Ceritasilat Novel Online

Manusia Setengah Dewa 9

Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia
mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari akhir.
Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan
batin belaka. Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun
dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau
kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman batin,
melupakan segala urusan duniawi.
Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu
hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai
ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan
biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut
yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting
pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil
naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang
dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap
kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini
berlangsung berjam-jam. Betapapun kuatnya Liu
Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena
dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang
bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus berpengang kuat-kuat
mengerahkan sinkangnya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas
karena iar menghantam seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil
mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak
akan kuat lagi bertahan...." Liu Bwee melihat ke kanan kiri.
Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia
berlindung ini.tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke
pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia
akan aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu.
Kembali datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan
berpegang erat-erat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.
"Hai i ....! Yang di sana itu.....! Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha
menolongmu....!!" Teriakan suara laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee
membuka matanya, melihgat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu, akan
tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat
dahsyat. "Oughhh....!" Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting
pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan
tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa
raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...." bisiknya. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan
tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia
memperhatikan, kiranya tubunya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat
dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air
menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali semangatnya untuk
melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki
tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu
ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah-engah hampir putus
karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air
yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain
menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak
sanggup berenang ke pohon itu.
Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa
nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang
yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga
yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa
betapa tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah
datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung
yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang
hendak menelannya. "Cepat.... cepatlah!" Dia merintih dan dalam keadaan setengah
pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah
pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya,
tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung.
Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri! "Aneh....!"
Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh
tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak
membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada telapak tangan hangat
menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat
dan yang membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara
perlahan-lahan. "Aneh sekali....!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang
menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi
hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya,
tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih
direndam air laut yang masih
berguncang. "Ahhhh....!" Dia berkata lalu mengangkat muka memandang. Seorang
laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu
berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan
batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi,
di punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan
keheranan, maka.tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan katakata"aneh" dan tentu laki-laki ini pula yang telah
menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka
berdua. "Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi" Aku harus menghaturkan banyak terima
kasih atas budi pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang
gagah dan sederhana itu. Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang,
menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam
keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh
tenaga manusia manapun, sudah sepatutnya
kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh
sekali....!" "In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee
tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan
belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup,
terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit
mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya
kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut
seorang laki-laki kau merasa berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam
hatinya. Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya, "Bagaimana Inkong
bisa tiba di temapt ini" Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku
seorang." "Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toa-nio...." Kembali wajah Liu Bwee
menjadi mereh mendengar sebutan nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu
merendahkan diri. "Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di
sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak
menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk
dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon
kecil itu." "Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."
"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu
di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut
sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku.
Seorang wanita muda....." "Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima
tahun...." "Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata
laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi,
"cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada
seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?" "Aku sedang
mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah
usianya dan siapa namanya" Aku akan membantumu mencarinya." Dia bicara dengan
suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa
makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah
seorang laki-laki yang baik hati, sungguhpun kehadirannya di bagian dunia yang
amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhhh?"" Kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya
terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han...." Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"."Dia anaknya...." Liu
Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan
kata-katanya.Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa
jawaban ini sama sekali tidak disangkanya.
Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai
lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa...
Paduka adalah Ratu Pulau Es...."
Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula,
orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui
semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di
dalam hatinya yang membutuhkan jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat
menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang.
"Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang
buangan....." "Apa...." Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?"
Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau
Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena
ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka!
"Puteriku Han Swat Hong, menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak
mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan
tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku lalu
bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku
berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makan
aku dapat kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan
menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak. "Krekkk! Krekkk!"
ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena
diremasnya di tangan kanannya. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya
bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau
Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang
amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu, melakukan kekejian
dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa menjemukan! Aku akan
mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!"
Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air
matanya. "In-kong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan
Pulau Es?" "Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau
Neraka." "Ohhh....!!"
Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira
bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
"Harap Paduka jangan khawatir...."
"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi
melainkan seorang buangan seperti engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee,
orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua
dari padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari
Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun
hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas tahun lamanya aku
meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau
di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan
menyuram. "Eh, kenapakah Ouw-twako" Apa yang terjadi denganmu maka engkau
menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya..Ouw Sian Kok menghela napas panjang,
agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu
yang telah merobah jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang
tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ
menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan
tetapi sebagai putera Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena
aku hidup penuh kasih sayang dengan
isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun
tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal
dan aku.... aku lalu pergi meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka sampai
sekarang." Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali
menghela napas panjang. Liu Bwee memandang
dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa
besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun
suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencintainya lagi" Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw
Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong,
adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouwtwako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Ouw Sian Kok menghela napas,
kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya.
Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku
dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu
dirampas wanita lain, itu
merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita
melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri,
berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air yang merendam
pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar saja, badai telah berhenti.
Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu
betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah yang cantik
itu, dengan air mata yang
masih menepel di pipi, kini terenyum dan berseri-seri.
"Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air
telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke
rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana
Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai
mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang
sehingga kini perahunya itu masih berada di situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee
lenyap tak meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita berangkat."
"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.
"Ke Pulau Es." "Apa...." Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak
mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."
"liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara
seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku
yang akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio
diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara.
Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih
mudah menyadarkan suamimu yang sedang
tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan
kupertaruhkan nyawaku untuk itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti
terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu
meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku" Mengapa
engkau menolongku, membelaku mati-matian" Mengapa engkau begini baik kepadaku?".Sambil mendayung
perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur
amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolaholah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw
Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan
begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu
membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku
yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak
terasa lagi kedua matanya basah dan
beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu
menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong
yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang
menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang
memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan
hatinya, apalagi mendengar
betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang
telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk
menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati
wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki
penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela
membelanya dengan taruhan nyawa!
Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan
dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa
sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu
Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut. Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian
Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua
ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus
diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati.
"Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah kepadaku?"
sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan
keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu.
Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua
pasang mata itu bertemu bertemu, akan
tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan
kepalanya menggeleng. Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia
berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke
tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah
diketahui di mana letaknya, karena sering kali dalam perantauannya dia memandang
pulau itu dari jauh. Kegembiraan
besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi
hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu
dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua
malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan
minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di
Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat
mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi" dan begitu bersih licin" Ouwtwako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di sana," katanya dengan
jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia di besarkan sejak
kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan
suaminya dan dengan selir suaminya. Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee
meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa
khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun" Tak
lama kemudian dia berlari di kuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya.
Pria ini pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka
sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap.
Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee
mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi....." Dan
bangunan-bangunan mereka..... mengapa lenyap" Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak.....
ahhh..." Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi di kuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa
khawatir sekali..Seperti seorang mabok, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil
orang-orang dan berlari memasuki istana
yang sudah kosong itu, di kuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan
tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
"Ke mana..." Mereka semua ke mana ....?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan
istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu. Melihat wajah
yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan
memegang lengan Liu Bwee, ditariknya
keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya
tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang
telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku
belum pernah mengalami badai sehebat itu.
Pulau Es ini tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi
bahwa pulau ini pun dilanda badai." Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee
ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....! Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan
disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua
tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan.
"Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih
dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. kalau ada penghuninya
yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan
kedahsyatan badai seperti itu?"
"Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah
kalian tewas semua" Benarkah ini" Ataukah hanya mimpi...?" Seperti orang
kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan
berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan tetapi karena
dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya
memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.
"Ohhh.... mereka semua tewas" Semua tewas...." Siapa percaya.... suamiku begitu
gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee
berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan
mencari keterangan kepada
dinding batu itu. Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di
situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang
dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu
dengan jari tangannya! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah
menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah
kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong
bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong." "Ohhh....!!" Liu Bwee memejamkan matanya,
kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat
menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah
meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan
menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benar-benar hebat,
dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu.
"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hatihati. Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba
bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada
dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat
membayangkan apa yang terjadi.
"Duhai suamiku.... betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak
tangisnya. Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat
membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding.
namun, kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu diseret dan ditelan
gelombang membadai, lenyap
dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan
di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar
pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi,
"Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat
tinggal.".Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu tergelimpang
dan roboh pingsan. Untung Sian
Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu.
Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah
itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan
meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini
menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat.
Dengan tergesa-gesa, Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan
cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang
dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan
mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu
dengan penyaluran sinkangnya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu
Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat. Pada
keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang
lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat
sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan,
dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap
tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat
bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia
bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka,
menghentikan tangisnya dan
memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali,
maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya. "Berapa lamakah aku pingsan di
sini, Toako?" "Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah,"
"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"
"Hemmm...., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali
dan harap kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan
perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong,
siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee
berkata sambil menghapus sisa air matanya.
"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu,
seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu
selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong ini."
Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Aku
melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria,
masih jelas membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga
menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan
memeberikannya kepada Liu Bwee.
Liu Bwee menyambar saputangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering
mencucurkan air mata. Dia mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini
adalah saputangan pengikat rambut anaku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako"
Ingin aku melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja,
mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang lakilaki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong" "Tidak
salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang" Aku
harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda
yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu
mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu."."Kalau begitu, aku akan
menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."Ouw
Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah
Toanio ke daratan besar di barat sana?"
Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun
merasa bingung dan khawatir, ke mana harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan
yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada
tepi. Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan
suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam
perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu
mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi
penunjuk jalan." Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan
terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako
saja...." "Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi
aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi
diri apalagi hendak mencari puterimu di daratan besar" Aku sudah merasa cukup
berbahagia kalau Toanio sudi kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima
kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako.
Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk
membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita
periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus
budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang
matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit
dan sukar, namun biarpun dia bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu
kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu maka dia tidaklah amat menderita
bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.
"Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si Pemberontak Laknat, apakah tidak
mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tongpai" kami adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah" sampai
titik darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang
bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang
adik-adik seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa. Sedikit pun
delapan belas orang itu tidak
memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh
orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap, bahkan mereka
mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan
membantu pergerakan An Lu Shan.
Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap
gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan
pedang di tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu
Shan itu. Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah muridmurid dari Kui Tek Tojin, Ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggauta Bu-tong-pai yang
meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka merupakan orang-orang
gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin merebut
kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun
tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan
mereka, akan tetapi wanita
itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri,
di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka
dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi..Setelah The Kwat Lin melarikan diri
karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu-tong-pai
dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san dan kedatangan pasukan
pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang
menyadarkan pihak pemerintah. Namun, sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus
memperlihatkan "kebersihannya" dengan jalan membantu pemerintah menentang para
pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian
mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin
itu mulai turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat
kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu
merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai
membantu pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas
Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas orang itu
menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan
disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi
menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian. Ucapan Song Kiat, Twa-suheng
(Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan
kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan
menyerbulah hampir enam puluh orang
pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong.
Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pedekar
itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka
itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang dipimpin oleh komandan yang
memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya rata-rata memiliki ilmu silat yang
lumayan. Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang
mereka dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas
orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan
tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya,
yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mempertahankan
diri dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka
parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu.
Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An
Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda
darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka malang melintang menghalangi
kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh lebih orang perajurit itu,
sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh
sambaran pedang di tangan Song Kiat.
Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe Enghiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak
membiarkan seorang pun meloloskan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncul ah kurang lebih seratus
orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta mereta mereka itu
menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang
lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak
menyangka- nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah
kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera terkurung dan
terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi,
jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan
kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu
dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu adalah seorang laki-laki
dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka
berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah
melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di
pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah
menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak
menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka.
"Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata lirih.
"Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan
besar ini, lebih buas daripada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya,
dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas kejam...."."...dan licik sekali!" Liu Bwee
menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit,
benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama sekali."
"Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta
pasukan, lihat pakaian mereka yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu
benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok banyak dan didesak
hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar." "Pikiranmu cocok
dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita
bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari....!"
Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara
melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu,
dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan
empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang
yang dilempar-lemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan
delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena
sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang
tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya!
Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang
tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali.
Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini
kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya, cepat ia miringkan tubuh
sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap
tombak itu dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan membalikan
tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya dan gagang
tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat komandan itu terjungkal! Liu Bwee yang juga
dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang
dianggapnya cukup baik dan dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan
yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan
pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang
berani menyerangnya. Amukan kedua orang dari
Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak
kurang dari tiga puluh orang anggauta pasukan telah roboh.
Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang
pendekar, akan tetapi membuat jerih sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa
pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang
terluka! Delapan belas orang pendekar itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara
mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun
tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu.
Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee,
diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata, "Kami
delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima
kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari
pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami
mengetahui nama Ji-wi yang mulia?"
Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang
sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami
berdua tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal
tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi
dan tidak perlu kami memperkenalkan nama hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa
Cuwi bentrok dengan mereka ?"
JILID 17 Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan
pata terbelalak heran. Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata
Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak mengenal keadaan
sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An Lu Shan" Melihat kehebatan ilmu silat
mereka, Song Kiat dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti
yang baru saja turun.gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan
dunia. Timbul keinginan mereka untuk
mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat
kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada
negara menentang pemberontakan. "Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja,"
Song Kiat berkata. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang membantu pemerintah
untuk menghadapi para pembeontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang
dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang
kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah
dikeroyok oleh pasukaan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara
dan bangsa, kami mohon sudilah
kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan kami itu."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak
mengenal siapa itu An Lu Shan dan pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan
membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh
jumlah banyak. Selain itu, kami pun
mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau
mencamuri urusan pemerintah, akan tetapi karena mereka berdua sudah menyelamatkan mereka
semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan
ramah, "Silahkan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi
keterangan sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau
Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han
Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan merasa berterima kasih
sekali andaikata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu." Delapan belas
orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak
seorang pun di antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di
antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu, akan tetapi nama-nama itu
telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau sudah kami
dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?"
Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan
tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang
tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?"
Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut
bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut
nama iblis betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran
di hati mereka. Dua orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa, sama dengan
The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan
The Kwat Lin! Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini
terang sekali berbeda dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah
membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biarpun belum
mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sutenya yang berpendapat untuk
tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu
Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat
dari wanita bernama The Kwat Lin itu?"
Liu Bwee membelalakan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat" Apa kau
gila" Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!"
Mendengar ini, serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh
tujuh belas orang sutenya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut
dan terheran-heran. "Apa...
apa artinya ini?" Liu Bwee membentak.
"Maafkan, kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan
Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The
Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk
menghadapinya, karena.iblis betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai."
"Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai"Bagaimana kalian bisa
mengatakan bahwa dia musuh
besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin
bertanya sambil memandang penuh selidik. "Benar, ucapan Lihiap. The Kwat Lin
sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan Seperguruan) kami sendiri
karena dia adalah seorang di antaraCap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar),
murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama
belasan tahun dia menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia
muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan
kepandaiannya yang luar biasa menundukan Suhu kami, Ketua Bu-tong-pai yang sah,
bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan Ketua Bu-tong-pai. Iblis
betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi Ketua Bu-tong-pai....."
"Ahhh....! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki.
"Dia becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim murinya menyelundup ke
istana akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan ini,
the Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari
Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The
Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk
membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu
pemerintah menghadapi pemberontak An Lu Shan."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian
bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini." "Di manakah adanya The Kwat Lin
sekarang?" Liu Bwee bertanya. Ingin dia bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan
madunya itu dan merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya
dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apalagi dengan bantuan Ouw
Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.
"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami sudah selesai
dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami menemani Jiwi
menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai" Di mankah itu" Tempat apakah itu" Liu Bwee
mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di
mana adanya musuh besarnya itu. "Rawa Bangkai adalah sebuah temapat yang amat
berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang
dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon
kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu
sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum
sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis
betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan
agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu.
Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk
mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi
bersabar sampai kami menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan
senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan musuh
besar kami." Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang dan ternyata di antara kedua orang ini
sudah terdapat saling pengeritan yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka
saja sudah cukup menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan
terdengan Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi
menyelidiki Telaga Utara, karena biarpun kami tidak mempunyai urusan dengan
pemberontakan An Lu Shan, setelah
tadi kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka.
Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu
menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai."
Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu
saja hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan
tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar
memasuki daerah Telaga Utara itu..Kini, dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar
karena bantuan mereka berdua akan
mempermudah penyelesaian tugas mereka.
Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini
merupakan tempat rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orangorang gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak
penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orang-orang kang-ouw dan tentang
pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat
semangat kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee
mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah
keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu
mereka menghadapi An Lu Shan.
Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua
li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan dengan pinggir telaga
dengan jembatan buatan. Di atas pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi
tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya, jika dia hendak
mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk
membagi-bagi tugas kerja.
Biarpun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak
gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apalagi puncak di mana telaga itu berada,
merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat curam sehingga bagi orang
luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang ke telaga itu.
Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu
Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan pengawal
melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman pula sehingga
kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap pengawal-pengawal
pilihan yang berilmu tinggi, danpara orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di
Telah Utara itu adalah rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat maupun
dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masing-masing.
Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang
menaruh dendam kepada kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa
pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya
tahu bersenang-senang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan
rakyat sehingga mereka menganggap pemberontakan itu sebagian perjuangan para
patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang datang dari golongan
sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang membantu An Lu Shan. Ada
yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan dan
kemuliaan. An Lu Shan biarpun kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal
yang ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja
dia pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung dihati para orang pandai yang
membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka.
Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan
siapa pun yang merasa dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun
dia merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai
puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diamdiam, secara sembunyi, dia menaruh
mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara
sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara,
juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu
Shan. Apalagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan
secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali. Demikianlah, ketika delapan belas
orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu tiba
dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu
dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi
laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh orang yang gerak-geriknya
lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi perintah kepada
komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu.
"Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui
jalan rahasia kita,"
katanya. "Dan biarpun mereka kalau bisa memasuki telaga, setelah mereka masuk,
potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula." Demikian perintahnya. Dia sama sekali tidak
merasa gentar karena barisan.terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang
dari seratus orang, sedangkan lima belas orang
pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang kang-ouw
yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya
mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu" Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi
mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka
mengunjungi Telaga Utara. "Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu
kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan
penuh keraguan ketika mereka semua berdiri didepan jurang yang ternganga lebar
di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam
sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya
maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya begitu
saja" Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi
jurang seperti ini?"
Song Kiat orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, mengangguk. "Kami sudah
menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung itu
dikelilingi olrh jurang-jurang. Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka
kita harus menyeberang melalui tempat ini." "Hemm, bagaimana caranya kalian
hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang
memiliki kepandaian jauh melampaui mereka,
merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini.
"Rintangan ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami
berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh
akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap naik, amat sukar dan lebih berbahaya,
maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang
jurang." "Jembatan manusia" Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap
Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau
jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu
dan melindungi kami di seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada
penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian
Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu beraksi. Seorang di
antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang
hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan
mengarahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah berakar
di dalam tanah yang di njaknya. Di dalam latihannya, apalagi orang berkaki kuat
ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu
menarik kedua kakinya terlepas dari tanah! Dia berdiri memasang kuda-kudanya di
belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang
merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu.
Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri di atas pundaknya. Disusul
pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun,
masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak
bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke
lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas
pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di
atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan
orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam
belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya!
Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki maing-masing yang
tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan
kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu
mendoyong ke depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke
dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu
orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah
yang sudah mengait pada tonjolan
batu tadi. Melihat ini, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai
mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh
amat berbahaya, selain.membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang
terlatih, juga membutuhkan nyali yang
amat besar karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa
mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang!
Kini susunan orang itu telah melintang dan orang teratas telah berhasil mencapai
seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat, yang berdiri di seberang. Maka
jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar
biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang,
penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki
orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap, silahkan menyeberang lebih dulu agar dapat
melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua orang itu dan
ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini
mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah
dan "Menyeberang" melalui jembatan manusia yang sambung menyambung dan menelungkup
itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan
sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu
melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum. Setelah
melihat betapa Ouw Sian Kok
menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang
rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil mengerahkan ginkangnya, Liu Bwee mulai
menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan
tubuhnya. Betapapun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia
merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat
Ouw Sian Kok sambil berkata, "Mereka benar-benar merupakan pendekar- pendekar
yang mengagumkan." Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah
mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini. Setelah dua
orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling
belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian
orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah
jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu
seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka
saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada
kaki orang yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang
yang delapan belas banyaknya ini
meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada
dinding karang di seberang sini.
Namun, dengan cekatan dan terlatih, maasing-masing kini hanya merangkul kedua
kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas
dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terhayun dekat
dinding. Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang
dan kini yang paling berat baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang
pertama paling atas yang mengunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada
akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada kakinya! Pantas saja
twa-suheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat, dan
ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang
terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika
bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini
mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya
sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke
tepi dengan selamat! "Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Enghiong!" Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah melihat daerah
ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama
berbulan-bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini.
Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan
memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga
Utara kosong sehingga kita
boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak berada
di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat.".Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela napas
dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara
Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat
rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini
kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan
menimbulkan kecurigaan...."
"Apapun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi
bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu Bwee menghibur.
Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah
mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah
telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok
merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat
ini, atau kita masuk perangkap!"
Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa
disusul suara gerakan banyak orang dan muncul ah puluhan orang dari jembatan
telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak. "Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru.
"Taihiap Lihiap, kita kembali saja!" Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar
itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, di
kuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang,
Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian
pula para sutenya. Ternyata di tempat
penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan
busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi
mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi.
Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok
berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah
berhadapan dengan musuh?"
"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke
dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui
oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di
sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung"
Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja
yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti
pengecut?" Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan
belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi
kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apalagi kami
telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula."
"Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita
menghadapinya." Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan,
apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan
hal yang wajar. "Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah
menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan
kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh
semangat sambil mencabut pedangnya.
Gerakan ini di kuti oleh tujuh belas orang sutenya dan dengan berlari cepat
mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya.
Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri di
ringkan oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti
dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan, akan tetapi mereka
juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang
bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah
siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan
yang demikian banyaknya..Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika
mendengar pelaporan dari anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang pendekar
dari Bu- tong-pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang
laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa
tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka.
"Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang
dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin
untuk bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama,
terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan
An Lu Shan, delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu masuk ke dalam perangkap
yang memang telah dipasang
oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu
membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi
tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan
berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai
banyak sopan santun pula.
"Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak mungkin
lagi berpura-pura atau membohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar,
Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal pemberontak
An Lu Shan!" Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah
kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke
atas mencegah dan dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar
itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik
kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang pedang di
dekat delapan belas pendekar itu.
"Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih
juga belum sadar" Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan
sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, juga telah menghinanya menganggap Butong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang, Cuwi malah membela Kaisar, bukankah
itu namanya penjilatan" Apakah orang-orang gagah demikian rendah dirinya, menjilatjilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?"
"Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari
gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang.
An Lu Shan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak
seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami
terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat
kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang
belaka.Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk
membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata.
Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai manusia, terutama sebagai
manusia yang berjiwa gagah."
Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan
dan memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga
sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung. Tiba-tiba Liu Bwee yang
biarpun hanya seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang
merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah
sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan
belas orang gagah itu, "
Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik pikiran dan mudah
terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling
rendah dan berbahaya."
Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat
berteriak, "Jenderal An Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak
membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai
pemberontak! kami harus mempertahankan pendirian kami, harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan
guru kami dengan darah dan nyawa!".Kedua pihak sudah "panas", akan tetapi An Lu Shan masih
bersabar, mengangkat tangannya, menahan
anak buahnya, lalu berkata, "Terserah pemilihan Cuwi dari BU-tong-pai. Akan
tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan
manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula Jiwi mencampuri


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami." "Kami berdua hanyalah orang-orang yang
kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, kami berdua
sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung jawab kami dan
tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok. "Harap Jiwi suka
mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan
dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu
kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai, asal
Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan
yang bermata tajam dan dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, berusaha
membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
"Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan
sikapnya agung seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau
tentu maklum bagi seorang yang gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih
berharga dari pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda
yang terlalu disayangkan, sedikitnya
tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa dan kami yang
sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, tentu tidak mungkin dapat mundur
lagi. Nah, kami semua telah siap, apapun yang akan kaulakukan, kami akan hadapi
dengan pertaruhan nyawa." An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu
menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak
akan menyesal melihat seorang
wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh" Terpaksa dia menggerakkan tangannya
dan bergeraklah para pengawalnya menerjang maju!
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati
masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakan kaki meloncat ke
arah An Lu Shan. Mereka maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya,
mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan
pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu yang lain
akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan
semangat lawan. Melihat gerakan mereka berdua. An Lu Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar
pelaporan anak buahnya bahwa dua orang ini lihai sekali, akan tetapi tidak
disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar
halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri
ke belakang sehingga dua orang
penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan
kiri dan belakangnya. "Trang-cringggg-cringggg....!!"
Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang
melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw
Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka
bertemu dengan tenaga yang amat
dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar
itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besarbesaran, sudah mengunakan
ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang
hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh
sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti "terbang" di atasnya! Dia
pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak
pengalamannya bertempur, memiliki pula
ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia
terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya tercabut,
tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah
tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak. "Trakkkk!".Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu
patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gikiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang
pusaka kuno yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak menjadi gugup,
bahkan dia mampu menggerakan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan
kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahutahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian
Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil
melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah
karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu mereka! Basmi mereka semua,
jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan
pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia
berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan
latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.
Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Enghiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan
An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah
Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka
tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan
tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak
terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biarpun mengiriskan
namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai
itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah,
pedang mereka berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh
dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau tersayat leher mereka
hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh
mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas
orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para
pengawal An Lu Shan. Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia
memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu
lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang
menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai,
sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Dan
kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua
sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok
musuh. Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi
pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apalagi setelah para
pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kang-ouw maju akhirnya mereka roboh
juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong yang gagah perkasa itu
tewas seorang demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah terakhir dan
setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang
biasanya menjadi tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hati itu berubah menjadi
tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang
melintang. Mengerikan! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orangorang yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw yang
berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak
dikenal oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh
mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan
dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee
membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan
dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orangorang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka
kagumi ini. Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik
ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya,
disusul dengan berkelebatnya Tiong-gi-kiam di tangannya membuat belasan batang senjata lawan
beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok
yang sudah marah itu.."An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau.... akan kubasmi
kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan
khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut
Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya
Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau
Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu
yang amat luar biasa! "Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau
Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara
berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya. Kembali semua
orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es" Benarkah apa yang dikatakan lakilaki gagah perkasa itu" Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang
tertawan itu dibebaskan" Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara
ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara
penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja
bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!"
Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan
terdengar dengan jelas oleh mereka semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang,
ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal
sebagai kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu
bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak
buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah
berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga
sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang
menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian Kok yang mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang.
Ketika melihat seorang kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi
caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya
tergantung sebuah kipas bambu,
dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi
dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan
dengan seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan
seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun
tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok.
"Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!"
bentaknya dan pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung
ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang. Dengan tenang kakek
itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang anak yang
nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak
bersikap tanggung-tanggung sekali ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia
membuka serangan. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah
suara bersuitan nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap waspada dan ketika tangkai yang
terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat
menggerakan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu.
Namun, bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan
sinar pedangnya tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa
tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi
tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak
tampak karena tali itu kecil saja, dan tahu-tahu mata pancing itu telah mengait
punggung baju Ouw Sian Kok
sehingga seolah-olah Ouw Sian Kok dijadikan "ikan" yang terkena pancing!
Ouw Sian Kok terkejut dan marah, dia bergerak hendak membabat tali pancing di
atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat
sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali
itu diputuskan dengan tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting
keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan
kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama
sekali!.Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia
telah menggunakan ilmu memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak
menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.
"Tidak buruk....!" Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi karena dia masih
memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak
dapat melepaskan diri dan hanya melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata
penuh kemarahan dan kadang-kadang
mencoba untuk menggerakan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.
Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan....! Locianpwe,
mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!"
Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut dan dia menghentikan
usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe
sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!" "Heh-heh-heh, ternyata Pulau
Neraka belum merusakmu , orang muda!" tali pancing itu mengendur dan tahu-tahu
Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak
bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga
ketat. Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang
berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goan-swe harap suka memenuhi
permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu."
Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat
keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang
kakek seperti itu, lebih baik bersahabat daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai,
demikian pedoman hatinya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk
membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguhpun
para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di
situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa
dibebaskan lagi" Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya"
Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu, segera menghampiri kakek
itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan
katanyadengan tangis yang menyedihkan. Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah,
sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah
semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya." Liu Bwee sadar
mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air matanya, lalu berkata kepada Ouw
Sian Kok, "Ouw-twako, Beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama
meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai seorang pertapa. Baru
sekarang aku dapat bertemu dengan Beliau...." Mendengar ini, terkejutlah hati
Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah
Raja Pulau Es atau setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat
tinggi, karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini, hatinya makin
tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu
Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek itu
terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah bertobat!
Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau
merobah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk
mempelajari hidup dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku
pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan
belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal mungkin saja
terjadi. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang dan biarpun mulut mereka tidak saling
bicara, namun hati mereka sudah saling menerima geteran dan mereka tahu bahwa ke
mana pun mereka pergi, asal.mereka tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani
tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu
mengangguk-angguk tanpa bicara lagi.
Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah
berbulan-bulan aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi
penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi
dari sini." An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada,
"Locianpwe, saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!"
Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka
sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakek sakti
itu.Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan
suara bersuitan dan makin
lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan
berlagu! Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, di ringi suara seperti
suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu.
"Yang lama akan terguling
yang baru menggantikannya,
yang baru akan menjadi lama
dan ada yang lebih baru pula!
Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua
mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini"
Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan
akan dilanda kematian dan kesengsaraan
ayah dan anak menyukai kekerasan
akan menjadi korban kekerasan pula!
Suara melengking dan nyanyian terhenti, semua orang tercengang dan diam, pikiran
bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan ketika mereka memandang tiga orang itu
telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan
tetapi An Lu Shan berkata,
"Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor
kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee
melompati jurang yang amat lebar kemudian lenyap di balik gunung! An Lu Shan menghela
napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh
orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang
terkenal ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya.
Yang lama akan terguling yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa
perjuangannya menggulngkan pemerintahan lama pasti akan berhasil. Apalagi baitbait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi
korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera
Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan
kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini
khusus diperuntukan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil
merampas tahta kerajaan,.namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan
besar-besaran dalam perang pemberontakan itu,
karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki
tangannya sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru
lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia
selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang
menjangkau jauh ke masa depan,
menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia
tidak mau melihat apa adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan
selalu mengarahkan pandang matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang belum
ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa
"yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada
di tangannya akan menjadi "yang begini" pula dan mata akan tidak mempedulikan
lagi karena sudah memandang pula kepada
"yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan berada jauh
keadaan hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita kepada "yang begini",
kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena
dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis
kebiasaan itu pun terhentilah.
Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap
detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung keindahan murni yang tidak
dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah,
utung dan rugi, aku dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa
artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya
sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka. Kita tinggalkan
dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang
bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan
tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai
pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita
mengikuti perjalanan dua orang itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan,
Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan
Merah tempat tinggal Tee-tok
Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The
Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu
meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke
Pegunungan Bu-tong-san. Biarpun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah
menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan
terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan
kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung
tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari
seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas sebuah di antara puncakpuncak Pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai." Sin Liong berkata
ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil
menghapus keringat dari dahi dan leher. "Hemm, kita hanya berurusan dengan The
Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tongpai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka
tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!"
JILID 18 Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah
bertemu dengan sumoinya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu
saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan selamat dan
sehat. Akan tetapi di samping rasa
girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong.
Andaikata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk
agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan
menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa
tentu gadis ini akan menimbulkan keributan.
Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab
kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak
menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia
tidak ingin memusuhi siapapun juga.
Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci
kepadanya!.Mereka sudah mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu-tongpai yang tinggi. "Sumoi,
kauserahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa
mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan
oleh ketua baru mereka." Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu,
Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku
membunuh iblis betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati
pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat" Bukankah kabarnyaBu-tongpai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup tiba-tiba
saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar
tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu,
melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan memandang tajam
penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong!
Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin
liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan
para Locianpwe dari Bu-tong-pai?" Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu
memandang Sin Liong dan tosu tua yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan
dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum
diperintah!" Sebagai jawaban kata-kata ini,
berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah perkasa yang tadi bersembunyi
di balik pohon-pohon dan rumpun, di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat
gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Melihat ini,
timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung" Apakah kalian
hendak menantang berkelahi" Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas
panggil dia keluar!" Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka,
berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan Ketua Bu-tong-pai" Pinto (saya)
ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak, memandang kaget dan heran. "Eh...." Benarkah ini" kami....
kami tidak datang mencari Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu saling pandang kemudian seorang diantara mereka,
seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama,
bertanya, "kalau begitu, siapakah yang Nona cari?" "Kami mencari The Kwat
Lin...." Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak
keras dan menubruk maju, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat
Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya. Swat Hong terkejut dan marah. Serangan
kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apalagi ketika
terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar
hawa pukulan yang menandakan
bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Hei i ttt....!!" dia melengking
panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut. "Dukkkk.... plakkkk....!!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat,
sedangkan tangan yang menotok
lehernya itu dielakkan dengan menundukan kepala sedikit, kemudian mendahului
dengan jari tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada
pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena
tangkisan itu membuat lengannya tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan
satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang.
"Desss....!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas
tanah dengan cukup keras!
Semua orang terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu
adalah sutenya, tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam
segebrakan saja" Tak
salah lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang
pernah merampas.kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain
adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya
orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu
kepandaian seperti setan itu. Para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainya melihat
tosu muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas
orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu.
Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah
mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan
pedang di tangan. "Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi" bagus, majulah semua! Hayo, jangan
ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku
kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya
memancarkan cahaya seperti hendak menyebarkan maut. Tiba-tiba Sin Liong
membentak. "Tahan senjata....!!"
Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera
terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu
berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa mereka ketahu sebabnya! Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin,
menjura dan berkata, "Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah,
kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan
Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang
untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang dan
sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta
membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya." "Apa...." Membela The Kwat Lin"
Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis itu?" "Bicara lancang dan
ngawur!" Swat Hong membentak.
"Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya,
jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai....! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan
mulut yang tidak bergigi lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena
tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini. Semua ini gara-gara wanita iblis
yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga
kepada siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!" Sin
Liong dan Swat Hong lalu di ringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat
Bu-tong-pai itu, dan dipersilahkan duduk di ruangan tamu.
Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto
mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan dengan The
Kwat Lin" Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian
The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi." Kiranya
tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin
Sicantik Gila Gunung Gede 2 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Pedang Ular Merah 4

Cari Blog Ini