Dendam Asmara Karya Okt Bagian 1
Dendam Asmara Oleh: OKT Dendam Asmara sebuah cersil yang sangat menarik, dalam
cerita ini dikisahkan mengenai "dendam dan cinta". Kisah
dimulai saat Tiang Keng yang masih kecil harus kehilangan
kedua orang tuanya. Setelah dewasa dalam petualangannya
dia bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Un Kin.
Lambat laun terjalin cinta kasih kedua muda-mudi ini Tahukah
mereka bahwa mereka berdua sama-sama harus mencari
musuh ayah mereka" Bagaimana kisah selanjutnya.
Ikuti "Dendam Asmara" yang dulu saat diterbitkan belum
tamat, tapi sekarang sudah tamat.
O.K.T. Sebagai penerjemah sudah tak asing lagi di
kalangan para pencinta cersil di Indonesia. Terjemahannya
lengkap dan menarik. Buku-buku terjemahannya sangat
banyak dan semua pilihan. Karyanya tak perlu komentar lagi.
Lahir tahun 1903 dan menetap di kota Tangerang sampai
beliau meninggalkan kita (1995), seorang pengarang yang
oleh harian Kompas dijuluki sebagai " Pendekar Cisadane"
Pengantar dari penerbit Sesuai dengan janji kami sejak awal bahwa kami berniat
"melunasi hutang-hutang O.K.T." bukan hutang '"materi"
melaikan hutang mengenai cersil yang belum beliau tamatkan
Oleh beliau. Sesuai pesan beliau dulu, saya diminta untuk
menamatkan beberapa buah cersil yang belum beliau
tamatkan, penyebab utamanya bukan kesalahan dari beliau
melainkan karena penerbitnya yang tidak menerbitkan bukubuku
beliau hingga tamat. Di antara buku yang belum beliau
tamatkan adalah "Musuh Besar", "Pangeran Tiga Kaki
Menjangan", "Lencana Tujuh Naga", dan "Dendam Asmara",
maupun cersil "Puteri Harum dan Kaisar", yang kini kami muat
lebih dahulu sebagai bonus, alah cersil "Dendam Asmara",
sedang jumlah halamannya semula hanya 48 halaman buku
aslinya, sekarang kami tambah menjadi 51 halaman agar bisa
segera kami selesaikan. Dengan ini kami mengucapkan terima kasih pada pihak
keluarga yang mengizinkan kami menamatkannya, dan kami
juga gembira karena sebelum beliau meninggalkan kita. beliau
semat dan telah menyerahkan naskah-naskah aslinya kepada
kami. Akhir kata kami ucapkan selamat membaca.
Redaksi BAB 1. TO HO JIAN BERTEMU DENGAN MUSUH BESARNYA
Malam itu Puteri Malam sedang memancarkan sinarnya
yang indah sekali. Tak heran jika Gunung Hong-san di Propinsi
An-hui, Hok-kian, saat itu bagaikan sedang bermandikan
cahaya yang warnanya putih jernih bagaikan warna perak,
terlebih di kaki puncak Si-sin-hong. Bunga-bunga yang
tumbuh di sana juga rerumputan di sana tampak jelas sekali.
Hawa di sekitar tempat itu terasa dingin karena angin terus
bertiup walaupun halus. Ketika itu sudah musim rontok.
Pada saat suasana sesunyi itu, di lereng gunung tampak
berkelebatnya bayangan. Bayangan itu mengenakan pakaian
seorang Too-su (imam), ia mengenakan kopiah dan jubah
suci. Tiba-tiba bayangan itu merandek sejenak, lalu
memandang ke sekitarnya. Sepasang matanya bersinar tajam,
tak lama dia menoleh ke belakang dan tiba-tiba ia tertawa
riang. Lalu berkata seorang diri.
"Nah, anak-anak! Baru sekarang kalian bisa melihat
keindahan daerah Selatan. Jika bukan aku. gurumu yang
mengajak kalian, seumur hidupmu kalian tak akan bisa
menyaksikan keindahan alam yang menakjubkan seperti ini!"
katanya. Suara imam itu terdengar jelas sekali.
Jawaban dari ucapan imam itu tiba-tiba bermunculan tiga
sosok bayangan anak-anak, rambut mereka dijalin rapi.
Mereka tampak lincah, mata mereka pun bersinar terang.
"Suhu, bukankah Suhu tinggal di atas gunung ini-"
Mengapa Suhu tak langsung mengajak kami ke atas" Memang
benar kata Suhu, tempat ini indah sekali. Tapi jika Suhu
segera mengajak kami ke atas, di sana Suhu bisa segera
mengajari kami ilmu silat. Kami rasa untuk menikmati
keindahan pemandangan ini, masih banyak waktu nanti!" kata
bocah berbaju kuning. Mendengar ucapan bocah itu si imam tertawa. Begitu
berhenti tertawa kedua tangan si imam bergerak. Tangan
yang kanan dipakai untuk menyambar bocah berbaju kuning,
sedang tangan kirinya dipakai untuk merangkul dua bocah
yang lainnya. Dengan cepat imam itu berlari ke arah kiri, di
tempat itu terdapat batu cadas agak besar. Tak lama imam itu
menghilang. Baru saja imam itu pergi, di tempat itu terdegar suara yang
sangat perlahan karena terbawa angin. Tak lama
bermuncullan tiga sosok bayangan orang yang berlari dengan
cepat, gerakan mereka sangat lincah.
Orang yang berlari paling depan rambutnya terurai, dia
mengenakan pakaian panjang, mirip seorang anak kecil. Dari
gerak-geriknya jelas dia pandai silat Sedang dua yang lainnya,
seorang pria dan seorang lagi perempuan. Yang pria sudah
setengah umur. wajahnya keren tapi tubuhnya sedang-sedang
saja. Kawannya yang perempuan baru berumur kira-kira 30
tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya cantik sekali. Saat ia
melompat, wanita itu memegang tangan temannya yang pria.
Mereka sekarang sampai hingga di atas sebuah batu besar di
dekat jurang. Di tempat itu, si imam dan tiga orang bocah tadi sedang
bersembunyi. Pantas mereka bisa cepat menghilang, ternyata
mereka tak pergi jauh, tapi bersembunyi di balik batu besar
itu. Si imam tersenyum ketika menyaksuikan tiga bayangan
yang baru tiba itu, sebuah senyuman mengejek. Karena
senyumannya itu tampak wajahnya jadi menyeramkan.
Pria berumur pertengahan itu menoleh ke arah perempuan
cantik sambil terus memegangi tangan kiri si nona.
"Kau lihat." kata si pria. "Inilah keindahan Hong-san!"
katanya. "Di sini selain tenang udaranya pun nyaman sekali,
tentu berbeda dengan di kota!"
"Beginilah biasanya kau memutarbalikkan keadaan!" kata si
nona sambil tertawa. "Saat kau sedang berkelahi melawan
jago Kun-lun-pai, kau ubah ilmu silatmu yang disebut "Siaoyangpat-it-si" dan berbalik kau gunakan untuk menyerang
orang! Hingga si imam geram dan mendongkol sekali
kepadamu. Lalu dia bersumpah akan menyembunyikan diri
selama 10 tahun untuk belajar kembali ilmu silatnya. Tapi aku
khawatir imam itu tidak berumur panjang....Eh tadi kau
memuji-muji keindahan Hong-san, bukan?"
Mereka akhirnya tertawa bersama-sama.
Tiba-tiba mereka menghentikan tawa mereka, saat mereka
melihat bocah yang bersamanya menunjukkan wajah serius.
"Hai Tiang Keng, ada apa?" tanya si nona atau si nyonya
sambil mengerutkan alisnya.
Bocah yang dipanggil Tiang Keng tampak gelisah,
tangannya menunjuk-nunjuk ke arah batu yang sedang diinjak
oleh pria dan perempuan itu.
"Dengar! Suara apa itu" Bukankah itu suara yang aneh
kedengarannya?" jawab bocah itu.
Keduanya memandang ke arah yang ditunjuk oleh si bocah,
mereka mencoba mendengarkan dengan baik. Si nyonya
segera mendengar suara seperti suara rintihan, tapi mirip
suara binatang liar berkaki empat. Namun entah binatang
apa" Suaranya makin lama makin jelas dan rupanya binatang
itu sedang berlari ke arah mereka.
"Aneh!" kata yang pria. "Setahuku di tempat ini jarang ada
binatang buas. Kalaupun ada dan mereka mencari makan,
tidak semalam begini, ini saatnya mereka tidur!"
Ketiganya lalu berjalan ke tepi jurang untuk meyakinkan,
binatang apa itu. Si imam dan tiga bocah yang bersembunyi di balik batu
besar dan mereka berada di atas ketiga orang itu, segera si
imam memberi isyarat agar ketiga bocah yang bersamanya
menahan napas. Imam itu sendiri heran ketika mendengar
suara aneh itu. Wajahnya berubah jadi tegang.
Tak lama terdengar suara ribut bagaikan suara badai. Tapi
anehnya pohon-pohon di tempat itu sedikitpun tak bergoyang
seperti biasanya bila ada badai atau angn kencang.
"Pasti telah terjadi sesuatu," kata pria yang berada dekat
jurang pada rekannya yang perempuan. "Kita tak boleh
sembarangan menampakkan diri. Lebih baik kita bersembunyi
untuk melihat keadaan, aku rasa begitu lebih baik!"
Pria yang bicara itu ialah Tiong-goan Tay-hiap To Ho Jian,
jago silat dari Tiongkok yang termasyur. Dia pernah
menerobos ke ruang Lo Han Tong milik Siao-lim-si dan ia
berhasil mengalahkan Sain Leng To-jin. ketua perguruan Kunlunpay dengan menggunakan Leng-coa-kiam (Pedang lunak
Ular Sakti). Dia juga pernah mengalahkan kaum Hek-to (Kaum
Hitam) atau para penjahat dari gunung Im-san. Kali ini
ternyata dia sedang mengalami pengalaman yang aneh.
Di atas batu besar, si imam terus mengawasinya dengan
hati-hati sekali. "Entah apa maksud kedatangannya?" pikir si imam.
"Apakah dia pun datang dengan tujuan yang sama dengan
akur" Saat si imam sedang berpikir. Tiba-tiba To Ho Jian
melemparkan bocah yang dipanggil Tiang Keng ke atas batu
besar; pada saat bersamaan anak itu sudah hinggap di atas
batu yang letaknya tinggi itu, To Ho Jian pun melompat
dengan gesit sekali menyusul bocah itu. Itu adalah lompatan
yang disebut "Leng Khong Siang Thian Tee" atau "Melayang
Mendaki Tangga Langit".
Menyaksikan kehebatan gerakan To Ho Jian itu, tiga bocah
yang berada bersama si imam hampir saja mengeluarkan
pujian mereka, sedang si imam yang sangat membanggakan
kepandaian ilmu meringankan tubuhnya itu pun, jadi
keheranan dan tertegun kagum. Dia menghela napas.
Sesudah berdiri tegak dia atas batu To Ho Jian merogoh ke
kantung yang tergantung di pinggangnnya. Dari kantung itu
dia menarik seutas tambang halus yang panjangnya belasan
tombak. Tambang itu dia lemparkan ke bawah, pada wanita
yang ada di bawah, perempuan itu segera menyambar
tambang yang dilemparkan itu, lalu menariknya. Maka di lain
saat wanita itu sudah melayang naik bagaikan terbang ke arah
To Ho Jian di atas batu besar.
Si imam yang menyaksikannya sangat kagum berbareng
kaget bukan main. "Kemajuan ilmu orang she To dan isteinya yang bernama
Huai Hong-hong Touw It Nio itu maju pesat sekali!" pikir si
imam. "Padahal kami baru beberapa tahun saja tak bertemu
dengan mereka... Jika demikian sia-sia saja aku memahami
ilmu silatku itu...."
Suara binatang buas semakin dekat, si imam memandang
ke arah jurang dari arah datangnya suara aneh itu
Sedang I'o Ho Jian bersama isterinya Hui Hong-hong (si
Burung Hong terbang) mengawasi ke arah lembah. Tiang
Keng si bocah yang baru berumur 10 tahun turut mengawasi
juga. "Ayah. suara apa itu" Aneh sekali!" tanya Tiang Keng.
"Ayah juga belum tahu." jawab ayahnya.
Kemudian To Ho Jian memandang ke arah isterinya.
"Isteriku kau bisa melihatnya tidak?" tanya sang suami.
"Tidak kusangka ucapan Suhu tahun lalu, sekarang menjadi
kenyataan. Mungkin belum pasti, tapi aku rasa tak akan
meleset dari dugaanku...."
Isteri To Ho Jian mengawasi ke arah lembah. Tadi dia tak
melihat apa-apa, tapi sekarang dia sudah melihat dengan
jelas. Entah berapa banyak menjangan, kijang, kambing
hutan, kelinci dan binatang lainnya. Binatang-binatang itu
berlari kencang ke arah mereka. Suaranya gemuruh
menyeramkan. "Apa yang terjadi?" tanya isterinya. "Apa terjadi kebakaran
hutan di sana" Tapi aku tak melihat ada cahaya api di sana!"
Suaminya menggelengkan kepala tak menjawab.
Tiang Keng yang penasaran pun diam tak berani bertanya.
Sesudah rombongan kijang dan manjangan berlalu di
belakang mereka tampak bergerak ular-ular, jumlahnya
mungkin ribuan mereka terdiri dari yang besar dan kecil.
"Ayah! Ular-ular itu berbahaya. Bukankah Ayah pernah
bilang di tempat ini banyak kuil dan rumah penduduk tukang
kayu. Ular itu berbahaya bagi mereka. Apa Ayah tak berniat
mengusir atau membunuh mereka agar penduduk tak celaka?"
kata Tiang Keng. .Pertanyaan Tiang Keng oleh To Ho Jian tak dijawab.
"Ayo maju sedikit," kata Ho Jian. "Kita lihat lebih tegas.
Tapi hati-hati pasti banyak ular berbisa, bau bisanya saja
sangat berbahaya!" Begitu To Ho Jian memperingatkan anak dan isterinya.
Sambil berkata Ho Jian mengeluarkan sebuah botol berisi
obat berwarna hijau. Obat itu dia bagikan pada anak dan
isterinya. "Tutup hidung kalian dengan pil ini. dan masukkan ke
mulut kalian seorang sebuah. Jangan ditelan biarkan dalam
mulut saja. Jauhi ular-ular berbisa itu. berbahaya!" kata To Ho
Jian. "Apa tak lebih baik si Keng kita tinggalkan di sini saja?"
tanya isteri Ho Jian. Dia awasi anaknya tapi Tiang Keng justru seperti ingin
sekali ikut bersama mereka, maka Ho Jian pun tertawa.
"Dalam dua tahun ini latihan tenaga dalam si Keng sudah
maju pesat," kata suaminya. "Ilmu meringankan tubuhnya
juga sudah lumayan, kita ajak saja dia aku rasa tidak terlalu
berbahaya kok!" Tiang Keng girang karena ayahnya mau mengajaknya.
Memang dia tak akan tahan menunggu kedatangan kedua
orang tuanya di situ, apalagi jika terlalu lama.
"Dasar! Kau suka sekali memanjakan anakmu, sekarang tak
apa. Bagaimana jika dia sudah besar nanti?" kata isterinya
menyalahkan Ho Jian. To Ho Jian tidak menjawab. Dia cuma tertawa. Lalu dia
melompat ke bawah kemudian disusul oleh isteri dan anaknya.
Debu tanah yang dilewati binatang berkaki empat yang
kabur seperti kalap itu menyebabkan debu membubung ke
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas. Kepindahan Ho Jian bersama isteri dan anaknya membuat
si imam dan tiga bocah atau muridnya itu jadi lega.
"Suhu, siapa mereka itu?" tanya si baju kuning. "Ternyata
mereka lihai seperti Suhu. Apa yang sedang terjadi Suhu?"
Si imam diam saja seolah ia tak mendengar pertanyaan
muridnya yang cerdik itu. Dia cuma mengerutkan alis dan
menghela napas panjang. Tapi si baju kuning terus
mendesaknya, dan akhirnya si imam mengalah.
"Pria itu she To, dia mengaku dirinya orang gagah nomor
satu," jawab si imam. "Yang perempuan itu isterinya, sedang
bocah yang mengikutinya adalah anaknya. Sekarang mereka
menuju ke tempat yang sangat berbahaya itu. Mungkin
mereka sudah bosan hidup!"
Imam itu tersenyum tawar. Tampak dia benci sekali pada
To Ho Jian sekeluarga. "Kalian tunggu aku di sini! Aku akan ke sana sebentar, tak
lama aku akan kembali lagi!" kata si imam pada muridmuridnya.
"Apapun yang terjadi, kalian jangan meninggalkan
tempat ini!" "Baik, Suhu!" jawab muridnya yang berbaju kuning. "Suhu
mau mermbunuh binatang berbisa itu! Jangan khawatir kami
akan menunggu sampai Suhu kembali ke sini!"
Imam itu tersenyum dingin, wajahnya yang bengis dan
menyeramkan menyeringai. "Diam. kau tahu apa. Nak. Ular itu memang jahat, tapi ada
yang lebih jahat dari mereka sepuluh kali lipat! Semua
binatang buas itu sedang mengantarkan jiwa mereka!" kata si
imam. Bocah baju kuning itu keheranan.
"Apa benar. Suhu?" mata si baju kuning membelalak ke
arah sang guru. "Sudah lama aku tinggal di sini." kata si imam. "Aku tahu
benar keadaan di tempat ini. Di lembah ini hidup binatang
yang sangat berbisa!"
"Binatang apa Suhu?"
"Aku belum pernah melihatnya tapi aku yakin
kelihaiannya!" jawab gurunya. "Mungkin itu binatang purba.
Jika lapar, katanya dia bersuara sambil menyemburkan bisa!
Bisanya bisa menyebar sampai 300 li jauhnya. Jika binatang
lain mencium bau itu. mereka akan berlarian menghampiri
binatang purba itu untuk dimangsa!"
Tiga bocah itu keheranan. Mereka mengawasi gurunya
dengan bengong. Si imam tertawa tawar. "Biasanya binatang itu muncul di tempat yang banyak ularular
berbisa." ata si imam lagi. "Sesudah kenyang nakan
biasanya binatang itu tidur lyenyak sekali! Binatang yang tak
ermakan jadi bisa kabur jauh-jauh. binatang itu berbisa tapi
juga bisa digunakan untuk memusnahkan bisa oerbahaya!"
Bocah berbaju kuning sangat tertarik, dia senang
mendengarkan cerita gurunya yang seperti dongeng dalam
buku "San Hay Keng". Memang dia anak seorang terpelajar
yang dibawa kabur oleh si imam.
"Suhu, pengetahuanmu luas sekali," kata si baju kuning.
"Bukan aku sombong, Nak," kata si imam. "Selain ilmu silat,
aku juga mengerti obat dan ilmu sihir."
"Kalau begitu," kata si baju kuning. "Mengapa Suhu tak
menunggu sampai binatang buas itu kekenyangan dan tidur,
baru Suhu turun tangan membunuhnya. Dengan demikian
Suhu bisa terhindar dari bencana!"
"Diam, kau tahu apa!" kata gurunya. "Binatang itu hanya
menyerang bisa dengan bisanya. Dia tidak menggangguku
untuk apa aku bunuh dia. Biar si orang tolol yang mengaku
gagah itu saja yang membunuhnya. Tapi jika ada orang yang
berani menghina Gurumu, dia harus menglradapiku. Sekalipun
dia bertangan enam, dia tak akan lolos dari tanganku!"
Si bocah berbaju kuning kaget dan heran. Dia masih kecil
hingga dia tak mengerti dan tak tahu apa arti kata-kata
gurunya itu. Sesudah berpesan lagi melompatlah si iman dengan pesat
ke atas, ke tempat Ho Jian dan anak isterinya berdiri tadi. Lalu memasukan
sebutir pil ke dalam mulutnya untuk dikulum. Sesudah
mengawasi ke sekitarnya lalu ia melompat, dan bergerak
untuk mengikuti jejak Ho Jian, anak dan isterinya.
Dia bergerak dengan sangat hati-hati sekali dan ia
berusaha menghindar karena tak mau terlihat oleh To Ho Jian
maupun isterinya. Dia sadar To Ho Jian lihai, dia murid Teesian
Ku-kun, seorang dari kalangan Kang-ouw (Rimba
persilatan) luar biasa. To Ho Jian sekeluarga berada di tepi jurang, mereka
sedang mengawasi ke arah lembah. Di sana sekarang tampak
kawanan kelabang sedang bergerak. It Nio merasa jijik dan
juga ngeri hingga tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
"Jangan takut. Isteriku," kata Ho Jian.
Ketika Ho Jian melirik ke arah anaknya, dia lihat anaknya
tetap tegar sedikitpun tak merasa takut.
Sesudah rombongan kelabang berlalu kemudian
rombongan ini diusul oleh sekawanan kalajengking, lalu
disusul oleh tokek dan cecak. Karena sudah menutup hidung
dan mulut dengan pil berwarna hijau, mereka jadi tahan tak
mabuk sampai semua binatang berbisa itu melewati mereka
semua. "Isteriku, kata Suhu semua binatang itu bakal binasa oleh
binatang buas itu. yang lolos mungkin hanya sedikit. Sesudah
kekenyangan binatang itu akan tidur lelap. Saat itu aku bisa
membinasakannya. Untuk itu aku minta kau dan si Keng
menungguku di sini. Aku akan mengikuti jejak binatang buas
itu ke tempat binatang yang lebih buas itu!" kata To Ho Jian.
Sang isteri menggenggam tangan suaminya erat-erat.
"Kanda jangan pergi sendiri! Lebih baik aku ikut
bersamamu. Kau bilang binatang itu buas sekali, aku takut
kau...." isteri Ho Jian tak melanjutkan kata-katanya.
Suaminya tertawa. "Isteriku jangan cemas. Seperti kau tak kenal aku saja. Saal
inilah kesempatan bagiku untuk menguji ilmu "Cap-i Touwthian
Sin-kang" yang aku pelajari. Tenang, jangan takut!" kata
suaminya. It Nio tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Tapi kau harus berhati-hati. Kanda.
Kau harus waspada!" kata isterinya.
Kembali To Hoo Jian tersenyum pada isterinya.
"Sungguh beruntung aku menikahimu. sekarang aku pun
punya si Keng. Jangan cemas aku pergi dulu!" kata suaminya.
Sepergi To Ho Jian isterinya menasihati puteranya.
"Keng kelak kau harus segagah Ayahmu, Nak." kata sang
ibu. Tiang Keng mengangguk bangga.
"Baik, Bu. Aku akan membuat kalian berdua kagum!" kata
Tiang Keng. Ibunya senang sekali lalu merangkulnya.
Isteri To Ho Jian senang sekali. Tapi sedikit pun mereka tak
menyangka, tak jauh dari tempat mereka ada sepasang mata
sedang mengintai. Bahkan orang itu berniat membinasakan
mereka berdua.... Orang yang mengintai mereka itu sebenarnya kenalan lama
Hui Hong-hong, isteri To Ho Jian, dia adalah Ban-biauw-jin In
Hoan, yaitu si imam yang sekarang ada bersama tiga
muridnya itu. Dikisahkan To Ho Jian yang berjalan seorang diri mengikuti
bekas jejak binatang-binatang itu. Dia kini telah sampai di
sebuah selat yang ternyata sebuah selat yang buntu.
Diawasinya selat itu. menurut gurunya selat itu bernama Tiatcoanthauw. Bentuk selat itu mirip dengan kepala perahu.
Pada dasar tanah di tempat itu terdapat sebuah lubang besar.
To Ho Jian mengawasinya dengan seksama.
"Apa lubang itu sarang si makhluk aneh itu?" pikir To Ho
Jian. Keadaan selat ketika itu sudah sunyi. Tapi tiba-tiba
terdengar suara nyaring seperti suara tangisan bayi, Ho Jian
kaget. Ia bertambah kaget sesudah ia maju beberapa langkah
dan melihat makhluk yang seumur hidupnya belum pernah dia
lihat itu. Tak jauh dari situ ada sebuah lapangan yang luas. di situ
telah berkumpul berbagai binatang isi rimba yang tadi
berdatangan ke tempat itu dan menimbulkan kegaduhan yang
luar biasa. Anehnya binatang yang biasanya saling terkam itu,
sekarang semua diam. seolah mereka tidak bermusuhan lagi.
Tak jauh dari tempat itu tampak beberapa ekor ular
raksasa tergeletak tidak bernyawa. Kepalanya sudah pecah
berlumuran darah. Dari empang darah itu tampak ular yang
bentuknya aneh. tidak panjang tapi perutnya sangat besar.
Kepalanya sebesar gantang, dan pada kepala ular itu terdapat
daging lebih seperti tanduk.
Tiba-tiba To Ho Jian mendengar suara berisik dari dalam
lubang muncullah makhluk aneh mirip ikan raksasa .Sulit
untuk menggambarkan binatang buas ini seperti apa. Kepala
binatang itu pipih, mulutnya besar dan giginya tajam-tajam.
Lubang hidungnya tiga buah. Di badannya tumbuh lima buah
tanduk yang tajam. Kukunya bengkok seperti arit. Binatang itu
tidak berkaki, ketika ia bergerak dia hanya mengandalkan
tanduk dan cakarnya itu. To Ho Jian kagum tapi juga kaget menyaksikan binatang
itu. Tak lama kedua makhluk aneh itu saling mendekat.
Kemudian mereka bertarung dengan hebat. Mereka bertarung
hebat sambil bergulingan, hingga ular-ular berbisa yang
tertindih oleh mereka mati semua.
To Ho Jian belum pernah menyaksikan kejadian seaneh itu.
Kedua binatang yang bertarung itu makin lama makin lemah.
Tubuh ular yang panjang itu dibanting-banting ke tebing dan
tanah oleh makhluk aneh yang menjepitnya.
Korban pertarungan hebat itu makin banyak. Malah
harimau dan binatang buas lain pun mati karena tertindih. To
Ho Jian menganggap sudah tiba saatnya bagi dia untuk turun
tangan. Maka melompatlah To Ho Jian ke sebuah batu besar.
Lalu batu itu dia hajar hingga hancur. To Ho Jian girang, dia
senang karena itu berarti ilmu yang dia pelajari telah
sempurna. Tapi tiba-tiba Ho Jian mencium bau amis. Buru-buru ia
melompat menjauh. Saat dia berbalik, dia lihat binatang
seperti ikan itu sudah mendekatinya. Dari mulutnya
menyembur asap hijau, yang merupakan bisanya. Buru-buru
Ho Jian melemparkan potongan batu yang dia sambar ke arah
binatang itu untuk menghalau.
Tapi lontaran batu itu disampok oleh makhluk aneh itu.
Terpaksa To Ho Jian menghunus pedang lunaknya untuk
dipakai melakukan perlavvananan. Makhluk aneh itu
bergulingan mendekati To Ho Jian yang telah siap
menikamnya. Namun dari mulut makhluk aneh itu keluar hawa
bau bacin yang membuat orang ingin muntah apabila
menciumnya. Makhluk aneh itu menyambar ke arah tangan Ho Jian yang
memegang pedang lunak dan mengeluarkan cahaya
kehijauan. Buru-buru Ho Jian menghindar dari sambaran
makhluk aneh itu, hingga ia luput dari serangan itu.
To Ho Jian menimpuk binatang itu dengan batu yang dia
jemput dengan cepat dari tanah. Timpukan Ho Jian itu jitu
sekali. Ternyata binatang itu kebal. Batu yang mengenai
dirinya mental. Ular dalam jepitan makhluk aneh itu kembali melawan
hingga keduanya bertarung hebat lagi. Ketika To Ho Jian akan
menyerang, makhluk aneh itu. tapi makhluk aneh itu buruburu
masuk ke dalam goa. "Sayang!" pikir Ho Jian menyesal.
Saat dia sedang berdiri ia kaget sendiri.
"'Celaka aku!" teriaknya
Kepalanya terasa pening sekali. Mendadak ia merasa haus
bukan main. Buru-buru Ho Jian duduk untuk mengatur
pernapasannya. Dia sadar mungkin dia terkena racun sang
makhluk aneh itu. To Ho Jian mencoba berusaha menolong
dirinya... Tiba-tiba... "Ha, ha, ha , ha,!" terdengar suara orang tertawa nyaring.
"Hai sahabat baik, sudah lama kita tak saling bertemu!"
kata suara itu. "Apakah kau baik-baik saja. hai sahabat
lamaku?" To Ho Jian mencari-cari arah datangnya suara itu. Tak lama
terdengar lagi suara orang itu.
"Pertemuan kita ini membuat aku si orang she In gembira
sekali!" kata suara itu.
To Ho Jian memutar tubuhnya dengan cepat. Orang yang
menyebut dirinya orang she In itu adalah si imam yang
bernama Biao Cin-jin In Hoan. Dia tertawa girang sekali
"Tidak kusangka, sesudah lama kita tidak bertemu, aku
salah ucap. Aku mengatakan kau baik-baik padahal kau dalam
bahaya " kata In Hoan.
"Hai orang she In, apa kau tidak salah" Tujuh tahun yang
lalu kau tak mau bertemu lagi denganku. Tapi sekarang malah
kau menemuiku lagi. Apa maumu?" kata To Ho Jian
In Hoan masih tertawa terus.
"Walaupun adikmu bodoh, dia tak akan lupa pada apa yang
dia pernah ucapkan," kata In Hoan. '"Sekarang adikmu berdiri
di sini, terserah apa yang hendak kau lakukan terhadapku, To
Tay-hiap!" Ucapan In Hoan itu suatu tantangan hingga To Ho Jian jadi
kaget. '"Hai mengapa kau diam saja. Apakah kau tak mau
menghukumku?" kata In Hoan lagi. "O. aku tahu sekarang.
Karena kau akan menyelamatkan orang banyak dan kau mau
membunuh makhluk aneh itu. Tapi ternyata kaulah yang
terkena racunnya!" Nada suara In Hoan sangat mengejek dan merendahkan
dirinya, hal ini membuat To Ho Jian gusar bukan main. Diamdiam
dia salurkan tenaga dalamnya untuk mengusir bisa yang
ada di dalam tubuhnya. Dia tidak takut pada In Hoan, hanya
sedikit cemas saja. Jika imam itu menyerang dan dia sedang
terkena racun bagaimana ia harus bisa bertarung lama. dia
khawatir tenagan\ a akan berkurang. Cuma itu.
"Sudah lama kita tak pernah bertemu, dulu kau sering
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan aku licik dan licin! Ternyata memang sifatku
belum berubah sampai sekarang ini. Tadi sebelum aku
menemuimu. karena aku khawatir kau mencelakakan aku.
Maka aku telah menyandera isteri dan anakmu itu. Mereka
baru akan kugunakan jika aku terdesak olehmu. Ternyata
sekarang aku berpendapat tindakanku itu terlalu berlebihan.
Karena sekarang kau telah terluka kena bisa makhluk aneh.
jadi kau tak berdaya!" kala In Hoan.
Mendengar ucapan lawan To Ho Jian kagert bukan main.
Ucapan imam itu berarti bahwa dia telah menawan isteri dan
anaknya. Karena bingung dan khawatir To Ho Jian jadi lupa
diri. Tak pikir panjang lagi dia melompat menerjang ke arah si
imam. "Orang she In! Ingat baik-baik, asal kau tahu saja. Jika kau
berani mengganggu selembar saja dari bulu tubuh isteri dan
anakku, maka sekalipun tubuhku hancur-lebur, akan
kucincang kau sampai lumat!" kata To Ho Jian.
Lima jari tangan kirinya menyerang ke arah In Hoan,
sedang tangan kanannya yang memegang pedang lunak
sudah langsung bekerja, ia menusuk ke arah tubuh In Hoan.
Serangan itu sangat berbahaya. Itu sebabnya In Hoan pun
sudah langsung melompat tinggi dan berusaha menjauh
sekitar tujuh kaki jauhnya dari tempatnya berdiri.
Mengetahui serangan berbahayanya gagal, Ho Jian kaget
sekali. Biasanya dia tak pernah gagal. Mungkin pengaruh bisa
makhluk aneh itu membuat gerakannya jadi kurang cekatan
lagi. In Hoan mentertawakannya hingga Ho Jian makin panas.
"Hai Tay-hiap, kau galak amat. Aku tak bisa membiarkan
kau berbuat semau-mau. Tapi ingat jangan katakan aku
kejam. Atau katakan aku menyerangmu saat kau terluka kena
bisa! Tapi permusuhan kita memang hebat, maka serahkanlah
nyawamu!" kata I n Hoan.
In Hoan yang licik ini sangat lihai, begitu dia berhenti bicara
tangannya langsung bekerja. Dia serang To Ho Jian secara
hebat, hingga keduanya jadi bertarung mati-matian. Sekarang
In Hoan bertarung sungguh-sungguh. Sebab dia lihat tadi
sekalipun sudah terkena bisa, Ho Jian masih tangguh.
Ho Jian bertarung mati-matian. Tapi ucapan In Hoan
memang benar, dia sudah terkena bisa makhluk aneh. Lamalama
tenaganya akan habis. Sudah belasan jurus telah lewat.
Tapi keduanya masih saling serang. Ho Jian bingung dia
mencemaskan keadaan isteri dan anaknya.....
In Hoan seorang yang sudah berilmu tinggi. Terutama ilmu
meringankan tubuhnya. Dalam pertarungan itu Ho Jian seolah
sudah dikurung oleh bayangannya yang terus mengitarinya.
Dalam gugup dan panik Ho Jian teringat masa lalunya.
Ketika dia belum menikah dengan isterinya. In Hoan mengenal
isterinya lebih dahulu dari padanya. In Hoan hampir berhasil
menggaet Hui Hong-hong. Tapi tak lama Hui hong-hong
mengetahui, bahwa In Hoan laki-laki jahat yang sering
mengganggu anak gadis orang. Sejak itu Hui Hong-hong
mencoba menjauhinya. Karena penasaran I n hoan hendak menggunakan akal
busuk untuk mendapatkan Hui Hong-hong It Nio ini. Untung
datang To Ho Jian. Dia menyelamatkannya, bahkan It Nio
jatuh cinta padanya. Maka mereka pun menikah atas
perantaraan In Kiam. seorang jago silat dari Bu-ouw.
BAB 2. TO TIANG KENG DISELAMATKAN OLEH SU-KHONG
GIAUW Bukan main panasnya hati In Hoan karena maksudnya tak
tercapai. Pada malam pernikahan To Ho Jian dengan It Nio. In
Hoan menyatroni kamar pengantin.
Agar dia bisa berhasil merebut pengantin perempuannya,
dia menggunakan cara rendah dan hina. Dia gunakan hio
wangi yang mengandung obat tidur bernama Ngo-kouw Keebeng
Hoan-hun-hio. Untung Ho Jian tidak mudah diakali dan
dipermainkan, ternyata dia sangat waspada, sebelum hio itu
dinyalakan, dia sudah mendahului menyerang in Hoan.
Hio obat tidur itu disebut juga"Sian Ho Ki" atau "Sayap
Jenjang Sakti". Karena bubuk hio itu dimasukkan ke dalam
alat mirip burung terbuat dari kuningan. Jika bubuk hio itu
dinyalakan maka kedua sayap burung kuningan itu bergerakgerak,
bagaikan sayap burung sedang terbang dan asap
hionva segera mengepul masuk ke dalam kamar seseorang,
hingga orang itu akan tidur nyenyak karena terbius.
Ho Jian menyerang In Hoan dengan serangan pukulannya
sebanyak tiga kali secara beruntun, serangan itu berhasil
melukai lengan kanan si imam bernama In Hoan tersebut. Ho
Jian tidak ingin membinasakan In Hoan yang jahat itu.
pertama malam itu merupakan pertama, yang kedua dia
ingin menjaga nama baik isterinya.
Sesudah lengannya terluka In Hoan kabur. Dia tidak berani
melayani si Jago Tiong-goan yang gagah itu. Dia sakit hati
sekali. Dia kabur ke daerah Biauw-kiang yang termasuk
wilayah suku Biauw. Ketika In Hoan muncul kembali, dia telah salin rupa.
Sekarang dia sudah menjadi seorang Too-su atau seorang
imam agama Too. Selain ilmu silatnya telah mendapat
kemajuan yang pesat, hati busuknya pun tidak berkurang
buruknya. Dia tak pernah melupakan rasa penasarannya itu.
maka tak heran dia jadi sering mengganggu Ho Jian dan It
Nio. Untung bagi In Hoan, Ho Jian selalu berlaku sabar, dia
cuma sekadar diancam agar jangan mengulangi kejahatannya.
Di luar dugaan, kali ini In Hoan muncul lagi. Setelah dia
mengikuti Ho Jian dan tahu Ho Jian sedang terkena racun
makhluk aneh yang sangat berbisa, maka lawannya ini dia
serang. Tapi dia jadi kaget dan kagum karena ternyata Ho Jian
tangguh sekalipun ia dalam keadaan sedang keracunan yang
hebat. Ternyata Ho Jian tak dapat diperlakukan sembarangan.
dia masih gagah dan gesit. Untuk menghadapi Ho Jian maka
terpaksa In Hoan cuma main kelit dan menghindar saja, si
imam berharap lama-lama Ho Jian akan kepayahan dan pada
saat itu akan diserangnya secara habis-habisan.
Mata Ho Jian merah berapi-api. Dia sudah menduga siasat
si imam licin itu dan ia juga tahu apa maunya. Dia juga sadar
lama-lama dia bakal kehabisan tenaga dan akan roboh sendiri.
Maka itu, setelah melakukan serangan berbahaya secara
beruntun tanpa hasil, mendadak Ho Jian melompat mundur
jauhnya sekitar satu tombak dari si imam.
"'Orang she In," kata Ho Jian, dengan kedua tangan
diturunkan. "Aku menyesal ternyata aku terlalu lemah dan
dulu aku telah membiarkan kau bebas. Sekarang akibatnya
aku harus menerima nasib buruk darimu, tapi aku tak akan
menyesali nasib burukku hari ini. Dan aku harap kau masih
punya sedikit rasa pri-kemanusiaan, aku siap binasa di
tanganmu dengan tak mengerutkan alis
In Hoan tertawa dingin. "Bagus, bagus sekali kata-katamu itu. Tay-hiap!" kata In
Hoan. "Memang penasaran sekali Tay-hiap harus binasa di
tanganku si orang rendah ini
Imam ini melayani Ho Jian bicara. Dia sadar benar bahwa
makin berlama-lama, itu berarti makin hebat kerjanya sang
racun di tubuh Ho Jian. In Hoan pun tahu diri ia tak mau
mendekat pada lawannya, dan ia sengaja berdiri sedikit jauh
dari jago lawannya itu. Tubuh Ho Jian gemetar menahan sakit dan geram hatinya.
Dia coba menahan amarahnya sambil mengerahkan tenaga
dalamnya, ini agar dia bisa bertahan dari serangan sang
racun. "Orang she In, memang kita bermusuhan, jika benar kau
seorang yang terhormat, kau boleh membuat perhitungan
denganku seorang saja! Aku bersedia mati dengan cara apa
pun juga. asal kau berani berjanji!"
In Hoan tertawa keras dan panjang. matanya menyala
tingkahnya menyebalkan sekali.
"Jangan khawatir. To Tay-hiap!" kata In Hoan. "Sekalipun
di matamu aku ini manusia rendah, aku tidak akan main gila
terhadap seorang bocah anakmu itu! Mengenai puteramu,
sekarang dia sedang tidur dengan tenang bersama muridmuridku!
Jika Tay-hiap telah pergi ke alam baka, dia bakal
hidup bahagia. Tentang..."
In Hoan sengaja bicara dengan sangat ayal-ayalan, dan
matanya menatap dengan tajam ke arah Ho Jian. untuk
melihat bagaimana perubahan air muka lawannya. Sambil
tertawa, dia meneruskan kata-katanya: "Tentang isterimu. aku
berani jamin, setelah kau menutup mata, dia bakal hidup
senang dan lebih berbahagia disbanding ketika bersamamu!
Aku si orang she In akan melayani dia dengan telaten sekali,
maka itu lebih baik legakan saja hatimu!"
Tanpa menunggu orang berhenti bicara Ho Jian sudah
melompat menerjang I n Hoan. Rupanya sudah habis
kesabaran Ho Jian saat itu. tiba-tiba dia jadi nekat. Dia
membentak dengan nyaring sambil menyerang.
In Hoan buru-buru berkelit untuk menghindari serangan
tersebut. Ketika Ho Jian secara beruntun menyerangnya, dia
berkelit terus men ghindar Sambil berkelit dia tertawa dingin.
Dia cukup cerdik. Dia berpikir, dia ingin agar lawannya roboh
sendiri tanpa dia serang.
Tatkala itu angin terus bertiup halus. Dari arah timur,
tampak tanda tibanya sang fajar. Tidak berapa lama segera
terlihat jelas wajah si imam, yang menyeringai menakutkan
dan bengis. Itu roman licik dan tak kenal belas kasihan!
Di dalam lembah, kecuali berbagai bangkai binatang yang
telah binasa, sisanya yang masih berjumlah cukup banyak
sudah mulai mengundurkan diri. mereka menyingkir ingin dari
mara bahaya. Semua mundur dengan kepala ditundukkan
dengan ekor bergoyang-goyang, suatu tanda mereka masih
jeri. Anehnya macan tutul dan harimau pun seolah semuanya
jadi jinak seperti binatang peliharaan saja .
Tepat saat itu, dari kejauhan terlihat dua sosok bayangan
orang sedang berlari-lari mendatangi. Di tempat jauh, mereka
tampak seperti dua sosok bayangan saja. Begitu cepat mereka
berlari, mirip mereka sedang terbang. Baru setelah dekat,
tubuh mereka kelihatan jelas terpeta.
Salah seorang dari kedua orang itu, tubuhnya jangkung, dia
mengenakan pakaian berwarna merah dan ringkas atau ketat.
Rambutnya memakai konde tinggi seperti wanita zaman Tong.
Itu konde nona-nona. yang diberi nama
"Kuda Jatuh". Sedang pinggangnya dililit oleh ikat pinggang
yang digantungi gelang yang dapat berbunyi nyaring
manakala dibawa berlari-lari. Wajah perempuan ini jelek dan
dapat mengagetkan orang yang melihatnya. Selain mulutnya
lebar sekali, bibirnya pun dipulas dengan yan-cie (pemerah
bibir) yang tebal, merah seperti darah.
Tangan kanan wanita itu sedang menuntun seorang bocah
perempuan yang baru berumur 12-13 tahun, anehnya bocah
ini lain dengan wanita itu. Dia cantik manis, matanya jeli.
sepasang sujen menghiasi kedua pipinya yang montok.
Begitu sampai, wanita berbaju merah itu acuh saja pada
mereka yang sedang bertarung mengadu jiwa itu. Matanya
terus mengawasi ke arah lembah di tempat banyak berbagai
bangkai binatang, juga ke arah lubang goa. Baru kemudian dia
menoleh ke arah In Hoan dan Ho Jian yang sedang bertarung
mati-matian. Wanita itu mengerutkan alisnya, lalu menoleh ke
arah bocah cantik itu. "Anak Kin, kau takut tidak?" kata si wanita berbaju merah
pada si bocah cantik itu.
Suara perempuan jelek itu halus tapi nyaring dan lembut
suatu tanda dia amat sayang pada bocah perempuan cantik
itu. Kedua mata bocah manis itu memain, pertama matanya di
arahkan ke lembah, ke goa itu baru kemudian ke gelanggang
pertempuran. Wajahnya menunjukkan sedikit jeri. tapi ketika
ditanya dia menggelengkan kepalanya perlahan.
"Aku tidak takut. Bu!" kata si bocah.
Wanita jelek itu tertawa hingga gigi-giginya kelihatan jadi
menakutkan. "Kalau begitu kau diam di sini. jangan ke mana-mana!"
kata si wanita berbaju merah pada si bocah.
"Ibu mau ke mana?" tanya si bocah.
"Aku akan menemui dua pria busuk itu, aku akan menanyai
mereka!" jawab wanita jelek itu.
Bocah itu mengangguk. Sekali bergerak wanita jelek itu sudah berada di tempat In
Hoan dan Ho Jian yang sedang berkelahi. Tangannya
meluncur ke arah dua lelaki yang sedang bertarung, seketika
itu juga perkelahian itu terhenti. Keduanya terdorong dan
terpisah menjadi agak berjauhan.
Ketika wanita jelek itu datang Ho Jian tak mengetahuinya,
saat itu dia sedang sibuk menangkis serangan In Hoan.
Ditambah lagi bisa ular yang ada di tubuhnya makin keras
menyerang dirinya. Ketika ia tahu ada yang datang, dia
mengira wanita jelek itu kawan In Hoan.
In Hoan terpaksa melompat mundur, dia juga berpikir sama
dengan Ho Jian, ia mengira orang itu kawan Ho Jian yang
hendak membantu lawannya. Tapi sesudah melihat jelas pada
si wanita jelek itu, In Hoan buru-buru tertawa manis.
"O kiranya Nona Un!" kata In Hoan setengah kaget. "Aku
tak menyangka. Nona Un ada di sini! Mengapa Nona tak
tinggal di daerah Biauw-kiang saja" Dulu ketika aku bertemu
denganmu, aku senantiasa mengenang wajahmu setiap saat.
Tidak aku duga. Nona. Wajahmu tetap seperti dulu bahkan
mirip seorang Dewi saja!"
Wanita jelek yang dipanggil Nona Un itu menatap tajam ke
arah ln Hoan. Dia bersikap dingin tak marah juga tidak
tertawa. Tiba-tiba dia membentak nyaring.
"Hai bocah tak perlu kau memuji-mujiku, aku tak butuh
itu!" bentak Nona Un. "Aku Un Jie Giok tak butuh pujianmu!"
ln Hoan tak menghiraukan bentakan kasar dari Nona Un,
dia tetap bersikap hormat.
"Kau sudah tiba. pelajaran apa yang hendak Nona berikan
padaku?" kata In Hoan.
"Hm I" Nona Un mengeluarkan suara di hidung. "Kalian
mau bertarung, silakan! Aku tak peduli. Hanya aku ingin tahu
ke mana perginya makhluk aneh di lembah itu"!"
"O maaf Nona Un, aku tidak tahu ke mana perginya
makhluk aneh itu. Tapi jika Nona mau. tanyakan saja
padanya'" kata In Hoan sambil tertawa menunjuk ke arah Ho
Jian. "Dia adalah Tay-hiap To Ho Jian yang namanya
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termasyur di seluruh Tiongkok. Apakah Nona kenal
dengannya?" Sejak tadi Ho Jian diam saja. karena matanya terasa ingin
dipejamkan saja. Saat itu dia sedang menyalurkan tenaga
dalamnya berusaha untuk mengusir racun di tubuhnya. Ketika
dia sudah tahu nama wanita jelek itu, dan ternyata dia adalah
wanita jago yang aneh dari tanah Biauw-kiang. Orang-orang
biasa memberi nama "Siu Jin" atau si "Wanita Jelek", tapi ia
lebih dikenal dengan sebutan Ang-Ie Un Jie Giok, "Si Wanita
Berbaju Merah" Sifat jago wanita ini sangat aneh. dia
menyebut dirinya "Wanita Jelek" tapi jika ada yang mencela
wajahnya jelek, dia marah dan dengan berbagai cara ia akan
membunuh si jahil yang mencela wajahnya itu. Karena sudah
tahu tabiat wanita itu maka tak ada orang yang berani usil
padanya. Bahkan kebanyakan orang Kang-ouw menyebut dia
sebagai "Ang-i Nio-nio" atau "Ratu Berbaju Merah" atau Ang-ie
Sian-cu atau si "Dewi Berbaju Merah".
Ho Jian sadar tak mudah ia bias lolos dari tangan si imam
jahat In Hoan. Itu sebabnya dia diam saja. Dia sedang
mengumpulkan tenaga untuk bertarung lagi agar ia bisa lolos
atau paling tidak bisa mati bersama-sama dengan musuhnya
itu. Mendengar saran dari In Hoan itu Un Jie Giok menoleh ke
arah Ho Jian. Saat dia lihat orang diam saja dia langsung
menegur. "Hai. kau! Kau dengar tidak pertanyanku"!" kata Un Jie
Giok dengan bengis. Ho Jian mencoba membuka matanya. Buru-buru dia
memberi hormat. Dia berpikir dia tidak perlu mencari musuh
baru, maka itu dia akan segera membuka mulut.
Tapi sebelum Ho Jian bicara, In Hoan sudah
mendahuluinya. "Nona Un." kata In Hoan yang licik ini "Dia seorang jago
Tiong-goan. biasanya dia tak peduli pada kata-kata orang
lain!" "Hm!" terdengar wanita jelek itu mengeluarkan suara dari
hidungnya. Kemudian dia awasi Ho Jian dengan teliti.
"Kau dengar tidak ucapanku tadi?" kata Un Jie Giok.
Ho Jian kurang puas diperlakukan demikian. Dia anggap
orang itu sangat memandang rendah kepadanya. Dia
mendongkol, menyesal bercampur malu. Jika dia tak ingat
isteri dan anaknya berada di tangan musuh, saat itu juga dia
sudah bunuh diri karena tak mau terhina.
"Un Tay-hiap!" kata Ho Jian dengan terpaksa. "Aku sedang
terkena bisa ular hingga aku tidak memperhatikan ucapanmu
tadi. Maka aku. ..."
Ho Jian tak bias menghabiskan kata-katanya. Berat rasanya
bagi dia untuk minta maaf padahal dia tak melakukan
kesalahan apapun pada Nona Un tersebut.
Ban Biauw Cin-jin In Hoan yang licik dan cerdik itu berniat
meminjam tangan untuk membunuh Ho Jian Dia berharap Un
Jie Giok marah dan segera turun tangan, maka itu dia akan
membuka mulut. Tapi tak sempat karena Un Jie Giok sudah
mendahuluinya. "Aku tanya kau, ke mana perginya makhluk aneh bernama
Cian-lian Senu-cu (katak yang berusia ribuan tahun) itu?" kata
Un Jie Giok. Mendengar keterangan itu Ho Ji.in jadi terkejut
berbarengjuga kagum I )in tak mengira Un Jie Giok m-iI-iii"
memburu binatang itu. bahkan dia mhI.iIi tahu nama binatang
itu. "Binatang itu berhasil kulukai," kata Ho Jian scara
merendah dan terpaksa. "Malah dua kali!"
"Benarkah begitu?" menegaskan Un Jie Giok.
Ho Jian mencoba menenangkan hatinya. Lalu ia
mengisahkan pengalamannya ketika bertarung dengan kodok
raksasa yang sudah berumur seribu tahun itu.
"Jadi kodok itu masih berada di lembah sana?" kata Un Jie
Giok. Ho Jian mengangguk mengiyakan.
Dengan tak bicara lagi Un Jie Giok melompat ke dalam
jurang. Ho Jian kaget, dia menduga di tubuh kodok raksasa itu
pasti terdapat benda mustika. Un Ji Giok dan ln Hoan rupanya
menginginkan benda mustika itu.
Sesudah Un Jie Giok pergi, ln Hoan mengawasi ke arah Ho
Jian. Sesudah tertawa dingin dia berbalik dan pergi
meninggalkan musuhnya. Rupanya dia kabur untuk menyusul
Un Jie Giok karena ia takut keduluan mendapatkan mustika
itu. Buru-buru Ho Jian mengerahkan sisa kekuatannya. Dia
memaksakan diri untuk berlari ke tempat tadi dia
meninggalkan isteri dan anaknya. Karena dia sendiri sudah tak
punya harapan bisa hidup lebih lama lagi. Dia akan membawa
isteri dan anaknya ke tempat yang aman.
Begitu sampai di tempat itu dia kaget, karena isteri dan
anaknya tak ada di situ. Ditambah lagi dadanya terasa sesak
seakan mau muntah. Tapi dia paksakan untuk mencari isteri
dan anaknya. Tiba-tiba Ho Jian mendengar ada orang bicara. Buru-buru
Ho Jian melompat ke arah suara itu. Di situ dia lihat ada tiga
orang bocah sedang bicara di balik sebuah batu besar.
Begitu Ho Jian sampai ketiga bocah itu kaget dan
menghentikan bicaranya. Mata mereka mengawasi dengan
mendelong keheranan. Ho Jian kaget lak jauh dari mereka dia
lihat isteri dan anaknya sedang tergeletak tidak berdaya. Ho
Jian sadar isteri dan anaknya itu telah ditotok. Ketika Ho Jian
menolong akan membebaskan mereka, dia menjerit kaget
karena seolah tulang-tulangnya lepas dari sambungannya.
Tubuhnya jadi lemas bukan main. Dari mulut Ho Jian
menyembur darah segar. It Nio kaget melihat suaminya datang dan tiba-tiba muntah
darah, tapi dia juga girang karena dengan tibanya sang suami
maka jiwanya tak akan terancam bahaya lagi. Karena
tubuhnya kaku ditotok oleh In Hoan, sang isteri hanya bisa
mengawasi tak berdaya. Ho Jian sadar dia sedang menghadapi bahaya maut. maka
yang ada di otaknya saat itu adalah buru-buru membebaskan
totokan pada isteri dan anaknya. Dengan sisa tenaganya dia
akan membebaskan jalan darah khi-hay Sambil mengutuk
musuhnya dia bergerak ke arah isterinya. tapi mendadak ada
orang yang menahan tubuhnya....
Tenaga orang itu keras sekali. Ketika Ho Jian menoleh dia
mengenali suara ln Hoan dan Un Jie Giok. Rupanya sesudah
mereka tak berhasil mencari makhluk aneh itu mereka kembali
ke situ. Kebetulan Ho Jian baru membebaskan isterinya dari
totokan ln Hoan. "Ke mana larinya binatang aneh itu?" tegur In Hoan dan Un
Jie Giok hampir bersamaan.
Tapi mendadak lt Nio bangun sambil mendamprat ke arah
ln Hoan. "Hai bangsat yang harus mampus!" kata It Nio. "Kau tak
berbeda dengan babi atau anjing....Kau....kau..."
Sebagai perempuan baik-baik It Nio tidak bisa terus
mengeluarkan kata-kata tak senonoh di depan umum seperti
itu. Un Jie Giok mengawasi ke arah In Hoan yang sedang
menarik tubuh Ho Jian. "Lepaskan tanganmu!" bentak Un Jie Giok pada Ban Biauw
Cin-jin In Hoan. Terpaksa ia lepaskan cekalan pada tubuh Ho Jian dan ln
Hoan pun tertawa dingin..
Ketiga bocah berbaju kuning segera menghampiri In Hoan.
Sebaliknya Un Jie Giok mengawasi dengan tajam ke arah Ho
Jian. "Hai aku tanya kau, ke mana perginya makhluk aneh itu?"
bentak Un Ji Giok. Ho Jian diam saja. Tubuhnya lemas dan gemetar.
Bukan main marahnya Ang-ie Siu Jin ini. Wajahnya berubah
merah padam, kelihatan wajahnya bertambah buruk. Dia
gerakan tanganrna ke arah Ho Jian.
"Nah rasakan Kiu Im Ciat Kut Ciu ini!" kata Un Jie Giok.
"Jika kau tetap membungkam, jangan salahkan aku kejam!"
Ho Jian tetap diam hingga Un Jie Giok keheranan. Ketika
dia hampiri jago Tiong-goan itu, ternyata Ho Jian telah
meninggal karena ia telah kehabisan tenaga.
Hui Hong-hong lt Nio menjerit ketika melihat wanita jelek
itu menghampiri suaminya.
"Hai perempuan jelek mau kau apakan suamiku"
bentaknya. It Nio belum mengetahui kalau suaminya sudah meninggal.
Ketika itu It Nio tanpa sengaja telah menyinggung perasaan
Un Jie Giok yang dikatai jelek. Saat itu Ang-ie Sian-cu memang
sedang mendongkol. Lalu dia lemparkan Ho Jian dan dengan
tangan yang lain dia serang It Nio.
"Nona Un tahan! Jangan bunuh dia!" teriak In Hoan saking
kaget. Dia akan mencoba menyelamatkan wanita cantik isteri Ho
Jian yang dicintainya itu. Tapi sudah terlambat.
Tubuh It Nio langsung terpental jauh terkena hajaran
tangan Un Jie Giok yang kejam itu In Hoan kaget melihat
tubuh It Nio terbanting ke tanah dengan keras dan putus
jiwanya. Buru-buru In Hoan menghampiri tubuh It Nio yang
sudah tidak bernyawa itu. Ternyata It Nio telah menyusul
arwah suaminva ke alam baka....
Dengan sangat menyesal In Hotui bangun sambil
mengawasi ke arah Un Jie Giok, sebaliknya Jie Giok pun
sedang mengawasi ke arahnya dengan tajam. Hingga kedua
pasang mata itu saling mengawasi dengan tajam
"Bagaimana bocah ini "tanya Un JieGiok pada si imam.
Sementara To Tiang Keng. putera To Ho Jian yang tak
berdaya karena ditotok jalan darahnya, hanya bisa mengawasi
kejadian yang mengharukan mengenai kedua orang tuanya
itu. Tapi dia tidak berdaya.
Tatkala itu matahari sudah tinggi, angin bertiup kencang
sekali... "It Nio telah mati, apa gunanya aku bentrok dengan Un Jie
Giok?" pikir Bian Biauw Cin-jin In Hoan.
Baru berpikir begitu mendadak dia mendengar suara tawa,
dan disusul oleh suara nyaring gelang yang terikat di pinggang
Ang-ie Sian-cu. Suara itu membuat ketiga bocah itu buru-buru menutupi
telinga mereka. Menyusul suara tawa Un Jie Giok tiba-tiba muncul seorang
berpakaian dari bahan rumput dan agak longgar, dia
mengenakan sepatu rumput juga. Tubuh orang itu tinggi tapi
punggungnya bungkuk seperti unta. Wajahnya berewok.
Sepasang mata orang itu tajam luar biasa. Pada tangan orang
itu tergenggam seekor ular yang sudah mati, ular aneh yang
bertarung dengan Seng-cu si kodok aneh. Ular itu berlumuran
darah. Belum habis suara tawa orang itu dia sudah ada di depan
In Hoan dan Un Jir Giok, hingga kedua orang itu kaget. Wajah
mereka berubah pucat-pasi.
Buru-buru Un Jie Giok mundur selangkah sambil menarik
bocah perempuan cantik yang ikut bersamanya.
Dalam kagetnya Ban Biauw Cin-jin ln Hoan tertegun
sejenak; tapi buru-buru dia membungkuk untuk memberi
hormat. Sesudah itu In Hoan menghampiri ketiga bocah yang
ikut bersamanya, lalu mereka pergi.
Orang tua itu berdiri tegap. Angin meniup baju rumputnya.
Dia awasi tubuh It Nio dan Ho Jian yang sudah tak bernyawa
itu. Sepasang alisnya dikerutkan. Sesudah menggelengkan
kepala, orang tua itu lalu mengawasi ke arah To Tiang Keng
yang rebah tak berdaya karena ditotok. Orang tua itu lalu
menghampirinya, kemudian dua kali mengusap tubuh Tiang
Keng. Sesudah batuk-batuk Tiang Keng bisa merangkak
bangun. Tiba-tiba Tiang Keng menangis, ini adalah tangis
pertamanya selama ini. Dia berduka karena orang tuanya
binasa di depan matanya sendiri.
Dengan tubuh sempoyongan Tiang Keng menghampiri
kedua orang tuanya itu. Lalu ia berlutut untuk memberi
hormat, penghormatan yang terakhir.
"Terima kasih Loo-peh, terima kasih." kata Tiang Keng
pada si orang bungkuk. Mayat ibunya lalu dipindahkan dan didekatkan ke dekat
mayat ayahnya. Sesudah itu Tiang Keng menangis lagi dengan
diawasi oleh orang tua itu yang juga ikut berduka.
Orang tua itu menghampiri Tiang Keng untuk mengusap
kepalanya. "Sudahlah, Nak.Kau jangan menangis terus. Orang yang
sudah mati tak akan bisa hidup kembali!" kata si orang tua.
"Percuma saja kau menangis, malah kau harus bangga pada
ayah dan ibumu yang gagah itu. Kau harus meniru hidup
mereka dan menjadi laki-laki sejati!"
Sambil menangis Tiang Keng mengangguk perlahan. Dia
sangat berduka. "Takdir, takdir.. " kata si orang tua. "Jika aku tak buru-buru
menutup lubang goa, tak akan terjadi peristiwa semacam ini.
Sudah 30 tahun lamanya aku tidak mencelakakan orang, hari
ini hampir-hampir aku tak sanggup mengendalikan diriku...."
Suaranya perlahan tapi jelas. Mendadak dia ingat sesuatu.
"Nak. jangan menangis!" kata si orang tua. "Kau
busungkan dadamu, nanti akan kubantu kau menguburkan
kedua mayat orang tuamu..."
Dia sangsi sejenak, akhirnya dia melanjutkan kata-katanya.
"Sesudah mayat orang tuamu aku kuburkan, kau boleh ikut
denganku. Aku akan mengajarimu berbagai ilmu agar di
kemudian hari kau bisa membalaskan sakit hati orang
tuamu...." Sambil berlutut Tiang Keng berkata. "Terima kasih. Loopeh."
kata Tiang Keng. Sang paman tua pun menangguk senang.
"Tak kusangka aku Su-khong Giauw yang sudah tua ini bisa
punya seorang murid lagi......" kata si orang tua.
0oo0 Di bagian utara kota Bu-ouw. sebuah kota yang terletak di
daerah Kang-lam. di pinggir sebuah jalan besar yang
menghadap ke arah selatan, ada sebuah rumah berukuran
besar. Pagarnya tinggi dan pintu pagarnya yang dicat hitam
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga besar. Pada pintu itu masih terlihat tulisan ucapan
Selamat lahun Baru Imlek (Selamat Musim Semi), tertulis pada
sehelai kertas merah yang menempel di pintu besar itu.
Di depan pintu tampak dua buah patung batu singa yang
besar yang tampak menyeramkan Karena hanya orang besar
yang pintunya dipasangi Cio-say (patung batu singa-singaan).
Ketika itu hampir magrib hingga sinar matahari yang
menyinari kedua cio-say itu bayangannya mengarah ke arah
timur. Kedua pintu pekarangan yang besar itu jibi terpentang
lebar, karena dari situ hilir-mudik kereta-kereta tamu dan
tamu-tamu keluar masuk. Orang-orang yang datang pada
umumnya bertubuh kekar atau wajahnya keren, di antaranya
ada yang berpakaian seperti saudagar.
Gedung itu milik To-pi Sin-kiam In Kiam (Si Pedang Saktii
Berlengan Banyak). Dia seorang guru silat ternama di daerah
Kang-lam, hari itu dia sedang merayakan hari ulang tahunnya
yang ke-70; itu sebabnya orang banyak berdatangan untuk
mengucapkan selamat panjang umur kepadanya. Selain para
pembesar, para hartawan juga berdatangan, juga para jago
silat dari berbagai penjuru negeri ikut hadir.
Selain ln Kiam sangat terkenal, anak sulungnya yang
bernama In Tiong Ten;-pun cukup dikenal orang. Dia berhasil
hingga namanya diperhitungkan orang. Dia mengepalai 18
kota di Kang-lam Mereka datang untuk menghormati piaue-su
muda itu. Para tamu sudah disambut saat baru datang dan
sampai di depan pintu pagar rumah besar itu
Gedung itu terdiri dari lima tingkat, ruang yang dipakai
tempat pesta ialah lantai pertama yang luas, di tempat itu
terdapat banyak meja yang penuh dengan berbagai hidangan
lezat. Ruang pesta terang benderang karena di tempat itu
sudah dinyalakan beratus-ratus buah lilin besar dan terdapat
dua batang lilin yang sangat besar. Di tempat itu diletakkan
buah siu-toh (persik) terbuat dari tepung berukuran besar.
Buah itu dimaksudkan sebagai lambang panjang umur.
Tuan rumah In Kiam duduk di tengah ruangan, rambutnya
sudah kelihaian terdapat yang sudah putih, tapi dia masih
tampak sehat dan segar Hingga dia tak mirip dengan mang
yang sudah berumur 70 tahun. Tampak ln Kiam girang sekali
dan selalu menebal senyumnya. Dia melayani tamu-tamunya
dengan sangat ramah. Ketika itu ln Tiong Teng putera sulung In Kiam duduk
mendampingi ayahnya. Tiong Teng ketika itu mengenakan
baju ungu. Dia memelihara kumis pendek, jika tak kenal orang
akan mengura ia seorang sastrawan saja. Tiong Teng selain
sebagai pendamping ia juga orang yang memperkenalkan
tamu-tamunya pada sang ayah yang tak semua dikenal oleh
ayahnya lak hentinya tamu-tamu itu berdatangan sampai akhirnya
muncul seorang pemuda yang mengenakan pakaian kuning,
tamu ini luar biasa, la bertubuh jangkung dan wajahnya keren
sekali. Di depan tuan rumah dia hanya memberi salam tanpa
membungkukkan tubuhnya, ini sangat berbeda dengan tamutamu
yang lain yang memberi hormat sambil membungkukkan
badannya. In Kiam tidak peduli pada tamu itu. tapi Tiong Teng lain.
Dia awasi pemuda baju kuning yang bermata tajam dan
bertubuh jangkung itu. Tamu itu langsung mencari tempat
duduk tanpa memperkenalkan diri lagi.
"Siapakah dia ini?" pikir liong Teng. "Tampaknya dia
mempunyai kepandaian silat cukup tinggi"
Sekalipun heran dan tidak puas. Tiong Teng terpaksa diam.
Dia sibuk harus menyambut tamu-tamu lainnya Akhirnya
Tiong Teng pun melupakan tamu aneh itu
Tak berapa lama pesta sudah dimulai, di ruang itu terdapat
36 buah meja besar sedangkan jumlah tamu yang hadir tak
kurang dari 300 orang banyaknya. Sekarang In Kiam sedang
ditemani oleh tujuh orang jago tua. Enam dari mereka sudah
mengundurkan diri dan Dunia Persilatan; kecuali yang seorang
lagi. Dia baru berumur 40 tahun, hidungnya bengkok ke
bawah, matanya tajam. Orang itu duduk diapit oleh In Kiam. tuan rumah dan
seorang jago di perairan sungai Tiang-kang. yaitu Heng-kang
Kim-so Ciok Ciam Liong (Si Rantai Emas), Tak jauh dari situ
tampak seorang jago terkenal. Dia bernama Bu-ci Sin-eng
Koan It Cay atau Si Rajawali Tak Bersayap; dia menjadi Congtocu (Ketua) perkumpulan "Hek Bie Pan" di daerah Kang-lam.
Orang heran ketika mengawasi ke arahnya. Mereka tak
percaya pada penglihatan sendiri. Karena mereka tahu It Cay
sangat sombong dan tak menghargai orang lain. In Kiam tak
tahu apa yang sedang dipikirkan oleh tamu-tamunya itu. ln
Kiam menyilakan tamu-tamunya makan dan minum. Dia
angkat cawannya dan ia mengajak tamu-tamunya bersulang.
Kemudian mereka makan sepuas-puasnya.
"Koan To-cu kau bersedia meringankan kakimu datang dari
tempat yang jauh," kata ln Kiam pada lt Cay. "Selayaknya kau
minum lebih banyak."
Mata It Cay bersinar terang.
"Terima kasih, In Loo-eng-hiong!" kata It Cay sambil
mengucapkan selamat ulang tahun.
In Kiam tiba-tiba menghela napas.
"Tamu-tamuku sangat banyak, tapi sayang masih kurang
satu yang aku harap-harap...." kata In Kiam.
Sikap In Kiam ini membuat heran para tamunya.
"Saudara In aku tahu apa yang kau keluhkan itu...." kata
seorang yang bertubuh pendek.
Ketika dia menoleh dia tertawa "Baik Rubah Tua. aku ingin
tahu apa kau mampu menebaknya atau tidak?"
Kata ln Kiam. "Jika kau gagal kau buang saja gelarmu
sebagai Leng-ho Tie Sie (si Rubah Sakti)." Tie Sie tertawa.
"Kau memikirkan To Ho Jian. bukan?" kata Tie Sie.
"Dasar Rubah Tua. kau menebaknya tepat sekali!" kata In
Kiam. "Sudah 10 tahun dia pergi, sampai hari ini dia belum
kembali juga!" Kelihatan In Kiam bingung.
"Aku tak tahu ke mana perginya dia" Khabarnya pun tak
kita peroleh...." kata ln Kiam.
Melihat tuan rumah berduka memikirkan saudara
angkatnya atau kakak angkatnya itu. Ciok Ciam Liong malah
tertawa. "In Toa-ko." kata Ciam Liong. "Jangan berduka ini hari
ulang tahunmu! In Toa-ko. mari minum!"
0oo0 BAB 3. PU-BU ANTARA KOAN IT CAY DAN IN TIONG TENG;
In Kiam menyambut ajakan untuk minum arak itu. Dia
ingin melegakan dan menyenangkan hatinya yang sedang
kusut tersebut. Tiba-tiba Koan It Cay memperdengarkan suara tawanya
yang dingin, tanpa diminta. Dia berkata perlahan tetapi
nadanya angkuh. "Memang To Ho Jian gagah sekali, tetapi jika dikatakan tak
bisa dikalahkan, itu tidak mungkin! Tapi heran sekali ke mana
larinya dia sampai sepuluh tahun lamanya tanpa ketahuan
bayangannya lagi" Mustahil dia bisa terbang naik ke langit
atau masuk ke dalam tanah?" kata Koan lt Cay.
Suaranya terdengar tidak sedap. Sepasang alis tuan rumah
bangun, ia lantas bangkit dari tempat duduknya
"Sayang, sayang!" kata In Kiam dengan keras.
Dia menengadah sambil tertawa kemudian dia berkata lagi.
"Sayang Hek Bie Tan baru bangkit selama dua tahun ini! Kalau
tidak. Koan To-cu, mungkin sebutan To Ho Jian itu menjadi
milik To-cu (ketua)!"
Koan It Cay tidak gusar oleh ucapan itu. tapi dia berkata
dengan dingin, "Itu mungkin saja!"
Dilawan secara tawar dan dingin begitu. To Pi Sin-Kiam jadi
mendongkol juga. Tadi dia sudah duduk, tetapi dia menepuk
meja sambil bangkit kembali dari kursinya. Lantas dengan
suara dalam dia berkata. "Koan To-cu. hari ini kau datang untuk memberi selamat
kepadaku, aku menghaturkan banyak terima kasih! Sekarang
upacara ini sudah selesai, aku si Tua tak bisa menahanmu
lama-lama di sini. karena itu. silakan, silakanlah!"
Dia terus menoleh kepada putera-nya. untuk
memerintahkan pada sang pulera mengantarkan tamunya itu
pergi. Dengan demikian dia telah mengusir tamunya itu secara
halus. ?"Tiong Teng. kau wakili aku mengantarkan tamuku itu
pulang!" kata In Kiam.
Bukan main gusarnya tuan rumah hingga dia mengusir
tamunya itu dengan kasar sekali
It Cay seorang yang luar biasa. Mula-mula dia tidak
menerima perlakuan tuan rumah yang dianggapnya kasar itu.
Entah bagaimana cara dia mendapat semacam kepandaian,
karena itu dia telah mendirikan perkumpulan Hek Bie Tan
(Pemujaan Ketan Hitam). Dengan berdirinya perkumpulan itu dia melakukan sesuatu
hingga dia berhasil mengangkat namanya. Sebagai seorang
ternama, dia tidak merasa malu diusir oleh tuan rumah. Dia
tidak mau mengerti padahal dia yang mula-mula mencari
gara-gara dan usilan. Dia telah menghina tuan rumah.
Wajahnya jadi suram. Tapi pada wajahnya tetap kelihatan
tersenyum sinis. Sambil menuding ke arah tuan rumah, dia
membentak, "Orang she In. kau pikir baik-baik! Kau berani
kurang ajar begini kepadaku, rupanya kau si Tua Bangka
sudah bosan hidup ya! Sebentar lagi, di hadapan semua orang
gagah, aku hendak memberi pelajaran kepadamu!"
Koan It Cay berdiri sambil menggulung tangan bajunya.
In Kiam gusar bukan main dia dorong meja yang ada di
hadapannya, sampai meja itu terbalik. Piring dan mangkuk
yang ada di atas meja itu berjatuhan hingga makanannya pun
berantakan di lantai. Untung orang yang duduk di situ bisa
segera melompat mundur hingga tak terkena tumpahan sayur
panas. Semua orang terkejut, mereka tampak mulai tak puas.
Dengan muka pucat saking gusar, liong Teng menegur
tamunya itu. "Sahabat she Koan, apa yang kau lakukan" Rupanya kau
hendak membuat malu keluarga In!"
"Lalu kau mau apa?" tanya Koan It Cay sambil tertawa
mengejek. "Lain orang jerih terhadap keluarga In, tapi aku
tidak sama sekali! Bocah she ln, jika kau tetap mau mengurus
piauw-kiok (perusahaan ekspedisi) kau boleh catat namaku si
orang she Koan!" Leng Ho maju ke tengah gelanggang, kedua tangannya
dilambai-lambaikan. "Koan To-cu. aku minta kau suka memandang muka Tie
Sie!" kata Leng Ho. "Dan kau. Kakak ingatlah hari ini hari
apa?" Kemudian dia berkata pada orang banyak.
"Saudara-saudara, silakan semua mengambil tempat duduk
kalian masing-masing! Mari kita ucapkan selamat kepada tuan
rumah!" Ajakan Tie Sie tidak bisa membujuk para tamu, sebab
orang telah jadi kacau. To Pie Sin Kiam masih mendongkol, dia berkata dengan
suara keras. "Kalian boleh main gila terhadapku, tapi tidak terhadap
saudara Ho Jian! Siapa yang berani menghinanya, aku harus
ikut campur, aku ingin menguji dia!"
Tiong Teng membujuk ayahnya, di lain pihak, dia pun
menegur Koan It Cay. Ketua "Hek Bi Tan" tidak takut, dia tetap membawa sikap
angkuhnya. Dia kelihatan garang sekali. Melihat demikian. Jin
Gie Kiam-kek In Tiong Teng habis sabar. Maka ia menuding
dan berkata. ?"Orang she Koan, kau benar-benar mau
mengacau di sini! Mari, mari. hadapi aku ln Tiong Teng, aku
ingin belajar kenal denganmu!"
Sesudah itu dia singkap ujung bajunya, In Tiong menjejak
lantai dan melompat. Gerakannya sangat gesit hingga orangorang
yang menyaksik.ui memuji ilmu meringankan tubuhnya
itu Koan It Cay menyusul keluar. Cam dia melompat membuat
para hadirin heran. Dia bisa bergerak dengan lebih gesit lagi
dibanding Tiong Teng. Melihat itu In Kiam buru-buru ikut
keluar. Karena itu, semua tamu meninggalkan kursinya masingmasing,
kecuali seorang yang duduk di pojok meja Orang itu
seperti tidak meng-hiraukan apa yang terjadi saat itu, orang
itu terus sibuk dengan makanan yang sedang dinikmatinya.
Dia seperti tak melihat dan tak mendengar apa-apa. Dia
adalah tamu yang masih muda berbaju kuning. Wajahnya
tampan, sikapnya angkuh. Kemudian ia baru bangun, matanya
masih mengawasi ke piring daging ayam. Dia menghela
napas, terus dia menyambar sepotong ayam, untuk dirobek
dan dimasukkan ke mulutnya. Dia menikmati daging ayam itu
dengan lahapnya. Sesudah itu, dia bertindak keluar, menyelak
di antara tamu-tamu lainnya.
Ketika itu pekarangan depan menjadi sangat sunyi. Orang
yang ratusan jumlahnya itu semuanya bungkam. Karena tak
lama pertempuran sudah dimulai, pertempuran di antara jago
Ciat-kang Timur dengan tuan rumah yang masih muda itu.
Dengan langkah perlahan, si pemuda berbaju kuning
berjalan keluar. Kedua jago yang bertempur itu tidak
membuka baju mereka yang panjang. Ujung bajunya mereka
selipkan saja di pinggang mereka. Sepatu mereka pun tak
sempat ditukar lagi. Toh gerak-gerik mereka tidak terganggu
karenanya. Tiong Teng tampak sangat gesit, Koan ItCay malah
kelihatan lebih gesit. Mata orang banyak hampir kabur
melihat gerak-gerik kedua orang itu.
Ciok Ciam Liong mendampingi tuan rumah, tetapi tidak ada
seorang pun yang berani bertindak apa-apa. Mereka cuma
berharap Tiong Teng bisa memenangkan pertarungan itu.
Ketika itu hari sudah malam, tak heran di atas tembok dan
di sekitarnya telah ditambah dengan puluhan obor. ini
membuat seluruh pekarangan menjadi terang sekali. Karena
semua obor itu terbuat dari cabang pohon cemara, sehingga
saat obor menyala senantiasa terdengar suara pereteknya
yang berisik. Tanpa terasa, kedua pihak sudah bertempur seratus jurus
lebih. Ini tidak mengherankan, semua orang sudah menduga
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mungkin pertempuran akan berakhir dalam tempo
singkat. Lama-lama, Koan It Cay jadi tidak sabaran. Ia segera
mendesak dengan serangannya yang hebat.
Semua mata ditujukan terutama kepada Tiong Teng yang
selama ini sikapnya sangat tertutup. Orang ingin tahu apa
yang akan terjadi dan bagaimana kepandaian putera In Kiam
ini..... In Kiam tampak tenang-tenang saja. padahal sebenarnya
hatinya sangat tegang. In Kiam sudah siap sedia untuk
menolong puteranya andaikata puteranya itu dikalahkan oleh
Koan It Cay. It Cay menyerang dengan kedua tangannya secara
berbareng. Itu adalah pukulan maut.
Tiong Teng tidak menangkis serangan itu. Ketika serangan
It Cay tiba. mendadak tubuh Tiong Teng berputar, hingga
dalam tempo singkat, dia sudah berada di belakang lawannya.
Kedua tangan It Cay ternyata meluncur ke tempat kosong,
angin serangannya membuat sebuah obor di atas tembok
hampir padam. Gesit sekali, jago Ciat-kang itu pun segera bergerak
menghindari serangan dari Tiong Teng. Dengan demikian dia
bebas dari serangan balasan Tiong Teng. Dia menggunakan
jurus "Thian Onggi-kah" atau tipu silat "Raja Langit
melepaskan jubah perang".
In Kiam menyaksikan adegan itu dengan hati mencekam.
Sekarang dia sadar mengapa ketua "Hek B i Tan" begitu cepat
bisa mengangkat namanya hingga jadi termasyur. Kiranya dia
benar-benar sangat lihay. Nyata sudah, sekalipun anaknya
telah mewarisi kepandaiannya, dia masih kalah unggul oleh
Koan It Cay. Dia jadi masgul sendiri. Terutama ia sangat
menyesal, di hari baiknya itu, ada orang yang datang
mengacau pesta ulang tahun di rumahnya. .
Pertempuran berlanjut terus. Tiong Teng berada di bawah
angin dan terdesak oleh lawannya. Tapi dia masih dapat
bertahan. Dalam keadaan yang sangat gawat itu, tiba-tiba orang
mendengar suara tertawa dingin. Suara itu datang dari
ambang pintu. Suara itu sangat tidak sedap di telinga.
Menyusul suara tawa itu, terdengar pula kata-kata orang yang
tertawa tadi, dia bicara dengan ayal-ayalan.
"Pertempuran macam begini mana ada artinya" Aku yang
bodoh diherankan oleh ilmu silat kalian berdua! Jelas banyak
celah yang bisa diserang oleh lawan! Mengapa kalian tidak
bisa saling melihat celah dan kelemahan kalian masingmasing?"
Mendengar ucapan orang itu semua jadi keheranan Semua
berpaling. Mereka melihat orang yang tertawa mengejek itu.
Ternyata orang itu adalah si baju kuning. Lagaknya
temberang. Dia berdiri di anak tangga di muka pintu, kedua
tangannya digendong ke belakang. Dia bicara dengan roman
acuh tak acuh, karena dia bertubuh tinggi, jadi dia kelihatan
jelas di antara orang banyak. Pinggangnya ceking, di mukanya
masih terlihat sisa senyum ejekannya!
Orang jadi heran. Di mata mereka, dia seorang pemuda
yang tidak dikenal. Dia sebaliknya tenang-tenang saja. Dia
juga tidak menghiraukan semua mata diarahkan kepadanya.
Di dalam kesunyian, sekalipun suara orang ini perlahan,
kata-katanya itu terdengar jelas oleh dua orang yang sedang
bertempur itu. Mereka pun jadi heran Saking tertarik hatinya,
mendadak keduanya sama-sama melompat mundur, hingga
pertempuran mereka itu tertunda seketika.
Para penonton, karena herannya, banyak yang mendugaduga
mungkin si baju kuning seorang yang otaknya miring,
sebab dia berani mencela dua orang jago yang bertarung
mati-matian. Sedang orang lain tidak melihat cacat dari ilmu
silat kedua jago yang sedang bertarung itu.
Cuma In Kiam berpikir lain, dia sependapat dengan
pandangan anak muda itu. Dia melihat sendiri gerakan
puteranya. Mungkin karena anaknya itu letih, gerakkannya
jadi kacau. Karena itu. anaknya sedikit lengah, untung
lawannya tak melihatnya. Gelanggang jadi bertambah sunyi. Semua hadirin kaget.
Koan It Cay dan Tiong Teng berdiri diam. Sebagai orangorang
gagah, mereka tidak bisa memaki pada tamu yang jahil
dan telah mencela ilmu silat mereka.
Si baju kuning tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, Tuan, bagus! Kalian pandai merendahkan diri!"
kata si baju kuning. "Cuma bagaimana aku bisa memberi
petunjuk padamu dalam tempo begini singkat" Celah itu
banyak sekali!" Sesudah itu si baju kuning berpaling ke arah Tiong Teng
sambil tertawa dan dia menambahkan. "Kepandaianmu sama
dengan kepandaiannya, itu yang dikatakan setengah kati ialah
delapan tail, maka itu jika kau tidak belajar lebih jauh dengan
sungguh-sungguh, ada kemungkinan di kemudian hari, jika
kau bertemu dengan orang lihay, kau bakal tak sanggup
bertahan hanya untuk tiga jurus saja! Bukankah itu akan
sangat memalukan?" Muka Koan It Cay dan Tiong Teng jadi pucat, keduanya
merasa sangat malu. Tiong Teng memandang dengan tajam, dia tertawa dingin,
akan tetapi ketika dia mau membuka mulut, tiba-tiba dia
mendengar ayahnya berdehem dan batuk-batuk. Dia mengerti
itu cegahan untuk dia agar tak melakukan apapun. Terpaksa
Tiong Teng membatalkan niatnya akan melakukan sesuatu
terhadap tamu yang lancang ini.
Sebaliknya Koan lt Cay si ketua "Hek Bi Tan" yang takabur
itu tak bisa menguasai diri lagi.
"Sahabat!" kata Koan It Cay sambil tertawa dingin.
"Dengan kata-katamu ini rupanya cuma kaulah orang pandai
itu! Jika benar, aku minta kau suka mempertunjukan
kepandaian itu di hadapan orang banyak ini! Aku si orang she
Koan yang tidak berguna, aku ingin benar-benar yakin bahwa
aku tidak sanggup bertahan hanya dalam tiga jurus olehmu!"
Sesudah itu jago Ciat-kang ini sudah bersiap untuk
bertarung lagi. Orang banyak mengawasi kedua orang itu.
Mereka tak puas terhadap si anak muda berbaju kuning, tapi
juga berbareng mereka khawatir untuknya. Mereka semua
mengetahui kelihayan si "Rajawali Tak Bersayap", yang kejam
itu Sedikitpun anak muda berbaju kuning itu tidak jerih pada
lawannya, malah kembali dia tertawa terbahak-bahak.
"Aku bukan orang gagah!" kata si baju kuning. "Akan
tetapi, untuk melayanimu. rasanya cukup dengan tiga sampai
lima jurus saja! Jika kau tidak percaya, mari kita coba! Hanya,
menurutku, lebih baik sudahi saja masalah ini! Bukankah Tuan
berada di hadapan begini banyak orang" Buat apa
memaksakan diri mencari malu sendiri?"
Sambil berkata si baju kuning tertawa!
Orang-orang benar-benar keheranan. Pemuda berbaju
kuning ini sangat jumavva.
In Kiam, Ciok Ciam Liong dan Tie Sie juga heran, mereka
pikir anak muda berbaju kuning itu bukan orang sembarang.
Jika tidak, mana mungkin dia begitu sombong.
In Kiam senang Tiong Teng mau mendengar kata-katanya.
Karena Tiong Teng tak bereaksi, In Kiam memperkirakan Koan
It Cay yang akan menggantikan menjadi lawan si baju kuning.
Terkaannya ternyata memang tepat. Maka In Kiam jadi diam
terus, untuk menyaksikan perkembangan lebih jauh.
"Sahabat, kau baik sekali!" kata jago dari Ciat-kang itu.
Koan It Cay mencoba menyabarkan diri sekalipun hatinya
sangat panas. "Baiklah, aku suka belajar kenal dengan
kepandaiamu! Mari, sahabat, aku tak sungkan-sungkan lagi!"
kata Koan It Cay. Anak muda berbaju kuning itu tertawa terbahak. "Jika Tuan
memaksa, baiklah!" ia menerima tantangan itu sambil tertawa.
Mendadak dia berhenti tertawa, sekarang terlihat sinar
matanya yang bengis. "Harap Tuan tidak menyalahkan aku! . Ayo, siapa yang mau
menjadi saksi" Jika dalam tiga jurus aku tidak bisa
merobohkannya, aku akan pergi dari sini dengan cara
merangkak sampai di luar! Kalau . . ."
Dia awasi Koan It Cay dengan sinar matanya dan dia
memandang rendah pada sang lawan.
"Bagaimana kalau Tuan ini yang kalah?" kata Tiong Teng.
Meluap amarah Koan lt Cay mendengar kata-kata Tiong
Teng hingga dia membentak.
"Terserah kau!" kata lt Cay.
Dia melompat maju seraya menantang: "Silakan mulai,
sahabat!" Sekali bergerak Koan It Cay sudah berada di sisi kiri anak
muda berbaju kuning itu, tangan kanannya tiba-tiba meluncur
ke bahu kiri si anak muda, sedang kedua jari tangan kanannya
menotok ke jalan darah hiat-hay!
Saat itu Koan lt Cay langsung menyerang. Sekalipun dia
sedang marah, lt Cay bersikap sungguh-sungguh dan
waspada, perhatiannya dipusatkan. Tenaganya dikerahkan.
Dia turun tangan dengan sangat cepat.
Si baju kuning tidak menangkis atau mengelak, anak muda
itu cuma berkelit dan menghilang dalam sekejap. Bu Ki Sin
Eng terkejut, karena tiba-tiba dia mendengar suara nyaring di
belakang dia. "Ini jurus pertama!" kata si baju kuning.
Dalam kagetnya. Koan It Cay membuang diri, tanpa
memutar tubuh lagi. dia jungkir balik berakrobat ke depan,
mengulingkan tubuhnya dan melompat bangun. Itulah tipu
silat "La\ louw ta kuii" atau "Keledai malas bergulingan".
Tipu silat itu tidak hebat dan biasanya digunakan oleh
orang bukan ahli silat, dan tak pernah dipakai oleh
seorang jago silat pada umumnya.
Terdengar suara tawa para penonton yang menyaksikan
kejadian itu. Bukan saja orang menganggap tipu silat itu tidak pantas
digunakan oleh seorang jago silat, kali ini malah digunakan
pada jurus yang pertama serangan si baju kuning! Sangat
memalukan sekali. Ketika Koan It Cay memandang ke arah lawannya, ternyata
si baju kuning sedang tersenyum ke arahnya.
"'Masih ada dua jurus lagi!" kata si baju kuning.
Koan It Cay mendongkol dan malu bukan main. tetapi
dalam gusarnya, hatinya toh jadi sedikit ciut. Hanya dalam
segebrakan saja dia sudah mengerti bahwa musuhnya benarbenar
lihay. To Pie Sin-Kiam juga berubah paras mukanya. Ia
mengawasi si anak muda berbaju kuning, mendadak dia ingat
pada seseorang. Dia yakin dan dia tidak akan salah lihat.
Anak muda berbaju kuning mengangkat kepalanya,
mengawasi jago dari Ciat-kang itu.
"Masih ada dua jurus!" dia mengulang kata-katanya,
suaranya terang dan jelas.
Mendengar ucapan itu, hati Koan It Cay tercekat. Kata-kata
itu seperti anak panah yang menikam ke ulu hatinya.
Sekarang dia telah banyak pengalaman. Tiba-tiba matanya
yang tajam-bengis berubah menjadi layu, terus dia menghela
napas. "Sayang aku si orang she Koan. punya mata tetapi tidak
ada bijinya, hingga tidak bisa mengenali kau ini sebenarnya
orang lihay, sahabatku," kata Koan It Cay perlahan. "Sahabat,
aku menyerah kalah, dua jurus selanjutnya tak usah
dilanjutkan lagi!" Semua orang jadi keheranan, mereka saling berbisik.
Namun, hanya sebentar, mereka bungkam kembali.
Alis ln Kiam rapat satu pada lain, dia berbisik pada Ciok
Ciam Liong. Atas bisikan itu, Heng Kang Kim So. Ciok Ciam
Liong mengawasi ke arah anak muda berbaju kuning itu.
"Oh!" kata si baju kuning tak lebih saat menanggapi ucapan
Koan It Cay. Atas pengakuan menyerah dari "Bu Ki Sin Eng" itu si baju
kuning tidak berubah sikap, dan tidak jadi galak atau
menyesal. "Sahabatku!" kata Koan lt Cay kemudian, "Tolong
beritahukan nama besarmu yang mulia" Supaya semua orang
gagah di sini mengetahui, karena kini telah muncul satu
bintang baru!" Sikap jago Ciat-kang ini sungguh luar biasa, dalam tempo
yang singkat itu, sikapnya jadi lain sekali. Dari sangat jumawa
dia jadi bersedia merendahkan diri.
Tentu saja. semua orang memasang telinga mereka
masing-masing. Memang, mereka juga ingin mengetahui siapa
sebenarnya pemuda ini. Sekarang mereka tak menghiraukan
lagi sikap orang yang angkuh atau takabur itu.
Anak muda berbaju kuning itu mengawasi ke sekitarnya.
Mendadak dia tertawa nyaring.
"Sahabat she Koan, kau baik sekali, kau tidak kecil hati
karena kekalahanmu ini, kau sangat terbuka!" kata si baju
kuning "Sahabat, kau membuat aku kagum! Aku harap kau
suka memaafkan aku."
Koan It Cay diam, tetapi hatinya lega. Tahulah dia. pemuda
itu masih hijau dan senang dipuji.
Si baju kuning mengawasi, baru dia berkata lagi.
"Sahabat, namaku Gim Soan. Aku baru muncul di dunia
Kang-ouw. maka aku minta kau mau melindungiku Tadi kau
menyebut tentang bintang baru. itulah sebutan yang aku tidak
berani menerimanya."
Sesudah itu Gim Soan tertawa, matanya menyapu ke arah
orang banyak, seolah dia ingin mengetahui bagaimana reaksi
orang banyak sesudah dia memperkenalkan diri.
Orang banyak masih terus mengawasi pemuda asing ini.
Saat si baju kuning tertawa, dari luar terlihat orang berlari
masuk sambil melompat Sambil lari dia berseru berulangulang,
"Oh, oh. Aku orang she Kiauw datang terlambat!
Celaka, celaka betul! ln Loo-ya-cu. kedatanganku untuk
menghaturkan selamat panjang umur kepadamu!'"
Semua orang heran, semuanya berpaling Mereka lihat
orang yang kalanya datang terlambat ini ternyata seorang
beitubuh kecil dan kurus, dia memakai baju sulam, tangan
yang satu memegang sebuah kotak kayu cendana, tangan
yang lain memegang tiga gulung gambar. Dia berlari-lari cepat
sekali. Melihat kedatangan orang she kiauw. riuhlah suara tawa
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
para hadirin. Karena bagi yang telah lama hidup merantau,
mereka sudah kenal siapa orang she Kiauw itu" Lain lagi
dengan si baju kuning, dia menghentikan tawanya, sepasang
alisnya berkerut sambil mengawasi ke arah orang yang baru
datang itu. Orang she Kiauw menghampiri In Kiam. dia memberi
hormat sambil berlutut. "Keponakanmu Kiauw Cian
menghaturkan selamat kepada Loo-ya-cu. semoga murah
rejeki dan panjang umur!"
In Kiam tertawa terbahak-bahak. Dia membungkuk untuk
membangunkan orang yang mengaku keponakan itu.
"Bagus, keponakanku!" kata In Kiam girang dan dia
menoleh pada puteranya. "Tiong Teng. lekas kau bangunkan Kakak ketigamu itu!"
kata In Kiam. Tiong Teng melompat maju. dia bangunkan Kiauw Cian
"Bangun, sha-ko'" kata Tiong Teng. "Ah, kau membawa
barang apa itu?" Si kate kurus bangun sambil tertawa Memang namanya
Kiauw Cian. Dia bukan orang gagah tetapi di kalangan Rimba
Hijau, namanya terkenal sekali. Dia bergelar "Kwi Eng-ji" si
"Bayangan Iblis". nama itu diperoleh karena ilmu meringankan
tubuhnya yang mahir sekali. Sedang kepandaiannya sebagai
pencopet atau pencuri membual dia mendapat gelar Sin lauw
(Malaikat copet). Dia bukan turunan orang sem-barangan. orang tuanya
seorang hartawan, sekalipun dia suka mencuri, tapi tak pernah
merugikan orang miskin, maka itu. dia dianggap maling
budiman. Kiauw Cian berdiri. Dia mengawasi ke seputarnya, dia
tertawa lagi. "Lihat, bukankah ln Loo-ya-cuku berbahagia sekali?" kata
dia. "Bukankah aku telah berdosa" Semua sahabat Rimba
Persilatan sudah datang semua, tetapi aku malah datang
terlambat. Dia awasi si baju kuning, yang berdiri dengan wajah tak
puas. Dia diam saja. Ketika dia awasi Koan It Cay, dia sadar
apa yang telah terjadi di tempat itu. Kembali dia tertawa
"Mula-mula aku heran mengapa bukan berpesta tapi kalian
berdiri diam di sini. kiranya ada orang yang mengadu
kepandaian di sini untuk meramaikan pesta ulang tahun In
Loo-ya-cu! Nah, silakan Koan Toa-ya, silakan lanjutkan
pertunjukannya, adikmu akan berdiri di pinggir
menyaksikannya!" Tiong Teng batuk-batuk. "Kiauw Cian sudah tua bangka tapi tabiatmu masih seperti
bocah cilik saja. tak pantas kau mengadukan orang lain .. "
pikir Tiong Teng. "Kiauw Sha-ko, kau keliru!" kata Tiong Teng dengan cepat
untuk mencegah kekacauan bertambah rumit.
Baru saja Tiong Teng berkata begitu, Koan It Cay sudah
memotong sambil berkata dengan suara keras.
"In Tiong Teng, tak perlu kau menolong muka terangku!
Aku Koan lt Cay. tidak bisa menerima kebaikanmu'
Kiauw Loo Sam, aku beritahukan dengan terus terang
kepadamu, tadi kita sudah bertempur!"
Mata Kwi Lng-ji berputar, dia agaknya heran.
"Kiauw Loo Sam, mari aku beritahukan lebih jauh!" kata
orang she Koan ini. "Kita baru bertempur satu gebrak, tapi aku
sudah dikalahkannya! Kau beruntung hari ini! Mari, akan
kuperkenalkan kau dengan pemuda gagah yang
menggemparkan dunia! Ini dia si pemuda gagah, she Gim
namanya Soan!" Kiauw Cian membuka lebar kedua matanya. Ia benar-benar
heran Bu-ki Sin Eng roboh hanya dalam segebrakan saja. Dia
awasi si baju kuning. Gim Soan kurang puas tetapi mendengar Koan lt Cay
memujinya, dia merasa senang, dia tersenyum. Karena ini, dia
jadi terkesan baik terhadap lawannya itu.
Pemuda berbaju kuning ini meniru gurunya, seorang yang
lihay dan tabiatnya luar biasa. Dia dibawa dari rumahnya lebih
dari sepuluh tahun yang lalu. dia diajari ilmu silat, sekarang ia
mulai merantau. Dia kurang pengalaman, sepak terjangnya
cuma menuruti hatinya saja. sesenang hatinya, dia tidak
peduli perbuatannya itu, tepat atau tidak
*** BAB 4. PARA TAMU IN KIAM DITANTANG UNTUK KE
THIAN-BAK-SAN; Saat Kiauw Cian diam. Koan It Cay memandang ke
sekitarnya, sambil menjura. dia berkata dengan suara nyaring,
"Tuan-tuan, izinkanlah aku mohon diri!" kata Koan It Cay.
Dia langsung berjalan, lewat di samping Gim Soan, dan
berbisik. Anak muda berbaju kuning itu tersenyum.
Menyaksikan kejadian itu, Kwi Eng-ji heran, dia mendugaduga.
pikirnya. "Aneh It Cay yang tadi besar kepala! Sesudah
kalah, mengapa dia bersikap manis pada musuh yang
mengalahkannya?" Koan It Cay menurunkan ujung bajunya yang tadi dia
selipkan di pinggangnya. Sesudah itu tanpa menoleh lagi
kepada tuan rumah, dia memutar tubuh dan segera pergi
meninggalkan tempat pesta....
ln Tiong Teng tidak puas. dia awasi orang itu dari jauh,
tiba-tiba tubuhnya bergerak. Akan tetapi sebelum dia
melangkah, lengannya sudah dicekal orang dan ditarik. Ketika
dia menoleh, dia ternyata dicegah oleh ayahnya.
Mata Kiauw Cian berputar seketika, tak lama dia pun
tertawa. "Tuan-tuan, jangan berdiri saja!" kata Kiauw Cian. "Mari
kita masuk untuk melanjutkan minum arak! Kedatanganku
selain membawa bingkisan untuk ln Loo-ya-cu. juga untuk
memberi selamat pada beliau, aku membawa kabar baru
untuk Tuan-tuan semua!"
Tiong Teng menenangkan diri, dia mengundang semua
tamu-tamunya masuk lagi k ruang pesta. Mereka duduk
kembali di tempatnya masing-masing.
ln Kiam saling melirik dengan Ciok Ciam Liong. lalu
keduanya menghampiri Gim Soan, untuk memberi hormat
sambil mengangguk kepada tamu muda itu.
"Heng-tay, kau masih muda dan gagah!" kata tuan rumah
sambil tertawa, "Aku sebagai orang tua. kagum sekali
kepadamu!" Anak muda itu membalas hormat dari In Kiam. Mendadak
dia tertawa dan berkata "Loo-cian-pwee, apakah kau tidak
puas oleh sikapku barusan?"
Mata In Kiam bersinar, lantas sirna. Dia tertawa terbahakbahak.
"Jangan berkata begitu, Gim Siauw-hiap," kata In Kiam.
"Kau lihat, semua orang sudah masuk ke dalam, mengapa kau
tidak mau ikut masuk" Mari kita minum! Aku pun ingin
menanyakan sesuatu kepadamu!"
Gim Soan tertawa, dia mengangguk, terus dia berjalan
masuk. Dia langsung ke kursi bekas Koan It Cay. Ketika dia
mengawasi ke sekelilingnya, orang banyak pun sedang melirik
ke arahnya. In Kiam tertawa, dia mengundang tamunya minum arak.
Ketika itu Tiong Teng berdiri berendeng dengan Leng-ho
Tie. Si Rubah Sakti dan Kwi Eng-ji Kiauw Cian. Tamu ini
segera menghampiri In Kiam. Dia mengepit gulungan gambar
dan mengangkat kotak yang dibawanya.
"Keponakan Kiauw Cian menghaturkan selamat kepada
Loo-jin-kee!" kata dia sambil tertawa. "Aku cuma
menghaturkan sepasang buah poan-toh."
ln Kiam tertawa, sambil menyambut pemberian itu.
Semua mata diarahkan kepada kotak itu. semua ingin tahu
apa isinya. Begitu tuan rumah membuka tutupnya, di dalam kotak itu
lantas melesat keluar sepasang anak-anakan, boneka anak
lelaki dan perempuan, tingginya tidak sampai satu kaki. Kedua
boneka itu bagus dan mungil sekali, tangannya masing-masing
memegang sepasang buah poan-toh kemala. Anak-anakan itu
sendiri terbuat dari kumala. Kedua boneka itu merupakan
boneka pelayan Ong Bo Nio-nio, yang diberi nama Kim Tong
dan Giok Lie. Semua tamu sangat gembira, In Kiam sendiri tertawa lebar.
Kemudian tuan rumah meletakkan hadiah itu di atas meja
Kiauw Cian tampak puas. "Tadi telah kukatakan aku datang terlambat. Aku menyesal
sekali. Sebenarnya itu tak selayaknya terjadi Jika yang
terlambat tamu lain, itu bisa dimaklumi," kata Kiauw Cian.
"Apa boleh buat malah aku yang terlambat, itu terjadi karena
sangat terpaksa." Lalu dia ulurkan tangannya.
"Karena aku mendengar sebuah berita dan aku yakin
semua Tuan-tuan pun pasti ingin tahu. bukan" Tapi mungkin
Tuan-tuan tak akan percaya. Aku pun mula-mula berpendapat
begitu. Itu sebabnya aku terpaksa pergi ke gunung Thian-baksan
untuk menyaksikan sendiri. Setiba di sana. baru aku
percaya!" Kiauw Cian baru berkata sampai di situ, orang-orang sudah
sangat tertarik, termasuk anak muda berbaju kuning ikut
tertarik juga. Kwi Eng-ji menarik tongkatnya, sambil tersenyum, dia
menyambung kata-katanya. "Tuan-tuan. siapa yang merasa mempunyai kepandaian,
aku anjurkan untuk membungkus barang bawaan kalian dan
segera pergi ke gunung Thian-bak-san! Kuingatkan supaya
kalian jangan menyesal jika tak pergi ke sana! Aku jamin pasti
puas." kata Kiauw Cian.
Dia awasi semua tamu dan dia lihat mereka sangat
penasaran sekali. "Hian-tit. (keponakan) teruskan Kau jangan bicara separuhseparuh!"
kata In Kiam. Kiauw Cian tertawa geli. "Bukan begitu, Loo-ya-cu." kata dia.
"Aku pergi ke sana dan tak sia-sia. Bagaimana pendapat
Tuan-tuan" Jika aku membuka rahasia itu, apa yang akan kau
hadiahkan untukku?" Ucapan Kiauw Cian membuat orang tertawa.
"Kiauw Sam-ya, (Tuan Kiauw ketiga), kami bersedia
memberimu hadiah!" kata seorang tamu, karena dia kenal
baik tabiat si Bayangan Iblis. "Cuma aku mau tanya, apakah
kau setuju pada bingkisan kami itu?"
Seorang yang lain berkata sambil tertawa.
"Kiauw Sam-ya, kau senang bergurau, aku yakin sekarang
pun kau sedang bergurau! Aku senang mengembara, tapi aku
tak tahu apa yang kau maksudkan menyesal jika kami tak ke
sana?" Kembali terdengar riuh suara gelak tawa tamu-tamu In
Kiam itu. Seolah sekarang orang-orang seperti sudah
melupakan peristiwa yang baru saja terjadi tadi.
In Kiam pun kelihatan tidak percaya, ia kira keponakannya
sedang bergurau. Kiauw Cian mendorong cawan arak yang ada di atas meja,
maksudnya agar meja bebas dari gelas-gelas itu, dan meja itu
pun jadi leluasa untuk menaruh apa-apa. Dengan hati-hati dia
meletakkan tiga buah gulungan gambar yang dia bawa-bawa
ke atas meja. Sesudah itu dia menengadah dan kemudian
berkata, "Tuan-tuan, kalian sangka aku sedang bergurau,
bukan" Kalian keliru! Sekarang di Thian-bak-san telah
dibangun sebuah lui-tay (panggung untuk mengadu silat). Jika
Tuan-tuan berani naik ke lui-tay dan berhasil keluar sebagai
juara. Tuan-tuan berhak atas semua gambar-gambar ini!"
Kwi Eng-ji mengangkat sebuah gulungan gambar itu, terus
dia beberkan di depan para tamu. Ketika semua orang
melihatnya, semuanya kagum. Itu adalah lukisan uang emas
yang jumlahnya sangat banyak, entah berapa jumlahnya,
karena lukisannya bagus, gambar itu indah sekali. Emas yang
ada dalam gambar pun gemerlap mirip emas tulen.
Anak muda berbaju kuning segera mengeringkan arak dari
cawannya. Dia menjepit sepotong hay-som. (tripang/ lintah
laut) untuk dimasukkan ke dalam mulutnya dan dia kunyah
makanan itu. Dia cuma melirik sekilas ke arah gambar uang
emas itu. lalu sikapnya jadi acuh tak acuh.
Sebaliknya di antara hadirin banyak yang penasaran dan
melotot melihatnya. Tidak berapa lama, Kiauw Cian sudah mulai menggulung
kembali gambar itu dengan hati-hati sekali.
"Ini belum mengherankan!" kata dia kemudian. "Sekarang
silakan lihat gambar yang kedua!"
Dia letakkan gambar pertama, dia angkat gambar yang
kedua untuk terus dibeberkan. Sekali lagi para hadirin jadi
kagum dan gempar, semua mata mereka dipentang lebarlebar.
Hingga si anak muda berbaju kuning pun ikut melirik.
Gambar itu melukiskan gambar pedang yang jumlahnya
cukup banyak. Semua gambar pedang itu bercahaya. entah
bahan apa yang dipakai melukisnya.
Kiauw Cian memegang gambar dengan tangan kirinya,
dengan telunjuk tangan kanannya, dia menunjuk, "Ini Kim Coa
Kiam, ini TengCoa Kiam, Hui Hong Kiam dan Yu Liong Kiam!
Tuan-tuan tentu pernah mendengar nama semua pedang ini,
tetapi belum tentu Tuan-tuan semua pernah melihat
pedangnya itu sendiri! Atau, siapakah di antara Tuan-tuan
yang pernah melihatnya?" Dia sengaja membuat suaranya
keras dan lama, kemudian dia tertawa dan menambahkan,
"Tapi sekarang, jika Tuan-tuan pergi ke Thian-bak-san dan
naik ke atas panggung pertandingan untuk memperlihatkan
kepandaian Tuan-tuan, nah, pasti sebuah pedang ini bakal
menjadi milik Tuan-tuan!"
"Eh, Kiauw Sam-ya!" kata seorang tamu, "Apa tak salah"
Bukankah kau sekarang sedang inemperdaya kami?"
Sin Tiauw berpaling dengan cepat, dia mengenali orang itu,
yang suaranya nyaring sebagai Kwee Tok Peng, jago pedang
Sam Cay Kiam dari Kamg-lam.
Kiauw Cian tertawa sambil berkata, "Kwee Toa-ya, kapan
Kiauw Cian pernah memperdayai kau" Jika kau bersilat
menggunakan pedang Hui Hong Kiam, ah, pasti tak akan ada
orang yang sanggup melayanimu!"
Dengan tidak menunggu ucapan Kiauw Cian selesai. Tok
Peng sudah maju, ke arah si Malaikat Copet, dia mengawasi
dengan tajam. Sesudah itu dia memberi hormat kepada tuan
rumah baru ia berkata, "In Loo-ya-cu, harap kau maafkan aku
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang rendah hendak berangkat lebih dahulu!"
Kemudian dia memberi hormat ke empat penjuru, tanpa
menunggu tuan rumah mencegah atau mengiyakan, dia sudah
angkat kaki. Orang tersenyum. Mereka sudah tahu bagaimana tabiat
Tok Peng memang ia orang yang sembrono.
Si baju kuning kelihatan tetap tenang, dia tetap asyik
makan seolah dia tak tertarik sedikit pun pada harta karun itu.
In Kiam mengerutkan alis ketika menyaksikan tamunya
sudah menghilang. "Kiauw Hian-tit," katanya kemudian. "Bukankah kau
sengaja sedang membual" Hebat sekali permainan
sandiwaramu itu!" Kiauw Cian tidak meladeni teguran tuan rumah yang
menyangka dia sedang bergurau. Lalu dia gulung gambar itu.
untuk diganti dengan gambar nomor tiga, sesudah itu dia
tertawa. "Jangan khawatir, Loo-ya-cu!" kata dia. "Jika keponakanmu
cuma bergurau, kau boleh memerintahkan Tiong Teng
menghajar batok kepalaku sampai hancur!" Dengan hati-hati.
dia membeber gambar itu. Kali ini si baju kuning sangat tertarik. Dia mendorong
cawan yang sedang dipegangnya dan bangkit, untuk bisa
melihat lebih jelas. Para hadirin bersorak riuh.
Gambar itu bukan gambar emas atau pedang, tapi gambar
seorang nona yang wajahnya cantik sekali. Seperti dua gambar yang pertama,
lukisannya pun tampak hidup dan indah sekali. Nona di dalam
gambar itu memakai konde tinggi, mukanya berwarna dadu
dan di pipinya ada sujennya. Alisnya lentik, hidungnya bangir,
sepasang matanya jeli sekali. Sedangkan kedua baris giginya
putih dan rata serta bibirnya berwarna merah. Pakaian nona
itu pun indah sekali. Rambutnya hitam mengkilat.
Sorakan para hadirin tiba-tiba berhenti mereka semua
berdiri mematung dan terkesima, mata mereka melongo
memandang kosong. Ruangan pesta yang luas itu pun tibatiba
jadi sunyi senyap. Tie Sie orang pertama yang paling dulu membuka suara.
Mula-mula dia menghela napas.
"Kiauw Sam-ya, kau telah membuat aku si orang tua harus
membuka mata!" demikian kata Tie Sie. "Aku sudah pernah
merantau ke selatan dan utara tetapi belum pernah aku
menemui nona cantik manis seperti yang ada di gambar itu!"
Kiauw Cian terus memegangi gambar itu dengan tangan
kirinya, dengan tangan kanannya dia urut kumisnya sambil
tertawa dia berkata lagi.
"Tuan-tuan, dengar baik-baik! Aku katakan terus terang,
jika aku tidak melihatnya sendiri nona itu, akupun tidak akan
percaya seperti kalian sekarang! Baik kalian ketahui, meskipun
si pelukis seorang ahli, dia tak mampu melukiskan kecantikan
yang sebenarnya dari si nona tersebut." kata Kiauw Cian.
Si baju kuning perlahan-lahan duduk lagi, dia benar-benar
keheranan dan jadi sangat tertarik oleh gambar itu. Ada
sesuatu yang membuatnya berpikir keras. Itu karena dia
seperti pernah kenal pada si nona, tapi dia lupa kapan dan di
mana dia pernah bertemu dengannya"
Kiauw Cian tertawa, gambar itu dia angkat lebih tinggi.
"Tuan-tuan!" kata Kiauw Cian dengan suara nyaring. "Jika
Tuan-tuan pergi ke gunung Thian-bak-san dan kalian naik ke
atas lui-tay sambil menunjukkan kegagahan juga bisa
mengalahkan semua lawan pasti kalian akan jadi
pemenang.....ha, ha, ha!"
Kiauw Cian tak meneruskan kata-katanya karena dia
tertawa keras. Dia tunjuk gambar nona itu. "Bukan saja ribuan
mutiara dan laksaan potong uang emas bakal menjadi
milikmu, tapi juga si cantik ini akan menjadi teman hidupmu di
gedungmu yang indah! Cuma... ya, cuma. '* kembali Kiauw
Cian tak meneruskan kata-katanya.
Seperti sengaja Kiauw Cian menghentikan kata-katanya
sejenak. Gambar tadi diangkat perlahan-lahan dan biji mata
Kiauw Cian berputar-putar.
Semua hadirin berdiri, semuanya mengawasi sambil pasang
telinga. To Pie Sin Kiam tertawa. "Kiauw Hian-tit, bicaralah!" dia menganjurkan
keponakannya bicara terus. "Lekas, jangan kau buat orang
jadi tak sabar semua!"
Kwi Eng Ji Kiauw Cian tertawa.
"Cuma bagi barang siapa yang berpikir ingin menjadi suami
si nona cantik manis ini." dia meneruskan, "Orang itu tidak
boleh orang tua dan dia juga harus masih bujangan. Misal
orang sepeitiku, apalagi ilmu silatku rendah, seandainya lihay
pun. aku cuma bisajadi penonton saja! Aku sudah beristeri
dan punya anak. Jika dulu aku tahu bakal ada kejadian seperti
ini, aku terus terang tak akan terburu-buru menikah! Ha, ha,
ha.ha." Orang semua tertawa hingga suasana jadi ramai. Karena si
Bayangan Iblis jadi jenaka sekali.
"Benarkah syaratnya harus seorang jejaka?" seseorang
bertanya. Kiauw Cian menoleh. Dia awasi orang yang bertanya itu,
dia mengenalnya sebagai Touw-Eng In Loo-ngo si Rajawali
Botak, guru silat termasyur di Kang-pak. Sebelum mejawab,
Kiauw Cian tertawa. "Benar, tidak salah!" sahut Kiauw Cian "Jangankan orang
sepertimu, sekalipun dia jelek atau matanya picek pun asal dia
lihay dia bisa jadi suami nona itu!"
In Loo Ngo menepuk kepalanya, mukanya yang merah jadi
bersinar. "Kalau benar begitu, aku In Loo Ngo harus pergi ke Thianbaksan!" katanya. Kembali dia duduk untuk menghirup arak, kemudian dia
tarik ikat kepalanya yang model swastika, hingga terlihat
kepalanya yang botak! Orang bersorak, sesudah itu mereka duduk kembali.
Kiauw Cian menggulung gambar itu lalu dia kumpulkan
menjadi satu. Lalu dia ikut duduk.
"Kiauw Hian-tit," kata tuan rumah kemudian. "Kau sudah
bicara, maka sekarang datang giliranku untuk bertanya.
Sebenarnya, bagaimana duduk perkaranya" Siapakah yang
membangun panggung pertandingan silat itu" Aku heran!
Kenapa orang sampai menyediakan harta dan dirinya sendiri
siap untuk menjadi isteri sembarangan lelaki?"
Kwi Eng Jie Kiauw Cian mengangkat cangkir araknya, dia
tenggak isinya. "In Loo-ya-cu," kata Kiauw Cian sambil tertawa. "Kejadian
yang sebenarnya, aku sendiri tidak tahu secara jelas. Tapi ini
benar-benar bukan isapan jempol. Siapa yang mau pergi ke
sana, baik yang lihay maupun tidak, dia tidak akan rugi!"
Sepasang alis In Kiam berkerut.
"Jika begitu katamu, mungkin aku juga bakal pergi ke sana
untuk melihat-lihat," kata In Kiam. "Aku yakin sebelum dua
bulan di Thian-bak-san bakal berkumpul dan muncul orangorang
gagah dari seluruh negeri!"
Baru saja In Kiam berhenti bicara terdengar suara tawa
nyaring. Ketika orang menoleh, mereka segera tahu yang
tertawa itu adalah si pemuda berbaju kuning.
"Menurutku yang tak berkepandaian tinggi, sebaiknya
jangan pergi!" kata dia. "Karena percuma saja, selain buang
waktu juga buang biaya saja! Membuang beras untuk umpan
ayam yang sia-sia, karena ayamnya tak berhasil ditangkap."
ln Tiong Teng, yang sejak tadi berdiri diam, dia ikut campur
bicara. "Kalau begitu katamu. Tuan," katanya. "Bukankah sudah
cukup andaikata kau sendiri saja yang pergi ke sana?"
In Kiam mengerutkan alisnya, dia menoleh ke arah
anaknya. In Kiam seperti menyesalkan ucapan puteranya itu.
Karena ucapan itu bagaikan orang seolah mencari gara-gara.
Dia merasa yakin sudah tahu asal-usul si baju kuning itu.
"Benar, benar!" jawab Gim Soan sambil tertawa dingin.
"Contohnya orang sepertimu. Tuan. lebih baik tidak pergi ke
sana!" Alis Tiong Teng bangun. Banyak orang yang parasnya
segera berubah. Sebaliknya si baju kuning bersikap tenangtenang
saja. Dia seperti tak menghiraukan orang-orang itu.
Semua orang diam, kemudian dia berpaling pada Kiauw Cian.
"Tuan. tiga buah gambarmu itu sebaiknya jangan kau
bawa-bawa terus!" kata si baju kuning sambil tertawa.
Sesudah itu dia ulurkan tangannya, akan mengambil ketiga
gambar itu. Kiauw Cian terkejut.
"Tak perlu kau usil. Tuan!" kata Kiauw Cian, dengan tangan
kanan yang memegangi cawan arak. dia tekan keras ketiga
gambarnya itu. Si baju kuning tertawa dingin.
Tangan kirinya sudah tiba pada gambar itu. Mendadak Kwi
Eng-Ji Kiauw Cian kaget sekali. Tangannya yang dipakai
menekan gambar terasa panas sekali. Mendadak arak dalam
cawannya menyembur naik seperti air mancur, muncrat
mengenai tubuh Kiauw Cian.
Semua orang kaget. Itu bukti dari lihaynya tenaga dalam si
anak muda berbaju kuning. Tanpa bisa dicegah lagi, ketiga
gambar sudah berpindah tangan ke tangan si anak muda itu,
sambil tertawa dia berkata, "Lebih baik gambar ini diserahkan
kepadaku!" Muka Kiauw Cian pucat. Sudah biasa baginya, jika tidak
sangat terpaksa, dia tidak mau berkelahi dengan siapa pun
juga. Sekarang keadaannya jadi lain, dia telah sangat dihina.
Mendadak dia membungkuk seraya kedua tangannya
diluncurkan ke rusuk pemuda itu.
"Sahabat, kau terlalu angkuh!" bentak Kiauw Cian.
"Eh, kau mau turun tangan?" tegur Gim Soan. Matanya
mendelik, suaranya keras. Dengan cepat tangan kirinya yang
memegang gambar diluncurkan ke nadi si Malaikat Copet!
Sambil duduk, kedua orang jago itu telah mulai bertarung.
Ciok Ciam Liong, yang duduk di sisi Gim Soan, jadi tidak
senang. "Sahabat, di sini bukan gelanggang pertempuran!" dia
tegur si baju kuning. Ciok Ciam Liong menyikut dengan tangan kirinya ke iga
kanan lawan. Pemuda itu gesit. Dengan tangan kirinya yang sedang
memegang gambar, dia jagai tangan Kiauw Cian, dengan
tangan kanan, dia dahului menotokjalan darah kiok-ti Ciam
Liong. Hingga gagallah serangan orang she Ciok itu.
Waktu itu terlihat sesuatu berkelebat menyerang ke arah
muka si baju kuning, dengan begitu dia jadi diserang dari tiga
arah. Dia benar-benar lihay, ketika tubuhnya mencelat, dia
telah lenyap dari sasaran lawannya!
Serangan Kiauw Cian dan Ciam Liong gagal, sedang sinar
yang banyaknya dua buah itu melayang ke arah batok kepala
botak ln Loo-Ngo! Si Rajawali Botak kaget. Dia bangun sedang kedua
tangannya mengebuti pakaiannya. Syukur dia berhasil
menangkis serangan itu, hingga kedua senjata rahasia itu
mental ke luar ruangan. Ternyata senjata itu sepasang sumpit, yang ditimpukkan
oleh tuan ramah, yang hatinya jadi panas.
Melihat si baju kuning menyingkir bersama-sama kursinya,
waktu itu Tiong Teng duduk tepat di depan meja Pat-sian
(Delapan Dewa) yang terdapat siu-toh, "buah'" persik sebagai
lambang panjang umur. Si baju kuning duduk sambil
tersenyum tawar. Cian Liong dan Kiauw Cian mendorong cangkir arak
mereka. Keduanya berdiri.
Si baju kuning tetap duduk tenang, bahkan perlahan-lahan
dia buka satu gulung lukisan itu. Kelihatan sinar matanya
bengis luar biasa. Seorang pelayan. yang membawakan makanan di atas
nampan, berdiri bengong. Saat suasana demikian tegang, dari luar terdengar suara
tertawa nyaring disusul dengan kata-kata merdu.
"Sepasang sumpit ini indah sekali, sayang kalau sampai
jatuh dan rusak!.. Semua orang heran, semuanya berpaling ke arah luar.
Di ambang pintu terlihat berjalan masuk dua orang
perempuan memakai konde tinggi, berbaju merah, romannya
cantik dan pinggangnya langsing. Setiap nona itu pada
tangannya yang putih memegang sumpit yang disampok oleh
si kepala gundu.! Setelah melihat si nona, Kiauw Cian terperanjat heran.
Setelah melengak sejenak, dia berjalan menghampiri untuk
menyambut kedua wanita itu.
Kedua nona itu memandang ke seluruh ruangan, mereka
mengangkat tangan kirinya menutup mulut mereka. Mereka
tertawa tertahan yang satunya terus berkata. "Kiranya Kiauw
Sam-ya ada di sini!" katanya.
Sesudah berkata begitu, dia tertawa lagi.
Orang terpesona mendengar suara tawa yang merdu itu,
semua mata diarahkan ke arah kedua nona itu.
Kiauw Cian mendekati kedua nona itu, dia memberi hormat
sambil menjura. "Mengapa nona-nona malah datang ke mari?" tanyanya
dengan sangat hormat. Kedua nona itu mengulur masing-masing tangannya
menyerahkan sumpit yang ada di tangan mereka pada si
Malaikat Copet, lalu dengan tangannya itu mereka
menyingkap rambut mereka. Kembali keduanya tertawa.
"'Kami juga datang untuk menghaturkan selamat!" kata
nona yang satu. "Kiauw Sam-ya, tolong kau perkenalkan
kepada kami! Mana ln Loo-ya-cu yang menjadi tuan rumah
dan tengah merayakan ulang tahunnya itu?"
Ketika itu ruang yang lebar itu tetap terang bagaikan siang
hari. Di pekarangan luar, obor pun tidak disingkirkan. Ruang
sunyi lagi. Para hadirin kagum oleh kedua wanita itu. lebihlebih
untuk romannya yang mirip satu dengan yang lain.
Sejenak tak ada yang bisa memilih mana yang lebih istimewa .
ln Kiam segera berjalan menghampiri mereka secara
perlahan-lahan. Dia menduga kedua nona itu ada sangkutKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pautnya dengan nona pada lukisan yang dibawa-bawa oleh
Kiauw Cian. Kedua nona itu pun berjalan ke arah tuan rumah, mereka
buru-buru memberi hormat sambil membungkuk, pada wajah
mereka tersungging senyuman manis.
"Pasti kami sedang berhadapan dengan In Loo-ya-cu!" kata
mereka sambil tertawa "Kami kakak beradik datang terlambat
untuk memberi selamat, kami mohon diberi maaf!"
Tuan rumah menyingkap janggutnya sambil tertawa.
"Kalian baik sekali. Nona-nona!" kata In Kiam. "Kedatangan
kalian ini suatu kehormatan besar yang aku tidak berani
menerimanya Tuan rumah berlaku tenang walaupun semua kejadian di
rumahnya itu sangat mengherankan.
Kedua nona itu berdiri, mulut mereka ditutup dengan
tangannya. Mereka tertawa geli. "Kata-katamu membuat kami
malu, Loo-ya-cu!" kata mereka. "Nona kami sering berkata
bahwa pada zaman sekarang ini. Loo-ya-cu adalah Loo-cianpwee
nomor satu. sudah sepantasnya nona kami mengutus
kami memberi selamat. Kami menerima tugas ini senang luar
biasa. Kami minta Loo-ya-cu jangan sungkan-sungkan."
Para hadirin heran ketika mengetahui kedua nona itu
pelayan si nona yang ada di Thian-bak-san. Oleh karena itu
mereka menduga-duga. entah bagaimana roman si "nona"
majikan mereka. Mereka pun menduga jangan-jangan si nona
majikan itu si nona dari Thian-bak-san. karena itu mereka
bertambah bersemangat ingin pergi ke gunung itu . .
In Kiam tertawa. Ketika dia mau berkata lagi, kedua nona
itu pun tertawa, dan yang satu berkata. "Kami terlalu banyak
bicara, sampai kami lupa!"
Mereka berjalan ke ambang pintu, sesudah itu salah
seorang bertepuk tangan perlahan beberapa kali, sambil
berbuat begitu, nona yang satu berkata lagi. "Nona kami
menyuruh menyerahkan bingkisan beberapa macam barang
untuk Loo-ya-cu. Nona juga minta disampaikan maafnya
karena dia tak dapat datang sendiri."
In Kiam merendahkan diri.
Ketika itu di muka pintu terlihat dua budak perempuan
yang masih muda sekali, pakaian merekajuga merah, dan
tangan yang satu membawa sebuah kotak emas yang
berkilauan. Entah isi kotak itu apa, tetapi kotaknya saja sudah
berharga sekali. Para tamu keheranan. Tapi, sebelum lenyap keheranan
mereka itu, tiba-tiba mereka melihat munculnya dua budak
perempuan yang lain, yang pakaiannya sama berwarna merah
dan tangannya membawa kotak emas juga, bahkan kali ini
sepasang! In Kiam bertindak ke pintu.
"Nona-nona, tak usah . . " kata ln Kiam tapi belum sempat
bicara terus sudah berhenti karena dari luar sudah terlihat
datangnya delapan pasang nona-nona yang membawa sebuah
kotak emas, mereka semua berpakaian merah, langkah
mereka rapi. Setiba di depan tuan rumah, dengan sikap
menghormat sekali mereka menyerahkan kotak itu.
Semua tamu keheranan hingga mereka jadi melongo. Cuma
si baju kuning yang tetap duduk tenang di kursinya,
tangannya membeber gambar, matanya mengawasi tajam
pada lukisan si nona cantik di dalam gambar itu. Kelihatan dia
sedang berpikir keras. "Beberapa barang bingkisan ini tidak berarti apa-apa." kata
salah satu di antara kedua nona itu. Sambil berkata mereka
selalu sambil tersenyum manis. "Karena itu harap Loo-ya-cu
jangan sungkan menerimanya. Kami pun ingin memberikan
secangkir arak kebahagiaan kepada Loo-ya-cu!"
Mereka menghampiri meja untuk mengambil arak,
kemudian mereka dilayani seorang pria. ln Kiam sendiri sudah
berjalan menghampiri mereka, untuk menyambut arak
pemberian selamat itu sambil berkata, "Baiklah, aku terima
ucapan selamat kalian. Terima kasih!"
Dia teguk kering isi cawannya.
Kedua nona mencicipi arak itu dari cawan mereka masingmasing,
kemudian yang satu berkata kepada orang banyak.
"Loo-ya-cu merayakan hari ulang tahun hingga banyak orang
gagah yang datang dari berbagai tempat, maka itu. harap
terima salam hormat dari kami berdua! Mari kita keringkan
cawan kita!" Semua tamu menyambut kata-kata itu dan mereka pun
meneguk arak mereka masing-masing. Mereka tidak bilang
apa-apa. mereka seperti telah terpengaruh oleh kedua nona
itu. Sesudah itu. kedua nona tersebut mengawasi pada si anak
muda berbaju kuning yang tak menghiraukan sesuatu yang
sedang terjadi. Melihat demikian. Kwi Eng-ji Kiauw Cian
menghampiri kedua nona itu dan berkata dengan suara
perlahan. Mata kedua nona terangkat, tapi cuma sekejap,
mereka sudah tertawa lagi.
"Sungguh kami tidak menyangka!" kata nona yang satu.
"Kedatangan kami ke mari masih sempat bertemu seorang
tamu yang masih muda dan gagah! Karena itu kami semua
saudara, harus memberi selamat juga!"
Berbareng dengan berhentinya kata-kata si nona. nona
yang berdiri di pojok kanan sudah segera melemparkan cawan
araknya ke arah si anak muda bebaju kuning. Arak itu
melayang namun tidak tumpah, bahkan sambil berpaling anak
muda itu menyedot dan meniupnya kembali ke arah para nona
itu! Semua tamu jadi heran, tidak terkecuali kedua nona itu.
Tak lama nona yang berada di kanan sudah menyambut
cawan kosong yang menyambar ke arahnya.
Habis minum arak itu, si anak muda tertawa.
"Arak yang harum dan nikmat!" dia memuji. "Jika nona
tidak suka gambar ini ada di tanganku, akan kukembalikan!"
Dia tertawa sejenak kedua tangannya diluncurkan untuk
melemparkan gambar itu ke arah kedua nona berbaju merah
itu. Bagaikan senjata rahasia, gambar itu melesat ke arah
kedua nona itu. Melihat kejadian itu, Ciok Ciam Liong terkejut, dia ingin
mengibaskan tangannya untuk menangkis serangan gambar
yang ditujukan pada kedua nona itu, tapi batal karena dia lihat
aksi kedua nona itu. Mereka tidak berani menyambut serangan anak muda itu.
lalu mereka berkelit, saat gambar sudah lewat baru mereka
melompat untuk menyusul. Anak muda itu bertepuk tangan, dia tertawa dan bersorak
"Bagus!" serunya. "Kalian menghormati aku dengan
secawan arak. aku membalasnya dengan segumpal mega
untuk dipakai mengantar dewi-dewi terbang melayang hingga
sang angin meniup kun-nya!"
Kedua nona itu tiba di luar. mereka pun tertawa dan
berkata. "Kami menginjak mega. Tuan menjadi si Dewa
Mabuk! Kalau Tuan sudi, mengapa Tuan tidak turut kami naik
mega bersama untuk pergi pesiar mendaki langit?"
Enam belas nona-nona pembawa berbagai kotak tadi
semuanya tertawa, mereka meletakkan kotak mereka, lalu
mereka berlari-lari menyusul kedua nona yang membawa
gambar bagaikan mega itu. Mereka berputar-putar di
pekarangan rumah yang luas itu. Semua tamu keheranan dan
kagum sekali. Mereka berlarian menuju ke pintu depan untuk
menonton. Anak muda berbaju kuning itu menyusul keluar
sambil tertawa. "Sungguh kalian mirip dengan Dewi di atas mega!" kata si
baju kuning. Dia melompat akan menyusul kedua nona itu. Akan tetapi
kedua nona itu tertawa dan menyambutnya dengan serangan
empat tangan mereka kepundak dan dada si pemuda berbaju
kuning! Mau tak mau, pemuda berbaju kuning itu
membatalkan niatnya menyusul mereka. 0oo0 BAB 5. LIM-AN KEDATANGAN PARA JAGO SILAT DARI
SELURUH PENJURU Enam belas nona-nona cantik itu bergerak terus, sekarang
mereka berputar-putar mengurung si anak muda. Gaya
mereka bagaikan orang sedang menari. Pakaian mereka yang
berwarna merah berkibaran. Karena kedua nona bernyanyi,
mereka turut bernyanyi juga.
Anak muda ini berdiri diam, tegak bagaikan patung dan
tegar seperti sebuah gunung. Para tamu sebaliknya jadi
takjub, mata mereka bagaikan berkunang-kunang karena
silau. Kepala mereka terasa sedikit pusing menyaksikan orang
berputaran terus, cepat dan tak henti-hentinya.
Sambil berputar, tangan semua nona-nona itu mengibasngibas
Pendekar Penyebar Maut 30 Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian Topan Di Gurun Tengger 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama