Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 11
sudah segera menurut perintahnya. Siauw Loosoe! Harap kau tidak menjadi gusar."
Siauw Tjeng Hong mendongkol berbareng geli. "Kalau begitu," katanya. "Kau tak
dapat melepaskan kami."
"Memang tak bisa," kata Kang Lam. "Jika kalian lapar, aku bisa mencuri sedikit
makanan." "Cobalah kami menjajal-jajal," kata Siauw Tjeng Hong yang segera jalan mutar ke
kiri dua kali dan ke kanan dua kali. Tapi, sesudah mencoba berulang-ulang, ia masih belum
berhasil menoblos
dari barisan itu.
Tjeng Hong menjadi bingung. Ketika itu, rembulan sudah doyong ke sebelah barat
dan fajar akan segera menyingsing.
"Siauw Loosoe," kata Kang Lam. "Sudah semalam suntuk kau berputar-putar disitu.
Apakah kau tidak lapar" Jika lapar, aku bisa mencuri makanan "
"Tidak, aku tak lapar," jawab Tjeng Hong sembari menggaruk-garuk kepalanya.
Keng Thian tersenyum. Bagaikan seekor garuda, ia melayang turun dari atas batu
seraya berseru: "Siauw Sinshe! Selamat bertemu!"
Begitu mengetahui siapa yang datang itu, bukan main girangnya Siauw Tjeng Hong.
"Tong Siangkong!" ia berseru sembari berjingkrak. "Bagaimana kau pun bisa berada
disini?" "Seperti juga kalian, aku tersurung perasaan kepingin tahu," jawabnya sembari
masuk ke dalam barisan batu itu.
"Eh-eh," kata Kang Lam. "Sekali masuk, kau tak akan bisa keluar lagi. Aku tak
mengenal kau, tak dapat aku mencuri makanan untukmu."
Tapi Keng Thian tidak meladeni, ia masuk terus sembari mesem. Dengan dipimpin
olehnya, sesudah bulak-balik beberapa kali, Siauw Tjeng Hong dan wanita itu sudah berada
diluar tin (barisan). Kang Lam membuka matanya lebar-lebar. "Ha!" katanya. "Tak nyana, kau
berkepandaian begitu tinggi. Siapa kau?"
Siauw Tjeng Hong tertawa dan berkata: "Dia adalah orang yang pernah menolong
Kongtjoemu..."
"Aku tahu!" Kang Lam putuskan perkataan orang. "Kau tentu Tong Keng Thian. Tong
Siangkong, Siauwya pernah menceritakan halmu kepadaku. Kata Siauwya, Thiansan
Kiamhoat-mu, tak ada bandingannya di dalam dunia.
"Eh, apakah kau bisa menolong supaya aku dapat meloloskan diri dari tempat ini"
Bukankah kau sudah mendengar semua pembicaraanku tadi" Aku perlu berangkat buru-buru
untuk menyampaikan surat."
"Kang Lam," kata Keng Thian sembari mesem. "Jangan kiiam Aku tahu, apa yang
harus kulakukan." Ia berpaling kcp.ula Tjeng Hong dan menyambung perkataannya:
"Selamat, Siauw
Sinshe! Lagi kapan kau menikah?"
"Tahun yang lalu, sesudah pulang ke Sengtouw, aku lalu mempersatukan diri pula
ke dalam partai Tjengshia pay," Tjeng Hong menerangkan. "Dia juga berada di Sengtouw,
menunggu aku."
Sesudah berkata begitu, ia lalu memperkenalkan isterinya kepada Keng Thian.
Isteri Siauw Tjeng Hong adalah adik misanannya sendiri yang bernama Gouw Tjiang
Sian. Sebagai kawan bermain semenjak kecil, Tjiang Sian mencintai Tjeng Hong, tapi ia
selalu mengumpatkan rasa cintanya, karena Tjeng Hong sudah jatuh cinta kepada Tjia In
Tjin. Setelah terjadi pertemuan di keraton es, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa orang yang
dicintainya itu
sudah menikah dengan Thiekoay sian dan bahwa Gouw Tjiang Sian masih menunggu ia.
Begitu kembali ke Sengtouw, ia segera meminang adik misanannya itu dan mereka lalu
menikah. Di waktu menikah, Siauw Tjeng Hong sudah berusia empat puluh tahun lebih.
"Kemana kalian mau pergi?" tanya Keng Thian. "Kenapa lewat disini?"
"Tahun yang lalu, aku dan Thian Oe telah mendaki Nyenchin Dangla, bertemu dengan
Pengtjoan Thianlie dan mengetahui, bahwa nona itu adalah puteri Koei Hoa Seng,"
Tjeng Hong menerangkan. "Sesudah pulang sebenarnya aku ingin sekali segera pergi menemui
Moh Tjoan Seng Lootjianpwee untuk menyampaikan warta girang itu. Akan tetapi, karena
repot, belum juga
aku dapat mewujudkan niatan itu..."
"Siauw Loosoe!" Kang Lam mendadak menyeletuk. "Kau sudah menikah, kenapa masih
repot juga?" "Kang Lam, jangan memotong perkataan Siauw Loosoe," kata Keng Thian.
"Tapi sekarang, aku mendengar suatu urusan yang, walaupun bagaimana juga, mesti
diselidiki sampai seterang-terangnya untuk diberitahukan kepada Moh Lootjianpwee," Tjeng
Hong melanjutkan penuturannya.
"Urusan apa?" tanya Keng Thian.
"Moh Lootjianpwee adalah tetua dari Boetong pay," Siauw Tjeng Hong menerangkan.
"Di samping itu, ia telah diakui sebagai ahli silat nomor satu dalam Rimba
Persilatan di seluruh wilayah
Tionggoan. Sebagaimana kau tahu, setiap sepuluh tahun ia membuka pintu
mengadakan Kiatyan
(memberi sedekah atau ceramah oleh seorang Budhis) dan memberi petunjuk-petunjuk
kepada orang-orang yang tingkatannya lebih rendah. Sekarang tempo untuk Kiatyan sudah
mendekati, yaitu tinggal setengah bulan lagi."
"Bagus!" kata Keng Thian. "Bukankah kita masih mempunyai tempo untuk tiba pada
waktunya?"
"Tapi... kali ini, mungkin bakal ada orang yang datang mengacau!" kata Tjeng
Hong. Keng Thian terkesiap. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, hampir-hampir ia tak
percaya kupingnya sendiri. Harus diketahui, bahwa Moh Tjoan Seng adalah pendekar besar
dari jaman itu.
Bukan saja ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, tapi kebatinannya
pun sangat luhur, sehingga kebesaran namanya dapat dipersamakan seperti gunung Thaysan atau
bintang Paktauw, yang diindahkan dan dikagumi oleh semua cabang dan partai persilatan di
seluruh Tiongkok. Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi dan nama begitu besar,
siapakah yang berani
mengganggu ia"
Siauw Tjeng Hong mendehem beberapa kali lalu berkata pula: "Menurut apa yang
kudengar, yang mau mengacau adalah seorang luar biasa dari partai Khongtong pay." Keng
Thian mesem. "Tjiangboendjin (pemimpin) Khongtong pay adalah Tio Leng Koen," katanya.
"Melawan muridmu, saudara Thian Oe, ia masih belum tentu bisa memperoleh kemenangan."
Paras muka Siauw Tjeng Hong yang sangat guram, tetap tidak berubah. "Selama
kurang lebih tiga puluh tahun partai Khongtong pay memang sangat merojan," katanya dengan
suara sungguhsungguh.
"Orang-orangnya dari tingkatan atas masih belum dapat menandingi ahli-ahli silat
kelas satu. Itulah sebabnya, mengapa berbagai partai jadi memandang rendah partai
tersebut. Akan tetapi, sebenar-benarnya, Khongtong pay mempunyai keistimewaan yang luar biasa."
Keng Thian terkejut. "Benar," katanya. "Memang juga, jika tidak mempunyai
keistimewaan, Khongtong pay tentu tidak dapat menjadi suatu partai. Kecerdasan manusia tidak
dapat disamaratakan dan kerajinan orang pun berbeda-beda, sehingga memang juga kita
tidak dapat memukul rata semua orang. Tadi, oleh karena mengingat kepandaian Tio Leng Koen
yang masih cetek, aku jadi memandang rendah Khongtong pay sebagai partai. Aku mengakui,
bahwa perkataanku itu tidak benar."
Dari sini dapat dilihat, bahwa Keng Thian adalah seorang pemuda yang telah
mendapat pendidikan sangat baik dan segera mengakui kekeliruannya, begitu lekas ia
menganggap dirinya
bersalah. "Menurut apa yang aku dengar," kata pula Siauw Tjeng Hong. "Oleh karena melihat
merojannya partai mereka, sedari tiga puluh tahun berselang, sejumlah orang
Khongtong pay dari
tingkatan atas, pergi menyembunyikan diri di tempat sepi untuk melatih diri dan
meyakinkan kitab-kitab ilmu silat dari Tjouwsoe (pendiri) Khongtong pay, dan selain itu,
mereka juga telah
menggubah ilmu-ilmu silat baru. Selama beberapa puluh tahun ini, tak seorang pun
mengetahui sampai dimana mereka sudah mencapai kemajuan. Paling belakang, secara kebetulan
aku mendengar, bahwa ada tetua Khongtong pay yang ingin turun gunung."
"Apakah kau maksudkan, bahwa sesudah turun gunung, ia segera ingin menyatroni
Moh Tayhiap untuk menjajal kepandaian?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Jika tidak membentur ahli silat nomor satu di
wilayah Tionggoan,
dia tak dapat memperlihatkan kepandaiannya dan juga sukar mengangkat naik nama
partainya yang sudah merosot. Tapi, di samping itu, menurut yang kudengar, masih terselip
sebab lain."
Sesudah berkata begitu, ia mengawasi Keng Thian sembari mesem dan menyambung
pula perkataannya: "Sebab itu, mungkin adalah karena gara-garamu."
"Sungguh mengherankan," kata Keng Thian.
"Aku mendengar, bahwa kau merobohkan tiga belas jago Khongtong pay dengan
Thiansan Sinbong," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah benar?"
"Benar, antara mereka terdapat juga Tio Leng Koen," jawabnya.
"Selain kau, terdapat seorang wanita muda yang menggunakan pedang es bukan?"
tanya lagi Tjeng Hong. "Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya yang bernama Yoe Peng,"
Keng Thian menerangkan. "Di samping mereka berdua, masih ada seorang lain, yaitu
muridmu sendiri,
Thian Oe. Jika lantaran itu, Khongtong pay jadi merasa sakit hati, seharusnya
mereka mencari aku
dan bukannya Moh Tayhiap."
"Kalian, ayah dan anak, mempunyai nama yang lebih besar daripada Moh Tayhiap,"
kata Tjeng Hong. "Jika mereka menyatroni kalian dan bertempur di atas gunung Thiansan,
orang luar tak akan dapat menyaksikan menang kalahnya. Maka itu, mereka telah mengambil putusan
untuk menyatroni Moh Tayhiap. Mereka menganggap Yoe Peng sebagai Pengtjoan Thianlie
dan entah bagaimana, mereka juga sudah mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah
keponakan Moh Tayhiap. Dengan adanya ikatan keluarga itu, mereka jadi mempunyai alasan lebih
kuat untuk menyukarkan Moh Tayhiap. Selain itu, aku pun mendengar, mereka sudah mengundang
orangorang pandai dari partai lain untuk mengacau di harian Kiatyan. Kepergianku kali ini,
pertama adalah untuk menyampaikan warta tentang Pengtjoan Thianlie kepada Moh Tayhiap
dan kedua, untuk memberitahukan hal itu, supaya Moh Tayhiap bisa bersiap-siap. Tapi
sedikitpun aku tidak
merasa kuatir. Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, Moh Tayhiap tentu
akan dapat mengatasi segala kejadian."
Keng Thian berpikir beberapa saat dan kemudian berkata sembari mesem: "Bagus!"
"Kenapa kau kata bagus?" tanya Tjeng Hong.
"Bukankah kita akan dapat turut menonton keramaian?" kata Keng Thian sembari
mesem. "Apakah kau juga ingin pergi menyambangi Moh Lootjianpwee?" tanya Tjeng Hong.
"Benar," jawabnya. "Menurut perhitunganku, kita masih mempunyai tempo untuk tiba
pada waktu Kiatyan. Aku pun berharap agar Pengtjoan Thianlie juga berada disitu.
Ingin sekali aku
menyaksikan ilmu apa yang dimiliki orang Khongtong pay itu, sehingga ia berani
menyatroni Moh Lootjianpwee."
Mendengar itu, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa Keng Thian niat turun tangan
dan hatinya menjadi girang sekali. "Sebagai orang yang tingkatannya tinggi, Moh
Lootjianpwee tak
pantas turun tangan sendiri," katanya didalam hati. "Tong Keng Thian dan
Pengtjoan Thianlie,
mempunyai kepandaian tinggi, tapi tingkatannya rendah. Sungguh bagus, jika
mereka berdua bisa
berada bersama-sama."
"Kalau begitu, biarlah kita menunggu sampai fajar untuk segera berangkat," kata
Tjeng Hong. Kang Lam yang sedari tadi sudah merasa sangat tidak sabar, lantas saja
menyeletuk, begitu
lekas mereka berhenti berbicara. "Eh, aku bagaimana" tanyanya.
"Kau, kau apa?" kata Keng Thian. "Kau sudah mempunyai guru yang baik, apakah kau
juga ingin mengikut?"
"Kau toh sahabat Kongtjoe-ku bukan?" Kang Lam berseru. "Apakah kau tak tahu, aku
diperintah membawa surat" Bagaimana kau bisa tidak mengajak aku?"
Keng Thian tertawa. "Eh," katanya. "Aku mau menanya: Apakah Kongtjoe-mu baik?"
"Bagaimana tak baik?" sahutnya. "Sehari makan tiga kali!"
"Gila kau!' bentak Keng Thian. "Aku mau menanya: Bagaimana dengan puteri
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Touwsoe?" "Apa lagi?" jawab Kang Lam sembari nyengir. "Setiap hari berhias, seperti sundal
saja! Dari pagi sampai malam, kerjanya memburu. Saban hari lewat di depan kantoran. Karena
takut kesomplok, siang hari malam, Siauwya selalu bersembunyi di dalam, sejenak pun
tak berani keluar. Agaknya Siauwya takut digigit!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa
terbahak-bahak,
sehingga semua orang jadi turut tertawa.
"Kalau begitu, pernikahan mereka sudah tetap, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tidak, tidak! Kongtjoe menolak keras," jawabnya. "Tapi... tapi sekarang sudah
ada ketetapannya... antara Touwsoe dan Looya. Si Touwsoe yang mendesak terus, supaya
Looya meluluskannya. Lain tahun musim semi, jika kuil Lhama yang sedang dibuat sudah
rampung, aku mendengar, bakal datang seorang Budha Hidup dari Agama Topi Putih untuk
meresmikan pembukaan kuil tersebut. Pada waktu itu, Touwsoe ingin minta bantuan Budha Hidup
untuk menikahkan mereka. Hm! Kongtjoe tentu tak bisa berkelit lagi."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Thian Oe tak dapat melupakan Chena, tapi ia
tentu tak tahu,
nona itu sekarang sudah menjadi Wanita Suci," pikirnya. "Lain tahun di musim
semi, ia akan mengikut raja agama Sekte Topi Putih datang di Lhasa untuk meresmikan pembukaan
kuil." Ketika itu fajar sudah menyingsing dan sinar matahari pagi sudah menembus ke
dalam hutan batu itu. "Apakah sekarang kita sudah boleh berangkat?" tanya Tjeng Hong.
"Eh, ajak aku!" kata Kang Lam.
"Baiklah," sahut Keng Thian. "Sebelum berangkat, aku minta kau mengajak kami
pergi menemui gurumu untuk berpamitan."
"Perlu apa berpamitan?" kata Kang Lam. "Jika pamitan, dia tentu menghalangi."
Mendadak saja, dari jauh terdengar suara seorang tua: "Orang berilmu dari
manakah yang sudah penuju dengan muridku yang tolol itu?" Suara itu tidak keras tapi "tajam"
dan mengeluarkan suara "ung-ung", di waktu gelombangnya membentur hutan batu.
Dengan hati mencelos, Kang Lam buru-buru bersembunyi di belakang Keng Thian yang
lalu merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Aku yang muda adalah Tong Keng Thian
yang sudah kesalahan masuk ke dalam tempat dewa-dewa ini. Mohon Lootjianpwee suka
memberi maaf." Suara Keng Thian juga tidak besar, tapi nyaring, seolah-olah tikaman
pedang ke dalam
hutan batu itu, yang segera berkumandang, setelah dibentur gelombang suara.
Baru saja ia mengucapkan perkataannya, dengan sekali berkelebat, di hadapan
mereka sudah berdiri seorang Toosoe (imam) yang paras mukanya aneh dan mengenakan jubah
pertapaan warna kuning. Kang Lam gemetar sekujur badannya, ia mepet di belakang Keng Thian, tanpa berani
menongolkan kepala.
"Selama beberapa puluh tahun, tuan adalah orang satu-satunya yang bisa keluar
dari barisan batu ini," katanya. "Orang yang pandai tidak perlu meminta maaf. Sesudah bisa
keluar dari barisan
batu, kau tentu mempunyai kepandaian untuk membawa pergi muridku yang tolol.
Baiklah. Kau boleh membawa dia pergi!"
Keng Thian terkejut. Dari perkataannya, imam itu ingin mengukur kepandaiannya.
Waktu Toosoe itu pertama bicara, karena teraling puncak-puncak, Keng Thian tidak
mengetahui persis
dimana ia berada, tapi bisa ditaksir, ia sedikitnya terpisah seratus tombak. Dan
hampir berbareng
dengan suaranya, manusianya sudah tiba di hadapannya. Dari sini, Keng Thian
mengetahui, bahwa imam itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Sebagai penjagaan, ia menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan tenaga
Hiankong dari Thiansan pay. "Jika demikian," katanya sembari membungkuk. "Sesudah urusanku
beres, aku tentu akan datang lagi disini guna menyampaikan hormat." Sembari menuntun tangan
Kang Lam, perlahan-lahan ia berjalan keluar dari hutan batu.
Toosoe itu mencekal Hudtim (kebutan) dalam tangannya. Melihat tetamunya
berangkat, tanpa
menggerakkan badannya, ia mengebut dengan Hudtim-nya dan berkata: "Sebelum
mempunyai sayap, bocah nakal itu sudah ingin terbang. Tuan harus menilik ia secara keras!"
Sebagai seorang yang sudah menyelami ilmu Thiansan pay, Keng Thian mempunyai
perasaan yang luar biasa tajamnya. Kebutan itu, yang sebenarnya sangat perlahan, sudah
dapat didengar olehnya, dan lebih dari itu, tanpa menengok, ia juga mengetahui, bahwa beberapa
helai benang Hudtim sedang menyambar jalan darah Kang Lam dan ia sendiri! Dengan perkataan
lain, si Toosoe
dapat menggunakan benang-benang yang begitu halus seperti semacam jarum untuk
menusuk jalan darah musuh. Dapat dibayangkan, bahwa seorang yang tidak mempunyai
"ketajaman"
seperti Keng Thian, tidak akan dapat mengelakkan serangan itu yang tidak ada
suaranya dan hampir tak kelihatan bahayanya.
Bagaikan kilat Keng Thian meloncat dan menarik tangan Kang Lam sambil berkata:
"Hati-hati!
Ada batu." Dengan demikian, semua benang Hudtim itu menyambar ke badannya. Akan
tetapi, walaupun sudah berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga Hiankong, tak urung ia
merasa kesemutan di beberapa jalan darahnya, seperti digigit semut. "Tenaga dalam
Toosoe itu sungguh
hebat," katanya di dalam hati. "Meskipun belum bisa menandingi Hoeihoa tjekyap
(Bunga terbang memetik daun) Ie-ie-ku, ilmunya masih lebih tinggi daripada aku."
"Mana ada batu?" tanya Kang Lam yang tidak mengetahui, bahwa tanpa pertolongan
Keng Thian, kedua dengkulnya tidak akan dapat digunakan lagi.
"Kang Lam," kata Keng Thian. "Haturkan terima kasih kepada gurumu!" Ia
mengetahui, bahwa
sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, si Toosoe pasti tidak akan menyerang
dua kali kepada
bocah yang menjadi muridnya sendiri.
Kang Lam adalah seorang yang sangat cerdas otaknya Meski tidak mengerti
maksudnya, lantas
saja ia menyoja dan berkata: "Terima kasih atas budi Soehoe yang sudah
melepaskan murid."
Keng Thian segera menggerakkan tangannya supaya Kang Lam berjalan lebih dulu.
Muka imam itu menjadi merah padam. "Mulai dari sekarang, antara kau dan aku
sudah tidak ada hubungan guru dan murid lagi," katanya dengan suara dingin. Suara itu
menusuk kuping sehingga si bocah merasakan kepalanya puyeng dan hampir-hampir ia jatuh
terguling. Buru-buru
ia menutup kedua kupingnya dan mementang langkah lebar-lebar. Di lain saat, ia
merasakan badannya panas, tapi ia tidak menggubris itu dan terus berjalan secepat mungkin.
Selagi Keng Thian mau berpamitan, imam itu mengawasi ia dengan sorot mata tajam
dan menanya dengan suara yang sangat tidak enak kedengarannya: "Bagus! Liehay
sungguh kepandaianmu! Siapa gurumu" Bilanglah, supaya aku dapat meminta pengajarannya."
Keng Thian mesem. "Tempat tinggal Boanpwee jauh dari sini," jawabnya. "Mana
berani aku membikin Tjianpwee bercapai lelah."
Kata-kata Keng Thian yang manis itu sebenarnya mengandung duri di dalamnya.
Dengan perkataannya itu, ia seperti ingin menyatakan, bahwa gurunya sebenarnya dapat
melayani permintaan si Toosoe, hanya ia tidak berani membikin si imam menjadi capai. Keng
Thian yang biasanya suka merendah sudah terpaksa menggunakan kata-kata yang menusuk itu,
oleh karena ia mendongkol mendengar betapa temberangnya imam tersebut. Harus diketahui,
bahwa ayah Keng Thian adalah pemimpin suatu partai besar yang kedudukannya sangat tinggi,
sehingga ia boleh tak usah bicara sungkan-sungkan untuk ayahnya itu.
Toosoe jubah kuning itu lantas saja mendelik. "Sebetulnya aku tak ingin keluar
dari hutan ini,"
katanya dengan suara tawar. "Tapi sesudah mendengar perkataanmu, tak dapat tidak
aku mesti mencari gurumu. Siapa gurumu?"
Keng Thian terus mesem. Selagi mau menjawab, dalam hutan batu itu tiba-tiba
terdengar suara
tertawa yang menyeramkan. Di lain saat, seorang manusia muncul dari salah sebuah
gua batu. "Hongsek Tooyu," katanya sembari menyeringai. "Matamu lamur. Apakah kau tidak
mengenali ilmu silat dari Thiansan pay" Coba pikir: Di antara orang-orang tingkatan
sebelah bawah, selain
putera tunggal Tong Siauw Lan, siapa lagi yang berani berlaku begitu kurang ajar
di hadapanmu"
Sudah lama aku mengatakan, bahwa Thiansan pay sangat sombong dan memandang lain
cabang persilatan seperti juga partai yang menyeleweng. Apakah sekarang kau percaya
perkataanku itu?"
Keng Thian menengok. Orang itu hitam kurus, mukanya melesek ke dalam, kedua
matanya bagaikan bara, rambutnya awut-awutan, sedang romannya menakutkan sekali dan dia
bukan lain daripada Hiatsintjoe.
Kang Lam mengeluarkan teriakan tertahan, hatinya heran bukan main. Terangterangan ia mengetahui, bahwa di dalam gua hanya terdapat gurunya seorang diri. Dari mana
datangnya manusia aneh itu" Apakah ada jalan rahasia di dalam hutan batu itu"
Keng Thian juga tidak kurang terkejutnya. Dengan kedatangan Hiatsintjoe, tak
gampanggampang ia akan dapat meloloskan diri.
Imam itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba paras mukanya berubah dan
sambil mengebut dengan Hudtim-nya, ia berkata: Sebenarnya aku tidak berniat menyusahkan
orang yang tingkatannya di sebelah bawah. Akan tetapi, oleh karena orang itu adalah anak
Tong Siauw Lan,
jika aku melepaskan ia, orang lain akan menduga aku takut kepada suami isteri
Tong Siauw Lan."
Biarpun berada dalam bahaya, Keng Thian tetap berlaku tenang. Ia mesem seraya
berkata: "Jika kedua Lootjianpwee ingin menahan aku, aku tentu tak akan bisa lari. Maka
itu, aku bersedia
untuk menerima segala keputusan kalian."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau mengatakan, bahwa dalam kedudukannya
sebagai Houpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah), ia bersedia untuk melayani dua
orang yang kedudukannya lebih tinggi itu.
"Hm!" si Toosoe mengeluarkan suara di hidung. "Untuk menahan kau, aku tak perlu
mendapat bantuan orang. Hiatsintjoe! Biarlah kau menjadi saksi. Jika bocah itu dapat
menyambut seranganku dalam tujuh jurus, aku akan membiarkan mereka pergi. Bocah, sungguh
sombong kau! Sampai kapan baru kau mau menghunus senjata?"
Putera Tong Siauw Lan ini lantas saja tertawa besar. "Jika kau ingin memberi
pelajaran, tak usah dibatasi dalam tujuh jurus," katanya "Aku berdiri disini, tak bisa
melarikan diri. Lootjianpwee!
Kenapa kau tidak lantas menyerang" Mau tunggu sampai kapan?"
Diejek begitu, Hongsek Toodjin jadi marah besar. "Baiklah," katanya."Kau tidak
mau mengeluarkan senjata, itu tandanya kau sendiri yang mencari mampus!" Berbareng
dengan perkataannya, badannya melesat setombak lebih dan tangannya mengebut dengan
Hudtim-nya. Kebutan itu, yang kelihatannya biasa saja, sebenarnya berisikan dua macam
serangan dahsyat.
Dalam serangan pertama, benang-benang Hudtim berkumpul menjadi satu, dalam
bentuk pit (alat
tulis Tionghoa) dan menghantam musuh dengan tenaga Yangkong (tenaga "keras").
Jika serangan ini tidak dapat merobohkan musuh, benang-benang itu lantas terbuka dan menusuk
jalan darah musuh dengan tenaga Imdjioe (tenaga "lembek").
Kedua serangan itu hebat luar biasa dan tak akan dapat ditangkis oleh ahli silat
yang tanggungtanggung.
Tapi, dalam menghadapi serangan sehebat itu, Keng Thian sama sekali tidak
bergerak. "Apakah benar-benar kau mau mampus?" Hongsek Toodjin membentak. Ketika itu,
benangbenang Hudtim sudah terbuka dan tengah menyambar muka Keng Thian. Pada detik itu, si
Toosoe berpikir: "Bukankah aku akan jadi buah tertawaan, jika aku membinasakan bocah
yang tidak bersenjata" Selain itu, untung apa aku menanam permusuhan begitu hebat dengan
Tong Siauw Lan"' Memikir begitu, tenaganya yang memang belum digunakan seanteronya, jadi semakin
berkurang. Tapi, biarpun begitu, jika kena dikebut, Keng Thian pasti akan
bercacat seumur
hidupnya, meski tidak mati seketika.
Bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar. Pada saat yang sangat berbahaya,
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba Keng Thian membuka mulutnya dan meniup sekeras-kerasnya, sehingga benang-benang itu
tersapu buyar. Tenaga dalam Hongsek Toodjin banyak lebih tinggi daripada Keng Thian,
tapi dalam serangannya itu, ia hanya menggunakan separoh tenaganya. Di lain pihak, Keng
Thian sendiri telah menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat dari Thiansan pay dan meniup
sekeraskerasnya,
sehingga serangan itu menjadi gagal.
Hongsek Toodjin terkejut. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat ribuan
benang itu serentak berdiri dan seperti jarum-jarum tajam, menyambar ke arah tenggorokan
dan mata Keng Thian. Sebagaimana diketahui, Siauw Tjeng Hong pun bersenjata Hudtim Tapi melihat
liehaynya imam itu dalam menggunakan senjata tersebut, ia jadi terpaku bahna kagumnya.
Hampir pada detik yang sama, sekonyong-konyong berkelebat sinar terang dan
dingin, dibarengi teriakan Keng Thian: "Bagus! Sambutlah pedangku!'
Yoeliong kiam adalah senjata mustika dari Thiansan pay dan tajamnya luar biasa.
Hongsek Toodjin sama sekali tidak menduga pemuda itu dapat menghunus pedang dengan
begitu cepat dan oleh karena merasa jeri akan tajamnya senjata itu, buru-buru ia menarik
pulang tenaga Yangkong dan memutar Hudtim-nya untuk menghindari sabetan Yoeliong kiam.
Keng Thian membabat dengan Toeihong Kiamhoat (Ilmu pedang memburu angin) yang
saling susul. Belum habis serangan yang pertama, serangan kedua sudah menyusul.
Begitulah selagi
Hongsek Toodjin memikir untuk balas menyerang, serangan Keng Thian yang kedua
sudah menyambar. "Bagus!" seru si imam sembari menggeser kakinya dan mengebut dengan menggunakan
tenaga Imdjioe, untuk memunahkan sabetan Yoeliong kiam. Ketika itu. Hongsek
sudah melakukan tii'.a serangan.
Tapi biar bagaimana juga Hongsek Toodjin benar-benar berkepandaian tinggi.
Barusan, setelah
didesak dengan dua serangan Toeihong Kiamhoat, ia agak terdesak dan harus
membela diri. Mendadak, demi sekali mengebas dengan Hudtim-nya, ia berhasil mengunci gerakan
pedang Keng Thian. Benang-benang Hudtim menyambar-nyambar dari segala jurusan dan jika Keng
Thian terus menggunakan Toeihong Kiamhoat, punggungnya tentu akan segera kena ditusuk.
Selagi Hongsek bergembira, sekonyong-konyong sinar pedang merupakan suatu tirai
bundar yang menyelubungi seluruh badan Keng Thian. Itulah ilmu pedang Thaysiebie dari
Thiansan Kiamhoat yang hanya digunakan jika bertemu dengan musuh yang lebih tangguh.
Tubuh pemuda itu seolah-olah dikitari tembok tembaga yang tak dapat ditembus dengan apapun
juga. Hongsek terkesiap. Sedikitpun ia tak menduga, bahwa "si bocah" akan dapat
merubah gerakannya sedemikian cepat, dari menyerang jadi membela diri. Demikianlah,
serangan si imam
itu menjadi gagal.
Kang Lam menongolkan kepalanya dari lubang gua dan berseru: "Bagus! Hanya
ketinggalan tiga jurus lagi!"
Bukan main gusarnya Hongsek Toodjin. Sembari mengempos semangat, ia menyapu
dengan senjatanya. Sungguh hebat serangan itu, sebab dengan sekali menyapu, senjata si
imam menyambar dua belas jalan darah Tong Keng Thian, di sebelah atas badannya.
Keng Thian terkejut. Hongsek mengetahui, bahwa pembelaan Thaysiebie Kiamhoat
sangat rapat, tapi kenapa ia menyerang juga" Dengan penuh keheranan, ia terus memutar
pedangnya. Di lain saat, beberapa puluh benang Hudtim sudah kena terbabat putus dan sesudah
tersabet lagi beberapa kali, benang-benang itu menjadi potongan-potongan yang sangat halus.
Sekonyongkonyong
Hongsek meniup sekeras-kerasnya dan hancuran benang itu menyambar masuk ke dalam
sinar pedang! Biar bagaimana pun rapatnya pembelaan, Thaysiebie Kiamhoat tak akan dapat
menahan masuknya hancuran benang itu. Hati Keng Thian mencelos. Ia mengetahui, bahwa
jika hancuran benang itu masuk ke dalam mulut, mata atau kupingnya, biar mempunyai kepandaian
sepuluh kali lipat lebih tinggi, ia toh akan roboh. Dalam keadaan terdesak, ia meloncat
tinggi ke atas,
memutarkan badannya dan berbareng mengebas dengan tangan bajunya untuk menyapu
hancuran benang itu. Ia berhasil, tapi karena gerakannya itu, pembelaan
Thaysiebie Kiamhoat
lantas saja berantakan.
"Kena!" teriak Hongsek Toodjin sembari menyodok dengan gagang Hudtim-nya dan
"brt!" baju
Keng Thian, di sebelah bawah pundaknya, berlubang!
Harus diketahui, bahwa ilmu silat Hudtim dari Hongsek Toodjin terdiri dari tujuh
rupa pukulan. Akan tetapi, dalam tujuh pukulan itu terdapat pula banyak perubahanperubahannya. Maka itu,
dengan "membatasi tujuh jurus", si imam sebenarnya sudah bersiap untuk
mengeluarkan seluruh
kepandaiannya. Sesudah mengeluarkan empat pukulan tanpa berhasil, si imam menjadi agak bingung
dan oleh karena itu, ia rela mengorbankan sebagian benang Hudtim-nya untuk merobohkan
musuh dengan serangan kelima dan keenam, yaitu suatu serangan untuk memecahkan Thaysiebie
Kiamhoat dan serangan yang lain untuk menotok bagian badan Keng Thian yang tidak berbahaya
dengan gagang Hudtim, yang digunakan sebagai Poankoan pit.
Hudtim Hongsek adalah senjata istimewa. Gagangnya yang dibuat dari campuran baja
murni dan emas, berujung lancip tajam, sehingga dapat digunakan untuk menikam jalan
darah dan memecahkan Lweekeeh Khiekang (ilmu dalam) dari musuhnya. Barusan, dengan
menyodok jalan darah Iekie hiat, di bawah pundak Keng Thian, Hongsek menduga pemuda itu akan
lantas menjadi roboh. Tak dinyana, begitu mengenakan sasarannya, gagang Hudtim seperti kebentur
dengan semacam tameng dan terpental kembali. Di saat itu juga, Keng Thian memutarkan
tubuhnya dan berkata sembari tertawa: "Hanya tinggal satu jurus lagi!"
Hongsek Toodjin jadi seperti orang terkesima. Sodokannya itu, yang berhasil
merobek baju Keng Thian, menyambar tepat pada sasarannya dan menurut perhitungan, walaupun
pemuda itu mempunyai ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk), ia tak akan dapat
menyelamatkan diri.
Apakah pemuda itu, yang usianya masih begitu muda, sudah mempunyai badan seperti
dewa yang tak dapat dilukakan dengan senjata" Benar-benar ia sukar percaya!
Si imam tentu saja tidak mengetahui, bahwa sebab dari itu semua adalah karena
Keng Thian memakai Kimsie Djoanka, semacam baju mustika peninggalan Po Tjeng Tjoe, yang
pada empat puluh tahun lebih berselang, telah diberikan kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong,
pemimpin partai
Boekek pay. Hiatsintjoe dan suami isteri Siauw Tjeng Hong, yang menyaksikan bagaimana Keng
Thian dapat menyelamatkan diri dari bahaya besar, dengan berbareng mengeluarkan seruan
tertahan. Siauw
Tjeng Hong kaget lebih dulu, belakangan girang, Hiatsintjoe bergirang lebih
dulu, belakangan
kaget. Selagi Siauw Tjeng Hong menyusut keringatnya, tiba-tiba Hongsek membentak
keras, badannya melesat ke tengah udara dan selagi melayang turun, ia menghantam dengan
senjatanya! Dalam serangan yang terakhir itu, si imam menggunakan Hudtim dan tangannya
dengan berbareng, Hudtim menghantam jalan darah, telapak tangannya memukul dada Keng
Thian. Belum sempat Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie Kiamhoat, serangan musuh sudah
tiba dan tak dapat diegos lagi. Kimsie Djoanka yang hanya melindungi bagian atas tubuh,
tidak bisa menahan tenaga pukulan itu yang dikirim dengan seluruh tenaga si imam. Melihat
bahaya, dalam keadaan kepepet, Keng Thian mengambil suatu keputusan nekat. Ia memutarkan badan
untuk menyambut pukulan itu dengan punggungnya.
Pada detik itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan Hiatsintjoe. Siauw Tjeng Hong
jadi terkesima.
Dalam menyambut pukulan Hongsek dengan seluruh tenaganya, belum tentu Keng Thian
bisa berhasil. Siapa yang tidak kaget melihat serangan Hiatsintjoe pada saat yang
berbahaya itu"
Dan pada detik, sedang jiwa Keng Thian tergantung atas selembar rambut, mendadak
terdengar teriakan Hiatsintjoe. Berbareng dengan itu, Hongsek bergidik dan
tenaga pukulannya
lantas saja berkurang banyak. Sungguh gesit gerakan Tong Keng Thian! Hampir
berbareng dengan itu, badannya sudah melesat menyingkir, pedangnya menyambar dan pada
detik itu juga,
lengan jubah Hongsek berlubang!
"Bocah dari mana berani kirim serangan gelap?" membentak si imam.
Sekonyong-konyong dari atas batu-batu terdengar suara tertawa yang aneh. "Tua
bangka, apakah kamu tidak malu?" kata orang itu. "Dua tua bangka mengerubuti satu bocah!
Ha-ha-ha!' Keng Thian mendongak, mengawasi. Di atas sebuah batu kelihatan bersila seorang
pemuda yang bukan lain daripada Kim Sie Ie dan tak jauh dari situ, terdapat Pengtjoan
Thianlie bersama
dayangnya. Agaknya selagi pertempuran berjalan hebat-hebatnya, sedang perhatian
semua orang ditujukan ke arah pertempuran itu, mereka bertiga sudah datang dengan
diam-diam. Teriakan Hiatsintjoe dan bergidiknya Hongsek Toodjin disebabkan oleh senjata
rahasia Koei Peng
Go dan si penderita kusta.
Si imam merasakan dadanya mau meledak. Dengan sekali menjejek kaki, ia meloncat
ke atas untuk mencengkeram Kim Sie Ie.
"Satu bocah saja kau masih belum dapat menjatuhkan," kata si pengemis sembari
menyengir. "Guna apa aku meladeni kau?" Ia meloncat bangun dan bagaikan seekor kera, ia
memanjat puncak batu dan dalam sekejap, ia sudah berada di garisan luar.
Selagi si imam mau mengubar, sekonyong-konyong terdengar teriakan kesakitan dari
Hiatsintjoe. Ia menengok dan melihat muka kawannya bersemu hitam, sebagai tanda
sudah terkena senjata beracun.
Oleh karena merasa, bahwa seorang diri belum tentu ia dapat melayani beberapa
lawannya, lantas saja ia mengurungkan niatannya untuk mengubar Kim Sie Ie dan kembali
untuk menolong Hiatsintjoe. "Tujuh jurus sudah lewat, sekarang aku berangkat," kata Keng Thian. "Hm!"
gerendeng si imam yang sedang berjongkok untuk memeriksa luka Hiatsintjoe. Sesudah
mengucapkan beberapa perkataan merendah seperti lazimnya dalam dunia Kangouw, dengan
terburu-buru Keng
Thian lari keluar hutan batu itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Mengubar belum berapa lama, ia melihat Peng Go bersama dayangnya berjalan di
sebelah depan, sedang Kim Sie Ie mengikuti dari belakang.
"Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian.
Si nona menengok dan mengawasi dengan sorot mata gusar dan sedih.
"Peng Go Tjietjie!" Keng Thian berseru pula. "Berhentilah sebentar! Dengarkanlah
dulu beberapa perkataanku."
Pentjoan Thianlie tidak meladeni. Sebaliknya dari menghentikan tindakannya,
sembari menuntun tangan Yoe Peng, ia berlari semakin keras.
"Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian pula dengan suara menyayatkan hati.
"Berhenti dulu!
Dengar dulu perkataanku!'
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Ia berhenti berlari, membalikan badannya dan
menghadang di tengah jalan. Begitu Keng Thian datang dekat, ia menyembur dengan ludahnya.
"Siapa kesudian
mendengarkan segala ocehanmu!" ia membentak.
Keng Thian naik darah. "Minggir!" ia membentak.
Kim Sie Ie tertawa besar. Sambil mementang kedua tangannya, ia berteriak: "Tak
tahu malu! Mengudak-udak gadis orang!'
Keng Thian tak dapat menahan sabar lagi. Sekali ia mengayun tangan, sebatang
Thiansan Sinbong menyambar Kim Sie Ie.
Di waktu pertama kali bergebrak, si pengemis sudah mengenal liehaynya Sinbong.
Sesudah mengerahkan tenaga Hiankong tujuh hari lamanya, baru ia dapat menyembuhkan luka
akibat serangan senjata rahasia itu. Karena itu, sekali ini ia berwaspada. Begitu
melihat sambaran
Sinbong, ia menjungkir balik, badannya melesat tiga tombak lebih dan berbareng,
menyampok
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tongkatnya. "Tring!', lelatu api melentik dan senjata rahasia itu kena
tersampok jatuh.
Dengan sekali berjungkir balik lagi, Kim Sie Ie sudah menghadang pula di tengah
jalan. "Si nona
sudah lari jauh sekali," katanya, mengejek.
Keng Thian bingung. Thiansan Sinbong hanya dapat mendesak dia untuk sementara
waktu. Dengan hati mendongkol, tanpa berkata suatu apa lagi, ia melompat dan membabat
dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie tak berani berlaku ayal. Ia menghunus pedang
besinya dan menangkis. "Trang!", dua pedang itu kebentrok dan kedua belah pihak, yang tenaga
dalamnya kira-kira setanding, mundur terhuyung beberapa tindak.
Keng Thian tak mengasih hati lagi kepada lawannya. Begitu bergebrak, ia segera
menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, yang saling susul bagaikan gelombang. Baru bertempur
beberapa saat, Keng Thian sudah dapat melihat suatu kekosongan dalam pembelaan musuh.
Yoeliong kiam yang tengah menyambar dari kiri ke kanan, mendadak bergerak dalam suatu
lingkaran dan mengurung pedang Kim Sie Ie. Sekali dibalik lagi, ujung pedang itu menggetar dan
menyambar sembilan jalan darah Kim Sie Ie dengan berbareng.
"Hebat!" teriak si pengemis. "Bocah! Gara-gara si nona manis, kau lupa, bahwa
barusan aku sudah menolong jiwamu!"
Ia menjejek kakinya dan badannya melesat keluar gelanggang.
Keng Thian bergoncang hatinya. "Tadi, waktu Hongsek Toodjin mengirim serangan
terakhir, aku tentu sudah akan kena dipukul jika dia dan Peng Go tidak menolong dengan
senjata rahasia,"
pikirnya. "Biarpun aku mempunyai
Djoanka dan jika terluka, masih mempunyai Thiansan Soatlian untuk mengobatinya,
tapi budi mereka tak dapat diabaikan begitu saja." Memikir begitu, lantas saja ia menarik
pulang Yoeliong
kiam dan membentak: "Baiklah! Belum lama berselang, tanpa sebab kau sudah
melukakan aku, sehingga hampir-hampir aku terbinasa. Hari ini, mengingat pertolonganmu, sakit
hatiku sudah dibayar impas olehmu. Sekarang, kau minggirlah! Di kemudian hari, kita masih
bisa bersahabat."
Kim Sie Ie mengawasi dan sesudah mengeluarkan tertawa aneh, ia berkata: "Siapa
kesudian menjadi sahabatmu" Bocah tak kenal malu! Sedikitpun kau tidak mengenal adat
istiadat dalam kalangan Kangouw."
"Apa?" menegas Keng Thian. "Aku tak mengenal adat istiadat dalam kalangan
Kangouw" Siapakah yang kau maki" Cacian itu sungguh tepat untuk ditujukan kepada
alamatmu!"
"Aku memaki kau!" bentak Kim Sie Ie. "Jika tidak dijelaskan, kau tentu masih
penasaran. Aku mau menanya: Menurut adat istiadat kalangan Kangouw, bukankah ada nasi sama-sama
makan, ada pakaian sama-sama memakai dan sudah punya tak boleh merampas milik orang"
Bukankah begitu?" "Benar," jawab Keng Thian.
"Orang-orang dari jalanan hitam sangat memperhatikan kebiasaan itu."
"Bagus!" kata si pengemis. "Kau sudah mempunyai nona dari keluarga Tjee itu,
tapi kenapa masih juga ingin mengudak-udak nona Koei" Ha! Tak sudi aku menjadi sahabatmu!
Aku sudah menganggap nona Koei sebagai sahabatku. Kau sendiri sudah punya satu, tapi masih
mengubarubar sahabat orang lain. Bukankah perbuatan itu perbuatan tak mengenal adat istiadat
Kangouw?" Tong Keng Thian adalah seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang telah
mendapat pendidikan yang baik pula. Seujung rambut pun, ia tidak menduga bahwa ia akan
mendengar perkataan itu. Ia kemekmek, untuk sementara ia tak dapat menjawab.
Si pengemis lantas saja mengeluarkan tertawanya yang menyeramkan dan berkata
pula: "Benar atau tidak perkataanku" Apakah kau sudah merasa bersalah?"
"Jangan ngaco!" Keng Thian membentak dengan gusar sekali. "Jika kau bicara lagi
yang tidaktidak,
tanpa sungkan-sungkan aku akan mengutungkan kepalamu!"
"Apakah kau mampu?" tanya si pengemis dengan suara mengejek.
Keng Thian jadi gelap mata.
Bagaikan kilat, ia menyabet dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie melayani dengan
saban saban menengok ke belakang. Agaknya ia ingin menunggu sampai Pengtjoan Thianlie
sudah pergi cukup jauh, baru ia ingin menghentikan pertempuran itu. Keng Thian gusar dan
bingung. Ia menyerang secara hebat, tapi karena kepandaian mereka kira-kira berimbang, maka
sedikitnya untuk sementara, ia tak dapat meloloskan diri.
Sekarang Keng Thian menumplek semua kemendongkolannya di atas kepala Kim Sie Ie.
"Hra!"
katanya di dalam hati. "Kalau begitu, dia yang menjadi setan." Dengan gergetan,
lantas saja ia menyerang dengan pukulan-pukulan Thiansan Kiamhoat yang paling liehay. Kim Sie
Ie memutarkan pedangnya bagaikan titiran dan menutup rapat-rapat dirinya dengan
sinar pedang, sehingga sesudah lewat seratus jurus lebih, belum juga ada yang keteter.
Sementara itu, suami isteri Siauw Tjeng Hong dan Kang Lam sudah menyusul. Mereka
terkejut melihat pertempuran yang lebih hebat daripada pertarungan antara Keng Thian dan
Hongsek Toodjin. Tiba-tiba sembari membentak keras, Keng Thian mengirimkan tiga serangan dengan
berbareng. Tangan kirinya mengait tongkat Kim Sie Ie, kaki kanannya menendang, sedang
Yoeliong kiam menikam ke arah jantung. Menurut perhitungannya, dengan tiga serangan hebat itu,
walaupun tidak menjadi mati, si pengemis pasti akan terluka berat.
Pada detik itu, berbareng dengan terdengarnya tertawa aneh, Kim Sie Ie
berjungkir balik dan
menyemburkan ludah lendirnya. "Untuk seorang wanita, kau mati-matian!" ia
memaki. "Apakah
ada harganya" Bocah! Aku sungguh kasihan kepadamu. Baiklah, kakekmu mengijinkan
kau lewat."
Berhubung dengan berjungkir baliknya, Kim Sie Ie berhasil mengelakkan bahaya.
Yoeliong kiam menikam tempat kosong, tapi kaki kanan Keng Thian berhasil menendang tongkat si
pengemis yang lantas saja terbang ke tengah udara. Pada saat yang sangat berbahaya itu,
dengan meminjam tenaga terpentalnya tongkat itu, badan Kim Sie Ie turut melesat ke
udara dan menangkap tongkatnya yang sedang melayang turun. Ia hinggap di tempat yang
jauhnya kurang lebih enam tombak dan begitu kedua kakinya menginjak bumi, ia mabur ke arah
hutan, sembari menengok dan tertawa kepada Keng Thian.
Dengan gergetan, Keng Thian mengeluarkan sebatang Thiansan Sinbong, tapi sebelum
ia sempat menimpuk, Kim Sie Ie sudah meloncat ke sebuah pohon besar dan naik ke
atas bagaikan seekor kera dan di lain saat, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Seperti kesima, putera Tong Siauw Lan ini berdiri terpaku. Melihat tertawanya
Kim Sie Ie di waktu ia ini barusan menengok, hati Keng Thian jadi berdebar keras. Ia ingat,
bahwa di waktu pertama kali bertemu, orang itu adalah seorang pengemis kotor yang muka dan
badannya penuh dengan bisul-bisul penyakit kusta. Tapi sekarang, perbedaan bagaikan langit dan
bumi. "Kalau begitu, ia juga adalah seorang pemuda tampan," katanya didalam hati.
"Untuk apa dia
terus mengikuti Peng Go?"
Sebegitu jauh ia selalu menganggap, bahwa di dalam dunia ini, ia adalah satusatunya orang yang pantas menjadi pasangan Pengtjoan Thianlie.
Sekarang, mau tak mau, di dalam hati kecil ia terpaksa mengakui, bahwa pemuda
itu yang berlagak sebagai penderita kusta, merupakan saingan berat baginya. Di samping
itu, ia ingat juga
bagaimana Kim Sie Ie sudah meloloskan diri dari dua serangannya yang sangat
hebat. Dengan pengetahuannya yang sangat luas mengenai berbagai cabang persilatan, ia masih
belum mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dimiliki si pengemis. Ia mengakui, bahwa
Kim Sie Ie adalah seorang yang jarang ada tandingannya dalam Rimba Persilatan, tapi kenapa
tingkah lakunya begitu luar biasa"
Sementara itu, sesudah napasnya yang tersengal-sengal menjadi reda. Kang Lam
lantas saja berkata: "Sungguh berbahaya! Eh, Tong Siangkong, siapa pemuda itu" Tadi dia
membantu kau dengan senjata rahasia, tapi kenapa belakangan menghalang-halangi kau mengubar
nona itu?"
Keng Thian yang sedang kalut pikirannya tak menjawab pertanyaan kacung itu.
"Sungguh cantik wanita itu," Kang Lam mengoceh lagi. "Aku tahu, Kongtjoe-ku suka
kepada seorang gadis Tsang yang sangat aneh. Aku pernah melihat wajah gadis itu. Waktu
itu, aku menganggap dalam dunia tidak ada orang yang lebih cantik lagi. Ha! Sekarang,
sesudah melihat
yang barusan, baru aku tahu, di luar langit masih ada langit, di atas manusia
masih ada manusia.
Tong Siangkong, apakah dia kau punya?"
"Apa?" Keng Thian menegas, seperti baru mendusin dari tidurnya.
"Kau mirip sekali dengan Kongtjoe-ku," jawabnya. "Begitu melihat wanita cantik,
lantas kehilangan semangat. Aku tak mempersalahkan kau. Tapi mereka datang bersamasama. Jika kau memang sudah jatuh hati, sepantasnya kau harus minta lelaki itu memperkenalkan
kau kepadanya. Mungkin mereka bersaudara. Itu masih tidak apa. Jika mereka suami
isteri, apakah mengherankan kalau lelaki itu lantas menghantam kau?"
Keng Thian tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Sesudah mengalami
berbagai kesukaran, ia naik ke keraton es dan membujuk si nona supaya turun gunung. Ia
berhasil dalam usahanya itu, tapi siapa nyana, buntutnya menjadi begini sehingga sampai Kang
Lam juga menganggap si nona adalah seorang asing baginya.
"Kang Lam, jangan rewel!" bentak Siauw Tjeng Hong. Kang Lam tidak berani membuka
suara lagi dan mereka lalu meneruskan perjalanan.
"Tong Siangkong," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara perlahan. "Jangan kau
terlalu jengkel.
Sekarang kita tak dapat menyandak ia, tapi setibanya di tempat Moh Lootjianpwee,
kita tentu akan
bertemu pula."
Keng Thian lantas saja sadar. "Benar aku goblok," katanya di dalam hati.
"Sesudah sampai
disini, ia tentu akan menyambangi pamannya." Akan tetapi, begitu mengingat masih
setengah bulan sebelum mereka dapat bertemu lagi dan selama setengah bulan itu, Peng Go
akan selalu berada bersama-sama dengan "si pengemis kusta," hati Keng Thian lantas saja
menjadi pedih. Tapi sebenarnya, pemuda itu sudah menduga salah. Pengtjoan Thianlie tidak
berjalan bersamasama
dengan Kim Sie Ie, tapi Kim Sie Ie-Iah yang selalu mengikuti dari belakang. Ia
tidak berani terlalu mendesak, oleh karena mengetahui bahwa si nona tidak begitu menyukai
dirinya. Sebenarnya Pengtjoan Thianlie telah tiba lebih dulu di hutan batu, sedang Kim
Sie Ie menyusul
kemudian. Melihat si nona melepaskan Pengpok Sintan, ia mengetahui, bahwa Peng
Go masih belum dapat melupakan Keng Thian, sehinga ia jadi merasa jengkel. Akan tetapi,
untuk menyenangkan hati Pengtjoan Thianlie, ia pun segera melepaskan senjata
rahasianya. Dengan pikiran tertindih, Keng Thian meneruskan perjalanannya, sedang Siauw
Tjeng Hong, yang mengetahui persoalan si pemuda, juga kesal hatinya.
Selagi mereka berjalan dengan masing-masing tenggelam dalam alam pikiran
sendiri, Kang Lam
mendadak berteriak: "Aduh!"
"Kenapa?" tanya Tjeng Hong sembari menengok ke belakang.
Bocah itu berjongkok sembari memegang perutnya. "Perutku sakit," jawabnya.
"Tadi masih baik-baik, kenapa mendadak sakit?" tanya Tjeng Hong yang lantas saja
memegang nadi Kang Lam, tapi ia tidak mendapatkan tanda-tanda penyakit.
"Setan kecil!"ia mengomel. "Kau selalu main gila! Siapa mempunyai tempo untuk
melayani kegila-gilaanmu" Kita mempunyai urusan penting dan perlu berjalan buru-buru."
"Siapa yang main gila?" teriak Kang Lam "Benar-benar perutku sakit."
Keng Thian segera mendekati dan memegang nadinya. Sesudah beberapa saat, muka
pemuda itu menunjukkan perasaan heran dan kaget. Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya dan
dengan dua jeriji, ia menotok jalan darah Hiankie hiat, di dada Kang Lam.
Tjeng Hong terkesiap. Hiankie hiat adalah jalan darah yang membinasakan. Ia mau
mencegah,
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi sudah tidak keburu lagi.
Begitu ditotok, Kang Lam lantas saja tertawa haha-hihi. "Gatal! Gatal!" ia
berteriak. "Aku paling
takut kegatalan. Tong Siangkong, ampun!"
"Perutmu masih sakit?" tanya Keng Thian.
"Ih! Heran sungguh. Sekarang tak sakit lagi," jawabnya.
Keng Thian mesem sambil menotok pundak Kang Lam dengan dua jerijinya. Tjeng Hong
mengetahui, bahwa yang ditotok adalah jalan darah Tonghay hiat, yang jika
diurut, dapat melemaskan urat dan menjalankan darah. Menurut kebiasaan Rimba Perdilatan, jika
seseorang kena ditotok jalan darahnya dan jalan darah itu untuk sementara masih belum
dapat dibuka, maka
orang itu biasanya minta salah seorang kawannya untuk menotok Tonghay hiat guna
menjalankan aliran darah di lain-lain bagian badannya, untuk mempertahankan diri sementara
waktu. Maka itu,
totokan Tonghay hiat ada baiknya dan tak ada jahatnya.
Tapi di luar dugaan, Kang Lam lantas saja berteriak-teriak: "Aduh! Sakit!
Sakit!" Buru-buru Keng Thian menotok jalan darah Tjietong hiat, di kempungan Kang Lam.
Tjietong hiat adalah salah saru dari sembilan jalan darah, yang jika ditotok, dapat
membinasakan orang.
Keruan saja, Siauw Tjeng Hong menjadi kaget bukan main.
Tapi, sungguh luar biasa, Kang Lam lantas tidak berkaok-kaok lagi. "Ah, Tong
Siangkong,"
katanya. "Kenapa kau mengganggu aku" Perutku tidak sakit lagi."
"Gatal tidak?" tanya Keng Thian.
"Tidak, hanya sedikit kesemutan," sahutnya.
Keng Thian tertawa berkakakan. "Ya sekarang aku tahu," katanya. "Bukan aku, tapi
gurumu yang mempermainkan kau."
"Apa?" Tjeng Hong menegas dengan suara heran. "Apakah benar perbuatan si Toosoe
tua" Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi dan kedudukannya sebagai guru, sedang ia
sendiri sudah meluluskan, apakah benar ia masih main gila terhadap muridnya?"
Keng Thian bersenyum. "Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia mempermainkan
muridnya," katanya. "Mungkin kejadian ini adalah karena untung Kang Lam yang
baik." "Apakah yang kau maksudkan?" tanya pula Siauw Tjeng Hong, yang tidak mengerti
perkataan pemuda itu. Keng Thian berdiam beberapa saat, seperti sedang mengasah otak. "Siauw Sinshe,"
katanya mendadak."Apakah kau tahu, siapakah nama dan dimana tempat tinggal orang aneh
dari Khongtong pay itu yang menurut katamu ingin menyukarkan Moh Lootjianpwee?"
"Tidak," jawab Tjeng Hong sembari menggelengkan kepalanya. "Kalau aku tahu, aku
tentu sudah memberitahukan kepada Moh Lootjianpwee. Perlu apa aku pergi ke berbagai
tempat untuk mencari keterangan?"
"Dulu, di Thiansan, aku pernah mendengar pembicaraan antara ayah dan Iethio
(suami bibi) yang sangat menarik," Keng Thian menerangkan. "Menurut mereka, partai Khongtong
pay dulu mempunyai semacam ilmu yang luar biasa. Dengan ilmu tersebut, seseorang dapat
mengacaukan jalan darahnya sendiri.
Maka itu, ia akan terus segar bugar, meskipun jalan darahnya yang membinasakan
kena ditotok. Akan tetapi, orang yang mempunyai ilmu tersebut, harus berlatih terus
seumur hidupnya.
Jika ia berhenti, jiwanya terancam. Di samping itu, walaupun berlatih terusterusan, belum dapat
dipastikan, bahwa akhirnya ia tak akan masuk ke dalam jalan yang menyeleweng.
Itulah sebabnya, mengapa belakangan orang sungkan mempelajari ilmu itu yang perlahanlahan jadi tidak dikenal lagi."
"Kalau begitu," kata Tjeng Hong. "Apakah ilmu yang diajarkan oleh si Toosoe
kepada Kang Lam, adalah ilmu yang kau maksudkan?"
"Mungkin, mungkin sekali," jawabnya.
Siauw Tjeng Hong berdiam sejenak, kemudian ia berkata pula: "Jika memang
demikian, apakah, walaupun perhubungan guru dan murid sudah diputuskan, seumur hidupnya
Kang Lam harus terus menerus berlatih ilmu tersebut?"
"Kang Lam baru saja tujuh hari menjadi muridnya, sehingga apa yang didapat
olehnya baru hanya pelajaran permulaan," Keng Thian menerangkan. "Seperti juga pelajaran
lain-lain, untuk memperoleh kemajuan, ilmu itu harus dipelajari dengan perlahan, di bawah
pimpinan guru yang pandai. Mengenai Kang Lam, baik juga ia baru saja memperoleh sedikit
pelajaran, sehingga
biarpun ada akibatnya, akibat itu hanya merupakan sakit perut, sakit miang dan
sebagainya. Jika
ia sudah belajar lama dan pelajaran dihentikan mendadak, akibatnya tentu akan
hebat sekali, mungkin ia akan binasa, atau sedikitnya, menjadi orang bercacat. Maka itu,
selama beberapa ratus
tahun ini, dalam partai Khongtong pay, orang yang mempelajari ilmu itu tidak
pernah keluar dari
rumah perguruan."
"Kalau begitu," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah kau maksudkan, bahwa Kang Lam
harus kembali lagi dan seumur hidupnya harus menemani siluman tua itu?"
"Tidak!" teriak Kang Lam.
"Biarpun harus mati, aku tak akan kembali. Tong Siangkong, tolonglah aku!"
Keng Thian tertawa. "Tak kembali juga boleh," katanya sembari tertawa. "Hanya
setiap hari kau
harus menderita sakit perut sejam lamanya."
"Tidak!" si bocah berteriak pula. "Aku paling takut akan sakit perut. Perut
sakit, makanan enak
tak bisa masuk. Tong Siangkong, aku tahu kau bisa menolong. Tolonglah. Aku akan
menurut segala perintahmu."
"Baiklah," kata Tong Keng Thian yang merasa sudah cukup menggoda kacung itu.
"Tapi aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembuh, mulutmu jangan terlalu rewel."
"Baik, baik," jawabnya, terburu-buru. "Sesudah sembuh, orang menanya sepatah,
aku menjawab setengah patah."
Keng Thian tak tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ia menengok kepada
Siauw Tjeng Hong seraya berkata: "Itulah! Itulah sebabnya, mengapa aku mengatakan Kang Lam
bagus untungnya. Sebagaimana kau tahu, lethio-ku telah mewarisi kitab ketabiban,
peninggalan Po Tjeng Tjoe, sehingga ia mahir dalam ilmu pengobatan. Dalam kitab tersebut
terdapat suatu bagian
yang membicarakan bahaya-bahaya akibat pelajaran ilmu silat. Menurut kitab
tersebut, jika seseorang ingin menyelamatkan diri dari bahaya itu, jalan satu-satunya adalah
melatih diri dalam
ilmu lweekang dari cabang persilatan yang murni. Dengan latihan itu, isi perut
dan bagian-bagian
dalam badannya akan menjadi kuat dan dengan sendirinya, dapat melawan segala
akibat jelek dari latihan ilmu yang menyeleweng. Maka itu, untuk menolong Kang Lam, aku harus
menurunkan pokok-pokok pelajaran lweekang dari Thiansan pay."
"Bagus!" seru Kang Lam, kegirangan. "Sekarang juga aku akan berlutut di
hadapanmu, untuk
mengangkat kau menjadi guru." Berbareng dengan perkataannya, ia segera menekuk
lutut. Keng Thian mencekal tangan si nakal, sehingga ia ini tak dapat meneruskan
niatannya. "Siapa mau mempunyai murid begitu rewel?" kata Keng Thian sembari tertawa.
"Jangan begitu," kata Kang Lam, meringis. "Aku toh sudah berjanji untuk tidak
rewel-rewel lagi" "Dalam menerima murid Thiansan pay memegang peraturan yang sangat keras," kata
Keng Thian dengan paras sungguh-sungguh. "Usiaku masih terlalu muda, sehingga tak
dapat aku menerima kau sebagai murid.
Selain itu, yang akan kuturunkan hanya pokok-pokok lweekang, bukan ilmu pedang
atau ilmu silat. Maka itu, kau tak dapat dipandang sebagai murid Thiansan pay."
"Kang Lam," kata Tjeng Hong sembari tertawa. "Dengan mendapat pokok-pokok
lweekang Thiansan pay, kau sudah mempunyai nasib yang bagus luar biasa. Kenapa kau tidak
mengenal puas?" Mendengar itu, si nakal tidak berkata apa-apa pula. Ia manggut-manggutkan
kepalanya dengan hati girang.
Keng Thian yang merasa sangat suka terhadap anak yang cerdik itu, lebih dulu
memberikan dua butir Pekleng tan yang dibuat dari Thiansan Soatlian, untuk memperkuat tubuh
dan anggauta dalam Kang Lam. Sesudah itu, baru ia menurunkan pelajarannya.
Waktu itu, Kang Lam sendiri tidak mengetahui, bahwa ia telah mendapat suatu
kefaedahan yang tidak kecil. Sesudah memperoleh dasar-dasar ilmu aneh Khongtong pay dan
tidak takut lagi
akan totokan jalan darah, sekarang ia mendapat pokok lweekang dari Thiansan pay.
Dengan mempunyai dua dasar itu, tenaga dalamnya bertambah secara luar biasa. Walaupun
ketika itu ia hanya mengenal ilmu silat yang sangat cetek dari Tan Thian Oe, tapi jika
digunakan, dengan
mudah ia akan dapat merobohkan ahli-ahli silat kelas tiga atau kelas dua dari
kalangan Kangouw.
Di belakang hari, benar saja Kang Lam telah menjadi seorang ahli silat yang
kenamaan dan disegani. Oleh karena harus memberi pelajaran kepada si bocah, dalam tiga hari Keng Thian
hanya dapat melalui seratus li lebih. Untung juga, berkat kecerdasannya, pada hari ke empat
Kang Lam sudah dapat menyelami pelajaran yang diberikan kepadanya, sehingga Keng Thian dapat
mengambil selamat berpisah dengan hati lega.
Kang Lam sendiri segera menuju ke timur untuk pergi ke Tiongkeng, dari mana,
dengan perahu ia akan pergi ke Boehan, akan kemudian langsung pergi ke kota raja untuk
menyampaikan surat
majikannya. Keng Thian bersama suami isteri Siauw Tjeng Hong meneruskan perjalanan ke
Soetjoan selatan
untuk kemudian mendaki gunung Gobie san dan menemui Moh Tjoan Seng.
Sesudah berjalan sepuluh hari, Gobie san yang agung dan angker sudah kelihatan
di depan mata. Sebagai umumnya seorang yang sedang menderita penyakit asmara, di
sepanjang jalan
Keng Thian lesu kelihatannya, tapi begitu mendekati Gobie san, semangatnya
terbangun karena
mengingat bahwa saat pertemuan dengan Koei Peng Go sudah dekat. Tapi saban kali
teringat "si
penderita kusta", ia lantas menjadi lesu kembali.
Dengan Tiangloo (paderi kepala) dari kuil Kimkong sie, Moh Tjoan Seng bersahabat
baik, sehingga selama kira-kira dua puluh tahun, ia menetap dalam kuil tersebut.
Seperti juga yang lalu,
Kiatyan kali ini pun diadakan dalam kuil itu, yang berdiri di puncak tertinggi
-- yaitu Puncak Emasdari
gunung Gobie san.
Di waktu Keng Thian bertiga sampai disitu, Kiatyan sudah tiba waktunya dimulai.
Gobie san adalah salah satu dari empat gunung ternama di Tiongkok. Tiga yang
lain adalah Poto san di Tjiatkang, Kioehoa san di Anhoei dan Ngotay san di Shoasay. Luas
gunung tersebut
adalah lebih dari empat ratus li, bentuknya agung, angker dan indah. Dipandang
dari kejauhan, Gobie san seakan-akan merupakan sepasang alis yang tebal dan itulah sebabnya,
mengapa gunung itu dinamakan Gobie (Bie berarti alis).
Pagi-pagi sekali, Keng Thian bertiga mulai mendaki gunung. Di sepanjang jalan,
mereka melewati pohon-pohon siong tua, batu-batu cadas yang bentuknya aneh, air terjun
yang indah dan solokan-solokan yang airnya jernih dan dingin. Gobie disebut sebagai salah
satu "Keindahan
dalam dunia" dan julukan itu sungguh bukan pujian belaka. Berada di tempat yang
pemandangannya seindah itu, hati Keng Thian yang pepat menjadi lapang.
Di sepanjang jalan, sering mereka bertemu dengan kelompok- kelompok orang yang
sedang mendaki gunung untuk menghadiri Kiatyan. Semenjak kecil, Keng Thian berdiam di
Thiansan yang jauh dan belum pernah mengunjungi wilayah Tionggoan, sedang Siauw Tjeng Hong
hidup bersembunyi di Tibet untuk belasan tahun lamanya dan sekarang, mukanya sudah
banyak berubah. Maka itu, tidak mengherankan jika orang-orang Rimba Persilatan itu, tak
satu pun yang mengenali mereka.
Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, kira-kira tengah hari, Keng Thian
bertiga sudah tiba di Puncak Emas. Dari tempat yang tertinggi itu, jika orang memandang
keempat penjuru, ia akan melihat puncak-puncak di sebelah bawah yang bersusun tindih dan
lautan awan putih yang tiada batasnya. Kimkong sie yang berdiri tegak di puncak itu, seakanakan diselimuti
awan tersebut.
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu Keng Thian dan suami isteri Siauw Tjeng Hong masuk ke dalam kuil, mereka
disambut oleh paderi yang bertugas.
"Apakah Moh Tyahiap baik?" tanya Keng Thian. "Tolong kau memberitahukan bahwa
keponakannya mohon bertemu dengan beliau."
Si paderi merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: "Sudah tiga
hari Moh Tayhiap bersemedhi, aku tak berani mengganggu ia. Kalian tak usah memakai banyak
peradatan, besok kalian akan dapat bertemu dengan beliau."
Paderi itu yang tidak mengetahui asal-usul mereka, sudah menganggap mereka
sebagai orangorang
biasa yang ingin menghadiri Kiatyan. Harus diketahui, bahwa karena kedudukannya
yang sangat tinggi, di antara orang-orang yang berkunjung sebagian besar mengaku
sebagai "keponakan" dan banyak juga yang ingin sekali dapat bertemu dengan Moh Tjoan
Seng pribadi, sehingga, jika diladeni, orang tua itu akan menjadi repot sekali. Maka itu,
benar Moh Tjoan Seng
sedang bersemedhi atau tidak, si paderi tak akan dapat meluluskan permintaan
Keng Thian. Sesudah mengantar tiga tamu itu kedua buah kamar yang sudah sedia, paderi itu
segera berlalu untuk menyambut tamu-tamu lain.
Moh Tjoan Seng adalah tetua Boetong pay dan orang yang paling banyak datang
untuk menghadiri Kiatyan, adalah orang-orang partai tersebut. Entah dari mana, mereka
juga rupanya sudah mengendus, bahwa Kiatyan kali ini bakal dikacau orang. Dalam kelompokkelompok, mereka kasak-kusuk, masing-masing mengutarakan pendapat-nya. Ada yang gusar, ada
yang menganggap Boetong pay akan malu besar jika Moh Tjoan Seng sampai mesti turun
tangan sendiri, ada yang tidak percaya dan sebagainya.
Mendengar itu, Keng Thian merasa geli bercampur kuatir. Malam itu ia tak dapat
pulas. Sesudah berlatih lweekang kurang lebih sejam, kira-kira tengah malam, ia menolak
jendela dan melongok keluar.
Sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Tiba-tiba, di sebelah
jauh, di antara puncak-puncak gunung, muncul titik-titik sinar api, seperti kunangkunang, dari sedikit
semakin lama menjadi semakin banyak, perlahan-lahan mumbul ke atas dan
bergoyang-goyang
kian kemari, seolah-olah ingin bersaing dengan bintang-bintang di langit.
Itulah pemandangan istimewa di gunung Gobie san yang oleh kaum Budhis dinamakan
"Sengteng" (Pelita Nabi). Pada malam-malam terang bulan, jika udara bersih,
titik-titik sinar api itu
muncul, semakin lama semakin banyak, seperti juga api ribuan pelita yang
terombang-ambing di
tengah udara. Itulah sebabnya mengapa sinar-sinar itu dinamakan "Sengteng". Tapi
sebenarbenarnya
sinar-sinar tersebut muncul karena fosfor yang banyak sekali terdapat di gunung
Gobie san. Kuil Kimkong sie mempunyai peraturan yang dipegang keras. Pada waktu itu, jumlah
paderi dan tamu yang bernaung dalam kuil tersebut, sedikitnya ada beberapa ratus orang,
tapi keadaan di sekelilingnya sunyi senyap dan tidur orang tidak terganggu suara apa-pun
juga. Dengan hati yang tidak keruan rasanya, Keng Thian mengawasi pemandangan malam
yang indah itu. "Tempat ini tenang dan damai," katanya didalam hati. "Sungguh sayang
jika kelak benar-benar dikacau orang."
Tiba-tiba ia ingat akan Hongsek Toodjin. Ia tak tahu, apakah benar imam itu si
orang aneh dari
Khongtong pay yang telah disebutkan Siauw Tjeng Hong. Jika benar dia, ia merasa
tidak ungkulan untuk melayani musuh itu seorang diri. Sesaat kemudian, ia ingat kepada
Pengtjoan Thianlie. Jika
si nona berada disitu dan bersama-sama melayani musuh, ia tak akan merasa keder
lagi terhadap si Toosoe atau orang lain yang berkepandaian lebih tinggi dari Hongsek Toodjin.
Engingat Peng Go, tanpa merasa ia teringat pula kepada "Si pengemis Kusta" yang terus
mengikuti si nona dari
belakang. Kenapa Pengtjoan Thianlie sudi berkawan dengan orang itu" Benar-benar
ia tak mengerti. Semakin berpikir, hatinya semakin pepat. Perlahan-lahan ia memakai jubah
panjangnya dan pergi ke kamar sebelah dengan niatan bercakap-cakap dengan suami isteri Siauw
Tjeng Hong. Tapi tak dinyana, mereka berdua tidak berada dalam kamar.
Seperti Keng Thian, malam itu Siauw Tjeng Hong juga tak dapat pulas. Inilah
untuk kedua kalinya ia menghadiri Kiatyan. Ia ingat, dulu, ketika datang untuk pertama
kalinya, Tjia In Tjin
telah mengadu pedang dengan Loei Tjin Tjoe dan ia sendiri, tanpa sebab tanpa
lantaran, sudah
terseret masuk ke dalam peristiwa itu dan jadi bermusuh hebat dengan Loei Tjin
Tjoe, sehingga ia
mesti kabur ke Tibet dan hampir-hampir tak bisa pulang lagi ke kampung
halamannya. Ia menghitung-hitung, dari tempo itu sampai sekarang, sudah berselang dua puluh
tahun. Untung juga, pada tahun yang lalu, ketika mendaki Puncak Es, permusuhan dengan Loei
Tjin Tjoe dapat
dibereskan dan ia bisa pulang ke kampungnya, akan kemudian menikah dengan Gouw
Tjiang Sian. Bahwa sekarang ia bisa berada pula di Gobie san dan akan turut pula dalam
pertemuan Kiatyan,
sudah sangat mengharukan hatinya.
Sebagai isteri, Gouw Tjiang Sian mengetahui apa yang sedang dipikir suaminya dan
di waktu gembira, ia segera mengajak suaminya pergi ke tempat dimana dulu mereka
bertempur. Malam ini adalah sama dengan malam pada dua puluh tahun berselang, yaitu malaman
Kiatyan. Tapi beda dengan dulu, malam ini terang cemerlang disinari sang bulan,
dengan udaranya yang sangat bersih dan dengan "Sengteng" yang luar biasa. Di bawah
sinar terang laksana perak, segala apa dalam jarak setengah li, dapat dilihat tegas sekali.
Siauw Tjeng Hong
menunjuk tempat dimana dulu terjadi pertempuran dan sekali lagi menuturkan
segala kejadian itu.
Peristiwa itu sudah terjadi lama sekali, akan tetapi, pada saat itu, dalam
suasana yang sedemikian,
Siauw Tjeng Hong merasa seakan-akan segala sesuatu itu baru saja terjadi
kemarin. Gouw Tjiang San tertawa dan berkata: "Tak tahu dimana adanya Tokbeng Siantjoe
Tjia In Tjin sekarang ini. Apakah kau masih ingat kepadanya?"
"Tjia In Tjin mempunyai tangan yang telengas," kata sang suami. "Tapi, biar
bagaimanapun juga, ia adalah seorang yang mencinta sahabat. Terhadap sahabat begitu, siapapun
tak akan dapat melupakannya. Di samping itu, aku juga merasa sangat berterima kasih
terhadapnya. Ia
mengenal kau lebih dari aku."
"Kenapa begitu?" tanya Gouw Tjiang Sian.
Ia pernah mengatakan, bahwa kau adalah seorang wanita yang halus budi
pekertinya," Tjeng
Hong menerangkan. "Sekarang, aku juga mengetahui, bahwa kau adalah seorang
isteri yang sangat bijaksana. Sungguh sayang, aku adalah manusia goblok. Jika pada dua puluh
tahun berselang, aku sudah mengetahui perasaan cintamu, mungkin sekali aku tak usah
menderita sepuluh tahun di Tibet."
Siauw Tjeng Hong mengucapkan kata-kata itu dengan suara lemah lembut dan dengan
hati yang penuh kecintaan, sehingga si isteri merasa beruntung bercampur terharu.
"Aku sungguh ingin bertemu muka dengan Tjia In Tjin," kata Gouw Tjiang Sian
sembari mesem. "Tak tahu, apakah ia dan Thiekoay sian sekarang masih berada di Tibet," kata
sang suami. "Memang tak gampang orang dapat menemui mereka."
Selagi mereka berbicara, di tempat agak jauh, di antara daun-daun pohon kembang,
tiba-tiba muncul muka seorang wanita.
Ketika wanita itu memutarkan badan, baru kelihatan bahwa di punggungnya
menggemblok seorang bayi, yang mungkin karena terpukul cabang, mendadak sadar dari tidurnya
dan segera menangis. Hampir berbareng dengan itu, Siauw Tjeng Hong mengeluarkan teriakan tertahan.
Kedua matanya terbuka lebar sambil mengawasi wanita itu dengan mata mendelong.
"Siapa?" tanya Gouw Tjiang Sian.
"Tjia In Tjin!" jawabnya dengan suara di tenggorokan. Saat itu, hampir-hampir
Siauw Tjeng Hong tidak percaya matanya sendiri.
Tapi, sebelum mereka dapat bergerak atau memanggil, kesunyian sang malam
sekonyongkonyong
dipecahkan oleh bentakan: "Perempuan siluman! Kau masih mempunyai nyali untuk
datang pula di Gobie san?"
"Ha!" bentak seorang lain. "Kau kira kami tidak mengenali kau" Lagi dua puluh
tahun, biar kau
sudah mampus menjadi abu, kami toh masih mengenali kau!"
"Kami ingin berkenalan dengan cara-cara Tokbeng Siantjoe membetot jiwa manusia,"
kata orang ketiga dengan suara mengejek. (Tokbeng Siantjoe berarti Dewi Pembetot
Jiwa) Di lain saat muncul empat imam yang mengenakan pakaian hitam dan masing-masing
mencekal pedang. Mereka mengambil kedudukan di timur, selatan, barat dan utara
dan mengurung Tjia In Tjin dalam jarak sepuluh tombak.
Siauw Tjeng Hong menghela napas mengingat sakit hati manusia yang begitu
berlarut. Tak bisa
salah lagi, beberapa Toosoe itu sekarang ingin membalas sakit hati Loei Tjin
Tjoe yang didendam
selama dua puluh tahun. Tapi mereka mungkin tidak mengetahui, bahwa pada waktu
itu, dengan segala kesombongannya, Loei Tjin Tjoe telah memasang jebakan untuk mencelakakan
orang. Sebenarnya Siauw Tjeng Hong ingin segera tampil ke muka untuk membujuk. Tapi
mengingat, bahwa dalam peristiwa dulu, ia adalah salah seorang yang turut tersangkut dan
kalau sekarang ia
muncul besar sekali kemungkinannya ia akan terseret pula. Mengingat itu, ia
lantas saja mengurungkan niatannya dan mengambil keputusan untuk melihat dulu bagaimana
tindakan Tjia In Tjin. Ia segera menarik tangan isterinya dan mereka berdua bersembunyi di
belakang sebuah
pohon besar. Jika menuruti adatnya di waktu muda, siang-siang Tjia In Tjin sudah menghunus
pedangnya. Akan tetapi, sesudah berkelana dua puluh tahun dalam dunia Kangouw dan mendapat
berbagai pengalaman, "hawa apinya" sudah berkurang banyak. Ia menepuk-nepuk bayinya dan
berkata dengan suara tawar: "Moh Tayhiap telah meminjam Gobie san untuk mengadakan
Kiatyan. Orangorang
dari berbagai cabang persilatan semua diterima dengan tangan terbuka. Aku adalah
anggauta dari Gobie pay. Mengapa aku tak boleh datang kemari?"
"Moh Tayhiap adalah tetua Boetong pay kami," kata si imam yang berdiri di timur.
"Kau sudah
melukakan Toasoeheng Loei Tjin Tjoe, sehingga tak ketahuan dimana ia berada
sekarang. Apakah
kau masih mempunyai muka untuk mendengarkan petunjuk-petunjuk Moh Tayhiap?"
Toosoe yang berdiri di sebelah barat tertawa dingin dan berkata dengan suara
mengejek: "Loei
Tjin Tjoe telah roboh dalam tangan jahatmu. Apakah kau yang berkepandaian begitu
tinggi, sekarang ingin belajar dari Boetong pay yang ilmunya begitu cetek?"
Lagi-lagi Siauw Tjeng Hong menghela napas. Ia ingat bahwa sebagai partai,
Boetong pay mengalami jaman makmur pada masa kerajaan Beng. Sesudah itu, Boetong pay mulai
merojan. Belakangan, yaitu seratus tahun lebih yang lampau, Koei Tiong Beng telah
mendapatkan Tatmo
Kiamhoat yang asli. Semenjak itu, Boetong pay kembali naik namanya. Sekarang,
walaupun putera
Koei Tiong Beng, yaitu Moh Tjoan Seng, memiliki kepandaian yang sangat tinggi
dan cukup syaratsyaratnya
untuk meneruskan pekerjaan ayahnya, tapi ia adalah seorang yang sungkan pusing
dan tak sudi mengurus segala soal-soal yang dianggap remeh. Tjiangboen (pemimpin)
Boetong pay adalah seorang yang berilmu tinggi, tapi agak tolol, sehingga murid-murid Butong
tidak terlalu mengindahkan kepadanya. Demikianlah, seperti seratus tahun lebih yang lalu,
keadaan Boetong
pay kembali merosot.
Nama Boetong pay masih kesohor sebagai suatu partai besar, tapi sedalamdalamnya, orang
yang benar-benar berisi, jumlahnya sedikit sekali. Yang banyak adalah orangorang sombong. Mendengar disebutkannya nama Loei Tjin Tjoe, Tjia In Tjin mesem dan berkata:
"Biarpun mendapat luka sedikit, Loei Tjin Tjoe sudah mendapat keuntungan yang sangat
besar."
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keempat Toosoe itu lantas saja menjadi gusar. "Perempuan siluman!" bentak
seorang antaranya. "Sudah melukakan orang, masih kau mengeluarkan perkataan merdu."
Tjia In Tjin tadinya berniat untuk menceritakan segala kejadian di Puncak Es,
tapi melihat lagak
beberapa imam itu, ia sengaja mengurungkan niatannya. Ia mendongak dan berkata
sembari menarik napas panjang: "Sungguh sayang! Sungguh sayang!"
"Sayang apa?" empat Toosoe membentak dengan serentak.
Tjia In Tjin tak menyahut, tangannya kembali menepuk-nepuk bayinya. "Anak,
jangan takut,"
katanya. "Ini beberapa hidung kerbau boleh kau pandang sepi saja."
Kecil-kecil bayi itu sudah mengunjukkan sifat-sifatnya yang mengherankan. Tadi,
lantaran kesampok cabang pohon, ia menangis keras. Tapi sekarang, melihat empat Toosoe
itu yang mencekal pedang mengkilap, ia berbalik seperti orang kegirangan. Sembari
mengeluarkan kedua
tangannya yang kecil montok, ia tertawa lebar.
"Sungguh sayang," kata pula Tjia In Tjin. "Moh Tayhiap adalah guru besar dari
satu jaman dan tetua dari sebuah partai besar. Beliau dihormati oleh semua orang dari Rimba
Persilatan dan diakui
sebagai pemimpin utama. Tapi kamu" Kamu sendiri hanya menganggap beliau sebagai
seorang Tiangloo (paderi yang memimpin kuil) dari Boetong pay. Dengan begitu, bukankah
kamu sangat merugikan keangkeran beliau" Ah! Sungguh aku merasa sangat sayang, bahwa Boetong
pay sudah mempunyai murid-murid yang segoblok kamu!"
Keempat Toosoe itu adalah murid-murid Boetong pay yang mendapat didikan langsung
dari adik Moh Tjoan Seng, yaitu Tjio Kong Seng, yang sudah meninggal dunia beberapa
belas tahun yang lalu, dan mereka mempunyai kedudukan yang agak tinggi di dalam partai.
Dimaki secara begitu oleh Tjia ln Tjin, tentu saja mereka menjadi gusar sekali.
"Tjia In Tjin!"
bentak Toosoe yang berdiri di sebelah barat sambil mengebaskan pedangnya.
"Lepaskan anakmu!
Kami ingin belajar kenal dengan Tokbeng Kiamhoat!'
Tjia In Tjin tetap bersikap acuh tak acuh. "Hm!" ia menggerendeng. "Besok
Boetong pay bakal
mengalami peristiwa berdarah, tapi kamu masih tidak kenal takut dan masih ingin
menyukarkan aku. Sungguh membikin orang tertawa!"
Siauw Tjeng Hong terkejut. Ternyata Tjia In Tjin juga sudah mendapat endusan dan
perkataannya dikeluarkan secara begitu meyakinkan. Apakah ia mempunyai
pengetahuan yang
lebih jelas mengenai mara bahaya yang mengancam"
Beberapa Toosoe itu yang biasanya sombong, selalu menganggap bahwa di dalam
dunia ini tak ada manusia yang berani membentur partainya. Maka itu, mendengar peringatan
nyonya tersebut,
sebaliknya dari berterima kasih, mereka jadi semakin gusar.
"Mungkin sekali kaulah yang bersekutu dengan kaum siluman untuk mengacau," maki
imam yang berdiri di timur. "Lepaskan anakmu! Sambutlah pedang tuanmu!"
Mendengar bentakan keras, bayi itu yang sedang tertawa-tawa, menjadi kaget dan
menangis. "Aku sebenarnya sungkan meladeni kamu," kata Tjia In Tjin dengan paras muka
berubah. "Tapi
karena kau, hidung kerbau, sudah membikin nangisnya anakku, aku tak dapat
mengampuni lagi!"
Sebelum si Toosoe sempat membuka suara, sebuah sinar hijau sudah berkelebat.
Semenjak dulu, Tjia In Tjin kesohor cepat gerakannya. Begitu terhunus, pedang itu tahutahu sudah menyambar ke tenggorokan si imam yang dengan hati terkesiap, sedapat mungkin
coba menangkis. Dengan berbunyi "trang!", pedang Toosoe itu kutung menjadi dua. Sekali lagi
pedang berkelebat dan konde si imam terpapas separoh! Memang begitulah Kiamhoat Tjia In
Tjin. Sekali menghunus pedang, tak main sungkan-sungkan lagi. Muka Toosoe itu menjadi pucat
pias dan ia segera loncat mundur sejauh mungkin.
Bayi Tjia In Tjin mendadak berhenti mengangis dan kembali tertawa-tawa sambil
mengeluarkan suaranya yang tidak tegas, seolah-olah ia mengetahui kemenangan ibunya.
Siauw Tjeng Hong yang menonton dari jauh, jadi merasa geli. "Ah! Bayi itu
sungguh-sungguh
anak Thiekoay sian dan Tjia In Tjin," katanya di dalam hati.
Tiga Toosoe lainnya gusar bukan main. Tanpa memperdulikan lagi bayi yang sedang
digendong, mereka membentak dan terus saja menyerang. Beberapa saat kemudian,
sesudah dapat menenteramkan jantungnya yang bergoncang keras, Toosoe yang barusan
dihajar juga lantas menerjang dengan pedang kutungnya. "Berikan dua tanda di badan perempuan
siluman itu!" ia berteriak. "Tapi hati-hati! Jangan melukakan anak yang tidak berdosa
itu." Empat Toosoe itu lantas saja mengurung dengan Soesiang Kiamtin (Barisan Pedang
Empat Gaya) yang kepala buntutnya bergandengan satu dengan yang lain dan perlahanlahan mereka mendekati Tjia In Tjin.
Soesiang Kiamtin adalah salah satu barisan pedang dari Boetong pay. Cara
mengurungnya barisan itu rapat bukan main dan kecuali, jika seorang dua orang pengepung
dibinasakan, orang
yang dikepung tak akan gampang-gampang dapat meloloskan diri.
Pada mulut Tjia In Tjin tetap tersungging meseman tawar. Dengan keras ia mengebaskan
pedangnya sehingga mengeluarkan suara "ung, ung", siap sedia untuk membinasakan.
"Celaka!" Siauw Tjeng Hong mengeluarkan seruan tertahan. Baru saja ia ingin
loncat keluar untuk mendamaikan, tiba-tiba dari tanjakan gunung berkelebat bayangan manusia
yang gerakannya luar biasa cepatnya dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa aneh.
Dalam sekejap, orang itu sudah tiba di dekat gelanggang pertempuran.
Hampir berbareng empat Toosoe itu berteriak: "Aya!" dan serentak loncat keluar
gelanggang. "Toasoeheng!" mereka berseru.
Siauw Tjeng Hong mengenali, orang itu benar Loei Tjin Tjoe adanya. Bajunya, di
bagian atas, penuh darah, seperti baru saja bertempur dengan musuh. Ia berlompat-lompat dan
membentak: "Hian Boe! Hian Ham, bikin apa kamu! Hi-hi. Lekas berhenti! Hi-hi." Ia berpaling
kepada Tjia In Tjin dan berkata pula: "Tjia Toatjie, kau juga datang" Hi-hi!"
Perkataan-perkataannya itu, yang diseling dengan tertawa aneh, membikin ia jadi
kelihatan lucu sekali. Di samping itu, tak hentinya ia melompat-lompat, seperti juga tak
tahan merasakan
kesakitan atau kegatalan.
Loei Tjin Tjoe adalah murid kepala dari turunan kedua partai Boetong pay,
sehingga, kecuali
Tjiangboendjin, ialah yang paling tinggi kedudukannya. Maka itu, walaupun geli
melihat lagaknya
yang aneh, empat Toosoe itu tidak berani tertawa.
"Loei Tjin Tjoe, kenapa kau?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa.
"Kenapa kau bertempur dengan mereka?" Loei Tjin Tjoe balas menanya. "Hi-hi! Biar
mereka berdosa, kau harus pandang juga mukaku. Hi-hi!"
Tjia In Tjin yang barusan merasa geli, sekarang mengetahui, bahwa Loei Tjin Tjoe
telah menemui kejadian luar biasa. "Mereka mengatakan, aku sudah mendesak kau,
sehingga kau tak
ketahuan kemana perginya," Tjia In Tjin menerangkan. "Mereka mau juga bertempur
denganku. Bagus juga kau keburu datang. Jika tidak, jiwa Tokbeng Siantjoe berbalik lebih
dulu dibetot oleh
murid-murid Boetong."
"Dua puluh tahun yang lalu, dia menghina kau," kata seorang Toosoe. "Sekarang
dia menghina kami. Toasoeheng, tak dapat kita melepaskan dia."
"Dan juga," sambung imam yang lain. "Dia mengatakan, besok partai kita akan
mengalami peristiwa berdarah. Hm! Toasoeheng, apa boleh manusia itu dibiarkan mengaco
belo?" Mendadak, Loei Tjin Tjoe meloncat beberapa tombak tingginya. "Benar!" ia
berteriak. "Besok
bakal ada mara bahaya! Hi-hi! Kamu benar-benar sudah membikin malu Boetong pay.
Hi-hi!" Selagi badannya melayang turun, bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menggaplok empat
Toosoe itu yang lantas saja terguling sembari berkaok-kaok. Di lain saat, ia juga roboh di
atas tanah dengan
mulut mengeluarkan rintihan aneh dan badannya dingin bagaikan es.
Bukan main kagetnya keempat Toosoe itu, yang segera memeriksa keadaan kakak
seperguruan itu. Napas Loei Tjin Tjoe masih berjalan sebagaimana biasa dan nadinya pun tidak
berubah, tapi ia
tak dapat berbicara lagi.
"Buka bajunya," Tjia In Tjin memerintah dengan suara dingin. "Mungkin sekali
jalan darahnya kena ditotok."
Begitu baju Loei Tjin Tjoe dibuka, semua orang mengeluarkan teriakan kaget.
Dengan bantuan sinar rembulan, dapat dilihat, bahwa pada pundak Loei Tjin Tjoe terdapat bekas
tapak tangan yang berwarna merah darah dan di lain bagian terdapat tiga tanda totokan pada
jalan darah Mahiat
(jalan darah yang membikin orang merasa kesemutan), Yangyang hiat (jalan darah
yang menimbulkan rasa gatal) dan Siauwyauw hiat (jalan darah yang menimbulkan
tertawa). Empat Toosoe itu saling mengawasi dengan muka pucat. Mereka heran berbareng
takut. Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang sangat terpandang dalam Boetong pay dan sekarang,
ia sudah kena dilukakan secara begitu menyedihkan. Mengingat
perkataan Tjia In Tjin dan kakak seperguruannya, mereka bergidik. Jika begitu,
mungkin sekali besok akan terjadi peristiwa berdarah.
Meskipun Tjia In Tjin berkepandaian banyak lebih tinggi dari empat Toosoe itu,
tapi sesudah melihat luka Loei Tjin Tjoe dan tiga totokan jalan darah itu, ia juga tak dapat
mengetahui tangan
orang partai mana yang begitu beracun.
Tersipu-sipu empat Toosoe itu mengurut badan kakak seperguruannya untuk coba
membuka jalan darah yang kena ditotok. Tapi keadaan Loei Tjin Tjoe menjadi semakin
hebat. Rintihannya
jadi semakin keras dan keringat dingin membasahi seluruh badannya.
"Sudahlah, kamu jangan mengurut sembarangan," kata Tjia In Tjin. "Jika kamu bisa
menolong, apakah soeheng-mu tak dapat membuka sendiri jalan darahnya?"
Disemprot begitu, mereka yang sedang kebingungan, lantas saja naik darah. "Kalau
kami tak mampu, apakah kau mampu?" tanya seorang antaranya dengan aseran.
Tjia In Tjin yang sebenarnya bermaksud baik, jadi mendongkol. Tapi, sebelum ia
membalas menyemprot, di sebelah belakang mendadak terdengar suara tertawa. "Ia dijuluki
Tokbeng Siantjoe, si Dewi Pembetot Jiwa, bukan Kioebeng Siantjoe (Dewi Penolong Jiwa),"
kata seorang. Dengan serentak empat imam itu memutarkan badan dan di hadapan mereka berdiri
seorang pemuda baju putih, yang tak ketahuan kapan datangnya. Tjia In Tjin segera
mengenali, bahwa
pemuda itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang pernah naik ke Puncak Es dan
mengadu pedang dengan Pengtjoan Thianlie. Ia menjadi girang bukan main dan berkata
sembari tertawa:
"Dewa penolong jiwa sudah datang! Hei, kawanan hidung kerbau! Lekas berlutut
untuk memohon pertolongan!"
Melihat usia Keng Thian yang masih begitu muda, tentu saja mereka tak mau
percaya perkataan Tjia In Tjin yang dianggap hanya ingin mengejek. Mereka sudah lantas
ingin mengumbar kegusaran mereka, tapi Keng Thian keburu berkata: "Baiklah, aku
mencoba-coba. Tjia
Liehiap, dua kawan lama sedang menunggu kau!"
Sedari tadi Tjia In Tjin memang mengetahui, bahwa suami isteri Siauw Tjeng Hong
bersembunyi di belakang pohon. Sesudah Keng Thian menyanggupi untuk mengobati
Loei Tjin Tjoe, lantas saja ia berlalu.
Tong Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa luka Loei Tjin Tjoe berhawa sangat
panas dan berbau daging dibakar. Ia terkejut, sebab tak bisa salah lagi, itulah akibat
tangan Hiatsintjoe. Tapi
ia juga mengetahui, bahwa Hiatsintjoe hanya memukul dengan sebagian kecil
tenaganya untuk
memberi "tanda" dan bukan untuk membinasakan. Waktu memeriksa totokan jalan
darah, ia menjadi heran sekali, sebab totokan itu bukan totokan yang biasa digunakan oleh
ahli-ahli silat
wilayah Tionggoan. Sesudah berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat kepada
seorang. "Apakah
tak mungkin dia yang datang!" katanya di dalam hati.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan Pekleng tan yang lalu dikunyah dan kemudian
ditempelkan pada luka itu. Beberapa saat kemudian, Loei Tjin Tjoe sadar dari
pingsannya dan sesudah membalikkan badan, ia bangun berduduk dan mengawasi Tong Keng Thian.
Lantas saja ia mengenali, bahwa si baju putih adalah pemuda yang sudah merobohkan tiga belas
jago
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Khongtong pay itu dengan sekaligus. Walaupun tak mengetahui nama Keng Thian, ia
yakin bahwa pemuda itu adalah murid Thiansan pay.
"Hian Boe! Hian Ham!" ia berseru. "Lekas berlutut! Hi-hi!'
"Tak usah banyak peradatan," kata Keng Thian yang segera memberikan sebutir
Pekleng tan kepadanya untuk ditelan.
"Kau ketemu siapa?" tanya Keng Thian.
"Lebih dulu seorang kusta," jawabnya. "Hi-hi! Belakangan seorang siluman tua
yang rambutnya awut-awutan. Hi-hi!"
Dugaan Keng Thian ternyata tidak meleset. Kedua orang itu ternyata benar Kim Sie
Ie dan Hiatsintjoe adanya. Tapi kenapa mereka bisa berada bersama-sama"
"Bermula si penderita kusta menyerang aku," kata pula Loei Tjin Tjoe.
"Belakangan ia
menolong aku. Hi-hi!"
Sesudah diobati dengan Pekleng tan, rasa sakit dan panas sudah banyak mendingan,
tapi jalan darahnya belum dibuka, sehingga Loei Tjin Tjoe masih terus mengeluarkan tertawa
aneh. Keng Thian yang pernah bergebrak beberapa kali dengan Kim Sie Ie dan sudah
mengenal ilmu totokannya, buru-buru mengurut bagian badan Loei Tjin Tjoe yang perlu, untuk
membuka tiga jalan darah yang tertutup itu. Dilihat dari bekas-bekasnya, totokan itu dikirim
dengan gunakan tongkat besi dan biarpun cukup keras, sama sekali tidak merusak urat. Dilihat
begitu, Kim Sie Ie
rupanya hanya ingin guyon-guyon dan bukan mau mencelakakan orang. Meskipun tidak
ditolong, jalan darah itu akan terbuka dengan sendirinya, tapi harus menunggu dua puluh
empat jam. Begitu jalan darahnya terbuka, rasa kesemutan dan geli segera menjadi lenyap.
Untuk beberapa lama, Loei Tjin Tjoe duduk mengasoh dengan napas tersengal-sengal.
"Cara bagaimana, si kusta lebih dulu menyerang dan kemudian menolong kau?" tanya
Keng Thian. "Untuk menghadiri Kiatyan, terburu-buru aku datang kemari," Loei Tjin Tjoe
menerangkan. "Di
mulut gunung, aku bertemu dengan seorang yang menderita penyakit kusta. Aku
berpikir, peraturan kita begitu keras, kenapa si kusta dibiarkan datang mengganggu" Maka
itu, aku segera
coba mengusir dia. Ia menanyakan namaku. Aku memberitahukan sebenarnya dan
menambahkan bahwa masih untung dia bertemu aku. Jika dia bertemu Soetee-ku, bisa-bisa
jiwanya melayang.
Sesudah itu, aku memberikan beberapa tail perak kepadanya dan suruh dia lekaslekas pergi. Tak
dinyana, mendadak dia tertawa besar. Katanya: 'Kalau begitu kau Loei Tjin Tjoe"
Kudengar, di antara turunan kedua dari Boetong pay, kaulah yang berkepandaian paling tinggi."
Begitu katanya.
Aku heran, bagaimana ia mengetahui namaku. Di luar dugaan, sedang ia belum habis
tertawa, tongkatnya menyambar dan berhasil menotok jalan darahku beberapa kali. Aku tak
dapat mempertahankan diri lagi, lantas saja aku melompat-lompat dan tertawa seperti
orang gila. Dengan gusar aku mengambil putusan untuk bertarung mati-matian dengan ia. Tapi
dalam sekejap, ia sudah menghilang, entah kemana!"
Mendengar penuturan Soeheng-nya, empat Toosoe itu menjadi tercengang. Dalam
Boetong pay, Loei Tjin Tjoe mempunyai kepandaian tinggi dan bahwa ia sudah kena diserang
beberapa kali tanpa mampu membalas, merupakan satu bukti dari hebatnya ilmu si pengemis kusta.
Keng Thian merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Kau tentu saja tak
mengetahui, bahwa
Kim Sie Ie memang paling senang mengganggu orang-orang ternama dalam Rimba
Persilatan. Jika kau tidak memberitahukan namamu, kau tentu tidak akan mendapat gangguan
suatu apa. Tapi disurung kesombonganmu, kau sudah menonjolkan namamu yang dianggap besar.
Dengan begitu, sekalipun kau tidak mengusir-usir dia, kau tak akan bisa luput dari
guyonannya."
Sesudah mengasoh beberapa saat, Loei Tjin Tjoe segera melanjutkan penuturannya:
"Sesudah kena dipermainkan, sudah tentu aku menjadi gusar bukan main. Tak
terduga, baru saja
berjalan beberapa tindak, aku bertemu dengan manusia aneh yang rambutnya awutawutan seperti rumput. Dia ternyata mengenal diriku, sebab, begitu membuka mulut, dia
berkata: 'Loei Tjin Tjoe, kenapa kau tertawa begitu enak"' "Bukan urusanmu!" aku membentak
dengan aseran. Orang aneh itu mendelik dan berkata: 'Baiklah. Sekarang aku ingin memberi tanda
di badanmu, supaya kau dapat melaporkan kepada Moh Tjoan Seng.' Dengan cepat aku menghunus
pedang, tapi pada saat itu juga, aku merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas.
Hampir berbareng, kupingku mendengar suara menyeramkan dan si kusta kembali muncul.
'Siluman tua!' ia membentak. 'Mengertikah kau peraturan Kangouw" Kenapa kau campur-campur jual
beliku"' Si
orang aneh lantas saja loncat menyingkir, tapi tangannya yang menyambar luar
biasa cepat, sudah menowel pundakku."
Sekarang Keng Thian mengetahui, bahwa Hiatsintjoe bukan berbelas kasihan, tapi
oleh karena merasa jeri terhadap senjata rahasia Kim Sie le, ia tidak keburu menurunkan
tangan yang lebih
berat. Dengan pertolongan Thiansan Soatlian, racun panas yang mengeram dalam badan Loei
Tjin Tjoe sudah dapat diredakan, tapi luka di dalam belum menjadi sembuh. Sesudah
bicara banyak, ia
kelihatan lelah dan napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, beberapa murid
Boetong yang mendapat warta, sudah datang untuk memberi pertolongan.
"Loei-heng," kata Keng Thian. "Pergilah ke kuil untuk mengasoh. Dengan
menggunakan obat
biasa, dalam tiga hari, kesehatanmu akan pulih seperti sediakala."
Dua kali Loei Tjin Tjoe pernah bertemu dengan Tong Keng Thian, tapi ia belum
mengetahui nama pemuda itu. Tapi, baru saja ia ingin menanyakan, dengan sekali berkelebat,
badan si pemuda sudah melesat melewati pohon-pohon dan di lain saat, sudah tak kelihatan
lagi bayangbayangannya.
Empat Toosoe yang tadi mau mengepung Tjia In Tjin, saling mengawasi dengan mulut
ternganga. Sekarang mereka mengerti, bahwa di luar langit masih ada langit.
Keng Thian pergi tersipu-sipu oleh karena mengingat Pengtjoan Thianlie. Ia
memang sudah"
menduga, bahwa Kim Sie Ie akan datang di tempat Moh Tjoan Seng. Sekarang,
sesudah dugaan itu merupakan kenyataan, hatinya berdebar-debar. "Dia tentu datang bersama-sama
Peng Go," pikirnya. "Peng Go adalah seorang yang suka akan kebersihan. Ia sebenarnya
adalah pemuda cakap. Tapi kenapa ia muncul pula sebagai penderita kusta" Apakah ia tak kuatir
Pengtjoan Thianlie merasa jijik"' Ia menghela napas berulang-ulang. Memikirkan semua tekateki itu, otaknya
yang cerdas agaknya sudah tidak dapat bekerja sebagaimana biasa lagi.
"Dengan berjalan bersama-sama, Kim Sie Ie tentu juga sudah mengetahui, bahwa
Peng Go adalah keponakan Moh Tayhiap," kata Keng Thian pula dalam hatinya. "Ia tentu
tahu, Peng Go juga terhitung orang Boetong. Tapi, kenapa ia mempermainkan juga murid Boetong
pay" Sekalipun adatnya aneh, tak boleh ia berlaku begitu keterlaluan. Apa ia tak
takut kepada gusarnya
Pengtjoan Thianlie?"
Sembari jalan, otak Keng Thian bekerja terus. Berkata lagi ia dalam hatinya:
"Sesudah tiba,
kenapa Pengtjoan Thianlie tidak lantas menemui pamannya" Apakah ia sudah
ketularan sifat-sifat
Kim Sie Ie dan bermain-main dulu di dekat-dekat sini?"
Semakin berpikir, otaknya semakin butak, sehingga akhir-akhirnya ia mengambil
keputusan untuk tak tidur dan coba mencari Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie.
Selagi berjalan dengan pikiran pepat, matanya tiba-tiba melihat dua orang wanita
dan seorang pria sedang jalan berendeng di suatu tanjakan, di bawah pohon-pohon siong tua.
Wanita yang berjalan di sebelah kanan, menggendong bayi dan ia itu bukan lain daripada Tjia
In Tjin, sedang
dua orang lainnya adalah suami isteri Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian sungkan mengganggu mereka, tapi sambil lalu, ia mendengar Tjia In
Tjin berkata; "Tak salah! Yaitu orang yang berpenyakit kusta!"
Hatinya melonjak dan ia menghentikan tindakannya secara mendadak, sehingga
menerbitkan suara kresekan.
Tjia In Tjin menengok dan menanya sembari tertawa: "Bagaimana" Apakah keadaan
Loei Tjin Tjoe tidak berbahaya?"
"Untung juga Hiatsintjoe tidak mengunakan seantero tenaganya," jawab Keng Thian.
"Sesudah menelan Pekleng tan, kurasa jiwanya tidak terancam lagi. Sebenarnya, ia harus
berterima kasih
kepada si kusta."
"Apa?" menegasi Tjia In Tjin. "Ah! Lagi-lagi si kusta!"
Keng Thian lantas saja menceritakan apa yang didengarnya dari Loei Tjin Tjoe dan
menambahkan: "Tangan
Hiatsintjoe sangat beracun, tapi cara-cara si kusta yang aneh juga agak
menakutkan. Baik juga
aku mengenal ilmu totokannya. Jika tidak, Loei Tjin Tjoe harus tertawa dan
melompat-lompat
seperti orang gila dua puluh empat jam lagi. Sungguh sangat tak enak bagi Loei
Tjin Tjoe yang terkenal sebagai murid utama dari turunan kedua partai Boetong pay."
Tjia In Tjin terkesiap. "Ah, untung aku ditolong oleh seorang berilmu," katanya.
"Kalau tidak,
aku pun harus menjadi korban si kusta itu!'
"Kau juga bertemu dengan ia?" tanya Keng Thian.
"Benar," sahut Tjia In Tjin. "Selagi dia mau menimpuk jalan darahku dengan batu,
seorang wanita muda yang tak mau menampakkan diri, sudah menggebah ia."
"Wanita mana yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?" tanya pula Keng Thian
dengan penuh keheranan. "Apakah Pengtjoan Thianlie?"
Nyonya itu tidak lantas menjawab. Ia menepuk-nepuk bayinya yang sudah pulas
nyenyak dan mulutnya bersenyum manis, seolah-olah sekuntum bunga yang indah mendadak muncul
di tengah hutan belukar. "Jika kau ingin mengetahui, bagaimana aku bertemu dengan si kusta, aku harus
bercerita dari kepala sampai di buntut," jawabnya.
Keng Thian manggutkan kepalanya dan segera memasang kuping. Tjia In Tjin
menepuk-nepuk pula anaknya. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Coba lihat! Sama sekali tak
mirip dengan ayahnya." "Sangat mirip dengan kau," celetuk Siauw Tjeng Hong. "Di kemudian hari ia tentu
akan menjadi seorang pendekar muda yang cakap dan ganteng." Dengan berkata begitu Siauw Tjeng
Hong sebenarnya ingin memuji kecantikan nyonya itu.
Tjia In Tjin mesem. "Kau datang dari Tibet, apakah ayah anak ini masih berada di
Puncak Es?"
tanyanya kepada Keng Thian. "Waktu terjadi gempa bumi, aku sedang memetik daun
obat. Belakangan jalan kembali sudah tertutup lahar, sehingga aku terpaksa pulang
lebih dulu. Aku
sangat kuatirkan keselamatan mereka. Hari itu, aku melihat keraton es masih
berdiri, hanya aku
tak tahu bagaimana keselamatan mereka."
Keng Thian merasa sangat pilu. Siauw Tjeng Hong tak tahu, tapi ia tahu, Thiekoay
sian sudah pulang ke alam baka dan dalam dunia ini, Tjia In Tjin tak bisa bertemu pula
dengan suaminya.
Melihat paras muka nyonya itu, tak tega ia menyampaikan warta jelek itu. Maka
itu, lantas saja ia
menjawab secara samar-samar: "Aku tidak naik lagi ke keraton es dan tak tahu
keadaan suamimu.
Sesudah Kiatyan, kau boleh pergi ke Sakya untuk menemui muridmu, Tan Thian Oe,
yang tentu bisa memberikan keterangan terlebih jelas."
Mendengar jawaban itu, Tjia In Tjin merasa agak heran, tapi ia tidak mendesak
terlebih jauh dan mulai dengan penuturannya. "Sebenar-benarnya, sudah lama aku ingin datang
kesini untuk menemui Moh Tayhiap guna memberitahukan, bahwa keponakan perempuannya berada di
atas Puncak Es, di gunung Nyenchin Dangla," katanya. "Tapi karena anak ini, sampai
sekarang baru niatan itu terwujud. Sebelum berangkat, aku sudah medengar desas-desus tentang
adanya beberapa orang yang ingin menyukarkan Moh Tayhiap dalam Kiatyan kali ini.
Tadinya aku tidak
begitu percaya, tapi siapa nyana aku sendiri mendapat buktinya. Kalau tak salah,
besok bakal ramai sekali."
"Apa?" Keng Thian menegas. "Di samping si kusta, apakah kau bertemu dengan orang
lain?"
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak salah," Tjia In Tjin membenarkan. "Tadi, kira-kira magrib, baru saja aku
masuk ke mulut jalan gunung, anakku lapar. Aku segera bersembunyi di belakang sebuah batu besar
dan menetei ia. Tiba-tiba aku mendengar suara tindakan beberapa orang yang sedang memasuki
lembah. Aku mengintip dan mendapat kenyataan, bahwa mereka itu adalah beberapa Toosoe
Boetong pay, bersama Tjoei In Tjoe. Agaknya mereka sedang bertengkar. Mendadak aku mendengar
suara Tjoei In Tjoe yang sangat keras: 'Loei Toako tidak mati! Ia menjanjikan aku supaya
malam ini berkumpul di Kimkong sie. Jika kamu masih tidak percaya, sebentar kamu bisa
menyaksikan dengan mata sendiri.' Agaknya ia dan Loei Tjin Tjoe telah mengambil jalan yang
berlainan. Maka
itu, waktu tadi bertemu dengan Loei Tjin Tjoe, aku tidak menjadi heran. Beberapa
Toosoe itu lantas saja mengatakan sesuatu, tapi tak dapat didengar olehku. Di lain saat,
Tjoei In Tjoe berteriak: 'Itu semua tak ada sangkut-pautnya dengan Tokbeng Siantjoe Tjia In
Tjin! Semuasemua
adalah main gilanya Ong Loei Tjoe!' Mendengar namaku disebut-sebut, lantas saja
aku memasang kuping dengan lebih sungguh-sungguh"
"Beberapa Toosoe itu agaknya merasa sangat heran. 'Tapi bukankah Ong Lioe Tjoe
saudara angkatmu"' seru satu antaranya. 'Benar,'jawab Tjoei In Tjoe. 'Tapi dia adalah
murid Khongtong
pay. Khongtong pay...'
"Baru saja Tjoei In Tjoe berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suatu
teriakan aneh dan dari
atas cadas berkelebat turun sesosok bayangan manusia yang lantas menubruk Tjoei
In Tjoe." "Tjoei In Tjoe mengangkat gendewanya untuk menangkis. Sekonyong-konyong
terdengar suara
nyaring dan teriakan Tjoei In Tjoe yang menyayatkan hati dan ia lantas roboh di
atas tanah. Hampir berbareng dengan itu, serupa benda hitam turun melayang ke arah
kepalaku!"
Tjia In Tjin bergelar si Dewi Pembetot Jiwa. Dalam kalangan Kangouw, orang
lainlah yang takut
terhadapnya. Tapi, di waktu menutur sampai disitu, paras mukanya berubah pucat
dan suaranya agak gemetar. "Apakah itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Tjia ln Tjin menghela napas dan menjawab: "Sinkiong (Gendewa Malaikat) Tjoei In
Tjoe yang sudah berubah lempang bagaikan tongkat besi. Coba pikir: Dengan sekali sambar,
sekali membetot, senjata Tjoei In Tjoe sudah berubah menjadi begitu!"
Mendengar itu, Keng Thian ternganga. Bahwa orang itu bisa membetot dan
melemparkan gendewa tersebut dalam tempo sekejap mata, terlebih pula busur yang tadinya
melengkung sudah
kena dibetot menjadi lurus, adalah suatu kejadian yang sungguh-sungguh luar
biasa, la sendiri
belum tentu mampu berbuat begitu!
"Itu masih belum seberapa," kata pula Tjia In Tjin. "Sinkiong Tjoei In Tjoe
adalah senjata mustika. Talinya yang terbuat dari benang-benang emas, tak dapat diputuskan
dengan senjata tajam. Tapi sekarang, tali itu putus seanteronya dan benang-benangnya berkibarkibar di tengah
udara. Jika hanya putus beberapa lembar benang, aku juga tidak merasa heran.
Tapi orang itu,
dengan sekali mengebas, sudah memutuskan semua tali itu. Jika tak melihat dengan
mata sendiri, aku pun tak akan percaya."
"Apakah orang itu seorang imam tua yang mengenakan jubah pertapaan warna
kuning?" tanya
Keng Thian. "Bukan," jawabnya sembari menggelengkan kepala. "Dilihat dari mukanya, ia baru
berusia tiga puluh tahun lebih. Orangnya tinggi kurus, rambutnya awut-awutan seperti rumput
dan di bawah sinar rembulan, mukanya putih meletak, sehingga aku sendiri jadi bergidik."
"Ih!" kata Keng Thian, terkejut. "Kalau begitu, dia bukan Hongsek Toodjin! Dalam
dunia ini, kecuali beberapa Tjianpwee dari partai-partai yang murni, siapa lagi yang
mempunyai kepandaian
begitu tinggi?"
Siauw Tjeng Hong juga heran bukan main, tapi sebagai orang yang berpengalaman
luas, ia segera dapat mengutarakan pikirannya. "Dilihat begini," katanya. "Kalau orang
itu bukan Khongtong pay, tentu juga ia mempunyai sangkut paut rapat dengan partai
tersebut. Maka itu, di
waktu Tjoei In Tjoe menyebut nama Khongtong pay, ia segera menyerang untuk
menutup mulutnya."
Keng Thian lantas saja ingat akan pengalamannya di waktu Loei Tjin Tjoe dikepung
oleh Tio Leng Koen dan dua belas kawannya. "Tak salah," katanya. "Sejumlah orang
Khongtong pay, di
bawah pimpinan Tio Leng Koen, sudah menghamba kepada kerajaan Tjeng dan berniat
membasmi orang-orang Boetong yang melawan bangsa Boan di daerah Sinkiang."
"Apakah Tjoei In Tjoe ditotok jalan darah gagunya?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Lebih dari itu!" sahut Tjia In Tjin. "Gendewa itu jatuh di pinggir badanku dan
sedikitpun aku tidak berani bergerak. Untung anakku sudah kenyang dan sudah pulas. Dengan hati
berdebardebar, aku mengintip dari sela-sela batu. Sesudah merobohkan Tjoei In Tjoe, bagaikan
kilat, orang itu mengerjakan kedua tangannya."
"Beberapa Toosoe itu mengeluarkan teriakan 'a-a u-u' yang luar biasa dan
melompat-lompat
seperti orang menginjak bara. Orang itu tertawa seraya berkata: 'Sekarang kamu
tak bisa menggoyang lidah sembarang lagi.' Di lain saat, bagaikan seekor kera,
bayangannya sudah berada
di tanjakan gunung, tapi suara tertawanya yang membangunkan bulu roma masih
berkumandang terus di selat gunung yang sunyi."
"Sesudah orang itu pergi jauh, dengan memberanikan hati, aku keluar dari tempat
sembunyi untuk melihat keadaan para korban itu. Bermula aku menduga mereka hanya ditotok
jalan darah gagunya. Tapi segera juga hatiku mencelos, sebab beberapa Toosoe itu, berikut
Tjoei In Tjoe, sudah dikutungkan lidahnya! Setelah memeriksa, aku mendapat kenyataan, bahwa
tulang pundak mereka juga dipukul hancur, sehingga mereka bukan saja menjadi orang gagu, tapi
juga bercacat untuk seumur hidupnya, tanpa mempunyai lagi kepandaian silat."
Suami isteri Siauw Tjeng Hong kaget bukan main. "Kenapa dia begitu kejam?" tanya
Tjeng Hong. "Lebih kejam seratus kali daripada si penderita kusta! Si kusta hanya
main-main, tidak
melukakan orang secara sungguh-sungguh."
Tong Keng Thian tidak berkata suatu apa dan Tjia In Tjin lantas saja meneruskan
penuturannya: "Sorot mata mereka seperti orang berotak miring, mulut mereka
ternganga tak bisa
ditutup dan juga tak dapat mengeluarkan suara. Otot-otot muka mereka pada timbul
dan kelihatannya sangat menakutkan. Tentu saja dengan seorang diri, aku tidak bisa
menggendong mereka. Maka itu, tanpa memperdulikan bahaya, jalan satu-satunya adalah memberi
warta ke Kimkong sie. Secepat mungkin aku berlari-lari. Tapi baru saja keluar dari selat
gunung, aku melihat belasan Toosoe yang membawa obor, masuk ke dalam mulut selat lain.
Mereka berkaokkaok,
memanggil-manggil saudara-saudara seperguruannya. Agaknya sesudah mendengar
teriakan-teriakan luar biasa, mereka berkuatir dan lalu mencari saudarasaudaranya itu. Hatiku
menjadi agak lega, tapi aku merasa, biar bagaimanapun juga, aku harus melaporkan
kejadian itu kepada Moh Tayhiap. Demikian aku terus mendaki gunung. Tapi, di luar dugaan,
sebelum tiba di
Puncak Emas, aku bertemu dengan si penderita kusta!"
Tong Keng Thian mesem dan berkata: "Si kusta tentu juga sudah mendengar nama
besar Tokbeng Siantjoe, sehingga ia sengaja mengganggu kau."
"Ya," kata Tjia In Tjin. "Aku tak tahu, bagaimana ia bisa mengenal aku. Waktu
itu, Kimkong sie
sudah dekat sekali dan gedungnya sudah bisa dilihat nyata dari jauh. Mungkin
lantaran aku berlari
terlalu cepat, anakku mendusin dan menangis. Aku berhenti dan mengusap-usap
tubuhnya. Saat itu hatiku sedih oleh karena mengingat, bagaimana seorang diri dan dengan
menggendonggendong
anak, aku terombang-ambing di dalam dunia. Sambil menepuk-nepuk anakku, aku
berkata: "Ah! Jika ayahmu berada disini, bahaya apapun juga kita tak usah takuti
lagi!' Anak itu
seolah mengerti perkataanku dan ia lantas saja berhenti menangis. Selagi mau
meneruskan perjalananku, di atas kepalaku mendadak terdengar suara tertawa. Aku mendongak
dan disitu, di atas sebuah batu besar, duduk bersila seorang penderita kusta yang macamnya
sungguh-sungguh
menakutkan. Aku terkejut, lebih terkejut daripada tadi!"
"Si kusta mengawasi aku dan tertawa haha-hihi. 'Apakah kau bukannya Tokbeng
Siantjoe Tjia In Tjin"'" tanyanya.
"Sesaat itu, aku ingat warta yang tersiar dalam kalangan Kangouw tentang
munculnya seorang
penderita kusta yang sangat ditakuti. Dengan memberanikan hati, aku berkata:
'Eh, jangan menakut-nakuti anakku!' si kusta menyengir dan berkata pula: 'Hei! Bukankah kau
Tokbeng Siantjoe" Kau sendiri yang takut, sebaliknya kau mengatakan anakmu yang takut
kepadaku!' Sehabis berkata begitu, ia membuat lagak seperti monyet dan mengeluarkan suara
lucu. Entah bagaimana, anakku jadi tertawa. Ia kelihatan girang sekali. 'Nah, lihatlah!'
katanya. 'Anakmu tak
takut padaku. Eh, bukankah suamimu yang dipanggil Thiekoay sian" Kenapa ia tidak
bersamasama kau"' Aku tak menjawab sebab sedang mencari jalan untuk menghadapi gangguannya.
Si kusta tertawa pula dan berkata: 'Sayang! Sungguh sayang! Jika suamimu turut
datang, bukankah
aku dapat meminta pengajaran dari seorang yang namanya begitu kesohor"' Dia
mengenakan pakaian rombeng seperti pengemis dan senjatanya juga sebatang tongkat besi,
sehingga mirip sekali dengan ayah anakku. Beberapa saat kemudian, ia berkata lagi: 'Eh, jelek
bagus aku adalah
sekaum dengan suamimu. Kenapa kau tak meladeni"'
"Darahku mulai naik. Aku meraba gagang pedang dan membentak supaya ia
menyingkir. 'Baiklah,' katanya. 'Tapi dengan satu syarat, yaitu kau harus tertawa dulu
terhadapku.' Aku tak
dapat menahan sabar lagi, dengan menghunus pedang, aku menerjang.
"Dia lagi-lagi tertawa dan berkata: 'Ha, galak benar kau! Aku tak membetot
jiwamu, hanya ingin melihat tertawamu yang manis. Kenapa kau lantas marah"' Sembari berkata
begitu, tangannya menjumput sebuah batu yang lantas dicengkeram, sehingga menjadi
hancur. Di lain
saat, ia mengayun tangannya dan hancuran batu itu menyambar ke arahku!"
Keng Thian mesem dan berkata: "Bukankah serangannya seperti serangan terhadap
Nenek Bongkok 3 Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala Patung Dewi Kwan Im 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama