Ceritasilat Novel Online

Perkampungan Hantu 2

Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 2


"Oo"!" Siau-hong melengak.
"Kau tahu, orang di sini sedikitnya ada separohnya orang gila, satu-satunya hobi
mereka adalah memperlakukan orang lain dengan sadis," tutur Yu hun. "Mereka suka
melihat orang tersiksa, malahan ada enam tujuh orang di antaranya terlebih gila
lagi." "Siapa siapa saja?" tanya Siau-hong.
"Seorang bernama Koan keh-po (nenek pengurus rumah tangga), seorang lagi disebut
Tayciang-kun (panglima besar), seorang dipanggil Piauko (kakak misan), seorang
bernama Kaucu (si kait).
Hanya sempat nama empat orang disebutnya lalu ia melayang pergi.
Padahal jendela rumah sangat kecil, tapi sekali tangannya menahan ambang
jendela, segera orangnya menerobos keluar.
Tampaknya bukan cuma Ginkangnya tinggi, dia juga mahir Sok-kut-kang atau ilmu
menyusutkan tulang.
Kedua macam kungfu itu adalah kungfu andalan Sukong Ti-seng" Apakah orang ini
ada hubungan dengan Sukong Ti-seng.
Bab 6. Si Anjing
Published by Hiu_Khu on 2008/1/14 (302 reads)
Siau-hong tidak sempat berpikir, sebab didengarnya di luar ada suara kaki yang
sangat perlahan. Hanya telapak kaki yang berkulit tebal seperti harimau atau
singa saja yang dapat berjalan tanpa menimbulkan suara keras.
Biasanya juga cuma orang Kangouw ulung yang punya Ginkang tinggi saja yang dapat
berjalan seringan binatang buas semacam ini. Di perkampungan hantu ini masa juga
terdapat tokoh sehebat ini"
Selagi Siau-hong tercengang, segera terdengar suara pintu diketuk, sungguh ia
ingin tahu siapakah pendatang ini, bagaimana bentuknya" Maka cepat ia membuka
pintu. Sesudah pintu terbuka, ia jadi melongo.
Yang mengetuk pintu ternyata memang bukan manusia melainkan benar-benar seekor
binatang yang bertelapak kaki tebal. Seekor anjing.
Anjing hitam mulus, hitam gilap sehingga di tengah malam gelap serupa seekor
harimau kumbang.
Namun anjing ini tidak buas terhadap manusia, jelas anjing yang telah terlatih
dengan baik sehingga sudah lenyap rasa permusuhannya terhadap manusia.
Anjing ini tidak menyalak, sebab pada mulutnya menggigit sehelai kertas. Di atas
kertas hanya tertulis empat huruf yang berbunyi; "Silakan ikut padaku!"
Kiranya anjing inilah yang datang mengundang Liok Siau-hong makan malam.
Siau-hong tertawa. Apapun juga, kalau dapat makan nasi kan juga urusan yang
menggembirakan. Lebih-lebih sekarang, sungguh dia sangat menghendaki makan malam
yang enak. Ang-sio-ti-te, bebek Peking, udang cah kailan ....
Bilamana teringat nama-nama santapan yang disebut Yu-hun tadi, hampir saja ia
menitikkan air liur.
Anjing itu sedang menggoyang ekor padanya, ia pun membelai kepala anjing itu,
katanya dengan tersenyum, "Kau tahu, aku lebih suka mendapatkan petunjuk jalan
seperti kau, sebab anjing di sini sesungguhnya lebih menyenangkan daripada
manusianya."
Malam tambah gelap, kabut juga tebal, meski di tengah kabut terkadang juga
nampak beberapa titik cahaya api, tapi makin menambah seram suasana yang gelap.
Anjing hitam berjalan di depan dan Siau-hong mengikut dari belakang. Waktu
pandangannya sudah terbiasa dalam kegelapan baru diketahui dirinya sedang
berjalan di suatu jalan kecil yang berliku-liku.
Pada kedua tepi jalan tumbuh beraneka macam pohon, ada juga bunga dan rumput
yang tidak dikenal namanya.
Pada waktu sang surya memancarkan cahayanya dengan gemilang, lembah pegunungan
ini pasti sangat permai.
Akan tetapi di lembah pegunungan ini apakah juga pernah disinari oleh cahaya
matahari" Tiba-tiba Siau-hong merasakan yang benar-benar sangat ingin dilihatnya bukanlah
Ang-sio-ti-te yang lezat, melainkan cahaya matahari. Cahaya yang dapat
menghangatkan badan dan membangkitkan semangat.
Seperti orang lain umumnya, dia juga pernah mengutuki smai matahari, yaitu
bilamana sinar sang surya sedang memancar dengan teriknya sehingga dia mandi
keringat dengan napas terengah, maka dia lantas mencaci-maki sinar matahari yang
tidak kenal ampun itu
Akan tetapi yang sangat diharapkannya sekarang justru sinar matahari semacam
itu. Banyak urusan di dunia memang begitu, hanya pada waktu engkau kehilangan dia
barulah kau tahu betapa berharganya dia.
Tanpa terasa Siau-hong menghela napas, tiba-tiba didengarnya di tempat dekat
juga ada orang menghela napas, malahan seorang lantas berkata, "Liok Siau-hong,
kutahu akan kedatanganmu, maka sudah kutunggu kedatanganmu di sini."
Tempat ini adalah Yu-leng-san-ceng, perkampungan arwah, dalam kegelapan entah
bersembunyi betapa banyak badan halus, suara orang ini juga serupa hantu yang
mengambang dan sukar dilihat. Tangan Siau-hong sampai berkeringat dingin. Jelas
didengarnya orang yang bicara itu berada di dekatnya, tapi justru tidak terlihat
sesosok bayangan apapun.
"Tak dapat kau lihat diriku," suara tadi bergema pula, "bilamana setan hendak
menagih nyawa betapapun takkan dapat dilihat ofang."
"Memangnya aku berhutang jiwa padamu?" Siau-hong coba bertanya.
"Ya," sahut suara itu.
"Jiwa siapa?"
"Jiwaku."
"Siapa engkau?"
"Aku si jenggot biru yang mati di tanganmu itu."
Siau-hong tertawa, bergelak tertawa.
Seorang kalau kelewat tegang, terkadang juga bisa tertawa secara aneh.
Meski keras suara tertawa Siau-hong, tapi sangat singkat. Sebab tiba-tiba
diketahuinya yang bicara padanya bukanlah manusia, juga bukan setan, tapi anjing
hitam tadi. Anjing hitam yang semula berjalan di depan sekarang telah berpaling ke sini dan
sedang melotot padanya dengan sinar mata
"Akulah si jenggot biru yang mati di tanganmu." ucapan ini juga keluar dari
mulutanjing itu.
Sungguh aneh, anjing masa bisa bicara" Apakah roh si jenggot biru telah hinggap
di badan anjing hitam ini"
Betapa besar nyali Liok Siau-hong tidak urung juga merinding. Pada saat itulah
anjing hitam lantas meraung dan menubruknya.
Selagi Siau-hong hendak mencengkeram kaki anjing, siapa tahu dari perut anjing
mendadak terjulur sebuah tangan.
Tangan manusia yang berpisau, sekali bergerak, pisau menyambar ke depan,
mengincar perut Siau-hong.
Serangan ini sungguh jauh di luar dugaan, berapa orang yang sanggup
menghindarkan serangan tak terduga ini.
Tapi sedikitnya ada satu orang. Mendadak perut Siau-hong mendekuk, secepat kilat
kedua jarinya menjepit dan tepat mata pisau terjepit olehnya.
Pada saat itu juga anjing hitam tadi lantas melompat ke udara lantas melayang
jauh ke belakang, hanya sekejap saja lantas menghilang dalam kegelapan.
Siau-hong memandang kegelapan di kejauhan sana, lalu memandang pisau yang masih
dipegangnya dan menyengir sendiri.
Sungguh rasanya seperti dalam mimpi, tapi justru kejadian nyata. Di Yu-leng-sanceng yang serupa alam mimpi ini, sesuatu peristiwa memang sukar dibedakan dengan
jelas apakah terjadi dalam mimpi atau terjadi benar-benar.
Cuma satu hal lantas dimengerti lagi oleh Liok Siau-hong, yaitu: "Anjing di sini
toh tidak lebih menyenangkan daripada manusia."
Bab 7. Orang-orang mati yang hidup kembali
Published by Hiu_Khu on 2008/1/16 (251 reads)
Tiba-tiba dari kegelapan berkumandang lagi suara orang, "Sekarang apakah kau mau
manusia yang menjadi petunjuk jalanmu"'"'
Yang dilihatnya sekarang memang manusia benar, yaitu Yap Ling.
Di tengah remang kabut, senyuman Yap Ling masib tetap manis.
"Sekarang seharusnya kau yakin bahwa di tempat ini sesung guhnya manusia lebih
menyenangkan atau anjing lebih menyenangkan?"
"Aku tidak tahu," sahut Siau-hong.
"Masa belum tahu?"
"Aku cuma tahu satu hal," kata Siau-hong. "Yaitu di sini anjing terkadang adalah
manusia dan manusia juga anjing."
Hoa-kuahu yang dimaksudkan belum tentu benar seekor anjing betina, tapi anjing
hitam tadi jelas seorang manusia.
"Meski orang Kangouw ada juga yang suka menjadi anjing (kiasan bagi kaum antek),
tapi yang bisa bekerja setuntas ini hanya ada satu orang."
"Kau tahu siapa dia?" tanya Yap Ling. "Ya, Kau-long-kun (si anjing cakap)."
"Sudah kau ketahui sebelumnya?"
Siau-hong tertawa, "Sedikitnya kutahu si jenggot biru bukan mati di tanganku,
tentu dia sendiri juga tahu. Sebab itulah sekalipun dia benar menjadi setan buas
juga tidak perlu mencari diriku."
Yap Ling tertawa, ucapnya sambil berkedip, "Seumpama setan buas tidak perlu
mencari dirimu, setan lapar pasti akan mencari dirimu."
"Setan lapar?" Siau-hong melenggong. "Arti setan lapar ialah orang yang mati
kelaparan karena menunggu kedatanganmu untuk makan. Jika tidak lekas kau hadir
ke sana. malam ini sedikitnya akan bertambah 37 setan lapar."
"Seumpama aku tidak pergi, setan lapar yang benar cuma satu saja."
"Masa cuma satu" Siapa?" tanya Yap Ling. "Aku sendiri," jawab Siau-hong.
Kaucu si kait yang disebut-sebut Yu-hun itu memang salah seorang tokoh di Yuleng-san-ceng ini.
Kemarin dia baru merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Waktu mendusin hari ini,
rasa mabuknya belum lagi hilang, kepala terasa sakil seakan-akan pecah, napsu
birahinya berkobar.
Gejala yang pertama itu menandakan dia sudah tua.
Hanya 40 kati arak saja yang diminumnya dan sekarang kepalanya kesakitan seperti
mau pecah. Padahal sepuluh tahun yang lalu semalam dia pernah memecahkan rekor minum
sebanyak 80 kati, setelah tidur dua jam lantas pulih kembali semangatnya, dan
dengan cuma sebelah tangan saja dia mampu membinasakan 23 orang di antara 32
orang musuh yang mengerubutnya.
Bila teringat pada hal ini, sungguh dia sangat gemas dan menyesal, menyesali
dirinya sendiri, mengapa orang semacam dirinya ini juga bisa tua.
Akan tetapi setelah gejala kedua diketahuinya, tanpa terasa hatinya sangat
terhibur, bagian tubuh tertentu itu ternyata sekeras kaitan baja yang terpasang
pada tangan kanannya yang buntung itu. Memangnya ada berapa kakek berumur 70
yang sehat dan kuat seperti si kait ini"
Cuma sayang, perempuan di tempat ini terlalu sedikit, perempuan yang cocok
dengan seleranya bahkan terlebih sedikit.
Sesungguhnya, perempuan yang berada di Yu-leng-san-ceng yang terpandang olehnya
cuma ada tiga orang.
Celakanya ketiga perempuan brengsek ini justru selalu mempermainkan dia.
Terutama si rase cilik yang cerdik dan licin itu, sudah berjanji tiga kali mau
datang ke kamarnya, tapi tiga kali dia menunggu siasia semalam suntuk. .
Bayangkan, kalau lelaki menunggu kedatangan pacar dengan hasrat yang menyala dan
akhirnya harus kecewa, sungguh hatinya jadi gregetan. Bila teringat hal ini,
sungguh kalau bisa sekarang juga dia ingin menyeret si rase cilik itu dan
dibelejeti di tempat tidur, kalau pcrlu akan diperkosa.
Pikiran begitu makin mengobarkan hawa nafsunya, ia merasa kalau hari ini tidak
terlampias, bisa jadi dia akan mati meledak.
Begitulah selagi dia melamun membayangkan betapa manis senyum si rase cilik dan
Cicinya yang selalu tampak dingin serta janda Hoa yang masak serupa buah
kesemek, tiba-tiba terdengar ada orang menggedor pintu, cukup keras gedorannya.
Biasanya cuma ada dua-tiga orang yang berani menggedor pintunya sekeras ini,
yaitu kalau bukan Koan-keh-po tentulah Piauko.
Meski kedua orang ini adalah komplotannya yang paling erat, tetap juga dia
marah. Jika hasrat terganggu, biasanya lantas berubah menjadi gusar.
Dia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu berteriak gusar, "Masuk!"
Yang bardiri di luar ialah Piauko alias kakak misan, mukanya putih licin, serupa
telur ayam yang baru dikuliti Melihat wajah yang halus ini, tidak ada orang yang
dapat menerka berapa usianya. Mengenai hal ini, Piauko sendiri biasanya sangat
bangga, terkadang sampai ia sendiri juga melupakan usianya sendiri.
Ketika mendengar suara Kaucu yang geram, segera dia tahu si setan tua hari ini
lagi birahi pula.
Dengan tersenyum ia mendorong pintu dan melangkah masuk, segera dilihatnya
bagian tubuh Kaucu yang kurang adat itu masih tertutup selimut. Dengan tersenyum
ia menyapa, "Wah, tampaknya hari ini kau sangat bergairah, apakah perlu
kupetikkan dua genggam daun (Yap) bagimu?"
"Tutup mulutmu dan matamu yang serupa mata maling itu." kembali Kaucu meraung.
"Bila ingin perempuan dapat kucari sendiri."
"Memangnya berapa orang yang bisa kau dapatkan?" tanya Piauko.
Kaucu tambah murka, serentak ia melompat bangun dan menerjang ke depan Piauko,
dengan kaitan tangan kanan ia ancam perut orang sambil berteriak, "Coba bicara
lagi satu kata saia, segera kusodet isi perutmu hingga berantakan."
Tapi sedikit pun Piauko tidak takut, sebaliknya bertambah riang tertawanya,
"Hahahaha! Bukan maksudku sengaja membikin marah padamu, aku justru lagi
menyembuhkan penyakitmu. Coba lihat sekarang, bukankah sudah lemas!"
Kaucu melotot dengan gemas, mendadak ia terbahak-bahak sembari menarik
kaitannya, katanya. "Haha, tidak perlu kau berlagak, kalau saja lelaki di sini
lebih mudah didapatikan, kuyakin penyakitmu pasti akan lebih parah daripadaku."
Dengan tenang Piauko melangkah ke sana dan berduduk di kursi yang berada dekat
jendela, lalu berucap, "Cuma sayang lelaki di tempat ini memang makin lama makin
sedikit. Saat ini, yang benar-benar kupenujui mungkin juga cuma satu saja."
"Maksudmu Tayciangkun?" tanya Kaucu. "Dia terlalu tua," jengek Piauko sambil
menggeleng. "Apakah Siau-jing?" "Dia cuma sebuah bantal bersulam saja." "Barangkali Koankeh-po?" Piauko tertawa pula, "Dia sudah nenek-nenek, aku harus berterima kasih bila dia
tidak mencari diriku."
"Habis, sesungguhnya siapakah yang kau maksudkan?" tanya Kaucu.
"Liok Siau-hong," jawab Piauko. "Apa katamu" Liok Siau-hong?" teriak Kaucu.
"Apakah Liok Siau-hong yang beralis empat itu?" "Kecuali dia, siapa pula yang
dapat menggelitik hatiku?" ucap Piauko sambil memicingkan mata dengan tertawa.
"Cara bagaimana dia sampai di sini?" "Kabarnya akibat dia meniduri bini Sebun
Jui-soat." "Sudah kau lihat dia?" "Hanya mengintip sekejap dua kejap saja."
"Bagaimana bentuknya?"
Mata Piauko kembali terpicing, "Dengan sendirinya seorang lelaki sejati,
lelakinya lelaki."
Kaucu baru saja berduduk, segera ia berbangkit pula dan mendekati jendela dengan
kaki telanjang.
Cuaca di luar jendela remang tertutup kabut. Mendadak ia menoleh dan menatap
Piauko, ucapnya, "Akan kubunuh dia!"
"Apa katamu?" Piauko melonjak kaget. "Kubilang akan kubunuh dia!"
"Tidak kau dapatkan perempuan lantas hendak membunuh?" seru Piauko.
Kaucu mengepal erat tinjunya, ucapnya perlahan, "Usianya tahun ini paling banter
baru tiga puluhan, sedangkan aku sudah tu juh puluh. Tapi aku pasti dapat
membunuhnya, aku yakin."
Melihat sikap dan air mukanya itu, siapa pun dapat menduga tujuannya membunuh
orang pasti tidak cuma unluk pelampiasan belaka, tapi juga untuk membuktikan
bahwa dia masih muda, masih tangkas.
Banyak kakek di dunia ini yang mencari anak perempuan muda, alasannya juga
serupa, yakni ingin membuktikan dia masih muda dan masih sanggup.
Mereka hanya melupakan sesuatu, meski muda memang menyenangkan, usia tua juga
ada kesenangan tersendiri.
Piauko memandang Kaucu lekat-lekat, akhirnya ia menghela napas dan berkata,
"Baik, akan kubantu kau membunuh dia, tapi kau pun harus membantuku mengerjai
dia." "Baik!" ucap Kaucu.
Mendadak seorang menanggapi dengan menjengek, "Hm, baiknya memang baik, cuma
sayang kalian sudah terlambat satu langkah."
Yang masuk mengikuti suara tertawa itu adalah seorang kakek tinggi kurus,
berhidung seperti paruh elang dan berbadan bungkuk.
Piauko menghela napas, katanya, "Sudah kuduga Koan-keh-po macam dirimu ini pasti
akan ikut campur urusan kami."


Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kedatanganku hanya ingin memberitahukan suatu berita kepada kalian," ujar si
kakek alias Koan-keh-po atau si nenek pengurus rumah tangga.
"Berita apa?" tanya Kaucu cepat.
"Si anjing hitam sudah mendahului pergi mencari Liok Siau-hong," tutur Koan-kehpo. "Seumpama dia gagal, berikutnya masih ada Ciangkun."
"Ciangkun hendak bertindak apa?" melengak juga Kaucu.
"Sudah dia atur perjamuan besar di depan sana dan sedang menunggu kedatangan
Liok Siau-hong."
Malam tetap gelap, kabut tetap tebal. Namun perasaan Siau-hong sudah lain.
Betapapun berjalan bersama seorang anak perempuan cantik manis dan pintar tentu
saja jauh lebih menyenangkan daripada berjalan ikut di belakang seekor anjing
hitam. Yap Ling melirik Siau-hong, lalu berkata, "Tampaknya engkau sangat gembira."
"Sedikitnya aku memang lebih gembira daripada tadi," jawab Siau-hong.
"Sebab kau tahu aku takkan menggigitmu?"
"Ya, juga kau terlebih cakap daripada anjing tadi, lebih cakap daripada anjing
mana pun."
Yap Ling tartawa, sungguh manis sekali tertawanya, "Apakah hanya setitik ini
saja kelebihanku dibandingkan dia?"
"Dengan sendirinya masih ada yang lain."
"Apa lagi?" tanya Yap Ling.
"Engkau bisa bicara, kusuka mendengar bicaramu."
Yap Ling berkedip dan berkata pula, "Kau suka kubicara apa saja" Apakah suka
kuceritakan rahasia tempat ini?"
Siau-hong tertawa. Mungkin tertawanya banyak maknanya, tapi jelas tidak
mengandung makna menyangkal ucapannya.
"Kau ingin kubicara mulai darimana?"
"Mulai saja dari si kait."
Yap Ling terbelalak, "Kau pun tahu si kait" Darimana kau tahu dia?"
"Aku tidak cuma tahu si kait, juga tahu Ciangkun, Piauko dan Koan-keh-po."
Yap Ling menuju ke sana, memetik sehelai daun, lalu kembali, tiba tiba ia
menghela napas dan berucap, "Sudah terlalu banyak yang kau ketahui, namun jika
kan tetap bertanya boleh juga kuberitahukan pula padamu
"Jika begitu, sebaiknya kau mulai dari si kait," kata Siau-hong.
"Dia adalah kan pembunuh, juga seckor serigala jantan yang gemar main perempuan,
yang paling ingin dilakukannya sekarang adalah merobek celanaku dan
menelentangkan aku di tempat tidur."
Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Sebenarnya tidak perlu kau beberkan sejelas
ini." Mata Yap Ling yang bersih itu terbelalak pula, katanya. "Aku memang perempuan
yang suka berterus terang, kebetulan aku pun perempuan yang paling dapat
memahami jiwa kaum lelaki."
Siau-hong menyengir, "Sungguh kebetulan memang. Cuma sayang, bukan maksudku
ingin tahu ada berapa banyak lelaki yang ingin membelcjeti celanamu."
Yap Ling berkedip-kedip, tanyanya tiba-tiba, "Jika ada orang ingin membuka
celanamu, kau ingin mendengar tidak?"
"Hal ini juga biasa, bukan cuma sekarang akan terjadi," jawab Siau-hong dengan
tertawa. "Tapi bagaimana kalau orang yang ingin membuka celanamu itu seorang lelaki?"
"Hah. seorang lelaki?" seru Siau-hong.
"Ah, salah ucapanku, bukan seorang, tapi dua orang."
Siau-hong tidak dapat bersuara lagi, sampai sekian lama baru dia bertanya,
"Apakah Piauko dan Koan-keh-po?"
"Darimana kau tahu?" kembali mata Yap Ling terbelalak lebar
"Nama kedua orang ini kedengarannya rada-rada seram." ujar Siau-hong.
"Tapi orang yang paling menakutkan bukanlah mereka." tutur Yap Ling.
"Oo?" Siau-hong ingin tahu.
"Pernah kau lihat orang merobek seekor banteng dengan bertangan kosong?"
"Tidak pernah," Siau-hong menggeleng.
"Pernah kau lihat dengan sebuah jari saja batok kepala orang diketuknya hingga
hancur?" "Tidak," jawab Siau-hong.
"Selekasnya semua itu akan dapat kau lihat."
Siau-hong menelan liur, ucapnya, "Yang kau maksudkan apakah Ciangkun?"
"Betul," jawab Yap Ling.
"Dia sedang menunggu kedatanganku?"
"Bukan cuma menunggu saja, bahkan sudah tidak sabar menunggu. Sebab itulah
paling baik harus kau siapkan sebuah wajan." "Wajan untuk apa?" tanya Siau-hong.
"Untuk menutup batok kepalamu!"
Saat itu Ciangkun atau panglima sedang berdiri di atas panggung. Tinggi badannya
lebih delapan kaki, bobotnya 137
kati, pundaknya lebar, dadanya tebal, telapak tangannya kalau dipentang hampir
selebar daun palem. Belulang pada telapak tangannya hampir dua senti tebalnya.
Senjata tajam apapun kalau terpegang olehnya pasti patah seketika.
Di depannya tertaruh sebuah wajan besar. Wajan itu di atas tungku, tungku
terletak di depan panggung dan panggung itu berada di tengah ruangan.
Ruangan pendopo itu dibangun beberapa meter tingginya dari halaman luar,
panggung batu menjadi lebih tinggi lagi, sedikitnya tujuh atau delapan kaki
tingginya, wajan besar itupun tingginya lebih tiga kaki.
Api tungku tampak berkobar, isi wajan adalah daging rebus, bau sedap sungguh
dapat memancing datang manusia dan anjing dari jarak belasan li jauhnya.
Waktu Siau-hong masuk ke situ, Ciangkun sedang mengaduk daging rebus dengan
sebuah gayung. Begitu melihat Liok Siau-hong, segera ia menaruh gayungnya dan melotot sambil
membentak, "Liok Siau-hong?"
Suara bentakannya menggelegar seperti bunyi geledek, namun Siau-hong sama sekali
tidak berkedip, bahkan balas membentak, "Ciangkun?"
"Kau mau kemari tidak?" seru Ciangkun pula. "Mau!" jawab Siau-hong. dia benarbenar mendekat ke sana, langkahnya jauh lebih lebar daripada biasanya.
Ciangkun melotot padanya dan berkata pula, "Yang di dalam wajan adalah daging!"
"Ya, daging!" jawab Siau-hong. "Kau makan daging?" "Makan!"
"Dapat makan banyak?" "Cukup banyak!" "Baik, boleh kau makan!"
Gayung tadi lantas disodorkannya kepada Liok Siau-hong. Tanpa pikir Siau-hong
lantas menyendok satu gayung penuh. Satu gayung sama dengan isi satu mangkuk
daging rebus yang panas.
Siau-hong tidak takut panas, dia makan dengan cepat, habis makan satu gayung
barulah ia menarik napas lega, ucapnya, "Ehm. daging lezat!"
"Memang daging lezat," kata Ciangkun. "Engkau juga makan daging?" Siau-hong
balas bertanya. "Makan."
"Juga makan banyak?"
Tanpa menjawab Ciangkun lantas merampas gayung yang dipegang Siau-hong, ia pun
menyendok segayung penuh dan diganyang sampai habis, lalu ia menengadah dan
menghembuskan napas, ucapnya, "Ehm, daging lezat!"
"Memang daging lezat," tukas Siau-hong. "Kau tahu ini daging apa?" tanya
Ciangkun. "Tidak."
"Kau tidak takut ini daging manusia?" 'Takut."
"Kalau takut kenapa kau makan?" "Makan manusia kan lebih baik daripada dimakan
manusia. Kembali Ciangkun memelototi Siau-hong hingga sekian lama, katanya
kemudian, "Baik, silakan makan."
Kembali Siau-hong makan segayung, Ciangkun juga segayung, lalu giliran Siau-hong
pula. Satu gayung sama dengan isi satu mangkuk, satu mangkuk daging sama dengan satu
kati. Hanya sekejap saja sedikitnya sudah lima kati daging masuk perutnya.
Pada waktu makan gayung keenam, barulah Ciangkun bertanya, "Kau masih sanggup
makan?" Siau-hong tidak bersuara, mendadak ia main akrobat, ia berjumpalitan, sekaligus
berjumpalitan 36 kali, habis itu baru berdiri tegak dan menjawab, "Aku masih
sanggup makan." "Baik, silahkan makan lagi," kata Ciangkun. Dan begitulah makan
dan makan lagi, setiap makan satu gayung daging, Siau-hong lantas berjumpalitan
lima kali, sampai ratusan kali ia berjumpalitan dan air mukanya tetap tidak
berubah. Mau tak mau hati Ciangkun terkesiap, ucapnya, "Ehm, akrobat bagus!"
Baru selesai berucap, "plotak", ikat pinggangnya putus menjadi dua.
Siau-hong lantas bertanya, "Kau masih mampu makan?" Ciangkun juga tidak
menjawab, ia melompat turun dari panggung, sekali raih, tungku dipegangnya.
Tungku itu dibuat dari perunggu, ditambah lagi wajan besar di atas tungku,
sedikitnya ada lima atau tujuh ratus kati bobotnya. Tapi dengan sebelah tangan
ia sanggup mengangkatnya, lalu diturunkan dan diangkat lagi, sekaligus ratusan
kali naik turun barulah tungku itu ditaruh pada tempat semula.
Segera ia rampas lagi gayung dari tangan Siau-hong dan berseru, "Nah, sudah kau
lihat?" Sekali ini dia makan dua gayung sekaligus. Terkesima Liok Siau-hong mamandangi
gayung yang dipegang orang, mendadak ia pun menirukan cara orang, ia angkat
tungku itu naik-turun hingga ratusan kali, lalu merampas gayung dan juga makan
dua gayung daging sekaligus.
Mata Ciangkun juga melotot mengikuti tingkah Siau-hong itu. "Makan lagi?" tanya
Siau-hong dengan napas rada memburu. "Ya, makan lagi!" ucap Ciangkun sambil
mengertak gigi. Dia pegang gayung dan menyendok pula, terdengar suara "pletak"
lagi. Sekali ini bukan ikat pinggang yang putus, tapi gayung menyentuh dasar
wajan. Satu gayung sama dengan satu kali daging, satu wajan berisi 30 atau 50 gayung,
semuanya ternyata sudah d.ganyang habis oleh
Siau-hong menghela napas panjang sambil meraba perutnya yang mcmbuncit, ucapnya.
"Daging lezat."
"Ini memang daging lezat," tukas Ciangkun dengan melotot.
Kedua orang lantas bergelak tertawa, mendadak keduanya roboh bersama, roboh di
alas panggung dan mas.h terus tertawa.
Orang di bawah panggung sama melongo menyaksikan kelakuan mereka.
Tiba-tiba Ciangkun berkata pula. "Perutmu belum lagi meledak?"
"Belum," jawab Siau-hong.
"Tak tersangka sekecil ini perutmu, tapi dapat memuat daging sebanyak itu."
"Malahan aku makan satu gayung lebih banyak daripadamu," kata Siau-hong.
"Tapi setiap gayung yang kusendok terlebih banyak daripadamu.
"Belum tentu benar."
Serentak Ciangkun melompat bangun dan melototi Liok Siau-hong.
Tapi Siau-hong tetap berbaring dengan tenang.
"Bangun, boleh kita masak satu wajan daging dan berlomba lagi," kata Ciangkun.
"Tidak, tidak mau berlomba lagi," ujar Siau-hong.
"Jadi engkau mengaku kalah"'"
"Sebenarnya aku sudah menang, mengapa harus berlomba lagi" Kalau menang kenapa
disuruh mengaku kalah malah?"
Ciangkun mendelik, urat hijau tampak menonjol di dahinya, suatu tanda betapa
geram hatinya. Tapi Siau-hong bicara dengan hambar. "Rupanya bukan cuma perutmu saja yang
kembung, kepalamu juga melembung."
Mendadak Ciangkun mengepal crat kedua tinjunya, ruas tulang seluruh badannya
seakan-akan mengeluarkan suara
"keriat-keriut", perawakan yang memang tinggi besar itu seolah-olah bertambah
lebih tinggi lagi.
Tampaknya orang ini tidak cuma bertenaga raksasa, Gwakang (kekuatan atau
kekebalan badan luar) juga terlatih sampai puncaknya.
Dengan tertawa Siau-hong bertanya pula, "Kau ingin berkelahi?"
Ciangkun hanya bungkam saja. Dia sudah menghimpun tenaga, bila buka mulut tentu
tenaga akan buyar.
"Meski makan daging lagi sudah berkurang minatku. kalau berkelahi dapat
kuiringi," kata Siau-hong.
Mendadak Ciangkun menggertak, kontan ia menjotos. Dia sudah siap sejak tadi,
dengan sendirinya tenaga pukulannya tidak kepalang dahsyatnya.
Terdengarlah suara gemuruh, wajan dan tungku terguling, meja kursi yang
berdekatan juga berantakan bersama mangkuk piringnya.
Liok Siau-hong juga terpukul hingga mencelat, melintasi beberapa meja dan
melayang di atas kepala belasan orang, serupa layangan putus.
Serentak terdengar suara bersorak memuji, Ciangkun berdiri tegak di atas
panggung sehingga kelihatan terlebih gagah perkasa.
Siapa duga, pada saat itu juga tiba-tiba terdengar deru angin, tahu-tahu Siauhong sudah berada kembali di depan Ciangkun dengan tersenyum simpul dan berkata,
"Pukulanmu membikin badanku bertambah segar, apakah mau coba lagi sekali?"
Ciangkun meraung murka, berturut-turut ia menghantam tiga kali. Pukulannya tidak
banyak variasi, tapi praktis dan efektif.
Ketiga pukulan ini meski tidak sedahsyat pukulan pertama, tapi jauh lebih cepat.
Kembali Siau-hong terpukul ke atas lagi, cuma sekali ini tidak mencelat,
mendadak ia berjumpalitan di udara, lalu turun di belakang Ciangkun.
Biarpun perawakan Ciangkun tinggi besar, reaksinya justru sangat lincah dan
gesit, mendadak ia membalik tubuh, bergerak sambil menyerang. Kembali tiga kali
pukulan dilancarkan sekaligus.
Untung Liok Siau-hong juga lain daripada yang lain, mendadak ia berkelit terus
menerobos lewat bawah ketiak Ciangkun, sekaligus ia angkat siku Ciangkun dan
kepalanya terus menumbuk iga orang.
Tubuh Ciangkun yang berbobot 173 kati itu terhuyung-huyung oleh serudukan Siauhong itu dan hampir saja terjungkal ke bawah panggung.
Sebaliknya Siau-hong juga tidak kurang terkejutnya. Tiba-tiba diketahuinya orang
ini menguasai kekebalan badan yang luar biasa, serudukan kepalanya itu serupa
menanduk dinding batu, sampai kepala sendiri pusing tujuh keliling.
Karena terkejut dan kepala pusing, maka suara tertawa Siau-hong bertambah keras,
serunya, "Kembali kau kalah lagi!"
"Kentut!" teriak Ciangkun.
"Sekali pukul hampir kurobohkan dirimu, masa engkau tidak mengaku kalah?" ujar
Siau-hong dengan tertawa.
"Kau pakai pukulan apa?" jengek Ciangkun.
"Pukulan kepala!"
"Huh, terhitung kungfu macam apa itu?"
"Inilah kungfu untuk berkelahi, asalkan dapat merobohkan lawan, cara bagaimana
pun dapat digunakan."
"Hm, ingin kulihat pukulan apa pula yang dapat kau gunakan?" jengek Ciangkun.
Segera ia pasang kuda-kuda dan menghantam lagi, pukulannya tambah gencar,
serangannya tambah cepat, tekadnya sekali ini harus merobohkan lawan.
Siau-hong memang tak mampu menembus pertahanan lawan, memang tidak ada orang
yang sanggup membobol ilmu pukulan Ciangkun yang rapat dan dahsyat ini.
Agaknya Siau-hong juga menyadari hal ini, dia tidak melakukan serangan,
sebaliknya mundur ke pojok panggung sana dan mendadak menungging sambil memegang
perutnya, serunya, "Wah payah! Perutku mulas!"
Padahal ia tahu, biarpun perutnya mulas setengah mati dan kotoran keluar di
celananya juga tidak akan diampuni orang.
Benar juga. Ciangkun terus menubruk maju dan menghantam pula.
Tak terduga, pada saat tubuh Ciangkun mengapung itulah, se-licin belut Liok
Siau-hong lantas meluncur lewat di bawah kakinya, mendadak kedua tangannya
menahan lantai, sekali melejit, pantatnya tepat menumbuk pantat Ciangkun.
Karena perhatian Ciangkun tertuju untuk menyerang ke depan, dia tidak sempat
menahan diri, sekali ini dia benar-benar tertumbuk jatuh ke bawah panggung,
hampir saja jatuh terguling.
"Haha, kembali kau kalah lagi!" seru Siau-hong sambil barkeplok.
Tidak kepalang gusar Ciangkun, mukanya masam, bibirnya hijau.
"Sekali ini mengapa tidak kau tanya pukulan apa yang aku gunakan?" ucap Siauhong. Tapi Ciangkun diam saja.
"Yang kugunakan ialah pukulan pantat!" kata Siau-hong dengan tersenyum, "Maka
lain kali bilamana kau temui lawan yang dapat menyerang dengan pantat, sebaiknya
cepat engkau menyingkir sejauhnya, sebab kau pasti bukan tandingannya."
Mendadak Ciangkun meraung murka, ia memukul lagi dengan dahsyat, tapi yang
dihantamnya sekali ini bukan manusia melainkan panggung batu.
Panggung yang ditumpuk dengan balok batu itu sampai retak sebagian, batu kerikil
bertebaran. Menyusul tubuhnya yang gede itu juga melompat ke atas, selagi masih
mengapung di udara segera ia melancarkan pukulan kedua.
Hantaman dari udara tentu saja terlebih dahsyat, tapi juga lebih mudah
memperlihatkan bagian kelemahan sendiri, gaya serangan ini mestinya hanya boleh
dilakukan bilamana menghadapi lawan yang lebih lemah.
Dan Liok Siau-hong jelas tidak lebih lemah daripada Ciang kun, serangan Ciangkun
ini sungguh sangai besar resikonya, sebab dia memperhitungkan Liok Siau-hong
tidak dapat berdiri tegak Siapa pun sukar berdiri tegak di atas panggung yang
retak dan di bawah hujan batu kerikil.
Jika berdiri seorang tidak tegak dan kurang kuat, dangan sendirinya Udak mampu


Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balas menyerang, kalau tidak dapat balas menyerang tarpaksa harus menghindar,
tap. cara bagaimanapun menghindar sukar mengelakkan angin pukulannya yang
dahsyat. Kesehatan Siau-hong sendiri belum pulih, tubuhnya masih lemah, sebenarnya dia
tidak tahan angin pukulan lawan vang hebat itu.
Tapi dia tidak pcrlu menahan angin pukulan orang, dia malah dapat melancarkan
serangan balasan, balas menyerang dalam keadaan yang tidak memungkinkan.
Ciangkun sudah berpengalaman tempur, kemenangan yang terjadi pada sekejap itu
sudah diperhitungkannya dengan baik. Cuma sayang, sekali ini dia salah hitung.
Sesuatu yang dikerjakan oleh Liok Siau-hong memang banyak yang dianggap orang
lain sebagai hal yang tidak mungkin bisa di lakukan.
Sekali ini dia tidak memakai pukulan kepala, juga bukan pukulan pantat, tapi
menggunakan tangan, jari tangan. Jari sakti Liok Siau-hong yang tidak ada
bandingannya. Sekonyong-konyong Siau-hong mengegos ke samping sambil menjulurkan kedua jari
dan menjentik perlahan. Jari telunjuk tepat mengenai kepalan Ciangkun dan jari
tengah mengenai dadanya.
Padahal apa gunanya dua jari manghadapi kepalan \ang dapat meretakkan panggung
batu dan dada yang tidak mempan dibacok golok"
Namun hasilnya segera terbukti, sukar orang membayangkan betapa lihai tenaga
jarinya. Terdengar Ciangkun meraung dan mencelat ke sana dan jatuh terbanting di
atas batu kerikil yang berserakan di lantai.
Di tengah ruangan pendopo itu masih ada 36 orang, tapi udak ada setitik suara
apapun, sampai suara napas saja seakan-akan berhenti.
Mata ke-36 orang sama melototi Liok Siau hong, menampilkan semacam sorot mata
yang aneh. Siau-hong hanya menyengir saja, sabab ia tahu meski orangorang ini bukan sahabat
Ciangkun, sekarang semuanya tentu juga telah menjadi lawannya.
Seorang yang baru tiba di tempat yang belum dikenal ini dan mendadak harus
mengikat permusuhan dengan 36
orang, betapapun hal ini urusan yang sangat tidak menyenangkan.
Dia hanya berharap luka Ciangkun tidak terlalu parah. Tapi ketika dia berpaling
ke sana, Ciangkun yang tadinya rebah di lantai itu sekarang sudah lenyap.
Waktu ia menoleh lagi, terlihatlah seorang berbaju kelabu sedang berjalan keluar
dengan perlahan dan Ciangkun ternyata berada dalam rangkulan orang itu.
Dengan mata telinga Siau-hong yang tajam, ternyata tidak dapat merasakan
darimana munculnya orang berbaju kelabu itu, juga tidak tahu cara bagaimana dia membawa pergi Ciangkun, tapi tahu-tahu orang
sudah berada di ambang pintu.
Mau tak mau Siau-hong melengak.
Sementara itu si baju kelabu sudah keluar pintu, ke-36 orang dalam ruangan
pendopo juga lantas ikut keluar. Tiada seorang pun yang menoleh dan memandang
Siau-hong, seakan-akan menganggap Liok Siau-hong sudah menjadi orang mati.
Betapapun menarik seorang mati, tentunya tidak ada orang yang sudi memandangnya
lebih lama. Siau-hong sendiri juga tiba-tiba merasa dirinya seperti berdiri di dalam
kuburan, tidak ada manusia, tidak ada suara, meski cahaya lampu masih menyala,
tapi seperti sudah berubah menjadi sangat gelap Apabila segala apapun tak
terlihat, setitik sinar harapan saja tak terlihai, apa pula gunanya cahaya
lampu" Entah selang berapa lama. Siau-hong masih berdiri termangu di situ tanpa
bergerak. Tempat ini memang asing baginya, kemana dia akan pergi"
Dia memang sudah berada di jalan buntu, dia dapat pergi ke mana"'
Pada saat itulah dia melihat sepasang mata dan satu tangan.
Tangan yang putih dan kecil, sepasang mata yang membawa senyuman. Itulah Yap
Ling yang sedang menggapai padanya di luar pintu.
Segera Siau-hong mendekatinya.
Biarpun di luar pintu terdapat seratus perangkap dan seribu jebakan yang sedang
menantikan, dia juga akan mendatanginya tanpa ragu.
Sebab dirasakannya keadaan yang menyendiri dengan keputus-asaan jauh lebih
menakutkan daripada mati.
Syukur di luar pintu tidak terdapat apa-apa, hanya ada satu orang dan kegelapan.
Mata Yap Ling dalam kegelapan tampak terang bagai bintang kejora. Dia memandang
Siau-hong dengan tersenyum, katanya tiba-tiba, "Selamat padamu!"
"Selamat apa?" Siau-hong merasa bingung.
"Sebab engkau tidak jadi mati," tutur Yap Ling. "Seorang asalkan dapat tetap
hidup adalah hal yang pantas diberi ucapan selamat."
"Memangnya aku mestinya mati?" tanya Siau-hong.
Yap Ling mengangguk.
"Dan sekarang?" tanya Siau-hong pula.
"Sekarang paling tidak engkau masih dapat hidup di Yu-leng-san-ceng ini."
Siau-hong menghela napas lega, ia coba bertanya pula, "Siapakah orang berbaju
kelabu tadi?"
"Tidak dapat kau terka?" jawab Yap Ling.
"Apakah Lau-to-pacu?" tanya Siau-hong.
Berputar biji mata Yap Ling, ia balas bertanya. "Kau kira dia orang macam apa?"
"Seorang yang menakutkan?"
"Kau pikir bagaimana ilmu silatnya."
"Tak dapat kulihat."
"Masa sampai dirimu tak dapat melihatnya.'
"Justru lantaran aku tak dapat menilainya. maka terasa menakutkan "
"Kau pikir seharusnya Lau To-pacu orang macam apa?" Tanya Yap Ling pula.
"Dengan sendirinya seorang yang sangat menakutkan." Yap Ling tertawa, "Jika
begitu orang tadi dengan sendirinya Lau-to-pacu, mestinya tidak perlu kau tanya
lagi." Siau-hong juga tertawa, namun bukan tertawa gembira. Seorang jago kelas tinggi
seperti dia, kalau mendadak menemukan seorang berkepandaian jauh lebih tinggi
daripadanya, maka perasaannya pasti tidak enak.
Tiba-tiba Yap Ling menarik muka dan mendengus, "Hm, hari pertama kedatanganmu
lantas bikin onar dan berkelahi segala, kalau tidak ada orang memintakan ampun
bagimu, saat ini sedikitnya engkau sudah mati dua kali."
"Siapa yang memintakan ampun bagiku?" tanya Siau-hong. Yap Ling menuding
hidungnya sendiri dan menjawab,
"Aku!" Siau-hong msnghela napas, "Ya, tentu saja kau. memang sudah kuketahui
pasti kau."
Tiba-tiba Yap Ling tersenyum manis, "Jika tahu, cara bagaimana akan kau balas
kebaikanku?"
Siau-hong tersenyum, "Akan kugigit hidungmu!" Yap Ling mendelik, mendadak ia
berjingkrak murka, "Enyah, lekas enyah ke sarang anjingmu, kalau tidak ada suara
genta dilarang keluar! "
"Inikah perintah Lau-to-pacu?" tanya Siau-hong. Tapi Yap Ling hanya mendengus
saja. "Dapatkah kutemui dia sekarang?"
"Tidak," jawab Yap Ling tegas. "Tapi bilamana dia ingin menemuimu, mau lak mau
harus kau temui dia."
Siau-hong menghela napas, "Ya. lumayan juga apabila seorang dapal istirahat
selama beberapa hari dengan tenang.
Susahnya kalau tidak makan nasi."
"Kau akan makan nasi, makan tiga kali sehari, ada enam macam sayuran dan semacam
kuah, boleh piilih sesukamu,
"kata Yap Ling.
"Apakah sekarang boleh kupesan santapanku untuk besok?" tanya Siau-hong.
"Boleh." jawab Yap Ling.
"Baik, aku ingin makan Ang-sio-ti-te, jamur cah ayam, bebek campur tiga segar,
hay-som masak ti-to dan..."
Yap Ling memandangnya dengan sorot mata yang menampilkan perasaan aneh.
"Aku gemar makan enak, jika kupesan santapan lezat kan tidak perlu diherankan,"
kata Siau hong.
"Aku cuma heran, mengapa tidak ingin kau makan hidanganku?" kata Yap Ling.
Lampu sudah dipadamkan, Siau-hong berbaring dalam kege lapan, inilah malam
pertama yang dilewatkannya di Yu-leng-san-ceng.
Baru setengah hari dia berada di sini dan sudah banyak kejadian aneh dan
menakutkan yang dialaminya, juga banyak orang aneh dan mengerikan yang
dilihatnya. Terutama Kau-hun-sucia dan Lau-to-pacu, betapa tinggi ilmu silat
kedua orang ini sungguh sukar dibayangkan olehnya.
Meski sekarang dia masih hidup, tapi bagaimana selanjutnya"
Ia tidak ingin merenungkannya lagi. Tiba-tiba ia merasakan semacam rasa takut
yang sukar dijelaskan.
Esok paginya, di lembah pegunungan masih penuh diliputi kabut, rumah gubuk kecil
itu serupa terapung di tengah awan, waktu membuka pintu, dirinya sendiri pun
terasa melayang-layang di udara, seperti juga mengambang di atas air.
Siau-hong menghela napas, ia menutup pintu lagi, perasaannya sangat tertekan.
Bab 8. Kesulitan Datang
Published by Hiu_Khu on 2008/1/17 (270 reads)
Satu-satunya suara yang dapat menggembirakan dia pagi ini adalah suara ketukan
pintu waktu pengantar makan datang.
Pengantar itu seorang burik, mukanya kaku, giginya kuning, mungkin tidak parnah
disikat, satu-satunya bagian tubuhnya yang menyenangkan orang hanya tangannya
yang menjinjing rantang santapan itu.
Rantang makanan itu memang berisi enam macam masakan yang sesuai dengan pesanan
Liok Siau-hong semalam.
Namun setiap macam masakan itu seluruhnya cuma terdiri secuil saja, secuil
kecil. Orang yang rabun mungkin sukar melihatnya.
Yang paling istimewa adalah masakan bebek campur tiga segar yang cuma terdiri
dari sekerat tulang bebek, secuil kulit bebek dan sehelai bulunya.
Keruan Siau-hong berjingkrak dan berteriak, "Inikah masakan bebek campur tiga
segar?" Si burik lantas mendelik dan menjawab, "Memangnya apa kalau bukan bebek" Apakah
kucing?" "Umpama betul bebek, lalu dimana tiga segar yang dimaksudkan?"
"Bulu bebek baru saja dibubut, kulit bebek juga baru saja disayat, tulang bebek
pun masih segar, apalagi ketiga macam ini jika tidak boleh disebut tiga segar?"
Mau tak mau Siau-hong jadi bungkam.
"Biang", si burik merapatkan daun pintu dengan keras dan tinggal pergi.
Memandangi keenam jenis masakan dan memandang pula semangkuk nasi di depannya,
Siau-hong jadi menyengir sendiri.
Baru sekarang dia paham apa sebabnya Yu-hun-siansing itu sedemikian berminat
menggeragoti tulang ayam.
Ia pegang sumpit, tapi lantas ditaruh kembali dan menghela napas,
Mendadak didengarnya di luar jendela sana juga ada orang menghela napas menyesal
dan berucap, "Ang-sio-ti-te yang kau dapat ini jauh lebih besar duripadu bagian
yang kumakan kemarin, sedikitnya satu kali lebih besar."
Tanpa berpaling Siau-hong tahu yang bicara itu ialah Yu-hun. si arwah
gentayangan, ia coba bertanya, "Makanan semacam ini sudah berapa lama kau
makan?" "Tiga bulan," jawab Yu hun.
Serentak dm menerobos masuk melalui jendela, dia pandang santapan di atas meja
sambil menjilat-jilat bibir, kutunya pula, "Ada rahasianya cara makan santapan
semacam ini, "Rahasia apa?" tanya Siau-hong.
"Setiap macam santapan itu harus dimakan dengan perlahan pahng baik digosok dulu
pada gigi lalu dijilat dengan lidah dengan begitu baru akan diketahui rasa
aslinya." "Bagaimana rasanya?" tanya Siau-hong.
"Rasanya membuat orang ingin mati dengan membenturkan kepala.
"Tapi sampai sekarang engkau sendiri belum lagi mati."
"Soalnya aku belum mau mati, jika orang lain menginginkan aku mati, aku jadi
bertambah gairah untuk hidup, supaya mereka tahu."
Siau-hong menghela napas gegetun, ucapnya, "Engkau dapat hidup sampai sekarang
tentu tidaklah mudah."
Yu-hun mengangguk perlahan, tiba-tiba dua titik air mata menetes.
Siau-hong tidak tega melihatnya, ia terus berbaring dan menutup kepalanya dengan
bantal. "Nasi sudah diantar kemari, kenapa tidak kau makan?" tanya Yu-hun.
"Boleh kau makan saja, aku tidak lapar."
"Tidak lapar juga harus makan, mau tak mau harus makan."
"Sebab apa?"
"Sebab engkau harus hidup!"
Mendadak ia tarik bantal yang menutupi muka Liok Siau-hong dan berteriak, "Jika
kau ingin mati, kan lebih baik kupukul mati kau sekarang juga, sebab pada
tubuhmu sekarang masih berdaging dan dapat kujadikan santapan sepuas-puasnya."
Siau-hong memandangnya, memandang, muka orang yang tinggal kuh. membungkus
tulang itu. lalu katanya. "Aku she Liok bernama Siau-hong."
"Kutahu," jawab Yu-hun.
"Dan siapa engkau" Mengapa bisa datang ke sini?" Tanya Siau-hong dengan matanya
yang cekung, lalu balas bertanya, "Engkau sendiri mengapa bisa datang ke sini?"
"Sebab...."
"Sebab engkau berbuat salah dan dikejar orang hingga kepepet, terpaksa menuju
kejalan kematian ini." potong Yu-hun. Siau-hong mengangguk.
"Sekarang orang Kangouw tentu mengira engkau sudah mati, Sebun Jui-soat juga
menyangka dirimu sudah mati, makanya dapat kau hidup terus di sini."
"Dan kau?" tanya Siau-hong.
"Aku pun begitu juga," jawab Yu-hun. "Baik Ciangkun, Piauko, Kaucu, Koan-keh-po
dan lain-lain, keadaan mereka juga sama saja."
"Aku tidak takut asal-usulku diketahui mereka," ujar Siau-hong.
'Tapi mereka justru takut padamu." "Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab mereka masih tidak mempercayai dirimu. Betapapun mereka tidak ingin orang
lain mengetahui mereka masih hidup, kalau ...."
"Kalau tidak, musuh mereka pasti akan menyusul kemari, begitu?"
"Betul," jawab Yu-hun.
"Bagaimana dengan dirimu" Kau pun tidak percaya kepadaku?"
"Seumpama aku percaya padamu juga tak dapat kuberitahukan asal-usulku."
"Mengapa?" tanya Siau-hong.
Tiba-tiba sorot mala Yu-hun menampilkan semacam perasaan aneh, entah takut,
entah pedih. "Tidak, tidak dapat kukatakan, tidak boleh ...." ia bergumam seperti
memperingatkan dirinya sendiri, lalu tubuhnya hendak melayang pergi lagi
Namun sekali ini Liok Siau-hong tidak membiarkan orang pergi, secepat kilat ia
pegang tangan orang dan bertanya pula sekali, "Apa sebabnya?"
"Sebab ....." agaknya Yu-hun juga memutuskan akan bicara te rus terang, "sebab
kalau kukatakan, kita takkan bersahabbat lagi." Siau-hong tetap tidak paham dan
ingin hartanya pula siapa tahu tangan Yu-hun yang kurus kering itu mendadak
berubah se lunak kapas dan licin, tahu-tahu terlepas dan pegangannya. Padahal
belum pernah ada tangan orang yang dapat lolos dari pegangan Liok Siau-hong.
Waktu Siau-hong hendak memegang lagi, namun Yu-hun sudah menerobos keluar
jendela dan melayang pergi serupa arwah gentayangan benar-benar.
Siau-hong jadi melengak. Belum pernah dilihatnya orang menguasai Nuikang (kungfu
lunak) setinggi ini. mungkin dia cuma pernah mendengar saja, rasanya Sukong Tiseng pemah bercerita, tapi sudah tidak teringat lagi ....
Dan begitulah, sudah dua-tiga hari Liok Siau-hong berdiam di gubuk itu. Malahan
tepatnya dua hari atau tiga hari, atau mungkin sudah empat hari, sampai dia
sendiri tidak ingat lagi dengan jelas.
Rupanya lapar selain dapat membuat orang kehilangan tenaga, juga dapat merusak
daya pikir orang, membuat orang melupakan segala apa yang seharusnya dipikirkan
olehnya. Seorang berbaring sendirian di dalam gubuk seperti kotak burung merpati dengan
menahan lapar, siapa yang tahan penderitaan semacam ini"
Rupanya cuma Liok Siau-hong saja yang tahan. Urusan yang dapat ditahan oleh
orang mungkin bisa membuatnya meledak, tapi urusan yang orang lain tidak tahan
diajustru sanggup bertahan.
Akan tetapi ketika mendengar suara genta berbunyi, tanpa terasa ia pun melonjak
kegirangan. "Kalau genta tidak berbunyi, dilarang keluar". Sekarang genta berbunyi, ia
melompat bangun dan menerjang keluar, sampai sepatu saia tidak sempat dipakai
lagi. Di luar tetap ada kabut, waktunya senja sehingga masih kelihatan sisa cahaya
mentari yang mengintip di balik kabut tebal sana dan memantulkan lingkaran
pelangi yang indah.
Betapapun dunia ini tetap permai, dapat hidup tetap merupakan sesuatu yang
menggembirakan.
Ruangan pendopo itu masih tetap dihadiri 36 atau 37 orang saja, tiada satu pun
yang dikenal Liok Siau-hong.


Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang yang pernah dilihatnya seluruhnya tidak berada di sini, baik Kau-hunsucia, Ciangkun, Yu-hun, Yap Ling dan lain-lain, entah mengapa tidak ada yang
hadir. Juga Tokko Bi, entah mengapa lantas lenyap begitu saja di lembah
pegunungan ini.
Ia mencari tempat duduk yang terletak di pojok, tidak ada yang menghiraukan dia,
bahkan tidak ada yang meliriknya, air muka setiap orang tampak prihatin,
perasaan setiap orang seperti sangat tertekan.
Orang yang hidup di tempat begini mungkin senantiasa demikian, Siau-hong
menghela napas gegetun. Waktu ia memandang ke depan baru diketahui panggung yang
semula terdapat tungku itu sekarang sudah berganti pajangan, yang terletak di
situ adalah sebuah peti mati.
Peti mati baru gres, malahan belum dipantek tutupnya. Entah siapa yang mati"
Apakah Ciangkun" Mereka mendatangkan Liok Siau-hong, apakah hendak menuntut
balas bagi Ciangkun.
Selagi Siau-hong merasa tidak tenteram, segera dilihatnya Yap Ling berlari
masuk. Anak perempuan yang suka bergurau dan suka berbaju merah itu sekarang telah
berganti baju berkabung, bahkan kelihatan menangis sangat sedih. Dan begitu dia
menerobos masuk, segera ia menubruk di atas peti mati dan menangis.
Siau-hong tidak menduga nona ini bisa menangis sedih begitu bagi orang lain, dia
masih muda, cantik dan lincah, hal-hal yang menyedihkan dan kemalangan rasanya
seperti takkan menimpa dirinya. Memangnya siapa yang mati dan ada hubungan apa
dengan dia"
Selagi Siau-hong hendak mencari kesempatan untuk menghibur nona itu, siapa tahu
Yap Ling lantas berseru padanya,
"Liok Siau-hong, kemari kau!"
Terpaksa Siau-hong mendekatinya. Ia tak tahu mengapa mendadak Yap Ung bisa
memangnya. Ia tidak ingin terlalu mendekat.
Tapi Yap Ling lantas berkaok-kaok mendesaknya supaya berjalan lebih cepat dan
lebih mendekat ke sana, ke atas panggung.
Waktu S.au-hong menengadah, baru sekarang dilihatnya nona itu sedang menatapnya
dengan matanya yang mengembeng air mata, memandangnya dengan benci dan penuh
rasa permusuhan. Kau minta kunaik ke atas?" Siau-hong bertanya.
Yap Ling mengangguk.
"Untuk apa naik ke situ?" tanya Siau-hong pula.
"Supaya dapat kau lihat dia!" kata Yap Ling.
'Dia' yang dimaksudkan jelas orang yang membujur di dalam peti mati. Padahal
orang mati, apa yang perlu dilihat lagi"
Akan tetapi sikap Yap Ling tampak tidak sabar dan mengharuskan Liok Siau-hong
melihatnya ke atas panggung.
Dengan terpaksa Siau-hong naik ke situ.
Yap Ling menggeser tutup peti mati sehingga teruar bau harum yang keras
bercampur bau busuk mayat. Jenazah dalam peti jelas sudah membusuk, mengapa nona
itu berkeras menyuruh Siau-hong melihatnya"
Terpaksa Siau-hong memandangnya sekejap dan segera ia ingin tumpah.
Orang yang mati ternyata Yap Koh-hong adanya. Yap Koh-hong yang mati di tengah
hutan pemakan manusia itu.
Dengan menggreget Yap Ling menatap Siau-hong dan bertanya, "Kau tahu siapa dia?"
Siau-hong mengangguk.
"Dia adalah kakakku, kakak kandungku, jika tak d.rawat oleh dia sejak kecil
tentu aku sudah mati kelaparan," sorot mata Yap Ling penuh rasa duka dan dendam.
"Dan sekarang dia mati terbunuh, kau bilang aku harus menuntut balas baginya
atau tidak?"
Siau-hong mengangguk pula.
Dia tidak suka berdebat dengan orang perempuan, apalagi dalam keadaan demikian,
hakikatnya tidak ada tempat baginya untuk bicara.
"Kau tahu cara bagaimana kematiannya?" kembali Yap Ling bertanya.
Siau-hong jadi serba salah, tidak dapat mengangguk, tidak dapat menggeleng, tak
bisa memberi penjelasan, juga tidak dapat menyangkal. Sungguh ia ingin ada
sebuah peti mati lain agar dia dapat sembunyi di dalamnya.
"Hm, biarpun tidak kau katakan juga kutahu," jengek Yap Ling.
"Kau tahu apa?" tanya Siau-hong tidak tahan.
"Dia mati di hutan maut sana, baru tiga hari dia mati, selama tiga hari ini
hanya dirimu saja yang melalui hutan sana."
"Memangnya kau kira aku yang membunuh dia?" tanya Siau-hong dengan menyengir.
"Ya," seru Yap Ling.
"Salah!" tiba-tiba-seorang menanggapi sebelum Siau-hong menjawab.
"Apa" Salah?" teriak Yap Ling murka.
"Ya, salah, sebab orang yang pernah melalui hutan sana selama tiga hari ini
tidak cuma Liok Siau-hong saja seorang."
Yang tampil dan bicara membela Liok Siau-hong itu ternyata bukan lain daripada
Tokko Bi yang menghilang sejak masuk perkampungan hantu ini.
"Sedikitnya aku pun parnah lewat di hutan sana, aku pun datang dari sana,"
demikian Tokko Bi menambahkan.
"Masa kau pun masuk hitungan" Kau mampu membunuh kakakku?" teriak Yap Ling.
"Seumpama aku tidak dapat, kan masih ada orang lain," ujar Tokko Bi dengan
menyesal. "Masih ada orang lain?" Yap Ling menegas.
Tokko Bi mengangguk, "Ya. seumpama aku bukan tandingan kakakmu, tapi bagi orang
itu tidaklah terlalu sulit jika dia mau mem bunuh kakakmu."
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Yap Ling dengan gusar.
"Sebun Jui-soat!" jawab Tokko Bi. Matanya bercahaya seperti mengandung senyum
yang licik seperti seekor rase tua, lalu menambahkan. "Nama ini pernah kau
dengar bukan"'
Air muka Yap Ling berubah seketika, dengan sendirinya dia pernah mendengar nama
itu. Sebun Jui-soat, pedang saktinya pedang, dewa pedangnya manusia.
Setiap orang asalkan mendengar satu kali nama ini dan takkan terlupakan
selamanya. Tokko Bi meliriknya sekejap, lalu berucap pula, "Apalagi ketika itu Liok Siauhong sendiri juga terluka sangat parah, keadaannya ketika itu paling-paling
hanya setengah Liok Siau-hong, apakah mampu membunuh si Naga Putih dari Bu-tongpay yang termashur ini?"
"Dusta! Kau dusta!" teriak Yap Ling pula.
Kembali Tokko Bi menghela napas, ucupnya, "Seorang kakek yang biasanya sanak
famili sendiri saja tidak mau dikenal, masakah perlu berdusta bagi orang lain?"
Dengan sendirinya tiada alasan lagi bagi Yap Ling untuk menuduh Liok Siau-hong.
Malam masih diliputi kabut tebal, jalan sempit. Sudah sangat jauh mereka jalan
berendeng di jalan yang sempit ini tanpa bicara.
"Seorang kakek yang biasanya tidak kenal sanak famili lagi, mendapa mau berdusta
bagiku?" akhirnya Siau-hong buka mulut. Tokko Bi tertawa, "Sebab kakek ini suka
padamu. Tapi cepat ia menambahkan. "Cuma untunglah kakek mi tidak mempunya,
penyakit seperti Hun-yan-cu yang suka kepada sesama jenisnya, maka sama sekali
engkau tidak perlu kuatir.
Siau-hong juga tertawa, "Dan kakek in, apakah punya arak?" "Bukan saja arak,
juga ada daging."
"Benar!" tambah cerah tertawa Siau-hong. "Selain ada daging, juga masih ada
sahabat," Kata Tokko Bi.
"Sahabatmu atau sahabatku?"
"Sahabatku sama dengan sahabatmu."
Araknya memang arak baik, sahabatnya juga sahabat baik.
Bagi seorang tukang minum arak, arti sahabat baik biasanya adalah sahabat yang
besar takaran minumnya.
Sahabat ini bukan saja menyenangkan caranya minum arak, cara bicaranya juga
menyenangkan, setelah menenggak beberapa cawan, tiba-tiba ia bertanya, "Kutahu
engkau ini Liok Siau-hong, dan kau tahu siapa diriku?"
"Tidak tahu," jawab Siau-hong.
"Mengapa tidak kau tanyakan?"
Siau-hong tertawa, tertawa getir, "Sebab aku sudah mendapatkan pelajaran."
"Sudah pernah kau tanya orang lain dan orang lain tidak mau bicara?"
"Ehm," Siau hong mengangguk.
"Tapi aku bukan orang lain, aku ialah aku," dia tenggak habis arak yang berada
pada tangan kirinya, lalu tangan kanan mengait sepotong daging.
Daging dikait dan bukan dipegang, sebab tangan kanannya bukan tangan melainkan
sebuah kaitan, kaitan besi.
"Engkau inikah Kaucu?" akhirnya Siau-hong teringat kepada orang ini.
Kaucu atau si kait mengangguk, "Kutahu engkau pasti pernah mendengar diriku dari
orang lain, tapi ada satu hal pasti tidak kau ketahui "
"Hal apa?" tanya Siau-hong.
"Yaitu pada hari pertama kedatanganmu sudah timbul niatku untuk bersahabat
denganmu," Kaucu menepuk pundak Tokko Bi dan menyambung, "sebab sahabatmu juga
sahabatku, musuhmu juga musuhku."
"Jika sahabat kita adalah dia, lantas siapa musuh kita?" tanya Siau hong.
"Sebun Jui-soat!" jawab Kaucu.
Siau-hong melengak, "Hei, kau ...."
"Aku inilah Hay Ki-hoat!" tukas si kait.
Siau-hong tambah terkejut, "Hay Ki-hoat si Tok-pi-sin-liong (naga sakti
bertangan satu) yang dahulu namanya menggetarkan tujuh samudera raya itu?"
"Hahahaha!" si kait alias Hay Ki-hoat bergelak, Tak tersangka Liok Siau-hong
juga kenal namaku!"
Siau-hong memandangnya dengan tercengang dan juga sangsi, tiba-tiba ia
menggoyang kepala dan berkata, 'Tidak, kau bukan dia, Hay Ki-hoat sudah mati
tenggelam di laut."
Tertawa Hay Ki-hoat bertambah riang, "Yang mati adalah seorang lain, seorang
yang memakai jubahku dan membawa senjataku, wajahnya juga mirip diriku."
Lalu dia memberi penjelasan pula, "Orang yang berada di sini semuanya pasti
sudah pernah mati satu kali di luar sana, bukankah kau pun begitu?"
Akhirnya Siau-hong mengerti, "Ya, inilah Yu-leng-san-ceng, hanya orang mati saja
yang dapat datang ke sini."
Hay Ki-hoat bergelak tertawa, "Jika Sebun Jui-soat mengetahui kita masih minum
arak dan makan daging di sini, mungkin dia bisa mati kaku saking gemasnya."
"Tampaknya di sini masih terdapat banyak sahabatku," ucap Siau-hong.
"Tidak salah, di sini sedikitnya ada 16 orang yang terdesak oleh Sebun Jui-soat
dan terpaksa lari ke sini," kata Hay Ki-hoat.
Gemerdep sinar mata Liok Siau-hong. tanyanya dengan tiba-tiba, "Apakah ,uga ada
beberapa orang yang kabur ke sini karena terdesak olehku?"
"Seumpama ada juga tidak perlu kau kuatirkan," ujar Hay Ki-hoat.
"Ya, sebab aku sudah mempunyai sahabat seperti kalian ini."
"Tepat" seru Hay Ki-hoat sambil mengangkat cawan araknya lagi, mendadak ia
mendesis pula. "Hanya ada seorang yang khusus perlu kau perhatikan."
"Siapa?" tanya Siau-hong.
"Sebenarnya dia tidak dapat terhitung manusia melainkan cuma arwah gentayangan
saja." "Ah, Yu-hun yang kau maksudkan."
"Pernah kau lihat dia?" tanya Hay Ki-hoat.
Siau-hong tidak menyangkal.
"Kau tahu dia orang macam apa?"
"Aku justru sangat ingin tahu."
"Di sini ada sebuah perkumpulan yang sangat aneh, namanya Goat-lo-hwe (kumpulan
pini-sepuh). Pada waktu Lau-to-pacu tidak ada, segala urusan di sini menjadi
tanggung jawab Goat-lo-hwe."
"O, anggota Goat-lo-hwe dengan sendirinya adalah para sesepuh, tentu Anda
termasuk satu di antaranya," kata Siau-hong
"Kecuali diriku, Goat-lo-hwe masih ada delapan anggota lain, padahal sesepuh
yang sesungguhnya cuma ada dua orang."
"Dua orang yang mana?" tanya Siau-hong.
"Seorang ialah Kau-hun dan yang lain ialah Yu-hun." tutur Hay Ki-hoat. "Mereka
dan ayah dari kakak beradik she Yap itu adalah tokoh yang membangun tempat ini
bersama Lau-to-pacu dahulu, sekarang Yap tua sudah mati, orang yang berada di
sini tidak ada yang lebih tinggi tingkatannya daripada mereka."
"Hanya lantaran ini harus khusus kuperhatikan dia?" tanya Siau-hong.
"Masih ada satu hal lain," ujar Hay Ki-hoat.
Siau-hong mengangkat cawan arak dan menunggu ceritanya lagi
"Dia adalah sesepuh tempat ini. jika dia ingin membunuhmu setiap saat dapat
ditemukan kesempatan, sebaliknya sama sekali tak dapat kau sentuh dia."
"Ada alasannya hendak membunuhku?" tanya Siau-hong.
"Ada." kata Hay Ki-hoat, "sebab kau bunuh anaknya,"
"Anaknya" Siapa anaknya?" tanya Siau-hong.
"Hui-thian-giok-hou!"
Siau hong menarik napas dingin, tiba-tiba ia merasa arak yang diminumnya berubah
menjadi air cuka.
Sebenarnya dia yang mendirikan Hek-hou-pang," tutur Hay Ki-hoat pula. "Pada
waktu Hek-hou-pang sudah mulai berakar de ngan kuat, dia justru ikut Lau-to-pacu
ke sini. Sebab dia juga telah menyalahi seorang yang mestinya tidak boleh
dimusuhi, karena tiada jalan, terpaksa dia lari ke sini."
"Siapa musuhnya?" tanya Siau-hong.
"Bok-tojin, sesepuh dan tokoh terkenal Bu-tong-pay."
Tanpa terasa Liok Siau-hong menarik napas lagi, baru diketahuinya sekarang
mengapa sebegitu jauh Yu-hun tidak mau menceritakan asal-usulnya.
"Hek-hou-pang kan hancur di tanganmu, anaknya juga mati di tanganmu. Kebetulan
Bok-tojin juga sahabatmu, coba pikir, bukankah cukup alasan baginya untuk
membunuhmu?"
"Ya, benar," Siau-hong menyengir.
"Yang paling runyam adalah biarpun jelas kau tahu dia hendak membunuhmu, tapi
engkau justru tidak dapat menyentuhnya."
"Sebab dia adalah sesepuh dalam Goat-lo-hwe?" tanya Siau-hong.
Hay Ki-hoat mengangguk, "Selain dia, Goat-lo-hwe masih ada delapan anggota lagi,
jika kau bunuh dia, kedelapan orang itu juga takkan tinggal diam. Dan dapat
kujamin, tidak ada seorang pun di antara kedelapan orang itu lawan empuk
bagimu." "Makanya terpaksa harus kutunggu dia turun tangan lebih dulu " kata Siau-hong
dengan menyesal.
"Sebelum dia yakin sekali serang pasti berhasil, tidak nanti d.a turun tangan,"
ujar Hay Ki-hoat.
"Sekarang dia belum turun tangan, mungkin dia sedang menunggu kesempatan."
Meski Siau hong tidak bicara lagi, tapi dia tidak menutup mulut. Mulutnya lagi
asyik minum arak.
Kembal. Hay Ki-hoat menghela napas, katanya. Jika kau ma buk, maka tibalah
kesempatan baginya.'
"Kutahu." kata Siau-hong.
"Dan kau tetap minum?"
Tiba2 Siau-hong tertawa, "Kalau dia sesepuh, akhirnya tentu akan memperoleh
kesempatan baik, mengapa sebelum mati aku tidak minum arak lebih dulu."
Minum arak tidak sama dengan makan nasi.
Orang yang biasanya takaran makannya cuma tiga mangkuk, tak mungkin dia mampu
makan tiga puluh mangkuk.
Namun orang yang biasanya tidak pernah mabuk biarpun minum tiga ratus cawan,
terkadang cukup minum beberapa cawan saja bisa membuatnya mabuk.
Dan sakarang bukankah Liok Siau-hong sudah mabuk"
"Tidak, aku tidak mabuk," demikian ia mendorong Tokko Bi dan Hay Ki-hoat. "Aku
dapat pulang sendiri, kalian tidak perlu mengantarku."
Dia memang tidak kesasar. Memang begitulah orang mabuk, biarpun kelihatan
sempoyongan dan hampir tak tahu apa-apa lagi tapi dia masih tahu jalan untuk
pulang, setiba di rumah barulah ia ambruk.
Seorang peminum arak pasti mempunyai pengalaman demikian. Dan Liok Siau-hong
juga punya pengalaman serupa ini, malahan sering.
Meski gubuk ini kecil seperti kotak merpati, apapun juga terhitung rumahnya.
Seorang petualang yang tak menentu tempat tinggalnya, sehabis mabuk ternyata
menemukan dirinya dapat pulang ke rumah. Sungguh penemuan yang menyenangkan.
Siau-hong lantas berdendang dan entah membawakan lagu apa, suaranya bertambah
keras, tiba-tiba ia merasa suara sendiri semakin merdu
Di dalam rumah tidak ada cahaya lampu, tapi begitu dia mendorong pintu, segcra
dirasakan di situ ada seorang.
"Kutahu siapa dirimu, tanpa bersuara juga kutahu," Siau hong tertawa, suara
tertawanya juga sangat keras. "Engkau ialah Yu-hun, sesepuh tempat ini, kau
tunggu diriku di sini, apakah benar hendak kau bunuh diriku?"
Orang di dalam rumah tetap tidak bersuara.
Liok Siau-hong tergelak, "Seumpama hendak kau bunuh diri ku juga tidak akan main
sergap, betul tidak" Sebab engkau adalah murid utama Bu-tong-pay dari keluarga
preman, sebab engkau ialah Ciong-siansing Ciong Bu-kut."


Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia melangkah masuk dan merapatkan pintu, lalu mencari geretan sambil berucap
pula, "Sebenarnya engkau juga sahabat lama Bok-tojin, tapi tidak pantas kau
bentuk sindikat semacam Hek-hou-pang secara sembunyi-sembunyi, kalau tidak,
masakah Bok-tojin perlu bertindak padamu."
Tetap tidak ada suara jawaban, tapi sudah ada cahaya api. Begitu api menyala
segera menyinari sebuah wajah orang, wajah yang tinggal kulit membungkus tulang,
matanya yang cekung seperti tengkorak itu sedang menatap Siau-hong tanpa
berkedip. "Jika sekarang kita sudah menjadi orang mati, untuk apa pula mempersoalkan
urusan masa lampau, apalagi...."
Liok Siau-hong tidak malanjutkan ucapannya, suaranya terputus mendadak, geretan
api juga padam seketika. Sebab tiba-tiba diketahuinya Ciong-siansing ini benarbenar telah menjadi orang mati.
Keadaan gelap gulita, Siau-hong berdiri dalam kegelapan tanpa bergerak, kaki dan
tangan terasa dingin, sekujur badan juga dingin seperti terjerumus ke dalam gua
es. Cuma di sini bukan gua es melainkan sebuah perangkap.
Sudah dapat dirasakannya, cuma dia tidak dapat lari keluar. Hakikatnya tiada
jalan lari baginya.
Maka dia lantas berduduk saja di situ. Baru saja berduduk, dari luar lantas
berkumandang suara kaki orang berjalan, menyusul ada orang menggedor pintu.
"Apakah engkau sudah tidur" Aku ingin bicara denganmu!" suaranya merdu, itulah
suara Yap Ling.
Siau-hong bungkam saja tanpa menjawab.
"Kutahu engkau tidak tidur, mengapa tidak lekas membuka pintu?" suara Yap Ling
bertambah bengis. "Apakah di dalam rumah tersembunyi orang perempuan?"
Akhirnya Siau-hong menghela napas dan berucap. "Di dalam rumah ini tidak ada
orang perempuan, setengah orang saja tidak ada. tapi ada satu setengah orang
mati." Dengan suara lebih garang Yap Ling berteriak pula, "Sudah kuperingatkan, bila
berani kau masukkan orang perempuan ke dalam rumah, segcra akan kubunuh kau, tak
peduli orang perempuan itu hidup atau mati."
"Blang", mendadak pintu didobrak.
Api lantas menyala lagi dan akhirnya Yap Ling dapat melihat si orang mati,
tanyanya, "Masih ada lagi setengah, dimana?"
"Yang mati setengah ialah diriku," ucap Siau-hong sambil menyengir.
Yap Ling memandangnya, lalu memandang orang mati pula, mendadak ia berjingkrak
dan berteriak, "Hah, kau bunuh dia" Mana boleh kau bunuh dia" Kau tahu siapa
dia?" Siau-hong tidak buka mulut, juga tidak perlu buka mulut, sebab di luar ada orang
mewakili dia menjawab, "Dia tahu!"
Rumah itu sangat kecil, jendelanya terlebih kecil. Yap Ling sendiri berdiri di
ambang pintu, orang di luar pada hakikatnya tidak dapat masuk.
Tapi mereka mempunyai caranya sendiri. Mendadak terdengar suara "blang" sekali,
dinding gubuk itu tercerai-berai, atap rumah juga ambruk, orang yang semula
berada di dalam rumah mendadak sudah berada di tempat terbuka.
Siau-hong tidak bergerak. Ambruknya atap rumah menjatuhi dia, tapi dia tidak
menahannya dengan tangan, juga tidak menghindar, ia cuma menghela napas panjang
saja. Untuk pertama kalinya dia mempunyai rumah ini, mungkin sekali juga unluk
penghabisan kalinya.
"Kiranya di dunia ini selain ada manusia sial juga ada rumah sial," ucap Siauhong dengan gegetun. "Rumah ini sial sebab salah memilih penghuni, orang menjadi
sial karena salah berkawan."
"Tapi kesialanmu justru lantaran .salah berbuat sesuatu."
"Segala apa boleh kau lakukan, mengapa justru kau bunuh dia?"
"Kan sudah kukatakan padamu, sekalipun kau tahu dia hendak membunuhmu juga
jangan kau sentuh dia. kalau tidak, aku pun ti-dak akan melepaskan dirimu."
Pembicara terakhir itu ialah Hay Ki-hoat, dua pembicara yang lain, yang seorang
bermuka putih tanpa kumis atau jenggot berpakaian perlente. Seorang lagi tinggi
kurus, hidung bengkok dan punggung bungkuk, mukanya selalu mengulum senyum. Muka
yang satu selalu gembira, muka yang lain senantiasa masam.
"Yang manakah Piauko?" tanya Siau-hong tiba-tiba. Muka Piauko yang putih licin
itu masih mengulum senyum, tapi dia sengaja menghela napas dan berucap, "Untung
aku bukan Piaukomu, kalau tidak, aku kan bisa ikut susah."
Siau-hong juga menghela napas menyesal dan berkata, "Untung kau bukan Piaukoku,
jika tidak mungkin aku akan bunuh diri." "Kujamin engkau tidak perlu bunuh diri,
kami punya banyak cara untuk membikin kau mati," ujar Piauko dengan tertawa
gembira seakan-akan merasa puas terhadap setiap patah kata yang diucapkannya.
Tiba-tiba yang seorang lagi menanggapi, "Aku memang Koan-keh-po (pengurus rumah
tangga), maka mau tak mau urusan ini aku harus ikut mengurus. Sebenarnya aku
sudah malas bekerja, selama beberapa bulan terakhir ini aku tidak dapat tidur
dengan nyenyak, selalu pinggang linu dan punggung pegal, gigi juga sering
sakit ..." Ia terus mengomel dan mengeluh, bukan saja tidak puas terhadap
kehidupannya sendiri, juga tidak puas terhadap orang lain.
"Sungguh tidak tersangka, sekaligus telah datang tiga anggota Goat-lo-hwe ke
sini," ucap Siau-hong dengan tersenyum getir. "Empat, bukan tiga," tukas Yap
Ling tiba-uba. "Termasuk kau?" tanya Siau-hong dengan terkejut.
"Arti Goat-lo adalah mengenai kedudukannya dan bukan usianya " jawab Yap Ling
dengan ketus. "Jawaban bagus," seru Piauko.
Koan-keh-po lantas bicara pula, "Jika Lau-to-pacu tidak ada, asalkan jumlah
suara di antara anggota Goat-lo-hwe lebih banyak yang menyetujui, maka segala
keputusan dapat dijatuhkan."
"Jumlah suara lebih banyak meliputi berapa orang?" tanya Siau-hong.
"Anggota Goat-lo-hwe berjumlah sembilan orang, suara lebih banyak dengan
sendirinya adalah lima orang."
"Tetapi sekarang kalian yang hadir sepertinya cuma empat orang," ujar Siau-hong
dengan menghela napas.
"Lima," tukas Koan-keh-po.
"Yang sudah mati juga dihitung?" tanya Siau-hong.
"Orang di sini memang orang mati semua, Ciong-siansing hanya mati lebih banyak
satu kali saja."
"Maka sekarang juga kalian dapat mengambil sesuatu keputusan?" tanya Siau-hong
pula. "Engkau sangat pintar, dengan sendirinya kau tahu urusan apa yang hendak kami
putuskan," ucap Piauko degan perlahan.
"Yang akan kami putuskan adalah engkau pantas mati tidak?" sambung Koan-keh-po.
"Masa aku tak mendapat kesempatan sama sekali untuk membela diri?" tanya Siauhong. "Tidak ada," jawab Koan-keh-po.
Siau-hong cuma menyengir saja.
"Nah, menurut pendapat kalian, dia pantas mati tidak?" tanya Hay Ki-hoat.
"Dengan sendirinya pantas mati!" seru Koan-keh-po.
"Jelas pantas mati," sambung Piauko.
Hay Ki-hoat menghela napas menyesal katanya pula, "Kukira pendapat Ciongsiansing tentu juga sama dengan kalian."
"Sekarang tinggal minta pendapat nona Yap cilik saja," kata Piauko.
Yap Ling menggigit bibir dan melirik Siau-hong sekejap, pandangannya serupa
seckor kucing yang berhasil mencengkeram seckor tikus.
Pada saal itulah mendadak dan dalam hutan yang gelap sana ada orang berseru,
"Kenapa tidak kalian tanyakan pendapatku?"
Tiba-tiha dalam hutan yang gelap itu ada cahaya lampu bergeser, muncul dua gadis
cilik berdandan sebagai dayang istana dan membawa lampu berkerudung, seorang
perempuan berambut sangat panjang mengikut di belakang kedua gadis cilik itu
dengan langkah kemalas-malasan.
Perempuan ini tidak terlalu cantik, tulang pipinya terlalu tinggi, mulutnya juga
agak lebar, kedua matanya sayu seperti orang yang senantiasa merasa ngantuk.
Pakaiannya juga bebas, hanya mengenakan jubah tidur warna hitam yang sangat
longgar, malahan seperti baju tidur orang lelaki cuma diikat dengan seutas tali
pinggang sekenanya, rambutnya pan-jang terurai, bertelanjang kaki tanpa kaos dan
sepatu. Namun tidak perlu disangsikan lagi dia seorang perempuan yang istimewa,
kebanyakan lelaki pasti akan terpikat bilamana memandangnya sekejap saja.
Melihat kemunculan perempuan ini, Piauko lantas mengernyitkan kening, sedangkan
Yap Ling mencibir, Koan-keh-po tersenyum dan bertanya, "Menurut pendapatmu dia
pantas mati tidak?"
"Tidak," jawab perempuan itu singkat dan tegas.
Mestinya Yap Ling belum memberi pendapatnya, sekarang mendadak ia melonjak dan
berteriak, "Sebab apa tidak?"
Perempuan itu tertawa kemalas-malasan Iagi, katanya, "Untuk menjatuhkan hukuman
mati kepada seorang, paling tidak kalian harus membuktikan kesalahannya, dan
kalian mempunyai bukti apa?"
"Mayat Ciong-siansing adalah bukti yang nyata," kata Koan-keh-po.
Perempuan berjubah hitam itu menggeleng, ucapnya, "Jika kau bunuh orang,
dapatkah kau sembunyikan mayat di dalam rumah sendiri?"
Koan-keh-po memandang Piauko dan Piauko memandang Hay Ki-hoat, ketiga orang
sama-sama tidak dapat menjawab.
Serentak Yap Ling melonjak lagi dan berteriak, "Mereka tidak punya bukti, aku
ada." "Kau ada bukti apa?" tanya perempuan berjubah hitam.
"Kusaksikan sendiri dia membunuhnya." jawab Yap Ling.
Ucapan ini tidak saja membikin Siau-hong terkejut, bahkan Piauko dan lain-lain
juga melenggong.
Sebaliknya si perempuan berjubah hitam tidak memperlihatkan sesuatu perasaan,
ucapnya dengan tak acuh.
"Umpama benar kau lihat juga tidak ada gunanya."
"Siapa bilang tidak ada gunanya?" teriak Yap Ling pula.
"Aku," jawab perempuan berbaju hitam.
Dengan langkah kemalasan dia mendekati Liok Siau-hong, sebelah tangan menggantol
pada tali pinggang dan tangan lain membetulkan rambut sambil berkata, "Jika di
antara kalian ada yang tidak tunduk, boleh coba berurusan dulu denganku."
"Ai, mengapa engkau bertindak begini" Mengapa?" ujar Hay Ki-hoat dengan
menyesal. "Sebab aku suka, dan engkau tidak perlu urus," jawab perempuan itu.
Hay Ki-hoat mendelik "Jadi sengaja kau paksa kami turun tangan?"
"Memangnya kau berani?" ejek perempuan itu.
Mata Hay Ki-hoat menjadi merah seperti mau menyemburkan api, tapi satu jari saja
tidak berani bergerak.
Senyum Piauko tidak nampak Iagi menghiasi wajahnya, katanya dengan muka masam,
"Hoa-kuahu, hendaknya kau tahu diri sedikit. Meski orang she Hay menaksir
dirimu, aku tidak pernah berurusan denganmu."
Hoa-kuahu atau si janda Hoa meliriknya sekejap dan mendengus, "Hm, memangnya kau
bisa apa" Hanya beberapa jurus pedang yang kau dapatkan dari Pah-san Tosu tua
itu juga berani berlagak di depanku?"
Muka Piauko yang kelam itu mendadak berubah merah padam, sambil menggertak ia
melolos pedang, sebilah pedang lemas yang biasanya melingkar pada pinggangnya.
Sekali pedang lemas disendal seketika terjulur lurus, serentak ia pun menubruk
maju. Siau-hong tidak menduga orang yang sok berlagak itu juga hisa meledak amarahnya
ketika merasa terhina.
Namun janda Hoa seperti sudah menduga apa yang akan terjadi, tangan yang
menyangkul ikat pinggang itu mendadak bergerak, tali pinggang dari kain yang
lemas im mendadak terlepas dan juga menjulur lurus terus membelit pedang Piauko.
Hanya baja baik yang dapat digembleng menjadi pedang yang lemas, siapa tahu ikat
pinggang kain tak putus ditabas ujung pedangnya.
Waktu Hoa-kuahu menyendal lagi, ikat pinggang menyambar pula, plok tepat
mengenai muka Piauko.
Muka Piauko lantas merah bengap. Muka Siau-hong mendadak juga merah.
Dengan sendirinya merah muka Siau-hong berbeda dengan merah muka Piauko. Merah
muka Siau-hong disebabkan jengah melihat sesuatu, sebab tiba-tiba diketahuinya
di balik baju tidur Hoa-kuahu ternyata tidak terdapat sehelai benang pun.
Waktu ikat pinggang dikebutkan lagi, baju Hoa-kuahu terbuka, maka bagian
tubuhnya yang paling vital hampir terlihat seluruhnya.
Akan tetapi Hoa-kuahu sama sekali tidak merasa kikuk, dia berdiri kemalasmalasan di tempatnya dan berkata, "Nah, apakah kau mau coba-coba lagi?"
Piauko memang belum kapok dan masih ingin mencoba, namun Koan-keh-po dan Hay Kikoat lantas merintanginya.
Biji leher Hay Ki-koat naik turun seperti orang yang kehausan, ingin dia
mengalihkan pandangannya dari tubuh Hoa-kuahu. tapi sayang rasanya sukar untuk
berpaling begitu saja.
Usia Hoa-kuahu tentunya tidak muda lagi, namun tubuhnya ternyata masih montok
serupa gadis remaja, bahkan terlebih menggiurkan daripada gadis, lebih masak.
Hay Ki-koat menghela napas, katanya sambil menyengir, "Dapatkah kau rapatkan
dulu bajumu baru kemudian bicara lagi."
"Tidak," jawaban Hoa-kuahu tetap singkat tegas.
"Sebab apa?" tanya Hay Ki-koat.
"Sebab aku suka begini, kalian tidak dapat melarangku.
"Sebenarnya apa kehendakmu'" cepat Koan-keh-po.menyela.
"Aku pun tidak ingin apa-apa, hanya mengena, Liok Siau-hong, dia adalah orang
yang dimasukkan sendiri ke sini oleh Lau-to-pacu, bila ada yang hendak
membunuhnya, harus tunggu sampai Lau-to-pacu pulang," kata Hoa-kuahu.
"Dan sekarang bagaimana" tanya Koan-keh-po.
"Sekarang tentunya akan kubawa pergi dia."
Yap Ling lantas melonjak lagi, teriaknya, "Berdasarkan apa kau berhak membawanya
pergi?" "Berdasarkan hak ikat pinggangku ini," jengek Hoa-kuahu.
"Memangnya bisa apa ikat pinggangmu?" tanya Yap Ling dengan melotot.
"Ikat pinggangku memang tidak bisa apa-apa, paling-paling hanya dapat digunakan
meringkus dirimu dan membelejeti pakaianmu, lalu membiarkan dirimu ditunggangi
si kait." Merah padam muka Yap Ling, tinjunya juga terkepal erat, tapi tidak berani
bertindak, ia hanya mengentak kaki, katanya dengan gemas, "Kalau Ciciku pulang,
coba apakah kau berani bertindak demikian?"
"Cuma sayang, Cicimu belum pulang, maka terpaksa harus kau saksikan kubawa pergi
dia," ujar Hoa-kuahu dengan tertawa.
Dia lantas menarik tangan Siau-hong, lalu berkata sambil mengerling genit, "Di
tempatku sana ada tempat tidur ukuran besar, cukup buat tidur kita bardua dengan
nikmat, masakah tidak lekas kau ikut pergi bersamaku?"
Dia benar-benar menarik pergi Liok Siau-hong, dan orang lain juga cuma dapat
memandangnya dengan terbelalak tanpa bisa berbuat apa-apa.
Entah sudah lewat berapa lama kemudian, tiba-tiba Yap Ling berkata, "Kait tua,
engkau bukan barang baik."
"Aku memang bukan barang kaik, aku orang baik," jawab Kaucu Hay Ki-koat.
"Huh, persetan, kau berani mengaku sebagai orang?" jengek Yap Ling. "Jelas di
sini hanya dirimu saja yang dapat melayani anjing betina ilu, mengapa kau diam
saja dan tidak berani bertindak."
"Sebab aku masih mengharapkan dia tidur bersamaku," ujar si kait.
"Masa benar-benar kau menghendaki perempuan?" tanya Yap Ling.
"Ya, hampir gila kupikirkan perempuan "
"Baik, jika kau bunuh dia, akan kutidur bersamamu selama tiga hari," seru Yap
Ling. "Hehe, apa kau cemburu?" tanya Hay Ki-koat alias si kait dengan tertawa. "Kau
suka pada Liok Siau hong?"
Yap Ling mengertak gigi, ucapnya dengan gemas, "Apakah aku cemburu atau bukan,
yang jelas apa yang kukatakan pasti kutepati. Aku masih muda, anjing betina itu
kan sudah nenek-nenek, sedikitnya dalam hal ini aku lebih unggul daripadanya."
"Akan tetapi...."
"Apa kau ingin melihat barang dulu?" tukas Yap Ling mendadak. "Baik...."
Tiba-tiba ia membuka kaki celananya sehingga kelihatan betisnya yang putih dan
licin. Mata Hay Ki-koat kembali melotot, "Hanya sekian saja yang dapat kulihat?"
"Jika kau ingin melihat yang lain, harus kau bunuh dulu anjing betina itu,"
jawab Yap Ling.
Bab 9. Pergi ..... (tamat)
Published by Hiu_Khu on 2008/1/17 (535 reads)
Tempat tidur di kamar si janda Hoa memang sangat besar, sepreinya putih bersih,
kasur selimutnya masih baru, begitu masuk ke situ, dengan kemalas-malasan Hoakuahu lantas menjatuhkan diri di tempat tidur.
Siau-hong hanya berdiri saja di depan ranjang.
Si janda Hoa mengawasi Siau-hong dengan pandangan yang sayu, katanya tiba-tiba,


Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang tentunya kau sudah tahu aku ini lah Hoa-kuahu yang menakutkan itu.
Siau-hong mengangguk.
"Tentunya kau pun pernah mendengar orang bilang aku ini anjing betina, anjing
betina yang bisa makan manusia."
Kembali Siau-hong mengangguk.
"Apakah kau tahu setiap lelaki di sini sama mengira setiap saat aku dapat ikut
tidur bersama dia?"
Siau-hong tetap mengangguk saja.
Mata Hoa-kuahu tambah sayu dan penuh harap. "Jika begitu, mengapa tidak lekas
kau naik kemari?"
Tapi Siau-hong tidak bergerak sama sekali.
"Engkau tidak berani?" tanya Hoa-kuahu.
Siau-hong tidak mengangguk lagi, juga tidak menggeleng.
Hoa-kuahu menghela napas, ucapnya, "Ya, tentu saja engkau belum berani, sebab
sesungguhnya aku ini orang macam apa belum lagi kau ketahui"!"
Tiba-tiba Siau-hong tertawa, katanya, "Tidaklah banyak orang yang dapat
manggabungkan Lwekang asli keluarga Liu di Hoaypak dan ilmu pedang Liu-in-kiamhoat Tiam-jong-pay menjadi satu, sebab itulah ...."
"Sebab itu apa?" tanya Hoa-kuahu.
"Sebab itulah kuyakin engkau pasti putri Hoay-lam-tayhiap, istri Tiam-jong-kiamkek, Liu Jing-jing."
"Dan tentunya kau pun tahu aku pernah naik ranjang bersama empat kawan baik Cia
Kian (Tiam-jong-kiam-kek, si pendekar pedang dari Tiam-jong-pay)."
Siau-hong mengangguk, hal itu memang merupakan berita sensasi yang sangat
menggemparkan dunia Kangouw.
"Jika kau tahu semuanya, mengapa tidak lekas naik kemari?" kata Hoa-kuahu pula.
Kembali Siau-hong tertawa, "'Sebab aku tidak suka, dan juga lantaran aku tidak
dapat kau perintah."
Hoa-kuahu tertawa juga, "Wah, tampaknya kau ini memang rada berbeda daripada
lelaki lain."
Mendadak ia melompat bangun dari tempat tidur dan berseru, "Mari kusuguh kau
minum arak."
Minum arak memang kegemaran Liok Siau-hong.
Semakin banyak arak yang ditenggak, mata Hoa-kuahu juga tambah sayu seperti
Iciiuiup kabut.
Di lembah pegunungan ini memang selalu berkabut, sebab itulah selalu bertahan
kemisleriusannya. Dan sekarang bukankah demikian dengan Hoa-kuahu"
Untuk melihat tubuhnya yang telanjang mungkin tidak sulit, jika ingin melihat
hatinya rasanya tidaklah mudah.
Setelah minum secawan arak pula tiba-tiba si janda bertanya "Apakah kau tahu
sebab apa Hay Ki-hoat senantiasa berharap aku aan naik ranjang bersama dia?"
"Sebab dia anggap engkau pernah naik ranjang dengan lelaki lain yang berada di
tempat ini," kata Siau-hong.
"Ya, setiap orang berpikir begitu." Hoa-kuahu tertawa. "Pada-hal ... berapa
lelaki yang benar-benar pernah naik ranjang bersamaku, mungkin kau sendiri tidak
dapat menerkanya."
"Tiada satu pun?" tanya Siau-hong.
"Ada, cuma satu," kala Hoa-kuahu.
Siau-hong menenggak arak lagi.
Pandangan Hoa-kuahu seperti melayang jauh ke sana, kepada bayangan orang yang
berada jauh, yang penuh dikagumi dan dicintainya.
Selang agak lama barulah ia terjaga dari lamunannya, "Mengapa tidak kau tanyakan
padaku siapakah orang itu?"
"Untuk apa harus kutanya?" ujar Siau-hong.
Kembali Hoa-kuahu tertawa. "Kau ini memang orang yang istimewa, aku suka kepada
lelaki yang istimewa."
Tiba-tiba lenyap pula tertawanya, '"Sebenarnya Cia Kian (suaminya) juga seorang
lelaki yang istimewa, aku kawin dengan dia lantaran waktu itu aku memang
menyukai dia."
"Tapi kemudian hatimu berubah"!'"
"Yang berubah bukan diriku, tapi dia."
Kabul pada matanya tiba-tiba terbelah satu garis, dibelah oleh pedang tajam yang
penuh rasa pedih dan dendam, lalu ia melanjutkan 'Tentunya tidak pernah kau
pikir dia berubah menjadi orang macam apa, lebih-lebih tak pernah terpikir
olehmu betapa menakutkan perbuatannya?"
"Menakutkan'" Siau-hong menegas.
"Apakah kau tahu sebab apa sampai aku naik ranjang bersama sahabat baiknya?"
tanya Hoa-kuahu tiba-tiba, tangannya terkepal erat, air mala menitik, "Sebab ...
sebab dia yang minta aku berbuat demikian, dia suka ... dia suka melihat ...
bahkan dia berlutut dan memohon padaku untuk berbuat, malahan mengancam pula
diriku dengan pedangnya...."
Tiba-tiba Siau-hong menenggak lagi arak dalam cawannya,-ia merasa lambungnya
mengejang dan hampir tumpah.
Waktu dia berpaling lagi, dilihatnya Hoa-kuahu sudah mengusap air matanya, ia
menghabiskan isi cawannya dan berucap pula, 'Tentu engkau sangat heran untuk apa
kuberitahukan semua ini kepadamu."
Tapi Siau-hong tidak heran, sedikitpun tidak heran.
Rasa sedih dan duka seorang kalau sudah terpendam terlalu lama, biasanya memang
ingin mencari seorang untuk menumpahkan seluruh perasaannya.
Meski rasa pedih Hoa-kuahu sudah terlampias, namun dia sudah banyak menenggak
arak, ucapnya pula, "Meski dia sudah tua, tapi dia seorang lelaki sejati, lelaki
yang berbeda dengan lelaki lain, mungkin aku tidak suka padanya, tapi aku kagum
padanya, asalkan dapat membuatnya senang, aku rela berbuat apapun baginya."
la mendongak dan menatap Siau-hong, lalu menambahkan, 'Bila sudah kau temui dia,
pasti kau pun akan suka kepadanya."
"Yang kau maksudkan ...."
"Kumaksudkan Lau-to-pacu," tukas si janda.
Siau-hong terkejut, "Lau-to-pacu?"
Hoa-kuahu mengangguk, "Dialah satu-satunya lelaki di sini yang pernah naik
ranjang bersamaku, tentu tak kau duga."
Dia tertawa pedih, lalu menyambung, "Tadinya kukira di dunia ini tidak ada orang
yang dapat memahami diriku dan bersimpati padaku, tapi dia memahami diriku,
simpati padaku, semua itu timbul dari lubuk hatinya yang murni."
"Maka kau serahkan dirimu kepadanya?" tukas Siau-hong.
"Ya, bahkan aku rela mengorbankan segalanya baginya," kata Hoa-kuahu. "Sekalipun
dia suruh aku mati juga akan kumati baginya. Namun... namun ...."
Dengan cepat ia habiskan secawan arak lagi, lalu menyambung, "Namun aku tidak
menyukai dia, aku ... aku ..."
Dia tidak melanjutkan, perasaan cinta memang sukar untuk dijelaskan begitu saja,
ia yakin Siau-hong pasti paham.
Siau-hong memang paham, bukan saja paham terhadap perasaan perempuan, juga paham
akan pribadi orang seperti to-pacu, si tangkai pisau tua, yang disegani dan
mengepalai perkampungan hantu ini.
"Jika aku menjadi dirimu, aku pasti akan berbuat begini juga," ucap Siau-hong
dengan lembut. "Kutahu dia pasti seorang manusia yang luar biasa."
Hoa-kuahu menghela napas panjang, seperti, baru terbebas dari beban yang amat
berat. Dia pandang Siau-hong, sorot matanya memancarkan perasaan gembira dan terima
kasih, katanya pula, "Sejak kudatang ke sini belum pernah kurasakan kegembiraan
seperti hari ini. Mari, kuhormati tiga cawan padamu."
"Jika minum lagi mungkin bisa mabuk," kata Siau-hong.
"Biarpun mabuk juga tidak menjadi soal," si janda lantas mengangkat cawan pula.
"Bila benar mabuk, aku tambah berterima kasih padamu."
Siau-hong bergelak tertawa. "Hahaha, bicara sejujurnya, memang sudah lama aku
ingin mabuk sepuas-puasnya."'
Maka mereka pun minum lagi dan mereka pun mabuk dan tergeletak di tempat tidur.
Meski mereka saling rangkul dengan erat, tapi hati mereka suci murni seperti
anak kecil, mungkin selama hidup mereka tidak pernah suci bersih seperti
sekarang ini. Lantas hubungan perasaan macam apakah ini"
Masa muda sudah akan berlalu, kejadian masa lampau tidak perlu ditoleh pula,
seorang perempuan yang telah kenyang dicaci, dinista dan seorang petualang yang
terlunta-lunta, siapa pula di dunia ini yang dapat memahami perasaan mereka.
Malam bertambah larut, kabut juga semakin tebal.
Jendela tidak tertutup, dar. balik kabut sana tiba-tiba muncul sesosok bayangan
orang dengan sorot mata yang penuh rasa benci dan dengki.
Lalu melalui celah-celah jendela muncul pula sebuah pipa tiup kecil. Pipa tiup
warna hitam dan asap yang ditiupkan berwama ungu gelap.
Asap buyar, orang yang tidak mabuk pun akan mabuk. Orang ini yakin sepenuhnya
pasti akan berhasil, sebab asap yang ditiupnya adalah dupa bius yang paling
hebat, 'Siau-hun-sit-kut-san', bubuk penyusup tulang dan pembetot sukma.
Sedikitnya sudah 13 kali ia gunakan dupa ini untuk pekerjaan besar dan tidak
sekali pun gagal.
Maka pada waktu Liok Siau-hong dan Hoa-kuahu siuman, mereka tidak lagi berada
di.tempat tidur yang empuk dan longgar itu, melainkan berada dalam sebuah gua di
bawah tanah. Gua di bawah tanah ini dingin dan lembab, mereka meringkuk di pojok, tak ada
yang tahu cara bagaimana mereka berada di sini. Hanya ada seorang yang tahu.
Di dalam gua ini hanya ada sebuah kursi, Piauko berduduk di kursi itu dan sedang
memandangi mereka dengan dingin, dengan penuh rasa benci dan dengki.
Melihat Piauko, serentak Hoa-kuahu berteriak, "Hah, kau"!" "Tak kau sangka
bukan?" jawab Piauko. "Memang tak kuduga," jengek si janda. "Hm, anak murid Pahsan-kiam-kek ternyata juga suka menggunakan obat bius yang biasanya dipakai kaum
pencuri yang rendah itu."
"Hm, urusan yang tak terduga olehmu masih sangat banyak," jengek Piauko pula.
"Tapi sedikitnya aku menjadi tahu juga segalanya," kata Hoa-kuahu. "Rupanya
perbuatanmu, baru sekarang kutahu."
Kiranya orang yang datang ke perkampungan hantu ini sebelumnya sudah ada
perjanjian lebih dulu dengan Lau-to-pacu. Orang yang diperbolehkan masuk ke sini
biasanya cukup dapat dipercaya. Tapi akhir-akhir ini banyak penghuni di sini
menghilang tanpa sebab, tidak ada yang tahu perbuatan keji siapa. Tapi sekarang
Hoa-kuahu dapat menarik kesimpulan.
Piauko juga tidak menyangkal, "Cuma sayang, siapa pun tidak menyangka akan
diriku. Sekali ini bila kubunuh kalian, tetap tidak ada yang mencurigai diukir"
Dia yakin akan hal ini, sebab kebanyakan orang tentu akan menyangka si kail yang
membunuh mereka.
Hoa-kuahu juga tidak dapat menyangkal akan keyakinan Piau-ko itu. Sebab setiap
penghuni Yu-leng-san-ceng hampir semua mengetahui si kait berminat besar
terhadap si janda cantik, juga sama tahu Kaucu atau si kait ingin membunuh Liok
Siau-hong. "Padahal aku pun tahu kau dendam padaku," kau Hoa-kuahu pula. "Sebab kau suka
kepada orang lelaki, sedangkan yang disukai orang lelaki ialah diriku."
"Mungkin aku masih ada alasan lain," ujar Piauko dengan tertawa.
"Alasan apa?" tanya si janda.
Mendadak Piauko tertawa aneh, katanya, "Mungkin tindakanku ini hanya untuk
membela si kait tua."
Tiba-tiba ada suara tertawa orang lain dan berkata, "Mungkin juga karena
mendadak kau rasakan si kait tua sudah berada di atas kepalamu dan setiap saat
kaitannya dapat menggantol lehermu."
Yang muncul ternyata tidak cuma Kaucu atau si kait saja, tapi ada juga Koan-kehpo. Serupa nenek pengurus rumah tangga umumnya, dimana dan kapan saja wajahnya
selalu bersungut. Sebaliknya Kaucu tertawa dengan gembira.
Piauko juga tertawa, dengan sendirinya tertawa yang tidak gembira atau
menyengir. Meski si kait Hay Ki-koat tidak sekaligus mengait lehernya, tapi kaitannya telah
menggantol di atas pundaknya, serupa tukang jagal mengait sepotong daging.
Dengan sendirinya perasaan demikian tidak menggembirakan.
Di dunia ini justru ada sementara orang yang suka membikin gembira dirinya
sendiri di atas ketidak gembiraan orang lam. dan si kait Hay Ki-koat kebetulan
adalah manusia jenis ini.
Dengan tertawa ia berkata, "Baru saja bukankah kau bilang akan membikin orang
lain menyangka perbuatanmu ini sebagai perbuatanku?"
Piauko tidak menyangkal, dia memang tidak dapat menyangkal.
"Soalnya kau ingin membunuh mereka, tetapi kau pun takut Lau-to-pacu tidak
mengizinkan." kata Hay Ki-koat pula.
"Padahal sebenarnya aku pun punya keinginan seperti dirimu."
"Kau pun punya keinginan yang sama?" Piauko tak.mengerti.
"Ya, aku pun ingin membunuh Liok Siau-hong, tapi juga kuatir dirintangi Lau-topacu. Di antara kita hanya ada setitik perbedaan."
"Dalam hal apa?" tanya Piauko.
"Aku lebih mujur, dapat kutemukan seorang yang dapat kujadikan sebagai kambing
hitam." Piauko paham apa yang dimaksudkan, tapi dia sengaja bertanya, "Siapa?"
"Kau," kata Hay Ki-koat.
"Maksudmu agar kubunuh Siau-hong bagimu?" tanya Piauko.
"Memangnya kau tidak mau?"
"Masa aku tidak mau" Aku memang ingin membunuh dia, kalau tidak, untuk apa
kuringkus dia ke sini."
"Waktu itu bila kau bunuh dia, akulah yang akan kau jadikan kambing hitam, tapi
sekarang, bagaimana?"
"Sekarang kalau aku tidak mau membunuhnya, akulah yang akan kau bunuh."
"Haha, kau memang seorang yang pintar, makanya selama ini aku suka padamu."
"Dan jika mau kubunuh dia, akan kau lepaskan diriku?"
"Sekarang juga akan kulepaskan kau, memangnya kau dapat lolos dari
cengkeramanku?" ucap si kait. Lalu ia singkirkan kaitannya dari pundak Piauko.
Piauko menghela napas lega, lalu berpaling memandang si kail, wajahnya
menampilkan senyuman pula, tiba-tiba ia bertanya, "Menurut pandanganmu, apakah
aku ini mirip seorang yang mudah emosi dan kurang sabar?"
"Kau tidak mirip orang-orang begitu," jawab si kait.
"Apakah aku tahu Hoa-kuahu ini seorang perempuan yang lihai dan sukat direcoki?"
"Kau tahu dengan jelas," kala si kail.
"Jika demikian, mengapa tadi aku bertindak padanya."
"Ya, sebab apa?" si kail malah bertanya.
Tertawa Piauko berubah, sangat aneh, "Sebab aku ingin disangka oleh mereka bahwa
kungfuku tidak ada artinya bagi kalian." Si kait tidak dapat tcrtawa lagi,
"Padahal?" "Padahal cukup satu jurus saja dapat kubunuh kau!" kata Piauko.
Kalimat ini meliputi delapan suku kata, pada waktu mengucapkan kala keenam
barulah dia turun tangan, ketika kata terakhir terucap, Hay Ki-koat pun sudah
terbunuh olehnya.
Serangannya sungguh cepat dan efektif. Pada hakikatnya tidak ada yang tahu jelas
cara bagaimana dia turun tangan.
Hanya terdengar dua kali suara "crat-cret" yang aneh, serupa golok si jagal
membacok daging, lalu Hay Ki-koat kelihatan roboh terkulai serupa babi mampus.
Liok Siau-hong dan Hoa-kuahu terkejut, tentu saja Koan-keb-po terlebih terkejut.
Piauko tepuk tangan yang kotor, lalu berucap pula dengan tersenyum, "Sudah lama
kudengar para Hiangcu dari ketiga seksi Hong-bwe-pang adalah tokoh yang lain
daripada yang lain, lebih-lebih pemimpin umumnya, Ko Tiu, tapi sayang sejauh ini
hingga sekarang belum sempal kulihat betapa lihai kungfu andalanmu yang
mengguncangkan dunia Kangouw itu."
Koan-keh-po yang selalu bersungut itu sekarang lebih mirip orang yang mau
menangis, katanya, "Ah, mana ada kungfu andalanku segala" Kepandaianku yang
dapat kuandalkan adalah mengurus rumuh tangga orang, cuci pakaian atau masak di
dapur." "Kau tidak dapat membunuh orang?" tanya Piauko. Tidak," Koan-keh-po menggeleng
kepala. Piauko menghela napas. "Ai. jika begitu, akan Iebih baik jika kubunuh kau saja."
Mendadak Koan-keh-po melompat ke atas, selagi mengapung di udara, segera terjadi
hujan senjata rahasia, sedikitnya ada 50 buah semala rahasia kecil berhamburan
ke arah Piauko.
Kiranya Koan-keh-po ini ahli am-gi atau senjata rahasia, ham-pir seluruh
tubuhnya membawa senjata rahasia vang mematikan dan setiap saat dapat
dihamburkan. Di dunia ini pasti tidak lebih 10 orang yang mahir menghamburkan senjata rahasia
sebanyak ini dalam waktu sekejap.
Dan lebih sedikit pula orang yang mampu menghindarkan hujan senjata rahasia
sebanyak ini. Tapi Piauko justru satu di antara orang yang terlalu sedikit itu, bukan saja
sudah diperhitungkannya kemungkinan serangan Koan-keh-po ini, bahkan juga sudah
siap dengan cara mengatasinya. Maka begitu terhambur senjata rahasia lawan,
tahu-tahu pedangnya juga sudah siap menunggu.


Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu sinar pedang berkelebat, segala senjata rahasia itu tergulung hancur,
sekali sinar pedang berkelebat lagi, kontan Koan-keh-po lantas roboh, sesudah
menggeletak di lantai barulah darah mengalir.
Waktu darah mengalir barulah Siau-hong menghembuskan napas lega, ucapnya,
"Inikah Hwe-hong-kiam-hoat?"
"Betul," jawab Piauko.
"Jadi kau ini satu-satunya ahli waris Pah-san-kiam-kek, Koh Hui-in?"
"Ya, aku inilah orangnya," kata Piauko.
"Ilmu pedang Pah-san memang hebat," ujar Siau-hong. "Cuma aku tidak habis
mengerti, orang semacam dirimu ini mengapa juga bisa terdesak oleh Sebun Juisoat sehingga tiada jalan lain kecuali menuju ke sini?"
"Tentunya kau pun tidak bisa mengerti mengapa aku cuma membunuh mereka dan tidak
membunuhmu?"
Siau-hong memang tidak mengerti.
"Alasan ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu lantaran aku memang tidak ingin
membunuhmu," ujar Piauko dengan tertawa.
Siau-hong tambah tidak mengerti.
Maka Piauko bicara pula, "Lau-to-pacu selalu menganggap organisasinya ini sangat
ketat dan terahasia, padahal sudah lama ada tiga tokoh Kangouw mengetahuinya,
orang pertama yang tahu ialah guruku,"
"Jadi kau...." melengak juga Siau-hong.
"Aku sengaja dikirim ke sini khusus untuk menyelidiki seluk beluk sindikat ini,
sebab meski mereka sama lalui di dunia Kangouw, ada suatu sindikat yang bernama
Yu-leng-san-ceng, tapi tidak banyak mengetahui kekuatan organisasi gelap ini."
"O, jadi mareka sengaja menyuruhmu pura-pura terdesak oleh Sebun Jui-soat
sehingga tiada jalan lari kecuali kabur ke sini?"
"Ya, urusan ini sebenarnya cuma sebuah perangkap saja, sudah mereka perhitungkan
Sebun Jui-soat pasti akan ikut campur urusan ini. maka mereka juga sudah
memperhitungkan pihak San-ceng pasti akan mengikat perjanjian denganku." "Sebab
apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab aku baru saja menerima sejumlah harta peninggalan yang cukup besar dan
setiap saat sanggup membayarkan sepuluh laksa tahil perak."
"Uang kontrak di sini sedikitnya sepuluh laksa tahil perak?" tanya Siau-hong.
"Demi menyelamatkan jiwa sepuluh laksa tahil kan tidak banyak."
"Ya, memang tidak banyak," Siau-hong mengaku.
Jiwa memang sukar dinilai, memangnya urusan apa di dunia ini yang bisa lebih
berharga daripada jiwa sendiri"
"Aku dikirim ke sini, tugasku yang utama adalah menyelidiki pribadi Lau-to-pacu
ini," tutur Piauko lebih lanjut.
"O, mereka pun tidak tahu seluk-beluk dan asal-usul Lau-to-pacu?"
"Ya, tidak ada yang tahu."
"Bagaimana dengan kau?"
"Meski sudah sekian lama kudatang ke sini, tapi belum pernah kulihat wajah
aslinya, sebab itulah aku buru-buru ingin menemukan orang itu."
"Orang itu siapa?" tanya Siau-hong.
"Orang yang akan mengadakan kontak dan membantuku.' tutur Piauko. "Sudah
disepakati sebelumnya selekasnya mereka akan mengutus pembantu ke sini, tapi
gerak-gerik setiap pendatang baru tidak bisa bebas, dengan sendirinya juga sulit
untuk mengetahui Koh Hui-in yang hendak dicari ialah diriku alias Piauko."
"Karena kau tidak sabar menunggu, maka kau yang mencari-cari mereka?"
"Ya, sudah 12 orang yang pernah kutemui."
"Dan semuanya salah alamat?"
"Benar, maka terpaksa kubunuh mereka untuk menghilangkan saksi."
"Sekali ini kau kira aku adalah orang yang dikirim untuk membantumu?"
"Ya, kuharap sekali ini tidak keliru," ucap Piauko sekata demi sekata sambil
menatapnya dengan tajam.
Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Aku pun berharap sekali ini kau tidak
keliru." Piauko masih terus menatapnya, sorot matanya berubah setajam sembilu, tiba-tiba
ia bertanya, "Kecuali guruku, Pah-san-kiam-kek, masih ada dua tokoh lain yang
ikut dalam perencanaan operasi ini. Siapa kedua tokoh yang lain" Siapa yang
mengutusmu ke sini" Apa kode pengenalmu?"
"Tidak dapat kukatakan," jawab Siau-hong.
"Sebab pada hakikataya engkau memang tidak tahu"!"
Siau-hong mengangguk dan tesenyum kecut, katanya, "Sungguh menyesal, sekali ini
tampaknya kau keliru lagi."
Di dalam gua bawah tanah ini ada lampu, kini sudah permulaan musim semi, hawa
tidak terlalu dingin.
Tapi mendadak Liok Siau-hong merasa merinding. Hal ini bukan disebabkan tangan
Piauko mulai meraba tangkai pedangnya lagi, melainkan di dalam gua ini tiba-tiba
bertambah pula satu orang. Seorang berjubah kelabu dan memakai caping bambu.
Baru saja tangan Piauko meraba tangkai pedangnya, tahu-tahu si baju kelabu sudah
berada di belakangnya.
Siau-hong dapat melihat orang ini, Hoa-kuahu juga dapat melihatnya, tapi Piauko
sendiri tidak merasakan apapun.
Pendatang ini serupa badan halus yang cuma berbentuk tapi tak berwujud.
Karena mukanya tertutup oleh caping bambu yang lebar dan berbentuk aneh, sama
sekali Siau-hong tidak dapat melihat wajahnya, tapi sudah dapat ditebaknya siapa
dia. Hoa-kuahu tidak memperlihatkan sesuatu tanda, tapi sorot matanya tidak urung
menampilkan rasa girang. Si baju kelabu juga lagi memberi isyarat tangan
padanya. Agaknya Piauko juga marasakan sesuatu yang tidak beres sekonyong-konyong ia
membalik tubuh. Tapi di belakang tidak ada orang, bahkan bayangan pun tidak ada.
Orang itu serupa bayangan saja yang melengket di belakang Piauko, kembali ia
menggoyang tangan lagi kepada Hoa-kuahu.
Waktu Piauko berpaling kembali, si janda lantas menarik muka dan mendengus,
"Sesungguhnya hendak kau bunuh Liok Siau-hong atau mambunuhku lebih dulu?"
Perlahan Piauko membetulkan tempat duduknya, ucapnya dengan perlahan, "Tampaknya
kalian seperti tidak takut mati?"
"Toh harus mati, untuk apa takut?" kata Hoa-kuahu, "Cuma saja ...."
"Cuma kau tidak mau mati tanpa mengetahui sebab musababnya, begitu bukan?"
Hoa-kuahu membenarkan, ucapan Piauko ini memang tepat mengenai isi hatinya.
"Sebab itulah kau pun ingin tanya padaku, kecuali guruku, siapa pula yang
mengetahui rahasia ini."
"Jika kami toh akan kau bunuh, apa alangannya kau jelaskan?"" pinta si janda.
Piauko menatapnya, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. "Apa yang kau
tertawakan?" tanya Hoa-kuahu. "Kutertawai dirimu," jawab Piauko. "Jelas-jelas
kau tahu, mengapa pura-pura tanya padaku?"
"Aku tahu apa?" ujar Hoa-kuahu.
"Selain guruku masih ada lagi dua orang, yang satu ialah Bok-tojin dan seorang
lagi ialah bapakmu." kata Piauko.
"Jelas-jelas kau pun mengemban tugas serupa diriku, kau pun datang ke sini untuk
menjadi mata-mata, mengapa kau berlagak pilon?"
Air muka Hoa-kuahu berubah seketika.
"Kuyakin sekarang kau pasti tahu Lau-to-pacu itu orang macam apa" kata Piauko
pula. "Sebab engkau seorang perempuan dan dapat tidur bersama dia "
"Sengaja hendak kau seret diriku ke dalam lumpur ini?" tanya Hoa-kuahu.
"Sebenarnya sudah lama kutahu rahasiamu," sambung Piauko. "Apa yang kulakukan
ini tidak lebih hanya sebuah perangkap saja, ingin kupancing pembeberan
rahasiamu, aku lebih suka salah membunuh seratus orang daripada seorang agen
rahasia tinggal di sini."
Hoa-kuahu memandangnya dengan tajam, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata,
"Ah, kiranya bukan niatmu menyeret diriku ke dalam lumpur, tujuanmu hanya ingin
mencari pengganti untuk mati bagimu."
"Mengapa aku harus mencari pengganti?"
"Sebab meski tidak kau lihat Lau-to-pacu, tapi sudah tahu dia telah datang," si
janda menghela napas, lalu menyambung, "Sungguh engkau ini seorang cerdik, cuma
sayang, ada satu hal yang tidak kau ketahui."
"Hal apa?" tanya Piauko.
"Bahwa ini memang sebuah perangkap, cuma yang terjebak bukan diriku melainkan
kau." "Oo"!" Piauko melengak.
"Sudah lama aku dan Lau-to-pacu mencurigai dirimu, makanya kami mengatur
perangkap ini untuk menjerat dirimu,"
tutur Hoa-kuahu. "Jika kau sangka aku terkena dupa biusmu, maka kelirulah kau."
Lalu dia tepuk-tepuk lengan bajunya dan berbangkit perlahan. Padahal biasanya
seorang yang terkena asap Siau-hun-san itu dalam waktu saiu jam pasti tidak
dapat bergerak, tapi sekarang Hoa-kuahu dapal berdiri dengan tegak.
Piauko lelap duduk di tempatnya, tiba-tiba ia berpaling kepada Liok Siau-hong
dan berkala. "Bagaimana pendapatmu'"
Siau Hong menghela napas, "Ai. kalian semua orang pintar, sungguh aku sangai
kagum ." Mendadak Piauko bergelak tertawa. "Hahaha! Dapat membuat kagum orang semacam
Liok Siau-hong, biarpun aku Koh Hui-in harus mati juga tidak perlu menyesal,"
Dia ternyata cukup tegas. sekali bilang mati segera dia mati, bahkan jauh lebih
cepat danpada dia membunuh orang.
Sekali ujung pedangnya membalik dan menikam dada sendiri, kontan darah ber
hamburan, tubuhnya lantas tersungkur.
Betapapun ia tidak mau menjadi saksi hidup sehingga orang lain dapat mengorek
pengakuan dari mulutnya.
Maklum, jika kau ingin menyelidiki rahasia orang lain, maka lebih dulu kau harus
senantiasa siap mengorbankan diri sendiri.
"Sungguh tak tersangka dia benar-benar tidak takut mati setitik pun," kata Hoakuahu dengan kening berkerut.
"Orang yang takut mati pada hakikatnya tidak dapat berbuat begini, orang terlalu
pintar juga tidak dapat," kata Lau-to-pacu tiba-tiba.
"Masih ada lagi sejenis orang yang tidak dapat berbuat begini," tukas Siau-hong.
"Oo"!" Lau-to-pacu ingin tahu.
"Ada sejenis orang, kemana dia pergi seperti selalu mendapat kesulitan," tutur
Siau-hong. "Seumpama dia tidak ingin mencari kesulitan, kesulitan sendiri juga
akan menimpa dia."
"Dan kau adalah jenis orang begini?"
"Ya. biasanya aku memang cukup kenal diriku sendiri."
"Kesulitan yang kau timbulkan bagiku memang tidak sedikit."
"Tapi engkau pasti tidak dapat membunuhku," sela Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Lau-to-pacu.
"Sebab tidak ada minatku untuk datang kemari, engkau sendiri yang menghendaki
kedatanganku, maka orang lain boleh membunuhku, hanya engkau tidak dapat, sebab
aku adalah tamu undangan."
Lau-to-pacu termenung, katanya kemudian dengan perlahan, "Boleh juga tidak
kubunuh dirimu, asal saja kau sanggupi sesuatu padaku."
"Urusan apa?" tanya Siau-hong.
"Tutup mulutmu serapatnya dan berjanji takkan mambocorkan rahasia tempat ini."'
"Baik, kuterima." jawab Siau-hong tegas.
"Bagus, kupercaya padamu. Sekarang pergilah!" kata Lau-to-pacu.
"Kau suruh aku pergi?" Siau-hong melengak.
"Umpama tuan rumah tidak dapat membunuh tamu, sedikitnya kan dapat menyuruhnya
pergi." "Tapi di luar sana ...."
"Tak peduli siapa yang sedang menunggumu di luar, sedikitnya terlebih baik
daripada kau mati di sini," kata Lau-to-pacu dengan dingin.
Siau-hong tidak bicara lagi, ia tahu tiada gunanya banyak bicara, terpaksa dia
harus angkat kaki.
Tiba-tiba Lau-to-pacu memanggilnya lagi, "Betapapun engkau sudah pernah menjadi
tamu undanganku, bahkan tidak kau khianati diriku, maka bila engkau menghendaki
sesuatu dapat kuberikan dan boleh kau bawa pergi."
"Apapun yang kuminta pasti kau beri?" tanya Siau-hong.
"Ya, asalkan dapat kau bawa," kata Lau-to-pacu.
"Baik, akan kubawa serta dia," ucap Siau-hong. Yang diminta ternyata Hoa-kuahu.
Seketika Lau-to-pacu tidak dapat bicara. Sampai lama sekali barulah ia bersuara
pula, "Baik, boleh kau bawa pergi dia, cuma selanjutnya sebaiknya jangan sampai
kulihat lagi dirimu."
Lembah pegunungan masih diliputi kabut, untuk mencari jembatan kawat yang hampir
lidak kelihatan itu tidaklah mudah, untuk menyeberang juga tidak gampang.
Dan kalau sudah menyeberang ke sana, lalu bagaimana" Di lembah pegunungan ini
adalah dunianya hantu, di luar lembah sana bagaimana"
Siau-hong menghela napas panjang, tiba-tiba ia tertawa.
Hoa-kuahu memandangnya dengan heran, tanyanya, "Engkau tidak takut?"
"Takut apa?" tanya Siau-hong.
"Mati," ucap Hoa-kuahu. perlahan ia pegang tangan Siau-hong. Apakah engkau tidak
takut begitu keluar dilembah ini, sagera akan mati di bawah pedang orang lain?"
"Toh aku sudah pernah mati satu kali, apa alangannya jika mati sekali lagi?"
sahut Siau-hong dengan tersenyum.
Hoa-kuahu juga tersenyum. Apapun juga mereka toh keluar dari Yu-leng-san-ceng,
keluar dari dunianya orang mati.
Dengan suara lembut Hoa-kuahu berkata, "Sering kupikirkan, asalkan aku dapat
hidup lagi benar-benar, sungguh puaslah hatiku."
TAMAT Pendekar Binal 12 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Beruang Gunung Es 2

Cari Blog Ini