Ceritasilat Novel Online

Tujuh Hari Menembus Waktu 1

Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon Bagian 1


Satu 6 Juli 2008 Kabur!! Marissa memandang jalanan dari kaca jendela mobil
tanpa antusias. Hari ini Papi dan Mami mengajaknya
pergi ke pesta, padahal dia lebih suka ada di rumah.
Mobil Papi memasuki sebuah gedung, dan tak berapa
lama kemudian berhenti. Terdengar suara pintu mobil
dibuka dari arah depannya. Lalu ketukan di kaca jendela
mobil membuyarkan lamunannya.
"Kau tidak mau turun?" tanya Papi. "Kita sudah sam"
pai." Marissa memandang Papi sambil mendesah. Dengan
malas dibukanya pintu mobil.
"Bisakah Rissa pulang saja?" tanya Marissa, setengah
memohon. Mami langsung berkata dengan kesal, "Marissa, kita
sudah membicarakan hal ini di rumah. Acara ini penting
untuk Papi." Papi menyentuh pundak Marissa. "Papi tahu kau tidak
ingin ada di sini, kau tidak ingin bertemu mereka. Me"
isi-7 hari.indd 7 ngurung diri di kamar tidak akan memperbaiki keadaan.
Cepat atau lambat kau harus menghadapi mereka.
Bukankah lebih cepat lebih baik?"
Alasan utama Marissa tidak mau menghadiri pesta ini
karena dia akan bertemu dengan Michael dan Selina. Satu
bulan yang lalu, Michael memutuskan dirinya. Marissa
tidak habis pikir mengapa Michael tega melakukannya,
padahal mereka sudah berpacaran selama tiga tahun.
Rasa sakit hati Marissa semakin parah ketika Michael
malah jadian dengan Selina, musuh terbesarnya selama
ini. Hari ini Selina pasti akan menghadiri pesta bersama
orang"tuanya. Sebagai sesama pengacara, Papi dan papa
Selina sering bertemu dan mereka berteman baik.
Akan tetapi tidak demikian halnya dengan anak-anak
mereka. Marissa dan Selina sudah tidak menyukai satu
sama lain saat pertama kali mereka bertemu. Selina ter"
lalu sombong, mau menang sendiri, dan sering mengolokoloknya. Yang lebih menyebalkan, Selina pandai sekali
berbohong tanpa rasa bersalah.
Saat pertama kali jadian dengan Michael, Marissa
senang sekali melihat Selina cemburu kepadanya. Kini,
tiga tahun kemudian Selina membalas rasa cemburu itu.
Pandangan Marissa beralih pada sebuah papan karang"
an bunga di depan gedung. Dia membaca tulisan yang
ter"tera di papan itu. Selamat atas dua puluh tahun ber"
dirinya Gedung ALBATROSS.
Mami menengok ke belakang, dan memandang putri"
nya dengan putus asa. "Marissa, ayo masuk!"
Dengan langkah berat Marissa memasuki gedung. Me"
isi-7 hari.indd 8 reka naik lift menuju lantai tiga. Di dalam lift, Mami
menatap anaknya dengan lembut. "Mami tahu kau tidak
ingin bertemu mereka. Akan tetapi, apa yang Papi kata"
kan benar, Marissa. Kau harus menghadapi mereka. Lagi
pula, Mami dan Papi tidak membesarkan seorang pe"
ngecut, kan?" Mami mengelus rambut anaknya penuh kelembutan.
"Mengurung diri di kamar bukan jalan keluar."
"Aku tahu," kata Marissa akhirnya.
Pintu lift terbuka, ketiganya keluar dari lift dan ber"
jalan menuju hall. Sesaat setelah Marissa me"langkah ke
dalam tempat acara, matanya menatap Selina dan
Michael tak jauh di depannya. Marissa mendesah kesal.
Selina sengaja datang lebih awal untuk meng"hinanya,
padahal biasanya dia selalu telat.
Aku benar-benar benci dia! desah Marissa dalam hati.
Dengan senyum manis, Selina memandang Marissa,
sementara tangannya menggelayut manja kepada Michael.
Michael melihat kedatangan Marissa, dan ia hanya
tertunduk malu. Napas Marissa terhenti sesaat. Aku tidak
bisa melakukan"nya, katanya dalam hati, terlalu menyakit"
kan. "Mami," katanya kemudian. "Aku mau ke toilet dulu."
Setengah berlari, Marissa meninggalkan tempat acara
dan masuk ke toilet yang berada tak jauh dari sana. Di
dalam toilet, air mata Marissa jatuh. "Aku benar-benar
benci mereka!" bisiknya sambil menangis. "Aku mem"
bencimu, Michael. Tega sekali kau melakukan ini
padaku." Selama beberapa menit hanya tangis Marissa yang
isi-7 hari.indd 9 terdengar di dalam toilet, lalu isakan itu mereda. Marissa
menatap wajahnya dalam cermin. Ia mengambil tisu dari
toilet dan menghapus air matanya. Mata dan hidung"nya
merah. Aku tidak sekuat yang Papi bayang"kan. Aku
tidak bisa melakukan ini, aku harus pergi.
Dengan tekad bulat, Marissa keluar dari toilet dan
berjalan ke arah tangga di hadapannya. Dia ingin pulang
dan menangis sepuasnya di rumah. Dilihatnya jam
dinding besar di aula gedung menunjukkan pukul enam
sore. Pandangannya lalu tertuju pada lukis"an di dekat
tangga. Marissa berjalan mendekat. Lukisan sebesar satu
kali satu meter itu hanya berupa lingkaran-lingkaran
merah dengan latar belakang berwarna hitam.
Dia membaca keterangan di bawahnya.
Judul Lukisan: Menembus Waktu
Tahun Dibuat: Tidak diketahui, diperkirakan sekitar
abad 17-18 Pelukis: Tidak diketahui Keterangan: Konon, lukisan ini dipercaya bisa mengabulkan se"
buah permohonan. Marissa tertawa pendek. "Mengabulkan permohonan?"
katanya, tidak percaya. "Tidak ada hal seperti itu di dunia
ini. Saat ini aku sebal kepada Papi dan Mami. Apakah
mereka tidak pernah merasakan bagaimana menjadi
seorang remaja dan sakit hati" Tidakkah mereka mengerti
bahwa aku butuh waktu untuk sembuh" Mereka benarbenar tidak mengerti apa yang ada dalam hatiku. Pacarku
isi-7 hari.indd 10 meninggalkanku. Sangat menyakitkan. Sekarang aku tidak
punya pacar." Suara Marissa sudah mendekati histeria. "Aku benci
Michael, aku benci Selina! Aku benci semuanya! Aku
benci tempat ini! Aku berharap tempat ini ditutup saja
sehingga aku tidak perlu menghadiri acara ini, dan ber"
temu dengan orang-orang yang menyakiti hatiku!"
Napas Marissa terengah-engah, lalu akal sehat merasuki"
nya. "Apa yang baru saja kulakukan?" tanyanya perlahan.
"Aku ber"bicara pada sebuah lukisan. Tampaknya pikiran"
ku su"dah benar-benar kacau."
Marissa membalikkan badannya, dan melangkah me"
nuruni tangga. Tiba-tiba seluruh ruangan bergetar hebat.
Ada apa ini"! Marissa panik. Getaran itu se"makin lama
semakin kuat. "Ya, ampun!" teriaknya dalam hati. "Gem"
pa bumi!!" Marissa terjatuh, kacamatanya terlepas. Marissa meman"
dang langit-langit di atasnya dengan ketakutan. Secara
refleks diangkatnya tangannya untuk melindungi kepala,
lalu dia menutup matanya.
isi-7 hari.indd 11 Dua 29 Juni 1988"! Yang Benar Saja! Entah berapa lama Marissa tertelungkup. Lantai gedung
sudah tidak bergetar lagi. Perlahan-lahan Marissa mem"
buka matanya. Hal pertama yang disadarinya adalah
seluruh gedung gelap gulita. Marissa mencoba memakai
kacamatanya untuk melihat keadaan, namun kacamatanya
sudah retak, tidak bisa digunakan lagi. Dengan putus asa,
Marissa menyusuri gedung dengan perlahan-lahan.
"Halo!" teriaknya dengan ragu. "Ada orang di sini?"
Interior gedung tampak berbeda. Pintu ke ruang acara
tertutup. Marissa lalu membukanya. Keadaan di dalamnya
gelap gulita. "Halo!" teriaknya lagi. "Mami! Papi! Kalian
ada di dalam"!"
Di mana semua orang"! teriaknya dalam hati, dengan
pu"tus asa. Kenapa gedung ini gelap gulita"
Apakah semua orang sudah di luar gedung" Hatinya
bertanya-tanya. Marissa memutuskan keluar dari gedung,
ia menuruni tangga. Di depan pintu masuk hanya satu
lampu neon yang berpijar.
isi-7 hari.indd 12 "Halo!!" teriaknya lagi, dengan lebih keras.
Tiba-tiba ada cahaya senter di kejauhan mendekati
Marissa. Suara anjing menggonggong mengikuti arah ca"
haya senter itu. Marissa ketakutan.
"Siapa di sana?" tanya suara dari balik kegelapan. "Ja"
ngan bergerak!" Suara anjing menyalak semakin kencang, dan ter"dengar
semakin mendekati tempat Marissa ber"ada. Tanpa ber"
pikir panjang, Marissa lari sekencang-kencangnya keluar
dari gedung. Di luar tampak kawat tinggi, yang me"
ngelilingi gedung. Tanpa memandang lagi ke belakang,
Marissa terus berlari menuju pintu yang juga terbuat dari
kawat, dan membukanya. Seketika tatapan Marissa ter"
tuju pada papan putih di depannya, dengan tulisan besarbesar:
GEDUNG ALBATROSS. AKAN DIBUKA TANGGAL 6 JULI 1988
Kening Marissa berkerut. Hah" Ada apa ini" Apakah
ini hanya lelucon" Mimpi buruk" Tubuhnya merinding.
Marissa mempercepat langkahnya sampai ke jalan raya.
Napasnya terengah-engah. Lebih baik aku pulang ke rumah, kata Marissa dalam
hati. Untung saja rumah Marissa dan Gedung Albatross
me"mang tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan yang dilalui"
nya, Marissa kebingungan. Mobil-mobil yang dilihatnya
tidak seperti biasanya. Aku ada di mana" teriaknya dalam hati. Perlahan tapi
pasti, Marissa berjalan menyusuri jalan utama, lalu dia
isi-7 hari.indd 13 berbelok menuju jalan ke rumahnya. Hari masih sore,
Marissa melihat anak-anak perempuan sedang bermain
lompat tali. Aneh, katanya dalam hati. Mengapa banyak
anak-anak di sini" Marissa meneruskan perjalanannya. Tak berapa lama
kemudian ia melihat lapangan luas terbentang di
sampingnya. Marissa semakin bingung.
"Sejak kapan ada lapangan di situ?" kata Marissa per"
lahan. "Bukankah di situ lokasi supermarket?"
Beberapa anak laki-laki tampak tertawa sambil bermain
kelereng di tanah lapang. Marissa meng"geleng-geleng.
Apakah pikiranku menjadi kacau sejak gempa bumi
tadi" Marissa menahan napas, lalu berjalan lagi menuju
rumahnya. Hatinya lega melihat rumah yang amat
familier baginya. Ketika sampai di depan gerbang Marissa
mencoba memencet bel, namun bel itu tidak ada di tem"
patnya. Ia mencoba masuk, namun sebuah gembok me"
ngunci pintu itu. Apakah Mami dan Papi belum pulang"
tanyanya dalam hati. Marissa semakin bingung. Marissa
akhirnya berjalan memutar ke samping rumah dan
menemukan lubang yang tersembunyi di balik pepohonan.
Ia menemukan lubang itu ketika berusia sepuluh tahun.
Sejak itu ia sering kabur untuk pergi bermain melalui
lubang tua itu, ketika orangtuanya tidak mengizinkannya
keluar rumah. Ketika merangkak masuk ke dalam lubang itu, Marissa
tidak memperhitungkan tinggi badannya. Kini dia bukan
lagi gadis kecil berusia sepuluh tahun. Di usianya yang
ber"anjak dewasa, tinggi badannya pun telah bertambah.
isi-7 hari.indd 14 Setengah badan bagian atas bisa masuk dengan mudah,
namun ia mengalami kesulitan ketika men"dorong masuk
tubuh bagian bawahnya. Marissa mem"balikkan badannya,
dan telentang di atas tanah, lalu meng"gunakan tangannya
untuk maju. Ketika akhirnya dia ber?""hasil berdiri di depan
rumah itu beberapa saat ke"mu"dian, baju pesta putihnya
sudah kotor berlepotan tanah.
Marissa memandang rumahnya. Rasanya ada yang
beda" tanyanya dalam hati. Bentuk rumah ma"sih
sama, namun catnya berbeda, pekarangannya juga
ber"beda. Terdengar suara anjing besar menggonggong dari da"
lam rumah. Ya, ampun! keluh Marissa dalam hati. Masa
aku harus berurusan dengan anjing galak dua kali"
Lampu depan rumah dinyalakan. "Siapa di luar?" teriak
sang penghuni rumah. Astaga, pikir Marissa panik, itu bukan suara Papi. Se"
pertinya aku masuk ke rumah orang, bukan rumahku.
Jeritan keras penghuni rumah terdengar sampai ke
halaman. "Papi!" teriak seorang wanita. "Sepertinya ada
maling di depan rumah kita!"
Arghhhh! Marissa ketakutan dan semakin panik. Aku
disangka maling"!! "Mami diam saja di rumah!" Terdengar suara seorang
pria dari dalam rumah. "Mana pemukul bola" Sini" beri"
kan pada Papi!" Gawat! Aku harus kaburrr! Marissa berlari ke arah
lubang yang tadi dimasukinya. Setelah keluar dari sana,
dia berlari sekencang-kencangnya.
Setelah setengah jam berlari tak tentu arah, Marissa
isi-7 hari.indd 15 berhenti untuk mengambil napas dalam-dalam. Aku ha"
rus ke mana lagi" tanyanya dalam hati. Mengapa semua"
nya begitu berbeda" Di mana rumahku"
Ia mencoba mengamati lingkungan sekitarnya. Aku ada
di mana"

Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya kemudian melihat sosok anak laki-laki sedang
menyeberangi jalan. Tak berapa jauh dari sana sebuah
mo"bil berkecepatan tinggi melaju kencang menuju anak
itu. Marissa pun berlari dan berteriak, "Hei, kamu! Hatihati! Ada mobil!"
Anak kecil itu tidak menggubris teriakan Marissa. De"
ngan sekuat tenaga, Marissa berlari dan menarik ke luar
anak itu dari jalanan. Keduanya jatuh di seberang jalan
dalam keadaan berpelukan. Sementara, mobil yang tadi
tetap melaju melewati mereka dengan kencang.
Marissa terengah-engah. "Lepaskan aku!" teriak anak itu.
Marissa melepaskan pelukannya dan menatap anak itu,
"Kau tidak apa-apa?"
Anak itu memandang Marissa dengan cemberut, lalu
ber"diri. Marissa juga mencoba berdiri dengan susah pa"
yah. Kakinya lecet. Hak tinggi memang tidak diciptakan
untuk berlari, keluh Marissa dalam hati.
"Hei, Anak kecil," kata Marissa lagi, "kau tidak apaapa?"
Anak kecil itu tidak menjawab, bahkan dia malah pergi
me"ninggalkan Marissa.
Marissa kesal setengah mati. Dasar anak tidak tahu
ber"terima kasih. isi-7 hari.indd 16 "Hei! Tunggu!" teriak Marissa, sambil berlari mengejar
anak itu. Marissa menyentuh pundak anak kecil itu, dan berkata
dengan marah, "Hei! Seharusnya kau berterima kasih
karena aku sudah menyelamatkanmu."
Anak kecil itu menyingkirkan tangan Marissa dari pun"
daknya. "Jangan sentuh aku!"
Marissa menahan napas menahan amarah. "Oke. Oke.
Aku tidak akan menyentuhmu lagi. Aku hanya ingin tahu
apakah kau baik-baik saja. Tidak ada yang terluka,
kan?" Anak itu menoleh ke arah Marissa tanpa antusias. "Aku
tidak butuh perhatianmu!" Kemudian, dia berjalan lagi.
Ini anak, kata Marissa dalam hati, jutek abis.
Marissa mengikuti anak itu dari belakang. Setelah lima
menit berlalu, anak itu membalikkan badannya. "Kenapa
kau mengikutiku?" Marissa mendekati anak itu. "Kau punya nama, kan?"
Anak itu menatap Marissa dengan curiga. "Aku tidak
boleh memberitahukan namaku kepada orang tidak di"
kenal." Marissa geram. "Orang tidak dikenal" Aku baru saja
menyelamatkan hidupmu."
Anak kecil itu mengangkat bahu. "Aku tidak meminta"
mu, kan?" Amarah Marissa meledak. "Dasar anak tidak tahu ber"
terima kasih! Tidak diajari sopan santun oleh orangtuamu
ya?" Pandangan sedingin es anak itu menatap mata Marissa.
"Kedua orangtuaku sudah meninggal!" katanya ketus.
isi-7 hari.indd 17 Marissa merasa bersalah. "Maafkan aku. Aku tidak ber"
maksud menyakiti perasaanmu. Aku hanya ingin me"
ngetahui apa"kah kau baik-baik saja."
Anak itu menatap Marissa dari atas ke bawah, lalu
mem"balikkan badannya dan berjalan lagi.
Aku dicuekin" batin Marissa tidak percaya. Saat hendak
mengejar anak itu, perut Marissa berkeroncongan. Dia
baru ingat dia belum makan.
Anak itu berhenti setelah beberapa langkah, dan berdiri
di depan salah satu rumah. Ketika dia akan membuka
pintu, Marissa mencegatnya.
"Hei," kata Marissa dengan manis, "aku tahu kau
marah kepadaku. Begini saja, kenalkan, namaku Marissa.
Bolehkah aku singgah sebentar di rumahmu" Aku benarbenar haus."
Anak itu menatap Marissa lagi dengan tajam. "Rumah"
ku bukan tempat orang telantar."
Orang telantar"! teriak Marissa kesal. Oke. Cukup su"
dah! "Kau harus mengizinkan aku masuk!" teriak Marissa.
"Aku benar-benar kelaparan. Kau berutang padaku!"
"Tidak!" kata anak itu tegas.
Tatapan Marissa berubah memohon. "Tolonglah! Aku
mohon!" "Tidak!" kata anak itu cepat.
Marissa tertunduk menyerah. Ia sudah tidak punya
tenaga lagi. Dia berjalan ke depan gerbang dan duduk di
sana. Air matanya keluar dan ia menangis keras.
"Aku benci semua ini!" teriak Marissa. "Aku tidak
isi-7 hari.indd 18 tahu ada di mana. Aku tidak punya rumah. Aku tidak
punya uang. Orangtuaku menghilang. Kakiku sakit ka"
rena berlari dari tadi. Aku disangka maling. Apa yang
sebenarnya terjadi" Mengapa nasibku sial sekali" Aku
diputus pacar"ku. Musuhku merebutnya dari tanganku.
Aku hanya ingin kabur dari sana. Aku melihat sebuah
lukisan konyol, dan tiba-tiba terjadi gempa bumi. Di
sinilah aku sekarang. Entah di mana ini, aku tidak me"
ngenal siapa pun." Marissa akhirnya berhenti berteriak karena kelelahan.
Ia memegangi lututnya dan menjatuhkan kepalanya di
sana. Setelah itu, yang terdengar hanyalah isak tangis"
nya. Anak itu memandang gadis di depannya tanpa ber"
suara. Dilihatnya lutut gadis itu terluka karena menye"
lamatkannya tadi. Dia lalu berjalan mendekat.
"Kau boleh tinggal di rumahku," kata anak itu per"
lahan. Marissa mengangkat kepalanya. "Benarkah?" Secercah
ha"rapan muncul hatinya. "Aku akan melakukan apa
pun." "Benarkah?" tanya anak itu.
Marissa mengangguk. "Apa pun yang kauinginkan."
"Kau bisa masak?" tanya anak itu lagi.
Marissa menggeleng cepat. "Aku tidak bisa dekat-dekat
dengan kuali panas."
"Bagaimana kalau mencuci?" tanyanya lagi.
"Tanganku tidak bisa kena deterjen," sahut Marissa lagi
sambil menelan ludah. "Bersih-bersih?" tanya anak itu lagi dengan kesal.
isi-7 hari.indd 19 "Aku alergi debu," kata Marissa, sambil menutup mata"
nya. Anak itu mendesah kesal. "Dasar tidak berguna!" kata"
nya. "Tadinya aku pikir kau bisa membantu Bi Ijah. Se"
karang?" Marissa bangkit berdiri. "Aku bisa belajar" sungguh".
Aku bisa membantunya. Tolong bantu aku!"
Anak itu menarik napas, dan akhirnya mengangguk.
"Baiklah. Kau boleh tinggal. Akan tetapi" kalau kau mem"
buatku marah, kau harus keluar."
Marissa tersenyum lega. "Oke." Ia memeluk anak itu
dengan antusias. Anak itu berusaha melepaskan diri. "Jangan peluk
aku!" katanya kesal. "Aku tidak suka disentuh!"
Marissa langsung melepaskan pelukannya. "Maaf. Tidak
akan kuulangi. Terima kasih. Aku sudah tidak tahu mau
ke mana lagi"."
Anak itu membuka pintu gerbang rumahnya, dan
Marissa mengikutinya dari belakang.
"Den Wiliam baru pulang?" tanya seorang wanita tua
di depannya. "Ya, Bi Ijah," kata anak itu, yang ternyata bernama
Wiliam. "Tante Sarah ada di rumah?"
Bi Ijah mengangguk. "Sepertinya mau pergi lagi, Den."
Wiliam menoleh kepada Marissa. "Ikut aku!"
Wiliam membuka pintu depan rumahnya, lalu masuk.
"Wiliam," kata suara seorang wanita, "kau baru pu"
lang?" Wiliam menjawab, "Ya, Tante."
Seorang wanita tinggi semampai berjalan ke hadapan
isi-7 hari.indd 20 Wiliam dan Marissa. Marissa menatap wanita itu. Dandanannya sangat tebal.
Anting-anting besar nyantel di telinganya. Ia mengena"kan
celana jins pudar dan kaus berwarna-warni.
Dandanan wanita ini benar-benar norak, kata Marissa
dalam hati. "Siapa ini?" tanyanya, menunjuk kepada Marissa.
"Tante Sarah," kata Wiliam. "Kenalkan ini Marissa, dia
anak teman Mama dari panti asuhan. Dia baru saja da"
tang di Jakarta, dan akan tinggal di sini selama libur"
an." Marissa terkejut dan merasa heran mendengar per"
kataan Wiliam. Rupanya anak kecil yang dia tolong ini
benar-benar pintar berbohong. Selain itu, ucapan-ucap"
annya tidak mencerminkan layaknya anak berusia delapan
tahun. Kalau saja Marissa tidak berhadapan lang"sung
dengan Wiliam, mungkin ia akan mengira bahwa anak
yang berbicara itu seumur dengan dirinya.
Tante Sarah memandangi Marissa dari atas sampai ke
bawah. "Pakaian apa yang dikenakannya?" tanya Tante Sarah.
"Kotor sekali."
Wiliam menatap tantenya dengan tenang. "Dia kan dari
kampung, Tante. Apa yang bisa Tante harapkan?"
Marissa harus mengakui Wiliam benar-benar meyakin"
kan dalam berbohong. "Ya, baiklah. Terserah," kata Tante Sarah, kehilangan
minat. "Kau tempati saja kamar tamu."
Tante Sarah lalu membungkuk, dia mencubit kedua
isi-7 hari.indd 21 pipi Wiliam dengan gemas. "Tante pergi dulu. Kau jangan
nakal, ya." Wiliam memalingkan wajahnya, berusaha melepaskan
pipinya dari jemari tantenya.
Tante Sarah hanya tersenyum, dan berlalu dari hadap"
an Wiliam. Tak lama kemudian, suara mobil dari halaman
depan terdengar, menandakan kepergian Tante Sarah.
Perut Marissa berkeroncongan lagi.
"Bi Ijah!" teriak Wiliam ke arah dapur.
Tak lama kemudian Bi Ijah tergopoh-gopoh ke ruang
tamu. "Ada apa, Den?" tanyanya sopan.
"Bi Ijah"," kata Wiliam, lalu menoleh kepada Marissa,
"Ini Marissa, anak teman Mama dari panti asuhan."
Bi Ijah mengangguk perlahan ke arah Marissa. Marissa
balas mengangguk. "Sepertinya Marissa kelaparan," kata Wiliam lagi.
"Tolong siapkan makanan untuk dia ya, Bi."
"Ya, Den," kata Bi Ijah, sambil berlalu masuk ke da"
pur. Wiliam menyuruh Marissa duduk menunggu di ruang
makan. Marissa mengambil gelas yang ada di meja makan
dan menuangkan air ke dalamnya. Ia minum hampir dua
gelas penuh. Tak berapa lama kemudian, Bi Ijah datang membawa
makan"an. Wajah Marissa berseri-seri melihatnya. Ia meng"
ambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk-pauk serta
sayur-mayur yang ada di depannya. Ketika akan me"
nyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, Marissa melihat
Wiliam memperhatikannya. "Kau tidak makan?" tanya Marisa heran.
isi-7 hari.indd 22 "Aku tidak lapar," kata Wiliam perlahan.
Marissa makan dengan lahap tanpa memedulikan
tatapan Wiliam. Seumur hidupnya ia belum pernah me"
rasa kelaparan seperti saat ini. Saat nasi di piringnya
habis, Marissa menambah lagi, namun lauk-pauk dan
sayur-mayur di hadapannya sudah hampir habis.
"Em, Wiliam," kata Marissa serbasalah, "boleh minta
Bi Ijah masak sayurnya lagi tidak?"
Wiliam melihat ke arah piring Marissa sambil men"
desah. "Kakak rakus sekali," komentarnya.
Dikatai demikian, Marissa sedikit tersinggung. Makan"
nya dari dulu memang banyak. Akan tetapi, baru kali ini
dia dibilang rakus, terlebih lagi oleh seorang bocah.
Marissa berusaha bersabar, ia tidak boleh melawan ka"
rena takut diusir dari rumah ini. Ia tersenyum manis
pada bocah itu. "Aku memang makannya banyak."
Wiliam terdiam beberapa saat, namun akhirnya dia
menyuruh Bi Ijah memasak lagi. Setelah perut Marissa
kenyang, Wiliam mengajaknya ke kamar tamu.
"Kakak bisa tidur di kamar ini," kata Wiliam.
Marissa masuk ke kamar itu. Di sana terdapat satu
ranjang, lemari, dan meja rias. "Terima kasih," kata
Marissa, lalu dia memandang ke luar jendela. Sebuah
mobil terparkir di luar. Marissa tahu itu mobil keluaran
tahun lama. Ia pernah melihat foto mobil itu. Rasa ingin
tahunya tergelitik karena ia merasa keluarga William cu"
kup berada, tapi kenapa mobilnya mobil keluaran tahun
lama. "Wiliam," katanya, sambil mengernyit. "Hari ini tanggal
berapa?" isi-7 hari.indd 23 Wiliam menunjuk pada kalender yang terpasang di
dinding kamar. "Hari ini tanggal 29 Juni?"
Pandangan Marissa tertuju pada kalender di dinding.
Matanya menatap tanggal yang disebut Wiliam dengan
rasa tidak percaya. "1988," lanjut Wiliam lagi.
"29 Juni 1988"!" teriak Marissa. "29 Juni 1988" Yang
benar saja! Tidak mungkin!"
Wiliam memandang Marissa dengan penasaran.
"Terakhir kali aku ada di tahun 2008," lanjut Marissa
lagi. "Tepatnya tanggal 6 Juli 2008."
"Kakak omong apa sih?" tanya Wiliam bingung.
Marissa akhirnya menatap Wiliam. "Tidakkah kau


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerti, Wiliam" Aku terlempar ke masa lalu, dua puluh
tahun dari masa tempatku berasal."
"Tidak ada yang namanya perjalanan waktu," kata
Wiliam menegaskan. "Hal itu terjadi padaku!" teriak Marissa putus asa. "Aku
bukan berasal dari tahun ini" aku malah belum lahir di
tahun ini"." Wiliam tidak memercayai satu pun perkataan Marissa.
"Aku rasa Kakak perlu istirahat."
Marissa mendesah. "Kau tidak percaya, kan" Aku
sendiri pun bahkan tidak memercayainya. Tunggu" aku
bisa membuktikan bahwa aku berasal dari tahun 2008."
Sedikit rasa penasaran timbul di hati Wiliam. "Oh, ya?"
tanyanya. "Bagaimana?"
Marissa terlihat berpikir keras. "Hmm, di masa depan
mobil yang diparkir di halaman depan rumahmu sudah
isi-7 hari.indd 24 menjadi barang langka. Orang-orang di masaku mobilnya
lebih canggih." Wiliam menggeleng tidak percaya. "Kakak akan me"
ngatakan bahwa mobilnya bisa terbang?"
Marissa menelan ludah. "Tidak."
"Kalau begitu, apa bedanya dengan mobil tahun ini?"
tanya Wiliam. "Pokoknya, modelnya beda!" teriak Marissa ngotot. "Di
masaku juga ada internet, iPod?"
"Ai pot?" tanya Wiliam bingung. "Pot bunga?"
"Bukan," kata Marissa tidak sabar. "iPod adalah se"
macam alat untuk mendengarkan lagu, kita bisa mem"
bawanya ke mana-mana. Bentuknya ringan dan kecil."
"Di masa ini juga ada alat yang kami sebut walkman,
untuk mendengarkan lagu. Alat ini bisa dibawa ke manamana juga," kata Wiliam, memberi penjelasan.
"Itu berbeda," kata Marissa putus asa. "Walkman-mu
perlu kaset, bukan" Nah, di masa depan kita tidak me"
merlukan kaset lagi, kita hanya menyimpannya dalam
file-file mp3." "Kakak bisa saja mengarang hal-hal itu," kata Wiliam,
masih tidak percaya. Marissa tidak putus asa. "Tunggu, di masa depan ada
yang namanya komputer."
Wiliam mengajak Marissa ke ruang tamu. Di sana dia
membuka kain yang menutupi sebuah benda.
"Sekarang, aku juga punya komputer," kata Wiliam.
Pandangan Marissa tertuju pada komputer di depannya.
"Ya, memang. Akan tetapi, komputer di masaku lebih
canggih." isi-7 hari.indd 25 "Komputer ini sudah termasuk yang paling canggih,"
kata Wiliam, tidak mau kalah. "Ini keluaran terbaru.
Su"dah empat warna, tidak hanya satu warna seperti
dulu." Marissa tertawa. "Komputer di masaku punya jutaan
warna." "Itu kan hanya kata Kakak," sanggah Wiliam. "Tidak
membuktikan apa pun."
Marissa menepuk kepalanya dengan kedua tangannya
sebagai tanda frustrasi. Wiliam melihat hal itu sambil tersenyum kecil. Saat
Marissa melihatnya lagi, senyum itu sudah hilang dari
bibirnya. "Mengaku saja, Kak," kata Wiliam, "Kakak kabur dari
rumah, kan?" "Tidak!" sanggah Marissa, "aku tidak kabur dari ru"
mah." Ya, ampun, keluhnya dalam hati, apa pun yang
aku katakan, Wiliam pasti tidak percaya. Mana mungkin
dia percaya bahwa barang-barang yang aku sebutkan
belum ada di masanya" Lagi pula, apa yang aku laku"
kan" Memberi penjelasan tentang benda-benda masa
depan pada seorang anak kecil" Mana mungkin dia me"
ngerti" Tiba-tiba pandangan Marissa tertuju pada televisi di
depannya, lalu dia tersenyum. "Wiliam, aku akan mem"
bukti"kan bahwa aku memang datang dari masa depan,"
katanya yakin. "Kaulihat televisi di depanmu" Di masa
Kakak, gambar televisi sudah berwarna. Tidak hitam
putih lagi." Wiliam mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali,
isi-7 hari.indd 26 "Wow," katanya kemudian. "Kakak sepertinya memang
datang dari masa depan."
Marissa tersenyum lebar. Nah kan, apa kataku" kata
Marissa, penuh kemenangan dalam hati.
Wiliam melangkah menuju televisi, dan menghidupkan"
nya. Marissa melihat gambar di televisi dan terkejut.
"Kami sudah punya televisi berwarna dari kapankapan," kata Wiliam tenang, dan menatap Marissa seakan
dirinya adalah manusia paling bloon sedunia.
Arghhh sial! kata Marissa kesal. Aku dipermalukan
oleh anak kecil. "Wiliam!" kata Marissa kesal. "Berapa umurmu"
30?" "Umurku delapan tahun!" kata Wiliam galak.
"Umurku delapan belas tahun!" kata Marissa, tidak ka"
lah galak. "Aku lebih tua darimu sepuluh tahun. Jadi, aku
pastinya lebih berpengalaman dan lebih tahu tentang
segala hal. Kau harus mendengar kata-kataku!"
Wiliam menguap. "Aku capek," katanya malas. "Aku
mau tidur dulu. Lebih baik Kakak juga isti"rahat. Siapa
tahu besok pagi pikiran Kakak sudah kembali nor"
mal." Ini anak benar-benar menyebalkan. Kalau bukan ka"
rena aku tinggal di rumahnya, sudah pasti aku beri dia
pelajaran. Marissa cemberut melihat Wiliam masuk ke
kamarnya tanpa memperhatikan dirinya lagi.
Malam itu Marissa berusaha memikirkan semua kejadi"
an yang dialaminya. Tetap saja dia merasa bahwa apa
yang dialaminya tidak masuk akal. Marissa meringkuk di
atas ranjang dan memejamkan matanya. Ini semua pasti
isi-7 hari.indd 27 cuma mimpi, katanya berusaha meyakinkan dirinya sen"
diri. Besok pagi saat aku terbangun" semuanya akan
kem"bali seperti semula.
Dengan pikiran seperti itu, Marissa tertidur pulas.
isi-7 hari.indd 28 Tiga 30 Juni 1988 Selamat Datang di Fashion "88
Suara ayam berkokok membangunkan Marissa. Matanya
masih tertutup, namun mulutnya menguap lebar. Sejak
kapan Papi pelihara ayam di rumah" Berisik sekali,
keluhnya masih setengah mengantuk. Tunggu dulu",
pikirnya setelah alam dunia mimpi men"jauhinya. Kasur
ini keras sekali, bantalnya juga" ini bukan tempat
tidurku. Marissa langsung membuka matanya, lalu melihat
kalender di depannya. Angkanya masih menunjukkan 29.
Marissa kembali menutup matanya dengan kesal. Ini
bukan mimpi, katanya kesal, aku benar-benar ada di
tahun 1988. Setelah berdiam diri beberapa saat, Marissa
bangun dari tempat tidurnya. Ia baru tersadar saat me"
lihat cermin di depannya, ternyata dirinya masih me"
ngena"kan baju pesta putihnya, yang berlepotan tanah.
Aku harus ganti baju, tekadnya. Tetapi, aku tidak punya
baju. Marissa membuka pintu kamar dan melihat ke luar
isi-7 hari.indd 29 ruangan. Masih sepi. Ia melangkah menuju kamar Wiliam
dan mengetuk pintunya perlahan. "Wiliam," panggilnya
pelan-pelan. "Kau sudah bangun?"
Ketika beberapa saat tidak ada jawaban, Marissa men"
coba membuka pintu kamar Wiliam. "Psttt" pstt"
Wiliam," panggilnya lagi. "Kau sudah bangun?"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Wiliam muncul dengan
wajah tanpa ekspresi. "Ada apa?" tanyanya.
Marissa berdiri tegak. "Hmmm, begini" kau punya
baju ganti untukku" Kaulihat bajuku, kan" Kotor sekali.
Aku tahu aku merepotkanmu, namun aku tidak mungkin
memakai baju ini lagi, kan?"
Wiliam keluar dari kamar, dan menyuruh Marissa
mengikutinya ke kamar di lantai dua. Wiliam masuk ke
kamar itu dan membuka lemari pakaian yang ada di
dalamnya. "Pilih saja sendiri," kata Wiliam. "Ini baju-baju
almarhumah Mama." Marissa memandang foto keluarga yang ada di kamar
itu. Seorang pria tampan beserta istrinya yang can"tik, lalu
ada Wiliam yang tersenyum manis, diapit keduanya. Sa"
yang sekali keduanya sudah meninggal, padahal kelihat"
annya mereka baik sekali.
"Kau tidak keberatan aku memakai baju mamamu?"
tanya Marissa hati-hati. "Jangan bikin kotor," jawab Wiliam.
Marissa menarik napas. "Aku akan memakainya dengan
hati-hati, Wiliam." Setelah itu, Marissa dibiarkan sendiri memilih baju
yang ada di lemari. Setelah membolak-balik pakaian bebe"
isi-7 hari.indd 30 rapa kali, Marissa mendesah. Benar-benar beda dengan
mode pakaian di tahun 2008, katanya. Apa boleh buat,
daripada tidak ganti baju.
Marissa akhirnya memilih sehelai rok panjang ber"
warna hitam dan blus yang memakai busa di kedua
pundaknya. Kemudian ia mandi dan mengenakan baju
serta rok itu. Marissa menatap dirinya di cermin sambil
mengernyit. Benar-benar tidak sesuai denganku, katanya
sambil mencoba memperbaiki tatanan bajunya. Marissa
mencoba memakai sepatu hak tingginya, namun ternyata
kakinya masih lecet bekas kemarin. Ia masuk ke kamar
orangtua Wiliam lagi dan mencari-cari sepatu. Ada
sepasang sepatu sport usang di dalam lemari. Marissa
me"makainya, walaupun ternyata setelah dipakai sepatu
sport itu kebesaran satu nomor. Ia tidak peduli, yang
penting dia bisa bergerak dengan bebas.
Marissa mendekati meja rias dan menemukan kotak
kacamata di sana. Ia membukanya dan menemukan kaca"
mata berbingkai cokelat. Dengan hati-hati ia memakainya.
Walaupun model kacamata ini ketinggalan zaman,
katanya dalam hati, setidaknya ukuran kacamata ini
sesuai dengan mata"ku.
Marissa memandang dirinya sekali lagi di cermin dan
tertawa. Aku pasti akan menjadi bahan tertawaan jika
me"ngenakan pakaian seperti ini di masaku.
Ketika Marissa memasuki ruang makan beberapa saat
kemudian, Bi Ijah sedang menata lauk-pauk di meja.
"Selamat pagi, Bi Ijah," kata Marissa.
"Selamat pagi, Non Marissa," kata Bi Ijah.
"Ke mana Wiliam dan Tante Sarah?" tanya Marissa,
isi-7 hari.indd 31 sambil memandangi meja makan yang tidak ada peng"
huninya. "Den Wiliam sudah pergi les," kata Bi Ijah. "Kalau Non
Sarah belum bangun. Non Marissa ingin makan dulu"
an?" Marissa mengangguk. Perutnya memang sudah lapar.
Seusai makan, Marissa mulai memikirkan apa yang ter"
jadi padanya. Ia sudah bisa menerima bahwa ia memang
ada di masa lalu, namun tidak mengerti bagaimana hal
ini bisa terjadi. Ia berhenti berpikir. Tentu saja, katanya
dalam hati, lukis"an di gedung itu. Hal terakhir yang aku
ingat adalah aku sedang berbicara di depan lukisan itu.
Tiba-tiba terjadi gempa bumi, lalu aku ada di masa lalu.
Aku harus pergi ke gedung itu lagi. Aku harus menemu"
kan lukisan itu dan kembali ke masaku.
"Bi Ijah... apakah keluarga William punya mobil atau
motor yang bisa saya pakai?"
"Cuma Non Sarah yang punya mobil... tapi... ada
sepeda bekas ayah Den William di depan."
Senang telah mendapatkan jawaban dari Bi Ijah,
Marissa bergegas ke luar ruangan. Sebuah sepeda ter"
sandar di tembok tak jauh dari pintu gerbang. Marissa
mengambil sepeda itu dan mencoba mengendarainya.
Setelah sempat sempoyongan beberapa kali karena
sudah lama tak bersepeda, akhirnya Marissa bisa me"
ngendarai sepeda itu dengan lancar. Marissa melihat
Wiliam di kejauhan. Anak itu tampaknya sedang di"
kerumuni oleh segerombolan anak kecil. Salah seorang
anak mengambil tas Wiliam dan menjatuhkannya, lalu
anak itu merenggut pakaian Wiliam.
isi-7 hari.indd 32 Melihat masalah yang akan dialami Wiliam, Marissa
mem"percepat laju sepedanya. "Hei!" teriaknya pada ge"
rombolan anak di depannya. "Lepaskan dia!"
Anak-anak itu langsung bubar ketika melihat ada orang
dewasa di depan mereka. Marissa turun dari sepeda dan
mendekati Wiliam. "Kau tidak apa-apa, Wiliam?"
Wiliam mengambil tasnya, dan memakainya kembali.
"Aku tidak apa-apa."
Marissa benar-benar khawatir. "Apakah mereka me"
mukul"mu" Apa yang mereka inginkan?"
"Me"reka tidak menyukaiku," kata Wiliam. "Mereka juga
menginginkan uang jajanku."
Marissa prihatin. "Ayo, aku antar kau ke tempat les"
mu!" kata Marissa, sambil memegang tangan Wiliam.
Tatap"an Marissa tertuju pada lebam-lebam di lengan
Wiliam. "Ya, ampun!" serunya kaget. "Mereka memukulmu. Aku
akan memperingatkan mereka!" Marissa hendak mengejar
anak-anak nakal itu, namun Wiliam menarik bajunya dan
menghentikannya. "Biarkan saja," kata Wiliam.
"Tetapi"," protes Marissa.
"Aku tidak mau telat ke tempat lesku." kata Wiliam,


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memandang Marissa.
Marissa membungkuk hingga matanya sejajar dengan
Wiliam. "Aku akan menemanimu les setiap hari. Kau
tidak perlu khawatir lagi kepada mereka, Wiliam."
"Kakak tidak perlu melakukannya," kata Wiliam per"
lahan. "Hei, aku sudah makan dan tidur gratis di rumahmu,"
isi-7 hari.indd 33 kata Marissa, sambil tersenyum kecil. "Setidaknya aku
bisa membalas kebaikanmu dengan melakukan ini untuk"
mu. Ayo, aku boncengi kau."
Dengan ragu Wiliam naik ke boncengan sepeda. Wiliam
memberitahu arah ke tempat les"nya, dan Marissa
mengayuh sepedanya dengan cepat. Setibanya di tempat
les, Wiliam turun dari sepeda.
"Aku akan menjemputmu lagi," kata Marissa. "Pukul
berapa kau selesai les?"
"Pukul dua belas," kata Wiliam.
"Aku akan ada di sini pukul dua belas," kata Marissa.
"Wiliam, tunggu! Sebenarnya aku segan memintanya dari"
mu. Bolehkah aku minta uang" Siapa tahu aku lapar dan
butuh beli makanan."
Wiliam berhenti melangkah, lalu mendengus kesal,
"Kalau begitu, apa bedanya Kakak dengan anak-anak
tadi?" Marissa merasa sedikit bersalah. "Aku kan memintanya
dengan manis, boleh ya" Tidak usah banyak-banyak."
Wiliam merogoh sakunya dan memberikan dua lembar
uang lima ratusan berwarna hijau kepada Marissa. "Ini,"
katanya. Marissa menerima uang dari Wiliam. Seribu rupiah.
Bisa jajan apa dengan seribu rupiah" Beli minuman
doang. Ini anak pelit banget. "Hmm, Wiliam, apakah kau
tidak terlalu pelit" Maksudku, uang ini hanya cukup
untuk membeli minuman," katanya kemudian
Wiliam mendengus kesal. "Dengan seribu rupiah, kau
bisa membayar bensin motor selama seminggu."
Marissa tercengang mendengar penjelasan Wiliam. Oh,
isi-7 hari.indd 34 ya. Aku ada di tahun 1988, pasti semua harga juga beda
dengan di masaku. "Ya" ya," kata Marissa mengakui. "Aku lupa aku se"
karang ada di tahun 1988. Maaf deh, Wiliam."
Wiliam mencibir, lalu berlari memasuki gedung.
Marissa menarik napas, dan melanjutkan perjalanannya
ke Gedung Albatross. Hati-hati dia memarkir sepedanya
tak jauh dari gedung itu, lalu berjalan perlahan sambil
mem"perhatikan petugas keamanan yang ada di sana. Saat
petugas itu sedang lengah, Marissa menyusup masuk. Ia
berlari ke lantai tiga, dan mencari lukisan yang pernah
dilihat di masanya. Ternyata lukisan itu tidak ditemukan"
nya di mana-mana di dalam gedung itu. Marissa mencari
sekali lagi dengan putus asa. Hasilnya tetap sama.
Kelelahan, Marissa duduk di lantai dan menutup mata"
nya. Ayo berpikir, Marissa! katanya pada diri sendiri. Meng"
apa lukisan itu tidak ada di sini" Tunggu" waktu itu di
bawah keterangan lukisan terdapat catatan tanggal" 6
Juli 1988. Ya, itu dia" lukisan itu baru akan dipasang
tanggal 6 Juli 1988, tepat dengan pembukaan gedung
ini. Hari ini tanggal 30 Juni 1988, berarti enam hari
lagi lukisan itu akan ada di sini. Itu artinya, enam hari
lagi aku baru bisa pulang.
Marissa tersenyum sendiri. Ia tidak sabar ingin me"
ngatakan hal ini kepada Wiliam. Akan tetapi, katanya
lagi, Wiliam tidak percaya bahwa aku datang dari
masa depan. Tidak ada seorang pun yang memercayai"
ku. Tunggu dulu" mungkin Papi dan Mami akan per"
caya kepadaku kalau aku mengatakannya. Aku harus
isi-7 hari.indd 35 pergi menemui Papi dan Mami. Tahun 1988, berarti
Papi dan Mami masih kuliah, kan" Aku bisa menemui
mereka di kampusnya. Mami dan Papi pasti akan me"
mer"cayai"ku. Dengan ide itu di kepalanya, Marissa menuruni tangga
dan keluar dari gedung dengan hati-hati. Ia mengendarai
sepedanya kembali dan bergegas menuju kampus orang"
tua"nya. Marissa sampai di depan kampus setengah jam ke"
mudian dengan keringat mengalir di sekujur tubuhnya.
Napasnya terengah-engah. Setelah memarkir sepedanya
di samping motor-motor bebek yang berjajar di sana, ia
pun melaksanakan niatnya mencari Papi. Ia memasuki
area Fakultas Hukum, dan melihat ke dalam ruang-ruang
kuliah yang ada di sana. Papi tidak ada di mana-mana.
Marissa lalu beranjak mencari Mami di Fakultas Eko"
nomi, lagi-lagi dia gagal menemukan Mami di sana.
Apakah mereka berdua tidak kuliah hari ini" tanyanya
dalam hati, sambil berjalan. Ia melihat sebuah gedung
yang sedang direnovasi, palang-palang besi ter"bentang
dari bawah hingga atas gedung. Ada sebuah bangku tak
jauh dari sana. Marissa duduk di sana untuk beristirahat
terlebih dahulu. Tiba-tiba sebuah sepeda motor hitam memasuki area
kampus. Pengendaranya menghentikan sepeda motornya
tak jauh dari tempat Marissa duduk. Suara decitan rem
membuat semua orang melihat ke arah pengendara motor
itu. Di belakangnya, sang penumpang turun dari bon"
cengan dengan tenang. Sekilas Marissa melihat seorang
gadis dengan celana jins hijau dan kaus kuning ter"senyum
isi-7 hari.indd 36 kepada pengendara sepeda motor itu. Rambutnya panjang
sebahu, dan memakai poni. Kedua te"linga"nya memakai
sepasang anting besar. Kosmetik tebal dengan eye
shadow biru menghiasi parasnya.
Ada apa sih dengan cewek-cewek di tahun 1988" ta"
nya Marissa, sambil memperhatikan gadis itu dan gadisgadis yang lain. Model rambut mereka hampir sama.
Terutama selera berpakaian yang norak. Jins hijau dan
kaus kuning" benar-benar tidak cocok.
Para gadis yang lain bergegas menghampiri gadis tadi.
"Hai, Diana! Wah, baju baru, ya?"
Marissa melongo. Diana" Diana" Itu kan nama Mami.
Tunggu, tunggu" tidak mungkin! Marissa memperhatikan
wajah gadis itu dari bangkunya. Oh, tidak! Itu memang
benar-benar Mami. Astaga!
Gadis yang bernama Diana itu memandang pengendara
sepeda motor dan berkata, "Dah," katanya. "Nanti pulang
kuliah jemput aku lagi, ya." Diana tersenyum dan me"
ngedipkan matanya. Pengendara sepeda motor itu naik kembali ke motornya
dan beranjak pergi. Diana dan teman-teman"nya berjalan
ke dalam kampus. Seorang pria lewat di hadapan mereka,
dan Diana bersiul keras diiringi teriakan, "Hai, cowok!"
Marissa ternganga saking terkejutnya. Ya, ampun!
Mami kok centil banget. Dua tahun yang lalu, ketika
Marissa sembunyi-sembunyi memakai kosmetik, Mami
marah besar. Sekarang, ternyata Mami malah pakai kos"
metik yang berlebihan. Benar-benar jauh dari gambar"an
Mami yang dia kenal. Diana dan teman-teman wanitanya duduk tak jauh dari
isi-7 hari.indd 37 bangku yang diduduki Marissa. Sampai saat itu, Marissa
masih belum bisa mengatasi rasa terkejutnya. Ia me"
mandang. Mami dengan rasa tidak percaya.
Tiba-tiba pandangan mata Diana bertemu dengan
Marissa. Marissa mencoba tersenyum, namun Diana
malah tertawa lebar. Ia lalu berkata kepada teman-teman"
nya, "Ya, ampun! Cewek di depan kita itu selera pakaian"
nya aneh sekali. Benar-benar tidak cocok."
Diejek seperti itu, Marissa cemberut kesal. Tidak dulu
tidak sekarang. Komentar Mami soal caraku berpakaian
tetap tidak berubah. Aku harus mendekatinya dan mem"
buat Mami percaya kepadaku.
*** Ferry tidak pernah bosan memandang Diana. Dia sudah
mencintai Diana sejak SD, dan perasaan itu tidak pernah
berubah. Hari ini melihat Diana berboncengan dengan
pria lain, hati"nya sedikit cemburu. Akan tetapi, dia tidak
bisa berbuat apa-apa karena setiap kali dia ada di dekat
gadis pujaan"nya itu, dia tidak bisa berbicara. Hari ini
Diana me"ngenakan baju baru. Ferry mengakui bahwa
Diana me"mang cantik mengenakan baju apa pun.
Suara palang besi yang jatuh membuyarkan pandangan
Ferry dari Diana. Ferry melihat seorang gadis se"dang
duduk tepat di bawahnya. Ia langsung berlari ke arah
gadis itu dan menubruknya. Ia menarik tangan gadis itu
agar terhindar dari tertimpa palang besi.
isi-7 hari.indd 38 *** Marissa baru saja akan mendekati Mami, saat seseorang
menubruknya dan menarik tangannya hingga jatuh.
Marissa melihat sebuah palang besi jatuh menimpa bang"
ku yang tadi dia duduki. "Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda yang menubruk"
nya. Marissa menelan ludahnya dan mengangguk. "Terima
kasih," kata Marissa. Tatapannya tertuju pada pemuda
yang telah menyelamatkannya. Dia mengenakan celana
jins dan kemeja yang digulung hingga siku.
Diana berjalan ke arah mereka. "Hai, Ferry."
Ferry" ungkap Marissa dalam hati. Itu berarti, pemuda
ini" Papi" Marissa kini memandang pemuda itu dengan cermat.
Memang benar Papi. Papi membantu Marissa berdiri. Wajah Papi tertunduk
malu, lalu menjawab dengan tergagap-gagap, "Ehmm".
Ha" lo, Di" Di" Diana."
Diana tersenyum manis. "Kau benar-benar hebat sudah
menyelamatkannya." Mendengar pujian Diana, wajah Ferry semakin me"
merah. "Te" te" terima kasih, Diana."
"Aku masuk kelas dahulu," kata Diana. "Sampai jum"
pa." Ferry tersenyum gugup. "Sampai jumpa."
Marissa memandang Papi dengan setengah jengkel.
Papi kok jadi pemalu seperti itu" Bukankah Papi paling
isi-7 hari.indd 39 jago berdebat di pengadilan" Masa omong dengan
Mami saja gelagapan seperti itu"
"Aku senang kau tidak apa-apa," kata Ferry kepada
Marissa. "Maaf, aku harus kuliah."
"Hei, tunggu! Papi!" teriak Marissa. Papi sudah berlari
menuju ruang kuliahnya. Marissa kembali berjalan menuju parkiran sepeda.
Sepertinya aku tidak bisa berharap banyak bahwa Papi
dan Mami akan memercayaiku. Mereka bahkan belum
pacaran. Kalau aku omong, "Hai Mam" Pap" sebenar"
nya aku ini anakmu di masa depan... Ha" ha" lucu
se"kali" pasti mereka tidak akan percaya.
Perut Marissa berkeroncongan lagi. Ia teringat pada
Wiliam. Astaga, aku hampir lupa, aku kan harus men"
jemput dia. Marissa bergegas mengendarai sepedanya, dan pergi ke
tempat les Wiliam. *** Wiliam baru saja keluar dari depan pintu, saat sepeda
Marissa memasuki area tempat les. Perjalanan bolak-balik
dari tempat les ke kampus dan sebaliknya membuat
Marissa kecapekan. "Wiliam," katanya, sambil terengah-engah. "Kita makan
dulu, yuk!" Wiliam menatap Marissa dengan curiga. "Kakak ke
mana saja sih?" isi-7 hari.indd 40 "Aku akan menceritakannya kepadamu setelah makan,"
kata Marissa. Mereka makan mi bakso di warung dekat situ. Marissa
terkejut mengetahui betapa murahnya harga makanan di
tahun 1988. Dua mangkuk mi bakso hanya lima ratus
rupiah. "Benar-benar murah," kata Marissa. "Di masaku,
Wiliam, dengan uang lima ratus tidak cukup untuk mem"
beli satu mangkuk mi bakso. Mumpung mu"rah, bagai"
mana kalau aku tambah satu mangkuk lagi, ya" Bang,
tambah satu mangkuk lagi!"
Wiliam hanya mendesah melihat kerakusan Marissa.
Usai makan mi bakso, Marissa mengajak Wiliam me"
lewati rumahnya. "Kita mau ke mana?" tanya Wiliam. "Arah jalan pulang
bukan lewat sini." "Aku tahu," kata Marissa. "Aku mau menunjukkan se"
suatu padamu." Mereka tiba di depan sebuah rumah. Wiliam menatap
Marissa penuh tanda tanya. Jari telunjuk Marissa me"
nunjuk rumah itu. "Kau lihat rumah dengan gerbang
hijau itu?" tanyanya. "Itu rumahku, maksudku rumahku
di masa depan." "Kalau itu rumahmu, mengapa kau tidak pulang saja?"
tanya Wiliam. "Aku kan sudah katakan," gerutu Marissa. "Itu rumah"
ku di masa depan. Di masa ini, tidak ada seorang pun
yang mengenalku. Terakhir kali aku ke sana, aku disangka
maling oleh Kakek. Aku rasa itu Kakek. Kakek mencoba
isi-7 hari.indd 41 mengejarku dengan pemukul bola. Kau tidak percaya,
ya?" Wiliam menggeleng. "Aku rasa Kakak hanya mengarang
saja." Marissa menarik napas, "Kau tahu gedung baru yang
akan dibuka di jalan raya itu?"


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gedung Albatross?" tanya Wiliam.
Marissa mengangguk. "Aku rasa aku ada di tahun ini
karena lukisan yang ada di dalam gedung itu. Aku sendiri
sulit memercayainya. Di masa depan saat aku ada di
gedung itu, aku melihat lukisan aneh dan men"dekatinya.
Di situ tertulis bahwa lukisan itu bisa me"ngabulkan se"
buah permintaan. Tanpa sadar aku meng"ucapkan keingin"
anku. Aku tadi ke sana, lukisan itu belum dipasang. Aku
yakin lukisan itu akan dipasang tang"gal 6 Juli, saat pem"
bukaan gedung itu. Itu artinya, aku akan pulang enam
hari lagi." Wiliam terdiam mendengar perkataan Marissa.
Marissa menatap Wiliam. "Aku tidak peduli kau per"
caya atau tidak. Aku akan membuktikannya padamu tang"
gal 6 Juli nanti." Suara sepeda motor mendekati rumah itu. Marissa ter"
senyum. "Kaulihat pengendara sepeda motor itu?" katanya ke"
pada Wiliam. "Itu ayahku. Aku baru saja bertemu
dengannya di kampus. Aku bertemu ibuku juga. Mereka
tidak seperti yang aku harapkan, namun aku benar-benar
merindukan mereka. Hari ini Papi telah me"nyelamat"
kanku. Tadi aku nyaris tertimpa palang besi. Aku rasa di
isi-7 hari.indd 42 mana pun aku berada, Papi selalu melindungiku. Ayo kita
pulang!" Marissa menatap rumahnya sekali lagi, lalu mengayuh
sepedanya. Di belakangnya, Wiliam memperhatikan
rumah itu dan si pengendara sepeda motor yang sedang
masuk ke dalam rumah. Wiliam tidak tahu apakah yang
dikatakan Marissa benar atau tidak. Akan tetapi, ekspresi
Marissa tadi benar-benar meyakinkan.
*** Diana memandang pria di hadapannya dengan bosan.
Sepulang kuliah, Jimmy, pacarnya selama tiga bulan itu,
menjemputnya dan langsung membawanya ke tempat
latihan breakdance. Sudah dua jam berlalu, Jimmy dan
teman-temannya masih terus menggerak-gerak"kan kaki
dan tangannya. Semakin lama Diana se"makin merasa
kesal. Saat latihan breakdance berlangsung, Jimmy sama
sekali tidak memedulikannya. Akhirnya ia bergegas
mendekati Jimmy dan menarik jaket jins yang dikenakan"
nya. "Jimmy, aku lapar!" teriaknya. "Bisakah kau ber"
henti?" Jimmy menatap Diana dengan kesal. "Aku belum se"
lesai." Diana juga tidak mau kalah. "Aku benar-benar lapar.
Lagi pula, apa pentingnya latihan "konyol" seperti ini?"
"Konyol"!" teriak Jimmy. "Apa kau tidak tahu ini se"
dang trend?" Aku tahu, kata Diana dalam hati, namun melihatmu
isi-7 hari.indd 43 dan teman-temanmu latihan breakdance seperti melihat
segerombolan binatang liar yang bergerak tak keruan.
Tadinya aku pikir Jimmy terlihat keren dengan motor
hitamnya, namun sekarang" argh!
"Ya sudah," kata Diana akhirnya. "Kalau kau tidak mau
makan, ya sudah. Aku makan sendiri saja."
"Terserah!" bentak Jimmy. "Silakan saja. Aku belum
lapar. Lagi pula, aku belum selesai latihan."
"Aku benci kau, Jimmy!" teriak Diana sambil berlari.
Jimmy sekarang benar-benar menyesal karena telah
membentak Diana. Tiga bulan yang lalu, saat dia me"
ngenalkan Diana kepada teman-temannya, dia merasa
sangat bangga. Teman-temannya mengakui bahwa pacar"
nya memang benar-benar cantik.
Jimmy lalu berlari menyusul Diana. "Diana, Tung"gu!"
seru"nya. "Apa"!" teriak Diana kesal.
"Aku akan menemanimu makan," katanya, sambil
merayu. "Setelah itu, aku akan menemanimu pergi ke
toko musik yang kauinginkan, bagaimana?"
Diana memandang Jimmy dengan kesal. Akan tetapi,
akhirnya dia luluh juga oleh tatapan pemuda itu. "Baik"
lah. Kau tidak boleh ingkar janji, ya. Kau harus me"
nemaniku ma"lam ini, oke?"
"Oke," kata Jimmy sambil tersenyum lebar.
*** Hari sudah menjelang sore ketika Marissa dan Wiliam
isi-7 hari.indd 44 tiba di rumah. "Sebaiknya Kakak mandi," kata Wiliam.
"Nanti kita akan pergi ke toko kaset."
"Kau ingin beli kaset?" tanya Marissa.
"Apakah Kakak tidak tahu?" tanya Wiliam. "Hari ini
adalah hari terakhir harga kaset Rp 2.750,00. Besok su"
dah naik jadi Rp 4.500,00. Aku akan membeli kaset lagu
Megaloman." Marissa bergegas masuk ke rumah, "Oke," katanya.
"Aku akan mengantarmu ke toko kaset."
Di kamar mandi, dia merasa pernah mendengar apa
yang dikatakan Wiliam tadi. Akan tetapi, benaknya tak
mampu mengingat. Sore itu dia mengenakan celana jins
ibu Wiliam dan blus warna bergaris-garis.
Mereka pergi ke toko kaset naik bus kota. Sesampai"nya
di depan toko kaset, sudah banyak orang. Wiliam berlari
dan berusaha masuk ke toko kaset itu.
"Wiliam, tunggu!" kata Marissa, sambil berlari mengejar"
nya. Di dalam toko, kerumunan orang semakin banyak. Ber"
jalan di antara mereka sungguh bukan hal yang mudah.
Karena Wiliam masih kecil, dia dapat dengan mudah
bergerak ke sana-sini. Tiba-tiba Marissa melihat Mami sedang memilih-milih
kaset tak jauh dari sana. Apa yang Mami lakukan di
sini" tanyanya. Marissa beringsut-ingsut di antara rak
kaset dan bersembunyi di sebuah rak dekat Mami.
"Diana," kata suara bernada kesal. "Sampai kapan aku
harus di sini?" Marissa mengintip dari balik rak dengan hati-hati. Ya,
isi-7 hari.indd 45 ampun! Itu kan pemuda berjaket kulit hitam di kampus
siang tadi, yang memboncengi Mami.
Marissa menatap Mami dan pemuda berjaket kulit
itu dengan saksama. Pikirannya membeku. Mami
seharus"nya datang kemari dengan Papi, katanya
dalam hati. Itulah sebabnya, mengapa perkataan
Wiliam soal toko kaset tadi mengusikku. Mami pernah
berkata bahwa kencan pertama kali dengan Papi
adalah antre di toko kaset. Mami juga berkata bahwa
semua orang me"nyerbu toko musik karena harga
kaset akan naik. Akan tetapi, mengapa sekarang
Mami malah bersama pemuda itu" Bukan dengan
Papi" Seharusnya Mami kencan dengan Papi hari ini.
Tunggu" tunggu" aku harus meng"ingat perkataan
Mami lagi. Mami berkata bahwa siang"nya sebelum
kencan pertama kali, Papi menyelamatkan"nya, kan"
Tapi tadi siang Papi". Ya, ampun! Papi menyelamat"
kanku, bukan Mami. Seharus"nya Mami yang duduk
di bangku kampus tadi siang, bukan aku. Papi
seharusnya menyelamatkan Mami, bukan aku. Astaga!
Aku menghancurkan kesempatan Mami dan Papi
untuk bersama. Kalau Mami dan Papi tidak bersamasama, itu artinya aku tidak akan ada.
Marissa menggeleng-geleng. "Aku harus menyatukan
ke"dua"nya," katanya perlahan. "Ini semua kesalahanku.
Besok aku harus membantu Papi mendapatkan Mami
kembali." Di depan rak tempat Marissa bersembunyi, Diana men"
dengus kesal ke arah pasangannya. "Jimmy," katanya,
"tadi kau berjanji akan menemaniku ke sini, kan" Aku
isi-7 hari.indd 46 sudah menemani"mu latihan breakdance siang tadi selama
berjam-jam. Sekarang giliranmu menemaniku antre."
"Diana," kata Jimmy, "kakiku sudah pegal."
Diana berkata sinis, "Kau tidak pegal saat latihan break"
dance. Pokoknya, kau tunggu di situ!"
Diana pergi meninggalkan Jimmy sendirian untuk me"
milih-milih kaset. Marissa menundukkan tubuhnya me"
nyembunyikan diri. Lalu menatap Jimmy dengan kesal.
Perlahan-lahan ia mendekati pemuda itu dari belakang.
Desakan pengunjung yang ramai membuat Marissa agak
sulit berjalan ke arah Jimmy, namun akhirnya ia berhasil
mendekati jummy dari belakang.
Marissa mengepalkan tangannya, ia sudah gatal ingin
memukul punggung pria itu. Setelah berpikir beberapa
saat, ia mengurungkan niatnya. Berani-beraninya kau
mem"buat Mami kesal. Lihat saja, rasakan akibatnya!
Tanpa rasa bersalah, Marissa menyenggol Jimmy de"
ngan sengaja, lalu berlari menjauh secepat kilat. Ia men"
dengar suara kaset berjatuhan dan sebuah teriak"an.
"Siapa yang barusan mendorongku, hah?"
Marissa tersenyum puas. Kemudian, dilihatnya seorang
pria mendekati Jimmy. "Hei, anak muda," kata pria itu, "kau sudah menjatuh"
kan kaset-kaset ini. Jadi, kau harus membereskannya."
"Tetapi, Pak..." sanggah Jimmy.
Tatapan garang sang manajer toko membuat nyali
Jimmy menciut. Akhirnya dia menuruti perintah pria itu,
membereskan kaset-kaset yang berserak"an di lantai ke
raknya kembali. isi-7 hari.indd 47 Melihat itu, Marissa terkikik geli. Itulah akibatnya ka"
lau kau membuat mamiku kesal. Tidak boleh ada se"
orang pun yang menyakiti keluargaku. Aku tidak rela
kau jadi pacar Mami. Bagaimanapun juga, Mami harus
jadian dengan Papi. Kemudian, tersadar dirinya sudah agak lama meninggal"
kan William, Marissa berusaha mencari Wiliam di ke"
ramaian. Ia menemukannya sedang antre di kasir untuk
membayar. "Wiliam," kata Marissa, berusaha curhat. "Aku bertemu
Mami. Aku rasa aku mengacau"kan sejarah pacaran Mami
dan Papi." "Hah" Apa" Kakak omong apa?" tanya Wiliam, di sela
hiruk-pikuk musik yang keras. "Aku tidak bisa mendengar
Kakak." Tatapan Marissa jatuh pada sebuah kaset di tangan
Wiliam. Marissa berteriak keras, "Astaga, Wiliam! Kau
capek-capek datang ke sini hanya untuk beli satu ka"set?"
Orang-orang yang antre di belakang Wiliam terdiam
mendengar teriakan Marissa. Marissa tertunduk menahan
malu. "Maaf," katanya kepada Wiliam dengan manis.
"Kau antre saja, ya. Aku tunggu di luar."
Marissa membalikkan punggungnya dan keluar dari
toko kaset. Di belakangnya, Wiliam menatap punggung
Marissa. Di bibirnya tersungging seulas senyum.
*** "Aku harus pergi ke kampus dan bertemu dengan Papi
isi-7 hari.indd 48 besok," tekad Marissa. Ia dan William sudah pulang
dari toko kaset dan kini sedang ada di kamarnya. Dari
tadi Marissa mondar-mandir terus. "Aku harus mem"
bantu Papi," katanya lagi. Marissa menjatuhkan badan"
nya ke tempat tidur dan berusaha tidur. Ketika akan
menutup matanya, terdengar sebuah lagu dari kaset di
penjuru rumah, diikuti suara Wiliam yang menyanyi
dengan keras. Yuke yuke yuke megaloman Doko mademo susume Megalon FIRE Megaloman wa yukuze Megaloman wa yaruze Megaloman hon" no senshi
Marissa mengambil bantal di kepalanya, dan melempar"
nya ke pintu kamar. "Wiliaaaammm!" teriaknya. "Be"
riiisssiiik! Aku mau ti"dur!"
Marissa mengambil bantal satunya lagi dan meletak"
kannya di atas kupingnya. Setelah bolak-balik di tempat
tidur selama satu jam dan rasa kantuk tidak juga kunjung
datang, Marissa akhirnya berjalan ke luar kamar.
Ia berjalan ke arah pekarangan rumah dan melihat
langit di atasnya. Jutaan bintang bertebaran di sana. Apa"
kah Mami dan Papi juga sedang menatap langit yang
sama di masa depan" keluhnya dalam hati. Aku benarbenar ingin pulang. Akan tetapi, tidak sebelum aku
menyatukan Mami dan Papi kembali. Waktunya hanya
isi-7 hari.indd 49 enam hari. Marissa mendesah. Apakah aku sanggup
melakukannya dalam waktu sesingkat itu"
Tiba-tiba sebuah jari menusuk punggungnya.
"Arrgghhh!" teriak Marissa kaget.
Di belakangnya, Wiliam menutup kupingnya dengan
kesal. "Teriakan Kakak keras sekali."
Marissa mengusap-usap dadanya untuk meredakan ke"
kagetannya. "Salahmu sendiri, tiba-tiba membuatku kaget.
Bukankah kau sedang menyanyi di kamarmu" Untuk apa
kau ke sini?" Wiliam mendengus kesal. "Aku melihat ada orang di
pekaranganku. Aku kira rumahku kemalingan."
"Heh, kausangka aku maling?" tanya Marissa kesal.
"Sebenarnya apa yang Kakak lakukan di sini malammalam begini?" tanya Wiliam bingung.
"Aku sedang menatap bintang," sahut Marissa. "Aku
rasa langit di masa kini ataupun di masa depan pasti
tidak berubah, ya kan?"
Wiliam mengangkat bahunya, seakan tidak peduli.
Tiba-tiba Marissa memukul pundak Wiliam dan ber"
teriak, "Hei, ada bintang jatuh! Ayo ucapkan keinginan"
mu!" Wiliam hampir saja tersungkur jatuh oleh pukulan
tangan Marissa di pundaknya. Ia lalu memandang cewek
di depannya dengan kesal. "Itu kan cuma takhayul saja.
Mana ada bintang yang bisa memenuhi keinginan


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang?" "Masa bodoh," kata Marisa. "Pokoknya, aku berharap
aku bisa kembali ke masa depan, dan tidak perlu ber"
urusan denganmu lagi. Oh ya, aku juga ingin punya pacar
isi-7 hari.indd 50 yang ganteng banget, pintar, baik hati, perhatian, me"
ngerti aku apa adanya."
"Oi!" teriak Wiliam, mengingatkan Marissa. "Bintangnya
sudah tidak kelihatan lagi. Sepertinya keinginan Kakak
tidak akan terpenuhi. Lagi pula, mana ada cowok sem"
purna seperti yang Kakak inginkan" Permintaan Kakak
tidak masuk akal. Pasti bintangnya juga kecapekan men"
dengar permintaan Kakak yang panjang begitu."
Marissa menarik napas dengan kesal. "Namanya juga
permintaan. Bukankah kita harus berharap yang setinggitingginya" Ya, sudah. Kalau kau tidak percaya, kau kan
tidak perlu menggangguku membuat permintaan. Nah,
sekarang aku harus menunggu bintang jatuh lagi."
Setelah itu, Wiliam terdiam seribu basa. Dulu dia
percaya bahwa ia bisa mengajukan permintaan ketika ada
bintang jatuh. Sekarang sudah tidak lagi. Dua tahun yang
lalu, ia meminta kepada sang bintang agar orangtuanya
kembali kepadanya. Ternyata, permintaan itu tidak
pernah terkabulkan. Akhirnya, ia berhenti meminta.
Ditatapnya Marissa yang sedang mencari bintang jatuh
berikutnya di langit. William menunduk, lalu melangkah
masuk ke rumahnya perlahan-lahan.
isi-7 hari.indd 51 Empat 1 Juli 1988 Surat Cinta Marissa terbangun dengan kepala pening. Semalam ia
mencoba menatap langit, berharap bintang jatuh akan
terjadi lagi. Setelah menunggu satu jam, bintang jatuh tak
kunjung tiba. Akhirnya, Marissa kembali ke kamar tidur"
nya dengan perasaan kesal. Kini, kepalanya berdenyutdenyut. Pasti gara-gara tidur kemalaman dan masuk
angin. Bangkit dari tempat tidurnya, Marissa mengambil
kaca"mata, mengenakannya, dan menatap beker di sam"
ping tempat tidur. Apa"! teriaknya, sudah pukul sembilan"
Marissa berlari ke luar kamar dan melihat Wiliam se"
dang nonton TV. "Wiliam," panggilnya. "Kau belum pergi
les?" "Hari ini aku les piano pukul sepuluh," kata Wiliam.
Marissa menarik napas lega. Tiba-tiba Marissa teringat,
"Wiliam, bukankah kau sedang liburan sekolah" Kenapa
harus les setiap hari?"
Wiliam hanya mengangkat bahu, lalu kembali me"
mandangi layar televisi. isi-7 hari.indd 52 Marissa mendesah. Pikirannya kembali tertuju pada
tugas penting yang harus ia lakukan. Hari ini ia harus
pergi menemui Papi lagi, dan meyakinkannya agar segera
ber"kencan dengan Mami. "Aku mandi dulu," kata Marissa.
"Nanti aku antar kau les."
Marissa mengenakan celana jins pucat dan kemeja ibu
Wiliam. Lengan kemeja itu terlalu panjang. Karena itu
Marissa melipatnya sampai ke atas siku karena ia melihat
Papi mengenakan kemejanya seperti itu.
Waktu turun untuk sarapan, Marissa tidak melihat
Tante Sarah lagi. "Tante Sarah masih belum bangun?"
tanya"nya kepada Wiliam.
Wiliam mengangkat bahu. "Kemarin sepertinya Tante
tidak pulang. Ayo, kalau sudah selesai, antar aku les!"
Wiliam jalan ke luar rumah, dan Marissa mengikuti"
nya. Kali ini tempat les Wiliam agak jauh. Jadi, mereka me"
mutuskan naik mikrolet saja. Dalam perjalanan mereka
bertemu dengan segerombolan anak yang kemarin
menyerang Wiliam. Marissa melirik mereka dengan
tatapan dingin, lalu anak-anak itu me"nyingkir.
"Kau selesai pukul berapa?" tanya Marissa, sesampainya
di tempat les. "Pukul dua belas," kata Wiliam.
"Oke," kata Marissa, "nanti kujemput. Hari ini aku
harus pergi menemui Papi lagi. Dadah...."
*** isi-7 hari.indd 53 "Papiii! Ehmm, Ferry!" panggil Marissa, sambil melongok
ke dalam ruang kuliah Papi.
Di tengah kelas, Papi mendongak dan mencari arah
datangnya suara yang memanggil namanya. Kebetulan
kelas masih kosong, kecuali dirinya yang hari itu memang
hadir lebih awal. Marissa tersenyum melihat Papi, lalu melangkah maju
mendekati meja Papi dan duduk di kursi sebelahnya.
"Masih ingat aku, kan?" tanya Marissa, sambil ter"
senyum manis. Ferry melihat gadis di sebelahnya dan mengangguk.
"Kau gadis yang aku selamatkan kemarin."
"Ya, benar." Marissa tersenyum lebar. "Jadi" kali ini
aku datang untuk membantu Pap" ehmm" kau, Ferry."
"Membantu apa?" tanya Ferry, sambil beringsut men"
jauh dari gadis di sebelahnya.
"Membantumu mendekati Diana tentu saja. Kau me"
nyukainya, kan?" kata Marissa, mendekatkan diri ke bang"
ku Papi. Ferry beringsut menjauh lagi. "Bagaimana kau bisa
tahu?" tanyanya. "Itu tidak penting," kata Marissa, tidak menggubris per"
tanyaan Ferry. "Yang penting sekarang aku mau mem"
bantumu. Jadi, kita harus menemui Diana, dan kau harus
mengungkapkan perasaanmu padanya hari ini."
Ferry menggeleng ngeri. "Tidak mungkin. Aku" aku"
gugup sekali bila berdekatan dengannya."
"Oleh karena itulah, aku akan membantumu," Marissa
menegaskan. "Kau harus mengatasi rasa gugupmu itu.
Ayolah, Diana kan gadis yang kausukai. Masa kau tidak
isi-7 hari.indd 54 ingin mengatakan isi hatimu kepadanya selamanya" Tidak
mungkin, kan?" "Pergilah!" kata Ferry, mengusir Marissa. "Aku tidak
butuh bantuanmu." Ia kemudian kembali menulis sesuatu
di sehelai kertas. Marissa memiringkan kepalanya untuk melihat apa
yang ditulis Papi. Saat Papi sedang lengah, Marissa meng"
ambil kertas itu dan membacanya.
"Hah! Rupanya kau sedang menulis surat cinta," kata
Marissa, sambil memegang surat Papi.
Papi berusaha meraih kembali surat di tangan Marissa,
na"mun Marissa lebih gesit dan menghindarinya. "Kembali"
kan padaku!" teriak Ferry panik.
"Aku akan kembalikan," kata Marissa tenang, "setelah
aku membacanya, ya."
"Tolong, jangan baca," kata Ferry memelas.
"Dengar, Ferry," kata Marissa serius, "aku benar-benar
ingin membantumu mendapatkan Diana. Jadi, kau duduk
saja dan biarkan aku membaca. Aku akan memberikan
opini sebagai seorang perempuan."
Ferry akhirnya berdiam diri dan membiarkan Marissa
membaca surat yang ditulisnya. Melihat kepanikan Papi
mereda, Marissa membaca surat itu.
"Untuk Diana," Jikalau kau adalah bunga matahari,
aku rela menjadi lebahnya.
Jikalau kau adalah rembulan yang menyinari bumi,
biarlah aku menjadi bintang di sisimu.
Madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu,
isi-7 hari.indd 55 Aku akan menerima apa pun yang kauberikan kepada"
ku. Diana" maukah kau jadi pacarku"
Yang selalu mencintaimu, Ferry Marissa terheran-heran membaca isi surat cinta Papi.
"Bagaimana?" tanya Papi, tidak sabar di sebelahnya.
"Ba"gus tidak?"
Marissa memutar bola matanya, lalu memandang Papi.
"Surat ini kesannya, hmmm?" gombal, picisan"
?" terlalu berlebihan," lanjut Marissa, berusaha supaya
pendapatnya tidak terdengar merendahkan. Ia harus
ingat, walau bagaimanapun pria di hadapannya ini akan
menjadi papinya di masa yang akan datang. Yang tidak
ia sadari, ternyata papinya sangat payah, tidak bisa mem"
buat surat cinta. "Berlebihan?" tanya Papi. "Aku sudah mencoba meng"
ungkapkan perasaanku lewat surat itu. Menurut artikel
yang aku baca di majalah-majalah, surat seperti itu me"
narik perhatian wanita."
Aduh, Papi baca majalah apa sih! Ini sih surat cinta
picisan. Aku saja sekali baca sudah tahu.
"Apa ini artinya, madu dan racun?" tanya Marissa bi"
ngung. "Ehmm, itu diambil dari lagunya Bang Arie yang ter"
kenal, Madu dan Racun," kata Papi. "Masa kau tidak
tahu?" isi-7 hari.indd 56 "Begini saja," kata Marissa, sambil geleng-geleng. "Aku
akan buat surat cinta yang baru. Aku rasa kita butuh
surat cinta yang tidak berlebihan. Jadi, ceritakanlah
kepadaku tentang Diana. Aku akan menulis surat cinta
berdasarkan apa yang kaurasakan, bagaimana" Kalau kau
tidak suka, kau bisa memberikan surat cinta yang kautulis
sendiri." "Apa yang harus aku ceritakan?" tanya Ferry. "Aku jelasjelas mencintai Diana."
"Ya, aku tahu," kata Marissa tidak sabar. "Maksudku,
misal"nya kau bisa menceritakan tentang pertama kali
Pap" ehmm" kau bertemu. Apa yang kausuka dari
Diana" Hal-hal seperti itulah."
Papi tampak berpikir, "Yah, aku bertemu dengannya
se"puluh tahun yang lalu ketika masih SD. Menurutku ia
gadis paling cantik di sekolah!" Bibir Papi tersenyum
teringat kenangan manis masa kecil mereka. "Sampai
sekarang pun dia masih gadis paling cantik yang pernah
aku temui. Aku suka senyumnya, tatapannya, semuanya.
Aku suka memandangnya, dan tak sekali pun aku merasa
bosan. Kau tahu, ketika kau mencintai seseorang, kau
ingin menghabiskan sisa hidupmu dengannya."
Marissa terpana. Ia tahu orangtuanya saling men"cintai.
Mendengar perasaan Papi langsung dari mulut"nya sendiri,
membuat Marissa tersentuh. Papi memang benar-benar
mencintai Mami. "Itulah yang bisa aku ceritakan," lanjut Papi lagi. "Aku
me"mang tidak pandai menggunakan kata-kata roman"tis."
Marissa mengangguk dan menyentuh tangan Papi.
"Tidak apa-apa. Aku sudah mengerti. Kau benar-benar
isi-7 hari.indd 57 mencintainya. Aku berharap aku bisa merasakan hal yang
sama." Tiba-tiba dari luar terdengar bunyi mesin motor dan
decitan rem disusul teriakan, "Diana, tunggu!"
Papi dan Marissa keluar dari kelas, dan melihat Mami
sedang berjalan menjauhi pemuda yang mengendarai
sepeda motor. "Pokoknya, aku tidak mau melihatmu lagi!" teriak
Diana. "Pergi!!"
"Diana!" teriak pemuda itu ngotot.
"Kita putusssss!!" teriak Diana keras-keras.
Pemuda itu memegang tangan Diana, dan memintanya
untuk tinggal. "Lepaskan tanganku!" teriak Diana lagi.
"Jangan pernah menyentuhku lagi!"
Marissa melihat Mami berjalan ke ruang kuliahnya me"
ninggalkan pemuda itu sendirian. Tak berapa lama deru
motor kembali membahana, lalu lenyap. Pemuda itu telah
pergi. Marissa tersenyum sambil meloncat-loncat. "Ini ke"
sempatanmu," katanya kepada Papi, sambil menepuk
pung"gungnya. "Diana baru saja putus dengan pacarnya.
Sekarang kau bisa menemuinya dan menyatakan perasaan"
mu." Papi menggeleng. "Aku rasa tidak semudah itu," kata"
nya. "Diana sedang terluka."
"Tidakkah kau ingin menghiburnya?" tanya Marissa
kesal. "Tentu saja," kata Papi lembut, "akan tetapi, sekarang
ia butuh waktu untuk sembuh. Saat ini dia pasti berpikir
semua pria adalah makhluk yang harus dihindari. Aku
isi-7 hari.indd 58 akan berbicara dengannya besok. Oh ya, aku harus kem"
bali ke ruangan. Kuliah akan segera dimulai."
Marissa tersenyum perlahan. "Aku akan membuatkanmu
surat cinta yang hebat. Besok aku akan membawanya
kemari. Aku yakin Diana pasti akan terharu membacanya
dan menerima kencanmu."
Papi hanya tersenyum, lalu masuk ke ruang kuliah.
*** Marissa berdiri di depan tempat les piano Wiliam sambil
mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai. Pikirannya penuh
dengan kata-kata yang akan dia tulis untuk surat cinta
Papi. Wiliam melihat Marissa yang tampak sedang ber"
pikir keras hingga tidak meyadari kehadirannya.
"Kakak sedang memikirkan apa?" tanyanya
Pertanyaan Wiliam mengejutkan Marissa. "Oh, hai
Wiliam, lesnya sudah selesai ya?"
Wiliam mengangguk. "Aku lapar. Ayo kita cari ma"
kan!" Marissa menyetujuinya. Mereka makan di warung ping"
gir jalan. "Tadi," kata Marissa, di tengah makan siang mereka,
"aku bertemu Papi lagi, dan aku akan membantunya mem"
buat surat cinta."

Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiliam memandang Marissa tanpa semangat, dan
kembali melanjutkan makannya.
Kesal karena merasa tidak diindahkan, Marissa cem"
berut. "Wiliam" Kau mendengarkan aku, kan?"
isi-7 hari.indd 59 Wiliam menarik napas, dan meletakkan sendok-garpu"
nya. "Ya. Aku rasa surat cinta terlalu aneh kalau ditulis
orang lain. Bukankah sebaiknya "papimu" membuat surat
cinta sendiri?" "Dia sudah buat," kata Marissa lagi, "namun buatannya
tidak bagus. Oleh sebab itulah, aku akan membantu mem"
buatkannya." Tidak terdengar tanggapan apa-apa.
"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya Marissa berse"
mangat. Wiliam mengangkat bahunya. "Aku tidak akan men"
campuri apa pun yang bukan urusanku."
Marissa merasa kesal. Ini anak memang tidak bisa
diajak bicara baik-baik, gerutunya dalam hati.
"Kalau Kakak sudah selesai makan," kata Wiliam,
melihat piring kosong Marissa, "sebaiknya kita pergi
sekarang. Aku masih ada les."
Wiliam beranjak berdiri. Marissa membayar makanan
mereka, lalu mengikutinya.
"Tunggu, Wiliam," kata Marissa. "Kau masih ada les
apa lagi?" "Karate," kata Wiliam.
Mereka naik bus kota ke tempat les karate Wiliam. Se"
panjang jalan, Marissa tak habis pikir apa benar Wiliam
bisa karate. Kalau benar, mengapa dia tidak melawan
anak-anak nakal yang mengganggunya waktu itu.
"Wiliam," katanya di dalam bus, "kau sudah belajar
karate berapa lama?"
Wiliam menatap Marissa. "Dua tahun."
Marissa menelan ludah. "Kalau kau sudah belajar
isi-7 hari.indd 60 begitu lama, mengapa kau tidak melawan anak-anak yang
mengganggumu waktu itu?"
Wiliam mendengus. "Aku tidak punya alasan untuk
melawan mereka." "Jadi, kau membiarkan mereka memukulmu," kata
Marissa, tidak setuju. "Mereka berenam, dan aku hanya sendiri," kata Wiliam,
menerangkan kepada Marissa. "Kalaupun aku bisa me"
ngalahkan salah satu dari mereka, yang lain pasti akan
bergegas memukulku juga. Jadi, tidak ada bedanya."
Marissa menarik napas lagi. "Tidakkah kegiatan lesmu
ini terlalu banyak" Kau kan masih kecil, mengapa kau
harus les sebanyak ini?"
"Kata Mama, selagi muda kita harus mencoba semua"
nya." Mimik Wiliam tampak seakan ia sedang mengingat
masa-masa ketika mamanya masih hidup. "Mama ingin
aku mencoba semuanya, dan menemukan satu kegiatan
yang paling aku sukai."
Marissa mengangguk. "Kalau begitu, mengapa kau tidak
konsentrasi di satu kegiatan yang paling kausukai saja?"
Wiliam mengangkat bahu, "Karena sampai saat ini aku
belum menemukan kegiatan yang paling aku sukai. Kita
sudah sampai. Ayo!" Marissa mengikuti langkah Wiliam menuju tempat
latihan karatenya. Setelah satu jam menunggu, Marissa
mulai melihat-lihat ke luar tempat les. Di sepanjang jalan
dekat tempat les Wiliam, banyak sekali penjaja makanan.
Mata Marissa bercahaya. Dia menelusuri penjaja makanan
itu satu per satu. Di sana banyak sekali dijual makanan
yang belum pernah ia cicipi.
isi-7 hari.indd 61 Ada berbagai macam cokelat, yang berbentuk batangan,
wafer, keping uang logam emas. "Bang," kata Marisa,
sambil menunjuk semuanya. "Aku mau beli cokelatcokelat ini. Harganya berapa, ya?"
Si abang penjual makanan berkata, "Cokelat batangan
ini harganya Rp 25,00 per buah, yang wafer Rp 50,00.
Kalau yang berbentuk uang logam emas Rp 25,00 dapat
empat buah." Marissa semakin tersenyum lebar. "Murah sekali. Saya
mau semuanya, ya." Setelah transaksi jual-beli selesai, Marissa membuka
jajanan yang baru dibelinya satu per satu dan memakan"
nya. "Hmmm enak sekali."
Cokelat-cokelat itu habis dalam waktu sepuluh menit.
Berikutnya Marissa mengincar permen. Oh, katanya
dalam hati, aku belum pernah melihat permen-permen
ini. Apa ini namanya" Cocorico, Chicklets, Pindy Pop,
permen karet Yosan. Wah, aku harus mencoba semua"
nya! Dari dalam ruangan latihan karate, Wiliam menatap
Marissa yang sedang bingung memilih mana di antara
dua permen yang akan ia makan terlebih dahulu. Setelah
tersenyum kecil, Marissa membuka kedua bungkus
permen itu dan memakan keduanya sekaligus.
Wiliam tertawa. Dari belakangnya, seseorang memperhatikan Wiliam
dan berkata, "Kau tahu, ini pertama kalinya Sensei me"
lihatmu tertawa." Wiliam berbalik, dan menghadapi guru karatenya.
isi-7 hari.indd 62 Sensei tersenyum sambil memberikan sabuk kuning
kepada Wiliam. "Selamat, Wiliam. Hari ini kau telah
berhasil memperoleh sabuk kuning."
Wiliam membungkuk memberi hormat. "Terima kasih,
Sensei." Diterimanya sabuk itu dengan sedikit perasaan
bangga, lalu ia melihat ke arah Marissa lagi. Di Tangan"
nya ada permen bergagang putih.
"Dia kakakmu?" tanya Sensei.
Wiliam langsung menggeleng. "Bukan. Dia cuma gadis
yang sangat rakus." Sensei tersenyum mendengar penjelasan Wiliam.
"Seringlah tertawa, Wiliam."
Wiliam tidak berkata apa-apa mendengar perkataan
gurunya. "Saya pulang dulu, Sensei."
Sensei mengangguk. Saat keluar dari ruang latihan karate, Wiliam melihat
Marissa masih mengunyah permen di mulutnya. Marissa
me"natapnya, lalu mengeluarkan permen itu dari mulut"
nya. "Wiliam," serunya gembira, "kau tahu, makanan di
masa?"mu enak-enak semua. Banyak sekali yang belum
pernah aku coba. Permen dan cokelatnya" ehmm" se"
mua"nya enak." Marissa memasukkan sebuah permen lagi
ke mulut"nya. "Kakak makan berapa banyak?" tanya Wiliam, heran
melihat bungkus permen dan cokelat berserakan di
lantai. Marissa membungkuk untuk mengambil bungkusbungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah, lalu
isi-7 hari.indd 63 tersenyum tanpa rasa bersalah kepada Wiliam. "Pokoknya,
banyak. Aku mencoba semuanya." Ia menyodorkan satu
permen kepada Wiliam. "Kau mau?"
Wiliam menggeleng. "Permen bisa membuatmu sakit
gigi." "Aku tahu," kata Marissa ceria. "Tapi itu tetap saja ti"
dak mencegahku untuk memakannya." Marissa mengulum
lagi permen yang ada di tangannya sambil menutup mata,
"Enak" sekali."
Kali ini Wiliam menatap Marissa dengan serius. Gadis
di hadapannya jelas sangat menikmati permen dan
cokelat yang dimakannya. "Kau memang belum pernah
memakan permen dan cokelat-cokelat itu sebelum"nya?"
tanya Wiliam, mencoba menegaskan.
"Ya," kata Marissa. "Jajanan di masamu memang enakenak, dan murah."
Mungkin dia memang berasal dari masa depan, kata
Wiliam dalam hati. Karena, aku dan anak-anak yang lain
merasa jajanan tersebut tidak aneh, biasa-biasa saja.
"Ayo kita pulang!" kata Wiliam.
*** Marissa meremas kertas di hadapannya menjadi gumpal"
an bola dan melemparnya ke keranjang sampah. Gumpal"
an kertas itu jatuh di luar keranjang, menemani puluhan
gumpalan kertas yang ada di sana.
Marissa mendesah frustrasi, "Ah, sulit sekali. Aku be"
lum mendapat ide." isi-7 hari.indd 64 Dibenamkannya kepalanya ke meja. Setelah dalam
posisi demikian selama beberapa saat, Marissa menyerah.
Dia melihat sebuah radio-tape di depan meja. Ia me"
nyetel"nya untuk mendengarkan siaran radio. Hanya ada
satu siaran, yaitu Radio Prambors. Marissa mencoba
mencari-cari channel lain, namun tidak ada suara yang
keluar selain saluran radio tersebut.
Marissa keluar dari kamarnya, dan masuk ke kamar
Wiliam. "Wiliam, radio di kamarku rusak."
Wiliam menoleh kepada Marissa dengan kesal. "Ketuk
pintu dulu sebelum masuk."
"Upss, maaf," kata Marissa. "Radioku rusak. Pinjam
radiomu, ya?" Marissa mencoba menyalakan radio di kamar Wiliam.
Hasilnya tetap sama. Satu saluran radio. Radio Pram"
bors. "Wiliam," kata Marissa bingung. "Kok nggak ada salur"
an radio lainnya?" "Memang hanya satu saluran saja. Radio Prambors,"
jawab Wiliam. "Di masaku radio punya banyak saluran," kata Marissa.
"Ya, sudahlah. Aku tidak jadi mendengarkan radio."
Saat Marissa hendak beranjak dari kamar Wiliam,
pandangannya tertuju pada lemari mainan di sebelah
pintu. Ada berpuluh-puluh mainan mobil, robot, motor,
dan masih banyak mainan yang belum pernah dia lihat
sebelumnya. "Wow," kata Marissa. "Wiliam, mainanmu banyak se"
kali." isi-7 hari.indd 65 Marissa juga melihat kaleng berisi kelereng, Kelerengkelereng milik Wiliam warnanya indah-indah.
"Wiliam," kata Marissa, "aku boleh minta kelereng yang
ini?" Wiliam bangkit berdiri, mengambil kelereng itu dari
tangan Marissa dan memasukkan ke kalengnya lagi.
"Tidak boleh." "Ayolah," pinta Marissa. "Kau kan masih punya banyak.
Ratusan malah. Boleh, ya?"
Wiliam tetap bergeming. "Tidak. Aku tidak suka mem"
bagi mainanku dengan orang lain."
Ditolak dengan ketus seperti itu, Marissa menjulurkan
lidahnya. "Dasar pelit!"
Wiliam menyuruh Marissa keluar dari kamarnya.
"Kakak nonton TV saja sana! Jangan ganggu aku!"
Dengan malas Marissa masuk ke ruang tamu dan me"
nyalakan televisi. Acara berita terpampang di depannya.
Marissa mencoba menggantinya dengan saluran lain,
namun tidak berhasil. "Wiliam!" teriaknya ke kamar Wiliam.
"Apa lagi?" tanya Wiliam, akhirnya keluar dari kamar"
nya dan berjalan ke ruang tamu.
"Jangan katakan padaku bahwa TV-mu hanya ada satu
saluran juga," kata Marissa putus asa.
"Dari dulu sampai sekarang salurannya memang hanya
itu. TVRI. Tidak ada yang lain. Memang ada apa?" tanya
Wiliam heran. "Di masaku?" kata Marissa. Ia ingin menerangkan,
namun akhirnya menyerah. ?"ah sudahlah, dijelaskan
juga kau tidak akan mengerti."
isi-7 hari.indd 66 Tiba-tiba Marissa memegangi perutnya. Ia mengernyit
kesakitan. "Kakak kenapa?" tanya Wiliam khawatir.
"Perutku sakit," kata Marissa, lalu berlari ke kamar
mandi. Lima belas menit kemudian, Marissa tersenyum lega.
Wiliam memandangnya dengan sinis. "Gara-gara ke"
banyak?"an makan siang tadi, ya?"
Marissa tidak meladeni ucapan Wiliam. Dan senyuman
lega Marissa hanya bertahan sesaat, perutnya melilit lagi.
Ia bergegas kembali ke kamar mandi.
"Makanya, kalau makan jangan terlalu rakus," kata
Wiliam di belakangnya. Ketika Marissa keluar dari kamar mandi untuk kedua
kalinya, Wiliam sedang duduk di depan kompu"ter.
"Kau sedang apa?" tanya Marissa, sambil mendekati
Wiliam. "Main Space Invaders," kata Wiliam.
Marissa melihat barisan pesawat kecil-kecil dan senjata
yang merajalela ke sana kemari. "Di masaku," kata
Marissa lagi, "game komputer sudah canggih. Tidak se"
perti ini lagi. Gambarnya sudah bagus. Bahkan ada game
portable yang bisa dibawa ke mana-mana. Nama"nya
PSP." Wiliam membuka laci meja komputernya. "Di masa ini
juga ada mainan yang bisa dibawa ke mana-mana,"
katanya tidak mau kalah. "Ini, namanya GemBot."
Wiliam memperlihatkan game berbentuk persegi
panjang. Di atasnya tertulis: Game & Watch Parachute.
Hmmm GemBot, katanya dalam hati. Hanya ada beberapa
isi-7 hari.indd 67 tombol di game itu. Wiliam menyalakan game itu dan
menyuruh Marissa memainkannya.
"Tugasmu hanya menyelamatkan penerjun payung dari
pesawat. Kau bisa menggerakkan perahu penyelamat ini
ke kanan dan ke kiri." Wiliam memberi contoh, lalu
Marissa menggantikannya bermain.
"Ini terlalu mudah," kata Marissa meremehkan.


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba saja dulu," kata Wiliam.
Marissa memainkan game itu awalnya dengan malasmalasan. Lama-lama para penerjun payung itu semakin
cepat datangnya, dan membuatnya kewalahan. Game
over. Nilai yang diraih Marissa hanya 150. Marissa me"
lihat angka tertinggi yang diraih Wiliam. Apa" Empat
ratus dua belas" teriaknya dalam hati. Sial. Masa aku
kalah dengan anak kecil"
Kali kedua Marissa bermain dengan serius, namun
tetap saja menjelang malam dia tidak berhasil melewati
angka Wiliam. Anak ini benar-benar hebat! Lebih hebat
dari anak seusianya! Ini salah satu hal yang akhirnya bisa
menjawab keheranan Marissa tentang sikap dan cara
berbicara Wiliam yang melebihi anak seumurnya.
*** Sementara itu, di sebuah diskotek".
Entah sudah berapa lama Sarah menggoyangkan tubuh"
nya mengikuti irama musik. Tetap saja perasaan ke"
hilangan di hatinya tidak kunjung hilang. Malah semakin
bertambah. Ia berhenti berdansa dan pergi memesan
isi-7 hari.indd 68 minuman beralkohol. Setelah minuman itu ada di depan"
nya, Sarah meneguk isinya hingga habis.
Kenangannya kembali pada tahun-tahun di masa kecil"
nya. Waktu kakaknya selalu menjaganya sejak kedua
orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan kapal
laut. Saat itu mereka tinggal bersama Nenek. Kakaknya
telah ber?"tindak sebagai pelindungnya, sekaligus sebagai
temannya. Kini kakaknya tidak ada lagi untuk melin"
dunginya. Mengapa ini semua terjadi" teriaknya dalam hati. Per"
tama orangtuaku, lalu kakakku. Mengapa mereka semua
harus pergi dari sisiku"
Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Kini, Sarah
tidak sanggup menatap wajah keponakannya, Wiliam.
Wajah anak itu benar-benar mirip kakaknya. Bahkan
tatap"an matanya juga sama. Tatapan mata keponakannya
tidak pernah lembut, seperti kakaknya. Oleh karena itu,
Sarah selalu berusaha menghindarinya sedapat mung"
kin. Pelariannya adalah minuman yang saat ini dipegangnya.
Akan tetapi, sebanyak apa pun dia menenggak minum"
annya, tetap ia tidak bisa melupakan persoalannya. Ia
menjatuhkan wajahnya ke meja dan menangis. "Kakak","
katanya perlahan. "Mengapa kau pergi me"ninggalkan aku"
Aku sama sekali tidak tahu bagai"mana cara mengasuh
anak. Kakak kan tahu aku tidak suka anak kecil." Air
mata mulai mengalir membasahi pipinya.
"Hei" kau tidak apa-apa?" tanya bartender di depan"
nya. Sarah seakan tersadar dan bangkit dari kursinya, lalu
isi-7 hari.indd 69 berjalan ke luar diskotek. Hari sudah gelap. Sarah me"
mutuskan untuk naik taksi dari depan diskotek karena
kepalanya sudah terasa melayang.
*** Satu jam kemudian, Sarah sampai di rumah dalam ke"
adaan sempoyongan. Ia segera masuk ke rumah. Dilihat"
nya Marissa dan Wiliam menatapnya dengan bi"ngung.
Perasaan sedih muncul kembali saat menatap Wiliam,
lalu ia terkulai di sofa di depannya.
Marissa dan Wiliam melihat Sarah terjatuh ke sofa dan
tertidur. Marissa mendekati Tante Sarah. "Dia tidak apaapa?" tanya Marissa kepada Wiliam.
"Dia hanya tertidur," kata Wiliam.
Marissa menyuruh Wiliam membantunya mengangkat
Tante Sarah dan membaringkannya di kamarnya. Setelah
itu, barulah Marissa sadar bahwa dia belum menyelesai"
kan menulis surat cinta. "Aduh, aku kelupaan!" teriaknya panik. "Aku kan harus
membuat surat cinta untuk Papi."
Marissa berlari ke kamarnya, dan menutup pintu. Kali
ini Marissa benar-benar serius merangkai kata-kata untuk
surat cintanya. Sambil menulis, ia memikirkan Mami dan
Papi dan mulai merindukan mereka.
"Ayolah, Marissa," katanya kepada dirinya sendiri. "Kau
bisa melakukannya." Marissa menarik napas beberapa kali dan mulai me"
isi-7 hari.indd 70 nulis. Setengah jam kemudian surat cinta itu selesai.
Marissa tersenyum lega. Ia menjatuhkan diri ke ranjang
dan langsung tertidur ketika kepalanya me"nyentuh
bantal. *** Sementara itu, Wiliam bergerak-gerak gelisah di dalam
tidurnya. Dia bermimpi bertemu papa dan mamanya.
Tapi bukannya mendekat, keduanya malah menjauh.
"Tidak!" kata Wiliam terengah-engah. "Papa! Mama! Ja"
ngan pergi! Tidak!" Wiliam berusaha mengejar keduanya, namun tetap saja
se"kencang apa pun dia berlari mama dan papanya se"
makin lama semakin jauh. Wiliam berteriak kencang.
"Tidak" Mama" Papa" jangan tinggalkan aku!"
Wiliam terbangun dari mimpinya dengan tubuh berke"
ringat. Jantungnya berdegup kencang. Ia lalu melihat
ruangan di sekelilingnya. Ternyata cuma mimpi, katanya
dalam hati. Ia berjalan ke luar kamar untuk mengambil
minuman, lalu tatapannya beralih ke kamar Marissa. Ia
berjalan mendekatinya, kemudian mengetuk pintunya.
"Kakak," katanya perlahan. "Kau sudah tidur?"
Tidak mendapat jawaban dari kamar, Wiliam membuka
pintunya perlahan dan masuk ke dalam kamar tidur
Marissa. Dilihatnya Marissa tidur tertelungkup. Wiliam ber"niat
keluar kamar, kakinya tidak sengaja menyentuh kaki meja
isi-7 hari.indd 71 dan men"jatuhkan sehelai kertas. Wiliam tidak tega mem"
bangunkan gadis itu. Namun ketika Wiliam mengambil
kertas itu dan baru membaca kalimat pertama, dia dikejut"
kan oleh suara di belakangnya. Jantung Wiliam seperti
berhenti, dia segera menjatuhkan surat yang dipegang"
nya. Ternyata Marissa bergerak dalam tidurnya, tubuhnya
kini telentang. "Nyam" nyam" nyam...." Begitu suara
yang keluar dari mulutnya.
Jantung Wiliam kembali berdetak normal. "Dasar
Kakak," katanya perlahan. "Di alam mimpi pun yang ter"
pikir hanya makanan."
William kembali membaca" surat tersebut. Seusai mem"
bacanya, dia memandang Marissa yang sedang tertidur
selama beberapa saat, meletakkan surat itu kembali ke
atas meja, dan mematikan lampu kamar.
isi-7 hari.indd 72 Lima 2 Juli 1988 Kencan Pertama Papi dan Mami
Marissa bangun keesokan paginya dengan penuh
semangat. Hari ini ia harus menyerahkan surat cinta yang
sudah dibuatnya dengan susah payah kepada Papi.
Papi pasti senang jika membaca surat ini, pikir
Marissa, sambil mandi dan bersiul-siul gembira. Pokok"
nya, hari ini Papi dan Mami harus kencan.
Marissa memakai jins dan kaus bergaris-garis penuh
warna, dan bergegas ke ruang makan. Dilihatnya Wiliam
sedang sarapan dengan te"nang.
"Selamat pagi!"seru Marissa sambil tersenyum. "Hari
yang indah, bukan?" "Cepat makan!" kata Wiliam ketus. "Ingat, aku ada les
pagi ini!" Marissa hanya tersenyum mendengar perkataan anak
itu. Hari ini suasana hati Marissa sedang gembira. Tak ada
satu hal pun yang bisa mengubahnya.
Seusai mengantar Wiliam ke tempat les matematika,
Marissa bergegas menuju kampus Papi dan Mami. Mata"
isi-7 hari.indd 73 nya bersinar saat melihat Papi sedang duduk di bangku
taman. "Ferry," panggil Marissa, sambil menyentuh pundaknya.
"Aku sudah membuatkan surat cinta untukmu."
Ferry tampak terkejut. Dia tidak menyangka gadis yang
diselamatkannya benar-benar bersedia membantunya
membuat surat cinta. "Kau benar-benar membuatnya?" tanya Ferry tidak ya"
kin. "Tentu saja." Marissa mengeluarkan sepucuk surat dari
sakunya. "Bacalah!"
Ferry mengambil surat itu, membukanya, lalu mem"
bacanya. Untuk Diana, Aku suka senyummu. Aku suka tatapanmu. Aku suka gayamu. Aku suka semuanya tentangmu.
Aku sudah mengenalmu selama sepuluh tahun,
Selama itu pula kau sudah menjadi bagian dalam hati"
ku. Diana" maukah kau makan malam denganku hari
ini" Jawablah, "Ya."
Aku berjanji akan menghabiskan 36.500 makan ma"
lam berikutnya bersamamu.
Yang mencintaimu, Ferry isi-7 hari.indd 74 "Aku suka surat ini," kata Ferry, seusai membacanya.
Marissa tersenyum lebar. "Aku senang Pa" ehm" kau
menyukainya. Jadi, tunggu apa lagi" Ayo kita pergi temui
Ma" ehm" Diana!"
"Diana hari ini tidak kuliah," kata Ferry.
Marissa jatuh terduduk di samping Ferry tanpa se"
mangat, "Yaaahhh, padahal aku sudah membuat surat ini
seharian." Melihat tampang Marissa yang kecewa, Ferry berkata
lagi, "Aku bisa meneleponnya dan mengajaknya kencan."
Bibir Marissa tersenyum lagi, digenggamnya tangan
Papi. "Ya, lakukan itu. Telepon dia! Ayo!"
"Tapi lepaskan tanganku dulu," kata Papi, sam"bil
memandangi tangannya. "Eh" ya, maaf." Marissa melepaskan pega"ngan"nya.
Papi beranjak pergi dari bangku.
"Kau mau ke mana?" tanya Marissa bingung. "Bukan"
kah kau mau menelepon?"
Kini giliran Papi yang bingung. "Aku memang mau ke
telepon umum." Oh" ya, kata Marissa dalam hati, di masa ini belum
ada HP. Marissa mengikuti Papi ke telepon umum. Papi me"
ngeluarkan sekeping uang logam dan memasukkannya ke
telepon. Tangannya sudah mulai berkeringat ketika
memutar nomor telepon Mami. Papi lalu meletakkan
gagang telepon ke tempatnya lagi.
"Kenapa tidak jadi?" protes Marissa. "Ayo! Telepon
dia!" isi-7 hari.indd 75 Papi menelan ludah. "Bagaimana kalau dia tidak tahu
siapa aku" Bagaimana kalau dia menolak ajakanku?"
Yah, keluh Marissa lagi. Papi memang payah nih!
"Aku saja yang putar nomornya, ya. Pap... eh" kau"
tinggal bicara saja. Berapa nomornya?" tanya Marissa.
Tangan Papi menghalangi Marissa. "Jangan! Aku ingin
melakukannya sendiri."
"Kalau begitu, cepat lakukan!" Kesabaran Marissa
nyaris habis. Papi mengangkat gagang telepon lagi dan mulai me"
mutar nomor tele"pon Mami. Marissa berdiri mendekati
Papi agar bisa mendengar pembicaraan keduanya. Tak
berapa lama kemudian suara nada sambung terdengar.
Papi me"narik napas cepat-cepat.
"Halo," kata suara di seberang.
Akhirnya! Marissa tersenyum senang. Moga-moga itu
Mami. Sepertinya itu suara Mami. Inilah saatnya!
"Ehm," kata Papi. "Maaf. Salah sambung." Papi ter"
tunduk, diletakkannya lagi gagang telepon.
Apa"! teriak Marissa kesal. Papi! Di mana keberanian"
mu" Masa bicara dengan Mami saja tidak berani"
"Aku tidak bisa melakukannya. Aku gugup sekali," kata
Papi terbata-bata. Kedua tangan Marissa menyentuh bahu Papi, memaksa
kepala Papi menghadapnya.
"Dengar, Ferry, lebih baik kau mencoba daripada tidak
sama sekali," kata Marissa keras. "Dengan begitu, kau
tidak akan hidup dengan penyesalan. Jadi, angkat telepon
itu dan telepon dia!"
isi-7 hari.indd 76 Papi tertegun mendengar perkataan Marissa. "Ya, kau
benar. Kalau tidak mencobanya, kau tidak akan tahu. Per"
kataan yang bagus." "Kau yang mengatakannya," kata Marissa keceplosan.
"Hah?" Papi tampak bingung.
Aduh, salah omong deh, keluh Marissa, "Ehm" begini.
Ayahku yang mengatakan itu."
Ferry tersenyum. "Ayahmu pasti orang yang hebat."
"Tentu saja," kata Marissa, lalu menatap Papi. "Yang
pasti, dia tidak akan takut menelepon seseorang yang dia
cintai untuk pergi dengannya."
Setelah mendengar perkataan Marissa, Papi mengangkat
telepon tanpa ragu dan memutar nomor telepon Mami.
"Halo," katanya setelah tersambung. "Diana" Ini, Ferry.
Aku ingin tahu apakah hari ini kau ada waktu untuk
menemuiku" Ehm" ya. Aku ingin memberikan sesuatu
untukmu sore ini. Oke, pukul tiga. Aku pasti datang ke


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumahmu." Papi menutup teleponnya. Sesaat dia terdiam,
lalu dia meloncat-loncat di samping telepon sambil ter"
senyum lebar. "Dia mau menemuiku dan aku akan meng"
ajaknya pergi." Marissa ikut senang. "Bagus," katanya. "Kau akan meng"
ajak"nya ke mana?"
"Aku akan mengajaknya ke bioskop," kata Ferry.
"Ide yang bagus," kata Marissa.
Papi menatap Marissa. "Terima kasih atas bantuan"
mu." Marissa mengangguk. "Aku senang bisa membantumu."
Ia melihat jam tangan Papi, dan sadar bahwa ia sudah
telat menjemput Wiliam. isi-7 hari.indd 77 "Aku harus pergi!" kata Marissa terburu-buru. "Semoga
kencan kalian sukses."
*** "Kau terlambat!" tuduh Wiliam.
"Aku tahu. Maafkan aku, Wiliam," kata Marissa, me"
melas dan kehabisan napas. "Aku tadi menemui Papi lagi.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang Mami dan Papi
akan berkencan." Wiliam cemberut melihat Marissa yang tersenyum
lebar. "Apa kau tahu berapa lama aku menunggumu di
sini" Les bahasa Inggrisku akan dimulai sebentar lagi.
Ayo kita pergi!" "Hah?" teriak Marissa protes. "Tidak ada acara makan
siang dulu?" Wiliam mendengus. "Ini sudah pukul berapa?"
Marissa menginjak pedal sepedanya dengan loyo. Perut"
nya sudah kelaparan. Sepeda berhenti di sebuah gedung
dan Wiliam turun. Melihat tampang Marissa yang ke"
capek"an, hati Wiliam sedikit tergerak.
"Ada kantin di dalam gedung," kata Wiliam perlahan.
"Kau bisa makan di sana."
Senyuman kembali menghiasi wajah Marissa. Ia me"
markir sepedanya dan berjalan ke arah kantin. Selama
menunggu Wiliam, wajah Marissa berseri-seri. Misinya
untuk menyatukan Papi dan Mami sudah berhasil, se"
karang tinggal melihat perkembangan selanjutnya.
Marissa menunggu dengan bosan. Jam dinding di
isi-7 hari.indd 78 kantin sudah menunjukkan pukul dua lewat sepuluh
menit, namun Wiliam belum selesai juga. Lima menit ke"
mudian, Wiliam baru keluar dari ruang les.
Marissa mengajaknya bergegas ke sepeda.
"Ada apa?" tanya Wiliam.
"Aku mau mengajakmu ke suatu tempat," kata Marissa
cepat. "Ke mana?" Wiliam protes. "Aku mau pulang!"
"Dengar, Wiliam," kata Marissa, sedikit mengancam.
"Aku kan sudah bilang bahwa aku lebih tua darimu se"
puluh tahun. Jadi, kau harus mengikuti perkataanku.
Pegang pinggangku erat-erat. Kita akan ngebut!"
"Hah, apa?" tanya Wiliam. "Arghhhh!!"
Marissa mengendarai sepedanya dengan cepat.
"Kak, pelan-pelan," kata Wiliam.
"Tidak bisa!" Marissa ngotot.
Rem sepeda mendecit. Tak jauh dari tempat mereka
ber"henti, sebuah rumah besar bercat cokelat berdiri te"
gak. "Sekarang kita mau apa?" tanya Wiliam, setelah ber"
hasil meredakan jantungnya yang berdegup kencang.
"Sekarang," kata Marissa, "kita menunggu."
"Menunggu apa?" tanya Wiliam penasaran.
Suara sepeda motor mendekati area rumah itu.
"Itu," tunjuk Marissa, sambil tersenyum.
"Kita ada di mana?" tanya Wiliam keras-keras.
"Sttt!" Marissa membawa sepedanya sedikit menjauh.
"Jangan berisik!"
"Kalau begitu, jawab dulu pertanyaanku," kata Wiliam
kesal. "Kita ada di mana?"
isi-7 hari.indd 79 "Itu rumah ibuku. Hari ini Papi akan datang untuk
meng"ajak Mami kencan."
Wiliam menutup matanya, mengambil napas, lalu
membukanya lagi. "Untuk apa kita ada di sini?"
"Tentu saja untuk melihat mereka," kata Marissa. "Aku
ingin memastikan kencan mereka berjalan lancar. Ah,
lihat! Mami sudah keluar menemui Papi. Ayo, Papi!
Kerahkan seluruh kemampuanmu. Ya, benar! Beri"kan
surat cinta itu kepada Mami!"
*** Ferry memberikan surat cinta di tangannya kepada Diana
dengan gugup. "Ini untukmu," katanya perlahan.
Diana membaca surat itu dengan sedikit rasa ingin
tahu. Ya, ampun! Ternyata selama ini Ferry menyukai"
nya, katanya dalam hati. Ia lalu memandang pemuda itu.
Dirinya dan Ferry memang sudah berteman sejak lama,
namun selama ini ia tidak tahu bahwa Ferry diam-diam
menyukainya. "Bagaimana menurutmu?" tanya Ferry perlahan. "Apa"
kah kau mau menerimaku?"
Diana menarik napas, dan melipat kertas di hadapan"
nya. "Kau tahu, selama ini aku selalu menganggapmu te"
man." Wajah Ferry langsung kecewa.
"Setelah melihat isi suratmu," lanjut Diana, "aku rasa,
aku ingin memberimu kesempatan."
isi-7 hari.indd 80 "Benarkah?" Ferry tersenyum bahagia.
Diana mengangguk. "Terima kasih," kata Ferry lagi. "Kau pasti tidak akan
menyesalinya." "Aku harap begitu," kata Diana.
"Jadi, sekarang kalau kuajak kau ke bioskop, kau
mau?" tanya Ferry penuh harap.
Diana tersenyum. Ia menatap wajah Ferry. Entah me"
ng"apa setiap kali melihat wajahnya yang penuh
senyuman itu, aku merasa nyaman, pikirnya.
Sementara itu, di dalam hati Ferry berteriak gembira.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun aku bisa kencan de"
ngan Diana. Hari ini adalah hari paling mem"bahagia"
kan seumur hidupku. *** Dari kejauhan, Marissa melihat Mami membonceng mo"
tor Papi. Ya, ampun" berhasil! Papi berhasil kencan dengan
Mami. Hooorreee!! Marissa tertawa lebar.
"Jangan pulang kemalaman!" teriak suara di belakang
mereka. Papi membalikkan badan dan tersenyum. "Ya, Oom!
Kami tidak akan pulang terlalu malam."
Papi dan Mami kemudian pergi.
Marissa turun dari sepeda. Tatapannya terfokus pada
pria yang ada di rumah itu, yang tadi menegur Papi.
"Wiliam, tolong pegang sepeda ini sebentar," kata
isi-7 hari.indd 81 Marissa. Wiliam buru-buru mengambil alih sepeda dari
tangan Marissa. "Ada apa?" tanya Wiliam bingung. "Kakak mau ke
mana?" Marissa tidak mengindahkan perkataan Wiliam, ia ber"
gegas ke rumah Mami. Semakin dekat langkah"nya, hati
Marissa semakin rindu. "Permisi, Oom," kata Marissa di depan pintu.
"Ya?" tanya sang pria. "Siapa, ya?"
"Saya Marissa," kata Marissa perlahan. Cucu kakek.
"Teman Diana." "Oh, teman Diana," katanya, sambil mengangguk.
"Diana baru saja pergi."
Marisa membuka pintu gerbang, lalu masuk. Tiba-tiba
dia memeluk pria di hadapannya.
Selama dua menit Marissa tidak melepaskan pelukan
itu. "Ehmm" ehmmmm," kata papa Diana, mencoba
menarik perhatian orang yang memeluknya. "Nak, sampai
kapan kau akan memeluk Oom?"
Marissa langsung melepaskan pelukannya. Matanya
berkaca-kaca. "Terima kasih."
Papa Diana memandang Marissa keheranan. "Mungkin
kau bisa menemui Diana di kampus hari Senin."
Marissa mengangguk. "Ya. Terima kasih, Oom! Saya
pergi dulu." "Ya," kata Papa Diana, masih setengah kebingungan.
"Hati-hati di jalan!"
Marissa tersenyum sekali lagi, dan bergegas pergi.
isi-7 hari.indd 82 Wiliam melihat Marissa berjalan kembali ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Wiliam. "Mengapa Kakak pergi ke
sana?" Marissa berhenti melangkah, lalu berjongkok. "Aku me"
meluk"nya," katanya perlahan, air mata mengalir mem"
basahi pipinya. Melihat Marissa menangis, Wiliam jadi cemas. "Kakak
kenapa?" tanyanya. "Aku baru saja memeluk kakekku!" kata Marissa. "Se"
tahu"ku, aku selalu memandang Kakek sebagai pria tua
yang beruban dan memakai gigi palsu. Kini, aku melihat
kewibawaannya. Kakek masih muda sekali."
Marissa menghapus air matanya setelah beberapa saat.
"Kakek meninggal tiga tahun yang lalu di rumah sakit.
Terkadang aku masih merindukannya. Aku cucu favorit"
nya, kau tahu" Kakek selalu memanjakanku."
"Kakak mendapat kesempatan bertemu dengannya
lagi," kata Wiliam. "Aku rasa Kakak cukup beruntung."
Seandainya aku juga bisa mendapat kesempatan ber"
temu dengan orangtuaku. Marissa berdiri. "Ya, kau benar."
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Wiliam akhirnya.
"Ya, ayo kita pulang," kata Marissa.
Wiliam menarik napas lega.
"Setelah itu, kita pergi ke bioskop," kata Marissa lagi.
"Apaaaa?" Nada suara Wiliam penuh protes.
*** isi-7 hari.indd 83 "Apa Kakak yakin memata-matai orang yang pacaran ide
yang bagus?" keluh Wiliam, yang sedang duduk di
samping Marissa di bangku bioskop. Wiliam sebenarnya
malas menemani Marissa ke bioskop. Apalagi di rumah
tadi Marissa memintanya berpakaian sedikit lebih resmi
dan memakai topi agar tampak lebih dewasa dari
umurnya. Yang juga menjengkelkan, tadi sebelum masuk
ke dalam gedung bioskop Marissa memintanya menunggu
sampai film telah diputar dan lampu-lampu dimatikan
agar Wiliam bisa masuk dengan mudah.
"Sstt!" Marissa menyuruh Wiliam diam. Sambil meng"
amati pasangan yang berada dua bangku di bawah mereka,
ia berkata, "Aku hanya ingin memastikan bahwa kencan
mereka lancar. Lagi pula, aku kan tidak memata-matai
orang lain. Mereka berdua adalah ayah dan ibuku di masa
depan. Jadi, pasti mereka tidak keberatan, kan?"
Wiliam mengomel. "Tentu saja mereka tidak keberatan.
Mereka kan tidak tahu Kakak ada di sini mengawasi."
"Sudahlah, Wiliam," kata Marissa. "Kau duduk saja
dan nikmati filmnya. Aku masih punya tugas."
Wiliam menggeleng, dan duduk diam memandang layar
bioskop. Pandangan Marissa tidak lepas dari kedua orang"
tuanya. Ia melihat Papi menawarkan minuman kepada
Mami, dan Mami menerimanya. Dari atas, Marissa ter"
senyum. Setelah lima belas menit, tangan Papi mencoba
merangkul pundak Mami. Tiba-tiba Mami menengok ke
arah Papi, dan Papi pun mengurungkan niatnya dengan
pura-pura menguap. Yah! seru Marissa kecewa. Gagal total deh usaha Papi
merangkul Mami. Ayo dong, Papi! Coba lagi!
isi-7 hari.indd 84 Setelah menunggu setengah jam dengan mata tak kenal
lelah mengamati keduanya, Marissa akhirnya menyerah
dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Yah, Papi kok
usahanya hanya segitu saja"
Tiba-tiba Marissa duduk tegak kembali. Tunggu"
tunggu" bukankah itu tangan Mami" Ya, ampun!
Tangan Mami menggenggam tangan Papi. Akhirnya,
mereka bersentuhan juga. Mami memang lebih berani
dan lebih hebat daripada Papi.
Marissa bertepuk tangan perlahan. Rencananya untuk
membuat keduanya bersatu sudah berhasil. Kini tinggal
memastikan saja bahwa hubungan mereka tetap lancar
seperti ini. Setelah senang melihat kedua orangtuanya berpegangan
tangan, barulah Marissa melihat ke arah layar bioskop. Ia
baru sadar ternyata film yang sedang dia tonton adalah
film horor. Ketika sang hantu berbaju putih memenuhi
layar, Marissa menjerit sekencang-kencangnya sambil
menggenggam tangan di sebelahnya dengan erat.
Teriakannya yang keras membuat semua orang meman"
dang ke arahnya. Termasuk kedua orangtuanya.
Ah, gawat! Marissa langsung merosot dari bangkunya,
dan jongkok untuk menghindari tatapan kedua orang"
tuanya. Beberapa saat dia menyembunyikan diri, sebelum
akhi"rnya berani kembali duduk di bangkunya.
"Kak," gerutu Wiliam kesal. "Sampai kapan Kakak me"
me"gangi jari tanganku" Bisa-bisa jariku patah semua
nih!" Marissa melepaskan cengkeramannya pada tangan
Wiliam. isi-7 hari.indd 85 "Maaf. Maaf," bisik Marissa.


Tujuh Hari Menembus Waktu Karya Charon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiliam cemberut. Ia mengusap-usap jari tangannya
yang tadi dicengkeram erat oleh Marissa. Marissa hanya
tersenyum kecil melihat tingkah Wiliam. Tatap"annya
kembali ke layar bioskop. Setelah menatap selama se"
puluh menit, Marissa mulai mengantuk, dan ia me"
nguap tanpa sadar. Tak berapa lama kemudian dia
tertidur pulas. Di sebelahnya Wiliam memperhatikannya
dengan kesal. Kok bisa-bisanya dia tertidur, padahal
beberapa menit yang lalu dia berteriak seperti orang
gila" *** "Dari mana kau tahu aku suka nonton film horor?" tanya
Diana berbisik ke telinga Ferry.
Ferry tersipu malu. "Kau menulisnya di buku kenangan
sewaktu SD." Diana terkejut, ternyata Ferry masih mengingat hal
yang sudah lama berlalu, dan perlahan-lahan hatinya
tersentuh. Melihat makanan di tangan Diana hampir habis, Ferry
berkata, "Kau mau lagi" Tunggu di sini ya, aku belikan
lagi." Ketika Ferry hendak beranjak dari kursi, Diana meng"
henti"kannya. "Tidak usah. Aku sudah kenyang."
Ferry kembali duduk. Diana menatap Ferry kembali. Dia sangat berbeda
dengan Jimmy. Saat aku kencan dengan Jimmy, dia
isi-7 hari.indd 86 hanya makan sendiri tanpa menawarkan makanannya
padaku, pikirnya. Dengan perlahan jemarinya menyentuh
tangan Ferry dan menggenggamnya. Diana mengarahkan
pandang"annya ke layar bioskop sambil berpikir sekali lagi
betapa pas genggaman tangan pria di sebelahnya.
Setelah Diana menggenggam tangannya untuk yang
kedua kalinya, Ferry benar-benar tidak bisa berkonsentrasi
karena jantungnya berdegup kencang.
*** Tusukan jari di lengan membuat Marissa terbangun. Dia
menatap Wiliam. "Ada apa?" tanyanya.
"Filmnya sudah habis," kata Wiliam.
Marissa langsung bangkit berdiri. "Apa" Filmnya sudah
selesai?" Matanya memandang seluruh ruangan yang
hampir kosong, lalu ia menatap bangku yang tadi di"
duduki Mami dan Papi. Bangku itu kini sudah kosong.
"Ke mana Mami dan Papi?" tanya Marissa lagi.
"Mereka sudah keluar dari tadi," kata Wiliam tenang.
"Aduh" aduh." Marissa panik dan berlari ke luar
bioskop. "Mengapa kau tidak membangunkan aku?" teriak"
nya ke arah Wiliam di belakangnya. "Apakah kau melihat
mereka" Bagaimana" Apakah kencan mereka oke" Mereka
pulang tidak bertengkar, kan?"
Wiliam mengangkat bahunya.
"Wiliam!" teriak Marissa tidak sabar. "Jawab pertanya"
anku!" "Mereka tidak terlihat bertengkar," kata Wiliam. "Se"
isi-7 hari.indd 87 lebih"nya aku tidak tahu, aku tidak memperhatikan. Lagi
pula, siapa yang seharusnya mengawasi mereka, aku atau
Kakak" Kakak malah ketiduran."
Marissa terdiam menahan malu. "Ya, deh. Maaf. Ya,
sudah. Kita pulang saja, sudah malam."
*** Dua jam kemudian, Marissa masuk ke kamar Wiliam.
"Wiliam," katanya, sambil masuk. "Kau sedang apa?"
"Aku akan nonton video Megaloman," kata Wiliam.
Marissa duduk di ranjang Wiliam, dan siap merebahkan
tubuh"nya saat Wiliam berkata keras, "Jangan ber"baring
di ranjangku!" tegurnya. "Nanti berantakan!"
Marissa cemberut, namun ia bangkit dari ranjang
Wiliam dan duduk di lantai. Karena bosan tidak ada
kerjaan, Marissa menemani Wiliam.
"Tolong Kakak masukkan kaset video ini, ya," kata
Wiliam. "Aku akan ambil makanan dulu."
Marissa mengamati gambar video di depannya. Seorang
superhero berbaju merah dan berambut keemasan.
Mungkin seperti ini superhero masa dulu, kata Marissa
dalam hati. Ia lalu memperhatikan video player di depan"
nya. Marissa me"nekan tombol power, lalu dia ke"
bingungan. Matanya men"cari-cari tombol open, namun
tidak menemukannya. Wiliam masuk kembali ke kamar,
dan Marissa langsung bertanya, "Wiliam, video player-mu
tidak ada tombol untuk membuka, ya?"
Wiliam bingung. "Tombol buka untuk apa?"
isi-7 hari.indd 88 "Untuk memasukkan kaset videonya!" kata Marissa
putus asa. Wiliam mengambil kaset video dari tangan Marissa. Dia
membungkuk di depan video player. Marissa mem"perhati"
kan Wiliam memasukkan video itu pada lubang segi empat
yang ada di sebelah kiri, lalu menekan kaset videonya.
Oh" rupanya cara memasukkannya seperti itu, kata
Marissa dalam hati. Wiliam menatap Marissa dan menyindir, "Katanya
Kakak dari masa depan, memasukkan kaset video saja
tidak bisa!" "Mana aku tahu"!" kata Marissa, tidak mau kalah. "Di
masaku kaset video sudah tidak ada lagi. Sudah diganti"
kan CD." "Hah" CD" Apa itu" Celana Dalam?" tanya Wiliam.
"Bukan. Compact Disc. Bentuknya bundar seperti
piring"an plastik," kata Marissa, menjelaskan.
"Ya, terserah apa kata Kakak sajalah. Sekarang jangan
ribut, filmnya sudah mulai!" kata Wiliam.
Menit-menit berikutnya, Marissa mengikuti petualangan
superhero berbaju merah bernama Takeshi, yang bisa
ber"ubah jadi raksasa dan rambutnya bisa mengeluarkan
api. Si Megaloman mengalahkan musuhnya dengan
memutar-mutarkan kepalanya dan mengarahkan rambut
apinya ke musuh. Marissa tertawa tertahan. "Apa jagoannya tidak pusing,
kepalanya berputar-putar terus seperti itu?"
Wiliam menatap dingin. Ia tidak rela Marissa menghina
pahlawannya. "Itu senjata andalan Megaloman, Megalo
Fire." isi-7 hari.indd 89 "Oke. Oke." Marissa tidak berkomentar lagi. Ia ke"
mudian melihat-lihat koleksi mainan Wiliam. Sebuah
mainan dari kayu yang berbentuk pipih bundar dengan
lubang di tengah berisi lilitan tali menarik perhatiannya.
Marissa penasaran, mainan apa lagi ini"
"Wiliam," panggilnya. "Mainan apa ini?"
Wiliam melihat sekilas ke arah Marissa. "Yoyo."
Marissa mencoba menarik tali yang melilit yoyo itu,
dan seketika itu juga yoyo jatuh melesat ke bawah,
mengenai salah satu mainan robot Wiliam. Mainan itu
bergoyang-goyang sebentar sebelum akhirnya jatuh ke
lantai. Lengan robot itu patah.
"Hei, kau" kau!" teriak Wiliam, sambil berlari ke arah
Marissa. "Robot Voltuskuuuuuuuu!"
Marissa memandang Wiliam dengan rasa bersalah.
"Wiliam, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak se"
ngaja." "Keluar!!" teriak Wiliam marah.
"Wiliam," kata Marissa, mencoba membujuknya lagi.
"Aku bilang keluar dari kamarku!" teriak Wiliam.
Marissa mundur dan keluar dari kamar Wiliam. Ia
benar-benar menyesal telah mematahkan mainan Wiliam,
walaupun sebetulnya dia tidak sengaja. Mengapa aku
tidak berhati-hati" Aku kan tahu Wiliam tidak suka
mainannya disentuh, apalagi jika sampai rusak.
Semalaman Marissa tidak bisa tidur memikirkan cara
untuk membujuk Wiliam supaya tidak marah lagi pada"
nya. Akhirnya, ia mendapat ide untuk melakukan sesuatu
bagi Wiliam. Marissa yakin, kalau niatnya tulus, Wiliam
pasti akan memaafkannya. isi-7 hari.indd 90 Suara barang jatuh di lantai bawah membuat Marissa
curiga. Ia bergegas turun dari tempat tidurnya dan mem"
buka pintu kamarnya dengan perlahan. Dilihatnya Tante
Sarah sedang berjalan menaiki tangga. Pandangannya
berhenti di depan pintu kamar Wiliam. Saat Tante Sarah
berjalan masuk ke kamar Wiliam, Marissa berjingkat
melangkah ke luar kamarnya. Apa yang dilakukan Tante
Sarah di kamar Wiliam malam-malam begini" pikir"nya
penasaran. Tante Sarah terdiam memandangi Wiliam selama be"
berapa saat. Desahan Wiliam membuatnya memandangi
wajah keponakannya itu. Ia melihat selimut keponakannya
jatuh ke lantai. Tante Sarah duduk di samping ranjang,
memungut selimut itu, kemudian menyelimuti Wiliam
kembali. Tante Sarah berusaha menghentikan isakan
tangisnya dengan menutup mulutnya. Di belakang pintu
yang terbuka, Marissa memperhatikan semua itu.
Selama beberapa saat Marissa melihat Tante Sarah me"
nangis tertahan. Setelah tangisnya mereda, tangan Tante
Api Di Bukit Menoreh 4 Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie Golok Kelembutan 5

Cari Blog Ini