Bara Maharani 9
Bara Maharani Karya Khu Lung Bagian 9 sikapnya jadi kikuk dan Salah, dia ingin sekali hatinya dan berlalu dari situ, tapi apa daya hatinya terasa lemah menghadapi kaum wanita. Untuk sesaat pemuda ini jadi melongo dan tak tahu apa yang musti dilakukan olehnya. Siauw Leng si dayang kecil itu tidak punya pikiran cabang. melihat Hoa Thian-hong hendak pergi sedang Pek Kun-gie ada maksud menahan, ia segera menarik tangan pemuda itu sambil menyeretnya duduk kembali di tempat semula, serunya sambil tertawa, "Eeei.... bagaimana sih kau ini" Kok sikapmu tak tahu adat" pertanyaan yang diajukan nona kami toh belum selesai!" Hoa Thian-hong tertawa getir, ia duduk ke tempat semula. Sikap kurangajar yang diperlihatkan Siauw Leng pada saat ini ternyata tidak peroleh dampratan dari Pek Kun-gie, malahan gadis ini pura-pura tidak melihat. Suasana untuk sesaat diliputi kecanggungan serta serba kerikuhan mendadak pada sesaat itulah terdengar suara langkah manusia bergema datang, disusul tampaklah pengurus rumah makan diiringi seorang pemuda baju putih berjalan mendekat Melihat kehadiran pemuda itu. dengan mata melotot besar Siauw Leng segera berseru, "Aaah! Kok kongcu juga datang ke kota Cho-Ciu?" Pek Kun-gie sendiri sewaktu mengenali pemuda itu sebagai Kok See-piauw, dengan alis berkerut segera alihkan biji matanya yang jeli ke arah Hoa Thian-hong. Rupanya Kok See-piauw sendiri juga telah melihat ketiga orang yang hadir dalam gardu, sambil melangkah masuk ke dalam gardu itu ia tertawa lantang dan berseru, "Oooh...! Adikku manis, kenapa kau pergi tanpa pamit" Aku sampai tak enak makan tak enak tidur, kejam amat hatimu!" Diam-diam Pek Kun-gie merasa amat gusar melihat kehadiran pemuda itu, dalam keadaan serta situasi seperti ini ia tak ingin dirinya diganggu orang lain, di samping itu diapun takut Hoa Thian-hong tak senang hati, maka setelah manggut lirih kembali dia alihkan sorot matanya ke arah pemuda she Hoa tadi untuk mengamati perubahan wajahnya. Sementara itu Hoa Thian-hong telah berpikir di dalam hatinya setelah menyaksikan kehadiran dari Kok Seepiauw, "Kebetulan sekali, aku memang hendak mengundurkan diri, eeei .. siapa tahu kau datang kemari.... inilah kesempatan bagiku untuk pergi dari sini!" Berpikir demikian ia lantas bangkit berdiri dan siap memohon diri kepada Pek Kun-gie. Tiba-tiba Siauw Leng berseru sambil tertawa, "Kok Kongcu saudara ini bukan lain adalah Hong-po Seng Kongcu yang pernah kita jumpai tempo dulu, sekarang ia bernama Hoa Thian-hong dan merupakan orang yang paling tersohor di kota Cho-Ciu!" Kok See-piauw sendiri agaknya juga sudah mengetahui siapakah Hoa Thian-hong itu, dengan alis berkerut sengaja dia amati lawannya dari atas kepala hingga sampai ke ujung kaki lalu sambil membuka kipasnya ia menyindir sambil tertawa , "Bisa lolos dari bencana besar, kehidupanmu kemudian hari tentu banyak rejeki, bocah keparat! Sekali goyang badan ternyata kau betul-betul sudah berubah lebih hebat dari dahulu!" Hoa Thian-hong berjiwa besar dan bercita cita tinggi, setiap saat ia selalu memikirkan bagaimana caranya menumpas kaum iblis serta durjana dari muka bumi dan bagaimana caranya menegakkan kembali keadilan di kolong langit, yang termasuk daftar incarannya antara lain Bun Liang Sinkun, Pek Siau-thian, Jin Hian serta beberapa orang gembong iblis dari perkumpulan sekte agama Thong-thian-kauw. Manusia-manusia sebangsa Kok See-piauw sebetulnya tidak tercatat dalam hati, tapi setelah menyaksikan kesombongan pemuda itu serta sikapnya yang begitu jumawa, tak urung berkobar juga hawa amarah dalam dadanya, rasa benci dan muak menyelimuti seluruh benaknya. Kok See-piauw sendiri sudah lama mencintai Pek Kungie, meskipun tiada kemajuan namun harapan selalu tetap ada, kini setelah dilihatnya gadis itu secara mendadak meninggalkan permusuhan dan berubah Jadi bersahabat dengan Hoa Thian-hong, terutama sikap Pek Kun-gie yang begitu dingin terhadap dirinya serta raut wajah pemuda she-Hoa yang tampan serta gagah, timbullah rasa dengki dan cemburu dalam hati kecilnya, nafsu membunuh segera berkobar dan tanpa banyak bicara dia langsung ambil tempat duduk di dalam gardu. Hoa Thian-hong semakin naik pitam terutama setelah dilihatnya sikap maupun perkataan lawan amat tak tahu diri, tapi ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia merasa tak leluasa untuk bergebrak dalam keadaan begini. Maka sambil menekan kembali hawa gusarnya ia bangkit berdiri dan tinggalkan tempat duduknya. Pek Kun-gie jadi amat gelisah. segera pikirnya di dalam hati, "Dalam menghadapi persoalan yang kutemui pada saat ini, aku haru ambil keputusan tegas. Bila kutampik Kok See-piauw maka paling banter dari sahabat kita akan berubah jadi permusuhan, sebaliknya kalau aku sampai menggusarkan dirinya, mungkin sejak detik ini kami tak akan hidup secara damai." Hati perempuan memang dalam ibarat saudara, terutama sekali gadis tinggi hati macam Pek Kun-gie, bila ia tidak senang mungkin masih mendingan, jika ia telah jatuh hati maka sekalipun perjalanan dihadang oleh golok tajampun ia tak akan balik kembali. Demikianlah, setelah mengambil keputusan ia segera bangkit berdiri dan mengejar ke sisi Hoa Thian-hong, serunya, "Disebelah tenggara kota terdapat sebuah kedai makan tersohor. mari aku temani dirimu makan di tempat lain saja!" Hoa Thian-hong terkesiap. dalam hati ia merasa bangga dengan sikap gadis tersebut tetapi iapun merasa serba salah, untuk beberapa saat ia jadi berdiri menjublak dan tak tahu apa yang musti dilakukan. Kok See-piauw jadi sangat malu dengan tindakan Pek Kun-gie tersebut, sambil bangkit berdiri teriaknya keraskeras, "Hian-moy harap berhenti, biar siau-heng saja yang pergi dari tempat ini!" Pek Kun-gie tidak menyahut, ia tarik ujung baju Hoa Thian-hong dan diajak menyingkir ke samping untuk memberi jalan lewat bagi Kok See-piauw. Pemuda she-Kok ini adalah anak murid kesayangan dari Bu-Liang-Sinkun, semula tabiatnya sangat binal dan kasar, tapi sejak ia jatuh cinta kepada Pek Kun-gie lama kelamaan sifatnya banyak berubah, ia jadi lebih halus dan penurut. Tapi kini setelah impian indahnya buyar, terutama setelah hatinya diliputi kedengkian serta rasa kecewa. muncullah kembali wataknya yang buas dan kasar itu. ia bersumpah hendak membalas sakit hati ini. Tatkala tubuhnya berjalan lewat disisi kedua orang itu, mendadak ia berhenti dan melotot ke arah Hoa Thianhong dengan sorot mata berapi-api. Wajah Pek Kun-gie berubah hebat. ia tahu pemuda itu mengandung maksud tak baik tanyanya dengan suara dingin, "Kok-heng, diantara kita berdua hanya ada hubungan persahabatan dan selamanya tiada urusan pribadi apapun, dalam urusan hari ini jika Kok-heng masih suka memberi muka kepadaku. lebih baik janganlah menimbulkan keonaran dan gara-gara di tempat ini" Kok See-piauw tertawa dingin."Hubungan diantara kita berdua toh sudah berlangsung lama, siapa suruh kau bersikap kejam lebih duhulu?" Sorot matanya dialihkan ke arah Hoa Thian-hong, kemudian sambil tertawa seram tambahnya, "Kedatangan aku orang she Kok di kota Keng-ciu kali ini adalah menuntut balas bagi sakit hati guruku, tetapi memandang di atas wajah adik Pek untuk sementara waktu urusan itu telah kukesampingkan. tapi sekarang urusan telah jadi begini, kau si bangsat cilik pun harus memberi pertanggungan jawab kepadaku" "Sungguh menggelikan orang ini," batin Hoa Thianhong di dalam hati, "Dia lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada perintah gurunya, Hmm! dasar manusia rendah...." Sebelum dia sempat buka suara, Pek Kun-gie telah berseru kembali dengan gusar, "Kok-heng, mengungkap ungkap kejadian masa lampau bukanlah seorang lelaki sejati masalah yang menyangkut keluarga Chin telah kutangani sendiri, bila Kok-heng merasa tidak puas, silahkan mengajukan perotes langsung dengan diriku!" Kok See-piauw masih mencintai gadis ini dia tak ingin putus hubungan sama sekali dengan Pek Kun-gie, tapi terhadap Hoa Thian-hong rasa bencinya telah merusak ke tulang sumsum, ia bersumpah hendak membinasakan pemuda itu. Mendengar ucapan dari gadis she-Pek, ia segera tertawa panjang dan menyindir, "Hoa Thian-hong, Hoa Thian-hong, tampangmu sih berubah tambah ganteng dan gagah, tidak tahu sampai dimana kehebatan ilmu silatmu, masa kau cuma berani bersembunyi dibawa gaun seorang perempuan?" Dalam hati Hoa Thian-hong tertawa geli terhadap Pek Kun-gie pemuda ini sama sekali tidak menaruh hati, tapi setelah teringat akan sebuah pukulan Kiu-pit-sin-ciang yang dihadiahkan Kok See-piauw sewaktu berada di gedung keluarga Chin di kota Keng-ciu hingga hampir saja jiwanya melayang, ia jadi bangga hati melihat kegusaran orang makin memuncak, ia merasa sakit hati itu tak perlu dibalas lagi asal pemuda she-Kok ini bisa dibikin naik pitam sehingga muntah darah. Meskipun demikian, iapun kuatir bila musuhnya itu menimpakan rasa mangkel dan gusarnya di atas tubuh Chin Pek-cuan. maka dengan wajah serius katanya, "Sudah lama aku mendengar orang berkata bahwa Buliang Sinkun paling pegang janji dan selamanya tak pernah mengingkari ucapan sendiri, kau sebagai murid kesayangannya tentu mempunyai watak demikian pula bukan?" "Kau tak usah menjebak aku orang she-Kok dengan kata-kata," tukas Kok See-piauw cepat, "Kalau punya kepandaian ayoh unjukkan kelihayanmu, asal kau si bangsat belum modar, aku orang she Kok tak nanti akan mencari Chin Pek-cuan tua bangka itu." Sebagai tamu terhormat dan perkumpulan Sin-kiepang, selama ini dia hanya berdiam terus di bukit Taypasan, setelah Pek Kun-gie Pergi tanpa pamit buru-buru ia menerjang ke Timur dan baru tengah hari tadi tiba di kota Cho-ciu, setelah berkunjung sejenak di kantor cabang Sin-kie-pang, ia langsung menyusul kemari. Dengan begitu dia belum sampai mendengar kabar mengenai pertarungan antara Hoa Thian-hong dengan Cu Goan-khek, karena itulah dalam pandangannya, dia musti menganggap enteng musuhnya ini, dianggapnya pemuda itu bakal keok dalam beberapa gebrakan saja. Sementara itu Hoa Thian-hong telah tersenyum setelah diketahuinya Kok See-piauw masuk perangkap, ujarnya kemudian, "Sulit sekali untuk peroleh janji dari mulutmu sendiri, kalau memang ingin bergebrak silahkan saudara tentukan waktu dan tempatnya, aku pasti akan datang menemui janji." Kok See-piauw semakin naik pitam, ia tidak menanti untuk menunggu lebih lama, sambil menyapu sekejap sekeliling tempat itu serunya, "Ikuti diriku" Dengan langkah lebar ia berlalu lebih dulu dari situ. Sambil tersenyum Hoa Thian-hong membuntuti dari belakangnya, sedang Pek Kun-gie dengan mulut membungkam mendampingi disisi pemuda tersebut. Setibanya dilapangan beradu silat Kok See-piauw segera berhenti, melihat musuhnya datang didampingi oleh Kun-gie. ia merasa gengsinya semakin terinjak dengan penuh kegusaran segera teriaknya, "Bila aku beruntung dan berhasil menangkan pertarungan ini, Hian-moay tak boleh gunakan obat pemunahku untuk menolong jiwanya." Pek Kun-gie mengerutkan alisnya, dari dalam saku dia ambil sebutir pil warna hijau dan segera ditimpuk ke depan. Kok See-piauw sambut obat tersebut, tiba-tiba ia merasa menyesal ia merasa tidak seharusnya karena persoalan itu dia musti bentrok dengan Pek Kun-gie, dalam hati. segera pikirnya, "Baiklah. akan kubunuh lebih dahulu bangsat ini, kemudian akan kulihat kau bakal berubah pikiran atau tidak?" Sekali gencet ia hancurkan obat itu jadi bubuk lalu disebar di atas tanah, jengeknya sambil tertawa dingin, "Hoa Thian-hong, kau berdiri melulu di situ, apakah hendak tunggu sampai aku orang she-Kok turun tangan lebih dahulu?" "Hmm! Bajingan, kau memang terlalu tak tahu adat!" dengus Hoa Thian-hong, ia maju kemuka dan segera melancarkan sebuah pukulan. Dengan tangkas Kok See-piauw mengegos dari ancaman itu, lalu sambil tertawa dingin kembali ejeknya, "Aku kira ilmu silatmu telah mendapat kemajuan pesat, tak tahunya....Huuuh! Melulu satu jurus itu saja" Sambil berseru jari dan telapaknya bekerja cepat, dalam sekejap mata dia sudah kirim lima jurus serangan silat. Dengan tenang Hoa Thian-hong hadapi setiap serangan lawar, sembil bertempur pikirnya dalam hati, Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Meskipun orang ini terlalu jumawa, ilmu silatnya luar biasa juga. Dari sini dapat dibayangkan betapa lihaynya Bu-liang Sinkun sang gurunya..." Sementara itu, para tamu dalam rumah makan tersebut berbondong2 telah penuhi sekitar kalangan tatkala mereka tahu ada orang sedang bertempur disitu, tentu saja diantara mereka terdapat pula para jago dari golongan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thong-thiankauw, suara bisik2 kedengarannya berkumandang diantara mereka sedang seluruh perhatian dicurahkan ke tengah kalangan, seakan-akan mereka sedang menikmati suatu pertempuran yang amat indah. Dalam menghadapi pertarungannya hari ini, Hoa Thian-hong bersikap tenang dan sama sekali tidak terburu nafsu, ilmu pukulan Kun-siu-ci-tau dimainkan dengan bebas dan enteng, diantara serangan terdapat pula pertahanan yang kuat. Tenaga dalam yang ia miliki saat ini sedang berada dalam taraf peningkatan, terutama pembaruan antara hawa murni serta kadar teratai racun yang bersarang di tubuhnya telah menciptakan sesuatu cara berlatih tenaga dalam yang aneh, makin kerap ia bergerak makin pesat kemajuan yang diciptakan dalam tenaga murninya. bukan saja ia tidak merasa lelah bila bertempur melawan orang kebalikannya tubuh merasa makin segar dan nyaman. Lain hanya dengan Kok See-piauw yang diliputi rasa dengki dan benci, ia berniat membinasakan musuhnya dalam berapa gebrakan saja, karena itu lewat beberapa jurus kemudian ilmu 'Kiu-pit-sin-ciang' dari perguruannya telah dimainkan dengan dahsyat, tangan kanan menyerang dengan ilmu pukulan tangan kiri menotok dengan ilmu totokan, ia menyerang secara brutal dan penuh nafsu. Bila dibicarakan tentang indahnya gerakan serta luasnya ilmu silat, Hoa Thian-hong tak dapat menangkan Kok See-piauw, tapi kalau berbicara tentang tenaga dalam maka pemuda kita ialah yang lebih unggul. Meskipun jurus pukulannya hanya tunggal tapi dibalik itu terkandunglah banyak perubahan yang dahsyat, ia tak pernah menyerang dengan jurus tipuan ataupun pancingan, namun walau Kok See-piauw telah unjukan ilmu silat macam apapun itu selalu tak berhasil merebut kemenangan Begitulah, Kok See-piauw kuat dalam variasi jurus, lemah tenaga dalam, semakin gusar ia menghadapi pertarungan itu semakin lemah tenaga serangannya, hingga lama kelamaan posisinya mulai nampak goyah dan terdesak bebat. Menghadapi keadaan seperti ini, Hoa Thian-hong segera berpikir dalam hati, "Setelah Cu Siauw Lek tampil ke muka, sekarang bila Kok See-piauw kupukul roboh maka dengan sendirinya Bu-liang Sinkun bakal muncul diri, orang lain punya tulang punggung sedang aku" Bila aku kalah siapa yang akan balaskan dendam?" Teringat pula luka yang diderita ibunya, ia jadi kesal. Hilanglah niatnya untuk bertempur lebih jauh. sambil membentak keras telapaknya laksana kilat menyapu ke depan. Pukulan ini bukan saja dilancarkan dengan cepat laksana kilat, bahkan luar biasa hebatnya. Mimpipun Kok See-piauw tidak menyangka kalau dalam serangan yang sama secara tiba-tiba musuhnya telah menggunakan tenaga yang lebih dahsyat, melihat tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar, terpaksa ia putar telapak menyongsong datangnya serangan itu dengan keras lawan keras. "Blaaaam....!" di tengah bentrokan nyaring Kok Seepiauw merasa tubuhnya bergetar keras, lengannya jadi linu dan kaku hingga tanpa terasa badannya terdorong mundur dua depa ke belakang. "Kalau rejeki" pasti bukan bencana, kalau bencana tak akan kuhindari lebih baik undang saja gurumu!" pikir Hoa- Thian-hong dalam hati. Tabuhnya menerjang makin kemuka, telapak diayun dan sebuah pukulan kembali dilancarkan. Kok See-piauw terkesiap, buru-buru ia pasang she-si (Kuda-kuda) kemudian sepasang telapak didorong ke depan dan menerima datangnya serangan itu secara keras lawan keras" JILID 15 : Benci menjadi Cinta BLAAM...! Sekali lagi terjadi bentrokan dahsyat. Kok See-piauw rasakan kepalanya hampir pecah termakan daya tekanan hawa pukulan tersebut. matanya kontan berkunang-kunang dan tubuhnya mundur ke belakang dengan sempoyongan. Keadaannya saat ini jauh lebih payah dari pertama kali tadi. Hoa Thian-hong sendiri hanya tergetar sedikit ke samping, lalu seperti tak pernah terjadi apa2 dia loncat ke belakang tubuh Kok See-piauw, telapaknya diayun dan segera menghantam punggung orang sekeraskerasnya. "Jangan bunuh dia!" mendadak Pek Kun-gie menjerit kaget. Hoa Thian-hong tertegun mendengar seruan itu tanpa pikir panjang ia kurangi hawa murninya dan ayun telapaknya ke samping. Weesss! Tubuh Kok See-piauw segera terlempar ke depan Meskipun pukulan yang bersarang di atas punggung lawan ini cukup ringan, namun bagi Kok See-piauw dirasakan bagaikan terhajar martil seberat seribu kaki, ia menjerit tertahan dan mencelat sejauh beberapa tombak, kemudian tubuhnya terbanting keras-keras di atas tanah. Kok See-piauw berusaha untuk menahan diri namun gagal, tak bisa dihindari lagi ia muntah darah segar. "Kok-heng silahkan berlalu dari sini," kata Pek Kun-gie kemudian. "Dilain hari siaumoay pasti akan minta maaf kepadamu!" Kok See-piauw merasa malu bercampur gusar, dengan sorot mata penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian putar badan dan berlalu dari situ. Hoa Thian-hong sendiri tertawa dingin tiada hentinya, menanti bayangan punggung musuhnya sudah lenyap dari pandangan ia alihkan sorot matanya keempat penjuru. tiba-tiba wajahnya terata panas dan jengah sekali 0000O0000 PARA tamu yang menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan pada menyadari bahwa sepasang laki perempuan yang berada di kalangan bukanlah manusia sembarangan, melihat pertarungan telah berakhir merekapun sama-sama membubarkan diri dan kembali ke tempat masing-masing, suasana tetap sunyi dan tak seorangpun berani membicarakan lagi peristiwa itu. Dengan sikap seperti gembira seperti gusar, Pek Kungie berbisik kepada Siauw Leng, "Bayar rekening kita, kemudian kau boleh pulang lebih dahulu!" Kemudian sambil menghampiri Hoa Thian-hong ujarnya pula, "Mari kutemani dirimu pergi ke rumah makan lain, bagaimana kalau kita mencicipi sayuran dusun?" Hoa Thian-hong sendiri sudah sedari tadi ingin tinggalkan tempat itu, maka tanpa banyak berbicara ia berjalan keluar dari rumah makan itu dan menuju ke jalan raya. "Sst... perlahan sedikit aah" mendadak Pek Kun-gie berbisik. "Langkah kakimu terlalu lebar, aku sampai lelah menyusul dirimu" Hoa Thian-hong tertegun dan segera berpaling, tampaklah gadis itu dengan senyum dikulum dan biji mata yang bening sedang memandang pula ke arahnya, "cantik jelita nian gadis ini!" batinnya dalam hati. "Seandainya enci Wan-hong secantik dirinya, oooh betapa indahnya suasana itu." Keadaan dari Pek Kun-gie be.nar-benar bagaikan berganti orang lain, ini hari wajahnya tidak nampak dingin atau ketus, sebaliknya gerak-geriknya lemah lembut dan penuh kehangatan membuat dia nampak bertambah menarik ibarat sekuntum bunga di pagi hari. Beberapa waktu kemudian mereka berdua telah tiba di pusat kota, pada suatu persimpangan jalan Hoa Thianhong segera berhenti dan ia ada maksud mohon diri Pek Kun-gie tundukkan kepalanya rendah-rendah, terdengar ia berbisik lirih, "Kau masih marah kepadaku?" "Marah apa," tanya sang pemuda tertegun. "Bu-liang Sinkun adalah jago kelas satu dalam dunia persilatan dewasa ini, bila kau bunuh Kok See-piauw maka tindakanmu ini akan mencelakai dirimu sendiri, apa gunanya mengundang bencana bagi diri sendiri?" "Aaah... siapa sih yang masih ingatan terus urusan sepele itu?" bantah Hoa Thian-hong sambil tersenyum, "Toh urusan itu sudah kita lepaskan, kenapa musti dibicarakan lagi?" Pek Kun-gie termenung sebentar, kemudian ujarnya lagi, "Umumnya bila kita hadiri suatu pertemuan antara sesama orang kangouw, patut bila kita jangan makan barang makanan yang mereka suguhkan, sekarang mari kita bersantap dulu kemudian baru pergi menghadapi pertemuan itu!" Hoa Thian-hong tidak tega menampik tawaran orang maka diapun lantas mengangguk dan berjalan ke arah Timur Di tengah perjalanan, Pek Kun-gie menarik ujung baju si anak muda itu dan berbisik "Bila racun teratai itu kambuh, payah tidak siksaannya?" Hoa Thian-hong tersenyum. "Payah sekali. rasanya bagaikan otot-otot dalam tubuhku dicabut dan sekujur tubuhku digigit berjuta juta ekor semut!" Pek Kun-gie tertegun, wajahnya berubah jadi pucat pias bagai mayat, tanya kembali, "Bagaimana caranya menghilangkan racun teratai itu dari dalam tubuhmu?" "Di kolong langit tak seorang manusiapun mampu menghilangkan racun dari teratai racun empedu api itu dari dalam tubuhku!" Pek Kun-gie menatap wajah tajam-tajam, kemudian dengan penuh rasa kuatir ia berkata, "Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya Kiu-tok Sianci adalah malaikat dari segala macam racun, apakah dia juga tak mampu menolongi dirimu" Atau ia tak sudi memberikan bantuannya?" "Kiu-tok Sian-nio sangat sayang kepadaku, ia telah berusaha dengan seluruh pikiran serta tenaganya untuk menolong aku tapi semua usahanya cuma sia-sia belaka," berhenti sejenak, lalu sambil tertawa sambungnya, "Dalam darahku terkandung sari racun, selama hidup tak mungkin bagiku untuk kawin dan berbini" Tertegun Pek Kun-gie setelah mendengar ucapan itu, tapi sesaat kemudian dengan suara halus ia telah berkata kembali, "Lalu bagai manakah pendapat Chin Wan-hong tentang musibah ini" Bagiku pribadi asal hatinya sudah penuju kenapa musti dipikirkan lagi persoalan lain yang tak perlu?" Meskipun perkataan biasa saja kedengarannya, namun Hoa Thian-hong dapat menangkap arti lain dari ucapan tersebut, setelah melengak sejenak ia berkata, "Keadaanmu serta diriku ibarat api dan air. tak mungkin terjalin hubungan persahabatan diantara kita, bila kau adalah seorang yang cerdik maka sejak kini mustinya menyadari akan hal itu." Pek Kun-gie tertawa sedih, seolah-olah ia takut pemuda itu mendadak merat dari situ ujung bajunya segera dipegang erat-erat bisiknya lirih, "Aku bukanlah seorang yang cerdik, kalau tidak dahulu akupun tak akan bertindak setolol itu." "Bertindak tolol apa?" Pek Kun-gie tundukkan kepalanya semakin rendah, sahutnya tergagap, "Dahulu sikapku terhadap dirimu...." "Aaai...! Kenapa kita musti ungkap lagi masalah ketidak cocokan diantara pribadi pada masa yang lampau" lupakanlah hal itu." Pek Kun-gie jadi girang bercampur malu, ia melengos memandang ke arah lain sedang tubuhnya bergeser lebih dekat lagi dengan pemuda itu, hingga lengan mereka saling bergerak. Meskipun gerakan itu lirih sekali tapi dapat menggantikan beribu2 patah kata, ucapan yang penuh mengandung rasa cinta yang mendalam. Beberapa waktu kemudian, kedua orang itu sudah berada di dalam sebuah rumah makan yang memakai merek "King-Pak" setelah pelayan menyodorkan daftar sayur, sambil tersenyum Pek Kun-gie bertanya, "Tempat ini khusus menjual sayur dusun, kau ingin makan apa?" Sejak kecil Hoa Thian-hong dibesarkan di atas gunung yang sunyi, sejak munculkan diri dalam dunia persilatan walaupun sudah mendekati dua tahun, tapi selama ini kerjanya melulu berjuang diantara hidup dan mati, kini sambil membaca sebentar daftar sayuran itu ia menyahut, "Waaah... begitu tak kenal nama nama sayuran itu, sembarang saja pokoknya kenyang!" Pek Kun-gie tertawa lebar, ia sambil daftar sayur itu lalu bertanya, "Bagaimana kaiau kita pesan saja sayur Ciong-hau-wi?" "Baiklah!" Pek Kun-gie membaca lagi daftar menu itu, kemudian kembali ia bertanya, "Atau kau ingin merasakan masakan Angsio-bhe-an-kiau?" "Meskipun aku orang bangsa Han, bagiku nama sayuran itu asing sekali dalam pendengaran, terserah deh apa pilihanmu itu!" Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pek Kun-gie tersenyum, setelah mempertimbangkan sebentar ia baru pesan beberapa macam sayur, kemudian tanyanya, "Tengah hari ini, kenapa aku tidak melihat kau lari racun?" "Aku sedang berlatih pedang" "Bukankah siksaannya lebih hebat?" Hoa Thian-hong mengangguk. "Asal aku bisa bersabar terus. suatu hari hal itu akan jadi biasa dengan sendirinya." Ketika dilihatnya gadis itu sedang memandang ke arahnya dengan wajah kasihan, ia segera tertawa nyaring dan bertanya, "Apakah Ciu It-bong masih hidup?" Pek Kun-gie mengangguk. "Kalau menurut maksud Tok Cukat, orang itu hendak dibinasakan secepatnya tapi ayahku tidak setuju maka sampai sekarang dia masih berada di tempat semula, bukankah pedang bajamu masih berada ditangannya?" "Ehmm! Yau Sut si bangsat cilik itu benar-benar keji dan telengas perbuatannya, suatu saat terjatuh ke tanganku.... Hmm pasti akan kuhadiahkan sebuah bogem mentah di atas tubuhnya!" Pek Kun-gie tertawa lirih. "Dalam suatu peperangan, kedua belah pihak sudah tentu akan membantu masingmasing junjungannya, bila kau suka menduduki kursi kebesaran dari perkumpulan Sin-kie-pang kami, tentu diapun akan tunduk dan melindungi dirimu dengan setulus hati. "Masalahnya bukan mau atau tidak" jawab Hoa Thianhong setelah tertegun sejenak, "Perkumpulan Sin-kiepang adalah hasil karya dari ayahmu. Masa ia sudi memberikan kursi kebesarannya kepada orang lain?" Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah pemuda itu mendadak sambil tundukan kepalanya rendah2 ia membungkam. "Eeei... masa kau masih anggap diriku sebagai anak murid perkumpulan Sin-kie-pang" tanya Hoa Thian-hong kembali. "Apa salahnya kalau begitu?" sahut Pek Kun-gie sambil tertawa cekikikan, "Ayahku tidak berputra selama hidup belum pernah menerima murid, bila sudah lanjut usia nanti ia pasti akan mengundurkan diri dan kursi Pangcu akhirnya juga harus diwariskan kepada orang lain" "Haaah..... haaah.... haah.... kalau menurut peraturan semestinya warisan itu jatuh ke tanganmu" Sambil tundukkan kepalanya Pek Kun-gie tertawa lirih. "Aku adalah seorang perempuan kawin dengan ayam ikut ayam, kawin dengan anjing harus ikut anjing......" Kali ini Hoa Thian-hong dapat menangkap arti lain dari ucapannya itu, ia tersenyum dan menggeleng. "Perkumpulan itu adalah tempat berkumpulnya manusia durjana tempat untuk menindas dan memeras rakyat jelata, kalau aku mampu maka semua perkumpulan seperti ini akan kurombak dan kulenyapkan dari muka bumi" Pek Kun-gie sama sekali tidak tersinggung oleh perkataan itu, setelah termenung sejenak ia berkata kembali, "Sekalipun kau hendak basmi atau lenyapkan perkumpulan semacam ini, tidak semestinya kalau kau laksanakan dengan tindak kekerasan. bukankah lebih baik mendapatkannya dengan jalan menipu kemudian baru bubarkan secara gampang"' "Eeeei......! rupanya kau adalah pagar makan tanaman" Makan di dalam bantu diluar?" teriak Hoa Thian-hong sambil tertawa gelak. "Perempuan selalu menghadap keluar masa kau juga tak tahu akan ucapan ini?" Sementara pembicaraan masih berlangsung sayur dan arak telah dihidangkan Pek Kun-gie dengan kehalusannya sebagai seorang gadis segera melayani pemuda itu bersantap dan bercanda, suasana dilewatkan dalam keadaan yang gembira dan penuh rasa persahabatan. Tanpa terasa senja telah menjelang tiba, pada waktu itulah Pek Kun-gie menemani Hoa Thian-hong hingga tiba di sebuah kantor cabang perkumpulan Hong-imhwie, katanya, "Tahukah kau mengapa Jin Hian bagi undangan memanggil dirimu menghadap" tujuannya tidak lain pastilah hendak menyelidiki pembunuh dari Jin Bong serta membalaskan dendam bagi kematian putranya, dalam waktu singkat mungkin keadaan ini tak akan membahayakan dirimu, tapi bila pembunuh itu sudah ketahuan maka kau cepat-cepat mengundurkan diri, perhatikanlah serangan bokongan yang bakal dia lancarkan terhadap dirimu. "Betul, secara tidak langsung aku telah ikut terlibat dalam peristiwa berdarah ini," sahut Hoa Thian-hong dengan hati terkesiap, "Bila pikiran Jin Hian amat picik, mungkin saja dia akan seret diriku untuk menemani putranya yang telah mati" "Betulkah pembunuh itu mempunyai wajah yang mirip sekali dengan diriku?" "Benar memang ada beberapa bagian mirip sekali dengan wajahmu," sambil berkata ia awasi sekejap raut Wajah gadis itu, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, segera ia berpikir, "Pembunuh itu berwajah genit dan merangsang, sedang Pek Kun-gie halus lagi menarik, seharusnya antara kedua orang itu tidak bisa dikatakan mirip" Sementara itu Pek Kun-gie tetap berdiri tegak sambil membiarkan pemuda itu mengawasi wajahnya, kemudian sambil tertawa katanya, "Kita toh bukan saudara kembar, mana mungkin wajahnya bisa mirip bagaikan pinang dibelah dua dengan diriku" Mungkin kau terlalu gugup pada waktu itu sehingga salah melihat!" Hoa Thian-hong sendiripun merasa agak bingung, maka setelah sangsi sejenak akhirnya ia berkata, "Bila aku dapat bertemu lagi dengan orang itu, maka aku pasti akan kenali kembali dirinya, sulit bagiku untuk menerangkannya pada saat ini" Habis berkata dia angkat tangan tanda berpisah dan melanjutkan langkahnya dengan tindakan lebar "Thian-hong......" tiba-tiba Pek Kun-gie berseru lirih. "Ada urusan apa?" tanya pemuda itu dengan wajah tertegun. Pek Kun-gie menunduk tersipu sipu, sahutnya setelah sangsi sejenak, "Pohon tinggi gampang terhembus angin janganlah terlalu memperlihatkan kelihayanmu!" Hoa Thian-hong mengangguk, sambil berlalu pikirnya dalam hati, "Ibu pernah berpesan kepadaku agar jangan mencari isteri sebelum tugas yang dibebankan di atas pundakku selesai dilaksanakan enci Wan-hong menaruh hati kepadaku hal ini tak bisa ditolak lagi, tapi Pek Kungie secara tiba-tiba merubah sikapnya terhadap diriku, lebih baik aku bersiap2 diri lebih dahulu dari pada di kemudian hari pusing kepala" Ketika ia tiba di depan pintu kantor cabang perkumpulan Hong-im-hwie tampaklah Ciau Khong diiringi anak buahnya menyambut kedatangannya di depan pintu. "Kongcu betul-betul seorang lelaki yang bisa dipercayai," ujar Ciau Khong sambil maju memberi hormat, "Cong Tang-kee kami telah menunggu di ruang dalam, biarlah aku segera pergi memberi laporan!" Hoa Thian-hong ambil keluar kartu namanya dan diangsurkan ke depan, ujarnya, "Aku hanya seorang angkatan muda dalam dunia persilatan, tidak berani merepotkan Tang-kee kalian musti menyambut kedatanganku!" Ciau Khong mengiakan berulang kali, setelah menerima kartu nama itu ia serahkannya ke tangan penerima tamu she-Sun, sambil membawa kartu tadi orang she-Sun itu segera masuk ke dalam ruangan. Hoa Thian-hong bersama Ciau Khong mengikuti dari belakang. Tampaklah dalam ruangan penuh dengan priapria kekar berbaju serba hijau, bersoren golok berdiri berbanjar di tepi jalan. dandanan mereka semua sama senjata yang dipergunakanpun tak ada bedanya, semua berdiri serius dan tak pernah melirik sekejappun ke arah tamu yang sedang lewat dihadapan mukanya. "Luar biasa penjagaan disini dari sorot mata mereka yang tajam jelas menunjukkan bahwa tenaga dalam yang mereka miliki amat sempurna," pikir pemuda itu dalam hati. Sementara itu ia telah diajak melewati sebuah jalan kecil yang panjang dan tiba di atas sebuah jembatan kecil yang mungil, diantara bebungahan yang harum semerbak nampak bangunan indah berdiri dengan megahnya disitu, ketika Hoa Thian-hong diam-diam menghitung jumlah penjaga disitu ternyata jumlahnya persis mencapai empat puluh orang. Mendadak dari dalam bangunan mungil itu muncul seseorang berperawakan tinggi kurus dan memakai baju warna hitam, jenggot hitam terurai sepanjang dada, wajahnya murung dan sorot matanya tajam. Sambil bergendong tangan ia berjalan bolak-balik di muka pintu seperti lagi menantikan kedatangan seseorang. Hoa Thian-hong segera merasa hatinya tercekat setelah menyaksikan kemunculan orang itu. Tampak Ciau Khong maju ke muka dan berkata sambil memberi hormat, "Lapor Cong Tang-kee, Hoa Thianhong kongcu telah tiba!" Jin Hian angkat kepala dan menyapu sekejap wajah si anak muda itu dengan sorot mata tajam, kemudian sambil memberi hormat dan tersenyum sapanya, "Ooh.... kiranya Hoa kongcu telah datang, maaf bila aku orang she Jin tidak menyambut kedatangan mu dari tempat kejauhan" Seram dan bengis sekali raut wajah oran ini, meskipun cuma beberapa patah kata belaka, namun ucapan yang dingin dan tak sedap didengar itu cukup membuat bulu kuduk di atas tubuh Hoa Thian-hong pada bangun berdiri semua...., "Dia adalah Cong Tang-kee kami," terdengar Ciau Khong memperkenalkan. Dengan cepat Hoa Thian-hong menenangkan hatinya dengan perasaan mendongkol pikirnya, "Ayah dan ibuku adalah jago-jago kenamaan yang disenangi setiap orang Bulim kenapa aku musti takut dengan seorang pentolan dari suatu perkumpulan kecil?" Berpikir demikian, semangatnya segera berkobar kembali, sambil, menjura ujarnya lantang, "Bila kedatangan dari aku orang she-Hoa sedikit terlambat, harap Jien Tang-kee suka memaafkan!" Jin Hian tertawa hambar, ia menyingkir ke samping dan mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam, Sambil membusungkan dada Hoa Thian-hong melangkah masuk ke dalam ruangan, ia lihat dikedua belah sisi ruangan telah hadir berpuluh puluh orang manusia, diantara mereka tampak pula Cu Goan-khek, si Malaikat berlengan delapan Cia Kim yang baru saja kehilangan lengan. Seng Sam Hauw si hweesio gemuk serta Siang Kiat yang baru saja kehilangan saudara. Di tengah ruangan telah tersedia dua buah meja perjamuan, sambil melangkah masuk ke dalam ruangan Jin Hian berkata, "Hoa kongcu, silahkan menempati kursi utama!" Setelah berada di tempat yang berbahaya, rasa jeri dan kuatir yang semula menyelimuti benak si anak muda itu lenyap tak berbekas, setelah ucapkan terimakasih ia segera ambil tempat duduk di samping, sedang Jin Hian mengiringi duduk di sisinya. Para jago lain pun segera ambil tempat duduk masingmasing. seorang pria pertengahan bersoren golok besar segera melangkah maju dan berdiri di belakang orang she Jin itu. Suasana dalam ruangan diliputi keseriusan serta ketegangan. secara tidak sengaja Hoa Thian-hong menemukan bahwa banyak diantara mereka yang menggembol senjata, hal ini membuat hatinya jadi amat terkejut, pikirnya, "Orang-orang itu bisa duduk dalam kedudukan yang seimbang dengan Jin Hian ini menunjukkan bahwa kedudukan mereka tidak rendah. kemunculan mereka semua di tempat ini sungguh mencurigakan sekali, kalau tinjau dari dandanan mereka yang keren, mungkinkah dalam dunia persilatan telah terjadi suatu peristiwa besar?" "Hoa Kongcu ini hari kau berkunjung kemari sebagai tamu, bila diantara saudara-saudara Hong-im-hwie kami terdapat perselisihan dengan dirimu, sementara waktu persoalan itu tidak kita singgung dulu," ujar Jin Hian secara tiba-tiba, "Bagaimana kalau dalam pertemuan ini kita ini hanya membicarakan masalah umum dan bukan masalah pribadi?" Hoa Thian-hong alihkan sorot matanya menyapu sekejap wajah Cu Goan-khek serta Cia Kim dua orang, melihat sikap mereka tawar dan sedikitpun tidak menunjukkan suatu reaksi, ia segera tertawa nyaring. "Bagi aku orang she-Hoa yang belum lama muncu1 diri dalam dunia persilatan, tanpa sebab tentu saja tak akan berani bikin keonaran, bila Jien Tang-kee ada urusan silahkan saja diutarakan. "Nasib dari aku orang she Jin benar amat jelek, dimasa tua aku musti kehilangan putra tunggalku rasa sedih yang kualami bisa kau bayangkan sampai dimana hebatnya. bila sakit hati ini tidak kubalas. sekalipun harus matipun aku akan mati dengan mata tidak meram" "Cinta orang tua terhadap putranya memang nomor satu di dunia, aku dapat ikut merasakan kesedihan tersebut." Dalam ruangan perjamuan meskipun hadir dua puluh Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang lebih, tetapi selama pembicaraan itu berlangsung tak seorangpun diantara mereka yang ikut buka suara, mereka hanya meneguk arak dengan mulut membungkam, hal ini membuat Hoa Thian-hong kian lama kian bertambah curiga. Mendadak terdengar Jin Hian berkata lagi dengan suara keras, "Apakah ibumu pernah beritahu kepadamu, Hoa tayhiap sebenarnya mati di tangan siapa?" Tergetar keras sekujur badan Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, dengan Sorot mata tajam ia awasi wajah orang, kemudian sahutnya, "Ibuku sudah berhasil menyadari aku artinya hidup, beliau telah melupakan seluruh budi dan dendam dimasa lampau bagaikan awan di angkasa, hingga kini ibuku belum pernah beritahu kepadaku siapakah pembunuh yang telah menghabiskan jiwa ayahku?" Rupanya Jin Hian agak tertegun oleh jawaban tersebut, alisnya berkerut dan ia menunjukkan sikap seakan akan tidak percaya, setelah berhenti sejenak ujarnya kembali, "Perkataan semacam ini hanya bisa diutarakan oleh ibumu yang berjiwa besar dan berpikiran luas, dendam terbunuhnya seorang ayah lebih dalam dari samudra, hidup sebagai seorang putra sudah sepantasnya kalau dendam itu dituntut balas." "Huuuh...... kau anggap aku orang she-Hoa adalah manusia macam apa" Aku tahu diantara kalian tiga golongan saling bermusuhan dan selalu berusaha untuk merobohkan pihak yang lain, kau ingin menggunakan pancingan itu agar aku masuk perangkap dan membantu pihakmu" Aku tak akan setolol itu...." pikir Hoa Thianhong dalam hati. Sekalipun dalam hati ia berpikir demikian, namun peristiwa berdarah ini memang sangat menarik hatinya, setelah berhenti sejenak akhirnya ia berkata, "Aku pikir Jien Tang-kee mengungkap persoalan ini pasti ada tujuan tertentu, meskipun aku orang she Hoa tidak tahu terbunuhnya ayahku tak nanti akan kulupakan untuk selamanya. Bila Jien Tang-kee ada persoalan katakanlah secara langsung, bila kau mohon bantuan aku pasti akan berusaha untuk membantu" Jin Hian tersenyum, "Ehmmm, kau memang tidak malu disebut keturunan seorang pendekar besar, kehebatanmu sulit dibandingkan dengan orang lain" Ia berhenti sejenak, dengan wajah serius terusnya, "Ayahmu mati di tangan Thian Ik toosu bajingan dari Thong-thian-kauw, ibumu tidak mengungkap soal ini aku duga mungkin ia kuatir apabila kau tak mampu menahan emosi dan langsung menuntut balas kepada toosu itu, akibatnya selembar jiwamu pun ikut melayang" "Toosu bangsat! Rupanya kaulah yang telah membunuh ayahku!"' pikir Hoa Thian-hong sambil menggigit bibir. Jin Hian adalah pentolan dari suatu perkumpulan besar, sekalipun dia bermaksud mengadu domba, tidak mungkin kalau hal itu dilakukan tanpa bukti yang nyata, karena itu Hoa Thian-hong sangat mempercayai ucapannya ini. Meskipun dalam hati ia menaruh dendam, diluaran wajahnya tetap tenang dan kalem seperti biasa. Ujarnya, "Pendapat ibuku memang jauh lebih hebat dari orang lain, akupun tahu bahwa Thian Ik-cu adalah kaucu dari Thong-thian-kauw ilmu silatnya lihay dan anggota perkumpulannya sangat banyak, senang aku bukan saja seorang diri bahkan ilmu silatnya amat rendah, bila aku harus menuntut balas hanya karena dorong emosi, bukan saja selembar wajah belaka dihantar secara percuma, gagal melukis harimau bukankah aku bakal jadi bangsa anjing yang ditertawakan sahabat kangouw?" "Huuh.... pengecut takut mati, rupanya cuma seorang manusia bernama kosong belaka, dari meja perjamuan lain berkumandang seruan ketua Hong-im-hwie yang dingin. Meskipun ucapan itu diutarakan dengan suara yang amat lirih, tapi semua orang dapat mendengar suara itu dengan amat jelas Jin Hian segera berpaling dan mendengus dingin, suasana seketika berubah kembali dalam kesunyian yang mencekam, semua orang bungkam kembali dalam seribu bahasa. Hoa Thian-hong ikut alihkan sorot matanya ke arah mana berasalnya suara itu, dia lihat orang yang barusan bicara adalah seorang pria berusia pertengahan yang berbadan pendek dan berjenggot lebat, segera pikirnya, "Orang ini berangasan dan tak punya otak bila sampai terjadi suatu peristiwa, pertama-tama akan kuhantam dulu orang itu." Tiba-tiba terdengar Jin Hian tertawa kering dan berkata kembali, "Hoa kongcu, bagi orang lain mungkin dendam ini tak akan terbalas lagi, tetapi bagi Hoa kongcu harapannya masih selalu ada!" "Bila Jien Tang-kee suka membantu usahaku ini, aku tentu akan merasa berterima kasih sekali dan budi tersebut suatu ketika pasti akan kubalas!" Pemuda itu merasa jantungnya berdebar keras, tapi diluar sikapnya tetap tenang dan sama sekali tidak gugup, sepintas lalu keadaannya memang mirip orang yang takut mati. Tapi Jin Hian adalah seorang jago kawakan yang sudah memiliki banyak pengalaman tentu saja ia dapat meraba pula apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu, atas ketenangan serta kepandaiannya melihat gelagat ini, dalam hati diapun merasa kagum. "Thian Ik toosu bangsat itu berambisi besar dan bercita-cita membasmi seluruh jago di muka bumi serta merajai di dunia," kata Jin Hian kembali, "Hmm.... Hmm.... ia sudah pandang enteng Pek Siau-thian, juga pandang rendah aku orang she-Jin!" "Oooh.... rupanya posisi segi tiga yang selama ini nampaknya tenang. sebetulnya dibalik kesemuanya ini sudah mulai terjadi kekalutan, semua orang mulai dengan rencananya masing-masing untuk menjatuhkan pihak lawan" Pikir Hoa Thian-hong dalam hati. Berpikir begitu, dia lantas berkata, "Pepatah kuno sering berkata. terlalu lama berpisah pisti akan cocok untuk berkumpul, terlalu lama berkumpul pasti akan berpisah, aku rasa hal ini sudah jamak dalam kehidupan manusia!" "Keparat, rupanya kau pandai sekali berbicara dan terlalu licik pikiranmu," pikir hati Jin Hian. Diluaran ia tersenyum dan menjawab, "Ucapan Hoa Lo-te sedikitpun tidak salah, Thian Ik Toosu bangsat itu memang terlalu licik dan besar ambisinya, dia menginginkan agar perkumpulan Hong-im-hwie benrok lebih dahulu dengan pihak Sin-kie-pang kemudian ia berpeluk tangan jadi nelayan yang beruntung. Hmmm! Hmmm! Siapa tahu Pek Siau-thian serta aku Jin Hian justru bukan orang bodoh, sengaja kami kesampingkan dahulu semua persengketaan pribadi dan bekerja sama untuk menghadapi toosu bangsat itu terlebih dahulu" Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, sengaja ia menyala, "Wilayah kekuasaan Hong-im-hwie serta Sinkiepang toh sudah terbagi amat jelas, air sungai tidak melanggar air sumur, sengketa pribadi apa sih yang sudah terjadi antara Jien Tang-kee dengan Pek pangcu?" Jin Hian tertawa seram nafsu membunuh menyelimuti wajahnya. "Loo-te, apa kau sudah lupa dengan peristiwa berdarah yang mengakibatkan matinya putraku?" "Oooh.... maaf, aku memang bodoh dan tak dapat menangkap arti yang .sebenarnya dari ucapan Jien Tangkee itu" Jin Hian tertawa seram. "Aku orang she-Jin telah berhasil menyelidiki dengan jelas, pembunuhan yang telah membinasakan puteraku itu bukan anak murid dari pihak Thong-thian-kauw, melainkan dilakukan oleh orang-orang Sin-kie-pang." Beberapa patah kata ini diucapkan dengan suara tegas dan nyaring, hal ini membuat Hoa Thian-hong jadi terkejut hingga cawan arak dalam genggamannya hampir saja terlepas, dengan cepat dia bangkit berdiri. "Apakah sampai kini Hoa Loo-te masih beranggapan gadis berkerudung itu adalah anak murid dari Thongthiankauw?" seru Jin Hian kembali. Hoa Thian-hong mengangguk, pikirannya semakin bingung. "Peristiwa pembunuhan ini betul-betul suatu kejadian yang sangat aneh........" Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera bertanya kembali, "Apakah Jien Tang-kee berhasil menyelidiki siapakah gadis berkerudung itu?" Gelak tertawa Jin Hian semakin menyeramkan. "Bukankah Hoa Loo-te menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa pembunuh itu mirip sekali dengan wajah Pek Kun-gie?" "Jien Tang-kee....." seru Hoa Thian-hong dengan wajah berubah hebat. Jin Hian segera goyangkan tangannya mencegah pemuda itu bicara lebih lanjut, katanya sambil tertawa, "Aku orang she-Jin tahu bahwa hubungan Loo-te dengan Pek Kun-gie baru-baru ini erat sekali" Ia berhenti sebentar, kemudian tertawa keras terusnya, "Pembunuh itu pernah melakukan hubung gelap dengan puteraku, sedang Pek Kun-gie hingga kini masih perawan suci. karena itu harap Hoa Loo-tee suka berlega hati. aku orang she-Jin tak akan mencampur baurkan urusan ini secara gegabah" Hoa Thian-hong semakin bingung dibuatnya, rasanya ingin tahu segera muncul dalam hatinya. ia berkata, "Jien Tang-kee, dapatkah kau terangkan ucapanmu itu lebih jauh" Andai kata ada rahasia dibalik hal ini, aku pasti tak akan mengatakannya kepada orang lain" "Oooh...." Urusan ini sifatnya bukan suatu rahasia," sahut Jin Hian sambil tertawa hambar, setelah berhenti sejenak terusnya dengan nada serius, "Istri Pek Siauthian mengasingkan diri di atas bukit Hoan Keng dan Pek Kun-gie mempunyai saudara kembar yang selalu mendampingi ibunya, demikian Hoa Loo-te tentu paham bukan?" "Oooh...! Kiranya..." mendadak perkataan itu tidak ditanjutkan. Melihat pemuda itu membungkam Jin Huan meneguk isi cawannya dan mendengus dingin. "Aku percaya seratus persen kepada diri Loo-te, mengapa sebaliknya Loo-te bersikap ragu-ragu kepadaku" Bila ada ucapan katakanlah secara blakblakan?" . Hoa Thian-hong tertawa nyaring, "Ketika aku bertemu dengan Pek Kun-gie untuk pertama kalinya, waktu kebetulan bulan satu tanggal satu, dan terjadi diluar kota Keng-ciu aku rasa mungkin ia sedang pergi mengunjungi ibunya, kalau tidak apa sebabnya di hari tahun baru ia berkelian di tempat luaran dan bukannya berpesta dalam markas" "Pendapat Loo-te mungkin ada benarnya juga," Jin Hian mengangguk, "Sejak Pek Siau-thian hidup berpisah dengan isterinya Pek Kun-gie terpaksa harus hilir mudik antara kedua tempat itu, saudara kembarnya bernama Soh-gie, jarang sekali ada orang kangouw yang pernah bertemu muka dengan dirinya" "Oooh tak kusangka masih ada seseorang yang bernama Pek Soh-gie sungguh mencengangkan!" Sementara itu dalam hati kecilnya dia berpikir, "Badik mustika yang dimiliki Pui Che-giok dayang kepercayaan dari Giok Teng Hujien itu merupakan senjata yang dipergunakan untuk membunuh Jin Bong, seandainya pembunuh itu adalah Pek Soh-gie, kenapa senjata tajam itu bisa berada di tangan Pui Che-giok" peristiwa ini benar-benar membingungkan!" Ketika dia alihkan sorot matanya memandang sekitar ruangan itu, tampaklah Cu Goan-khek sedang minum arak seorang diri, malaikat berlengan delapan Cia Kim duduk termenung, Seng Sam Hua makan minum dengan lahapnya sedang orang lainpun sibuk dengan caranya sendiri2, tak seorangpun diantara mereka yang menaruh perhatian atas pembicaraan antara Jin Hian dengan dirinya "Loo-te, kau tak usah risau," ujar Jin Hian kembali. Suatu saat urusan ini akan jadi terang dengan sendirinya, hanya saja waktu itu aku harap Hoa Lo-te suka bertindak sebagai saksi, lihatlah aku orang she-Jin akan membedah isi perut pembunuh itu dan hatinya akan kupersembahkan untuk bersembahyang bagi arwah putraku itu" Hoa Thian-hong mengiakan berulang kali beberapa saat kemudian ia bertanya, "Jien Tang-kee, tahukah kau apa sebabnya Pek Hujien tinggalkan segala kemegahan dan keluarganya untuk mengasingkan diri di tempat yang terpencil....?" Jin Hian tertawa dingin. "Menurut berita yang tersiar katanya percekcokan itu terjadi karena urusan pribadi, siapapun tak tahu kejadian yang sesungguhnya!" "Mengenai peristiwa terbunuhnya putramu itu, mengapa Jien Tang-kee tidak bekuk lebih dahulu gadis yang bernama Pek Soh-gie tersebut?" "Aku toh tiada bukti yang cukup meyakinkan, sedang dasarku juga hanya perkataan Hoa Loo-te. Aku tahu hubunganmu dengan Pek Kun-gie sangat erat, andaikata kita harus berpadu tiga dan waktu itu Hoa loo-te mengatakan bahwa pembunuhnya bukan orang itu, bukankah nama baik dari aku orang she-Jin bakal hancur Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo di tanganmu" Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong. "Sejak kecil aku sudah dididik hidup sederhana dan bicara jujur, tentu saja aku tak akan membohong atau berkata yang bukan-bukan...." serunya. "Ah, aku hanya bergurau saja harap Hoa Loo-tee jangan menganggap sungguhan" kata Jin Hian sambil tertawa ewa, "Menangkap pembunuh sih gampang, pedang emas itulah yang sulit kudapatkan kembali, sedang Pek Soh-gie adalah puteri Siau-thian, urusan yang menyangkut suatu perkumpulan tak berani kulakukan secara gegabah...." Berbicara sampai disitu dia lantas angkat kepala dan berpaling ke arah meja sebelah muka. Lima orang yang duduk di meja perjamuan itu segera bangkit dan memberi hormat kepada Jin Hian, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dari ruang perjamuan. Hoa Thian-hong jadi curiga tapi ia merasa tidak leluasa untuk mengajukan pertanyaan secara langsung. maka segera katanya, "Pedang emas yang amat kecil itu secara beruntun dari tangan Ciu It-bong jatuh ke tangan Jien Tang-kee kemudian dirampas pula orang lain, andaikata pembunuh itu adalah Pek Soh-gie, semestinya senjata itu sudah terjatuh ke tangan Pek pangcu. tetapi... apa betul senjata kecil itu mempunyai sangkut pautnya dengan ilmu silat yang diwariskan Siang Tan Lay" Aku rada kurang percaya." Jin Hian tertawa ewa. "Dalam pedang emas itu tersembunyi dalam teka teki bisu yang amat ruwet sekali, sekalipun aku serta Ciu It-bong sudah mendapatkannya agak lama tapi sayang teka teki bisu itu belum berhasil juga kupecahkan. Tapi aku yakin bahwa pedang emas itu pasti ada hubungannya dengan ilmu silat yang dimiliki Siang Tang Lay...." "Sungguh aneh kejadian ini," pikir Hoa Thian-hong kemudian di dalam hati. "Bukan saja Ciu It-bong seorang bahkan Ciong Liankhek serta Jin Hian pun mengatakan secara meyakinkan bahwa pedang emas itu ada hubungannya dengan ilmu silat warisan Siang Tang Lay. Dimana sih sebetulnya letak kunci untuk memecahkan rahasia ini?" Tiba-tiba Jin Hian tertawa nyaring dan berkata kembali, "Ketika Siang Tang Lay menderita kekalahan hebat setelah kami kerubuti hingga jiwanya terancam, ia berhasil diselamatkan jiwanya oleh ayahmu. Untuk menyatakan terima kasihnya pastilah rahasia pedang emas itu telah diberitahukan kepada ayahmu. Tapi sayang ayahmu telah meninggal dunia, orang yang mengetahui rahasia ini mungkin tinggal ibumu seorang" Tertegun hati Hoa Thian-hong setelah mendengar perkataan itu, serunya terus terang, "Ibu melarang aku berhati serakah, urusan pedang emas itu belum pernah dibicarakan dengan diriku!" "Aku tahu, aku tahu...." sahut Jin Hian sambil tertawa dan mengangguk. "Kecerdikan ibumu lebih hebat dari ayahmu, setiap orang dalam Bu-lim telah mengetahui akan hal ini" Dia angkat cawan araknya ke atas menunjukkan sikap hendak menghormati tamunya dengan secawan arak dalam hati Hoa Thian-hong kembali berpikir, "Posisi serta situasi yang kuhadapi saat ini aneh sekali, biarlah aku pura-pura berlagak hendak pamit, aku ingin tahu bagaimanakah reaksinya?" Berpikir begitu ia segera letakkan cawan araknya ke atas meja dan bangkit berdiri, ujarnya sambit menjura. "Jien Tang-kee maafkanlah daku, takaran arakku terbatas sekali lagipula waktu sudah tidak pagi, dengan ini aku ingin mohon diri lebih dahulu semoga dilain kesempatan kita dapat bertemu kembali" Serentetan senyuman licik terlintas di atas wajah Jin Hian, ia segera menyahut, "Hoa loo-te, kau toh gagah dan berkepandaian hebat, apa sih artinya beberapa cawan arak bagimu?" Melihat pihak lawan tiada bermaksud menghantar dirinya keluar, Hoa Thian-hong segera sadar bahwa dibalik kesemuanya itu pasti ada hal-hal yang kurang beres, ia segera mendebrak meja sambil serunya dengan wajah berubah hebat, "Jien Tang-kee, apakah kau ada maksud menahan diriku?" "Hoa loo-te, kau toh tamu terhormatku...." buru-buru Jin Hian berseru setelah menyaksikan tamunya marah. Belum habis ia mengatakan kata-katanya, dari luar ruangan mendadak berkumandang datang suara bentakan keras, meskipun sayup-sayup sampai namun jelas menunjukkan bahwa diluar telah terjadi pertarungan sengit. Pria berbaju hijau yang menggembol golok besar dan berdiri di belakang Jin Hian itu segera bertindak keluar dari ruangan, tidak selang beberapa saat kemudian ia sudah masuk kembali sambil memberi laporan, "Diluar kedatangan seseorang yang tak mau menyebutkan namanya, ia bersikeras hendak menyerbu masuk kedalam, sekarang telah bertempur melawan pengawal golok emas." Jin Hian mengangguk tanpa mengucapkan komentar apapun rupanya ia tidak menaruh perhatian atas kejadian itu. Tiba-tiba suara bentakan keras kembali berkumandang datang meskipun suaranya masih sayup-sayup sampai namun semua orang yang hadir dalam ruangan itu dapat membedakan bahwa jarak lerjadinya pertarungan semakin mendekat., Dalam sekejap mata kecuali Hoa Thian-hong semua orang yang telah menunjukkan perubahan sikap. bahkan ada diantara mereka yang telah bersiap siap untuk bangkit dari tempat duduknya. Mendadak satu ingatan berkelebatan dalam benak Hoa Thian-hong, segera serunya, "Jin loo-tang-kee, mungkin orang itu adalah Ciong Lian-khek cianpwee yang sengaja datang menjenguk diriku karena aku sudah lama sekali belum juga pulang ke rumah" Jin Hian mengerutkan alisnya, mungkin la sedang memperhatikan jalannya pertarungan diluar ruangan. setelah itu dengan suara dingin ejeknya, "Kalau dia adalah Ciong Lian-khek, tak mungkin pengawal pribadiku sanggup dilewati...." Mendadak air mukanya berubah hebat, sambil bangkit berdiri tambahnya, "Atau mungkin ibumu yang telah datang" Hoa Thian-hong terperanjat sekali mendengar ucapan itu, sementara Cu Goan-khek sekalipun ikut tercekat hatinya, dalam sekejap mata semua orang telah bangkit tinggalkan tempat duduknya. Jin Hian serta Hoa Thian-hong berjalan lebih duluan keluar dari ruangan itu, para jago yang lain mengikuti dari belakang. Sekeluarnya dari ruang tadi terdengar suara bentrokan senjata tajam berkumandang semakin santar dan ramai, bahkan diiringi bentakan-bentakan yang memekikkan telinga, Setelah keluar dari lorong kecil. para jago sama-sama berdiri tertegun. Di bawah ruang sebelah barat tampak delapan orang pengawal golok emas dengan membagi jadi dua setengah lingkaran sedang menggencet seseorang, pertarungan berjalan dengan amat seru. sisanya dengan empat orang membentuk satu setengah lingkaran berkelompok di sekitar lapangan itu pada jarak satu tombak. Tiga rombongan jago berada di depan itu dan tujuh kelompok ada di belakang tubuhnya pemotongan oleh para jago lihay itu membuat jalan mundur orang itu tersumbat sama sekali. Pengawal2 golok emas itu benar-benar terdiri dari para jago yang sangat lihay, empat orang menyerang dari depan, empat orang menyerang dari belakang terdengarlah suara dentingan nyaring bergema memekikkan telinga sambaran golok emas yang lebarnya mencapai empat senti berkelebat kesana kemari menyiarkan cahaya emas yang menyilaukan mata, ditambah pula desingan suara tajam yang membetot sukma membuat suasa na terasa bertambah mengerikan..... Ooo)*(ooO Hoa Thian-hong segera alihkan sinar matanya ke arah jago lihay yang sedang bertempur melawan delapan orang pengawal golok emas itu, ia melihat orang itu mengenakan sepatu tersebut dari rumput, baju pendek dari kain kasar. Wajahnya hitam dengan kerutan yang banyak, rambut yang telah memutih berkibar terhembus angin, meskipun harus menandingi delapan bilah golok emas tetapi orang itu selalu melawan dengan tangan kosong belaka. Terlihatlah jurus-jurus serangannya ganas dan dahsyat meskipun delapan orang musuhnya berusaha keras untuk menciptakan berlapis2 bayangan golok untuk membendung serangan orang itu tetap mereka keteter hebat. Setelah menonton beberapa jurus serangan yang dipergunakan kakek tua itu, Hoa Thian-hong segera berpikir di dalam hati, "Tidak aneh kalau Jin Hian mengira ibuku yang telah datang, ilmu silat yang dimiliki kakek ini memang luar biasa sekali hebatnya......" Tiba-tiba kakek tua yang berada di tengah kalangan itu menggeserkan tubuhnya ke samping, sepasang telapak, segera direntangkan ke arah kedua belah samping. Traaang.... traaang.....! di tengah bentrokan nyaring, dua gulung angin pukulan yang dilancarkan kakek tua itu sudah menumbuk di atas golok emas dari empat jago yang berada di hadapannya, tidak ampun lagi keempat orang itu sama-sama roboh terjengkang ke arah samping kiri serta samping kanan. Sungguh cepat gerakan kakek tua itu, dalam sekejap mata ia sudah menerjang kehadapan pengawal golok emas itu. Terdengar keempat orang jago itu membentak keras, cahaya golok berkilauan, serentak mereka membacok ke arah tubuh lawan. Mereka2 yang tergabung dalam kelompok pengawal golok emas rata-rata merupakan jago pilihan diantara seluruh anggota perkumpulan Hong-im-hwie, dimana bukan saja mereka dididik langsung oleh Jin Hian bahkan sim-hoat tenaga dalam yang mereka pelajaripun merupakan basil didikan langsung dari ketua mereka. Kecuali mempelajari ilmu pukulan dan ilmu senjata merekapun mendapat pendidikan ilmu barisan, maupun ilmu berperang. bukan saja bertempur secara kerja sama maupun bertarung satu lawan satu mereka semua merupakan jago-jago yang luar biasa. Bacokan dari keempat orang itu seketika berhasil membendung jalan maju kakek tua itu, empat orang yang kena dipukul pental tadi sementara itu telah menyusul datang. Dalam sekejap mata empat depan empat belakang kembali mengurung kakek tua itu di tengah kepungan. "Kakek tua itu memang lihay dan sakti," pikir Hoa Thian-hong setelah menyaksikan jalannya pertarungan, "Meskipun ia telah berhasil melampaui tiga kepungan namun masih ada enam babak yang ada di belakang, apalagi pentolan mereka belum turun tangan sendiri, bertarung macam begini betul-betul suatu perbuatan yang tidak cerdik...." Berpikir demikian ia lantas berpaling ke arah Jin Hian, pada wajahnya sengaja ia perlihatkan sikap mengejek dan pandang rendah, seolah-olah ia Sedang menertawakan pertarungan dengan cara mengerubut itu. Jin Hian segera mengerutkan dahinya, ia tertawa rendah dan tiba-tiba bentaknya, "Tahan!" Sambil berseru perlahan-lahan ia maju ke dalam gelanggang. Para jago dan pengawal golok emas yang menghadang di tengah jalan sama-sama menyingkir ke samping, para jago yang sedang bertempur pun samasama menarik diri dan loncat keluar dari kalangan. Jin Hian segera mendekati kakek tua itu sambil tertawa sapanya, "Pengurus keluarga Hoa. sudah sepuluh tahun lamanya kita tak pernah saling berjumpa, masih ingatkah dengan aku orang she Jin?" Kakek itu alihkan sorot matanya mengamati Jin Hian sekejap, kemudian menjawab, "Anda toh masih ingat dengan aku Hoa In, kenapa Hoa In bisa lupa dengan dirimu?" Sinar matanya berkeliaran memandang sekeliling tempat itu, lalu serunya lagi, "Majikan kecil kami...." Belum habis dia berkata, sorot matanya sudah terbentur dengan wajah Hoa Thian-hong tubuhnya segera bergetar keras. Lampu lentera yang tergantung di bawah serambi itu memacarkan cahaya yang terlalu redup lagipula Hoa Thian-hongpun tidak kenal siapakah kakek tua itu. setelah mendengar Jin Hian menyebut kakek itu sebagai pengurus keluarga Hoa, ia baru tergerak hatinya apalagi setelah kakek itu menyebut dirinya sebagai Hoa In, ia segera teringat kembali akan pelayan ibunya yang telah bekerja selama tiga generasi dengan keluarga mereka. Cepat ia maju menyongsong ke depan dengan serunya, "Hoa In! aku adalah Seng Koan...." Perlu diketahui nama kecil Hoa Thian-hong adalah Seng jin, ketika ia masih berada di dalam perkampungan Liok Soat Sanceng dahulu, para pelayan dan dayang yang bekerja di keluarganya semua memanggil" Seng Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo koan" kepadanya. Karena itu setelah mendengar suara tersebut, Hoa In segera membelalakkan matanya lebar2, kemudian jatuhkan diri berlutut di atas tanah, serunya, "Oooh...Siau Koan-jin, sungguh menderita budak mencari jejakmu....!" Dengan mata terbelalak ia memandang wajah Hoa Thian-hong tanpa berkedip, titik air mata segera jatuh berlinang membasahi seluruh pipinya. "Hoa Thian-hong sendiripun dengan air mata bercucuran maju membangunkan kakek tua itu, serunya, "Bangunlah dulu sebelum berbicara!" "Dimanakah majikan perempuan?" 'Ibu masih berada diluar perbatasan, tempat ini bukan tempat yang cocok untuk berbicara, bangunlah dulu!" Perlahan-lahan Hoa In bangkit berdiri, setelah memandang sekejap lagi ke atas wajah Hoa Thian-hong, dia menyeka air matanya dengan ujung baju. "Siau Koan-jin, mari kita pergi!" ajaknya kemudian. Hoa Thian-hong mengangguk, pikirnya, "Sepanjang hari Chin toako selalu berada dalam keadaan tak sadar, bila waktu berlarut, terlalu lama badannya tentu akan menderita gangguan perduli amat dia mau kasih atau tidak aku akan coba untuk memintanya...." Ia segera memberi hormat kepada Jin Hian sambil ujarnya, "Dapatkah aku mengajukan suatu permintaan kepada Jien Tang-kee?" "Apakah kau menginginkan obat pemunah bagi Chin Giok-liong?" tanya Jin Hian sambil tertawa ewa. Si anak muda itu mengangguk "Chin Giok-liong hanya seorang pemuda yang baru saja terjun ke dalam dunia persilatan, ia belum pernah bermusuhan dengan siapapun, sedang Jien Tang-kee adalah seorang jago lihay dari suatu wilayah, enghiong dari dunia ketiga. Apa sih faedahnya bermusuhan dengan anak muda seperti itu?" "Hoa kongcu," tiba-tiba Cu Goan-khek menyela dengan suara dingin, Orang itu berhasil kau rampas dari tangan aku orang she Cu. sepantasnya kalau obat pemunah itupun kau dapatkan dari tangan aku orang she Cu!" "Jien Tang-kee keliru besar" Hoa Thian-hong segera menyabut sambil ulapkan tangannya, "Dalam perkumpulan Hong-im-hwie kedudukan Jien Tang-kee adalah satu tingkat di bawah ketua dan beberapa. tingkat lebih tinggi dari yang lain, kedudukanmu terhormat dan dipuja orang Semasa ayahku masih hidup dahulu, sekalipun dihormati kawanan Bulim itu pun tidak lebih dianggap sebagai enghiong. Sedang aku..... aku tidak lain hanya ingin menyelesaikan budi dan dendam mendiang ayahku, maka aku tiada maksud mencari nama atau kedudukan, semakin tiada bermaksud menjagoi diantara kawanan Bulim" Cu Guan Kek tertawa mengejek, "Jadi maksud Hoa kongcu, andaikata tiada persoalan kau tak akan bergebrak dengan orang?" "Sedikitpun tidak salah! aku tidak ingin memburu ambisi serta nafsu angkara murka, tetapi kalau didesak atas dasar keadilan serta kebenaran, sekalipun kepala harus putus badan harus musnah akan kulakukan juga hingga titik darah penghabisan. Jien Tang-kee, bila kau suka beringan tangan dan serahkan obat pemunah itu kepadaku, sekarang juga aku akan berlalu dari sini, sebaliknya kalau kau hendak memaksa untuk mengukur kepandaian, maka aku akan melayani hingga obat pemunah itu berhasil kudapatkan, perduli dalam ilmu silat bisa menang atau kalah" Maksud dari perkataan itu jelas sekali, bila tidak turun tangan masih mendingan, bila harus turun tangan maka ia akan nekad melawan terus hingga tujuannya tercapai. Mendadak terdengar Jin Hian tertawa terbahak bahak dan berkata, "Ji-te, ucapan dari Hoa kongcu sedikitpun tidak salah, kalau dibicarakan mengenai ilmu silat belum tentu dia dapat menandingi dirimu, kaupun belum tentu dapat menandingi kepandaian silatku, bila Hoa tayhiap masih hidup di kolong langit akupun belum tentu berhasil menangkan dirinya, dalam kolong langit dewasa ini menang kalahlah yang menentukan Enghiong, aku rasa perebutan satu jurus tak usah dilakukan lagi." Selesai berkata dari sakunya dia ambil keluar sebutir pil yang terbungkus dalam lilin kemudian diserahkan ke tangan Hoa Thian-hong. Sambil menerima obat itu, pemuda she Hoa lantas berkata, "Atas kebesaran jiwa Jien Tang-kee, aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Mumpung hari ini aku serta pelayan tuaku bisa berjumpa kembali terasa banyak persoalan yang harus kusampaikan kepadanya, bila selama ini aku telah melakukan kesalahan, di kemudian hari aku pasti ikan datang berkunjung lagi untuk mohon maaf." "Hoa kongcu, kalau kau berbuat begitu maka tindakanmu itu tidak benar!" kata Jin Hian sambil tertawa ringan "Lalu bagaimana yang benar" harap Jien Tang-kee suka memberi petunjuk!...." "Kesempatan baik untuk membalas dendam bagi kematian ayahmu telah tiba, kenapa Hoa kongcu malahan hendak buru-buru berlalu dari sini" Masa kau sudah melupakan dendammu itu?" Hoa Thian-hong merasa hatinya tercekat, segera pikirnya, "Rupanya perkumpulan Hong-im-hwie mempunyai urusan dengan pihak sekte agama Thong Thian Kau, kedua belah pihak belum tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki ibuku telah punah, maka sekarang ingin menyeret aku terjerumus pula di dalam pertikaian ini...." Bayangan serta cita-citanya untuk membasmi iblis dan membangun kembali dunia persilatan yang aman dan adil selalu melekat di dalam hati kecilnya kini setelah diketahuinya bahwa kedua partai telah terlibat dalam suatu permusuhan, jangan dibilang suruh dia pergipun belum tentu dia mau, apalagi persoalan ini menyangkut soal pembalasan dendam bagi kematian ayahnya" Otaknya dengan cepat berputar dan ambil keputusan, dia serahkan obat tadi ke tangan Hoa In sambil pesannya, "Bawalah obat ini ke rumah penginapan SengLiong disebelah Timur kota, serahkan kepada seorang cianpwee yang bernama Ciong Lian-khek." "Budak belum lama berselang baru saja berkunjung ke situ, bagaimana kalau obat ini disampaikan agak belakang saja?" bantah Hoa In sambil menerima obat itu. Hoa Thian-hong tahu bahwa pelayan tuanya ini tidak rela tinggalkan dirinya dengan begitu saja, segera serunya, "Obat ini biar cepat diminum dan penyakitnya cepat sembuh, mengenai keselamatan diriku kaupun tak usah kuatir. Meskipun banyak orang yang menghendaki jiwaku tetapi saat ini waktunya masih belum tiba." Hoa In nampak tertegun, tapi akhirnya tanpa mengucapkan sepatah katapun ia putar badan dan berlalu dari situ, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya telah lenyap dari depan mata. Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat kagum atas kecepatan gerakan pelayan tuanya itu, air muka Cu Coan kek sekalipun nampak berubah hebat. hanya Jin Hian seorang tetap tenang dan tidak menunjukkan suatu reaksi apapun juga. Setelah suasana hening beberapa saat lamanya, Jin Hian kembali ulapkan tangannya memberi tanda kepada Siang Kiat sekalian, kelima orang itu segera memberi hormat dan berlalu dari situ. Hoa Thian-hong semakin curiga lagi, tak tahan ia menegur, "Jien Tang-kee, tadi kau mengatakan bahwa kesempatan bagus begitu untuk menuntut balas bagi Kematian ayahku telah tiba, padahal Thong-thian-kauwcu jauh berada di kota Leng-An, sebetulnya apakah maksudmu" Jin Hian tertawa hambar, sambil putar badan tinggalkan tempat itu dia menjawab, "Perkumpulan Hong-im-hwie telah mengerahkan segenap kekuatannya menuju ke selatan, dalam perjalanan ini kalau Hoa kongcu sudi mengiringnya maka kami akan merasa amat bangga" Terkejut hati si anak muda itu setelah mendengar ucapan tersebut, kembali pikirnya di dalam hati, "Kejadian ini berlangsung amat mendadak tanpa mengeluarkan sedikit suarapun ternyata pertempuran telah berada di samping pintu" Berita ini diketahui olehnya terlalu mendadak, hal itu membuat Hoa Thian-hong merasa agak kelabakan. Untuk beberapa saat lamanya ia membungkam terus sambil berusaha menenteramkan hatinya. Sekali lagi semua orang balik ke dalam ruangan perjamuan, setelah masing-masing ambil tempat duduk, Jin Hian lantas berkata sambil tertawa, "Perjalanan kita kali ini menuju kota Leng-An bakal waktu beberapa hari perjalanan. sebentar lagi kita akan berangkat Hoa kongcu silahkan bersantap lebih dahulu dari pada di tengah jalan nanti merasa kelaparan!" Hoa Thian-hong tersenyum, sambil tundukkan kepala ia bersantap dan meneguk arak, dengan menggunakan kesempatan yang sangat baik inilah ia berusaha memecahkan situasi yang sedang dihadapinya sambil berusaha mencari jalan keluar untuk menghadapi segala kemungkinan besar merupakan salah satu pembunuh ayahku..." pikirnya di dalam hati. "Tapi jelas bukan hanya dia seorang saja, dendam terbunuhnya ayahku, aku sebagai putranya bersumpah harus menuntut balas, tapi perbuatan ini tak boleh kulakukan secara gegabah, apa lagi sampai tenagaku dipergunakan oleh Jin Hian Aku harus berusaha mempergunakan sengketa antara pihak Hong-im-hwie dengan Thong-thian-kauw ini sebagai sumbu bahan peledak yang akan memecahkan pertumpahan darah antara ketiga golongan itu...." Berpikir demikian, dia lantas angkat kepala dan berkata, "Sudah lama aku dengar orang berkata bahwa kekuatan dari 'Tiga besar' adalah seimbang, andaikata dalam persengketaan ini pihak kalian harus kerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, menang kalah kekuatanmu pasti akan mengalami kemunduran dan kerugian yang cukup parah, apakah kau tidak takut karena itu posisimu jadi goyah" Dan apakah kau tidak takut pihak Sin-kie-pang akan jadi nelayan beruntung yang tinggal mengeduk keuntungannya saja sambil berpeluk tangan?" "Perkataan dari Hoa kongcu ini memang tepat sekali," puji Jin Hian sambil tertawa dan bertepuk tangan," Dalam pertempuran ini, andaikata aku tidak beruntung dan menderita kekalahan, bukan saja kekuatan inti perkumpulan Hong-im-hwie akan menderita kerusakan hebat, posisi kekuasaanku akan goyah. bahkan kemungkinan besar bakal runtuh dan hancur berantakan" Dari sikap serta gerak-geriknya yang rileks dan tidak bersungguh hati, Hoa Thian-hong segera mengetahui bahwa dibalik peristiwa itu masih terselip latar belakan g lain, ia segera berkat. "Aku lihat persoalan ini menyangkut posisi kekuasaan pihak kalian serta jauh berbeda dengan permusuhan pribadi antara perorangan mungkinkah Jien Tang-kee sudah mempunyai rencana yang masak serta memegang keyakinan penuh bahwa kemenangan pasti berada dipihak, kalian?" Jin Hian tertawa gelak, "Hoa kongcu benar-benar amat cerdik sekali dan pandai melihat gelagat, aku orang she Jin benar-benar merasa amat kagum." Dari ucapan yang selalu berusaha menghindar dari pokok pembicaraan tersebut, Hoa Thian-hong segera menyadari bahwa banyak bicarapun tak ada gunanya, dengan mulut membungkam ia segera bersantap dan minum arak, Beberapa saat kemudian Hoa In telah muncul kembali dalam ruangan itu, sambil menghampiri ke sisi Hoa Thian-hong ujarnya, "Siau Koan-jin, obat itu kuserahkan ketahgan Ciong Lian-khek!" Hoa Thian-hong mengangguk, pikirnya. "Keluarga Hoa kami telah tercerai berai dan berantakan, meskipun sebutan antara majikan dan pelayan tak perlu dihapus, rasanya soal peraturan rumah tangga tak perlu kuperhatikan lagi" Berpikir demikian, ia lantas menuding ke sebuah kursi kosong sambil katanya, "Malam nanti kita masih akan melakukan perjalanan, duduklah dan bersantap dulu!" Perlu diketahui Hoa In adalah pengurus dari perkampungan Liok Soat Sanceng, ketika Hoa Goan-siu masih melakukan perjalanan dalam dunia persilatan tempo dulu, Hoa In-pun sering kali munculkan diri pula di dalam Bulim, ilmu silat yang ia miliki belum tentu berada di bawah kepandaian silat dari Jin Hian. Oleh sebab itu ketika Hoa Thian-hong suruh pengurus perkampungannya itu duduk, para jago dari pihak Hongimhwie-pun tak seorangpun yang memberi komentar, bahkan tak ada pula yang menunjukkan sikap tidak puas, Tetapi Hoa In segera gelengkan kepalanya, "Aku tidak lapar!" Tiba-tiba serunya kembali, "Baiklah...... Aku akan bersantap disitu saja." Sepuluh orang yang semua duduk dimeja perjamuan sebelah depan secara beruntun berlalu semua, Hoa In segera menuju ke tempat itu, setelah bersantap ia buruburu balik lagi ke belakang tubuh Hoa Thian-hong. Kembali beberapa waktu telah lewat, kali ini Cu Goankhek sekalian yang bangkit berdiri, katanya, "Toako, kami sekalian akan berangkat lebih dahulu!" Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Jin Hian mengangguk. "Ingat baik-baik rencana kita yang sebenarnya, dalam perjalanan berusahalah mengadakan saling kontak antara kedua belah pihak, setibanya di kota Ceng-kang nantikanlah kedatanganku!" Cu Goan-khek mengiakan dan segera berlalu . Menanti Hoa Thian-hong menyapu sekejap sekeliling ruangan itu, dia lihat disitu sudah tiada orang lain lagi kecuali Jin Hian, Cia Kim serta tiga orang pria baju hijau yang menyoren golok besar bergagang emas itu. Rupanya jin Hian tidak dapat membendung rasa girang yang meluap-luap dalam hatinya, setelah meneguk habis isi cawannya ia menghembuskan napas panjang dan berkata sambil tertawa, "Sejak pertemuan besar Pak-Beng-Hwie, dunia persilatan terasa sunyi bagaikan berada di kuburan, setelah sepuluh tahun merana akhirnya ini hari muncul pula setitik napas Perkumpulan Hong-im-hwie bakal merajai persilatan, aku ingin lihat kau si toosu bangsat Thian Ek bakal berubah muka atau tidak?" Dia buang cawannya ke lantai dan tertawa terbahakbahak. "Haaa.... haaah.... haaaah.... Hoa Loo-te, mari kitapun berangkat!......" Sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya, Hoa Thian-hong berpikir, "Rupanya mereka semua terdiri dari manusia-manusia yang tidak menginginkan kesunyian, selama ini tak seorangpun diantara mereka yang berkutik lantaran waktu yang dinanti nantikan belum tiba....." Sekeluarnya beberapa orang itu dari ruang perjamuan. tampaklah Ciau Khong serta seorang pembantunya sedang menanti di depan pintu, tujuh delapan ekor kuda jempolan telah disiapkan di samping jalan, sementara keempat puluh orang pengawal golok emas itu tanpa menimbulkan suarapun telah berlalu semua dari situ. Setelah semua orang naik ke atas panggung kuda. Jin Hian angkat kepala memandang sekejap cuaca di langit, kemudian sambil berpaling ke arah Hoa Thian-hong ia perlihatkan wajahnya yang kegirangan. Hoa Thian-hong pura pura berlagak pilon sambil menjura serunya, "Jien Tang-kee, silahkan berangkat lebih dahulu!" Sikapnya yang tegas, mantap dan gagah ini merupakan warisan langsung dari orang tuanya. hal ini menunjukkan pula didikan Hoa Hujien selama sepuluh tahun serta pengalamannya yang dialaminya selama ini telah menimpa pemuda itu jadi semakin matang dan berpengalaman. Jin Hian yang menyaksikan itu diam-diam merasa kagum, sedang pelayan tua Hoa In merasa girang bercampur bangga. Suara derap kaki kuda berkumandang memecah kesunyian, Jin Hian menceplak kudanya berlalu lebih dahulu dari pintu besar, malaikat berlengan delapan menyusul dan belakang kemudian pria bergolok emas itu nomor tiga, Hoa Thian-hong nomor empat sedang Hoa In paling buncit. Lima ekor kuda berlari sepanjang jalan menuju ke pintu kota sebelah utara Setelah kelima ekor kuda itu berlalu dari bawah wuwungan rumah seberang jalan segara berkelebat keluar enam tujuh sosok bayangan manusia. mereka semua tidak menyembunyikan jejaknya lagi, ada yang lari menuju ke pintu barat, ada yang menuju ke pintu selatan. ada yang membuntuti di belakang kuda dan ada pula yang naik ke tembok kota. Hoa Thian-hong yang melihat arah yang mereka tuju adalah pintu utara, ia nampak agak tertegun. Tapi sebelum ia sempat mengajukan keragu-raguannya itu Jin Hian telah alihkan lari kudanya menuju ke arah Timur. Di bawah cahaya bintang kelima ekor kuda itu nampak mengitari dinding kota itu satu kali, tidak selang sepertanak nasi kemudian mereka telah tiba diluar kota sebelah selatan dan mulai menginjak jalan raya menuju ke arah Wi-Im. Perjalanan dilakukan amat cepat, ketika fajar hampir menyingsing mereka beristirahat sejenak di sebuah dusun kecil di tepi jala ketika itulah Hoa Thian-hong bertanya, "Jien Tang-kee, pergerakan kita kali ini akan dilaksanakan secara terang-terangan ataukah hendak dilakukan secara sembunyi dan diluar dugaan mereka"......." "Wilayah Kanglam adalah suatu wilayah yang makmur dan ramai. di dalam setiap kota besar tentu terdapat kantor cabang dari Thong-thian-kauw, gerakan pasukan besar kita tentu akan mengejutkan mereka dan diketahui jejaknya sejak dari permulaan, oleh karena itu gerakan kita kali ini dilakukan setengah terang-terangan dan setengah bersembunyi, asal pada bulan tujuh tanggal tiga kita bisa mencapai kota Ceng-kang, sekalipun Thian Ek si toosu bangsat itu sudah memperoleh berita, belum tentu ia mampu melakukan penjagaan yang ketat terhadap serbuan kita orang" Hoa Thian-hong yang meninjau persoalan itu dari sudut pandangan ke depan, secara lapat-lapat dapat merasakan pula rumit serta kalutnya persoalan ini, ia tahu bahwa pekerjaan besar semacam ini tak mungkin sungguh dilakukan oleh Jin Hian sekalian beberapa gelintir orang saja, kebanyakan pihak Sin-kie-pang tentu terlibat pula dalam peristiwa ini. Sekalipun begitu diapun menyadari bahwa banyak bertanya tak ada faedahnya, oleh sebab itu ia segera mengambil keputusan untuk menunggu perubahan dengan sikap tenang. Mulutnyapun membungkam dalam seribu bahasa,. Terdengar Jin Hian bertanya kembali, "Hoa loo-te, untuk setiap kali 'lari racun', apakah kau mempunyai saat yang tertentu?" Pemuda itu mengangguk, "Benar, setiap setengah hari menjelang tiba." Jin Hian termenung sebentar, lalu berkata lagi, "Kalau begitu sebelum tengah hari nanti kita beristirahat dulu sebentar di kota Ko-kee-ceng!" "Jien Tang-kee, janganlah karena urusan ini hingga menunda perjalananmu ini!...." Jin Hian tersenyum. "Kita toh sedang melakukan perjalanan bersama, sudah sepantasnya kalau kami mengimbangi keadaan dari rekan seperjalanan kami, kalau tidak bantu membantu darimana kita bisa kokoh?" Setelah sang surya menyingsing perjalanan segera dilakukan, tengah hari racun teratai yang mengeram dalam tubuh Hoa Thian-hong kambuh, ia segera turun dari punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan berlari. Makin lari ia semakin cepat hingga dalam sekejap mata rombongan kuda telah ditinggalkan beberapa ratus tombak jauhnya Hoa In tak mau tinggalkan majikan mudanya dengan begitu saja, diapun loncat turun dari kuda dan berlari di sisinya. "Siau Koan-jin!" serunya kemudian. bila kau tidak tahan, biarlah budak menotok beberapa buah jalan darahmu serta menggendong dirimu untuk melanjutkan perjalanan" JILID 16 : Kesetiaan Pelayan Setia Hoa Thian-hong tertegun, pikirnya, "Cara menotok jalan darah belum pernah kujajal...tapi bagaimanakah faedahnya?" Pemuda itu segera menggeleng, katanya, "Biarkanlah aku lari seorang diri, kau boleh kembali naik kuda" "Tidak, aku masih kuat untuk lari!" Waktu itu tengah hari telah menjelang, sang surya memecahkan cahayanya dengan terang menyiarkan hawa panas yang menyengat badan, Hoa Thian-hong tidak tega membiarkan kakek tua itu ikut menderita lantaran dia, dengan alis berkerut segera serunya, "Hati licik manusia sukar diduga, setiap saat kemungkinan besar kita bakal diserang dan dibokong oleh orang, kau harus menjaga badan serta tenagamu baik-baik, hingga seandainya terjadi urusan kita tidak jadi kelabakan serta mandah dijagal oleh musuh" Hoa In ragu-ragu sejenak, lalu menjawab, "Walaupun ucapan Siau Koan-jin benar, tapi selama Siau Koan-jin melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, budak merasa tidak tenang untuk naik kuda seorang diri" Hoa Thian-hong merasa amat terharu hingga tanpa terasa air mata jatuh berlinang, tapi dengan wajah serius dan pura-pura gusar ia menegur kembali, "Ayah telah mati, ibupun tak ada disini. masa kau tak mau mengerti perkataanku." Mendengar teguran itu Hoa In segera menghentikan larinya, buru-buru ia berseru, "Budak...budak...." Sebelum ia sempat meneruskan kata-katanya, bagaikan hembusan angin puyuh Hoa Thian-hong sudah melampaui dirinya, dalam sekejap mata pemuda itu sudah berada puluhan tombak jauhnya di depan sana. Sesaat kemudian Jin Hian sekalian telah menyusul kesitu, Hoa In segera loncat naik ke atas kudanya dan membawa kuda tunggangannya dari Hoa Thian-hong menyusul dari belakang. Dalam pada itu Hoa Thian-hong yang sudah berada jauh di depan. tiba-tiba lari berbalik ke belakang, kemudian pulang pergi beberapa kali di sekitar rombongan itu, makin berlari kecepatannya semakin tinggi hingga akhirnya halnya tinggal setitik cahaya saja yang berkelebatan kesana kemari. Ketika tengah hari sudah lewat dan sore menjelang tiba. Beberapa orang itu telah tiba di kota Ko-kee-ceng, sebelum mereka sempat beristirahat dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang datang. itulah suara dari rombongan dua puluh pengawal golok emas yang baru saja tinggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanan. Meskipun kota itu kecil, tapi karena merupakan jalan raya penting yang menghubungkan Utara dan Selatan, maka dalam kota itu terdapat lima buah rumah penginapan. Beberapa orang itu segera masuk ke dalam penginapan untuk beristirahat serta berjanji tengah malam nanti akan melanjutkan perjalanan kembali. Sekujur badan Hoa Thian-hong basah kuyup oleh keringat, setibanya di rumah penginapan ia segera memerintahkan pelayan untuk siapkan air buat mandi.. Pada pelana setiap kuda tunggangan tersebut telah tersedia sebuah kantongan berisi uang serta air minum. Hoa In segera mengambil sekeping uang perak dan diserahkan kepada pelayan itu sambil pesannya, "Lihat baik-baik potongan badan sauya kami ini, belikan satu setel baju yang paling bagus dengan warna biru bersulamkan benang emas, berdasar warna kuning, bila tak ada yang cocok buatkan dengan segera, sebelum senja nanti pakaian itu harus sudah siap. Di samping itu carikan pula satu setel baju warna ungu bagiku." Pelayan itu menerima uang tersebut, setelah mengamati potongan badan kedua orang tetamunya ia baru berlalu. "Eeei.... tunggu dulu pelayan!" tiba-tiba Hoa In berseru kembali, "Celana untuk sauya ini belikan dulu!" "Hamba mengerti!" Sepeninggalannya pelayan itu, Hoa Thian-hong sambil tertawa segera berkata, "Buat apa sih musti mencari pakaian yang mahal" Apalagi memilih warna biru dengan strip benang emas" "Selama Lo-ya masih hidup, sering kali ia berdandan seperti ini" Bayangan tubuh ayahnya segera terlintas di dalam benaknya, rasa sedih segera menyerang hatinya, sambil tertawa paksa segera ujarnya, "Ilmu silat yang kau miliki telah mencapai puncak kesempurnaan. Aku pikir beberapa orang jago lihay itu masih belum bisa menandingi kekuatanmu!" "Siau Koan-jin, mungkin kau lupa bahwa ilmu silat yang budak miliki adalah langsung dari Lo-thay-ya," ujar Hoa In dengan mata berubah jadi merah, "Sewaktu toaya belajar silat, budakpun ikut berlatih!" Melihat kakek tua itu menangis, buru-buru si anak muda itu berseru, "Ibu paling tidak suka melihat aku menangis, sekarang adalah saat bagiku untuk berkelana di dalam dunia persilatan. janganlah kau bangkitkan pula kesedihanku" Dengan cepat Hoa In menyeka air mata yang membasahi pipinya. "Siau Koan-jin, ada urusan apa Cubo (majikan perempuan) pergi keluar perbatasan" Mengapa beliau ijinkan dirimu berkelana seorang din?" tanyanya kemudian. Hoa Thian-hong mengerling sekejap ke arah dinding ruangan sebelah kiri, lalu sambil tertawa jawabnya, "Aku pergi tanpa pamit, ibu sedang berkelana di empat penjuru mencari jejaknya" Hoa In tidak tahu perkataannya itu sungguhan atau tidak, ia lantas mengomel. "Aaai...! Siau Koan-jin benarbenar nakal, kau toh tahu bahwa musuh kita tersebar dimana mana, kenapa kau menahan bermain kesana kemari tiada arah tujuan?" Hoa Thian-hong tersenyum, ia tidak menanggapi lagi ucapan tersebut. sambil alihkan pokok pembicaraan kesoal lain katanya, "Selama banyak tahun bagaimanakah kau lanjutkan hidupmu?" "Setelah pertemuan Pak-Beng-Hwie, Cubo buru-buru pulang ke dalam perkampungan dan memerintahkan budak serta seluruh anggota perkampungan untuk mengungsi kelaut Tang-hay, waktu itu budak tidak ingin meninggalkan Siau Koan-jin, tapi akupun tak tahu Cubo telah menyembunyikan Siau Koan-jin dimana maka ..." la berhenti sejenak, lalu bergumam, "Siau Koan-jin tentu Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengetahui bukan bagaimani perangai cubo" . . "Ibu memang lebih sukar diajak berbicara daripada ayahku, aku sendiripun tidak berani membangkang perintahnya" "Benar. siapa yang berani membangkang perintah Cubo" Waktu itu keadaan amat mendesak dan situasi amat berbahaya, Cubo pulang dengan membawa luka dalam yang amat parah, budakpun tak tahu bagaimanakah keadaan Siau Koan-jin, terhadap perintah dari cubo ini dalam hati kecilku budak merasa amat tidak puas" "Ibuku mengatur demikian, tentu saja dia mempunyai alasan tertentu" "Meskipun memang beralasan tapi caranya itu tidak bagus, keluarga Hoa hanya mempunyai keturunan Siau Koan-jin seorang, sedang budak yang mengerti sedikit ilmu silat ternyata bukannya di perintahkan untuk melindungi keselamatan Siau Koan-jin, sebaliknya malah disuruh mengungsi jauh kelaut Tanghay, bukankah tindakan ini hanya akan membuat hatiku merasa semakin tidak tenteram?" "Haruslah diketahui Hoa In adalah anggota keluarga Hoa, sedang Hoa Thian-hong adalah majikan dari keturunan keluarga Hoa sebaliknya majikan perempuannya berasal dari luar, dalam pandangan matanya majikan kecil itu merupakan keseluruh dari keluarga Hoa, kedudukkannya jauh lebih terhormat dan penting dari majikan perempuannya maka dari itu Hoa In merasa tidak puas pada saat ia dititahkan untuk mengungsi dan bukannya mendapat tugas untuk menyelamatkan majikan kecilnya. Menyaksikan ketulusan hati serta kesetiaan pelayan tuanya ini, Hoa Thian-hong merasa amat terharu. Tapi iapun merasa tak enak untuk memberi penjelasan karena keputusan itu dilakukan oleh ibunya. Dalam suasana yang serba kikuk itulah tiba-tiba pelayan datang membawa air panas menggunakan kesempatan itulah ia segera berseru, "Aku mau mandi dulu, sehabis mandi kita pergi bersantap!" Hoan in berpesan kepada pelayan untuk siapkan hidangan, kemudian menutup pintu dan siap membantu majikan mudanya untuk lepas pakaian. "Kau duduk sajalah, aku akan kerjakan sendiri" tampik Hoa Thian-hong, setelah melepaskan pakaian ia bertanya kembali, "bagaimana kemudian" Apakah kau selalu berdiam di laut Tang-hay?" Hoa In mengundurkan diri dan duduk di samping, lalu menjawab, "Cubo memerintahkan aku untuk meyakinkan ilmu 'Sau-yang ceng-khie' bila sudah berhasil maka aku dititahkan untuk kembali ke daratan Tionggoan dan mencari Siau Koan-jin. Dalam keadaan apa boleh buat terpaksa budak membawa seluruh anggota keluarga lainnya sebanyak lima orang mengungsi ke laut Tanghay. Sungguh tak nyana ilmu 'Sau-yang-ceng-khie' benar-benar susah sekali untuk melatihnya, akupun tidak dapat memadahi kecerdikan Toa-ya dimana dalam usia dua puluh tujuh tahun kepandaian tersebut telah berhasil dikuasainya, selama perjalanan hingga tiba dilaut Tanghay, hatiku benar-benar merasa amat sedih, aku menyedihkan kematian toa-ya, rindu pula terhadap Siau Koan-jin, terdesak oleh keadaan maka terpaksa setiap hari aku berlatih dengan giat. Sungguh tak nyana tujuh delapan tahun kemudian ilmu Ceng-kie tersebut akhirnya berhasil aku kuasai juga" Hoa Thian-hong merasa amat girang bercampur terharu mendengar kabar itu, sambil tersenyum ujarnya, "Berlatih ilmu silat secara paksa memang merupakan suatu pekerjaan yang amat menderita, tapi setelah berhasil maka penderitaan itupun tidak terlalu sia-sia." "Begitu kepandaian silatku berhasil kuyakini, hari itu juga budak berangkat menuju ke daratan Tionggoan, siapa tahu meskipun sudah kujelajahi utara maupun selatan, sudah kusambangi sahabat2 toa-ya dulu kabar berita mengenai soan-jin belum juga ketahuan, Selama tiga empat tahun belakangan ini budak benar-benar merasa amat menderita" "Macam apa saja sih sahabat serta kenalan lama ayahku itu?" tanya Hoa Thian-hong sambil menghela napas ringan. Hoa In gelengkan kepalanya dan menggerutu, "Mereka2 yang termasuk jago lihay sudah mati semua, di rumah hanya tertinggal perempuan2 tua istri belaka, ada pula sebagian yang masih hidup tetapi jejaknya tidak ketahuan, entah mereka telah menyembunyikan diri dimana?" Hoa Thian-hong menghela napas panjang mendengar kabar itu. Selesai mandi kedua orang itupun bersantap di dalam kamar sambil membicarakan soal rumah tangga, kemudian Hoa In memaksa pemuda itu untuk naik pembaringan beristirahat sedang ia sendiri duduk bersemadi di dekat pintu. Senja itu ketika Hoa Thian-hong mendusin dari tidurnya, pakaian baru telah siap, dibantu oleh Hoa In pemuda itu segera berdandan. "Coba kau lihat, aku mirip dengan ayahku atau tidak?" ujar Hoa Thian-hong kemudian sambil tertawa. Hoa In mengamati wajahnya beberapa saat, kemudian menjawab, "Potongan badan serta raut wajahmu mirip dengan Toa-ya, alismu rada tebalan, mata serta hidung mirip pula, cuma bibir serta janggutmu lebih mirip majikan perempuan" "Lalu bagaimana dengan perangaiku" lebih mirip ayahku ataukah ibuku?" Hoa In berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Toa-ya ramah dan halus sedang Cubo keras lagi disiplin. sewaktu Siau Koan-jin masih kecil dulu nakal dan lincah mirip toa ya, entah kalau sekarang lebih mirip siapa '" Hoa Thian-hong tersenyum. "Di dalam situasi yang serba kacau ini, lebih baik perangaiku lebih mirip dengan ibuku," katanya. Selesai bersantap hari sudah gelap, kedua orang itupun bercakap-cakap lagi di dalam kamar sambil minum teh. Suatu ketika mendadak Hoa In memperendah suaranya sambil berbisik, "Siau Koan-jin, aku telah berhasil mendapat keterangan yang amat jelas mengenai peristiwa berdarah yang menimpa toa-ya tempo dulu. Dalam pertarungan yang terakhir toaya seorang diri dikerubuti oleh lima orang manusia jahanam, mereka adalah Thian Ek toosu siluman dari Thong-thian-kauw, Yan-san It-koay serta Liong-bun Siang-sat dari Hong-imhwie serta seorang bajingan tua yang bernama Ciu Itbong." Hoa Thian mengangguk. "Sstt.... awas dinding bertelinga...." bisiknya. "Ketiga orang pentolan bajingan dari Thong-thiankauw, Hong-im-hwie serta Sin-kie-pang semuanya adalah manusia-manusia rendah yang tak tahu malu, mereka manusia yang tak bisa pegang janji dan omongannya plin-plan. menurut pendapatku lebih baik kita berangkat sendiri saja untuk membunuh Thian Ek toosu bajingan itu guna balaskan dendam bagi toa-ya, melakukan perjalanan bersama-sama Jin Lo-ji itu pasti tak akan ada manfaatnya." "Ucapanmu memang benar, bukan saja kita harus menyelesaikan dendam pribadi, kitapun harus keras untuk membasmi ketiga buah perkumpulan besar hingga lenyap dari muka bumi." "Lalu apa yang musti kita lakukan?" "Kita laksanakan saja tindakan kita menurut keadaan di depan, perlahan lahan apa yang kita harapkan pasti tercapai juga. Putra Jin Hian telah mati datanganku, cepat atau lambat dia pasti akan turun tangan kepadaku, berhati hatilah setiap saat!" "Budak rasa lebih baik kita cepat-cepat temukan jejak Cubo, mungkin dia mempunyai cara yang baik untuk menyelesaikan persoalan ini," usul Hoa In sambil mengerutkan dahinya. Hoa Thian-hong segera menggeleng, bisiknya, "Ibuku tak dapat unjukan diri di depan umum luka dalam yang ia derita masih belum sembuh betul bila ia unjukan diri maka keadaan kita akan semakin berbahaya." Mendadak dari luar pintu terdengar suara langkah manusia, Hoa In segera bangkit sambil menegur, "Siapa disitu?" Ketika pintu dibuka, terlihat orang itu bukan lain adalah komandan dari pasukan pengawal pribadi Jin Hian. Orang itu she-Cho bernama Bun Kui dan merupakan komandan dari keempat puluh orang pengawal golok emas, ketika itu sambil melangkah masuk ke dalam ruangan katanya, "Tang-kee kami mempersilahkan Hoa kongcu meneruskan perjalanan kembali!...," Hoa Thian-hong mengangguk dan segera keluar dan kamar, Hoa In sambil membawa buntalan mengikuti dari belakangnya. Jin Hian serta Cia Kim-pun secara beruntun munculkan diri pula, setelah Cho Bun Kui membayar rekening berangkatlah kelima orang itu meneruskan perjalanannya menuju ke arah Selatan. Keempat orang pengawal golok emas selalu berada di depan rombongan Jin Hian, setiap kali mereka beristirahat di rumah penginapan, rombongan pengawal itu tentu berangkat melanjutkan perjalanan kembali. Sebaliknya Cu Goan-khek sekalian sejak berpisah di kota Cho ciu belum parnah bertemu kembali, rupanya orangorang itu melakukan perjalanan lewat jalan kecil. Suatu tengah hari ketika racun teratai dalam tubuh Hoa Thian-hong kambuh kembali sebagai mana biasanya ia segera berlarian bolak balik mengitari rombongan itu, setelah lari sejauh beberapa li dia balik dan menyusul kembali rombongannya. Mendadak.... dari tengah jalan muncul seorang tauto yang memelihara rambut menghadang jalan perginya, Padri berambut itu berusia enam tujuh puluh tahunan dengan raut wajah yang bersih dan kulit badan berwarna putih. Ia mengenakan sebuah jubah padri berwarna putih, tangannya membawa senjata sekop berbentuk bulan sabit yang terbuat dari baja, sebuah tasbeh berwarna putih tergantung di lehernya. sedang pada keningnya terikat sebuah ikat kepala terbuat dari perak, di bawah sorot cahaya sang surya tampaklah orang itu begitu gagah bagaikan malaikat. Hoa Thian-hong sudah tiga kali mengitari jalanan itu tapi selama ini belum pernah temukan jejak orang itu, sekarang melihat kemunculannya secara tiba-tiba ia jadi tercengang, sebelum ingatan kedua berkelebat dalam benaknya orang itu sudah berlari mendekati ke arahnya. Dengan cepat kedua belah pihak saling berpapasan, mendadak padri itu menyilangkan senjata sekop bulan sabitnya ke tengah jalan sambil serunya, "Siau sicu, harap tunggu sebentar" Hoa Thian-hong terkejut, terasa olehnya cahaya keperakan berkelebat lewat dan tahu-tahu ujung sekop sudah menghadang di depan dada. Dalam keadaan begini tak mungkin baginya untuk menahan gerakan tubuh lagi, karena gugup ia segera mencengkeram senjata lawan sambil didorong keluar. Bayangan putih berkelebat lewat tauto tua itu mengitari tubuh Hoa Thian-hong satu lingkaran, sementara senjata sekop bulan sabit masih tetap menyilang di depan dada pemuda tersebut. "Sungguh aneh gerakan tubuhnya," pikir Hoa Thianhong dengan hati terkesiap. cepat ia bergeser dua langkah ke belakang lalu berseru. "Toa suhu, harap suka memberi jalan lewat bagiku!" "Ditinjau dari sikapmu yang tidak tenang dan langkahmu yang terburu-buru. apakah kau merasa amat tersiksa?" "Benar! aku terkena racun aneh yang amat keji, sekujur tubuhku terasa sakit bagaikan tersiksa...." "Masa dengan berlari lari begitu maka rasa sakit yang menyerang tubuhmu bisa dikurangi?" "Ucapan toa suhu sedikitpun tidak salah" jawab si anak muda itu, karena tiada berminat untuk banyak bicara ia segera enjotkan badan dan lari kembali ke muka. "Bocah muda, kau berani kurang-ajar!" bentak Tauto tua itu dengan suara nyaring senjata sekop bulan sabitnya segera dihantam ke atas batok kepala pemuda itu. "Rupanya padri tua ini ada maksud mencari perkara... baiklah akan kucoba sampai dimanakah kelihaiannya," pikir pemuda itu di dalam hati. Mendengar datangnya desiran angin tajam yang mengancam batok kepalanya, ia segera putar badan sambil mengirim satu babatan ke tengah udara, serunya lagi, "Toa suhu maafkanlah daku!" "Blaaam...!" pukulan Hoa Thian-hong secara telak bersarang di ujung senjata sekop tersebut membuat senjata itu mencelat sejauh empat lima depa ke tengah udara. Oleh benturan keras tadi kedua belah pihak samasama merasakan lengannya jadi linu dan kaku, mereka merasa kaget dan kagum atas kelihaian lawannya, sambil membentak keras suatu pertempuran sengitpun segera terjadi. Pertempuran belum berlangsung lama, tiba-tiba Hoa Thian-hong merasa daya tekanan yang dipancarkan lewat senjata sekop itu kian lama kian bertambah berat, bahkan tak pernah daya tekanan itu berkurang. Dalam waktu singkat tekanan yang datang dari empat penjuru Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu berat laksana bukit, mengikuti gerakan perputaran senjata itu segulung demi segulung menggencet tubuhnya habis-habisan. Hoa Thian-hong merasakan sepasang matanya jadi silau terkena pantulan cahaya perak yang berkilauan, nampaknya ia semakin keteter dan tak mampu untuk mempertahankan diri lebih jauh. Dalam keadaan begini, timbullah perasaan ingin menang di dalam hatinya, ia membentak keras. Sepasang telapaknya dengan segenap tenaga segera disodok kemuka. Tauto tua itu semakin melipat gandakan tenaga tekanannya setelah melihat keadaan musuhnya keteter hebat. tapi setelah merasakan datangnya perlawanan yang gigih, dengan alis berkerut ia segera berseru, "Aku akan turun tangan keji untuk membunuh orang, bocah cilik! Kalau kau tak merasa kuat menahan diri cepatcepatlah buka suara untuk minta ampun!...." "Aneh sekali," pikir pemuda she-Hoa dalam hati, "tauto ini mirip sekali dengan malaikat dalam lukisan, wajahnya tidak nampak seperti orang jahat, tetapi mengapa ia meneter diriku terus-menerus?" Dengan suara lantang ia segera menegur, "Toa suhu, bagaimanakah sebutanmu?" Tauto tua itu tidak menjawab, sebaliknya mengejek kembali, "Bocah cilik, perhatikan langkahmu. Aku lihat kau cukup tangguh juga untuk bertahan. Janganlah karena berbicara gerakanmu jadi kalut!" Bacokan sekopnya bagaikan gulungan ombak di samudra menyerang ke depan tiada hentinya. Sekuat tenaga Hoa Thian-hong memberikan perlawanan yang gigih kembali ia berseru, "Toa suhu, aku toh tak pernah mengganggu atau menyakiti hatimu, apa sebabnya toa suhu mendesak diriku terus meneius, sebetulnya apa maksudmu?" "Aku sedang mencari derma!" "Mencari derma, masa beginilah cara seorang pendeta mencari derma," batin pemuda itu, Dengan suara lantang segera serunya, "Toa suhu, kau tidak mirip dengan pendeta yang menyiksa diri, entah derma apa yang sedang kau cari?" "Aku hendak menderma dirimu, samudra penderitaan tiada bertepi, berpalinglah ke arah daratan. bila kau mengerti gelagat sekarang juga ikutilah aku berlalu dari sini" "Toa suhu, ucapanmu ini mengandung maksud yang sangat mendalam maafkanlah aku yang muda tak sanggup menangkap arti dari perkataanmu itu" Sementara pembicaraan masih berlangsung, daya tekanan yang tergencar keluar dari ujung senjata itu kian berkurang, Hoa Thian-hong secara paksakan diri masih dapat mempertahankan diri. Terdengar Tauto tua itu berkata kembali, "Dari sini menuju ke arah selatan adalah samudra penderitaan yang tak bertepi bila kau tidak segera berpaling maka kau akan tenggelam dalam samudra penderitaan itu. Sekalipun ada nelayan bermurah hati yang muncul, belum tentu dapat menghantar kau naik ke atas daratan, ucapan ini cukup sederhana, aku rasa kau tentu bisa menangkap maksudnya bukan?" Hoa Thian-hong cerdik dan berotak encer, dengan cepat ia berhasil menangkap maksud yang sebenarnya dari ucapan itu. Dia tahu Tauto itu sedang memberitahukan kepadanya bahwa perjalanannya menuju ke kota Leng An serta menceburkan diri ke dalam pertikaian tiga besar sama artinya begaikan tenggelam di tengah samudra penderitaan, ia dianjurkan segera berlangsung dan jangan menceburkan diri dalam persengketaan itu. Meskipun dalam hati ia mengerti, sayang pemuda ini tak mau menerima nasehat tersebut, Setelah berpikir sebentar ia lantas berkata, "Terima kasih atas maksud baik taysu, sayang aku pernah bersumpah di hadapan kuburan mendiang ayahku, sekalipun badan harus hancur dan jiwa musti melayang, aku harus menyelesaikan dahulu pesan dari mendiang ayahku ini" "Takdir telah menentukan begini, kau melakukan tindakan tersebut hanya akan tinggalkan penyesalan belaka. usaha apa yang bisa kau lakukan"...." "Maksud Thian sukar diduga manusia, siapa tahu bagaimana yang dimaksudkan sebagai takdir" Bagiku hanya ada jalan maju tanpa jalan mundur, meskipun harus mati juga tak akan menyesal!" Rupanya Tauto tua itu dibikin gusar oleh ucapan tersebut, dengan suara berat ia berkata, "Kau terlalu keras kepala dan teguh dalam pendirian kalau memang kau tak sudi mendengarkan nasehatku, akupun tidak ingin banyak berbicara lagi. Kau harus layani dahulu serangan-serangan gencarku, bila aku menang kau harus pergi dari sini mengikuti diriku, sebaliknya kalau kau yang menang maka aku akan menghaturkan sisa hidupku ini untuk selamanya mengikuti serta mendampingi dirimu kendati kau hendak pergi keu jung langit atau dasar samudrapun" Berdebar hati Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, ia tahu ilmu silat yang dimiliki Tauto tua itu jauh berada diatasnya, Karena itu ia tak berani memberikan komentar setelah tenangkan hati dengan mulut membangkam ia lakukan perlawanan secara gigih dan waspada, ia berusaha agar kemenangan bisa diraih olehnya. Dalam waktu singkat pertarungan berlangsung semakin sengit. angin pukulan yang kuat menyambar silih berganti. sambaran senjata sekop bulan sabit berkelebat memancarkan cahaya perak yang menyilaukan mata, seluruh tubuh si anak muda itu terkurung dalam kepungannya, Sesaat kemudian, Hoa Thian-hong mulai kepayahan, napasnya tersengal-sengal dan dengusan hidungnya kedengaran makin nyata. Disaat yang amat kritis itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan gusar Hoa In bergema datang dari kejauhan. "Hey, siapa itu" Cepat tahan!" Ketika mengucapkan bentakan itu tubuhnya masih berada ratusan tombak jauhnya, tapi bersamaan dengan berakhirnya ucapan terakhir, sesosok bayangan manusia telah menerjang masuk ke dalam gelanggang. "Jangan bertindak bodoh!" seru Hoa Thian-hong memperingatkan. Hoa In yang harus menderita dua belas tahun lamanya sebelum berhasil menemui majikan mudanya kembali dalam keadaan selamat. tentu saja tak ingin membiarkan dirinya menempuh bahaya, bersamaan dengan datangnya terjangan itu. sepasang telapak dengan mengerahkan ilmu 'Sau-yang-ceng-khie' segera menyambar ke arah senjata sekop bulan sabit lawan. Terdengar Hoa In membentak nyaring serentetan suara pekikan naga yang nyaring bergema memecahkan kesunyian, tauto tua itu cepat-cepat loncat mundur dan melayang keluar dari gelanggang, dalam waktu singkat tubuhnya sudah berada beberapa ratus tombak jauhnya dari tempat semula dan kabur menuju ke arah utara. Memandang bayangan punggung Tauto tua itu hingga lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong baru berpaling dan menegur, "Bagaimana" Kau tidak sampai terluka bukan?" Sambil memegang tangan kanannya dengan telapak kiri, Hoa In menggeleng. "Untung aku tidak terluka, Tauto tua itu sungguh lihay!" "Aku lihat kedatangannya tidak bermaksud jelek, diapun tak mau sebutkan namanya atau mungkin dia adalah salah satu rekan ayahku dalam pertemuan PekBeng-hwee tempo dulu?" Hoa In termenung sebentar lalu menggeleng. "Dandanan dari Tauto tua itu istimewa sekali, bila dia adalah seorang jago kenamaan aku pasti tak akan lupa terhadap dirinya. Tapi aku merasa tak pernah berjumpa dengan manusia seperti itu" "Mungkin baru2 ini dia baru berdandan macam begini?" Hoa In mengangguk, tiba-tiba serunya, "Di depan sana telah terjadi persoalan beberapa orang hidung kerbau dari perkumpulan Thong-thian-kauw telah menghadang jalan pergi Jin Hian serta Cia Kim. "Pihak lawan terdiri dari berapa orang" Mari cepat kita kesana!" seru pemuda itu dengan alis berkerut. Hoa In segera menarik lengannya sambil berkata, "Dari pihak Thong-thian-kauw terdiri dari tiga orang toosu tua dan seorang perempuan, pertempuran itu pasti akan berlangsung beberapa waktu lamanya, Siau Koanjin tak usah terburu-buru." "Aku ingin menonton jalannya pertarungan ini!" "Apa sih yang baik untuk dilihat" Ketiga orang toosu tua dari Thong-thian-kauw itu adalah Ngo Ing cinjin, Ceng Si-cu serta Ang Yap Toojin, sedang yang perempuan bernama Giok Teng Hujien!" "Ehmm. Giok Teng Hujien adalah seorang sahabat karibku, lumayan juga wataknya bahkan aku sebut dia sebagai cici," kata Hoa Thian-hong sambil tertawa. Perkataan ini segera meneguhkan hati Hoa In. "Siau Koan-jin mengapa kau berhubungan dengan perempuan macam itu?" serunya, "Bila Cubo tahu akan kejadian ini, dia pasti tak akan senang hati" Pemuda itu segera menggeleng, katanya dengan wajah serius, "Siapa saja yang bisa kukenali aku akan berhubungan dengan dirinya, orang" yang tergabung dalam tiga kelompok besar terlalu banyak, bagi kita mau bertarungpun tak akan ada habis-habisnya, mau bunuhpun tak akan ada selesainya, bila kita bisa menasehati beberapa orang diantaranya hingga bertobat dan berpihak pada kita, bukankah kejadian itu sangat baik sekali?" "Siau Koan-jin. caramu bekerja tidak mirip dengan toaya. tidak mirip pula dengan Cuba, sungguh bikin orang jadi cemas dan tidak tenteram" Hoa Thian-hong tersenyum. "Keadaan mereka adalah empat lawan dua, Soat-jie milik Giok Teng Hujien pun merupakan jago yang sangat lihay, menurut pendapatmu apa yang bakal dilakukan oleh Jin Hian?" "Buat Jin Hian sih tak jadi soal. bila tak bisa menang masih mampu untuk melarikan diri. Sebaliknya luka yang diderita Cia Kim belum sembuh betul, mungkin sulit baginya untuk meloloskan diri dalam keadaan selamat...." Hoa Thian-hong segera berpikir dalam hati kecilnya, "Bila aku tiba disitu, pihak mana yang musti kubantu" Suatu masalah yang cukup pelik" Setelah berpikir sebentar, akhirnya dia ambil keputusan untuk memburu ke gelanggang itu, segera katanya, "Situasi pertempuran setiap saat bisa terjadi perubahan besar, lebih baik kita cepat ke situ." Tidak menunggu jawaban lagi, ia percepat langkahnya meninggalkan tempat itu. ooooOooo "SIAU KOAN-JIN, tunggu sebentar!" teriak Hoa In sambil menyusul dari belakang, "kita tunggu saja sampai salah satu pihak menangkan pertarungan itu, kita baru menyerang pihak yang menang" "Itu namanya siasat menusuk harimau dengan hati gegabah" seru Hoa Thian-hong sambil tertawa, "Sayang Jin Hian adalah seorang manusia licik, sedang para toojin dari Thong-thian-kauw juga siluman2 yang punya otak encer. mereka tak akan tertipu mentah oleh siasat macam begitu!," Dengan kecepatan gerak kedua orang itu sementara pembicaraan masih berlangsung gelanggang pertarungan sudah muncul di depan mata. Tampaklah Soat-ji makhluk aneh itu dengan ganasnya sedang menerjang Cie Kim habis habisan. sejak sebuah lengan kirinya dikutungi Ciong Tian kek hingga peristiwa itu mulut lukanya belum sembuh benar-benar, hal ini membuat keadaannya ibarat harimau yang masuk dusun digonggongi anjing, ia didesak oleh makhluk aneh tersebut hingga kalang kabut dan keteter hebat, diantara beberapa orang itu posisinya yang paling kritis. Suling Emas 10 Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya Pengantin Berdarah 1