Pendekar Wanita Baju Merah 6
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 6 Adapun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini memiliki sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu. Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya. Biarpun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui bahwa semua orang, namun para pemuda di kota Sian-koan lebih guka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria. Dan kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi daripada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri! Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apabila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlumba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak. Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apalagi karena dalam Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 136 pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya! Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya. Telah dituturkan di bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri dan isterinya, dan hubungannya dengan puteri dan muridnya hanya apabila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri, pelayan banyak, uang ada, segala lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapapun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok. Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jagojago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok maupun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota. Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutah yang indah itu. Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah. Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu. "Ayah telah berkata benar," kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, "indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini." "Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah di seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu," kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian. "Mengapa tidak" Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia." "Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?" tanya Kim Lian. "Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku berduka selalu. Dialah musuh besarku yang harus kubunuh!" kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu. "Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya" Aku suka membantumu, Sumoi, biarpun kepandaianku tidak ada artinya." Im Giok menarik napas panjang. "Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih..." Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak, juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat. Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah keduanya berdiam diri telinga mereka menangkap suara yang mencurigakan, sayup sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda. Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar lebih dulu, karena memang telinganya lebih terlatih. "Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini," katanya. Kim Lian miringkan kepalanya, penuh perhatian. "Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke sana." Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 137 Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlumba, akan tetapi kalau biasanya mereka berlumba sambil tertawa, kini mereka beriumba dengan kening berkerut dan sikap garang. Mereka selain berkepandaian silat tinggi, juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya. Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajarpelajar lemah. Keadaan di situ mengerikan sekali. Semua anggauta rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut. Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di situ terdapat seorang pemuda pelajar yang melawan mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguhpun tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguhpun gerakannya menandakan bahwa ia tidak mengerti ilmu silat, namun agaknya ia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat ia masih dapat melawan dan melindungi diri. Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, maka ia dibuat permainan, sengaja tidak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan. Ada sebagian pula tentara yang mengumpul-ngumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga. "Anjing-anjing hina dina!" Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah melayang turun dari kuda. Bagaikan seekor harimau betina ia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini. Kim Lian menyambut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu. Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadinya mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian. "Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!" Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke sana ke mari lalu sinar merah ini menerjang mereka yang tengah mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok! Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah makin kagum dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya melawan dan lemasiah ia, lalu tertunduk dengan mata bengong. Im Giok dan Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti takkan dapat bangun lagi untuk selamanya! Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak keras, "Kam-ciangkun...! Tolonglah kami..." "Suci, sudahlah jangan mengejar mereka," Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus. Kim Lian tak puas, akan tetapi ia tidak membantah dan menghentikan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 138 pengejarannya. Ketika dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan yang sepuluh terluka. Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang telah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup, tubuhnya penuh darah akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian. Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, Si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyunghuyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan sakit-sakit. "Ji-wi-lihiap sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini..." ia menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, "mereka ini... tak tertolong lagi..." Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali. "Akan tetapi kami dapat menolongmu," kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar. Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi sekarang baru ia melihat dan ia harus mengaku bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik hati. Juga tadi ia telah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara, ia tidak memikirkan keadaan diri sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh. Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih. "Biarpun aku amat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas" Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan malapetaka ini..." Bicara sampai di situ, pemuda itu makin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu telah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan memeluknya! "Suci...!" Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika ia melihat bagaimana sucinya memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga... panas! "Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah..." Kim Lian membela diri sambil tersenyum, kemudian dengan perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah. Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia meminumkan sedikit arak pada pemuda yang masih pingsan itu, kemudian setelah memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa sungkansungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah. Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya ia melihat sumoinya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda! "Sumoi, lihat siapa yang datang itu!" tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri. Im Giok juga mendengar suara derap kaki berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri, tak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang telah siuman dan perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 139 Yang datang adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang berlari mengiringkan dua orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang. Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk, kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi. Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, apalagi melihat, mendengar pun belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tibatiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat! "Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kausambutlah kalau mereka bermaksud buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai," kata Im Giok berbisik. Kim Lian tersenyum mengejek. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, namun ia pernah mendengar cerita im Giok tentang Golok Maut ini dan ia memandang rendah. Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to Si Golok Maut. Adapun kakek yang aneh itu adalah Cheng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu. Dia adalah seorang tokoh barat. Dahulu ketika ia masih muda memang Cheng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, I Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek I Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Cheng-jiu Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya hanya di perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Setelah puluhan tahun ia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua ia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, Giam-ong-to Kam Kin. Semenjak masih mudanya, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia marah sekali. Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya, matanya bersinar dan mulutnya menyeringai. Apalagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tidak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena berada bersama gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata, "Ah, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?" Im Giok melangkah maju dan berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. "Bagus sekali sejak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara" Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?" Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Ia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun telah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun ketika Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biarpun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin. "Kiang Im Giok! Kaukah ini?" "Baru terbuka matamu," kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiokmu sendiri?" Kam Kin membentak. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 140 Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu. "Kam Kin, siapakah Nona ini?" tanya Cheng-jiu Tok-ong dengan suaranya yang seperti burung kakatua. "Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya." Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, "Im Giok, andaikata kau tidak menaruh sungkan kepada susiokmu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap sucouwmu (kakek gurumu)" Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouwmu ini, guru dari Suci Pek Hoa." Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab, "Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini." Kam Kin menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok. "Bocah tak tahu aturan! Tidak saja kau telah membunuh banyak anggauta tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benarbenar telah bosan hidup!" "Monyet bercelana, kau berani menghina sumoiku?" tiba-tiba Kim Lian membentak marah dan ia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. "Mentang-mentang, kau berjuluk "Si Golok Maut", lalu hendak menjual lagak di sini" Tidak laku, monyet!" "Gadis liar kurang ajar!" Kam Kin marah sekali. "Kau yang kurang ajar!" bentak Kim Lian. "Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihat, kutampar mulutmu!" Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak, Kam Kin bingung melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat. "Plak!" tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah. "Anjing betina, kubunuh kau!" bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya. "Kutempiling kepalamu, awas!" Kim Lian berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya. Lagi-lagi terdengar suara "plak!" dan topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu, Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat ia melompat ke belakang menggeleng-geleng kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya. Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang amat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apalagi setelah ilmu silat itu diperbaiki oleh nasihatnasihat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang. Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tidak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main. Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang berbakat sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, maka Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini. Menghadapi rangsakan golok Kam Kin, gadis ini lalu mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang bernama Kong-jiu-sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular, sedangkan jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya. Beberapa kali dalam gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 141 Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia berlaku hatihati, maklum bahwa ia menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai. Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, "Monyet tua, pergilah!" Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan, menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut! Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan secepat itu, berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian tiba-tiba jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran. Kam Kin berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk dan merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya terlepas! Anak buahnya cepat menolong dan menggotong ke pinggir. Kim Lian tertawa-tawa mengejek, "Monyet tua, mana golok mautmu?" "Bocah sombong, pergilah!" Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi dan sebelum ia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot! Kim Lian mengerahkan lwee-kang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru, "Celaka...!" dan tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja, Im Giok tidak cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas! Ternyata bahwa Chen-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadi membetot sekarang ia mendorong. Tidak heran apabila Kim Lian terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong. Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang. "Kakek bangkotan, kau curang!" bentaknya. "Suci, mundurlah." Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya. Kemudian Im Giok menghadapi Cheng-jiu Tok-ong dan berkata tenang, "Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Cheng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang muda sungguh merasa heran sekali mengapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang setelah menjadi komandan membiarkan anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suciku sedang bermain-main di hutan ini dan kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?" "Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi kata-katamu sebagai seorang bocah kau ternyata mempunyai pandangan yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku. Bagaimana kau berani sekali bersikap begini kurang ajar terhadapku" Andaikata kau sekarang juga menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?" "Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 142 karena aku telah diculiknya dari orang tua, oleh karena itu aku pun tak mungkin mengaku kau sebagai sucouw." "Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu telah membunuh banyak anggauta tentara, mereka itu pemberontak-pemberontak yang berbahaya!" tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya. Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya. "Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan sucimu itu menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan," kata Cheng-jiu Tok-ong kepada Im Giok, agaknya segan-segan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda. Betapapaun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi, maka ia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apalagi wanita pula. Im Giok mulai panas hatinya. "Cheng-jiu Tok-ong, kalau kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam Kin, terserah. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!" sambil berkata demikian, Im Giok mencabut pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah. Terdengar Cheng-jiu Tok-ong tertawa geli, "Bocah, kau benar-benar lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kaumainkan untuk melawanku?" "Cheng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!" bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan. Cheng-jiu Tok-ong adalah seorang kakek yang berjuluk Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu memiliki ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apalagi kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan kepada Pek Hoa" Akan tetapi, pada gerakan pertama, Cheng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat ia menggunakan dua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat tidak terduga itu. Kakek ini benar-benar amat heran, karena melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi daripada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya. Jurus-jurus berikutnya membuat Cheng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya. "Ayaaa, kau lihai juga...!" kata kakek itu pada jurus ke sepuluh karena sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong. Ia melompat cepat ke kanan dengan gin-kang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan! "Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil nyawamu yang masih muda," kata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya. "Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh sumoiku!" teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu. Timbul marah dalam hati Cheng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu. "Akan kubunuh dulu sumoimu ini, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!" makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 143 menyerang Im Giok dengan goloknya. Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar. Celaka, pikirnya, golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat. Ia mencoba menetapkan hatinya dan membalas dengah serangan hebat. Memang terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Cheng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah. Sebaliknya lawannya makin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya tercium bau busuk yang mengandung racun! Biarpun keadaannya makin berbahaya Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa penasaran. Memang tidak mengherankan, kalau gadis ini penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lwee-kangnya dapat mengimbangi tenaga kakek itu. Dalam hal gin-kang dan kecepatan gerakan tubuh, ia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, ia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu makin memusingkan kepalanya. Tiba-tiba terdengar teriakan keras, "Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja aku yang tidak berharga, jangan kauganggu kedua Li-hiap yang budiman itu...!" Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, kini tiba-tiba menjadi nekat melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan. Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang kelihatannya seperti iblis" Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak menyerbu dan menyerang Cheng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu roboh terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya. "Kakek siluman jangan banyak lagak...!" bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni sebuah di antara senjatasenjata para serdadu yang bergeletak di situ. "Suci, hati-hati...!" Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri. Mengapa suaranya hampir habis" Ia tidak tahu bahwa ia telah terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya. Mendengar suara yang aneh dan perlahan sekali dari Im Giok, Kim Lian kaget dan mengerling ke arah sumoinya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Cheng-jiu Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian. Biarpun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya. Kim Lian mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis. Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga ia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya. Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali ia menggulingkan tubuhnya dan bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah yang pada bergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, telah merah menghitam. "Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau hati-hatilah..." Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah cara satu-satunya yang ia pelajari dari suhunya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh. Melihat dan mendengar keadaan sucinya, Im Giok makin bingung dan gugup. Baiknya ilmu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 144 pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biarpun kini hampir tak berani bernapas dan pandang matanya sudah berkunang-kunang, namun pedangnya secara otomatis masih dapat melindungi tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang-kadang masih dapat membalas dengan serangan yang bukan tak berbahaya bagi Cheng-jiu Tok-ong. "Lihai sekali... mengagumkan...!" Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Malu tokoh ini untuk mempergunakan seluruh kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah. Setelah Im Giok terdesak betul-betul tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Chengjiu Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?" Tiba-tiba tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena ia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan. Ketika membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang bukan main, meletakkan pedang di atas tanah, lalu bersila meramkan mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi telah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Cheng-jiu Tok-ong! Sementara itu, Cheng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian ia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya. Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan dipinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya. Cheng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw. Karena ia sendiri sudah lama meninggalkan kang-ouw, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan berkata membela diri, "Kau siapakah, sobat" Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengaku-aku dia sebagai cucu muridmu?" Orang itu tersenyum tenang, "Raja Racun, pengakuanmu tadi dua kali salah. Kau mengaku gadis ini sebagai cucu muridmu karena kauanggap dia murid Pek Hoa Pouwsat" Kau mimpi, Cheng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andaikata benar dia pernah rnenjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tidak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat kiranya sudah jauh melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau bahkan makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, membela orang-orang sesat dan begitu keluar kau sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat...!" Cheng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapapun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau tokoh-tokoh lainnya ia tidak takuti! Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang vang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras, "Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!" Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi! Akan tetapi Cheng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su. Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 145 "Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!" kata Bu Pun Su sambil menyampok dengan tangannya. Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Cheng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, ia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su! Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata, "Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!" Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya bergerak. Tangan kiri menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apalagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak terlihat oteh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan menotok ke arah iga lawannya. Cheng-jiu Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai seorang tokoh persilatan yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, tahulah ia bahwa jalan darahnya telah terkena totokan lawan dan ia telah mendapat luka di dalam biarpun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa ia menemui guru dalam ilmu silat! Tanpa banyak cing-cong lagi Cheng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, lalu berlari, terpincang-pincang menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia harus berlari terpincang-pincang. Terdengar suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis yang masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa cekikikan, telunjuk menunjuk ke arah Cheng-jiu Tok-ong yang lari terpincang-pincang. "Monyet bangkotan itu lucu sekali larinya...!" kata Kim Lian, gadis itu yang tadi membuka matanya menyaksikan pertandingan hebat antara Cheng-jiu Tok-ong dan Bu Pun Su. Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang terhitung masih susiok-couwnya sendiri. Tadinya melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu Pun Su ia pun merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su itu orangnya tentu amat dahsyat dan menyeramkan. Akan tetapi siapa nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya hanya sedemikian saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa takutnya dan gadis ini saking girangnya melihat Chengjiu Tok-ong kalah, lalu tertawa-tawa. "He, kau! Tahan lidahmu yang jahat!" Bu Pun Su menegur marah. "Suciok-couw, kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tidak boleh bergirang?" Kim Lian membantah. Ia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan tenang, membayangkan watak yang sabar sekali, maka ia tidak takut. "Suci, jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!" Tiba-tiba Im Giok menegur sucinya, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata, "Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian." Bu Pun Su mengangguk-angguk dan diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula sambil matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis. "Hm, bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?" katanya di dalam hati. Kemudian katanya dengan suara rendah, "Hm, ini sucimu" Jadi ayahmu mempunyai murid" Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka di pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah) dari Tok-ong, siapa terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik merah akhirnya menjadi bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat masih menertawakan orang lain, sungguh tak tahu diri..." Alangkah kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini. "Susiok-couw, tolonglah teecu..." ratapnya sambil membentur-benturkan jidat di atas tanah. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 146 "Aku hanya akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu..." Kim Lian menjerit dan menangis sedih. "Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah tak usah diobati, biar teecu mati daripada harus menderita, bopeng seluruh tubuh... alangkah ngerinya..." "Hanya kalau mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah," kata Bu Pun Su yang dengan suara dingin. "Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh memalukan aku yang menjadi susiok-couw!" Kini baru tahulah Kim Lian mengapa Im Giok dan Kiang Liat takut terhadap Bu Pun Su. Tidak tahunya pendekar ini mempunyai hati yang keras dan suka sekali menghukum anak muridnya. Ketika ia mengangkat muka, hatinya berdebar ketakutan melihat sinar mata Bu Pun Su yang demikian tajamnya menembus dada memeriksa isi hati. Benar-benar manusia aneh. Kim Lian bergidik. Belum pernah ia melihat sinar mata yang begitu berpengaruh! Im Giok berkata kepada Bu Pun Su dengan suara memohon, "Susiok-couw, Suci memang bersalah. Mohon Susiok-couw sudi memberi ampun. Susiok-couw, seorang gadis yang diandalkan hanyalah kebersihan muka dan hati, biarpun hati bersih kalau muka kotor dan bopeng, bukankah itu berarti hancurnya hidup seorang gadis" Oleh karena itu, mohon Susiok-couw menaruh belas kasihan dan sudi mengobatinya." "Lebih baik muka bopeng asal hati bersih, daripada muka cantik hatinya kotor!" kata pula Bu Pun Su, suaranya kini menggeledek, membuat Kim Lian gemetar sambil mendekam di atas tanah. Im Giok tak berani banyak cakap lagi, hanya melirik ke arah sucinya dengan hati kasihan. Bu Pun Su melihat semua ini, akan tetapi belum sempat ia berkata, pemuda sastrawan yang semenjak tadi sudah sadar dari totokan ringan dan kini menjatuhkan diri berlutut pula, berkata, "Boanseng Gan Tiauw Ki mohon kepada Lo-enghiong, sudilah menaruh kasihan dan mengobati Li-hiap yang terkena racun. Li-hiap telah melakukan perbuatan gagah berani, kasihanilah kalau sampai menderita hidupnya. Kalau bisa, biarlah boanseng mengoper racun itu dan biar boanseng menjadi cacat untuk membalas budinya." Mendengar permintaan pemuda sastrawan yang bersedia menggantikan hukuman yang menimpa diri Song Kim Lian, Bu Pun Su mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada pemuda itu. Akan tetapi, Gan Tiauw Ki menentang pandang mata ini dengan tabah dan tidak takut-takut, karena memang pemuda ini rela untuk membalas budi Kim Lian. "Hm, kau tidak mengecewakan menjadi seorang terpelajar," kata Bu Pun Su, pandang matanya melunak. "Baikiah, setelah dua orang memintakan ampun, biar aku sembuhkan dia. Kau maju ke sini!" katanya kepada Kim Lian yang maju dengan sikap takut-takut. Bu Pun Su menggerakkan kedua tangan ke arah pundak dan lengan Kim Lian yang tadi terkena pukulan Cheng-jiu Tok-ong. Terlihat uap putih mengepul dan bergerak menyambar ke arah dua bagian tubuhnya, terutama sekali di bagian yang terluka oleh racun, rasa panas hampir tak dapat ditahannya sampai mukanya menjadi merah sekali dan berpeluh. Bu Pun Su menarik kembali kedua tangannya. "Sudah sembuh, sudah sembuh..." katanya perlahan. Kim Lian berlutut menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Bu Pun Su mengeluarkan kata-kata ancaman, "Sebagai murid Kiang Liat, kau telah mewarisi kepandaian yang dasarnya datang dari aku. Oleh karena itu, hati-hatilah kau menjaga gerak-gerik dan perbuatanmu. Aku sendiri yang akan menghukum anak murid yang menyeleweng!" Kemudian Bu Pun Su menoleh kepada Gan Tiauw Ki dan bertanya secara tiba-tiba. "Bukankah surat kaisar untuk Suma-huciang berada di tanganmu?" Tiauw Ki sebetulnya kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini tidak kelihatan berubah air mukanya, bahkan dengan tabah ia menatap wajah Bu Pun Su. "Kepada Lo-enghiong yang menjadi susiok-couw dari kedua orang Li-hiap ini, boanseng Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 147 tentu saja tidak berani membohong. Akan tetapi, mengenai pertanyaan tadi, harap maafkan, boanseng tidak dapat menjawab." Kim Lian mengangkat muka, memandang dengan kening berkerut. Alangkah kurang ajarnya pemuda itu, pikirnya marah. Kalau saja ia tidak takut kepada Bu Pun Su, tentu ia telah beri hajaran kepada pemuda itu. Juga Im Giok mengerling ke arah Tiauw Ki dengan pandang mata heran. Akan tetapi, anehnya, Bu Pun Su sendiri tidak menjadi marah, bahkan sebaliknya pendekar sakti ini mengangguk-angguk dengan muka puas. "Bagus, bagus! Tidak percuma kau menjadi orang kepercayaan Kaisar, Gan-sicu! Tak usah kau takut-takut dan curiga, kau boleh ketahui bahwa mendiang Menteri Lu Pin adalah kakekku." Mendengar ini, Gan Tiauw Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su. "Mohon Lo-enghiong sudi memaafkan boanseng yang kurang ajar. Memang sesungguhnya boanseng yang menerima tugas itu dan boanseng benar-benar kagum sekali melihat Loenghiong yang demikian waspada. Selanjutnya boanseng yang bodoh hanya mengharapkan petunjuk dari Lo-enghiong." "Sebetulnya, mana aku tahu tentang urusan ini" Hanya secara kebetulan saja aku mendengar bahwa Kaisar telah mengirim utusan untuk menghubungi Sumahuciang di Tiang-hai. Di antara mereka yang terbunuh oleh tentara Gubernur Lie Kong, hanya kau yang kelihatan paling cerdik dan mempunyai pribadi. Kebetulan pula kau seorang yang selamat, maka aku menduga tentu kau yang menjadi utusan itu." "Jadi mereka yang menyerang tadi adalah pasukan dari Gubernur Lie Kong?" tanya pemuda itu dengan muka kaget. "Apa kaukira Lie Kong demikian bodoh sehingga tidak tahu akan gerak-gerik Kaisar?" Bu Pun Su tertawa, "Bocah she Gan, hanya satu yang belum kaupunyai, yakni pengalaman. Kau tentu tidak pernah menyangka bahwa di antara orang-orang yang kelihatan setia kepada Kaisar, yang setiap hari dekat dengan Kaisar di istana, terdapat kaki tangan pemberontak!" Kini Gan Tiauw Ki benar-benar terkejut dan mukanya berubah. "Kalau begitu, tugas boanseng masih belum terlepas dari bahaya. Boanseng sendiri tidak takut akan bahaya yang dapat menimpa diri boanseng, akan tetapi surat... boanseng mohon petunjuk dari Loenghiong..." "Kau harus dikawal sampai Tianghai. Im Giok, sekarang tiba saatnya kau mempergunakan kepandaian yang selama ini kaupelajari guna kebaikan. Tugas yang dipegang oleh Gan-siucai bukan kecil dan kaulah yang kutugaskan mengawalnya sampai ke Tiang-hai. Aku sendiri yang akan memberitahukan hal ini kepada ayahmu. Nah, berangkatlah kalian berdua!" Kiang Im Giok memang takut dan tunduk kepada susiok-couw ini dan pula... tak dapat disangkal lagi bahwa, hatinya berdebar girang tercampur jengah menerima tugas ini. Ia sejak tadi sudah amat tertarik kepada pemuda yang tampan ini, dan sekarang, ia ditugaskan untuk mengawalnya ke Tiang-hai, berarti ia akan melakukan perjalanan sedikitnya tiga hari bersama pemuda itu! "Teecu mentaati perintah Susiok-couw," katanya sambil menundukkan mukanya. "Berangkatlah dan ingat, kalau sampai pemuda ini terbunuh orang, itu masih belum hebat, akan tetapi jagalah baik-baik agar surat yang berada di saku baju dalamnya jangan sampai dicuri orang!" Im Giok menyatakan baik, lalu menghampiri kudanya. "Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-siucai." Kim Lian tersenyum akan tetapi tidak berani mengeluarkan kata-kata sembrono dihadapan Bu Pun Su, maka ia hanya berkata, "Baiklah, Sumoi, memang Gan-siucai habis terluka dan lemah, harus melanjutkan perjalanan naik kuda." Gan Tiauw Ki buru-buru berkata, "Tidak usah, Li-hiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai kuda Li-hiap" Habis Li-Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 148 hiap sendiri mau naik apa" Tak usahlah, biar aku berjalan kaki saja..." Tentu saja Tiauw Ki merasa sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena biarpun gadis itu seorang pendekar gagah, namun tetap saja Kim Lian adalah seorang wanita. Mana patut seorang laki-laki mengambil kuda seorang gadis dan membiarkan gadis itu berjalan kaki" Bu Pun Su yang melihat semua ini berkata, "Gan-siucai, tak usah sungkan-sungkan dalam saat seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!" Mendengar ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu kepada Kim Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biarpun gerakannya lemah, namun dapat dilihat bahwa dia sudah biasa menunggang kuda. Hal ini melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda, bisa repot juga di jalan! Setelah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu berangkat bersama Tiauw Ki. Di dalam perjalanan ini, Tiauw Ki secara secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai berikut. Semenjak pemberontakan dan perusuh An Lu Shan, She Su Beng dan yang lain-lain dihancurkan dan ibu kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang, keadaan di seluruh negeri sudah tidak seperti biasa lagi. Kembalinya pasukan-pasukan Tang merebut kota raja bukanlah atas kekuatan sendiri, melainkan mendapat bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari utara dan barat, terutama sekali mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan gagah berani. Setelah pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di Tiongkok dan tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda dan kekuasaan. Negara menjadi kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di sana-sini para pembesar hidup seperti raja kecil. Banyak gubernur dari propinsipropinsi yang berjauhan dari kota raja, mulai tidak taat lagi kepada Kaisar. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bahkan lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan seringkali harus menurut apa yang diusulkan oleh para gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi akan tetapi lebih mendekati perintah! Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka dan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang memiliki pasukanpasukan kuat. Betapapun juga, sampai sebegitu jauh belum ada pembesar yang berani secara terang-terangan menentang Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini bukan karena memandang kepada Kaisar, melainkan kepada Kerajaan Tang sendiri. Para pembesar dan juga rakyat memang setia kepada pemerintah Tang dan apapun juga yang menjadi alasan, mereka ini tidak akan membiarkan orang memberontak terhadap pemerintah Tang. Oleh karena itu, Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia untuk dapat berjaga-jaga terhadap pemberontak yang mungkin timbul. Gan Tiauw Ki adalah seorang siucai yang baru saja lulus dalam ujian di kota raja. Dia adalah putera seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi Hok-kian. Semenjak kecilnya ia memang amat rajin belajar. Waktunya sejak kecil sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno dan akhirnya dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki berangkat ke kota raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun. Selain pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan cinta negara yang besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia mendapat angka tertinggi sehingga pembesar tua yang menjadi ko-khoa (kepala examinator) kagum sekali. Kemudian setelah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat sehingga pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan kepada ko-khoa ini supaya mencarikan seorang kepercayaan yang setia, bersemangat, dan pandai. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 149 Demikianiah, setelah diuji dengan pertanyaan-pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi hatinya, Gan Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi pembesar-pembesar dan gubernur-gubernur di daerah lain yang masih setia kepada Kaisar. Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk menghubungi gubernur-gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya. Kali ini, Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma Huciang, seorang berpangkat huciang di kota Tiang-hai. Dalam perjalanan ini, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama, para pengungsi lain, telah dicegat dan hampir saja menjadi korban keganasan tentara pemberontak yakni tentara di bawah perintah gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar, dan pasukan ini dipimpin oleh Giam-ong-to Kam Kin yang dibantu oleh suhunya, yakni Cheng-jiu Tok-ong. Demikianlah penuturan Gan Tiauw Ki kepada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tianghai. Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di lain pihak, Tiauw Ki juga kagum dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga biarpun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perasaan hati mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran rasa hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan, namun mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing! *** Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita menengok keadaan Giok-gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara keren, "Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepat kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke mana-mana!" Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biarpun ia hanya murid Kiang Liat, namun biasanya ia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi ia dapat berbuat apakah" Bahkan untuk menjawab saja dia tidak sempat karena tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ! Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri, "Hebat sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja." Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman ketika kakek itu memandangnya. Sinar mata itu demikian berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat ia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli silat biasa. Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguhpun harus ia akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan ia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu sumoinya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok. Kali ini Kim Lian benar-benar terheran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couwnya. Biarpun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su telah berada di situ, bercakapcakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah menegurnya, "Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po yang kaulakukan tadi, jauh dari sempurna!" Kim Lian kaget. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 150 Memang benar tadi ia mempergunakan ilmu lari Yan-cu-huipo ajaran suhunya. Melihat suhunya juga bersikap amat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-couw." Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata, "Ketahuilah, gurumu ini menerima Yan-cu-hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang tinggi sekali tingkatnya di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah menjadi cucu muridku, karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid keponakanku. Jadi selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang ditambah pula warisan dari aku dan suteku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kaukuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat." "Teecu akan memperhatikan segala petunjuk Susiok-couw," jawab Kim Lian dengan suara perlahan. "Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu." Kim Lian mengundurkan diri. Hatinya ingin sekall mengetahui apakah gerangan yang hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, susiok-couwnya tentu akan mengetahui kalau diintai orang. Maka Kim Lian tidak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok. "Dia untung," pikirnya, "melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu menyenangkan sekali..." Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya ia tertidur! "Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh diharapkan," kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. "Juga muridmu ini bakatnya bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya." Sebetulnya, Kiang Liat tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan isterinya yang sampai sekarang seringkali terbayang dan seperti hidup di depan matanya. Sudah sejak lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tidak mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab, "Baikiah Supek. Akan teecu perhatikan." Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini memiliki penglihatan dan pendengaran yang luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat. "Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tidak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tak dapat kautemukan di dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, sakit di hati makin Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 151 parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri." Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar jangan sampai matanya yang mulai panas itu mengeluarkan air. "Teecu telah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa sedih selalu" Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa." Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biarpun Kiang Liat sudah tahu bahwa supeknya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan" "Ha, ha, ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus" Akan tetapi banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apalagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, mengapa memilih cara rendah" Mati ngenes adalah mati yang hina. Kau sudah mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah" Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?" "Teecu tidak ada semangat, tidak ada nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im Giok dan Kim Lian." "Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?" Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di hati Kiang Liat yang sudah hampir kering. "Tugas apakah, Supek" Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek." "Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik." Bu Pun Su lalu menceritakan tentang keadaan negara. Betapa banyak gubernur membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing yakni suku bangsasuku bangsa yang dahulu membanntu pemerintah mengusir pemberontakan An Lu Shan sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar. Di manamana timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para pembesar saling bermusuhan karena ada yang pro ada yang kontra pemerintah. Demikian pula orangorang gagah di dunia kang-ouw menjadi goncang kedudukannya. Mereka terpecah belah dan terpengaruh oleh gubernur-gubernur atau pemimpin-pemimpin pemberontak di daerah masing-masing. Bu Pun Su adalah keturunan keluarga Lu yang semenjak dahulu terkenal sebagai patriot-patriot sejati dan pembesar-pembesar setia kepada negara. Biarpun Bu Pun Su hanyalah putera angkat dari Menteri Lu Pin (baca Pendekar Sakti), namun kiranya semangat dan jiwa kepahlawanan mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga kakek sakti ini tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut. "Demikianlah, Kiang Liat," katanya sambil menghela napas. "Negara kalut, perang saudara mengancam, perpecahan antara orang-orang gagah berada di ambang pintu. Kalau sampai semua ini meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat jelata. Negara kalut, keamanan tidak terjamin, orang-orang jahat muncul merajalela mengacau kehidupan rakyat kecil. Kalau timbul perang, rakyat pula yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apalagi kalau dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di antara orang-orang gagah, benar-benar menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan orang-orang kangouw di puncak Bukit Kauw-san. Hendak kuajak mereka ini membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan pernah ada habisnya, melihat betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau dan gurumu Han Le yang kiranya akan dapat membantuku." Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 152 "Bagaimana teecu dapat membantu Supek?" tanya Kiang Liat. "Ancaman yang paling hebat bagi negara adalah bahaya yang datang dari utara dan barat. Oleh karena itu, untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokohtokoh Kun-lun-pai dan Thian-san di barat, juga tokoh-tokoh Gobi-san di utara. Kau wakililah aku pergi ke Go-bi-pai di utara dan berikan suratku kepada Twi Mo Siansu Ketua Go-bi-pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi kepada Thian It Cinjin di Thian-san dan aku pergi ke Kun-lun-pai menemui Keng Thian Siansu." Kiang Liat menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar kampungnya. Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-bi-pai Bu Pun Su minta kepada Kiang Liat supaya segera berangkat. "Kau tak usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke Tiang-hai. Kalau dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita harus bekerja cepat." Maka berangkatlah Kiang Liat, menuju ke utara, ke Go-bi-san yang jauh. Adapun Bu Pun Su setelah meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pek-le-tho mencari Han Le. *** Dengan menggunakan kepandaian yang tinggi, beberapa pekan kemudian Bu Pun Su telah tiba di pesisir Pulau Pek-letho. Alangkah kagetnya ketika ia mendaratkan perahu, ia melihat jenazah tiga orang menggeletak di pinggir laut. Dan lebihlebih terkejut hatinya ketika ia mengenal jenazah-jenazah itu, yakni Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan ketiga Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai! Agaknya belum lama mereka ini tewas, paling lama dua hari. "Omitohud...!" Bu Pun Su berseru kaget dan cepat ia memeriksa. "Celaka...!" serunya sambil melompat mundur ketika ia mendapat kenyataan bahwa ketiga orang ini semua mempunyai bekas pukulan ilmu Pek-in Hoat-sut! Ia tahu bahwa di dunia ini yang memiliki ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut hanya dia sendiri, sedangkan Han Le juga dapat, akan tetapi hanya beberapa bagian setelah mempelajari gambar-gambar di dalam guha. Ia terkejut sekali karena tahu bahwa tiga orang ini telah bertempur dan terluka oleh Han Le. Terang bahwa mereka ini dirobohkan oleh Han Le, sungguhpun mereka tewas bukan karena pukulan itu, melainkan karena tikaman pedang yang tepat menembus ulu hati mereka. "Tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim dimusuhi oleh Han Le" Apa artinya ini?" Bu Pun Su menjadi cemas memikirkan sutenya, maka cepat ia berlari ke tengah pulau mencari Han Le. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Han Le tidak berada di dalam gua. Bu Pun Su mencari terus dan akhirnya ia melihat pemandangan yang membuat wajahnya menjadi pucat, hampir saja ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri sehingga Bu Pun Su berdiri terpaku, memandang ke arah dua orang yang duduk di bawah pohon. Apa yang dilihatnya" Han Le sedang rebah telentang di atas rumput, kepalanya terletak di atas pangkuan seorang wanita yang cantik jelita yang dikenalnya sebagai Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat! Sambil menundukkan muka dan membisikkan kata-kata rayuan, Pek Hoa membelai-belai rambut kepala Han Le yang setengah tertidur. Melihat ini, timbul amarah di dalam hati Bu Pun Su. Juga berbareng terbayanglah di depan matanya peristiwa dahulu ketika ia terjerumus ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Juga dia pernah tergila-gila dan roboh oleh kecantikan wanita, pernah menurutkan nafsu hati dan lupa diri, melakukan hal yang amat rendah memalukan. Akan tetapi, dengan Wi Wi Toanio ia hanya melakukan kebodohan, bukan kejahatan. Ia tidak membunuh siapa-siapa, sedangkan Han Le, tak salah lagi, tentu Pek Hoa siluman wanita yang cantik itu telah membujuk Han Le untuk merobohkan tokohtokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun! "Han-sute...!" Bentakan yang menggeledek ini mengejutkan Han Le dan Pek Hoa. Mereka cepat melompat berdiri dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. Pek Hoa Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 153 agak pucat akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum, sedangkan Han Le merah sekali mukanya, merah sampai ke telinganya. "Sute, kesesatan apa yang kaulakukan ini?" Han Le mengangkat muka, tak kuat menatap pandang mata Bu Pun Su dan menundukkan kepalanya lagi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa perlahan, suara ketawa yang merdu dan sedap didengar, kemudian Pek Hoa yang tertawa itu melangkah maju menghadapi Bu Pun Su. "Bu Pun Su, kebetulan sekali kau datang. Mengapa kau tidak mau membawa Wi Wi Toanio ke sini agar kita dua pasang manusia berbahagia mencari kesenangan hidup di pulau ini?" "Apa katamu?" Bu Pun Su membentak dan mukanya berubah pucat. Pek Hoa Pouwsat tersenyum, manis sekali sehingga Bu Pun Su diam-diam merasa heran sekali. Kalau diingat, perempuan ini usianya sudah tidak muda lagi, sedikitnya lima puluh tahun. Akan tetapi mengapa cantik jelita seperti gadis berusia dua puluh lebih" "Bu Pun Su, kau seorang laki-laki, demikian pula Han-ko seorang jantan. Kau bisa jatuh cinta, mengapa Han-ko tidak boleh" Kau pernah tergila-gila kepada Wi Wi Toanio isteri orang lain, mengapa Han-ko tidak boleh jatuh hati kepada aku, seorang yang masih bebas belum bersuami" Kau benar-benar aneh dan di manakah keadilanmu, Bu Pun Su?" Pendekar sakti itu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir. Tak disangkanya bahwa siluman wanita ini sudah mengetahui rahasianya, dan tahulah ia bahwa tentu Wi Wi Toanio yang membuka rahasia ini di depan Pek Hoa. Teguran wanita ini memang tepat dan ia tidak dapat menjawab! Akhirnya Bu Pun Su berpaling kepada Han Le dan berkata dengan suara dingin, "Han Le, mengapa kau membunuh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lunPai?" Suara Bu Pun Su mengandung ancaman dan amarah besar, membuat Han Le menjadi pucat dan nampak ia takut sekali, "Suheng, siauwte... siauwte tidak membunuh mereka..." "Jangan memutar lidah sesukamu. Han Le. Setidaknya kau yang telah merobohkan mereka!" Bu Pun Su mendesak dan Han Le tak dapat menjawab. Melihat kekasihnya didesak, Pek Hoa menjawab, "Memang benar, Han-ko yang merobohkan mereka. Akan tetapi akulah yang membunuh mereka. Mereka adalah musuhmusuh besarku dan mereka datang untuk membunuhku, maka Han-ko melindungi dan mengalahkan mereka. Apa salahnya dalam hal ini" Tidak tepatkah orang melindungi kekasihnya yang terancam oleh orang lain" Bu Pun Su, kau mau apakah" Han-ko dan aku hidup bahagia di sini, sebagai suami isteri yang saling mencinta. Apakah kau merasa iri hati" Apakah kau merasa iri melihat Han-ko hidup bahagia sedangkan kau tidak" Kalau kau merasa iri, carilah sendiri seorang kekasih dan bawa ke sini, bukankah itu baik sekali daripada kau datang dan marah-marah seperti ini?" "Siluman keparat, tutup mulutmu!" Bu Pun Su membentak dan amarahnya meluap. Belum pernah Bu Pun Su semarah itu. Selama ini ia telah dapat menguasai seluruh dirinya lahir batin, akan tetapi sekarang menghadapi kebodohan Han Le yang dipermainkan oleh siluman wanita ini, ia benar-benar lupa diri. Bu Pun Su maklum siapa adanya Pek Hoa Pouwsat dan orang macam apa wanita ini. Jauh lebih cabul dan lebih jahat daripada Wi Wi Toanio, jauh lebih berbahaya. Dan ia tahu pula bahwa Han Le adalah seorang laki-laki teguh iman, seorang laki-laki yang hampir "jadi" karena semenjak muda tidak mau mendekati wanita. Celakanya, sekarang Han Le tergoda dan tergelincir, tidak kuat menghadapi bujuk dan cumbu rayu dari Pek Hoa, siluman wanita yang cantik sekali dan genit. Dan ia tahu pula bahwa hal ini harus dicegah, kalau tidak akan mendatangkan bahaya besar. Han Le berkepandaian tinggi, kalau sudah tercengkeram oleh orang perempuan seperti Pek Hoa, kelak dapat dibujuk untuk membunuh siapa saja yang dibenci oleh Pek Hoa! "Bu Pun Su, kau mau apakah?" Pek Hoa menantang sambil membusungkan dadanya yang montok. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 154 "Kau harus pergi tinggalkan pulauku ini, lekas!" "Kau mengusir kami?" tanya Pek Hoa sambil menggandeng tangan Han Le dan menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu. "Aku mengusir kau, perempuan jahat! Lekas pergi dari sini kalau kau tidak ingin melihat aku melemparkanmu ke dalam laut! Han Le tidak boleh ikut!" Pek Hoa menyandarkan kepala makin dekat dan berbisik di dekat telinga Han Le, "Kau dengar itu kekasihku" Sudah sejak dulu aku bilang bahwa suhengmu ini jahat sekali, akan tetapi kau tidak percaya. Aku bilang bahwa sebetulnya dia tergilagila dan suka padaku dan ia menjadi benci padaku karena cintanya kutolak, dan kau tidak percaya lagi. Sekarang kau melihat sendiri, bukan" Dia iri hati padamu, iri hati dan cemburu, kau tahu" Dia ingin melihat aku mati daripada jatuh ke dalam tangan orang lain, ingin melihat aku mati dan kau menderita. Kekasihku, ayah anakku, apakah kau akan tinggal diam saja melihat isterimu yang mencintamu dengan seluruh tubuh dan nyawa?" Suaranya makin merayu dan dua titik air mata meloncat keluar dari mata Han Le. "Pek Hoa, dia... dia suhengku... tak dapat aku melawan Suheng..." bisiknya. Pek Hoa menarik dirinya dengan sentakan, sepasang matanya bersinar-sinar, nampaknya marah. "Aha, jadi kau lebih berat kehilangan suheng daripada kehilangan isteri?" "Bukan begitu, Pek Hoa... aku... aku tidak berani..." "Hm, jadi kau takut" Baiklah, Han-ko. Kalau kau takut membantuku, biar aku sendiri mengadu nyawa dengan Bu Pun Su!" Kemudian Pek Hoa melompat maju dan sudah mencabut siang-kiamnya (sepasang pedangnya). "Bu Pun Su, kau benar-benar menghinaku. Kau hendak melemparkan aku ke dalam laut" Boleh kaucoba, laki-laki gagah perkasa tukang menghina wanita!" Menghadapi Pek Hoa yang berdiri dengan sepasang pedang di tangan dan sikapnya gagah sekali itu, yang menantangnya dengan kulit muka kemerahan menambah kecantikannya, Bu Pun Su menjadi serba salah. Ia tahu sedalam-dalamnya betapa jahatnya perempuan ini, betapa palsu hatinya dan betapa berbahayanya. Kalau dibandingkan dengan mendiang Thian-te Sam-kauwcu guru dari Pek Hoa, kiranya perempuan ini lebih berbahaya. Akan tetapi melemparkan dia begitu saja ke laut" Kiranya takkan mampu ia lakukan. "Pek Hoa, kuharap kau suka pergi dari sini dengan baik-baik dan tidak melawan. Aku sungguh malu harus melawan wanita." Pek Hoa sudah mendengar dari Han Le bahwa Bu Pun Su tak pernah menyerang orang sebelum diserang oleh karena inilah maka tadi ia menahan sabar dan menanti supaya Bu Pun Su menyerang dulu. Sekarang ia sengaja hendak memanaskan hati Bu Pun Su. "Pengecut! Laki-laki pengecut, kau sebetulnya suka kepadaku, bukan" Maka tidak mau menyerangku. Kau hanya iri hati dan cemburu. Eh, Bu Pun Su, kalau sekarang aku menyatakan bahwa aku suka ikut padamu, dan meninggalkan Han-ko, tentu kau tidak marah lagi, bukan" Akan tetapi aku tidak sudi! Dengar, aku tidak sudi, aku tidak suka padamu, aku benci padamu. Muak perutku melihat mukamu, tahu kau?" Bu Pun Su tersenyum. Ia tidak mendapat julukan Pendekar Sakti kalau ia tidak tahu akan siasat ini. Dan ia bukan seorang yang gemblengan kalau ia tidak tahan menghadapi serangan batin ini. Tadi untuk sebentar ia menurutkan nafsu amarah karena kecewa melihat kegagalan Han Le menghadapi rayuan wanita. Sekarang ia sudah dapat menguasai diri lagi dan menghadapi siasat lain dari Pek Hoa, ia tenang-tenang dan tersenyum saja. "Pek Hoa, bagaimana kau bisa bilang aku tergila-gila kepadamu" Hanya laki-laki yang berhati lemah saja yang dapat jatuh cinta kepada seorang perempuan cabul seperti engkau. Kau menggoda aku tidak berhasil, menggoda Kiang Liat dapat kugagalkan, menggoda tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw kau sudah tidak laku karena mereka semua sudah tahu bahwa kau ini seorang siluman yang lebih jahat daripada Tat Ki (siluman wanita dalam dongeng Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 155 Hong Sin Pong). Maka sekarang kau sengaja menggoda Han-sute. Akan tetapi ini pun hanya untuk sementara, karena tak lama lagi Sute tentu akan insyaf dan tahu bahwa wanita yang dipuja-pujanya itu bukan lain adalah seekor siluman betina..." "Jahanam lihat pedang!" Dua sinar kemilau dari pedang Pek Hoa menyambar dalam serangan yang dahsyat. Ternyata, ia kalah dalam adu urat-syaraf, karena Bu Pun Su tadi membuatnya marah sekali. Bu Pun Su tersenyum, akan tetapi dia tidak berlaku lambat atau sembrono karena ia tahu betul akan kelihaian ilmu pedang wanita ini. Cepat ia mengelak dan di lain saat keduanya sudah bertempur hebat. Mula-mula Pek Hoa mengeluarkan ilmu pedangnya berdasarkan kecepatan dan serangan-serangannya semua ditujukan untuk menewaskan lawan. Akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia ketemu gurunya. Dengan tenang saja Bu Pun Su menghindarkan diri dari setiap serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengakhiri pertempuran itu. Sebentar saja Pek Hoa terdesak hebat oleh kakek sakti itu dan tiba-tiba ia tertawa merdu dan ilmu silatnya berubah. "Ayaaa...!" Bu Pun Su berseru kaget sekali ketika ia menyaksikan ilmu pedang ini. Pek Hoa telah mainkan ilmu pedangnya yang hebat, ilmu pedang Bi-jin-khay-i. Ilmu silat yang mengandung daya sihir ini dapat melumpuhkan setiap orang lawan laki-laki, membuat lawan itu seperti terkena hikmat. Gerakan ilmu silat ini mengandung sifat cabul dan genit, menarik hati laki-laki dan meruntuhkan semangat perlawanannya. Tak heran apabila Bu Pun Su menjadi kaget sekali karena pendekar ini pun merasa dan terpengaruh oleh hawa mujijat yang terkandung dalam gerakan ilmu silat yang dimainkan oleh Pek Hoa. Pek Hoa gembira melihat hasil ilmunya dan ia memperindah gerakannya untuk merobohkan atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele. Ia bukan menghadapi manusia sembarangan melainkan seorang manusia gemblengan lahir batin. Bu Pun Su sadar bahwa ia menghadapi ilmu mujijat, maka ia lalu meramkan mata dan menandingi serangan-serangan lawan hanya mengandalkan ketajaman pendengaran saja. Dengan cara meramkan mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan tidak terpikat. Disamping itu, kini ia mainkan ilmu silatnya yang ampuh, Pek-inhoat-sut. Begitu Bu Pun Su mengerahkan sin-kang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya mengebul uap putih yang makin lama makin tebal sampai akhirnya seluruh tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun, mengepul uap putih yang menolak semua hawa pukulan dan hawa mujijat dari ilmu pedang lawannya. Setelah merasa diri kuat terlindung oleh Pek-in-hoat-sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mendesak lawan. Pek Hoa mengeluh. Harapan untuk berhasil kini buyar pula, bahkan sebaliknya ia terancam hebat oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya memutar-mutar pedang sambil main mundur. Akhirnya ia mengeluh, "Han-ko, apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?" Sebetulnya semenjak tadi Han Le sudah menonton petempuran itu dengan hati kebatkebit tidak keruan. Ia merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa sungkan terhadap suhengnya. Oleh karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan erat-erat, keningnya berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada tempat ia berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat bertahan lagi. "Han-ko...!" Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun Su. Pedang kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh. Akan tetapi Pek Hoa masih melawan dengan pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru, "Bu Pun Su, kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?" "Suheng, sudahlah...!" Han Le tiba-tiba melompat dan pedangnya menyambar di tengah-tengah untuk menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 156 "Han Le, pergi kau jangan ikut-ikut!" bentak Bu Pun Su marah. "Suheng, jangan melukai dia... aku cinta padanya..." jawab Han Le sambil menghadang di tengah. "Han-ko, dia bukan suhengmu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!" Pek Hoa berkata dan ia mulai menyerang Bu Pun Su lagi dengan pedang kanannya. Kini Han Le tidak bicara lagi, melainkan diputarnya pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek Hoa dari serangan Bu Pun Su. Kakek sakti itu menarik napas panjang. "Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela melihat suteku binasa dalam tanganku daripada melihat dia tersesat dan menjadi seorang jahat!" Begitu kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su mempercepat dan memperkuat gerakannya. Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andaikata Pek Hoa tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak akan mudah mengalahkan mereka. Apalagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali melihat sutenya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh kepandaian untuk membela wanita jahat itu! "Han Le, mundur kau!" berkali-kali Bu Pun Su berseru, akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan pedangnya. "Bagus, Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!" sebaliknya Pek Hoa berkali-kali membujuknya. Setelah tiga kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada sutenya tanpa ada perhatian, pendekar ini menjadi marah dan membentak, "Han Le, kalau begitu robohlah kau!" Ia mengirim serangan hebat ke arah sutenya sendiri. Han Le terkejut menghadapi pukulan Pek-in-hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan pedang. Akan tetapi akibatnya, pedangnya terpental dan ia terguling roboh, tulang pundaknya terlepas sambungannya karena pukulan Pek-in-hoat-sut yang lihai, Han Le meringis kesakitan dan tak dapat bangun pula karena sambungan tulangnya terlepas, juga ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi. "Keparat, rasakan pembalasanku!" Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu Pun Su. "Siluman betina, kau harus mampus!" bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang keji ini. Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas dari pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan tulang siku, Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Namun wanita ini memang sudah nekat. Bagaimana seekor singa betina, ia menerjang maju, kini mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan bertubi-tubi, Namun sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat ia terguling dan merintih-rintih kesakitan. "Kalau orang macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!" kata Bu Pun Su sambil melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa. "Suheng, tahan...!" Sambil merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut di depan Bu Pun Su sambil menangis, "Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biarlah siauwte saja Suheng bunuh Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebagai Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 157 penebus nyawanya." Bu Pun Su serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya. "Dan kau tetap hendak pergi bersama dia?" Han Le menggeleng kepalanya. "Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu hati dan akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia menebus dosa, biar siauwte merana di sini, biar siauwte berpisah darinya, siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya." Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan, "Pek Hoa, selamat berpisah. Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya. Kita tak usah bertemu lagi selamanya." Sebetulnya, ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya ialah mencari kawan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun sudah terlaksana dengan terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le. Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu-dombakan Han Le melawan Bu Pun Su. Akan tetapi setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi dingin dan putus harapan. Ia menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian. "Bu Pun Su, banyak aku membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!" Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Han Le dan berkata, "Kau jembel busuk, jembel tua, kaukira aku benar-benar mencintamu" Hah, tak tahu diri! Aku menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar kau dapat membalas budi kecintaanku, dapat membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Tak tahunya, menghadapi orang ini saja kau memperlihatkan ketidakgunaanmu. Hah, kau memualkan perutku!" Setelah berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa. "Wanita yang berbahaya sekali. Hmmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega menghancurkan hati Han-sute," katanya perlahan dan tiba-tiba keningnya berkerut ketika ia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran keluar dari sepasang matanya. "Eh, Han-sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa menghancurkan hatimu" Di mana sifat jantanmu, Sute?" Han Le menggeleng-geleng kepalanya. "Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan siauwte belaka. Namun, siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini... bagaimana siauwte bisa membencinya" Dia... dia telah mejadi calon ibu anakku..." Bu Pun Su terkejut sekali, sampai berubah air mukanya. "Apa katamu" Betulbetulkah begitu?" Han Le mengangguk. "Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya. Suheng, siauwte sudah bersumpah takkan meninggalkan pulau ini, akan menanti di sini sampai datang maut mencabut nyawa, untuk menebus dosa siauwte. Akan tetapi anak itu... ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah" Oleh karena itu, siauwte mohon bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan siauwte menambah dosa siauwte membuat Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 158 siauwte tak dapat mati dengan mata meram." Bu Pun Su mengangguk-angguk. Hatinya pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada saat itu. "Baikiah, Han-sute. Tadinya aku datang untuk minta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu sekarang, tak usahlah. Bahkan, setelah terjadi peristiwa antara kau dan tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan. Kaurawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Biarpun kau takkan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, aku akan datang sewaktu-waktu menemanimu disini." Han Le menghaturkan terima kasih dan tak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-le-tho dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tak pernah disangkanya bahwa Han Le akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk daripada nasibnya sendiri. Debu mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu kota Tiang-hai yang letaknya hanya tinggal beberapa li lagi. Waktu itu musim panas sedang teriknya, jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda. Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong. Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tidak mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda. Mereka ini adalah Gan Tiauw Ki dan Kiang Im Giok. Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai untuk menyampaikan surat dari Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di kota itu, dan untuk melakukan penyelidikan. Adapun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini. Di sepanjang perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar tinggi, hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot, hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup suling sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan suling peraknya dan mainkan beberapa lagu. Im Giok tertarik sekali. Lebih suka hatinya terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biarpun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini Im Giok melihat orang yang bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan sopan-santun. Sebaliknya, baru kali ini selama hidupnya Tiauw Ki bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Im Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kotakota besar, sudah banyak melihat puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini. Oleh karena kedua pihak saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, namun jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apabila mereka berpisah. Makin dekat dengan kota Tiang-hai, makin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka melihat orang-orang mendatangi Tiang-hai. "Heran, mereka itu datang ke Tiang-hai ada apakah?" kata Tiauw Ki perlahan ketika melihat serombongan orang berkuda mendahului mereka. Rombongan ini terdiri dari tujuh orang dan melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi. "Mereka siapakah?" tanya Im Giok. Gadis ini lebih heran lagi karena ia tahu bahwa tujuh Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 159 orang itu adalah orang-orang kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki dapat mengenal mereka" "Mereka itu adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti orang-orang biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?" kata Tiauw Ki. Ketika tidak mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok. "Ada apakah, Nona?" tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kecurigaan. "Bagaimana kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?" tanya Im Giok. Tiauw Ki tersenyum merendah. "Apa sukarnya" Badan penyelidik dari istana telah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orangorang yang memberontak. Gubernur Shansi dan Honan melopori pemberontakanpemberontakan atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari dua gubernur itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku mengenal mereka tanpa mereka tahu siapa aku." Im Giok mengangguk-angguk kagum. "Gan-kongcu, otakmu benar-benar tajam sekali, dapat mengingat semua orang dalam gambar." "Bukan aku yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Dengan beberapa coretan saja, ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin kagum saja kepada pelukis Ong dari istana itu." Im Giok lalu bertanya tentang pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik dan kembali Ang I Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini kembali memiliki kepandaian lain yang menarik, yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang pelukis pandai namun ia memuji-muji pelukis Ong Pouw di istana, menandakan bahwa wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri. Tibatiba terdengar seruan dari belakang, "Minggir! Minggir!" Im Giok terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata, "Datang orang kasar, baik kita minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut." Im Giok maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya kalau mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi dengan cepat. Rombongan kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah dan gagah, akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa ia seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa. Kuda yang ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal kawan dan mengenal bulu. Mendadak kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan keras dan mereka menjadi gembira, kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka melompat di tengah jalan menghadang datangnya kuda putih yang ditunggangi oleh pemuda tampan itu! Terdengar Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini telah dilemparkan oleh kudanya, ketika kuda itu berdiri diatas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tak dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang. Tentu tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat melompat Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 160 dan menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya dan pemuda ini di lain saat sudah berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok. "Bagus sekali!" terdengar suara orang memuji. Pada saat itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping. Akan tetapi tak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil meringkik keras, kedua kaki depan diangkat dan kaki belakangnya merendah hampir berlutut! Im Giok kagum. Penunggang itu telah memperlihatkan kepandalannya, tidak saja kepandaian menunggang kuda, juga kepandaian ilmu lwee-kang yang tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya dan mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri. Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut, "Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat" Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?" Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk. Kalau tadinya Im Giok tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum mengejek dan pandang mata yang membayangkan kesombongan besar, penuh penghinaan kepada Tiauw Ki sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini. Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki, lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan. Pemuda itu tak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat. "Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru kali ini melihat paduan yang demikian sempurna!" Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata, "Apakah maksud kata-katamu ini?" Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di situ pula. "Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?" Lima orang yang mengawal pemuda ini, kesemuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum. "Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang berlagak gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi," demikian kata seorang di antara mereka. Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih, "Ha, ha, ha, kau betul sekali, Ciang-lopek, akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa telah menyelamatkan nyawa seorang yang betul-betul tiada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 161 melihatmu karena kau benar-benar cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona" Dan kau hendak ke manakah?" Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya terlihat oleh orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang. Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan itu, "Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tatasusila antara pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, mengapa diganggu?" Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya. "Hah! Siapa ajak bicara orang macam engkau?" Im Giok sementara itu sudah dapat menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isarat Tiauw Ki dengan sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab, "Cuwi sekalian hendak mengetahui namaku" Aku she Kiang, seorang yang tidak ternama. Aku hendak pergi ke Tiang-hai..." "Ke Tiang-hai?" pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, "Kiangsiocia, kebetulan sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tianghai. Kau hendak memberi selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?" "Ulang tahunnya yang ke enam puluh?" Im Giok merdu. "Ya, benar, begitulah! Akan Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tetapi aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau." "Ha, ha, alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Dia ini" Hm, biarpun kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya. Ha, ha, ha!" "Tuan Lie, kau akan menjadi tamu dari pamanku, mengapa kau menghina keponakannya?" "Kau keponakan Suma-huciang?" tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam. "Aku yang bodoh, memang keponakan luar dari Suma-huciang," jawab Gan Tiauw Ki dingin. Pemuda yang mewah itu nampak tercengang dan mukanya berubah. Ia bertukar pandang dengan kawan-kawannya, kemudian ia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata, "Maaf, maaf, kami tidak tahu bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta." Setelah berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan hidung dengan ujung lengan baju. "Manusia sombong...!" kata Ang I Niocu Kiang Im Giok. "Sombong juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera Gubernur Lie di Shansi," jawab Tiauw Ki sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah. "Gan-kongcu..." "Nona, harap kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanya seorang pemuda miskin biasa saja aku malu menerima sebutan ini." Im Giok tersenyum manis. "Habis, aku harus menyebut bagaimana?" tanyanya. "Biarpun kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu," kata Tiauw Ki. "Aduh, sudah berapa abadkah usiamu?" Im Giok menggoda. Tiauw Ki tersenyum. "Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah mengenalmu lama sekali." Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 162 "Aku pun demikian, Gan-kongcu," jawab Im Giok jujur. "Agaknya memang watak kita yang cocok." "Kita seperti saudara saja," kata pula Tiauw Ki. "Memang kau baik sekali." "Kalau begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja" Dan aku menyebutmu adik, bukanklah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?" Im Giok memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata. "Baiklah, Gan... Twako. Eh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?" "Memang aku membohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpuh dia itu putera gubernur, tetap saja saja ia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu, melihat dia hendak kurang ajar kepadamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir dia pergi." Im Giok tersenyum "Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebut-nyebutmu?" "Tidak apa, selain aku tidak takut, juga aku tidak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara tentang orang yang tak bernama?" "Gan-twako, lain kali kau tak perlu mencoba melindungi aku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak takut akan gangguan she Lie itu, kalau tadi aku mau, hemm... aku dapat membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!" kata Im Giok gagah. "Nona..." "Lho, kau sendiri yang merubah sebutan, Twako..." "O, ya! Maaf, begini, Siauw-moi..." "Kenapa kau menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)" Aku tidak kecil lagi, Twa-ko..." "Eh ya... Kiang-moi, sebetulnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tak takut kepadanya. Akan tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku." Im Giok mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, kalau aku tidak ingat akan tugasmu yang amat penting, apakah kaukira aku masih dapat menahan sabar menghadapi ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?" Dua orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tak lama kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki. Mata Im Giok yang tajam dapat melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kangouw. Akan tetapi karena dia sendiri belum terkenal, ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya. "Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh tahun?" Im Giok menegur kawannya. "Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek," jawab Tiauw Ki. Insan Tanpa Wajah 1 Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin-liong Karya Kho Ping Hoo Dedel Duel 1