Ceritasilat Novel Online

Bunga Pedang Embun Hujan 3

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Bagian 3


untukmu" sahut Siau Lui ketus, bahkan melirik sekejap ke
arahnya pun tidak. Merah padam seluruh wajah Ouyang Ci, ia jadi salah
tingkah, mau duduk salah mau berdiri pun tak benar.
Kembali Siau Lui berkata:
"Sayang sekali aku bukan kau, selamanya aku tak punya
kebiasaan semacam ini."
"Kau... kau mau apa" Masa keluargaku benar-benar harus
mati berapa puluh orang agar bisa kau kuburkan mereka dan
membayar impas hutang ini?"
Siau Lui tidak menggubris, kembali ia menatap Liong Su
sambil ujarnya, "Aku telah berhutang budi kepadamu,
seandainya aku miliki berapa ratus tahil perak tentu akan
kubayarkan kepadamu. Tapi aku tak punya, maka aku datang
mencarimu" Dengan suara yang keras dan tegas bagaikan paku baja,
sepatah demi sepatah kembali lanjutnya, "Apapun yang kau
inginkan pasli akan kulakukan, katakan saja tenis terang!"
Liong Su tertawa terbahakk-bahak.
"Mau anggap kau berhutang budi kepadaku juga boleh,
tidak berhutang juga tak apa-apa. Yang penting asal kau mau
menemani aku minum berapa teguk arak,aku Liong Su sudah
merasa puas sekali!"
Siau Lui mengawasi wajah orang itu dengan termangu,
sampai lama, lama sekali, ia baru menggebrak meja seraya
berseru, "Ambilkan arak!"
Arak itu pedas rasanya, Siau Lui penuhi terus cawan
besarnya dengan arak, tangannya tak pernah berhenti, arak
juga tak pernah berhenti, semangkuk demi semangkuk
sekaligus dia habiskan tigabelas mangkuk besar arak.
119 Dari tigabelas cawan arak itu paling tidak sudah ada enamtujuh
kati arak yang mengalir masuk ke perutnya. Biarpun
enam-tujuh kati arak yang pedas dan panas telah masuk
perut, paras mukanya sama sekali tidak berubah.
Ouyang Ci mengawasi pemuda itu dengan pandangan
tertegun bercampur kagum, tiba-tiba ia menggebrak meja
sambil berteriak keras, "Hei orang gagah, dari takaran arak
yang kau miliki, aku Ouyang Ci patut menghormati kau
dengan tiga mangkuk arak!"
"Hahaha... Tak nyana ada juga saatnya kau takluk kepada
orang lain!" seru Liong Su sambil tergelak.
"Takluk yaaa takluk, tidak takluk yaaa tidak takluk!" seru
Ouyang Ci mendelik. "Bagus! Memandang ucapanmu itu, aku juga patut
menghormati kau dengan tiga mangkuk arak!"
Kembali enam mangkuk arak mengalir masuk ke dalam
perut, paras muka Siau Lui masih tetap pucat pias bagai
mayat, namun sinar matanya tetap teguh dan keras.
Ia sudah bukan lagi minum arak tapi menenggak arak.
Semangkuk demi semangkuk arak yang pedas dan panas
bagaikan bara api dengan begitu saja mengalir masuk ke
dalam perutnya. Memang begitulah macam orang gagah yang berkeliaran di
sungai telaga, kawanan pegawai pengawal barang sudah
mulai datang merubung, paras muka mereka rata-rata
menunjukkan perasaan kagum yang tak terhingga.
Mendadak ada seseorang menerobos masuk dari balik
kerumunan orang, ia merangsek masuk ke dalam kedai
tersebut, dia adalah seorang kakek pendek kurus-kering
berambut putih. Ia menjinjing sebuah buntalan panjang berwarna kuning,
tampaknya di situ ia sembunyikan senjatanya.
Salah seorang anggota piaukiok segera menghampirinya
seraya menegur, "Sahabat, mau apa kau kemari?"
"Memangnya aku tak boleh kemari?" kata kakek itu sambil
menarik muka. 120 "Apa isi buntalanmu itu?"
"Apa kau bilang?" kakek itu tertawa dingin. "Paling tidak
seharusnya senjata yang pernah dipakai untuk bunuh orang!"
"Ooh, rupanya sahabat sengaja ingin cari gara-gara, kalau
begitu gampang sekali," kata anggota piaukiok itu sambil
tertawa dingin. Ia merangsek maju ke depan lalu berusaha menyambar
buntalan yang berada di tubuh kakek itu.
Baru saja tangannya bergerak ke depan, tiba-tiba kakek itu
sudah menyodorkan buntalan tersebut ke arahnya seraya
berteriak, "Tak heran banyak orang bilang pengawal barang
tak bedanya dengan perampok, jika menginginkan barang
ini... Nih, kuhadiahkan kepadamu!"
Sambil berteriak, ia segera lari sipat kuping.
Pengawal itu seperti hendak mengejar, tapi Liong Su sudah
menghardik sambil berkerut dahi.
"Biarkan dia pergi, periksa saja apa isi buntalan itu?"
Isi buntalan itu hanya sebuah gulungan lukisan, di atas
gulungan lukisan itu dipenuhi banyak debu.
Pengawal itu segera membuka gulungan tersebut, tapi
sebelum melihat jelas isinya tiba tiba ia bersin berulang-kali,
mungkin ada debu yang telah masuk ke lubang hidungnya.
Liong Su terima gulungan lukisan tersebut, setelah memandangnya
sekejap, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat.
Gulungan lukisan itu berisi lukisan seorang kakek berambut
putih yang memakai baju warna hijau, seorang diri ia sedang
berjalan di jalanan perbukitan, tangannya menenteng sebuah
payung kertas. Mendung gelap terlihat menyelimuti udara, hujan rintikrintik
muncul di balik awan, sebuah cakar naga tampak
muncul dari kegelapan diikuti sebuah ekor naga yang tinggal
sebelah, agaknya ekor itu sudah terbabat kutung hingga
mengucurkan darah, titik darah jatuh di atas payung kertas
yang berada di tangan si kakek. Dari balik hujan rintik
kelihatan juga bintik darah sehingga air hujan berubah
menjadi kemerah-merahan. 121 Kakek dalam lukisan itu kelihatan sangat santai, ia sedang
mendongak melihat langit sambil mengulumkan senyuman di
bibir. Ketika wajahnya dilihat lebih teliti lagi, ternyata persis
seperti wajah si kakek kurus pendek yang muncul membawa
buntalan tadi. Hijau membesi paras muka Liong Su, termangu mangu dia
awasi lukisan si kakek dalam gulungan lukisan tersebut.
Sorot mata Ouyang Ci juga ikut berubah memerah, hawa
membunuh sudah menyelimuti wajahnya, dengan kepalan
dikencangkan gumamnya seraya tertawa dingin, "Bagus,
akhirnya datang juga... awal juga kehadirannya..."
Belum selesai ia bergumam, pengawal tadi sudah menjerit
tertahan sambil roboh ke tanah, paras mukanya menampilkan
rasa takut dan ngeri yang luar biasa, ternyata ia tak mampu
lagi untuk menarik napas.
"Kenapa kau?" seru Ouyang Ci dengan wajah berubah.
"Kroook... krooook..." dari tenggorokan pengawal itu hanya
mengeluarkan suara aneh, tak sepatah kata pun sanggup
diucapkan keluar. "Dia pasti kena angin duduk dalam perjalanan tadi," seru
Liong Su dengan wajah serius. "Cepat gotong pergi untuk
istirahat, sebentar juga akan baikan."
Ouyang Ci seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi Liong
Su serta berkedip memberi tanda agar tidak bicara.
Siau Lui masih meneguk arak semangkuk demi semangkuk,
dia seolah-olah tidak perduli dengan urusan orang lain.
Tiba tiba Liong Su tertawa tergelak, katanya, "Lui Kongcu,
takaran arakmu betul-betul hebat dan tiada tandingan. Sayang
cayhe sudah tak bisa menemani lagi!"
Walaupun bicara sambil tertawa namun panggilannya telah
berubah, sikapnya juga berubah lebih dingin dan hambar.
Siau Lui tidak menjawab, dia angkat gentong arak lalu
meneguknya hingga habis isinya, lalu... "brakkk!" dia banting
gentong itu hingga hancur berkeping, setelah itu sambil
bertepuk tangan dan bangkit berdiri serunya:
122 "Baik, kita boleh berangkat!"
"Silahkan Lui kongcu!"
"Apa maksudmu silahkan?"
Liong Su tertawa paksa. "Antara Lui kongcu dengan cayhe tak ada hubungan apaapa,
kita bukan berasal dari aliran yang sama, tak ada
perjamuan yang tak bubar, sekarang sudah waktunya buat
kita untuk berpisah."
Siau Lui menatapnya tajam-tajam, lama... lama kemudian
tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.
"Bagus, sahabat sejati... Liong Kong, Liong Su, kau betul
betul seorang sahabat sejati" serunya.
"Kita bukan sahabat!" tukas Liong Su sambil menarik muka.
"Kita sahabat!"
"Bukan!" "Perduli amat kita bersahabat atau bukan, pokoknya aku
sejalan dengan kau..."
"Tidak!" "Ya!" Liong Su menatapnya tak berkedip, sampai lama kemudian
ia baru menghela napas panjang, katanya, "Kenapa kau harus
memaksa untuk jalan sealiran denganku?"
"Karena sejak lahir watak keledaiku memang begini," sahut
Siau Lui, kemudian setelah menepuk bahu Ouyang Ci,
lanjutnya, "bukan begitu?"
"Bukan!" "Yaa!" "Tak ada manfaatnya jadi keledai..." sela Liong Su.
"Paling tidak masih ada sedikit kebaikan!"
"Oya...?" "Paling tidak seekor keledai tak akan mengkhianati
sahabatnya. Bila sahabatnya menghadapi ancaman mara
bahaya, dia tak akan ngeloyor pergi menyelamatkan diri,
sekalipun kau cambuk dia dengan cambuk keledai, jika dia
bilang tak akan pergi, sampai mati pun tak bakal pergi!"
123 Liong Su mengawasinya dengan mata berkaca-kaca,
kelopak matanya telah dipenuhi air mata hangat, tiba-tiba ia
menggenggam tangan Siau Lui dan dipegang erat-erat.
Mereka tidak berkata lagi.
Yaa, apa yang perlu dikatakan lagi terhadap sebuah tali
persahabatan yang begitu mulia dan murni"
DARAH DAN AIR MATA I Jian-jian menundukkan kepalanya, seakan-akan ia tak
berani memandang Siau Ho-ya yang sedang duduk persis di
hadapannya, ia hanya menjawab dengan suara lirih, "Aku dari
marga Cia." II Seorang kakek berambut putih yang memakai baju hijau
sedang berjalan sendirian di jalanan sebuah perbukitan,
sekulum senyuman yang licik dan penuh misterius tersungging
di ujung bibirnya. Tiba-tiba halilintar membelah awan mendung yang
menyelimuti udara, cahaya petir yang menyambar turun dari
balik awan terang sekali bagaikan seekor naga emas.
Di tengah hiruk-pikuk ramainya suara ringkikan kuda,
rombongan pengawal barang itu segera menghentikan
perjalanannya. Rambut Liong Su telah basah kuyup oleh guyuran air hujan,
butiran hujan setes demi setetes mengalir ke bawah
124 membasahi baju di balik jas hujannya. Tubuhnya sama sekali
tak bergerak, seolah-olah terpaku di atas pelana kudanya,
sementara sepasang mata yang tajam mengawasi si kakek
berbaju hijau yang sedang berjalan mendekat.
Orang tua itu seakan-akan sama sekali tidak melihat kalau
ada satu rombongan besar kereta kuda menghadang jalan
perginya, dia hanya menengadah ke atas memeriksa keadaan
cuaca lalu bergumam, "Aneh, katanya ada naga sedang
terbang di angkasa, kenapa aku tidak melihatnya" Masa hanya
seekor naga mampus yang ada di situ?"
"Naga itu belum mampus!" bentak Ouyang Ci keras keras.
Di tengah bentakan nyaring, cambuk kuda yang berada di
tangannya telah diayunkan ke tubuh kakek itu. Benar juga,
sambaran cambuknya persis seperti seekor naga berbisa yang
sedang terbang di angkasa.
Jarak antara mereka berdua masih selisih dua kaki lebih,
tapi cambuk hitam itu panjangnya justru empat kaki,
sambaran ujung cambuk tadi persis melilit di atas tengkuk
kakek tersebut. Si kakek masih berjalan ke depan dengan langkah lambat,
ketika ujung cambuk tiba di hadapan mukanya tiba-tiba ia
tarik ke belakang payung kertasnya kemudian diputar ke
bawah, dengan tepat ia tahan sambaran cambuk tersebut.
Dalam waktu singkat ujung cambuk telah melilit tiga
lingkaran di atas payung kertas itu.
Tiba-tiba kakek itu merentangkan payungnya... "Blaaakk!"
diiringi suara nyaring tahu tahu cambuk lemas itu telah putus
menjadi tujuh-delapan bagian.
Berubah paras muka Ouyang Ci, begitu juga Liong Su.
Sambil memandang kutungan cambuk yang tersebar di
tanah dengan matanya yang sipit, gumamnya lirih, "Aku rasa
naga yang ini sudah waktunya untuk mampus!"
"Coba lihat yang ini..." hardik Ouyang Ci nyaring.
Seraya menjejakkan kakinya pada pelana, ia segera melejit
ke udara setinggi satu kaki, lalu setelah berjumpalitan
beberapa kali tangannya segera diayun ke depan, puluhan titik
125 cahaya bintang serentak memancar keluar dari balik
punggung, siku, tangan, ujung baju serta kakinya.
Jangan dilihat piausu nomor wahid dari perusahaan
Tionggoan Su Toa-piaukiok ini punya watak yang berangasan
dan kasar, ilmu silat yang dimiliki justru amat tinggi dan
sempurna, bahkan masih terhitung seorang jagoan dalam hal
senjata rahasia. Memang bukan satu pekerjaan yang gampang bagi siapa


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun untuk melepaskan puluhan jenis senjata rahasia dalam
saat yang bersamaan. Kakek berbaju hijau itu masih memandang lawannya
dengan mata yang sipit, dari ujung kaki hingga ujung
kepalanya ia sama sekali tak bergerak, namun payung kertas
yang berada dalam genggamannya justru diputar bagaikan
gangsingan. Terciptalah selapis lingkaran cahaya yang amat
menyilaukan mata. "Cringg... criing... criing..." di antara serangkaian suara
denting yang nyaring, dalam sekejap mata puluhan titik
cahaya bintang itu sudah terpental balik ke empat penjuru
Ouyang Ci mempunyai banyak cara untuk melepaskan
senjata rahasianya, ada yang berputar bagai gangsingan, ada
yang terbang beriring, ada yang cepat, ada yang lambat, ada
yang duluan ada juga yang belakangan bahkan ada pula yang
saling membentur di angkasa.
Sebaliknya cara yang digunakan kakek berbaju hijau itu
untuk merontokkan senjata rahasia hanya ada satu, namun
cara yang tunggal itu justru paling manjur dan bermanfaat.
Tidak perduli dengan cara apapun kau lepaskan senjata
rahasia itu, asal terbentur dengan payung kertasnya, seluruh
senjata amgi itu akan terpental dan mencelat ke empat
penjuru. Bahkan ada sebagian dari senjata rahasia itu yang berbalik
menyerang tubuh Ouyang Ci... Tentu saja tak akan benar
benar mengenai tubuh orang tersebut.
Buru buru Ouyang Ci melejit kembali ke atas pelana
kudanya sambil mengawasi payung kertas di tangan lawannya
126 itu dengan mata melotot, Kini siapa pun sudah dapat melihat
dengan jelas, payung tersebut tentu saja bukan terbuat dari
kertas. Dengan wajah serius tiba tiba-Liong Su berseru, "Rupanya
anda adalah Giam lo-san, si payung dari neraka Tio Hui-liu,
Tio- losianseng!" "Hmm, tak nyana Liong Su masih memiliki ketajaman mata
yang mengagumkan!" sahut kakek itu sambil tertawa ringan.
Liong Su tertawa dingin, kembali katanya, "Sungguh tak
disangka Tio losianseng sudah bergabung dengan Hiat-yubun,
benar-benar di luar dugaan!"
"Mungkin masih banyak lagi urusan yang tak kau duga,"
tukas Giam-lo-san cepat. Tiba-tiba ia membalikan tangannya menunjuk ke arah
dinding bukit di tepi jalan sambil katanya;
"Coba kau perhatikan lagi siapakah dia?"
Dinding tebing itu tegak lurus lagi gersang, tak sedikitpun
tumbuhan yang tumbuh di situ.
Mana orangnya" Tapi baru saja perkataannya selesai
diucapkan, mendadak terdengar "Traaang!"
Percikan bunga api menyebar ke empatpenjuru.
Sejenis benda tiba-tiba meluncur datang dari samping dan
langsung menancap di atas batu karang yang keras bagaikan
baja itu, benda tersebut tak lain adalah sebuah kampak besar.
Menyusul kemudian dari atas tebing bukit di seberang sana
meluncur kembali sebuah cambuk panjang yang langsung
melilit di atas ujung kampak tadi hingga tertarik tegang, tali
panjang itu langsung menutup seluruh jalan tadi.
Cambuk panjang yang berwarna hitam itu berkilauan memancarkan
sinar di bawah curahan hujan gerimis, tidak jelas
terlihat cambuk itu terbuat dari bahan apa.
Empatsosok bayangan manusia pelan-pelan berjalan turun
melalui atas tali panjang tadi, mereka berjalan amat santai
seolah-olah sedang berjalan di tanah datar.
Orang pertama bermata besar dan berewokan, ia biarkan
pakaian bagian dadanya terbuka lebar hingga nampak bulu
127 dadanya yang hitam lebat. Dia seolah olah memang sengaja
mempamerkan bulu dadanya itu agar tampilannya nampak
lebih jantan. Orang kedua bertubuh jangkung dengan wajah yang putih
bersih tanpa kumis atau janggut, sebilah pedang tergantung di
pinggangnya, ia berjalan sedikit lengggak lenggok, persis
seperti seorang wanita. Kalau dilihat wajahnya, ketika masih muda dulu pasti masih
terhitung seorang lelaki tampan, sayang kini telah berusia
empatpuluh lima tahun sehingga walau sebersih apapun kau
cukur kumis dan janggutnya, namun tak bisa menutupi
kerutan-kerutan di wajahnya yang menandakan ketuaan.
Orang ke tiga adalah seorang lelaki berwajah kuning yang
kurus lagi jangkung, sebilah golok berkepala setan tergembol
di punggungnya. Orang ke empat bukan hanya jangkung sekali, tubuhnya
juga kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, dia tak
ubahnya seperti seorang setan beneran.
Melihat kehadiran ke empat orang itu, sambil tertawa
dingin Ouyang Ci segera berseru:
"Hmm, rupanya lima setan neraka dari lima istana (Ngothian
Giam-lo) telah bergabung semua dengan Hiat-yu-bun.
Selamat... selamat!"
Tio Lo-sianseng tertawa lirih, sahutnya, "Setelah melihat
kehadiran Giam-lo San si Payung neraka, semestinya kau bisa
menduga kalau Kampak neraka Giam-lo Pouw, Giam-lo Kiam si
Pedang neraka, Giam-lo To si Golok neraka dan si Pecut
neraka Giam-lo Pian juga telah hadir semua di sini"
"Tempat ini bukan neraka, buat apa begitu banyak raja
neraka yang berkunjung kemari?"
"Mau apa" Tentu saja untuk membegal kereta barang dan
bendera perusahaan kalian"
"Aaaah, tidak banyak, tidak banyak, kalian masih minta apa
lagi?" "Asal semua kereta dan bendera perusahaan kalian
tinggalkan, lalu setiap orang meninggalkan sebelah tangan
128 dan sebelah kakinya, hutang piutang kalian dengan Hiat-yubun
kami anggap lunas!" "Kalau tidak?" "Kalau tidak maka tiga puluh enam butir batok kepala milik
kalian harus ditahan di sini!"
Ouyang Ci segera mendongakkan kepalanyadantertawa
terbahak-bahak, serunya, "Baik, kalau begitu silahkan ambil
batok kepala kami yang masih menempel ini!"
"Hmm, apa sulitnya..." jengek Tio Lo-sianseng dingin.
Liong Su masih duduk tak berkutik di atas pelana kudanya,
ia duduk bagai sebuah arca, tiba-tiba saja ia julurkan
tangannya seraya menghardik, "Tombak!"
Sebuah tombak sepanjang satu koma empat kaki dengan
ujung tombak berwarna merah darah. "Toookkk!" senjata itu
ditancapkan ke tanah dalam-dalam.
Dengan suara nyaring Liong Su berseru, "Sudah lama aku
orang she Liong ingin menjajal sampai di mana kehebatan
ilmu silat yang dimiliki Ngo-thian Giam-lo! Ayoh, siapa yang
ingin maju duluan?" "Kami berlima!" sahut Tio Losianseng cepat.
Lalu sambil menuangkan mata tersenyum licik, lanjutnya,
"Jangan kau anggap kejadian ini sebagai pertandingan ilmu
silat. Kami datang untuk menghadang dan merampok kalian,
jadi semua peraturan sungai telaga tidak berlaku di sini, toh
jumlah kalian masih delapan-sembilan kali lipat lebih banyak
ketimbang jumlah kami!"
Ketika kata terakhir baru meluncur keluar dari mulutnya,
Giam-lo Kiam yang berada di atas tali mendadak melayang ke
udara, di antara kilatan cahaya tahu-tahu ia sudah menyerbu
ke tengah rombongan kereta barang.
Di antara kilatan cahaya pedang, jeritan ngeri bergema
memecahkan keheningan. Di tengah muncratan darah segar
seorang pengawal telah roboh bersimbah darah.
Jangan dilihat cara berjalan orang ini terseok-seok macam
seorang banci, begitu turun tangan ternyata serangannya
begitu ganas, tajam dan cepat.
129 Bersamaan waktu, Giam-lo To si lelaki bermuka kuning
melejit juga ke tengah udara, goloknya langsung membacok
ke tubuh Ouyang Ci. Giam-lo Pian segera menghentakkan tali panjangnya.
Kampak yang semula menancap di atas dinding karang segera
melejit ke tengah udara. Giam-lo Pouw melompat maju
menyambut senjatanya, lalu dengan sekali putaran badan ia
ayun mata kampaknya langsung membabat kepala kuda yang
ditunggangi Ouyang Ci. Baru saja OuyangCi berkelit dari bacokan golok, kuda
tunggangannya sudah meringkik kesakitan lalu roboh terkapar
di tanah. Dalam pada itu Giam-lo Pian telah menghentakkan
senjatanya langsung menyambar ke arah panji perusahaan
yang terpancang di atas kereta barang terdepan.
Di sisi lain Tio Lo-sianseng telah bertempur sengit melawan
tombak Liong Su. Biarpun gerakan tombak itu cepat bagaikan
seekor naga sakti, sayang kecepatan tersebut tak bisa
mengimbangi kegesitan dan kelincahan Tio Lo-sianseng. Dia
seolah-olah memang sangat ahli dalam mencari peluang
kosong hingga untuk sesaat ilmu tombak yang dimainkan
Liong Su tak sanggup dikerahkan semaksimal mungkin.
Apalagi selain harus melindungi anak buah sendiri, dia pun
harus selamatkan kuda tunggangannya dari bokongan musuh.
Sementara itu Giam-lo Pouw telah menyerbu ke tengah
rombongan piausu. Di satu sisi pedang menyambar, di sisi lain
kampak membacok, satu keras satu lunak... jeritan ngeri
bergema silih berganti, kembali ada lima orang roboh
bermandikan darah. Pecut panjang dari Giam-lo Pian telah menyambar persis di
depan panji perusahaan. Seorang piausu segera menyongsong
kehadiran senjata itu, dengan tubuhnya ia melindungi panji
dari sergapan musuh, siapa sangka di detik terakhir itulah
mendadak pecut panjang itu mengait ke atas dan langsung
melilit tenggorokannya. 130 "Kraaakkk!" terdengar suara gemerutuk keras, tahu-tahu
batok kepala itu sudah terkapar lemas ke samping, disusul
kemudian tubuhnya ikut roboh lemas ke atas tanah.
Ngo-thian Giam-lo (lima raja neraka dari lima istana) telah
maju dan menyerang bersama, kerja sama mereka betul-betul
luar biasa, serangannya fatal dan sangat mematikan.
Apalagi dalam pertempuran kali ini, waktu, tempat semua
adalah pilihan mereka. Setiap langkah setiap jengkal tanah
telah mereka rencanakan sebelumnya dengan sangat teliti.
Oleh sebab itu begitu turun tangan, posisi mereka segera
berada diatas angin. Berbeda sekali dengan posisi Liong Su, pertarungan
semacam ini sangat sulit dan tidak menguntungkan pihaknya.
Siau Lui masih duduk tenang di atas pelana kudanya, ia
cuma menyaksikan pertarungan itu tanpa melakukan reaksi
apapun. Walaupun pertempuran berdarah sudah dimulai, tapi
entah kenapa ternyata tak sebuah senjata pun yang mampir di
tubuh atau ke arah kuda tunggangannya.
Atau mungkin hal ini dikarenakan dandanannya yang
kelewat kotor, kelewat rudin sehingga orang lain anggap dia
tak berharga untuk diserang"
Dia masih tetap duduk, mengikuti jalannya pertempuran
tanpa bergerak sedikit pun, biarpun kuda tunggangannya
meringkik terus dan melompat kesana-kemari, namuniamasih
belum juga bergerak, bahkan sepasang mata pun sama sekali
tak berkedip. Kalau bukan otot dan syaraf di dalam tubuhnya terbuat dari
kawat baja, mungkin pemuda ini sudah dibuat kaku karena
kejadian ini. Jika memang tak mau melakukan apa-apa, buat
apa dia ikut datang ke situ"
Mungkinkah dia sedang menunggu kesempatan emas"
Cahaya pedang si Pedang neraka Giam-lo Kiam berkilauan
memancarkan sinar tajam ke seluruh angkasa, tiba-tiba ia
mundur tiga langkah kemudian sambil membalikkan tubuh,
senjata itu langsung menusuk ke iga Siau Lui.
131 Akhirnya apa yang ditunggu tiba juga, ternyata mereka
memang tak akan lepaskan dirinya... tiga puluh enam lembar
jiwa semuanya harus ditahan di situ.
Siau Lui berkerut kening, belum sempat dia menghindar
tiba-tiba cahaya merah menyambar lewat, sebuah tombak
telah menyapu di hadapannya menangkis datangnya bacokan
pedang itu. "Dia bukan anggota Piaukiok kami!" hardik Liong Su keraskeras.
"Kalian tak boleh melukainya..."
Belum selesai hardikan tersebut, darah segar telah
menyembur keluar dari kaki kirinya.
Walaupun ia berhasil menangkis serangan pedang yang
ditujukan ke tubuh Siau Lui, namun kaki kirinya justru telah
tersambar ketajaman payung sakti milik Giam-lo San sehingga
tergores mulut luka sepanjang tujuh inci. Seandainya kuda
tunggangannya tidak berpengalaman dalam pertempuran,
mungkin kaki itu sudah terpapas kutung.
Siau Lui menggigit bibir kencang kencang, air mata telah
membuat sepasang matanya berkaca-kaca.
Sementara itu si Kampak neraka telah terjerumus dalam
kepungan musuh. Melihat itu Giam-lo Kiam segera
menghentakkan tubuhnya menerjang ke depan, senjatanya
diayunkan ke kiri-kanan berusaha membuka sebuah jalan
berdarah. Pecut yang berada di tangan Giam-lo Pian akhirnya sudah
berhasil melilit panji yang berada di atas kereta barang.
Dengan sekali hentakan, panji itu segera mencelat ke udara
mengikuti gerakan pecut yang mencengkeramnya.
Jika panji perusahaan ini sampai terjatuh ke tangan orang
lain, maka nama baik perusahaan boleh dibilang sudah hancur
setengahnya. Merah membara sepasang mata piausu yang sedang
memburu panji tersebut, sambil berteriak keras sontak dia
meluruk ke arah jatuhnya panji perusahaan tersebut.
132 Giam-lo Pian mendengus sinis, ia getar senjatanya ke
angkasa, lalu bagaikan seekor ular sanca yang besar langsung
melilit ke arah tenggorokannya.


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan satu balikan tangan, Giam-lo Pian mencengkeram
panji perusahaan itu dengan tangan kirinya, sementara tangan
kanannya membetot kuat-kuat, pecut yang telah melilit di
tenggorokan piausu itu segera mengangkat seluruh tubuh
korbannya ke udara kemudian membantingnya keras-keras ke
tanah. Lidah yang menjulur keluar membuat mayat piausu itu
nampak sangat menyeramkan.
Giam-lo Pian sama sekali tidak melirik ke arah korbannya,
tanpa berhenti sekejap pun kembali dia ayunkan pecut
panjang di tangan kanannya sementara matanya mengawasi
panji perusa-haan yang berhasil dirampasnya di tangan kiri
dengan pandangan penuh kepuasan. Senyum bangga menghiasi
ujung bibirnya. Merah membara sepasang mata Ouyang Ci, sambil
meraung keras ia meluruk maju ke depan.
Giam-lo To tidak memberi kesempatan musuhnya berbuat
sekehendak sendiri, golok setannya membabat gencar ke
sekujur tubuh musuhnya, dalam waktu singkat ia telah
melancarkan tujuh-delapan bacokan maut.
Pada saat itulah di tengah kilatan caha golok dan bayangan
pedang tiba-tiba sesosok bayangan manusia meluruk maju ke
depan dengan kecepatan tinggi, dengan sekali ayunan tangan
ia cengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Giam-lo
Pian. Waktu itu Giam-lo Pian sedang merasa sangat bangga dan
gembira, tangan kirinya menggenggam panji perusahaan yang
berhasil direbutnya sementara tangan kanannya
menggenggam senjata pecut. Mimpi pun dia tak menyangka
dalam situasi seperti ini dari atas udara akan muncul serangan
maut dari seorang jagoan sakti.
Belum lagi dia melihat jelas wajah musuhnya, tahu-tahu
urat nadi pada pergelangan tangannya telah dicengkeram
kuat-kuat, dalam kagetnya cepat-cepat tangan kirinya
133 berputar kencang lalu dengan tombak pendek di ujung panji
tersebut ia rusuk dada musuhnya.
Sayang sekali separuh badan sebelah kanannya terasa
kesemutan lalu jadi kaku, gerak tangan lorinya sudah tidak
selincah sebelumnya, baru saja ujung tombak panji menusuk
keluar, pergelangan tangan kirinya ikut tercengkeram kuatkuat
bahkan secara tiba-tiba badannya terangkat ke tengah
udara Akhirnya Siau Lui berhasil mendapatkan kesempatan
emas yang dinanti-nantikan. Begitu berhasil menguasai Giamlo
Pian, ia segera menghardik keras, "Coba kalian lihat, apa
yang berada di tanganku ini?"
Tio Lo-sianseng berpaling, begitu tahu apa yang terjadi,
paras mukanya segera berubah hebat. Ia bersalto beberapa
kali di udara dan mundur sejauh dua kaki dari medan
pertarungan. Serangan golok, pedang dan kampak hampir serentak
berhenti gerakannya. Masing-masing mundur sejauh dua kaki
sementara paras muka mereka bertiga pun menampilkan rasa
kaget, heran dan tercengang yang tak terhingga
Siapapun tidak menyangka seorang pemuda rudin yang
sama sekali tak menyolok mata ternyata memiliki kepandaian
silat yang begitu hebat. "Lepaskan dia!" bentak Tio Losianseng dengan wajah
serius. "Kami akan melepaskan juga dirimu!"
"Hmm, jika aku ingin pergi dari sini, aku sudah pergi sejak
tadi!" sahut Siau Lui hambar.
"Mau dilepas tidak?"
"Bila kau jadi aku, harus kulepas tidak?"
"Mau apa kau" Bila kau bebaskan dia, kami akan segera
pergi dari sini, bagaimana?"
"Baik!" Bersamaan dengan bergemanya kata "baik,"tiba-tiba ia
melompat ke udara dan langsung menerjang ke arah Tio Losianseng.
Sesaat Tio Lo-sianseng termangu, melihat tubuh Giam-lo
Pian masih berada di cengkeraman lawan, dia tak tahu harus
134 menyongsong kedatangannya atau lebih baik mundur dari
situ. Belum habis dia mengambil keputusan, tiba-tiba Siau Lui
membalikkan badannya, dengan menggunakan tubuh Giam-lo
Pian sebagai senjata, dia tusuk tubuh Giam-lo To, si lelaki
berwajah kuning. Terkesiap lelaki berwajah kuning itu, tanpa sadar dia
mengangkat goloknya untuk menangkis, dia lupa senjata yang
dipergunakan pihak lawan adalah saudara angkat sendiri.
Terdengar jerit kesakitan bergema memecahkan
keheningan, setengah dari bahu kanan Giam-lo Pian sudah
terbabat kutung oleh bacokan golok itu, darah segar segera
menyembur ke udara, mengotori seluruh wajah lelaki
berwajah kuning itu. Giam-lo Tomeraung keras, tanpa perdulikan golok miliknya
lagi ia segera rentangkan tangannya untuk menyambut
kedatangan tubuh Giam-lo Pian seraya berseru, "Kau..."
Sepasang biji mata Giam-lo Pian sudah melotot keluar
bagaikan gundu, ia melototi saudaranya dengan perasaan
bercampur aduk, menangis bukan menangis, tertawa bukan
tertawa... Kembali Giam-lo Totertegun,dia hanya sanggup
mengucapkan sepatah kata sementara kata ke dua tak
sanggup diutarakan lagi. Di tengah bergemanya suara jerit kesakitan tadi, Siau Lui
telah melepaskan cengkeramnya atas tubuh Giam-lo Pian, kini
dia menyerbu ke hadapan Giam-lo Pouw.
Waktu itu mata golok yang diayunkan lelaki berwajah
kuning itu sedang menyambar bahu saudaranya hingga
menyemburkan banjir darah, tampaknya Giam-lo Pouw
sedang termangu saking kagetnya.
Menunggu sampai ia sadar kalau ada bayangan manusia
menerjang ke hadapannya, dengan buru-buru ia
mengayunkan senjata kampak untuk menghadang. Siau Lui
telah menerjang masuk ke hadapannya. Sementara sikut
135 kirinya menyodok iga lawan, tangan kanannya langsung
mencengkeram pergelangan tangan Idrinya.
"Lepaskan!" bentak Giam-lo Kiam dengan wajah berubah
hebat. Kilatan cahaya pedang membelah angkasa, ujung
pedangnya langsung menembus ke dalam bahu Siau Lui, dari
belakang langsung tembus ke depan.
Siau Lui sama sekali tak bergeming. Bukan menghentikan
serangannya, pemuda itu justru membentak keras, dalam
sekali hentakan ia patahkan lengan kiri Giam-lo Pouw lalu
dengan menggunakan tubuhnya sebagai senjata, ia tusuk
tubuh lawan dengan badan tersebut.
Pucat pias paras muka Giam-lo Kiam, ia berniat mencabut
senjatanya lalu melancarkan tusukan kembali.
Tak disangka ternyata Siau Lui menggunakan tubuh sendiri
untuk menerima tusukan pedang itu, ketika tubuhnya berputar
ke kiri, otomatis pedang yang berada di tangan Giam-lo Kiam
ikut berputar juga ke kiri.
Terdengar suara gesekan keras ujung pedang yang tajam
itu dengan tulang bahu Siau Lui, suaranya mengerikan
bagaikan sebuah golok yang sedang menggerus besi.
Bila tidak mendengar dengan telinga sendiri, siapapun tak
akan menyangka kalau suara tersebut begitu menakutkan.
Giam-lo Kiam segera merasakan mulutnya jadi kecut,
tangannya terasa ikut melemas. Mimpi pun dia tak percaya
kalau tusukannya itu sedang menusuk seorang manusia hidup.
Siau Lui memang manusia hidup. Baru saja Giam-lo Kiam
terkesiap oleh kenyataan itu, keadaan sudah terlambat.
Tiba tiba Siau Lui menggerakkan badannya mendorong ke
belakang, dengan menggunakan ujung pedang yang tembus
di tubuhnya ia balas menusuk tubuh lawan.
Sebenarnya hanya enam-tujuh inci mata pedang yang
tembus di atas bahunya, tapi kini pedang tajam sepanjang
tiga depa tujuh inci itu sudah tembus semua di atas bahunya
hingga tinggal gagang pedang yang tersisa.
136 Melihat pedang sendiri menembus habis di tubuh orang,
Giam-lo Kiam justru kelihatan sangat terkesiap dan kaget.
Menyusul kemudian ia mendengar suara tulang dalam
tubuhnya hancur berantakan. Ketika tubuh mereka berdua
saling berdempetan, tinju Siau Lui langsung dihantamkan ke
atas dadanya kuat-kuat. Tubuhnya secara tiba-tiba seperti berubah menjadi sebuah
karung goni yang sudah dituang habis isinya, dengan lemas
roboh terjungkal ke atas tanah.
Pada saat yang bersamaan secara kebetulan tubuh Giam-lo
Pouw juga sedang melayang turun dari tengah udara, wajah
mereka berdua langsung saling berdempetan satu dengan
lainnya. Sebuah wajah berwarna putih dan sebuah wajah berwarna
hitam, kini sama-sama menampilkan perasaan terkesiap, ngeri
dan seram yang luar biasa.
Mimpi pun mereka tak percaya kalau di dunia ini terdapat
manusia semacam ini, sampai mati pun tidak percaya.
Semua gerakannya hampir dilakukan pada saat yang
bersamaan dan dalam waktu singkat... tiba-tiba semuanya
terjadi dan tiba-tiba semuanya telah berakhir.
Pedang panjang itu masih tertinggal di tubuh Siau Lui,
cucuran darah segar masih mengalir keluar melalui ujung
pedang. Paras muka Siau Lui kini telah mengejang kencang saking
menahan rasa sakitnya, tapi tubuhnya masih tetap berdiri
tegak di atas lantai, tegak bagaikan sebuah senjata tombak.
Tio Lo-sianseng berdiri termangu bagaikan arca batu, ia
dibuat sangat terkesiap oleh semua peristiwa ini, begitu juga
dengan Ouyang Ci, dia pun berdiri tertegun.
Yang membuat mereka terkesiap bukan kecepatannya
dalam melancarkan serangan, tapi kenekatan serta
keberaniannya dalam menghadapi kematian.
Sorot mata Siau Lui makin menyusut, kini sinar matanya
berubah semakin menyeramkan, bagaikan dua batang paku
137 panjang yang memancarkan sinar tajam, mengawasi wajah
Tio Lo-sianseng tanpa berkedip.
"Kita sudah bicarakan baik-baik!" seru Tio Lo-sianseng
dengan suara keras. "Kau lepaskan dia lebih dulu, kami segera
akan pergi dari sini!"
"Sudah kulepaskan dia!"
Ia memang sudah melepaskan cengkeramannya atas diri
Giam-lo Pian, kini tubuh orang tersebut bersandar dalam
pangkuan lelaki berwajah kuning itu dengan darah segar
masih bercucuran deras. "Kenapa kau harus turun tangan?" kembali Tio Lo-sianseng
bertanya, sepasang matanya mengawasi pemuda itu tanpa
berkedip. "Hmm, kapan aku pernah berjanji tak akan turun tangan?"
Paras muka Tio Lo-sianseng berubah dari pucat jadi
menghijau, lalu dari hijau berubah jadi merah padam. Sambil
menggigit bibir katanya, "Bagus, kau bagus... bagus sekali..."
"Apakah sampai sekarang kau belum ingin pergi dari sini?"
Tio Lo-sianseng memandang sekejap mayat-mayat yang
bergelimpangan di atas genangan darah, lalu setelah melirik
Liong Su sekejap, katanya sambil tertawa, "Aku masih bisa
pergi?" "Kalau dia mengatakan kau boleh pergi, maka kau boleh
pergi. Apa pun yang dia katakan, kami semua akan patuh!"
sambung Liong Su cepat, ketika mengucapkan kata-kata
tersebut, sepasang matanya telah memerah, butiran air mata
nyaris meleleh keluar dari balik kelopak matanya.
Tio Lo-sianseng memandang pemuda itu sekejap, tiba-tiba
ia menghentakkan kakinya berulang kali dengan perasaan
jengkel lalu serunya, "Baik, aku segera pergi."
"Hmm, paling bagus pergi yang jauh dari sini," sambung
Siau Lui dingin, "makin jauh semakin baik!"
Tio Lo-sianseng tertunduk lesu. "Yaa, aku tahu... Makin
jauh semakin baik..."
138 Tiba-tiba dia angkat kepalanya, mengawasi Siau Lui dengan
mata melotot, kemudian teriaknya, "Tapi... siapakah kau
sebenarnya?" "Aku... aku juga bermarga Liong, namaku Liong Ngo!"
Tio Lo-sianseng mendongakkan kepalanya dan menghela
napas panjang. "Liong Ngo... Nama Liong Ngo yang hebat... Liong Ngo
yang hebat... jika tahu sejak dini kalau di sini ada seorang
Liong Ngo, buat apa aku mesti susah susah mencari Liong
Su..." Semakin berbicara suaranya semakin rendah, tiba-tiba ia
menghentakkan kakinya berulang kali kemudian baru ujarnya,
"Baik, aku segera pergi, pergi ke tempat yang sangat jauh,
makin jauh makin baik... jika di daerah Kanglam sudah muncul
seorang Liong Ngo macam kau, mana mungkin kami punya
jalan lain?" Darah segar yang membasahi permukaan tanah belum lagi
mengering, tapi pertempuran berdarah telah berakhir.
Setelah melihat Tio lo-sianseng sekalian pergi jauh dari
tempat itu, Siau Lui baru mundur dengan sempoyongan,
agaknya ia sudah tak sanggup menahan diri lagi.
Bagaimana pun juga dia tetap seorang manusia, manusia
yang terbuat dari darah daging, bukan terbuat dari besi baja.
Cepat-cepat Liong Su membuang tombaknya ke tanah
sambil tergopoh-gopoh maju memayang-nya, airmata
bercucuran membasahi pipinya. Ia merasa sangat terharu dan
berterima kasih atas pertolongan pemuda itu, bisiknya dengan
suara gemetar, "Kau..."
Ia merasa tenggerokannya seperti tersumbat oleh benda
keras, kata-kata berikut tak sanggup lagi diucapkan.
Paras muka Siau Lui telah berubah semakin pucat, kini
wajahnya putih bagaikan mayat, keringat sebesar kacang
kedele jatuh bercucuran membasahi jidatnya, mendadak ia
berseru, "Berapa banyak hutangku kepadamu yang telah
terbayar...?" "Kau... kau tak pernah berhutang kepadaku!"
139

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hutang!" tukas Siau Lui sambil menggertak gigi.
Menyaksikan penderitaan hebat yang terpancar dari balik
wajah anak muda itu, Liong Su menghela napas panjang.
"Aiii... sekalipun pernah berhutang, tapi kini semuanya
sudah impas!" "Baguslah kalau sudah impas!"
"Kita masih bersahabat?"
"Tidak!" "Aku..." Paras muka Liong Su ikut menampilkan
penderitaan yang sangat. Tiba tiba Siau Lui menukas, "Jangan lupa kau adalah Liong
Su, dan aku adalah Liong Ngo!"
Termangu Liong Su mengawasi pemuda itu, akhirnya air
mata jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya, tiba-tiba
ia menengadah lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha... Benar, kita bukan sahabat, kita adalah
saudara... Saudara yang sangat baik... saudara yang sangat
baik..." Sekulum senyuman segera tersungging pula di ujung bibir
Siau Lui yang semakin kesakitan, gumamnya, "Aku belum
pernah punya saudara, tapi sekarang aku telah punya..."
Tiba-tiba badannya jatuh roboh, roboh persis di atas bahu
Liong Su. Ouyang Ci mengawasi mereka berdua tanpa bicara, para
piausu dan kuli angkut sama-sama memandang ke arah
mereka tanpa bersuara, sementara mata setiap orang terasa
mulai basah, entah basah oleh air hujan" Atau basah karena
air mata" Noda darah yang membasahi permukaan tanah semakin
sirna tapi air mata yang membasahi wajah belum lagi
mengering. Persahabatan mereka diperoleh dari tetesan darah
segar, pernahkah kau saksikan persahabatan macam ini" Ada
berapa banyak sahabat macam begini yang hidup di dunia ini"
III 140 Pedang sudah dicabut keluar, sudah tiga hari tercabut dari
mulut luka. Siau Lui masih berbaring dalam keadaan tak
sadarkan diri. Air matanya telah mengering begitu juga
dengan cucuran darah. Dia telah melaksanakan apa yang harus dilakukan, telah
membayar hutang yang harus dibayar. Apakah dia sudah tak
ingin hidup terus" Tiga hari... betul-betul tiga hari penuh, jiwa serta raganya
seakan akan hidup dalam kobaran bara api yang panas, dalam
ketidaksadarannya ia meraung tiada hentinya, memanggil
nama dua orang secara bergantian.
"Jian-jian... aku bersalah padamu, bagaimana pun sikapmu
terhadapku, aku tak pernah akan melupakan dikau..."
"Liong Su... aku pun berhutang kepadamu... hutang ini tak
pernah akan impas untuk selamanya!"
Kata-kata semacam ini diucapkannya berulang-ulang,
sambung-menyambung dan entah telah diulang berapa ratus
kali. Liong Su sendiripun tak tahu sudah berapa banyak ia
mendengar kata-kata tersebut.
Dia selalu berjaga di sisi pembaringan, saban kali selesai
mendengar ucapan itu, air matanya selalu tak tertahan untuk
meleleh keluar membasahi pipinya.
Kerut di atas wajahnya nampak semakin dalam, semakin
banyak, matanya telah cembung ke dalam, entah berapa
banyak rambut ubannya yang telah berguguran ke tanah. Tiga
hari... yaaa, selama tiga hari penuh ia tak pernah memejamkan
matanya. Ouyang Ci duduk di tepi pembaringan dengan tenang,
entah sudah berapa banyak ia membujuk Liong Su agar mau
kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Kini dia sudah tak berniat membujuk lagi, sebab dia
mengerti, tak ada lagi tenaga macam apa pun di dunia ini
yang dapat menarik Liong Su meninggalkan tepi pembaringan
tersebut. 141 Sekalipun kau kutungi sepasang kakinya lalu
menggotongnya pergi dari situ, selama dia masih bisa
merangkak, dia akan berusaha untuk merangkak balik ke
ruangan itu. Ouyang Ci hanya bisa memandangi mereka berdua dengan
perasaan kalut, dia tak tahu perasaannya kini. Sedang
terharukah" Sedihkah" Atau harus gembira"
Melihat seorang yang sangat dihormati dan dikaguminya
sepanjang hidup ternyata bisa berkenalan dengan seorang
sahabat macam ini, dia tak tahu bagaimana harus
menampilkan perasaan sendiri.
Yang satu telah terkapar dengan napas yang nyaris putus,
yang lain akan bisa bertahan berapa lama lagi"
Siau Lui yang belum lama bisa tertidur tenang, tiba-tiba
meronta kembali dengan kerasnya, seakan-akan ia sedang
berkelahi dengan seorang iblis jahat yang tak terlihat dengan
mata telanjang. Wajahnya yang pucat kini telah berubah jadi
merah membara karena panas tubuhnya yang meningkat,
dengan keringat dingin bercucuran teriaknya berulang-kali,
"Jian-jian... Jian-jian... juga putraku... kalian ada di mana" Di
mana...?" Dia seperti ingin meronta dan meloncat bangun lalu
menenang keluar dari situ.
Sambil menggertak gigi Liong Su berusaha mencegahnya,
dia harus menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya
untuk menahan agar pemuda itu tidak meronta bangun.
Mendadak Siau Lui membuka matanya, garis-garis merah
darah kelihatan menyelimuti sepasang matanya, sambil
meraung keras teriaknya, "Lepaskan aku... aku harus pergi
mencari mereka..." "Berbaringlah dulu..." bujuk Liong Su masih menggigit bibir.
"Aku akan membantumu untuk menemukan mereka. Aku pasti
berhasil menemukan mereka!"
"Siapa kau?" teriak Siau Lui dengan mata melotot.
"Aku adalah Liong Su, kau Liong Ngo, masa kau sudah
lupa?" 142 Lama sekali Siau Lui melotot besar, akhirnya dia seperti
sudah mengenali kembali orang di hadapannya, gumamnya:,
"Yaaa, betul... kau adalah Liong Su... aku adalah Liong Ngo...
aku masih berhutang kepadamu, mau dibayar juga tak pernah
bisa lunas!" Perlahan-lahan dia pejamkan kembali matanya, tampaknya
pemuda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.
Liong Su mendongakkan kepalanya sambil menghela napas
panjang, sambil menjatuhkan diri ke atas bangku, air matanya
kembali jatuh bercucuran.
Ouyang Ci tak sanggup menahan diri lagi, dia ikut
menghela napas panjang, ujarnya sedih, "Perkataanmu tak
salah, dalam hati kecilnya memang tersimpan banyak sekali
kepahitan dan kegetiran yang tak mungkin diucapkan dengan
perkataan, aku kuatir... aku kuatir..."
"Kuatir apa?" potong Liong Su sambil mengepal tinnjunya.
"Bila dia sendiri sudah segan hidup terus, aku kuatir tak
seorang pun di dunia ini yang dapat selamatkan jiwanya lagi!"
"Dia pasti dapat hidup terus.. dia pasti dapat hidup terus..."
teriak liong Su dengan nada keras. "Ia tak boleh mati..."
Ouyang Ci menghela napas sedih.
"Ketika kau telah melakukan banyak pekerjaan baginya, dia
bahkan pergi tanpa mengucapkan sedikit rasa terima kasih
pun, tapi ketika kau menghadapi ancaman bahaya, kau paksa
dia pergi pun dia malah bersikeras tetap tinggal... Aaai,
sahabat semacam ini sudah tak banyak lagi di dunia ini, dia
memang tak boleh mati. Cuma saja..."
"Cuma saja kenapa?"
"Kini darah yang beredar dalam tubuhnya sudah menipis,
daya tahannya juga telah mengering, mungkin hanya satu
orang yang dapat menolongnya saat ini."
"Siapa?" "Jian-jian!" Liong Su segera mencengkeram tangannya kencang
kencang, serunya, "Kau... kau tahu siapakah orang itu" Kau
bisa menemukan dia?"
143 Sambil menghela napas kembali Ouyang Ci menggeleng.
Liong Su melepaskan tangannya, wajahnya semakin
murung, bisiknya sedih, "Bila kita gagal menemukan Jian-jian,
masa dia..." Tiba-tiba perkataannya terhenti di tengah jalan, bibirnya
terkatup rapat namun dari ujung bibir nampak setetes darah
segar mengalir keluar. "Kau..." teriak Ouyang Ci terperanjat.
Liong Su mengayunkan tangannya memotong pembicaraan
yang belum selesai itu. la menunjuk ke arah Siau Lui yang
berbaring di atas ranjang itu, lalu menggelengkan kepalanya
berulang kali. Pada saat itulah terdengar seseorang berkata dengan suara
dingin, "Jian-jian bukan seorang tabib kenamaan yang begitu
luar biasa, sekalipun tak berhasil menemukan dia, masih ada
satu orang yang dapat menyembuhkan manusia she Lui ini!"
"Siapa?" belum sempat Liong Su memandang wajah orang
itu, ia telah berseru keras.
"Aku!" Tempat itu sebenarnya merupakan paviliun dari rumah
penginapan itu, pintu kamar berada dalam keadaan tertutup.
Kini pintu ruangan telah terbuka, seseorang berdiri di
depan pintu, ia mengenakan gaun panjang yang terurai
hingga ke lantai, bajunya berwarna putih bersih bagaikan
salju, wajahnya mengenakan sebuah cadar tipis, ternyata
orang itu adalah seorang gadis muda belia.
Apakah dia adalah gadis tercantik di dunia ini" Atau
bidadari dari kahyangan" Termangu Liong Su mengawasinya
kemudian perlahan-lahan bangkit berdiri.
"Siapa kau?" hardik Ouyang Ci cepat.
"Seseorang yang ingin menolong seseorang," jawab Ting
Jan-coat singkat. "Kau dapat menyembuhkan dia?"
"Kalau tidak, buat apa aku datang kemari?"
144 Rasa girang segera terbersit di wajah Liong Su, serunya tak
tahan, "Nona, jika kau benar-benar bisa menyembuhkan
lukanya, aku Liong Su..."
"Kenapa?" tukas Ting Jan-coat hambar, "mau
menghadiahkan sepuluh ribu tahil perak untukku?" Setelah
mendengus dingin, lanjutnya, "Bukankah dalam pandanganmu
menolong selembar nyawa dan membunuh satu nyawa,
nilainya sama saja?"
Berubah paras muka Liong Su, sahutnya sambil tertawa
getir, "Asal nona berhasil menyembuhkan lukanya, sekalipun
aku Liong Su harus melelang segenap harta kekayaan yang
kumilikipun,aku tak pernah akan menyesal!"
"Sungguh?" 'Sedikitpun tak bohong!"
"Tampaknya kau Liong Su memang tak malu menjadi
sahabat karibnya" ujar Ting Jan-coat hambar. "Cuma sayang
sedikit harta kekayaan yang kau miliki itu masih belum
berharga untuk kulihat"
"Apa yang nona kehendaki" Selembar nyawaku, Liong Su
ini?" "Hmmm, selembar nyawa tua bangkotan macam kau laku
berapa tahil saja?" dengus Ting Jan-coat sambil tertawa
dingin. "Jadi apa yang nona kehendaki?" seru Ouyang Ci dengan
otot pada menonjol keluar dari wajahnya.
"Katakan saja nona!" ujar Liong Su pula.
"Serahkan orang she Lui itu biar kubawa pergi. Kau tak
boleh tanya banyak dengan cara apa kusembuhkan dirinya."
"Kau... kau hendakmembawanya ke mana?" tanya Liong Su
dengan wajah berubah hebat.
"Itu urusanku!"
Liong Su mundur berapa langkah dengan sempoyongan
lalu jatuh terduduk di bangku, paras mukanya berubah
semakin gelap dan sedih. Dengan pandangan dingin Ting Joan coat mengawasinya
sekejap, kemudian katanya lagi, "Mau setuju boleh tidak
145 setujupun tak apa. Toh urusan ini tak ada sangkut pautnya
denganku. Tapi aku perlu beritahu, kini hawa darah orang
she Lui itu semakin mengering, jiwanya sudah berada di ujung
tanduk. Biarpun kau berhasil menemukan seorang tabib
kenamaan yang hebat pun, belum tentu ia mampu
menyembuhkan orang ini."
"Nona, siapa namamu?" tanya Liong Su setelah termenung
sejenak "Aku dari marga Ting!"
"Nama lengkapmu?"
'Pokoknya aku bukan bernama Jian-jian!" tukas Ting Jancoat
sambil tertawa dingin, Kembali Liong Su angkat kepalanya mengawasi gadis itu
lekat-lekat, kemudian ujarnya,
"Nona Ting, kelihatannya kau tahu tentang persoalan yang
menyangkut saudaraku ini?"
"Termasuk urusanmu pun aku tahu banyak!"
Liong Su tertawa paksa, tanyanya lagi, "Apakah nona kenal
dia?" "Aku juga kenal dengan dirimu, kau bernama Liong Kong."
"Nona, apakah antara kau dengannya punya... punya
perselisihan?" hardik Liong Su tiba-tiba dengan mata
memancarkan sinar tajam. "Kau anggap aku punya dendam dengannya, maka sengaja
menipumu agar gampang memberesi nyawanya?" Ting jancoat
balas menghardik dengan mata melotot.
"Aku..." Ting Jan-coat tertawa dingin.
"Seandainya aku pingin memberesi jiwanya, setiap waktu
setiap saat bisa kulakukan dengan sangat mudah, buat apa
aku mesti bersusah payah membawanya pergi" Apalagi dia
toh sudah hampir mampus, buat apa aku mesti bersusah
payah turun tangan sendiri?"
Liong Su menoleh, memandang kembali wajah Siau Lui


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang masih tak sadarkan diri, kemudian batuk-batuk perlahan.
146 "Sekali lagi aku mau bertanya," kembali Ting Jan-coat
berkata, "sebetulnya kau setuju tidak" Bila tak setuju, aku
akan segera angkat kaki dari sini."
"Kalau begitu silahkan nona pergi dari sini," ujar Liong Su
sambil menghela napas. Berubah paras muka Ting Jan-coat mendengar perkataan
itu, serunya, "Kau suruh aku pergi" Kau lebih suka melihat dia
menunggu mampus di sini?"
"Aku sama sekali tak kenal nona, sebaliknya dia adalah
saudaraku, mana mungkin aku boleh menyerahkan dia ke
tangan seorang asing?"
"Baiklah" kata Ting Jan-coat sambil tertawa dingin, "kalau
begitu lebih baik mulailah bersiap-siap menyediakan semua
keperluan akhirnya."
Begitu selesai berkata, tanpa berpaling ia segera pergi meninggalkan
tempat itu. Liong Su mengepal tinjunya kencang kencang, menunggu
gadis itu sudah melangkah pergi sejauh enam-tujuh langkah,
tiba tiba teriaknya keras, "Nona, harap tunggu sebentar!"
"Aku tak punya waktu menunggu!"
Walaupun ia menjawab begitu, namun langkah kakinya
segera berhenti. "Nona, apakah kau baru mau menolongnya bila boleh
membawanya pergi dari sini?" tanya Liong Su.
"Sedari tadi aku toh sudah menerangkan sejelas-jelasnya"
jawab Ting Jan-coat tanpa berpaling.
Mengawasi bayangan punggungnya itu tiba-tiba Liong Su
mengerdipkan matanya ke arah Ouyang Ci memberi tanda,
dua orang itu sudah tiga puluhan tahun bertempur bersama,
perasaan batin mereka sudah saling berhubungan. Dalam
waktu yang hampir bersamaan kedua orang itu segera
menyerbu ke depan. Ouyang Ci dengan kelima jari tangannya yang tajam bagai
cakar elang secepat sambaran kilat mengancam bahu kiri
gadis tersebut. 147 Serangan dari Liong Su tak kalah cepatnya, dengan satu
gerakan secepat kilat ia totok jalan darah "sin-tong," "thiancong,"
serta "hun-bun" di tubuh si nona.
Ting Jan-coat memang sangat lihay, belakang
punggungnya seolah-olah tumbuh sepasang mata yang tajam,
belum lagi ancaman itu tiba, ia sudah kebaskan ujung bajunya
sembari melejit ke udara dan meluncur melalui atas kepala
kedua orang itu, lalu dengan satu gerakan yang sangat ringan
melayang turun persis di ujung ranjang di mana Siau Lui
berbaring. Gagal dengan serangan pertamanya Liong Su segera
membalikkan tubuh seraya menerjang kembali ke depan.
Ting Jan-coat mendengus dingin, sambil mengancam jalan
darah "thian-to" yang berada di tenggorokan Siau Lui, dia
berkata ketus, "Bukankah sangat mudah bagiku kini untuk
menghabisi nyawanya?"
Pucat pias wajah Liong Su setelah melihat ancaman
tersebut, ia tak mampu berkata apa-apa lagi.
Sambil tertawa dingin kembali Ting Jan-coat berkata,
"Hanya mengandalkan kemampuan kalian berdua sudah ingin
memaksaku untuk menyembuhkan dia" Hmmm, kalian sedang
bermimpi di siang hari bolong!"
Habis berkata, kembali dia meluncur keluar dari pintu
ruanga n. Paras muka Liong Su sebentar memucat sebentar
menghijau, tiba-tiba serunya keras, 'Nona, tunggu sebentar!"
Kali ini Ting Jan-coat sama sekali tidak menggubris,
menoleh pun tidak. Buru buru Liong Su menyusul keluar dari ruang kamar,
teriaknya, "Nona, jangan pergi dulu! Baiklah, silahkannona
membawanya pergi." Kali ini Ting Jan-coat memberikan reaksinya, ia berhenti
sambil membalikkan tubuhnya, setelah tertawa dingin ia
berkata, "Hmmm, semestinya kalian harus ijinkan sedari tadi."
Di luar pintu rumah penginapan berhenti sebuah kereta
kuda yang kelihatan sangat mewah. Seorang nona kecil
148 berkuncir panjang telah membukakan pintu kereta bagi
mereka. Liong Su membopong sendiri tubuh Siau Lui dan
membaringkannya ke dalam ruang kereta, ia merasa tubuh
Siau Lui yang semula panas menyengat kini telah berubah jadi
dingin membeku. Ia membaringkan tubuh yang dingin kaku itu dengan
perlahan dan sangat berhati-hati, lalu digenggamnya sepasang
tangan yang dingin itu erat-erat, lama sekali belum juga dia
lepaskan genggaman itu. "kau masih kuatir membiarkan aku membawanya pergi?"
tiba-tiba Ting Jan-coat menegur.
Liong Su menghela napas panjang, Akhirnya dia lepaskan
genggaman tersebut, setelah membalikkan tubuh katanya,
"Nona... Nona Ting..."
"Kalau ingin bicara, cepat katakan!"
"Aku... aku serahkan saudara?ku ini kepada nona."
Menyaksikan paras muka Liong Su yang nampak begitu
risau bercampur duka, sekilas perasaan haru timbul dalam hati
kecil Ting jan-coat, sepasang matanya terasa agak membasah,
tapi sambil menggigit bibir segera katanya, "Jangan kuatir,
aku tak akan menyusahkan dia, asal luka yang dideritanya
telah membaik, kalian pasti dapat berjumpa kembali."
"Terima kasih nona..."
Suaranya terputus karena menahan sesenggukan, setelah
menghembuskan napas panjang ia baru melanjutkan, "Aku
tinggal di ibu-kota, distrik Thiat-say-cu Oh-tong. Tolong nona
sampaikan alamat ini kepada saudaraku, suruh dia..."
"Aku tahu, pasti akan kusuruh dia pergi mencarimu."
"Aku ingin titip sebuah benda, harap nona sampaikan
kepada saudaraku ini bila ia telah sembuh nanti."
"Barang apa?" Liong Su membalikkan badan sambil memberi tanda,
seorang piausu segera muncul sambil menuntun seekor kuda
tinggi besar yang berbulu hitam mengkilat.
"Kuda bagus!" tak tahan Ting Jan-coat berseru memuji.
149 Liong Su tertawa paksa, katanya, "Hanya seorang enghiong
macam saudaraku ini yang pantas menunggang kuda sebagus
ini." Kini, nada suara Ting Jan-coat juga telah berubah makin
lunak dan halus, tanyanya, "Ooh, jadi kau sengaja
memberinya seekor kuda bagus agar dia lebih cepat datang
menjengukmu?" "Dia lebih memerlukan kuda itu ketimbang aku, karena dia
masih harus pergi mencari..."
Mendadak dia menghentikan perkataannya karena lamatlamat
ia sudah dapat merasakan kalau nona Ting ini rasanya
tidak terlalu suka orang lain menyinggung nama "Jian-jian" di
hadapannya. Benar juga, nada suara Tingjan-coat segera berubah
kembali jadi ketus, dingin dan kaku, katanya, "Aku
membantuny menyembuhkan luka tersebut karena itu
kesenanganku. Asal dia sudah sembuh, mau pergi mencari
siapa pun bukan urusanku!"
Liong Su manggut-manggut, ia segera menjura dalam
dalam memberi hormat, katanya, "Kalau begitu... kuserahkan
saudaraku ini kepada nona."
Dia mengulangi kembali perkataan itu saru kali, setiap kata
diucapkan dengan nada suara yang begitu berat dan tegas,
kemudian setelah membalikkan tubuh, tanpa berpaling lagi dia
berjalan masuk ke dalam rumah penginapan.
Tiba tiba terdengar kuda hitam itu meringkik panjang,
suara ringkikan itu amat memilukan hati, seolah-olah dia tahu
bakal berpisah dengan majikannya.
Liong Su tidak berpaling, tidak melihat lagi, sementara dua
deret air mata telah jatuh berlinang membasahi pipinya...
Siau Lui berbaring lemah di dalam ruang kereta, bahkan
napasnya pun mulai melemah.
Si nona kecil yang berkuncir panjang itu sedang mengawaai
pemuda tersebut dengan matanya yang besar, tiba-tiba
ujarnya sambil tertawa, "Apakah orang ini mempunyai wajah
asli yang tampan?" 150 Ting Jan-coat bersandar kemalas-malasan di sudut kereta.
ia sedang memandang ke luar jendela dengan pandangan
kosong, entah apa yang sedang ia pikirkan.
Sampai lama kemudian ia baru mengangguk.
"Ya, dia memang berwajah sangat menarik!"
"Tapi luka yang dideritanya sangat parah," kata nona kecil
itu lagi sambil mengerutkan dahi. "Selama hidup, belum
pernah kulihat ada orang yang menderita luka sebanyak ini."
"Ini dikarenakan ia selalu senang beradu jiwa demi oiang
lain." "Kenapa" Apa enaknya beradu jiwa" Kenapa dia begitu
suka beradu jiwa?" Ting Jan-coat menghela napas panjang.
"Mungkin hanya setan yang tahu kenapa dia begitu,"
sahutnya. "Nona, kau benar-benar yakin bisa sembuhkan lukanya
itu?" tiba-tiba nona kecil itu bertanya lagi dengan lirih.
"Tidak!" Nona kecil itu terbelalak matanya lebar-lebar, serunya,
"Apakah luka yang dideritanya itu masih ada harapan untuk
disembuhkan?" "Tidak" "Kalau tak ada harapan lagi, kenapa nona membawanya
pulang?" tanya si nona dengan wajah mulai memucat.
Tiba-tiba cadar yang menutupi wajah Ting Jan-coat
bergetar keras, lewat lama kemudian keadaan baru mereda
kembali. Suasana kembali tercekam dalam keheningan, sampai
lama, lama sekali, dia baru berkata pelan sepatah kata demi
sepatah "Karena aku ingin melihatnya mati!"
"Melihatnya mati?"
Dengan tangan sebelah dia genggam ujung baju sendiri
kencang-kencang, begitu kencang genggamannya hingga
kuku jarinya pada memutih, bahkan mulai gemetar keras.
151 Dengansuara yang ikut gemetar pula dia berkata, "Karena
aku tak rela membiarkan dia mati dalam pelukan orang lain.
Jika harus mati, dia harus mati di hadapanku!"
EMBUN HUJAN I Jian-jian menundukkan kepalanya mengawasi sepatu yang
dia kenakan. Sepatu itu muncul dari balik gaun, berwarna
merah muda dengan sebutir mutiara sebesar ujung jari
menghiasi ujung sepatu itu. Gaun itu berwarna kuning
keemas-emasan, di bawah sorot cahaya lentera memancarkan
sinar keemas-emasan yang lembut lagi indah, seindah cahaya
dari mutiara. Cahaya indah semacam inilah yang selalu membuat
terbelalak mata para gadis di dunia ini.
Berapa orang gadis berbaju katun dengan kepala
tertunduk, tangan terjulai di depan dan bersikap amat
menghormat berdiri berjajar di sampingnya, secara sembunyisembunyi
mereka gunakan ujung matanya untuk melirik gadis
tersebut, sorot matanya penuh dengan pancaran rasa kagum
selain iri. Jian-jian sangat memahami perasaan mereka, karena
mereka masih muda, karena status sosial clirinya dulu juga tak
jauh berbeda dengan mereka.
Tapi dalam waktu sekejap segala sesuatunya telah
berubah, si burung walet yang semula bersarang di bawah
wuwungan rumah, kini telah berubah menjadi burung hong.
Perubahan yang sangat drastis ini bagaikan dalam alam
impian bahkan sebelum ia sadar dari impian tersebut, segala
sesuatunya telah berubah, berubah menjadi seseorang yang
dengan status sosial yang begitu tinggi.
152 Tampaknya untuk membuktikan bahwa kesemuanya ini
bukan mimpi, pelan-pelan dia menggerakkan tangannya untuk
mengambil cawah air teh yang berada di meja.
Tapi sebelum tangannya sempal menyentuh cawan itu, ada
orang segera mengambilkan cawan tadi lalu dipersembahkan
ke hadapannya. Jangan lagi hanya secawan air teh, dia tahu apapun yang
dia kehendaki sekarang, asal buka suara pasti ada orang yang
segera mempersembahkan ke hadapannya. Kesemuanya ini
bukan bermimpi, semuanya kenyataan.
Namun... entah kenapa, dia lebih suka kesemuanya ini
hanya sebuah impian, dia lebih suka kembali ke masa di mana
impian tersebut belum dimulai
Bulan tiga, di sebuah senja musim semi, hujan yang turun
di musim semi terutama di daerah Kanglam memang selalu
menawan hati. Hujan itu nampak begitu lembut, begitu halus,
seolah olah hanya selapis embun... Embun hujan...
Tanah rerumputan yang terbentang menghijau di kejauhan
sana, di bawah rintikan embun hujan yang begitu lembut
nampak seperti rambut seorang kekasih.
Terbayang kembali ketika ia berlarian di atas tanah
rerumputan, bertelanjang kaki, berlarian sambil menenteng
sepatu, membiarkan rambutnya yang terurai basah oleh air
hujan... Rintikan air hujan telah membasahi rambutnya, rerumputan
telah menusuk telapak kakinya hingga terasa sakit dan geli,
tapi dia takperduli. Karena dia ingin bertemu dengan kekasih hatinya, asal
dapat bertemu dengannya, dapat menjatuhkan diri berbaring
dalam pelukannya, apapun yang terjadi ia tak ambil per duli.
Inilah impian yang sesungguhnya, impian yang jauh lebih
indah dari impian sebelumnya. Setiap kali terbayang kembali
kehangatan suasana yang begitu romantis, dia merasa
seakan-akan dirinya jadi mabuk.


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

153 Setiap kali teringat orang itu, terbayang sepasang matanya
yang bulat lagi berkilat, hatinya selalu terasa sakit bagaikan
ditusuk dengan beribu-ribu batang jarum.
"Suatu hari nanti, kau pasti akan menyesal!"
Seorang perempuan setengah baya duduk di hadapannya,
sedang mengawasinya dengan wajah sangat ramah, ia seperti
sedang menanti jawabannya.
"Nona, apakah kau telah mengambil keputusan?"
Tiada jawaban. Dalam genggaman Jian-jian terlihat seikat bunga melati,
bunga itu sudah hancur diremasnya, tiba-tiba dia angkat
kepalanya sambil tertawa, katanya, "Kenapa kau tidak
mengundangnya kemari agar dia bicara sendiri denganku"
Persoalan apa pun yang hendak disampaikan, aku harap dia
bisa memberitahukan sendiri kepadaku."
II Ouyang Ci dengan pakaian ringkas berwarna hijau,
mengenakan topi caping terbuat dari bambu, melarikan
kudanya sangat kencang. Akhirnya ia berhasil mengejar kereta
kuda berwarna hitam itu. Kuda hitam milik Liong Su telah diikat orang di belakang
kereta dengan seutas tali panjang.
Kuda jempolan yangsudah lama ikut malang-melintang
dalam sungai telaga ini tampaknya dapat memahami perasaan
majikannya, ia sama sekalitidakmerasa tersinggung karena
harus mengintil di belakang sebuah kereta yang ditarik kuda
lain. Melihat kesemuanya ini, Ouyang Ci menghela napas
panjang. Dia paham, demi manusia macam Siau Lui, dia rela dan
merasa berharga untuk melakukan pekerjaan dan perbuatan
macam apa pun. "Buntuti kereta itu, selidiki di mana tempat tinggal mereka!"
154 "Kau masih kuatir?"
"Aku tahu, jika nona Ting berniat mencelakai Siau Lui, ia
sudah turun tangan sejak tadi..."
"Lalu, kenapa kau biarkan dia membawa pergi Siau Lui?"
"Aku hanya bisa berbuat begitu. Asal dia dapat sembuhkan
luka Siau Lui, jangan lagi soal lain, semisalnya dia
menghendaki batok kepalaku pun aku pasti kabulkan!"
Ouyang Ci menggigit bibir kencang-kencang, berusaha
keras mengendalikan diri. Dia takut air matanya tak
berbendung sehingga meleleh keluar.
Lelaki kekar yang membawa kereta telah turun dari kereta
kudanya, dia sedang minum teh, sedang orang yang berada
dalam kereta itu tak ada yang keluar. Karena itulah Ouyang Ci
menghentikan langkahnya di kejauhan.
Walaupun saat ini tak ada orang yang mengenalinya,
namun dia tetap harus bertindak dengan sangat berhati-hati.
"Kau harus bertindak sangat hati-hati, kelihatannya nona
Ting itu bukan manusia sembarangan. Walau sudah puluhan
tahun aku berkelana dalam sungai telaga, namun bukan saja
tak kuketahui asal-usulnya, bahkan aliran ilmu silat yang
dimiliki pun tidak kukenal."
"Aku mengerti!"
"Kedatangannya menolong Siau Lui pasti bukan
dikarenakan ingin menyenangkan diri. Dia pasti datang
dengan maksud tujuan tertentu, sebelum tahu apa maksud
tujuannya serta asal usulnya, mana kubisa lega?"
"Aku mengerti."
Tentu saja ia sangat paham dengan maksud Liong Su, tapi
ia sendiri juga tak habis mengerti apa tujuan nona itu datang
menolong Siau Lui Lelaki kekar kusir kereta kuda itu telah menghabiskan tiga
mangkuk besar air teh, kemudian dia pun menghabiskan
setumpuk makanan yang dihidangkan di tenda tersebut.
Setelah itu ternyata ia mencari sebuah pohon besar,
merebahkan diri dan angkat kakinya bersantai...
155 Melihat semua tindak-tanduknya Ouyang Ci semakin curiga,
ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Dengan tabiat Ting
Jan-coat yang begitu keras, mana mungkin ia biarkan kusirnya
makan-minum seenak sendiri di luaran" Apalagi di dalam
kereta masih berbaring seseorang yang sedang terluka parah.
Ouyang Ci mencoba untuk menahan diri. Setengah harian
telah lewat, namun lelaki kekar itu belum juga berangkat,
bahkan dia mulai minum lagi tiga mangkuk air teh, bahkan kali
ini dia segera merebahkan diri di bawah pohon, menutupi
wajahnya dengan topi dan mulai tidur.
Satu kejadian yang sama sekali tak masuk akal. Ouyang Ci
dengan wataknya yang berangasan dan tak sabaran, kini tak
bisa mengendalikan diri lagi. Ia segera cemplak kudanya
mendekati kereta kuda itu, melongok ke dalam jendela kereta
dan... ternyata kereta itu kosong melompong! Ke mana
perginya orang-orang itu"
Ouyang Ci semakin gelisah, cepat dia loncat turun dari
kudanya dan menyerbu ke depan lelaki kekar tadi. Dengan
satu cengkeraman kilat dia cengkeram ujung baju lelaki itu
kemudian mengangkatnya ke atas.
Lelaki kekar itu mencoba memberikan perlawanan, tapi
sayang tubuhnya keburu terangkat keudara, semua
kekuatannya untuk melawan seketika sirna.
Sekalipun lebih dungu, ia juga tahu bahwa lelaki yang
berdandan sederhana ini bukan seorang manusia biasa.
"Ke mana orangnya?" hardik Ouyang Ci dengan mata
melotot. "Si... Siapa?" "Orang di dalam kereta!"
"Maksudmu kedua orang nona itu?"
"Dan seorang pemuda yang sakit parah!"
"Mereka menukar kereta ini dengan kereta milikku.
Kemudian dengan memakai keretaku mereka segera
berangkat melanjutkan perjalanan."
"Apa kau bilang?"
156 "Sebetulnya kereta milikku tadi sudah bobrok dan kuno,
tapi nona itu memaksa untuk menukarnya dengan kereta
miliknya. Bahkan ditambah dengan kuda jempolan yang
terikat di belakangnya"
"Kentutmu!" teriak Ouyang Ci gusar. "Tak bakal ada
kejadian seenak ini!"
"Aku sendiri juga tak paham kenapa ada kejadian seenak
ini. Tapi kenyataannya hal ini memang terjadi, jika aku berani
berbohong biar tubuhku hangus disambar halilintar..."
Orang itu berwajah polos dan jujur, kelihatannya memang
bukan orang yang terbiasa berbohong.
Ouyang Ci termasuk seorang jagoan yang banyak
pengalaman dalam dunia persilatan, ia tahu orang itu tidak
bohong. Setelah menghentakkan kakinya ke tanah dengan
perasaan gemas, tanyanya lagi, "Di mana kalian saling tukar
kereta?" "Di persimpangan jalan depan sana."
"Maksudmu pertigaan jalan itu?"
"Ya, benar. Di situ"
"Kau tahu arah jalan mana yang mereka ambil?"
"Waktu itu aku bingung bercampur girang tidak menyangka
aku bakal dapat keuntungan sebesar ini. Lantaran kuatir
mereka berubah pikiran maka begitu selesai bertukar kereta,
cepat-cepat aku ngeloyor pergi. Jadi... aku tidak perhatikan
dengan jelas." Perkataan itu memang jujur dan masuk di akal. Barang
siapa berhasil mendapatkan keberuntungan sebesar ini, dia
pasti akan segera menyingkir secepatnya.
"Macam apa kereta kuda itu?" kembali Ouyang Ci bertanya.
"Sebuah kereta yang sudah bobrok, pintu kereta tertutup
dengan sebuah tirai berwarna biru. di atas kain biru itu masih
tertera merek dagangku."
"Apa merek dagangmu?"
"Semua temanku memanggil aku si Ayam jago, maka
lambang yang kugunakan adalah seekor ayam jago."
157 "Baik, kalau begitu aku akan memberi sedikit keuntungan
juga kepadamu, aku ingin bertukar kuda denganmu."
Tidak menunggu orang lain setuju atau tidak, cepat-cepat
dia lepaskan tali pengikat kuda hitam yang berada dibelakang
kereta, lalu melarikan kuda itu cepat cepat meninggalkan
tempat tersebut. Lama sekali lelaki kekar itu tertegun, akhirnya sambil
memungut tali kuda yang tertinggal, gumamnya, "Waah, kali
ini aku rugi... Rugi besar!"
Memang perkataan itu sangat tepat. Kuda yang semula
ditunggangi Ouyang Ci meski termasuk kuda jempolan juga,
tapi masih ketinggalan jauh bila dibandingkan dengan kuda
berwarna hitam itu. Tapi entah kenapa, walaupun orang ini telah menderita
kerugian besar, namun senyuman bangga justru tersungging
di ujung bibirnya. Ouyang Ci tidak berhasil menemukan kereta bobrok itu.
Ketika tiba di pertigaan jalan itu, mendadak kuda hitam
tunggangannya terjerembab roboh ke tanah hingga membuat
tubuhnya ikut terlempar ke depan. Coba kalau bukan
pengalamannya menunggang kuda sangat mahir, mungkin ia
sudah jatuh terjungkal ke tanah.
Ouyang Ci sangat heran, kenapa kuda jempolan yang
sudah banyak pengalaman dalam pertempuran ini bisa tibatiba
terjerembab" Menunggu dia telah bangkit berdiri dan menghampiri kuda
tersebut, tampaklah kuda hitam itu sudah roboh ke tanah,
buih putih meleleh keluar dari mulutnya.
Ouyang Ci merasa tangan dan kakinya jadi dingin
membeku, belum sempat ia mendekat, kembali kuda itu
meringkik panjang, lalu keempat kakinya mengejang keras,
buih putih yang keluar dari mulurnya tiba-tiba berubah jadi
hitam keungu-unguan, lalu setelah mengejang sesaat kuda itu
mati kaku. 158 Kuda jempolan yang sudah banyak tahun malangmelintang
dalam dunia persilatan ini, kini mati di pinggir jalan
bagaikan seekor anjing gelandangan.
Pekikan panjang yang memilukan hati itu seolah-olah ingin
memberitahu kepada Ouyang Ci akan sebuah rahasia. Sayang
dia hanya seekor kuda, ia tak mampu membongkar kelicikan
serta kekejian yang dilakukan manusia, hanya air mata
sempat bercucuran dari matanya.
Ouyang Ci benar-benar terkesiap. Kalau bisa, ingin sekali ia
temukan dengan segera perempuan yang lebih keji daripada
ular berbisa itu. Tapi ia benar-benar gagal menemukan perempuan itu,
bahkan lelaki kekar yang kelihatan polos dan jujur itupun
secara tiba-tiba lenyap begitu saja dari muka bumi.
Liong Su belum tidur, matanya kelihatan memerah. Begitu
mendengar suara langkah dari Ouyang Ci, buru-buru ia
melompat turun dari ranjangnya sambil berseru, "Bagaimana"
Sudah kau temukan alamat mereka?"
"Belum!" jawab Ouyang Ci dengan kepala tertunduk.
"Kenapa bisa belum?"
Ouyang Ci menunduk semakin rendah, katanya, "Mereka
berhasil membongkar kedokku, Nona Ting telah suruh orang
menyuruhku menghadap, dia minta aku sampaikan kepadamu,
dia pasti dapat sembuhkan luka Siau Lui, tapi kita dilarang
mencarinya lagi, kalau tidak... kalau tidak ia tak mau
mencampuri urusan ini lagi."
Ketika mengucapkan perkataan tersebut, perasaan hatinya
terasa bagai ditusuk dengan beribu-ribu jarum. Baru pertama
kali ini dalam hidupnya ia berbohong, apalagi berbohong di
hadapan Liong Su. Tapi dia mau tak mau harus berbohong.
Liong Su sudah tua, bahkan sudah sangat lelah, dia sudah tak
mampu lagi menerima pukulan bathin yang lebih berat.
Seandainya dia mengetahui kejadian yang sebenarnya,
mungkin ia akan segera muntah darah dan sakit parah.
Kadangkala berbohong pun membawa niat baik, hanya saja
dalam keadan semacam ini, kadangkala perasaan hati orang
159 yang sedang berbohong jauh lebih tertekan, jauh lebih
menderita ketimbang orang yang sedang dibohongi.
Liong Su menghela napas panjang, katanya, "Dia bilang
pasti dapat sembuhkan luka yang diderita Siau Lui?"
Ouyang Ci manggut-manggut, dia tak berani bentrok
pandangan mata dengan pandangan Liong Su.
"Hai, entah dia bisa tidak merawat baik-baik... ku... kudaku
itu?" "Dia pasti bisa!"
Kalau tidak sekuat tenaga berusaha mengendalikan gejolak
emosinya, mungkin dia sudah berteriak dan menangis
tersedu-sedu. Hanya dia seorang yang tahu kuda itu sudah mati, sedang
Siau Lui juga mungkin tak punya harapan lagi.
Terhadap seekor kuda pun perempuan kejam itu sanggup
tunin tangan sekeji ini, apalagi terhadap seorang manusia...
Tapi, mengapa dia harusberbuat begini" Kalau ingin
membunuh Siau Lui, seharusnya dia sudah memperoleh
kesempatan dalam ruangan itu, lagipula kondisi Siau Lui sudah
begitu parah, sesungguhnya tak perlu baginya untuk repot
repot turun tangan sendiri.
Ouyang Ci mengepal tinjunya kencang-kencang, ia benarbenar
tak paham dengan perasaan seorang wanita... yaa,
siapa yang bisa paham"
III Tempat ini adalah sebuah lembah bukit, air yang jernih
mengalir turun dari sebuah air terjun membuat panorama
alam di sekeliling tempat itu kelihatan sangat indah.
Aneka bebungaan tumbuh subur di kaki bukit, mengelilingi
tiga-lima bilik rumah kedi yang dikelilingi dinding merah.
Seorang nona kecil berkuncir sedang membawa sebuah botol
berisi air berjalan masuk ke dalam halaman.
160 "Ting-ting... Ting-ting.. .mana airnya?" kedengaran
seseorang berteriak dari dalam rumah.


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Airnya sudah datang," sahut Ting-ting sambil berlari
masuk, sepasang kuncirnya yang hitam bergerak kian-kemari
memainkan sepasang pita merah yang menghiasi ujung kuncir
itu. Siau Lui sudah cuci muka.
Dengan memakai selembar kapas yang dibasahi air, Tingting
membasuh noda kotoran dan noda darah yang menempel
di wajah pemuda itu, kemudian setelah menghela napas
panjang katanya, "Orang ini memang benar-benar menawan
hati!" Kain cadar yang dikenakan Ting Jan-coat sudah
ditanggalkan waktu itu. Dia kelihatan sangat murung dan
kucai wajahnya, mendengar perkataan tadi segera
sambungnya dengan dingin, "Kalau dia sudah mati, pasti akan
lebih menawan hati!"
"Menurutmu... menurutmu dia bakal mati?" tanya Ting-ting
sambil membelalakkan matanya.
Ting Jan-coat tidak menjawab, tapi dari balik sorot matanya
terpancar sinar kekuatiran, mungkin baru pertama kali ini
dalam hidupnya ia tunjukkan perasaan kuatir terhadap orang
lain. Ting-ting menghela napas panjang.
"Aku sangat berharap lelaki ini tidak mati, dia sangat serasi
bila mendampingi nona."
Ting Jan-coat menggigit bibir sambil mengawasi Siau Lui
tanpa berkedip. Dia seperti terpesona dibuatnya, dia tak tahu
haruskah merasa murung" Atau gembira"
Siau Lui masih berbaring di atas pembaringan dengan
perasaan tak tenang, seakan-akan ada sepasang tangan iblis
yang tak kelihatan sedang mencekik lehernya
Napasnya yang semula lemah tiba-tiba berubah jadi cepat,
dengan napas tersengal-sengal teriaknya berulangkali, "Jianjian...
Jian-jian... kau ada di mana?"
161 Paras muka Ting Jan-coat segera berubah hebat, sebentar
memucat sebentar menghijau.
Ting-ting juga mengerutkan dahinya sambil bergumam,
"Siapa itu Jian-jian" Kenapa ia selalu memanggil namanya?"
Ting Jan-coat hanya melototi wajah Siau Lui tanpa
berkedip, dia seakan akan tidak mendengar apa yang
digumamkan nona kecil berkuncir itu.
"Jian-jian... Jian-jian..." Deru napas Siau Lui makin lama
semakin rendah, sekulum senyuman tersungging di ujung
bibirnya, dia seolah-olah telah bertemu dengan Jian-jian
dalam mimpinya. Tiba tiba Ting Jan-coat menerjang ke muka lalu melayangkan
tangannya menggam-par wajah pucat itu keraskeras,
umpatnya, "Jian-jian sudah lama melupakan kau,
kenapa kau mesti berteriak terus memanggil namanya" Jika
kau berani memanggil namanya sekali lagi, aku... aku... Aku
akan membunuhmu!" Bekas lima jari tangan yang merah membengkak tertinggal
di wajah Siau Lui yang pucat pias, tapi pemuda itu tidak
merasakan apa-apa. Ting-ting tertegun saking kagetnya, jeritnya tertahan,
"Nona... dia sudah hampir mati, kau... kenapa kau masih
menamparnya juga?" "Aku senang," sahut Ting Jan-coat sambil menggigit bibir.
"Siapa yang ingin kupukul akan segera kupukul.. .jika ia berani
memanggil nama anjing betina itu sekali lagi, akan kucincang
tubuhnya hingga hancur berkeping-keping!"
Siapapun yang sempat melihat mimik wajahnya saat ini
pasti tahu, ia bisa berkata bisa pula melaksanakan.
Sayang Siau Lui tidak dapat melihat, ia masih saja
memanggil, "Jian-jian... Jian-jian..."
Pucat pias wajah Ting-ting saking kaget dan takutnya,
seluruh badan Ting Jan-coat juga nampak gemetar keras,
tiba-tiba tangannya merogoh ke arah pinggang dan mencabut
keluar sebilah golok melengkung dari sarungnya.
162 "Jangan nona!" teriak Ting-ting ketakutan. 'Jangan kau
lakukan itu... Aku mohon... Nona... jangan kau iris daging
tubuhnya..." Ting Jan-coat menggenggam gagang goloknya makin
kencang, ia sama sekali tak ambil perduli teriakan nona kecil
itu, tiba-tiba goloknya diayunkan ke depan dan langsung
menusuk kebahu Siau Lui. Tubuh Siau Lui yang semula berbaring di atas pembaringan
segera meronta bangun, sambil membuka matanya lebar-lebar
dia melotot sekejap ke arah gadis itu, tapi ia segera tak
sadarkan diri lagi. Pelan-pelan Ting Jan-coat mencabut keluar goloknya,
mengawasi darah yang meleleh keluar melalui ujung goloknya,
dua deret air mata jatuh berlinang membasahi pipinya
"Kenapa kau memanggil namanya terus-menerus" Kenapa
kau tidak bertanya siapa namaku?"
Perasaan hatinya juga seperti diiris-iris dengan golok tajam.
Saking sedih bercampur sakit hati, mendadak goloknya dibalik
kemudian langsung ditusukkan ke atas bahu sendiri.
Seluruh tubuh Ting-ting ikut gemetar keras, air mata telah
membasahi seluruh wajahnya, dengan terisak katanya,
"Sekarang aku mengerti... Liong Su hadiahkan kudanya karena
dia ingin dia menunggang kuda itu pergi mencari Jian-jian,
maka kuda itupun kau bunuh... kau memang tak pernah ingin
dia hidup kembali!" "Tutup mulut!" hardik Tingjan-coat sambil mencak-mencak
kegusaran. "Kau tak perlu mencampuri urusanku, cepat pergi
dari sini!" "Baik, aku pergi, tapi nona... kenapa kau harus menyiksa
orang lain" Kenapa kau juga menyiksa diri sendiri?"
"Karena aku senang... karena aku senang... aku senang..."
jerit Ting Jan-coat sewot.
Ting-ting tertunduk lesu, dengan air mata masih berlinang
pelan-pelan ia tinggalkan ruangan itu, tapi belum sampai di
luar pintu, ia sudah mendengar suara isak-tangis dari gadis
tersebut. 163 Ting Jan-coat tidak mendengar suara isak-tangis sendiri,
sepasang matanya masih mengawasi golok dalam
genggamannya dengan termangu, di ujung golok masih
ternoda darahnya, juga darah pemuda itu.
Darah pemuda itu telah mengalir masuk ke dalam mulut
lukanya. Ia mulai menggerakkan tangannya membelai mulut
luka sendiri, makin dibelai makin keras dan makin bertenaga.
Rasa sakit yang bukan kepalang membuat seluruh
tubuhnya gemetar keras, keringat dingin mulai bercucuran
membasahi sekujur badan, tapi sorot matanya justru semakin
bersinar, begitu terang sinarnya bagaikan api yang sedang
membara... Inikah yang dinamakan benci" Atau cinta" Mungkin ia
sendiri juga tak tahu, tidak jelas... yaaa, siapa yang bisa
membedakannya dalam keadaan seperti ini"
Kegelapan malam mulai menyelimuti seluruh jagad, duduk
di ujung pembaringan Ting Jan-coat mulai terkantuk-kantuk,
matanya terasa berat sekali, kepalanya juga mulai lunglai.
Berapa hari belakangan, ia memangtak pernah bisa
beristirahat dengan tenang.
Selama ini dia mengejar terus tiada hentinya, mencari,
menyelidiki, harus menahan siksaan rasa sakit yang
ditimbulkan dari pergelangan tangannya yang patah, menahan
rasa letih, rasa kesepian yang mendalam...
Untuk siapa yang melakukan semuanya ini" Ia benar-benar
tak habis mengerti, kenapa ia rela berbuat semuanya ini demi
seorang lelaki yang masih asing baginya, bagi seorang lelaki
yang telah mematahkan pergelangan tangannya, bagi putra
musuh besarnya yang begitu dicintai juga begitu dibenci
olehnya. Tapi, bagaimana pun juga pada akhirnya ia sudah berada di
sisinya. Sekalipun pemuda itu harus mati, dia tak rela ia mati
dalam pelukan orang lain.
Ting Jan-coat tertunduk lemah, rasa mengantuk yang amat
sangat membuat ia tak tahan untuk pejamkan matanya...
164 "Jian-jian... Jian-jian..." Tiba tiba Siau Lui meronta
kembali,mulai berteriak keras.
Ting Jan-coat mendusin dari rasa mengantuknya dengan
perasaan terperanjat, ia meloncat bangun, tubuhnya gemetar
keras. Paras muka Siau Lui yang pucat pias kembali berubah jadi
merah membara, panas tinggi mulai merasuk sekujur
badannya, kini kesadarannya sudah hilang, pikirannya sudah
kalut... Dengan mata yang melotot besar kemerah-merahan dia
awasi bayangan manusia yang berdiri di ujung pembaringan
tanpa berkedip, mendadak teriaknya keras, "Jian-jian, kau
telah kembali, aku tahu kau pasti akan kembali!"
Ting Jan-coat menggertak gigi menahan emosi, dengan
penuh rasa gusar ia menerjang ke depan dan mencoba
menamparnya Pada saat itulah tiba-tiba Siau Lui menarik tangannya kuatkuat.
Entah darimana munculnya kekuatan yang begitu besar,
tarikan itu sangat kencang, sangat kuat...
Belum sempat gadis itu meronta untuk melepaskan diri,
tahu-tahu badannya sudah tertarik hingga jatuh ke dalam
pelukannya. Sambil memeluk kencang tubuh gadis itu, Siau Lui masih
saja berteriak keras, "Jian-jian... Kau jangan harap bisa pergi
lagi, kali ini aku tak akan membiarkan kau pergi dari sisiku."
"Lepaskan aku!" teriak Ting jan-coat sambil menggigit
lengan pemuda itu. "Jian-jian sudah mampus, jangan harap
kau bisa bertemu lagi dengannya!"
"Tidak, kau belum mati... kau tak bakal mati... asal kau
mau balik kemari, aku pasti tak akan biarkan kau mati."
Mulut lukanya kembali mengucurkan darah segar, tapi dia
seperti tidak merasakan, malahan pelukannya makin kencang.
Ting Jan-coat ingin mendorong tubuhnya, ingin melepaskan
diri dari pelukan itu, tapi... belum pernah ia dipeluk seperti ini
165 olehnya, belum pernah ada orang pernah memeluknya seperti
ini. Tiba-tiba saja semua kekuatan di dalam tubuhnya hilang
lenyap tak berbekas, ia menggigit bibir kuat-kuat,
memejamkan matanya dan tak tahan mulai menangis tersedusedu.
Air mata mengalir melalui bahunya bercampur dengan
darah pemuda itu, menetes masuk ke dalam mulut lukanya.
Sambil menangis tersedu-sedu, gumamnya, "Benar... aku
adalah Jian-jian... Aku telah kembali... kau... kenapa kau tidak
memelukku lebih kencang... ?"
Seseorang, bila dirinya sendiripun sudah tak ingin hidup
lebih lanjut, tak akan ada orang lain yang bisa menyelamatkan
jiwanya. Di dunia ini pun tak akan ada obat yang jauh lebih manjur
daripada keinginan seseorang untuk meneruskan hidupnya.
Bila kau paham dengan teori ini, maka kau pun akan
mengerti mengapa Siau Lui tidak sampai mati.
IV Siau Lui tidak mati, kejadian ini benar-benar merupakan
satu kemukjijatan, tapi... kemukjijatan tidak sering bisa terjadi
di dunia ini. Selama umat manusia masih memiliki rasa percaya diri,
masihada niat, masih ada keberanian, kemukjijatan masih
seringkali akan bermunculan.
Ketika panas tubuhnya mulai mereda, pemuda itu mulai
mendusin dan sadar kembali, tapi hanya di saat sadar itulah
perasaan pedih dan sedih akan mulai dirasakan, hanya orang
yang pernah mengalami penderitaan yang akan mengerti teori
ini. Siau Lui membuka matanya, memandang ruangan itu
dengan termangu-mangu, dari sudut ruangan sini ia
memandang hingga sudut ruangan yang lain.
166 Garis memerah sudah tak nampak di matanya, yang tersisa
hanya penderitaan. Jian-jian ada di mana" Siapa bilang Jianjian
telah kembali" Suara langkah kaki manusia bergema dari luar pintu kamar,
Ting Jan-coat dengan membawa sebuah guci air berjalan
masuk ke dalam ruangan itu.
Melihat kemunculan gadis tersebut, Siau Lui segera berseru
kaget, "Rupanya kau" Kau... kenapa kau bisa berada di sini?"
Biarpun suaranya masih lemah namun sama sekali tidak
mengandung nada persahabatan.
Ting Jan-coat merasa hatinya seolah-olah tenggelam ke
dasar samudra luas, ia segera menarik wajahnya, bahkan
langkah kakinya pun kedengaran makin berat.
Ia membalikkan badan sambil meletakkan guci air itu ke
atas meja dekat jendela, kemudian sahutnya ketus, "Ini
rumahku, kenapa aku tak boleh kemari?"
"Ini rumahmu?" seru Siau Lui makin tercengang. "Kenapa
aku bisa sampai di sini?"
"Kau tidak ingat?" Kembali tangannya meremas ujung
bajunya kuat-kuat, begitu kuat remasan tersebut hingga kuku
jarinya nampak memutih. Siau Lui miringkan kepalanya seperti berpikir, ia segera
menangkap bahunya yang penuh noda darah... Yaaa... banjir
darah. Jalan perbukitan yang sempit dengan dinding karang
disekitarnya... Kakek yang memainkan senjata payungnya
dengan gencar, pecut panjang yang menyambar bagai
patukan ular berbisa... kampak raksasa yang membelah di
atas tubuh manusia... pedang yang menembusi tulang
bahunya... Dalam waktu singkat semua bayangan itu muncul
kembali dalam benaknya. Tiba-tiba Ting Jan-coat membalikkan badannya, lalu sambil
memandangnya lekat-lekat ia bertanya lagi, "Sudah teringat
kembali?" Siau Lui menghela napas panjang dan tertawa getir.
"Aku lebih suka melupakan semua itu untuk selamanya."
167 'Tapi apa yang harus teringat terus tak akan kau lupakan


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan?" dari balik mata Ting Jan-coat terpancar keluar sinar
kesedihan dan kemurungan yang mendalam.
"Di mana Liong Su?" tiba tiba Siau Lui bertanya.
"Liong Su yang mana?"
"Liong Kong, Liong Su!"
"Aku tidak kenal orang itu."
"Kau tak pernah bertemu dengannya?"
"Aku tidak kenal dengan orang itu."
"Tapi... sewaktu aku tak sadarkan diri, ia masih berdiri di
depanku," ujar Siau Lui sambil berkerut kening.
"Tapi ketika kutemukan dirimu tadi, kau hanya sendirian."
"Kau temukan aku di mana?"
"Di balik tumpukan mayat, ada orang sedang bersiap-siap
memberesi mayat kalian."
"Siapa orang itu" Bukan Liong Su?"
"Bukan!" "Aneh" gumam Siau Lui, keningnya makin berkerut, "masa
dia pergi begitu saja?"
"Kenapa tidak pergi?" Ting Jan-coat tertawa dingin. "Orang
yang telah mampus tak mungkin bisa mewakilinya berkelahi,
tak bisa adu nyawa buatnya, apa gunanya lagi buat dia?"
Siau Lui tidak berkata, ia bungkam dalam seribu bahasa.
Ting Jan-coat mengawasi wajahnya dengan pandangan
tajam, agaknya dia ingin sekali melihat pemuda itu
menampilkan perasaan kecewa dan gusarnya.
Tapi sayang mimik wajah Siau Lui tidak menunjukkan
perubahan perasaan apa pun, katanya hambar, "Dia sudah
tidak berhutang kepadaku, akupun sudah tidak berhutang
kepadanya, dia memang seharusnya pergi dari situ."
"Kelihatannya temanmu tidak banyak," ejek Ting Jan-coat
dingin. "Yaa, memang tak banyak!"
'Tapi kenyataannya kau masih bisa hidup hingga kini, suatu
perjuangan yang tak gampang..."
168 "Mungkin karena ingin mati pun bukan satu pekerjaan yang
mudah," jawab Siau Lui hambar.
Berkilat sepasang mata Ting Jan-coat, tiba-tiba tanyanya,
"Apakah aku berhutang kepadamu?"
"Tidak!" "Dan kau berhutang kepadaku?"
"Yaaa, hutang dua kalL"
"Dengan cara apa kau hendak membayar hutang itu
kepadaku?" "Katakan saja."
"Sejak dulu aku telah berkata, nyawa yang dimiliki manusia
macam kau sama sekali tak ada harganya, bahkan kau
sendiripun tidak pandang serius. Buat apa aku
mengambilnya?" "Kau memang pernah berkata begitu, karenanya kali ini kau
tak perlu mengulangi lagi perkataan tersebut."
Pelan-pelan ia membalikkan tubuhnya, dari dalam guci air
dia menuangnya sedikit ke dalam baskom kayu.
Siau Lui tidak memandang ke arahnya, sejak masuk hingga
sekarang tampaknya dia hanya memandangnya sekejap,
sekarang sorot matanya sedang memandang ke arah pintu
ruangan. Rupanya secara tiba-tiba ia menemukan ada seorang nona
kecil yang rambutnya dikepang sedang bersembunyi di luar
pintu sambil mengintip ke arahnya dengan sembunyisembunyi,
wajahnya menampilkan suatu perasaan yang
sangat aneh. Ketika mengetahui Siau Lui sedang mengawasinya, tibatiba
nona kecil itu mengerdipkan matanya memberi tanda.
Siau Lui pun balas mengerdipkan matanya - menjawab tanda
itu. Sejak pandangan pertama dia sudah merasakan bahwa
nona kecil itu bukan saja berwajah menarik, lagipula sikapnya
sangat bersahabat. Memang tak banyak orang yang benar-benar menunjukkan
sikap bersahabat kepadanya selama ini.
169 Gadis cilik itu sedang menutupi bibirnya sambil sembunyisembunyi
tertawa geli. Siau Lui menggapai memintanya untuk masuk ke dalam
ruangan, tapi secara sembunyi-sembunyi nona cilik itu
menuding ke arah punggung Ting Jan-coat lalu membuat
muka setan. "Ting-ting!" mendadak Ting Jan-coat menghardik. "Lagi
apaan kamu di luar sana?"
Ting-ting terperanjat hingga wajahnya berubah memucat,
sahutnya agak tergagap, "Aku... tidak... Aku tidak apa apa..."
Obat yang berada dalam baskom air itu berwarna hitam
pekat, bentuknya mirip lumpur yang kotor namun
menampilkan bau harum yang semerbak.
Ting-ting memegangi baskom kayu itu erat-erat, matanya
memancarkan rasa takut dan ngeri yang amat sangat ketika
melihat campuran obat itu, bahkan sepasang tangannya
gemetar keras. "Apa yang kau takuti?" tegur Siau Lui.
"Takut kau," jawab Ting-ting sambil menggigit bibir.
"Takut aku" Memangnya aku menyeramkan?"
Pandangan mata Ting-ting tak lagi berani memandang ke
arahnya, sahurnya, "Aku... belum pernah aku melihat orang
dengan luka bacokan sebanyak ini."
Malam... udara di malam hari selalu lebih dingin dan
nyaman ketimbang siang hari, namun Siau Lui merasa
kepanasan. Ia mencoba meraba wajah sendiri, lagi-lagi suhu badannya
meningkat. Padahal ketika baru mendusin tadi, ia merasa
kondisi tubuhnya jauh lebih sehat dan segar, malah bisa
bicara banyak. Ia bisa membayangkan, selama dirinya tidak sadarkan diri,
Ting Jan-coat pasti merawatnya dengan sangat baik, malahan
dia masih dapat merasakan bau obat-obatan dan kuah jinsom
yang masih tersisa dalam mulutnya
Tapi sekarang, ia merasa sekujur badannya makin tak
enak, semakin tersiksa rasanya, terutama dari mulut luka yang
170 ada di sekujur badannya, saat ini seperti digigit oleh beriburibu
ekor nyamuk, selain sakit juga gatal sekali, kalau bisa dia
ingin menggaruk sepuasnya.
Ting jan-coat tidak berada dalam kamar, juga tak
kedengaran suaranya. Perempuan yang dingin kaku, angkuh dan sendirian ini
memang amat kesepian, apakah dia pun seringkali menangis
secara diam-diam" Siau Lui sangat memahami perasaan gadis ini, tapi dia
menampik untuk memahaminya, dia tak ingin memahaminya.
Dalam hati kecilnya dia pun merasa sangat berterima-kasih,
tapi menampik untuk mengakui. Mengapa ia selalu menampik
begitu banyak masalah yang menyangkut gadis itu"
Tiba-tiba pintu kamar dibuka orang pelan-pelan. Siau Lui
mengawasinya, tapi ia tak bergerak, tidak bersuara bahkan
kerlingan matanya pun sama sekali tidak bergerak. Sekalipun
ada harimau lapar yangsecara tiba-tiba menerkam ke dalam
ruangan, mimik mukanya sama sekali tak akan berubah.
Yang masuk ke dalam kamar bukan harimau kelaparan, dia
adalah seorang gadis cilik, Ting-ting.
Wajahnya kelihatan sangat tegang, begitu masuk ke dalam
kamar, cepat-cepat ia rapatkan kembali pintu itu,
memadamkan lampu lentera tapi membuka lebar daun jendela
dalam ruangan. Cahaya bintang memancar masuk dari balik jendela,
menyinari wajahnya, dia nampak sangat tegang hingga
bibirnya pun kelihatan gemetar keras.
"Silahkan duduk," tiba-tiba Siau Lui berkata.
Ting-ting terkesiap, saking kagetnya kedua belah kakinya
jadi lemas dan nyaris jatuh terperosok ke lantai.
"Apa yang kau takuti?" kembali Siau Lui menegur sambil
tertawa. Tiba-tiba Ting-ting melompat ke muka, mendekam
mulutnya lalu sambil menempelkan bibirnya di tepi telinga
pemuda itu, bisiknya, "Ssst, perlahan sedikit kalau bicara,
kalau tidak, nyawa kita berdua bakal melayang!"
171 "Seserius itu?"
"Ehm!" "Urusan apa begitu serius?"
"Apakah kau masih bisa berdiri, masih bisa bergerak?"
"Mungkin!" 'Jika kau masih mampu berdiri, cepatlah pergi dari sini!"
"Pergi dari sini malam ini juga?"
"Yaaa, sekarang juga kau harus pergi!"
"Kenapa harus buru-buru?"
"Sebab jika kau tak pergi malam ini, maka selama hidup
jangan harap bisa pergi dari sini!"
"Kenapa?" "Kau tahu tidak, obat apa yang telah ia gunakan untuk
mengobati lukamu hari ini?"
"Entahlah, tapi baunya harum sekali."
"Obat racun itu kalau tidak manis tentu harum baunya,
kalau tidak, mana ada orang yang mau menggunakannya?"
Jangan dilihat nona ini masih kecil, ternyata banyak sekali
urusan yang dipahami dan diketahui olehnya.
"Jadi itu racun?"
"Yaa, racun itu bernama rumput mata cangkul, bila lubang
luka yang ada di tubuhmu dipolesi sedikit saja dengan obat
ini, maka tak sampai lima hari akan mulai membusuk hingga
muncul sebuah lubang besar, bentuk lubang itu persis seperti
tanah yang dicangkul dengan mata cangkul!"
Tiba-tiba Siau Lui merasa tangan maupun dadanya berubah
jadi sangat dingin, bisiknya sambil tertawa getir, "Tak heran
kalau sekarang aku sudah mulai merasa tak beres."
"Siang tadi kau bertanya kepadaku, kenapa takut, yang
kutakuti adalah rumput itu tapi aku... aku tak berani
bersuara." "Dia telah selamatkan jiwaku, telah mengobati lukaku
hingga sembuh, kenapa sekarang ingin mencelakai aku?"
"Karena dia tahu, begitu lukamu sembuh maka kau segera
akan pergi dari sini."
172 Setelah menggigit bibir, dengan suara yang lebih lirih
lanjutnya, "Bila mulut lukamu mulai membusuk, dia baru
punya kesempatan untuk merawatmu, bila kau semaput lagi,
dia baru punya peluang untuk tinggal di sampingmu Meskipun
d ia sangat tidak berharap kau mati, tapi dia pun tidak
berharap lukamu segera sembuh."
Dengan termangu-mangu Siau Lui mengawasi dinding
kamar di hadapannya, perasaan harinya yang terpancar dari
balik matanya pun kelihatan sangat aneh.
Tiba-tiba Ting-ting berkata lagi, Ia berbuat begitu tentu
saja karena dia sangat menyukaimu, tapi bagaimanapun juga
kau harus pergi dari sini, kalau tidak... Cepat atau lambat kau
akan mati membusuk di atas pembaringan ini, membusuk
persis seperti segumpal lumpur!"
"Tidak seharusnya kau beritahu persoalan ini kepadaku,"
kata Siau Lui dengan perasaan berat.
"Kenapa?" "Sebab aku tak bisa pergi!"
"Kenapa?" "Bila aku pergi, apa dia akan lepaskan dirimu dengan
begitu saja?" "Kau... kau sendiri sudah hampir mati, kau masih
memikirkan aku?" "Tentu saja. Kau masih kecil, aku tak akan membiarkan kau
menderita lantaran aku!"
"Kalau memang begitu, kenapa kau tidak sekalian
membawaku pergi?" "Membawamu pergi?"
"Aku pun tak bisa tinggal di sini lagi... dia sudah gila, bila
aku terus mengikuti dia, mungkin aku pun akan ikut gila!"
"Tapi... Jika kau ikut aku, mungkin kau bisa mati
kelaparan." "Aku tidak takut... siapa tahu justru aku bisa bekerja untuk
mencari uang dan memelihara kau?"
"Aku masih belum bisa membawamu pergi..."
173 "Kenapa?" saking gelisahnya, nada suara itu nyaris disertai
isak tangis. Siau Lui menghela napas panjang.
"Sebab aku sendiri pun tak tahu ke mana harus pergi,"
sahurnya. "Kita bisa pergi mencari Liong Su!"
Sekilas bayangan gelap melintas dalam pandangan mata
Siau Lui, pelan-pelan dia menggeleng.
"Tidak, aku tak tahu harus ke mana mencarinya?"
"Ia tinggal di ibu kota, distrik Thiat-say-cu Oh-tong."
"Darimana kau bisa tahu?"
"Dia sendiri yang mengatakan."
"Kau pernah bertemu dengannya?"
"Aku telah bertemu dengannya, nona juga telah bertemu
dengannya, apa yang dia katakan siang tadi semuanya
bohong!" Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya, "Aku dapat
merasakan sikap Liong Su terhadap kau jauh lebih mesra
ketimbang hubungan antar saudara, kalau bukan nona
berjanji pasti dapat menyembuhkan luka di tubuhmu, dia tak
akan membiarkan nona membawamu pergi."
Paras muka Siau Lui yang pucat pasi mulai terjadi
perubahan. Kembali Ting-ting berkata, "Sebelum berangkat, bukan saja
dia berulang-kali berpesan agar kau segera pergi mencarinya
begitu lukamu sembuh, bahkan dia pun menghadiahkan kuda
mestika kesayangannya, dia minta nona menyampaikannya
kepadamu." Siau Lui merasa darah panas bergolak keras di dalam
dadanya, ia cengkeram tangan Ting-ting dan serunya,
"Apakah kau maksudkan kuda mestika berbulu hitam itu?"
Ting-ting mengangguk.

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari sorot matanya aku pun dapat merasakan kalau dia
sedikit merasa sayang, tapi akhirnya toh tetap dihadiahkan
kepadamu. Dia bilang, kau lebih membutuhkan kuda itu
ketimbang dia karena kau harus pergi mencari seseorang."
174 Siau Lui tertegun, kembali air mata hangat
menggelembung dalam kelopak matanya, sampai lama
kemudian ia baru bertanya, "Di mana kuda itu sekarang?"
"Sudah mati diracun nona," sahut Ting-ting sambil
menghela napas. Tiba-tiba Siau Lui melompat bangun dari tidurnya, cahaya
yang sangat menakutkan memancar keluar dari balik matanya,
sekujur badannya gemetar keras.
Lagi-lagi Ting-ting menghela napas, terusnya, "Kadangkala
aku sendiripun tidak mengerti kenapa nona harus berbuat
begitu, tampaknya dia tak senang bila kau punya teman lain,
seolah-olah dia merasa hanya dia seorang yang pantas
menjadi sahabatmu." "Baik," tiba-tiba Siau Lui berseru sambil menarik tangan
nona itu. "Sekarang juga kita pergi!"
Berkilat sepasang mata Tingting, katanya sambil melompat
bangun, "Aku tahu di belakang sana ada sebuah jalan setapak
yang tembus sampai di mulut sungai. Setelah tiba di sana kita
bisa menyewakereta untuk melanjutkan perjalanan."
Kemudian setelah memanda ng Siau Lui sekejap dengan
kening berkerut, lanjutnya, "Tapi... Benarkah kau dapat
berjalan?" "Biarpun harus merangkak aku akan merangkak keluar dari
sini!" Sorot mata yang terpancar keluar semakin menakutkan,
pelan-pelan lanjutnya, "Sekalipun harus merangkak, aku pasti
dapat merangkak sampai di mulut sungai, percaya kau?"
Ting-ting memandangnya termangu, sinar matanya
memancarkan rasa kagum, sayang dan keyakinan, sahutnya
lembut, "Aku percaya, apapun yang kau katakan aku pasti
percaya." Baru selesai dia mengucapkan perkataan tersebut,
mendadak terdengar suara Ting Jan-coat menyambung,
"Sayang aku tak percaya!"
175 HIAT-YU-BUN (PERGURUAN BANJIR DARAH) I Jian-jian duduk dengan kepala tertunduk, bahunya ditarik
ke belakang dengan pinggang ditegakkan. Sepasang
tangannya diletakkan di atas lutut dengan dua kaki merapat
serong ke samping, hanya ujung kakinya yang menempel
tanah. Duduk dengan posisi semacam ini memang harus diakui
merupakan cara duduk yang indah, sangat anggun tapi juga
sangat melelahkan. Bila seseorang duduk terlalu lama dalam posisi seperti ini,
tengkuknya pasti akan terasa linu, pinggangnya juga mulai
sakit malahan begitu sakit seperti mau patah rasanya.
Tapi ia sudah duduk dalam posisi begini hampir satu jam
lamanya, jangan lagi badannya, ujung kaki pun sama sekali
tak bergeser dari posisi semula, ia berbuat begini karena dia
tahu ada seseorang sedang mengawasinya dari luar jendela.
Dia tahu Siau Ho-ya telah muncul di situ.
Mimik mukanya memperlihatkan perasaan tak tenang, ada
sedikit rasa gelisah dan murung. Tentu saja dia berharap gadis
itu mau bangkit berdiri menyambut kedatangannya, paling
tidak seharusnya memandang dia sekejap, tertawa ke
arahnya. Sayang Jian-jian tidak berbuat begitu.
Setelah mengitari meja bundar di tengah ruangan dua kali,
akhirnya dia menggerakkan tangannya memberi tanda.
Beberapa orang gadis yang selama ini berdiri berjajar di sisi
ruangan segera memberi hormat, lalu diam-diam
mengundurkan diri dari situ.
Kembali Siau Ho-ya berjalan mondar mandir beberapa kali
dalam ruangan, kemudian sambil menghentikan langkahnya ia
bertanya, "Aku boleh masuk?"
176 Jian-jian mengangguk perlahan.
Pendekar Gunung Fuji 1 Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 9

Cari Blog Ini