Ceritasilat Novel Online

Pendekar Wanita Baju Merah 7

Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 7 "Akan tetapi hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat dan menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Sumahuciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orangorang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan." Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. "Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang di kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Adapun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan ini." Im Giok mencabut tusuk Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 163 kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat ini Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun. "Eh, Gan-twako, kau kenapakah?" tanyanya. Muka Tiauw Ki makin merah. "Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!" Im Giok tertawa. "Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marahmarah." "Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu." "Begitukah" Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak" Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung kuda tentu!" "Ah, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali," kata Tiauw Ki. "Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu" Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?" "Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Sumahuciang." "Ah, ini benda tidak begitu berharga, Twako." "Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi... begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi." Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang. "Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Dan aku tidak mau kalau kau memberikan barang hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini daripada aku harus menyusahkanmu, membeli di toko." "Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu" Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?" Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka. "Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja... kalau berada di tanganmu lebih baik lagi." "Mengapa lebih baik, Kiang-moi?" Tiauw Ki mendesak. "Mengapa" Aah... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan." "Mengapa, Kiang-moi" Mengapa lebih baik?" kembali pemuda itu mendesak. "Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang." Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua kamar, lalu ber kemas. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benarbenar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang. Diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja. Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, karena Suma-huciang memang sejak beberapa keturunan telah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 164 karena kedudukannya Suma-huciang disegani oleh pembesar-pembesar lain, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dahulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara. Ketika mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh ramai, dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring. Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan minuman. Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermka merah seperti muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung di pinggang, duduk di ruang sebelah dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat. Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang, tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah, tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruang dalam. Tamu ini menghaturkan selamat dan memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk. Barang-barang sumbangan ditaruh di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan. Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu pria. Tamu wanita seperti ini tentu orang-orang kangouw dan ahli silat-ahli silat, mudah dilihat dari gerak-gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguhpun hubungan ini amat terbatas oleh tatasusila yang tetap dipegang teguh. Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan ramahtamahnya. "Selamat datang, Tuan muda dan Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberitahukan nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin." "Terima kasih, Lopek. Tolong beritahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang berkunjung, bersama seorang sahabat, Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat," jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya. Ketika pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini. "Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja." Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Setiap meja yang dikelilingi tamu terdiam apabila mereka lewat dekat, kemudian terdengar bisikan-bisikan dan suara ketawa ketika mereka telah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian. Baik Tiauw Ki maupun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tidak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruangan dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawankawannya berada di dalam ruangan ini. Ruangan ini paling lebar dan luas, di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel di dinding, dihias dengan kain Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 165 sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan tangan. "Aha, kiranya Gan-hiantit yang datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja" Baik-baik sajakah?" Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah benarbenar Tiauw Ki keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik sekali" "Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Adapun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima." Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari sakunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu. "Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu." Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah. Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba merasa aneh. Suara berisik dari orangorang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu! Akan tetapi ia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat ia menjura kepada pembesar itu dan berkata, "Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa Suma-taijin merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga," Ia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja. "Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang." Tiauw Ki dan Im Giok menjura, kemudian mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata, "Aku ingin duduk di ruangan ini, dekat pamanku." Pelayan itu tidak berani membantah karena pemuda ini betapapun juga adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan "orang-orang besar" di situ. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang ia duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja. "Kaulihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang," bisiknya perlahan kepada Im Giok. Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Hal ini mudah saja baginya karena memang ia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan. Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak, sehingga memenuhi meja. Akhimya habis juga aliran tamu dan tempat-tempat sudah penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan. Kemudian seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 166 kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar! Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua yang hadir, karena hal ini adalah sesuatu yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana! Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri, menjura dan berkata, "Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali dari Hongsiang karunia yang amat mengharukan hatiku dan yang selama hidup takkan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang." Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai menggetar saking harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri. "Ada kabar baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dirpulai, Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di depan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!" Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin yang berada di situ. Para tamu wanita kini semua memandang ke arah pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyumsenyum. "Sebetulnya siauwte malu sekali memperlihatkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!" katanya tersenyum manis dan tibatiba sekali ia bergerak tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat ia berdiri dan panggung ada enam puluh tombak dan ia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, benar-benar merupakan demonstrasi gin-kang yang tak boleh dipandang ringan! Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali. "Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian," kata pemuda ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian ia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik. Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung. "Tamu wanita di depan!" terdengar suara orang. Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja tercium bau harum dan suara berkereseknya pakaian ketika tamutamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah. Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, "Adik Im Giok, aku hendak mendekati Suma-huciang," dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga tamu-tamu pria banyak yang meninggalkan tempat duduknya untuk diberikan kepada tamu-tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh karena itu, maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang. Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar telah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri panggung di mana orang menyediakan tempat khusus untuk tuan rumah. Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di situ, para penabuh musik membunyikan alat musik masingmasing sehingga keadaan menjadi ramai sekali. Im Giok diam-diam memperhatikan Tiauw Ki dan ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan bercakap-cakap asik sekali dengan Suma-huciang yang nampak mengangguk-angguk. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 167 Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga bicara tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apalagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lain. Tak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengaku bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan tampan sekali. Dandanan Lie Kidn Tek sebagai seorang pendekar besar jaman dahulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi, Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti yang seringkali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja. Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul, semua orang kini diam dan memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Sumahuciang, kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok. Gadis ini membuang muka, akan tetapi ia melihat semua wanita muda yang berada di situ tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok menjadi sebal. Ia tahu, bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu. Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Gerakannya mula-mula lambat dan pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat sehingga tiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang-kadang tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang dan bergerak amat gagahnya. Im Giok secara terus terang harus mengaku bahwa ia amat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang mengandung dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang. Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah ia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya. Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tak terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi ia dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan ia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isarat-isarat kurang ajar dari pemuda itu. Lie Kian Tek bersilat makin cepat dan tak lama kemudian di atas panggung seperti ada beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah. Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba ia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu telah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya. Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biarpun ia harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat. Tiba-tiba Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan Sin-lionghian-bow (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan biasanya dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah amat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir ialah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 168 Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu! Tadinya semua orang terkejut karena mengira bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Sumahuciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu, menjadi pucat dan ia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal tadi mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai. "Kepandaian hebat, Lie-kongcu." Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. "Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Kalau dipergunakan dalam perang, kiranya takkan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!" Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari tangan dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Kemudian sambil tertawa ia memuji, "Pedang bagus! Pedang bagus!" Dan sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di kursinya. Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lwee-kang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok tertegun. Tenaga lwee-kang seperti itu tak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi "sahabat" Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Lie Kian Tek. Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai muram. Ia menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada pembesar itu, "Ah, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah hari gembira dan hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat mengharap supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk memperlihatkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita." Kata-kata ini sesungguhnya bukan semata untuk menyatakan ketidaksenangan hati putera Gubernur ini karena tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, melainkan pada hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam. Suma-huciang adalah seorang pembesar yang amat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Sumahuciang akan merupakan penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang. Adapun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan apabila di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguhpun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan kebencian dan permusuhan. Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di mana kelihaian Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 169 mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin. Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata, "Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini." Ia lalu memberi isarat kepada seorang tamu yang berdiri dan menjura kepada Suma-huciang. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam. Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang amat terkenal dan juga amat setia kepada Kaisar maka selalu membela Suma-huciang. Setelah memberi hormat kepada Suma-huciang, ia lalu berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata, "Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba takkan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi." Lie Kian Tek tersenyum mengejek, "Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan." Setelah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk tak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh melirik sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga kini ia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung. Para wanita melirik-lirik dan senyum-simpul menghujani pemuda itu, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya! Kian Tek melempar senyum membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung. Sementara itu, musik telah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang tak boleh dipandang ringan. Setiap gerak tangan mengandung tenaga lwee-kang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan main. Setelah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu lalu mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam. Ia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar. Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, "Aku orang she Chi telah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin." Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula. Lie Kian Tek memberi isarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni seorang di antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berrseru keras, "Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!" Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya telah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan gin-kang yang lihai. Suma-huciang tertawa. "Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si," jawabnya. Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata suaranya lantang tinggi. "Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shan-si. Akan tetapi, siauwte bukan seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 170 kepandaian yang tak berarti sebaliknya banyak orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah kalau diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, benar-benar siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tidak mau seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri." "Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?" terdengar Chi Liok menegur. Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau. "Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya menjual keburukan dah kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan" Ataukah, kau... takut?" Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekatli, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu ia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Sumahuciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini. Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kiain Tek dan kawankawannya. Ribut dengan mereka berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar, yang memang sudah lama sekali diam-diam saling membenci. Suma-huciang sejak tadi sebelum keadaan meruncing, sudah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara nasihat-nasihat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan hasrat kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka. Kini ia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang ia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya. Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji dan melihat "isi hati" musuh-musuhnya, tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan terjadi karena perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok. Piauwsu itu setelah melihat isarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat ia telah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng! Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur "isi" lawan dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang. "Saudara Coa Keng, betul-betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain silat?" tanya Chi Liok, suaranya masih tenang. Coa Keng tersenyum mengejek. "Mengapa tidak betul" Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya kita bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak takut, karena dalam permainan silat bersama kita sama-sama maklum bahwa kemungkinan terluka besar sekali, bahwa ada kemungkina terpukul tewas." "Ini sebuah tantangan!" Chi Liok menegur, gemas. "Kau takut?" Coa Keng menggerakkan alis, menghina. "Orang sombong, kau sajalah yang mempunyai keberanian" Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak sekali yang melihat betapa kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri, membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kaumulailah!" Coa Keng mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba dengan suara licik, sambil masih tertawa terus ia mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 171 "Bukk!" tubuh Chi Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh kalau ia tidak lekas-lekas berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, akan tetapi pukulannya tadi tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia keburu mengerahkan lwee-kang ke arah bagian yang akan terpukul. "Kau curang!" bentaknya. "Bukankah kau menyuruh aku mulai" Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha, ha, ha!" "Rasakan ini!" Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa. Pukulannya hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat Coa Keng terhuyung ke samping tiga tindak sambil meringis karena pundaknya terasa sakit sekali. "Kurang ajar kau!" bentaknya dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara kasar sekali. Sebetulnya ilmu silat mereka juga tidak terlalu rendah akan tetapi oleh karena watak Coa Keng amat kasar, cara berkelahinya juga kasar sehingga mereka itu lebih sering memukul tanpa membahayakan lawan daripada mengirim serangan yang betul-betul membahayakan keselamatan lawan. Pertempuran itu berjalan seru dan bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang masih rendah kepandaiannya, memang pertandingan itu nampak ramai dan menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orangorang yang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan menggelundung keluar dari panggung! Orang-orang wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepat-cepat mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak pergi dan karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat. Ia melirik dan melihat bahwa mereka ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan rambutnya diikat kain putih, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis yang berpakaian sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang bukan orangorang sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini. Sementara itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling meninggalkan tempat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok memekik dan terlempar keluar panggung! "Orang-orang macam ini berani menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betulbetul memiliki kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa lagi, aku adalah Cheng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi." Im Glok terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun telah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Cheng-jiu Tok-ong menjadi kaki tangan Lie Kian Tek. Mengingat sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang maka ia menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan. Di lain saat, tubuh Im Giok lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang cepat sekali. Gadis ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan sedang menegur seorang laki-laki yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas meja! Kedatangan Im Giok tak terlihat oleh mereka dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 172 tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi ia ternyata lihai bukan main karena masih sempat ia mengelak dan biarpun totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa. Im Giok yang menotok kaget dan sama sekali tidak mengira orang itu demikian lihai, maka ia menyerang terus sambil membentak, "Bangsat kecil, kau hendak mencuri apa?" Dua kali lm Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya sambil berseru, "Kau hendak lari ke mana?" Kembali secara mengagumkan, sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im Giok berusaha menangkapnya, dan tiga kali Lie Kian Tek sudah mencoba untuk merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate itu. "Copet, kau bikin gara-gara saja, tidak tahu sedang kucari-cari!" tiba-tiba terdengar teguran orang. Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang ini dan mencari perlindungan di belakangnya! Ketika Im Giok dan Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-ciang! "Lie-kongcu, apakah kesalahan dia ini maka kauserang dia?" tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek. "Aku melihat dia menggeratak di meja dan hendak mencopet barang-barang sumbangan," kata putera gubernur itu. Suma-huciang menengok kepada Im Giok, "Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?" "Aku melihat dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin," jawab In Giok sambil mengerling ke arah Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya di belakang panggung. Suma-huciang tertawa. "Harap kalian maafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang orang lain. Copet, kau mengambil apa saja" Hayo lekas keluarkan!" Sin-touw-ong yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian ia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang banyak pula. Benda-benda itu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri terheran-heran karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas di antara benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja! "Kembalikan barang-barang itu, dan mari kauwakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong," kata Suma-huciang yang tidak mempedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang mungkin hilang. Sin-touw-ong cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika ia melihat pemuda itu tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti! "Nona, kau benar-benar gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, tidak ada artinya! Nona, pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di tempat yang lebih sunyi dan dingin" Hubungan kita perlu dipererat dan...." "Jahanam, tutup mulutmu!" Im Giok memaki marah dan gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Ia mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau ia tidak ingat Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 173 akan tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couwnya, tentu ia tadi sudah memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu. Sementara itu, di atas panggung Cheng-jiu Tok-ong sudah berhadapan dengan Sintouw-ong. Cheng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang, "Ha, ha, ha, Suma-taijin bagaimanakah ini" Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?" Ketika ia melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Cheng-jiu Tok-ong menjadi marah. Ia merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus. "Kau ini manusia tiada guna, benar-benar kau sudah bosan hidup" Kau manusia tidak ternama, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?" Raja copet yang kate itu cengar-cengir seperti seorang badut. Ia mempunyai bentuk muka yang lucu, tubuhnya pendek kecil matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apalagi berhadapan dengan Cheng-jiu Tok-ong, benar-benar seperti seorang raksasa berhadapan dengan seorang katai. "Aku memang tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?" tanyanya memicingkan mata. "Setan pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Cheng-jiu Tok-ong!" Si Kate menggerakkan kedua pundaknya. "Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal," katanya acuh tak acuh. "Bangsat, aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal namaku?" Cheng-jiu Tok-ong membentak. "Setan besar, kau tidak mengenal namaku, aku pun tidak mengenal namamu, siapa di antara kita yang paling tidak terkenal" Kau bernama Cheng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan Seribu), aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku adalah raja-raja besar!" Meledak suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini. "Lo-enghiong, mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tana" Injak saja kepalanya, habis perkara!" seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat jagonya dipermainkan oleh raja copet itu. "Ya, ya, injaklah! Injaklah!" Sin-touw-ong mengejek dan memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Cheng-jiu Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh, sungguhpun mereka yang sudah mengenal kelihaian Cheng-jiu Tok-ong, merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu. "Bangsat tukang copet, bersiaplah untuk mampus!" Cheng-jiu Tok-ong yang tidak dapat menahan sabarnya lagi sudah maju menyerang. Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut bukan main. Raja copet ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang kang-ouw yang sudah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan copet, ia memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan untuk menyerangnya. Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Cheng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tidak mengira bahwa serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu mengelak. Akan tetapi Cheng-jiu Tok-ong, seorang tokoh besar persilatan yang sudah lebih berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut, jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biarpun lebih tinggi kepandaiannya takkan kuat menerima pukulan ini. Im Giok memandang semua ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Cheng-jiu Tok-ong, maka ia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 174 menurut pandangannya, biarpun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi kalau dibandingkan dengan Cheng-jiu Tok-ong, masih jauh sekali. Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biarpun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Pula ia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi lenyap dari atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya" Ataukah Lie Kian Tek" Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung melompat ke atas panggung dan sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Sumahuciang. Gerakan ini cepat sekali dan Cheng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biarpun ia tahu amat lihai, ia masih belum jeri akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya berdiri! Semua orang menjadi gempar ketika melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata, "Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet itu!" Tiauw Ki dan Suma-huciang bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok. "Terima kasih, Nona. Kalau Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!" Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali dan di depan Im Glok sambil berkata, "Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu." "Kau tidak kalah" Jangan main-main?" Suma-huciang berkata menegur orangnya. Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan Im Giok terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini telah berhasil mencopet golok pusaka dari lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau). "Inilah buktinya bahwa aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!" Kembali dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah. Im Giok merasa kagum sekali. Biarpun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini sudah patut disebut Raja Copet Sakti! Sementara itu, di atas panggung, Cheng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, "Ha, ha, ha, begitu sajakah jagoan dari Tianghai" Segala tukang copet dan tukang maling! Ha, ha, ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai" Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu" Kalau begitu, biarlah kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha, ha, ha!" "Hm, manusia itu menghina sekali," kata Sin-touw-ong. "Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini," usul Tiauw Ki. Suma-huciang menghela napas. "Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali kalau aku sendiri naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!" Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 175 Kiranya pembesar ini bermata tajam sekali. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Cheng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja ia kenal dengan gadis ini, apalagi baru saja gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung. "Taijin, kalau Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga." "Ah, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya," kata pembesar itu. "Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri," kata Im Giok yang cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan amat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidungnya dan ia mencium bau wangi sekali. Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas panggung Im Giok melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak peduli itu semua dan langsung ia menghadapi Cheng-jiu Tokong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su! "Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu" Asal saja kau berani maju sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!" katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok. Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, "Si Sombong ini mengira bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau tidak aku datang membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!" "Bohong! Omongan apa ini" Dia yang hampir saja mampus!" bantah Cheng-jiu Tok-ong marah. Kiang Im Giok tersenyum manis dan memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir. "Tok-ong, kaulihat baik-baik, golok siapakah ini" Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?" Cheng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pinggang dan bungkusan obat di dalam saku telah lenyap! "Bagaimana bisa berada di tanganmu?" tanyanya heran dan mukanya berubah merah. "Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya" Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak bisa mengambil nyawamu daripada mengambil dua benda ini dari tubuhmu" Benar-benar kau tidak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?" Dalam kata-kata ini, Im Giok mengancam, kemudian ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung. Cheng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Ia masih jerih menghadapi Im Giok yang amat lihai ilmu pedangnya, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai ia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok dan bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini" Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya" Siapa tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Cheng-jiu Tok-ong bergidik dan ia pikir lebih baik mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu. Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 176 "Kepandaian Sin-touw-ong benar-benar lihai sekali membuat orang kagum!" Setelah berkata begitu, Cheng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung. Im Giok tersenyum puas. Memang ia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Sumahuciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Cheng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, walaupun ia takkan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Cheng-jiu Tok-ong! Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri. "Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang akan dihina oleh orang lain," katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang, "Terima kasih kepada para enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk meramaikan pesta ini. Sekarang tiba giliran para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!" Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang penari yang cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah gemulai membuat darah orang-orang muda yang hadir di situ tersirap ke muka dan denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki. "Tidak apa, Giok-moi," kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan. "Bungkusan itu kosong tidak terisi apa-apa yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakapcakap tadi." Im Giok menjadi lega dan ia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda dan suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu. "Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?" tanyanya. "Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini," jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidaksenangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. "Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok." "Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu," kata Im Giok mengerutkan kening. "Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?" Kata-kata ini disertai senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok. Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang langsung kepada Tiauw Ki. "Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw..." katanya kemudian perlahan. Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain lalu mengalihkan pandangan mata ke atas panggung di mana para penari sedang memperlihatkan kepandaian mereka dengan indahnya. Demikianlah, pesta berjalan terus dengan lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya sudah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya. Setelah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan juga Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 177 lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso. Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata, "Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan." Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Mereka sejak tadi diam saja maka Im Giok juga tidak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini. Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Cheng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura. "Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu dan rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bilamana Kongcu hendak beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk mengeluarkan kendaraan." Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok. "Terima kasih, memang sebentar lagi kami hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin." Suma-huciang yang diiringkan oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam. Pembesar itu setelah tiba di ruangan yang sunyi ini lalu berkata kepada Tiauw Ki, "Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan" Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan kepada Hong-siang, yakni bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Oleh karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan." Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Sebelum ia mengeluarkan pertanyaan, ia didahului oleh pembesar itu. "Aku tahu mengapa kau terheran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok cepat menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang kaumaksudkan." Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, "Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya dan Kiang-lihiap berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan." Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, "Kau sungguh mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benarbenar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su seorang sakti yang sejak dulu aku kagumi. Tolong kausampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia." Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki kamarnya dah kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah disediakan setelah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 178 Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Gelisah ia di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Sumahuciang atau Gan Tiauw Ki. Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia ingat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu" Ia selalu memikirkan Tiauw Ki, setiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya, tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya! "Aku harus melindunginya, biarpun harus bertaruh nyawa!" pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini. Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringannya dan beristirahat dengan cara bersamadhi. Menjelang subuh ada ia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan! Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sambut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari pembaringannya, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja. Ia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya ia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat. Dua orang pelayan menghampir, mereka dan menjura sambil berkata, "Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?" "Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan." "Baik, Siauw-ya," jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki. Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini. "Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?" tanya Tiauw Ki kepada Im Giok. "Enak juga. Dan kau?" "Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas," jawab Tiauw Ki. Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini tidak jauh dari kamar Sumahuciang, maka tanyanya, "Twako, apakah kau tidak ada mendengar apa-apa malam tadi" Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya." Tiauw Ki menggeleng kepala. "Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa." Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya" Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu gin-kangnya sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah" Karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut. Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok di pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu. Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan kata-kata. Keduanya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 179 muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan. Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Sumahuciang dan menyampaikan pesanan Kaisar. Karenanya ia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Kini ia harus pulang ke Siankoan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa harus berpisah. Tidak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan. Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Makin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat larinya kuda sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja! "Adik Im Giok, kau selanjutnya akan ke manakah?" Tiauw Ki bertanya, sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Pertanyaan ini saja sudah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini. Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biarpun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru sekali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, namun keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa. Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikianlah tajamnya seorang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan. Sungguhpun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana ia hendak pergi, ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka, "Aku hendak pulang ke Siang-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?" "Tentu ke kota raja... tugasku belum selesai. Sayang..." Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan, akan tetapi cahayanya sudah mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu. "Mengapa sayang, Twako?" Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim. "Sayang karena... karena terpaksa kita harus berpisah." Suara pemuda itu menggetar dan tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat ia menguasai dirinya lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki. "Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik pandai jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya terpisah" Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?" Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung. "Mengapa demikian?" Pertanyaan ini tidak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada saat itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apaapa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada di sampingnya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 180 Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong kepadanya seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar. "Mengapa" Eh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?" Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menarik napas panjang dan berkata, "Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti..." Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu. "Ehm, kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?" "Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua, Adikku. Pertemuan bukan awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?" Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya. "Ada-ada saja kau ini, Twako," katanya seperti marah. Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar. "Adik Im Giok, tunggu...! Kita takkan berpisah selamanya!" Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya. Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu telah tiba di sungai yang melintang di depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguhsungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka. Alisnya berkerut, kegembiraanaya lenyap sama sekali. Ia telah merasai kebahagiaan luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan hatinya. "Giok-moi...!" Tiauw Ki juga sudah tiba di situ dan pemuda ini melompat turun dari kudanya. "Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?" Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata, "Twako, jangan kau berkata begitu..." Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan. "Marilah kita pergunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita beristirahat," kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk. Im Giok meniru perbuatannya dan setelah dua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari situ, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon tetdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Kesitulah kedua orang ini berjalan perlahan. Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya. "Adik Giok, rasa-rasanya janggal dan aneh sekali kalau kita harus berpisah di sini. Benarbenar heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita sudah berkumpul selamanya, sudah semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku..." "Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke Sian-koan." "Memang seharusnya demikian. Akan tetapi... ah, rasanya aku sedikitpun juga tidak ada keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 181 raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan..." Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang. "Mana boleh begitu, Gan-ko" Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya" Kau ke kota raja dan setelah selesai tugasmu, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?" Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seakan-akan Im Giok menyatakan bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang dan perasaannya, ia menangkap kedua tangan gadis itu. "Giok-moi..." suaranya gemetar. Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasai sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari-jari yangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tidak kuasa menarik tangannya seakan-akan telah hilang semua tenaganya! Ia hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu. "Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku kalau aku sewaktu-waktu datang ke Siankoan!" suara Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan. "Mengapa tidak?" Im Giok hanya menjawab singkat karena ia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar! "Tidak... tidak ada halangannya kalau... kalau aku..." Tiauw Ki tak dapat melanjutkan kata-katanya. "Ada apakah, Gan-twako" Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?" Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad, "Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan..." "Dan apa...!" "Aku... aku hendak... meminangmu!" Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga. Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan seperti buah tho masak, membikin ia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apalagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, ia seperti bidadari dari kahyangan saja! "Bagaimana, Giok-moi...?" tanya Tiauw Ki. Im Giok mengerling dengan sudut matanya kepada pemuda itu, bibirnya yang manis tersenyum malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, "Entahlah..." Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki. "Giok-moi, bagaimana" Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?" Bukan main malunya Im Giok dan ia tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan matanya ditundukkan, ia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan. Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin ia melompat turun dari atas batu dan menari-nari kegirangan atau ingin ia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar. Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudarasaudaramu tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?" Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan, maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas, "Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suciku Giok-Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 182 gan Niocu Song Kim Lian!" Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil. "Ah, sucimu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan berhati mulia, biarpun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan maupun kecantikan." Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini. "Akan tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku" Ayahmu seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah....!" Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar. "Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah... dia amat sayang kepadaku, tak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan berduka." Im Giok mengambil tusuk kondenya dan memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, "Koko, inilah tusuk kondeku, harap kausimpan baik-baik." Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk kondemu ini, Moimoi, akan terhibur hatinya. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini..." Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya. "Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh..." Sambil berkata demikian, dari dalam saku bajunya, pemuda itu "menyulap" keluar sebatang pit dan arang tintanya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu ia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih. Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu : Tusuk konde dan kipas menjadi saksi bertemunya dua hati di bawah pohon, di tepi sungai... semoga cinta kasih kita kekal abadi takkan berpisah, sehidup semati... Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri. "Aduh indahnya tulisanmu, Koko..." katanya. Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka. "Kau mengapa, Twako?" "Sayang pertemuan seindah ini diputuskan oleh perpisahan..." kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya. "Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai" Aku selalu menantimu di sana, Koko..." Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharunya kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara. Biarpun keduanya diam tak bergerak, biarpun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun, batu apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut beriang gembira. Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala macam perasaan, namun keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 183 Sungguh mengagumkan mereka ini, tauladan bagi muda-mudi beradab. Mereka pun diombang-ambingkan oleh ombak asmara yang memabukkan, namun, mereka pantang melakukan pelanggaran dan mereka teguh bagaikan karang di pantai samudra. Apapun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimanapun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tatasusila yang mereka junjung tinggi! Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika tibatiba Im Giok renggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata, "Koko, ada penunggang kuda datang..." Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu makin mendekat baru ia mendengar derap kaki kuda. "Ada tiga orang penunggang kuda," kata pula Im Giok yang sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa yang datang ini tentulah pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega. Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apalagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lwee-kang yang cukup kuat. Setelah mereka dekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir dalam pesta di rumah Sumahuciang, yakni wanita nenek yang kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak. Kini dua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki kemudian kepada Im Giok dengan pandang mata terbelalak membenci. Pada saat itu, Im Giok sedang berada dalam keadaan gembira dan bahagia, maka tentu saja muka cemberut dari dua orang gadis itu tidak terlihat olehnya. Sebaliknya, dengan senyum manis ia lalu menjura kepada mereka sambil berkata, "Selamat bertemu di tempat ini! Apakah Sam-wi baru pulang dari rumah Sumataijin?" Nenek itu menjawab cepat-cepat, "Kau bermalam di rumah Suma-taijin. Kami bermalam di rumah penginapan." Im Giok menggerakkan alis agak heran melihat sikap ini, akan tetapi tetap tersenyum dan melanjutkan katanya dengan ramah, "Ah, maaf. Maksudku, tentu Sam-wi baru meninggalkan Tiang-hai dan hendak ke manakah?" Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang ada tahi lalatnya di dagu, membentak, "Siapa sudi bicara dengan segala perempuan gila lelaki!" Tiauw Ki menjadi pucat saking marahnya, dan Im Giok menjadi merah mukanya. Sepasang matanya yang indah itu kini menyambar bagaikan cahaya kilat ke arah gadis itu, dan suaranya tetap halus dan ramah, akan tetapi di dalam suara ini terkandung sesuatu yang dingin dan tajam menembus jantung. "Cici yang baik, kau bilang apa?" "Aku bilang kau perempuan cabul, gila lelaki!" Gadis bertahi lalat dagunya itu membentak lagi sambil mengangkat hidungnya, mengejek. Im Giok masih tersenyum lebar. "Alasannya?" "Dari semula kau datang, kau sudah berdua dengan pemuda ini, sungguh memalukan. Kemudian kau bermanis-manis dengan Suma-huciang dan kau mencoba pula untuk memikat hati Lie-kongcu. Menyebalkan sekali!" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 184 Im Giok memang cerdik luar biasa. Dari ucapan ini saja ia sudah dapat menerka apa yang menyebabkan gadis ini marah-marah seperti kemasukan setan. Senyumnya makin lebar dan sinar matanya berseri. "Ah, Cici yang baik, kau memutarbalikkan kenyataan. Jelas sekali kulihat bahwa kaulah yang tergila-gila kepada Lie-kongcu yang tidak memperhatikan tahi lalatmu yang menjijikkan itu, kau jadi marah-marah kepadaku!" Mendengar ini, wajah gadis itu menjadi pucat dan sebentar berubah merah. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak saking marahnya ia sampai tidak kuasa mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dapat juga ia mengeluarkan suara. Diangkatnya cambuknya ke atas, dipukulkan kepala Im Giok didahului makiannya, "Perempuan rendah, kau berani sekali memaki aku" Tidak tahu dengan siapa kau berhadapan?" "Hei, jangan pukul dulu!" Im Giok membentak, suaranya demikian berpengaruh sehingga wanita bertahi lalat itu kaget dan otomatis cambuk yang sudah diangkat itu tidak dipukulkan! "Teruskan dulu keteranganmu, sebenarnya siapakah kalian ini yang bersikap tengik?" Wanita itu menahan marahnya dan sengaja memperkenalkan nama dengan maksud agar Im Giok menjadi ketakutan. "Buka telingamu lebar-lebar, kami berdua adalah Kimjiauw-siang-eng Kwan Ci-moi (Kakak Beradik Kwan yang Berjuluk Sepasang Garuda Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Berkuku Emas)! Dan dia itu adalah ibu kami Koai-tung Toanio. Siapa tidak mengenal kami dari Kong-thong-pai?" Im Giok merasa geli sekali melihat gadis yang dogol dan otak-otakan ini, akan tetapi ia mengangkat kedua mata seakan-akan orang terkejut dan ketakutan. "Aduh... tak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang sakti dari Kong-thongpai..." kata Im Giok. "'Ji Kim, jangan menyombong!" tegur nenek yang mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura saja ketakutan, sebetulnya sikap gadis baju merah itu adalah ejekan belaka. "Hayo lekas berlutut dan minta ampun kepadaku!" gadis bertahi lalat yang bernama Kwan Ji Kim itu membentak, masih belum mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura takut saja. "Kau datang-datang memaki orang dan bersikap sombong, bagaimana aku harus berlutut" Jangankan kau baru Garuda berkuku emas, biarpun tahi lalatmu berubah emas aku tetap tak sudi berlutut!" jawab Im Giok, kini tidak berpurap-pura lagi. Ji Kim marah sekali dan kini cambuk kudanya diayun cepat menghantam kepala Im Giok. Akan tetapi, Ang I Niocu Kiang Im Giok hanya miringkan tubuh dan secepat kilat tangan kirinya menyambar, dan di lain saat cambuk itu telah berpindah ke tangannya. Sambil tersenyum Im Giok mempergunakan cambuk itu menghajar kedua kaki depan kuda yang ditunggangi oleh Kwan Ji Kim sehingga kuda itu roboh bertekuk lutut dan Kwan Ji Kim terpaksa melompat untuk menjaga diri jatuh terjungkal! "Kudamu lebih tahu adat!" Im Giok mengejek. "Tahu akan kesalahan nonanya sehingga mintakan maaf kepadaku." Kwan Ji Kim marah bukan main. Dicabutnya pedang yang tergantung di pinggangnya, lalu diserangnya Im Giok dengan sengit. Namun, melihat gerakan nona ini, Im Giok hanya tersenyum dingin. Dengan gerakan indah sekali, tubuhnya melenggok ke kiri dan tangannya menyambar ke arah pipi lawan. "Plakk...!" Pipi gadis bertahi lalat itu kena ditampar sehingga ia terhuyunghuyung ke belakang setelah mengeluarkan jerit kesakitan. Setelah dapat menguasai keseimbangan badan dan berdiri tegak lagi, ternyata pipi kanan Kwan Ji Kim telah bengkak menggembung sehingga muka yang manis itu kini menjadi lucu dan jelek! "Setan betina, kau berani menyakiti adikku!" Gadis ke dua melompat turun dari kuda dengan pedang terhunus pula. Gerakan pedang ini jauh lebih cepat daripada Kwan Ji Kim dan tusukan pedangnya lebih kuat lagi. Namun ia bukan lawan Im Giok, karena dengan amat mudahnya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 185 Im Giok dapat menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tiba-tiba Im Giok merasa ada sambaran angin dingin dari kanan. Cepat ia melompat ke belakang dan sebatang tongkat menyambar dengan dahsyatnya. Im Giok maklum bahwa nenek yang memegang tongkat itu berkepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka cepat ia pun mencabut pedangnya sambil berkata, "Koai-tung Toanio! Kalau kau betul-betul seorang tokoh kang-ouw yang mengerti aturan dan seorang ibu yang baik, mengapa kau tidak menegur anak-anakmu yang kurang ajar sebaliknya bahkan ikut-ikut menyerangku" Ada permusuhan apakah di antara kita maka kalian begini mendesak padaku?" Nenek itu menyeringai, kemudian berkata, suaranya tinggi serak, "Kemarin kau begitu sombong memamerkan kepandaian dan aku tidak sempat membuktikan. Sekarang ingin aku melihat sampai di mana kelihaianmu, jangan kau hanya berani menghina anakku yang bodoh. Majulah!" Im Giok mengerti bahwa nenek ini bukan hanya ingin menjajal kepandaiannya, akan tetapi kalau tidak membela anaknya yang sudah ia tampar tadi, tentu tersembunyi maksud lain. Ia pun tidak sudi memperlihatkan kelemahannya. Setelah orang menantangnya, ia harus melayani dan memperlihatkan kepandaiannya. Apalagi di situ ada Tiauw Ki yang menyaksikan. Dicabutnya pedangnya dan dengan tenang ia berdiri memandang kepada tiga orang lawannya. "Kalian hendak mencari perkara" Boleh, Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan seorang pengecut dan tak pernah menolak tantangan." Im Giok menanti serangan, tidak mau ia mendahului bergerak karena memang ia tidak mempunyai permusuhan dengan tiga orang ini. Koai-tung Toanio mengeluarkan seruan keras dan tongkatnya diputar bagaikan kitiran cepatnya, lalu diterjangnya gadis baju merah yang berdiri tenang di hadapannya. Anaknya yang sulung, Kwan Twa Kim, juga maju menyerang dengan pedangnya. Sekilas pandang saja tahulah Im Giok bahwa kepandaian nenek itu memang lihai, jauh lebih lihai daripada puterinya, maka menghadapi pengeroyokan dua orang ini, ia harus lebih dulu mengalahkan yang lemah agar seluruh perhatiannya dapat dicurahkan kemudian kepada yang kuat. Maka pedangnya segera bergerak, merupakan tarian indah dan dengan halus gerakannya itu terbagi dua, yakni bersifat lembek apabila menghadapi serangan tongkat Koai-tung Toanio, akan tetapi keras dan kuat menghadapi Kwan Twa Kim. Siasatnya ini berhasil baik sekali karena Kwan Twa Kim sebentar saja terdesak hebat, sedangkan tongkat Koai-tung Toanio belum juga dapat mendesaknya, bahkan beberapa kali tongkat di tangan nenek itu apabila bertemu dengan pedang Im Giok, terbetot dan "diselewengkan" sehingga membentur pedang anaknya sendiri! Beberapa jurus kemudian, terdengar suara keras dan pedang di tangan Kwan Twa Kim terlempar, disusul pekik kesakitan dari gadis ini. Ternyata bahwa lengan kanannya keserempet pedang dan mengeluarkan darah. "Twa Kim, mundur kau...!" ibunya berkata marah dan memperhebat gerakan tongkatnya, menyerang Im Giok dengan mati-matian. "Toanio, kita tidak bermusuhan, mengapa kau begini nekat?" Im Giok menegur, hatinya tak senang melihat sikap nenek yang terlalu mendesak ini. "Tutup mulut dan lihat tongkatku!" bentak Koai-tung Toanio yang dari penasaran menjadi marah sekali mengapa begitu lama belum juga ia dapat mengalahkan gadis muda ini. Timbul kemarahan Im Giok. Tadinya ia tidak suka merobohkan nenek ini yang tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengannya. Seorang tokoh kang-ouw amat menjaga nama besarnya dan tahu bahwa kalau nenek itu sampai kalah olehnya, hal ini merupakan penghinaan besar bagi nenek yang keras hati ini. Tadinya ia mengharapkan nenek ini akan melihat gelagat dan mundur sendiri setelah menyaksikan kelihaiannya, tidak tahunya nenek ini bahkan berlaku nekad dan menyerang mati-matian. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 186 "Kau tidak boleh diberi hati!" Im Giok mencela dan kini tiba-tiba gerakan pedangnya berubah. Pedangnya menyambar-nyambar dalam gerakan yang amat indah dan halus. Namun di dalam kehalusan ini tersembunyi gerakan-gerakan menyerahg yang maha dahsyat. Inilah Sian-li Kiam-hoat atau ilmu pedang bidadari yahg indah dilihat namun berbahaya sekali dilawan. Koai-tung Toanio tidak mau menyerah kalah begitu saja. Biarpun ia terkesiap juga menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, namun ia memutar tongkat makin cepat dan mengerahkan segala kepandaian untuk rnengalahkan lawan. Betapapun juga ia berusaha, tetap saja sinar pedang yang sukar diduga perubahannya itu, makin lama makin mendesak sinar tongkatnya dan makin lama ia makin merasa terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan yang membuat pandangan matanya berkunang. "Pergilah!" terdengar seruan Im Giok. Tangan kirinya dengan gerakan cepat telah berhasil mencengkeram tongkat lawannya dan kalau ia mau, pedangnya dapat ditusukkan. Akan tetapi Im Giok tidak bermaksud membunuh lawannya, maka sebagai gantinya pedang, ia hanya menendang. Tubuh Koai-tung Toanio terlempar dan tongkatnya terampas. Namun nenek ini memang tinggi kepandaiannya. Biarpun ia sudah terluka oleh tendangan itu dan tubuhnya terlempar, ia masih dapat menjaga diri sehingga jatuhnya berdiri! Ia memandang kepada Im Giok dengan mata melotot marah. Kemudian ia melompat ke atas kudanya, diikuti oleh dua,orang puterinya. "Toanio, ini tongkatmu ketinggalan!" Im Giok tertawa sambil melontarkan tongkat itu ke arah Koai-tung Toanio. Tanpa menoleh, nenek itu menghantam, tongkatnya sendiri dengan tangan kanan. Terdengar bunyi keras dan tongkat itu patah menjadi dua, meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah! Im Giok menarik napas panjang. "Kepandaiannya tinggi dan mengagumkan, sayang wataknya tidak patut sekali." Tiauw Ki menghampiri Im Giok dan memegang lengannya. "Moi-moi, bukan main hebatnya engkau ini. Benar-benar aku kagum sekali melihatmu dan makin terasalah olehku betapa tiada gunanya aku ini. Aku seorang laki-laki yang lemah, sedangkan kau... ah, kau benar-benar seorang bidadari yang sakti..." "Husshhh, Twako. Ada pasukan berkuda datang!" Suara Im Giok terdengar agar khawatir ketika mengucapkan kata-kata ini dan merenggut lengannya terlepas dari pegangan Tiauw Ki. Pemuda itu menoleh dan benar saja, debu mengepul tinggi mengiringkan pasukan berkuda yang datang dengan cepat. Setelah dekat, Im Giok dan Tiauw Ki saling pandang dengan muka berubah melihat bahwa pasukan berkuda terdiri dari empat puluh orang lebih itu dipimpin oleh Lie Kian Tek, Cheng-jiu Tok-ong, juga banyak terdapat perwira-perwira pembantu Suma-huciang, di antaranya terlihat juga Sintouw-ong Si Raja Copet. Mereka semua kelihatan marah dan kini mereka telah berhadapan dengan Im Giok dan Tiauw Ki. "Pembunuh keji, menyerahlah agar kami tak usah menggunakan kekerasan!" kata Lie Kian Tek sambil mencabut pedangnya. "Eh, tikus, kau memaki siapakah?" Im Giok membentak dengan marah. Ia masih merasa benci kepada kongcu yang ceriwis ini. Lie Kian Tek tertawa bergelak dan menengok kepada kawan-kawannya. "Lihat, pandai benar perempuan ini bermain sandiwara, seakan-akan ia suci bersih dan tidak tahu apa-apa. Ha, ha, ha!" kemudian ia memandang kepada Tiauw Ki dan berkata, "Pengkhianat pengecut! Kau mengaku sebagai keponakan Suma-huciang, tidak tahunya kau adalah penjahat besar yang datang dengan niat buruk. Kau tidak lekas menyerah dan mengakui dosamu?" Tiauw Ki mengerutkan kening dan bertanya, "Kedosaan apakah yang telah kuperbuat?" dan terhadap Sin-touw-ong Siauw Hap, Raja Copet yang kate itu ia bertanya, "Siauw-sicu, sebetulnya ada apakah maka kau juga datang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 187 menyusulku" Apakah ada pesanan sesuatu dari Suma taijin?" Si Kate yang sudah dikenal sebagai pembantu setia dari Suma-huciang itu, nampak bingung menghadapi Tiauw Ki dan Im Giok. Kemudian ia berkata dengan suara duka, "Suma-taijin telah meninggal dunia, kami telah mendapatkan beliau rebah di lantai kamarnya dengan leher putus!" "Apa katamu...?"" Tiauw Ki meniadi pucat mukanya dan juga Im Giok terkejut bukan main. Terdengar suara ketawa dingin dari Lie Kian Tek. "Gan Tiauw Ki penjahat besar, jangan kau berpura-pura kaget. Kami bukan anak-anak kecil dan kami sudah tahu bahwa pembunuhan atas diri Suma-taijin adalah perbuatanmu dengan pengawaimu yang cantik. Semua tamu malam tadi pulang atau kembali ke rumah penginapan, hanya kau dan pengawamu saja yang bermalam di rumah Suma-taijin. Ada pula yang bermalam akan tetapi di bagian lain, tidak seperti kalian yang bermalam di dekat kamar Suma-taijin di bawah satu wuwungan! Dan pula, kalau tamu lain masih ada pagi hari ini, kau dan pengawalmu tanpa pamit telah minggat pergi. Bukti-bukti sudah jelas apakah kau masih hendak menyangkal?" "Bohong! Fitnah belaka!" Tiauw Ki memaki marah. "Siapa percaya akan tuduhan dusta ini" Aku dan nona ini sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu dan kami malam tadi pun sudah berpamit kepada Suma-taijin!" Lie Kian Tek tertawa bergelak. "Tidak ada pembunuh mengaku telah membunuh orang seperti juga tidak ada maling mengaku telah mencuri barang. Hayo tangkap orang ini, kita harus menyeretnya ke pengadilan!" Pasukan itu, didahului oleh Cheng-jiu Tok-ong, bergerak menyerang. Gerakan Cheng-jiu Tok-ong cepat sekali dan sekali kakek ini melompat turun dari kudanya menubruk, di lain saat Tiauw Ki sudah diringkusnya dan sebuah totokan membuat pemuda itu lemas tidak berdaya lagi. "Lepaskan dia!" Im Giok berseru marah sekali melihat perlakuan orang terhadap kekasihnya. Ia menerjang dan menyerang Cheng-jiu Tok-ong. Kakek ini cepat menggerakkan tangan menangkis sambil mencabut goloknya yang bersinar hijau. Juga orang-orang lain telah mencabut senjata, sedangkan Lie Kian Tek berteriak, "Perempuan pemberontak, kaulah yang membunuh Suma-taijin!" Kata-kata ini membuat Im Giok marah sekali dan dilain saat ia telah dikurung oleh banyak orang. "Nona, lebih baik kau menyerah!" kata Sin-touw-ong Siauw Hap yang merasa sayang sekali kalau sampai gadis ini terluka. Sebetulnya Raja Copet ini pun meragukan bahwa Im Giok telah membunuh Suma-huciang, akan tetapi bukti-buktinya memang memberatkan Tiauw Ki dan Im Giok sehingga sebagai alat negara ia pun harus ikut bantu menangkap pembunuh Suma-huciang. Im Giok mengamuk. Gadis ini maklum bahwa setelah terjatuh ke dalam tangan orang seperti Lie Kian Tek, keselamatan Tiauw Ki terancam bahaya besar maka ia hendak menolong pemuda kekasihnya itu dengan kekerasan. Sebentar saja ia dikurung hebat sekali oleh Chengjiu Tok-ong, Sin-touw-ong dan perwira-perwira lain yang cukup tinggi kepandaiannya. Namun Im Giok tidak gentar. Untuk menolong Tiauw Ki, ia rela mengorbankan nyawa. Lebih baik mati bersama daripada membiarkan kekasihnya dibikin celaka orang. Akan tetapi keadaan lawan terlampau berat. Menghadapi seorang Cheng-jiu Tok-ong saja masih sukar ia mengalahkan, apalagi dikeroyok oleh belasan orang. Memang, selain Chengjiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, yang lain-lain hanya menyerang dari jarak jauh dan tidak berani terlalu mendekat, akan tetapi cara ini bahkan melelahkan Im Giok. Gadis ini tidak dapat merobohkan mereka yang mengeroyoknya dari jarak jauh, sedangkan untuk mengerahkan kepandaian melayani Cheng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, ia selalu diganggu oleh para pengeroyok yang menyerangnya dari jauh dari kanan kiri dan belakang. "Giok-moi, menyerah saja, Giok-moi. Kita tidak berdosa, biar mereka membawa kita ke pengadilan!" Tiauw Ki berseru kepada Im Giok karena pemuda ini merasa gelisah sekali Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 188 melihat kekasihnya dikeroyok oleh banyak orang dan terdesak hebat. Mendengar ini, Im Giok pikir betul juga. Belum tiba saatnya melakukan pertempuran mati-matian. Mereka hanya disangka menjadi pembunuh dan di depan pengadilan mereka dapat menyangkal. Kalau nanti mereka tetap saja difitnah dan tidak ada jalan keluar lagi, barulah ia akan mempergunakan pedangnya. Maka cepat ia melompat keluar kalangan pertempuran dan membentak, "Aku akan menyerah dengan syarat bahwa Gan-twako dan aku diberi kebebasan ikut ke tempat pengadilan. Aku tidak sudi dijadikan tawanan dan diikat!" "Enak saja kau bicara!" Cheng-jiu Tok-ong membentak dan hendak menyerang lagi, akan tetapi Lie Kian Tek berkata, "Locianpwe, biar kita menerima syaratnya!" Mendengar ini, Cheng-jiu Tok-ong membatalkan niatnya dan memandang dengan muka merah. Lie Kian Tek lalu menghadapi Im Giok dan berkata, "Kami menerima syaratmu. Mari kau ikut dengan kami. Aku berjanji bahwa kalian berdua akan diperiksa dengan adil." Sambil berkata demikian, Lie Kian Tek tersenyum ramah kepada Im Giok, berusaha mengambil hati gadis ini dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis. Akan tetapi Im Giok sama sekali tidak tertarik. "Lebih dulu bebaskan Gan-twako!" katanya sambil menunjuk ke arah Tiauw Ki yang lemas terduduk di atas tanah. Pemuda ini sudah tertotok dan biarpun dapat bicara, namun tak mampu menggerakkan kaki tangannya! "Locianpwe, harap bebaskan dia!" kata Lie Kian Tek kepada Cheng-jiu Tok-ong. Kakek ini nampak ragu-ragu, maka Im Giok lalu melompat maju menghampiri Tiauw Ki dan sekali menepuk punggung pemuda itu, Tiauw Ki terbebas dari pengaruh totokan dan dengan bantuan Im Giok dapat berdiri lagi. Wajahnya merah sekali karena diam-diam pemuda ini menyesal mengapa ia begitu lemah. Ia memandang kepada Im Giok dan biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, sinar matanya menyatakan bahwa ia akan menyelamatkan mereka berdua apabila mereka dihadapkan ke depan pengadilan. Hal ini Im Giok maklum pula karena ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah kepercayaan Kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh terhadap para hakim. Lie Kian Tek berkata kepada Sin-touw-ong dan beberapa orang perwira yang datang dari Tiang-hai untuk pulang saja dan memberi laporan kepada para pembesar di Tiang-hai bahwa dua orang pembunuh sudah menyerah. "Aku hendak membawa mereka ke kota raja," kata Lie Kian Tek. "Urusan membunuh Sumahuciang adalah urusan besar dan karenanya mereka harus diadili di kota raja!" Karena kalah pengaruh dan kalah kedudukan, Sin-touw-ong dan para perwira menurut Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo saja. Mereka lalu kembali ke Tiang-hai seperti yang diperintahkan oleh Lie Kian Tek bersama Cheng-jiu Tok-ong dan anak buahnya lalu membawa Im Giok dan Tiauw Ki melanjutkan perjalanan. Tiauw Ki dan Im Giok menunggang kuda di tengah-tengah rombongan sehingga mereka seakan-akan dikurung terus. Wajah Tiauw Ki nampak berseri dan beberapa kali ia memandang kepada Im Giok sambil tersenyum geli. Im Giok membalas senyumnya. Gadis ini juga merasa geli akan ketololan Lie Kian Tek. Tiauw Ki datang dari kota raja dan menjadi kepercayaan Kaisar. Sekarang pemuda ini ditangkap dan hendak dihadapkan di depan pengadilan di kota raja! Ini sama halnya dengan menangkap seekor ikan dari kolam untuk dilepaskan di sungai besar! Oleh karena inilah maka Im Giok juga tidak peduli ketika ia dikurung rapat-rapat dan memang sukar kalau sekaligus para pengurung itu menyerangnya. Juga ia tidak peduli ketika kurang lebih lima li kemudian, di persimpangan jalan muncul serombongan pasukan terdiri darl lima puluh orang lebih yang temyata adalah anak buah dari Lie Kian Tek pula dan yang kini menggabungkan diri menjadi barisan besar. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 189 Akan tetapi, ketika mereka tiba di persimpangan jalan lagi dan Lie Kian Tek memimpin pasukannya membelok ke kiri, Tiauw Ki berseru keras, "Hee! Mengapa ke kiri" Jalan ke kota raja adalah terus ke utara!" Tiba-tiba pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang ditodongkan ke arah Im Giok! Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak. "Gan Tiauw Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-huciang untuk Kaisar dan berikan kepadaku!" kata putera gubemur itu. Im Giok terkejut. Ia kini dapat menduga kesemuanya. Tak salah lagi bahwa Sumahuciang tentu dibunuh oleh kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah ia akan tiga orang wanita yang telah bertempur dengannya tadi. Besar sekali kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Suma-huciang dan mereka itu tentu kaki tangan orang she Lie ini pula. Kemudian Lie Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para perwira di Tiang-hai dapat ditipunya dan diajak menangkap Tiauw Ki. Kemudian putera gubemur yang amat licin itu sengaja menyuruh Sin-touw-ong dan lain perwira dari Tiang-hai untuk kembali ke Tiang-hai dan memberi tahu bahwa dia hendak mengantar Tiauw Ki ke kota raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini, ternyata bukan Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu ternyata cerdik dan penuh siasat! Im Giok mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah menempel di tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh Tiauw Ki telah ditodong oleh belasan mata tombak! Kembali terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha-ha, Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini akan menjadi mayat. Gan Tiauw Ki, lekas kau menjawab, pesanan apa yang kaudapat dari Suma-huciang untuk Kaisar!" Sudah gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat caci putera gurbernur itu. Ia tidak takut mati dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh tubuhnya. "Lie Kian Tek, kaubebaskan dulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja. Bebaskan dia dan aku akan mengaku semuanya kepadamu." "Bebaskan dia" Ha-ha, kaukira aku begitu bodoh" Kalau dia dibebaskan tentu dia akan menimbulkan keributan lagi." "Tidak! Aku yang tanggung dia tidak akan menimbulkan keributan," kata Tiauw Ki cepatcepat dan pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata, "Giok-moi, kuminta dengan sangat agar kau jangan mencampuri urusanku dan lebih baik kau segera pulang ke tempatmu sendiri." Im Giok menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa pemuda pujaan hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak mengaku seakan-akan sudah takut akan kematian. Pemuda macam ini tidak patut menjadi kekasihnya dan ia merasa kecewa bukan main. Dua titik air mata membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja tidak lekas-lekas ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan. "Jadi kau hendak mengaku semuanya" Hemm, baiklah, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi..." katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang. Hatinya sakit bukan main. Ia bersiap-sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini yang menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang kekasihnya menggigil menghadapi ancaman tombak! "Lie Kian Tek, bebaskan dia!" kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa mempedulikan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 190 sikap Im- Giok. Lie Kian Tek ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia jatuh cinta kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar biasa sehingga baginya baru pertama kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan gadis sejelita ini. Akan tetapi, ia pun perlu sekali memancing keterangan dari mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-huciang. "Lie Kian Tek, kalau kau tidak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar pengakuanku!" kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek. Tiba-tiba Im Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata berapi. "Orang she Gan! Kaukira aku takut mati" Tidak perlu keselamatanku ditebus oleh pengakuanmu! Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?" Sambil berkata demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, menerjang para pengepungnya sehingga para anggauta pasukan itu cepat-cepat minggir. Mereka ini semua merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua pengepung, kecuali Cheng-jiu Tok-ong, merasa kagum dan sayang sekali kalau mereka harus turun tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita. Ketika tadi mereka diharuskan menodongkan mata tombak kepada gadis itu, mereka merasa seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga yang amat cantik dan indah dipandang, bunga yang harum menimbulkan kasih sayang. Sebaliknya, Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia sengaja berlaku begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba menangkapnya dan ia akan mengamuk mati-matian. Memang Im Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang menghadapi Cheng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh lima puluh orang perajuritnya. Akan tetapi untuk melindungi dan membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan nyawanya. Kemendongkolannya terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya dengan jalan Ratu Pemikat 1 Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib Suling Naga 23

Cari Blog Ini