Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 9

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 9


manusia. Akan tetapi, pada waktu para Lhama sekte Topi Putih melarikan diri ke Tjenghay,
mereka sudah bisa menetap disitu karena bernaung di bawah perlindungan Khan. Maka itulah,
begitu mendengar
perkataan Tukuhun Khan, Hoat-ong segera kerutkan alisnya dan paras mukanya
memperlihatkan kesangsian yang sangat sukar di atasinya.
Sementara itu, setelah mendengar permintaan Tukuhun Khan, Tong Keng Thian lantas
saja naik darahnya. Ia merasa, raja itu mempunyai maksud yang kurang baik. Walaupun
gadis itu bukannya Yoe Peng, Keng Thian sangat tak setuju, jika ia terjatuh kedalam tangan
Khan itu. Selagi memutar otak untuk mencari jalan guna memberikan pertolongan, dari antara
tamu-tamu agung mendadak keluar satu orang yang, sesudah memberi hormat kepada Hoat-ong,
segera berkata dengan suara nyaring: "Perempuan siluman itu agaknya mempunyai riwayat
yang mencurigakan. Maka itu, aku memohon izin Budha Hidup untuk menjajal padanya."
Keng Thian terkejut karena mengenali orang itu yang ternyata bukan lain daripada
In Leng Tjoe, yaitu konconya Hiatsintjoe, yang pernah berusaha menangkap Liong Leng
Kiauw. Sebagaimana diketahui, In Leng Tjoe adalah kaki tangan Kaizar Boan yang berada
dalam perjalanan pulang ke kota raja, untuk melaporkan halnya Liong Leng Kiauw. Oleh
karena ia kenal
Raja agama sekte Topi Putih, maka waktu tiba di Tjenghay, ia mampir dan turut
menghadiri upacara sembahyang itu.
Dalam perhubungan antara kerajaan Tjeng dan Tukuhun Khan, meskipun benar Khan
tersebut dapat dikatakan berdiri sendiri, akan tetapi secara resmi Tjenghay masih berada
dalam kekuasaan
Kaizar Boan. Oleh karena itu, mengingat In Leng Tjoe adalah orang penting dalam
istana Tjeng, maka biarpun sangat gusar, Tukuhun tak berani sembarang mengumbar napsunya.
Parasnya lantas saja jadi berubah dan ia menanya dengan suara dingin: "Cara bagaimana kau
ingin menjajal ia?"
"Khan yang Besar tak usah kuatir," jawabnya. "Biarpun bagaimana juga, aku tak
akan merusak paras mukanya."
Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, tanpa memperdulikan kegusaran
Khan dan juga tanpa menunggu persetujuan Hoat-ong, ia segera menghampiri Chena dan
menotok dada gadis itu dengan kedua jerijinya.
Totokan itu adalah satu serangan hebat dan dilihat dari cara ia menurunkan
tangan, In Leng
Tjoe kelihatannya ingin memaksa supaya Chena menangkis pukulannya.
Latar belakang dari tindakan itu adalah seperti berikut: Ketika baru tiba di
kota Naichi, ia
mendengar halnya seorang wanita yang sudah merobohkan beberapa Lhama dengan
semacam senjata yang membikin orang kedinginan. Seperti Keng Thian, ia segera menarik
kesimpulan, bahwa wanita itu adalah Yoe Peng. Barusan, sesudah melihat Chena, baru ia
mengetahui, bahwa
gadis itu bukan Yoe Peng. Akan tetapi, Pengpok Sintan adalah senjata rahasia
istimewa yang hanya terdapat di keraton es. Maka itu, meskipun Chena bukan dayang Pengtjoan
Thianlie, akan tetapi, dengan mempunyai Pengpok Sintan, ia tentu mempunyai hubungan rapat
dengan Koei Peng Go. Sebagaimana diketahui suami isteri In Leng Tjoe pernah dihajar oleh
Pengtjoan Thianlie
dan mereka sangat membenci gadis tersebut. Itulah sebabnya, mengapa lantas saja
In Leng Tjoe mengambil putusan untuk mempersulit Chena dan dengan totokannya itu, ia ingin
mencari tahu, apakah ilmu silat gadis itu sama dengan ilmu silat Koei Peng Go.
Melihat orang menurunkan tangan jahat. Tukuhun Khan lantas naik amarahnya.
"Jangan celakakan Wanita Suci!" ia membentak sembari loncat bangun dan teriaki orangorangnya supaya
maju menolong. In Leng Tjoe tidak memperdulikan bentakan itu dan dua jerijinya terus menotok
dada Chena. Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dan badan In Leng Tjoe melesat ke atas
setombak lebih,
dan berbareng dengan itu, dua pahlawan Tukuhun Khan jatuh terlentang tanpa bisa
bangun lagi. Di lain saat, orang melihat In Leng Tjoe memegang pergelangan tangannya, mukanya
pucat dan keringatnya mengucur turun dari dahinya. Ia kelihatan menderita kesakitan hebat
dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Hoat-ong terkesiap, ia sungguh tak mengerti bagaimana bisa terjadi peristiwa
begitu. Ia kenal
kepandaian In Leng Tjoe yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya
sendiri. Biarpun
wanita itu pandai ilmu silat, ia mengetahui, bahwa kepandaiannya belum seberapa
dan masih kalah jauh dari kedua pahlawannya sendiri. Maka itu, ia tidak mengerti, cara
bagaimana In Leng
Tjoe bisa kena dihajar secara begitu mudah. Dengan matanya yang sangat tajam, ia
mengetahui, bahwa In Leng Tjoe terluka pada jalan darahnya akibat serangan senjata rahasia.
Dan sungguh luar biasa, ia sendiri tak dapat melihat, senjata apa yang sudah digunakan untuk
menghantam In Leng Tjoe. Dalam kagetnya, tanpa mengingat kedudukannya sebagai Budha Hidup, ia segera
berdiri dan menghampiri In Leng Tjoe guna menyelidiki terlebih jauh.
Sekonyong-konyong Chena merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara
halus: "Terima kasih untuk budi Budha Hidup yang sangat besar. Aku yang rendah mulai
dari sekarang bersedia untuk mempersembahkan jiwa dan raga kepada Sang Budha dan bersedia pula
untuk menjadi pengikutnya selama-lamanya."
Pernyataan Chena sudah membikin Ibu Suci dan semua Lhama jadi terkejut. Dua hari
ia tak makan dan tak minum, dua hari ia menolak segala rupa bujukan. Sungguh di luar
dugaan, bahwa pada saat itu, ia sudah menyatakan persetujuannya tanpa diminta lagi.
Begitu mendengar perkataan Chena, sang Ibu Suci segera mengucapkan doa, sebagai
tanda, bahwa keinginan gadis itu sudah diterimanya dan disetujui pula.
Sekonyong-konyong, Hoat-ong yang matanya sangat tajam melihat semacam perhiasan
luar biasa yang tergantung pada dada Chena. Perhiasan itu dibuat daripada sepotong
gading dan berbentuk bundar dengan ukiran huruf-huruf Sansekerta. Itulah sebuah Lenghoe
(jimat) untuk menjaga keselamatan yang biasa diberikan oleh pemimpin agama Lhama kepada
pengikutpengikutnya
yang berjasa dan suci bersih. Dalam agama Lhama, gajah putih dipandang sebagai
hewan yang paling mulia.
Maka itu Lenghoe yang terbuat dari gading merupakan jimat yang dianggap paling
tinggi khasiatnya dan jarang diberikan kepada seorang wanita.
Chena adalah puteri tunggal Chinpu Hoan-ong, yang dulu paling berpengaruh dan
paling luas wilayahnya di Tibet. Semasa hidupnya, Chinpu banyak berjasa terhadap agama Lhama
dan itulah sebabnya, mengapa pada waktu Chena berusia tiga tahun, Panchen Lhama telah
menghadiahkan Lenghoe gading itu. Dalam kalangan Lhama terdapat suatu kepercayaan, bahwa jimat
tersebut mempunyai kekuatan untuk menolak segala "barang kotor."
Walaupun pernah berseteru, sekte Topi Kuning dan Topi Putih bersumber satu. Dari
sebab begitu, Lenghoe yang diberikan oleh Raja agama sekte Topi Kuning atas nama
Budha, juga diindahkan oleh Raja agama dari sekte Topi Putih.
Ketika itu, Hoat-ong yang masih belum mengetahui asal-usul Chena, sudah menduga
bahwa gadis itu adalah Wanita Suci dari sekte Topi Kuning. Mendengar Chena bersedia
untuk menjadi Wanita Suci dari agamanya sendiri, sudah tentu saja ia jadi merasa girang
sekali. Tapi sebelum ia
keburu membuka suara, In Leng Tjoe sudah berteriak-teriak seperti orang gila.
Ternyata, ia sudah
berhasil membuka jalan darahnya dan dalam gusarnya, ia sudah berteriak-teriak.
"Lukamu masih belum sembuh, tak dapat kau banyak bergerak," berkata Hoat-ong
dengan suara tawar. In Leng Tjoe terkejut dan menghentikan teriakannya. Mendadak, Tukuhun Khan
menghampirinya dengan diikuti dua pahlawannya. "Bekuklah orang hutan ini!" ia
membentak. "Siapa berani mengganggu Wanita Suci kami!"
Selagi kedua pahlawan itu coba menangkap In Leng Tjoe, Tukuhun Khan mendekati
Chena. Hoat-ong mesem dan berkata dengan suara nyaring: "Oh, Khan Yang Besar!
Perkataanmu tiada
salahnya. Ia sekarang sudah menjadi Wanita Suci dari agama kami, siapa pun tak
boleh mengganggu padanya!"
Muka Khan lantas saja berubah, tapi ia tidak berani bergerak lebih jauh.
"Sesudah ia mendapat
perlindungan Budha Hidup, aku pun tak mau banyak urusan lagi," katanya dengan
suara perlahan,
tapi mukanya kelihatan menyeramkan sekali.
Heran sungguh hati semua Lhama yang berada disitu. Inilah untuk pertama kali
mereka menyaksikan bentrokan antara Hoat-ong dan Khan Yang Besar. Mereka merasa sangat
tidak mengerti, mengapa Tukuhun Khan rela berselisih dengan Hoat-ong untuk seorang
wanita yang sama sekali tidak diketahui siapa adanya.
Baru saja Tukuhun Khan memutar badan, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan.
Ternyata, kedua pahlawannya yang mau membekuk In Leng Tjoe sudah dirobohkan orang yang mau
ditangkap. Bukan main gusarnya Tukuhun Khan. Sedang terhadap sang Budha Hidup ia tak dapat
berbuat suatu apa, sekarang ia melampiaskan perasaan mendongkolnya terhadap In Leng
Tjoe. "Bekuk padanya!" ia berteriak sekeras-kerasnya. Para
pahlawannya yang berjajar di lorak dengan serentak menyerbu ke atas untuk
menjalankan perintah sang raja.
Keng Thian menyaksikan semua kejadian itu dengan perasaan geli. "Aku mau lihat,
cara bagaimana Hoat-ong membereskan peristiwa ini," katanya di dalam hati.
Perlahan-lahan Raja agama itu menghampiri Tukuhun Khan. Mendadak, dua bayangan
melesat dari samping Hoat-ong dan bagaikan dua ekor garuda, mereka menyambar ke arah
Chena. Kedua bayangan itu adalah dua murid Hoat-ong, ialah Lhama jubah putih yang pernah
bertempur dengan
Keng Thian pada waktu perebutan guci emas. Di waktu itu, mereka berdua pernah
mendapat bantuan In Leng Tjoe dan sekarang, ketika melihat In Leng Tjoe mendapat luka,
tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera menyerang Chena. Mereka menganggap In Leng Tjoe
telah dilukakan
oleh Chena dan sama sekali tidak teringat, bahwa kepandaian ln Leng Tjoe masih
lebih tinggi dari
kepandaian mereka sendiri dan tentu saja banyak lebih tinggi daripada kepandaian
Chena. Di samping itu, mereka sangat membenci Chena, oleh karena gadis itu pernah
melukakan beberapa
Lhama. Barusan, melihat sikap Hoat-ong, mereka kuatir Raja agama itu akan
mengampuni Chena.
Pada waktu menerjang, mereka belum mendengar terang perkataan Hoat-ong yang
diucapkan terhadap Tukuhun Khan dan mereka juga tidak memperhatikan gading yang tergantung
pada dada gadis tersebut.
Ketika Hoat-ong menghampiri Tukuhun Khan, ia sedang memutar otak untuk mencari
jalan guna meredakan keributan itu, maka ia tidak dapat melihat gerakan kedua Lhama
yang semberono itu dan waktu ia mengetahui adanya serangan tersebut, ia sudah tidak
keburu mencegah lagi. Pada saat yang sangat genting, dari sebelah luar tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang sangat
nyaring, dan pada detik itu juga, kedua Lhama itu bergemetar sekujur badannya
dan meloncat setombak tingginya.
Semua orang terkesiap dan menengok ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua
orang wanita muda, dengan muka bersenyum, sedang maju menghampiri dengan tindakan ayu.
Wanita yang berjalan di sebelah depan mengenakan pakaian warna biru laut, mukanya
bundar laksana bulan, alisnya melengkung dan kedua matanya yang berwarna kebiru-biruan bersinar
terang sekali. Dengan kecantikan-nya yang luar biasa dan sikapnya yang agung, ia sudah
membikin semua orang terpesona, antaranya In Leng Tjoe sendiri yang mengawasi dengan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulut ternganga. Wanita yang berjalan di sebelah belakang, memakai pakaian yang hampir sama
dengan wanita yang pertama, tetapi rambutnya dikepang dan diikat dengan sutera merah. Paras
mukanya, yang bagaikan paras bocah nakal, kelihatan seperti mau tertawa, tapi bukan tertawa la
mengikuti wanita yang pertama, seperti caranya seorang budak mengikuti majikannya.
Melihat kedatangan mereka, Hoat-ong kaget tak kepalang. Harus diingat, bahwa
dalam ruangan itu terdapat empat sampai lima ratus orang dan halaman di luar gedung
dijaga oleh para
Lhama yang jumlahnya tidak sedikit. Bahwa kedua wanita itu muncul secara tibatiba tanpa diketahui dulu oleh orang lain, adalah kejadian yang benar-benar luar biasa.
Tapi orang yang paling terpengaruh oleh kedatangannya kedua wanita itu mungkin
adalah Tong Keng Thian sendiri, oleh karena mereka bukan lain daripada Pengtjoan
Thianlie dan Yoe
Peng! Dalam kaget dan girangnya, hampir-hampir ia berteriak.
Di lain saat, Koei Peng Go sudah berdiri di samping Chena. Begitu mengenali si
nona yang dulu sudah membantu melindungi guci emas, kedua Lhama jubah putih yang semberono itu
menjadi sangat gusar dan tanpa banyak bicara, mereka lalu menjotos.
Badan Pengtjoan Thianlie sama sekali tidak bergerak. Pada saat empat buah tinju
hampir mengenakan tubuhnya, tiba-tiba ia mengebas dengan tangan jubahnya dengan
menggunakan ilmu Tjiam-ic sippattiat (Delapan belas cara merobohkan musuh dengan Kebasan
baju), yaitu ilmu
silat yang paling tinggi dan harus digunakan dengan tenaga dalam yang sangat
besar. Begitu dikebas, badan kedua Lhama itu yang seperti kerbau besarnya lantas terpental
serombak (Kulinya
dan menggelinding sampai di kaki Hoat-ong.
Di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah menarik tangan Chena dan lalu bertindak
keluar. Ketika itu, mata semua orang sedang ditujukan kepada kedua Lhama itu yang kena dibikin
terpental oleh Koei Peng Go dan hanya Tong Keng Thian seorang yang terus memperhatikan kedua
wanita itu. Pada saat itu, Pengtjoan Thianlie agaknya tiba-tiba melihat Lenghoe yang dipakai
Chena dan ia mengeluarkan seruan tertahan. Di lain pihak, Chena kelihatan mendekatkan
mulutnya pada kuping
Pengtjoan Thianlie dan telah mengucapkan beberapa kata.
"Tahan!" berseru Hoat-ong, yang, dengan sekali menjejek kaki, sudah berdiri di
samping Pengtjoan Thianlie. Keng Thian kaget bukan main. Ilmu silat kedua orang itu
hampir sama tinggi
dan jika mereka sampai bertempur, mungkin ia tak akan dapat memisahkan.
Sekonyong-konyong Chena mundur dua tindak dan sembari menyoja kepada Koei Peng
Go, ia berkata dengan suara nyaring: "Sioelie (paderi atau imam wanita) dari agama Topi
Putih memberi hormat kepada Hoehoat (Pelindung agama)."
Hoat-ong kaget dan mengawasi dada Peng Go, dimana kelihatan tergantung sebuah
Lenghoe yang mengeluarkan bau wangi-wangian halus. Itulah Pweyap Lenghoe (jimat kitab
Budha yang suci) yang oleh para penganut agama Budha dianggap sebagai semacam mustika yang
langka. Kecuali beberapa gelintir paderi suci, Budha Hidup atau raja-raja yang sangat
berjasa terhadap
agama, semua pengikut agama Budha, dari hidup sampai mati, belum tentu pernah
melihat Lenghoe tersebut.
Pweeyap Lenghoe yang dipakai oleh Pengtjoan Thianlie adalah warisan ibunya,
yaitu Hoa Giok Kongtjoe. Nepal adalah negeri yang beragama Budha. Semasa hidupnya ayah Hoa Giok
adalah murid Budha yang taat pada agamanya dan dalam kedudukannya sebagai raja Nepal
membuat banyak sekali jasa terhadap agama. Itulah sebabnya, maka Raja agama telah
menghadiahkan Pweeyap Lenghoe kepadanya sebagai pernyataan terima kasih dan penghargaan
terhadap segala
perbuatannya yang mulia. Sebagaimana diketahui, raja tersebut semula ingin
sekali menurut contoh raja-raja Barat dan hendak mewariskan tahta kerajaan kepada puterinya
yang tunggal. Oleh karena adanya niatan tersebut, maka pada waktu usianya sudah lanjut, ia
mewariskan Lenghoe itu kepada Hoa Giok.
Pweeyap Lenghoe dari Pengtjoan Thianlie tidak dapat disamakan dengan Hoesin
Lenghoe (jimat untuk melindungi diri sendiri) dari Chena. Dengan memakai Lenghoe
tersebut, kedudukan
Chena adalah sebagai seorang Wanita Suci, atau Shenglie, yang masih berada di
bawah kedudukan Lhama Besar. Di lain pihak, kedudukan Pengtjoan Thianlie merupakan
kedudukan Pelindung agama, atau Hoehoat, dan tingkatannya dapat dibilang berendeng dengan
tingkatan seorang Budha Hidup. Maka itulah, waktu Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada
Hoat-ong, Raja agama itu pun segera membalas dengan tidak kurang hormatnya. Para tetamu,
terhitung juga Tong Keng Thian, yang tidak mengetahui tata tertib agama Lhama rata-rata
merasa heran, ketika melihat Hoat-ong membalas hormatnya Koei Peng Go.
Sementara itu, Keng Thian melihat Yoe Peng sedang kasak-kusuk dengan Chena.
Mereka bicara dengan berbisik dan menggunakan bahasa Tibet. Apa yang kuping Keng Thian dapat
menangkap hanya perkataan "Sakya" dan "Tan Thian Oe." Chena kelihatan mengerutkan alisnya
dan mengawasi Yoe Peng, seperti juga ia ingin meminta supaya dayang Koei Peng Go itu
jangan banyak berbicara.
"Hei! Siapa kau?" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Keng Thian yang sedang
memusatkan perhatiannya kepada kedua gadis itu, jadi gelagapan ketika melihat
Raja agama itu menuding padanya. Ternyata, untuk coba mendengar pembicaraan antara Yoe Peng dan
Chena, Keng Thian sudah melupakan dirinya dan maju terlebih jauh, sehingga ia berada di
garisan depan. Hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, sembari menggereng seperti harimau
terluka, In Leng Tjoe menerjang Pengtjoan Thianlie.
Hoat-ong mengebas dengan tangan jubahnya sambil membentak: "In Leng Tjoe! Jangan
kurang ajar!"
"Lihatlah! Apa ini?" berteriak In Leng Tjoe sembari memperlihatkan satu Sinbong
yang hitam bersinar. "Inilah Thiansan Sinbong! Sekarang terbukti, orang dari Thiansan pay,
bersama-sama perempuan siluman itu, sudah datang kemari untuk mengacau. Budha Hidup! Kenapa
kau tak mau lantas membekuk mereka?"
Ternyata, senjata rahasia yang barusan menghantam In Leng Tjoe adalah Thiansan
Sinbong yang dilepaskan oleh Tong Keng Thian. Sesudah dapat membuka jalan darahnya,
dalam kegusarannya ia segera menerjang Koei Peng Go, yang sangat dibencinya.
Dengan terkejut, Hoat-ong kembali mengebas dengan tangan jubanya. "In Leng
Tjoe!" ia membentak. "Jangan bicara gila-gila. Lieposat (Wanita mulia) ini adalah seorang
Pelindung agama." Akibat kebasan Hoat-ong, In Leng Tjoe terhuyung beberapa tindak. Darahnya
meluap, tapi ia
tidak berani mengumbar napsu amarahnya terhadap Raja agama itu.
Sesaat itu, para pahlawan Tukuhun Khan sudah menerjang In Leng Tjoe, yang,
sambil berteriak
keras, menghantam kalang kabut, sehingga dalam sekejap mata, banyak yang sudah
terguling dengan mendapat luka-luka. Sesudah mengamuk hebat, In Leng Tjoe segera lari ke
lorak dan para tetamu lantas saja menjadi kalut.
Dalam keadaan yang sedemikian kalut, Tong Keng Thian masih tetap tenang dan
kedua matanya terus mengawasi Koei Peng Go. Barusan, ketika In Leng Tjoe menerjang
padanya, Pengtjoan Thianlie mengegoskan badan sembari mengebas tangan bajunya yang
panjang dan gerakannya itu seperti juga gerakan menyingkirkan diri dari serangan musuh yang
kuat. Akan tetapi sebenar-benarnya gerakan Peng Go ditujukan terhadap Keng Thian, oleh
karena, pada saat
ia mengegos, tangan bajunya membuat saru huruf "Tjauw" (lari) di tengah udara,
dengan maksud supaya pemuda itu lekas-lekas melarikan diri. Melihat itu, Keng Thian jadi
semakin tidak mengerti.
Sebelum dapat memikirkan harus berbuat bagaimana, In Leng Tjoe sudah lari sampai
di hadapannya dengan diubar oleh dua Lhama. Dengan cepat, Keng Thian pasang kudakuda, dua jeriji tangan kirinya dipentang dan menyambar ke depan, sedang tangan kanannya
ditarik ke belakang, dalam gerakan mementang gendewa. Itulah pukulan Thiansan pay yang
paling liehay dan dikenal sebagai pukulan Houwtek siadjit (Houw Tek memanah matahari). Kedua
jeriji yang menghantam ke depan menggunakan ilmu Tiattjie Sinkang (Ilmu jeriji besi), sedang
sikutnya yang memukul ke belakang bekerja seperti satu martil besi. Ilmu silat In Leng Tjoe
memang sudah kalah setingkat dari Tong Keng Thian dan ditambah dengan lukanya, ia lebih-lebih
bukan tandingan pemuda itu. Melihat sambaran kedua jeriji Keng Thian, dengan
mengandalkan ilmu
Tiatposan (Ilmu baju besi, yaitu semacam ilmu weduk), In Leng Tjoe menyambut
dengan pundaknya Berbareng dengan satu suara "tak!" tulang pundak itu patah dan hampirhampir ia roboh di atas lantai. Pada detik itu, kedua Lhama yang mengubar juga sudah tiba
dan sikut Keng Thian membentur tepat sang Lhama yang jalan di depan. Dengan teriakan keras, ia
jatuh kejengkang dan badannya menubruk sang kawan yang berada di belakangnya, sehingga
tak ampun lagi, mereka berdua terguling dengan berbareng.
Biar bagaimanapun juga, In Leng Tjoe adalah pemimpin satu cabang persilatan dan
ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Demikianlah, walaupun tulangnya
patah, sesudah mengempos semangat, ia segera menerjang pula. Mendadak, dua sinar dingin
kelihatan menyambar. Keng Thian, yang menduga Pengtjoan Thianlie sedang membantu ia, sudah
tidak berjaga-jaga dan tahu-tahu mukanya basah dan bukan main dinginnya.
"Jangan membiarkan dia lari!" berteriak kedua Lhama yang barusan dirobohkan
sikut Keng Thian. Sekarang Hoat-ong sendiri sudah dapat mengenali, bahwa pemuda itu bukan
lain daripada si tetamu bertopeng yang semalam telah mengunjungi ia.
"Terima kasih atas bantuan Lieposat," berkata Hoat-ong sembari membungkuk dan
lalu bergerak untuk turun tangan sendiri.
Pengtjoan Thianlie mengawasi Raja agama itu sembari mesem. "Sesudah Budha Hidup
mengenali siapa adanya ia, kenapa juga masih mau turun tangan" Apakah Budha
Hidup masih ingin bertempur dengan agama Topi Kuning di Tibet?" menanya si nona.
Hoat-ong terkejut dan lalu balas menanya: "Kenapa Lieposat berkata begitu?"
"Apakah Budha Hidup mengetahui, bahwa orang itu sudah membantu kerajaan Tjeng
dan agama Topi Kuning untuk melindungi guci emas?" Pengtjoan Thianlie berkata pula
Waktu itu, kedua Lhama tadi sedang mencaci Keng Thian yang dulu telah melukakan
mereka dalam perebutan guci emas. Hoat-ong jadi semakin bersangsi, ia mengawasi
Pengtjoan Thianlie
tanpa berkesip.
"Pada waktu guci emas direbut kembali, aku pun berada disitu," kata Pengtjoan
Thianlie. Soal inilah yang membikin Hoat-ong bersangsi. Dari murid-muridnya ia mendapat
tahu, bahwa dua lawan berat pada waktu itu adalah seorang dari Thiansan pay dan seorang
wanita yang dikenal sebagai Pengtjoan Thianlie. "Ia adalah Hoehoat dari agama Budha, akan
tetapi, siapakah
yang sebenarnya dilindungi?" tanya Hoat-ong dalam hatinya. "Apakah benar
pernyataan In Leng
Tjoe, bahwa ia datang unuk menyeterukan aku?"
Selagi Raja agama itu berada dalam kesangsian, Koei Peng Go sudah berkata pula:
"Agama Topi Kuning dan Topi Putih sebenar-benarnya bersumber satu. Sekarang, sesudah
diadakan perdamaian, Budha Hidup hendaknya jangan mempersulit orang itu. Bahwa guci emas
waktu ini berada di Lhasa, sebenarnya adalah suatu kejadian yang menguntungkan bagi kedua
belah pihak. Aku mohon Budha Hidup sudi memaafkan aku yang sudah mencampuri urusan ini."
Hoat-ong adalah seorang yang sangat cerdas dan begitu mendengar perkataan
Pengtjoan Thianlie, ia segera menjadi sadar. "Benar!" katanya didalam hati. "Untung juga
hari itu mereka
berdua sudah turun tangan. Andaikata waktu itu guci emas dapat direbut, cara
bagaimana dapat


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dicapai perdamaian seperti yang tercapai hari ini" Ah! Ternyata mereka mempunyai
pandangan yang sangat luas dan diam-diam sudah menyingkirkan akar permusuhan antara kedua
agama." Memikir begitu, ia lantas saja memberi hormat kepada Koei Peng Go dan menepuk
kedua tangannya untuk memanggil balik kedua muridnya.
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie menimpuk mukanya dengan Pengpok Sintan guna
membuka rahasia penyamarannya, Keng Thian merasa sangat tidak mengerti, kenapa si nona
sudah bertindak begitu. Sesaat kemudian, ia menduga, bahwa Peng Go tidak sudi bicara
dengan ia dan ingin mendesak supaya ia berlalu dari tempat itu, dan berhubung dengan dugaan
tersebut, Keng Thian segera memutuskan untuk segera menyingkir. Akan tetapi, ia sudah kena
"diikat" oleh In
Leng Tjoe dan kedua Lhama itu, sehingga untuk sementara waktu, ia tak dapat
meloloskan diri.
Selagi bertempur hebat, ia tentu saja tidak dapat mendengar pembicaraan antara
Hoat-ong dan Peng Go dengan jelas. Tiba-tiba Hoat-ong menepuk tangannya dan memanggil pulang
kedua muridnya yang sedang mengerubuti Keng Thian, sehingga pemuda itu, yang justru
sedang berkuatir Hoat-ong akan turut turun tangan sendiri, jadi merasa sangat heran.
Sesudah dua lawan itu meninggalkan gelanggang pertempuran, merobohkan In Leng
Tjoe sudah tidak merupakan soal lagi baginya. "Lootjianpwee, maafkan aku yang berlaku
kurang ajar,"
kata Keng Thian sembari tertawa dan mengirim dua pukulan berat, yang telak
mengenakan bagian
tubuh yang berbahaya. Apa yang lebih hebat lagi, ialah pukulan Keng Thian dengan
menggunakan Imlat (Tenaga lembek), sehingga In Leng Tjoe semula tidak merasakan apa-apa dan
sesudah lewat beberapa saat, baru ia terkena pengaruh pukulan itu. Sesaat itu, In Leng
Tjoe bukan hanya
menghadapi Keng Thian, akan tetapi juga para pahlawan Tukuhun Khan juga sudah
bergerak untuk membekuk ia.
Jalan yang paling selamat untuk In Leng Tjoe adalah meminta pertolongan Hoat-ong
dan berdiam beberapa hari dalam kuil untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, sebagai
seorang yang angkuh, sebaliknya dari memohon pertolongan, ia menjejek kedua kakinya dan
melompati tembok, akan kemudian kabur tanpa menengok lagi. Tindakannya itu sudah membikin
lukanya jadi semakin berat dan ia terpaksa harus rebah sebulan lebih untuk memulihkan
kesehatannya. Akan
tetapi, walaupun sudah sembuh, ilmu silatnya banyak berkurang dan tugas
melaporkan hal Liong
Leng Kiauw kepada atasannya di kota raja, jadi tertunda. Maka Tong Keng Thian
sudah melukakan
In Leng Tjoe juga lantaran ingin memperlambat perjalanannya ke kota raja.
Sesudah In Leng Tjoe kabur, Keng Thian lantas saja mengenjot badannya yang
segera melesat keluar tembok. Selagi melompati tembok, ia menengok dan melihat si nona
mengawasi padanya
sembari mesem. Pada waktu Keng Thian kembali ke rumah penginapan, para pelayan sedang
kebingungan dalam usaha menolong majikannya. Semula, mereka hanya merasa heran melihat sang
majikan belum juga keluar dari kamarnya untuk memenuhi undangan Hoat-ong, tapi mereka
tak berani masuk kedalam kamar. Kemudian, sesudah siang berganti malam dan sang majikan
belum juga muncul, dengan memberanikan hati, salah seorang pegawai masuk ke dalam kamar.
Begitu masuk, ia terkejut oleh karena sang majikan sedang tidur bagaikan mayat dan tak
menjadi sadar meskipun dipanggil-panggil dengan suara keras. Buru-buru ia keluar dan
memberitahukan rekanrekannya
yang jadi kebingungan dan menduga majikan itu terkena "barang kotor." Salah
seorang lantas pergi mengundang dukun untuk mengusir setan atau memedi yang
mengganggunya. Keng Thian merasa geli dalam hatinya. Diam-diam ia mengembalikan surat undangan
Hoat-ong dan membuka jalan darah si pemilik rumah penginapan. Sesudah itu, tanpa
memperdulikan segala
kekacauan, ia membereskan buntalannya dan tanpa pamitan lagi segera berlalu dari
penginapan itu, sesudah meninggalkan sepotong perak di atas meja.
Dalam peristiwa pada malam itu, ada banyak hal yang tidak dimengerti Keng Thian.
Pertama, siapakah gadis Tibet itu" Kenapa, sedang semula ia menolak begitu keras untuk
dijadikan Wanita
Suci, akhirnya secara suka rela ia menyatakan suka menurut" Kedua, sebagai
seorang yang baru
turun gunung, Pengtjoan Thianlie tak mengenal jalan. Kenapa ia bisa datang ke
kuil itu" Apakah
kejadian itu hanya kejadian kebetulan saja" Ketiga, Koei Peng Go bermula
mendesak supaya ia
cepat-cepat mengangkat kaki, tapi kemudian mesem-mesem kepadanya. Apakah arti
sikap itu"
Selain itu, sedang Pengtjoan Thianlie sendiri pernah membantu melindungi guci
emas, kenapa Hoat-ong bersikap begitu menghormat terhadapnya"
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh Tong Keng Thian. "Jika
dilihat dari sikapnya, Peng Go pasti mengenal baik gadis Tibet itu," katanya didalam hati.
"Tapi gadis itu
sudah pasti bukan dayangnya."
Berselang beberapa saat, kentongan berbunyi empat kali. Keng Thian lantas
mengambil keputusan dan tanpa bersangsi, ia segera menuju lagi ke kuil Lhama dengan
gunakan ilmu mengentengkan badan. Begitu tiba, ia pergi ke Istana Wanita Suci yang terletak
di sebelah timur.
Ia sudah bertekad untuk menyelidiki hal ihwal gadis Tibet tersebut dalam usaha
mencari tahu dimana adanya Pengtjoan Thianlie.
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah hinggap di atas genteng istana. Ketika
itu, para Wanita Suci sudah berada dalam masing-masing kamarnya dan penerangan sudah
dipadamkan. Sesudah terjadinya peristiwa hebat tadi, para wanita itu ternyata tak dapat
tidur pulas dan masih
terus membicarakan kejadian tadi dengan suara bisik-bisik. Sambil merangkak di
atas genteng, Keng Thian mendengar suara kasak-kusuk itu, akan tetapi ia tidak mengetahui
suara yang mana
adalah suara si gadis Tibet dan ia juga tak berani sembarang masuk ke dalam
kamar orang. Sambil menghela napas, Keng Thian mengangkat kepalanya. Mendadak, di sebuah
loteng kecil yang terletak di sebelah timur, terlihat api lampu yang berkelak-kelik. Buruburu ia menghampiri
dan setelah datang dekat, lewat jendela kaca ia dapat kenyataan, bahwa di kamar
itu terdapat tiga wanita yang bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng dan si gadis
Tibet yang sedang dicarinya.
Bukan main girangnya. Ia datang lebih dekat pula dan memasang kuping.
"Ini beberapa lembar adalah pelajaran menimpuk dengan senjata rahasia," demikian
kedengaran suara Pengtjoan Thianlie. "Simpanlah baik-baik."
"Budi Tjietjie yang sangat besar, sampai mati aku tak akan melupakan," kata
sigadis Tibet. "Ah! Benar-benar mereka sudah saling mengenal," berkata Keng Thian dalam
hatinya. "Tapi
kenapa ia turunkan pelajaran senjata rahasia, sedang ilmu silat ada begitu
banyak macamnya?"
Di lain saat terdengar suara tertawa Yoe Peng yang lalu berkata: "Kau hidup atau
mati, untuk aku tak ada halangannya. Tapi ada orang yang tidak rela, jika kau sampai menutup
mata!" Dari luar jendela, Keng Thian melihat gadis Tibet itu menggebuk Yoe Peng yang
mulutnya usilan. "Aku sama sekali tidak berdusta," kata pula Yoe Peng yang nakal. "Benar-benar ia
sedang menunggu kau dengan tidak sabar."
"Ah! Kalau begitu, ia sudah mempunyai kecintaan," kata Keng Thian dalam hatinya.
"Tapi siapa?" Walaupun pintar dan cerdas, Tong Keng Thian sedikitpun tidak menduga,
bahwa orang yang dimaksudkan Yoe Peng adalah Tan Thian Oe. Dengan mata sendiri, ia pernah
menyaksikan hubungan yang rapat antara Thian Oe dan Yoe Peng, sehingga ia sama sekali tak
mengira, bahwa kecintaan Thian Oe adalah si gadis Tibet.
"Yoe Peng!" demikian terdengar Pengtjoan Thianlie membentak. "Jangan bicara yang
gila-gila! Adik Chena, jagalah dirimu baik-baik!"
Keng Thian tahu, si nona sudah mau berlalu. Tiba-tiba kesunyian sang malam
dipecahkan suara
bentakan yang keluar dari atas loteng. "Binatang!" membentak seorang wanita.
"Berani betul kau
menggerayang kesini! Leng-ouw (Anjing sakti)! Gigit orang itu!"
Di lain saat, berbareng dengan suara menggeram yang dahsyat, empat ekor anjing
sebesar anak kerbau dan galak luar biasa, menerjang Keng Thian. Anjing itu adalah dari
daerah Tibet dan
merupakan turunan dari perkawinan campuran antara anjing hutan dan anjing biasa,
dan itulah sebabnya, mengapa galaknya luar biasa.
Mereka mengepung Keng Thian dari empat penjuru, tak berbeda dengan cara manusia
yang berakal budi. Baru saja Keng Thian membikin terpental yang satu, dua ekor yang
lain sudah menubruk, yang satu coba menggigit lehernya, sedang yang lain menyambar
pundaknya. Buruburu
Keng Thian membentur dengan pundaknya sembari mengebas dengan tangan kirinya dan
kedua anjing itu lantas saja terguling dengan terkuing-kuing. Sekonyong-konyong
di tengah udara
terdengar suara hebat bagaikan guntur, dibarengi dengan menubruknya seekor
anjing yang agaknya menjadi pemimpin rombongan anjing itu. Kedua matanya yang berwarna biru
seperti juga mengeluarkan api dan tubrukannya tidak kalah dengan tubrukan seekor
harimau. Keng Thian memutarkan badan dan pada saat dua kaki depan anjing itu hampir
mengenakan badannya, ia mengirimkan satu tendangan keras. Akan tetapi, binatang itu yang
sudah mendapat latihan lama, dapat mengegosi tendangan tersebut. Keng Thian terkejut! "Cara
berkelit anjing ini
seperti juga manusia yang sudah belajar ilmu mengentengkan badan sepuluh tahun
lamanya," katanya di dalam hati. Mengingat ini, dalam hatinya lantas timbul perasaan
kasihan dan menyayangkan, jika binatang itu sampai jadi celaka. Tendangan Keng Thian barusan
adalah tendangan Wanyo Lianhoan toeihoat, atau tendangan berantai. Sesudah tendangan
kaki kiri meleset, kaki kanan harus menyusul. Akan tetapi, oleh karena timbulnya perasaan
itu, Keng Thian
tidak mengirimkan tendangan kedua. Di lain saat, anjing tersebut kembali sudah
menubruk secara
hebat. Tiga kawannya yang barusan terguling sekarang sudah bangun kembali dan
sembari menyalak, mereka kembali menerjang Keng Thian.
Sesudah mendapat pengalaman pahit, bagaikan manusia, keempat anjing itu merobah
siasatnya. Sekarang mereka menggunakan siasat gerilya, yaitu buru-buru meloncat
mundur jika Keng Thian menghantam dengan tangan atau kakinya dan menyerobot begitu lekas
terbuka lowongan. Sesudah bertempur beberapa saat, karena mendengar bentakan-bentakan di
atas loteng yang sesuai benar dengan gerakan-gerakan kawanan anjing itu, Keng Thian
mengetahui, bahwa serangan itu dipimpin oleh seorang yang bersembunyi di atas loteng.
Sementara itu, para
Wanita Suci sudah pada keluar dari masing-masing kamarnya dan suara manusia
menjadi semakin ramai. Keng Thian merangkap kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga dalam dari ilmu
Lweekee, sehingga keempat anjing itu tertolak mundur oleh satu tenaga yang tak
kelihatan dan tidak dapat mendekati ia lagi. "Kedatanganku ini adalah untuk menemui seorang
sahabat," ia
berseru dengan suara nyaring. "Aku sama sekali tidak mempunyai niatan kurang
baik dan mengharap supaya pihak majikan yang terhormat sudi memanggil pulang keempat
anjing ini. Jika
tidak, janganlah salahkan aku memukul anjing tanpa memandang majikannya."
Baru saja Keng Thian berkata begitu, dari atas loteng melayang turun seorang
wanita tua yang
mengenakan pakaian warna hijau dan tangannya mencekal sebatang pedang panjang.
"Binatang!"
ia membentak. "Apakah belum cukup kau mengacau di ruangan sembahyang maka datang
lagi ke Istana Wanita Suci" Jagalah pedangku!" Berbareng dengan makiannya ia menikam
dengan ilmu pedang Thianliong pay dari Tibet.
Keng Thian berkelit dan pada saat itu, keempat ekor anjing sudah membantu
menyerang.

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sekali melirik, ia mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah si Ibu Suci
yang sudah dilihatnya di ruangan sembahyang.
"Benar-benar aku datang untuk menemui seorang sahabat yang berada disitu!"
berteriak Keng Thian sembari menunjuk loteng.
(bu Suci menjadi gusar bukan main. "Jika kau berani keluarkan pula omongan
kotor, kau akan
binasa tanpa mempunyai tempat untuk mengubur mayatmu!" ia mencaci.
Harus diingat, bahwa Wanita Suci dalam agama mereka dipandang sedemikian suci
bersih, sehingga seorang lelaki melirik saja sudah tidak diperbolehkan. Lantaran begitu,
mana boleh ia mempunyai sahabat lelaki yang tidak dikenal" Perkataan Keng Thian merupakan
pelanggaran besar terhadap agama tersebut dan di mata sang Ibu Suci, ia adalah seorang
bermoral bejat.
Demikianlah, sambil menyerang dengan pedangnya secara sengit, ia memimpin
serangan keempat anjing itu, sehingga Keng Thian menjadi sangat repot dan tidak mempunyai
kesempatan untuk memberi penjelasan.
Pengtjoan Thianlie yang rupanya masih mendongkol tidak mau turun dari loteng
untuk memberikan pertolongan, sehingga kedudukan pemuda itu menjadi sulit sekali. Ia
sangat kuatir Hoat-ong keburu datang dan urusan bisa menjadi terlebih ruwet lagi.
Dalam mendongkolnya, dengan kedua tangan ia menangkap seekor anjing yang lalu
dilontarkan ke anjing lain hingga sembari berkuing-kuing, kedua binatang itu
terguling-guling
tanpa bisa bangun pula. Si Ibu Suci jadi sangat gusar dan lalu mengirim tiga
serangan berantai.
Dengan gerakan Poanliong djiauwpo (Tindakan naga), Keng Thian mengegos beberapa
kali dan kemudian bagaikan seekor burung, ia melewati badan Ibu Suci dan menyambar seekor
anjing lagi dengan ilmu Siauwkinna (Ilmu menangkap). Seperti tadi, ia mengangkat badan
anjing itu yang lantas dilemparkan ke arah anjing yang ke empat. Tapi tak dinyana, anjing
terakhir itu adalah anjing yang paling liehay. Dengan geraman hebat, dia meloncat tinggi dan
terus menubruk Keng Thian. Loncatan tersebut sudah membikin timpukan Keng Thian jatuh di tempat
kosong dan kedua kaki depannya sudah mengenakan baju pemuda itu.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan ilmu Tjiam-ie sippattiat- dengan lweekang-nya
yang sangat tinggi. Dengan sekali menggoyangkan badan, anjing itu sudah
dilontarkannya sejauh
beberapa kaki dan dengan satu egosan, ia berkelit dari tikaman si Ibu Suci.
Mendadak suatu sinar
dingin menyambar ke arahnya. Keng Thian tahu, benda itu adalah Pengpok Sintan
dan lantas menangkap dengan sebelah tangannya. Setelah Sintan itu lumer, dalam tangannya
ketinggalan serupa benda lain, sehingga hatinya menjadi kaget.
Mendadak terdengar suara Pengtjoan Thianlie yang ditujukan kepada Ibu Suci: "Ibu
Suci! Kau sedang repot, ijinkanlah aku berlalu lebih dulu!" Di lain saat, dua bayangan
putih kelihatan turun
dari atas loteng dengan cepat sekali.
Melihat perginya dua wanita itu, Keng Thian tak mempunyai kegembiraan lagi untuk
berdiam lebih lama. Tiba-tiba ia menyerang secara hebat dan selagi si Ibu Suci meloncat
mundur, ia lantas
mengenjot badannya untuk melarikan diri.
Ibu Suci itu meluap darahnya dan berseru: "Leng-ouw! Ubar bangsat itu!"
Berbareng dengan
bentakannya, si Ibu Suci juga mengubar dengan diikuti empat anjingnya, sehingga
Keng Thian tak dapat mencapai maksudnya. Sementara itu, di Istana Wanita Suci sudah terdengar
suara lonceng tanda bahaya. Keng Thian mengerutkan alisnya, tapi lekas juga ia mendapat suatu tipu. Selagi
seekor anjing menubruk, ia mengebas dan mendorong binatang itu ke arah Ibu Suci. Gerakannya
cepat luar biasa dan sebelum Ibu Suci melihat tegas, mulut anjing itu yang mengeluarkan air
liur sudah berada di depan mukanya yang lantas berlepotan air liur!
"Binatang!" berteriak Ibu Suci bagaikan kalap dan kedua tangannya mendorong
anjing itu. Di lain detik, berbareng dengan suara tertawanya yang nyaring,
Keng Thian sudah berada di luar tembok
Setibanya di luar, ia mengawasi ke empat penjuru, tapi Pengtjoan Thianlie sudah
tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Hal ini dapat dimengerti oleh karena ilmu mengentengkan
badan si nona memang setingkat dengan Keng Thian dan mereka berdua sudah berlalu terlebih
dulu. Dengan rasa putus harapan, pemuda itu menghela napas berulang-ulang. Ia membuka
tangannya dan ternyata, benda yang disertakan Pengpok Sintan tadi adalah
selembar kertas kecil.
Keng Thian membuka kertas itu dan dengan pertolongan sinar rembulan, ia membaca
tulisannya: "Jangan campur urusan orang lain!"
Keng Thian meringis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seorang diri: "Ah!
Maksudku hanyalah ingin menemui kau. Siapa kesudian campur-campur urusan orang lain" Hm!
Jika kau tak sudi menemui aku, aku tentu tak dapat memaksa. Tapi, kenapa beberapa kali kau
mempermainkan aku?"
Ia menengok ke belakang dan melihat seluruh istana Wanita Suci sudah terang
benderang. "Ah! Hoat-ong tentu akan mendongkol sekali," katanya di dalam hati. "Tak
dinyana, tanpa sengaja
aku jadi menanam permusuhan. Jika si gadis Tibet rela menjadi Wanita Suci, aku
tentu tidak berhak untuk mencampuri urusannya lagi."
Demikianlah dengan perasaan tertindih, Keng Thian keluar dari kota Naichi dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sembari jalan, ia teringat, bahwa tujuan
Pengtjoan Thianlie adalah Soetjoan barat untuk mencari pamannya, sehingga, meskipun tak
mengenal jalan,
lama atau cepat pasti ia akan tiba juga disitu. "Paling benar sekarang aku
langsung menuju ke
tempat Moh Pehpeh untuk menunggu kedatangannya," pikir ia. Sesudah mengambil
putusan itu, hatinya menjadi lebih lega dan ia lalu tidur di pinggir jalan. Pada besok
paginya, ia lantas berjalan
menuju ke arah timur.
Sesudah melewati gunung Bayan Karasan, Keng Thian sudah berada di bagian barat
propinsi Soetjoan. Semenjak dulu, Soetjoan barat yang penuh gunung dikenal sebagai
tempatnya "manusia
liar." Berhari-hari, Keng Thian berjalan tanpa menemui manusia. Untung juga
gunung itu kaya
akan pohon-pohon buah sehingga ia dapat menghilangkan rasa haus dengan memetik
buahbuahan hutan dan rasa lapar dengan membakar daging kambing hutan yang terdapat banyak
sekali di pegunungan itu.
Sesudah lewat lagi beberapa hari, tibalah ia di gunung Tjiakdjie san yang sudah
termasuk wilayah bangsa Han.
Tjiakdjie san dikenal sebagai gunung yang sangat berbahaya dengan puncakpuncaknya yang menjulang tinggi ke angkasa dan curam luar biasa. Jika seorang sudah tiba di
puncak yang tinggi
dan memandang ke sebelah bawah, ia akan melihat gunung-gunung yang tertutup
salju seakanakan
binatang-binatang raksasa yang berbulu putih sedang mendekam di kaki gunung.
Dimanamana orang dapat bertemu dengan batu-batu raksasa yang beraneka bentuknya dan jika
dipandang dari jauh, batu-batu itu seolah-olah sekosol-sekosol yang diatur
secara sedemikian
indah oleh tangan sang alam sendiri.
Sesudah berjalan lagi dua hari, di suatu lereng, Keng Thian melihat mengepulnya
asap. Hatinya jadi girang, tapi di lain saat ia teringat, bahwa meskipun dilihatnya sangat
dekat, tempat itu
mungkin baru dapat dicapai sesudah berjalan dua hari lagi.
Keng Thian mempercepat tindakannya dan sebelum berjalan berapa lama, cuaca
mendadak berobah gelap. Ternyata ia sekarang sudah masuk ke bagian yang paling berbahaya
dari gunung Tjiakdjie san. Jalan di tempat itu diapit dua puncak yang berdiri hampir
berdempetan, sehingga di
tempat-tempat yang tersempit, lebarnya hanya dua atau tiga kaki. Jalan itu bukan
saja naik turun,
tapi juga berbelit-belit dan penuh dengan batu-batu. Belum juga berapa jauh,
mendadak Keng Thian mendengar suara bernapasnya manusia. Dengan kaget, ia berjalan lebih
cepat. Di lain saat, ia melihat seorang lelaki yang berpakaian rombeng sedang menyender
pada lamping gunung.
"Siapa kau?" menanya Keng Thian.
Orang itu mengucapkan beberapa patah kata yang tidak terang. Keng Thian
mendekati. Sekonyong-konyong ia mengangsurkan kedua tangannya seraya berkata: "Tolonglah
aku si pengemis!"
Keng Thian mengawasi dan ia terkesiap. Kedua lengan orang itu penuh dengan
bisul-bisul besar dan kecil. Sepuluh jerijinya bengkok, sedang di mukanya yang bersinar
merah juga terdapat
banyak sekali bisul. Tak bisa salah lagi orang itu adalah penderita penyakit
kusta (lepra), sehingga
Keng Thian yang gagah perkasa tanpa merasa mundur tiga tindak bahna kagetnya.
Orang itu mengawasi dengan mata hampa sebagai tak ada semangatnya dan seolaholah sudah beberapa hari ia tak pernah ketemu nasi.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian heran tak kepalang. Pertama,
menurut kebiasaan, penderita kusta kebanyakan terdapat di Tiongkok Selatan, sedang di
daerah Utara barat penyakit itu adalah hal yang langka sekali. Kedua, Tjiakdjie san adalah
sebuah gunung yang
sangat berbahaya dan, kecuali orang yang berkepandaian tinggi, jarang ada
manusia yang mampu
mendaki gunung tersebut. Tapi, baru saja mengingat itu, ia berkata dalam hatinya
sendiri: "Ah!
Dia tentu adalah seorang yang melarikan diri karena desakan masyarakat."
Pada jaman ini, kita semua mengetahui, bahwa penyakit kusta bukan disebabkan
pengaruh setan atau hukuman Tuhan. Akan tetapi, pada jaman itu, ialah jaman pemerintahan
Boan, orang masih percaya, bahwa kusta adalah satu penyakit yang menandakan dosa seseorang
dan seorang penderita kusta dipandang sebagai manusia berbahaya, sehingga mesti dibakar
hidup-hidup dan
tulang-tulangnya harus dikubur di dalam tanah. Di Tiongkok Utara barat jumlah
penderita kusta
ada sangat sedikit dan tidak banyak orang yang mengetahui tanda-tanda penyakit
tersebut. Maka itu, memang benar ada sejumlah penderita kusta yang secara untung-untungan
melarikan diri ke
daerah Utara barat untuk menyingkir dari buruan sesama manusia. Akan tetapi,
oleh karena macamnya si sakit memang sangat menakuti dan tak ada orang yang sudi memberi
tempat meneduh padanya, maka jarang sekali mereka bisa tiba di Utara barat dengan masih
bernapas. Memikir begitu, dalam hati Keng Thian segera timbul rasa kasihan. "Dengan badan
menderita penyakit, ia lebih suka berkawan dengan binatang daripada dengan sesama manusia
yang selalu mengubar-ubarnya," katanya dalam hati. "Sungguh harus dikasihani! Dan sungguh
besar nyalinya!"
Ia segera mengeluarkan sepotong daging kambing dari sakunya dan berkata sembari
melemparkan daging itu kepada si sakit: "Ambillah. Di sebelah depan terdapat
banyak sekali buahbuahan.
Kau bisa petik sendiri."
Melihat daging itu dilemparkan, orang itu tidak lantas memungut. Mendadak kedua
biji matanya bergerak dan... suatu sinar berkredep keluar dari kedua matanya! Keng Thian
terkejut oleh karena
sinar yang sedemikian adalah sinar mata orang yang mempunyai kepandaian silat
sangat tinggi. Tapi, di lain saat, sorot kedua mata itu lantas berobah menjadi sayu kembali dan
perlahan-lahan ia
membungkuk untuk memungut potongan daging itu.
"Eh, siapa namamu?" menanya Keng Thian. "Apa kau pernah belajar silat?"
Orang itu seperti juga tak mendengar perkataan Keng Thian. Ia duduk di atas
tanah sembari makan daging itu secara rakus.
"Ah, guna apa aku tanya namanya?" kata Keng Thian dalam hatinya. "Andaikata
benar ia pandai ilmu silat, aku toh tak bisa berkawan dengan ia ini." Memikir begitu, ia
lantas bergerak
untuk segera berlalu, tapi sebelum menindak, ia menengok ke belakang dulu. Di
luar segala dugaan, orang itu sedang mengawasi ia dengan sorot mata gusar dan membenci. Keng
Thian bergidik dan buru-buru berjalan pergi.
Sebelum berjalan herapa jauh, Keng Thian tiba-tiba mendengar suara menggelegar
di belakangnya dan ketika ia menengok, sebuah batu besar sedang menggelinding dari
atas ke

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arahnya. Sebagaimana diketahui, jalan gunung itu sangat sempit, sehingga ia tak
dapat menyingkir lagi. Oleh karena sudah tak ada jalan lain, buru-buru ia mengerahkan
tenaga dalamnya
dan dengan kedua tangannya menyampok batu itu, yang lantas saja terpental dan
jatuh ke dalam jurang. Ia mendongak dan melihat si penderita kusta sedang menyontek sebuah batu
lain. "Kau bikin apa?" membentak Keng Thian. Baru habis ia berkata begitu, batu
tersebut sudah menggelinding ke bawah dengan kecepatan kilat. Mau tidak mau, ia terpaksa
mengerahkan lagi
tenaga dalamnya dan melontarkan pula batu itu. Pada waktu batu itu terpental,
tanah dan debu pada muncrat, sehingga Keng Thian harus meramkan kedua matanya. Waktu ia membuka
lagi matanya, orang itu sudah tak kelihatan bayang-bayangannya.
Keng Thian gusar bukan main. "Hei! Binatang!" ia berseru sekeras-kerasnya. "Kita
belum pernah saling mengenal, kenapa juga kau mau mencelakakan aku!" Tapi hanya
kumandang suaranya yang kedengaran. Si penderita kusta tetap menghilang tanpa bekas.
Sedari turun gunung, ia sudah mengalami banyak juga kejadian-kejadian
mengherankan, tapi
tak ada yang seaneh ini. Bahwa orang itu tinggi ilmu silatnya, sudah tak usah
disangsikan pula.
Tapi yang membikin Keng Thian tak habis mengerti, adalah: Terhadap orang itu, ia
tak pernah berdosa dan malah sudah melepas budi dengan memberikan sepotong daging. Tapi
kenapa, ia menurunkan tangan jahat" Apakah orang itu sudah hilang sifat kemanusiaannya"
Tak lama kemudian, ia tiba di tempat terbuka dan jalan sudah tidak begitu
berbahaya seperti
tadi. la sekarang sudah sampai di bagian selatan dari gunung Tjiakdjie san dan
sesudah mengasoh
sebentar, ia segera meneruskan perjalananannya.
Kira-kira magrib pada hari kedua, ia sudah tiba di tengah-tengah gunung itu. Di
satu tanjakan ia menemukan sebuah rumah tanah yang berdiri sebelah menyebelah dengan sebuah
gubuk beratap alang-alang. Dari dalam rumah itu mengepul asap dan hidung Keng Thian
mengendus wanginya daging bakar dan nasi yang baru dimasak. Rumah tersebut berbentuk istal
kuda panjangnya kira-kira tiga tombak dan lebarnya setombak lebih. Keng Thian
mengetahui, bahwa
rumah itu adalah semacam penginapan untuk orang-orang yang mendaki gunung untuk
memetik daun obat atau berburu binatang. Sesudah berhari-hari lamanya menangsel perut
dengan daging kering dan buah-buahan hutan, Keng Thian ingin sekali makan nasi yang putih dan
segera juga ia mengetuk pintu.
Tuan rumah adalah seorang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun dengan
cara-caranya yang sederhana, seperti biasanya seorang pegunungan. Mendengar permintaan
menginap, lantas
saja ia berkata sembari tertawa: "Beberapa bulan tak pernah ada tetamu, sekali
datang satu rombongan besar. Tuan, malam ini kau tak akan kesepian. Di dalam sudah ada
belasan orang, rombongan pedagang obat yang datang dari Selatan."
Sesudah memberikan sepotong perak untuk barang santapan, Keng Thian segera
bertindak masuk. Dalam ruangan itu berjajar belasan pikulan obat-obatan dan begitu ia
masuk, dua piauwsoe (orang yang bertugas sebagai pelindung) setengah tua terus mengawasi
gerak-geriknya.
Tiba-tiba terdengar suara mendehem dari seorang piauwsoe tua dan kedua kawannya
itu lantas menundukkan kepala, seperti juga tidak melihat masuknya seorang tetamu baru.
Selain ketiga piauwsoe itu, terdapat juga tujuh delapan orang lelaki yang
berbadan kekar, pada
menggeletak di atas tanah dengan menggunakan pikulan sebagai bantal. Di samping
si piauwsoe tua duduk seorang pedagang yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan yang
matanya terus melirik pedang Keng Thian.
Keng Thian memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. "Apakah
Saudarasaudara ingin pergi ke Tjenghay?" ia menanya sembari tertawa.
Si piauwsoe tua hanya manggutkan kepalanya sedikit, sedang si pedagang menjawab
dengan satu suara "hm."
"Aku sendiri ingin pergi ke Soetjoan barat," berkata pula Keng Thian. "Aku
merasa sangat beruntung malam ini dapat bertemu dengan kalian. Dengan mempunyai banyak kawan,
kita bisa tidur enak."
"Bagus! Bagus!" berkata si piauwsoe tua. "Apakah Saudara datang dari utara?"
"Benar. Jalanan gunung sukar sekali dilewati," sahut Keng Thian.
"Dengan berkelana seorang diri, nyali saudara benar-benar besar," berkata pula
piauwsoe itu. "Aku si tua mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai piauwsoe dan dalam
pekerjaan itu, aku
hanya mengandalkan bantuan sahabat-sahabat. Aku mohon saudara jangan
mentertawakan diriku. Untuk bicara terus terang, jika harus berjalan seorang diri, aku tak
akan berani mendaki
gunung Tjiakdjie san." Sehabis berkata begitu, kedua matanya mengawasi Keng
Thian dengan sorot tajam. "Gila! Si tua menganggap diriku sebagai perampok!" berkata Keng Thian dalam
hatinya. Ia lantas saja menyoja dan berkata dengan suara hormat: "Loosoehoe janganlah bicara
begitu merendah. Dapatkah aku mendapat tahu she dan nama Loosoehoe yang mulia?"
"Aku she Kwee, namaku Tay Kie," jawabnya. "Dan siapakah adanya saudara?"
Mendengar pertanyaan orang, Keng Thian segera memperkenalkan dirinya secara terus terang.
Piauwsoe itu ternyata sungkan banyak bicara. Setiap pertanyaan, ia jawab dengan
singkat. Keng Thian mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw orang selalu bercuriga
terhadap mereka
yang belum dikenal dan ia pun mengetahui, bahwa dirinya sangat dicurigai. Maka
itu, ia tidak banyak menanya pula, hanya hatinya merasa agak heran, oleh karena belum pernah
mendengar nama Kwee Tay Kie.
Di daerah Seekong, Tibet, Tjenghay dan Sinkiang terdapat banyak sekali bahan
obat yang luar biasa, seperti nyali biruang dan sebagainya, tapi sangat kekurangan obat-obatan
biasa. Maka itu,
setiap tahun seorang dua orang pedagang obat-obatan yang besar selalu
mengunjungi beberapa
propinsi itu dengan membawa obat-obatan biasa, untuk ditukar dengan bahan-bahan
obat istimewa keluaran daerah tersebut. Setiap kali berdagang paling sedikit harganya
meliputi sepuluh
laksa tail perak, sehingga piauwsoe yang berkepandaian tanggungtanggung,
tak akan berani bertugas untuk melindungi rombongan pedagang tersebut.
Sesudah bersantap malam, rombongan pedagang lalu menyalakan perapian dan mereka
tidur di sekitar perapian itu, dengan para piauwsoe menjaga bergiliran. Keng Thian
sendiri lantas saja
merebahkan diri di suatu sudut.
Baru saja ia meramkan mata, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan dan dua
piauwsoe setengah tua dengan serentak meloncat bangun. "Ada orang!" mereka berbisik.
"Jangan ribut!" membentak si piauwsoe tua.
Menurut kebiasaan rumah penginapan, untuk menggampangkan para tetamu yang keluar
masuk, daun pintu hanya dirapatkan. Suara tindakan itu cepat luar biasa dan
dalam sekejap, sudah tiba di depan pintu. Sebelum pintu ditolak, terdengar suara tertawa yang
sangat nyaring lebih dulu. Keng Thian dan semua orang merasa terkejut oleh karena suara itu
adalah suara seorang wanita.
Di lain saat, dua wanita masuk ke dalam, diikuti seorang lelaki. Kedua wanita
itu, satu tua dan
satu muda, mempunyai paras muka yang hampir sama, sehingga dapat diduga, bahwa
mereka itu adalah ibu dan anak. Si wanita muda, yang pada rambutnya ditancapkan sekuntum
kembang hutan, berparas riang gembira dan begitu masuk, ia berseru: "Ha! Begitu banyak
orang" Benarbenar
ramai!" Wanita yang setengah tua, yang kedua alisnya bengkok dan mengenakan pakaian
warna dadu dengan sulaman kembang Botan, mengeluarkan suara "stt," sembari menempelkan
jerijinya pada mulutnya. "Perlahan sedikit!", katanya. "Jangan mengganggu tamu-tamu lain!"
Walaupun perkataannya merupakan perintah, akan tetapi paras mukanya mesem-mesem dan sama
sekali tak mempunyai keangkeran seorang ibu.
Keng Thian merasa geli. "Ie-ie-ku (Phang Lin) adalah satu manusia aneh," katanya
di dalam hati. "Wanita ini rasanya tak banyak beda dengan Ie-ie."
Pada pinggang kedua wanita itu tergantung gendewa dan sembari masuk, mereka
tertawa haha-hihi, seolah-olah sepasang bocah yang belum mengenal asam garam dunia. Akan
tetapi, meskipun lagaknya seperti anak-anak, mata mereka memancarkan sorot keksatriaan.
Orang lelaki yang mengikuti di belakang mereka berusia kurang lebih lima puluh tahun dan
berbadan tinggi
besar. Ia tidak membawa senjata, akan tetapi dilihat dari tindakannya yang
mantap, sudah boleh
dipastikan, bahwa ia seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.
Rombongan pedagang obat belum ada yang tidur pulas. Begitu ketiga tamu itu
masuk, mereka semua membuka mata, terutama kedua piauwsoe setengah tua, yang terus mengawasi
mereka tanpa berkesip.
Si gadis mendadak tertawa nyaring seraya berseru: "Hei! Kalau mau lihat,
lihatlah secara
berterang! Guna apa main sembunyi?"
Muka kedua piauwsoe itu lantas saja berobah merah dan matanya mendelik. Tapi
sebelum mereka membalas menyemprot, si orang tua yang berbadan tinggi besar buru-buru
menghampiri dan berkata sembari menyoja: "Anakku memang nakal sekali. Aku sangat mengharap,
mengingat usianya yang masih sangat muda, saudara-saudara sudi memaafkannya." Sehabis
berkata begitu,
ia mendorong puterinya seraya membentak: "Hee-djie! Lekas minta maaf pada
sekalian paman!"
Melihat sikap ayah si nona yang sangat patut, si piauwsoe tua lantas saja
berdiri dan berkata
sembari tertawa: "Anak-anak guyon-guyon, janganlah Looheng buat pikiran. Kedua
kawanku adalah orang-orang kasar yang tidak mengenal aturan. Nona! Aku pun mengharap kau
jangan menjadi gusar."
Dengan demikian, sengketa kecil itu sudah menjadi beres, orang-orang piauwkiok
lantas pada merebahkan diri lagi, sedang si nona terus mengikuti kedua orang tuanya.
Sembari berjalan, wanita setengah tua itu berkata kepada suaminya dengan suara
yang cukup keras untuk didengar oleh semua orang: "Loyatjoe! Kau sendiri yang terlalu
rewel! Kau sudah
mengganggu semua orang yang ingin tidur." Nyonya itu yang sangat menyayangi
puterinya, sudah sangat mendongkol mendengar comelan sang suami dan orang-orang piauwkiok
mengetahui, bahwa perkataannya ditujukan kepada mereka.
"Dalam kalangan Kangouw, yang paling tak boleh dibuat gegabah adalah hweeshio,
toosu, sasterawan dan wanita," kata si piauwsoe tua dalam hatinya. "Kedua wania ini,
yang membawa gendewa, kelihatannya bukan penjual silat. Ah! Malam ini aku harus berjagajaga." Sesudah memilih suatu sudut, sang ibu dan puterinya segera menggelar tikar untuk
mengasoh. Sambil menyandar pada tembok, Keng Thian mengawasi mereka. Mendadak, kedua mata
si wanita setengah tua mengeluarkan sinar luar biasa dan setindak demi setindak, ia
menghampiri Keng Thian. Tiba-tiba ia menghentikan tindakannya dan mengawasi pemuda itu
dengan muka bersemu dadu dan sebelah tangannya memegang koen, sebagai lagaknya seorang gadis
muda yang bertemu dengan kecintaannya.
Pada saat itu, si orang tua yang berbadan tinggi besar menghampiri seraya
berkata: "Tjengmoay,
lebih baik kita mengambil tempat di pojok sana." Sekonyong-konyong kedua matanya
bersinar dan seperti si wanita, ia pun mengawasi Keng Thian.
Keruan saja Keng Thian jadi kaget. "Ah! Kenapa begini lagaknya kedua orang tua
ini?" ia menanya dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, sembari tertawa si orang tua menyoja dan menanya:
"Siauwko (Saudara kecil), bolehkah aku mendapat tahu she-mu yang mulia?"
"Aku she Tong," jawab Keng Thian.
Si wanita mengeluarkan satu seruan tertahan dan menanya dengan suara tergugu:
"Kau... kau
she Tong?"
"Perlahan sedikit!" membentak si tua.
"Tong Siangkong (tuan)," berkata pula wanita itu dengan suara terlebih perlahan.
"Kau datang


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari mana dan sekarang mau pergi kemana?"
Sekonyong-konyong puterinya tertawa. "Ibu," katanya "Kenapa kau menanya begitu
melit?" Keng Thian agak bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut juga: "Aku datang dari
Tibet dan ingin
pergi ke Soetjoan barat untuk mencari seorang sahabat."
"Hm," berkata pula si wanita setengah tua. "Dari Tibet" Dilihat dari gerakgerikmu. Aku rasa
kau sudah pernah belajar ilmu silat dalam banyak tahun." Sembari berkata begitu,
ia mengawasi Yoeliong kiam yang digunakan sebagai bantal kepala oleh Keng Thian.
Gadis itu kembali tertawa nyaring dan berkata: "Ibu! Benar-benar kau sudah
linglung! Apakah
kau tak lihat pedangnya" Perlu apa kau menanya lagi?"
"Aku berjalan seorang diri dan dengan membawa pedang, hatiku jadi lebih besar,"
kata Keng Thian. "Manalah aku mempunyai kepandaian silat?"
Orang tua yang berbadan tinggi besar itu mesem-mesem, seolah-olah ingin memuji
Keng Thian yang bisa merendahkan diri dan berbareng menegur kedustaannya.
"Aku ingin menanyakan kau tentang satu orang yang she-nya sama dengan kau," kata
siwanita setengah tua. "Mungkin sekali ia masih tersangkut pamili dengan kau."
"Siapa?" menanya Keng Thian.
"Orang itu bernama Tong Siauw Lan!" sahutnya.
Keng Thian terkejut. Harus diketahui, bahwa kedua orang tua Keng Thian dulu
pernahmengamuk di istana kaizar dan sudah membinasakan Kaisar Yong Tjeng. Walaupun
kejadian itu sudah berselang banyak tahun, akan tetapi Tong Siauw Lan suami isteri masih
tetap merupakan
orang buronan yang menjadi musuh kerajaan Boan. Oleh karena itu, dapat
dimengerti, bahwa
Keng Thian tak berani membuka rahasia di depan sembarang orang.
Wanita setengah tua itu mengawasi padanya dengan sorot mata tidak sabar dan
dilihat dari sikapnya, ia sama sekali tidak mengandung maksud yang kurang baik.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian segera berkata sembari tertawa:
"Nama Tong
Tayhiap aku sudah pernah dengar lama sekali. Ia adalah seorang pemimpin dari
satu cabang persilatan dan aku sangat kagum padanya. Hanya sayang sungguh, sampai sebegitu
jauh aku belum pernah dapat berjumpa."
Paras muka wanita setengah tua itu lantas saja berobah, seperti orang yang
kecewa dan putus
harapan. "Ibu!" kata puterinya. "Tong Pehpeh bertempat tinggal di atas gunung Thiansan,
orang biasa mana bisa jumpai ia" Tapi setiap kali bertemu orang yang datang dari Sinkiang
atau Tibet, kau
selalu tak lupa untuk menanya. Apakah ibu tidak takut ditertawai orang?"
Mendengar ejekan itu, sang ibu jadi mendongkol. "Setan kecil!" ia membentak.
"Sekarang anak
mau mengajar orang tua!"
Oleh karena kuatir didesak terus, Keng Thian lantas berlagak menguap, seperti
orang yang sudah sangat mengantuk, sehingga si orang tua jadi malu hati. "Hee-djie, Tjengmoay, besok pagi-pagi Siauwko tentu ingin meneruskan perjalannya dan kita pun harus
mengasoh." Sehabis
berkata begitu, ia segera berjalan kembali ke tikarnya, diikuti kedua wanita
itu. Sesudah mengalami beberapa kejadian luar biasa selama dua hari beruntun, mana
Keng Thian bisa cepat-cepat pulas. Ia putar otaknya, tapi tak juga dapat menebak siapa
adanya ketiga orang
itu. Ia membuka matanya sedikit dan melihat kedua piauwsoe setengah tua itu
sedang duduk di
pinggir perapian dengan tangan mencekal golok dan matanya sering-sering melirik
ke arah dua wanita itu. Si piauwsoe tua menggeros, tapi Keng Thian mengetahui, ia hanya
berlagak pulas.
Berselang beberapa lama para pegawai piauwkiok yang sudah kecapaian tak dapat
menahan pula perasaan ngantuknya dan sudah pada menggeros keras. Mendadak, Kwee Tay Kie,
si piauwsoe tua, membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan: "Awas!"
Ia segera mencekal hoentjwee-nya (pipa panjang), yang lalu diisikan tembako, dinyalakan
dan kemudian dihisap. Hoentjwee itu yang panjang dan kepalanya sebesar cangkir teh, berwarna
hitam mengkilap, sehingga dapat diduga, bahwa hoentjwee itu bukan dibuat dari pada
kayu, tapi dari
pipa besi yang dapat digunakan sebagai senjata.
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan, disusul dengan terpentalnya daun
pintu, dan di lain saat, belasan orang menerobos masuk. Yang berjalan paling depan adalah
seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun. Sembari
mengacungkan gendewa
yang dicekalnya, ia berseru sembari tertawa berkakakan: "Bagus! Bagus! Kambingkambing gemuk semuanya berkumpul dalam rumah ini!"
Kedua piauwsoe setengah tua itu serentak meloncat bangun, tapi sebelum mereka
dapat bergerak lebih jauh, Kwee Tay Kie sudah meloncat ke depan dan sambil mengebas
dengan hoentjwee-nya, ia memberi hormat seraya berkata: "Sahabat, selamat datang! Aku
yang rendah adalah Kwee Tay Kie dari Tjinwie Piauwkiok di Pakkhia dan mencari sesuap nasi
dengan menjalankan tugas sebagai satu piauwsoe. Mataku sungguh buta dan kupingku tuli
sehingga tak mengetahui, bahwa Tjeetjoe (pangilan terhadap kepala perampok) bertempat tinggal
di gunung ini, dan aku tidak mengunjungi terlebih dahulu untuk memberi hormat. Untuk semua
keteledoran itu, aku memohon maaf."
Kawanan penjahat yang berdiri di belakang kepala perampok itu, tertawa terbahakbahak. "Hei!
Tak perlu kami mendengar segala perkataan-perkataan yang indah!" berteriak
seorang. "Kami
hanya tahu, kambing gemuk berada di depan mata dan tinggal menunggu ditangkap.
Majikan! Bukankah begitu?"
Kepala perampok itu mengawasi Kwee Tay Kie dan berkata sembari tertawa:
"Siauwsamtjoe!
Kau jangan bawel! Aku lihat, Kwee Piauwtauw adalah seorang yang mengenal aturan
dan di dalam kalangan Kangouw, kita memang harus menghargakan tali persahabatan. Begini saja:
Obatobatan ini justru sangat diperlukan di tempat kami dan tanpa sungkansungkan kami ingin
memintanya. Semua pegawai Piauwkiok boleh berlalu tanpa mendapat gangguan dan
kami pun tak akan merampas uang. Kwee Piauwtauw! Bukankah peraturan ini sudah cukup
pantas?" Si pedagang obat ketakutan bukan main dan sekujur badannya jadi gemetaran. Ia
mengawasi Kwee Tay Kie dengan perasaan kuatir, kalau-kalau si piauwsoe tua akan tunduk
terhadap kemauan kepala perampok itu.
Kwee Tay Kie dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih atas
kemurahan hati Tjeetjoe," katanya. "Sebenarnya aku harus menurut pada kemauan
Tjeetjoe, akan tetapi, seorang yang makan gaji, harus setia terhadap majikannya. Orang yang
menyewa tenaga kami merupakan ayah ibu yang memberi makan kepada piauwkiok. Jika sekarang,
untuk menyelamatkan diri, kami tunduk terhadap perintah Tjeetjoe dan meninggalkan sang
ayah dan ibu, maka piauwkiok kami pasti akan segera menggulung tikar dan puluhan keluarga
kami akan mati kelaparan. Tjeetjoe! Aku si tua mohon Tjeetjoe sudi mempertimbangkan
perkataanku ini."
Kepala penjahat itu tertawa tawar. "Perkataan Kwee Piauwtauw sedikitpun tiada
salahnya,"
katanya dengan suara menyindir. "Akan tetapi, jika kami tidak berjual beli
(merampok), apakah
Kwee Piauwtauw mau suruh kami makan angin?"
"Soehoe!" berseru salah seorang piauwsoe setengah tua itu. "Jika mereka sungkan
memberi muka, guna apa kita bicara panjang-panjang lagi?"
Si kepala perampok tertawa besar sambil menarik tali gendewa. Berbareng dengan
suara menjepretnya gendewa, kedua piauwsoe setengah tua itu menangkis dengan goloknya.
Mendadak terdengar suara "plak!" dan peluru itu pecah dengan mengeluarkan api
yang lantas saja membakar baju kedua piauwsoe itu. Buru-buru mereka bergulingan di atas
tanah dan waktu
mereka bangun lagi, Kwee Tay Kie sudah bertempur dengan kepala perampok itu.
Walaupun sudah berusia lanjut, gerakan Kwee Tay Kie sangat cepat dan sebelum si
penjahat dapat melepaskan pelurunya, hoentjwee-nya sudah menyambar kepala si pemimpin
rampok. "Bagus!" berteriak kepala perampok itu sembari mengebas dengan gendewanya untuk
membabat pergelangan tangan Kwee Tay Kie. Serangan itu adalah satu serangan aneh,
sehingga dengan
cepat si piauwsoe memutarkan badannya sambil menyodok dengan hoentjwee-nya yang
digunakan seperti sebatang tombak pendek. Serangan itu disusul dengan pukulan
Tjinpo lianhoan
(Majukan kaki secara berantai), hoentjwee-nya mengetok ke bawah, seperti orang
mengetok dengan martil. Dan sebagai serangan yang ketiga, sembari memutar badan sekali
lagi, Kwee Tay Kie menotok jalan darah Djoanma hiat di dada si penjahat dan kali ini hoentjwee
tersebut digunakan sebagai Poankoan pit (senjata yang bentuknya seperti pit, pena
Tionghoa). Demikianlah
dengan beruntun Kwee Tay Kie mengirimkan tiga serangan dengan menggunakan tiga
macam pukulan yang berlainan. Kepala perampok itu segera mengangkat gendewanya dan
dengan tiga macam pukulan yang berlainan, ia dapat memunahkan ketiga serangan si piauwsoe
tua. Ia tertawa berkakakan. "Piauwtauw Tjinwie Piauwkiok sungguh liehay!" katanya.
"Tapi bertemu
Hoeihweetan Tjoe Teng (Tjoe Teng si Peluru Api Terbang), keangkerannya akan
menjadi musnah!" Sehabis berteriak, ia segera merobah cara bersilatnya, punggung gendewa
digunakan untuk
menyapu dan memukul. Sedang tali gendewa digunakan untuk membetot dan membabat.
Gendewa tidak termasuk di dalam delapan belas jenis senjata dan jika seorang
dapat menggunakan gendewa sebagai senjata, ia tentu mempunyai ilmu silat yang
istimewa. Maka itu,
sesudah bertempur lama juga, walaupun mempunyai pengalaman puluhan tahun, Kwee
Tay Kie masih belum bisa berada di atas angin.
Sementara itu, dengan dipimpin oleh kedua piauwsoe setengah tua itu, para
pegawai piauwkiok
sudah bertempur dengan kawanan perampok. Jumlah kedua belah pihak kira-kira
berimbang. Pihak perampok terlebih unggul daripada para pegawai piauwkiok dalam ilmu silat,
tapi dapat diimbangi oleh kedua piauwsoe itu yang kepandaiannya banyak lebih tinggi dari
mereka. Dengan demikian, sesudah berkutet lama juga, belum kelihatan siapa yang bakal kalah.
Keng Thian duduk dan menonton. Ia tidak mau lantas turun tangan dan diam-diam
mengawasi gerak-gerik keluarga yang terdiri atas tiga orang itu.
Tiba-tiba si gadis tertawa geli. "Ibu," katanya "Perampok itu juga dapat
menggunakan Tankiong
(Gendewa peluru)!"
"Fui!" membentak ibunya. "Dalam dunia yang lebar, apakah hanya kau seorang yang
dapat menggunakan Tankiong?"
"Benar! Tapi dalam dunia yang lebar ini, Tankiong dari keluarga Yo yang paling
liehay," berkata
pula gadisnya. "Ibu! Aku masih ingat, kaulah yang berkata begitu."
"Bawel benar kau!" mengomel sang ibu.
Keng Thian kaget. "Tankiong dari keluarga Yo?" ia menanya dirinya sendiri.
"Keluarga Yo yang
mana?" Sekonyong-konyong sambil mengeluarkan teriakan
menyeramkan, gendewa si perampok menyambar bagaikan kilat dan di lain saat,
pundak Kwee Tay Kie terluka dan ia terhuyung beberapa tindak. "Binatang! Biar sekarang aku
mengadu jiwa tuaku!" ia berteriak.
Kepala perampok itu tertawa berkakakan sembari mementang gendewa dan melepaskan
belasan peluru.
Begitu Lioehong Hweeyamtam (peluru api yang dibuat dari welirang) menyambar,
beberapa pegawai piauwkiok roboh terjungkal dan beberapa orang lain pada terbakar
bajunya, sehingga
buru-buru mereka menggulingkan diri.
Selagi si perampok melepaskan peluru, orang tua yang berbadan tinggi besar itu
berkata pada puterinya: "Hee-djie. Aku lihat tanganmu sudah gatal sekali. Sekarang boleh kau
turun tangan!"
Si gadis tertawa girang dan sambil meloncat bangun, ia mementang gendewanya. Di
lain saat, bagaikan bintang sapu sejumlah peluru menyambar peluru api si penjahat yang
lantas pada jatuh
dengan terbakar.
Bukan main gusarnya kepala perampok itu. Sambil mengegos untuk menyingkir dari
serangan

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwee Tay Kie, ia mementang gendewanya dan puluhan peluru api menyambar si nona
seperti hujan gerimis. "Hee-djie!" berseru ibunya. "Caramu belum sempurna. Lihatlah ini!" Bagaikan
kilat, si nyonya
segera melepaskan puluhan peluru ke arah peluru-peluru api itu, yang, seperti
juga mempunyai mata, lantas pada berbalik menyambar ke kawanan perampok. Dalam sekejap,
beberapa perampok sudah bergulingan di atas tanah dengan 'pakaian terbakar dan sebuah
peluru api hampir-hampir saja mengenakan Tjoe Teng, si kepala perampok, yang lalu
berteriak-teriak bahna
gusarnya. Kwee Tay Kie yang sudah tidak menghitung hidup, jadi terkejut berbareng girang
melihat datangnya bintang penolong yang tidak diduga-duga. Selagi ia bengong mengawasi
si nyonya, tiba-tiba Tjoe Teng menendang dadanya dengan ilmu tendangan Tengkak.
Pada detik yang sangat berbahaya, si orang tua yang berbadan tinggi besar
berseru: "Tjengmoay!
Bereskanlah buaya-buaya yang lainnya!" Sehabis berseru begitu, ia menjejek kedua
kakinya dan badannya lantas melesat bagaikan seekor burung. Di lain saat, tangannya
sudah menyambar
kepala perampok itu yang lantas dilemparkan keluar pintu.
Pada detik itu, di luar pintu tiba-tiba terdengar suara tertawa menyeramkan yang
tidak begitu diperhatikan orang oleh karena pertempuran sedang berlangsung hebat. Sesaat
kemudian, seorang lelaki sudah berada dalam ruangan itu.
Keng Thian yang kupingnya liehay sangat terkejut ketika mendengar suara tertawa
itu. Ia mengawasi lelaki yang baru masuk itu, dan yang ternyata adalah seorang pengemis
berpakaian rombeng dengan sebelah tangan mencekal tongkat hitam dan seluruh badannya penuh
bisul. Orang tersebut bukan lain daripada si penderita kusta dengan siapa ia pernah
bertemu di gunung
Tjiakdjie san. Keng Thian tetap menyandar pada tembok, ia mengangkat leher bajunya, sehingga
sebagian mukanya jadi ketutup. Begitu masuk, si pengemis mengebas tangannya dan si orang
tua mundur beberapa tindak. "Siapa kau?" ia membentak dengan suara gusar.
Si penderita kusta lantas saja mengeluarkan suara tertawa yang membikin orang
bergidik. "Kau
tak kenal aku, tapi aku kenal kau!" katanya sembari tertawa ha-ha he-he. "Di
Shoatang, namamu
besar sekali. Aku kira kau masih berada disitu dan telah mengunjungi dua kali,
tapi selalu tidak
bertemu. Tak tahunya kau berada di tempat ini! Ha-ha! He-he! Sungguh bagus!
Sungguh bagus! Aku dengar Ngohengkoen-mu adalah ilmu silat yang paling liehay di sebelah
selatan dan utara
Sungai Besar. Maka itu, aku sengaja mencari kau untuk memperluas pemandanganku!
Ah! Nyonya itu katanya adalah puterinya Tiattjiang Sintan (si Tangan Besi Peluru Malaikat,
gelaran ayahnya
nyonya tersebut). Hm! Aku dilahirkan agak terlambat, sehingga tak mempunyai
kesempatan untuk
berjumpa dengan Tiattjiang Sintan. Sungguh beruntung, di tempat ini aku dapat
bertemu dengan seorang pendekar wanita yang pada dua puluh tahun berselang, sudah menggetarkan
dunia Kangouw. Dari beliau, aku pun ingin memohon pengajaran!"
Kepala perampok yang tadi dilemparkan keluar pintu, sekarang sudah masuk
kembali. Ia girang
bukan main waktu mendengar kata-kata si pengemis, yang diduga adalah seorang
penjahat juga. "Eh," katanya. "Kambing gemuk itu kita bagi seorang separoh. Semangkok air kita
minum bersama-sama!"
Si penderita kusta mendelik dan membentak: "Siapa perdulikan kambing gemukmu!
Keluar!" Ia
mendorong dengan kedua tangannya dan badan si perampok lantas terpental serta
menubruk pintu, sehingga sebelah daun pintu copot dari engselnya. Di antara desiran angin
malam yang sayup-sayup, terdengar suara jeritan si perampok yang menyayatkan hati.
Melihat itu semua, kawanan perampok jadi pecah nyalinya dan lari serabutan untuk
menyelamatkan jiwa Orang-orang dari Piauwkiok dan si pedagang obat juga
ketakutan setengah
mati dan mereka mundur ke pojok tembok.
Barusan, ketika si pengemis mendorong Tjoe Teng, baru Kwee Tay Kie dapat melihat
bisulbisulnya dan ia kaget tak kepalang. Bagaikan kesima, ia mengawasi dengan mata mendelong.
Muka si orang tua yang berbadan tinggi-besar jadi pucat. "Apakah kau bukannya
Toktjhiu Hongkay (si Pengemis Kusta Yang Tangannya Beracun) yang sengaja menyeterukan
orang-orang gagah di kolong langit?" ia menanya.
"Ha-ha! Hehe! Tak salah!" jawabnya. "Dalam dunia ini, tak banyak orang gagah
yang mempunyai cukup derajat untuk bertempur dengan aku. Hayo! Keluarkanlah
kepandaianmu!"
"Hee-djie!" berseru si orang tua. "Lekas lari!" Dengan sekali meloncat, ia
menyambar sebatang
golok seorang pegawai piauwkiok dan tanpa berkata suatu apa, ia membacok. Orang
tua itu sebenarnya tersohor liehay dalam ilmu silat tangan kosong Ngohengkoen dan tidak
begitu biasa menggunakan golok. Akan tetapi, ia merasa jijik untuk berbenturan tangan dengan
si kusta oleh karena melihat bisul-bisul yang membikin bulu roma berdiri.
Si pengemis mendelik akan kemudian tertawa berkakakan seperti orang gila. "Ha!
Kau jijik berbenturan tangan denganku?" ia berkata dengan suara mengejek. "Hm! Sebentar
kau rasakan bagaimana enaknya rasa bisulku!" Ia pindahkan tongkat besinya ke tangan kiri dan
tanpa bersenjata, tangan kanannya segera mengirim serentetan pukulan hebat, sembari
mengangsek maju. "Hee-djie! Lari!" si nyonya meneriaki puterinya, sembari melepaskan tiga buah
peluru yang menyambar ke muka, ke dada dan ke kaki, masing-masing menuju ke jalan darah yang
membinasakan. Cara melepaskan tiga Sintan dengan beruntun itu sudah kesohor
sedari dulu dan pernah merobohkan banyak sekali orang gagah.
"Sintan keluarga Yo benar-benar liehay!" berseru si pengemis. Dengan menundukkan
kepala, ia menghindari Sintan yang menyambar mukanya, dengan kedua jerijinya ia menjepit
Sintan yang menghantam dada dan akhirnya, dengan tongkatnya ia menyampok peluru yang terbang
ke kakinya. Sesudah itu, sambil membentak keras, ia membuka mulut dan menggigit
belakang golok si orang tua. Puluhan tahun ia berkelana di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi belum
pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang mempunyai ilmu silat sedemikian luar biasa.
Begitu goloknya
digigit, ia merasakan tangannya kesemutan dan tanpa tercegah lagi, senjata itu
terlepas dari tangannya. Si pengemis tertawa keras dan melonjorkan sebelah tangannya untuk mengusap muka
lawannya. Si orang tua menggeram seperti harimau terluka dan sembari mengempos
semangat, ia mengirim satu pukulan ke dada musuh. Dalam gusarnya, ia menghantam dengan
pukulan membinasakan dari ilmu silat Ngohengkoen.
Si penderita kusta mengeluarkan teriakan aneh dan meloncat mundur beberapa
tindak akan kemudian, dengan sekali menotok tanah dengan tongkatnya, ia sudah meloncat pula
ke depan dan berhadapan lagi dengan si orang tua.
"Aku tak percaya kau dapat menahan tiga pukulanku!" katanya sembari tertawa
haha-hihi. Jotosan Ngohengkoen si-orang tua barusan itu mempunyai tenaga kurang lebih
delapan ratus kati dan seumur hidupnya, pukulan tersebut dapat dikatakan belum pernah meleset.
Akan tetapi, kali ini tinjunya yang sedemikian liehay sudah dapat dipunahkan secara begitu
mudah oleh si pengemis, maka tidaklah heran, jika ia jadi kaget berbareng kuatir.
Sekonyong-konyong si pengemis menjotos dengan sebelah tinjunya dan selagi si
orang tua mau loncat menyingkir, lehernya mendadak digaet dengan tongkat besi.
Melihat ayahnya berada dalam bahaya, si gadis lantas melepaskan segenggam peluru
dengan menggunakan ilmu Boanthian hoa-ie (Hujan bunga di selebar langit). Si pengemis
terus menggentak sehingga orang tua itu jadi terguling dan kemudian berkata sembari
tertawa: "Sebentar kau akan merasakan enaknya bisulku!" Berbareng dengan perkataannya
itu, ia putarkan
tongkatnya sehingga semua peluru jatuh berhamburan di atas tanah.
"Bagus!" ia berseru. "Biarlah nona cantik ini lebih dulu merasakan gurihnya
bisulku!" Sekali
menotol tanah dengan tongkatnya, badannya melesat ke atas dan lalu menyambar
gadis itu yang lantas saja jatuh kejengkang.
Dalam kaget dan bingungnya sang ibu melepaskan tujuh peluru yang menghantam ke
tujuh jalan darah si pengemis. Ia mengetahui, bahwa pelurunya tak akan dapat melukakan
si penderita kusta, akan tetapi, dalam saat yang berbahaya itu, ia tak mempunyai lain jalan
yang lebih baik.
Tanpa memperdulikan peluru-peluru itu, si pengemis menurunkan tangannya untuk
menjambak si nona. Pada detik yang luar biasa gentingnya, tiba-tiba saja terdengar suara "ssr, ssr"
dan dua sinar merah berkelebat di tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, si pengemis
mengeluarkan suara
teriakan hebat dan tubuhnya melesat ke atas, hampir-hampir kepalanya
mengenakan payon. Selagi badannya melayang turun ke bawah, ia menghantam si
nyonya dengan tongkatnya.
Nyonya itu kaget bukan main, sambil melemparkan gendewa, ia mencabut sepasang
Lioeyap to (Golok daun lioe) untuk menyambut serangan itu. Si pengemis menyerang bagaikan
harimau edan dan dalam tiga jurus saja, sepasang golok si nyonya sudah terpental ke tengah
udara Sekonyongkonyong,
pengemis itu menyembur dengan mulutnya sembari membentak: "Bocah! Kau juga
berada disini?"
Begitu kedua goloknya terpental, si nyonya jadi terkesima dan berdiri bengong.
Di lain saat, kedua matanya menjadi silau lantaran munculnya sinar dingin dari sebatang pedang
dan si pemuda baju putih sudah mulai bertempur dengan pengemis itu.
"Yoeliong kiam!" berseru si nyonya dengan suara tertahan.
Pemuda baju putih itu tentu saja bukan lain daripada Tong Keng Thian. Tadi, pada
detik yang paling berbahaya, dengan satu timpukan yang sungguh indah, ia melepaskan dua
Thiansan Sinbong. Melihat menyambarnya senjata rahasia, buru-buru pengemis itu menutup
semua jalan darahnya Ia menduga, dengan menutup jalan darah, senjata rahasia itu tak akan
dapat melukakan
tubuhnya. Tapi sekali ini ia keliru. Thiansan Sinbong yang liehay luar biasa,
ditambah dengan
tenaga dalam Keng Thian yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, sudah dapat
menobloskan "tutupan" itu. Begitu tertusuk, si pengemis merasakan jantungnya sakit dan ia
mengetahui, bawa
ia sudah mendapat luka berat.
Hampir berbareng dengan senjata rahasianya, Keng Thian menerjang dengan Yoeliong
kiam. Saat itu, dalam kegusaran hebat, si pengemis menyembur. Keng Thian segera
berkelit dengan
anggapan, bahwa musuh itu ingin meludahinya. Juga ia sudah menduga keliru.
Mengimpi pun ia
tak pernah, bahwa senjata rahasia si pengemis justru disimpan di dalam mulutnya
dan dengan semburan itu, sejumlah senjata rahasia yang sangat halus menyambar dirinya
Mendadak ia merasakan pergelangan tangannya seperti digigit semut, tak seberapa
sakit, tapi sangat gatal. Darah Keng Thian naik tinggi. "Binatang!" ia membentak. "Kau ini tak bedanya
dengan ular berbisa! Begitu bertemu manusia lantas menggigit!"
Si pengemis tertawa besar. "Benar! Benar!" katanya. "Malam ini kau adalah
manusia pertama
yang digigit ular!"
Tanpa banyak bicara, Keng Thian segera mengirim serangan berantai yang sangat
hebat. Si pengemis cekal tongkatnya dengan kedua tangannya dan sekali tarik, ia mencabut
keluar sebatang pedang besi yang hitam mengkilap. Ternyata, tongkat itu merupakan
sarung pedang yang dibuat secara istimewa sekali.
Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang sudah kesohor di seluruh Rimba
Persilatan. Begitu
kedua senjata berbentrok, lelatu api muncrat dan pedang si pengemis somplak.
"Ih!" berseru si
pengemis sembari meloncat mundur. Keng Thian juga diam-diam merasa kaget, oleh
karena

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yoeliong kiam yang dapat mengutungkan besi dan memapas baja, tak dapat
memutuskan pedang
besi itu. Ilmu silat si penderita kusta sangat aneh dan tak menurut peraturan biasa. Akan
tetapi, walaupun kelihatan kalang-kabut, setiap serangannya sangat berbahaya dan
mempunyai perobahan-perobahan yang tak diduga-duga. Dengan penuh kegusaran, Keng Thian
menyerang dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat, akan tetapi, sesudah menjalankan habis
delapan belas rupa serangannya, si pengemis belum memperlihatkan tanda-tanda keteter. Di
sebelah ilmu silatnya, penderita kusta itu pun sangat dalam lweekang-nya dan kurang lebih
dapat direndengkan
dengan tenaga dalam Keng Thian.
Sesudah si nona sadar dari pingsannya, ayah, ibu dan puteri itu lantas saja
menerjang si pengemis jahat untuk membantu Keng Thian. Dengan tangan kanan mencekal pedang
besi, ia melawan Keng Thian, sedang tangan kirinya yang memegang sarung pedang melayani
tiga lawan baru itu. Tangan kanannya lebih banyak membela diri daripada menyerang, sedang
tangan kirinya lebih banyak menyerang daripada membela diri. Dengan penuh semangat, Keng Thian
mencecer musuhnya dengan Toeihong Kiamhoat dan dalam sekejap, tiga puluh jurus sudah
lewat. Beberapa
saat kemudian, di atas kepala si pengemis keluar uap panas dan keringat mengucur
dari mukanya Keng Thian tahu, bahwa Thiansan Sinbong sudah mulai menyerang jantung orang itu
dan ia lalu memperhebat serangannya.
Si pengemis tiba-tiba mendelik dan menyapu Keng Thian dengan matanya yang
bersinar seperti
kilat. "Bocah!" ia membentak. "Dengan mengeluarkan tenaga begitu banyak, apa kau
kira bisa hidup terus?"
Keng Thian kertek giginya dan mengirim satu tikaman hebat. Pada saat ujung
Yoeliong kiam hampir mengenakan badannya, si pengemis mendadak berjungkir balik dan meloncat
keluar melewati mulut pintu. Keng Thian segera menjejek kedua kakinya untuk mengubar,
akan tetapi, tiba-tiba ia merasakan badannya seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum dan
semacam hawa amis naik ke tenggorokannya dari dalam perutnya! Di lain detik, matanya
berkunang-kunang dan
tanpa dapat berdaya lagi, ia roboh di atas tanah.
Keng Thian segera mengempos semangatnya untuk menjaga jantungnya. Semua orang
menjadi bingung dan berusaha untuk memberikan pertolongan.
Walaupun terluka hebat, kuping Keng Thian terang sekali dan dapat menangkap
satu-satu perkataan orang.
"Loopiauwtauw janganlah menghaturkan terima kasih," demikian terdengar suara si
orang tua. "Mari kita periksa luka sahabat ini."
Keng Thian tak dapat bicara lagi, kepalanya berat dan lapat-lapat ia mendengar
perkataan salah seorang: "Ih! Senjata rahasia apa yang digunakan olehnya?"
"Jangan menggunakan sembarang obat, kalau salah, lukanya bisa jadi semakin
berat." "Ah! Kenapa seperti gigitan ular?"
"Lihat! Mukanya bersemu hitam!"
"Siapa mempunyai jarum emas" Coba keluarkan darahnya."
"Tak usah. Senjata rahasia sudah terang direndam dalam bisa ular..."
Hanya sebegitu yang dapat didengar Keng Thian. Ia ingin sekali memberitahukan
mereka, bahwa dalam kantongnya terdapat pil Pekleng tan yang dibuat daripada Soatlian,
tapi mulutnya sudah terkancing. Kepalanya semakin lama jadi semakin berat dan sesaat kemudian,
matanya gelap dan ia tak ingat dirinya lagi.
Berselang tujuh hari, seperti orang yang baru mendusin dari suatu impian jelek,
ia sadar kembali. Ketika itu, ia sendiri tentu saja belum mengetahui sudah pingsan begitu
lama. Di antara
kekaburan, ia ingat kejadian tujuh hari berselang dan ketika membuka kedua
matanya, ia melihat
sinar matahari yang menembus ke kamarnya dan dahan-dahan bunga yang bergoyanggoyang diluar jendela. Hidungnya mengendus serupa wangi-wangian yang halus sekali dan
ia merasakan dadanya lapang.
"Oh, Tuhan! Terima kasih! Terima kasih banyak! Akhirnya ia mendusin juga!"
demikian terdengar suara wanita yang lemah lembut.
Ia melirik. Kedua wanita yang ia jumpakan di gunung Tjiakdjie san pada tujuh
hari berselang,
kelihatan duduk di depan pembaringan sambil mengawasi mukanya dengan paras muka
girang, sedang Yoeliong kiam tergantung di kepala ranjang.
"Kenapa aku bisa berada disini?" menanya Keng Thian. "Tempat siapakah ini?"
"Hee-djie," berkata sang ibu. "Pergi ambil semangkuk Somthung (air godokan
Yosom)." Sesudah itu, dengan suara halus ia berkata kepada Keng Thian: "Kau sudah terkena
senjata rahasia beracun si pengemis kusta dan sudah rebah disini tujuh hari dan tujuh
malam. Ini adalah
rumah kami."
Keng Thian meramkan kedua matanya, mengingat-ingat kejadian pada malam itu. Ia
bergidik dan berkata dengan suara terharu: "Terima kasih!"
"Bukan kau, tapi kamilah yang harus menghaturkan terima kasih padamu," sahut si
nyonya sembari tertawa.
Sesaat itu, gadisnya sudah masuk pula dengan membawa Somthung yang lantas
diberikan kepada Keng Thian. Sesudah minum air godokan itu, ia merasa badannya segar dan
semangatnya terbangun. "Hee-djie," berkata pula sang ibu. "Bawa keluar pakaian Tong Koko. Apa dua stel
pakaian baru itu sudah selesai dijahit?"
"Siang-siang sudah selesai," jawab si nona
Keng Thian mengendus bau amis yang keluar dari pakaiannya dan melihat mata ibu
dan anak itu agak merah, satu tanda bahwa bermalam-malam mereka sudah menggadangi dirinya
Mengingat kebaikan orang Keng Thian jadi sangat terharu dan berkata dengan suara
perlahan: "Budimu yang sangat besar, seumur hidup tak akan aku lupakan."
Mendadak si nona tertawa nyaring. "Ibu," katanya. "Apakah lagak ayahnya juga
seperti ia, halus dan lemah lembut?"
Sang ibu tertawa dan tak meladeni pertanyaan puterinya yang nakal. "Racun itu
hebat luar biasa dan jarang terdapat dalam dunia," menerangkan si nyonya. "Sebenar-benarnya
kau sendirilah yang sudah menyembuhkan lukamu. Untuk apa menghaturkan terima kasih
kepada kami?" "Apa?" menanya Keng Thian dengan rasa heran.
"Untung juga aku masih mengenali Yoeliong pokiam dan mengetahui cara menggunakan
Pekleng tan," jawab nyonya itu. "Kalau bukannya begitu, kami pun tak akan dapat
berdaya lagi."
Si nyonya tertawa-tawa dan kemudian menyambung pula penuturannya: "Orang yang
paling dulu mendapat tahu, bahwa kau sudah kena racun ular adalah si pedagang obat. Ia
segera memberikan dua butir yowan (pil) yang istimewa untuk
menyembuhkan luka digigit binatang berbisa. Obat itu sebenarnya sudah dipesan
oleh sebuah toko obat besar di kota Pakkhia dan oleh karena merasa sangat berhutang budi
atas pertolongan
kita, tanpa merasa sayang ia sudah mengeluarkan obatnya yang mahal itu. Akan
tetapi, yowan tersebut juga hanya dapat menahan menjalarnya racun untuk sementara waktu. Buruburu kami menyewa tandu dan membawa kau sampai disini. Kami berusaha memberikan
pertolongan dengan mengurut jalan darahmu, tapi semua tinggal sia-sia. Dalam kebingungan,
tiba-tiba aku ingat, bahwa sebagai pemilik Yoeliong kiam, kau tentu membawa juga Pekleng tan
yang terbuat dari Soatlian. Benar saja kami beruntung menemukan pil yang mujarab itu dalam
kantongmu dan buru-buru aku menghancurkan sebutir Pekleng tan dengan air salju, separoh aku
cekokkan ke dalam mulutmu dan separoh lagi dipoleskan pada lukamu. Hm! Sungguh hebat racun
si pengemis kusta! Thiansan Pekleng tan yang dapat menyembuhkan segala rupa racun, masih
memerlukan tujuh hari dan tujuh malam!"
Ketika itu Keng Thian sudah sadar benar-benar dan ia ingat segala kejadian pada
malam itu. Mendengar penuturan sang penolong, tanpa merasa ia menanya: "Kalau begitu kau
kenal baik ayahku, bukan?"
Si nyonya mesem dan paras mukanya mendadak bersemu dadu, seperti juga pada malam
itu, ketika mereka baru bertemu muka. "Kenal baik?" ia mengulangi dengan suara
perlahan. "Kami
berdua, aku dan ayahmu, adalah kawan bermain sedari kecil! Apakah ayahmu belum
pernah menyebutkan namanya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng" Aku adalah anak perempuan
Tiattjiang Sintan." "Ha!" Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu, kau adalah Yo
Pehbo. Ibu sering sekali menyebut namamu."
"Apakah ibumu baik?" menanya nyonya itu sembari tertawa.
"Baik," jawabnya. "Sering sekali ibu mengatakan, bahwa pada dua puluh tahun
berselang, mereka pernah menerima budi ayahmu yang sangat besar. Lima tahun ayahku pernah
menjadi murid Yo soetjouw (Kakek guru) dan kalau dihitung-hitung, aku harus memanggil
Soesiok (Paman guru) kepada Pehbo."
Mendengar itu, si nyonya lantas saja teringat segala kejadian pada dua puluh
tahun berselang
dan paras mukanya lantas saja menjadi guram. "Apakah ayahmu baik?" ia menanya.
"Baik, tak kurang suatu apa," jawabnya. "Di Thiansan, ayah memelihara abunya Yo
Soetjouw."
Mendengar itu, muka si nyonya lantas menjadi terang kembali.
"Kami sebenarnya ingin pergi ke Thiansan guna menyambangi kedua orang tuamu. Tak
dinyana, di tengah jalan bertemu dengan kau. Benar-benar maunya Tuhan."
Nama nyonya itu adalah Yo Lioe Tjeng, bekas tunangan Tong Siauw Lan. Belakangan
sesudah pertunangan putus, ia menikah dengan Tjee Sek Kioe, seorang ahli silat
Ngohengkoen. Memang
sudah lumrahnya, bahwa seorang wanita sukar sekali dapat melupakan kecintaannya
yang pertama. Maka itu, walaupun sudah menikah dan mempunyai seorang puteri, kadangkadang ia teringat segala kejadian yang lampau. Sesudah banyak tahun berpisah dengan Tong
Siauw Lan, sering-sering ia teringat bekas tunangan itu. Tjee Sek Kioe mengetahui isi hati
isterinya dan pula
mengetahui, bahwa sesudah mereka menikah dengan segala keberuntungan, kecintaan
sang isteri terhadap Tong Siauw Lan bukannya "kecintaan" yang menyeleweng, akan tetapi suatu
kecintaan dari seorang saudara. Di sebelah itu, ia pun merasa sangat kangen kepada Tong
Siauw Lan, sahabatnya. Maka itulah, ketika sang isteri mengutarakan keinginannya, dengan
segala senang hati ia menemani Yo Lioe Tjeng untuk pergi mencari Tong Siauw Lan. Dulu,
keluarga Tjee bertempat tinggal di rumah Yo Tiong Eng. Tapi belakangan, gara-gara suatu
kejadian, mereka
pindah ke propinsi Soetjoan.
Oleh karena hebatnya racun, sesudah sadar beberapa hari, Keng Thian baru dapat
jalan merayap dengan berpegangan tembok dan untuk mendapat kembali seluruh
kesehatannya, agaknya ia harus mengasoh sedikitnya setengah bulan lagi. Maka itu, tak dapat
tidak ia harus berdiam terus di rumah keluarga Tjee untuk beberapa lama.
Dengan penuh kecintaan, keluarga tersebut merawat Keng Thian, terlebih pula Yo
Lioe Tjeng yang memperlakukan ia seperti puteranya sendiri. Puteri Tjee Sek Kioe, yang
bernama Tjee Tjiang
Hee, adalah seorang gadis jang simpatik dan gembira sifatnya, dengan gerakgeriknya yang lincah
bagaikan seekor burung kecil. Sering sekali ia menemani Keng Thian dan sering
pula meminta petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat. Dalam hari-hari pertama, oleh karena si
pemuda belum kuat,
Tjiang Hee sering menuntun si pemuda waktu jalan di kebun belakang. Keng Thian
adalah seorang ksatria yang jiwanya bebas dari segala ingatan kotor dan sudah
memperlakukan gadis itu
seperti saudara kandungnya sendiri.
Selang sepuluh hari lagi, kecuali badannya yang belum kuat betul, semua racun
sudah tertolak keluar dari tubuhnya. Perlahan-lahan ia mendapat kembali kesehatannya.
Malam itu, bersama Tjiang Hee, ia jalan-jalan di luar rumah. Di bawah sinar
bulan jang laksana
perak, ribuan bunga menyiarkan bau harum semerbak, oleh karena waktu itu adalah
buntut

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musim semi dan permulaan musim panas, di kala kembang-kembang sedang mekarnya.
Sesudah bercakap-cakap ke barat dan ke timur, mendadak Tjiang Hee munculkan soal
Thiansan. "Apakah enak bertempat tinggal di Thiansan?" menanya si nona.
"Yang sudah biasa tak akan merasakan apa-apa," jawab Keng Thian. "Tapi untuk
seorang yang baru datang, keadaan disana tentu mengherankan dan ia harus menyesuaikan diri
dulu. Seluruh tahun gunung itu ditutup es dan dimana-mana terdapat sungai es. Dipandang dari
jauh, sungaisungai
es itu seakan-akan ribuan naga yang berwarna putih."
"Oh, begitu?" berkata si nona dengan perasaan kagum. "Bukankah tempat itu jadi
seperti surga dalam dongengan tempat tinggalnya dewi-dewi?"
Keng Thian jadi teringat Pengtjoan Thianlie dan tanpa merasa ia berkata: "Aku
sendiri pernah melihat keraton es!"
"Di Thiansan?" menanya Tjiang Hee.
"Bukan, bukan di Thiansan," jawabnya.
Tiba-tiba si nona melihat paras muka Keng Thian yang sedikit guram. "Apakah kau
jadi ingat keluargamu, lantaran aku menyebut-nyebut Thiansan?" ia menanya. "Sesudah kau
sembuh, kami semua akan mengantar kau pulang ke Thiansan."
"Bukan, aku bukan teringat keluargaku," sahut Keng Thian. "Sesudah sembuh, aku
malah ingin meneruskan perjalanan ke Soetjoan barat."
"Apa orang yang hidup di Thiansan tak merasa kesepian?" menanya pula si nona.
"Di atas gunung terdapat beberapa keluarga yang berhubungan rapat sekali,
sehingga kita tak
merasa kesepian," menerangkan Keng Thian. "Ie-ie-ku juga berada di Thiansan. Ia
paling senang bergaul dengan nona-nona yang nakal."
"Menurut kata ibu, ibumu dan adiknya adalah saudara kembar dan muka mereka
sangat mirip,"
kata lagi Tjiang Hee. "Apa benar begitu?"
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Aku sendiri sering tak dapat membedakannya."
"Apakah muka saudara misanmu mirip dengan kau?" tanya Tjiang Hee.
"Tidak," jawab Keng Thian sembari tertawa dan kemudian menambahkan: "Piauwmoayku (adik misan perempuan) mirip sekali dengan kau."
"Apa ia cantik?" tanya si nona.
"Cantik. Sungguh cantik!" jawabnya. "Secantik kau!"
"Dusta," kata Tjiang Hee. "Ia tentu banyak lebih cantik!" Sesaat kemudian, ia
tertawa dan berkata pula: "Kata ibu, kau adalah seorang pemuda yang baik sekali, sama benar
dengan ayahmu dulu. Kalau benar begitu, kau juga tentu adalah seorang muda yang sangat
romantis."
"Apa?" menegasi Keng Thian dengan perasaan jengah.
"Dulu, pada waktu ayahmu berdiam di rumah kakekku (Yo Tiong Eng), ia telah
menulis sebuah sajak yang kemudian disimpan oleh ibuku," menerangkan Tjiang Hee. "Belakangan,
oleh karena merasa ketarik, aku mengambil sajak itu dan selalu kubawa-bawa dalam kantongku.
Aku sendiri tak begitu mengerti isinya dan ingin minta petunjukmu. Sesudah membaca itu
berulang kali, sedikit banyak aku mengetahui, bahwa penulisnya adalah seorang lelaki yang
sangat romantis."
Tjiang Hee adalah puteri tunggal dari keluarga Tjee dan sedari kecil mendapat
didikan seperti
seorang anak lelaki. Maka itu, ditambah dengan adatnya yang sangat polos, ia
selalu bicara terus
terang, tanpa tedeng aling-aling.
Di lain pihak, mendengar si nona membicarakan soal ayahnya, Keng Thian merasa
agak jengah. Akan tetapi, tersurung hati kepingin tahu, lantas saja ia berkata: "Bolehkah aku
membaca itu?"
Kertas itu sudah pecah di sana-sini, tapi huruf-hurufnya masih lengkap dan dapat
dibaca. Di atas kalimat "Pek Tjoe Leng" atau Sajak Seratus Huruf terdapat tulisan yang
artinya kira-kira
seperti berikut:
Sungguh lelah, hidup terombang-ambing,
Di antara lautan manusia, Apakah ada sahabat yang mengetahuinya" Sarung pedang
dan kantong syair adalah kawan satu-satunya, Melawan sang angin malam, menginjak
embun pagi, berjalan tak henti-hentinya, Nyanyiannya yang keras menembus awan. Suaranya yang
santer membubarkan halimun. Bagaikan seekor burung Gan yang terbang pergi akan kemudian
balik kembali! Bagaikan si burung Yo, bagaikan si burung walet, Menginjak salju,
tapaknya tak berbekas! *** Gunung yang tertutup awan, bayangan dalam impian, semuanya samar-samar, Anak
walet mencari sarang. Tapi takut rintangan sang tirai, Walaupun dalam kantong sudah
penuh dengan tulisan indah, Tapi siapakah yang dapat menyampaikan kepada si dia" Demikianlah
sambil memeluk khim, menggubah lagu. Dengan mata mengawasi sang langit yang tiada
tepinya! Sogo dan Tjenglie, Sampai kapankah kita dapat bertemu"
Dulu, sajak itu sebenarnya ditulis oleh Tong Siauw Lan lantaran ia tak dapat
melupakan Lu Soe
Nio. Tapi Yo Lioe Tjeng sudah salah sangka, ia menduga, bahwa Siauw Lan menulis
untuk dirinya sendiri, dan itulah sebabnya, mengapa ia lalu menyimpan sajak tersebut sebagai
peringatan yang
indah. Sehabis Keng Thian membaca, sambil tertawa Tjiang Hee berkata: "Ibumu sungguh
beruntung. Ayahmu membandingkan ia seperti seorang dewi (Sogo dan Tjenglie)!"
Dengan begitu, Tjiang Hee juga sudah salah menafsirkan. Ia menganggap, dengan
"Sogo dan Tjenglie" dimaksudkan ibu Keng Thian.
Tapi Keng Thian sendiri merasa sangat heran dalam hatinya. Membaca sajak itu,
Keng Thian yang cerdas mengetahui, bahwa si penulis sedang memikirkan seorang wanita yang
berada jauh, yang bagaikan sekuntum bunga, hanya dapat dipandang, tapi tak dapat dipetik.
"Ketika itu ayah
berada dalam rumah keluarga Yo, maka tak bisa jadi sajak tersebut ditulis untuk
Yo Pehbo,"
katanya di dalam hati. Sebagai seorang yang tak mengetahui asal-usul sajak
tersebut, Keng Thian
segera menarik kesimpulan, bahwa ayahnya sudah menulis untuk ibunya sendiri.
"Begitu ayahnya, begitu juga anaknya," kata Tjiang Hee, tertawa. "Kau pun tentu
seorang muda yang romantis. Hanya sayang, piauwmoay-mu tak berada disini." Mendengar
perkataan si nona, Keng Thian jadi merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Hm! Mana kau tahu"
Piauwmoayku dan kau sendiri sama saja seperti ibumu dahulu, sedang aku sendiri tak berbeda
seperti ayahku. Mana kau tahu, bahwa di dalam hati aku sedang memikirkan seorang lain!"
Melihat si pemuda sebentar merengut dan sebentar mesem, Tjiang Hee jadi merasa
heran sekali. Tiba-tiba Keng Thian mendehem dan dari antara pohon-pohon bunga, berjalan keluar
ibu Tjiang Hee. "Ibu, kenapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?" tanya si nakal.
"Kalian bicara apa, sedikitpun aku tak dengar," jawabnya sembari tertawa.
Ibu dan anak itu, yang perhubungannya, seperti juga kakak dan adik, gemar sekali
berguyonguyon, akan tetapi Keng Thian yang mendengar kata-kata mereka itu sudah jadi jengah
sekali. "Malam sudah larut, untuk apa Pehbo keluar seorang diri?" ia menanya.
"Yah memang sudah larut malam," jawab sang bibi sembari lirik mereka.
Muka Keng Thian jadi berubah merah. Sesaat kemudian, Yo Lioe Tjeng berkata
dengan suara perlahan: "Keng Thian, sekarang ini kesehatanmu belum pulih kembali. Hee-djie,
tak boleh kau mengajak Tong Koko pergi terlalu jauh dari rumah ini."
Mendengar ibunya bicara sungguh-sungguh, si nona segera menanya: "Kenapa?"
"Keng Thian," berkata pula Yo Lioe Tjeng tanpa menjawab pertanyaan puterinya.
"Apakah kau
masih ingat si pengemis kusta?"
Tjiang Hee bergidik dan mendului menjawab: "Manusia jelek yang seperti beburonan
itu" Sampai badanku menjadi debu, tak dapat aku melupakannya!"
"Sebenar-benarnya, mukanya tidak begitu," kata Keng Thian sembari mesem. "Jika
tidak sengaja menakut-nakuti orang, ia sebenarnya adalah seorang pemuda yang berparas
cakap." Baru saja berkata begitu, hati Keng Thian tergoncang, oleh karena ia ingat
serupa hal. Ia ingat
penuturan kedua orang tuanya cara bagaimana dulu mereka bertempur melawan
Tokliong Tjoentjia di suatu pulau kecil. Semula Tokliong Tjoentjia adalah seorang
penderita kusta dan
kemudian melarikan diri ke pulau itu dan dapat menyembuhkan sendiri
penyakitnya. Oleh karena itu, di kemudian hari, ia jadi sangat membenci manusia
seumumnya. Sebagai seorang jang pernah membaca buku-buku pengobatan, Keng Thian sungguh
tidak mengerti halnya si pengemis kusta. "Dengan bisul-bisul yang memenuhi sekujur
badannya, penyakitnya tentu sudah sangat berat," pikir Keng Thian. "Tapi kenapa bulu
alisnya tidak rontok"
Apakah ia bukan seperti Tokliong Tjoentjia" Jika benar begitu, penyakitnya tentu
sudah sembuh lama sekali. Dulu, sesudah berlatih puluhan tahun, baru Tokliong Tjoentjia
memperoleh ilmu silat
yang tinggi. Di lain pihak, si pengemis masih berusia sangat muda dan sebagai
orang jang menderita penyakit kusta, siapakah yang sudi menjadi gurunya" Tapi, kenapa ia
mempunyai kepandaian yang begitu tinggi?"
Demikianlah, macam-macam pertanyaan datang ke alam pikiran Keng Thian. Apakah si
pengemis adalah murid Tokliong Tjoentjia" Ini juga tak mungkin, oleh karena,
sepanjang penuturan ibunya, sesudah ditakluki oleh Loe Soe Nio, Tokliong Tjoentjia telah
kembali ke Tionggoan dan tiga tahun kemudian, ia sudah meninggal dunia. Waktu itu, usia si
pengemis kusta paling banyak baru dua atau tiga tahun.
Keng Thian adalah seorang yang sangat cerdas, semakin ia memikir, semakin besar
rasa sangsinya terhadap pengemis itu. "Pehbo," katanya. "Kau menyebut-nyebutkan
pengemis kusta itu, apakah dia sedang berada di dekat-dekat sini?"
"Benar," jawab Yo Lioe Tjeng. "Seorang guru silat dari Lengkoan datang
berkunjung dan mengatakan, bahwa di tempatnya telah muncul seorang pengemis kusta yang
menyeterukan orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Menurut katanya, Tong Lootaypo juga
telah dirobohkan.
Kedatangannya adalah untuk minta bantuan dari ayah Hee-djie, tanpa mengetahui
bahwa kita juga sudah bergebrak dengan pengemis itu."
Mendengar kisah itu, Keng Thian terkejut. Kesehatannya belum pulih dan jika
benar-benar si pengemis kusta datang, sungguh tak ada orang yang akan melawannya.
"Apakah Tong Lootaypo yang pernah mengajarkan aku menimpuk senjata rahasia?"
tanya Tjiang Hee. "Benar," jawab ibunya, yang kemudian sembari tertawa berkata kepada Keng Thian:
"Pada dua puluh tahun lebih berselang, suaminya telah dibunuh oleh Ie-ie-mu. Ketika itu,
Rahasia Peti Wasiat 8 Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak Hong Lui Bun 8

Cari Blog Ini