Ceritasilat Novel Online

Negeri Van Orange 6

Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat Bagian 6


~476~ Sebenarnya Banjar enggan memilih pria berdarah Bavaria ini sebagai pembimbing tesisnya. Penyebabnya sepele, semester lalu Banjar sakit hati dibantai habis-habisan dalam suatu forum diskusi kelas. Malamnya, saat mengerjakan paper kelas itu, Banjar menulis selembar argumen yang mengkritik habis dalil-dalil sang Profesor. Terbakar oleh emosi, waktu yang dikonsumsi untuk menulis argumen dua kali lipat dari yang dibutuhkan untuk menulis paper. Cerita selanjutnya mudah ditebak, paper-nya jeblok, cuma dapat ponten 6,5. Sedang argumen tambahannya cuma diganjar satu kalimat: Thank you. Plus lambang smiley .
Yang tidak diduganya, peristiwa tersebut rupanya membuka mata sang Profesor yang melihat bakat alamiah pemuda asal Kalimantan itu sebagai seorang marketer piawai. Alhasil, semenjak musim semi menjelang, Banjar resmi dipinang menjadi murid Sang Nominator Nobel. Dan, debat-debat pedas antara keduanya terus berlanjut sehingga kadangkadang baru berakhir saat Banjar cukup mabuk oleh alkohol gratisan suguhan sang Profesor.
Dua puluh menit kemudian.
Sorry, I m late. I owe you some drinks. Let s go to Dudok, whiskey on me ....
~477~ Buset, dateng-dateng langsung ngajak minum, batin Banjar. Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah terlihat sedang menanti metro di Kralingse Zoom.
Sang Profesor rupanya hanya bercanda. Setibanya di Dudok, alih-alih memesan wiski, pria berjanggut lebat itu hanya memesan double espresso. Dan, begitu segelas espresso terhidang di hadapan masing-masing, sang Profesor segera membuka percakapan. Now you may talk ....
Dengan nada rendah macam hendak menceritakan sebuah aib, Banjar mulai menceritakan situasi gawat darurat yang barusan menimpa laptopnya.
Sang Profesor manggut-manggut mendengarkan. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda empati, simpati, atau roman sedih yang Banjar harapkan. Dengan tidak sabar berkali-kali ia memotong cerita untuk memaksa agar pemuda ini langsung ke pokok permasalahan. Maka, begitu Banjar selesai mengajukan permintaannya, von Braun yang sudah kebelet ngomong serta-merta mencerocos.
Iskandar, Unilever just came to me and talked about their plan to reformulate the branding strategy. Now, I would love to hear your opinion on the following situation ....
Edan! Sungguh tidak manusiawi! Bukannya ikut
~478~ memikirkan jalan keluar atas problem pelik yang menimpa anak didiknya, von Braun justru mengalihkan topik pembicaraan. Kesal sekali Banjar dibuatnya. Tanpa daya, ia terpaksa mengikuti jalannya permainan. Sebuah permainan yang biasanya berlangsung panjaaang dan laaamaaa ....
Benar saja, saat jarum jam di belakang meja bar menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh lima alias satu setengah jam kemudian, barulah von Braun puas mengorek isi kepala Banjar. Lalu, dengan santai ia menyelipkan selembar uang sepuluh euro di bawah cangkir espresso-nya. Tanpa basa-basi, ia berdiri dan hendak meninggalkan begitu saja Banjar yang kini menunjukkan wajah ekstra khawatir. Maar, Meneer, how about me" Do you accept my .... Ssshhh ssshhh! Iskandar, do as you wish ... but still, you need to hand in everything at least a month before the graduation, otherwise ..., potong von Braun sambil menepuk pundak Banjar.
And, you may get another glass of coffee if you want, lanjutnya sambil mengerling ke arah sepuluh euronya.
Seni negosiasi di atas rata-ratalah yang menyelamatkan Banjar dari bencana yang telah menimpanya. Ia kini sudah mengantongi izin
~479~ restrukturisasi utang bernama penjadwalan ulang waktu penyerahan proposal final tesis yang berarti sekaligus memundurkan waktu presentasi bab 1 sampai 4. Sambil bersiul-siul, Banjar berlari kecil menuju Stasiun Rotterdam Centraal. Malam ini adalah hari terakhirnya bekerja di Rijswijk. Rencana hari ini: ambil seluruh gaji sejak dua minggu terakhir, lalu memendam diri di vesthof.
Dengan berhenti bekerja di Rajawali Eet Huis, Banjar kini punya waktu dua minggu dengan model disiplin ala Spartan untuk mengulangi seluruh pekerjaannya yang habis ditelan kengadatan teknologi. Ini keputusan yang tepat untuk mencurahkan seluruh tenaga alam pikiran, karena kerja fisik yang dicampur kerja otak, yang ada otak akan kelelahan. Sebuah keputusan yang tepat dan tinggal dinanti hasilnya.
H+1, hari pertama setelah izin restrukturisasi utang turun.
Hari pertamanya diisi dengan membaca ulang delapan belas metode penyembuhan hard disk yang sekarat. Ia masih berharap ada sedikit keajaiban yang memungkinkannya terhindar dari petaka menulis ulang semua file yang lenyap dalam rimba kegelapan. Sejak pagi, ia sudah sibuk menggotong-gotong dua
~480~ CPU lengkap dengan monitor CRT 15 inci milik landlord dan anaknya ke Lantai 3. Dua komputer dari zaman antah-berantah tersebut langsung diparalelkan ke laptop canggih miliknya. Matanya jelalatan sebentar membiasakan diri dengan operation system jebot yang kali terakhir disentuh saat masih sibuk mengejar Miana, mahasiswi UNPAD sang penari Jaipong profesional. Setelah agak tune in, mulailah ia menjalankan metode pertama.
Metode pertama bubar jalan setelah lima menit. Tanpa membuang waktu, segera ia berpindah ke teori kedua. Sama saja, gagal total. Loncat ke teori tiga. Hasilnya masih sebelas-dua belas.
Empat jam tak terasa berlalu. Dengan muka kusut tak keruan, sampailah Banjar ke metode kedua belas. Meski sudah menjalankan plek-plek seperti yang tertulis di teori, hasilnya sami mawon: gagal total. Menit berikutnya, ia malah sibuk menyelamatkan system CPU jebot yang ikut-ikutan tinggal landas menuju alam baka.
Tinggal tiga belas hari yang tersisa. Tepat pukul 10.00 malam, Banjar menyerah. Satu hari telah terbuang percuma. Diempaskannya tubuh letihnya ke kasur dan menarik selimut. Dua menit berikutnya yang terdengar hanya tenggorokan kering yang
~481~ menimbulkan gempa berskala empat richter setiap kali napas berembus. Dalam tidurnya, Banjar bermimpi bertemu dengan seorang dewi berpakaian transparan menerawang tersenyum manis menghampirinya dengan gerakan gemulai. Di dadanya tersemat badge bertuliskan: Microsoft Solution Engineer .
Lintang kembali memelototi layar Macbook. Rasanya ia sudah berusaha semaksimal mungkin merancang bab analisis dalam tesisnya, tapi tetap saja dosen pembimbingnya mengeluarkan komentar yang sama, I know you can do better, Lintang! Review your notes one more time! Selalu dengan senyum puas dirinya itu.
Bah! Dia nggak tahu apa kalau gue udah jadi zombie begadang tiap malam mikirin bab terakhir ini!! batin Lintang.
Memang, sih, beberapa minggu terakhir ini dia kurang maksimal menenggelamkan dirinya dalam pembuatan tesis. Habis, banyak banget ajakan yang nggak mungkin gue tolak! pikirnya menjustifikasi diri. Seperti ajakan menghadiri acara red carpet pemutaran perdana film Hollywood di Theater Tuschinski dengan Wicak. Kan, pengalaman sekali seumur
~482~ hidup! Terus, pas sudah lama banget nggak olahraga, eh kebetulan diajak ke klub salsa sama Banjar. Gimana, dong" Walhasil ia terpaksa begadang setiap malam mengejar tenggat waktu bab terakhir tesisnya. Untung Arbenita dengan baik hati mengantar jemput buku-buku perpustakaan yang sudah dipesan online. Dengan begitu, waktu Lintang tidak terbuang harus bersepeda bolak-balik ke perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Leiden yang letaknya cukup jauh. Kenapa perpustakaan hukum" Yah, kebetulan mayoritas buku-buku yang diperlukan Lintang mengenai kebijakan-kebijakan Uni Eropa memang adanya di perpustakaan tersebut.
Lintang melirik jam digital di atas layar Macbook. 2.45 am. Gila, hampir pukul tiga pagi. Padahal besok pagi pukul sepuluh bab ini sudah harus diserahkan kembali kepada pembimbing tesisnya, Meneer Aaron Penders. Dosen yang sesungguhnya baik hati, tapi memiliki tuntutan tinggi. Dengan mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa, Lintang membuka kembali kamus kompilasi kebijakan EU tebal di hadapannya, dan membaca kembali halaman-halaman khusus yang sudah ia
~483~ tandai dengan kertas kecil post-it berisikan catatan pribadinya.
Malam ini Lintang berusaha fokus total. Acara marah-marahnya dengan Aagaban beberapa waktu lalu ternyata berbuah hikmah tersendiri. Tak ada lagi ajakan jalan-jalan yang menyita waktunya. Yahoo Messenger sengaja ia matikan. Begitu juga acara blogging dan komentar-komentar iseng di Multiply, Facebook, Friendster, dan halaman-halaman sosialisasi lainnya terpaksa absen sementara. Lintang tenggelam dalam dunia akademisnya sendiri, dan internet hanya dipergunakan sebatas membuka situs web perpustakaan online, browsing artikel di google scholar, dan sesekali periksa surel.
Ah, ya, surel! Apa cek inbox dulu ya .... Pikiran Lintang mulai menerawang. Ia membuka inbox di Yahoo Mail. Ada sekitar selusin surel yang belum dibuka, semua dari Banjar, Wicak, dan Daus. Ia mencoba membuka satu, terdorong rasa penasaran. Lintang ke mana aja kok nggak pernah kelihatan online lagi" Masih butuh bantuan buat tesis nggak" Chatting lagi dong .... Banjar
~484~ Lintang menghela napas. Dari tiga belas surel yang diterima, tak satu pun dari Geri. Kalau sekadar ajakan basi one-on-one dari tiga makhluk itu sih, pikirnya, gue masih males!
Lintang kembali menutup layar Yahoo, dan membuka kembali jurnal online. Back to work .... Bermodal komputer jebot satu-satunya yang selamat, Banjar rela-nggak-rela kembali mengulang tahapan demi tahapan master proposal yang sebenarnya telah rapi disusunnya sejak awal summer. Kesabaran pemuda ini diuji total. Bukan hanya oleh kewajiban membaca ulang timbunan materi berupa jurnal, buku, dan tesis pendahulu yang sudah dikopinya baik-baik, melainkan juga oleh kelambanan otak komputer renta yang masih menyisakan label Y2K Ready di casing-nya. Kala kepalanya panas oleh emosi yang memuncak akibat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyimpan sebuah file Excel penuh tabel dan grafik, ia kerap berpikir untuk melempar CPU itu keluar lewat jendela mungilnya.
Pada hari keenam, Banjar semakin terbiasa dengan kinerja prosesor yang diproduksi di penghujung abad ke-20. Bila selama ini ia senantiasa bekerja dengan multiwindows, kini ia rela hanya membuka
~485~ maksimal tiga windows. Window pertama adalah browser yang secara reguler berpindah-pindah url: surel, googling, lalu blog dan derivat-derivatnya 3 . Browser kedua adalah program pengolah kata. Dan, yang terakhir, pengolah angka.
Secara disiplin, Banjar menjalankan ritual tersebut demi mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkannya. Secara reguler pula berbagai data disimpan secara online ke berbagai alamat surel yang dibuat khusus untuk keperluan tersebut. Hampir seluruh data kini telah rapi terkumpul. Nama-nama file beserta alamat surel tempat back-up tersimpan lalu disalinnya di sebuah log book yang selalu rapi disimpan kembali di bawah bantal setiap malam usai bekerja. Sebuah mahatesis sedang disusun ulang oleh Begawan Marketing.
Puas dengan hasil yang dicapai selama tiga jam terakhir, akhirnya ia memutuskan rehat sejenak. Sebelum menutup spreadsheet, Banjar dengan teliti mengecek ulang berbagai rumus statistik yang seharian telah dipersiapkannya. Sebenarnya, statistik adalah musuh ketiganya setelah Goz dan van Braun. Bagi Banjar, statistik hanyalah pohon cincau yang tumbuh menjadi pagar tinggi yang membentengi kreativitas. Namun, von Braun bersikeras akan
~486~ pentingnya survei kuantitatif untuk menguji formula pemasaran baru yang jadi isi tesisnya. Untuk itulah, ia butuh jasa statistik.
Setelah yakin dengan rumus-rumusnya, ia bergegas turun ke dapur. Dihidupkannya mesin senseo, lalu ia mencomot dua kantong roasted coffee dari atas bufet. Sembari menunggu mesin berkelir biru muda itu mengucurkan kopi Douwe Egbert yang sakti menendang rasa kantuk jauh-jauh, pikirannya kembali menerawang. Kata-kata mutiara survei kuantitatif betul-betul mengusik batin yang sudah gundah gulana. Soal membuat survei, sih, gampang. Masalahnya, calon respondennya berada belasan ribu kilometer jauhnya di berbagai kota besar di tanah Nusantara. Tiga menit kemudian, keran senseo telah berhenti memasok cairan hitam berbau harum. Kini dirinya telah mantap pada keputusannya. Ia butuh seorang pembantu! Tepatnya seorang assistant researcher.
Empat puluh dua surel lamaran mengisi surel Banjar. Semalam ia menyebar surel berisi tawaran sebagai assistant researcher dengan gaji lumayan menggiurkan bagi kantong mahasiswa. Kerja fulltime satu minggu diganjar tiga juta rupiah bersih
~487~ bebas pajak. Hanya dalam tempo dua puluh menit, lima orang berstatus mahasiswa telah merespons tawarannya.
Chica Retno Wulandari ... hihihi, manis juga anaknya. Ya ampun, baru sembilan belas tahun. Bekas ketua OSIS di Jombang! Pengalaman: Anggota Paskibra! Huahahaha. Banjar tergelak-gelak sendiri membaca resume seorang mahasiswi yang mengirimkan lamaran kepadanya. Setelah dua puluh berkas lamaran berlalu, Banjar mulai nervous. Belum muncul satu nama pun yang cukup kompeten untuk mengemban tugas mahaberat menyangkut masa depan gelar masternya.
Eine biertje alstublieft! serunya kepada waiter. Tak lama kemudian, waiter berwajah masam itu telah kembali dengan segelas bir dingin di nampan.
Singkat cerita, setelah melalui proses screening ketat, terpilihlah seorang mahasiswa FE UGM Jurusan Manajemen Pemasaran. Namanya Farida. Panggilannya Fari. Bukan Ida. Dan gadis Ungaran itu punya segudang pengalaman yang cocok dengan kriteria tuntutan Banjar. Tambahan lagi, track record lulusan Yogyakarta yang dikenal pekerja ulet membuat lelaki ini mantap pada pilihannya.
~488~ Jam biologis Wicak sudah berubah total. Lelaki kurus tinggi itu kini menjadikan semburat matahari pagi sebagai tanda untuk tidur. Ritual tidur akan dilahapnya hingga siang (dan bahkan sore) menjelang. Kesibukannya kembali dimulai pukul 10.00 malam dan terus berulang. Andai serum ajaib memang ada, Wicak pasti sudah memilih menjadi titisan Dewa Kalong, atau lebih parah lagi, menggantikan Robin sebagai partner setia Batman.
Berbeda dengan penulisan skripsi di saat S-1, penulisan tesisnya kali ini benar-benar menguras pemikiran dan tenaganya. Idealisme plus pengalamannya selama ini ternyata sangat berpengaruh terhadap topik penebangan liar yang ia tulis. Tidak muluk-muluk, tapi Wicak berharap, apa yang ditulisnya bisa menjadi salah satu acuan informasi yang komprehensif bagi semua orang yang ingin mengetahui kondisi kehutanan, khususnya penebangan ilegal yang selama ini terjadi di Indonesia.
Data yang sudah ia kumpulkan tiga tahun yang lalu menjadi bahan berharga bagi tesisnya sekarang. Sang supervisor pun begitu terkagum-kagum dengan kelengkapan data yang Wicak sodorkan di hadapannya. Ia bahkan menawarkan Wicak untuk
~489~ menulis di jurnal ilmiah internasional berdasarkan tesis yang ia tulis ini.
Pikirannya tiba-tiba melayang ke sosok Pak Wiro di Kalimantan sana. Ia merasa semua hal yang akan ia terima jika semua ini berakhir, mulai dari gelar sampai publikasi ilmiah, adalah milik Pak Wiro. Tanpanya, ia tak mungkin bisa mendapat semua informasi berharga ini. Ia merasa tak pantas untuk mendapatkan semua itu. Pak Wiro bahkan tidak tahu ada di mana ia saat ini. Yang Pak Wiro tahu, Wicak sudah tidak bergabung dengan tim penebang itu. Atau, ia mungkin menganggap Wicak sudah mati.
Perlahan, jemarinya menggenggam mouse laptop kesayangannya dan membawanya pada icon Yahoo Messenger yang sejak tadi ia matikan. Tampak beberapa offline messages dari sahabat-sahabatnya di Indonesia, juga dari Ucup, sahabat sependeritaannya yang saat ini kelihatan bahagia lahir batin di Spanyol. Tidak ada satu pun yang berasal dari Aagaban, bahkan Lintang. Mereka pun tampak offline. Atau invisible"
Wicak membuka sebuah jendela di laptopnya dan mengetikan kata: Hai, lagi ngapain" Sejenak ia berpikir sebelum memencet tombol send. Tiba-tiba
~490~ ia mengurungkan niatnya. Lintang pasti sedang sibuk, pikirnya. Ia bahkan tak tahu apa yang harus ia bicarakan kepada Lintang pada saat-saat seperti ini. Wicak pun mematikan YM-nya dan kembali tenggelam pada buku-buku yang ada di hadapannya. Banjar termenung melamun di salah satu ruang komputer yang berada di T Building. Matanya menatap lurus bangunan Hogeschool Rotterdam yang berdiri tegak di seberang kompleks kampus Erasmus. Tangannya memain-memainkan mouse, tetapi matanya tidak menuju arah LCD.
Tadi pagi ia menerima sepucuk surel dari Farida, asistennya yang baru dilantik. Di surelnya, ia menulis tentang kemajuan pesat yang dicapai dalam kurun waktu dua hari terakhir. Dalam tempo sesingkat itu, sudah 78 kuesioner yang masuk lengkap dengan jawabannya. Keseluruhan kuesioner pun telah direkap dan dimasukkan ke perhitungan yang disiapkan Banjar. Perkembangan menggembirakan tersebut sangat melegakan hati Banjar. Ia kini punya sedikit waktu luang yang bisa dimanfaatkan. Dan, hal pertama yang ada dalam pikiran Banjar adalah memacu sepeda Raleigh tuanya ke kampus. Kerinduannya pada komputer mahacepat sudah tak
~491~ tertahankan. Dan, hanya di kampus ia bisa menuntaskan hasrat itu secara gratis.
Setibanya di ruang komputer, Banjar mendapati ruangan itu kosong. Tak biasanya tempat berpenyejuk ruangan dengan cat putih dan tempelan pengumuman ini-itu tersebut steril dari spesies Homo sapiens. Biasanya tempat itu padat oleh mereka yang duduk tenang dengan jemari di atas keyboard menumpahkan keruwetan informasi dan pengetahuan di labirin-labirin otak mereka. Namun, ia tak terlalu menghiraukan suasana tak lazim tersebut. Banjar melangkah cepat ke sebuah meja, lalu menghidupkan sebuah komputer. Matanya berbinar-binar mengikuti kecepatan booting prosesor dual core saat komputer mulai bekerja. Ketakjubannya sepadan dengan perasaan kagum dan sirik seorang anak kecil yang biasa main ATARI lalu disuguhi PS3 di rumah tetangga sebelah.
Puas memacu habis-habisan sang prosesor supercepat, konsentrasi Banjar perlahan buyar. Pikirannya melayang tak keruan ke sana kemari. Ketika ia melamun memandangi bangunan di seberang, tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk pada bayangan kecil lelaki supergendut berkepala pirang yang sedang berdiri nun jauh di muka kelas.
~492~ Rupa wajahnya membuat Banjar teringat pada sesosok pria asal Malmo, Swedia, yang ditemuinya dua tahun silam di Negeri Jiran tetangga tercinta. Pria yang lucunya bernama Coffee, dan lebih lucu lagi (kenapa baru ingat sekaraaang, Banjaaar"!"! umpatnya dalam hati) berprofesi sebagai Solution Engineer untuk ... Dell! Pabrik sama yang menelurkan laptopnya!!
Tesis, jika disimak lebih jauh, akan menjadi tafsir berbeda untuk banyak kalangan. Ada yang menganggapnya sebuah kewajiban yang sulit. A pain in the ass, which you have to get rid of it very quickly. Ini mungkin bagi mereka yang terpaksa kuliah karena berbagai alasan tidak dari hati. Untuk mensupport kenaikan jenjang karier misalnya, atau dipaksa calon mertua, kalau tidak mempunyai gelar master maka jangan harap bisa melamar.
Makna tesis jauh berbeda untuk Daus. Hilangkan dulu segala faktor gangguan. Lalu, lihat isi lubuk hati Daus. Kecintaannya kepada ilmu hukum, dan citacitanya yang mulia itu membuatnya memandang tesis sebagai suatu mahakarya yang harus diukir dengan teliti dan sungguh-sungguh. Kalau sudah teringat itu, tidak perlu lagi ia digentayangi oleh
~493~ bayangan engkongnya yang murka, setiap Daus pelesir ngacir dari kuliah. Daus cukup diingatkan oleh mimpinya dan ia bermetamorfosis menjadi sosok peneliti akademik yang tekun.
Seperti malam ini, tepat setelah ia menutup pembicaraan telepon dengan Lintang yang sabar meladeni curhatannya. Lintang memberi inspirasi kepada Daus akan makna keberadaannya di negeri ini. Tinggal beberapa saat lagi. Goal terakhirnya adalah lulus. Meraih gelar dan pulang menyandang titel LLM, gelar master bidang hukum. Yang bakal membuatnya merasa setara dengan alumni-alumni lain fakultas hukum almamaternya, yang bergelut di bidang praktisi hukum.
Daus khusyuk sekali mengetik, sesekali meraih note tulisan tangan yang tersebar di mejanya. Semuanya rangkuman berbagai buku yang ia baca selama berpuluh-puluh hari mengubrak-abrik lima lantai teratas Perpustakaan Hukum Utrecht. Upaya pengejaran Daus akan riset membuatnya sampai pada sisi terdalam, terkelam, bahkan mungkin spooky dari perpustakaan itu.
Jika dalam men-download lalu menge-print jurnal yang sudah terdokumentasi canggih dalam bank data digital macam Lexis Nexis, Westlaw, atau JSTOR,
~494~ Daus mendapat pertolongan nge-print gratis dari mahasiswa-mahasiswa Ph.D. kenalannya, maka sang Profesor pembimbinglah yang memiliki andil dalam akses buku eksklusif fresh from the oven. Sesuatu yang tidak bisa ditembus dengan sekadar berbaik sikap kepada sekretaris lembaga riset fakultas, yang membuat Daus bisa mengakses lebih awal bukubuku yang seharusnya dibaca dulu oleh peneliti internal kampus.
Kepala jurusan bisa membaca kepiawaian Daus dalam ngulik soal riset sehingga Daus dirujuk ke seorang profesor nyentrik yang memang salah seorang pakar terkemuka kelas dunia dalam bidang yang menjadi topik penelitian Daus. Sang Profesor sepuh itu dengan baik hati memberikan akses kepada Daus untuk ikut mengubrak-abrik perpustakaan pribadinya, yang memang terlengkap dan cukup spesifik di bidang itu.
Bukan Daus juga kalau hanya menjadi library crawler, ia melenggang jauh ke berbagai forum konferensi hukum internasional. Modal nekat berbekal status mahasiswa Fakultas Hukum Utrecht yang cukup ternama di Eropa (nomor 1 di Belanda, nomor 5 di Eropa, nomor 40 sedunia) plus dosendosen yang merupakan praktisi HAM internasional
~495~ terpandang membuatnya dengan mudah mendapat akses harga murah untuk ikut konferensi tingkat dunia, dan membawa pulang bahan-bahan internasional terbaru, baik dalam bentuk dokumen maupun hasil diskusi tatap muka in-depth dengan praktisinya langsung.
Di konferensi internasional Human Rights Law yang diselenggarakan di Luxembourg, misalnya. Saat membahasan pelanggaran HAM di Timor Leste, Daus sadar ia satu-satunya orang Indonesia di forum itu. Sang mahasiswa tingkat doktoral di meja penyaji makalah adalah orang Swiss yang bahkan belum pernah ke Indonesia, dengan data internet saja ia membahas. Alhasil, Daus ikut angkat bicara menjelaskan persoalan hukum pidana Indonesia yang berlaku di Timor Leste. Pengetahuannya akan hukum pidana Indonesia menjadikannya sumber authoritative yang diakui dengan manggut-manggut oleh peserta lainnya.
Budaya akademik bangsa Eropa memang sangat membantu memudahkan riset, saat break minum kopi dari sebuah seminar saja, Daus dapat berdiskusi dengan profesor yang baru selesai menyajikan makalah, menceritakan topik penelitiannya, lalu dengan spirit sesama kolega dalam meneliti ilmu,
~496~ dengan mudah bertukar surel, dilanjutkan dengan korespondensi akan dikirimkan bahan-bahan terbaru yang dapat menunjang penelitiannya. Saling membantu. Sharing knowledge.
Malam makin larut, tapi mata Daus tetap melotot seratus watt. Hanya Daus, Microsoft Word, dan Acrobat Reader di laptopnya. Yahoo Messenger kali ini offline.
Ribuan mil dari Kota Utrecht
Banjar mantap dengan keputusannya; bermain kartu remi melawan sang takdir. Mencari Coffee di dunia maya terbukti tidak terlalu sulit. Sesuai dugaannya, makhluk itu ternyata memiliki halaman pribadi di Facebook, seperti jutaan orang lain di dunia yang tersambung via networking websites. Banjar segera mengirim sebuah pesan SOS meminta waktu bertemu. Sore kemarin, sesaat setelah pesan SOS-nya mendapat tanggapan hangat dari Coffee, tanpa membuang waktu ia langsung mencari tiket penerbangan ke Gothenburg, tempat Coffee kini bermukim. Sebuah permainan judi yang sungguh mahal. Karena selain harus membayar tiket pesawat, Banjar juga harus membayar tiket kereta yang sama
~497~ sekali tidak murah menuju D"sseldorf, satu-satunya kota terdekat dari Belanda yang memiliki penerbangan langsung ke Gothenburg.
Waktu baru menunjukkan pukul 10.50 saat Boeing 737-800 Ryan Air mendarat dengan mulus di G"tenborg Saeve Airport. Cuaca cerah memayungi langit seolah menyambut Banjar yang baru untuk kali pertama menginjakkan kaki di negara berbendera salib kuning dengan warna biru sebagai dasar. Inilah kota terbesar kedua di Swedia yang terkenal dengan reputasinya sebagai kota pelajar dan kota kelahiran mobil jatah menteri era Orde Baru dulu.
Your city is so lovely, Coff! But I thought you live in Malmo.
Coffee tersenyum mendengar pujian Banjar. I was born in Malmo, but my wife fell in love with this city. I can t complain though.
Sedan hitam berpenumpang dua orang melaju di atas aspal mulus. Gerbang kota mulai kelihatan di kejauhan. Sajian pemandangan nan indah di kirikanan jalan membuat mata Banjar teduh. So what s on earth brought you to the Netherlands" Long story, Coff, jawab Banjar seraya menghela napas.
~498~ Hahaha ... I know! Damn, I know! It s a girl, right" Hahaha ....
You know me better than I thought.
Memasuki jantung kota, Coffee menurunkan persneling ke gigi dua. Lalu lintas mulai terasa padat menjelang Centralstationen. Selepas melintasi Nordstan, sebuah area shopping terkenal yang letaknya berdampingan dengan Centralstationen, tibalah mereka di Linn"gatan. Kepadatan kendaraan mulai berkurang di sini. Mulut Coffee tak hentihentinya menggerutu menggumamkan kata-kata omelan. Ia mengeluhkan betapa panasnya pagi itu.
Sepuluh menit kemudian, Coffee menggerakkan kemudi ke arah kanan untuk menepikan kendaraannya. Setelah membayar parkir di mesin otomatis, ia mengajak Banjar menuju sebuah kafe kecil bernama Ethels. Tempat ini kondang dengan sajian menu sandwich rumahan nan lezat dan aneka sup yang menghangatkan perut.
Melihat tamu yang datang, Bianca, sang waiter berambut pirang berusia sekitar 25-an tahun segera berdiri menyambut. Dari keakraban Bianca dan Coffee, Banjar maklum bila kawannya itu adalah pelanggan setia Ethels. Saat keduanya masih bercakap-cakap, Banjar mempelajari deretan menu
~499~ yang tertulis rapi dengan kapur berwarna-warni pada papan tulis di belakang etalase. Lantunan desah suara Maia Hirasawa, biduan Swedia berdarah Jepang, mengalun merdu dari stereo system kafe.
Now, let me check your computer.
Brunch Coffee telah ludes sejak dua puluh menit yang lalu. Sebuah menu brunch yang cukup untuk memberi makan empat mahasiswa kelaparan sekaligus. Dua sandwich ala panini sepanjang 25 sentimeter yang penuh dengan daging babi asap, irisan bawang bombai, dan saus berwarna jingga yang tajam baunya. Coffee menutup santapannya dengan semangkuk sup krim.
Gee, what did you do with your machine" Something had scrumbled your physical hard drive" Coffee bertanya kepada Banjar dari balik monitor. Kedua pipi gendut itu terlihat kocak menyembul hingga sebatas dagu.
What" Did I do it" Cool, eh" But ... nothing, I did nothing, sahut Banjar dari seberang meja sambil mengangkat kedua bahunya.
This is ..., raut wajah Coffee mengernyit. .... Banjar kebingungan.
This is ..., Coffee mengulangi lagi. This is ....
~500~ This is a computer! A good and expensive computer! Yes Coffee, you are so damn smart! Banjar kehabisan kesabaran.
Hahahahahaha ... this is piece of cake!
REALLY!"!" Banjar lega luar biasa mendengar hipotesis sementara Coffee.
Yes! Your hard drive had transformed into a piece of cake!
Mendengar lanjutan kalimatnya, semangat 45 Banjar sontak luruh. Siapa yang tidak terkejut mendengar hard disk-nya yang berisi data-data mahapenting sudah berubah menjadi sepotong kue" Meski kuenya bikang ambon sekalipun. Banjar mulai yakin telah menghambur-hamburkan uang gajian restorannya sia-sia.
Okay. What kind of cake, Coff" Chocolate cake, cheese cake"
I should say that I admire your sense of humor, my friend.
Bersamaan dengan itu, Coffee menyerahkan laptop kepada Banjar setelah terlebih dulu mencopot kabel konektor yang tersambung ke PDA-nya. Begitu melirik ke layar monitor, terkejutlah ia setengah mati. Mulutnya memuji-muji betapa cantiknya sebuah laptop yang sedang booting sepanjang hidupnya.
~501~ Seperempat menit kemudian, icon muncul berhamburan di desktop. Jumlah dan urutannya sama persis seperti detik sebelum kematiannya. Jantung Banjar berdegup kencang tatkala bergerak cepat menulis kalimat master_tesis di jendela pencari. Kurang dari sedetik berhamburan sederetan data bernomor urut 01 hingga 11. Sang masterpiece yang hilang telah kembali dengan selamat! Komputernya sehat walafiat! Tak sadar, bibirnya bergetar menyebut nama Tuhan Semesta Alam, memuji karunia-Nya yang dilimpahkan melalui makhluk gembul di hadapannya. Banjar memejamkan mata. Tubuhnya terasa ringan. Semua impitan beban yang sebelumnya begitu berat dipanggul pundaknya telah lenyap. Begitu ia membuka matanya, dengan takzim Banjar segera berdiri dan menjabat erat tangan Coffee. Ia tetap terlalu paranoid untuk memeluk seorang pria.
1 Mes PT KAI, tersebar di beberapa lokasi termasuk salah
satunya di Stasiun Kota. 2 Mangga Besar. Kawasan hiburan malam tersohor. 3 Multiply, Facebook, plus Friendster.
~502~ Gefeliciteerd! [Selamat!] Wicak mematut-matut dirinya di cermin. Ikat kepala khas Bali yang ia pinjam dari Pak Ketut, salah seorang mahasiswa Indonesia di Wageningen, plus kain Bali yang beraneka warna membalut tubuhnya. Tadinya ia berencana hanya mengenakan batik pada upacara wisuda ini, tapi surat dari sekretaris kampus yang meminta mereka, para mahasiwa non-Belanda, mengenakan baju tradisional masing-masing membuatnya berubah pikiran.
I am going to wear my traditional suit. Trust me, you will be amazed when you see mine, kata Tefera teman sekelasnya yang berasal dari Etiopia.
And I m going to wear my saree, sahut Drupadi yang berasal dari India, tak mau kalah.
I will take my batik, kata Hexy yang berasal dari Ghana.
Heh, batik" Batik is from Indonesia! seru Wicak. Noo, it s our batik. I know your batik, but our batik is different, kata Hexy berusaha menjelaskan kepada
~503~ mereka semua yang berkumpul di ruangan Helena, sang sekretaris.
How about you, Wicak" I ve seen the Indonesian traditional suit, batik. But I want to see a different thing. Do you have it" tanya Helena sambil menunjuk pada peta Bali yang ada di ruangannya.
Hmmm ... I think I will wear Balinese s traditional suit, sahut Wicak tanpa berpikir panjang.
Alhasil, ia pun bersusah payah mencari baju tradisional Bali ke semua orang Indonesia yang ada di Wageningen. Beruntung ia tak harus menghubungi KBRI dan meminjam koleksi baju tradisional Indonesia yang memang tersedia lengkap di sana.
Berbalut jaket tebal, Wicak pun mengayuh sepedanya menuju aula wisuda. Mau tak mau, ia harus menarik tinggi-tinggi kain Bali-nya agar mudah mengayuh. Di perjalanan, ia berpikir semua proses yang membawanya ke tempat ini. Kayu-kayu yang diselundupkan para cukong tak bertanggung jawab, nyawanya hampir terancam, dan usaha pelariannya hingga ke kantor pusat di Belanda. Ia bahkan tidak pernah bermimpi bisa berkuliah di luar negeri, ke Belanda pula. Semua yang ia jalani selama ini hampir berakhir. Namun, ia sadar bahwa ini
~504~ bukan akhir dari segalanya. Justru inilah awal dari perjuangannya. Perjuangan atas idealismenya selama ini.
Di aula, Wicak terkaget-kaget dengan keramaian yang ada. Semua orang mengenakan baju khas negara masing-masing. Beraneka warna dan rupa semua tampak unik dengan ciri khas masing-masing. Mahasiswa Meksiko dengan bangga mengenakan topi sombrero yang luar biasa lebar. Para mahasiswi dari Vietnam terlihat sangat cantik dengan baju tradisional yang menampilkan lekuk tubuh mereka. Beberapa bahkan menggunakan kain yang tembus pandang. Benar-benar pemandangan yang membuat Wicak berseri-seri. Takeshi, teman sekelasnya yang berasal dari Jepang, bahkan membawa replika samurai dengan rambut diikat mirip Musashi. Berbeda dengan wisuda di kampus lain di belahan dunia, wisuda kali ini memang lebih mirip karnaval.
Tidak sia-sia ia bersusah payah mendandani dirinya dengan baju Bali. Wicak menjadi sasaran foto bareng semua temannya, baik yang kenal maupun yang tidak. Bahkan, ia secara khusus diminta fotografer majalah kampus untuk berpose di depan baliho besar bertuliskan University of Wageningen. Begini kali yah, rasanya jadi Nicholas Saputra" gumam
~505~ Wicak dalam hati. Berasa artis. Walaupun, percayalah, pada kenyataannya ia lebih seperti badut Dufan yang diminta berfoto bersama anak-anak kecil yang mengagumi penampilannya. Ramai dan full color. Merah, kuning, emas, hijau, ungu, biru melapisi kulitnya yang hitam. Kebayang, kan"!
Walaupun meriah, wisuda tetap berlangsung dengan khidmat. Ketika rombongan wisudawan memasuki ruangan aula, gema lagu khas wisuda, Pomp and Circumstances , membahana mengiringi kedatangan mereka. Tiba-tiba ia merinding dan terharu. Ia ingat ayah dan ibunya di Indonesia. Wicak melepas pandangan ke tribun atas, tempat beberapa temannya yang tidak diwisuda berdiri dan melambai-lambaikan tangan. Pandangannya dilepas ke semua sudut, tapi tak ada yang dicarinya. Ia merasa sedih, tidak ada Aagaban di sana, terutama Lintang.
Wicak Adi Gumelar .... Terperanjat, Wicak mendengar namanya dipanggil. Riuh rendah dan suitan sangat keras dari podium atas mengiringi langkahnya ke depan. Sangat betul, jika kita berpikir bahwa hanya mahasiswa Indonesia yang bisa menimbulkan kemeriahan seperti itu. Sekali lagi, Wicak kembali berasa artis yang
~506~ memenangkan Piala Citra. Perlahan ia mendatangi sang direktur program yang menunggunya menandatangani kertas ijazah. Berbasa-basi sebentar, sang Dosen pun bercerita tentang sepak terjang Wicak di Indonesia dalam kasus illegal logging kepada semua orang yang ada di aula. Tepuk tangan pun kembali bergemuruh ketika ia mengumumkan bahwa tesis Wicak menjadi sepuluh nominasi tesis terbaik tahun ini.
Wicak hanya bisa tersenyum. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia bahkan tidak peduli jika tesisnya akan terpilih menjadi yang terbaik atau bukan. Ia hanya bisa mengucapkan terima kasih. Sambil kembali ke kursi, Wicak mengepalkan tangannya ke udara dan berteriak dalam hati, INI UNTUK PAK WIRO!!!
Tesisnya memang bukan yang terbaik untuk tahun ini, tetapi pencapaiannya telah membuat hati Wicak tertawa lebar. Ia yakin bahwa idealismenya mendapat dukungan dari dunia internasional. Bukan hal mudah memang, tapi ia yakin ia bisa menyumbangkan sesuatu bagi negaranya. Tak sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Hal yang sangat jarang ia lakukan selama hidupnya. Nasionalisme memang bisa hadir dalam bentuk yang tidak diduga-duga.
~507~ Lintang memperhatikan wajah Meneer Penders dengan cemas. Pagi itu mereka bertemu di kafe kampus Letteren (Sastra) Universitas Leiden. Ditemani segelas koffie verkeerd mengepul, Lintang duduk berhadapan dengan dosen pembimbingnya, menunggu vonis akhir dari bab-bab penghujung yang telah diserahkan. Sang Dosen tampak membolak-balik bab analisis dan kesimpulan yang telah ia buat selama seminggu terakhir, serta membandingkan dengan halaman referensi yang telah ia cantumkan. Tak disangka, ternyata dosennya itu menyunggingkan senyuman. Tapi kali ini, bukan senyum puas diri dan arogan yang kerap kali membuat darah Lintang mendidih. Itu senyuman tulus!
So ... what do you think" Lintang bertanya dengan napas tercekat.
Meneer Penders menatap Lintang dengan senyum jenaka.
You know what, Lintang" I think it s time for you to wear that graduation robe.
Mulut Lintang menganga lebar. Ia seakan tak percaya pada pendengarannya.
So ... it s finished" You like it" tanya Lintang
~508~ dengan nanar. Meneer Penders menyodorkan tangan mengajaknya bersalaman.
Congratulations, Lintang. I knew you could do it! Lintang pulang ke asrama dengan hati seringan awan. Tesis gue selesaaaiii!!! Tak disangka rasanya akan begitu melegakan, mengharukan, dan menggembirakan. Ingin sekali ia berbagi kabar gembira itu ke orang-orang terdekatnya. Diteleponnya Mama, yang baru saja menyelesaikan shalat Magrib di Indonesia. Lintang ikut menitikkan air mata waktu mamanya berkali-kali mengucap hamdalah, tanda bersyukur pada Allah atas keberhasilan anaknya. Lintang juga menelepon Mbak Wulan dan Ade, dan mendapat ucapan selamat bertubi-tubi dari kakak dan adiknya. Tapi, entah kenapa semua itu masih terasa kurang.
Dalam perenungannya, Lintang menyadari momen bahagia ini takkan lengkap tanpa dukungan dari Aagaban, sahabat-sahabatnya di Belanda. Tiba-tiba ia menyesal telah mendiamkan mereka begitu lama. Ia rindu kebersamaan yang pernah mereka miliki. Tanpa berpikir panjang, Lintang mengeluarkan HP mungilnya, dan cekatan mengetik sebuah pesan singkat.
~509~ Guys, tesis gue udah di-green light! Nanti dateng ya ke acara lulus-lulusan Lintang! Hari Sabtu depan, jam sepuluh di kampus Letteren Universiteit Leiden.
Di empat tempat terpisah, Banjar, Wicak, Geri, dan Daus membaca SMS yang tertera di HP mereka. Dari Lintang! Ajakan datang ke wisuda Lintang! Di Wageningen
Ah, tapi tulisan depannya Guys . Berarti buat kita semua. Bukan buat gue aja. Hati Wicak yang tadinya berbunga kembali kuncup. Sebenarnya, lagi malas banget ketemu Geri, Banjar, dan Daus. Tapi, masa gue nggak datang ke acara wisuda Lintang" Keenakan mereka berdua, bisa mendekati Lintang tanpa gue! batin Wicak penuh dilema. Diketiknya pesan balasan. Gue pasti datang, Tang! Selamat ya, gue ikut senang buat lo!
Di Rotterdam Yippeee, SMS dari Lintang!!! Banjar tersenyum semangat. Sudah lama sekali ia tak mendengar kabar dari Lintang. Telepon tak diangkat, surel tak dibalas, offline terus di dunia maya. Sampai-sampai Banjar
~510~ khawatir berat, takut Lintang marah berkepanjangan. Sempat terpikir untuk mengunjungi Lintang di Leiden, tapi takut mengganggu acara belajarnya. Beberapa minggu silam, sewaktu Lintang masih mau menerima ajakan jalan-jalan darinya, Lintang beberapa kali mengeluh tak punya cukup waktu untuk belajar dan mengejar deadline tesis. Sekarang tesis sudah selesai, mungkin dia mau diajak jalanjalan lagi sehabis wisuda!
.... Sabtu depan, jam sepuluh di kampus Letteren ....
Aaah ... kenapa mesti Sabtu pagiii"! teriak Banjar dalam hati begitu membaca SMS Lintang. Sabtu adalah jadwal kerja rodinya di Restoran Rajawali! Yep, ia sudah kembali bekerja seperti biasa sepulangnya dari Swedia. Seluruh biaya yang dikeluarkannya kemarin dulu harus segera kembali agar neraca tabungannya kembali sehat.
Tapi, kalau gue nggak datang, simpati Lintang pasti akan lari ke Daus, Geri, atau Wicak! Duh, gimana caranya, ya"!
Setelah perdebatan cukup lama dalam hati, akhirnya Banjar mengangkat HP dan menelepon
~511~ Mbak Lia di Restoran Rajawali. Halo ... Mbak"
Iya, ini Banjar. Mmmh, begini Mbak, kalau bisa saya mau tukar jadwal kerja untuk Sabtu depan. Ada ... ehm ... ada ujian penting di kampus, saya mesti hadir!
Sedikit white lie nggak apa-apa, justifikasi Banjar. Yang penting gue bisa ketemu lagi dengan Lintang! Di Utrecht
Daus mematikan rokoknya di lis jendela kamar asrama. Kebiasaan buruk sejak indekos di Depok yang sulit dihentikan. Ia bertekad mengecat kembali lis jendela yang kini sudah penuh noda-noda hitam sebelum hengkang. Bukan apa-apa, takut nanti deposit asramanya hilang percuma untuk perbaikan yang nggak perlu!
Pikiran Daus siang itu resah. Biasanya jam-jam tengah hari, Daus sedang sibuk beraktivitas di kampus, atau paling tidak sibuk menemani salah seorang teman sekampusnya yang cantik, entah ke perpustakaan atau ke Centrum sekadar untuk cuci mata. Tapi, sejak pertengkaran Aagaban dan Lintang beberapa waktu silam, Daus jadi hilang semangat menghabiskan waktu dengan perempuan lain. Ia
~512~ baru menyadari begitu besar arti kehadiran Lintang dalam kehidupan kesehariannya. Seperti itu tuh, lirik lagu Big Yellow Taxi yang sering disiulkan. All in all it seems to go, that you don t know what you ve got till it s gone ....
Akhirnya, minggu terakhir ini ia habiskan untuk fokus ke tesisnya. Saking fokusnya, sampai-sampai dosen pembimbingnya pun mengakui bahwa tesisnya mengalami peningkatan mutu drastis selama seminggu terakhir. Ternyata, depresi ada hikmahnya juga, pikir Daus.
Dauuus, ada es em eees! Suara cempreng Lintang memecah kesunyian kamar Daus. Suara Lintang yang direkam untuk nada SMS masuk di HP milik Daus berteriak nyaring. Rindunya terhadap Lintang kembali membuncah.
Haaah" Undangan menghadiri wisuda Lintang! Uhuyyy!!!
Daus berjingkrak kegirangan begitu membaca pesan yang masuk.
Wah, gue mesti persiapan total nih, ketemu Lintang lagi!
Ia segera bersiap dan melajukan sepedanya menuju Centrum. Kebetulan masih musim obral besar di
~513~ Belanda. Daus sudah bertekad membeli kemeja dan dasi baru biar tampil ganteng di depan Lintang, sekaligus sekotak besar cokelat Leonidas kesukaan Lintang sebagai hadiah wisuda.
Di Leiden Lintang tersenyum. Empat buah konfirmasi telah masuk ke HP-nya. Masing-masing dari Banjar, Daus, Wicak, dan Geri, semua menyanggupi datang ke acara wisudanya minggu depan. Yang paling membuat hatinya senang adalah pesan balasan dari Geri.
I knew you could do it, Nan! Ik ben zo tots van jouw! Gue pasti datang hari Sabtu! Urusan tesis gue juga udah selesai, gue udah bisa napas lega sekarang! Kapan nih kita jalan lagi"
Zo tots, kata Geri. So proud! Dan Geri ngajakin ketemuan lagi! Ah, senangnyaaa!!!
Lintang segera menyusun rencana. Terpikir untuk membuat surprise buat Geri.
Ah ya, minggu depan gue akan bikin sekotak pisang goreng kesukaannya lalu gue surprise dia di Scheveningen! Pasti dia seneng ketemu gue lagi! pikir
~514~ Lintang menyusun rencana. Ia segera mengenakan kembali jaket tipisnya, lalu mengayuh sepedanya kembali ke Centrum. Ia ingin membeli bahan-bahan untuk membuat pisang goreng paling lezat di Belanda!
Lintang mematut dirinya di depan cermin. Ia mengenakan kebaya organdi Biyan warna putih gading kesayangannya dan songket maroon pemberian Mama. Mbak Nana, seorang mahasiswi post-doc di Leiden yang juga aktif di PPI, telah berbaik hati menata rambut Lintang tadi pagi, membentuk sanggul modern. Arbenita, roommatenya yang berhati lembut, telah memoles wajah Lintang dengan koleksi make-up miliknya yang superlengkap. Tak cuma itu, ia juga menghadiahi Lintang sebuah tas clutch bag mungil yang serasi dengan songket dan sepatu selop maroon pinjaman Ardita, sebagai hadiah wisuda. Memang, tak ada yang lebih berharga bagi pelajar yang merantau ke luar negeri daripada teman-teman baik. Sahabat menjadi keluarga, saat keluarga sejati hanya mampu mengirim doa dari Tanah Air. Penampilan Lintang hari itu benar-benar merupakan ungkapan kasih sayang seluruh lingkungan Lintang di Leiden.
~515~ Come on Lintang, you re gonna be laaate! Suara familier itu berteriak di bawah jendela kamarnya. Ia mengintip ke luar jendela. Jeroen bersama Mieke dan si bayi Keith telah menunggu di bawah, hendak turut mengantar Lintang ke lokasi wisuda. Hari itu mereka juga jadi keluarga. Lintang sudah tak lagi menyimpan kemarahan dalam hatinya kepada Jeroen. Semua dendamnya luruh begitu melihat wajah mungil Keith yang tersenyum memandang ayahnya penuh kasih.
Okaaay, I m coming!!! sahut Lintang.
Lintang menuruni tangga apartemen dengan hatihati. Jubah dan topi wisudanya dipegang Arbenita yang juga ikut mengantar Lintang wisuda. Jeroen memandang Lintang dengan lembut. You look beautiful, Schaatje, pujinya tulus. Mieke di sampingnya ikut mengangguk. You really do look gorgeous!
Ia lalu mengangkat si kecil Keith, mendekatkan bayinya ke arah Lintang.
Look how beautiful Tante Lintang is! Isn t she beautiful"
Keith membuat lengkingan nyaring dan tertawa, membuat semua orang ikut tertawa. Lintang mencium pipi montok Keith, hingga lipstik
~516~ merahnya membekas. Everybody ready" tanya Jeroen.
Lintang mengambil napas dalam dan mengangguk. I m ready!
Anandita Lintang Persada!
Profesor Griffith, sang koordinator program, memanggil nama Lintang dari atas panggung auditorium Fakultas Sastra Universitas Leiden.
Lintang maju diiringi tepuk tangan meriah dari rombongan sirkus yang memadati bagian belakang ruangan. Ada separuh isi PPI Leiden, seluruh anggota Aagaban, Arbenita, Jeroen dan keluarga, bahkan beberapa murid les tarinya dari KBRI datang untuk menyaksikan hari bahagianya.
Profesor Griffith menyerahkan tabung berisikan ijazah Lintang, disertai kecupan tiga kali khas Belanda. Banjar sudah bersiap di sisi panggung auditorium, mengabadikan momen itu dengan kamera.
Lintang menerima tabung itu dengan senyum lebar, dan berbalik menghadap penonton. Tepuk tangan kembali bergemuruh mengisi ruangan.
I can see Lintang has many friends here in Netherlands. Especially from the Indonesian community! You can be proud that Lintang is the first Indonesian to
~517~ have a Masters In European Studies from Leiden University, komentar Profesor Griffith, yang kembali disambut tepuk tangan meriah.
Banjar, Wicak, Daus, dan Geri menanti Lintang di luar auditorium usai borrel wisuda. Lintang sudah melepas jubah dan topi wisudanya. Dengan segelas orange juice di tangan, ia menghampiri keempat sahabatnya.
Mumpung wisuda, nggak mau segelas sampanye, Tang" goda Banjar.
Lintang menggeleng dan tersenyum kecil. Pake orange juice juga udah seneng, kok. Ngomong-ngomong ... thanks ya, udah mau datang semua. O, iya Cak, selamat! Lo udah wisuda, kan ....
Geri, Banjar, dan Daus terkejut mendengarnya. Lintang memandangi wajah mereka satu per satu. Kalian belum tahu" Matanya tajam melirik ke arah Wicak meminta penjelasan.
Wicak menunduk pasrah sebelum akhirnya secara kesatria mengajukan permintaan maaf.
Gue ... gue minta maaf waktu itu marah-marah. Gara-gara gue semuanya jadi canggung. Sebenarnya ... gue kangen ngumpul-ngumpul sama kalian. Keempat pria di hadapannya saling bertukar
~518~ pandang. Tampak penyesalan di mata mereka semua.
Daus, seperti biasa, yang memecahkan keheningan. Ini ... ini buat lo, Tang! Selamat, ya! katanya sambil menyerahkan kotak emas berisi cokelat Leonidas kesukaan Lintang.
Ini juga, Tang. Hebat, akhirnya wisuda, euy! ujar Wicak sambil menyerahkan sebuah kotak kado kecil.
Dibukanya nanti aja di rumah, kalau udah nggak repot! Wicak menambahkan.
Selamat ya, Tang, gue juga ikut seneng! Ini buat lo. Banjar yang kini ganti menyodorkan sebuah boneka beruang lucu berlambang Universitas Leiden yang mengenakan jubah dan topi wisuda.
Lintang menerima semua hadiah wisudanya dengan perasaan haru. Ah, baik banget sih, mereka semua!
Kini Geri yang maju, membawa sebuah buket raksasa paduan bunga tulip ungu dan bunga lili putih gading. Dua kembang dan warna kesayangan Lintang.
Ya ampun Geriii! Ini dari lo"! Cantik banget! Pasti mahal ..., komentar Lintang dengan nada sungkan. Geri tersenyum kecil.
Kalau ini dari kita berempat. Ya kan, guys" tanya
~519~ Geri sambil mengedip ke arah Banjar, Wicak, dan Daus.
Eh, uhm. Iya ..., angguk Daus ikut bersandiwara. Banjar dan Wicak ikut mengangguk. Sebuah hadiah dari mereka berempat! Kenapa nggak kepikiran"! Pasti lebih bermakna buat Lintang ketimbang hadiah sendirisendiri! pikir Banjar penuh sesal.
Daus berdegup saat dipanggil berdiri oleh komite penilai tesis. Ia berjalan, mencoba tegap. Mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan dasi merah-putih. Jas satu-satunya yang dimilikinya, yang memang disiapkan dari Jakarta untuk dua keperluan, ikut international conference dan acara kali ini, wisuda master.
Di hadapannya, duduk panel Guru Besar, Kepala Jurusan, dan Dekan Fakultas Hukum. Sang Dosen Pembimbing membacakan penilaiannya kepada Daus.
Serentetan puja dan puji yang diakhiri dengan, ... that you have developed here in Utrecht into a competent legal researcher and you get an honorable mention.
Daus lalu dipanggil ke depan untuk bersalaman dengan panel Guru Besar, tepuk tangan membahana di aula academiegebouw, gedung rektorat Utrecht.
~520~

Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daus terharu dan sempat berkaca-kaca sejenak. Daus memang tidak lulus summa cum laude, atau lulus dengan nilai mata kuliah sangat tinggi. Tapi, predikat honorable mention adalah penghargaan tertinggi untuk nilai tesis terbaik, bukti bahwa penelitian yang dilakukan Daus sangat mengagumkan.
LLM, adalah akronim dari bahasa latin Legum Magister, gelar ini digunakan di Eropa kontinental. Namun, ada juga yang menjabarkannya sebagai Lex Legibus Magister, untuk penganut hukum Anglo- Saxon, atau saat ini cukup dikenal sebagai Master of Laws. Dengan dua huruf L dalam Latin atau law jamak menjadi laws. Ini dapat dijelaskan dengan menyadur sebuah teori. Dikatakan bahwa zaman Yunani Kuno dulu, LLM dianggap menguasai hukum dunia dan juga hukum langit. Indah nian makna filosofi dari gelar ini. Kontras dengan kecenderungan saat ini di mana penguasaan ilmu hukum semakin spesifik dalam suatu bidang. Negeri Oranye menyebutnya sebagai meester in de rechten. The man who can change the law. Truly noble spirit.
Bukan pelajar Indonesia kalau tidak bikin heboh. Warga Himpunan Mahasiswa Indonesia di Utrecht yang datang berbondong-bondong sebagai suporter
~521~ Daus langsung menjepretkan blitz kamera, sebagian mengabadikannya dengan handycam. Aagaban pun tak ketinggalan, mereka semua menjadi saksi menghantarkan Daus, sobat mereka si anak kampung yang lahir dan besar di Gang Sanip, meraih gelar master.
Puji syukur juga dihaturkan orangtua Daus di Prumpung, Jatinegara, ribuan kilometer jarak memisahkan mereka, terasa dekat saat isak tangis haru terdengar pada percakapan telepon via Skype. Siang itu gedung Forum Hall Erasmus University Expo & Congrescentre Rotterdam riuh rendah oleh keriaan yang menjadi simbol berakhirnya perjuangan di medan perang bernama pendidikan tinggi. Sejam kemudian, usailah prosesi upacara wisuda nan sakral. Lampu sontak menyala menyisakan para master baru yang sibuk menghapus bulir-bulir air mata akibat bercampur baurnya perasaan 1 .
Pesta meriah segera bergulir. Musik dari berbagai genre silih berganti dimainkan. Pelayan bergaya aristokrat bernama Butler mondar-mandir menghidangkan gelas-gelas wine dan snack seukuran jari beraneka rupa di atas meja. Suasana makin
~522~ semarak ditimpali kilatan lampu flash dari berbagai penjuru ruangan. Sesekali mortar board alias topi berbentuk lingkaran dengan alas persegi dan tali berwarna perunggu yang berpangkal tepat di pusat segi empat melayang tinggi ke udara, biasanya diikuti gemuruh sorak sorai dan tepuk tangan meriah. Sebuah pesta kemenangan yang tentunya tak ingin dilewatkan oleh setiap prajurit yang telah bertempur mati-matian siang dan malam selama setahun penuh.
Nun jauh di selatan Rotterdam, pada saat bersamaan, sebuah pesta lain tengah berlangsung di sebuah kota kecil bernama Roermond. Sekitar empat puluh lelaki dan wanita berusia antara lima puluh hingga tujuh puluhan tahun berkumpul atas undangan Opa Stefanus, seorang pria enam puluhan asal Pontianak yang gemar berdansa. Dansa apa saja, Waltz, Cha-Cha, Rhumba, Tango, bahkan Flamenco. Dan, mereka yang diundang siang itu adalah sahabat-sahabatnya yang berdatangan dari seluruh penjuru Negeri Kincir Angin.
Di pojok ruangan, Banjar duduk termenung kagum menikmati ketegasan gerak tarian Flamenco yang dinamis. Fransisca dan Daniel, sepasang keturunan Maluku yang tengah menari, sempat mengecap pengalaman sebagai penari jalanan yang
~523~ berkeliling Spanyol sepanjang dekade 70-an. Petikan gitar 12 strings berbaur dengan clapper Flamenco secara harmonis mengiringi entakan gerak kaki pasangan setengah baya tersebut. Gabungan suasana temaram ruangan, ketukan alat musik, entakan sepatu, dan gema tepuk penonton mulai menggerakkan helai-helai bulu di kuduk Banjar. Saat sang gitaris mengatupkan seluruh jarinya di atas senar gitar, tarian itu berakhir serentak dengan terangkatnya tangan sang penari pria dan kaki sang wanita terjulur tinggi di udara. Sedetik selanjutnya, hanya suara tepuk tangan membahana yang tersisa. Banjar memberikan standing ovation. Bibirnya tak henti bersuit kencang, sesekali memekik, Bravo! Bravo!
Eet smakelijk, Meneer. Selamat menikmati.
Sesekali ia tambahkan, Met bakmi or nasi" Pada hari yang seharusnya dirayakan sebagai hari bersejarah dalam hidupnya, Banjar justru memilih untuk bekerja melayani katering Restoran Rajawali nun jauh ke pojok negeri di sebuah kota kecil bernama Roermond. Tak seorang pun sahabatsahabat Aagaban yang mengetahui hal tersebut. Mbak Lia juga sempat heran dengan keputusannya
~524~ untuk tidak menghadiri wisuda. Namun, Banjar enggan menanggapi dan bersitegas meminta Mbak Lia agar mengizinkannya melayani katering. Harry de Jong, salah seorang teman sekelasnya berkali-kali menanyakan hal yang sama saat ia mengetahui Banjar tidak mengambil jatah baju toga hari Selasa lalu. Jawaban Banjar sederhana, tapi menggambarkan betapa sebenarnya ia sulit untuk berpisah dengan berbagai kesulitan yang dialaminya sebagai seorang pelajar di negeri orang.
Why should I celebrate the day when it reminds me that I had such a great time here and I m about to leave it in a moment.
Pelan-pelan ditariknya sebuah kartu dengan logo perusahaan berwarna biru merah berlarik warna emas dari dompetnya. Jabatan mentereng yang tertulis di bawah namanya ditatapnya untuk kali terakhir. Dengan gerakan cepat, ia lalu menyobek kartu itu. Ia telah bulat dengan keputusannya.
1 Bukan cuma perasaan terharu atau bangga yang sering jadi alasan wisudawan/wati menitikkan air mata saat wisuda. Beberapa orang mengaku menitikkan air mata mengaku sedih harus kembali ke dunia nyata (ini sindrom para peraih beasiswa), beberapa lainnya sedih karena akan berpisah ~525~
dengan gebetannya yang belum sempat ditembak, bahkan hingga detik-detik terakhir. Dan, kaum minoritas dari beberapa negara Afrika yang tengah bergejolak terang-terangan menyebutkan betapa masa-masa indah di Eropa berlalu terlalu cepat.
~526~ De Waarheid [Kebenaran] Lintang berlari mengejar trem nomor 1 di Central Station Den Haag. Sambil merogoh ke dalam kantong celana jeans, ia memastikan strippenkaart miliknya masih ada di dalam kantong. Lintang memasukkan kartunya ke mesin yang tersedia di dalam trem dan mencetak tiga setrip. Tidak seperti Banjar yang sering kali menyengaja tidak mencetak kartu di trem, ia memilih untuk jujur. meskipun pada kenyataannya frekuensi Lintang bertemu dengan para pemeriksa strippen berbadan kekar bisa dihitung jari sebelah tangan. Kejujuran memang sudah menjadi kebiasaan di negara ini. Aturan yang berlaku bisa berjalan tanpa perlu berteriak-teriak ataupun pengawasan yang ketat. Hukum dijalankan secara konsisten dan konsekuen bagi siapa pun yang melanggarnya.
Ketika trem baru meninggalkan halte pertama, Lintang tiba-tiba merasa ragu akan perjalanannya. Ada perasaan menyesal hinggap di dadanya. Dirinya
~527~ sudah menjadi seperti anak-anak ABG yang sedang jatuh cinta, dan ia tak dapat menahan perasaan yang datang tiba-tiba hanya untuk seorang Geri. Di dalam tas tangan Mexx besarnya, sekotak Tupperware biru berisi pisang goreng buatan sendiri 1 siap diberikan kepada Geri sebagai kejutan. Ia bahkan menuliskan ucapan eet smaklijk tertanda namanya dengan huruf sambung, lengkap dengan hati mungil sebagai pengganti titik di atas huruf i . Memang, kegemaran Geri pada pisang goreng sejak awal sudah masuk ke database otaknya yang sepertinya dilengkapi prosesor Intel Pentium Core 2 Duo. Kemampuan otak Lintang untuk mengingat hal-hal remeh-temeh telah diakui siapa pun, apalagi untuk hal-hal yang memang berkaitan dengan seseorang yang ia sukai.
Ia pun sudah memastikan Geri ada di rumah siang itu, setelah berbasa-basi tidak penting melalui Yahoo Messenger. Semalam, Lintang mulai pembicaraannya dengan membahas kebijakan Bush di Irak, diselingi kenaikan harga euro terhadap rupiah, plus harga sepatu di Invito yang diskon tujuh puluh persen. Semua itu berujung pada konfirmasi bahwa Geri tidak pergi ke mana-mana hari ini 2 . Lintang yakin bahwa di sebuah dunia paralel di galaksi lain, mungkin dirinya sudah direkrut menjadi agen
~528~ rahasia untuk BIN. Begitu turun di halte depan Kurhuis Pantai Scheveningen, Lintang mematung menatap keramaian orang lalu-lalang di sekelilingnya. Hati kecilnya sedang berperang. Bagai perdebatan di parlemen, hatinya menyusun polling apakah (A) ia akan melanjutkan rencananya untuk mengunjungi Geri dan membuat surprise atau (B) pulang kembali ke Leiden menyangkal gemuruh perasaan di dadanya. Pilihan pertama malah menciptakan polling baru, yaitu apakah (C) Geri akan merasa senang atau (D) justru merasa aneh dengan kedatangan Lintang yang tiba-tiba ini. Polling lain pun timbul, apakah (C.1) Geri akan menemukan kenyataan bahwa Lintang memiliki perasaan lebih daripada sekadar teman kepadanya, atau (C.2) justru bersikap biasa saja seperti ketika Aagaban bertemu. Jika Geri merasa Lintang suka kepadanya, apakah (C.1.1) Geri akan menjauhi Lintang atau (C.1.2) justru semakin dekat" Tiba-tiba Lintang menyesal bahwa pertanyaanpertanyaan itu tidak ia olah dengan matriks kompleks ketika ia masih berada di rumah. Sekarang sambil duduk di kursi halte, ia harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Suara trem dari arah utara yang bergerak menuju
~529~ Central Station membuyarkan lamunannya. Lintang bangkit dari duduknya dan mengayun langkah menuju apartemen Geri. Ia telah yakin dengan keputusannya. Perasaan hatinya kepada Geri mengalahkan keraguannya, dan ia memilih untuk mengikutinya.
Tanpa ia sadari, ketertarikan Lintang kepada Geri sudah dimulai semenjak kali pertama bertatap muka di Stasiun Amersfoort. Sejujurnya, justru wajah tampan Geri yang pertama membuat Lintang tertarik untuk menghampiri serombongan pria berbahasa Indonesia pada malam nahas itu. Belum lagi sisi-sisi lain Geri yang terungkap sejalan dengan persahabatan mereka di Aagaban. Geri terbukti sebagai sosok pria yang gentleman, loyal, dan sangat baik.
Lintang tidak tahu, apakah keputusannya untuk berpisah dengan Jeroen akibat efek samping perasaannya kepada Geri. Ia bahkan tidak terlalu ambil pusing dengan kecurigaannya bahwa Jeroen telah berselingkuh dengan Wulan. Kali ini, Lintang dengan cepat mendapatkan penyembuhan rasa sakit hatinya lewat teman-teman Aagaban, khususnya Geri.
Ketika Lintang hendak memencet bel melalui layar
~530~ sentuh yang ada di lantai dasar apartemen mewah kediaman Geri, tiba-tiba seorang perempuan cantik keluar dari pintu utama. Ia mengurungkan niat memencet bel dan langsung menyelinap masuk. Dengan cepat, ia menuju lift dan menekan tombol naik. Ia langsung tenggelam dalam khayalannya, membayangkan Geri terkejut tapi gembira dengan kedatangannya.
Untuk bisa membuka pintu utama gedung ini, Lintang memang harus mengetik nomor apartemen Geri lewat layar sentuh di muka pintu utama. Komputer lalu akan tersambung langsung dengan suara bel di apartemen tersebut. Bila pengunjung yang tampak di layar monitor direstui oleh si empu rumah, pintu depan apartemen akan dibuka dengan memencet tombol yang ada di dalam apartemen.
Setibanya di lantai yang dituju, Lintang keluar dari lift dan menyusuri lorong luar yang langsung menuju pintu utama apartemen Geri. Pemandangan Pantai Scheveningen dari Lantai 8 ini terlihat begitu indahnya. Di bawah sana, ia bisa melihat kafe-kafe yang berada di sepanjang pantai. Di depannya, tampak turis-turis yang berlalu-lalang menikmati sore hari musim panas di Belanda yang sejuk dan cerah. Angin berembus pelan dan langit tampak biru
~531~ sempurna. Lintang langsung berencana mengajak Geri keluar untuk menikmati cuaca yang indah ini.
Ia berjalan melewati dua apartemen tetangga Geri. Dari luar, interior kedua apartemen itu sangat indah. Sering kali jendela, terutama bagian ruang tamu, dibiarkan transparan tanpa gorden ataupun vitrage sehingga kita bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hal tersebut memang lazim ditemui di Belanda. Konon, asal mula kebiasaan ini bermula sejak Perang Dunia II, saat transparansi digalakkan di kalangan rakyat Belanda untuk menghapus kecurigaan adanya kegiatan pro-Nazi di dalam rumah. Lintang menghentikan langkahnya sesaat sebelum melewati apartemen Geri, dan mengeluarkan kotak pisang gorengnya. Ia pun merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan, sembari berharap aroma Dior di tubuhnya belum tergusur aroma keringat. Sebelum kembali melangkah, ia memasang senyum manis. Kini ia siap untuk menjumpai sosok yang belakangan ini hadir menggoda angan indahnya.
Dari kejauhan, terlihat dapur Geri mengeluarkan asap tipis, mungkin ia sedang memasak. Setibanya di depan pintu, Lintang mengintip ke kaca dapur yang terletak di samping pintu masuk, berharap melihat
~532~ Geri. Tak salah dugaannya, Geri ternyata ada di dapur dan sedang membungkuk dan melihat sesuatu di dalam oven. Lintang tersenyum melihat sosok pujaannya. Tak heran ibunya dahulu begitu memuja si papih yang setiap weekend selalu memasak untuk keluarga mereka. Lelaki memasak memang terlihat begitu seksi. Kecuali Bang Miun, tukang nasi goreng di depan kompleks rumahnya di Jakarta.
Tiba-tiba, Lintang melihat sesosok lelaki bule, hanya mengenakan handuk, masuk ke dapur. Ia langsung memeluk Geri yang sedang berjongkok dan membisikkan sesuatu di telinganya. Geri berbalik, tersenyum kecil, dan tak lama mereka berciuman dengan mesranya. Lintang sungguh tak memercayai matanya. Tangannya yang sudah berada di tombol bel langsung melemah, kotak Tupperware-nya terjatuh dan air matanya perlahan meleleh.
Lintang langsung berlari kencang keluar dari bangunan apartemen itu. Hatinya teriris, kecewa, terkejut, sekaligus marah. Semua bercampur aduk tak keruan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Perlahan, ia mengeluarkan telepon selulernya. Sambil menahan air mata, ia mengetikkan pesan singkat yang lima detik kemudian telah terkirim ke tiga HP sahabatnya.
~533~ S.O.S. Geri jahat, bikin shock! Kalau kalian nggak dateng, mending gue loncat aja dari dok turis Schev! Please hurry.
Di Rotterdam TITUIT! bunyi SMS masuk. Banjar meliriknya. Duh, kenapa SMS ini mesti lo kirim sekarang siiih" Tanpa pikir panjang, Banjar langsung mematikan rokok keretek yang baru diisapnya empat kali, perbuatan yang biasanya diharamkan di tengah kelangkaan stok keretek. Ia pun loncat meninggalkan meja kafe yang di atasnya masih terdapat secangkir koffie verkeerd 3 yang mengepul, menggoda, memikat, minta diseruput! Digamitnya lengan pelayan terdekat, sambil mengeluarkan selembar uang kertas berhiaskan angka lima dari dompet.
Mijn excuse, Dame 4 ! This is for table three. Keep the change!
Banjar menyodorkan lembaran itu dengan terburu-buru sambil berjalan cepat menuju pintu. Maar, Meneer! Sir! Come back! What is this?"" Akan tetapi, Banjar sudah tak lagi dapat mendengar. Pelayan itu memandang dengan
~534~ bingung pemuda yang berlari tunggang langgang meninggalkan kafe. Dengan umpatan halus, sang waiter mengantongi selembar 50 ribu rupiah dalam genggamannya.
Di Utrecht Minuman keras, MIRAS! Apa pun namam ... uuuu ... tak akan kusentuh lagi dan tak akan ....
Oops, sorry! Dengan tergesa Daus mengangkat HP polyphonic sumbang miliknya, berusaha menghentikan lolongan keras Rhoma Irama yang memecah keheningan romantis dalam kafe.
Saking terburu-burunya, ia menumpahkan segelas chardonnay ke atas meja. Note to self: cepat ganti nada dering dangdut ini!
Halo" Daus menerima telepon terheran-heran. Gue udah OTW! Lo dah sampe mana" Terdengar suara Banjar yang terengah-engah, bersaing keras dengan backing vocal lolongan angin yang menderu. Pasti sambil naik sepeda.
Di jalan mau ke mana"
Oncol-oncol bego! Udah baca SMS belum, lo" SMS apaan" Buru-buru mau ke mana, sih" Cek HP lo, Col! Kita tunggu di sana. Buruan! Dan, sambungan itu terputus.
~535~ Daus mengumpat pelan. Udah telepon merusak kencan, pakai acara marah-marah pula!
What s that all about, Daus" Something wrong" tanya Selisha, gadis manis asal Armenia sambil merefill kembali gelas anggur yang tadi tumpah.
No, nothing s wrong, balas Daus sambil membuka inbox SMS. Everything s fi....
.... Masya Allaaah! Pegimane, nih" Daus berdiri dengan tergesa. Damn. Wine tumpah kembali.
Emang nasib gueee nggak boleh minum alkohoool! Selisha, I have to go.
What" What s wrong"
I can t explain it now. I m really sorry, I gotta run! Daus cepat-cepat berlari menuju parkiran sepeda. Bahkan sampai lupa cipika-cipiki tiga kali seperti yang biasa ia lakukan dengan teman-teman wanitanya di Belanda.
Di Wageningen Wicak tersentak. Agak bingung kalau menerima SMS dalam situasi ini.
Saat itu ia berada dalam perpustakaan. Sedang beramah tamah dengan seorang profesor yang
~536~ berpapasan, saat mengurus administrasi pengembalian buku perpustakaan. Mau dibaca ribet, bisa dianggap tidak sopan. Nggak dibaca, penasaran!
Akhirnya, curiosity killed the cat, meski membunuh kucing diharamkan oleh agama. Wicak membuka inbox, saat sang Profesor menoleh menyapa rekannya yang lewat dan....
KUNYIT!! Kunaon si Eneng teh"
Wat zeg je 5 , Wicak" Koo nyee" sahut sang Profesor. Er, ehm ... kunyit is errr ... turmeric, Sir. Ehmm ... a rare specimen from Indonesia! You know, for biodiversity research. I ... uh ... received a package of ehm ... kunyit. I have to pick it up now at the ... uh ... post office.
Profesor berambut gondrong sebahu itu mengangguk dengan penuh empati.
Oh yes, yes, anything for science! Go ahead! Tanpa basa-basi lagi Wicak langsung balik kanan ngeloyor keluar gedung. Anything for science and si Eneng! pikir Wicak seraya bergegas membuka gembok sepeda.
Perjalanan masih panjang ke stasiun kereta. Untungnya pada musim panas seperti ini, angin sudah tak lagi bertiup kencang menghambat perjalanan. Di kala musim gugur, sering kali sepeda Raleigh ten speed super-ringan milik Wicak berubah
~537~ jadi seberat becak berpenumpang beruang kutub!
Akan tetapi, hari ini, di tengah siang bolong hari yang cerah di Wageningen, Wicak menggenjot sepedanya sekuat tenaga, berburu dengan waktu. Di Den Haag
Delivered. Delivered. Delivered.
SMS S.O.S telah dilayangkan ke tiga orang yang paling ia percaya di Tanah Kompeni ini. Ia tak berani menelepon, takut membuang pulsa sia-sia, sementara yang terdengar di seberang sana hanyalah sesenggukan incoherent seorang perempuan patah hati.
Lintang menatap langit di atas garis Pantai Scheveningen yang bersemu merah, jingga, ungu. Sunset sempurna dengan suasana hati yang sangat tidak sempurna. Seumur hidupnya, Lintang bukan termasuk golongan orang yang religius. Tetapi, dalam gundah, kali ini Lintang mengiba dengan tulus.
Ya Tuhan, bisiknya pada langit.
Tuhan Yang Maha Pemurah, Tuhan Yang Maha Mengerti.
Lintang tahu, akhir-akhir ini Lintang masih nakal. Shalat bolong-bolong. Jarang berbagi rezeki. Cuma
~538~ traktir teman-teman sekali waktu dapat gaji pertama, itu juga habisnya buat beli Witte Wickse 6 (Oh ya, dan masih bandel coba-coba minum! catat Lintang dalam hati). Lintang juga anak durhaka, udah beli pulsa telepon pake VOIP 7 , nelepon Mama-Papa di Indonesia cuma kalau ada perlunya.
Tapi, Tuhan, kalau Engkau memang Maha Pemaaf dan Maha Penyayang, tolong percepat langkah ketiga sahabat Lintang ke sini. I ve never needed them more than I do now ....
Lintang kembali tertunduk, dan pasrah membiarkan hujan air matanya mengalir. Geri menemukan sebuah kotak biru tergeletak di depan pintu apartemennya. Ia membuka tutupnya, menghirup aroma manis pisang goreng hangat, dan menemukan secarik kertas di dasar kotak. Tiba-tiba tubuhnya lemas, ia tak mampu berpikir apa-apa. Lintang sepertinya telah mengetahui rahasianya yang paling dalam. Greg, pacarnya, muncul dari kamar tidur sambil mengancingkan kemeja. Langkahnya terhenti melihat Geri yang terduduk di sofa dengan wajah pucat pasi dan tatapan kosong, sambil memegang sebuah kotak Tupperware biru. Ada apa, Schaatje" Siapa yang memberimu kotak
~539~ itu" tanya Greg dalam Nederlaands, bahasa komunikasi mereka berdua.
Geri tak menjawab. Greg membuka sang kotak biru dan melihat isinya.
Ini punya Lintang" Greg bertanya sambil meraih sepotong pisang goreng.
Geri hanya mengangguk sambil menepis tangan Greg. Ia tak ingin pisang goreng itu disentuh siapa pun.
Mengapa ada di sini" Kapan ia memberikannya" Geri menggeleng.
Lintang di mana" Kembali Geri hanya menggeleng.
Greg segera bisa menerka skenario yang telah terjadi.
Jadi, dia tahu ... tentang kita"
Geri hanya bisa menunduk dalam-dalam, kedua tangannya menjambak rambut pertanda frustrasi. Shit! Bagaimana bisa Lintang masuk ke Lantai 8 tanpa ia tahu" Ia mengutuki kecerobohan sistem pintu otomatis, kepelitan pengelola apartemen untuk menyewa satpam, dan ketololan dirinya sendiri.
Greg prihatin melihat Geri yang jelas sedang stres berat. Ia mengerti pentingnya persahabatan Lintang bagi Geri. Greg juga mengerti bahwa berbeda
~540~ dengan keadaan sosial di Belanda, homoseksualitas bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah diterima oleh orang Timur. Dia menyadari bahwa bukan cuma Lintang yang sekarang sedang limbung; rasa bingung dan khawatir juga pasti sedang berkecamuk di dalam diri Geri.
Sedari awal, Greg sepakat untuk merahasiakan hubungan mereka berdua demi Geri. Greg sendiri sebenarnya tidak pernah keberatan untuk mengakui hubungan mereka berdua. Kariernya yang meroket sebagai pengacara tidak pernah terpengaruh oleh orientasi seksualnya yang berbeda. Kaum gay memang telah diakui hak-haknya secara utuh oleh pemerintah negeri ini. Namun, Geri ternyata masih belum siap untuk itu. Tidak banyak yang tahu tentang hubungan mereka, hanya segelintir teman dekat. Salah satunya Rendi, di Maastricht. Dengan lembut, Greg memegang pundak Geri. Ga weg. Carilah dia. Lintang pasti sedang bingung sekarang, usulnya dengan bijak.
Geri menatap Greg dengan tatapan bersalah. Greg tahu apa yang sedang dipikirkan pacarnya. It s okay. I understand. Go find her.
Secepat kilat, Geri mengenakan kaus kaki dan sepatu, dan menyambar jaket tipis. Ia mengantongi
~541~ kunci apartemen dan berlari keluar. Mencari Lintang.
Telepon Lintang berdering untuk kali kesekian. Semuanya dari ketiga sahabatnya yang menelepon berkali-kali, tetapi ia belum sanggup berbicara pada mereka. HP Lintang kembali berdering. Geri. Lintang tak mengacuhkannya. Ternyata Geri pantang menyerah. Dua missed calls. Tiga missed calls. Pada percobaan Geri yang kali keempat, dengan ragu Lintang mengangkat.
Lintang ... kamu di mana" tanya Geri panik. Lintang enggan bersuara. Tangisnya masih tercekat di tenggorokan.
Lintang ... kamu tadi datang ke apartemenku" Geri mencoba lagi.
Lintang mengangguk. Jelas sia-sia karena Geri tidak bisa melihatnya.
Lintang ... tolong jawab ... kamu di mana" Di Den Haag"
Dok turis, bisik Lintang pelan, dan menutup telepon.
Dok turis sebutan mereka untuk Scheveningen Pier, sebuah sightseeing deck di Pantai Scheveningen yang menjorok ke tengah laut. Dari sana para turis
~542~ bisa memandang lepas pantai sambil menikmati indahnya sunset. Di sana pulalah tempat nongkrong favorit Lintang untuk menikmati es krim kesukaannya, sambil memandang laut lepas. Letaknya pun tak jauh dari apartemen Geri. Geri pun mulai berlari.
Geri menemukan Lintang di ujung dok seperti biasa. Bersandar di pagar kayu, memandang laut lepas, tempat favoritnya di seantero Den Haag. Hanya saja, hari ini mata Lintang terlihat merah sembap habis menangis, dan tubuhnya yang lupa dibalut jaket menggigil kedinginan diterpa angin laut. Geri melepas jaket tipis miliknya dan menyandangkannya di atas bahu Lintang. Lintang mensyukuri hangatnya sang jaket, menyadari siapa pemiliknya, dan menoleh pelan. Geri sedang mengenakan kemeja putih dan celana jeans sekenanya. Bila rahasia Geri masih terpendam aman, penampilan sedikit urakan seperti ini pasti akan sangat membuat Lintang melayang. Tapi, keadaan telah mengubah segalanya. Lintang tidak tahu apakah ia harus marah, kesal, menangis, atau justru simpati kepadanya.
Tadi kamu ... datang ke apartemen" tanya Geri perlahan. Pertanyaan yang dibalas dengan anggukan.
~543~ Jantung Geri berdebar kencang. Did you ... see ....
Lintang membuang muka. Air matanya kembali membayang di pelupuk mata.
Shit ...! Geri hanya bisa mengumpat pelan. Keduanya lalu kembali terdiam tanpa tahu apa yang harus dikatakan.
Kenapa lo nggak bilang ke gue" Lintang akhirnya memecah kesunyian itu.
Bilang apa" Bilang kalau lo gay! Bilang kalau lo pacaran sama si bule itu! Lo nggak nyadar kalau selama ini gue sayang sama lo"! Lintang menumpahkan semua yang sedang dirasakannya kepada Geri.
Tanpa ia sadari, Geri merasa emosi. Emangnya gue wajib lapor kalau gue gay" Emangnya gue perlu menjustifikasi semua pilihan hidup gue sama kalian semua"!
Lintang kembali terdiam karena shock. Belum pernah selama Lintang mengenalnya, seorang Geri sampai meledak amarahnya seperti sekarang. Geri pun mulai menyesali kata-katanya. Amarah itu memang hal pertama yang melintas di kepala. Tapi, ia sadar bahwa sebenarnya ia tidak marah kepada Lintang, melainkan kepada dirinya sendiri, yang
~544~ selama ini memilih untuk merahasiakan jati dirinya.
Nanda. Geri kini berbicara dengan nada lembut memohon, dan sengaja menggunakan panggilan sayangnya untuk Lintang yang sudah ia anggap bagai adik.
Nanda ... gue minta maaf. Gue nggak bermaksud .... Please ... apa yang lain juga tahu"
Lintang tahu siapa yang dimaksud dengan yang lain : Wicak, Banjar, Daus. Sisa Aagaban.
Belum. Mereka lagi jalan ke sini. Gue yang minta. Gue ... tadi nggak tahu mau curhat ke siapa .... Nan ... apa lo berencana ngasih tahu mereka" Memangnya kenapa kalau iya" Terus, apa maksudnya lo selama ini baik sama gue" Emangnya lo segitu polosnya sampai nggak nyadar kalau selama ini gue makin perhatian sama lo" Lo nggak nyadar kalau gue suka" Skenario kayak gini harusnya cuma terjadi di sinetron murahan!
Keduanya terdiam. Semuanya terasa kikuk. Lintang tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ia merasa Geri yang di hadapannya bukanlah orang sama yang ia kenal selama satu semester terakhir.
Nanda ... sebenarnya .... Geri menghela napas. Sebenarnya ... lo marah karena gue gay, karena gue nggak bilang, apa karena lo nggak nyadar"
~545~ Lintang tersentak mendengar kata-kata Geri. Gue selama ini baik karena gue sayang sama lo. Lo sudah seperti adik gue sendiri. Dan, gue pikir selama ini lo begitu baik ... karena lo Lintang. Lintang yang manis, yang ramah, yang baik sama semua orang ....
Jauh dalam lubuk hati, Lintang sadar bahwa satusatunya yang bersalah di sini hanyalah dirinya sendiri. Kalau saja dia tak ge-er salah menafsirkan perhatian Geri sebagai sesuatu yang lebih , semua ini takkan pernah terjadi. And there were the signs. Kedekatannya dengan Rendi di Maastricht. Pertemuan rahasia Geri di Amsterdam. Cara Geri menghindar setiap kali para pria Aagaban terlibat boy talks, yang tak jauh dari membahas fisik wanita. I should have known. Hanya saja, gengsinya sebagai perempuan membuatnya masih terdiam. Ngambek. Geri yang mengenal Lintang dengan baik pun bisa merasakan, Lintang kini sudah tidak lagi marah, hanya sedang pundung.
Jadi ... apa lo tetap mau ngasih tahu anak-anak yang lain"
Lintang tersenyum pahit. Gue SMS kalau mereka nggak dateng, gue bakal loncat dari ujung dok turis. Gue juga bilang kalau semuanya karena lo bikin gue shock. Terus gue mesti bilang apa ketika mereka
~546~ sampai di sini" Apa, kek. Bilang gue jatuh dari tangga, kek. Jadi pocong-pocongan. Kesedak pisang goreng .... BUK! Sebuah tinju mendarat di bahu Geri. Owww! teriak Geri sambil tersenyum. Lintangnya sudah kembali.
Jadi ... lo beneran segitu ge-er-nya sampai suka banget sama gue, Tang"
Jadi ... lo beneran segitu begonya sampai nggak nyadar, Ger"
Geri terdiam. Kikuk. Tapi serius, Ger. Menurut gue ... they need to know. Mereka, kan, sahabat lo juga ....
Geri mengangguk. Gue tahu, Tang. Gue tahu .... Tapi, gue nggak yakin ... apa gue udah siap ... untuk ngaku"
Lintang menatapnya. Kini penuh empati. Tentu ini sebuah pilihan yang sangat sulit bagi Geri. Ia menghela napas panjang.
Well, Ger, you better make up your mind quick. Sebentar lagi mereka datang.
Wicak dan Banjar bertukar pandangan bingung. Sejam yang lalu mereka menerima SMS darurat dari Lintang. Setelah tergopoh-gopoh melakukan cross
~547~ country ke Den Haag, mereka malah disambut dengan wajah dingin Lintang yang kini duduk membisu di atas sofa apartemen Geri. Geri pun tak menawarkan penjelasan, hanya berkata untuk menunggu Daus. Banjar termangu bagai kerbau yang tidak sengaja minum karbit. Ia sudah mengorbankan satu hari kerja di restoran demi SMS Lintang, sesuatu yang luar biasa baginya. Raut wajahnya yang tegang menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan permainan entah apa yang sedang berlangsung.
Suara bel di ruangan membuyarkan pikiran mereka berempat. Geri membukakan pintu untuk Daus. Tak lama kemudian, Daus sudah ada di hadapan mereka, peluh mengucur di wajahnya. Wajahnya minta penjelasan kepada Wicak. Wicak hanya mengangkat bahu, seraya memonyongkan bibirnya ke arah Lintang dan Geri, lalu memberikan tatapan mata ke arah Banjar dan menutupnya dengan memberikan satu kedipan mata kepada Daus 8 . Daus semakin bingung dan memecah kesunyian dengan suaranya yang sember.
Jadi, ada apa ini" Surprise buat gue" Kan, ulang tahun gue masih lama" tanya Daus berusaha melucu.
~548~ Iya, gue udah setengah jam duduk manis di sini kayak kebo bego. Ada yang bisa jelasin di antara kalian berdua, apa maksudnya Lintang kirim SMS itu" tanya Banjar yang semakin hilang kesabaran.
Geri mengambil tempat duduk di sofa sebelah Lintang. Raut wajahnya tegang dan pucat, dengan dahi berkerut dan butiran peluh yang mulai muncul membasahi kening. Lintang memandang Geri yang jelas sedang berperang batin, dan merasakan empati yang sangat besar untuknya. Lintang memberi Geri tatapan penuh arti sembari mengangguk. You can do this, tatapannya berkata. Ia meletakkan tangannya di atas lengan Geri, dukungan moral yang tak perlu dilafal. Geri membalas tatapan Lintang dan menggenggam tangannya dengan erat. Ia mengambil napas dalam.
Jadi ... gue .... Wicak melihat dua insan di depannya berpegangan tangan, dan tiba-tiba wajahnya memucat.
Lo berdua ... jadian, ya?"" tanyanya dengan tatapan nanar.
Geri dan Lintang kembali bertukar pandang dan mengulum senyum. Kalau ada gelembung di atas kepala mereka bagai komik Jepang, gelembung Lintang sedang berkata, I wish! , disertai senyum
~549~ pahit. Sementara gelembung Geri berkata, Hmmm ... not quite ....
Haaah" Gaaay" Banjar terkejut sambil mengeluarkan bir dari mulutnya. Wicak yang ada di samping terkena getahnya. Bajunya terkena semburan cairan ajaib campuran ludah Banjar dan bir.
Geri akhirnya memberanikan diri untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya. Lintang yang berada di sampingnya masih menggenggam tangannya dengan erat sambil melihat wajah sahabatnya satu per satu.
Maksud lo" Coba pelan-pelan ngomongnya. Ulang lagi ceritanya! seru Daus sambil berusaha tenang. Namun, wajahnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang dirasakan atas berita besar Geri.
Geri mengembuskan napas panjang. Ternyata, coming out tak semudah di angan.
Uhmmm, iya. Gue gay. Tadi Lintang mergokin gue ciuman sama Greg ... cowok gue. Sorry kalau gue nggak pernah cerita sama kalian. Gue cuma berharap kalian semua mengerti kenapa gue menyembunyikan ini semua. Kalian aja yang udah kenal baik sama gue
~550~ mungkin jadi punya pikiran negatif, apalagi kalau gue harus terus terang sama orang lain, jelas Geri panjang lebar.
Tapi, waktu kita tidur rame-rame di Maastricht, lo nggak ngapa-ngapain gue ... eh ... kita kan, Ger" ceplos Banjar secara spontan, sambil bergidik dan melihat Geri dengan tatapan waswas.
Heh, cumi! Gue bilang gue gay, bukan pemerkosa, gila! Lagian biar gue gay, gue tetep punya selera tinggi, kali ..., balas Geri sedikit kesal. Kampret!!! umpat Banjar keki.
Ini, nih, yang gue takutin bakal terjadi. Kalian pikir gay identik dengan cuma mikirin soal seks dan seks" Please, deh. Kalian kan, bukan sex object. Kalian sahabat gue. Titik.
Ugh ... iya nih, Banjar. Ge-er banget, celetuk Lintang.
Wah enak dong, lo bisa ikutan parade gay di kanal Amsterdam" Lo pake kostum bulu-bulu nggak" celetuk Wicak berusaha mencairkan suasana.
Ya, nggak laaah! Lo kira gue mau berteriak ke seluruh dunia kalau gue gay" seru Geri sambil mendorong bahu Wicak.
Dari keempat sahabat Geri, hanya Wicak yang tidak culture shock dengan pengakuan Geri. Kerjanya
~551~ di dunia LSM lingkungan internasional membuatnya sering bersinggungan dengan rekan kerja yang gay. Terus terang, Wicak sudah lama menyimpan prasangka bahwa Geri gay, tapi merasa hal itu bukanlah urusannya. Lagi pula, seorang pria idaman macam Geri ternyata nggak suka sama perempuan" Berkurang satu saingan gue, pikirnya.
Yaaa, padahal gue penasaran pengin lihat parade itu.
Kalau itu bisa aja, sih, entar kita rame-rame nonton di Amsterdam. Kan, terbuka buat umum juga.
Kok, lo tertarik, Cak, jangan-jangan lo gay juga" Kalau iya, kebetulan nih, temen Rendi kemarin di Maastricht ada yang nanyain lo ..., canda Geri. Wajah Wicak serta-merta merah padam. Ya ampun, sumpah-sumpah, gue mah lurus! Shirotol mustaqim! Kan, gue cuma penasaran doang. Emang nggak boleh"!
Cieee ... Wicak ditaksir temen Rendiii ..., celetuk Lintang.
Iya Cak, nggak nyangka muka kayak lo bisa laku juga ... walau lakunya sesama cowok, sih ..., cela Banjar.
Woi ... woi, udah deh! Kok, jadi gue sih, yang
~552~ kena"! balas Wicak serbasalah.
Geri kini menatap Daus dengan prihatin. Dari tadi, tinggal Daus yang belum angkat bicara, ia masih terbengong-bengong di sofa. Sesuatu yang luar biasa, karena biasanya di setiap suasana kumpul mereka berlima, suara pertama yang terdengar adalah celetukan Betawi sember seorang Daus.
Daus ... lo ... gimana" Kayaknya lo nggak bisa terima, ya" tanya Geri sedih.
Daus patah hati kayaknya Ger, naksir ama lo, kali ..., cela Wicak sekenanya.
Enak aja! balas Daus dengan cepat.
Daus belum bersuara karena masih shock. Seumur hidupnya, ia belum pernah memiliki teman gay. Ia pernah dengar tentang pria dan wanita yang suka sesama jenis, tapi selama ini bayangannya tentang gay sebatas banci salon, pria kemayu yang senang bermake-up, dan waria. Baginya, homoseksualitas adalah dosa besar, dilarang agama, dan mereka yang melenceng adalah kaum abnormal. Tapi, kini Geri, sahabatnya sendiri, mengaku dirinya gay. Dan, di mata Daus, Geri tak pernah menunjukkan tandatanda kemayu. Baginya, Geri adalah lelaki yang cukup lelaki . Sama-sama fan bola, tak suka berdandan, gentleman, bahkan kadang merokok
~553~ keretek. Kurang laki apa, coba" pikirnya. Daus shock karena kini dunia hitam putihnya semakin kabur menjadi abu-abu.
Kok, lo nggak kelihatan ... eh... maksud gue, kok, lo nggak kaya .... Daus berusaha mengeluarkan pertanyaan sensitif itu, tapi tak berhasil menemukan kata-kata yang tepat.
Maksud lo, gue nggak kayak bencong, gitu" balas Geri blakblakan.
Hehe ... Ehm, iya. Maksud gue itu.
Gue nggak berubah kok, Us. Gue tetep Geri. Gue masih demen sepak bola, gue tetap nyukur jenggot tiap pagi, kaki gue masih berbulu, dan gue masih nggak suka nyisir. Orang gay itu nggak selalu klemer, kok.
Ooo ... gitu. Terus, ini juga alasannya lo nggak pengin gue cerita ma anak-anak kalau gue ketemu lo sama Greg di Amsterdam waktu itu" lanjut Daus lagi.
Hehe, iya, Us. Abis lo mergokin gue di dekat gay bar. Gue sempet panik lihat lo waktu itu, jawab Geri.
Ooo ... pantes si Selisha kagak mau ke sono! Katanya kita mendingan jangan masuk bar yang ada bendera pelanginye, tapi dia nggak nerangin kenapa.
~554~ Emang nape, sih Ger, bar pelangi" Mahal ye" tanya Daus polos.
Pertanyaan Daus disambut tawa membahana dari keempat sahabatnya. Sekali lagi, Daus berhasil mencairkan suasana.
Itu tandanya bar gay, bodoooh! Emangnya lo selama ini nggak tahu"! sahut Banjar.
Daus tersipu. Ya maklum aje, anak Gang Sanip. Mane gue paham jenis-jenis bar di Negeri Kompeni!
Ehm ... jadi, pada intinya, ente nggak demen perempuan, Ger" lanjut Daus hati-hati.
Uhm ... iya, Us. Itu masalah banget buat lo" Geri balik bertanya.
Daus terdiam sejenak dan ....
Alhamdulillah .... Daus berkata tanpa sadar, yang kembali disambut tawa keempat sahabatnya.
Wahahaaa ... jangan-jangan Daus beneran suka ama lo, Ger! sahut Wicak.
Daus tersipu. Padahal, pikiran yang saat itu melayang di otaknya adalah, Alhamdulillah, berkurang satu saingan gue buat ngedapetin Lintang .... Lintang dan Geri tersenyum.
See" It s gonna be okay, bisik Lintang di kuping Geri.
~555~ Geri mengangguk. Matanya terasa sembap menahan haru. Ternyata, mereka bisa menerima gue apa adanya, pikirnya lega. Terus, kenapa nggak dari dulu gue ngaku"
Keluargamu udah tahu, Ger" tanya Lintang. Geri menghela napas panjang.
Belum. Jangan dulu, deh. Gue takut Papi-Mami kecewa sama gue. Belum lagi adik-adik cewek gue ... mereka masih butuh sosok aa -nya. Jadi, kalian ... tolong simpen dulu, ya ... rahasia gue"
Tenang Ger, lo bisa percaya sama kita, jawab Lintang.
Bener itu, Bro, sahut Wicak.
Iye, ente nggak usah takut! Gue jaga ente punye rahasia! sambung Daus.
Tinggal Banjar yang terdiam di pojokan, asap kereteknya mengepul di udara.
Jar" Lo gimana" tanya Geri waswas.
Banjar meneruskan mengisap kereteknya sejenak, sebelum menjawab.
Boleh aja ... asal lo janji nggak bakal naksir sama gue.
Buk! Sebuah bantal sofa melayang dari tangan Lintang tepat mengenai hidung Banjar.
Geri tersenyum lega. ~556~ Kayaknya kalau cuma itu, bisa gue jamin dari sekarang! Lo jelas bukan selera gue, Jar!
Dan, mereka semua tertawa.
1 Ya iyalah, emang ada tukang gorengan di ujung gang di
Belanda" 2 Bingung" Kita juga! Cuma Lintang yang mampu melakukan hal
itu. 3 Istilah Belanda untuk caffe latte, atau menurut versi keren kopi
susu. 4 Mohon maaf, Nona. 5 Apa katamu"
6 Bir putih lokal di Belanda.
7 Voice Over Internet Protocol, menelepon via internet dengan hitungan pulsa yang jauh lebih hemat dibandingkan fixed line (telepon biasa) walau kejernihan sambungan acap kali bergantung pada amal ibadah sang penelepon.
8 Kebayang, nggak" ~557~ Plezier

Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

[Senang-Senang] Pasca musim wisuda, serpihan akademis yang tersisa dari di kamar Aagabaners mungkin cuma coretcoretan kata berikut.
Selesai bab kesimpulan ini gue pengin melarikan diri, entah ke mana .... (Tertulis dengan pensil di pinggir halaman notes Lintang.)
Andai kudapat, segelas espresso di kafe tepi jalan di Spanyol pasti terasa nikmat, euy .... (Post-it di tembok kamar Wicak.)
Tesis ternyata lebih menegangkan dibanding presentasi di depan presdir. Gue butuh kabur! BERLIBUR!!! (Screensaver di laptop Banjar.) Sepatu-sepatu ini kudu napak seantero benua Eropa, kagak sekadar bolak-balik kamarperpus-ruang dosen aje! (Graffiti kecil di dekat rak sepatu Daus.)
Desperately need vacation!!! (Status dua
~558~ minggu terakhir di semua ID YM mereka.)
Para geng Aagaban sepakat untuk melakukan perjalanan wisata. Minus Geri, yang sibuk dengan acara liburan keluarga. Lagi pula, ia sudah kenyang travelling keliling Eropa. Geri pun mafhum bahwa Lintang mungkin masih butuh sedikit waktu berjauhan dari dirinya, setelah kejadian di Scheveningen. Banjar, Wicak, dan Daus dalam hati merasa senang tak perlu time share waktu bersama Lintang dengan Geri. Upaya mereka untuk memikat hati Lintang pun semakin digenjot.
Akan tetapi, merencanakan Eurotrip yang sempurna ternyata tak semudah di angan. Conference di YM dan milis tiada menemukan titik akhir negara mana yang akan mereka sambangi. Tekad yang bulat belum tentu disertai kebulatan ego. Dari notula sementara diskusi dunia maya Aagaban, baru dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut.
1. Eropa terdiri atas banyak negara dan banyak kota, mustahil dikunjungi semua dalam seminggu. Apalagi dengan dana cekak.
2. Lintang, Wicak, Daus, dan Banjar punya preferensi yang jauh berbeda mengenai kota-kota yang patut dikunjungi. Lintang ingin ke Venezia
~559~ karena menurutnya itu kota paling romantis, sedangkan Daus ngebet ingin ke Budapest yang punya julukan sebagai Ibu Kota Blue Film Eropa. Banjar ingin ke Monaco karena tergila-gila dengan Formula Satu, tapi Wicak sang pencinta alam ingin melihat keindahan gunung bersalju di Zurich yang selama ini cuma dilihatnya dari kertas bungkus cokelat.
3. Acara jalan-jalan terpaksa dilakukan dengan bujet minim, sesuai anggaran mahasiswa mereka. Namun, persepsi hemat mereka berbeda-beda. Wicak tidak masalah untuk apply visa di luar visa schengen 1 , tapi Daus merasa rugi harus mengeluarkan dana untuk visa, yang bisa digunakannya untuk biaya menginap. Lintang sepihak dengan Daus karena uangnya ingin digunakan untuk shopping.
Akhirnya, mereka sepakat berkumpul di apartemen Geri, yang kembali berperan menjadi pemecah kebuntuan. Kebetulan Geri memiliki koleksi lengkap buku Lonely Planet, panduan ampuh para backpacker, yang diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk menentukan itinerary perjalanan mereka. Bisa ditebak, baru sejenak para makhluk penyandang
~560~ gelar master muda ini berkumpul, perdebatan offline sudah dimulai.
Eropa Timur lebih enak, Us, katanya lo mau ke Budapest" Nah, Praha lebih eksotis! Di sono harga makanan lebih murah, lagi! Wicak memanasmanasi.
Daus mulai rentan iman. Kalau lo berdua mau jalan jauh-jauh cuma untuk lihat cewek-cewek Eropa Timur, mending di etalase red light Amsterdam aja! Mending kita berdua tamasya ke Monaco yuk, Lintang! ujar Banjar sambil menggamit lengan Lintang yang melongo difait accompli.
Wes, nggak bisa gitu, Malih! Lintang ikut gue! Kan, gue ama Lintang sepakat kalau Swedia juga pantas ditengok, kite kudu lihat tanda-tanda kebesaran bangsa Viking. Lagian, ada temen gue yang bisa nampung di sana! tukas Daus sembari merebut lengan Lintang dari pegangan Banjar. KELEPAK!
Apa-apaan, sih! Suara tangan Lintang berbunyi nyaring, memukul lengan Banjar dan Daus yang saling berebut seperti anak TK.
Dodol giling! Kita pergi bareng-bareng! Daripada
~561~ berantem lagi, mending gue pergi sendiri, deh, ujar Lintang misuh-misuh.
Wah, bahaya dong kalau lo jalan sendiri, Tang. Daripada lo kenapa-napa di jalan, lebih baik gue temenin, deh, lo mau jalan sendiri ke mana ..., celoteh Wicak, yang lalu bungkam setelah dua buah bantal sofa mendarat tepat di mukanya.
Tenang, Nan. Easy, guys. Seperti biasa, Geri angkat bicara terakhir, berupaya meneduhkan suasana.
Heran. Tetep aje ni cowok sering lebih berwibawa dari pada kite, padahal kite semua udah tahu kalau die bukan cowok sejati, pikir Daus dalam hati.
The longest journey begins with one small step! Geri memandang sekeliling.
Nah, gue rasa step pertama pernah gue singgung di milis, yang tidak kalian acuhkan karena sibuk diskusi negara mana selain Inggris yang pakai setir kanan. Banjar sebagai pelempar topik, kontan nyengir bersalah.
Pertama adalah bujet. Berapa, sih, yang kalian alokasikan untuk perjalanan ini" Dari situ, kan, kita bisa prediksi bisa bertahan berapa lama dan ke negara mana aja.
Kan, semua sudah pada mau pulang kampung for
~562~ good" Pasti kantong lo udah menipis. Daus terutama, yang kemarin borong kaus buat orang satu pengajian. Geri melirik Daus, yang sedang menepak keningnya sambil berucap, Oh, iyeee!
Wicak yang anak rimba bisa ngemper di halte. Tapi, apa semua bisa" sambung Geri.
Lintang disuruh tidur di sleeping bag aja susah, boro-boro di stasiun kereta. Terus kalau Banjar disodomi, minta ganti rugi ke mana, coba" Semua tertawa geli, kecuali Banjar.
Belum lagi lo belum pesen tiket jauh-jauh hari, padahal mau berangkat seminggu lagi. Tahu sendiri, summer begini harga tiket melangit, mumpung musim liburan. Beda sama winter dan spring, yang emang musim banting harga.
Semua terdiam diingatkan fakta itu. Orang Eropa yang sangat terencana memang terbiasa memesan tiket berbulan-bulan in advance, sementara mereka selalu berpikir bisa go-show liburan mendadak seperti yang biasa dilakukan kalau mau ke Bali atau Bandung.
Iya, sih. Tesis menyita waktu dan tenaga banget, sampe lupa pesen tiket dan booking hotel jauh-jauh hari, gumam Daus.
Ah iya, lupa! Saking sibuknya gue bolak-balik ke
~563~ dosen sampai nggak inget browsing situs-situs tiket murah! amuk Banjar.
Mau ikutan berlibur di Eropa ala Eurotrip" Kiat berikut berguna buat nyusun perjalanan yang paling efektif dan efisien!
1. Tentukan Bujet! Patok jumlah uang maksimal yang ingin dikeluarkan buat perjalanan kita. Dari sana kita bisa menentukan lama perjalanan, lalu bagi-bagi anggaran buat penginapan, transportasi, dan wisata!
2. Tentukan Tujuan! Kota tujuan akan berpengaruh pada jenis transportasi yang tersedia, tempat menginap, serta atraksi wisata apa saja yang bisa dinikmati. Informasi tempat yang akan dituju semua tersedia di internet. Berbagai situs yang diangkat dari buku panduan perjalanan, seperti Lonely Planet (www.lonelyplanet.com), Travelocity (www.travelocity.com), dan Eye Witness (www.dk.com), bisa dijadikan acuan.
3. Transportasi. Anggaran transportasi perlu dibedakan, antara transportasi antarnegara dan transportasi lokal dalam kota. Pilihan transportasi antarkota termurah jelas naik bus Eurolines (www.eurolines.com). Kadang harga tiket Rotterdam Brussel bisa promo hingga lima euro saja! Namun perlu diingat, selain tingkat
~564~ kenyamanan paling rendah, naik bus juga boros waktu. Bila jarak kota cukup jauh, terbang bisa jadi pilihan terbaik. Mau cari promo maskapai besar" Bisa tengok www.farecompare.com, yang membandingkan harga tiket semua maskapai komersil besar. Tapi biasanya, wisatawan Eropa lebih mengandalkan budget airlines untuk bepergian. Kita bisa membandingkan harga tiket di antara budget airlines di www.whichbudget.com. Beberapa budget airlines andalan wisatawan Eropa antara lain Ryan Air, Vueling, Easy Jet, Air Berlin, dan Transavia.
Perlu diingat, tidak semua maskapai singgah di semua kota. Maksudnya" Kalau mau ke Italia, dengan Ryan Air kita bisa turun di Milan, Pisa, atau Roma. Tapi, kalau mau ke Eropa Timur, lebih banyak pilihan kota yang tersedia dari Air Berlin. Bandara maskapai murah juga biasanya beda dengan bandara maskapai komersil yang besar. Jadi, kalau kita hendak ke Barcelona dengan Ryan Air, misalnya, kita tidak langsung mendarat di kota Barcelona, tapi di kota kecil Girona, yang masih dua jam perjalanan naik bus! Harga transportasi dari dan ke bandara luar kota tersebut juga perlu diperhitungkan dalam harga tiket.
Mau berpelesir naik kereta ala Little Missy" Silakan klik www.eurotrans.com. Biasanya ini merupakan pilihan termahal. Namun, kadang kala ada promopromo diskon yang bisa menghemat bujet hingga
~565~ 40%. Berkereta juga pilihan terbaik bagi yang narsis. Kita bisa puas foto di setiap stasiun pemberhentian, buat pamer di Friendster atau Facebook. Pasti dikirain rajin bener jalan-jalan!
4. Udah dapet tiket paling murah, tinggal bayar! Nah, bayarnya bagaimana" Kalau ada lambang iDeal, biasanya berarti bisa dibayar pakai kartu debit ATM bank Belanda yang kita miliki. Tapi, kalau cuma terima kartu kredit" Kalau kita punya kartu kredit, yang paling gampang jelas memasukkan informasi kartu kredit dan bayar online. Di Eropa, transaksi online cukup aman, kok, nggak usah takut informasi kita bakal dibajak atau di-hack. Korporasi di Eropa sangat mengagungkan sistem online karena mampu menekan biaya operasional, jadi pasti mereka sudah investasi sistem keamanan transaksi online sebaik mungkin.
5. Kalau kita kebetulan nggak punya kartu kredit, gimana" Alternatif pertama adalah mendatangi biro perjalanan atau perwakilan Eurolines/budget airlines/kereta api yang ada di kota-kota besar. Di sini, kita bisa membayar dengan gesek kartu debit atau bayar tunai di meja kasir. Alternatif kedua" Kita bisa minta tolong teman yang punya kartu kredit, lalu bayar ganti cash. Gampang, kan" 6. Akomodasi. Nginep di mana, nih" Kalau berani ala backpacker, sebenarnya ngemper di stasiun dengan sleeping bag pun nggak apa-apa. Mayoritas negara Eropa menghargai kultur
~566~ avonturir backpacker. Mau lebih nyaman dikit, tapi ogah keluar duit" Bisa numpang di rumah teman, atau di rumah kenalan yang kita temui lewat situssitus nginep-modal nebeng , seperti: www.hospitalityclub.org dan www.couchsurfing.com. Mau aman tapi males bergantung orang lain" Opsi termurah kita adalah berbagi kamar di hostel. Situs layanan booking hostel online yang paling terkenal jelas www.hostelworld.com. Selain menyajikan informasi tempat menginap, situs ini juga menyediakan review masing-masing tempat dari para pengunjung. Dengan begitu, kita tidak seolah-olah beli kucing dalam karung. Kelak kalau diminta review tempat kita menginap oleh hostelworld via surel, beri ulasan yang jujur untuk membantu para travelers lain. Jangan tempat bagus dijelek-jelekin! 7. Sistem bertransaksi di Hostelworld online, dan mereka hanya menerima kartu kredit. Biasanya kita bayar uang muka online, lalu sisa pelunasan dilakukan di hostel usai menginap. Kita tidak bisa hanya booking karena sebagian dari uang muka mengandung fee hak pengelola situs.
8. Udah dapat tiket, udah dapat hostel, tinggal jalanjalan, deh! Ada beberapa tempat wisata terkenal macam Menara Eiffel, Menara Pisa, hingga Colloseum Roma menganjurkan para pengunjungnya untuk pesan tiket online. Jadi, nggak tersiksa antrean pembeli tiket yang
~567~ mengular hingga beratus-ratus meter! Beberapa atraksi wisata juga membatasi jumlah pengunjung yang bisa menikmati keunikannya secara utuh. Contohnya ya itu, Menara Miring Pisa. Satusatunya cara untuk memastikan kita termasuk dalam daftar pengunjung yang beruntung adalah dengan terlebih dulu memesan tiket secara online. Jangan lupa kalau banyak objek wisata di Eropa (seperti museum) yang menyediakan diskon khusus bagi pemuda dan pelajar. Jadi, ada gunanya kita bawa-bawa kartu pelajar kita, siapa tahu dapat diskon 40%! Lumayan, kan"
9. Transportasi Lokal. Di kota besar Eropa, seperti Paris, Berlin, Madrid, dan Roma, biasanya sudah tersedia jalur-jalur metro (kereta bawah tanah) dan bus yang melewati objek-objek wisata utama. Kalau sudah begini, jangan terkecoh membeli kartu wisata paket yang mahal. Beli saja tiket satuan atau harian yang murah, sudah cukup. Tapi, kalau nggak mau capek nyari jalan, kita bisa juga memanfaatkan bus wisata model hop on-hop off, yang trayeknya memang hanya berhenti di lokasi objek wisata terkenal. Agak mahal, tapi kita nggak hilang waktu cari jalan. Satu tiket harian bisa berlaku untuk semua jalur, dan kita bisa naik-turun bus sepuasnya.
~568~ Nah, gue punya solusinya, ujar Geri dengan senyum terkulum. Sebuah amplop besar dilempar ke atas meja. Semua wajah stres dan suntuk berubah terkejut.
Apaan ni, Ger" Wicak yang pertama meraih dan membuka amplop tersebut.
Ternyata, amplop itu berisi empat tiket pulangpergi rute tiga kota tiga negara, Brussel Barcelona Berlin! Semua melongo. Aji gile duile! Fantastisnya lagi, ketiga kota itu memang belum pernah mereka kunjungi.
Kok, lo bisa tahu, Ger, kita semua belum pernah ke sini"! tanya Lintang penuh takjub.
Yah, kan gue mengamati terus adu argumen kalian di milis. Semua udah pernah ke Paris, karena, well, anggapan bahwa kalau ke Eropa nggak afdal kalau nggak lihat Menara Eiffel. Sampai Daus nekat naik ke puncak menara di tengah winter beku-beku cuma karena murah. Padahal rugi, di musim dingin cepat gelap jadi nggak bisa lihat apa-apa!
Tapi, Paris di waktu malam romantis, Ger! tukas Daus membela diri.
Iya, kalau sama awewe. Nah, lo sama Saiful anak Wageningen. Mau pegangan tangan" Wicak menimpali pedas. Kali ini Wicak berhasil menangkis
~569~ lemparan bantal sofa dari Daus, hingga wajahnya terselamatkan.
Geri selalu tampil gemilang menjadi penengah masalah, batin Wicak. Mungkin benar kata orang, gay itu lebih peka!
Harganya kira-kira dua ratus euro per orang. Perjalanannya cukup menantang, pakai kereta, pesawat, juga bus. Kota-kotanya gue jamin layak dikunjungi!
Semua mengangguk sepakat.
Tinggal hunting penginapan aja. Dan gue rasa, relatif lebih gampang ketimbang nyari tiket. Lo emang hebat, Ger, canggih pisan!
Iye, paling bisa, dah, ente! puji Wicak dan Daus senang sambil menepuk punggung Geri.
Genius, kau, genius! sahut Banjar sambil memandang tiket di tangannya penuh takjub.
Ehm ... iya, Ger, genius. Lintang menambahkan pelan.
Betul-betul genius. Tapi, apa maksudnya dia beliin tiket segini mahal buat kita" Gue nggak mau jadi utang budi .... Geri segera menangkap keraguan yang tersirat di wajah Lintang.
Dirty Little Secret 2 Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong Cewek Cetar Dua 4

Cari Blog Ini