Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 2
Meludah" Papa dan Mama tak pernah bercerita tentang budaya leluhur kami yang suka meludah. Mama pasti menempelengku kalau aku berani meludah di jalan. Apakah kami sungguhan punya leluhur yang sama dengan mereka" Semua orang meludah. Laki-laki, perempuan, nenek tua, ibu hamil, bocah berpipi merah terbakar matahari,.... Bahkan Pak Guru Bahasa Mandarin dengan santai meludah di depan kelas, melontarkan dahak yang dibungkus sapu tangan. Untungnya, terkadang dia ingat berbalik badan. Bukankah mereka bilang, kalau seluruh orang Tiongkok meludah dan kencing bersama-sama maka sudah cukup untuk bikin negeri Jepang Kecil itu tenggelam. Tidak perlu seluruh Tiongkok, seorang guru ini pun sudah cukup membuat murid-murid Jepang di kelasku ketakutan, menyembunyikan pandangan di balik tangan.
Bahasa mereka membangkitkan trauma. Sejak umur lima tahun, aku sudah dipaksa ikut les bahasa leluhur di rumah guru tua yang terkenal sangat garang, tidak segan memukul dan membentak-bentak para bocah malang. Berani bolos" Mama sudah siap dengan kemoceng bergagang rotan, memecutkannya di sekujur tubuhku: di lengan, di telapak tangan, di paha, di pantat. Dengan kulit berwarna-warni pelangi, sambil menahan
nyeri, aku duduk di rumah gelap ibu guru tua. Zaman itu di Indonesia, mempelajari bahasa leluhur ini adalah tindakan terlarang, les dilakukan sembunyi-sembunyi seperti teroris belajar membuat bom, ibu guru tentu harus terlebih dahulu menutup rapat semua pintu dan jendela di rumahnya. Tangannya mencengkeramku, menuntunku menulis kalimat pertama dari fotokopian buku pelajaran peninggalan tahun 1950-an: Mama, Wo Ai Mama, Mama Ai Wo. Mama, Aku cinta Mama, Mama cinta aku. Tulisanku jelek, aku dimarahi dan dibentak-bentak. Aku protes, kalimat ini tidak praktis, siapa yang mengucap kalimat segombal ini di rumah, apalagi masih ada bekas pukulan dari kuning, jingga, sampai biru legam di pahaku, dari Mama yang katanya tercinta itu. Satu tamparan baru lagi dari ibu guru tua langsung melayang di pahaku, menambah jejak tangan warna merah membara.
Kini aku sungguh datang ke negeri leluhur. Misiku adalah menguasai bahasa Mandarin yang selama ini kutakuti, hanya dalam waktu satu semester. Lalu aku masih harus ikut ujian fisika, matematika, kimia, semua dalam bahasa leluhur itu, dan bersaing memasuki universitas terbaik yang disyaratkan Papa. Pilihannya cuma dua: lolos ujian, atau pulang kandang.
Dengan biaya delapan dolar semalam, aku mendapat satu ran jang di kamar mirip hotel dengan dua dipan di sekolah yang khusus mengajarkan bahasa Mandarin bagi pelajar mancanegara. Ranjang satunya ditiduri pemuda Korea berambut disemir kuning menyala, yang tidak pernah menganggapku sebagai makhluk bernyawa. Kami tinggal sekamar tapi tak pernah bertegur sapa. Apalagi pacarnya selalu datang menyambang, tidur seranjang, bercinta mengisi malam panjang. Pok, pok, pok... ah, ah,
ah.... uuuh.... Suara gesekan, derit, lenguhan seram. Aku membenamkan diri rapat-rapat di balik selimut tebal, tak berani bergeser karena takut melihat pemandangan horor tepat di sebelah ranjang.
Kepada orangtua yang selalu menantikan kabar baik, aku bercerita betapa ramahnya guru di sini, betapa baik kawankawan, betapa nyaman kamar ini. Jangan khawatirkan anakmu, tulisku, karena aku senantiasa mematuhi nasihatmu, berhemat selalu, sampai makan pun cuma sekali sehari.
Kudapati sepucuk surat tergeletak di meja kamar sore itu. Kertas surat sampai bolong-bolong karena setiap huruf ditulis Papa dengan penekanan menggunakan energi penuh. Kamu harus ingat, katanya, Kamu tidak seperti orang-orang Indonesia lain yang belajar di sana, kamu bukan anak bos besar, kamu bukan pergi untuk bersenang-senang atau bermanja-manja atau berpesta-pesta, ini adalah jerih payah orangtua kerja siang malam. Dia mengingatkanku untuk tidak lupa baca buku-buku tulisan Pemimpin Mao. Lagi-lagi, dia mengulangi kata mutiara andalannya: tak usah mimpi muluk-muluk, jadilah orang yang biasa-biasa, menjalani hidup yang biasa-biasa, tetapi menghasilkan karya luar biasa.
Surat satunya, tulisan ini,... oh betapa rindunya. Kuciumi kertasnya, kukagumi barisan huruf-huruf yang berjajar rapi.
Ming, anakku tercinta, Kamu sudah tinggalkan rumah dua bulan, Mama baru pertama kali tulis surat. Mohon maaf, Mama memang paling malas gerakkan pena. Dengar kabar ujian pertamamu bagus, orangtua sangat bangga. Apalagi buat Mama yang SD pun tak lulus, gembiranya bukan main. Bertahuntahun keringat dan air mata, sekarang sudah mulai tampak hasilnya.
Ming, Mama sekali lagi mau ingatkan. Jangan sekali-kali tertawakan keburukan dan kekurangan orang lain, jangan sakiti hati orang. Kamar sudah dibersih-bersih" Koleksi prangko yang kamu bawa dari Indonesia sudah dirapikan, tidak kececeran" Baju kotor apa dicuci sendiri" Musim panas harus mulai jemur baju musim dingin! Jauh dari orangtua, harus belajar urus diri, hidup harus disiplin. Makanan harus sehat, jangan hemat sampai hanya makan sehari sekali. Jangan buat Papa dan Mama khawatir, anakku sayang!!! Jadi Mama itu di mana-mana selalu cerewet, kamu jangan bosan.
Sampai di sini dulu. Belajar yang sukses, jaga kesehatan
21 April 2000 Mama Anakku sayang! Kapan dia pernah mengucapkan kata itu di hadapanku" Tidak pernah! Seumur-umur pun tak pernah. Biasanya cuma sebagai anak nakal , tidak berbakti , bahkan durhaka . Barisan huruf itu terus menari-nari di benakku. Inilah surat pertama yang membuat air mataku bercucuran tiada henti, menetesi kertas putih yang bergelombang, karena sudah pernah basah jauh sebelumnya. Di seberang lautan sana, seminggu lalu, air mata juga menemani sosok tangan itu menggoreskan pena tengah malam selepas bekerja seharian di toko, dibayangi imajinasi tentang musim panas dan musim dingin yang tak pernah dirasakannya sendiri. Betapa membuncah perasaan perempuan itu ketika menuliskan surat ini, aksara demi
aksara China diliputi emosi, goresan demi goresan begitu jelas, rapi, berhati-hati. Kata-katanya memang tidak seindah surat Papa yang banyak mengutip sajak Mao Zedong dan peribahasa kelas tinggi yang tidak kumengerti. Tak ada yang luar biasa, selain nasihat seorang ibu pada anaknya di negeri seberang. Omel-omelan dan teriakan yang dulunya terasa berlebihan dan menjengkelkan, sekarang muncul dalam bentuk tulisan yang sangat berharga. Kata-kata yang tak pernah diucapkan dalam dunia nyata, kini terkristalisasi dalam rupa barisan aksara. Terpisahkan oleh garis batas berupa jarak ribuan kilometer, cinta itu berubah wujud, berubah rasa.
Aku lemas. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali aku menangis sepuas ini.
Oh, kenangan yang ini....
Mendengar cuplikan memori ini, Mama terdiam, memejamkan mata. Tanpa suara, tanpa ekspresi, tanpa reaksi.
Kecuali tetes air mata yang mengalir perlahan dari sudut mata.
Kerja keras, kerja keras, cuma kerja keras. Leluhur bilang, hanya dengan kerja keras, nasib akan berubah. Mereka punya peribahasa, beribu tentara berlaksa kuda menyeberangi jembatan kayu , melukiskan betapa kejam dan ketatnya perjuangan untuk mengubah nasib.
Jembatan kayu rapuh itu adalah ujian masuk perguruan tinggi terbaik. Universitas Tsinghua, yang namanya saja sudah bikin merinding. Itu adalah impian semua orang di negeri semiliaran penduduk ini. Mahasiswa baru langsung terbayang karier gemilang yang membentang, jaminan beasiswa untuk belajar ke negeri maju seperti Amerika atau setidaknya Jepang, hidup bakal berubah dari dusun miskin di pedalaman menjadi ekspatriat berduit atau bahkan memegang paspor asing yang menjanjikan kemerdekaan bepergian. Orangtua di desa yang anaknya berhasil menembus Tsinghua juga akan bahagia bukan kepalang, menggelar pesta-pesta perayaan untuk menjamu warga sekampung. Mahasiswa yang diterima di Tsinghua dielu-elukan laksana pahlawan, terkenal bak selebritas sekecamatan. Satu mimpi tinggi telah jadi nyata.
Tapi sesungguhnya jembatan kayu rapuh itu belum berakhir. Di Tsinghua, berkumpul orang-orang terbaik seluruh negeri, para genius yang kepintarannya bahkan takkan mungkin kau bayangkan. Juara ujian nasional tingkat kabupaten" Itu sudah biasa, di mana-mana ada juara tingkat provinsi. Mereka yang masuk golongan ini pun harus menegarkan diri menghadapi saingan di kelas yang ternyata adalah peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat nasional. Jangan besar hati dulu, masih ada peraih medali emas Olimpiade Matematika tingkat dunia. Malah ada juga peraih medali emas cabang tenis meja dan loncat indah di Olimpiade benaran di Sydney dan Atlanta. Bahkan, presiden China yang baru dilantik itu pun alumnus sekolah kita juga. Lihat si genius berkacamata tebal di ujung kelas sana, dia itu yang sejak kecil sudah hafal kamus bahasa Inggris dari huruf A sampai Z, dan nilai TOEFL-nya 700. Nilai sempurna! Kacamataku yang minus empat, sama sekali tidak ada bandingannya dengan teman sekelas yang sampai minus sebelas, memasang tampang seperti profesor yang selalu mengejan, rambut acak-acakan ala Einstein, saat makan pun humor mereka hanya seputar formula dan postulat.
Di antara komunitas para genius, si juara provinsi bisa jadi juru kunci, para juara lokal yang dulu selalu dipuji-puji di kampung halaman, kini harus bekerja ekstra keras kalau mau tetap lulus. Si juara Olimpiade kini jadi kasta biasa. Di tengah mahasiswa stres, selalu beredar perbincangan tentang jenis olahraga yang semakin favorit di kampus, khusus bagi orang-orang yang ingin segera menghadap Pemimpin Mao atau lapor diri kepada Karl Marx. Ini adalah eufemisme dari bunuh diri. Nama cabang olahraga yang belum dipertandingkan di Olimpiade itu adalah loncat gedung. Caranya, sudah jelas seperti namanya, adalah meloncat dari gedung utama yang belasan lantai tingginya di pintu gerbang timur itu, masuknya harus pas malam menjelang gelap sebelum satpam berjaga. Di forum internet kampus, ada jajak pendapat cara bunuh diri yang paling efektif dan tidak sakit: minum racun, loncat gedung, atau loncat ke danau di universitas tetangga dengan kaki terikat batu" Juaranya, tentu saja loncat gedung. Sepuluh menit lalu ada suara bluk, disusul raungan mobil polisi dan ambulans. Desas-desus menyebar, katanya anak dari jurusan elektro, atau mahasiswa pascasarjana jurusan mesin, atau staf tata usaha. Katanya stres, atau ditinggal pacar virtual di internet, atau nilai ujian jeblok, atau sakit jiwa, atau.... Orang-orang pun tak lagi bertanya-tanya, tak ada yang mengungkit-ungkit. Satu nyawa hilang begitu saja, terlupakan. Satu mimpi muluk yang mengawali langkah gagah ketika pertama kali memasuki gerbang universitas ini, akhirnya berakhir
begini, sebagai mayat yang cepat-cepat diangkut, diratapi para sahabat, disesali para kerabat.
Persaingan yang terlalu kejam di dunia para genius, ritme yang terlalu cepat, tekanan belajar yang tidak mengenal henti, tentu tak semua orang kuat mental untuk menghadapi. Hampir tak satu pun bahan kuliah teknik komputer yang semuanya dalam bahasa Mandarin itu bisa terserap ke otakku. Aku belajar dan cuma belajar, sehari hanya tidur empat jam, tak ada akhir pekan. Duniaku cuma buku dan layar komputer. Rambutku putih semua, ada yang bahkan mengira aku ini dosen atau profesor. Berat badanku susut dua puluh kilogram, dari obesitas langsung ke kategori kerempeng. Toh ujian Kalkulus-ku cuma berhasil menduduki ranking nomor dua di kelas, dari belakang.
Sesenggukan suaraku di telepon. Ma... aku sudah tak kuat lagi. Aku mau... mau....
Oh, aku tak tahu bagaimana harus meneruskan kalimat ini. Pahamkah mereka jika kubilang aku mau menghadap Pemimpin Mao"
Di ujung telepon sana, suara perempuan itu menjerit. Kalau tidak kuat, pulang saja!, serunya, Jaga toko di rumah! Aduh, kamu jangan bikin Mama kuatir!
Papa menyambar gagang telepon. Dia cuma mengucap satu kata: Pengecut!!!
Klik. Putus. Tak perlu sedu sedan itu. Tak perlu boros-boros kata. Aku tahu, mereka tidak memberiku pilihan lain. Harus kuingat, aku bukan dilahirkan untuk jadi pengecut.
Bukan cuma aku yang bermimpi. Mama pun bermimpi. Ketika aku melayangkan mimpiku tinggi-tinggi, Mama sebenarnya ikut bermimpi bersamaku. Dia menggantungkan mimpinya padaku.
Ini adalah sebuah foto kenangan. Mama meminjam baju toga milikku, menoleh menyamping, tersenyum malu-malu. Dia antusias berdandan khusus untuk foto ini, membubuhkan bedak, mengoleskan gincu, menghias alis. Wajah perempuan lima puluh tahun itu persis seperti gadis sarjana. Tapi senyumnya penuh ragu, hanya sekilas sunggingan malu-malu.
Ini adalah foto lima tahun silam menjelang wisuda. Benang hitam di sudut topi, kupindahkan dari samping kiri ke kanan, sambil aku berseru: Mama sudah lulus! Dia tertawa gembira. Lulus! Dia bilang itu cita-citanya: jadi sarjana, mimpi muluk dari seorang yang bahkan tidak pernah tamat SD.
Maafkan, Mama, untuk keteledoranku yang meremehkan arti memori. Foto yang selalu dimintanya ini hilang sekian lama, terselip entah di mana. Baru sekarang kutemukan foto ini, kutunjukkan padanya, sembari kukatakan, Mama memang sudah lulus. Dari universitas kehidupan.
Mama memandang, termenung, tersenyum sekilas, kembali terdiam. Tak ada lagi antusiasme. Di ujung jalan, mimpi-mimpi pun memudar dan menghablur.
Jangan sampai padam mimpi-mimpi itu, bagaimana pun terjangan realita yang menimpa. Di tengah kehidupan mahasiswa yang monoton ini, aku masih mempertahankan mimpi untuk melihat dunia.
Di sela liburan musim panas universitas yang panjang, aku memilih tidak mengikuti arus utama para mahasiswa yang masih berkutat menghafal kamus. Aku tak mau hidupku seperti mereka, yang selain belajar hanya cuma ada belajar. Ambisi demi nilai akademik di sekolah bukan satu-satunya prioritas, ada mimpi lain yang harus kukejar. Aku menggendong ransel bekas sumbangan teman, meloncat dari kereta ke kereta, memulai petualangan dengan melintasi perbatasan sebuah negeri yang sama sekali asing:
Mongolia. Negara baru. Visa dan cap baru di paspor. Dunia yang serba baru. Mataku masih mengerjap tanpa henti memandangi kota perbatasan yang liar, dengan bangunan kotak-kotak ala Rusia yang tersebar di tengah gurun gersang melompong. Aroma vodka tercium kuat. Orang bicara dengan suara mendesis, seperti menggaruk-garuk tenggorokan. Jantungku berdebar begitu kuat, kala aku mengamati daftar itinerary yang kubuat susah payah, menghafalkan kalimat-kalimat bahasa Mongol, menggigil menantikan keberangkatan kereta, sambil berjalan mondarmandir dengan langkah berjingkat-jingkat.
Di tengah kegalauan di stasiun ala Wild West ini, seorang perempuan Asia bertopi koboi menghampiri, menepuk pundakku.
Kamu pasti dari Indonesia, katanya dalam bahasa Melayu. Aku terperangah. Lam Yuet bercerita tentang sebuah perjalanan. Dia berangkat dari Malaysia, lewat Thailand, Laos, keliling China, dan sekarang Mongolia. Tujuan berikutnya: Rusia, Eropa, lalu Timur Tengah, Pakistan, India, dan kembali ke Malaysia. Semuanya dilakukan hanya dengan jalan darat. Perjalanan tiga tahun dari perempuan berumur tiga puluhan tahun ini dijuduli: Grand Overland Voyage.
Sekilas melihatmu saja aku sudah tahu kamu adalah new comer, kata Lam Yuet, Perjalanan ini pastilah pengalaman pertamamu, sudah bisa kubaca dari gerak-gerikmu, keraguanmu, ketakutanmu. Perjalanan pasti bakal mengubah manusia, dan kamu pun pasti akan berubah bersama perjalanan.
Berubah dalam perjalanan! Dia sendiri pun, di mataku, sudah bukan manusia normal. Wajah Lam Yuet yang telah setahun hidup di jalan itu begitu kasar, terbakar matahari. Bajunya kumal, sudah berapa hari ini tak mandi. Rambutnya pendek, seperti lelaki. Juga langkah kakinya, bahkan lebih tegap dari lelaki. Di tengah kerasnya jalan, orang hanya bisa belajar mengadaptasikan diri, tak mungkin menuntut kenyamanan terlalu tinggi.
Dibandingkan perjalanannya, perjalananku yang hanya sebagai pengisi liburan ini sungguh tidak ada apa-apanya. Lam Yuet bagaikan seorang pertapa suci yang menubuatkan masa depanku. Dia adalah wujud nyata dari mimpi-mimpi masa kecilku. Perjalanan keliling dunia, itu sama sekali bukan mustahil. Negeri-negeri bisa dirambah, Eropa bisa dicapai dengan jalan darat, tak ada yang tak mungkin.
Tapi tampaknya aku masih harus belajar banyak untuk menjadi petualang jagoan. Masih terlalu jauh....
Hari pertama di Mongolia, aku dirampok di kereta api oleh para lelaki mabuk. Hari kedua, aku dirampok lagi. Di siang bolong, di tengah taman ibukota Ulaanbaatar, dua lelaki besar membekapku dari belakang, satu memegang tangan kiriku, satunya lagi tangan kanan. Seorang lelaki lain menyergapku dari
depan. Aroma vodka tercium begitu kuat, aroma yang mengembuskan sinyal bahaya. Di celana jinsku tertambat dompet berisi empat lembar uang dolar bergambar Benjamin Franklin semua uangku untuk perjalanan ini. Tangan itu menggerayangi sakuku. Aku memejamkan mata, tapi aku tahu bogem sudah terkepal, hanya beberapa sentimeter dekatnya dari hidung pesekku. Aku sudah melihat bintang-bintang bertaburan. Aku sudah siap menyambut serangan bertubi-tubi itu, menyongsong sakitnya. Sementara jari tanganku tetap erat memegang saku jins dengan dompet menyembul.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Rasa sakit tak kunjung tiba. Bintang-bintang di kepala tak jadi berputar. Aku membuka mata. Aku menemui diriku tergeletak di lantai keras, tepat di bawah patung Lenin yang melambaikan tangan. Orang-orang Mongol mengerumuni kami, seorang perempuan berkacamata hitam memapahku berdiri. Teman seperjalananku, gadis Indonesia berpostur mungil, menangis tersedu-sedu. Dia minta pulang hari ini juga. Mongolia terlalu seram, terlalu bahaya.
Pulang" Setelah melewati dua hari yang begitu seru ini" Begitu saja"
Masa pengalaman pertamaku sebagai backpacker harus berakhir dengan kegagalan memalukan" Aku memutuskan meneruskan perjalanan. Tiga minggu berlalu di Mongolia, kami menjelajah negeri dengan menumpang jip Rusia. Padang hijau menghampar bagai permadani yang membungkus pegunungan. Langit biru, danau ala Siberia yang magis, kemah-kemah suku nomaden, gurun Gobi yang misterius, sampai ke takhta kuno sang Genghis Khan. Piala kemenanganku yang paling berharga
adalah: inisiasi sebagai seorang backpacker. Rasa takut telah terkalahkan. Aku sudah siap untuk pengembaraan yang lebih besar, lebih mendebarkan dan lebih menyiksa. Tujuan berikut: keliling dunia. Grand Overland Voyage!
Tetapi tidak dengan ibuku, ribuan kilometer jauhnya di sana.
Ming!!! Anakku!!! Kamu sudah pulang"!
Dia berteriak histeris begitu aku mengangkat gagang telepon sepulang dari Mongolia, padahal aku belum bersuara apa-apa. Aku tak tahu, apakah tiga minggu tanpa kabar dari negeri Genghis Khan itu sudah membuatnya cemas atau gila. Zaman ini masih belum ada teknologi untuk mengetahui nomor telepon yang masuk. Entah apakah dia memberi respons yang sama kepada setiap panggilan, atau memang dia merasakan getaran telepati bahwa anaknya sudah pulang, memanggilnya, bersiap mengisahkan petualangan dahsyat.
Ming! Anakku!!! Anakkuuuuuu!!!
Aku tak sanggup. Tidak ada satu pun kisah yang keluar. Hanya kata maaf, telah memberi siksaan kegelisahan begitu panjang. Cerita tentang perampokan, bahaya bertemu sopir mabuk, laga di gurun Gobi, semua tertelan lagi bersama ludah.
Hidup itu begitu ajaib, kata Mama, jalan ceritanya serba tak terduga.
Hwie kecil adalah gadis miskin putus sekolah. Seiring dengan naiknya Orde Baru, sekolah Tionghoa ditutup, toko Tionghoa dilarang buka. Sejak umur sepuluh tahun, Hwie terpaksa jadi pedagang keliling, berjualan kue buatan ibu dari rumah ke rumah.
Mimpi Hwie adalah jadi guru, bukan pedagang, apa lagi dagang telur. Tak pernah sekali pun dia simpati dengan pedagang telur. Terus terang, dia jijik. Apalagi kalau disuruh pergi ke toko telur Oom Tionghoa sebelah. Jorok, penuh kecoak dan belatung. Kalau besar nanti, si Hwie membatin, mau jadi apa pun boleh, tapi amit-amit jabang bayi, jangan sampai jualan telur.
Tapi nahas, mimpi cuma mimpi. Hwie dewasa justru kawin dengan lelaki idaman yang tak dinyana, eh ndilalah, malah jadi pedagang telur.
Lihatlah, takdir itu justru selalu mengincar orang yang menolaknya, kata Mama.
Dari perkawinan mereka, lahirlah aku, yang juga jijik dengan lautan telur di rumah tua. Lautan telur itu membuatku ingin jauh-jauh meninggalkan rumah. Justru lautan telur itu pulalah yang membiayaiku bersekolah sampai ke luar negeri, membuatku melihat dunia yang luas.
Itu bukan takdir, kataku. Itu pilihan.
Memang itu adalah jalan hidup lazim yang dipilih semua orang. Tapi, aku lebih memilih untuk mewujudkan mimpi, daripada tunduk pada realita dan kungkungan aturan-aturan. Bukankah takdir pun bisa diubah" Bukankah mimpi harus diperjuangkan"
Semakin aku melihat negeri-negeri asing, semakin aku sadar, aku bukan bagian dari Tiongkok. Tujuan hidupku bukan cuma untuk belajar dan bekerja keras, memupuk kekayaan dan membina keluarga. Aku tahu, ada sebuah dunia lain di luar sana, yang paling tepat bagiku, untuk mengisi kehampaan dari sebuah hidup yang hanya terpaku pada satu tujuan.
Menjelang kelulusan, aku membawa kabar. Satu kabar baik, satu kabar buruk. Mana yang duluan"
Di ujung telepon, Papa menjawab: kabar baik. Oke, prestasi belajarku di universitas termasuk yang tertinggi, jauh lebih tinggi daripada rata-rata mahasiswa lokal, bahkan sampai ditawari beasiswa S-2. Karier gemilang sudah menanti, pekerjaan mapan dan gaji tinggi sudah terjamin. Kabar buruknya: aku menolak semua itu.
Tujuan hidupku yang semula tampak begitu simpel dan jelas, tiba-tiba mengabur sama sekali. Hilang sudah hasrat persainganku dengan mahasiswa China. Aku tak tertarik lagi beasiswa sampai ke negeri Abang Sam. Aku tak mau jadi insinyur komputer, tak mau seumur hidupku dihabiskan di hadapan kotak mesin dan monitor. Aku sudah muak dengan perjuangan melintasi jembatan kayu rapuh ini, hanya demi tepian yang tak pasti. Apa artinya hidup kita yang semua mengikuti pola yang sama: lahir-lalu-kerja-cari-uang-sampai-mati"
Kukatakan keputusanku. Aku mau keliling dunia! Empat tahun aku kuliah, apa yang kudapat" Empat tahun penderitaan dan persaingan, apa hasilnya" Hanya selembar ijazah, hanya barisan angka. Apa artinya kertas-kertas ini" Ini bukan hidup yang sungguhan. Bukankah Papa sendiri yang bilang, jadi orang itu yang penting berguna bagi sesama" Aku mau menulis tentang kisah hidup manusia yang sering kali dilupakan, kisah hidup di tempat terpencil, kisah tentang kemanusiaan! Izinkanlah anakmu keliling dunia.
Papa berang, nada suaranya meninggi. Apa-apaan ini" Ini tentu bukan pilihan konvensional orang Tionghoa. Mana rasa aman" Mana cita-cita tentang kesuksesan" Mana kestabilan dan kemapanan" Mana bakti pada orangtua" Apakah ini balasan
dari investasi beratus-ratus juta menyekolahkanku jauh-jauh ke Beijing" Dia bertanya, apa tujuan hidupku.
Kuceritakan padanya, perjalanan akbar keliling dunia dengan jalan darat, dari Beijing menuju Afrika Selatan, sebuah perjalanan yang bakal menjadi sejarah hidupku, melintasi puluhan negara. Pegunungan Himalaya di Nepal. Sungai Gangga di India. Kota kuno di Iran. Lalu masih ada Baghdad, Damaskus, Yerusalem, piramida Mesir. Di selatannya ada Sudan dan Ethiopia. Aku mau jadi wartawan perang. Tetapi mungkin juga jadi pekerja sosial, staf PBB, mengabdikan diri buat kemanusiaan. Aku mungkin akan pakai helmet baja dan rompi antipeluru, mencatat dan memotret di tengah desing mesiu, menyusuri ladang ranjau, mewawancara korban.
Papa tidak terkesima. Hening. Keheningan yang panjang membungkam dalam sambungan telepon internasional terasa seperti ketegangan di ruang ujian. Keheningan yang begitu menyiksa, seperti ratusan jarum akupuntur yang ditancapkan pada urat yang salah.
Lama dia butuhkan untuk menguasai dirinya lagi, sampai akhirnya kembali bersuara. Dia mulai ceramah panjang tentang arti hidup. Aku, di matanya, masih sangat mentah, hijau, mengambang. Tujuan hidupku tidak jelas, sama sekali tak bisa diterima. Dia menyebutku sebagai gelandangan, tak punya rumah, tak ada kemapanan, hidup terombang-ambing. Dia memang sempat bangga, aku dulu anak rumahan yang bertransformasi menjadi pemberani yang bertualang di negeri-negeri asing sendirian. Tapi sekarang, aku terlalu ekstrem. Terlalu edan, gila, berlebihan. Semua yang berlebihan itu tidak baik.
Tapi, lanjutnya, Hidup itu memang adalah soal pilihan. Kami orangtua cuma bisa memberi pandangan, pilihan tetap ada di tanganmu. Jalani hidupmu sendiri, pilihanmu. Kalau kamu sudah tidak kuat, pulanglah. Pintu rumah juga selalu terbuka untukmu.
Mereka tampaknya membiarkanku mencicip kehidupan jalanan, dan tentu mereka berharap suatu hari nanti aku kembali ke jalan yang benar , seperti layaknya orang normal .
Dari sebuah titik nol di Beijing inilah aku menepuk dada. Aku memang bukan siapa-siapa, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Dari titik nol ini aku memandang tujuan akhir di awang-awang.
Kosong. Tak terlihat apa-apa, kecuali langit musim panas Beijing yang antara putih dan kelabu. Dari sinilah kumulai senandung seorang pengembara.
Ada dunia luas di luar sana, kataku. Kalau aku tak pernah berjalan keluar, aku takkan pernah lihat dunia yang luas itu.
Mama mengangguk. Mungkin hari ini aku masih duduk di meja kasir di toko telur, sibuk melayani uang kembalian para pembeli, lanjutku, Mimpiku itu bakal menguap begitu saja, tertekan oleh realita sehari-hari. Aku bakal jadi pemimpi yang cuma bisa mengumpati nasib.
Dunia luas itu juga pernah jadi mimpiku, katanya, Tapi mimpi cuma sekadar mimpi. Orang hidup itu harus berhadapan dengan kenyataan. Hidup tetap harus realistis.
Perjalanan adalah untuk mencari sebuah negeri lain yang menjanjikan kebahagiaan, penemuan sebuah negeri nirwana yang bukan fantasi belaka. Seperti nama negeri tersembunyi itu, Shambala, di balik lekukan Himalaya yang konon dilimpahi kebahagiaan abadi. Beribu tahun nama itu bergema dalam tradisi Tibet, karena katanya di sanalah nirwana di atas bumi itu. Pada
tahun 1933, James Hilton mengukuhkan mitos Shambala menjadi Shangri-La, dalam bukunya The Lost Horizon. Nun jauh di sana, di balik cakrawala yang hilang, di sudut terjauh Pegunungan Kunlun, Waktu berhenti mengalir. Penduduknya berusia ratusan tahun tanpa harus menjalani takdir penuaan. Di bawah lindungan kuil suci, hanya ada doa, kebahagiaan, keabadian. Tak ada derita, tak ada penyakit, tak ada perang dan kekacauan. Itulah surga, itulah utopia.
Manusia pun melakukan perjalanan jauh dan berbahaya untuk mencarinya, sejak ratusan tahun silam. Misionaris Portugal Estevao Cacella menerobos hingga ke pedalaman Tibet. Filsuf dan shambalist asal Rusia, Nicholas Roerich melakukan ekspedisi khusus mencari Shambala hingga ke Himalaya dan Mongolia. Blavatsky dari abad ke-19 bertualang hingga ke Lhasa dan Thashilhunpo. Penjelajah Inggris Michael McRae menembus hutan belantara untuk mencari air terjun dan jurang tersembunyi siapa tahu itu adalah pintu masuk menuju Cakrawala yang Hilang itu. Younghusband, Gordon, Bonvalot, Sven Hedin, semua mencari nirwana di muka bumi itu. Tapi di mana, semua bertanya. Konon, di tengah garangnya pegunungan Himalaya, yang membentang dari Pamir hingga Burma, terisolasi di balik benteng alami menjulang ribuan meter, tak terjamah, di sanalah Shangri-La.
Di zaman modern, negeri-negeri kini berlomba mengklaim diri sebagai tuan rumah Shangri-La, memegang hak paten atas surga dunia . Tibet, Nepal, India, Pakistan, Bhutan, Sikkim, Kashmir, Tajikistan, bahkan sampai negeri perang yang babak belur seperti Afghanistan juga. China sudah mengubah nama kabupaten Zhongdian menjadi Shanggelila (alias Shangri-La)
dan mengatakan pada seluruh dunia: di sinilah Shangri-La. Nama eksotis ini adalah jampi-jampi ampuh untuk mendatangkan rombongan turis berduit pencari surga. Bahkan Singapura, negeri yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Himalaya, menciptakan surga modern berupa hotel yang menawarkan kenikmatan laksana nirwana, mematenkan nama Shangri-La, lalu menyebarkan surga itu ke seluruh pelosok bumi.
Aku sempat berpikir bahwa Tibet adalah Shangri-La sesungguhnya. Ini tentu gara-gara parade gambar gunung salju dan lembah hijau Himalaya yang selalu diputar di CCTV (Stasiun Televisi Pusat Tiongkok) sebagai pengisi jeda, dengan tulisan empat huruf Mandarin: Silakan Anda Menikmati . Ini juga gara-gara setiap perayaan Tahun Baru Imlek, pesta di televisi pusat selalu dimulai dengan parade baju-baju tradisional lima puluh enam etnis negeri China, dengan etnis Tibet sebagai salah satu atraksi utama, bukti nyata hidup rakyat yang harmonis. Para lelaki yang menari mengangkang dengan jubah tebal satu lengan, atau para perempuan yang didandani seperti boneka berambut panjang menjuntai-juntai dan topi raksasa seperti tanduk kerbau. Pembaca berita dari Stasiun Televisi Tibet menghasilkan suara bercicit dan bergumam, seperti bacaan mantra sihir tanpa akhir. Lhasa dalam imajinasiku adalah Istana Potala meneduhi jalanan berdebu. Ribuan orang memenuhi pasar sesak, jubah mereka berlapis-lapis, langkah mereka terbungkukbungkuk saking beratnya jubah itu. Bocah-bocah biksu berlarian meminta sedekah. Para hulubalang bersanggul, mengenakan topi yang seperti mangkuk menadah ke langit. Kaum perempuan
berkepang-kepang sampai melintir, wajah berbalut bedak seperti pemain ludruk.
Setelah tidak kurang dari sembilan puluh jam perjalanan penuh siksaan di atas bus yang selalu rusak di jalanan rusak, semangatku yang sudah ambrol semakin ambrol ketika melihat Lhasa di hadapanku hanyalah jalan lebar membentang lurus, dengan barisan toko berbentuk kotak-kotak di kanan-kiri jalan, plus bangunan modern tinggi belasan lantai buruk rupa, dengan kaca cermin yang memantulkan sinar mentari menyilaukan. Bank of China, warung makanan Sichuan, hotel, supermarket, kafe dengan menu Eropa, supermarket, ATM, dering telepon genggam tanpa henti, restoran cepat saji, diskotek, toko suvenir, SUV lalu lalang. Sesekali terlihat satu dua biksu muda berjubah merah marun, sibuk bicara dengan telepon seluler, sambil mengudap sate kambing dagangan orang Uyghur dari Xinjiang.
Angin globalisasi telah berembus sampai ke surga ini. Perlahan-lahan, Lhasa akan seperti kota-kota lain di dunia global, atau setidaknya kota-kota modern di China yang semua mengarah pada homogenisasi berkat pola pikir dari pusat .
Istana Potala memang masih tetap tinggi, megah, raksasa. Lapangan luas dari batu rigid di hadapan Potala, dengan bangunan megah Monumen Pembebasan Tibet Secara Damai dan Balai Budaya Rakyat Pekerja, beserta bendera merah berkibar gagah dari tiang tinggi di tengah lapangan, lengkap dengan tentara berseragam hijau-hijau yang berbaris rapi dalam derap langkah angsa. Semua ini membuatku sungguh bertanya: ini sebenarnya Tiananmen atau Potala" Lhasa atau Beijing"
Untuk masuk Potala yang diposisikan dengan manis di pinggir Jalan Beijing orang harus bayar karcis 100 yuan, itu
pun harus booking sehari sebelumnya. Kuil-kuil yang ada di Lhasa semua mematok tiket mahal. Kuil Jokhang yang atapnya berlapis emas, 70 yuan. Kuil Drepung 50 yuan. Ganden 45 yuan. Semua duit, duit, duit, cuma orang Tibet yang bisa masuk nyaris tanpa bayar. Dari informasi sesama backpacker, mungkin kita bisa menyelundup gratis ke kuil-kuil itu di tengah aliran ratusan orang Tibet yang pergi sembahyang. Aku pun berangkat ketika hujan rintik membasahi Lhasa, langit masih gulita. Dinginnya membuat tulang bergemeretak. Sepagi ini, di hadapan Jokhang sudah ada belasan umat yang sembahyang: berdiri, bersembah, tengkurap, berdiri lagi, sampai ratusan kali. Sudah jam enam, kuil tak kunjung dibuka juga. Para peziarah telah siap dengan selendang sutra khata, tasbih, silinder doa, alunan mantra. Tapi semua harus kecewa. Hari ini bakal ada kunjungan VVIP wanita dari Partai Komunis. Kuil Jokhang ditutup bagi publik.
Dari kejauhan, datang rombongan dua lusinan turis China, dibawa pemandu yang melambai-lambaikan bendera mungil. Menyaksikan orang Tibet sembahyang, para turis langsung mengeluarkan kamera, berjalan dengan anggun di antara para peziarah yang khusyuk dalam ritual berdiri-tengkurap-berdiri, menjepretkan blitz tanpa henti, tertawa berkomentar tentang betapa eksotik dan primitif kehidupan orang-orang Atap Dunia sini.
Hwie kecil adalah gadis ayu berkepang ketat, jago berenang, lihai memanjat pohon dan mendaki gunung. Hobinya adalah berpesiar, pernah ke Bali sampai ke Lombok, Sumatra juga Yogyakarta. Sama sepertiku, dia juga bermimpi menjelajah dan bertualang, menemukan dunia yang tidak biasa.
Tapi mimpi itu akhirnya dipendam dalam hati. Ini adalah realita, keadaan, harus diterima. Apalagi, katanya, Buddha mengajarkan, surga itu bukan di mana-mana, surga itu ada di mana-mana.
Aku setuju. Kukatakan, Dalam ajaran Tibet, perjalanan isik itu sebenarnya adalah perjalanan ke dalam hati, batas antara dunia alami dengan dunia spiritual itu sangatlah tipis. Perjalanan jauh ke tempat-tempat suci, sebenarnya juga untuk menyelami sanubari.
Kailash memang bukan pusat semesta. Dalai Lama pernah berkata, pusat semesta itu ada dalam diri kita masing-masing.
Shangri-La itu, nirwana yang kau cari-cari itu, sesungguhnya ada di lubuk hati.
Bagi para biksu muda ini, nirwana ada di luar sana. Itulah sebabnya mereka melakukan perjalanan ini. Berjalan kaki, empat ratus kilometer, tiga belas hari tanpa henti, dari Qinghai demi ziarah ke kota suci Lhasa, tidak semeter pun dibantu tumpangan kendaraan. Di hadapan Potala, mereka menikmati mentari senja yang membilas seluruh kota. Lhasa adalah metropolitan, kata mereka, begitu modern dan raksasa.
Datang jalan kaki, pulang baru boleh naik mobil, katanya, hidup pun tak ada sesal, mimpi menjadi nyata. Aku sudah melihat Potala dengan mata sendiri.
Apakah semua tujuan hidup sudah terpenuhi" tanyaku. Aku masih ingin ketemu Dalai Lama, sambung yang lain. Dia bercerita, tahun kemarin dia sudah coba menyelundup dari
Qinghai ke Tibet, lalu keluar China. Tapi sial, di perbatasan India dia tertangkap tentara China, akhirnya dikirim balik ke Lhasa, dipulangkan ke Qinghai, dipenjara. Tapi aku tak takut, tahun depan akan kucoba lagi.
Petualangan itu sebenarnya adalah pertaruhan nyawa. Tentara China tak segan menembak mati para penyelundup Tibet yang mengungsi ke Dharamsala untuk menemui Dalai Lama. Tapi bagi mereka, tempat itu adalah tanah suci yang baru, tanah impian. Mereka yakin ada kehidupan yang lebih baik di seberang garis batas sana.
Shangri-La ini bagaikan kota yang terkurung tembok. Orang yang di luar ingin masuk, orang yang di dalam ingin keluar. Kita orang luar menganggap Negeri Atap Dunia ini adalah tanah eksotis, nirwana, menjanjikan kedamaian dan ilusi surgawi. Tetapi apakah ini benar nirwana Shangri-La, kalau mereka yang tinggal di sini harus menyabung nyawa untuk keluar dari surga mereka sendiri"
Di Tibet, foto Dalai Lama adalah barang haram. Memiliki selembar fotonya bisa dihukum penjara. Pemerintah China selalu menyebut Dalai Lama itu separatis, bahaya bagi persatuan bangsa. Bahkan ribuan kilometer jauhnya, Papa dan Mama di Indonesia yang rajin menonton berita televisi China, juga ikut antipati terhadap Dalai Lama. Aku sudah kenal nama Dalai Lama sejak aku masih di bangku sekolah dasar. Tapi yang pernah ada hanya benci, karena cuma itu yang diajarkan. Pemberontak itu.... Pengkhianat itu.... Separatis itu....
Realita kehidupan adalah masalah sudut pandang. Turis China yang kutemui mengatakan, Tibet sebenarnya sangat beruntung. Sebelum pembebasan, mereka dikuasai oleh para biksu
feodal yang terbelakang dan menjajah rakyat, menjadikan semua kawula sebagai budak tani, pokoknya isinya cuma sengsara dan derita. Setelah dibebaskan, lihatlah Lhasa sekarang, Tibet sekarang. Jalan beraspal, gedung tinggi, bank, toko, modernitas, turisme, semua ada. Gadis backpacker dari Peking University yang menumpang bus bersamaku ini antusias berdebat. Oh ya, tradisi Tibet itu begitu primitif. Satu gadis dikawinkan dengan tiga lelaki, kakak-beradik sekaligus. Satu istri banyak suami, satu suami banyak istri. Kamu bilang itu adab" Budaya" Agama" Itu keterbelakangan! Mereka tak punya pikiran, selain mendewakan Dalai Lama. Apa gunanya buat mereka" Itu ekstrem! Fanatik! Sekarang kamu lihat, pembangunan telah mengubah kehidupan. Mereka tak bodoh lagi, semua berpendidikan. Tempat ini maju!
Bagaimana dengan identitas dan kebanggaan minoritas yang ditolak, dengan kerinduan mereka untuk benar-benar hidup bebas "
Kalau itu memang untuk kebaikan mereka, apa boleh buat" balasnya.
Dari sudut pandangnya, dia merasa sama sekali tidak ada yang salah kalau Muslim di Xinjiang dan orang Tibet tidak boleh bikin paspor, dan harus dikarantina dulu kalau habis berkunjung ke tempat sensitif seperti India. Siapa yang bisa jamin kalau mereka ke sana, mereka tidak belajar hal salah" Bagaimana kalau mereka malah jadi teroris" Bagaimana kalau mereka kena racun dari Dalai Lama" Ini justru untuk melindungi mereka! Gadis itu kemudian mengalihkan pandangan, menunjuk ke gedung-gedung tinggi yang merambahi Lhasa. Lihat itu! Kamu
bisa jamin rakyat Tibet bisa sebahagia ini kalau Dalai Lama masih ada di sini"
Pada tahun 1950-an, Tibet punya sistem pemerintahan tersendiri, mengatur diri sendiri, dan terisolasi dari dunia luar. Dalai Lama berkuasa seperti Raja merangkap Dewa. Tibet masih hidup dalam Abad Pertengahan. Tak ada kendaraan bermotor, sekolah, bank. Mereka masih melakukan perdagangan barter dengan garam, kain, teh, mentega. Lalu datanglah orang China Han untuk membebaskan Tibet secara damai , melakukan perombakan total, menjanjikan modernisasi dan taraf kehidupan yang lebih tinggi. Tanah ini adalah bagian sah dari Republik Rakyat Tiongkok, dengan nama resmi Daerah Otonom Tibet. Wilayahnya pun sudah mengerut dibandingkan zaman Dalai Lama dulu, karena sebagian dipindahtangankan ke provinsi-provinsi tetangga. Di Lhasa, suku pendatang mendominasi. Toko modern berjajar di jalan utama kebanyakan adalah milik pendatang, orang Han.
Apakah kebahagiaan itu" Keberhasilan, pembangunan, kemajuan ekonomi, peningkatan kecerdasan, semua jadi tolok ukur kebahagiaan hidup, yang selalu dibanggakan China dari pembangunan secara damai di Tibet. Materialisme dunia dan utopia sosialis kini bercampur dengan kehidupan religi. Di rumah penduduk desa, foto Mao berjajar dengan patung-patung Buddha di altar, disembahyangi setiap hari. Mao, yang dulu pernah mengucap, Agama adalah racun , sekarang justru bersanding manis dengan para Buddha di altar. Pemerintah pusat di Beijing berbangga, berkat perhatian dan perlindungan mereka, kehidupan dan kebebasan beragama di Tibet hari ini berada dalam posisi terbaik yang belum pernah ada dalam sejarah.
Tibet memang menderita luar biasa karena Revolusi Kebudayaan. kata seorang backpacker lain, juga dari Beijing, China memang berutang banyak kepada Tibet. Tetapi Tibet tidak sendiri. Seluruh China juga hancur lebur karena Revolusi. China kemudian memperlakukan Tibet seperti anak tiri yang dianakemaskan: pembebasan, pembangunan, modernisasi, aliran investasi, jalan, gedung-gedung, kesejahteraan.
Perbedaan konsep kebahagiaan adalah perbedaan sudut pandang, yang menyebabkan perbedaan memperlakukan hidup dan menjalani kehidupan. Banyak teman etnis Han yang berkata padaku, tak habis pikir mengapa orang Tibet masih tidak puas dengan ini semua, padahal sudah dimanja dengan pembangunan luar biasa, mengapa mereka masih ingin merdeka. Banyak turis asing yang mengeluh, kenapa Tibet jadi dipenuhi toko-toko modern, tidak lagi seeksotis bayangan, lalu menggerutu soal pelanggaran HAM. Sedangkan orang Tibet sendiri,... entahlah, sungguh susah mendengar suara mereka, seperti senantiasa ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami orang luar dari mereka.
Nuansa perayaan bergemuruh di hadapan Potala. Bendera merah berkibar gagah. Barisan tentara berseragam hijau memainkan terompet, seruling, genderang. Upacara akbar peringatan empat puluh tahun berdirinya Daerah Otonom Tibet segera digelar. Hari-H itu, dua minggu lagi, bakal jadi hari teramat sensitif, pengamanan akan sangat ketat, gerak-gerik orang asing akan sangat diawasi. Saat senja, lagu kebangsaan Tiongkok pun membahana dari simfoni tentara yang bergeladi bersih. Bangkitlah... orang-orang yang tak mau diperbudak....
Seperti budak romusha, hidupnya di mataku hanyalah tentang kerja keras yang tanpa henti. Ajaran negeri leluhur adalah rajin bekerja penuh derita, demi bahagia di hari tua.
Mama selalu bekerja seolah energinya tidak bakal pernah habis. Jaga toko dari jam tujuh pagi sampai sembilan malam, empat belas jam sehari nonstop, tujuh hari seminggu, tiga ratus enam puluh lima hari setahun. Mama jadi bos merangkap kasir, pelayan, pembantu, kuli pengangkut barang, sekaligus suster merawat Papa yang kena stroke. Tak pernah kudengar Mama mengeluh. Dia memang selalu sehat. Tapi sekalinya sakit, langsung tak tanggung-tanggung: kanker.
Mama terlalu capek, kataku, Aku kan sudah bilang, jangan semua itu dipikiri.
Kalau bukan aku yang kerja, lalu siapa lagi yang mengurus ini semua" Adikmu masih kecil, masih belum bisa pegang toko. Papamu juga marah kalau aku mengeluh.
Jangan lagi dipikir, Ma. Keluarga, biar kami yang urusi. Mama istirahat saja yang tenang.
Aku sudah tak mau memikirkan lagi. Bukan tak mau, aku sudah tak sanggup. Sekarang, setiap satu hari yang mampu kulewati, sudah sangat aku syukuri.
Perbudakan abad modern itu berwujud buaian materialisme. Realita dan idealisme sering kali memang tidak sejalan. Seperti Mama yang bekerja keras siang malam demi uang, sedangkan
ajaran Buddha yang selalu dipegang dan didengung-dengungkannya adalah soal pelepasan dari keterikatan duniawi .
Tibet di mataku bagaikan pertapa suci yang sekarang berubah jadi pedagang sukses. Tibet pernah menjadi pusat peradaban Buddha legendaris selama ribuan tahun. Seketika, kehidupan religius itu terputus pada masa Revolusi Kebudayaan, ketika kuil-kuil ditutup dan dibakar, patung-patung dihancurkan, biksu dibunuh, agama diberangus. Sekarang, zaman sudah berubah. Uang menjadi dewa, turisme yang menawarkan eksotisme adalah mesin produktif pencetak uang. Tibet dibuka lagi dengan berbagai atraksi, kuil-kuil direnovasi dan dicat mengilap, para biksu didatangkan kembali walaupun tetap harus dikontrol populasinya. Mereka menarik karcis masuk untuk semua tempat religius utama. Tibet terasa seperti taman bermain Disneyland dengan wahana utama berjudul: Buddhism Adventure. Tibet sepertinya diciptakan di muka bumi untuk memuaskan nafsu para turis akan eksotisme Himalaya, akan sebuah Shangri-La tersembunyi dengan manusia-manusia tradisional yang juga berwajah fotogenik dan eksentrik.
Perkembangan turisme dan statistik peningkatan jumlah turis mancanegara yang didatangkan ke Tibet adalah salah satu tolok ukur modernisasi yang selalu dibanggakan. Sebagaimana kultur Tionghoa yang mendefinisikan kata sukses dengan sebuah tujuan jelas: kekayaan, keberhasilan karier, kemajuan, kenyamanan hidup, maka pembangunan di Tibet pun bergerak ke arah itu. Pelan-pelan tapi pasti, mereka terasimilasi dalam pola pikir arus utama, mengikuti arah yang seperti ditentukan oleh pusat nun jauh di sana di Beijing.
Komersialisasi agama begitu absurd di mataku. Aku tak rela,
juga tak mampu, membayar karcis masuk Kuil Sera yang 55 yuan itu. Aku memilih mengelilingi kuil ini saja, gratis. Bukankah mengelilingi kuil juga termasuk ibadah"
Tiba-tiba seorang backpacker perempuan dari China Daratan bertopi koboi menepuk pundakku, mengajakku menemukan sebuah pintu rahasia. Pintu belakang ini sudah tersohor di kalangan para backpacker, katanya, kita bisa menyelinap tanpa perlu bayar. Kami berjalan mengendap-endap, menemukan pintu tersembunyi di balik rimbunnya rerumputan tinggi. Tapi nahas, pintu itu dikunci gerendel, sama sekali tak terbuka sekuat apa pun kami mendorongnya. Dia mendesah. Tampaknya para lama itu sudah tahu pintu ini sering dipakai para turis curang. Dia melirik tembok dekat pintu dengan pandangan nakal. Tembok ini tidak tinggi-tinggi amat. Kita panjat saja!
Panjat tembok" Aku dengar memang para backpacker China sudah sangat lihai dalam teknik ini, demi menghindari harga karcis yang mahal gila. Dengan gampangnya dia naik ke tembok dua meteran ini, lalu meloncat ke seberang sana. Giliranku, aku tak tahu mesti bagaimana. Aku merayap, memanjat, mengerang, meloncat....
Aku berhasil, mendarat tepat di lubang kakus. Bau, kering, pengap. Di kejauhan, sepasang mata biksu muda menatap kami penuh keheranan.
Dengan tubuh beraroma kotoran, aku akhirnya berhasil masuk kompleks Sera. Dulu Dalai Lama sempat menjalani ujian di sini, disaksikan ribuan pengikutnya. Sampai sekarang, tradisi debat terbuka setelah kelas agama masih ada. Setiap sore adalah jam sibuk , karena bus-bus besar rombongan turis asing berdatangan sesuai jadwal. Ini adalah saat para biksu mendiskusikan
ilmu agama di pelataran kuil. Tepukan. Entakan kaki. Teriakan. Tak pernah aku lihat debat yang sedemikian penuh energi. Intimidatif. Setiap entakan dan tepukan itu membangunkan kesadaran lawan bicara, tapi juga menunjukkan pelepasan diri dan egoisme pribadi. Begitu kata buku panduan.
Kudengar turis bule di belakangku berbisik, Apakah debat ini sungguhan" Atau cuma tontonan buat turis yang bayar tiket"
Ketika mimpi indah tak terpenuhi, manusia harus belajar menerima.
Kamu tahu, kata Mama, saat hamil kamu dulu, apa doaku pada Buddha"
Aku menggeleng. Kamu adalah anak yang lama dinanti. Tiga tahun sebelum kamu lahir, aku pernah hamil, tapi cuma hamil perasaan. Perutku membesar, persis orang hamil sampai berbulan-bulan. Sampai ngidam-ngidam segala. Tetapi setelah diperiksa ke dokter, ternyata kosong melompong, janin di perut itu cuma mimpi siang bolong. Pas dokter bilang begitu, perutku langsung kempes, seperti bola gembos mbos.... Waktu hamil kamu, aku minta sama Buddha, beri aku anak perempuan. Tahu kenapa"
Lagi-lagi aku menggeleng.
Anak perempuan itu sangat berbakti, sayang sama orangtua, sabar meladeni dan menemani, tidak akan pergi ke mana-mana. Karena itu, pas kamu lahir, eh kok laki-laki. Aku sedih, aku kecewa. Mimpiku tak jadi nyata.
Dalam Seven Years in Tibet (1952), lelaki petualang sekaligus pendaki dari Austria Heinrich Harrer yang pernah hidup bersama Dalai Lama menulis: Di Tibet, orang tak perlu diburu-buru dari pagi sampai malam oleh yang disebut peradaban . Di sini, agama menguasai sebagian besar kehidupan individual, seperti dunia Barat di Zaman Pertengahan. Semua orang berbahagia, mereka terkunci dari dunia luar dan tidak digelayuti masalah-masalah keduniawian. Hidup hanya sembahyang dan sembahyang, spiritualitas yang tiada akhir, mantra-mantra suci. Surga di dunia, tak salah lagi.
Perjalanan sebenarnya adalah proses menumbukkan fantasi dengan realita, sering kali diiringi kecewa ketika fantasi demi fantasi rontok berguguran. Dalam bukunya yang berjudul Shambala yang ditulis pada 1930, shambalist Nicholas Roerich justru menggerutu berlembar-lembar soal kehidupan para lama di Tibet yang sangat jauh dari nilai-nilai ke-Buddha-an. Contohnya, lama menggunakan tasbih sebagai kalkulator untuk menghitung laba jualan. Kuil-kuil mereka pun dipenuhi bangkai kambing dan domba. Lebih mustahil lagi, seorang lama menawarkan untuk menangkap awan dan mencairkan salju, dengan imbalan yang sungguh sangat masuk akal: dua dolar Amerika. Seorang lama pemilik toko, di satu sudut menggantung lukisan Shambala, di sudut lain tokonya menjual anggur dan arak buatan sendiri. Bahkan bocah-bocah di bawah umur pun meminta uang untuk beli wiski. Tibet bukanlah negeri impian. Para lama baginya adalah perampok berjubah, agama dipakai untuk keuntungan material.
Hari ini, berselang tiga perempat abad, aku pun menggerutu seperti Roerich. Aku barusan dipaksa dua biksu Lhasa berjubah
untuk memberikan sumbangan sukarela . Setelah memberi uang dua yuan, aku menerima kalung azimat, katanya peninggalan guru suci. Aku disuruh bayar lagi. Lho, katanya sukarela" Aku tak mau. Mereka meneriakiku di jalan seperti korban meneriaki copet, menyuruhku mengembalikan jimat yang semenit lalu mereka beri.
Di kota kecil Gyantse, sekali lagi, uang pun menunjukkan kuasa bahkan di atas aturan agama. Dulunya kota berbenteng ini adalah persimpangan penting jalur perdagangan antara Lhasa dengan Ladakh, Nepal, India, Sikkim, Bhutan. Karavan unta dari negeri-negeri Himalaya melintas, membawa emas, garam, wol, bulu, gula, tembakau, teh, katun. Sekarang mereka punya dagangan baru: eksotisma religia. Di altar sembahyang yang dikelilingi patung Buddha raksasa, para biksu duduk bersila bersaf-saf, membaca sutra bertatahkan tinta emas. Mulut mereka menghasilkan bacaan doa yang berat dan dalam, diproduksi dari getaran pita suara yang tertekan. Monoton, menghipnotis, bertalu-talu. Ketika aku mengeluarkan kamera, pundakku ditepuk biksu muda. Shushu. Paman, karcis kamera dua puluh yuan! Dia menunjukkan surat pengumuman resmi. Ini bukan pungutan liar, tak bisa ditawar. Begitu aku bayar, senyumnya langsung melebar. Sekarang boleh potret di mana pun Paman suka.
Di China, patung Buddha biasanya dilarang difoto, karena dianggap menodai kesakralan. Tetapi di Tibet, kuil-kuil seakan berlomba memungut biaya mahal bagi turis yang membawa kamera dan videokamera. Satu jepretan foto patung Buddha bisa senilai jutaan rupiah. Kuil di Gyantse ini adalah yang paling murah, sesuai ukuran kantong backpacker.
Ooops, alamak, ada pula turis bandel yang tidak bayar tapi curi-curi ambil gambar. Biksu muda itu langsung berteriak, Close your camera! I say you close!!! Garang sekali! Dan hanya demi duit! Sedangkan para biksu yang sembahyang itu, masih terus melantunkan bacaan sutra, tak peduli dengan ratusan kilatan blitz para turis. Mereka harus tetap konsentrasi. Merekalah daya tarik utama kencangnya aliran uang di ruangan suci ini.
Aku melangkah ke ruangan altar kecil di sebelah. Dengan percaya diri aku mengarahkan kamera, toh sudah bayar. Lagilagi, pundakku ditepuk biksu lainnya. Harganya sepuluh yuan, katanya. Setiap ruangan ada karcis kameranya sendiri-sendiri, tak ada tiket terusan.
Di sudut altar balairung utama, patung Maitreya berdiri gagah, ditemani Sakyamuni dan Avalokiteshvara. Bau dupa membawa nuansa mistis di kamar gelap yang hanya diterangi kelapkelip lilin. Aku menggeleng-geleng tak habis pikir. Apa maksud ini semua" Di antara jari-jari patung Sakyamuni yang dalam posisi semedi itu dijepitkan lembaran uang kertas yang masih gres, bergambar kepala Mao sang kamerad komunis. Hasilnya sungguh miris, Sang Buddha terlihat seperti pengemis.
Aku masih terperangkap mimpiku. Aku mau membesarkanmu seperti anak perempuan. Aku dandani kamu, aku belai-belai. Tapi orang bilang tidak boleh begitu, bisa rusak nanti malah anaknya. Harus terima kenyataan, apa pun pemberian Tuhan harus disyukuri. Lalu aku berdoa lagi pada Buddha, sembahyang, sembahyang, sembahyang. Minta anak lagi, siapa tahu perempuan. Mama mengatur napas. Bicaranya sekarang mulai perlahan.
Tapi... dalam tubuhku ada penyakit. Hormonku tak normal. Kamu harus tunggu enam tahun baru punya adik, setelah aku operasi. Itu aku sudah bersyukur sekali, biarpun lagi-lagi anak laki-laki.
Dia menatapku. Doaku sekarang sederhana, jangan aku terlalu lama merepotkan kalian. Jangan ada lagi pertengkaran, jangan ada yang marah-marah, keluarga ini bisa akur, damai, sampai selama-lamanya.
Kami kecewa datang ke Tibet, keluh sepasang turis Israel yang menikmati makan malam di Desa Shegar. Sepanjang hari mereka menggerutu. Bepergian di Tibet susah. Sebagai orang asing, tidak boleh menumpang kendaraan umum, hanya boleh landcruiser sewaan dan harus selalu dikawal ke mana-mana oleh pemandu, melintasi jalan yang sudah dibuka untuk turis. Kalau aku masih bisa menyamar berkat wajahku yang oriental, mereka harus menunggu berhari-hari sampai ada truk yang sudi mengangkut.
Ya, kecewa. Tibet mengecewakan, kata si lelaki. Lhasa sudah tak ada bedanya dengan kota-kota lain di China, kata si perempuan, di mana-mana cuma ada orang China, semua orang gila uang. Tibet sudah komersil sekali. Duit, duit, cuma duit.
Aku mengangguk. Aku bercerita betapa berat pekerjaan para kuli wanita Tibet yang kulihat di jalan menuju Shigatse, menggendong bongkah-bongkah batu, mengayunkan kapak, menggali lubang dengan cangkul, membangun jalan beraspal dan gedung bertingkat. Semua modernitas itu tidak gratis, harus ditebus dengan kerja keras, dan semakin banyak mimpi-mimpi tinggi yang tak terbalas. Orang Tibet mesti berjuang supaya bisa tetap hidup
di tengah persaingan ketat dengan para pendatang, kaum berpendidikan yang jauh lebih tangguh di berbagai bidang. Apakah Buddhisme telah kehilangan jiwa, menyisakan sekadar patung dan ritual, simbol-simbol keberagaman bahwa semua etnis bisa hidup bersama" Kenyataannya, modernisasi dan materialisme datang seiring dengan gelombang transmigrasi, identitas dan kultur asli pun terkikis oleh terjangan asimilasi. Ah, lagi-lagi, kami para minoritas bicara bahasa yang sama.
Diskusi semakin panas. Akankah Lhasa jadi Urumqi berikutnya" Akankah pembangunan akan menyulap eksotisme menjadi modernitas biasa, seperti kota-kota abad milenium lainnya" Apakah orang Tibet berbahagia" Uang itu kenikmatan atau racun" Bagaimana perasaan mereka dengan tentara bersenjata yang selalu mengintai"
Apakah kita datang terlambat sepuluh tahun" aku bertanya, tak memerlukan jawaban.
Belum. Tahun ini adalah tahun terakhir kalau ingin lihat Tibet yang asli. Tahun depan, kereta api China akan sampai ke Lhasa. Pendatang bakal lebih membanjir, dan Tibet bakal tidak ada bedanya dengan kota-kota China lainnya! kata backpacker Israel itu.
BRAKK.... Meja digebrak. Lelaki Tibet mendadak berteriak ke arah kami, memakimaki dengan empat huruf terlarang bahasa Inggris. Kemarahannya memuncak sampai di ubun-ubun. Teriakannya melengking. Kalian pikir kalian siapa"! Kalau kalian tidak suka Lhasa, buat apa kalian datang ke Tibet"! Kami sungguh tak butuh orang macam kalian di sini!!!
Aku gemetar, jangan-jangan dia intelijen yang siap menjebloskan kami dalam penjara, apalagi status kami semua turis ilegal. Aku buru-buru menenangkan. Ini salah paham , kataku dalam bahasa Mandarin, Kami bukan bicara soal Lhasa, tapi soal restoran Sichuan di Lhasa. Lelaki itu merah padam mukanya. Tangannya bergetar menuding kedua orang Israel itu. Dia, seorang pemandu wisata, mengira aku teman seprofesinya. Dia langsung melabrakku, Kamu! Lain kali, kamu harus jelaskan informasi yang benar buat turis-turismu! Tibet itu bagian dari China! Dari dulu, sekarang, sampai selama-lamanya!
Siapakah yang bawa panggilan zaman silam" Siapakah yang tinggalkan doa ribuan tahun" Masih adakah alunan lagu tanpa untaian kata" Ataukah rindu yang mencengkam untuk selamanya" Oh, kulihat gunung dan gunung
Beriak-riak gunung penuhi cakrawala Sambung-menyambung ke segala penjuru Ya la so, itulah Tanah Tinggi Tibet
Siapakah yang berhari-hari memandang langit luas" Siapakah yang mendamba hidup dalam keabadian" Masih adakah melodi irama puja dan puji" Ataukah kemahaagungan yang tiada akan berubah"
Ini favorit Mama, lagu tradisional Tibet dalam bahasa Mandarin, dilantunkan dengan vibrasi tenggorokan yang melengking sampai setengah menit, seperti embusan angin menerjang barisan gunung. Pita suara Mama
dulunya kuat melantunkan pujian padang rumput, memindahkan mistisnya suasana Atap Dunia ke rumah kami di tanah Jawa. Dan kalau Papa yang mendengar Mama menyanyi begini, pasti jadi ikut antusias, menyambung dengan lagu kesukaannya:
Ooooh Gunung Himalayaaaa;
Setinggi apa pun pasti ada puncaknyaaaaaa....
Suara sumbang Papa melantunkan bait yang diolor-olor itu, tidak ada bedanya antara menyanyi, berdeklamasi, atau berteriak mengusir tikus, dan langsung distop oleh Mama yang menjerit karena sakit kupingnya.
Tibet itu sebenarnya adalah mimpiku, kata Mama, setelah mendengar ceritaku tentang negeri Atap Dunia. Sejak dulu aku dengar tentang keindahannya, sejak dulu aku membayangkan damainya alam Himalaya. Apa sungguh begitu" Apa di sana benaran kita bisa memegang awan dan menyentuh langit"
Titik tertinggi adalah impian seluruh umat manusia. Hari itu, 29 Mei 1953, dua lelaki menapakkan kaki di atas tumpukan salju tebal. Langkah itu akan senantiasa dikenang dalam sejarah dunia. Badai salju baru saja menghantam, oksigen begitu tipis, sedikit kekeliruan bisa merenggut nyawa. Kapak diayun, kaki merayap menyusuri tebing, mencapai satu titik yang terus terlukis di awang-awang. Dinding batu dua belas meter adalah penghalang terakhir.
Pada pukul 11.30, bendera Nepal, Inggris Raya, India, dan PBB berkibar di puncak dunia. Lelaki berwajah Mongoloid itu terharu oleh kehangatan dari sang gunung salju. Ia larut dalam
doa bagi para dewata. Dari mulutnya terucap, Aku bersyukur, ya Qomolangma.
Sementara lelaki satunya, berkulit putih dan namanya kemudian jauh lebih dikenal di seluruh dunia, meluapkan kegembiraan dengan cara yang jauh berbeda. Ia sibuk mengambil foto, lalu mengencingi puncak itu, dan kalimat pertama yang diucapkannya adalah: Kita telah berhasil menumbangkan si bajingan itu!
Lelaki Mongoloid itu adalah seorang Sherpa bernama Tenzing Norgay, menjadi pemandu bagi si kulit putih, pendaki Edmund Hillary dalam perjalanan tim berkekuatan lebih dari empat ratus personel. Si bajingan yang ditaklukkan adalah sang Qomolangma atau Dewi Ibunda Suci Alam Semesta . Dikenal juga dengan nama Gunung Everest.
Berselang lebih dari setengah abad, pantatku terpantul-pantul di atas boncengan motor butut Donchuk yang mengarungi jalan berbatu mendaki perbukitan, meliuk-liuk di lintasan yang laksana spiral. Turun sedikit, kemudian ke kanan, lima puluh meter, lalu turun sedikit, ke kiri, lima puluh meter, lalu turun sedikit lagi, ke kanan lagi, turun, ke kiri.... Konon, total ada seratus delapan belokan, aku sendiri sudah kehilangan hitungan. Bagi umat Buddha, seratus delapan itu angka keramat. Tetapi di sini angka itu menghasilkan pundak pegal, kepala pusing, perut yang berontak. Tengoklah pemandangan sepanjang jalan. Barisan gunung tanpa nama, desa-desa kecil tak dikenal, sungai deras mengalir menyanyikan gemuruh seram, langit biru cenderung gelap... jalan menuju Everest sungguh laksana surga.
Lelaki Tibet ini mengingatkan, bahaya belum lewat. Di desa berikut ada pos pemeriksaan. Sebagai pengunjung ilegal, aku
harus waspada. Jantungku berdebar kencang ketika Donchuk menyerahkan jaket merah berlabel Everest Protection Team. Penyamaran dimulai. Copot kacamata, pasang topi koboi, sembunyikan kamera, aku sekarang adalah orang Tibet anggota tim pemelihara lingkungan. Donchuk melarangku berbicara apaapa. Aku cuma boleh duduk manis, merapatkan boncengan, ikut petunjuk.
Motor butut itu merayap perlahan di atas jalan bebatuan. Aku melihat wajahku yang terpantul kaca spion. Wajah hitam kemerahan terbakar ultraviolet, rambut gimbal hampir sebulan tak mandi, kerak-kerak sudah menghiasi pipi. Motor Donchuk berhasil melaju mulus sampai ke kuil di kaki Everest, semua pos pemeriksaan telah kami lewati tanpa hambatan berarti. Dengan kulit yang semakin legam akibat bakaran mentari, aku ternyata juga bisa lolos kalau menyamar jadi orang Tibet.
Langit biru cerah di dusun Shegar di bawah sana sudah digantikan awan kelabu. Cuaca di Himalaya sama sekali tak bisa diterka, terkadang berubah drastis dalam satu embusan napas. Bokongku rasanya sudah semakin melebar setelah tiga jam berboncengan, sampai pada ketinggian 5.182 meter di Everest Base Camp.
Hanya putih. Putih yang tersebar ke seluruh penjuru. Di hadapan Everest aku terdiam. Sukacitaku menghilang. Tak terlihat apa-apa.
Qomolangma ada di balik kabut. Tak semua orang bisa melihat wujud rupanya, kata Donchuk, Qomolangma hanya bagi orang-orang yang berjodoh. Banyak turis yang belum beruntung jauh-jauh ke sini, tapi tak melihat apa-apa selain kabut tebal. Di tenda, aku menggigil walaupun tungku menyala sepanjang
malam. Angin dari puncak Qomolangma menderu-deru, terkadang mendesing dan melengking, terkadang membahana, terkadang berbisik. Aku seperti tidur di bawah kaki raksasa. Seram rasanya, siapa tahu, amit-amit jabang bayi, raksasa itu ambruk dan menghunjam kami semua.
Himalaya, kataku, Mama pasti suka di sana. Gunung-gunung selalu punya kekuatan magis. Orang-orang yang tinggal di alam jernih umurnya bisa panjang. Penyakit mati kena udara Himalaya. Mama cepat sembuh ya. Akan kubawa Mama keliling dunia. Akan kubawa Mama ke Himalaya. Mama tersenyum sekilas.
Dia mengangguk. Tidak salah kulihat" Ya, dia mengangguk.
Dia masih punya mimpi itu.
Ming, katanya, Aku belum mau mati, aku masih mau tahu rasanya gendong cucu.
Paman! Paman! Bangun! Qomolangma! Qomolangma!!!
Donchuk begitu bertenaga menggoyang-goyang tubuhku yang dibungkus tiga lapis selimut. Aku langsung terloncat. Buru-buru kukenakan celana-celanaku, baju-baju tebalku, jaketku, kusambar kamera, langsung aku menghambur keluar tenda. Pemandangan di hadapan membuatku kehilangan kata. Pukul enam subuh, gunung putih menjulang ke langit gelap.
Puncaknya lancip, diselimuti salju tebal. Ia bagaikan monster raksasa, gagah merangkul adik-adiknya yang juga berselimut salju. Awan tipis melingkari pundaknya, perlahan-lahan menyingsing tersapu angin kencang. Semakin dipandang, monster itu berubah semakin cantik. Bolehkah kuibaratkan kedahsyatannya laksana gadis Tibet berkalungkan khata selendang sutra putih pembawa berkah" Lilitan awan membungkus wajahnya yang malu-malu, namun sesekali tersibak kemahabesarannya yang begitu menggelegar.
Everest... nama itu begitu mistisnya. Kita tahu, titik tertinggi dunia ada di sana. Menatap puncak Everest, menyaksikan garis kurvanya yang tegas dan curam, tentu terbayang bagaimana perjuangan para pendaki yang menapaki lintasan itu. Bagaimana embusan napas terengah-engah, kaki yang membeku, api semangat yang dipadamkan dinginnya salju, sampai ketakutan tertimbun badai yang datang sekonyong-konyong. Juga mayat-mayat bergelimpangan: Everest adalah kuburan raksasa.
Mengapa manusia rela mati menyabung nyawa" Hanya untuk beberapa menit berada di titik tertinggi dunia" Hanya untuk menancapkan bendera di puncak sana" Pengalaman yang mungkin hanya sekali seumur hidup" Atau hidup malah berakhir siasia" Apalagi pendakian Everest bukanlah murah, minimal tiga puluh ribu dolar per kepala.
Di hadapan kemegahan Everest, aku merasa begitu kecil. Susah payahnya perjalanan berminggu-minggu di Tibet seketika hanya bermakna seperti sebulir debu di hadapan gunung raksasa. Perjalanan menyadarkan, masalah-masalah yang dianggap berat selama ini, ternyata teramat sepele di hadapan alam. Lupakan pangkat, kekayaan, kekuasaan, nama besar, nafsu. Aku menertawakan kebodohanku yang pernah berpikir untuk bunuh diri hanya karena nilai ujian. Padahal, yang kukejar hanyalah selembar kertas ijazah dengan angka-angka, yang hingga hari ini pun belum pernah terpikir bakal kugunakan untuk apa.
Pundakku ditepuk lelaki Tibet yang menawarkan cangkang kerang. Sudah berusia jutaan tahun, katanya, asli dari tempat ini. Himalaya dahulu kala adalah dasar lautan. Berawal dari titik terendah, Everest perlahan-lahan membumbung tinggi, semakin tinggi dan semakin tinggi, hingga sampai ke posisinya sekarang: puncak dunia. Setiap tahun, ketinggian Everest bertambah empat milimeter.
Alam pun mengalami evolusi panjang yang menjungkirbalikkan kenyataan. Dasar lautan menjadi puncak dunia. Pulau-pulau tenggelam. Gunung, lembah, sungai, gurun, semua tiada yang abadi. Semua dalam perjalanan.
Pasangan kekasih turis Eropa bergantian merekam satu sama lain dengan handycam, berlatar puncak Everest di belakang. Si pemuda melambaikan tangan, mengucapkan salam kepada semua calon penonton video rekaman perjalanan spektakulernya itu. Hello everybody. Kami berada di Atap Dunia. Pemandangan di sini luar biasa, but it s f*cking cold. Kau lihat kami menggigil sekarang. Dan di belakang sana adalah Everest. Yeah, that bastard is there!
Tak lama, kabut pun kembali menggelayut. Everest kembali pupus di balik selimut. Titik obsesi umat manusia itu tak lagi terlihat, lenyap dalam kelabu yang sempurna.
Siapakah yang mendamba hidup dalam keabadian" Masih adakah melodi irama puja dan puji"
Apakah mimpi-mimpi itu masih bermakna, Mama pernah bertanya. Apakah setitik kebanggaan di puncak tertinggi itu sungguh setimpal dengan semua pengorbanan ini"
Wajah perempuan itu kini semakin pucat, bahkan bicara pun tak kuat. Dokter bilang, ginjalnya sudah rusak, tekanan darah mulai tidak teratur, paru-paru pun sudah terpengaruh.
Aku bertanya, masih ada berapa hari tersisa.
Dokter menghela napas. Masih ada harapan. Masih ada daging dan lemak, masih ada energi. Lagi pula, semangat hidup Mama masih sangat tinggi, denyut nadinya sangat kuat. Itu artinya, dia masih hidup lebih lama. Tetapi itu juga berarti penderitaannya masih akan berlangsung lebih lama.
Di titik ini, masih perlukah kita mendambakan hidup dalam keabadian" Ataukah ini sebuah keegoisan, membiarkannya menderita karena kita tak berani menghadapi realita kehilangan"
Surga Himalaya Lelaki Tibet itu menangis meraung-raung di hadapanku. Nga bukan pencuri! Nga tidak pernah mencuri!!! Aku tidak menuduhnya. Mana mungkin aku menuduhnya" Aku pun tak tahu bagaimana harus bertindak menghadapi reaksi yang begitu mendadak ini. Ratapannya melengking. Air mata membasahi pipi keras.
Shushu! Paman... Paman.... Nga bukan pencuri. Nga tidak pernah mencuri, barang apa pun! Nga orang jujur. Kerja jujur, makan jujur. Paman, pikir-pikir lagi! Mungkin ketinggalan di losmen kemarin" Nga ke sana sekarang, nga tanya mereka!
Semua ini bermula kemarin, ketika Donchuk, lelaki yang mengantarku sampai ke kaki Everest dengan motor bututnya, menawariku menginap di rumahnya yang terletak di Shegar, tepat di tepi Jalan Raya Persahabatan menuju Nepal. Kesempatan menginap di rumah orang Tibet tidaklah banyak, tentu aku sambut dengan sukacita. Seperti mataku yang jelalatan ke segala penjuru, kameraku juga tak henti memotret keluarga Donchuk, yang begitu eksotis : rumah kayu beraroma kandang kambing, taburan foto kuno, altar sembahyang, kuali di tengah ruangan,
aktivitas membuang hajat di pinggir jalan terbuka, nenek yang begitu tua dipenuhi keriput, prosesi pembuatan teh mentega, bocah-bocah kecil yang berlarian sepanjang hari seperti kesetanan.
Semua baik-baik saja, sampai ketika pembantu Donchuk menyodorkan kembali backpack yang kutitipkan sehari sebelumnya. Aku terkejut. Tasku sudah disentuh orang. Talinya copot. Isinya sudah diacak-acak. Aku memberitahu tuan rumahku. Donchuk lebih histeris. Tak mungkin! Tak mungkin! Paman, periksa lagi. Apa ada barang hilang" Periksa! Periksa!
Tapi di rumah ini tak ada listrik, dan sekarang sudah terlalu gelap. Apa pun tak terlihat. Donchuk menyuruhku tidur, dan memeriksa lagi besok pagi-pagi.
Begitu matahari terbit, yang pertama kali dilakukan Donchuk adalah mengetuk kamarku dan bertanya, Ada yang hilang"
Tak apa, aku tersenyum, cuma satu baju dan satu celana, bukan barang berharga.
Cuma satu kaus merah dan satu celana batik kumal yang sudah sebulan tidak dicuci! Itu sudah cukup bikin seisi rumah kalang kabut. Ayah, anak, nenek tua, para bocah, pembantu, semua berlarian ke sana kemari, melongokkan kepala di kolongkolong, membalik semua selimut, membuka lemari, laci, kotak, kardus....
Kepanikan mereka yang menjadi-jadi membuatku ikut panik. Tak usah dicari! Tak usah! Cukup! Tak ada yang mendengarku, semua sibuk seperti kesurupan.
Donchuk, lelaki yang dua dekade lebih tua daripadaku tetapi selalu memanggilku sebagai Shushu (Paman) itu, kini menangis tersedu-sedu seperti bocah. Paman... kalau tidak percaya,
geledah sendiri rumah kami. Geledahlah, Paman! Cari sendiri, buka semua lemari, periksa semuanya! Nga bukan pencuri. Kami orang Tibet tak pernah mencuri....
Bukan baju atau apa pun sebenarnya yang menjadi kekhawatiran Donchuk, melainkan aib tertuduh sebagai pencuri. Aib ketidakmampuan melindungi tamu. Aib tak mampu menepati janji sendiri. Rasa malu, bersalah, kehilangan martabat, membuat Donchuk semakin histeris. Ia menangis sesenggukan, Paman jangan pergi ke Tingri, jangan ke Nepal. Periksa dulu rumah ini. Nga bukan pencuri, keluarga nga tidak pernah mencuri....
Ibu Donchuk hanya membisu. Pembantunya terus menghindariku. Anaknya hanya duduk terdiam di sudut ruangan. Serbasalah. Aku semakin mengutuki diriku sendiri. Mengapa harus jadi tamu yang tak tahu diuntung" Mengapa tak bisa jaga mulut" Mengapa semua harus terjadi hanya demi kaus kumal dan celana bau" Aku tertunduk. Kehadiranku sudah tak diharapkan lagi. Aku cuma bisa menyingkir, melarikan diri dari kekikukan. Aku mengemasi barang, merapikan tas ransel yang morat-marit, mencangklong, menuruni tangga kayu, menuju jalan raya Shegar, duduk termangu menunggu tumpangan truk menuju Nepal.
Melarikan diri. Hanya itu yang kubisa. Seperti hidupku selama ini.
Hatiku berantakan. Masih mungkinkah aku lari" Realita hidup bukanlah kisah backpacker yang bebas memilih rute ke mana hendak pergi. Kenyataannya, kita sering kali tak bisa memilih. Bahkan perjalanan yang paling menyakitkan pun harus dilalui. Bagiku, perjalanan itu berjudul: Pulang.
Pulanglah, Nak, kata Mama, saat dia terbangun pagi ini. Pulanglah, tengok rumahmu! Temani papamu!
Betapa mendadaknya. Di telingaku terdengar sebagai perintah istimewa. Aku bahkan khawatir ini adalah permintaan terakhir, untuk melipur keinginannya sendiri yang mungkin tak akan pernah terpenuhi lagi. Rumah, seratus tujuh puluh kilometer jauhnya dari sini, lima jam perjalanan, adalah sebuah titik nol yang selalu dia rindukan. Setiap hari dia meratap: kapan bisa pulang, tolong tanyakan ke dokter, rumah sakit begitu membosankan, mau pulang. Terbaring terus-menerus di ranjang pasien, pikirannya terus melayang ke rumah. Batinnya tertambat di sana.
Demi permintaan Mama, semua juga diatur buru-buru. Adikku langsung didatangkan dari kampung.
Di hari yang sama, aku pulang.
Aku dibesarkan dengan ketakutan akan gelap. Dalam gelap, otakku justru semakin liar. Rasanya, bahaya selalu mengincar. Perampokkah" Pencuri" Ular berbisa" Kecoak" Dalam gelap, tersembunyi semua ancaman, kejahatan, aura negatif. Gelap menyimpan ketidaktahuan, ketidakpastian, disorientasi. Tak satu pun arah terlihat, gelap membuat sesat. Gelap itu kosong, hampa, lubang tak berdasar, sumur mematikan, malam mencekam. Dalam gelap yang sama pula, aku dibesarkan dengan kepercayaan akan setan, iblis, genderuwo, wewe gombel, kuntilanak, mayat,
zombie, tengkorak. Kala itu aku masih berumur tiga tahun. Itu adalah salah satu ingatan pertamaku. Aku melihat sekelebat bayangan di langit-langit rumah yang gelap. Orang di daerahku percaya, bayi belum berdosa, masih bisa lihat makhluk halus. Katanya, yang kulihat itu adalah tuyul. Tapi mungkin juga kuntilanak atau arwah penasaran. Bukan, tak mungkin itu maling atau perampok. Bayang-bayang itu lenyap begitu saja, ditelan gelap. Trauma itu membekas sampai hari ini.
Kami adalah orang-orang yang takut gelap. Kami sekeluarga, minus Papa, semua tidur dengan lampu menyala. Bukan sekadar bohlam remang-remang 5 Watt, melainkan neon pijar 60 Watt yang terang-benderang sekaligus panas membakar. Tak hanya kamar, koridor pun harus terang, biar tikus tidak berlarian. Bukankah altar bergambar foto-foto leluhur pun juga mesti ditemani lampu dop sepanjang malam" Bukankah dalam gelaplah orang leluasa melakukan dosa: pencurian, penculikan, penodongan, pembunuhan, hubungan kelamin" Bukankah gelap itu jahat dan misterius" Baru setelah aku kuliah ke luar negeri, kudapati ternyata mayoritas orang normal di muka bumi ini tidur dalam kegelapan. Gelap seharusnya natural dan manusiawi.
Negeri ini begitu gelap. Nyaris tak ada lampu menerangi jalanan. Pandangan di luar mobil mengabur, seiring datangnya senja, biru menghitam membungkus gunung, sawah, pedusunan Nepal. Di tempat yang sama sekali asing dan remang-remang ini, seketika semua keresahan dan kegelisahan berdatangan.
Entah apakah itu dosa" Atau karma" Aku adalah pembohong besar. Tak ada kedamaian dalam hati, tak ada kekhusyukan dalam kuil-kuil, di tengah kelap-kelip lilin dan aroma minyak yak. Bagaimana mungkin aku bisa menemukan surga di Tibet,
kalau benakku cuma dipenuhi rasa bersalah, ketakutan, plus pikiran-pikiran licik untuk menembus kungkungan birokrasi dan harga karcis yang mahal" Aku masih dihantui ratapan pilu Donchuk atas hilangnya kaus dan celana kumalku. Juga mata berbinar Bu Polisi di Kailash yang menanti-nantikan kiriman majalah dariku (yang tentu takkan pernah datang). Aku masih terkenang sopir-sopir truk yang begitu polos sampai menyembahnyembah dan mengucap syukur karena bisa mengangkutku hanya karena aku lulusan Tsinghua yang tersohor itu, namun tanpa sadar mereka sesungguhnya harus menanggung risiko denda ribuan yuan atau bahkan penjara karena membantu penyelundup ilegal. Bagaimana aku tega mengorbankan mereka"
Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tahu, Yang Di Atas tidaklah buta dengan ini semua. Ketika aku baru saja menutup halaman kisah petualangan Tibet, kakiku melangkah di tengah Jembatan Persahabatan, memandangi kibaran bendera merah lima bintang, merayakan keberhasilan sebuah penaklukan , kujepretkan kamera sebagai ucapan selamat tinggal kepada negeri leluhur. Sial! Kameraku rusak!
Mengapa masalah harus datang tepat di langkah pertamaku memasuki negeri ini" Kecemasan semakin menyiksaku. Bagaimana aku bisa mengabadikan memori perjalanan" Bagaimana dengan cita-citaku menjadi fotografer profesional" Bagaimana aku masih bisa menikmati perjalanan ini" Masa depan terlihat begitu gelap, segelap jalan yang meliuk-liuk ini. Waktu pun merayap lambat. Aku berdoa, moga-moga mobil ini bisa melompat, sepuluh kilometer sekali lompatan, atau kalau perlu terbang, langsung sampai ke tujuan: Kathmandu.
Matahari segera terbenam, hatiku pun diselimuti mendung.
Sebalnya, semakin hati ini gelisah, sepertinya Waktu justru semakin bernafsu mempermainkan. Perjalanan justru semakin lambat. Aduh, pos pemeriksaan militer tidak ada habis-habisnya. Aduh, sejak dari perbatasan tadi, sudah selusin lebih. Aduh, setiap penumpang harus turun, sambil menunjukkan dokumen kepada tentara berselempang bedil. Kapan sampainya" Tak ada yang bisa jawab. Waktu berjalan laksana pegas, dan di sini Dia sedang molor dengan amplitudo maksimal.
Dalam kelamnya tengah malam, aku sampai di Kathmandu. Entah ini gang apa, entah ini penginapan mana, aku tak peduli. Dalam gelap aku berusaha memejamkan mata, mengharap kedatangan sebuah mukjizat, begitu terang menyambang esok pagi.
Rumahku begitu gelap. Aku merayapi satu per satu kenangan masa lalu yang membusuk, yang selama ini tersembunyi di sudut tergelap di dalam benak.
Sepuluh tahun lebih kutinggalkan rumah ini. Betapa asing sekarang aku di sini, di rumahku sendiri. Para pembantu pun aku tak kenal, dan mereka juga tak mengenalku. Mereka hanya mendengar kisah tentang anak sulung tacik yang tak pulang-pulang di negeri seberang.
Kini aku datang, laksana tamu lama, menyusuri lorong-lorong dan ruangan, sendirian dalam kebisuan memandang rumah suram.
Babak perjalanan ini adalah kontradiksi antara memori, citacita, dan realita. Menggebu-gebu, kutinggalkan kamarku yang
sumpek di losmen termurah di sudut Kathmandu. Aku berjalan ke New Road, berpengharapan mimpi buruk ini segera berakhir.
Tapi kecewa yang kudapat. Sial! Benar-benar sial! Masa aku harus ke India hanya untuk reparasi kamera"! Apakah negeri ini bukan bagian dari dunia global" Mereka bilang, merek kamera Jepang yang satu ini memang tak punya cabang di seluruh Nepal. Panas mentari semakin membuat keringatku membanjir kala menyusuri barisan toko elektronik. Putus asa, aku segera berlari menuju Thamel, mencari jalan menuju India. Ya, India. Itulah tujuanku berikutnya. Kalau bisa, besok pun aku siap berangkat. Nepal... mungkin aku loncati dulu. Skip. Seperti sedang membaca buku dan tiba di bab yang membosankan. Loncat.
Tapi hidup bukan buku. Tak semudah itu ganti halaman. Dari mana" Dari Indonesia, lelaki kurus di kantor biro tur sempit seperti boks telepon umum itu sibuk menelepon rekannya, si calo visa. Apa" Tidak bisa ya" Hanya satu bulan saja" Turis ini minta tiga bulan, kalau bisa enam bulan, multiple entry. Tak bisa" Hanya satu bulan" Oh" Paspor Indonesia tidak boleh lewat tur" Oh" Harus interview langsung ke kedutaan" Accha... accha....
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya secara diagonal berkali-kali. Sorry, Sir. Tidak bisa. Hanya visa satu bulan. Lima ribu rupee. Mau"
Sudah lima biro tur kutanyai, jawabannya selalu sama. Aku melangkah gontai kembali ke losmen, membaringkan diri di kasur keras. Mataku terpejam. Otakku terus bergulat.
Satu jam... dua jam... tiga jam... hingga mentari kembali tenggelam.
Hari begitu saja berlalu, tanpa aku beranjak dari kasur, menatap baling-baling kipas besar yang tergantung di langit-langit. Waktu tak lagi berarti. Semangat tak ada lagi.
Di Kathmandu, aku melambatkan langkah. Ritmeku di Tibet semula adalah: turun dari angkutan, meletakkan ransel di losmen, keliling kota, lalu malamnya kembali menata ransel, dan esok harinya mencari kendaraan ke destinasi berikut. Begitu seterusnya, destinasi demi destinasi berderet dalam buku harian. Hidup hanyalah berpindah, dari satu tempat ke tempat lain. Perjalanan adalah perpindahan tanpa henti. Tapi di Kathmandu, sehari, dua hari, seminggu, dua minggu berlalu begitu saja. Ranselku tak juga tersentuh di sudut kamar, perlahan diselimuti debu menebal. Aku menghabiskan waktu hanya dengan: menyaksikan para kuli Newari menggantungkan kulkas pada batok kepala, mengamati transaksi para guide dan tukang rickshaw, menyeruput teh lemon dan melahap pangsit momo, berinternet sampai punggung pegal, membaca buku, tiduran di kamar menatap baling-baling kipas angin.
Inikah perjalanan" Begitu panjang... begitu tak berbatas... aku kehilangan arah....
Aku menempeleng diriku sendiri. Kau musafir gagal! Kau backpacker yang kehilangan bara! Dalam kenyamanan tak bertara!
Kipas angin di langit-langit kamar masih berputar perlahan, doyong-doyong.
Kamar didominasi jejaring laba-laba menggantung di sudut langit-langit. Debu lengket melapisi semua meja, lemari-lemari tua, tumpukan buku, album foto dan koleksi prangko. Bahkan kasur yang ditiduri Papa pun penuh dengan bulir-bulir pasir, menusuk-nusuk bagai duri tajam.
Ranjang adalah penonton prosesi kehidupan yang paling setia. Dalam kebisuannya, dia menyaksikan kelahiran, pertumbuhan, asmara, mimpi-mimpi, kesakitan, pertengkaran, pergumulan, penderitaan, penuaan, sampai kematian. Ranjang adalah endapan berbagai memori. Tapi ini justru adalah memori yang paling ingin kuhindari.
Di sini, Papa pernah terbaring berhari-hari saat berjuang melawan stroke, terpuruk secara isik dan mental. Di atas ranjang tua inilah Mama dulu memelukku, meninabobokanku dengan dongengan negeri leluhur. Pada permukaan dinding yang menyebelahi ranjang terlihat berkas-berkas hitam, jejak Mama yang biasa menyandarkan kepala saat menonton televisi. Fotofoto masa muda Mama yang tergantung di atasnya sudah memudar, belobor kena rembesan hujan. Gambar senyum cantik Mama dalam busana penari Bali juga kusam memburam, lapuk oleh Waktu.
Rumah, dalam benakku ketika aku berada di tengah pengembaraan ribuan kilometer, adalah fantasi tentang kenyamanan surga dan kerinduan nostalgia. Rumah, di hadapanku setelah pulang dari pengembaraan ribuan kilometer, adalah realita yang mengobrak-abrik semua ilusi dan fatamorgana.
Di sini orang beriman dan orang sesat hidup bersama. Kuil Buddha dan Hindu saling berdekatan. Ribuan biksu menekuni ajaran Mahayana maupun Hinayana. Begitu biksu Tong Sam Cong alias Hsuan Tsang menulis tentang Kathmandu dalam Perjalanan ke Barat di abad ke-7.
Di sini semua orang asing hidup bersama, dan penduduk lokal sibuk menjual surga. Begitu Agustinus kecil menulis tentang Kathmandu dalam buku harian kumalnya, saat terbaring di kasur di losmen termurah yang harganya tidak sampai satu dolar semalam.
Bukan surga sembarang surga, ini surga dengan harga bantingan. Surga Himalaya yang supermurah, dalam paket ekonomis, jauh lebih bersaing daripada paket eksklusif Tibet yang harus diambil komplet dengan permit, visa, mobil 4WD, guide, penerjemah. Nepal adalah versi harga obral dari misteri Himalaya ala Bhutan yang terisolasi, yang memberlakukan kuota turis dan mematok minimal dua ratus dolar per hari. Dengan kantong paling kempes sekalipun, para turis modal dengkul dan para hippie yang selalu happy bisa menetap berlama-lama dan berleha-leha di sini. Karena N-E-P-A-L = Never Ending Peace And Love.
Shangri-La Guesthouse. Funky Buddha. Kailash Gallery. Himalayan Java. Paradise Pub. Peace Heaven Travel. Shambala Holiday Inn. Lazy Yoga & Meditation. Babylon Disco. Berbagai surga menjamuri jalanan Thamel yang teramat sesak. Di jalan yang sama, campur aduk diskotek yang berdebum-debum mengumandangkan Britney Spears dan Eminem, toko-toko yang memutar kaset mantra Om Mani Padme Hum dari jam sepuluh pagi sampai dua belas malam, warung internet, kafe, dan menu kuliner yang mendunia: spaghetti bolognaise, hamburger, hot dog, piza, makaroni, humuss, caf" latte, lassi, steik yak, tortilla, sarsaparilla....
Nepal adalah surga, terlebih lagi buat siapa saja yang baru datang dari Tibet. Bukan, Shangri-La memang bukan di Tibet.
Di sinilah tempatnya. Bebas. Lepas. Semua orang jadi malas. Sang Waktu merayap diam-diam tanpa ada yang sadar.
Aku ketemu lagi dengan sepasang turis Israel yang beberapa minggu lalu berkeluh kesah di dusun Shegar di kaki Everest. Lelaki Yahudi itu memelukku. Shalom... welcome to heaven! Nepal is the heaven! Si gadis cerita, perjalanan di Tibet sungguh menderita, mereka menunggu dan menunggu tumpangan di Shegar. Tapi tak satu pun mau mengangkut, hanya karena warna kulit mereka sedikit terlalu pucat. Dua hari menunggu, siasia belaka, akhirnya mereka terpaksa mundur teratur ke Shigatse, dan menyewa jip khusus sampai perbatasan Nepal. Tibet is crazy! Really crazy! Hell! kata si cewek.
Seperti aku juga, kedua backpacker Israel ini jadi malas di Kathmandu. Luar biasa malas. Memang semua orang perlu aklimatisasi ketika beralih dari stresnya Tibet ke kenyamanan dan hedonismenya Kathmandu. Mereka bilang mau mendaki gunung di Nepal, karena trekking adalah aktivitas wajib, bukan" Parahnya, sudah seminggu ini, mereka tidak berhasil membuat diri mereka bergairah untuk berangkat. Mereka bingung, Kathmandu terlalu memabukkan, pantat rasanya jadi terlalu berat.
Di Kathmandu, semua orang merasa pulang . Kathmandu adalah rumah, surga, tanah pengungsian dan pelarian bagi semua. Di sini, aku bagaikan ikan yang tercemplung ke dalam kawanannya di laut lepas. Di sini aku tak perlu menyembunyikan ke- orang asing -anku. Di sini, aku diizinkan menjadi diriku, apa adanya, apa pun yang kusuka. Di sini, berlalu lalang segala jenis manusia dari segala model dan ukuran, dari spektrum warna kulit keputihan, kekuningan, kemerahan, kecokelatan, kehitaman, sampai gelap pekat. Lelaki bule berambut gimbal, turis Jepang yang tidak pernah lepas dari kamera yang tergantung di leher, atau gadis Negro kribo melongo menikmati derap-derap musik rap dari walkman, atau turis-turis China daratan yang berjuang dengan bahasa Inggris model gu-de-mao-ning dan san-keyou-fei-li-ma-ji. Di jalan yang sama, anjing berjemur, tukang rickshaw ketiduran dengan liur menetes, anak-anak jalanan meringkuk dalam lelap di trotoar, remaja kurus memamerkan kaus kebanggaan bertuliskan I m Sorry (entah kenapa, Sorry adalah kata paling trendi di Nepal hari ini).
Kathmandu adalah backpacker ghetto, surga kumuh penampungan para turis sandal jepit dari seluruh penjuru bumi. Di tengah nuansa internasional, para lelaki lokal yang menghabiskan sepanjang hari di pinggir jalan dengan bermain tebaktebakan asal negara ( Hello... Japan" China" Korea" No, Indonesia. Welcome, my frrrriend. How is Kawala Lumpurrr" ). Hello... change money" You make change money"
Hello... rickshaw. Sir. Cheap! Cheap! I am good guide, you no worry.
Come, come to your shop. Just looking-looking, OK" No buy no problem.
Tak semenit pun yang bisa terlewat di Thamel tanpa ditanyai orang yang menawarkan jasa pijat, sauna, pemandu, porter, biro travel, sewa mobil, cuci baju, internet, hotel, visa India, tur Tibet, trekking Everest, tiket pesawat, tiket bus, kartu pos, dhal bat, bufet, patung, pisau, seruling, kamera, buku bekas, valas, reparasi ransel, tenda, tongkat trekking, rumput , jamur ajaib . Berjalan seratus meter saja aku sudah mendapat lusinan kartu nama losmen, dari yang puluhan sampai ribuan rupee. Belum
lagi orang-orang yang begitu bernafsu menggeretku melihat lukisan thanka atau kain pashmina. Perlahan-lahan aku berubah menjadi manusia tembok yang mati rasa bila disapa. Dan untuk para orang iseng yang suka main tebak-tebakan negara, aku sudah menyiapkan jawaban daftar negara antah-berantah: Nauru, Wallis Futuna, Burkina Faso, Timor Leste, Mali, Papua Nugini, Turkmenistan.... (anehnya, walaupun aku sudah bilang dari Fiji, si penanya manggut-manggut lalu bertanya, So, when are you going back to Japan" )
Hidup di surga pun lama-lama melelahkan.
Tahun 1960-an, Kathmandu adalah surga Himalaya yang terisolasi dari dunia luar. Tak ada jalan yang menyambung ke sini. Satu-satunya mobil di seluruh negeri adalah milik keluarga raja, itu pun harus digotong dari India oleh para porter. Adalah perjalanan yang menyulap Kathmandu menjadi surga turisme bujet seperti sekarang. Di akhir dekade itu, sampai pertengahan 70- an, datanglah gelombang para hippie: pemberontak terhadap kemapanan dan modernisasi dunia, frustrasi akan degradasi, materialisme, kesenjangan sosial. Kebahagiaan itu ada di alam, kata mereka. Let s go back to nature! Para hippie ditandai dengan karakteristik gila : pakaian gembel, bunga di telinga, kemerdekaan seks, musik cadas, rambut gimbal, pengangguran, pengguna narkoba, penggelandangan. Berontak, berjalan, berlari, hingga terbang bebas, merdeka. Bus demi bus penuh happy hippie merapat di Freak Street. Merekalah Flower Generation, nenek moyang kami para backpacker.
Mereka membangkitkan revolusi terhadap makna perjalanan. Dahulu kala, perjalanan adalah untuk bertahan hidup, survival, berkembang biak, lalu melebarkan pengaruh dan hegemoni. Tiga ribu tahun lalu bangsa Hun meninggalkan kampung halaman mereka di Siberia yang beku, mengarungi padang luas Eurasia menerjang sampai ke Hungaria, untuk menemukan padang rumput baru bagi ternak mereka, lalu menikmati anggur kehidupan menetap, dimabuk kenyamanan, menjadi lemah, dan akhirnya musnah ditelan sejarah. Para penunggang kuda barbar serdadu Genghis Khan dari negeri dingin dan gersang melakukan pertempuran sepanjang jalan, hingga menghancurkan peninggalan peradaban agung Tiongkok dan Persia. Para saudagar Jalur Sutra, bangsa Arab yang menduduki Iran dan Eropa, juga petualang lautan Portugis yang mencari sumber rempah-rempah di Nusantara... semua punya alasan untuk melakukan perjalanan.
Perjalanan adalah eksplorasi untuk menemukan dunia lain . Perjalanan adalah hak eksklusif kalangan terbatas, dari negeri-negeri terhormat dan berperadaban, hanya bagi para pemberani atau orang superkaya, mata-mata atau misionaris, bangsawan ataukah saudagar. Perjalanan untuk bersenang-senang hanyalah mimpi omong kosong bagi rakyat jelata, yang masih harus berjuang keras mengisi perut atau bertahan hidup di tengah kemelut perang.
Para hippies mengobrak-abrik semua asumsi itu. Perjalanan bukan lagi mimpi siang bolong. Perjalanan kini adalah milik semua umat. Tidak ada lagi yang mustahil. Mulailah beredar panduan seperti Bagaimana Cara Melintasi Asia dengan $17 . Euforia perjalanan murah-meriah pun dimulai. Dengan kantong
kempes dan barang bawaan minimalis, arak-arakan para hippies menjalani rute penggelandangan yang hampir sama: dari Istanbul, menyeberang ke Iran, lewat Teheran sampai Mashhad, menyeberang perbatasan Afghanistan masuk ke Herat, lewat jalan ekspres selatan ke Kandahar, ke Kabul, melintasi Khyber Pass yang legendaris, ke kota barat-liar-dan-berdebu Pakistan di Peshawar, masuk India. Dari sini rute bercabang. Sebagian meneruskan kenikmatan surgawi ke pantai-pantai di Goa, atau ke Asia Tenggara. Sebagian lagi membelok ke utara, ke Nepal, menyepi ke Himalaya. Kathmandu adalah ujung jalan, nirwana bagi hippie yang terselip di balik rangkulan gunung-gunung tertinggi dunia, dengan bonus utama: marijuana dan hashish dijual secara legal dan terbuka bahkan di toko-toko resmi pemerintah (yang paling terkenal juga bernama surgawi: Eden Hash Centre).
Para hippies membuka mata, tentang surga-surga terpencil di sekujur dunia. Perjalanan itu bukan sekadar fantasi. Kebebasan itu adalah kebahagiaan sejati.
Kosong, tanpa beban, lepas....
Ada sesuatu yang hilang di sini. Bolehkah kukatakan, ada roh yang kurang" Roh yang memberikan makna terhadap individu, terhadap perjalanan, ataupun terhadap rumah. Tanpa unsur penting itu, semua terasa kosong. Hampa.
Mbak Yah, pembantu setia kami, begitu kuyu memandangiku yang meratapi sudut-sudut rumah. Yah berkata, Bagaimana lagi" Rumah tua ini adalah rumah tanpa perempuan. Sejak Mama sakit, rumah ini semakin kotor, tidak ada lagi yang peduli. Kalau ada duit, perbaikilah rumahmu ini, Ming. Bagaimana pun juga, ini rumahmu sendiri.
Aku tercenung. Yah benar. Ini adalah rumah tanpa perempuan! Tanpa perempuan, keluarga kami tidak akan pernah lengkap lagi. Rumah ini memang tidak akan pernah sama lagi.
Perjalanan tanpa makna bagaikan rumah tanpa roh. Hanya wujud yang tanpa jiwa.
Perjalananku ini adalah perjalanan panjang bertahun-tahun, bukan sekadar liburan ala backpacker untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas. Ini sudah bukan lagi pelarian, bukan sekadar gaya hidup, tapi sudah menjadi hidup itu sendiri. Rumah -ku sekarang adalah jalanan yang membentang. Aku adalah nomad, napasku adalah perpindahan.
Di Kathmandu, kutemukan kaumku. Mereka sama sekali tidak menganggapku aneh. Mary dari Inggris, sudah dua tahun jadi backpacker. Jean dari Perancis, tiga tahun di India, dua tahun di Bangladesh, setahun di Nepal. Ada yang sudah ke 86 negara, 51 negara, 103 negara. Rita, Mark, Bob, Liat.... Wajah para bule silih berganti bermunculan di guesthouse murah yang kutinggali, masing-masing dengan kisah perjalanan panjang bertahun-tahun yang mereka lalui. Perjalanan di zaman modern ini sudah begitu mudah dan murah, bahkan si Matt dan semua anjingnya pun bisa keliling dunia.
Memang kami tak punya rumah dalam arti fisik, tapi kami bukan gelandangan, karena ini adalah pilihan bukannya keterpaksaan. Aku tak tahu apa istilah yang tepat untuk perjalanan seperti ini. Turis" Jangan pernah panggil kami turis! Traveler"
Hari gini semua orang juga ngaku traveler. Pengeliling dunia" Ah, rasanya tidak sebegitunya. Perambah jagat" Itu apalagi. Eksplorer" Tidak usahlah misi-misi ekspedisi itu. Intrepid traveler" Kedengarannya kok sok tahu banget. Pengembara" Musafir" Globetrotter" Modern Hippie" Modern Nomad" Hardcore traveler" Ah, lupakan semua label itu.
Banyak sekali orang yang melakukan perjalanan seperti ini, setelah beberapa bulan pertama merasakan kehilangan arah. Mereka jadi bertanya-tanya, mau ke mana" Arah jadi tak penting, destinasi bukan yang dicari. Tapi adakah makna" Semua seperti sedang mencari makna perjalanan. Ada yang bilang untuk menemukan diri (di mana hilangnya"), ada yang mencari kedamaian, atau juga pencerahan. Semua orang mencari, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya dicari.
Aku pun begitu. Kenyamanan di Nepal mulai membuatku gamang. Hedonisme di Kathmandu membuatku bertanya-tanya, apakah sungguh ini yang kucari, jalan hidup yang kupilih"
Dalam nuansa yang berbeda, aku pun sebenarnya menganut paham kebebasan ala happy hippie. Seperti mereka, aku sama sekali tidak tergiur mimpi memupuk kekayaan, punya rumah besar atau mobil mewah, karier gemilang atau nama harum. Kutinggalkan ijazah dari universitas ternama, kupilih kehidupan terkatung di jalanan, karena kuyakin di sini ada kebahagiaan. Aku mengungsi dari tekanan sosial, menyepi dari keluarga, eksodus dari rumah, melepaskan tanggung jawab. Tak usah pikirkan tegangnya wawancara lamaran kerja, ujian beasiswa, rutinitas kantor, politik morat-marit. Tanpa beban, aku seorang pelarian. Seperti para hippie, aku pun mendengungkan cita-cita
akbar: kemanusiaan, perdamaian, pengabdian, persahabatan umat manusia....
Aku ingin mengubah dunia. Benar begitu"
Mungkin juga bukan. Ah, sudahlah, tak usah dipikir sekarang. Mari kita bersukaria dalam perjalanan dan petualangan. Seperti para Intrepids yang menumpang Magic Bus melintasi Hippies Highway , serukan pekik kemerdekaan dan slogan kebangsaan kita: Make Love, Not War!
Seperempat abad lebih Inayah bekerja dengan keluarga kami, sejak sebelum adikku lahir. Dia sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rumah ini. Bahkan wajahnya pun semakin mirip Tionghoa, sampai banyak orang salah mengiranya sebagai Mama.
Kapan Mama pulang" dia bertanya. Matanya berkaca-kaca. Aku menggeleng. Aku tak tega mengatakan, pertanyaan itu seharusnya menggunakan kata mungkinkah , bukan kapan .
Tangis Yah semakin menjadi. Ketakutan akan datangnya berita duka yang telah di ambang pintu kini semakin nyata.
Tangan itu! Tangan Mama itu, setiap malam mengelusi perutnya yang sakitnya tidak kira-kira. Di malam gelap, Mama jalan pelan-pelan. Dia tanya aku: Yah, kenapa ya, mau berangkat saja masih harus disiksa seperti ini" Ming, mamamu sudah merasa. Mama sudah punya irasat.
Ketakutan selalu menemani hidup. Kau dan aku takkan pernah bisa lari darinya. Dalam berbagai wujud, ketakutan selalu menghantui manusia, sahabat setia dari gua garba hingga liang lahat. Manusia primitif takut gerhana matahari, memuja langit dan gunung. Manusia zaman modern takut kiamat, virus yang menyebar lewat internet, penyakit-penyakit baru dan seram yang selalu bermunculan. Ada orang yang takut kesepian, ada pula yang justru takut keakraban. Ada yang takut perubahan, ada yang malah takut keabadian. Takut tua, takut sakit, takut mati, takut miskin, takut kehilangan jati diri, takut tikus, takut rampok, takut melanggar aturan, takut Tuhan, takut setan, takut akan bakteri yang memenuhi udara, takut mendengar suara rumput bertumbuh. Ada ketakutan besar, ada ketakutan kecil. Ada ketakutan yang normal, ada yang irasional. Ada takut yang personal, ada yang universal. Ada takut yang real, ada pula yang cuma khayal.
Adakah bagian dari perjalanan hidup ini yang terlepas dari ketakutan" Lihatlah semua tindakan yang dilakukan semua manusia pada hakikatnya adalah demi membebaskan diri dari sebuah rasa takut. Orang bekerja keras, berkeluarga, membesarkan anak, melakukan investasi membeli asuransi, memperkokoh rumah, semua adalah demi sejumput rasa aman. Manusia meninggalkan goresan di gua-gua, menuliskan prasasti, mengoleksi benda-benda, menjepretkan foto, melakukan operasi plastik, sesungguhnya adalah demi mempertahankan secuil keabadian. Sains, ilmu sihir, obat, racun, bom atom, tentara, uang, emas, perjanjian, undang-undang, sistem, pendidikan, budaya, tembok, garis batas, identitas, semua tercipta demi menyumpal rasa takut. Agama-agama pun menawarkan hidup kekal abadi, sebagaimana halnya ketakutan akan kematian dan kemusnahan juga selalu abadi menemani manusia dari berbagai lintasan zaman.
Ketakutan yang berbeda, cara menghadapi yang berbeda, membuat manusia pun jadi bermacam-macam. Ada yang pemberani, ada yang pengecut. Ada yang jadi pembunuh, tak sedikit pula yang malah bunuh diri. Ada penemu sukses, ada pasien sakit jiwa. Ada pemimpin besar, ada pecundang. Bahkan para hippies yang kelihatan hidup bebas dan lepas pun sebenarnya adalah produk dari ketakutan ketakutan akan kemapanan plus dinginnya tekanan individualisme dan kepalsuan dunia modern. Perjalanan bisa jadi pelarian dari rasa takut, bisa pula pencarian untuk menemukan cara membunuh takut.
Jack menatapku dengan pandangan kosong. Dalam kegelapan, di atap loteng guesthouse, di bawah taburan jutaan bintang yang berkelip dan purnama, lelaki Inggris berambut gimbal ala Bob Marley, terbaring di ranjang tampar, ditemani dua gadis Eropa berbaju kombor bin kucel. Mereka larut dalam ritual spiritual: mengisap ganja. Kenikmatan nirwana. Come! Join us! kata Jack. Come on, mate. Don t worry, be happy! kata temannya. Marijuana, ganja, hashish, apa pun namanya, sangat lekat dengan kehidupan di Nepal. Bahkan para orang suci Hindu pun, para pengembara kelana yang dikenal sebagai sadhu, juga punya acara khusus berjamaah mengisap ganja, katanya untuk mencicip nirwana . Aku tak tertarik mencoba nirwana yang seperti itu. Detik berikutnya, mereka sudah lupa kehadiranku. Aku hanya duduk di sudut, berdiam diri, mendengar mereka berbual. Tentang India, tentang ashram yang menawarkan meditasi, tentang Sai Baba, kebahagiaan, nirwana, kedamaian, keabadian. Si gadis
London bersemangat mengisahkan pengalaman spiritualnya di India. Gurunya luar biasa. Pertama kali datang ke ashram, dia sebenarnya hanya ingin coba-coba. Tetapi belum juga dia mengetuk, pintu kayu sudah terbuka sendiri. Seorang suci duduk di sana. Suaranya dalam, jernih, kuat. Dia berkata: masuklah anakku, aku sudah lama menantimu! Ajaib! Can you believe that" Dia bahkan tahu kedatanganku sebelum aku datang! Itu adalah takdir yang luar biasa!
Buat aku yang sudah terbiasa hidup di China yang penuh intrik tipu-menipu, rasanya sulit percaya cerita seperti ini. Hati fanaku berpikir: mungkin saja si guru sudah canggih, padepokannya tersambung kamera tersembunyi dan pintu otomatis. Mungkin pula itu kalimat standarnya untuk menyambut setiap tamu: Aku sudah menunggumu! Ramalannya juga tidak pernah salah: Your future is uncertain.
Ah... mungkin aku memang belum tercerahkan untuk masuk alam nirwana .
Di Freak Street, kutemukan kelompok pendatang asing yang lebih ajaib lagi. Freak Street, seperti namanya, memang freak. Jalan ini adalah peninggalan era hippie, berupa gang kecil di pinggir lapangan Durbar, yang pada tahun 1960-an adalah tempat paling happening di Kathmandu. Sekarang pamor Freak Street memang meredup dibanding Thamel, tapi menyimpan nuansa romantisme nostalgia perjalanan.
Panah Kekasih 3 Ad Iz Karya Eury Athena Mawar Merah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama