Saman Karya Ayu Utami Bagian 3
Siapa kamu" ia bertanya.
Orang di sini mandi dua kali sehari, aku menjawab.
Lalu ia menghisap puting susuku, lama sekali, kemudian bercerita. Ia baru pertamakali berlayar begitu jauh ke Timur. Begitu jauhnya sehingga ia tak yakin bisa kembali jika lewat Barat, meskipun laut membuatmu percaya bahwa bumi itu bulat. Di negerinya orang-orang beranggapan bahwa manusia di tanah Timur hidup dengan norma-norma yang ganjil. Lelakinya suka mengenakan perhiasan pada penisnya, di permukaan atau ditanam di bawah kulitnya. Wanitanya tanpa malu-malu membangkitkan gairah lawan jenis, bahkan orang asing, sebab mereka begitu menikmati seks tanpa pernah merasa tabu. Lalu ia menyodorkan aku sebuah almanak. D i tanah di mana T uhan kita belum dikenal , bangsa bangsa me muja percabulan . M ereka membuat bermacam ramuan akar akaran dalam tempayan gerabah , hanya untuk kenikmatan yang keji , dan menegakkan patung lingga yoni . B erpalinglah jika engkau melihat perempuannya , sebab mereka mempunyai kekuatan sihir . K aum lelakinya dipaksa menyiksa kelamin mereka dengan alat - alat yang mengerikan : manik manik dari tulang serta bulu binatang , untuk memuaskan penyihir penyihir perempuan yang haus akan inkubus . S ebab tak satu pria pun di dunia ini yang mempunyai penis sebesar milik si iblis . G adis gadis melepas dada mereka tanpa malu , bergantung seperti dua pepaya , buah yang akan kubawakan ke E ropa untuk kalian semua . K ulit buah itu pahit tetapi dagingnya manis . bijinya seperti puting susu . (V. d .C, H amba T uhan yang mengembara , 1632)
Aku tertawa terpingkal-pingkal.
Kenapa" katanya. Bukankah kamu telah menyihir saya dengan bertelanjang seperti itu" Dan susumu susu coklat.
Kemudian ia membuka celananya. Aku pun tahu bahwa matahari telah membakar punggung, dada, dan lengannya.
Lalu aku bercerita. Di tanah ini orang-orang berkisah tentang negerimu dan negeri kami, orang-orangmu dan orang-orang kami. Kami orang Timur yang luhur. Kalian Barat yang bejat. Kaum wanitanya memakai bikini di jalan raya dan tidak menghormati keperawanan, sementara anak-anak sekolahnya, lelaki dan perempuan, hidup bersama tanpa menikah. Di negeri ini seks adalah milik orang dewasa lewat pernikahan, sekalipun mereka dikawinkan pada umur sebelas dan sejak itu mereka dianggap telah matang. Di negerimu orang-orang bersetubuh di televisi, kami bersetubuh tidak di televisi. Kami mempunyai akar kesopanan Timur yang agung. Adatmu yang Barat tidaklah luhung. Lalu aku menunjukkan selembar koran yang kupakai membungkus celana dalam. Di sana tertulis pendapat para birokrat tentang bahaya budaya Barat lewat film dan produk konsumtif. Juga turis di pantai Kuta. Kompas,
1995. Ia kelihatan bingung. Di manakah kita" Kataku: Bukankah ini abad 20"
Ia masih kelihatan bingung. Ini adalah tempat yang aneh sekali. Bagaimana saya bisa berada di dua masa sekaligus"
Kataku: Waktu adalah hal yang aneh sekali. Bagaimana dia bisa memisahkan kita dari kita di masa lalu"
Dan Timur dan Barat pastilah konsep yang amat ganjil, sebab kita berbicara tentang kesopanan sambil telanjang.
Aku lupa, apakah itu merupakan pertemuan pertamaku dengan raksasa. Banyak hal dengan mudah terlupakan, seperti kita sama sekali lupa kenapa kita tidak bisa mengingatnya lagi.
Sesuatu bisa hilang begitu saja dari ingatan, seperti arwah, seperti mimpi. Kita cuma bisa merasakan jejaknya pada diri kita, tanpa bisa mengenalinya lagi. Kita tinggal benci, kita tinggal marah, tingal takut, tinggal cinta. Kita tak tahu kenapa.
Sejak pertemuanku di sebuah masa dengan si raksasa, aku tak cuma jatuh cinta. Sejak itu pula aku selalu membayangkan negeri mereka. Aku ingin sekali melihat tanah raksasa, rumah mereka yang besar-besar, jalanannya, tikus serta kucingnya. Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati. Yang tak menghormati aku, tak pernah menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka. Tapi ketika pertama kali mengurus visa di Kedutaan Besar Nederland, yang mereka tanyakan adalah nama keluarga.
Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.
Anda memiliki ayah, bukan" Alangkah indahnya kalau tak punya.
Gunakan nama ayahmu, kata wanita di loket itu. Dan mengapa saya harus memakainya" Formulir ini harus diisi.
Aku pun marah. Nyonya, Anda beragama Kristen bukan" Saya tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai ayah. Kenapa orang harus memakai nama ayah"
Lalu aku tidak jadi memohon visa. Kenapa ayahku harus tetap memiliki sebagian dari diriku" Tapi hari-hari ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru belanda. Suami istri memberi nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah melesetnya. Alangkah naif.
Pada masa lampau, kami boleh memilih nama kami sendiri. Simbah memanggil ayahku Timin. Ketika menjelang menjadi dosen ia menamai dirinya Mintoraharjo. Ibuku tak pernah mengganti namanya, sebab sudah bagus sedari kecil. Ia keturunan priyayi, ia keturunan peri yang menyanyi. Tapi orang-orang masa kini lahir, dan kantor pengadilan mematri nama mereka pada akte seperti sekali kutukan untuk seumur hidup. Kenapa pula aku harus memakai nama ayahku" Bagaimana dengan nama ibuku"
Akhirnya aku tidak jadi pergi ke negeri raksasa. Aku memilih tidak pergi. Aku mutung. Tapi kemudian sebuah kesempatan seperti mengawe-awe, dari Barat. Dari orang-orang di Barat yang semakin tertarik pada orang-orang di Timur, kali ini bukan untuk rempah-rempah tetapi untuk alasan yang tak kutahu persis apa karena keindahan, keragaman, ataukah preservasi" Asian Cultural Centre memberiku beasiswa untuk mengeksplorasi tari. Aku akan tinggal di New York lebih kurang dua tahun, mempelajari tari dan koreografi dalam beberapa festival di sana, terlibat serentetan lokakarya juga mengajar, dan puncaknya adalah menggarap karyaku sendiri. Aku akan menari, dan menari jauh dari ayahku. Betapa menyenangkan.
Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu. Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata, kata mereka. Atau, barangkali aku ini bukan orang" Lalu aku terpaksa kompromi, sebab jangan-jangan aku memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat negeri mereka. First name: Shakun. Family name: Tala.
S ebelum raja I nggris C harles II menamainya N ew Y ork , tempat itu adalah N iewe A msterdam . N ovum A msterdamum .
1625. V ereenige W estindische C ompagnie mendirikan kantor dagang pertama di sana . P eter M inuit sang G ubernur J enderal lalu membeli tanah di sekitarnya dari orang orang I ndian meskipun mereka tak pernah merasa memiliki daerah itu sebagai properti yang bisa dijualbelikan . I a membayar mereka dengan barang kelontong , dan melahirkan pemerintah kolonial yang korup dan diktator . B ahkan terhadap kaum putih sendiri , sehing - ga mereka menjadi begitu benci pada para gubernur jenderal dan menyerah saja ketika kapal kapal perang B ritania R aya muncul dari samudra dan tentaranya mendarat . 1664. M ereka belum berbaju loreng , melainkan mengenakan seragam warna warni seperti ikan bendera .
K apal kapal B elanda sebetulnya menemukan lokasi N ew Y ork dalam pencarian jalur baru ke negeri rempah rempah di O rient . K artel dagang nederland di belahan bumi B arat ini memiliki kembaran yang lebih dulu menjelajah ke T imur yang jauh : V ereenige O ostindische C ompagnie . VOC, yang terbentuk tujuh tahun setelah seorang pedagang dan petualang , C ornelis de H outman , mendarat di B anten pada bulan J uni 1596. O rang - orang VOC pun menetap di I ndonesia 350 tahun . P ada abad 19 orang orang I ndian tak ada lagi di N ew Y ork , tapi orang orang indonesia merebut kembali kekuasaannya di J akarta . S egelintir menguasai yang banyak .
Aku pergi bukan dengan kapal laut, karena masa itu sudah lewat. Tapi bumi memang bulat dan berputar searah jarum jam jika kita membayangkan diri berada di Kutub Utara. Dan
jika kita berada di Kutub Selatan dia berputar ke arah sebaliknya. Aneh bukan" Dan waktu memang suatu hal yang tidak masuk akal. Sebab aku berada dalam pesawat lebih dari dua puluh empat jam, tetapi tiba di Amerika Serikat pada hari yang sama. Bukankah aku berangkat hari Kamis, dan bukankah ini juga Kamis" Bumi adalah sesuatu yang bulat dan ajaib.
Tapi di sini musim dingin sudah merayap. Mengendap dari balik gedung-gedung seperti dry ice.
Kemudian aku mengerti bahwa New York bukan negeri raksasa. Tapi aku tidak kecewa, sebab aku telah amat jauh dari ayahku. Kutahu New York adalah kota yang menakjubkan begitu aku masuk ke dalam kereta bawah tanah. Metro. Aku menyebutnya memedi trowongan sebab suaranya begitu menakutkan dan menjalar-jalar dalam lorong yang hitam di antara akar-akar bangunan. Di dalamnya kulihat makhlukmakhluk. Halus dan kasar. Dari yang hitam pekat sampai yang transparan sehingga aku bisa mengamati pembuluh darahnya. Jika orang itu membuka baju, tentulah perutnya seperti arloji plastik bening switchwatch yang bisa kita simak denyut sekrup dan tuasnya. Lalu proses pemisahan sari makanan dan tinja, tanpa tercium baunya. Orang seperti dia tak perlu mesin rontgen dan ultrasonografi. Cukup mata dokter yang telanjang.
Ketika aku menyembul ke atas tanah di Sixth Avenue, seperti seekor wirok got, aku melihat jalan-jalan Manhattan yang lurus-lurus saling berpotongan tegak-lurus sehingga aku me?" rasa seperti tikus dalam kotak percobaan untuk menemukan jalan keluar. Tapi di sana begitu ramai sehingga kebingungan kita bertambah parah. Manusia lalu lalang dengan ukuran beragam seperti sepatu, di bawah lampu-lampu. Mereka
muncul dan hilang dalam kabut kota yang nampak berkepulan, karena hangat lampu-lampu. Dari yang terbesar hingga yang terkecil yang pernah kulihat. Mulanya pemandangan itu membuatku disorientasi. Adakah aku terdampar di negri liliput yang telah dijarah bangsa Guliver" Ataukah ini justru tanah Guliver yang mengangkuti kaum liliput sebagai persembahan kepada raja seperti Christophorus Columbus membawa orang-orang Indian ke Madrid, lalu mereka berkembangbiak seperti cecurut" Ataukah semua orang itu seperti aku, cuma mampir" Sebagian lalu menetap sebagian lewat" Seluruhnya mendapat grant"
Di sebuah gedung nomer 1209 di jalan itu, sebuah lift yang pesat membawa aku ke lantai 34. Kantor Asian Cultural Council. Ada meja bundar dan jendela lebar, seperti kaki dan kuping gajah. Dari sinilah pemandangan mata-burung pertamaku tentang New York dari atas. Di sebelah kanan di kejauhan nampak Empire State Building, pencakar langit pertama, dengan pucuk yang menampakkan cahaya merah seperti delima. Di sebelah kiri gedung Chrysler, menara art deco yang ujungnya keperakan. Di bawah sana, nampak skating rink di depan Rockfeller Center. Es sudah melapisi permukaannya, dan orang-orang meluncur seperti anak-anak tikus yang bergerak. Banyak sekali. Kecil sekali. Jarak membuat orang jadi amat mini dan remeh, seolah bisa diinjak mati.
Kerap aku punya prasangka bahwa sebuah grant lahir dari rasa bersalah. Meskipun rasa bersalah bukan sesuatu yang salah. Bangunan yang tadi kumasuki begitu jangkung dan penuh penyesalan, sebab di lobinya yang besar tertera rentetan
mural buruh yang bekerja keras, seperti cara kapitalisme meromantisir kaum proletar dan menetralisir rasa menghisap. Kota ini mewah. Dan kenapa orang-orang di sini membiayai kesenian yang di negerinya sendiri sulit mendapat dana dan izin" Apakah mereka seperti orang-orang renaisans yang jenuh dengan abad pertengahan dan menemukan kembali peninggalan Yunani lalu menggalinya dengan asyik" Ataukah ini datang dari rasa berdosa setelah berabad-abad bersikap orientalis, ratusan tahun menjadi kaya sebagai kolonialis" Tapi kemudian aku tak peduli lagi. Sebab sebuah karya tak harus lahir dari perasaan yang sama atau yang bersetuju. Ia adalah muara dari sungai-sungai, yang sebagian mengandung polusi, juga bangkai. Aku bertemu beberapa orang. Sebagian koordinator, sebagian seniman, sebagian peneliti, sebagian penerima beasiswa seperti aku.
Beasiswa diberikan dengan cara yang berbeda satu program dengan yang lain. Aku mendapat uang rumah tinggal dan boleh menentukan tempat sendiri. Karena kutahu kelak aku akan pulang ke Jakarta, aku berpikir untuk menabung. Yang sedikit di sini banyak di Indonesia. Satu dolar sama dengan dua ribu lima ratus rupiah. Aku menyewa sepetak apartemen yang lebih murah dari bujetku di kawasan Chelsea, di sebuah gang yang penuh grafiti, di belakang pasar loak serta toko kaset bekas di mana aku bisa membeli tiga CD audio seharga dua dolar. Aku teringat Jakarta, di emper departement store banyak pedagang biasa berteriak-teriak: yang ditawarkan adalah tiga celana dalam seharga seribu perak. Aku tak pernah membelinya sebab aku tak selalu memakai celana dalam. Benda itu sering membuatku keputihan. Kupikir di iklim
tropis yang lembab sebaiknya wanita tidak bercelana dalam kecuali jika sedang mens. Tapi di negeri ini ada musim dingin sehingga aku harus mengenakannya agar perutku jadi hangat dan tidak masuk angin.
Apartemenku adalah yang terburuk di antara sejawatku. Mei Yin, Abby Chan, Araya, dan yang lain. Liftnya sering tidak bekerja, dan bau masakan tetangga menyusup sepanjang lorong. Di sini orang boleh memelihara binatang, dan tetanggaku berkali-kali kehilangan kucingnya, meskipun ia tak kapok mengambil dan memelihara yang baru. Namun aku tidak kesepian sebab di Jakarta pun aku tinggal di sebuah gang dan telah beberapa bulan tak punya pacar.
Sebelum aku berangkat dulu, kolega yang telah sering melanglang buana bilang padaku, Tak ada kota yang kehidupan keseniannya lebih dahsyat daripada New York. Hari demi hari aku semakin menyadari, kota ini memang ajaib: ia tumpah ruah oleh pertunjukan yang tak kehabisan ide ataupun penonton. Di Lincoln Center, hanya Dasamuka yang bisa menonton seluruh acaranya. Itu pun dengan syarat: kesepuluh kepalanya dibiarkan pergi sendiri-sendiri, dan pulangnya membagi pengalaman ke raga yang satu. Turis keluarga bisa berjalan sepanjang Broadway yang gemerlap dan menonton musikal konvensional lokal atau impor, Phantom of the Opera, Les Miserables yang tidak happy end, Beauty and The Beast yang happy end meskipun menurutku kisah itu juga berakhir duka: setelah si Cantik jatuh cinta pada si Ganas, monster itu kok malah menjelma menjadi lelaki biasa. Tetapi, di pojok-pojok yang lebih terpelosok, ada aktor dan spektator yang lebih semrawut ketimbang teater absurd, yang anak-anak akan takut jika menontonnya: musik mistik sampai
yang cuma berisik, tragedi yang ngegilani. Mereka main di panggung-panggung Off-Off Broadway yang kadang hanya menampung tujuh puluh bahkan sepuluh penonton saja. Di Indonesia tak ada gedung teater permanen untuk kategori ini. Hanya ada gedung pertunjukan besar, seolah-olah kesenian haruslah berkapasitas masal. Di Jakarta, aku pernah menari di antara empatpuluhan penonton, tetapi di rumah orang kaya atau galeri seni rupa. Ada pula orang yang menari telanjang dan bersetubuh di muka empatpuluhan hadirin di hotel dan rumah orang kaya lalu ditangkap polisi. Tapi semua insidental saja pertunjukan itu, maupun penangkapannya. Tak ada gedung khusus untuk semua itu. Maka, di kota ini waktu luangku habis untuk menonton pertunjukan selain menggarap karyaku sendiri.
Aku merasa amat betah. Rasanya seperti mendaki gunung dan menemukan di pucuknya sebuah kaldera eksperimen ekspresi, dan aku nyemplung ke dalamnya. Aku bahagia, meskipun di sini orang yang bersikap formal menyapaku Miss Tala , dan yang mencoba akrab memanggilku Shakun . Mirip jakun, atau kalkun. Aku tak tahu bagaimana orang India memperlakukan nama itu.
Tapi temanku Laila tidak bahagia di New York. Ia memang pantas tidak bahagia. Ia sudah melepaskan beberapa proyek di Jakarta, menguras sebagian tabungannya. Ia bukan orang yang bisa begitu saja membeli tiket seharga dua ribu dolar. Tetapi lelaki yang ditunggunya di Central Park tidak juga memberi isyarat.
Lelaki itu tidak juga menjawab.
Dan aku takut pengalaman adalah guru yang baik, meskipun jahat. Bukankah Sihar kerap melakukan ini, membikin janji dan membatalkannya saat sudah telanjur" Karena itu aku adalah orang yang pesimistis ketika beberapa bulan lalu Laila menelepon dengan optimistis dan bercerita tentang pria yang masih sama. Aku akan ke sana, katanya. Kami akan ketemu di Central Park. 28 Mei. Tempat orang-orang berbahagia. Laila, taman itu luas sekali. Di mana persisnya" Katanya di dekat monumen Columbus. Di mana dia akan tinggal"
Belum tahu, nanti dia yang menghubungi.
Aku menghela nafas. Kamu masih penasaran sama dia" tanyaku separuh heran separuh kesal. Ternyata iya, jawabnya dalam telepon. Setelah sekian lama sikapnya enggak jelas terhadap kamu" Dia kan harus menjaga perasaan istrinya. Dia laki-laki yang sopan.
Jadi, apa sebetulnya yang kamu cari" Perkawinan bukan, seks bukan.
Aku cuma pingin sama-sama dia.
Laila, kalau kamu kencan dengan dia di sini, kamu pasti akan begituan, lho! Kamu udah siap"
Enggak, enggak tahu& Dia pasti minta. Kamu mau gimana"
Aku cuma pingin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.
Aku menghela nafas lagi. Ya, sudah. Aku sih senang sekali kamu ke sini.
Tapi aku meminta agar dia mengajak kedua sahabat kami yang lain: Cok dan Yasmin. Maksudku, agar jika Laila kecewa, atau jika terjadi apa-apa pada dia, kami berempat bersama-sama. Biasanya kami banyak bersenang-senang jika
bergabung. Dan itu bisa menghibur dia. Selain itu, aku juga kepingin mereka menyaksikan pertunjukanku di Lincoln Center.
Waktu aku berangkat ke New York dulu, tak pernah kupikir teman-temanku akan menengokku. Negeri Amerika dua kali lebih jauh ketimbang negeri Belanda. Ternyata, dalam pekan yang sama setelah pembicaraanku dengan Laila, kedua karibku segera menetapkan rencana. Mereka memang lahir dari orangtua kaya dan kini mempunyai penghasilan sendiri yang bagus. Yasmin bekerja di kantor ayahnya sehingga ia bisa menentukan jadwal cuti dengan gampang. Sedangkan Cok menjalankan bisnisnya sendiri. Ia bukan buruh jadi ia juga bisa pergi sewaktu-waktu. Dan kedua sahabatku tetaplah dua sahabat yang dulu. Cok, temanku yang berdada montok. Dia periang dan ringan hati. Berada bersamanya, orang akan merasa bahwa hidup ini enteng dan tak ada yang terlalu perlu direnungkan dengan dalam atau serius. Tak ada kemarahan yang perlu diawetkan seperti dendamku pada Bapak. Juga tidak ada cinta yang tahan lama seperti manisan dalam botol selai. Semuanya seperti tomat: menggemaskan hari ini, lalu layu beberapa hari lagi. Dan tak ada kulkas. Dia akan datang ke Amerika, hanya untuk bersenang-senang. Sedangkan Yasmin, dia juga tidak berubah, bertolak belakang dengan Cok dalam banyak perkara. Sejak kecil, ia dibentuk orangtuanya untuk menghabiskan waktu dengan hal yang produktif. Ibunya memaksanya kursus balet, piano, berenang, dan bahasa Inggris sejak kelas 2 SD, dan ia menjadi serba bisa. Ia tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah. Kadang ia malah mengerjakan pekerjaan sekolah di rumah, sebelumnya. Pengetahuannya yang luas kadang membuat dia menjadi
teman bicara yang melelahkan karena ia suka memborong pembicaraan. Kini pun ia tidak datang cuma untuk berlibur. Dia sekalian mengerjakan suatu urusan dengan Human Rights Watch, yang kantornya juga di New York. Yasmin memang sering mengurusi orang-orang yang hak-haknya dilanggar. Kadang dia menyebut dirinya aktivis.
Laila aja ke sini untuk selingkuh. Masa kamu enggak" kataku.
Enggak! katanya ketus. Itu saja.
Memang, sejak dulu tak pernah aku dengar Yasmin punya hubungan dengan lelaki selain suaminya. Mereka sudah menikah lima tahun setelah sebelumnya pacaran delapan tahun. Aku dan Cok selalu heran bahwa ia bisa bertahan. Cok sudah lima kali delapan kali pacaran, dan masih belum puas juga. Aku, aku punya pengalaman dengan beberapa orang. Sebagian kutinggalkan, sebagian meninggalkan aku, dan kini aku sedang tak punya siapa-siapa. Selain ketiga sahabatku, barangkali.
Kami berteman sejak kelas enam SD. Waktu itu akulah yang paling jangkung di antara mereka. Laila yang paling kecil. Yasmin yang paling bagus nilai rapornya. Cok yang paling genit.
Kami berempat mulai sekongkol pada masa akil balig. Dan seperti layaknya sebuah komplotan, kami saling tolong. Namun, juga seperti layaknya persekongkolan, lama kelamaan kami merasa perlu merumuskan musuh bersama untuk memperkuat perkawanan kami. Maka di dalam kamar tidur Yasmin
yang dikunci rapat-rapat agar tak ada orang lain bisa masuk, kami duduk melingkar, mendaftar para penjahat. Menurut Yasmin, musuh utama kita adalah guru. Aku tidak terlalu setuju sebab aku yakin musuh pertama kita adalah orangtua. Menurut Laila, laki-lakilah penjahat ulung yang mesti dicurigai. Sedang Cok tidak bisa menemukan musuhnya. Kutahu ia lagi sirik pada seorang murid cantik di kelas 2 C. Dan ia tak mungkin memasukkan rivalnya itu dalam daftar musuh kami. Susahnya, Cok juga tak bisa memutuskan untuk menambahkan suaranya pada usul yang mana. Lalu kami saling berdebat.
Apa salah guru" Aku menantang Yasmin dan ia menjawab: sebab mereka memberi tugas terlalu banyak dan melaporkan tingkah kita pada orangtua. Mereka juga menghukum dan mempermalukan murid. Laila mendukungnya. Betul juga, katanya. Jika guru tidak memberi banyak PR, kita punya waktu bermain lebih panjang. Tapi aku membantah: kalian salah alamat. Kalau itu persoalannya, yang salah tetaplah orangtua. Sebab mereka yang mendaftarkan kita ke sekolah. Bagaimana pendapatmu, Cok"
Ia manggut-manggut. Yah, orangtua memang menyebalkan. Guru juga sama saja. Seri.
Tapi, orangtua sayang pada kita, guru tidak Yasmin bertahan. Ayah-ibu memelihara kita, bekerja untuk kita, melahirkan kita. Tapi aku terus membantah. Kataku: justru itu! Justru karena lahir kita jadi harus sekolah. Yang salah tetap ibu dan ayah. Kalau kita tidak lahir, kita tak perlu belajar. Namun, dalam hal ini Yasmin dan Laila segera bersekutu: agama mengajar kita menghormati orangtua, ujar mereka. Aku jadi jengkel. Dengar kawan-kawan, kataku, jika agama dipakai untuk urusan ini, pada akhirnya yang salah adalah
Tuhan. Mendengar itu Yasmin marah sekali, sehingga kami kepingin berkelahi. Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah lakilaki. Tapi Cok serta merta menolak. Kutahu ia mulai pacaran dengan murid kelas tiga.
Apa salah laki-laki"
Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian. Seperti dalam nyanyian. Kami pun berpikir-pikir. Lama. Lama sekali. Tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi kukatup mulutku rapat-rapat karena aku tak ingin kembali bertengkar. Sebab menurutku yang curang lagilagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis.
Tapi, kata Yasmin kemudian, bukankah ayah kita tidak meninggalkan ibu kita" Laila lalu nampak agak bingung, tapi akhirnya ia mengajukan solusi: ibu kita baru menyerahkan keperawanannya setelah menikah. Jadi ayah tidak meninggalkan dia. Sementara itu, kutangkup lagi dua tangan pada mulutku, sebab di lidahku ada pendapat yang mau meloncat, yang akan dianggap kedua temanku sebagai hujat.
Namun beberapa detik kemudian eureka yang lain meletup dari bibirku: Aku tahu siapa musuh kita!
Siapa dia" Bukan Tuhan. Musuh kita adalah ayahKU! Sebab dia guru, orangtua, sekaligus laki-laki!
Tapi temuanku cuma membikin bingung mereka. Meskipun akhirnya dari sana kami sepakat bahwa menentukan musuh tak bisa mutlak begitu saja. Tidak selamanya mudah, namun ketiga usul tadi bisa menjadi kriteria. Tapi entah
kenapa mereka enggan menerima ayahku sebagai musuh utama. Bukankah dia memenuhi seluruh prasangka"
Semakin kami dewasa, semakin terbukti pada Laila, Cok, dan diriku bahwa musuh utama kami adalah orangtua. Ketika itu waktu telah mengubah tubuh kami. Dada kami telah timbul dan Yasmin tumbuh menjadi tinggi dan langsing sehingga dialah yang terjangkung di antara kami sekarang ini. Laila tetap mungil seperti anak kecil yang belum kenal dosa. Dia jatuh cinta pertama kali pada Wisanggeni, dengan demikian ia sendiri membatalkan lelaki sebagai penjahat. Waktu itu pemuda itu mahasiswa seminari yang ditugaskan membimbing rekoleksi tentang kesadaran sosial di SMP kami. Dan terbukti lelaki itu tidak menginginkan keperawanan. Temanku amat kagum padanya, pemuda yang tampangnya sama sekali biasa saja namun baik, dan Frater Wis pun memenuhi buku hariannya. Mungkin ada sepuluh Frater Wis di setiap halaman. Tapi Laila berasal dari keluarga Minang-Sunda. Ayah dan ibunya menemukan diary itu dan habis-habisan memarahi temanku. Hampir-hampir ia dipindahkan ke sekolah lain. Sementara Yasmin yang Katolik juga keberatan jika Laila terus-menerus menguntit calon pastor, sebab mereka hidup selibat (aku sering keliru mengucapkannya sebagai sembelit). Namun karena kami berempat telah bersumpah untuk sekongkol, Yasmin bersedia melindungi Laila dari orangtuanya jika teman kami itu kangen luar biasa untuk bertemu si Frater. Pemuda itu mengerti perasaan yang membludag dari hati Laila seperti susu murni tumpah ketika digodok dalam kuali, dan meladeni obrolannya dengan sopan. Aku sendiri pernah membaca buku harian Laila. Dari sana kutahu ia belum punya ketertarikan
yang tak sopan pada lelaki. Cintanya mirip devosi. Isinya cuma pujian dan keinginan memberi. Padahal, sementara itu diam-diam aku dan Cok mulai saling membagi pengalaman bercumbu kami, saling kros-cek bentuk dan zona erotis lakilaki yang kami pacari. Kadang mendenahkannya pada secarik kertas. Dan kami mulai tahu bahwa laki-laki tidak sama satu dengan yang lain.
Tapi kami kehilangan Cok tiba-tiba pada kelas dua SMA. Suatu hari bangkunya kosong, tanpa berita. Dan ia tidak muncul selama seminggu, tanpa pamit. Para guru bertanya: ke mana si kenes itu" Kami meneleponnya, tapi tak ada yang mengangkat. Untuk datang ke rumahnya, kami kecut, sebab selama ini kami sering membohongi orangtuanya jika Cok pacaran. Jangan-jangan kini mereka sudah tahu. Akhirnya, karena tak tahan kehilangan teman, kami membuat penyelidikan. Dengan mobil Yasmin dan teropong binokular, kami mengintai rumah Cok dari seberang jalan Tanah Mas, dari balik pedagang kelapa dan pisang barangan yang berjajar di jalur lambat. Terlihat ayahnya pulang kantor, pembantu membukakan pintu sambil tersenyum, keadaan sepertinya normal, sehingga kami tetap tak tahu apa yang terjadi. Tapi pekan berikutnya, para guru tak lagi bertanya-tanya kepada kami sehingga aku curiga bahwa mereka telah memperoleh jawabnya. Lalu kudatangi walikelasku: ke mana sebetulnya Cok" Ibu guru menjawab juga: dia dipindahkan ke Ubud. Kenapa begitu ujug-ujug" Karena di Jakarta iklim pergaulan sudah rusak.
Akhirnya sepucuk surat datang dari Cok. Begini kutipannya: Tala yang baik,& Mama dan Papa menemukan kondom dalam tasku& Aku cuma menulis surat ini pada kamu. Soalnya, Yasmin dan Laila bakal shock mendengar ini. Janganjangan nanti mereka tidak mau kenal lagi dengan aku.
Namun aku tak tahan bungkam terus-menerus, sementara dua sahabatku bingung terus-menerus. Akhirnya kuceritakan juga kabar perihal Cok.
Kusaksikan wajah kedua temanku. Seperti satin baru keluar dari mesin cuci dan ditempeli setrika panas. Kusut dan ada lubang gosong yang menyisakan asap. Aku seperti melihat heran dan gelisah mengepul dari mulut mereka yang tercengang.
Kenapa kalian bengong begitu" dengan jengkel aku bertanya. Kutahu keduanya terkejut karena Cok sudah bukan perawan.
Akhirnya Laila berkata: Apa kubilang dulu. Musuh kita adalah laki-laki. Laki-laki merusak dia.
Aku agak lega karena ia bukan mempersalahkan Cok. Namun aku tetap ngotot: Kenapa laki-laki" Pacarnya tidak meninggalkan dia, kok! Dia yang meninggalkan pacarnya, karena dipingit Papa dan Mama-nya.
Tapi, percaya deh, cowok itu akan punya pacar baru di Jakarta. Untuk apa dia mengingat Cok setelah dia mendapatkan semuanya.
Aku tak bisa membantah itu karena aku tak begitu kenal dengan pacar Cok. Lagipula, apakah cowok yang itu identik dengan setiap cowok di dunia, atau semua cowok identik satu sama lain" Namun lewat surat-suratnya kemudian, Cok bercerita bahwa di kota kecil itu akhirnya ia malah pacaran lagi. Bagaimana dengan do imu yang di Jakarta" Gue enggak tahan pacaran jarak jauh, jawabnya, tapi gue juga enggak tahan enggak pacaran.
Namun, semakin lama semakin ruwet cerita yang ia tuturkan, sebab semakin banyak nama yang dia sebut dalam surat-suratnya. Dan ia kencan dengan beberapa pria sekaligus dalam kurun waktu yang sama. Aku agak bingung membacanya. Jika terlewat satu surat saja, cerita sudah melompat ke babak baru, seperti sinetron sabun. Apakah kamu tidur dengan mereka semua" Tidak, jawabnya. Sebagian saja. Dalam sehari kamu bisa pacaran lebih dari satu orang" Iya, tapi tidak setiap hari. Bagaimana dengan orangtuamu yang dulu membuangmu ke pelosok Republik Indonesia supaya jadi bermoral" Mereka tak bisa marah lagi, katanya. Malah, mereka kadang terpaksa melindungi aku dari pacar-pacar yang ngamuk karena kukhianati.
Akibat krisis dengan orangtuanya dulu, Cok baru lulus SMA di Ubud dua tahun lebih lambat daripada kami bertiga. Lalu ia kembali ke Jakarta untuk sekolah perhotelan di Sahid karena ia mau meneruskan bisnis ibunya. Kelak ia membuka bungalow dengan galeri dan kafe di lahan keluarganya di Ubud dan Sanur. Ia juga membuka bisnis hotel di Sumatera dan Jawa. Sejak ia kembali ke Jakarta, kami berempat pun menjalin persahabatan lagi. Tapi kami sudah lebih dewasa dibanding tiga atau empat tahun lalu. Setelah perang mulut dengan ayahku yang kepingin agar aku pintar, aku tetap masuk IKJ dan terus menari. Laila kuliah di jurusan komputer Gunadharma, tapi ia juga senang memotret. Dan Yasmin masuk Fakultas Hukum UI tanpa test, sebab ia cerdas dan tekun sehingga lolos program PMDK. Namun kini, Yasmin yang dulu alim mulai pacaran. Orangtuanya yang kaya membelikan dia
rumah di Depok agar dekat kampus. Hari Sabtu dan Minggu ia pulang ke rumah Simprug, Senin sampai Jumat ia dan pacarnya saling mengeksplorasi tubuh dengan kemaruk. Si cowok akhirnya meninggalkan tempat kosnya yang agak bau ayam, lalu menetap di rumah Yasmin. Kemudian, dengan malu-malu, Yasmin mengaku kepada kami bahwa ia sudah tidur dengan Lukas.
Tapi kami mau nikah, tambahnya cepat-cepat, sebab ia merasa telah berzinah.
Dan mereka memang kawin setelah Lukas mendapat pekerjaan di BPPT, setelah delapan tahun mereka saling setia dalam masa pacaran. Lukas Hadi Prasetyo orang Jawa. Yasmin Moningka orang Menado, tapi ia setuju saja untuk menikah dengan adat Jawa yang rumit itu. Ia juga rela mencuci kaki Lukas sebagai tanda sembah bakti istri pada suami, yang tak ada pada upacara ala Menado. Kok mau-maunya sih pakai cara begitu" aku protes. Tapi ia menjadi ketus. Ah, Yesus juga mencuci kaki murid-muridnya. Lagipula, kamu sendiri orang Jawa! Aku mau memberondongkan argumen panjang tentang Yesus-nya dan Jawa-ku. Misalnya, cuci-cucian Yesus itu adalah sebuah penjungkiran nilai-nilai, sementara yang dilakukan istri Jawa adalah kepatuhan dan ketidakberdayaan. Tidak sejajar sama sekali. Tapi pekan ini mestinya merupakan hari-hari bahagia miliknya yang tak boleh kuusik. Kalau bisa, aku kepingin jadi orang Menado saja, sahutku kemudian.
Kami ngobrol di kamar pengantin, sebelum tukang paes datang untuk mengerik sinom seperti jidat kucing dan menggambar alis bercabang. Wanita yang mriyayeni itu akhirnya datang dengan kotak rias besar, dan mengusir kami: Hayo,
yang masih gadis-gadis tidak boleh di sini, sebab nanti kecantikan pengantennya terserap oleh kalian! Lalu aku dan Cok mengusir Laila. Sebab dialah satu-satunya yang masih gadis.
Tahu-tahu usia kami tiga puluh. Cok sudah lama berdamai dengan orangtuanya. Yasmin tak lagi menganggap guru sebagai musuh, sebab ia sudah lulus. Aku sendiri masih memendam dendam pada ayahku. Sedang Laila, aku tak tahu apakah ia masih menganggap lelaki sebagai penjahat utama. Dia telah jatuh cinta beberapa kali, dan tak pernah menyakiti lelaki seperti Cok memanfaatkan dan membohongi pacar-pacarnya. Setiap kali mencintai, Laila begitu penuh perhatian. Jika hari ini si pria bilang kepingin sop konro, atau toge goreng, kaset atau kompakdisk lagu baru atau lama, atau pernik lain, dia akan berusaha mampir dan membelikannya. Ia tak pernah alpa memberi kado ulang tahun. Ia suka mengirim kartu, surat, dan kata-kata. Juga ketika ia pacaran dengan Sihar. (kuinginkan mulut yang haus/dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus)
Kini gelap sudah sampai ke Barat. Di apartemenku Laila lalu terbaring layu, seperti pohon pisang yang kubeli lewat pos dan datang dalam kardus namun kini lesu kekurangan matahari. Beberapa kali telepon berbunyi, dalam film di televisi. Tapi sampai malam Sihar belum juga memberi kabar.
Bintang-bintang sudah dinyalakan sebagai pucuk-pucuk pencakar langit dari dunia lain, berbaur dengan lampu-lampu Manhattan yang melahap jutaan watt. Aku ingin merokok, kata Laila.
P erabumulih , 11 D esember 1990
Sembah pangabekti, Semoga surat kedua ini juga sampai di tangan Bapak. Mohon pangaksama karena saya telah membuat susah hati Bapak. Saya tahu Bapak mencintai saya, dan sebab itu amat menderita karena segala yang terjadi sejak awal tahun ini. Koran-koran menuding saya dengan tidak adil, tapi saya yakin Bapak jauh lebih merana akibat berita-berita itu dibanding saya sendiri, seperti saya percaya duka Maria di jalan salib lebih hebat ketimbang sengsara Gusti Yesus sendiri. Orang tua selalu merasakan kesusahan anaknya dengan berlipat. Lebihlebih, Bapak tidak tahu saya berada di mana dan sama sekali tidak bisa menghubungi saya. Saya akan mencoba sesering
mungkin mengirim kabar agar Bapak selalu yakin saya dalam keadaan baik. Jika mungkin saya akan mencoba menelepon. Jangan terlalu khawatir tentang anakmu ini.
Bulan ini musim hujan sudah amat deras. Udara menjadi lebih segar, tak ada lagi jerebu, karena air membilas asap pembukaan hutan, namun transportasi semakin sulit akibat jalan-jalan yang longsor setiap pergantian tahun. Saya masih berpindah-pindah. Tapi Bapak tak perlu cemas, berkat para wanita yang baik hati, yang merawat selama saya sakit dan senantiasa berusaha mencukupi sampai saat ini. Mereka teramat aten, terkadang saya ingat Ibu. Bukan karena mirip, melainkan justru karena berbeda. Ibu begitu hangat, gayeng, cantik, dan misterius. Ibu adalah sosok yang sanggup membuat semua makhluk jatuh cinta. Saya kira, malaikat dan jin pun bisa luluh pada Ibu, dan itu bukan salah Ibu. Sementara wanita-wanita yang ngopeni saya sekarang ini sungguh sederhana, sistematis, teliti, rapih, disiplin. Persamaan Ibu dan mereka adalah semuanya sungguh-sungguh menyayangi saya. Kasih bisa datang dari segala jenis manusia. Saya juga ditampung oleh beberapa orang, di kota maupun di dusun, yang begitu ramah dan melindungi meskipun mereka tahu apa yang dituliskan surat kabar. Dan orang-orang seperti itu selalu menumbuhkan harapan dalam diri saya di tengah semua simpang-siur dan ketidakberdayaan ini.
Jika saya sedang menetap di kota, saya selalu merindukan bau hutan. Tanah basah dan hangus kayu bakar. Aroma yang sama dengan ketika dulu Bapak membawa saya melihat-lihat perkebunan yang dibuka dengan utang dari BRI lebih dua puluh lima tahun yang lalu. Orang-orang Jawa masih terus
berdatangan sebagai transmigran. Kalau saya mengenang semua itu, rasanya sungguh ajaib bahwa saya kini telah tumbuh begitu besar, Bapak semakin tua, Ibu sudah seda, sementara bumi ini masih yang dulu, tercipta dan terperbarui terus menerus oleh makhluk-makhluk yang lahir dan mati pada permukaannya. Hidup adalah sesuatu yang menakjubkan.
Kadang saya merasa muram teringat rumah asap yang saya dirikan bersama teman-teman, yang modal awalnya dari Bapak. Bapak telah begitu baik. Beribu terima kasih saya haturkan, meskipun sekarang semua itu tidak lagi bersisa. Keuntungan kebun yang disimpan di bank sebetulnya masih ada beberapa juta, tetapi belum bisa diambil, sebab kami khawatir ditangkap waktu menguangkannya. Beberapa hari lalu, saya sembunyi-sembunyi lewat sekitar Lubukrantau dan melihat truk-truk mengangkuti polybag bibit sawit yang hijau segar. Begitu terawat. Iringan truk dari kebun penyemaian perusahaan ke lahan para petani. Pohon-pohon kelapa itu mulai menggantikan tanaman karet. Tunggul-tunggul karet, juga yang dulu saya tanam, telah habis sama sekali. Akarnya pun tak tersisa. Kelak, pohon-pohon sawit yang sehat dan gemuk itu tentunya akan tumbuh menjadi hutan industri yang megah seandainya ia tidak menyimpan sejarah yang pahit: petani-petani yang dipaksa, juga tipu daya yang kurang ajar. Saya meminta seorang teman untuk menyelidiki surat kesepakatan yang dulu ditandatangani warga. Ia memberitahu bahwa perusahaan memang menipu orang-orang, karena isi kesepakatan itu adalah penyerahan lahan kepada Anugrah Lahan Makmur dengan uang pengganti. Memang persoalannya tidak sesederhana pertarungan antara dua kelas, perusahaan versus petani. Di masing-masing kelompok ada orang-orang
rakus yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Saya kira, perusahaan memang ingin memiliki sendiri perkebunan itu agar efisien dan mudah dikontrol. Mereka menyediakan sejumlah dana untuk membeli dari petani, sebab memang banyak transmigran yang telah menjual lahannya secara ketengan kepada orang kota dan pengusaha yang lebih kecil setelah mereka sendiri tak mampu mengolah. Problemnya semakin rumit ketika orang-orang yang ditugaskan perusahaan untuk menawar lahan petani berbuat curang dan sewenangwenang (dan perusahaan memungkinkan itu atau bermuka badak saja). Saya kira, sebagian jatah dana pembelian dinikmati sendiri oleh para perantara itu dengan menipu dan memakai kekerasan untuk menaklukan para transmigran. Namun, beberapa warga juga mendapat bayaran atas jasa mempengaruhi teman-temannya sendiri. Melihat itu, saya memperhitungkan dalam lima sampai sepuluh tahun ini akan muncul persoalan yang lebih besar. Atau represi yang lebih kasar ketika para transmigran itu hendak menuntut kembali lahan mereka. Sebab, yang mereka tahu adalah perusahaan menyewa tanah mereka dengan bagi hasil sampai sepuluh tahun.
Oleh karena itu, Bapak, saya sekali lagi ingin memohon restu Bapak. Saya ingin terus menetap di tempat ini.
Bapak, Saya tahu Bapak sering sulit menyesuaikan harapan Bapak dengan keputusan-keputusan saya. Saya ingat waktu saya menetapkan diri untuk masuk seminari. Saya tahu Bapak sedih karena saya satu-satunya anak Bapak. Dengan menjadi pastor, saya membuat keturunan Bapak berhenti. Saya memaksa
Bapak ikut menanggung kesepian karena tak akan lahir cucucucu yang lucu bagi Bapak, yang seharusnya mengisi masa pensiun Bapak. Kemudian, ketika Ibu meninggal saya justru pergi. Saya malah meminta ditugaskan di tempat ini, dan sekali lagi membiarkan Bapak dalam kesendirian.
Lalu perlahan-lahan Bapak bisa menghibur diri dengan kerelaan melepaskan saya karena suatu hal: yaitu bahwa saya pergi untuk menggembalakan umat, untuk membangun Gereja, atau untuk kemanusiaan secara umum. Untuk sesuatu yang lebih besar ketimbang kebahagiaan Bapak sendiri. Padahal sesungguhnya yang saya alami tidak begitu. Tidak segagah itu. Sama sekali tidak.
Apa yang saya perbuat rupanya tidak memperoleh daya geraknya dari ide-ide abstrak tentang tuhan ataupun kemanusiaan ataupun keadilan. Saya harus mengakui, ada semacam kebetulan saja yang menyeret saya melakukan apa yang saya kerjakan, menyeret saya sampai pada keputusan-keputusan saya. Kebetulan itu adalah pertemuan. Ketika saya bertemu dengan orang-orang Lubukrantau, melihat mereka, lalu bercakap-cakap dengan mereka, tiba-tiba saja saya menjadi terlibat dengan mereka. Saya semakin ingin kembali ke sana, dan setiap kali saya kembali ke sana, semakin hebat saya terlibat. Tidak ada kata yang lebih baik daripada terlibat untuk menerangkan hubungan dan perasaan saya pada mereka. Barangkali itulah cinta tapi rasanya tak terlalu tepat betul.
Dan saya mengalaminya sebagai sesuatu yang sederhana, namun teramat menggetarkan. Saya kira cinta seorang lakilaki pada perempuan, atau perempuan pada lelaki, juga
sesuatu yang datang begitu saja namun memberi daya yang gemuruh. Memberi kita keinginan menyerahkan tubuh. Bukan persis suatu pengorbanan, tetapi suatu gairah. Juga kekuatan untuk menanggung banyak hal. (Dalam hal ini saya bersyukur karena gairah itu tak pernah mencapai klimaksnya untuk kemudian surut.)
Ketika saya mengalaminya, maka segala penjelasan tentang kemanusiaan, juga teologi, menjadi tidak mencukupi. Memang sedari kecil saya terkesan pada kisah orang-orang kudus yang bersahaja. Fransiskus Asisi. Ignatius Loyola. Orangorang yang hidup dalam semangat kemiskinan ketika sri paus sedang mabuk dalam kemegahan Kristendom. Paulus menghabiskan hampir seluruh surat-suratnya untuk menjelaskan kasih, yang agaknya sungguh membuat dia tergetar. Namun, kasih sebetulnya saya lebih senang menambahkan konsep keterlibatan adalah suatu pengalaman yang tidak bisa diringkus dalam kata-kata. Ia tidak tercakup dalam penjelasan apapun. Juga penjelasan saya. Bahkan Paulus hanya berhasil menuturkan ciri-cirinya. Tapi semua itu saya kira hanya bisa kita pakai untuk mengenali cintakasih. Jika kita mengguna?" kannya sebagai pedoman, maka yang terjadi adalah sebuah hukum baru yang datang dari luar tubuh manusia, yang tidak dialami melainkan diterapkan. Kesucian, bahkan kesederhanaan, yang dipaksakan seringkali malah menghasilkan inkuisitor yang menindas dan meninggalkan sejarah hitam. Karena itu saya percaya bahwa Tuhan tidak bekerja dengan memberi kita loh batu berisi ide-ide tentang dirinya dan manusia. Tuhan bekerja dengan memberi kita kapasitas untuk mencintai, dan itu menjadi tenaga yang kreatif dari dalam diri kita.
Bapak terkasih, Ada hal yang ingin saya katakan pada Bapak dengan penjelasan itu, dan saya harap Bapak tidak kecewa.
Barangkali karena itulah kita, dalam misa, selalu mencoba membaca kembali dan mengenang sengsara Tuhan untuk terus-menerus mengalaminya. Menginternalisasikannya. Karena Bapak membesarkan saya dalam tradisi itu, kisah itu sungguh menggetarkan saya. Sebuah kisah tak pernah berpretensi untuk menyarikan suatu ajaran jika bisa disampaikan dengan dalil atau pedoman. Kisah adalah pengalaman, yang tak memiliki jalan keluar lain.
Namun tidak semua orang lahir dalam tradisi itu. Kisah itu sudah lewat dua ribu tahun lampau. Dengan segala perbedaan budaya, juga segala kesalahan yang dilakukan Gereja sendiri, cerita itu bisa menjadi tidak relevan. Tapi saya percaya bahwa Tuhan menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang. Saya kira Yesus sendiri tidak mau memonopoli cintakasih. Penebusan adalah satu hal, tapi kapasitas untuk terlibat dan mencintai ada pada setiap manusia. Bapak, jika kita percaya Tuhan telah meleburkan diri menjadi manusia untuk mengalami manusia, kita juga harus percaya bahwa Ia mau meleburkan dirinya menjadi apapun juga. Bendera Gereja tidak selalu harus dikibarkan. Bendera itu bukan cuma milik Gereja.
Sekarang ini, ketika saya harus memilih untuk tetap di Gereja atau berada bersama teman-teman yang dengannya saya terlibat, saya memilih yang kedua. Sekali lagi saya mohon pemaafan Bapak. Setelah Bapak bisa melapangkan hati dengan keputusan saya menjadi pastor, saya justru memutuskan
untuk keluar dari kepastoran. Bukan untuk memberi kebahagiaan bagi Bapak, melainkan untuk mengembara menuju sesuatu yang tak pasti. Saya harus mengakui bahwa sebetulnya saya pun sedikit banyak gentar tentang apa yang harus saya lakukan. Saya kini dalam persembunyian. Mungkin ini akan berlangsung sekitar satu sampai dua tahun, sampai ada vonis terhadap penduduk Lubukrantau yang tertangkap. Biasanya setelah persidangan selesai, terdakwa yang buron tidak lagi dicari (tak ada bujet!). Lagipula, dalam sidang peran saya sebagai penghasut semakin tidak terbukti. Itu berarti saya akan bisa muncul lagi. Jadi Bapak tenanglah.
Bapak, sekali lagi saya mohon beribu maaf untuk anakmu yang tidak tahu diri ini. Saya sedang melobi beberapa organisasi di luar negeri untuk mendanai sebuah lembaga swadaya masyarakat yang saya hendak dirikan bersama beberapa kawan. LSM yang mengurusi perkebunan. Tapi, saya ingin juga membikin suatu usaha apa bentuknya, saya belum pasti yang sedikit banyak bisa membantu membiayai beberapa orang Lubukrantau yang kini tak lagi punya tanah dan tak punya pekerjaan. Apakah Bapak bersedia, lagi-lagi, memberi saya modal untuk menambah uang kami yang masih tersimpan di bank"
(Minggu ini akan ada seorang teman penghubung yang akan menelepon Bapak. Saya tidak bisa menyebut namanya, namun Bapak telah mengenal dia.)
Bapak, Bagaimana kabar Banun" Mestinya dia sudah melahirkan, ya" Bayi lelaki atau perempuan" Apakah tidak mungkin meminta dia dan suaminya tinggal di rumah kita saja" Sayang
Ibu sudah tak ada. Ibu pasti akan telaten sekali merawat bayi sehingga ada alasan buat Banun untuk tinggal di Pejaten: ibu muda selalu membutuhkan ibu yang berpengalaman. Dengan demikian Bapak tidak kesepian. Tapi, saya kira tetap ada alasan (untuk mencoba memaksa) agar mereka tinggal bersama Bapak sementara ini. Daripada mengontrak, lebih baik jatah uang kontrakannya ditabung untuk membeli rumah. Apalagi kantor Duwi di Cilandak Commercial Estate, bukan" Sampaikan selamat saya pada mereka berdua, juga cium sayang saya pada si kecil.
Bapak sendiri masih olah raga setiap pagi bersama SSI" Bagaimana dengan cucakrawa dan tekukur dan ayam kate kita" Kalau saya boleh usul, burung-burung jangan dipisahkan hanya supaya mereka berbunyi. Memang kalau berpasangan, mereka tidak bernyanyi. Tapi mereka kan kepingin kawin. Tidak adil kalau Bapak membandingkan mereka dengan pastor. Burung-burung kan tidak memilih sendiri untuk hidup selibat seperti pastor atau suster! Apalagi dari kecil mereka berpasangan. Pasti sedih sekali kalau diceraikan. Apa tidak mungkin Bapak dan burung-burung itu saling berbagi waktu" Maksud saya, ada periode tertentu Bapak mengalah dan menyatukan burung-burung itu, dan di periode lain burungburung yang mengalah, puasa sebentar sambil nyanyi untuk Bapak. Memang agak rumit untuk mengembalikan ke pasangan masing-masing. Barangkali harus ditandai, atau dibikinkan kandang khusus. Bagaimana" Saya kira Bapak akan asyik.
Sembah sujud, Wisanggeni N ew Y ork , 7 M ei 1994 Yasmin yang baik, Ini surat pertama dari pengasingan. Alamat e-mail baru saja diinstal: saman@hrw.org (kantor) atau wisang@ibm.net (pribadi).
Akhirnya tiba di New York. Mendarat di airport John F. Kennedy sore tanggal 3. Basah, dingin, angin. Terasa kosong. Tak ada yang kuinginkan dari negeri ini selain menyaksikan musim rontok untuk pertama kalinya. Banyak buku bercerita tentang pohon maple yang menjelma begitu indah di bulan Oktober, daunnya yang rekah menjadi skarlet menyala. Tapi musim gugur baru akan tiba enam bulan lagi. Sayang.
Bandara JFK tidak rewel. Mungkin karena ini penerbangan domestik. Sebelumnya, pesawat memasuki teritori US lewat Los Angeles, di mana semua penjaga bertampang curiga barangkali inilah wajah angker dari negara super power terhadap pendatang (beberapa hari di sini, setiap kali pergi ke mini market kasirnya selalu meneliti apakah aku membayar dengan dolar kertas palsu). Meski antrian panjang, sejumlah bagasi dibuka, ada orang kulit berwarna diperiksa di kamar khusus. Aku menjadi kagok. Harus kuakui, masih muncul keengganan setiap kali melihat petugas. Perasaan yang spontan adalah mereka bukan menimbulkan keamanan, malahan membikin masalah. Seperti kamu pernah bilang, jika kita melihat polisi lalu lintas bermotor, maka kita bukan merasa tenang melainkan menjadi tegang kalau-kalau harus berurusan karena siapa tahu lampu mobil mati sebelah. Apalagi, kepergian ini memang suatu pelarian. Tidak lucu kalau dideportasi cuma karena alasan administrasi. Untunglah semua beres di imigrasi.
Dijemput Ferouz, kawan dari Human Rights Watch, seorang warga negara Bangladesh. Lalu naik bus gratis ke stasiun subway terdekat Howard Beach kapitalisme juga bisa menyediakan fasilitas resik tanpa ongkos. Dari luar, stasiun ini nampak seperti gudang yang menyendiri di lautan mobilmobil yang diparkir orang-orang yang bepergian naik pesawat ke negara bagian lain. Dalamnya adalah sepasang peron yang sepi lagi sempit, seperti stasiun di kota kecil pulau Jawa. Dari sana naik A Train, lalu ganti metro beberapa kali, dan stasiunstasiun bawah tanah semakin besar dan kian gemuruh. Ke luar dari lorong-lorong tangga, New York tampak permukaaannya: kota yang meriah.
Ke markas Human Rights Watch di 42 nd street dan Fifth Avenue. Lembaga itu bertempat di lantai tiga, berbagi lantai dengan satu atau dua organisasi lain. Kesemuanya concerned dengan perkara serupa: hak asasi, demokrasi, kebebasan pers, yang umumnya menjadi masalah di dunia ketiga. Tapi alangkah jauhnya kantor ini dari lokasi persoalan. Alangkah berjarak. Tak terbayang, apakah dari gedung ini orang-orang yang tak pernah secara langsung melihat problem sanggup merasakan apa yang terjadi di ujung bumi lain yang jaraknya berbeda siang dan malam kekejamannya, juga humornya. Barangkali mereka tak bisa membayangkan bagaimana seorang buruh dianiaya habis-habisan dan akhirnya dibunuh hanya karena mempersoalkan upah, atau orang-orang yang disiksa dan direndahkan martabatnya di markas intelijen agar mengaku membunuh Marsinah demi menutupi pembantai yang sesungguhnya. Tapi sebaliknya, barangkali mereka juga membayangkan yang berlebihan, suatu sistem yang senantiasa efektif dan mencekam, sehingga tak mengira jika bukubuku Pramoedya masih didistribusikan, atau bahwa kamu bisa membikin pesta untuk teman-teman dalam penjara dan memberi mereka laptop atau handphone. Kukira negeri kita bukan seperti yang kamu bilang, mesin yang menindas, melainkan sesuatu yang penuh ketidakpastian di mana hukum berayun-ayun seperti bandul jam: di satu sisi ada ketidakefektifan atau mungkin keengganan terserah kamu mau bilang apa, tapi orang suka menyebutnya kebijaksanaan , di tengah-tengah ada penegakan hukum , dan sisi yang lain ada kelewatan atau over acting . Tak ada perlakuan yang sama bagi orang yang tidak sama. Tidak juga bagi orang yang sama di dalam situasi berbeda. Orang-orang yang
berkuasa bisa membeli atau memainkannya. Orang-orang seperti kita kadang bisa menawar, kadang menjadi mainan aparat yang terlalu berlagak. Ada juga dalam hidupnya terusmenerus menjadi korban dan kenapa biasanya orang miskin" Mengingat mereka kerap membuatku ragu apakah Tuhan memang adil, kalau Dia ada.
Kini rasanya aneh bahwa aku begitu terpisah dari persoalanpersoalan itu, yang selama ini menjadi bagian hidup. Aku belum juga nyambung dengan lingkungan ini, padahal banyak orang jatuh cinta pada New York dengan segera. Apakah karena baru sepekan di sini, atau karena habitatku bukan di kota besar, entahlah. Rasanya aku spesies dari dunia lain. Pekerjaan di sini juga akan lebih banyak berkutat dengan tumpukan kertas dan laporan-laporan pelanggaran hak yang terjadinya ribuan kilometer dari kursi tempat aku duduk. Pastilah aku akan dengan parah merindukan teman-teman di Sumatera, suasana perkebunan, pabrik. (Juga merindukan kamu.) Kadang terpikir, apakah kepergian ini suatu keputusan yangbenar" Apakah tidak lebih baik jika aku sembunyi saja di dalam negeri seperti dulu" Bukannya tidak mau berterima kasih kepada kamu dan semua yang menyelamatkan aku kemari, cuma aku khawatir seandainya kehadiranku di sini tak begitu berguna, tak sebanding dengan pertolongan yang kalian berikan. Barangkali lebih banyak yang bisa dikerjakan di Indonesia.
Sekarang, bagaimana keadaan di tanah air, terutama Medan" Aku baru mulai memeriksa laporan dan file tentang unjuk rasa yang rusuh dua pekan lalu itu, yang akhirnya membikin aku terdampar di sini. Nampaknya banyak orang tidak begitu faham apa yang terjadi dan menjadi canggung
untuk bersikap. Demonstrasi buruh yang diikuti enam ribu orang sebetulnya adalah hal yang simpatik, dan luar biasa untuk ukuran Indonesia di mana aparat selalu terserang okhlosofobia cemas setiap kali melihat kerumunan manusia. Namun, simpati orang segera berbalik setelah unjuk rasa itu menampilkan wajah rasis dan memakan korban. Aku amat sedih dan menyesali kematian pengusaha Cina itu. Alangkah mudahnya kemarahan yang terpendam (betapapun didahului ketidakadilan yang panjang) dialihkan menjadi kebencian rasial. Kukira, kita seharusnya sudah mesti belajar dari kelemahan aksi massa. Ribuan orang yang berkerumun akan dengan segera berubah menjadi kawanan dengan mentalitasnya yang khas: satu intel (atau bukan intel) bersuara lantang menyusup lalu berteriak dengan yakin, dan manusiamanusia itu akan menurut, seperti kawanan kambing patuh pada anjing, tak bisa lagi membedakan mana herder mana serigala. Bukankah sudah sering kita mengatakan bahwa itu yang terjadi dalam peristiwa Malari" Ada yang berteriak bakar toko-toko Cina atau hancurkan mobil-mobil Jepang, dan ratusan orang itu ramai-ramai melakukannya.
Kita memang bekerja dalam suasana yang sulit, sebab kita tidak menyukai kekerasan. Dan kita pun tak punya alat pembenar untuk melakukannya, sehingga kekerasan hanya akan menjadi senjata makan tuan. Apapun alasannya, betapapun telah panjang penyebabnya, kekerasan yang kita lakukan akan dibilang teror liar. Dan kita akan dianggap kriminal atau subversif. Sementara kekerasan yang dilakukan polisi dan tentara disebut tindakan legal demi keamanan atau pembangunan. Itulah yang dinamakan hukum. Kita harus sudah memikirkan cara di luar aksi massa. Barangkali sudah
waktunya membangun jaringan, merencanakan pemogokan, dan sabotase yang tak merenggut korban jiwa.
Tapi, baiklah. Bagaimana penanganan kasus Medan sekarang ini" Sudah dua minggu. Kelihatannya, tuduhan subversi akan dipakai" Kudengar Mayasak tertangkap dan dianiaya. Apakah sekarang dia telah boleh didampingi pengacara" Apakah kamu bisa menemui dia juga" Sampaikan salamku kalau kamu bisa ketemu, juga pada Bang Mochtar. Aku terkesan betul padanya waktu kami jumpa bulan Maret di Medan. Waktu itu dia sedang memberi ceramah pada buruh-buruh. Dia pasti dituduh, kan" Apakah namaku masih termasuk yang disebut-sebut dalam daftar pencarian orang" Sampaikan maafku karena tidak bisa bersama-sama kalian. Kadang, kupikir ditangkap juga tak apa. Kenapa aku harus melarikan diri" Apakah aku tidak pengecut"
Mengingat-ingat semua itu semakin membikin payah perasaanku. Satu hal yang kuharap: semoga di sini aku bisa mencari dana untuk membuat jaringan kerja dengan tempattempat terpencil. Kita tahu represi dan penganiayaan di daerah selalu lebih hebat dibanding di Jakarta. Kamu ingat di Pengadilan Muara Enim, sekrup ban mobil teman-teman dari LBH Palembang dipreteli ketika menggugat praperadilan Kapolsek Perabumulih" Di Jakarta, hampir tidak ada wartawan diculik dan disiksa. Tapi itu terjadi di daerah.
Yasmin, Surat ini ditulis dan dikirim dari apartemen Sidney. Aku masih menumpang dia. Minggu depan pindah. Ada tempat yang agak murah di Brooklyn (aku baru tahu daerah itu dari peta). Sekarang aku punya laptop dengan modem dan program
internet entah apakah ini laptop atau notebook, aku tidak tahu bedanya dua definisi itu. Pokoknya portable dan aku bisa bekerja dari berbagai tempat. Kawan-kawan memberikannya sejak di Singapura, supaya aku bisa mengirim faks. Tapi aku juga memakainya untuk menulis catatan harian. Itu merupakan kebiasaan baru. Aku tak pernah menulis diary sebelumnya, selain catatan-catatan tentang persoalan perkebunan dan yang aku anggap penting sebagai pelajaran untuk ke depan. Catatan tentang hidup rasanya terlalu romantis dan sentimentil. Aneh, tapi barangkali begitulah perasaanku sekarang ini. Aku kesepian.
Maukah kamu menelepon bapakku dan memberitahu dia aku baik-baik" Beberapa waktu lalu dia membeli komputer baru untuk mengganti yang lama. Kukira sudah pentium. Alangkah baiknya kalau dia mau pasang alamat e-mail sehingga kami bisa terus berkirim kabar. Bapakku pasti juga kesepian. Terima kasih sebelumnya, Yasmin.
N.B: Sampaikan salam dan terima kasih sebanyakbanyaknya untuk Cok. Dia begitu bersedia menanggung risiko ketika menyembunyikan aku keluar dari Medan. Persahabatan kalian memang luar biasa. Bagaimana dengan suamimu"
M edan , 8 M ei 1994 Saman,
Thank God! Aku lega sekali kamu selamat. Kamu enggak tahu, ya, bagaimana aku cemas dua minggu ini. Sejak kita berpisah di Pekanbaru, tak ada kabar lagi tentang kamu. Kamu seperti lenyap. Bahkan teman-teman yang menjemput
kamu juga tidak bisa kuhubungi. Aku khawatir jika kamu tertangkap, atau kapalmu tenggelam. Aku novena terus sampai Lukas bertanya-tanya sebab ini bukan Oktober. Kubilang ini kan bulan Mei dan aku berdoa untuk teman-teman yang ditangkap. Karena itu, I m so relieved bahwa kamu sudah sampai di New York.
Jangan terlalu merasa bersalah karena melarikan diri. Kemarin saya baca wawancara Amosi dengan Tempo dari suatu tempat persembunyian. Dia juga melarikan diri seperti kamu. Dia bilang, dia melakukannya karena selama ini, jika ada demonstrasi, ia selalu ditangkap lalu dianiaya tanpa tahu kesalahannya. Hampir semua kantor LSM di sekitar Medan sekarang kosong. Semua orang tiarap. Teman-teman yang tertangkap memang disiksa. Sampai hari ini, tuduhan masih subversi. Dalam situasi begini, menghindar adalah pilihan yang baik. Lagipula, lebih banyak yang bisa dikerjakan di Amerika daripada di penjara, bukan" Sekali lagi, jangan merasa bersalah.
Tiga hari ini aku di Medan. Keadaan mulai normal meski di sana sini masih banyak tentara berjaga-jaga. Pabrik-pabrik mulai kembali beroperasi, toko-toko sudah buka lagi. Besok aku kembali ke Jakarta. Aku harus membereskan legal audit, ada perusahaan yang mau go public. Papa sudah baik sekali. Dia mengijinkan aku membagi waktu dengan tim LBH, tapi aku tetap harus menyelesaikan kerjaan kantor yang memang porsinya sudah diringankan oleh Papa (juga bonusnya, sialan! Tapi enggak apa, supaya lawyer yang lain tidak cemburu). Papa bilang, bagaimanapun uang dan karir itu perlu. Tanpa uang kita tidak bisa menolong diri sendiri dan orang lain. Well, aku juga harus bekerja baik supaya Papa tidak malu. Nanti dikira nepotisme.
Saman, Kalau kamu memang menulis diary, mau enggak kamu share dengan aku" Lukas tidak akan membacanya, sebab tetap ada privasiku yang tak boleh ia jamah. Seperti ada privasi dia yang tak boleh aku korek. I miss you. I really do. Aku ketemu beberapa temanmu dari Perabumulih. Mereka juga kehilangan kamu. Aku mengerti jika mereka menyayangi kamu. Kami semua sayang kamu. Oh ya, begitu sampai di Jakarta, aku akan hubungi ayah kamu. Akan kubujuk supaya dia mau install program internet. Tapi, kamu belum pernah cerita tentang aku pada dia, kan"
P.S. Apakah kamu masih ingat aku"
N ew Y ork , 10 mei 1994 Yasmin,
Bagaimana aku bisa melupakan kamu"
Tentu saja kamu boleh membaca catatan harianku. Tapi ini sudah diedit tentu. Tidak semuanya kukirim. Bukan karena kamu tak perlu tahu (apakah aku masih punya sesuatu yang tersisa untuk ditutupi dari kamu"), tapi karena ada beberapa hal yang menyangkut orang-orang lain yang betul-betul tak boleh dibuka. Kudengar bahwa internet pun tidak aman. Nanti, kalau kita sudah memasang PGP (Pretty Good Privacy), semacam program pelindung, barangkali agak lebih leluasa. Sementara ini, lebih baik kamu selalu pakai alamat yang providernya ada di luar negeri. Memang lebih mahal karena pulsanya internasional (apa artinya buat kamu). Provider di Indonesia, seperti juga radio panggil, tidak suci hama
dari aparat keamanan yang secara hukum dibenarkan untuk memperoleh informasi itu. Tanyakanlah pada lembaga konsumen tentang peraturannya. Kalau perlu, selidiki siapa pemegang sahamnya.
Ini diary-ku: 16 April Medan. Situasi mencekam. Bahkan siang lengang. Orang-orang takut keluar rumah, tak ada yang berani berdagang. Unjuk rasa buruh sudah dua hari berjalan, dan kelihatannya sedang berakhir dengan kegagalan. Toko-toko yang pemiliknya tak berdosa ikut dirusak. Tapi klimaksnya adalah pengeroyokan dan pembunuhan Yuly Kristanto, pengusaha yang terjebak di tengah kerumunan. Sejak hari awal aksi, memang beredar beberapa selebaran anti Cina, entah dari mana sumbernya, mungkin dari intel. Menjelang petang hari ini kami membikin evaluasi dengan sembunyisembunyi dan cemas. Juga lemas. Sebab para komandan lapangan tidak berhasil mengendalikan orang-orang. Beragam gosip dan spekulasi muncul, namun kami pasti bahwa militer tak akan memberi toleransi lagi. Mereka kini sedang bergerak untuk menggebuk. Dan itu amat wajar. Namaku mulai disebut-sebut sebagai salah satu dalang, atau penunggang. Ada kabar bahwa surat cekal sudah dikirim ke kantor imigrasi. Kami berpencar sebelum malam, sebelum waktunya orang yang berkeliaran semakin dicurigai.
17 April Sejak subuh, tentara sudah berjaga di jalanjalan. Bayangan mereka muncul bersama matahari terbit. Belum bisa keluar Medan. Ada razia acak dan mata-mata. Aku berdiam di sebuah toko milik seorang kawan. Yang lain bersembunyi terpisah-pisah.
18 April Segelintir penduduk mulai merasa aman karena patroli rutin. Warung-warung mulai buka. Tiba-tiba Yasmin datang dari Palembang, baru dari sidang Rosano. Ia muncul dengan dandanan seperti amoy Singapura yang paling menor celana panjang ketat motif kulit macan, jaket hitam plastik, kaca mata matahari besar. Aku tak mengenali. Rupanya ia menyamar sebagai rekan bisnis pemilik butik yang kutempati. Menurut lobi ayahnya di kepolisian Jakarta, aku termasuk lima orang yang paling diburu. Ia membujukku untuk melarikan diri ke luar negeri. Katanya, itu bukan pendapatnya sendiri, melainkan kesepakatan kawan-kawan yang lain. Kebetulan Human Rights Watch butuh seseorang untuk membuat jaringan informasi di Asia Tenggara. Ia seperti memaksaku menerima pekerjaan itu. Teman-teman sudah setuju, katanya. Aku merasa tak punya cukup waktu untuk menimbang-nimbang. Dalam kondisi begini, apa ada waktu berpikir terlalu panjang" Semakin lama menunda keputusan, semakin sulit keluar dari negeri ini.
(Banyak orang jahat di dunia ini, tapi juga selalu banyak orang baik yang memperhatikan aku di sekelilingku.)
19 April Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadar umurku sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil. Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula
agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambutku, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah KTP, kartu identitas salah seorang pesuruh Cok di sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia biasa bekerja.
Agak tegang ketika mobil kami keluar dari garasi. Aku duduk di jok belakang Honda Accord, berperan sebagai jongos yang polos. Beberapa polisi yang kami lewati tidak curiga. Hanya berkedip genit pada dua wanita cantik yang duduk di depan. Kami menginap di Danau Toba International yang mewah. Besoknya berangkat dengan mobil yang berbeda. Supaya sulit dibuntuti, kata mereka. (Penyamaran yang baik membutuhkan dana yang tidak sedikit. Orang miskin atau yang tak punya kawan kaya akan sulit mendapatkan apa yang aku peroleh.)
20 April Keluar Medan. Di mulut jalan Kapitan Patimura mobil distop. Entah mereka tahu atau sekadar iseng melihat nyonya-nyonya menor ini. Aku dan Yasmin tegang. Aku sungguh cemas jika penyamaran terbongkar dan dua anak perempuan ini terseret. Tapi Cok dengan kenes dan nekad melayani orang-orang itu sambil menyebut-nyebut nama pejabat daerah, konon relasinya sebagai pengusaha hotel. Mereka pun membiarkan kami lewat tanpa memeriksa identitasku atau Yasmin. Menghindari jalur Pematangsiantar. Malam tidur di Tarutung. Aku tak bisa menyetir karena tak ada SIM. Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan sebagai petualangan.
21 April Sore sampai di Pekanbaru. Tinggal di Pedussi Inn, milik Cok. Menempati satu bungalow terdiri dari dua kamar tidur dan satu living room. Dari sana mengatur perjalanan selanjutnya. Cok pergi mengurus bisnisnya dan malam itu aku berdua dengan Yasmin. Kontak teman-teman di luar. Jadwal: pesawat minyak dari Pekanbaru tanggal 24 pagi. Kapal menjemput hari yang sama.
22 April Cok tidak pulang. Cuma telepon. Apa yang dikerjakannya sehinga begitu sibuk" Malam itu kembali ngobrol saja berdua di ruang tamu. Lusa akan berpisah, semoga selamat. Jika semua beres, aku akan tinggal di Amerika satu atau dua tahun. Jika gagal, aku akan mendekam di penjara. Bisa cuma tiga tahun, bisa juga tiga belas tahun, tergantung pasal apa yang digunakan. Kriminal atau subversif. Menyadari itu, tiba-tiba Yasmin menangis. Aku memeluknya, hendak menenangkannya. Ia terus menangis, pilu bagaikan anak kecil, sehingga aku mendekapnya erat.
Namun, tanpa kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit. Gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap.
Terjaga dini hari atau tengah malam karena ada yang menggigit dekat ketiakku. Kulihat tangannya masturbasi. Ia naik ke atasku setelah mencapainya. Aku tahu aku tak tahu cara memuaskannya.
23 April Terbangun dengan kacau. Sejak kabur dari paroki, aku tak pernah berpikir betul-betul meninggalkan kaulku. Kini tubuhku penuh pagutan. Tak tahu bagaimana Yasmin tertarik padaku yang kurus dan dekil" Ia begitu cantik dan bersih. Hari itu ia terus membuat badanku terutul, aku seperti garangan yang ditangkap. Ia menghisap habis tenagaku.
24 April Cok baru muncul. Ia minta maaf karena amat sibuk. Tapi ia menyempatkan diri mengantar ke bandara. Ia sama sekali tidak melirik leherku. Aku menunduk terus karena malu. Rasanya tak ingin pergi. Yasmin menangis lagi. Tapi pesawat sudah datang&
25 April Aku masih merasakan tubuhnya. Menginginkan tubuhmu.
28 April Tiba di Singapura. Semua berjalan beres. Orangorang memberiku laptop. Mulai menulis. Jadi suka mengenang apa yang baru berlalu. Seorang teman menguruskan tiket dan visa. Aku merasa amat dilayani.
3 Mei Mendarat di J.F. Kennedy. Dijemput Ferouz Hasan, orang Bangladesh yang mendapat beasiswa sekolah hukum di Harvard, lalu bekerja freelance untuk Amnesty International dan HRW. Dia cerdas dan kehadirannya sungguh menghibur. Dia juga datang dari negeri di mana kemiskinan masih mencekam dan banyak hak manusia masih merupakan benda mewah. (Tentu saja milyuner Indonesia jauh lebih kaya dibanding orang Bangladesh paling kaya! Aku selalu percaya bahwa orang terkaya Indonesia pasti termasuk dalam sepuluh manusia terkaya di seluruh dunia.) Dalam subway Ferouz banyak bercerita, yang dihadapi di negerinya bukan cuma militer dan birokrasi, tapi juga kelompok-kelompok politik yang amat garang dan biasa menyerang dengan bom. Tapi
kami sama-sama tidak berhenti berharap. Itu yang terutama melipur. It is better to light the candle than just to curse the darkness. Kawan-kawan di HRW memberi selamat waktu aku datang. Semua ketegangan telah lewat. Namun jadi kehilangan Indonesia, kehilangan kawan-kawan yang tak punya pilihan selain menetap dan menghadapi sistem yang menyebalkan. (Aku selalu mendapat teman yang menyayang dan menolong, kesempatan yang lebih banyak daripada orang lain. Apa yang bisa kulakukan buat mereka dengan segala kemewahan ini")
8 Mei Pas ada seminar tentang Indonesia. Lumayan menebus kerinduan. Bertempat di sebuah ruangan di Columbia University. Cukup besar. Hadir Sri Bintang, yang datang sekaligus menengok anaknya. Juga Buyung. Dari Amerika ada seorang hakim federal dan anggota kongres dari partai demokrat. Yang muda-muda aku tak kenal. Ada mahasiswa program doktor, Diyanti Munawar, yang bicara soal ekonomi. Dia punya pendapat menarik. Ketika itu ada bule yang bertanya, apakah sebaiknya ada kampanye agar konsumen Amerika memboikot produk Indonesia yang dikerjakan dengan upah buruh rendah, seperti sepatu Nike. Menurut Diyanti itu malah akan merugikan buruh. Sebab dengan segera perusahaan asing itu akan memindahkan modalnya ke negara lain, misalnya ke Cina, yang buruhnya murah, amat banyak, dan relatif lebih trampil. Katanya, Indonesia memang menghadapi dilema surplus tenaga kerja, di dalam negeri maupun di Asia. Di satu pihak, ekonomi padat karya memungkinkan lebih banyak orang bekerja, namun masingmasing dengan upah yang kecil. Di lain pihak, menaikkan upah berarti menciutkan jumlah buruh, sehingga memperluas pengangguran. Terutama ada saingan dari negara Asia lain.
Bagi buruh sendiri, sedikit upah masih lebih baik ketimbang menganggur, katanya. Tapi seorang pendengar, kelihatannya dari SBSI Jakarta, menolak pendapat Diyanti. Menurut dia, itu memukul rata bahwa perusahaan tidak mampu membayar upah yang layak. Padahal, sebagian cukup besar dari biaya, 30 sampai 40 persen, yang dikeluarkan perusahaan adalah biaya siluman untuk menyogok pejabat dan penguasa.
Bertemu Romo Martin, seorang yesuit yang sedang mengambil S-3 di Columbia. Tesisnya tentang pengaruh Nuruddin Araniri dalam pembentukan pemikiran keagamaan di Aceh. Rupanya dia juga salah satu seksi repot seminar ini.
9 Mei Hari kedua seminar. Ada seorang pembicara perempuan, masih muda, Trulin Nababan, tentang masalah gender. Dia mengambil analogi yang menarik antara sikap Orde Baru terhadap perempuan dengan struktur organisasi dalam ABRI. Menempatkan perempuan dalam kementrian sosial dan urusan wanita sebetulnya pararel dengan kegiatan Dharma Wanita ataupun Persit Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga yang patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik, urusan merawat-memelihara. Keputusan strategis tetap di tangan lakilaki. Lebih dari itu, menurut dia, mengadakan kementrian urusan wanita sebetulnya justru merupakan penolakan bahwa persoalan wanita adalah persoalan politik bersama. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki tadi. Trulin memberi contoh marital rape, yang selama ini dianggap sebagai persoalan privat dan domestik. Keengganan mengakui marital rape sebagai masalah seluruh manusia
adalah kegagalan mengakui hak asasi wanita sebagai hak asasi manusia. Tapi seorang pendengar perempuan, yang kebetulan lebih tua, Ratna Awani, membantah Trulin. Katanya, tak mungkin ada pemerkosaan oleh suami terhadap istrinya sendiri, sebab tugas istri adalah melayani kebutuhan seks suaminya. Menurut dia, justru hirarki dalam keluarga, yang sering ditolak kaum feminis, sebetulnya memungkinkan lelaki dan perempuan saling mengasah rasa kasih. Memang terkesan perempuan sebagai obyek, tetapi sesungguhnya obyek untuk disayang. Kedua orang itu tak menemukan titik sepakat sampai moderator mengalihkan persoalan.
Tapi, entah kenapa Trulin menganggap bahwa segala persoalan Indonesia bersumber dari relasi kekuasaan yang patriarki.
Waktu coffee break, ngobrol dengan Benjamin Silberman, hakim federal, orang Yahudi yang migrasi bersama ibu dan neneknya (ayahnya mati di kamp konsentrasi Buchenwald). Dia berpendapat soal kecenderungan kembali puritanisme seksual di Amerika Serikat; menurut dia adalah paradoks aneh dari feminisme yang mengkampanyekan the private is political , the domestic is socially constructed , sehingga pribadi tak ada lagi, tergilas oleh tafsiran besar betapapun itu merupakan tafsiran baru yang membongkar patriarki. Sayang, logatnya membuatku sulit menangkap. Ia cerita tentang seorang ibu single parent yang dihukum, dipisahkan dari dua anaknya, setelah petugas dinas sosial memergoki anak laki-lakinya, yang berumur sekitar enam tahun, mengelus-elus pantat kakak perempuannya, yang kira-kira sepuluh tahun. Itu dianggap sexual harassment. Si ibu dianggap tidak bisa mendidik anaknya dan diajukan ke pengadilan. Ada juga kasus pasangan
remaja yang bunuh diri. Si laki-laki berumur tujuh belas, si gadis menjelang lima belas, ketika mereka berhubungan seks. Mereka ingin menikah dan orangtuanya setuju. Namun karena anak perempuan itu terhitung di bawah umur dan si pemuda terhitung dewasa, laki-laki itu dihukum penjara. Perasaan dan keputusan kedua remaja itu tak dianggap sama sekali. Manu?" sia tidak lagi punya hak untuk menafsirkan tindakannya sebagai sesuatu yang unik dan khas. (Seks sama sekali bukan perkara yang mudah. Aku teringat Upi. Teringat diriku sendiri.) Sebelum pulang, Martin mengajak makan malam besok, di rumah yesuit.
10 Mei Memenuhi undangan Martin dengan senang ha?" ti. Rumah mereka memakai dua lantai sebuah apartemen di daerah Upper West Side. Bangunan itu tua, berwarna putih agak kelabu, dan pintunya kayu besar, mengingatkan pada pastoran katedral Bogor yang pernah jadi tempatku. Kebanyakan yesuit itu berasal dari Irlandia. Dua dari Filipina. Ikut dinner biasa mereka. Lalu ngobrol sambil minum draught bir hitam. Beberapa yesuit di sini juga kerap dicari dan diinterogasi polisi karena mereka suka ikut demonstrasi; anti nuklir, anti kekerasan, anti aborsi. Tapi tentu saja Gereja di sini tidak mengalami persoalan politik seperti yang di Indonesia.
Berada bersama mereka, aku merasa terlindungi, dalam hal harapan juga keputusasaan. Dalam kelemahanku. Martin mengerti kekecewaanku pada Gereja. Tapi katanya, semua organisasi besar pasti menjadi lamban dan represif. Belajar dari pengalaman, tak ada gunanya kita meninggalkannya untuk membangun yang baru. Sebab, begitu kita membikin yang baru, kita juga akan menjadi birokratis dan represif. Dan
tenaga kita akan habis untuk mengerjakan hal yang semula kita protes itu. Organisasi yang membebaskan ke dalam dirinya adalah suatu contradictio in terminis. Lebih baik kita menerima yang telah ada dengan rendah hati (atau hati-hati") sambil juga berjalan sendiri. Barangkali karena itu Yesus enggan membangun organisasi"
Kadang-kadang rindu juga menjadi seperti mereka lagi: percaya dan berharap pada suatu hal, dan saling menguatkan dalam pilihan-pilihan yang tak selamanya mudah, tapi memberi gairah yang kadang begitu hebat. Bagaimanapun, hidup menahan diri memiliki getarannya sendiri. Kerinduan itu menyengat lagi belakangan ini.
J akarta , 13 M ei 1994 Saman,
Forgive me. Please. Setelah kamu keluar dari diosesan, setelah kamu mengganti nama dan mengubah penampilan, setelah sering kamu meragukan keadilan Tuhan, bahkan keberadaan Tuhan, aku tidak menyangka kalau kamu masih punya keinginan kembali menjadi pastor. Aku tidak tahu bagaimana harus meminta maaf, sampai-sampai dua hari ini aku tak berani membalas suratmu. Aku menyesal sekali. Apakah kamu menganggap aku Hawa yang menggoda Adam"
N ew Y ork , 14 M ei 1994 Yasmin,
Tahukah kamu bahwa kisah itu telah menginspirasikan keputusan-keputusan yang tidak adil bagi perempuan selama berabad-abad" Kita hidup dalam kegentaran pada seks, tetapi laki-laki tidak mau dipersalahkan sehingga kami melemparkan dosa itu kepada perempuan.
Tapi, ya, kamu memang menggoda.
J akarta , 15 M ei 1994 Saman,
apakah aku berdosa" N ew Y ork , 16 M ei 1994 Yasmin,
Aku tak tahu lagi apakah masih ada dosa.
Seks terlalu indah. Barangkali karena itu Tuhan begitu cemburu sehingga Ia menyuruh Musa merajam orang-orang yang berzinah"
Tetapi perempuan selalu disesah dengan lebih bergairah. Ke manakah pria yang bersetubuh dengan wanita yang dibawa orang-orang Farisi untuk dilempari batu di luar gerbang Yerusalem"
Aku mencintai kamu. Aku mencintai kamu. Aku tidak ingin kamu dihukum.
Tetapi kamu sungguh cantik, seperti dinyanyikan Kidung Raja Salomo.
(tubuhmu seumpama pohon kurma, dan buah dadamu gugusannya
kataku: aku ingin memanjat pokok itu dan memegang gugusannya.)
J akarta , 20 M ei 1994 Untuk Saman:
Ke Betlehem dua orang perempuan, tua dan muda, kembali dari negeri asing. Dua janda, mertua dan menantu.
Yang putih rambutnya Naomi. Suaminya mati di tanah Moab.
Yang gelap rambutnya Ruth. Suaminya juga mati di tanah Moab.
Pasir-pasir Moab telah menelan para lelaki mereka, sebelum sempat menyisakan keturunan lagi. Maka pulanglah Naomi ke Betlehem dengan duka. Tetapi Ruth setia menemaninya.
Panggil aku Mara sebab Tuhan memberiku kepahitan, ujar perempuan tua itu kepada orang-orang di kota. Aku meninggalkan Betlehem dengan ada, dan kembali dengan tanpa. Ia lupa, Ruth setia menemaninya.
Ketika itu musim menuai. Setelah itu orang-orang akan pergi mengirik, jintan hitam dengan galah, jintan putih dengan tongkat, dan menggiling gandum dengan jentera gerobak.
Maka Ruth berkeliling mencari tuan tanah yang murah hati, yang mengijinkan ia menjumputi bulir-bulir untuk makan dia dan ibu mertuanya, sebab mereka telah jatuh miskin dan tak punya lahan. Sampailah ia di ladang Boaz yang lapang. Dan lelaki itu jatuh iba kepadanya. Dibiarkannya si gadis memetik di belakang buruh-buruh perempuan, dan pekerjapekerja yang lelaki dilarang mengganggunya. Disuruhnya para hamba menjatuhkan jelai-jelai agar Ruth bisa memungutnya sampai petang. Maka perempuan itu pulang membawa bertih gandum, kira-kira satu efa banyaknya, bagi mertuanya.
Lalu Naomi menengadah ke langit. Diberkatilah lelaki yang telah memperhatikan kami.
Tetapi perempuan tua itu kemudian menyuruh menantunya mandi dan bersolek. Sebab malam itu Boaz, lelaki yang diberkati itu, akan menampi di pengirikan, dan tinggal di sana beberapa hari.
Urapilah dirimu, wahai menantuku Ruth, kenakanlah pakaianmu yang terbaik. Pergilah ke sana, tetapi jangan engkau ketahuan sebelum ia tertidur seusai makan dan minum anggur. Carilah sebuah ceruk, dan bersembunyilah. Jika lelaki itu telah berbaring, hampirilah dia dan singkapkan kain yang menutupi kakinya. Lalu tidurlah engkau di sana.
Ruth mematuhi ibu mertuanya. Ia pergi dengan harum narwastu dan mengintai di balik tumpukan buyung anggur dan buli-buli, hingga mendapatkan lelaki itu terlelap di ujung timbunan jelai. Ia mendekat dan menatap mata yang lelap. Lalu disibaknya gaun yang menutupi tungkai lelaki itu hingga ke pangkalnya, dan direbahkannya kepalanya di sana. Rambutnya terurai. Tapi matanya tidak terpejam.
Lelaki itu terbangun tengah malam, dan mendapati wajah perempuan pada pahanya.
Siapakah engkau" Aku Ruth, hambamu. Tuanku, kembangkanlah sayapmu untuk melindungi diriku.
(Dan Boaz mengembangkan ujung jubahnya lalu menyelimuti Ruth. Dan perempuan itu mengangkat kainnya sehingga lelaki itu bisa memasukinya. Mereka berciuman seribu kali dan berdekapan di atas jerami.)
Setelah itu, kata Boaz kepadanya, Kiranya Tuhan memberkatimu, anakku, sebab engkau tidak mengejar-ngejar orang yang muda, baik miskin maupun kaya, tetapi menunjukkan cintamu kepadaku. Tidurlah bersamaku sampai pagi.
Demikian Ruth telah menghampiri Boaz dan lelaki itu menebus dia dari kesusahan dan kemandulan. Sebab Boaz menikahinya, dan ia melahirkan anak untuk meneruskan keturunan bagi Naomi.
Terdengar perempuan-perempuan Betlehem berseru pada Naomi, Terpujilah Tuhan karena memberimu seorang menantu yang mengasihi engkau di kala rambutmu telah memutih. Sungguh perempuan ini lebih berharga daripada tujuh laki-laki. Mereka menamai anak yang baru lahir itu Obed. Kelak, Obed memperanak Isai, dan Isai memperanak Daud.
N ew Y ork , 21 M ei 1994 Yasmin,
Yehuda juga mempunyai seorang menantu di kala rambutnya telah memutih. Namun putra sulungnya, Er, berbuat salah sehingga Tuhan murka dan mencabut nyawanya. Maka istrinya, Tamar, menjadi janda. Sesuai adat istiadat, Yehuda lalu menikahkan putra keduanya kepada perempuan itu, agar melahirkan keturunan bagi abangnya. Namun Onan, si adik, tidak mau meneruskan keturunan atas nama kakaknya. Maka setiap kali ia menghampiri istrinya, dibiarkannya maninya terbuang ke tanah, karena ia tahu anak yang lahir akan
menjadi milik abangnya. Namun yang ia lakukan itu keji di mata Tuhan, maka Tuhan membunuh lelaki itu juga. Tamar menjadi janda untuk kedua kalinya. (ini etimologi kata eror dan onani )
Adapun Yehuda masih mempunyai putra bungsu yang masih remaja, Syela. Tetapi ia enggan memberikan anaknya itu kepada Tamar sesuai adat istiadat, sebab ia mengira Tamar membawa kematian dan takut Syela akan menghadapi maut seperti kedua kakaknya. Disuruhnya Tamar kembali ke rumah orangtuanya sendiri dengan janji akan menyerahkan Syela setelah jejaka itu menjadi dewasa. Namun setelah menanti beberapa lama, Tamar pun tahu bahwa mertuanya mengingkari dia sehingga ia tak bisa beroleh keturunan.
Ketika didengarnya Yehuda sedang dalam perjalanan ke Timna untuk menggunting bulu domba, ditanggalkannya pakaian kejandaannya. Ia bertelekung dan berselubung, lalu duduk di pintu masuk Enaim, yang terletak di jalan menuju Timna, yang akan dilewati mertuanya.
Saat Yehuda lewat di sana, dikiranya menantunya itu seorang sundal, sebab mukanya bercadar. Ia berpaling pada perempuan itu dan berkata: Marilah, aku mau menghampiri engkau!
Sahut Tamar: Apa yang akan kau berikan kepadaku jika engkau menghampiri aku"
Kata Yehuda: Akan kukirim bagimu seekor domba. Sahut Tamar: Asalkan kau tinggalkan materaimu, kalung serta tongkatmu sebagai tanggungan sampai kau melunasinya.
Yehuda memberikan semuanya dan menghampiri Tamar. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke Timna, tapi perempuan itu telah mengandung karena dia.
Dari Timna ia mengutus orang-orangnya mengantar domba bagi wanita yang bertelekung. Namun mereka tidak mendapati perempuan jalang yang duduk di pintu Enaim. Tersiar kabar bahwa menantu tuannya hamil setelah bersundal. Kata Yehuda kepada mereka: Bawalah perempuan itu supaya dibakar. Dan hamba-hamba itu berangkat untuk menyeret si wanita ke dalam api.
Tetapi Tamar menunjukkan materai, kalung, serta tongkat milik lelaki yang menghamili dia. Dan Yehuda sadar bahwa memang ia telah mengingkari menantunya. Katanya: Aku bersalah. Perempuan itu benar. Sebab aku tidak memberikan Syela anakku kepada dia agar beroleh keturunan. Namun, setelah itu ia tak bersetubuh lagi dengan menantunya.
Ketika Tamar bersalin, nyatalah anaknya kembar. Yang satu mengeluarkan tangannya dan bidan mengikat pergelangan itu dengan benang kirmizi sambil berkata: Inilah yang pertama keluar. Namun anak itu menarik kembali tangannya, dan saudaranya lahir lebih dulu. Anak yang menerobos itu dinamai Peres. Dan yang tangannya berikat benang kirmizi dinamai Zerah.
J akarta , 23 M ei 1994 Saman,
Kenapa keturunan begitu berarti bagi orang Israel" Aku belum hamil juga. Bolehkah kami membuat bayi tabung"
N ew Y ork , 28 M ei 1994 Yasmin,
Aku punya dua jawaban, yang nakal dan yang tidak. Yang nakal: bolehkah aku mencoba menghamili kamu" Yang tidak: Gereja Katolik masih melarang bayi tabung. Kenapa kamu tidak mengadopsi anak-anak jalanan saja, yang sudah terlanjur lahir dan menderita"
J akarta , 1 J uni 1994 Saman,
Kini kamu selalu berpendapat bahwa kelahiran adalah keterlanjuran. Kamu bukan lagi orang yang aku temui waktu aku SMP, yang percaya bahwa hidup adalah sebuah berkah yang direncanakan Allah. Berapa umurmu saat itu" Barangkali dua puluh dua atau tiga. Sekarang bahkan aku lebih tua daripada kamu waktu itu. Setelah kamu lama di Sumatera, aku mendapatkan orang yang lain, orang yang berpendapat bahwa dunia ini adalah sesuatu yang keparat. Orang yang kerap meragukan Tuhan. Tetapi orang yang masih memiliki kasih. Dulu Laila tergila-gila pada kamu, sekarang aku yang merindukan kamu.
Tentang usulmu, yang kedua terdengar lebih praktis dan socially responsive. Tapi, kalau boleh jujur, aku menginginkan yang pertama. Aku menginginkan bayi dari tabungmu. Berdosa tidak ya aku"
N ew Y ork , 4 J uni 1994 Yasmin,
(Aku memang bimbang tentang Tuhan. Dan aku tak bisa menceritakan keraguanku pada bapakku. Aku satu-satunya anaknya.)
Kamu selalu bicara tentang dosa. Tentu saja kita berdosa, setidaknya pada Lukas. Yang menghibur adalah bahwa yang kita lakukan ini dosa yang indah, yang imajinatif. Setidaknya bagi aku, dan kamu. Seandainya pun prokreasi adalah pengorbanan yang menyakitkan, aku tetap ingin memberimu anak jika kamu memintanya. Tapi tentu saja itu semua cuma pengandaian yang mustahil. Sebab kita tahu, seks bukan suatu pengorbanan, apalagi yang menyengsarakan. Seks adalah sesuatu yang membingungkan.
Selama ini aku membaca literatur tentang seks, pendapat dan peraturan, yang berabad-abad diciptakan oleh kaum lelaki. Para rabi dan bapa-bapa Gereja yang berpendapat bahwa wanita penuh dengan birahi sehingga berbahaya dan patut dikucilkan. Atau ulama yang justru mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif dan enggan secara seksual, sehingga secara alamiah lelaki berpasangan dengan banyak istri. Tapi dengan kamu aku merasa bahwa seks dan perempuan bukanlah hal yang mudah untuk ditafsirkan. Dan barangkali tidak bisa. Kadang, aku merasa seperti perawan yang diperkosa, dan menemukan betapa indah persetubuhan itu. Aku tidak ingin menyalahkan kamu atas kenikmatan yang aku alami. Meskipun itu membingungkan aku.
Saman Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
J akarta , 9 J uni 1994 Untuk Saman:
Di taman Firdaus ada seorang lelaki yang terkejut. Bulan di atasnya menggantung. (Bulan dan langit itu, kelak akan jadi satu-satunya keindahan yang tak kenal umur, kata seorang anak yang lahir di dunia keparat kemudian hari.) Matahari belum tenggelam.
Tetapi lelaki itu terkejut karena sebuah rusuknya hilang. Begitu kata bisikan tuhan. (Mungkin juga semua; ia belum belajar anatomi.) Ke manakah rusukku" Di mana gerangan terseraknya" Tetapi ia melihat di depannya, sejarak lompatan macan, sesosok rupawan dengan dada berbuah sepasang, berdiri di bawah pohon pengetahuan. Itu tentu bukan binatang, karena lebih mirip diriku (lelaki itu telah melihat bayang rupanya pada permukaan kolam kemarin). Tapi, tanaman itu adalah terlarang. Begitu kata bisikan tuhan.
Ia mendekat dan melihat lebih jelas: perempuan itu begitu kelak ia menamainya tertambat di sana, serupa tunas hijau muda yang tumbuh dari kambium. Kakinya terpasung oleh rantai yang terpasak pada akar yang bergurat urat serupa zakar. Perempuan itu menggeliat: Ahh.
Bahkan semua binatang di taman ini diciptakan bebas, tetapi engkau terikat, ujar lelaki itu.
Dalam bayang-bayang, perempuan yang tertawan itu mencoba menggapai sulur-sulur yang menjulur. Buah pohon itu menggelantung, merah dan bening, meneteskan manis yang tak habis-habis, yang ketika jatuh ke tanah, menumbuhkan lumut yang harum dan batu-batu krisopras. Lalu perempuan
itu menjilat-jilat. Ia berusaha menggigit, tetapi tangannya terikat.
Lelaki itu menjadi marah. Itu buah terlarang. (Ia tidak tahu, perempuan itu adalah bagian penampangnya.) Direnggutnya rambut yang tak terikat. Perempuan itu menggeliat: Ahh, aku cuma haus.
Menjamahnya pun aku tak boleh. Maka, kau tak boleh. Lelaki yang suci itu menampar sehingga perempuan itu tergelincir. Kau harus bersujud mengemis ampun. (Kepada siapa, Tuan")
Ia bersimpuh tanpa membantah, sampai kedua ujung dadanya menyentuh kedua ibu jari kaki sang lelaki. Disekanya telapak itu dengan rambutnya. Kemudian ia tengadah, dengan setitik air di mata kirinya, setitik darah di mata kanannya. Lalu perlahan ia merambat ke atas, sepanjang tungkai lelaki tadi. Wajahnya berhenti di pangkalnya yang rimbun seperti pepohonan. Ia merintih: Kasihanilah, aku cuma haus. Buah yang ini bukan terlarang, kan"
Sang lelaki terdiam, tak menemukan jawabnya dalam angin (bahkan tak ada bisikan tuhan). Perempuan itu membasuh tunas jantan yang menjulur dengan air matanya, lalu mengecupnya dengan air liurnya. Lelaki itu menggeliat. Pokok itu meranum, dan urat-uratnya menjadi matang dalam himpitan lidah dan langit-langit yang basah (bahkan langit di atas tak berembun).
Lalu terdengar geram laki-laki itu mengoyak awan ketika benihnya yang metah menyembur. Tetes-tetes itu tidak menumbuhkan permata ataupun batu nilam. Melainkan seekor ular menyelinap ke dalam benaknya sambil terkekeh: Nikmat itu dosa. Ketika tubuhnya belum lagi selesai bergeletar.
Alam bisu. Dan si lelaki jadi galau (ke mana bisikan tuhan"). Direnggutnya sekali lagi rambut perempuan yang masih mencari-cari sisa embun di kelangkang dengan lidahnya. Perempuan itu merintih, Ahh, aku cuma haus. Kau mencabuliku. Bagimulah azab dan pedih! Aku cuma haus. Tuan, engkau tak pernah tahu artinya cabul. Engkau tak tahu artinya terbelenggu. Engkau tak tahu artinya pedih. Bahkan peluh.
Tapi aku bisa menentukannya untukmu.
Seekor pari yang melayang lewat meminjamkan ekornya untuk menyesah orang berdosa.
Lelaki itu telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di selangkangnya sebuah liang yang harum birahi. Engkau dinamai perempuan karena diambil dari rusuk lelaki. Begitu kata bisikan tuhan yang tibatiba datang kembali. Dan aku menamai keduanya puting karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menamainya klentit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus.
Perempuan itu menggeliat, tetapi tidak berteriak. Nafasnya hampir habis. Suaranya sudah habis. (aku cuma haus)
Tetapi lelaki itu belum habis menghunjamkan zakar, dalam pandangan semua binatang di taman (kelak mereka lalu menirunya, dan anak-anak mendengar dari orang tua mereka sebagai permainan perang-perangan). Pinggulnya bergoyang hingga cair kelenjarnya menyembur di dalam liang, yang harum birahi. Ia mengerang, bersama seekor ular yang menyelinap keluar dari benaknya, meninggalkan bisikan:
Nikmat itu dosa. Namun perempuan itu telah merasakan hukuman.
Tapi awan jadi teduh, riuh hewan lalu buyar, ketika seorang malaikat datang mengusir mereka dari pasir, ke tempat matahari bisa terbenam. Aku bukan cuma haus, kini berkata lelaki itu. Tapi juga lapar.
N ew Y ork , 11 J uni 1994 Yasmin,
Aku masturbasi. J akarta , 12 J uni 1994 Saman,
Aku terkena aloerotisme. Bersetubuh dengan Lukas tetapi membayangkan kamu. Ia bertanya-tanya, kenapa sekarang aku semakin sering minta agar lampu dimatikan. Sebab yang aku bayangkan adalah wajah kamu, tubuh kamu.
N ew Y ork , 13 J uni 1994 Yasmin,
Aku cemburu. Kamu bersetubuh, aku tidak. Bukankah Lukas lebih perkasa" Aku terlalu cepat& Kalaupun aku bisa menghamili kamu, tentulah aku orang yang efisien, yang membereskan suatu pekerjaan dalam waktu amat singkat.
J akarta , 14 J uni 1994 Saman,
Lukas memang terlatih. Dengan dia rasanya seperti olah raga. Setiap hitungan empat kali delapan dia ganti gaya. Apa bedanya dengan exercise di gym yang melelahkan"
N ew Y ork , 15 J uni 1994 Yasmin,
Tentu saja bedanya adalah ada klimaks. Kalau kamu jujur, kamu tidak orgasme waktu dengan aku, kan"
J akarta , 16 J uni 1994 Saman, Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.
N ew Y ork , 19 J uni 1994 Yasmin,
Mungkin persetubuhan kita memang harus hanya dalam khayalan. Persanggamaan maya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana memuaskan kamu.
J akarta , 20 J uni 1994 Saman,
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
N ew Y ork , 21 J uni 1994 Yasmin,
Ajarilah aku. Perkosalah aku.
Catatan Pengarang 15 Tahun Kemudian
Limabelas tahun kemudian kita tahu zaman telah berubah. Manusia memang tetap ingin mencintai, saling menghausi, tetapi zaman berubah. Saman, seandainya sungguh ada, lahir di era Sukarno dan mengalami masa Jenderal Soeharto. Laila, Yasmin, Cok, dan Shakuntala lahir dalam rezim militer dan akan mengalami periode Reformasi.
Pembaca generasi baru mungkin tak mengalami beberapa hal. Ketika buku ini ditulis (1997), handpon adalah barang mewah dengan kemampuan yang sekarang terasa payah: SMS pun tak bisa! Untuk mengirim pesan pendek, ada benda yang dinamakan pesawat pager. Bentuknya sedikit lebih kecil dari handpon murahan masa kini. Tapi kita harus menelepon operator, dan orang tak dikenal itulah yang mengetikkan pesan kita. Operator bisa menyensor atau mengubah kata-kata agar sopan. Pager sangat rentan dipantau aparat rezim. Para aktivis demokrasi harus memakai kode-kode rahasia, seperti yang diceritakan dalam Larung. Saya dan teman-teman aktivis melakukannya juga.
Tak terbayangkan bagi generasi sekarang: yahoo, google, wikipedia belum ada. Apalagi facebook dan twitter. Berita hanya bisa didapat lewat koran, majalah, televisi, dan radio. Semuanya dikontrol pemerintah. Pasti tak terbayang bagi anak zaman ini. Hanya radio SW (gelombang pendek) yang disiarkan dari luar negeri (seperti ABC Australia, BBC Inggris,
Hilversum Belanda, Deutschewelle Jerman, VOA Amerika Serikat) yang bisa ditangkap tanpa sensor. Pendengarnya sangat sedikit. Internet masih baru, mahal, dan lamban. Alamat gratis seperti gmail atau ymail tidak tersedia. (Maka, Saman dan Yasmin pun pakai alamat berlangganan.)
Buku ini ditulis dalam suasana menekan dan kegelapan informasi. Riset tak dibantu internet. Beberapa teman saya dipenjara karena menerbitkan selebaran yang di zaman ini akan tampak sangat primitif, mirip fotokopian, sehingga kau akan heran bahwa orang bisa masuk bui hanya lantaran itu. Tapi itulah yang dulu terjadi. Beberapa aktivis divonis lebih dari sepuluh tahun karena mengkritik pemerintah; hal yang sekarang terlampau biasa. Kebebasan yang kita dapat hari ini bukan ada dari sananya. Kemerdekaan yang hari ini kita nikmati, atau barangkali malah mulai kita benci, dulu diperjuangkan oleh orang-orang yang rela dianiaya. Seperti Saman.
Saya sendiri kehilangan pekerjaan karena memperjuangkan kemerdekaan informasi, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Saya dipecat dari kantor pers tempat saya bekerja (majalah Forum, yang waktu itu separuh sahamnya milik Tempo). Tak ada peraturan tertulisnya, sebab kekuasaan tak perlu lagi aturan, tapi media massa tak akan menerima para pendiri AJI untuk bekerja. Saya tak bisa menjadi wartawan lagi. Tapi saya ingin terus menulis. Maka saya menulis novel: naskah ini, yang saya sertakan sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ); fragmen dari sebuah rencana novel berjudul Laila Tak Mampir di New York (yang akhirnya tak pernah jadi). Itu adalah zaman dengan slogan: Ketika pers dibungkam, sastra bicara.
Penerbit KPG sesungguhnya cukup berani mencetak Saman tanpa sensor apapun, mengingat tak ada yang tahu kapan rezim akan berganti dan bisa saja buku ini dianggap terlalu vulgar. Memang, naskah Saman telah menang sayembara Roman Terbaik DKJ 1998, sehingga sedikitnya ada jaminan tentang mutu sastranya. Jika ada apa-apa tentang isinya, semua bisa berlindung di balik kesastraannya.
Saman diluncurkan 12 Mei 1998 dan sepuluh hari kemu dian terjadi keajaiban: 21 Mei, Soeharto lengser. Pada hari Saman diloncengkan, terjadi penembakan mahasiswa Trisakti. Pentas musik yang direncanakan sebagai hiburan kami batalkan sebagai tanda belasungkawa. Esoknya kerusuhan menyulut Jakarta: Tragedi Mei 1998. Pembakaran terjadi di mana-mana. Ratusan tewas. Komunitas dan bisnis orang Tionghwa menjadi sasaran utama penjarahan. Banyak yang meninggalkan Indonesia. Kita juga mendengar tentang pemerkosaan massal. Di pihak lain, mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR. Rakyat mendukung. Lalu, Sang Jenderal yang telah berkuasa 32 tahun menyatakan berhenti sebagai presiden. Itulah awal Reformasi. Itulah suasana yang menjadi latar belakang Saman dan Larung.
Zaman pun berubah-ubah. Di awal Reformasi orang bereforia kebebasan. Setelah itu, orang kembali menginginkan konservatisme. Lantas, orang suka cerita sukses. Trend terus berganti. Saman terus dicetak, meski tidak sekerap tahuntahun pertamanya. Di tahun ke-15-nya, Saman mengalami cetak ulang ke-30. Angka yang bulat. Saman juga telah diterbitkan ke dalam delapan bahasa asing. Semua terjemahannya dilakukan dari bahasa Indonesia (saya masih tidak mengizinkan terjemahan dari bahasa kedua).
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pembaca Saman. Terimakasih kepada Candra Gautama, Christina Udiani, Pax Benedanto (ketiganya adalah redaktur KPG yang masih setia di kantornya dan menjadi sahabat saya selama 15 tahun ini) dan semua yang pernah dan masih jadi awak KPG; kepada JB Kristanto, Parakitri T Simbolon yang kini telah pensiun; pada Komunitas Utan Kayu yang separuhnya telah menjadi Komunitas Salihara; kepada Agus Suwage dan Sitok Srengenge yang lukisannya dan tulisan tangannya saya pakai sebagai sampul selama bertahun-tahun. Slide foto atas karya Agus Suwage yang kami gunakan itu dibuat oleh Erik Prasetya, tanpa saya tahu dan waktu itu ia belum saya kenal. Anehnya, Erik kemudian menjadi pasangan hidup saya. Sampul baru edisi ini adalah lukisan kaca yang saya buat khusus, dipotret oleh Erik dan digarap oleh Wendie Artswenda. Untuk keduanya saya ucapkan terimakasih.
Bagi saya sendiri, Saman adalah catatan dari zaman yang kritis dalam sejarah Indonesia. Dan sementara itu, manusia terus lahir, menjadi besar, jatuh cinta, berjuang, dan akhirnya mati.
Hari Buruh, 1 Mei 2015 Saman adalah pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila tak Mampir di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Tahun 2001 lanjutannya terbit sebagai novel terpisah berjudul Larung. Hingga pertengahan 2008 Saman telah diterjemahkan dalam delapan bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Prancis, Czech, Italia, dan Korea.
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di Komunitas Salihara. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000.
Bilangan Fu dan Seri Bilangan Fu
Bilangan Fu adalah kisah persahabatan dan cinta segitiga antara dua pemanjat tebing, Parang Jati dan Sandi Yuda, dengan gadis bernama Marja. Kedua pemanjat tebing itu mencoba menyelamatkan kawasan karst (gamping) yang menjadi sumber mataair dari gempuran penambangan. Seri Bilangan Fu adalah adalah serial novel misteri/teka-teki dengan ketiga tokoh tadi. Serial ini selalu mengenai pusaka nusantara (seperti candi-candi), dan memperkenalkan tema logika sebagai bagian dari pemecahan teka-teki. Dua yang telah terbit: Manjali dan Cakrabirawa (tentang candi Jawa Timur) dan Lalita (tentang Borobudur). Akan ada 12 novel dalam serial ini.
Trilogi Si Parasit Lajang Cerita Cinta Enrico Pengakuan Eks Parasit Lajang
Trilogi ini adalah kisah nyata tentang arti cinta, kemerdekaan, serta hubungan lelaki-perempuan. Si Parasit Lajang berisi cercahan pikiran dan keseharian A, yang di akhir usia duapuluhan memutuskan tidak mau menikah. Cerita Cinta Enrico berkisah tentang Enrico, seorang lelaki yang tak mau menikah karena
tak mau kehilangan kemerdekaannya. Ia sendiri lahir tepat di hari pemberontakan terbesar pertama
dalam sejarah Indonesia dan menjadi bayi gerilya PRRI. Pemberontakan pribadinya berkelindan dengan peristiwa-peristiwa politik. Dalam Pengakuan Eks
Parasit Lajang, Enrico dan A bertemu. Kisah ini berlatar politik Indonesia dari era Sukarno, Soeharto hingga Reformasi.
K i s a h N y a t a Biografi uskup pribumi pertama Albertus Soegijapranata, SJ, yang menekankan aspek masuknya agama baru tanpa menghancurkan kebudayaan dan identitas lokal. Soegija: 100% Indonesia berlatar sejarah Indonesia dari akhir era kolonial hingga akhir masa Sukarno.
Soegija: 100% Indonesia Notes Kreatif Ayu Utami Notes Kreatif Ayu Utami adalah paduan buku kosong dengan tulisan tangan Ayu Utami tentang proses kreatifnya. Ini adalah tips dan renungan dalam bentuk catatan dan komik yang mudah dicerna. Lembaran kosong dalam buku ini diberikan untuk pemiliknya membuat catatan kreatif juga.
9 789799 105707 NOVEL ISBN: 978-979-91-0570-7 KPG: 901 13 0664 saman Ay u U tam i Empat perempuan bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pemberontak. Cok si binal. Yasmin si jaim . Dan Laila, si lugu yang sedang bimbang untuk menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.
Tapi diam-diam dua di antara sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda dari masa silam: Saman, seorang aktivis yang menjadi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. Kepada Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta"
" " " Sejak terbit bersamaan dengan Reformasi, Saman tetap diminati dan telah diterjemahkan ke delapan bahasa asing. Novel ini mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri karena mendobrak tabu dan memperluas cakrawala sastra.
Karya klasik yang wajib dibaca.
Lebih lanjut tentang Ayu Utami bisa diikuti di ayuutami.com atau twitter @BilanganFu.
Dwilogi Saman & Larung
9 789799 105387 NOVEL ISBN: 978-979-91-0538-7 KPG: 901 13 0632 KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)
saman Ay u u tAm i n bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pembinal. Yasmin si jaim . Dan Laila, si lugu yang untuk menyerahkan keperawanannya pada
ua di antara sahabat itu menyimpan rasa ang pemuda dari masa silam: Saman, seorang adi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta"
" " " maan dengan Reformasi, Saman tetap diminati mahkan ke delapan bahasa asing. Novel ini argaan dari dalam dan luar negeri karena dan memperluas cakrawala sastra.
g wajib dibaca. ng Ayu Utami bisa diikuti di ayuutami.com atau nFu.
Larung 9 789799 105387 NOVEL ISBN: 978-979-91-0538-7 KPG: 901 13 0632 Ayu Utami mendapatkan penghargaan sastra dari dalam dan luar negeri. Buku pertamanya, Saman, telah diterbitkan dalam delapan bahasa asing. Ia juga menerbitkan seri novel teka-teki Bilangan Fu. Lebih lanjut tentang Ayu, bisa
Larung Ay u u tAm i KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3 Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3364, 3369
Hijaunya Lembah Hijaunya 8 Senja Di Selat Sunda Karya Gola Gong Pedang Tanpa Perasaan 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama