."
"Ya. Ia sering kali hilir mudik lewat jalan penyeberangan ini. Kami sering mendapat sebungkus reramuan obatnya. Katanya akan dapat membuat tubuh kami semakin kuat."
"Adakah kalian merasakan kasiat obatnya itu?"
"Ya. Aku menjadi semakin sehat. Aku menjadi jarang sakit."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara tukang satang itu berkata pulang, "Sebelumnya aku kurang bernafsu makan. Tetapi sekarang aku makan tanpa henti. Bahkan di rakit ini selalu tersedia ketela rebus, atau ubi, gembili atau bahkan garut. Pokok apa saja, karena rasa-rasanya perutku selalu lapar."
"Kawan-kawanmu juga ?"
"Tidak semuanya mau minum reramuan jamu itu. Rasanya memang pahit sekali. Lebih pahit dari akar ketela gentung gerandel. Bahkan daun bratawali."
"Tetapi kau memang nampak sehat sekali."
"Kawanku yang di ujung itu tidak mau minum reramuan jamu yang pahit. Ia telah mencobanya beberapa kali. Tetapi ia selalu muntah."
"Tetapi ia juga nampak sehat."
"Setiap pagi ia minum jamu yang diramunya sendiri. Telur ayam dan serbuk mrica."
"Jamu yang mahal."
"Itulah sebebnya ia memelihara beberapa ekor ayam agar setiap pagi ia mendapatkan telur."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sedangkan tukang satang itu masih juga melanjutkan, "hampir semua tukang satang disini mengenalnya. Ia memang baik hati. Hampir semuanya mendapat reramuan jamuannya, kecuali yang memang tidak mau."
Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu rakit itu-pun sudah menjadi semakin merapat ke tepian.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah turun ke tepian setelah memberikan upah penyeberangannya. Kemudian, keduanya-pun melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Mereka tidak menyusuri jalan ke Mataram. Tetapi mereka telah mengambil jalan simpang.
"Apa yang harus kita lakukan kakang " Apakah kita harus bertemu lebih dahulu dengan kakang Untara, baru kita mulai dengan tugas kita."
"Tidak usah menunggu lagi, Rara. Nanti, jika kita singgah di kedai, maka kita sudah mulai akan memperkenalkan diri kita. Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu kesempatan untuk menyebut keberadaan mereka.
Di tengah hari, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang besar justru diarah Selatan dari Mataram.
Keduanya-pun kemudian berhenti di sebuah kedai dekat sebuah pasar yang terhitung ramai. Pasar Gumulan.
Setelah mengikat kuda-kuda mereka, maka mereka-pun segera memasuki kedai itu dengan dada tengadah.
Keduanya-pun kemudian duduk di tengah-tengah ruangan kedai yang tidak terlalu panas itu. Sementara di dalam kedai itu sudah ada beberapa orang yang lebih dahulu masuk.
Rara Wulan-pun kemudian telah memesan minuman dan makan bagi mereka berdua.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu bangkit berdiri dan berjalan mendekati tiga orang yang duduk beberapa langkah dari padanya, "He, kenapa kau memilih kedai ini. Bukan kedai di sebelah kiri atau kanan kedai ini."
Orang itu menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Dipandanginya kawan-kawannya dengan wajah yang tegang.
"Kenapa, he " Apakah kau tuli " Atau bisu ?"
"Hanya kebetulan saja Ki Sanak," jawab orang itu, "aku juga sering berada di kedai sebelah menyebelah. Bahkan juga kedai di ujung itu. Tidak tentu. Ki Sanak."
"Dan hari ini kau berada di sini mendahului aku dan Nyi Lurah itu, he?"
"Tidak, Ki Sanak. Tidak. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Ki Sanak akan memasuki kedai ini. Bahkan aku tidak tahu siapakah Ki Sanak berdua ini."
"Kau belum tahu siapa kami berdua ?"
"Belum Ki Sanak."
"Kau orang-orang dungu. Namaku Ki Saba Lintang dan perempuan ini adalah Nyi Lurah Agung Sedayu."
Orang-orang itu-pun saling berpandangan. Mereka memang belum pernah mendengar nama itu.
"Ingat. Namaku Ki Saba Lintang dan perempuan ini adalah Nyi Lurah Agung Sedayu. Kami adalah pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang terkenal yang sekarang sedang menyusun kekuatannya kembali."
Orang-orang itu masih saja saling berpandangan.
"Jadi kalian juga belum pernah mendengar nama Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu ?"
"Belum Ki Sanak."
"Kalian sudah pernah mendengar nama perguruan Kedung Jati?"
"Juga belum Ki Sanak."
"Kalian memang orang-orang yang picik. Seperti seekor katak yang bersembunyi dibawah tempurung yang menelungkup, kalian tidak tahu apa-apa."
Orang itu terdiam. Demikian pula yang lain.
"Nah, katakan kepada semua orang yang kau kenal, bahwa Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu sekarang sedang berada di daerah ini. Kami berdua terus akan bergerak ke Timur."
Orang itu masih saja termangu-mangu.
Glagah Putih-pun kemudian meninggalkan orang itu dalam kebingungan, sementara yang dipesan oleh Rara Wulah telah dihidangkan pula.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah selesai. Rara Wulan-pun kemudian mendekati pemilik kedai yang menjadi cemas melihat sikap perempuan itu.
Namun Rara Wulan-pun telah mengambil uang dari saku ikat pinggangnya yang besar dan diberikannya kepada pemilik kedai itu.
"Ini berlebihan," berkata pemilik kedai itu.
"Ambil lebihnya. Orang-orang dari perguruan Kedung Jati bukan orang-orang yang kikir. Pada suatu saat, jika kami memegang pemerintahan di Mataram, maka kesejahteran terutama harus dinikmati banyak orang."
Pemilik kedai itu memandanginya sambil termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berkata, "Terima kasih, Ki Sanak."
"Sebut namaku, Nyi Lurah Sekar Mirah. Laki-laki yang bersamaku itu adalah Ki Saba Lintang."
"Baik Nyi Lurah."
"Sebut, Nyi Lurah Sekar Mirah."
Demikianlah sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melanjutkan perjalanan mereka dengan meninggalkan kesan tersendiri kepada orang-orang yang berada dikedai itu. Bahkan setiap kali Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti dimanapun, mereka selalu berusaha untuk menyebut nama Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Sekar Mirah atau Nyi Lurah Agung Sedayu.
Tetapi Rara Wulan itu sempat juga bertanya, "Apakah usaha ini akan ada artinya, kakang. Di daerah ini tidak dikenal Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Mereka tidak akan pernah membicarakannya, sehingga para petugas sandi dari Mataram tidak akan pernah mendengarnya."
"Kita harus meninggalkan jejak dimana-mana, Rara. Besok atau besok lusa kita akan melingkari Mataram, nanti malam kita akan bermalam di Jati Anom. Tidak di barak kakang Untara, tetapi dipadepokan Orang Bercambuk."
Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata lebih lanjut, "Mungkin kita dapat membuat permainan tersendiri dengan kakang Swandaru. Kakang Swandaru merasa tersinggung karena Nyi Lurah Agung Sedayu, adik perempuannya telah berkhianat, sehingga kakang Swandaru berusaha untuk menangkap Nyi Lurah itu. Mungkin pula permainan yang lain dengan kakang Untara. Pokoknya apa-pun juga dapat kita lakukan untuk menarik perhatian."
"Aku sependapat kakang. Tetapi tentu tidak di daerah Selatan ini. Bukankah kakang Agung Sedayu juga berpesan agar kami lebih banyak bergerak di daerah Utara."
"Bukankah prajurit Mataram itu tersebar dimana-mana. Di Ganjur ada sepasukan prajurit. Jika kehadiran Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang dari perguruan Kedung Jati mereka dengar, maka tentu akan ada laporan ke Mataram."
Tengkorak Darah 3 Lupus Cewek Junkies Bangau Sakti 41

Cari Blog Ini