Dendam Asmara Karya Okt Bagian 5
"Kalian bersedia bersembunyi di dalam rimba, apa mau
kalian?" kata Tiang Keng. "Kalian orang Rimba Persilatan, tapi
mengapa kelakuan kalian begini..." Tiang Keng tak
meneruskan kata-katanya. Sebenarnya ia akan mengatakan
tak tahu malu, tapi tak jadi ia katakan.
Imam itu tak menjawab malah tertawa.
Pendeta kurus kering itu maju sambil melambai-lambaikan
tangannya yang kurus kering, mencegah si imam menjawab
kata-kata anak muda itu. Sedang matanya yang beralis
pendek dengan tajam mengawasi ke arah Tiang Keng.
"Eh, bocah," katanya. "Mengapa kau bicara tanpa aturan"
Bukankah kau yang bersembunyi di belakang kereta orang,
mengapa kau malah menegur kami?"
Ia menggapai dua kali dan berkata lagi.
"Mari turun, Loo-kap ingin bertanya padamu! Mengapa kau
bersembunyi di belakang kereta orang" Apa kau hendak
berbuat busuk atau kau...."
Tapi sebelum kata-kata pendeta kurus itu selesai. Tiang
Keng sudah membentak dengan keras.
"Tutup mulutmu!" bentak Tiang Keng.
Nona-nona itu geli. Mereka ingin tertawa tapi mereka
segera menutup mulut dengan tangan mereka.
Pendeta kurus itu tak peduli kata-katanya dipotong oleh
Tiang Keng, ia bicara terus.
"Bocah, bagaimana pun kau telah bersembunyi di belakang
kereta orang, pasti kau berniat jahat! Jika aku menuruti
adatku seperti dulu, kau sudah kubunuh. Sekarang aku
penganut agama Buddha, hatiku sudah lemah, aku tak ingin
menghinamu yang masih muda belia. Tak pantas kau yang
masih semuda ini, harus kehilangan jiwa....." kata si pendeta
kurus. Mendadak imam gemuk tertawa.
"Apa kubilang," kata si imam. "Kiranya kau menaruh belas
kasihan padanya. Dasar hatimu lemah! Baiklah, aku pandang
mukamu, maka akupun tak jadi membunuhnya!" kata si imam.
Tiang Keng mendongkol karena kedua orang itu bicara
seenaknya seolah Tiang Keng sudah berada di tangan mereka.
Tiang Keng hendak menjawab kata-kata hinaan itu, tapi si
pendeta kurus kering dengan matanya yang tajam mengawasi
dia. "Hai imam tua, makin tua kau makin tak karuan. Dengan
begitu apakah kau masih seorang suci?" kata si pendeta
kurus. Mau tak mau seyelah mendengar ucapan si kurus, nonanona
itu akhirnya tertawa juga, karena mereka anggap katakatanya
lucu seperti juga tubuh mereka.
Imam gemuk mengawasi dengan bengis, lalu ia
mengangkat bahu, pipinya bergerak-gerak. Tak demikian
dengan si kurus yang memang seolah tak berdaging.
Tiang Keng mengawasi ke arah kedua orang itu. Ia tak
kenal mereka, tapi dari gerak-geriknya ia yakin mereka ini
lihay. Pasti mereka ini dua orang undangan Un Jie Giok.
Dengan tajam ia awasi mereka dan sikap Tiang Keng tenang
sekali. Ia tak marah seperti tadi. malah sekarang ia bersikap
waspada dan siap sedia. Ia tak ingin kedua orang itu jadi
gusar. Pendeta kurus memutar-mutar matanya. Ia menatap tajam
ke arah Tiang Keng dan berkata, "Loo-lao berjodoh
denganmu! Seharusnya kau kubunuh, tapi sekarang tidak!
Tapi dengan cara kau harus mengangkat aku menjadi
gurumu! Maka dengan demikian, selain kau akan mendapat
ilmu silat yang istimewa, kau juga akan menikmati
kesenangan yang istimewa!"
Tiang Keng berusaha menahan kemarahannya, lalu ia
tertawa. "Baik, baik. Kau akan kuangkat menjadi guruku!" kata
Tiang Keng. "Tapi ada syaratnya, kalian harus menyebutkan
siapa kalian, setelah aku tahu siapa kalian, dengan demikian
aku bisa menimbang-nimbang apakah kau pantas menjadi
guruku atau tidak?" Pendeta itu tertawa menyeramkan.
Tempat itu sunyi karena terdengar tawa si pendeta itu.
maka keadaan jadi menyeramkan.
"Kau masih begini muda, sudah jelas kau tak kenal siapa
Loo-lap?" kata si pendeta. "Apa gurumu tak pernah cerita
tentang kami berdua?"
Berbareng dengan selesainya ucapan si pendeta, terdengar
suara, "Sreet!" Tahu-yahu tangan si pendeta kurus sudah
memegang golok Kay-too yang panjangnya lima kaki, tak lama
ia memainkan golok yang panjangnya lebih panjang dari golok
biasa. Si imam gemuk tertawa sambil berkata," Jika kau belum
juga mengenali kami, kau lihat ini!"
Tak lama terdengar suara orang menarik senjata dari
sarungnya, ia kini telah memegang pedang pendek setelah ia
hunus dan cahayanya berkilauan. Itu pedang luar biasa, selain
pendeknya yang istimewa, juga pipih sekali dan kedua sisinya
tajam sedangkan lebar pedang dua kali lebih besar dari
pedang biasa, hingga mirip dengan tameng Kun-goan-pay.
Sekarang muncul lagi keanehan lain selain kedua orang itu
sudah aneh. senjata mereka pun aneh sekali. Tian-Keng
mengawasi dengan tajam terutama pada senjata mereka. ..
0oo0 BAB 30. TIANG KENG BERTARUNG DENGAN DUA ORANG
BEKAS MUSUH AYAHNYA Ketika semua orang diam dan keadaan jadi sunyi, si imam
gemuk membaling-balingkan pedangnya sambil tertawa
dingin. "Kau belum bisa menerka, siapa kami?" kata si imam. "Hm!
Kalau begitu gurumu itu sangat tolol! Mengapa nama kami
berdua tak disebut-sebut olehnya?"
Mendengar gurunya dihina, bukan main mendongkolnya
Tiang Keng. Ia berusaha menahan diri, tapi tak urung ia
mengeluarkan suara di hidung, "Hm!"
Kemudian Tiang Keng menengadah mengawasi rembulan
yang suram seolah ia tak menghiraukan kedua orang itu.
Imam gemuk dan pendeta kurus itu jadi gusar.
Tiga puluh tahun yang lalu, mereka sangat terkenal dan
disegani oleh kalangan Rimba Hijau (Kalangan para Penjahat).
Tetapi golongan Rimba Persilatan (golong putih) banyak yang
belum mengenalnya secara dekat. Ketika itu mereka dikenal
sebagai "Pay-kiam Pian-too Siu Hud Poan Sian" (Si Buddha
Kurus dan Dewa Gemuk dengan pedang Pay-kiam, pedang
seperti tameng dan pian-too, golok mirip cambuk). Tegasnya
mereka lebih dikenal dari senjata mereka masing-masing.
Mereka sebenarnya berbeda golongan tapi mereka bisa
bersatu. Si imam gemuk bernama Poan Sun Yang golongan
Leng-cin-kiam-pay, sebuah partai berasal dari Propinsi Shoatang.
Ilmu pedangnya aliran keras. Si pendeta kurus bernama
Siu Bie To. ia dari Ngo-tay-san.
Kegemaran mereka berdua juga berlainan. Paon Sun Yang
gemar minum arak dan mengumpulkan harta. Siu Bie To
sebaliknya, senang namanya terkenal dan wanita cantik.
Sesudah ternama mereka mendadak mengundurkan diri dari
Rimba Hijau. Ko.ion ketika mereka sedang bekerja di wilayah
Thio-kee-lauw, mereka bertemu dengan To Ho Jian. Sekalipun
keduanya gagah, namun mereka tak mampu melawan To Ho
Jian dan mereka dikalahkan lalu kabur. Sepuluh tahun
lamanya mereka menghilang dari dunia Kang-ouw. Suatu
ketika mereka bertemu dengan Un Jie Giok, mereka diajak
bekerja sama. Ketika To Ho Jian berhasil dibunuh oleh Un Jie Giok,
mereka jadi berhutang budi kepada Jie Giok hingga mereka
pun setia sekali, bahkan mereka bersedia mati untuk Un Jie
Giok. Tetapi saat mereka berhadapan dengan To Tiang Keng,
mereka tak tahu kalau pemuda ini justru putera To Ho Jian,
bekas musuhnya. Poan Sun Yang kehilangan kesabarannya, ia menoleh ke
arah kawannya lalu berkata, "Hwee-shio tua, wajah anak ini
tak bercela, namun lagaknya sangat menjemukan! Oleh sebab
itu maafkan, aku akan melanggar pantangan membunuh
orang...." Sebelum ucapannya selesai, tangannya telah meluncur
disusul dengan bentakan, la menikam Tiang Keng dengan
jurus "Ngo Teng Kay San".
Untung Tiang Keng sudah waspada, la kelihatan sabar
namun sangat benci pada lawannya itu. Saat serangan lawan
datang Tiang Keng langsung berkelit, sambil berkelit tangan
kanannya menotok ke sikut lawan ke jalan darah hwee-tie.
Siu Bie To mengawasinya, ia tak benci pada si anak muda
seperti si imam gemuk, sahabatnya. Dia malah menganggap si
imam terlalu kejam dan ganas. Menyaksikan gerakan Tiang
Keng yang gesit, ia terperanjat juga. Sebagai seorang jagoan
ia melihat si anak muda bukan orang sembarangan. Ia tahu
benar tentang pepatah yang mengatakan "Jika seorang ahli
mengulur tangan, ia akan tahu kelihayan musuhnya".
Sekarang ia sadar bagaimana lihaynya Tiang Keng.
Poan Sun Yang, si imam juga kaget ketka ia sadar bahwa
serangannya menemui tempat kosong. Dia tak sempat berpikir
lagi, lalu berseru sambil menarik tangannya. Dia majukan kaki
kirinya, kembali tangan kanannya menyerang. Itujurus (Tiang
Hong Koan Jit (Bianglala menutupi matahari).
Melihat serangan lawannya ini. Tiang Keng yakin lawannya
ini terkenal hanya namanya saja. Tian Hong Koan Jit hanya
pukulan biasa saja, dengan tak memperdulikan serangan
lawannya itu. Tiang Keng menyambar dada lawan dengan
tangannya. Tapi serangan Poan Sun Yang terhenti setengah jalan.
Secara mendadak ia mengubah gerakannya itu, pedangnya
menyerang ke bagian bawah, ke arah perut Tiang Keng.
Perubahan itu cepat luar biasa.
"Omietoo-hud!" Siu Bie To memuji menyaksikan aksi
kawannya itu. sedang nona-nona itu menjerit melihat bahaya
sedang mengancam anak muda itu. Mereka semua yakin tak
lama lagi anak muda itu akan roboh tersungkur di ujung
pedang yang sangat istimewa itu.
Tiang Keng melihat bahaya mengancam, ia kaget tapi tak
gugup, la juga mengubah serangannya, ia tak jadi menotok
sikut lawan, sebaliknya dengan jari tangannya ia sentil golok
lawan "Trang!" terdengar suara sentilan itu nyaring sekali.
Si imam gemuk kaget saat serangannya dimentahkan,
keras sentilan itu hingga hampir saja pedang di tangannya itu
terlepas dari genggamannya. Sedang tubuh si imam
terhuyung-huyung, hampir roboh terguling.
Menyaksikan kesudahan dari serangannya itu tampak Tiang
Keng puas sekali. Ia tak mengejar dan menyerang lawannya
lagi, tapi sambil tertawa dingin ia berkata, "Kiranya
kepandaianmu hanya begini saja!"
Mendengar hinaan itu bukan main sakit hati Poan Sun
Yang. Ia pun mendengar nona-noa manis itu menahan nafas.
Ia malu karena tak sempat melihat sentilan lawan, tahu-tahu
pedangnya terhantam keras. Sentilan itu pun sampai tak
terlihat oleh Siu Bie To dan nona-nona berbaju merah itu.
Ia tak menghiraukan si imam gemuk, ia hanya menoleh ke
arah pendeta kurus. Sambil tertawa dingin dia berkata, "Jika
kau punya kepandaian lain, tak ada halangannya untuk kau
pertunjukkan padaku! Sebentar lagi bisa kau lihat, siapa yang
akan menjadi guru dan siapa yang akan menjadi murid!"
Sebelum Siu Bie To menjawab ejekan si anak muda, ia
mendengar seman temannya yang langsung melompat maju.
Tiang Keng menoleh, ia lihat imam gemuk itu merobek
jubahnya menjadi dua potong, suara robekan jubah itu
terdengar nyaring. Sekarang si imam gemuk jadi telanjang,
dia hanya mengenakan celana pendek. Kelihatan dagingnya
bergerak-gerak.... Nona-nona itu berteriak dan segera mereka menutup mata.
"Mau apa kau dengan lagakmu ini?" tegur Tiang Keng
sambil tertawa mengejek. Tapi ia tetap waspada.
Siu Bie To tahu kawannya sedang marah luar biasa. Tubuh
si imam bernama Poan Sun Yang bergerak-gerak lebih cepat,
matanya mengawasi bengis sekali. Dia berteriak-teriak makin
lama suaranya jadi perlahan. Sebagai gantinya sekarang
kakinya yang bergerak-gerak sampai perlahan. Kelihatan kaki
itu jadi berat saat diangkat...
Melihat gerakan lawan. Tiang Keng jadi curiga. Apalagi ia
lihat bekas injakan kaki si imam gemuk membekas dalam
sekali, mungkin setiap imam itu melangkah ia menekan
dengan keras. Poan Sun Yang melangkah perlahan, tapi lama-lama ia
sudah dekat pada si anak muda. Tampak wajahnya yang
buruk itu memperlihatkan kegusarannya. Semakin dekat Tiang
Keng mendengar suara nafasnya yang makin keras.
Melihat demikian nona-nona yang tadi menutupi mata
mereka dengan tangannya, sekarang membuka mata untuk
menyaksikan... Tiba-tiba imam gemuk itu menyerang dengan
hebat ke arah Tiang Keng. Berbareng dengan serangan itu,
tubuh Su Bie To pun melompat ke arah Tiang Keng. Dia
menyerang dari belakang lawan. Dia membacok punggung
Tiang Keng. Tiang Keng tidak menangkis serangan kedua musuhnya itu,
ia berkelit dengan gesit. Tiang Keng bebas dari serangan itu.
Tapi Poan Sun Yang lihay, ia sudah menduga. Begitu
serangannya tak mengenai sasaran, ia melompat maju dan
menyerang lagi. Kali ini goloknya mengarah ke dada kiri
lawan. Jika tadi ia menyerang dengan perlahan, sekarang
serangannya cepat luar biasa. Tiang Keng terkejut.
Serangan itu hebat sekali. Tetapi lagi-lagi ia tak menangkis
serangan itu dengan mengegoskan tubuhnya. Di luar dugaan
Su Bie To pun menyerang bersamaan dengan si imam gemuk.
Rupanya mereka berdua bisa bekerjasama dengan rapi.
Serangan mereka datang ber-gantian dari kiri dan kanan.
Tiang Keng jadi sibuk sendiri. Ia sekarang tak bisa hanya
berkelit saja. Terpaksa ia menyampok dengan tangan
kanannya. Dua kali ia menyentil dengan saling susul. Karena
terburu-buru sentilan Tiang Keng kurang tepat mengenai
sasaran, ia tak bisa membuat kedua lawannya terancam
serangannya. Kedua orang itu jadi heran. Ternyata ilmu silat yang
sepuluh tahun terakhir ini mereka ciptakan, dengan mudah
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa dimentahkan oleh To Tiang Keng yang masih sangat
muda. Mereka jadi penasaran sekali. Kemudian si imam
gemuk menyerang ke bagian bawah Tiang Keng dengan tipu :
"Masuk laut membunuh naga'" sedang golok si pendeta Siu
Bie To menyambar ke bahu kiri dengan tipu "Badai
merontokkan daun". Serangan mereka gesit dan datangnya dari atas dan
bawah. Tiang Keng kelihatan sibuk dikepung oleh dua orang jago
tua. Nona-nona itu tak bisa melihat jelas kedua senjata si
imam dan si pendeta, yang kelihatan hanya kilauan senjata
mereka. Mereka sayang dan girang, sayang karena lawan
masih muda dan tampan, sedang girang karena pihaknya
yang akan menang. Sejak tadi Tiang Keng memperhatikan serangan kedua
lawannya, karena gusar ia mengambil keputusan.
"Aku tak bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian
begitu kejam menyerangku. Rupanya kalian memang manusia
kejam!" pikir Tiang Keng.
Sekarang Tiang Keng mulai berkelahi dengan bersungguhsungguh,
tangan kanannya menyerang mata Poan Sun Yang,
sedang tangan kirinya dipakai menekan gagang pedang
lawan. Dia tekan sambil didorong ke arah kiri.
Poan Sun Yang kaget. Ia rasakan dorongan si anak muda
keras sekali. Mau tak mau senjatanya bentrok dengan senjata
Siu Bie To. Tiang Keng menggunakan tipu silat Thay-kek-pay
yang diberi nama "Tangan Menuntun", dengan demikian ia
berhasil membuat pedang si gemuk bentrok dengan golok si
pendeta kurus. Ia juga menggunakan ilmu silat Bu-tong-pay,
ilmu silat tangan kosong. Dengan ilmu ini ia berhasil
menghadapi dua lawan bersenjata.
Semua nona itu kagum melihat hal itu. Mereka mengerti
ilmu silat namun masih jauh dari mahir hingga mereka belum
tahu betapa tingginya ilmu silat berbagai partai persilatan
apabila digabungkan. Hebat pertarungan itu, kuda kereta
kaget karena mereka sering ke dekatnya. Mendadak kudakuda
itu meringkik dengan mengangkat kaki mereka dan
berniat kabur sambil menarik kereta hingga si kusir kewalahan
tak bisa mengendalikan untung belum jauh kuda bisa ditahan
si kusir bengong karena kagetnya.
0oo0 BAB 31. TIANG KENG DIBANTU OLEH TIGA PENDEKAR
KATE Saat nona-nona itu sedang keheranan dan kusir kereta
sedang bengong saja, Poan Sun Yang dan Siu Bie To kaget
dan mereka pun kuatir. Beradunya senjata mereka membuat
telapakan tangan mereka terasa nyeri sekali. Syukur mereka
masih sadar hingga keduanya melompat mundur teratur.
Sejak mereka muncul di kalangan Kang-ouw, mereka baru
pernah dikalahkan oleh Tiong-goan Tay-hiap To Ho Jian.
mereka tak menyangka sekarang mereka dikalahkan oleh
seorang anak muda yang mereka tak kenal. Sambil melompat
mundur mereka mengawasi Tiang Keng dengan tajam. Mereka
pun tak pernah menduga pemuda itu demikian lihay, hingga
mereka jadi heran dan bertanya-tanya dalam hatinya,
"Siapakah anak muda ini" Mengapa masih demikian muda
begitu lihay!" Poan Sun Yang tabiatnya keras, hingga karena gusarnya
dagingnya jadi bergerak-gerak, la ingin sekali menusukdada
Tiang Keng hingga tewas. Oleh sebab itu kembali ia
menyerang. Sejenak Siu Bie To tercengang, tak lama ia pun ikut maju
pula. Tiang Keng yang tadinya mengira kedua musuhnya otu
akan menyerah kalah.tak di kira mereka malah bandel dan tak
mau sudah. Dengan nyaring Tiang Keng berseru.
"Aku telah bermurah hati pada kalian, ternyata kalian tak
tahu diri. nah jangan kau salahkan aku sangat keterlaluan!"
kata Tiang Keng. Turunnya Tiang Keng ke kalangan Kang-ouw dengan
tujuan untuk membalas dendam, namun ia tak ingin
membunuh orang sembarangan saja, ia juga tak berniat
membunuh kedua orang yang angkuh itu. Tak demikian
dengan si Dewa Gemuk dan si Buddha Kerempeng itu. Mereka
belum sadar bagaimana lihaynya si anak muda. Mereka
menganggap bahwa kekalahan mereka tadi hanya karena
mereka kurang waspada saja. Sekarang mereka berkelahi
lebih bersungguh-sungguh dan waspada, sedang serangan
mereka keras dan berbahaya.
Sekarang Tiang Keng jadi terkepung, hal ini membuat
nona-nona yang menontonnya itu jadi kagum karena Tiang
Keng seolah membiarkan dirinya terkepung oleh kedua
lawannya itu. Mereka tak tahu kalau Tiang Keng justru sedang
berpikir lain. Tiang Keng tahu mungkin mereka akan mendapat balabantuan,
tapi ia tak ingin buru-buru menyelesaikan
pertarungan itu. Ia tertarik oleh cara mereka bersilat, hingga
ia berpikir akan terus melayani mereka. Lagipula ia ingin
menyaksikan ilmu silat lawannya itu, sebab dengan melihat
tipu-silat mereka pengetahuannya akan bertambah. Jika
lawannya bersikap bengis dan keras, ia hanya berkelit
menghindar saja. Lama-lama si imam gemuk dan si pendeta kurus jadi
bingung sendiri. Di gunung Thian-bak banyak jago silat. Benar
semua berhasil dikumpulkan oleh Un Jie Giok. tetapi di antara
mereka ada yang memusuhinya. Jika mereka tak segera bisa
mengalahkan Tiang Keng, mereka akan malu karena tak
mampu dan akan ditertawakan oleh para penonton.
Karena berpikir demikian mereka langsung berseru dan
maju bersama-sama dan mendesak ke arah Tiang Keng.
Pedang dan golok saling bergantian menyerang secara
bertubi-tubi, sehingga anginnya menderu dan sinar pedang
serta golok mereka itu berkilauan cahayanya.
Menyaksikan kedua orang itu demikian kejam dan hendak
membunuhnya, Tiang Keng jadi dongkol juga, ia mencari
celah untuk balas menyerang mereka, saat ia lihat si imam
menyerang ke arah dadanya, ia ulur tangan kirinya. Si imam
terperanjat. Ia kira Tiang Keng hendak menyentil pedangnya
lagi seperti tadi. Buru-buru ia berkelit ke sebelah kanan. Tiang
Keng memang gesit luar bias. Ketika ia lihat lawannya berkelit
ke kanan, ia susul dan tangan kanannya ia ulur. Kedua tangan
Tiang Keng maju secara bersamaan. Tangan kanan
menghadang tangan kiri menyusul menyerang. Maka tak
ampun lagi pedang si imam jadi terjepit di antara kedua
telapak tangan Tiang Keng. Dan Tiang Keng bergerak lebih
jauh, tangan kanannya ia tekuk, sikut Tiang Keng bekerja
dengan cepat menyikut hidung si imam.
Itu sebuah serangan yang cepat luar biasa. Dari semula
renggang Tiang Keng merapat. Ia berani berbuat demikian
karena mengira lawan sedang bingung karena pedangnya
dijepit olehnya. Itu merupakan tipu-silat yang sangat langka,
yang tak ada di Bu-tong-pay, Siauw-lim-pay maupun di
perguruan Kun-lun-pay. Poan Sun Yang sudah sangat berpengalaman berkelahi, ia
banyak mengenal berbagai tipu-silat dari berbagai partai, tapi
sekarang ia dibuat bingung sekali. Dia terperanjat Ia coba
menarik pedangnya dari jepitan si anak muda. Ia kembali
terkejut. Di luar dugaan pedangnya terjepit di antara telapak
tangan Tiang Keng dengan keras sekali. Pedang itu terjepit
dan tak bisa bergerak hingga ia tak mampu menarik
pedangnya. Tiba-tiba siku Tiang Keng mengarah kan
serangannya ke hidung lawan, karena takut kena sikut lawan,
maka terpaksa ia lepaskan cekalan pada pedangnya, lalu
melompat mundur. Siu Bie To menyaksikan kawannya terancam bahaya, ia
melompat sambil membacok hendak menolong sang kawan
dari serangan lawan. Semua berlangsung cepat tanpa dipikir
lagi. Saat itu Tiang Keng sedang menghadapi Poan Sun Yang, ia
pun sedang menggunakan kedua tangannya, wajar kalau
tubuhnya jadi terbuka tak terlindungi. Tapi sedetik saja ia
melihat bahaya mengancam atas dirinya, mau tak mau ia
harus menyelamatkan dirinya. Ia tak sempat berkelit atau
menggeser kakinya. Justru pada saat pedang yang ia jepit
dilepaskan oleh Poan Sun Yang, pedang itu ia angkat untuk
dipakai menangkis serangan dari Siu Bie To, saat itu pedang
lawan masih ia jepit. Serangan Siu BieTo yang keras mau tak mau beradu
dengan pedang kawannya vang ada di tangan Tiang Keng.
Hingga akhirnya ia jadi kaget sekali. Golok Siu Bie To
terlempar, terlepas dari cekatannya, karena telapak tangannya
terasa sangat nyeri. Golok Siu Bie To pun melayang ke arah
para nona berbaju merah. Bukan main terkejutnya nona-nona itu, mereka menjerit
dan membubarkan diri dari kerumunan, tak seorang pun ada
yang berani menyambut atau menangkis golok yang
berbahaya itu. Pendeta dan imam itu berdiri dengan tercengang-cengang,
mereka heran dan penasaran sekali ditambah malu. Mereka
berdua dikalahkan dengan cara luar biasa sekali. Siu Bie To
bungkam. Sedang Poan Sun Yang mendelik matanya dan
berkata dengan nyaring. "Lekas kau bunuh kami. atau tinggalkan namamu, agar
kelak kami bisa mencarimu dan membalas kekalahan kami
hari ini!" kata Poan Sun Yang dengasn tegas.
Tiang Keng tertawa tawar. Sebelum ia menjawab dari
dalam rimba muncul tiga orang, mereka bertubuh pendek dan
gemuk. Tiang Keng mengawasi ke arah ketiga orang yang
baru muncul itu. Bukan saja tinggi dan gemuknya sama
mereka juga mengenakan pakaian seragam. Baju mereka
loreng lima macam, pada malam hari baju itu seperti
mengeluarkan cahaya berkeredepan, bergerak-gerak di antara
tiupan sang angin. Tak tahu pakaian itu dari bahan apa. Di
pinggang mereka masing-masing tergantung sebilah pedang,
pada sarung pedang mereka itu tertabur batu permata, hingga
batu permata itu berkilauan terkena cahaya pakaian mereka.
Poan Sun Yang sudah pendek atau kate, tapi ternyata ada
yang lebih kate lagi dari Poan Sun Yang. Hingga orang itu
bundar mirip bola saja. Mereka maju perlahan-lahan. Setelah
dekat yang di sebelah kanan berkata, "Aku Lee To-toa!".
"Aku Lee To-jie!" kata yang di tengah.
"Aku Lee To-sam," kata yang di sebelah kiri.
Suara mereka sama nadanya dan sama anehnya. Mulamula
Tiang Keng melengak, kemudian baru ia tahu orang
memperkenalkan diri tanpa diminta.
Tiang Keng terus mengawasi ketiga orang kate yang baru
tiba itu. Bukankah Poan Sun Yang dan Su Bie To
menyembunyikan nama mereka, sebaliknya mereka bertiga ini
mengobral nama mereka. Nama mereka pun tak kurang
anehnya.. Jelas mereka she (bermarga) Lee-to. dan usia mereka jadi
rutan dan nama-nama mereka. Toa berarti yang besar, "Jie"
yang kedua dan "Sam" yang ketiga. Sebenarnya itu bukan
nama tapi panggilan sesuai urutan. Tiang Keng juga merasa
heran karena ke Thian-bak-san telah berdatangan orangKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
orang aneh. Mereka masing-masing mengacungkan jempol
mereka sambil berkata. "Bagus! Bagus!" ucapan itu ditujukan ke arah Tiang Keng.
Tiang Keng mengawasi mereka, ia tak mengerti apa
maksudnya. "Anak muda bagus ilmu silatmu!" kata mereka. "Jelas kau
telah berhasil mempelajari ilmu silat dari pulau Hu-song. Sejak
aku melihat ilmu silat ini dipraktekkan oleh murid dari partai
Ryugyo, belum pernah aku melihatnya lagi cukup lama, selain
tadi itu...." Sulit Tiang Keng mendengar dan mengerti maksud ucapan
orang itu. Tapi benar sekali ilmu silat itu adalah ajaran dari Sukhong
Hoa yang dia peroleh dari Gu-song (Jepang), seorang
Ronin (Ronin bahasa Jepang artinya pesilat, red) yang
merantau ke Tiongkok. Tapi ilmu silat itu telah diubah dan
disempurnakan lagi oleh Su-khong Hoa. Karena Ronin itu
melanggar aturan gurunya, ia kabur ke Tiongkok, di Tiongkok
ia mencoba mengangkat namanya, tapi ia bertemu dengan
Su-khong Hoa, ia takluk dan kalah oleh ilmu silat Tionghoa.
Karena tipu-silat Ronin itu bagus, Su-khong Hoa
mengambilnya sebagai dasar dan ia menciptakan jurus yang
baru atas dasar ilmu silat itu.
Ketika Su-khong Hoa bercerita pada muridnya sambil
tertawa. "Di Tiongkok ini,cuma ada beberapa orang saja yang
mengenal tipu-silatku ini." kata guru Tiang Keng.
Sekarang ternyata tiga orang kate itu mengenalnya. Saat
Tiang Keng sedang keheranan karena tiga orang kate itu
mengenal tipu-silatnya, ia mendengar Lee-to Toa tertawa
terkekeh-kekeh, ia awasi si pendeta dan si imam dengan
tajam, la Ialu berkata, "Pada mulanya aku kira ilmu silat kalian
bagus sekali, tapi tak kukira hi hi hi. ternyata tak bermanfaat
sama sekali! Untuk apa kalian banyak laga lagi" Lebih baik
kalian segera pergi!"
Wajah Poan Sun Yang dan Siu Bie To jadi merah padam
serta pucat-pasi. Tubuh si imam bergerak-gerak lagi,
keduanya diam saja. Rupanya mereka sedang berpikir keras.
Marah salah tidak marah pun salah juga. Gusar tapi mereka
tak berdaya dan malu pula. Tiang Keng mengawasi bekas
kedua lawannya itu. "Namaku To Tiang Keng," ia memperkenalkan diri. "Jika
kalian ingin menuntut balas, kalian boleh mencariku!"
Mendengar nama Tiang Keng disebutkan Poan Sun Yang
terperanjat. "Kau pernah apa pada To Ho Jian?" kata dia.
"Dia ayahku!" jawab Tiang Keng terus terang dan sikapnya
hormat sekali. Kedua orang itu terkejut, mereka saling mengawasi satu
sama lain, lalu kedua-duanya menarik napas. Tampak mereka
menyesal dan penasaran, karena sebagai jago mereka telah
dua kali dikalahkan, baik oleh ayah anak muda ini maupun
oleh anaknya. Langsung hati merekajadi dingin. Keduanya lalu
mengawasi tiga orang aneh itu. Akhirnya mereka pergi dengan
tak memperdulikan golok dan pedang meeka lagi. Tiga orang
aneh itu tertawa menyeramkan. Sedang Lee-to Sam berkata
dengan nyaring, "Segala manusia tidak berguna, mereka
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berani muncul di sini!"
Semula Tiang Keng mengira mereka berkomplot, ternyata
tiga orang kate dan aneh itu malah mengejek Poan Sun Yang
dan Siu Bie To berdua. Ia juga heran mereka memuji dirinya
dan mengejek lawan-lawannya. Tiang Keng pun tak
mengetahui, kalau ketiga orang kate aneh itu pernah belajar
ke Hu-song dan mereka dari Hay-lam-pay, tak heran jika ia
mengenal ilmu silat Jepang itu. Saat mereka pulang dari
Jepang, mereka diundang oleh Un Jie Giok yang
membutuhkan tenaga mereka ini.
Sudah lama mereka tinggal di negeri asing, hingga ia jadi
buta mengenal Dunia Persilatan di Tiongkok, malah mereka
tak meremehkan pesilat Tiongkok, oleh karena itu mereka jadi
tak menghargai Poan Sun Yang dan Siu Bie To yang banyak
lagaknya itu. Sudah beberapa hari mereka saling mengejek, namun
karena bahasa Tionghoa mereka sudah tak mahir lagi, mereka
kalah bicara sehingga mereka semakin benci kepada si imam
gemuk dan si pendeta kurus. Tadi mereka menyaksikan si
imam dan pendeta itu dikalahkan oleh Tiang Keng.
Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menghina lagi
kedua orang itu. Untung Poan Sun Yang dan Siu Bie To sudah
kalah pamor dan mati kutu, jika tidak pasti akan terjadi
pertarungan hebat di anatara mereka. Saat mereka sedang
mengawasi perginya si imam dan si pendeta kurus yang
menghilang di tempat gelap, Tiang Keng pun sedang berpikir
keras. "Heran mereka ini! Mengapa bahasanya tak kumengerti,
macamnya pun begitu aneh" Pasti mereka lihay. jika tidak
mana berani mereka menghina si imam dan pendeta itu.
Siapakah mereka ini, musuh atau kawan?" pikir Tiang Keng
agak bingung. Tiang Keng mengawasi ketiga orang kate itu. Setelah
mereka berhenti tertawa, wajah mereka berubah jadi dingin
dan semuanya mengawasi ke arahnya dengan tajam.
Sekarang lenyap wajah yang tadi mengaguminya itu.
Melihat hal itu Tiang Keng terpaksa waspada kembali. Ia
juga balas mengawasi dengan tajam. Ia kelihatan tak gentar,
tapi ia merasa aneh benar-benar di Thian-bak-san terdapat
banyak orang lihay. Ini sangat berbahaya jika setiap saat
bermunculan orang-orang dari Thian-bak-san satu persatu,
jiwanya bisa terancam. 0oo0 BAB 32. LEE-TO-JIE DIKALAHKAN TIANG KENG DENGAN
KELINGKING Lee-to Jie maju. Dia hampiri si anak muda. "Siapa
namamu?" dia tanya Tiang Keng, sikapnya jumawa.. "Mau apa
kau lari ke mari. nah?" Dia diam sejenak karena sadar katakatanya
tak jelas, ia menambahkan, "Mau apa kau datang ke
mari" Aku pikir sebaiknya kau mengikuti teladan kedua orang
tadi, segera kau pulang ke rumahmu!"
Tiang Keng tak puas pada sikap Lee-yo Jie, sepasang
alisnya berdiri. "Jika aku mau ke sini, tak ada orang yang bisa
melarangku!" kata Tiang Keng dengan suara nyaring.
Orang Hay-Iam (Hai-nan) itu tertawa. Ia mengulur
tangannya dan tiga buah jarinya ia tekuk, masing-masing
telunjuk, jari tengah dan jari manisnya ke bawah jempol,
kemudian ia menunjukkan kelingkingnya yang ia lambailambaikan
ke muka Tiang Keng. Kemudian ia tertawa aneh.
"Jangan kau anggap kau ini lihay, ya! Di depanku, kau tak
lebih seperti ini!" kata Lee-to Jie.
Tiang Keng melengak, kiranya orang menyamakan dirinya
dengan kelingkingnya, ia jadi dongkol bukan main
"Kau gila!" bentak Tiang Keng.
Sebelum tawa Lee-to Jie berhenti, tiba-tiba ia menghunus
pedangnya, ia langsung meggeser kirinya ke samping, dan ia
majukan kaki kanannya, langsung ia menikam muka orang
dengan pedangnya itu. Tetapi saat pedangnya tinggal tiga dim
dari wajah Tiang Keng, ia menahan pedangnya.
"Kau mau turun gunung atau tidak?" ia mengancam.
Bukan main dongkolnya Tiang Keng, tiba-tiba ia sentil
pedang Lee-to Jie dengan kelingkingnya, lalu ia meniru
perbuatan Lee-to Jie tadi. ia tunjukkan jari kelingkingnya dan
berkata. "Aku tak mau turun, kau mau apa" Kau yang seperti ini!"
kata Tiang Keng. Lee-to Jie melongo. Semula ia kira orang melengak karena
kagum pada gerakan pedang lawannya itu. Saat dia
menggerakkan pedang itu ia gunakan tenaga sepenuhnya. Ia
heran saat ia lihat Tiang Keng pun mengulurkan tangannya,
Tiang Keng menyentil pedangnya lalu menunjukkan jari
kelingkingnya. "Tring!" terdengar sebuah suara yang nyaring.
Tangan Lee-to Jie terasa kesemutan oleh sentilan istimewa
itu. la mundur sambil terhuyung sejauh dua langkah. Untung
ia masih, bisa memegang pedangnya yang tersentil itu, hingga
pedangnya tak sampai terlepas, tetapi telapak tangannya
terasa panas dan nyeri. Mau tak mau sekarang ia yang
melengak kaget. Tiang Keng tertawa.
"Tahukah kau apa nama sentilanku itu?" tanya Tiang Keng.
Lee-to Jie diam, mereka saling pandang dengan kedua
saudaranya. Jelas mereka tak tahu nama sentilan itu.
Menyaksikan mereka tercengang. Tiang Keng tertawa pula,
ia melangkah maju, lalu berjalan melewati Lee-to Jie. Ia terus
mendaki. Ketika ia menoleh ke arah kereta, sekarang ia tak
melihat apa-apa lagi. Baik kusir maupun nona-nona berbaju
merah itu telah lenyap semua. Sekarang yang ada tinggal
kereta kosong yang tetap nongkrong di tepi jalan. Ia terus
mendaki hingga hampir tiba di tempat tujuan. Ia tak mau
turun, jika ia turun pasti ia akan jadi bahan tertawaan.
Memang Tiang Keng ini besar kepala, ia tak pernah mau
mengalah. Perlahan-lahan ia terus mendaki. Sambil mendaki ia
berpikir, memikirkan cara menghadapi musuh andaikata ia
dirintangi. Sambil mendaki ia sering menoleh ke belakang,
melirik ke arah tiga orang kate dari Hay-lam itu.
Lee-to Toa dan dua saudaranya masih saling mengawasi.
Otak mereka sedang berpikir, "Bagaimana sekarang" Yang
pasti Tiang Keng harus mereka rintangi atau tidak! Jika tak
mereka rintangi, bagaimana dengan nama baik mereka" Nama
"Hay-lam Sam Kiam" atau "Tiga Jago Pedang Dari Hay-lam"
Jika mereka menghadang, bisakah mereka mengalahkan Tiang
Keng" Sungguh hebat! Kalau mereka kalah mereka bakal
mendapat malu besar. Setelah saling pandang, mereka melihat ke sekelilingnya.
Keadaan gunung sunyi-sunyi saja. Di tempat itu tak ada orang
lain kecuali mereka bertiga, sedang Tiang Keng sedang
mendaki dengan tenang. Setelah berpikir dan saling
mengawasi mereka diam. "Di tempat ini tak ada orang lain jika kita kabur tak ada
yang melihatnya habis perkara dan tak ada yang tahu..." pikir
mereka. Mereka bukan sahabat baik Un Jie Giok, jelas mereka tidak
ingin mengorbankan jiwa mereka secara sia-sia di atas gunung
itu. Setelah mereka saling pandang kembali, ketiganya lalu
berjalan turun meninggalkan gunung....
Tiang Keng berjalan perlahan, ia sadar ia bisa dibokong jika
orang ingin membokongnya. Ia heran dari arah belakangnya
keadaan tetap sunyi. Kembali ia menoleh ke belakang. Ia
heran ia tak melihat ketiga orang Hay-lam itu di sana. Samarsamar
ia melihat mereka sedang berjalan menuruni gunung di
balik pohon-pohon. "Lucu juga," pikir Tiang Keng.
Tadi ketiga orang itu demikian galak tapi sekarang mereka
pergi dengan diam-diam. Ia mengawasi ke atas. Ia diam.
Keadaan tempat itu sunyi hingga suasana di tempat itu
menyeramkan. Di tempat yang sesunyi itu bukan tak mungkin
ada orang sedang bersembunyi di balik pepohonan.....
"Ke mana aku harus mencari Un Jie Giok?" pikir Tiang
Keng. "Aku tak boleh terus mendaki seperti ini... .Sedang
nona-nona berbaju merah dan kusir itu entah ke mana
perginya. Aku jadi tak punya penunjuk jalan lagi. Apa lebih
baik aku turun gunung saja...."
Ia baru berpikir sampai di situ. tiba-tiba ia tertawa.
"Tidak bisa!" Ia berpikir lagi. "To Tiang Keng, kau tak boleh
pergi. Jika kau tak berani naik gunung, dan kau akan pergi
seperti ketiga orang itu, oh bodohnya. Kau jangan mencari
alasan yang tidak-tidak! Jika kau sekarang tak mencari
mereka, apa kau kira mereka kelak tak akan mencarimu?"
Tiang Keng lalu membusungkan dadanya, dan kakinya
kembali melangkah naik. Keadaan di sekitarnya tetap sunyi.
Tiang Keng jadi iseng sendiri. Tanpa terasa ia bersenandung.
Ia berharap akan muncul seseorang, tak peduli siapa dia...
.Tapi kesunyian tetap menguasai tempat itu...
"Ah!" Tak lama Tiang Keng bersenandung lagi, suaranya
makin keras. Di tempat yang mendaki itu ia tak bisa
menggunakan ilmu berlari kencang. Untuk mencari Ang-ie Nionio
ia harus mendaki perlahan-lahan. Ia berjalan terus dan
akhirnya ia melihat beberapa bangunan di depannya. Ia
mempercepat langkahnya. Sesudah dekat, ia lihat bangunan
itu ternyata sebuah wihara (vihara). Wihara itu dibangun di
atas sebuah tanjakan, merknya "Thian Sian Sie" Itu sebuah
wihara yang sudah rusak, papan namanya pun sudah luntur
dan tidak lagi. "Ah, sayang," kata Tiang Keng sambil menghela nafas. Ia
yakin wihara rusak ini tak ada sangkut-pautnya dengan Un Jie
Giok. Dengan tak acuh Tiang Keng masuk ke pendopo. Samarsama
ia lihat patung-patungnya masih lengkap. Sebuah
patung paling besar yang berada di tengah, tingginya
setombak lebih, alis patung itu turun seolah ia sedang memuji
demi keselamatan umat manusia...
Di empat penjuru ruangan penuh dengan gambar-gambar
Sang Buddha saat beliau memperoleh penerangan di bawah
pohon Bodhi. Tiang Keng tak mengira hari itu ia bakal memasuki rumah
suci. Ia maskul. Kembali ia menghela napas. Kemudian ia
bersihkan sebuah pou-toan dan di sana ia duduk. Dalam
kesunyian kembali ia berpikir. Tak lama ia mendengar suara
alat sembayang dibunyikan.
"Tok..tok...tok..." Itu adalah suara bok-gie, alat
sembahyang dari kayu mahoni yang biasa dipakai oleh
seorang pendeta, suara itu datang dari arah belakang wihara.
"Heran?" pikir Tiang Keng. Ia berusaha mendengarkan
datangnya suara alat itu.
Tiba-tiba Tiang Keng melompat. Ia masih mendengar suara
tok-tok itu terus berbunyi. Itu sebenarnya tak mengherankan
terjadi di sebuah kuil, wihara atau kelenteng, yang
mengherankannya ia dengar suara alat itu di Thian-bak-san
dalam suasana sunyi seperti itu.
Untuk memastikan lebih jauh. Tiang Keng berjalan cepat ke
belakang wihara. Di sebuah pekarangan dalam, ia lihat ada
cahaya api, datangnya cahaya itu dari sebuah ruangan yang
jendelanya masih utuh. Ini sungguh luar biasa. Ia jadi curiga
dan ingin memperoleh kepastian. Ia melompat naik ke payon.
Daun jendela kamar itu tertutup rapat, di bagian atasnya
terdapat erang-erang atau kisi-kisi, dari sana Tiang Keng
mengintai ke dalam kamar itu.
Di ruangan itu cuma ada sebuah meja terletak di tengah
ruangan, di atas meja terletak sebuah Leng-pay (Papan nama
yang biasa disembahyangi), di samping papan iyu ada sebuah
pelita yang cahayanya suram. Pada leng-pay itu terdapat
tulisan yang tak terlihat jelas oleh Tiang Keng, entah apa
bunyi tulisan itu. karena dari atas payon hurufnya tak terbaca.
Apa yang luar biasa di situ berlutut seorang perempuan,
tapi yang dilihat oleh Tiang Keng hanya bagian belakang atau
punggungnya saja. Rambut perempuan itu lebat hitam dan
indah. "Aneh. siapakah wanita ini?" pikir Tiang Keng. "Mengapa ia
sendirian saja di sini?"
Perempuan itu sedang membaca doa dan suaranya
perlahan sekali. Suara Bok-gie mendatangkan rasa haru....
0oo0 BAB 33. TIANG KENG DIBUAT HERAN DENGAN SIKAP UN
KIN Setelah mengawasi sekian lama. Tiang Keng melompat
turun dari payon. Kemudian dia terus mengawasi bayangan itu
sambil berpikir. "Entah siapa dia?" pikir Tiang Keng. "Mengapa tengah
malam begini ia datang ke wihara untuk bersembahyang" Apa
ia seorang pendeta yang memelihara rambut dan datang
karena menyukai tempat sunyi ini" Ah. pasti orang ini tak tahu
tentang keadaan Thian-bak-san vangjadi sarang penjahat
ganas.... Jika telah tiba saatnya, dia bakal tak mendapatkan
tempat setenang dan sesunyi ini untuk beribadat...
Tiang Keng berpikir keras. "Dia tinggal di sini, tahukah dia
tentang gerak-gerik Ang-ie Nio-nio?"
Tiang Keng pun melangkah ke arah pintu. Baru saja ia
sampai di ambang pintu, ia mendengar suara perlahan dan
dingin, "Mari masuk!"
"Heran!" pikir Tiang Keng. Memang ia tak menggunakan
ilmu meringankan tubuh, namun langkahnya perlahan sekali,
di luar dugaan perempuan itu bisa mendengar suara langkah
kakinya, padahal waktu itu ia sedang sembahyang dan bokgienya
sedang dibunyikan tak hentinya.
"Maafkan, aku yang rendah ingin menanyakan sesuatu. Aku
minta maaf karena telah mengganggu..." kata Tiang Keng.
"Hm" terdengar suara dingin yang tak jelas.
Suara bok-gie pun berhenti.
Tiang Keng mendorong pintu kamar itu. ia melangkah
masuk, la lihat perempuan itu tetap berlutut membelakangi
pintu. Sedikitpun ia tak bergerak, hanya leng-pay yang tadi
ada di atas meja sekarang sudah tak ada. Kemudian dia
batuk-batuk. Setelah itu. terlihat kepala perempuan itu bergerak,
berbalik perlahan sekali. Begitu ia lihat wajah perempuan itu
Tiang Keng heran dan terperanjat, tapi tetap bungkam.
Perempuan itu juga sudah melihat siapa yang masuk ke
kamar itu. dia juga terperanjat, kemudian menghela nafas
panjang... "Kiranya kau!" kata dia perlahan. Kecuali terperanjat dia tak
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan roman atau sikap yang bermusuhan.
Tiang Keng mengawasi orang itu. Kkini ia berhadapan
dengan seorang nona. itulah Un Kin. Nona yang paling
disayang oleh Un Jie Giok. Tian Keng membayangkan saat
mereka bertemu untuk pertama kalinya. Pertama-tama sikap
nona ini manis sekali, lalu ia besikap bengis sekali, tetapi
sekarang ia mengenakan pakaian putih. Alisnya berkerut, ia
tampak lesu dan alim. Dia kini bukan nona nakal dan
berandalan lagi..... "Kiranya kau Nona Un." kata Tiang Keng perlahan.
Tiang Keng mundur sampai ke ambang pintu.
"Tiang Keng, ingat apa maksud kedatanganmu ke Thianbaksan" Bukankah kau ingin mencari perempuan ini"
Mengapa sekarang kau mau pergi?" pikir Tiang Keng.
Karena itu ia maju lagi selangkah, bertanya dengan suara
dalam. "Malam selarut ini. mengapa kau datang ke mari?" tanya
Tiang Keng. Un Kin meletakkan bok-gienya. lalu ia menarik nafas.
"Beberapa hari yang lalu, kau dan aku bermusuhan satu
sama lain," kata Un Kin. suaranya perlahan. "Tetapi sekarang
aku tidak berpikir untuk memusuhimu lagi. . Tapi soal aku ada
di sini. itu tak ada hubungannya denganmu. Sebaiknya kau
segera pergi dari sini...!"
Sekejap tampak mata si nona bercahaya.
Tiang Keng menyaksikan sinar mata si nona. ia heran. Ia
tak tahu bagaimana ia harus menghadapi nona ini. Diam
sesaat kemudian ia bertanya, "Nona, kau sedang
menyembahyangi siapa?"
Nona Un mengawasi Tiang Keng. matanya bercahaya
kembali. Sesaat kemudian Tiang Keng ingat cerita si imam berkopiah
kuning. Kemudian Tiang Keng ingat leng-pay yang tiba-tiba
lenyap dari hadapan si nona. Sebagai pemuda yang cerdas.
Tiang Keng segera sadar lalu menghela nafas.
"Aku ingat sekarang, aku pernah mendengar sebuah
cerita." kata Tiang Keng akhirnya. "Konon dulu di kalangan
Kang-ouw hidup sepasang jago silat yang dikenal orang
sebagai Nio Beng Siang Hiap. Nona apakah kau tahu nama
pasangan yang gagah itu?"
Suara Tiang Keng perlahan saat ia berkata begitu, ia
memperhatikan wajah si nona. Ia lihat tubuh si nona gemetar
saat mendengar Tiang Keng menyebut nama Nio Beng Siang
Hiap. Sinar mata si nona yang semula bercahaya, jadi suram
dan sayu menunjukkan sinar mata duka dan penasaran..,,
Nona itu tidak menjawab pertanyaan Tiang Keng. malah ia
balik bertanya. "Apakah kau To Tiang Keng"
Sekarang Tiang Keng yang heran.
"Eh mengapa dia tahu she dan namaku?" pikir Tiang Keng.
Saat Tiang Keng akan menjawab, tiba-tiba di luar kamar itu
terdengar bentakan keras, disusul dengan berkelebatnya
sebuah bayangan manusia yang bertubuh tinggi besar.
Bersamaan dengan itu angin pun bertiup masuk seiring
masuknya tubuh si bayangan yang disusul dengan suara
beradunya logam. Akibatnya api di kamar itu hampir padam.
Tiang Keng terkejut, saat ia lihat senjata panjang sedang
menyerang ke arahnya. "Siapa kau"!" ia melompat ke samping.
Segera terdengar suara benturan keras karena senjata itu
tak mengenai sasaran melainkan mengenai lantai. Lantai yang
terhajar keras jadi berantakan. Itu sebuah serangan yang
sangat hebat. Sebelum Tiang Keng sempat melihat tegas penyerangnya,
senjata lawan sudah kembali menyerangnya. Sekarang ke
arah pinggang Tiang Keng. Dari suaranya, sekalipun Tiang
Keng tak melihat orangnya, ia tahu siapa orang itu. Ia coba
menghindar lalu menjejak lantai dan melompat tinggi, hingga
senjata lawan tepat di bawah kakinya.
"Tay-su. tahan!" teriak Tiang Keng.
Tiang Keng tak meladeni penyerang itu. Tadi dengan
melompat ia telah sampai ke penglari. lalu mengawasi ke
bawah dan mengulangi kata-katanya.
Orang itu mengangkat kepalanya mengawasi dengan
melongo. Ia heran, dua kali serangannya yang berbahayanya
bisa dihindarkan oleh anak muda itu. Padahal serangan itu
adalah serangan ilmu silat Siauw-lim-pay yang sangat lihay.
"Entah dari mana bocah ini, kenapa ia bisa muncul di sini?"
pikirnya. Namun tabiat orang ini keras, ia jadi penasaran. Dengan
tak menghiraukan ucapan Tiang Keng, ia berteriak. "Hai. Nak!
Jika berani turun, hadapi aku! Atau aku yang akan naik
menghajarmu sampai mampus!"
Tiang Keng diam dan mengawasi.
Un Kin sejak tadi diam saja agaknya ia tak sadar, ia
mengangkat kepala ke atas.
"Kau turun." kata Un Kin sabar menoleh pada si penyerang
dan berkata "Tay-su, kau jangan turun tangan"
Pendeta itu diam sejenak. Ialu berkata, "Barusan aku
sedang duduk di pouw-toan. kemudian aku pergi sebentar
untuk buang air. Tak kukira secara lancang bocah ini masuk
kemar " "Pantas pouw-toan ini bersih rupanya tadi dipakai duduk
oleh pendeta ini." pikir Tiang Keng
Ternyata ia mengenali pendeta itu To-su Tauw-to Bu Kin.
pendeta itu senang ikut campur urusan orang. Ia ikut Un Kin
ke Thian-bak-san dan di Thian-bak-san ia tak kerasan kiranya
di tempat ini banyak orang sesat maka tak cocok ia ingin
segera turun gunung tapi Un Kin membujuknya kemudian
pendeta itu menurut, la senang dengan sikap Un Kin yang
hormat kepadanya maka ia tetap diam dan tak bercampur
dengan orang-orang yang tak disukai itu.
Begitulah, saat Un Kin Ini bersembahyang ia menungguinya
di situ bertugas mencegah kedatangan orang yang tak
berkepentingan Namun Tian Keng masuk saat ia buang air,
maka ia jadi gusar. Dia tambah heran melihat pemuda yang
dulu dikatakan oleh Un Kin orang jahat lalu tanpa berbicara
lagi. ia serang pemuda itu, ia diam saat diminta agar tidak
menyerang anak muda itu. Ia mengawasi dengan mata
keheranan. Ia berharap si nona memberi penjelasan padanya.
Un Kin menghela nafas panjang.
"Dia bukan orang jahat," kata si nona. "Sabar, aku.... Aku
mau bicara dengannya... Aku minta Tay-su bersedia keluar
sebentar dan jaga jangan sampai ada orang lain masuk ke
mari!" To-su Tauw-to heran ia melengak sejenak, kemudian ia
banting-banting kakinya. "Kalian orang muda sangat aneh!" kata dia. Sambil
membawa senjata Hong-pian-san-nya. ia pergi.
Tiang Keng geli melihat pendeta itu menurut pada si nona.
Setelah pendeta itu pergi. Tiang Keng melompat turun.
"Kau benar To Tiang Keng?" kata si nona.
Tiang Keng mengangguk. "Ya." jawab Tiang Keng.
Si nona tampak berduka, ia menghela nafas. Wajahnya
lesu. Sebelum ia berkata lagi ia mengeluarkan serupa benda.
Tiang Keng tahu itulah leng-pay yang tadi berada di atas
meja. Si nona meletakkan leng-pay itu ke dekat lilin, hingga
sekarang Tiang Keng bisa melihat tegas. "Sin-cie almarhum
Ayah Beng Kong dan Ibu Thay-hu-jin"
Membaca tulisan itu hati Tiang Keng bergetar. Dia jadi
heran. "Mengapa si nona bisa mengetahui asal-usulnya?" pikir
Tiang Keng. "Barang kali sekarang ia belum tahu, siapa musuh
besarnya. Orang yang membinasakan orang tuanya, justru
gurunya sendiri..." Pada mata si nona berlinang air matanya, air mata itu turun
melalui pipinya yang putih halus. Ia tak bisa menahan
turunnya air matanya, tapi buru-buru ia susut dengan
tangannya yang putih mulus.
"Nasibku sangat malang...." Kata si nona perlahan. "Baru
kemarin aku tahu siapa ayah dan ibuku.... Hanya aku belum
mengetahui mengapa kedua orang tuaku itu meninggal
dunia...." la menangis tersedu-sedu.
Tiang Keng jadi terharu, ia ikut berduka tapi ia diam saja.
Si nona bangkit menghampiri Tiang Keng. la tetap berdiri
diam sambil mengawasi si nona. ia kasihan pada si nona.
"Nona, sebaiknya kau...." ia tak meneruskan kata-katanya,
la ingin menghibur nona itu, tapi tak bisa memilih kata-kata
yang pantas. Un Kin terus menghampiri Tiang Keng, sesampai di depan
si anak muda. ia berlutut.
"Nona... Nona..." kata Tiang Keng kaget. "Apa artinya ini?"
Ia segera melompat ke samping. Semula ia akan
mengulurkan tangannya akan mengangkat si nona supaya
bangun, tapi tak jadi. Ia tak ingin berbuat lancang. Lalu ia
membalas hormat si nona sambil berlutut.
Pada saat yang sunyi kedua muda-mudi itu berlutut
berhadapan, tapi mereka tetap diam tak bicara apa-apa. Si
nona tampak bingung, begitu pun Tiang Keng tak tahu harus
bilang apa. To-su Tauw-tu berjaga di luar sekian lama, ia tak
mendengar suara apa pun di dalam kamar itu, karena heran ia
ingin melihat ke dalam. Begitu ia melangkah dan melihat apa
yang terjadi di dalam, ia jadi keheranan dan mengawasi kedua
anak muda itu. "Dasar anak-anak muda yang aneh," pikir si imam. Ia
melangkah perlahan meninggalkan kamar itu.
Tiang Keng tetap berdiam diri. Un Kin menangis dan
matanya basah. "Aku tahu, kau pun tahu," kata si nona.
Tiang Keng melongo, ia tak mengerti apa maksud kata-kata
si nona itu "Tahu apa?" akhirnya Tiang Keng bertanya.
Si nona menyeka air matanya. Ia juga kaget mendengar
pertanyaan Tiang Keng. Ia sadar kata-katanya tadi tak karuan,
ia geli tapi tak bisa tertawa karena ia sedang berduka. Ia
hanya terisak-isak sedih.
"Aku tahu, hanya kau yang tahu mengenai meninggalnya
orang tuaku itu tapi hanya kau yang tahu siapa pembunuh
orang tuaku. Benarkah begitu?" kata si nona.
Tiang Keng heran bukan main.
"Mengapa ia tahu kalau aku tahu asal-usul orang tuanya?"
pikir Tiang Keng. Sebelum sempat menjawab pertanya an si nona, ia teringat
sesuatu. "Barangkali si nona sudah bertemu dengan si imam
berkopiah kuning?" ia menduga-duga. "Aku heran, jika si
imam sudah bertemu dan memberitahu nama orang tua si
nona. kenapa dia tak sekalian mengatakan musuh besarnya?"
0oo0 BAB 34. UN KIN MENCERITAKAN PENGALAMANNYA
BERTEMU IN HOAN Dengan mata basah. Un Kin mengawasi Tiang Keng. Ia
lihat anak muda itu diam saja. Ia terisak sedih dan berkata,
"Aku sadar, aku telah berbuat salah padamu. Aku menyesal,
berharap kelakuanku itu tak kau taruh dalam hatimu. Jika kau
mau menjelaskan padaku, aku sangat berterima kasih seumur
hidupku..." Tiang Keng menghela nafas. "Benar, Nona. Aku tahu sedikit
tentang kematian kedua orang tuamu itu," kata Tiang Keng.
"Tapi ceritanya panjang sekali. Nona. Bagaimana kau tahu
tentang orang tuamu itu. Apakah imam bernama Kho Koan Iesu
yang memberitahumu" Kecuali dia siapa orang yang
memberitahumu?" Si nona terbelalak heran. "Siapa Kho Koan
Ie-su itu?" tanya si nona. "Namanya pun baru sekarang aku
dengar!" Tiang Keng heran Tak lama ia dengar si nona berkata lagi
dengan agak sangsi. "Mengenai diriku," kata si nona. "Aku bersedia
menceritakannya padamu. Hanya aku minta kau jangan
menceritakannya lagi pada orang lain. Tadi malam aku sudah
tidur. Tiba-tiba aku mendengar ada orang mengetuk jendela
kamarku. Aku kaget. Saat itu aku tidur di kamar belakang,
sedang di kamar depan tidur para jago silat. Yang aku heran
orang itu bisa datang ke kamarku dan mengetuk jendela
kamarku. Siapa orang yang bergitu berani...."
Tiang Keng mengawasi ke arah si nona ia heran. Ia ingat
cerita nona-nona berbaju merah di atas kereta tadi. Kemudian
Tiang Keng teringat pada orang yang disebut Hoa-long Pit-ngo
oleh nona-nona itu. Semula kata-kata nona-nona itu ia anggap
lucu. sekarang ia jadi serius.
Un Kin bicara agak likat. Ia malu sendiri barang kali. Tapi ia
melanjutkan. "Aku mendongkol, dengan hati-hati kukenakan
pakaianku, perlahan-lahan aku turun dari pembaringan. Aku
tak membuka pintu atau jendela, aku pun tak menjawab
ketukan pada jendela kamar. Tapi dengan cepat aku
melompat dari jendela yang lain. Aku akan menghajar orang
yang iseng itu. Tiba di luar aku jadi melongo. Aku tak melihat
apa-apa. Tengah aku keheranan, aku dengar suara tawa di
belakangku, perlahan dan disusul dengan kata-kata bahwa dia
ada di dekatku!" . Nona Un berhenti bicara, ia menarik nafas panjang.
"Saat itu aku kaget bukan kepalang." ia melanjutkan. "Aku
kaget karena aku pikir orang ini lihay sekali. Buru-buru aku
menoleh. Setelah melihatnya hatiku jadi lega. Ternyata dia
orang Rimba Persilatan yang ilmu silatnya sangat mahir.
Pantas ia bisa masuk dengan leluasa ke kamarku. Aku kira
guruku pun tak akan mampu menyentuh sekalipun hanya
bayangannya saja!" Mendengar itu alis Tiang Keng berkerut
"Orang paling lihay di dunia Kang-ouw?" tanya Tiang Keng.
"Siapakah dia?"
Tiang Keng cuma tahu orang yang lihay itu gurunya, apa
mungkin yang dimaksudkan Un Kin itu gurunya '
'"Mungkin kau kenal pada orang itu."' kata Un Kin. "Dia Ban
Biauw Cin-kun In Hoan. Dia.."
Tubuh Tiang Keng gemetar "Ban Biauw Cin-kun In Hoan!" kata Tiang Keng terlepas
bicara. "Bukankah dia orang tua yang berkopiah imam dengan
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh tinggi besar dan kumis serta jenggot panjang pecah
lima. Dia selalu memakai jubah seorang imam?"
Un Kin mengangguk, tapi ia agaknya heran.
'Kau tak kenal dia. sebaliknya dia mengenalimu!" kata Un
Kin. Baru sekarang Tiang Keng ingat, orang berkopiah tinggi
yang mengaku bernama Kho Koan le-su itu adalah Ban Biauw
Cin-kun In Hoan. Dia salah satu musuh ayah dan ibunya.
Sekejap saja perasaan Tiang Keng jadi tak enak.
Berbagai perasaan berkecamuk di otaknya. Dia heran
mengapa imam itu bersandiwara di depannya" Sekalipun
cerdas, karena Tiang Keng masih muda ia berhasil dibuat
pusing kepala. Un Kin tak mengetahui apa yang ada di pikiran anak muda
ini Ia tak tahu masalah itu jadi sulit dan berbelit-belit.
"Ban Biauw Cin-kun kenal baik dengan guruku." kata si
nona. "Dulu ia sering datang ke mari. Tapi kemudian ia tak
pernah datang lagi. hingga aku tak pernah melihatnya lagi.
Tentang dia kuketahui dari guruku dan beliau sedang
mencarinya! tiba-tiba ia muncul, tapi bukan mencari guruku,
tapi justru dia datang menemuiku. Bukankah itu aneh sekali"
Begitu dia berhadapan denganku, ia tertawa. Kemudian dia
bertanya kepadaku. "Apakah kau tahu nama a\ah dan ibumu.
Maukah kau kuberitahu?"
Sesudah itu Un Kin menghela nafas panjang. Tak lama dia
sudah melanjutkan ceritanya
"Setelah aku dewasa, pertanyaan itu selalu ada di benakku.
Pertanyaan itu menggangguku, apakah aku sedang duduk
atau kapan saja. lak pernah sesaat pun aku melupakan
masalah itu. Sebenarnya aku curiga pada Ban Biauw Cin-kun.
namun pertanyaannya menggodaku. Itu pertanyaan yang
menusuk hatiku!" Tiang Keng berpikir keras, ia juga jadi pusing oleh masalah
si nona ini. Oleh karena itu ia diam mendengarkan saja.
Sampai si nona berhenti bicara ia tetap diam Bahkan ia lupa
saat itu mereka masih berlutut dan berhadapan mereka tak
ada yang ingat untuk bangun.....
"Aku tertarik oleh pertanyaannya itu," kata Un Kin. "Maka
aku minta agar dia memberitahuku. Tapi kembali ia tertawa.
Dia bersedia memberitahuku, asal aku mau melakukan
sesuatu untuknya. Dia minta agar aku melepaskan anak muda
yang tertangkap oleh guruku. Aku kira anak muda itu telah
berbuat salah pada guruku, jika tidak untuk apa guruku
menangkap dia sebagai murid Ban Biauw. Aku tahu Ban Biauw
lihay sekali, tapi ia takut menemui guruku. Malah dia minta
bantuanku, untuk itu dia bersedia membuka rahasia tentang
orang tuaku yang selama ini jadi rahasia bagiku. Ucapannya
menarik hatiku. Jangankan hanya melepaskan pemuda itu.
masalah yang berlipat ganda dari itu pun. aku bersedia
melakukannya. Semua demi aku bisa mengetahui tentang
kedua orang tuaku." Tiang Keng mengerutkan alisnya.
"Jadi kau telah lepaskan anak muda she Gim itu?" tanya
Tiang Keng. Un Kin mengangguk. "Benar," katanya.
"Kemudian?" kata Tiang Keng.
Un Kin membuka kedua matanya, la tahan air matanya
agar tak keluar, ia kembali menghela nafas.
"Lalu ia memberitahuku nama dan she kedua orang tuaku,
ia juga bilang kedua orang tuaku itu binasa di tangan
seseorang." kata si nona. "Aku kaget dan berduka. Aku
menyesal aku tak bisa segera menemui musuh besarku. Saat
itu muridnya mengawasiku dan sinar matanya bermaksud
buruk. Aku bersikap sabar. Lalu aku tanya siapa musuh
besarku itu?" Tiang Keng mengerutkan alisnya. Dia heran dan masgul.
"Apa ia memberitahukannya?" tanya Tiang Keng.
"Tidak!" jawab si nona.
"Mengapa ia tak memberitahumu?" tanya Tiang Keng lagi.
Kembali Un Kin menarik nafas. "Mendengar pertanyaanku
itu. dia menunjukkan wajah berduka. Justru saat itu kami
mendengar langkah kaki mendatangi. Dia kaget sekali, dia
tarik tangan muridnya, sambil berkata, sebaiknya aku
tanyakan hal ini pada To Tiang Keng! Kemudian ia kabur
bersama muridnya. Ah sungguh hebat ilmu meringankan
tubuhnya. Dia membawa orang tapi toh aku tak mampu
mengejarnya. Di samping itu aku juga kuatir guru tahu. aku
yang melepaskan anak muda itu. Dengan terpaksa aku
kembali ke kamarku. Aku berduka, bingung dan menyesal.
Aku juga penasaran sekali. Selain itu aku jadi berpikir, siapa
To Tiang Keng" Ke mana aku harus mencarinya" Kepalaku jadi
pusing. Sampai terang tanah (pagi) aku tak bisa tidur lagi."
Air mata si nona terus mengalir hingga setiap saat ia harus
menghapus dengan tangannya.
"Tadi aku bertemu dengan guruku." kata si nona
melanjutkan. "Suhu sedang gusar karena pemuda tawanannya
hilang. Aku tutup mulut. Tapi diam-diam aku membuat lengpay
orang tuaku, agar rohnya tenang... Mulutku sembahyang
tapi otakku bekerja keras. Tak habisnya aku memikirkan
musuh besarku itu Aku juga berpikir, siapa To Tiang Keng" Ke
mana aku mencarinya?"
Ia menatap ke arah si anak muda.
"Kau datang ke mari, hatiku jadi tak enak." kata si nona
lagi. "Aku tak ingin bermusuhan denganmu. Siapa sangka ...
kau justru bernama To Tiang Keng!"
Si nona berhenti bicara, kepalanya ditundukkan.
Tiang Keng mengawasi si nona. otaknya bekerja.
"Ban Biauw Cin-jin berbuat begitu. dengan demikian dia
telah mengatur siasat." pikir Tiang Keng. "Aku tahu maksud
Ban Biauw. jelas ia ingin kami bersatu untuk bersama-sama
menghadapi Un Jie Giok! Un Jie Giok benci pada Ban Biauw.
karena itu Ban Biauw ingin membunuhnya dengan tangan
orang lain. Tapi Ban Biauw licik, ia pikir aku bukan tandingan
Un Jie Giok, maka ia berupaya agar aku bergabung dengan Un
Kin. Barang kali juga dia senang jika aku bisa menyingkirkan Un
Jie Giok. Rupanya dia takut aku gagal, maka dia berjaga-jaga. Dia juga takut Un
Jie Giok tahu kalau yang membocorkan rahasia orang tua Un Kin itu dirinya. Maka
diam-diam dia suruh Un Kin menanyakan padaku. Ah sungguh licin Ban Biauw ini.
Dia mirip dengan ular berbisa dan kalajengking!"
0oo0 Biauw Cin-kun In Hoan tidak takut pada Tiang Keng. tetapi
yang dia takutkan adalah Un Jie Giok. Lalu ia membuat
rencana, la tak peduli seandainya Tiang Keng mati di tangan
Un Jie Giok. Sebenarnya dia pun berencana akan membunuh
anak muda itu. Bukankah pemuda itu pun musuhnya" Hanya
In Hoan belum tahu jelas siapa Tiang Keng sebenarnya.
Sudah biasa In Hoan membunuh orang dengan meminjam
tangan orang lain. begitu pun kali ini. Apapun hasil siasatnya
ia tak akan rugi. Tiang Keng sadar, ia jadi benci pada In Hoan. Ia anggap In
Hoan jauh lebih jahat dari Un Jie Giok.
Nona Un menghela nafas. "Semuanya telah kujelaskan padamu, sekarang tinggal kau
menjelaskan padaku. .." kala si nona.
Tiang Keng mengawasi si nona. ia lihat mata si nona
sangat memohon. Saat Tiang Keng akan memberikan
jawaban, tiba-tiba di luar terdengar suara bentakan.
"Tak peduli kau siapa, jika kau memaksa masuk, kau akan
merasakan senjataku ini!" begitu suara itu.
Itu suara To-su Tauw-to. Kedua muda-mudi itu kaget, sekarang mereka sadar
mereka sedang berhadapan sambil berlutut. Tiba-tiba
keduanya bangun hampir bersamaan. Keduanya saling
mengawasi. Mereka dengar suara ribut di luar serta suara
beradunya senjata yang sedang bertempur....
Tak ayal lagi Tiang Keng mengibaskan tangannya
memadamkan api. pelita itu jatuh ke lantai.
Un Kin diam pikirannya kacau.
"Siapa" Siapa itu?" tanya Un Kin.
Suara pertempuran makin hebat, begitu juga bentakan si
pendeta. barangkali ia sedang bertarung dengan musuh yang
tangguh. Kemudian terdengar suara tawa dingin yang disusul oleh
kata-kata nyaring dan tajam.
"Aku sudah tahu, kau bukan orang baik, pendeta. Aku tak
mengira kalau kau mata-mata musuh dan seorang
pengkhianat!" kata suara itu.
Menyusul suara bentakan itu, ada suara bentakan yang
lain. suaranya keras bagaikan suara gembreng pecah.
"Hai kalian kedua bocah, lekas keluar! Hm! Jika kalian
berpikir akan main gila di sini. kau benar-benar buta!" kata
suara itu. Tiang Keng kaget. "Barang kali orang sudah tahu kita ada di sini?" kata Tiang
Keng pada si nona. la jadi sangsi. Sebelum ia mengambil
sikap, ia dengar lagi suara keras itu.
"Di sini! Di sini. Saudara Gu. saudara Siauw, lekas! Kedua
bocah itu sudah kabur turun gunung!"
Mendengar suara itu Tiang Keng jadi bertambah heran.
"Siapa yang turun gunung?" pikir Tiang Keng. "Jadi yang
dimaksudkan orang-orang itu bukan kita berdua, lalu siapa
mereka itu?" Un Kin juga heran dan sangsi, la tahu orang-orang yang
ada di luar sana adalah orang-orang gurunya. Dia juga tahu
yang mereka kejar-kejar bukan dia dan Tiang Keng tapi orang
lain. sekarang mereka tak terlihat. Dia juga sangsi sambil
berdiri diam dan tak tahu apa dia harus keluar untuk
menyingkir atau tetap diam saja....
BAB 35. DUA MURID IN HOAN DIBURU JAGO SILAT
TANGGUH To-su Tauw-to menyaksikan Un Kin dan Tiang Keng
berlutut berhadap-hadapan. ia heran. Entah apa yang sedang
dilakukan kedua anak muda itu" Sekalipun ia sudah pergi dari
hadapan mereka, namun pikirannya tetap tergoda. Ia ingin
tahu apa yang sedang dilakukan kedua muda-mudi itu. Ia
polos dan sembrono, tapi ia juga usil. Ia tak bisa diam saja. Ia
tahu itu rahasia orang, tapi ia tak bisa diam. Saat ia berdiri di
luar di depan pintu ia jadi serba salah. Tak lama ia berjalan
hilir-mudik. Ia berharap jika kedua anak muda itu sudah
keluar, ia berharap mereka akan memberi keterangan
kepadanya. Sang waktu berjalan terus, ia juga tetap gelisah. Saat
kesabarannya telah habis, ia melihat dua bayangan orang
berkelebat masuk ke dalam ruangan itu. la tak bisa melihat
dengan tegas, maka ia gunakan hong-pian-san untuk
menghalanginya sambil membentak.
"Siapa yang berani masuk ke mari. dia harus merasakan
senjataku!" kata dia
Itulah suaranya yang pertama didengar oleh Un Kin dan
Tiang Keng. Kedua bayangan itu kaget saat mereka tahu dihadang oleh
si pendeta secara tiba-tiba. Keduanya langsung berhenti dan
mengawasinya. Sekarang mereka kelihatan jelas, yang
seorang jangkung-kurus membawa sebilah pedang, yang lain
bungkuk membawa senjata ruyung tiok-ciat kong-pian.
Mereka saling mengawasi hingga tiga pasang mata saling
pandang dekat sekali, ternyata mereka saling kenal. Kiranya
mereka adalah begal dari wilayah bagian barat sungai Tiangkang.
yaitu Cian-lie Beng-to Gu It San dan Eng Lo-sat Siauw
Tiat Hong, mereka berdua orang gagah dari See-ouw (Telaga
Barat). Mereka berlainan tempat, satu di Barat satu di Selatan,
tapi sekarang karena undangan dari Un Jie Giok mereka jadi
berkumpul bersama. Mereka berdua kenal pada si pendeta,
hanya si usilan kurang cocok dengan mereka hingga mereka
tak mau bergaul. Mereka keheranan satu sama lain.Bu-eng Lo-sat jadi tak
puas. "Ada orang lancang datang ke mari. kami sedang
mengejarnya. Mengapa Tay-su menghalangi kami?" kata Bueng
Lo-sat. To-su Tauw-to memang tak mengerti apa maksud Un Kin
menugaskan dia agar melarang orang mendekat ke kamar
itu.Tapi karena ia sudah berjanji pada si nona. maka ia harus
taat. Oleh karena itu ia tak ambil pusing, ia tetap bandel.
"Di tempat ini tak ada orang!" bentaknya bengis. "Jika kau
mencari orang, kalian cari di tempat lain!"
Gu-it San berangasan, ia tak senang atas teguran dan
hadangan si To-su Tauw-to ini. Ia mendongkol atas cacian itu.
maka ia berseru sambil mengayunkan piannya.
Melihat dirinya diserang. To-su Tauw-to tertawa.
"Kalian cari mati sendiri!" kata dia.
Memang ia senang keras lawan keras. Maka serangan
ruyung itu ia sambut dengan senjatanya yang berat.
Tak lama kedua senjata mereka beradu.
Tapi si To-su Tauw-to kaget, karena ia merasakan telapak
tangannya bergetar dan nyeri.
"Tak kusangka binatang ini kuat sekali." pikir To-su Tauwto
sejenak. Lalu ia balas menyerang dengan tipu menghajar gunung
Hoa-san. Beng-to Cian-lie pun terperanjat. Mereka terkenal
bertenaga besar, sekarang ia berhadapan dengan lawan yang
setimpal. Saat ia tahu diserang, ia jadi makin sengit. Ia tangkis
serangan To-su Tauw-to dengan keras karena itu ia
mengerahkan seluruh kekuatannya. Kembali kedua senjata
mereka bentrok hingga terpaksa mereka harus mundur sejauh
tiga langkah. To-su Tauw-to yang kuda-kudanya sudah teguh kembali
takut didahului oleh lawan, maka itu ia kembali menyerang.
Gu-it San benar-benar pemberani, ia sengaja maju
menangkis serangan itu dengan sama kerasnya. Dia
terperanjat, tangannya terasa nyeri sekali, hampir saja
sepasang ruyungnya terlepas dari tangannya.
Si pendeta pun demikian, ia rasakan tangannya nyeri juga.
Bu-eng Lo-sat mendongkol berbareng geli menyaksikan
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua orang itu bertarung secara sembrono Mereka seolah
sedang menguji tenaga masing-masing. Ia mencaci kedua
orang sembrono itu. Karena mendongkol ia maju. melompat
melewati mereka, ia masuk ke pertempuran.
Sekalipun sembrono ilmu silat To-su Tauw-to cukup baik.
Melihat orang maju hendak menerobos, ia angkat senjatanya
untuk merintanginya. Siauw Tiat Hong tak ingin adu tenaga seperti sahabatnya
tadi. Maka ia berkelit menghindari serangan si To-su Tauw-to.
lalu membarengi dengan sebuah tikaman.
Menyaksikan lawannya lihay. To-su Tauw-to Bu Kin
meladeninya dengan sungguh-sungguh. Ia gunakan ilmu
Thung Mo Jie-ie Hong-pian-san-hoat atau tongkat pembasmi
hantu la berkelahi sambil berseru. Ia menghadapi Gu-it San
yang tak segera mau mundur. Siauw liat Hong yang
menyaksikan perkelahian itu jadi heran dan curiga. Ia yakin
orang yang mereka kejar ada di dalam kamar itu. Dia juga
yakin Bu Kin, sahabat mereka akan ngotot bertahan, karena
Bu Kinberkhianat. Maka ia mencaci Bu Kin sebagai manusia
busuk. Akhirnya mereka saling mencaci hingga jadi berisik.
Caci-maki inilah yang didengar oleh Tiang Keng dan Un Kin
dari dalam kamar. To-su Tauw-to tangguh sekalipun ia dikepung berdua, ia
tak mau menyerah dan melawan terus.
Saat itu dari jauh terdengar suara ribut. Jelas itu suara
orang sedang mengejar seseorang. Mendengar di kaki gunung
ada musuh. Siauw Tiat Hong tak ingin meladeni To-su Tauwto
lebih jauh. ia gunakan akal. Begitu ia menggertak, ia
melompat mudur dan pergi. Perbuatan SiauwTiat Hong ditiru
oleh kawannya yang juga ikut pergi.
Bu Kin tertawa terbahak-bahak sambil membolak-balikan
senjatanya. "Segala kelinci tak berguna. Pergilah kalian!" kata
dia. Karena taat kepada tugasnya ia tak mengejar mereka. Un
Kin dan Tiang Keng bernafas lega.
"Mereka sudah pergi..." bisik si nona.
"Benar, mereka sudah pergi," kata Tiang Keng.
To-su Tauw-to berjalan ke ambang pintu kamar dan
masuk. "Mereka sudah kabur." katanya.
"To-su lihay!" kata Un Kin.
Ia tertawa terbahak-bahak mendengar pujian itu. Tangan
yang kanan memegang senjatanya, sedang tangan kirinya
menepuk dadanya. "Nona, kepandaianku jelek, hanya dengan mengandalkan
senjataku ini, dua orang itu bukan apa-apa bagiku!" kata si
pendeta. Tak lama terdengar ia tertawa lagi sambil menepuk
dadanya. "Nona jangan cemas, selama ada aku di sini, tak ada
orang yang bisa masuk ke mari.
Jika Nona masih ingin bicara, bteruskan saja dengan
tenang...." "Belum tentu, Tay-su..." kata Tiang Keng dingin.
To-su Tauw-to kaget. Ia jadi gusar. Kedua alisnya berdiri.
Saat ia akan bicara mendadak ia lihat kedua pasang mata
anak muda itu bersinar tajam, mereka sedang mengawasi ke
atas pintu. Tak lama dari atas pintu meluncur turun dua sosok
bayangan. Tubuh mereka ada yang gemuk dan ada yang
pendek, kedua orang itu berdiri berendeng di ambang pintu.
Mereka mengawasi secara bergantian pada ketiga orang yang
berada di dalam. Bu Kin keheranan, kedua matanya dibuka lebar-lebar.
"Sahabat, kalian ini siapa?" kata Tiang Keng. "Silakan
masuk, mari kita bicara!"
Di antara mereka bertiga Tiang Keng paling miskin
pengalaman, namun matanya sangat jeli. Saat Bu Kin tadi
bicara. Tiang Keng melihat ada dua bayangan melompat ke
atas pintu, la pikir mereka sedang kebingungan. Un Kin
melihatnya belakangan. Sekarang terlihat tegas dua orang yang masih muda berdiri
di hadapan mereka. Rupanya mereka sedang kebingungan.
Jelas mereka bukan anak buah Un Jie Giok. Un Kin ingat pada
keributan tadi. Mungkin kedua orang inilah yang dicurigai dan
kepergok, lalu dikejar-kejar serta dicari-cari.
Kedua orang itu terus mengawasinya, karena yakin. Tiang
Keng tak berniat jahat, keduanya masuk. Tiang Keng
mengawasi mereka dengan tajam.
namun kedua orang itu tak bisa melihat ke dalam kamar
yang gelap itu. Salah seorang dari mereka agak curiga, ia
menyalakan api. Sekarang mereka bisa saling mengawasi
dengan jelas. Kedua orang itu sama-sama tampan, tapi mereka kelihatan
sedang gelisah. Yang membuat Tiang Keng keheranan, kedua
orang itu berpakaian serba kuning, pakaian yang sama yang
dikenakan oleh Gim Soan. Tiang Keng sudah lupa. mereka
berdua pernah bertemu di atas gunung, yaitu saat masih kecilkecil.
Mereka datang bersama Gim Soan dan gurunya Ban
Biauw Cin-kun In Hoan. Selang sepuluh tahun, mereka telah
dewasa semua. Sebenarnya mereka turun gunung bersama Gim Soan, tapi
Gim Soan pergi ke Selatan, lalu mereka berdua berpisahan.
yang seorang ke tepi sungai besar dan yang satunya lagi ke
Se-coan dan Siam-say. Saat pesta di rumah To-pie Sin-kiam.
Souw Sie Peng pernah menyebut-nyebut, bahwa ia pernah
bertemu dengan anak muda di kaki gunung Gan-tong-san. Dia
adalah salah seorang dari mereka berdua, yaitu Tiat Tat Jin.
Kepandaian ketiga murid Ban Biauw Cin-jin ini seimbang.
Mereka tak mengecewakan menjadi murid si imam. Karena
mendengar kabar tentang pi-bu yang akan diadakan di Thianbaksan, mereka yang tertarik datang ke Thian-bak-san. Tiat
Tat Jin dan saudara seperguruannya, Cio Peng, datang
terlambat. Tapi di kota Lim-an mereka menemukan tanda
rahasia dari gurunya. Itu sebabnya mereka langsung
menyusul. Di suatu tempat yang dijanjikan, mereka bertemu
dengan gurumya. Ternyata guru mereka telah berhasil
menolong Gim Soan. Saat itu gurunya melarang mereka ikut
pertandingan di Thian-bak-san tanpa diberi tahu alasannya.
Karena Gim Soan sudah merasakan dihajar musuh, ia tak
berani membantah pesan gurunya. Tidak demikian dengan
Tiat Tat Jin dan Cio Peng, diam-diam mereka berkasak-kusuk.
"Suhu melarang kita mengambil bagian, jika kita datang
sebelum pertandingan dimulai, apa salahnya?" kata Tiat Tat
Jin. Karena kedua anak muda itu tak bisa menahan gejolak
hatinya, diam-diam mereka mendaki gunung Thian-bak-san
Mereka tak tahu kalau di atas gunung banyak orang gagah
dan ternyata mereka kepergok. Karena tak sanggup melawan
orang-orang Un Jie Giok. mereka berniat kabur. Mengapa
mereka bisa lolos, karena saat mereka tiba Tiang Keng sedang
berhadapan dengan si imam dan pendeta, serta tiga jago dari
Hay-lam. Sedangkan Tiang Keng bisa naik tanpa gangguan,
karena saat itu orang sedang sibuk menghadapi kedua
pemuda itu. Kedua pemuda ini cerdik, mereka bisa lolos dan
meninggalkan Siauw Tiat Hong dan Gu-it San, mereka terlihat
oleh Tiang Keng. Semula mereka pikir mereka tak akan bisa
lolos lagi. Maka itu mereka berniat akan bertarung matimatian.
Mereka heran ternyata Tiang Keng baik hati dan
sabar. Ia menyaksikan To-su Tauw-to juga si cantik Un Kin.
Ketika diawasi demikian tajam oleh kedua pemuda itu, Un
Kin tidak puas. Saat itu hatinya memang sedang sumpek.
Sambil mengeluarkan suara "hm" ia kibaskan tangannya,
tak ampun api di tangan salah satu pemuda itu pun padam.
Keadaan tempat itu jadi gelap seperti tadi.
Keadaan jadi sunyi, yang terdengar hanya nafas mereka
masing-masing. Mereka semua waspada karena belum tahu
apa yang ada di hadapannya. Tiat Jin dan Cio Peng diam.
mereka tak ingin menyalakan api lagi. sekalipun sebenainya
mereka sangat ingin melihat wajah Un Kin yang cantik.
Tapi tiba-tiba dari belakang Tiang Keng dan Un Kin terlihat
sinar terang., hingga membuat mereka terperanjat.
0oo0 BAB 36. UN JIE GIOK MELUMPUHKAN DUA MURID IN
HOAN Tiang Keng langsung berkelit ke samping. Ia membalikkan
tubuhnya lalu mengawasi ke arah datangnya sinar. Ia kaget,
di atas meja sudah bercokol seorang perempuan tua,
wajahnya buruk sekali, ia mengonde rambutnya dan
berpakaian serba merah. Kiranya orang itu Ang-ie Nio-nio Un
Jie Giok! Un Kin juga sudah menoleh dan melihat orang itu.
"Suhu!" kata si nona. Nona Un melompat ke depan meja.
Un Kin tak sadar kalau musuh besarnya adalah gurunya
sendiri, tapi si guru menyayangi dirinya seperti menyayangi
anaknya sendiri. To-su Tauw-to pun terperanjat. Tak ia kira si nenek bisa
muncul demikan tiba-tiba. Hanya sekejap hatinya tenteram
kembali. Ia melompat ke samping, karena tak mau mengawasi
perempuan jelek itu lama-lama.
Tiat Tat Jin dan Cio Peng terperanjat juga. mereka diam
saja. Mereka berdua keheranan, bagaimana caranya tiba-tiba
perempuan jelek itu bisa berada di antara mereka.. Tapi
mereka langsung bisa menebak, bahwa perempuan buruk itu
Un Jie Giok adanya. Mereka awasi tangan si nyonya yang
sedang memegang sebutir mutiara yang menimbulkan sinar
dan mengagetkan mereka. Di lain saat mereka sadar harus segera pergi dari tempat
itu. Mereka awasi terus si nyonya jelek itu, hati mereka gentar
bukan main. Betapa tajam sinar mata perempuan jelek yang
sejak tadi mengawasi mereka itu. Serasa mereka sulit
bernafas saat ditatap oleh si nyonya bengis itu.
Un Jie Giok duduk tak bergeming di atas meja, sinar
matanya bercahaya, kelihatan wajahnya yang buruk dan
bengis. Kedua belah pipinya menonjol bagai sepasang tanduk
ular naga yang jahat, sedang hidungnya bengkok bagaikan
paruh burung garuda. Ketika ia duduk begitu ia mirip dengan
hantu perempuan. Sesaat keadaan jadi sunyi sekali. Tiat Tat Jin dan Cio Peng
tampak jerih bukan main. diam-diam dan perlahan sekali, kaki
mereka bergerak mundur, setindak demi setindak. Mereka tak
ingin ada orang melihatnya. Tapi tiba-tiba terdengar teriakan..
"Berhenti!" bentak si nyonya.
Suara si nyonya tua bengis dan berwibawa Tat Jin dan Cio
Peng berhenti melangkah mendengar suara bentakan itu.
Ketika itu angin yang dingin berhembus masuk, mengenai
punggung, tanpa terasa mereka menggigil.
"Kalian berduakah yang lancang naik gunung dan lari kianke
mari?" tanya si nyonya tua dingin.
Mata kedua anak muda itu celingukan. Punggung mereka
terasa semakin dingin. Mereka mirip seekor tikus yang
ketakutan melihat kucing yang hendak menerkam mereka.
Suara Un Jie Giok tajam menusuk telinga. Un Kin yang
selama ini ikut dengan si nenek pun. ikut ngeri hingga
jantungnya berdebar-debar. Apalagi saat ia lihat sinar mata
gurunya. Itu sinar mata yang tak penah ia lihat sebelumnya.
Sinar mata itu mengandung kemarahan. Ia tak tahu sang guru
gusar pada orang lain atau kepadanya.
"Barangkali ia sudah tahu aku yang melepaskan Gim
Soan?" pikir si nona.
Saat nona Un sedang khawatir ia mendengar suara tawa
menyeramkan dan kata-kata ejekan, "Aku kira dengan berani
naik ke atas gunung, nyali kalian besar sekali! Kiranya nyali
kalian kecil seperti nyali tikus!"
Wajah Tat Jin dan Cio Peng berubah merah. Sejenak
mereka ingin membusungkan dada mereka, tapi entah
mengapa keberanian itu tak ada. Mulut mereka saja yang
komat-kamit tak keluar suara.
Un Jie Giok seperti menunggu jawaban, ia diam.
Akhirnya Tat Jin bisa melegakan hati dan perasaannya.
"Boan-pwee (aku yang rendah), bersama adik seperguruan
Cio Peng datang ke mari atas suruhan Guru kami....."
Tat Jin berkata begitu karena ia tahu gurunya dengan
nyonya jelek ini bersahabat dan saling kenal. Maka itu ia
berharap orang akan memandang gurunya itu...
Tapi Un Jie Giok memotong ucapan Tat Jin.
"Jadi semula kau ingin menemuiku, bukan hendak main
gila?" kata Un Jie Giok.
Kedua anak muda itu mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu siapa gurumu itu?" tanya Un Jie Giok.
Suara si nyonya tetap dingin dan matanya tetap bengis.
Kedua anak muda itu tak melihat sinar mata si nyonya tua
dan mereka tak bisa menerka hatinya. Maka legalah hati
mereka berdua. Mereka seolah mendapat harapan.
"Guru kami bernama Ban Biauw Cin-jin In Hoan. beliau
sahabat Loo-cian-pwee." jawab Tiat Tat Jin.
Dalam keadaan terjepit demikian mereka terpaksa berani
menyebutkan nama dan gelar guru mereka.
"Oh!" suara Jie Giok hampir tak terdengar. Sedang matanya
terus menatap ke arah kedua anak muda itu. Ia seolah hendak
menjajaki hati mereka berdua.
"Jadi kalian murid In Hoan ..." si nenek meneruskan. "Tak
heran.." Suaranya begitu perlahan, seolah dia sangat baik, tapi
mendadak ia melompat tangannya ia ulurkan. Tangan kanan
menyentil, dan tiba-tiba mutiara di tangannya itu melesat
menyambar ke jalan darah ciang-tay di dada Cio Peng. Di lain
saat tubuh si nyonya tua sudah berada di depan Tat Jin, serta
jari tangan kanannya menotok jalan darah ciang-tay anak
muda itu. Kedua murid In Hoan itu tidak berdaya sama sekali, mereka
tertotok dan keduanya terguling rebah di lantai. Sementara itu
Tiang Keng hanya bisa menghela nafas.
"Jika aku yang ditotoknya. apakah aku bisa mengelak?"
pikir Tiang Keng. Sebelum pertanyaan di otaknya terjawab, mutiara yang tadi
mengenai Cio Peng bergulir ke kakinya, la membungkuk, dan
menjemput mutiara itu. Kemudian ia menunggu serangan si
nyonya tua agar ia tahu jawaban yang ada di otaknya itu.
Tapi Un Jie Giok tidak menyerangnya. Ketika mutiara itu
sudah berada di tangan Tiang Keng. Un Jie Giok pun sudah
kembali ke atas meja dan duduk lagi seperti tadi.
Mau tak mau Tiang Keng jadi melengak. Saat menoleh ke
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arah Un Kin. ia lihat si nona sedang mendelong di sisi meja.
matanya mengawasi ke bawah.
Kemudian Tiang Keng melirik ke arah To-su Tauw-to yang
berdiri diam di pinggiran tembok, matanya sedang mengawasi
Un Jie Giok. Agaknya dia keheranan.
'"Aku yakin pendeta ini baru pertama kali ini melihat
kepandaian Un Jie Giok"!" pikir Tiang Keng.
Tak lama ia melirik Tat Jin dan Cio Peng. Tubuh mereka
diam tak bergerak. Keduanya mirip dua sosok mayat yang
sudah kaku. Tiang Keng menghela nafas lagi. ia perhatikan
mutiara yang ada di tangannya. Itu sebutir mutiara yang
indah... Sekarang Tiang Keng tak banyak berpikir lagi, ia hanya
melangkah ke arah meja untuk meletakan mutiara itu di atas
meja. dekat kaki si nyonya tua. Ia menahan hati untuk tidak
mengawasi nyonya tua buruk itu. Tapi tak terasa ia angkat
juga kepalanya. Ia kaget ternyata nyonya tua itu pun sedang
mengawasi dia. Perempuan jelek yang ada di depannya ini. musuh
besarnya. Tapi aneh sekarang Tiang Keng jadi tak menentu
pikirannya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Lalu ia
ingat janjinya pada Un Jie Giok. Kemudian ia batuk sekali dan
menoleh ke arah lain. "Ternyata kau juga datang ke mari! Bagus!"kata si nyonya
tua. Ia bicara seolah baru tahu anak muda itu ada di antara
mereka.... Tiang Keng diam saja. seolah-olah ia tak mendengar katakata
nyonya tua itu. "Bu Kin Tay-su." kata Un Jie Giok. "Aku dengar ilmu silat
Siauwlim-pay hanya bagian luar saja. Aku kira ucapan itu
hanya untuk mengelabui orang saja! Apa benar begitu?"
To-su Tauw-to melengak. Ia tak mengerti pertanyaan
nyonya itu. Tapi ia jujur, ia lalu berkata, "Benar, itu memang
kata-kata untuk mengelabuhi orang. Partai Siauw-lim-pay
sejak didirikan oleh Tatmo Couw-su sampai sekarang..."
Un Jie Giok memotong kata-kata orang sambil tersenyum.
"Partai Siauw-lim terkenal di kolong langit, mengenai
riwayatnya aku sudah mengetahuinya."
To-su Tauw-to diam. " Tay-su. kau bertubuh sehat dan kekar, sekali lihat saja
orang sudah tahu bahwa ilmu silat bagian luarmu telah
sempurna benar. Ilmu silat Siauw-lim-pay punya dua bagian,
luar dan dalam, karena ilmu luarmu mahir sekali, maka ilmu
tenaga dalamnya pun pasti tidak berbeda jauh. Benarkah
ucapanku itu?" Mendengar pertanyaan Un Jie Giok itu. bukan hanya si
pendeta tapi Tiang Keng dan Un Kin keheranan. Ternyata Cio
Peng dan Tat Jin yang sekarang tak berdaya pun jadi heran
dan merasa aneh. "Aku belajar sejak masih muda, aku..." kata si pendeta, tapi
langsung dipotong oleh Un Jie Giok.
"Sudah! Tak perlu Tay-su menceritakannya, aku sudah
tahu." kata Jie Giok. "Ilmu silat bagian dalammu pasti tak ada
celanya. Oleh karena itu aku yakin kau pun mengenal ilmu
totok. Benar bukan?"
Aneh sekali sikap nyonya ini. ia bertanya pada si pendeta,
tapi ia selalu menyelak dan memotong pembicaraan orang.
Hingga dengan demikian si pendeta hanya menyahut. "Oh!"
serta mengangguk saja. "Sekarang, coba Tay-su totok pemuda yang berada di
sebelah kiri, agar ia bebas dari totokanku. Aku yakin Tay-su
bisa melakukannya. Benar, bukan?"
Kembali pendeta ini melengak. la benar-benar tak mengerti
sedang main sandiwara apa. Si pendeta meletakkan
senjatanya di tembok, ia melangkah menghampiri Tiat Tal Jin.
Ia membangunkannya dengan menggunakan telapak
tangannya yang besar untuk menepuk sekali, disusul dengan
dua kali totokan di sisi pinggang pemuda itu.
Siauw-lim-pay terkenal ilmu silat luar (Gwa-kang) dan
dalam (Nui-kangnya). Si pendeta bisa membuktikannya. Ia
bisa membebaskan Tat Jin yang tubuhnya ia dorong beberapa
langkah, ia langsung berjalan menuju ke pinggir tembok. Ia
kelihatan tak puas terhadap pemuda yang lemah itu.
Tat Jin berjalan dua langkah, tapi tiba-tiba ia jadi limbung.
Ketika sudah berdiri kembali, mendadak ia muntah reak
kental, lalu ia menoleh, mengawasi ke arah Un Jie Giok sambil
melongo. Akirnya ia menunduk, sambil berpikir karena heran.
"Aneh perempuan jelek ini. dia yang menotokku. mengapa
orang lain yang ia suruh membebaskan aku" Mau apa dia
sebenarnya?" pikir Tat Jin.
BAB 37. UN JIE GIOK BERNIAT MERACUNI IN HOAN
LEWAT KEDUA MURIDNYA Mata tajam dari si perempuan jelek mengawasi ke arah Tiat
Tat Jin. Ia kelihatan seperti seorang pemburu yang puas pada
hasil buruannya. Tak lama sambil tertawa dingin, dia tanya
Tat Jin, "Pasti kau tahu ilmu totok dan cara
membebaskannya?" Tat Jin menunduk tidak menjawab.
Un Jie Giok seolah tak butuh jawaban Tat Jin, kembali ia
tertawa dingin lalu ia berkata lagi, "Tikus kecil yang sedang
rebah itu pasti adik seperguruanmu, bukan?"
Hati Tiat Tat Jin panas bukan main atas kata-kata itu, ia
angkat kepalanya. Baru saja ia menengadah sedikit lalu ia
menunduk kembali. Un Jie Giok berkata lagi. "Sekarang kau boleh pergi, dan
kau angkat adik seperguruanmu itu! Totok dan bebaskan dia!"
kata Un Jie Giok. Tiat Tat Jin agak ragu-ragu. Tapi tak lama, ia memutar
tubuhnya dan menghampiri adik seperguruannya. Ia berbuat
seperti To-su Tauw-to, ia mengangkat tubuh adik
seperguruannya itu. lalu ia totok, ia menotok dengan lebih
cepat dari si pendeta. Cio Peng pun bebas dari totokan itu.
Un Jie Giok mengeluarkan suara dingin, ia tak menoleh
atau menghiraukan kedua pemuda itu. Tiat Tat Jin dan Cio
Peng berdiri mematung, mereka tak tahu apakah mereka
harus pergi atau diam saja di situ. Mata mereka saling
mengawasi, mereka sama-sama ingin tahu apa yang
diinginkan oleh si hantu perempuan jelek itu. Mereka pun
sama-sama tidak berdaya. Sesaat suasana tempat itu sunyi. Mereka sama-sama ingin
tahu langkah apa yang akan dilakukan oleh Un Jie Giok
selanjutnya. Tiang Keng diam saja. ia merasa kasihan kepada
kedua pemuda berbaju kuning itu. Akhirnya Un Jie Giok
bicara, tapi ia bicara seperti pada dirinya sendiri.
"Ada yang berani kurang ajar padaku, tapi mereka tak bisa
hidup lama, tubuhnya berlumuran darah. Ada yang beruntung,
mereka masih punya waktu 49 jam untuk mengurus sesuatu
walau akhirnya mati juga. .. Atau jika mereka cerdas, mereka
bisa tidak harus mati.."
Semua orang melengak mendengar kata-kata Un Jie Giok
ini. Aneh kata-kata hantu perempuan itu. Tiang Keng pun jadi
tak sabaran. "Apa maksudmu?" kata Tiang Keng dengan suara dalam.
Sepasang mata Un Jie Giok bersinar, ia mengawasi kedua
anak muda itu. "Apa kau pernah mendengar ilmu silat yang katanya telah
lenyap dari kalangan Kang-ouw, namanya ilmu Cit Ciat Tiong
Ciu." kata dia dengan dingin.
Tiang Keng gemetar karena kaget, ia mengawasi ke arah
To-su Tauw-to yang ia lihat juga kaget. Wajahnya pucat-pasi,
begitu pun Cio Peng dan Tiat Tat Jin. kini wajahnya seperti
mayat "Jika dia terkena ilmu itu." kata Jie Giok dengan suara
dingin. 'Dia bisa tak segera mati, bahkan tak ada perubahan
pada tubuhnya, sebab kelihatannya seperti biasa saja, tapi
lewat 49 jam, ia roboh muntah darah dan binasa.
Kematiannya sangat tersiksa! Sekalipun dewa. ia tak akan
tahan penderitaan itu....."
Mata Jie Giok menyapu ke semua orang, lalu ia
meneruskan dengan suara perlahan, "Orang yang terkena
pukulan ini. sekalipun ada yang menolong membebaskan jalan
darahnya, ia tak akan tahu dan merasa bahwa dia telah
menjadi korban, kecuali jika dia meraba dan menekan tulang
di belakang lehernya, tulang ketujuh di punggung dan jalan
darah di kedua iganya dan kedua lututnya. Dengan
demikian.." la bicara perlahan, akan tetapi tubuh Tiat Tat Jin tiba-tiba
gemetar. Kedua pemuda itu jadi ketakutan sekali. Tanpa
merasa mereka meraba bagian-bagian yang disebutkan oleh
Un Jie Giok tadi. Bukan main kagetnya mereka karena mereka
pernah mendengar kedasyatan pukulan Cit Ciat Tiong Ciu atau
Tangan Berat Memotong Tujuh. Dan setelah meraba
tubuhnya, mereka merasakan sedikit nyeri pada tulang
punggung mereka, juga pada enam jalan-darah yang lain.
Artinya pukulan itu telah memutus jalan darah mereka. Kedua
murid In Hoan ini baru sadar dan tak ada orang yang mampu
menyembuhkan orang yang tekena pukulan itu..
Sinar mata perempuan tua yang tajam masih memancar ke
arah mereka. Perempuan tua itu tersenyum menyeramkan.
Tiba-tiba Cio Peng berlutut.. "Aku... aku minta ampun.
"terdengar Cio Peng berkata.
"Rupanya kau anak yang cerdik." kata Un Jie Giok.
Kepala Cio Peng tunduk, ia masih muda, ia tak mau mati.
Maka ia pun tanpa malu-malu minta ampun. Sebenarnya
permintaan yang memalukan sekali, tapi dilakukannya karena
ia pikir lebih baik terhina daripada binasa.
Tiang Keng menoleh ke arah lain la anggap perbuatan Cio
Peng itu rendah sekali, sekalipun sebenarnya ia merasa
kasihan. Jika ia berhadapan dengan orang lain, atau di tempat
lain. mungkin ia akan mengulurkan tangan untuk menolong...
Sekarang, ia hanya bisa menghela nafas. Ia tak berdaya. Jika
ia bisapun. belum tentu ia membantunya..
Kembali ia mendengar suara gabrukan, ia tak menoleh
karena ia tahu itu pasti Tiat Tat Jin yang belutut untuk minta
ampun seperti Cio Peng pada Un Jie Giok.
Tak lama terdengar suara dingin dari Un Jie Giok.
"Kiranya kau juga cerdik!" kata Un Jie Giok. "Kau tahu mati
itu tak enak!" Terdengar To-su Tauw-to menghela nafas, sepasang
alisnya berkerut, ia ambil senjatanya, lalu berjalan keluar
ruangan. Ia tidak menoleh lagi. Ia jemu menyaksikan kejadian
itu. Ia tak mau mati, tetapi ia tak mau dihina.
Un Jie Giok tertawa perlahan, tangannya merogoh ke
sakunya. Ia mengeluarkan bungkusan berwarna merah dadu
kecil, bungkusan itu dia lemparkan ke lantai ke arah kedua
anak muda itu. "Itu obatnya, tak berwarna dan berbau juga tak ada
rasanya." kata dia. "Kalian boleh mencampurnya dengan arak
atau air, terserah kalian, sesuka kalian! Jika obat ini diberikan
oleh seorang murid pada gurunya, maka guru itu tak akan
merasakan sesuatu, dia tak akan tahu apa-apa...." Un Jie Giok
tertawa. "Nah, apa kalian sudah tahu maksudku?"
Tubuh kedua pemuda itu gemetar semakin hebat.
Mata mereka mengawasi ke arah bungkusan obat itu, hati
mereka berguncang keras. Hidup! Hidup itu indah, maka harus disayangi.
Hati mereka masih memukul keras, mereka harus memilih,
jiwa mereka atau nyawa guru mereka!
Si lemah tetap lemah, pengecut tetap penakut, hingga Ban
Biauw Cin-jin In Hoan harus menyesal karena saat ia
mengambil murid dan mendidiknya, ia telah bersikap keras
dan kejam. Dia seperti tak menghiraukan jiwa orang lain.
Tat Jin dan Cio Peng mengulur tangan mereka. Tat Jin
yang lebih dahulu berhasil menyentuh bungkusan kecil
berwarna merah dadu itu. Tangan Tat Jin gemetar keras. Lalu
bungkusan itu ia serahkan pada adik seperguruannya. Dia
letakkan bungkusan itu ke tangan Cio Peng....
Un Jie Giok tertawa keras dengan suara dingin.
"Aku tahu kalian semuanya cerdas." kata Un Jie Giok.
"Memang ada orang yang cerdas karena bakatnya, dia bawa
bungkusan obat itu. dalam waktu dua belas jam dia sudah
berhasil membuat obat itu masuk ke dalam perut gurunya. Dia
tak tahu cara apa yang dia gunakan. Demikian juga dengan
kalian, maka dengan demikian kalian akan berhasil merampas
kembali nyawamu!" Tak lama Jie Giok tertawa lagi. wajahnya berubah.
"Sekarang lekas kalian pergi!" kata Jie Giok.
Ia kibaskan lengan bajunya hingga terlihat tangannya yang
kurus kering. "Lekas pergi!" bentaknya.
Kembali Jie Giok tertawa menyeramkan.
Tat Jin dan Cio Peng terkejut. Mereka sangat ketakutan,
mereka mirip dengan dua ekor kelinci, mereka melompat
bangun, lalu mereka memutar tubuh dan lari keluar ruangan.
Dalam sekejap mereka sudah lenyap di balik kegelapan
malam. "Hm!" kembali terdengar suara si jelek. "Hm! Manusia
cerdas!" Tapi tiba-tiba ia menoleh ke arah Un Kin. Sambil
mengawasi, ia berkata. "Anak Kin, kau ikuti mereka! Kau
perhatikan ke mana perginya dua anak yang lemah dan
pengecut itu! Kau bisa?"
Aneh Un Jie Giok ini. la menyuruh Un Kin. tapi ia juga ingin
minta persetujuannya dulu. Tetapi ia juga tak bersedia
memberikan kesempatan orang untuk memilih....
Un Kin agak sangsi. Kedua matanya yang sayu memandang
ke arah leng-pay dan wajah Tiang Keng.
"Ya. Suhu." sahut Un Kin. "Aku.."
Dari wajah Jie Giok yang bengis tersungging sebuah
senyuman. Ia tertawa. "Segera kau pergi!" kata dia. "Sekalipun ilmu meringankan
tubuhmu lebih baik dari mereka, kau harus segera pergi
mengejarnya. Masalah di sini kau tinggalkan saja sebentar!"
"Ya!" kata Un Kin.
la berlari ke luar ruangan. Di ambang pintu mendadak ia
berhenti, menoleh ke arah Tiang Keng dan berkata. "'Kau
jangan pergi, tunggu aku!" kata Un Kin.
Suaranya lenyap bersamaan dengan tubuhnya yang juga
lenyap di balik pintu dalam kegelapan malam.
Tiang Keng hanya bisa mengawasi dengan melongo la
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keheranan. Walaupun ia ingin mengatakan Un Jie Giok adalah
musuh besarnya pada Un Kin. namun ia tak bisa.....
Ketika anak muda itu memperhatikan ke arah Un Jie Giok.
ia lihat tubuh Jie Giok yang tadi duduk tegak di atas meja.
sekarang jadi bungkuk. Ketika ia memperhatikan sinar
matanya, kembali ia keheranan. Ia lihat itu sinar mata yang
mengasihi, sayang, seperti sinar mata cinta seorang isteri
kepada suaminya, atau sinar mata sayang dari seorang ibu
pada anaknya. Saat Tiang Keng berdiri diam. Jie Giok berkata dengan
perlahan. "Kau bukan seorang yang cerdas!" kata Jie Giok suaranya
berat dan dingin. Bukan menjawab Tiang Keng malah bertanya.
"Kau dari mana'.'" tanya Tiang Keng. Nyonya tua itu
tertawa dingin. "Ada orang yang karena urusan orang yang
dicintainya, ia sering mendapat masalah yang mendukakan
hatinya." kata Jie Giok. "Seumur hidupku belum pernah aku
menguping pembicaraan orang lain. akan tetapi..."
la tertawa, sedangkan tangannya menunjuk ke atas.
Tiang Keng mengikuti arah tangan Jie Giok yang menunjuk
ke atas. ternyata di atas genting terdapat sebuah lubang.
Hingga ia sadar dan tahu mengapa Un Jie Giok bisa tiba-tiba
muncul dari situ "Jadi kau sudah tahu semuanya?" kata Tiang Keng.
Un Jie Giok mengangguk "Semua telah kudengar." kata dia.
"Ya. aku sudah tahu semuanya!"
la menarik dan menekuk tanganny a. lalu merogoh ke
dalam sakunya. Ketika tangan itu dikeluarkan, sekarang di
tangannya itu tergenggam sebuah bumbung kecil yang
mengeluarkan sinar keemasan.
"Ini alat melepas jamin Ngo ln Hong Jit Touw Kut Ciam,"
kata Jie Giok bengis luar biasa. "Sudah lama kubidikkan alat ini
ke arahmu! Jika kau ucapkan sebuah kata.. Hm! Maka jarum
rahasia ini akan terbenam di ulu hatimu!"
Jantung Tiang Keng berdebar. Nama senjata rahasia itu :
Ngo In Hong Jit Touw Kut Ciam yang artinya jarum panas
seperti teriknya matahari yang tembus ke ulu hati!
Tiang Keng heran bukan main. Heran karena si nyonya
memiliki ilmu menotok Cit Ciat Tiong Ciu yang sudah lama tak
beredar lagi di kalangan Kang-ouw, kiranya sekarang dia juga
pandai menggunakan senjata rahasia beracun dan lebih lihay
lagi. Tetapi Tiang Keng sedikitpun tak takut.
"Jarakmu itu pun tak akan bisa berbuat banyak
terhadapku!" kata Tiang Keng dengan gagah.
Sinar mata Un Jie Giok memain. Mendadak ia tertawa
terbahak-bahak. "Kau benar-benar bukan manusia cerdas!" kata dia nyaring.
"Apakah kau belum sadar bahwa aku akan membunuhmu?"
Ia tertawa lagi, setelah behenti ia berkata. "Aku hendak
membunuhmu tapi kau tak segera pergi!"
Tiang Keng membusungkan dadanya, ia tertawa dingin.
"Aku tahu tak mudah kau bisa membunuhku!" kata Tiang
Keng menantang. Sinar mata si nyonya tua berkelebat.
"Bagaimanapun aku akan membunuhmu!" katanya.
"Sekalipun kau akan pergi, tapi kurasa waktunya sudah
terlambat! Sesudah kau kubunuh bersama ln Hoan. maka di
dunia ini tak ada lagi orang yang mengetahui rahasia ini! Maka
untuk selamanya Anak Kin jadi milikku!"
Perlahan-lahan ia menunduk wajahnya jadi kelihatan lebih
tua. "Untuk selamanya Un Kin akan jadi milikku!" kata dia lagi.
"Sampai aku mati, tak ada orang bisa merampasnya! Ya. tak
akan ada orang lain!?"
Ia awasi bungkusan berwarna keemasan itu. ia permainkan
di tangannya. "Kau bukan orang yang cerdas! Bukan orang cerdas!
Seharusnya kau pergi sejak tadi!"
Tiba-tiba Tiang Keng tertawa dengan suara nyaring.
"Rahasia yang kau katakan selamanya tak ada orang yang
tahu"!" kata Tiang Keng dengan suara keras, la lalu tertawa
lagi. "Ketahui olehmu di dunia ini tak ada rahasia yang benarbenar
rahasia! Kecuali...."
Un Jie Giok membentak sebelum Tiang Keng menyelesaikan
kata-katanya. "Kecuali kau kubunuh!" kata Jie Giok.
Mendadak ia mengibaskan lengan bajunya, ia melompat
bangun dari atas meja. Tiang Keng segera melihat sesuatu
yang mirip dengan mega berwarna merah melayang ke arah
kepalanya. Ia sadar pada ancaman bahaya maut, segera ia
mendek. kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong
dengan keras sekali. Hebat dorongan itu, sampai mutiara jatuh ke lantai dan
tubuh Jie Giok pun terdorong mundur.
Sedetik kemudian nyonya tua itu sudah maju lagi, sambil
tertawa ia berkata. "Aku tahu kepandaianmu berapa tinggi"
Melawanku, kau tak akan sanggup bertahan sampai limapuluh
jurus! Saat itu aku yakin si Kin belum kembali! Ha... ha... ha!
Aku tak perlu menggunakan senjata rahasiaku untuk
membunuhmu! Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri,
agar selamanya tak ada orang yang tahu rahasiaku. Ya
selamanya!" Sekali lagi si nyonya tertawa. Suara tawanya
membangkitkan bulu roma. Suara tawanya itu ditutup oleh
sebuah serangan hebat. Tiang Keng sudah siaga, ia melawan.
Luar biasa gesitnya Un Jie Giok menyerang Tiang Keng
secara beruntun sebanyak lima kali. Semua serangannya
sangat berbahaya, tapi Tiang Keng yang senantiasa waspada
bisa mengatasi serangan Un Jie Giok ini. Tapi saking gusar
Tiang Keng pun membalas dengan lims serangan hebat ke
arah Jie Giok. Kiranya ia jadi nekad, ia tak merasa takut atau
gentar. Bahkan ia tak berniat kabur atau menghindar, la
menyerang ngan hebat sekali. Suara angin serangan mereka
terdengar menderu-deru. Ketika sudah lewat sepuluh jurus. Jie Giok jadi gelisah
sendiri. Jangankan berhasil membunuh Tiang Keng. untuk
menang di atas angin saja sudah sangat sulit Wajahnya
berubah jadi merah-padam dan pucar-pasi disebabkan panas
sekali hatinya juga bingung.
Tiang Keng memang kalah pengalaman dan kurang latihan,
tetapi tingkat kepandaian mereka setingkat dan tak berbeda
jauh. Maka dengan Tiang Keng melawan mati-matian
setengah nekad. ia bisa bertahan menghadapi si hantu
perempuan. Bagaimanapun, saat pertama kali pertarungan, ia
telah memperoleh sedikit pengalaman.
0oo0 BAB 38. UN KIN MENGETAHUI RAHASIA BESAR YANG
DIPENDAM UN JIE GIOK Un Jie Giok bergerak dengan cepat dan berat. Setiap
serangannya dibarengi dengan tenaga yang keras. Mau tak
mau Tiang Keng pun harus mengeluarkan tenaga, hingga
Tiang Keng sangsi apakah ia mampu menghadapi lawan yang
tangguh ini sampai seratus jurus.
Meja tempat sembahyang dan yang tadi dipakai duduk oleh
Un Jie Giok telah roboh akibat tendangan si nyonya tua bengis
dan bertenaga besar itu. Tiang Keng sadar tanpa senjata ia
akan kewalahan. Suatu ketika Tiang Keng berhasil menyambar
salah satu kaki meja yang berantakan itu. Saat serangan L'n
Jie Giok tiba. kaki meja itu ia gunakan sebagai senjata untuk
menangkis. Ia pegang kaki meja itu dengan tangan kirinya,
maka tangan kanannya bisa setiap saat menotok ke arah Jie
Giok Malah tangan kanannya itu menyambar ke kepala si
nyonya tua. Jie Giok bergerak mendek sambil berseru dan mundur.
Kesempatan ini digunakan oleh Tiang Keng untuk
menyerang Jie Giok dengan kaki meja di tangan kirinya. Dia
gunakan kaki meja itu seperti pedang dan dengan sebelah
kakinya, ia menendang. Maka dalam gebrakan itu ia telah
menggunakan empat macam pukulan. Sungguh hebat kaki
meja yang bergerak seperti pedang itu.
Sekalipun Un Jie Giok terancam serangan lawan, namun ia
tetap tenang dan tak ciut hatinya. Ia tertawa nyaring dan
tajam, sedang tubuhnya bergerak dengan cepat. Dengan
tangan kirinya dia mencoba merampas kaki meja yang ada di
tangan kiri Tiang Keng. Dengan demikian ia menggunakan
ilmu silat tangan kosong melawan senjata Tiang Keng harus
waspada, sedikit ayal. maka kaki meja akan terampas oleh
lawan. Un Jie Giok menggunakan tangan kanan untuk menotok
Tiang Keng. Sebagai alat totok ia gunakan bumbung kecil di
tangannya. Bumbung itu berkilauan keemasan hingga
menyilaukan mata Tiang Keng.
Demikian mereka bertarung hebat, menguji kepandaian
dan tenaganya. Kedua lawan memiliki keistimewaan masingKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
masing. Yang satu masih muda dan gagah, sedang lawannya
sekalipun sudah tua tapi gesit dan berpengalaman.
Tiang Keng melayani dengan setiap saat ia harus
mengerahkan tenaga dalamnya. Hal itu penting agar ia bisa
tetap bertahan. Ia kalah latihan, tapi ia murid seorang ahli
silat ternama, maka ia keluarkan seluruh kepandaiannya.
Demikian hebatnya pertarungan itu. tanpa terasa sudah
seratus sepuluh jurus telah mereka lewati. Saat Tiang Keng
ingat ia tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan nyaring.
"Hanya dalam lima puluh jurus kau akan membunuhku!
Tapi, hm aku khawatir... "
Sebelum Tiang Keng tutup mulut, ia lihat Un Jie Giok sudah
melompat ke arah kaki meja. Tiang Keng kaget! Jika kaki meja
itu berhasil dirampas musuh, setiap saat dia bisa ditotok oleh
bumbung lawan yang lihay. Karena ia tak sempat berkelit, ia
lalu menangkis dengan keras.
Dua senjata beradu keras sekali, tangan Tiang Keng
bergetar. Bumbung menekan, terpaksa Tiang Keng bertahan.
Ia rasakan tenaga Jie Giok kuat sekali. Untuk memperkuat
kuda-kudanya. Tiang Keng berseru, ia mengempos
semangatnya. Mutiara yang menggelinding sudah sampai ke depan pintu.
Tiang Keng mencoba tetap bertahan.Saat itu ia rasakan
dorongan yang semakin kuat dan bertambah kuat saja.
Datangnya serangan itu bagaikan bergelombang, yang satu
punah, datang yang lain. Saat demikian sekalipun ia berpikir
akan menghunus pedangnya, ia tak punya kesempatan lagi.
Saat ia perhatikan wajah si hantu perempuan itu, wajah itu
tampak kejam dan bengis sekali.
Mendadak Un Jie Giok tertawa
"Aku takut kau bukan orang yang cerdas!" kata dia. "Jika
kau sudah mati, maka rahasiaku tak akan ada orang yang
tahu! Untuk selamanya Un Kin akan jadi milikku!"
Jantung Tiang Keng bergetar. Tak disadarinya peluh telah
mengucur deras. Diam-diam Tiang Keng menghela nafas.
Jelas ia tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi Tiang
Keng pantang menyerah, ia masih ingin mncoba kekuatannya
yang terakhir. Tapi.. Mendadak sebuah tubuh berkelebat di pintu, bagaikan
bayangan tubuh orang itu menghampiri. Dia seorang yang
mengenakan pakaian berkabung dan rambut terurai.
Wajahnya pucat, tapi sepasang matanya bersinar. Mula-mula
ia menghela nafas panjang, lalu berkata dingin.
"Tak perlu kau bunuh dia. rahasia itu telah kuketahui!"
katanya. Baik Tiang Keng maupun Un Jie Giok kaget. Masing-masing
melompat mundur. Keduanya berpaling ke arah pintu. Di sana
berdiri nona Un Kin. cahaya mutiara menyinari wajahnya yang
pucat. Un Jie Giok menggigil, dia mundur lima langkah, lalu dia
sandarkan tubuhnya ke tembok. Sambil mengulur tangannya
yang kurus kering dan suara sember karena gemetar, dia
bertanya. "Kau... Kau... Mengapa kau sudah kembali?"
Un Kin mengawasi dengan wajah tanpa perasaan. Ia
angkat kakinya hendak melangkah masuk ke ruangan.
la membungkuk, untuk memungut leng-pay yang
menggeletak di lantai. Kemudian leng-pay itu ia rangkul, ia
berdiri tegak dan matanya memandang tajam ke arah
gurunya, sedang dari mulutnya terdengar suara dingin,
sepatah demi sepatah. "Ayahku telah kau bunuh, benar atau tidak!" kata Un Kin.
Kata-kata itu tajam menusuk ke hati Un Jie Giok, hingga
tiba-tiba tubuhnya menggigil. Tanpa merasa ia mundur ke
pojokan. Un Kin terus menatap dengan tajam.
"Aku sudah tahu ayahku kau yang membunuhnya." kata si
nona. "Benar. Tidak " Katakan benar tidak?"
Sambil berkata si nona melangkah mendekati si nyonya tua
perlahan-lahan. Tiang Keng menyeka peluh di dahinya, ia sadar telapak
tangannya pun telah berpeluh. Hatinya goncang. Itu adalah
saat-saat berbahaya bagi Un Kin.
Makin lama nona Un makin dekat pada gurunya.
"Berhenti!" tiba-tiba Un Jie Giok membentak nyaring.
Un Kin kaget, ia menghentikan langkahnya.
Setelah membentak Un Jie Giok menghela nafas, kemudian
ia menunduk."Ya, aku yang membunuh ayahmu." kata dia
perlahan. "Aku yang membunuhnya...."
Un Kin meraba rambutnya yang bagus, tiba-tiba ia
melompat sambil tertawa nyaring seperti orang kalap.
"Kau membunuh Ayahku!" kata Un Kin. "Ya. kau bunuh
Ayahku! Juga kau bunuh Ibuku." Un Kin tertawa hanya kali ini
tawanya sedih. Tiang Keng merasa tangannya dingin. Suara tawa itu
menusuk hati sangat tajam.
Un Kin mulai melangkah lagi.
"Ibuku juga kau yang membunuhnya, kan?" kata si nona.
air matanya meleleh deras.
"Benar tidak?" ia menegaskan.
Ia melangkah maju. langkahnya berat, setiap langkah
begitu berat seolah seperti godam ribuan kati yang siap
menimpa jantung Un Jie Giok....
Perempuan jelek itu terus bersandar di tembok sambil
Dendam Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggigil. "Jangan mendekat padaku!" Jie Giok membentak.
Tangannya ia tudingkan. "Jangan mendekat, kau tahu tidak.
Jangan kau paksa aku membunuhmu! Jangan kau paksa aku
membunuhmu!" Un Kin tertawa dengan suara sedih.
"Kau hendak membunuhku?" kata Un Kin sambil tertawa.
"Memang lebih baik kau bunuh aku! Kau toh sudah
membunuh Ayah dan Ibuku..
Tapi kata-kata Un Kin itu dipotong oleh suara tawa Un Jie
Giok, tubuhnya mencelat ke arah pintu. Kemudian terdengar
kata-katanya yang tajam. "Aku telah membunuh ibumu! Ha... haa! Aku telah
membunuh ibumu!" kata Jie Giok.
Tiang Keng terkejut sejenak, ia tak melihat si nyonya tua
karena sudah menghilang di balik pintu. Hanya dari kejauhan
masih terdengar suara tawa dan kata-katanya yang ia ulangulang.
"Aku telah membunuh ibumu! Aku telah membunuh
ibumu!" begitu ia berteriak-teriak seperti orang edan.
Dalam sekejap ruangan itu jadi sunyi, yang terdengar
hanyalah nafas Tiang Keng dan Un Kin berdua.
Un Kin berdiri mematung, ia seolah kehilangan sukma. Saat
ia sadar tubuhnya gemetar, kemudian ia menangis tersedusedu.
la tak bisa berbuat apa-apa, karena ia tak kuat melawan
kesedihan hatinya, maka ia menumpahkan semua derita itu ke
dalam tangisnya.... Tiang Keng lihat tubuh Un Kin terhuyung, ia terkejut dan
lupa segalanya. Tak ia sadari ia menubruk dan menyambar
pinggang Un Kin, agar nona itu tidak sampai terjatuh ke lantai.
"Nona!" ia berteriak. "Kau kenapa. Nona?"
Un Kin diam saja dia hanya terisak. Bukan main susah
hatinya. Di luar dugaan dia ternyata gurunyalah musuh
besarnya, orang yang membunuh orang tuanya! Bertahuntahun
ia dirawat oleh gurunya itu dengan penuh kasih-sayang.
tapi ternyata.. "Lalu bagaimana aku sekarang?" kata si nona. "Ayah. Ibu
mengapa kalian tak memberi kesempatan agar aku bisa
melihat wajah kalian!"
Ia terisak, karena saat itu ia tak melihat wajah kedua orang
tuanya, kecuali dalam khayalan. Sedang wajah Un Jie Giok tak
pernah hilang dari matanya.
"Ah. mengapa nasibku begini buruk?" Un Kin mengeluh.
Tanpa terasa nona ini menangis, air matanya membasahi
tubuh Tiang Keng. Tiang Keng tidak berani bergeser, ia tak tega menggeser
tubuh si nona. la tetap merangkul si nona. ia biarkan si nona
menangis maupun melamun dalam pelukannya.
Tak berapa lama kemudian dari luar sudah tampak cahaya
terang meskipun masih samar-samar. Sang fajar sudah
merayap mendatangi, bersamaan dengan itu bertiuplah silir
angin yang dingin sekali.
Tiang Keng tetap diam. la tak mau mengganggu kesedihan
si nona. Karena ia pikir tangisnya itu bisa melegakan hati si
nona. Jika ia tegur pasti si nona akan bertambah duka.
Tak lama fajar pun menyingsing, tandanya sang siang
sudah datang. Ketika itu sudah lama Tiang Keng tak mendengar suara
isakan si nona. Sekalipun suara napasnya terdengar berat.
Rupanya ketika itu tak terasa Un Kin tertidur lelap. Nyenyak
dalam rangkulan si anak muda yang memeluknya erat-erat.
Tiang Keng tetap diam. ia mencoba merapatkan matanya
untuk mencoba menenangkan hatinya. Dengan demikian ia
pun bisa beristirahat. Tiba-tiba nona Un bangun. Ia rasakan hawa dingin sekali.
Ia membuka matanya, dan ia angkat kepalanya hingga ia bisa
melihat wajah si anak muda.
Tiang Keng merasa tubuh si nona bergerak, ia duga si nona
terjaga, maka ia pun menunduk untuk melihatnya, karena itu
sinar mata mereka jadi beradu pandang.....
Sesudah menengadah nona Un tunduk kembali.
Jantungnya berdebardebar. Ia sadar malu dan terperanjat.
Segera ia bangun, untuk duduk di lantai. Dari mulut si nona
terdengar helaan nafas. Agaknya ia ingin bicara tetapi selalu
gagal. Tak lama ia duduk lalu berdiri, la mengawasi pintu, lalu
menarik nafas lagi. "Sudah terang tanah." kata si nona perlahan. "Aku harus
pergi..." la menoleh, sinar matanya sayu.
Tiang Keng mengawasinya. "Tanpa kuberi penjelasan, kau pasti tahu aku akan pergi ke
mana." kata Un Kin. "Aku akan mencari musuh besarku.. Kau
juga akan berangkat, bukan" Sekarang sudah pagi!"
Sesudah itu Un Kin melangkah ke arah pintu, la seperti
ingin melihat apa benar sekarang sudah pagi. Ternyata kabut
sudah buyar. Un Kin menoleh, ia mengawasi si anak muda. Ia seolah
merasa tak akan bisa bertemu lagi dengan pemuda itu.
Bukankah ia pun hendak mencari musuh besarnya. Mungkin ia
bakal menghadapi bahaya maut! Dengan demikian seolah ia
sedang mengantarkan jiwa.
0oo0 BAB 39. TIANG KENG BERSAMA UN KIN MENCARI MUSUH
BESARNYA Tiang Keng bangun. Ia awasi si nona, hingga mata mereka
bentrok satu sama lain. Tiang Keng diam ketika si nona sudah
sampai di ambang pintu. Tiba-tiba Tiang Keng sadar.
"Nona!" Tiang Keng memanggil.
Un Kin merandek menahan langkahnya, ia menoleh. Tiang
Keng mengawasi si nona sekian lama.
"Nona. tahukah kau ke mana perginya Un Jie Giok?" kata
Tiang Keng. Si nona menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu." jawab si nona perlahan. Ia menghela
nafas. "Tetapi aku yakin aku bakal bisa mencarinya. Aku pasti
berhasil... " Tiang Keng menghampiri si nona.
"Kalau begitu mari kita bersama-sama mencarinya!" kata
Tiang Keng. Nona Un melengak. "Kita?" ia bertanya.
Tiang Keng tidak menjawab, ia menengadah ke langit
sambil menarik nafas. "Sebaiknya ketahui olehmu. Ayah dan Ibuku juga binasa di
tangan dia!" kata Tiang Keng.
Nona Un kaget. "Apa?" kata si nona. "Apa katamu?"
"Sepuluh tahun yang lalu di kaki puncak Sie Sin-hong di
gunung Hong-san...." Sahut si anak muda.
'Oh! Keluh Un Kin. "Oh. aku ingat! Aku ingat di gunung
Hong-san.. . Ya ketika itu kau di sana... kiranya itu kau!"
Si nona langsung menunduk.
"Maka itu aku bersedia menemanimu." kata Tiang Keng.
Pemuda ini tak perlu menjelaskan lebih jauh. karena nona
Un sudah mengetahui duduk persoalannya.
Un Kin mengangkat kepalanya, ia mengawasi ke arah si
anak muda dan anak muda itu pun sedang mengawasinya.
Lagi-lagi sinar mata mereka beradu.
Tiang Keng memegang tangan Un Kin. dadanya berombak.
Nona Un diam tapi dadanya ikut bergerak-gerak.
"Jika aku membantumu menuntut balas, itu artinya aku
juga membalas sakit hatiku sendiri," kata Tiang Keng. "Tapi
sekarang entah ke mana perginya Un Jie Giok. Tapi kita bakal
menemukannya, bukan?"
Muda-mudi ini diam sejenak. Un Kin tak menjawab katakata
Tiang Keng. Tiang Keng terus menunggu jawaban si
nona. Tapi rupanya tak lama mereka sudah jadi seia-sekata.
Tak berapa lama mereka keluar dari wihara itu dan berjalan
menuju ke Thian-bak-san. Itu adalah sarang Un Jie Giok.
Mereka sadar mereka sedang menempuh bahaya. Bukan
karena Un Jie Giok sangat lihay bagi mereka, tapi di atas
gunung pun banyak jago-jago silat ternama, undangan Jie
Giok. Dengan demikian pasti jago-jago itu akan menghadapi
mereka berdua... Sekalipun demikian mereka maju terus
pantang menyerah. Matahari sudah semakin tinggi membuyarkan kabut.
Rahasia Mo-kau Kaucu 1 Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib Hina Kelana 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama