Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 23

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 23


Tapi gerak serangan Ui Ciong-kong dengan kecapinya itu justru terbalik daripada suara kecapinya. Di waktu suara kecapi halus dan lambat, maka dia justru menyerang dengan cepat dan pihak lawan tentu akan sukar menangkisnya.
Kepandaian cara membaurkan suara kecapi ke dalam ilmu silat demikian adalah tingkatan tertinggi dalam ilmu silat, kalau sudah mencapai puncaknya hakikatnya tidak perlu melontarkan serangan lagi, cukup dengan suara kecapi saja sudah dapat membikin semangat musuh lesu dan perhatian buyar, jalan darahnya terhalang, orangnya bisa menjadi gila dan akhirnya muntah darah dan binasa. Walaupun kemahiran Ui Ciong-kong belum mencapai tingkatan demikian, tapi jika dalam beberapa jurus saja lawan tak bisa mengatasi suara kecapinya itu akhirnya tentu akan roboh sendiri.
Tadi rupanya Hek-pek-cu cukup kenal betapa lihai ilmu Ui Ciong-kong itu, khawatir lwekangnya sendiri terganggu, maka lekas-lekas ia mengundurkan diri keluar kamar. Tapi dari balik pintu sayup-sayup ia masih dapat mendengar suara kecapi yang berubah-ubah, kadang-kadang cepat dan meninggi, lain saat lambat dan rendah nadanya, kemudian tiba-tiba sunyi tiada sesuatu suara apa pun, tapi mendadak terus berbunyi "creng" yang keras. Diam-diam ia berkhawatir bagi Lenghou Tiong yang tentu akan terluka parah oleh "Chit-hian-bu-heng-kiam" (Pedang Tujuh Senar Tak Berwujud) sang toako yang lihai, padahal pemuda itu sangat simpatik. Sebaliknya kalau sang toako tidak mengeluarkan ilmu andalannya itu mungkin Bwe-cheng benar-benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan dia, lalu nama Kanglam-si-yu tentu akan runtuh habis-habisan karena dikalahkan oleh seorang pemuda hijau dari Hoa-san-pay. Jadi sang toako cuma terpaksa saja, semoga beliau tidak mencelakai jiwa Lenghou Tiong.
Selagi Hek-pek-cu berpikir begitu, tiba-tiba suara kecapi menanjak tinggi cepat sekali dan terdengar jelas dari luar pintu, dada Hek-pek-cu serasa sesak dan darah bergolak, lekas-lekas ia mundur keluar rumah dan merapatkan pintu besar. Walaupun begitu terkadang suara kecapi masih juga terdengar dan membuat jantungnya berdebar.
Sampai agak sama ia berdiri di luar dan suara kecapi masih terus bergema. Diam-diam ia heran Saudara Hong itu selain ilmu pedangnya sangat hebat, nyata tenaga dalamnya juga amat lihai sehingga mampu bertahan sekian lamanya di bawah serangan "pedang tak berwujud dari suara kecapi tujuh senar" sang toako.
Tengah termenung, tiba-tiba terdengar dari belakang ada suara tindakan orang, waktu menoleh, kiranya Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing telah menyusul tiba. "Bagaimana?" tanya Tan-jing-sing dengan berbisik.
"Sudah bertempur sangat lama dari dan pemuda itu masih terus bertahan, kukhawatir Toako akan mencelakai jiwanya," sahut Hek-pek-cu.
"Biar kumohonkan ampun kepada Toako agar sobat muda itu jangan sampai tercedera," ujar Tan-jing-sing.
"Jangan masuk ke sana," geleng Hek-pek-cu.
Pada saat itulah mendadak suara kecapi berbunyi nyaring keras, seketika mereka bertiga tergetar mundur satu tindak. Beruntun-runtun kecapi berbunyi lima kali dan mereka tanpa kuasa juga mundur lima kali.
Air muka Tut-pit-ong tampak pucat, setelah tenangkan diri barulah berkata, "Kiranya Toako sudah berhasil meyakinkan ilmu pedang tak berwujud yang lihai ini, serangan-serangan suara kecapi yang begitu tajam masakah Saudara Hong itu mampu menahannya?"
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar suara "creng" yang amat keras satu kali, habis itu lantas terdengar lagi suara "pletak", itulah suara putusnya senar kecapi, bahkan suara pletak ini jauh lebih keras, rasanya seperti beberapa senar putus sekaligus.
Keruan Hek-pek-cu bertiga terkejut, lekas-lekas mereka mendorong pintu besar dan menolak pintu kamar tadi dan berlari masuk ke dalam. Ternyata Ui Ciong-kong sedang berdiri kesima dengan memegangi kecapinya, tujuh utas senar kecapinya sudah putus dan terurai di samping kecapi. Sebaliknya Lenghou Tiong tenang-tenang saja berdiri di samping dengan tetap memegang seruling.
"Maaf!" kata pemuda itu sambil membungkuk tubuh.
Nyatalah bahwa pertandingan ini kembali Ui Ciong-kong telah dikalahkan. Hek-pek-cu bertiga sama melongo. Mereka tahu betapa tinggi tenaga dalam Ui Ciong-kong boleh dikata adalah jago nomor satu atau nomor dua di dunia persilatan, sebelum mengasingkan diri sudah jarang ada tandingannya, apalagi sekarang sesudah giat berlatih selama belasan tahun, tentu ilmu pedangnya yang tak berbentuk itu jauh lebih maju dan lihai, siapa duga toh masih terjungkal di tangan seorang pemuda dari Hoa-san-pay. Kejadian ini kalau tidak disaksikan sendiri tentu orang tidak mau percaya.
Dengan tersenyum getir kemudian Ui Ciong-kong membuka suara, "Ilmu pedang Saudara Hong yang hebat ini sungguh belum pernah kulihat selama hidupku ini. Bahkan tenaga dalamnya juga sedemikian lihai, sungguh harus dipuji dan mengagumkan. Ilmu pedangku "Chit-hian-bu-heng-kiam" tadinya kukira sudah tidak ada tandingannya di dunia ini, siapa tahu menjadi seperti permainan anak kecil saja bagi Saudara Hong."
"Wanpwe hanya bertahan sekuat tenaga saja, berkat Cianpwe yang telah berlaku murah hati padaku," sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati.
Ui Ciong-kong menghela napas panjang dan berduduk dengan lesu, terasa jerih payah latihannya selama ini ternyata sia-sia belaka, sungguh rasa masygulnya tidak kepalang.
Melihat itu, Lenghou Tiong menjadi tidak enak hati, pikirnya, "Meski tampaknya Hiang-toako tidak ingin mereka mengetahui punahnya tenaga dalamku agar mereka tidak mempersukar maksudku hendak minta pengobatan kepada mereka. Tapi perbuatan seorang laki-laki sejati harus dilakukan dengan secara blakblakan dan terus terang, aku tidak boleh menarik keuntungan dari mereka dengan tiara demikian."
Maka ia lantas berkata, "Toachengcu, ada satu hal harus kukatakan terus terang. Sesungguhnya, sebabnya aku tidak gentar kepada hawa pedangmu yang tak berwujud yang kau keluarkan dari suara kecapimu tadi, hal ini bukanlah karena lwekangku amat tinggi, tapi disebabkan pada diri Wanpwe pada hakikatnya sudah tidak punya tenaga dalam sedikit pun."
Ui Ciong-kong melengak dan berbangkit. "Apa katamu!" ia menegas.
"Wanpwe pernah terluka dalam beberapa kali, tenaga dalam sudah punah semua, makanya tiada merasakan apa-apa dan timbul reaksi terhadap serangan suara kecapimu tadi," sahut Lenghou Tiong lebih lanjut.
"Sungguh begitu?" tukas Ui Ciong-kong.
"Jika Cianpwe tidak percaya, silakan periksa nadiku, dan tentu akan segera mengetahui," ujar Lenghou Tiong sambil mengulurkan tangan kanan.
Ui Ciong-kong, Hek-pek-cu, dan kawan-kawannya sama terheran-heran. Mereka pikir kedatangan pemuda itu ke Bwe-cheng meski tidak terang-terangan menyatakan diri sebagai musuh, tapi pun juga agaknya tidak bermaksud baik. Mengapa sekarang dia mau mengulurkan tangannya begitu saja, sebab cara demikian berarti menyerahkan nadi mematikan kepada pihak lawan. Jika mendadak Ui Ciong-kong memencet hiat-to di pergelangan tangannya, maka biar setinggi langit kepandaiannya juga sukar dikeluarkan dan akan disembelih oleh pihak lawan sesuka hati.
Tadi Ui Ciong-kong telah mengeluarkan segenap kemahirannya dalam ilmu pedang tak berwujud dari suara kecapi yang lihai itu, tapi sedikit pun tidak dapat mengapa-apakan Lenghou Tiong, yang terakhir saking memuncak suara kecapinya itu bahkan ketujuh senar kecapinya sendiri lantas putus semua. Kekalahan total demikian betapa pun membuatnya penasaran. Sekarang Lenghou Tiong menjulurkan tangannya begitu saja, ia pikir jika kau hendak memancing tanganku, maka biarlah aku mengadu tenaga dalam sekali lagi dengan kau.
Maka perlahan-lahan ia lantas mengulurkan tangannya ke pergelangan tangan Lenghou Tiong. Diam-diam ia sudah bersiap-siap dengan segenap ilmu memegang dan menangkap seperti "Hou-jiau-kim-na-jiau" (Ilmu Menangkap Cakar Macan), "Liong-cau-kang" (Ilmu Cengkeraman Naga), dan lain-lain sebagainya. Dengan siaga demikian, tak peduli nanti pihak lawan akan main gila cara apa, paling sedikit ia takkan kecundang andainya ia pun tidak berhasil mencengkeram pergelangan tangan lawan itu.
Tak tersangka, begitu jarinya sudah mencengkeram nadi pergelangan Lenghou Tiong, ternyata pemuda itu tetap diam-diam saja, sedikit pun tidak memberikan reaksi apa-apa.
Baru saja Ui Ciong-kong merasa heran, segera dirasakan denyut nadi Lenghou Tiong teramat lemah, terkadang cepat dan terkadang lambat, jelas itulah tanda orang yang sudah tak bertenaga dalam lagi.
Untuk sejenak Ui Ciong-kong sampai terlongong-longong. Tapi segera ia tertawa terbahak-bahak dan berseru, "Ahahahaha! Kiranya demikian, kiranya demikian! Jadi aku telah tertipu olehmu, aku telah tertipu!"
Meski mulutnya menyatakan tertipu, tapi jelas sikapnya itu memperlihatkan rasa gembira luar biasa.
Bab 69. Penjara di Bawah Danau
Hendaknya maklum bahwa "pedang tak berwujud" yang dipancarkan dengan suara kecapi itu adalah semacam ilmu silat yang mahatinggi, kalau ilmu ini sampai digunakan, maka lawannya pasti seorang ahli silat yang hebat, betapa tinggi tenaga dalamnya tidak perlu dikatakan lagi, tenaga dalam lawan, semakin terasa pula reaksinya terhadap suara kecapi. Tapi sama sekali tak terduga bahwa sama sekali Lenghou Tiong tidak mempunyai tenaga dalam sehingga "pedang tak berwujud" itu pun kehilangan daya gunanya.
Setelah mengalami kekalahan mestinya Ui Ciong-kong merasa putus asa. Kemudian demi mengetahui sebab musabab kekalahannya itu bukan lantaran kepandaian yang kurang sakti, tapi karena lawan yang sama sekali tidak mempan akan pengaruh suara kecapinya itu, maka Ui Ciong-kong menjadi kegirangan luar biasa. Tangan Lenghou Tiong dipegangnya erat-erat, katanya dengan tertawa, "Sobat baik, sobat bagus! Tapi mengapa kau beri tahukan rahasiamu kepadaku?"
Dengan tertawa Lenghou Tiong menjawab, "Tenaga dalam Wanpwe telah lenyap, hal ini sengaja dirahasiakan ketika bertanding tadi, sekarang Wanpwe mana berani menipu lagi?"
Ui Ciong-kong bergelak tertawa, katanya, "Jika demikian, jadi aku punya pedang tak berwujud, tidaklah terlalu jelek. Yang kukhawatirkan hanya kalau kepandaianku itu benar-benar tak berguna sama sekali."
"Hong-heng, engkau telah sudi memberi tahu dengan jujur, sungguh kami bersaudara merasa sangat berterima kasih," tiba-tiba Hek-pek-cu menyela. "Tapi engkau apakah tidak tahu dengan terbongkarnya rahasiamu, bila kami bersaudara mau cabut nyawamu menjadi gampang sekali."
"Ucapan Jichengcu memang tidak salah," jawab Lenghou Tiong. "Tapi Wanpwe percaya keempat Chengcu adalah kaum kesatria sejati, makanya mau bicara terus terang."
Di balik kata-katanya ini dimaksudkan kaum kesatria sejati tentu tidak sudi membalas kebaikan dengan cara pengecut.
"Benar, memang benar," ucap Ui Ciong-kong. "Hong-hengte, maksud tujuan kedatanganmu ke tempat kami ini silakan juga bicara terus terang. Biarpun baru kenal, tapi kita anggap seperti teman lama. Asalkan kami mampu pasti akan kami laksanakan untukmu."
"Tenaga dalam Hong-heng telah lenyap, kukira disebabkan terluka dalam yang parah," sambung Hek-pek-cu. "Aku mempunyai seorang sobat baik, ilmu pertabibannya mahasakti, cuma wataknya terlalu aneh dan tidak sembarangan menerima orang sakit. Namun mengingat hubungannya dengan aku mungkin akan mau mengobatimu."
"Ya, "Sat-jin-sin-ih" Peng It-ci itu memang ...."
"O, tabib sakti Peng It-ci?" sela Lenghou Tiong sebelum Tut-pit-ong selesai bicara.
"Benar, apakah Hong-heng sudah pernah dengar namanya?" tanya Hek-pek-cu.
"Tabib Peng itu sudah meninggal dunia di Ngo-pah-kang di daerah Soatang pada beberapa bulan yang lalu," jawab Lenghou Tiong.
"Hah! Dia ... dia sudah meninggal dunia?" seru Hek-pek-cu kaget.
"Dia sanggup menyembuhkan penyakit apa pun juga, mengapa tidak mampu mengobati penyakitnya sendiri?" ujar Tan-jing-sing. "Ah, dia terbunuh oleh musuhnya tentu?"
Lenghou Tiong menggeleng, terhadap kematian Peng It-ci dia masih sangat menyesal, katanya kemudian, "Sebelum ajal Peng-tayhu masih sempat memeriksa nadi Wanpwe dan mengatakan penyakit Wanpwe ini sangat aneh dan mengakui beliau tidak sanggup mengobati."
Mendengar berita kematian Peng It-ci itu, Hek-pek-cu tampak sangat berduka, ia duduk termangu-mangu dan mengembeng air mata.
Setelah berpikir sebentar, kemudian Ui Ciong-kong berkata, "Hong-hengte, aku memberi suatu jalan yang sukar kupastikan, akan kubuatkan sepucuk surat, boleh kau bawa dan menemui Hong-ting Taysu, itu ketua Siau-lim-si sekarang, jika beliau sudi mengajarkanmu lwekang "Ih-kin-keng" yang tiada bandingannya itu kepadamu, maka tenagamu pasti ada harapan akan pulih kembali. Mestinya "Ih-kin-keng" adalah kepandaian Siau-lim-pay yang tidak diajarkan kepada orang luar, namun Hong-ting Taysu dahulu pernah utang budi padaku, bisa jadi dia akan mau menjual muka padaku."
Melihat tokoh yang diperkenalkan Hek-pek-cu dan Ui Ciong-kong itu memang sangat tepat, maksud mereka pun sangat sungguh-sungguh, hal ini menunjukkan kedua chengcu itu memang punya hubungan luas bahkan maksudnya juga sangat tulus. Maka terima kasih sekali rasa hati Lenghou Tiong, jawabnya kemudian, "Kepandaian sakti Ih-kin-keng itu hanya diajarkan kepada murid Siau-lim-pay melulu, sedangkan Wanpwe tidak dapat menjadi murid Siau-lim, hal ini jelas sulit dilaksanakan. Sudahlah, maksud baik para Chengcu akan kuingat selama hidup ini. Tentang mati-hidupku sudah suratan nasib dan terserah takdir. Sebaliknya lukaku ini telah membikin para Chengcu ikut khawatir, biar Wanpwe mohon diri saja."
"Nanti dulu!" tiba-tiba Ui Ciong-kong mencegah. Lalu ia masuk ke ruang dalam. Sejenak kemudian ia keluar kembali dengan membawa sebuah botol porselen kecil. Katanya, "Ini adalah dua biji pil pemberian mendiang guruku, sangat bagus khasiatnya untuk menambah tenaga badan dan menyembuhkan penyakit. Sekarang kuberikan kepada Adik Hong sekadar kenang-kenangan perkenalan kita ini."
Dari sumbat botol itu Lenghou Tiong dapat menduga benda peninggalan guru Ui Ciong-kong itu pasti benda mestika yang tak ternilai. Maka cepat ia menjawab, "Ah, penyakitku ini sudah sukar untuk disembuhkan, obat Cianpwe itu lebih baik disimpan saja untuk digunakan di kemudian hari."
Ui Ciong-kong berkata, "Kami berempat sudah tidak pernah menginjak dunia Kangouw lagi dan tiada pernah bertempur dengan orang luar sehingga obat ini pun tiada gunanya. Kami berempat tidak punya anak murid, diberikan padamu juga kau tolak, maka terpaksa obat ini biar kubawa masuk ke liang kubur saja."
Mendengar ucapan yang mengharukan itu, terpaksa Lenghou Tiong menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu mohon diri.
Hek-pek-cu bertiga membawa Lenghou Tiong kembali ke ruang catur di bagian depan. Dari air muka mereka berempat itu segera Hiang Bun-thian dapat menduga bahwa pertandingan pedang dengan toachengcu itu tentu dimenangkan lagi oleh Lenghou Tiong. Sebab kalau Lenghou Tiong kalah, tentu begitu datang Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing akan terus minta barang taruhannya.
Namun begitu Hiang Bun-thian sengaja bertanya, "Adik Hong, apakah Toachengcu telah sudi memberi petunjuk itu pedang padamu?"
"Wah, betapa tinggi kepandaian Toachengcu sungguh sukar diukur," jawab Lenghou Tiong. "Untung tenaga dalam sudah lenyap sehingga tidak terpengaruh oleh suara kecapi Toachengcu yang dikeluarkan dengan tenaga dalam yang mahakuat itu."
Tiba-tiba Tan-jing-sing mendelik pada Hiang Bun-thian dan berkata, "Hong-hengte ini adalah orang jujur, segala apa telah dikatakannya dengan terus terang. Kau bilang tenaga dalamnya jauh di atasmu sehingga toako kami tertipu olehmu."
"Dahulu sebelum tenaga dalam Hong-hiante lenyap memang jauh di atasku," jawab Hiang Bun-thian dengan tertawa. "Yang kukatakan kan dulu dan bukan sekarang."
"Hm, kau bukan manusia baik-baik," jengek Tut-pit-ong.
"Jika Bwe-cheng tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Hong-hiante, maka sekarang juga kami mohon pamit," kata Hiang Bun-thian kepada Hek-pek-cu sambil memberi hormat. Lalu katanya kepada Lenghou Tiong, "Marilah kita berangkat saja."
Lenghou Tiong lantas memberi hormat juga kepada tuan-tuan rumah itu, katanya, "Banyak terima kasih atas kebaikan para Chengcu yang telah sudi melayani kami. Kelak bila sempat tentu berkunjung lagi kemari."
"Hong-hiante," kata Tan-jing-sing, "setiap saat kau boleh datang kemari untuk minum-minum dengan aku. Adapun Tong-heng ini, hehe!"
"Ah, aku tidak dapat minum arak, sudah tentu tidak berani cari penyakit ke sini," ujar Hiang Bun-thian dengan tersenyum. Lalu ia memberi salam pula, tangan Lenghou Tiong lantas ditariknya dan diajak berangkat keluar. Hek-pek-cu bertiga masih terus mengantar ke luar.
Hiang Bun-thian lantas mencegah, katanya, "Ketiga Chengcu silakan tinggal saja, tak usah mengantar jauh-jauh."
"Hah, apa kau sangka kami mengantarmu?" jengek Tut-pit-ong. "Yang kami antar adalah Hong-hengte dan bukan dirimu. Jika kau yang datang kemari satu langkah pun kami tidak sudi mengantar."
"O, kiranya begitu," sahut Hiang Bun-thian tertawa.
Setelah mengantar jauh di luar pintu barulah Hek-pek-cu bertiga mengucapkan kata-tata perpisahan dengan Lenghou Tiong. Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing hanya mendelik saja terhadap Hiang Bun-thian, rasanya kalau bisa mereka hendak merebut buntelan yang tersandang di gendongan Hiang Bun-thian itu.
Hiang Bun-thian tidak ambil pusing, ia gandeng tangan Lenghou Tiong dan melangkah pergi. Sesudah agak jauh meninggalkan Bwe-cheng barulah ia tanya dengan tertawa, "Pedang tak berwujud yang dibunyikan oleh kecapi Toachengcu itu sangat lihai, dengan cara bagaimanakah kau mengalahkan dia, adikku?"
"Kiranya segala apa sudah diketahui Toako sebelumnya," ujar Lenghou Tiong. "Untung tenaga dalamku sudah hilang semua, kalau tidak saat ini mungkin jiwaku sudah melayang. Toako, apakah engkau mempunyai permusuhan dengan keempat chengcu itu?"
"Tidak, tidak ada permusuhan apa pun dengan mereka," sahut Hiang Bun-thian. "Bahkan sebelumnya aku tidak pernah bertemu muka dengan mereka, dari mana aku bisa bermusuhan dengan mereka?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang memanggil mereka, "Tong-heng, Hong-heng, harap kalian kembali dulu!"
Waktu Lenghou Tiong menoleh terlihatlah sesosok bayangan orang secepat terbang melayang tiba. Kiranya adalah Tan-jing-sing.
Sebelah tangan Tan-jing-sing membawa sebuah mangkuk arak malahan terisi lebih setengah mangkuk arak, tapi tidak tercecer setitik pun meski dibawa lari secepat ini, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi ginkangnya.
Hiang Bun-thian lantas tanya, "Ada apa lagi Sichengcu menyusul kemari?"
Tan-jing-sing berkata, "Hong-hengte, aku masih simpan setengah botol Tiok-yap-jing yang sudah berumur lebih setengah abad, jika engkau tidak mencicipi tentu akan terasa sayang."
Habis berkata ia terus menyodorkan mangkuk arak yang dibawanya itu.
Lenghou Tiong menerimanya, dilihatnya arak itu berwarna hijau tua, baunya harum dan keras. "Benar-benar arak bagus!" pujinya.
Segera ia minum seceguk dan memuji bagus pula, berturut-turut empat ceguk sehingga setengah mangkuk itu dihabiskan semua. Lalu katanya pula, "Arak ini menimbulkan macam-macam rasa dan benar-benar arak termasyhur dari daerah Yangciu atau Tinkang."
"Benar, ini memang pemberian hwesio Kim-san-si di Lembah Tinkang," kata Tan-jing-sing. "Seluruhnya dia menyimpan enam botol dan dipandang sebagai pusaka kuilnya. Hong-hiante, di rumah aku masih ada beberapa jenis arak bagus, bagaimana kalau kau kembali ke sana untuk coba-coba menilainya?"
Memangnya Lenghou Tiong sudah punya kesan baik terhadap "Kanglam-si-yu", apalagi akan disuguh arak bagus, tentunya ia sangat senang. Ia coba menoleh kepada Hiang Bun-thian, maksudnya ingin tahu pendapatnya.
"Hong-hiante, jika Sichengcu mengundangmu minum arak, maka bolehlah pergi saja," kata Bun-thian. "Adapun diriku, karena Samchengcu dan Sichengcu masih gemas jika melihat aku, maka sebaiknya aku tidak ikut, hehe ...."
"Kapan aku merasa gemas jika melihatmu?" sela Tan-jing-sing dengan tertawa. "Sudahlah, ayo pergi bersama. Kau adalah saudara angkat Hong-hengte, berarti juga sahabatku. Ayo berangkat!"
Ketika Hiang Bun-thian hendak menolak lagi, namun Tan-jing-sing sudah lantas menggandeng tangannya dan tangan lain menarik Lenghou Tiong serunya tertawa, "Ayolah berangkat, kita harus minum lagi beberapa mangkuk!"
Diam-diam Lenghou Tiong heran, ketika mohon diri tadi sikap Sichengcu ini rada ketus terhadap sang toako, mengapa sekarang dia begini simpatik" Jangan-jangan dia masih mengincar tulisan dan lukisan di dalam buntelan sang toako sehingga sengaja mengatur tipu muslihat untuk merebutnya"
Setiba kembali di Bwe-cheng, ternyata Tut-pit-ong sudah menunggu di depan pintu, dengan girang ia menyambut, "Bagus sekali! Lekas masuk lagi ke ruang catur!"
Tan-jing-sing lantas menyuguhkan macam-macam arak bagus kepada Lenghou Tiong. Selama itu Hek-pek-cu ternyata tidak menampakkan diri.
Sementara itu hari sudah magrib, Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing seperti menanti seseorang, kerap kali mereka melirik keluar pintu. Beberapa kali Hiang Bun-thian minta pamit lagi, tapi mereka selalu menahan dengan sungguh-sungguh. Lenghou Tiong tidak menghiraukan semua itu, yang dia perhatikan hanya minum arak saja.
Kemudian Hiang Bun-thian berkata dengan tertawa, "Bila kedua Chengcu tidak menjamu kami, tentu si tukang gegares seperti diriku akan kelaparan."
"O ya, benar!" seru Tut-pit-ong. Lalu ia berteriak, "Ting-koankeh, lekas mengatur meja perjamuan!"
Terdengarlah Ting Kian mengiakan di luar pintu. Pada saat itulah tiba-tiba pintu didorong orang, Hek-pek-cu melangkah masuk. Katanya terhadap Lenghou Tiong, "Hong-hengte, di perkampungan kami ini ada lagi seorang kawan lain yang ingin belajar kenal dengan ilmu pedangmu."
"Wah, kiranya Toako sudah meluluskan!" seru Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berbareng sambil melonjak kegirangan.
Mau tak mau Lenghou Tiong membatin, "Untuk bisa bertanding pedang dengan aku orang itu harus minta izin dulu kepada toachengcu. Jadi mereka sengaja menahan kami di sini untuk makan minum, rupanya selama itu jichengcu sedang berunding dengan toachengcu dan akhirnya toachengcu meluluskan. Jika demikian orang itu kalau bukan anak murid toachengcu tentu adalah anak buahnya. Apa mungkin ilmu pedangnya bisa lebih tinggi daripada toachengcu sendiri?"
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Wah, celaka. Kini mereka sudah tahu tenaga dalamku telah lenyap sama sekali, mereka menjaga harga diri dan tidak enak untuk membikin susah padaku. Tapi sekarang kalau mereka mengajukan seorang anak murid atau anak buahnya untuk bergebrak dengan aku, asalkan dia mengerahkan tenaga dalam bukankah seketika jiwaku bisa melayang?"
Namun kemudian terpikir lagi olehnya, "Tapi keempat chengcu ini adalah kaum kesatria yang jujur dan mulia mana bisa mereka melakukan perbuatan serendah itu" Hanya saja para chengcu ini sangat mengiler terhadap tulisan dan lukisan yang diperlihatkan Hiang-toako, lebih-lebih jichengcu yang tampaknya tenang-tenang tapi terhadap problem catur yang disebut Toako itu pun dia sangat terpesona, untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang tak terduga."
Begitulah dalam sekejap itu timbul macam-macam pikiran dan pendapat dalam benak Lenghou Tiong.
Maka terdengar Hek-pek-cu berkata, "Hong-hengte, silakan kau suka bertanding sekali lagi."
"Ah, kalau bicara tentang kepandaian sejati Wanpwe sekali-kali bukan tandingan Samchengcu dan Sichengcu apalagi Jichengcu dan Toachengcu. Soalnya para Cianpwe rupanya cocok dengan kegemaranku maka para Cianpwe telah sudi mengalah padaku. Padahal sedikit permainanku yang kasar ini tidak perlu dipertunjukkan lagi."
"Hong-hengte," kata Tan-jing-sing, "ilmu silat orang itu dengan sendirinya jauh lebih tinggi daripadamu, tapi jangan takut, dia ...."
"Dia adalah seorang ahli pedang kaum cianpwe di perkampungan kami ini," sela Hek-pek-cu. "Ketika mendengar ilmu pedang Hong-hengte sedemikian hebat betapa pun dia ingin coba-coba ilmu pedangmu. Maka diharap Hong-hengte sudi bertanding satu babak lagi."
Lenghou Tiong merasa serbasusah, ia pikir jika mesti bertanding lagi bukan mustahil akan terpaksa melukai lawan sehingga jadinya akan bermusuhan dengan Kanglam-si-yu. Maka dengan rendah hati ia menjawab, "Keempat Chengcu teramat baik terhadapku, jika mesti bertanding lagi, entah bagaimana perangai Cianpwe itu, kalau sampai terjadi apa-apa kan bisa membikin rusak persahabatan kita ini."
Dengan tertawa Tan-jing-sing berkata, "Tidak menjadi soal, bagaimanapun juga ...."
"Bagaimanapun juga kami berempat pasti tidak akan menyalahkan Hong-hengte," demikian Hek-pek-cu memotong lagi.
"Baiklah, apa alangannya bertanding lagi satu kali," ujar Hiang Bun-thian. "Tapi aku ada sedikit urusan dan tidak bisa tinggal lebih lama di sini, biarlah aku berangkat lebih dulu. Hong-hengte, kita berjumpa lagi di Kuiciu."
"He, mana boleh kau pergi lebih dahulu?" seru Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berbareng.
"Kau boleh pergi asalkan tinggalkan tulisan Thio Kiu itu," Tut-pit-ong menambahkan.
"Ya, jika Hong-hiante kalah nanti, lalu ke mana kami mencarimu untuk minta barang taruhanmu" Tidak, tidak boleh! Kau harus tinggal lagi sebentar," kata Tan-jing-sing. "Ting-koankeh, lekas siapkan perjamuan!"
Hek-pek-cu lantas berkata juga, "Hong-hiante, marilah pergi bersamaku. Tong-heng silakan dahar dulu di sini, sebentar saja kami akan kembali ke sini."
Hiang Bun-thian menggeleng kepala, jawabnya, "Untuk pertandingan ini jelas kalian bertekad harus menang. Padahal jika aku tidak ikut mengawasi pertandingan ini tentu kami akan merasa penasaran andaikan akhirnya Hong-hengte kalah."
"Apa maksud ucapan Tong-heng ini?" tanya Hek-pek-cu. "Memangnya kau sangka kami akan pakai tipu muslihat?"
"Bahwasanya keempat Chengcu adalah kesatria sejati memang sudah lama kukagumi, maka sepenuhnya aku dapat percaya pada kalian," sahut Bun-thian. "Cuma yang akan bertanding dengan Hong-hiante adalah seorang lain lagi, sesungguhnya aku pun tahu bahwa orang itu serupa dengan para Chengcu juga kesatria sejati, maka terus terang aku tidak perlu merasa khawatir."
"Nama dan ilmu silat orang itu kalau dibandingkan kami berempat boleh dikata lebih tinggi dan tidak lebih rendah," kata Tan-jing-sing.
"Tokoh Bu-lim yang nama dan kepandaian dapat menandingi keempat Chengcu boleh dikata dapat dihitung dengan jari, rasanya pasti kukenal namanya," ujar Hiang Bun-thian.
"Tapi nama orang ini tidak leluasa untuk dikatakan padamu," sela Tut-pit-ong.
"Jika begitu aku harus ikut menyaksikan pertandingan itu, kalau tidak biarlah pertandingan ini dibatalkan saja," ucap Bun-thian.
"Kenapa engkau begitu kukuh?" ujar Tan-jing-sing. "Kukira kehadiran Tong-heng nanti hanya akan merugikan kau sendiri dan tiada manfaatnya. Orang itu sudah lama hidup menyepi dan tidak suka orang luar melihat wajahnya."
"Jika demikian lantas cara bagaimana Hong-hiante akan bertanding pedang dengan dia?" tanya Bun-thian.
"Kedua pihak sama-sama memakai kedok, hanya kelihatan mata masing-masing sehingga tidak saling kenal lagi," kata Hek-pek-cu.
"Apakah ketiga Chengcu juga memakai kedok?" Bun-thian menegas.
"Benar," sahut Hek-pek-cu. "Watak orang itu teramat aneh, kalau tidak, dia tak mau bertanding."
"Kalau begitu biarlah aku juga memakai kedok saja," kata Bun-thian.
Untuk sejenak Hek-pek-cu menjadi ragu, akhirnya berkata, "Jika Tong-heng berkeras ingin ikut menyaksikan, ya terpaksa begitulah caranya. Cuma Tong-heng harus berjanji bahwa dari mula sampai akhir sedikit pun tidak boleh bersuara."
"Hanya membisu saja kan gampang," ujar Hiang Bun-thian tertawa.
Begitulah Hek-pek-cu lantas mendahului jalan di depan disusul Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong, Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berada paling belakang.
Lenghou Tiong ingat jalan yang diambil itu adalah menuju ke tempat toachengcu mereka. Benar juga, setiba di luar kamar toachengcu, Hek-pek-cu lantas mengetuk pintu perlahan, lalu mendorong daun pintu dan melangkah ke dalam.
Ternyata di dalam kamar sudah ada seorang yang memakai kerudung kain hitam, dilihat dari pakaiannya jelas adalah Ui Ciong-kong.
Hek-pek-cu mendekati Ui Ciong-kong dan bisik-bisik di telinganya. Ui Ciong-kong tampak menggeleng-geleng, agaknya dia tidak setuju kalau Hiang Bun-thian ikut serta. Hek-pek-cu bisik-bisik pula sejenak, tapi Ui Ciong-kong tetap menggeleng kepala.
Akhirnya Hek-pek-cu manggut-manggut dan berpaling kepada Hiang Bun-thian, katanya, "Toako berpendapat bahwa soal pertandingan adalah soal kecil, tapi kalau sampai sobat itu marah, inilah yang tidak enak. Karena itulah lebih baik pertandingan ini dianggap batal saja."
Kelima orang lantas memberi hormat kepada Ui Ciong-kong dan mohon diri keluar kamar.
"Tong-heng," demikian Tan-jing-sing berkata dengan marah-marah, "kau ini memang orang aneh. Apa kau khawatir kami akan mengerubut Hong-hengte ini sehingga kau harus ikut menyaksikan di samping" Sekarang pertandingan yang mestinya sangat menarik menjadi gagal sama sekali, sungguh sangat mengecewakan."
"Jiko telah berusaha dengan susah payah dan akhirnya barulah Toako meluluskan tapi kaulah yang mengacau sehingga gagal," omel Tut-pit-ong.
"Ya, sudahlah, biar aku mengalah saja, aku takkan ikut menyaksikan pertandingan ini," kata Hiang Bun-thian dengan tertawa. "Tapi kalian harus berlaku seadil-adilnya, tidak boleh mengakali Hong-hiante."
Hek-pek-cu bertiga menjadi girang berbareng mereka menjawab, "Memangnya kau sangka kami ini orang macam apa" Mana bisa kami mengakali Hong-hengte segala?"
"Baiklah, aku akan menunggu di ruang catur," kata Bun-thian. "Hong-hiante, tampaknya mereka entah sedang main sandiwara apa, hendaknya kau hati-hati dan penuh waspada."
"Setiap penghuni Bwe-cheng sini adalah orang berbudi, mana bisa mereka berbuat sesuatu secara licik," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Benar," tukas Tan-jing-sing, "memangnya kau sangka Hong-hengte ini seperti dirimu mengukur orang lain seperti dirimu?"
Tapi sesudah bertindak pergi beberapa langkah tiba-tiba Hiang Bun-thian menoleh dan memanggil, "Hong-hiante, coba kemari, aku harus memberi petunjuk padamu supaya tidak masuk perangkap orang."
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Hiang-toako juga terlalu hati-hati, aku toh bukan anak umur tiga masakah begitu gampang ditipu."
Tapi dengan tertawa didekati juga Hiang Bun-thian.
Ketika Hiang Bun-thian menarik tangan Lenghou Tiong, segera pemuda itu merasa sang toako itu menjejalkan sesuatu pada telapak tangannya, rasanya seperti gulungan kertas tapi di dalamnya ada sesuatu benda keras.
Dengan tertawa Hiang Bun-thian pura-pura menarik Lenghou Tiong lebih dekat, lalu membisikkannya, "Sesudah bertemu orang itu nanti bolehlah kau beramah tamah dan menjabat tangan sembari menjejalkan benda dalam gulungan kertas ini kepadanya. Hal ini menyangkut urusan mahapenting hendaknya kau jangan lalai. Haha, haha!"
Nada ucapan itu sangat prihatin dan sungguh-sungguh, tapi air mukanya tetap menampilkan senyuman, bahkan gelak tawa yang terakhir itu sama sekali tiada sangkut pautnya dengan kalimat ucapannya itu.
Namun begitu Hek-pek-cu bertiga menyangka Hiang Bun-thian telah mengucapkan kata-kata yang mencemoohkan mereka. Segera Tan-jing-sing berkata, "Apa yang kau tertawakan" Biarpun ilmu pedang Hong-hengte sangat tinggi, tapi bagaimana dengan ilmu pedang Tong-heng sendiri kan kami belum lagi belajar kenal."
"Ilmu pedangku hanya biasa saja, tidak perlu belajar kenal segala," sahut Hiang Bun-thian tertawa, habis itu ia terus melangkah ke ruang luar.
"Marilah kita pergi menemui Toako pula," ajak Tan-jing-sing dengan gembira. Segera mereka berempat menuju lagi ke kamar Ui Ciong-kong.
Rupanya Ui Ciong-kong tidak menduga bahwa mereka akan datang kembali sehingga kerudung kepalanya tadi sudah dicopot.
"Toako," kata Hek-pek-cu, "Tong-heng itu telah kami bujuk dan bersedia membatalkan niatnya untuk ikut serta menonton pertandingan."
"Baiklah kalau begitu," sahut Ui Ciong-kong. Segera ia ambil lagi kerudung kain hitam tadi dan dipakai.
"Jite, bawalah dua pedang kayu ke bawah," kata Ui Ciong-kong kepada Hek-pek-cu. Segera Hek-pek-cu membuka sebuah lemari kayu dan mengeluarkan dua senjata kayu yang dimaksud.
Diam-diam Lenghou Tiong heran, "Mengapa dia bilang ke bawah" Apa barangkali orang itu bertempat tinggal di suatu tempat yang rendah?"
"Hong-hengte," kata Ui Ciong-kong kepada Lenghou Tiong, "marilah kita pergi menemui seorang kawan untuk mengukur ilmu pedangmu. Mengenai pertandingan ini, tak peduli siapa yang kalah atau menang, diharap satu kata pun jangan kau beri tahukan kepada orang luar."
"Sudah tentu," sahut Lenghou Tiong. "Wanpwe sudah menyatakan bahwa kedatangan kemari sekali-kali bukan mencari nama maka tiada alasanku buat sembarangan mengoceh di luaran. Apalagi Wanpwe lebih banyak kalah daripada menang, apa yang perlu kukatakan."
"Soal kalah atau menang belumlah pasti, tapi aku percaya Hong-hengte akan pegang janji dan takkan disiarkan keluar," kata Ui Ciong-kong. "Cuma apa yang kau lihat selanjutnya juga diharap jangan menyinggungnya bahkan Tong-heng pun jangan kau beri tahu, apakah hal ini dapat kau janji?"
"Sampai Tong-heng juga tidak boleh diberi tahu?" Lenghou Tiong menegas. "Padahal sesudah bertanding nanti tentu dia akan tanya ini dan itu, jika aku tutup mulut tanpa memberi keterangan apa-apa kan rasanya tidak pantas sebagai teman."
"Tong-heng itu pun seorang Kangouw kawakan, jika dia mengetahui Hong-hengte sudah berjanji padaku, seorang laki-laki sejati mana boleh ingkar janji, dia tentu tidak akan paksa kau bicara," ujar Ui Ciong-kong.
"Ya, betul juga, baiklah aku terima," kata Lenghou Tiong sambil mengangguk.
"Banyak terima kasih atas kebaikan hati Hong-hengte," kata Ui Ciong-kong. "Marilah, silakan!"
Segera Lenghou Tiong putar tubuh hendak menuju ke luar, tapi Tan-jing-sing telah mencegahnya dan menuding ke dalam ruangan malah, katanya, "Ke dalam sana!"
Keruan Lenghou Tiong melengak, sungguh ia tidak mengerti mengapa menuju ke ruang dalam malah" Tapi segera ia sadar, "Ah, benarlah! Orang yang akan bertanding dengan aku kiranya seorang wanita, bisa jadi adalah istri toachengcu atau selir atau gundiknya, sebab itulah mereka berkeras tidak mengizinkan Hiang-toako ikut menonton di samping. Pula diharuskan memakai kerudung agar tidak dapat melihat muka lawan dan pihak lawan juga tidak dapat melihat wajahku, hal ini tentu disebabkan untuk menjaga adat kebiasaan antara kaum pria dan wanita."
Bab 70. Kakek Aneh di Dalam Penjara
Terpikir demikian segera macam-macam kesangsiannya tadi lantas lenyap, tapi ketika tangannya merasakan benda kecil keras yang terbungkus dalam gulungan kertas itu segera terpikir lagi olehnya, "Tampaknya Hiang-toako sudah mengetahui aku akan bertanding pedang dengan wanita itu. Lantaran dia sendiri tidak boleh ikut terpaksa aku akan disuruh menyampaikan benda atau surat ini. Kukira di balik ini tentu ada urusan percintaan. Meski Hiang-toako adalah saudara angkatku, tapi keempat chengcu sangat baik hati padaku, jika aku menyampaikan benda ini rasanya berdosa kepada para chengcu itu. Lalu bagaimana baiknya ini" Usia Hiang-toako dan para chengcu itu sudah 50-60 tahun, tentunya wanita itu pun tidak muda lagi, andaikan ada urusan percintaan juga peristiwa pada puluhan tahun berselang andaikan aku menyampaikan surat ini rasanya juga takkan merusak nama baik wanita itu."
Sementara ia menimbang-nimbang, tahu-tahu mereka sudah melangkah masuk ke ruang dalam. Di ruangan hanya terhadap sebuah meja dan sebuah tempat tidur, sangat sederhana sekali keadaan kamar itu. Kelambu tempat tidur pun tampak sudah kekuning-kuningan, sudah tua. Di atas meja tertaruh kecapi pendek, warnanya hitam mulus seperti buatan dari besi.
Lenghou Tiong menduga segala sesuatu ini agaknya memang sudah diatur Hiang Bun-thian lebih dulu. Jika demikian cintanya terhadap wanita itu, apa salahnya aku membantu dia menyampaikan sekadar isi hatinya ini" Sebabnya Hiang-toako melepaskan diri dari Mo-kau dan bahkan tidak sayang bermusuhan dengan sang kaucu dan kawan-kawan seagamanya, besar kemungkinan ada hubungannya dengan bekas kekasihnya ini.
Dalam pada itu Ui Ciong-kong telah menyingkap kelambu dan mengangkat kasur tempat tidurnya, lalu papan ranjang itu dibongkar pula, di bawahnya ada sepotong papan dan gelang tembaga, ketika gelang tembaga ditarik ke atas, sepotong papan besi sebesar satu meter persegi lantas terangkat dan terlihatlah sebuah lubang di bawahnya.
Setelah menaruh papan besi yang berat itu di lantai, lalu Ui Ciong-kong berkata, "Tempat tinggal orang itu rada aneh, silakan Hong-hengte ikut padaku."
Habis berkata ia terus melompat ke dalam lubang itu, tanpa ragu Lenghou Tiong ikut melompat masuk. Terlihat di bawah situ juga ada sebuah pelita minyak yang remang-remang, ternyata di mana mereka berada itu seperti sebuah lorong bawah tanah. Segera Lenghou Tiong ikut Ui Ciong-kong menuju ke depan. Sementara itu Hek-pek-cu bertiga berturut-turut juga sudah melompat masuk.
Kira-kira belasan meter jauhnya, di depan tampak sudah buntu. Ui Ciong-kong lantas mengeluarkan serenceng kunci, sebuah kunci dimasukkan ke sebuah lubang dan diputar beberapa kali lalu didorongnya. Maka terdengarlah suara keriang-keriut, sebuah daun pintu batu perlahan terbuka.
Begitu besar pintu batu itu, tebalnya ada setengah meteran, keruan Lenghou Tiong semakin menaruh simpatik terhadap Hiang Bun-thian, pikirnya, "Mereka mengurung seorang wanita di bawah tanah dengan cara demikian terang tak bisa dibenarkan. Keempat chengcu itu tampaknya adalah manusia-manusia berbudi, mengapa berbuat sekeji ini?"
Ia terus ikut Ui Ciong-kong masuk ke pintu batu itu, jalan lorong itu menyerong terus ke bawah, kira-kira belasan meter jauhnya kembali mereka berhadapan dengan sebuah pintu. Ui Ciong-kong mengeluarkan kunci lagi dan pintu itu lantas terbuka. Sekali ini pintu itu ternyata pintu besi yang amat tebal.
Keadaan jalanan tampak terus menurun ke bawah, mungkin saat itu mereka sudah berada beberapa puluh meter di bawah tanah. Setelah membelok beberapa kali kembali tampak sebuah pintu lagi.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa keempat chengcu yang tampaknya berbudi luhur itu ternyata tidak berperikemanusiaan. Tadinya sama sekali ia tidak menaruh curiga apa-apa, tapi sekarang mau tak mau timbul rasa waspadanya, jangan-jangan mereka sengaja memancing dirinya ke penjara di bawah tanah ini untuk mengurungnya. Namun begitu dirinya sekarang sudah masuk perangkap, apa yang dapat diperbuatnya"
Pintu ketiga itu ternyata dibuat lapis empat, di balik pintu besi adalah sebuah pintu kayu yang diberi lapisan kapuk, di belakangnya pintu besi lagi lalu pintu kayu penuh kapuk pula.
Lenghou Tiong menjadi heran pikirnya, "Mengapa dua lapis pintu besi mesti diseling dua lapis pintu kayu berlapis kapuk" Ah, mungkin lwekang orang yang dikurung di sini ini sangat lihai, lapisan kapuk ini digunakan untuk menghapus tenaga pukulannya agar tidak mampu membobol pintu dan melarikan diri."
Untuk puluhan meter selanjutnya tidak tampak pintu lagi, jalan lorong itu masih panjang rasanya, sampai agak jauh baru ada sebuah pelita minyak ada pula, pelita minyak yang sudah padam sehingga keadaan menjadi gelap dan terpaksa harus berjalan dengan menggagap-gagap, belasan meter kemudian barulah tampak sinar pelita pula.
Lenghou Tiong merasa hawa di jalan lorong itu sangat menyesakkan, dinding dan tanah di bawah kaki rasanya basah-basah lembap. Sekonyong-konyong teringat sesuatu olehnya, "Ah, perkampungan Bwe-cheng itu berada di tepi danau, sekarang jalan lorong di bawah tanah sudah sekian jauhnya, mungkin sekali sudah berada di dasar danau. Seorang dikurung di bawah danau dengan sendirinya sukar meloloskan diri. Andaikan orang luar hendak menolongnya juga tidak dapat, bila mesti membobol penjara tentu juga akan mati terbenam air danau."
Setelah beberapa meter pula ke depan, mendadak jalan lorong itu menyempil, untuk bisa berjalan ke depan harus membungkuk tubuh. Makin ke depan makin membungkuk. Samar-samar Lenghou Tiong mendengar omelan Tan-jing-sing yang menyusul di belakangnya, mungkin karena tubuhnya tinggi besar sehingga tidaklah leluasa untuk berjalan dengan membungkuk tubuh.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba Ui Ciong-kong berhenti, menyusul terdengarlah suara "tang-tang-tang" beberapa kali, agaknya dengan sesuatu benda dia mengetuk sayap pintu.
Sejenak kemudian terdengar pula suara putaran kunci, lalu sebuah pintu besi berdering. Ui Ciong-kong mengetik api dan menyalakan pelita minyak yang tergantung di dinding. Di bawah sinar pelita yang remang-remang kelihatan di atas sebuah pintu besi di depan terdapat sebuah lubang seluas belasan senti persegi. Agaknya pintu besi kecil inilah jalan untuk menyampaikan makanan dan lain keperluan.
"Yim-heng," segera Ui Ciong-kong berseru ke dalam lubang persegi itu, "kami berempat saudara datang menjenguk engkau."
Lenghou Tiong melengak, pikirnya, "Mengapa Toachengcu menyebut dia Yim-heng (Saudara Yim)" Jadi orang yang terkurung di sini bukanlah kaum wanita."
Ternyata seruan Ui Ciong-kong tadi tidak mendapat jawaban apa-apa. Maka ia lantas berkata lagi, "Yim-heng, sudah lama sekali kami tidak menjenguk dirimu, harap dimaafkan. Hari ini kami sengaja datang untuk memberitahukan sesuatu urusan penting."
Tiba-tiba suara seorang yang serak-serak berat mendamprat, "Persetan, ada urusan penting apa segala, mau kentut lekas kentut, kalau tidak kentut lekas enyah sana!"
Kejut dan heran pula Lenghou Tiong, macam-macam dugaannya semula dalam sekejap batal semuanya. Dari suara orang itu dengan jelas diketahui bahwa orang itu bukan saja sudah tua, bahkan kata-katanya kasar dan bukan seorang terpelajar.
Maka terdengar Ui Ciong-kong berkata, "Dahulu kami menyangka di dunia ini hanya Yim-heng seorang adalah jago pedang nomor satu siapa tahu hal ini ternyata tidak benar. Hari ini juga kami kedatangan seorang, bukan saja kami berempat saudara bukan tandingannya, bahkan ilmu pedang Yim-heng jika dibandingkan dia juga mirip si cebol ketemu raksasa."
Terdengar orang itu bergelak tertawa dan berkata, "Ui Ciong-kong kalian berempat anak jadah sudah kalah bertanding sekarang kalian mengundang dia untuk bertanding dengan aku dengan tujuan aku yang membereskan lawan kalian yang tangguh ini bukan" Hahaha, jangan mimpi muluk-muluk. Sayang sudah 20-an tahun aku tidak memegang pedang sehingga sudah lama ilmu pedangku terlupa semua. Nah, anak jadah, lekas cawat ekormu dan enyah saja dari sini."
Alangkah terperanjatnya Lenghou Tiong, pikirnya, "Sungguh cerdik luar biasa orang ini dan dugaannya ternyata sangat jitu, begitu mendengar ucapan Ui Ciong-kong lantas diketahui apa maksud tujuan orang, sungguh seorang tokoh Kangouw yang jarang ada."
Tiba-tiba Hek-pek-cu menimbrung, "Toako, memangnya Yim-siansing sekali-kali bukan tandingan orang ini. Dengan tegas dia menyatakan bahwa di Bwe-cheng ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan dia, hal ini ternyata memang tepat. Sudahlah, kita tidak perlu banyak omong lagi dengan Yim-siansing."
"Huh, apa gunanya kau membakar-bakar hatiku?" dengus orang she Yim itu. "Memangnya kau sangka aku sudi bekerja untuk anak-anak jadah seperti kalian ini?"
"Toako," kata Hek-pek-cu pula seperti bercakap-cakap dengan Ui Ciong-kong, "kabarnya ilmu pedang orang ini adalah ajaran asli Hong Jing-yang Losiansing sendiri. Kita tahu Yim-siansing berjuluk "Kian-hong-gi-te" (Melihat Hong Lantas Lari). Dan "Hong" yang dimaksud itu tak-lain tak-bukan adalah Hong-losiansing. Entah benar tidak hal ini?"
Keruan orang she Yim itu berkaok-kaok murka, ia mencaci maki, "Kentut makmu busuk!"
Tapi Tan-jing-sing lantas menyambung, "Ah, ucapan Jiko tadi agak salah."
"Di mana letak salahnya?" tanya Hek-pek-cu.
"Engkau salah omong satu huruf," kata Tan-jing-sing. "Julukan Yim-siansing bukan "Kian-hong-gi-te" (Melihat Hong Lantas Kabur). Coba kau pikir, jika Yim-siansing melihat Hong-losiansing baru lari tentu tidak keburu lagi dan Hong-losiansing tidak nanti mau membiarkan dia kabur begitu saja. Hanya kalau mendengar nama Hong-losiansing dan segera lari barulah Yim-siansing masih ada harapan lolos seperti ...."
"Seperti ikan lolos dari jaring!" sambung Tut-pit-ong.
Tapi orang she Yim itu ternyata tidak marah, sebaliknya malah tertawa, "Hahaha, rupanya anak-anak jadah telah kepepet dan dalam keadaan tak berdaya baru ingat pada diriku. Tapi kalau aku begitu gampang ditipu kalian bukanlah orang she Yim lagi."
"Ai, Hong-hengte," kata Hek-pek-cu dengan menghela napas seperti orang gegetun, "rupanya begitu mendengar namamu, Yim-siansing sudah lantas ketakutan setengah mati. Maka pertandingan ini tidak perlu dilangsungkan lagi, biarlah kami mengakui ilmu pedangmu memang nomor satu di dunia ini."
Walau sekarang diketahui orang itu bukan wanita seperti dugaan Lenghou Tiong semula, tapi melihat penjara yang begitu ketat, terang orang she Yim itu sudah sangat lama dikeram di situ, tanpa terasa timbul juga rasa simpatik Lenghou Tiong. Dari ucapan Ui Ciong-kong dan Hek-pek-cu tadi dapat diduga ilmu silat orang she Yim ini pasti sangat tinggi, maka cepat ia menjawab kata-kata Hek-pek-cu tadi, "Ucapan Jichengcu kurang tepat. Dahulu bila Hong-losiansing membicarakan ilmu pedang padaku, beliau selalu memuji terhadap ... terhadap Yim-losiansing ini, katanya soal ilmu pedang di zaman ini hanya Yim-losiansing seorang saja yang dikagumi oleh beliau. Wanpwe dipesan bila kelak ada kesempatan bertemu dengan Yim-losiansing diharuskan mohon petunjuk padanya dengan segala ketulusan hati dan segala kehormatan."
Kata-kata Lenghou Tiong ini membikin Ui Ciong-kong berempat sama melengak. Sebaliknya orang she Yim itu sangat senang, ia tertawa terbahak dan berkata, "Sobat cilik, ucapanmu sangat tepat. Hong Jing-yang memang bukan kaum keroco, hanya dia saja yang kenal kebagusan ilmu pedangku."
"Apa Hong ... Hong-losiansing mengetahui dia berada ... berada di sini?" tanya Ui Ciong-kong ragu.
Sudah telanjur membual, segera Lenghou Tiong menambahkan lagi, "Hong-losiansing mengira Yim-losiansing telah mengasingkan diri di pegunungan. Beliau sering menyebut Yim-losiansing tatkala mengajar ilmu pedang padaku, katanya jurus-jurus ilmu pedang beliau khusus diciptakan untuk melawan ahli waris Yim-losiansing. Katanya kalau di dunia tidak ada Yim-losiansing, pada hakikatnya tidak perlu meyakinkan ilmu pedang yang begini ruwet."
Kini Lenghou Tiong sudah rada kurang senang terhadap keempat chengcu itu, maka ucapannya ini rada berbau mengolok-olok. Ia pikir orang she Yim ini adalah seorang kesatria, tapi telah dikeram di tempat yang mirip neraka ini, tentu dia kena disergap secara pengecut. Maka betapa licik dan rendah perbuatan keempat chengcu dapatlah dibayangkan.
Begitulah lantas terdengar orang she Yim itu berkata, "Betul, sobat cilik. Hong Jing-yang memang punya pandangan tajam, kau yang telah mengalahkan semua manusia kerdil di Bwe-cheng ini bukan?"
Lenghou Tiong menjawab, "Ilmu pedangku adalah ajaran Hong-losiansing sendiri, kecuali engkau Yim-losiansing atau ahli warismu, orang biasa sudah tentu bukan tandinganku."
Ucapan ini lebih jelas lagi menilai rendah Ui Ciong-kong berempat. Soalnya makin dipikir ia semakin gemas terhadap para chengcu itu, sebab setelah berada sebentar saja di penjara di bawah tanah yang lembap itu rasanya sudah demikian tersiksa, apalagi seorang kesatria besar telah dikurung sekian tahun lamanya, sungguh perbuatan yang teramat kejam.
Sudah tentu Ui Ciong-kong berempat juga merasa sangat tersinggung demi mendengar ucapan Lenghou Tiong itu. Tapi mereka berempat memang benar juga telah bertanding sehingga terpaksa tidak dapat bicara lain.
"Bagus, bagus," demikian orang she Yim itu merasa senang. "Sobat cilik, sedikitnya kau telah melampiaskan rasa dongkolku terhadap anak-anak jadah itu. Eh, cara bagaimana kau mengalahkan mereka?"
"Orang Bwe-cheng pertama yang bertanding dengan aku adalah seorang sobat she Ting, namanya Ting Kian dengan julukan "It-ji-tian-kiam" segala," tutur Lenghou Tiong.
"O, ilmu pedang orang she Ting ini cuma kebanggaan belaka dan tiada gunanya," kata orang she Yim. "Dia cuma menggertak orang dengan sinar pedangnya dan tiada punya kepandaian sejati. Pada hakikatnya kau tidak perlu menyerang dia, asalkan acungkan pedangmu tentu dia akan mengangsurkan jari tangannya ke pedangmu dan akan tertebas kutung sendiri."
Kelima orang sama terkejut mendengar uraiannya itu sehingga sama melongo.
"Bagaimana" Apa salah ucapanku?" orang itu bertanya.
"Sungguh jitu sekali ucapanmu seakan-akan ikut menyaksikan sendiri," jawab Lenghou Tiong.
"Bagus, jadi lima jarinya atau tapak tangannya yang terkutung?" tanya pula orang itu.
"Wanpwe telah miringkan sedikit mata pedangku," kata Lenghou Tiong.
"Ah, salah, salah! Terhadap musuh mana boleh berlaku sungkan," ujar orang itu. "Hati bajik dan luhur budimu, kelak kau tentu akan rugi sendiri. Dan siapa orang kedua yang bertanding denganmu."
"Sichengcu," jawab Lenghou Tiong.
"O, ilmu pedang Losi (Si Empat) sudah tentu lebih tinggi daripada orang she Ting itu. Setelah melihat caramu mengalahkan Ting Kian, begitu maju tentu Losi akan mengeluarkan ilmu pedangnya yang disebut "Boat-bak-moa-kiam-hoat" segala dengan jurus-jurus "Pek-hong-koan-jit", "Ting-liong-ki-hong", dan entah apa lagi."
Tan-jing-sing tambah terkesiap mendengar ilmu pedang kebanggaannya itu dengan tepat diuraikan orang.
"Ilmu pedang Sichengcu memang terhitung hebat juga," kata Lenghou Tiong. "Cuma waktu menyerang banyak pula lubang-lubang kelemahannya."
"Hahaha," orang itu tertawa. "Sebagai ahli waris Hong Jing-yang kau memang mempunyai pandangan luas. Dalam ilmu pedangnya itu ada satu jurus yang disebut "Giok-liong-to-koan" segala, begitu maju terus membacok. Tapi kebentur pada ahli waris Hong Jing-yang tentu dia akan mati kutu, asalkan pedangmu menebas melalui batang pedangnya tentu kelima jarinya akan terpapas."
"Taksiran Cianpwe benar-benar sangat jitu, memang pada jurus itulah Wanpwe telah mengalahkan dia," kata Lenghou Tiong. "Cuma Cianpwe tiada punya permusuhan apa-apa dengan dia, pula Sichengcu telah menyuguh aku dengan arak-arak enak, maka kelima jarinya itu tidak sampai terpapas."
Sungguh gusar dan dongkol tidak kepalang hati Tan-jing-sing, air mukanya sebentar merah sebentar pucat, cuma dia memakai kerudung sehingga tidak kelihatan.
"Dan si botak Losam (Si Tiga) suka menggunakan boan-koan-pit," kata pula orang she Yim itu, "tulisannya sebenarnya serupa cakar ayam, tapi dia justru sok bangga katanya dalam ilmu silatnya terkandung pula seni tulis segala. Padahal, hehe, sobat cilik, ketahuilah waktu bertempur menghadapi musuh, mati atau hidup hanya bergantung satu detik saja, mana sempat orang bisa iseng bicara tentang seni tulis segala. Kecuali pihak lawan memang jauh lebih lemah daripadamu barulah kau dapat mempermainkan dia. Kalau tidak, maka sama halnya kau bergurau dengan nyawamu sendiri."
"Ucapan Cianpwe memang tepat, cara bertempur Samchengcu ini memang rada takabur," ujar Lenghou Tiong.
Ketika mendengar ucapan orang she Yim itu, semula Tut-pit-ong merasa sangat gusar, tapi sesudah dipikir terasa uraian orang memang masuk akal juga. Ilmu silatnya yang diselingi dengan gaya menulis itu betapa pun memang menjadi kurang kuat daya serangnya. Kalau saja Lenghou Tiong tidak murah hati mungkin sepuluh Tut-pit-ong juga sudah dibinasakan olehnya.
Dalam pada itu orang she Yim itu berkata pula, "Untuk mengalahkan botak Losam adalah sangat gampang. Karena lagaknya yang sok takabur dengan seni tulis segala sehingga dia seolah bergurau dengan jiwa sendiri. Kalau dia masih hidup sampai sekarang sesungguhnya suatu keanehan di dunia persilatan. Eh, Losam botak, selama 20-an tahun ini rupanya kau hanya mengkeret seperti kura-kura di dalam dan tidak pernah berkelana di Kangouw lagi bukan?"
Tut-pit-ong hanya mendengus saja tanpa menjawab. Tapi diam-diam ia terkesiap pula dan mengakui kebenaran ucapan orang. Kalau saja selama 20-an tahun ini dirinya masih berkecimpung di dunia Kangouw mana bisa hidup sampai hari ini"
Sementara itu orang she Yim lagi melanjutkan, "Bicara tentang kepandaian sejati, maka papan catur si Loji memang harus dipuji. Sekali dia sudah mulai menyerang, maka susul-menyusul bagai badai melanda, kalau cuma jago biasa saja pasti tidak mampu menangkisnya. Sobat cilik, cara bagaimana kau mematahkan serangannya, coba ceritakan."
"Wanpwe tidak berani mengatakan telah mematahkan serangan Jichengcu," sahut Lenghou Tiong. "Soalnya begitu saja aku lantas berebut menyerang dengan Jichengcu, jurus pertama aku lantas membikin dia berada di pihak bertahan."
"Ehm, bagus," ujar orang itu. "Dan bagaimana jurus kedua?"
"Jurus kedua Wanpwe tetap mendahului menyerang sehingga Jichengcu terpaksa bertahan pula," sahut Lenghou Tiong.
"Bagus, dan jurus ketiga?" tanya pula orang itu.
"Jurus ketiga tetap aku menyerang dan dia bertahan."
"Sungguh hebat," kata orang itu. "Papan catur baja Hek-pek-cu dahulu menggetarkan dunia Kangouw, biasanya asalkan lawannya mampu menangkis tiga jurus serangannya yang lihai, maka Hek-pek-cu akan mengampuni lawannya, karena itulah namanya termasyhur di dunia persilatan. Tapi sobat cilik malahan sudah mampu memaksa dia bertahan tiga jurus, sungguh luar biasa hal ini. Dan pada jurus keempat cara bagaimana dia melakukan serangan balasan?"
"Jurus keempat masih tetap Wanpwe yang menyerang dan Jichengcu bertahan."
"Hah, apa ilmu pedang Hong tua benar-benar begitu hebat," orang itu menegas. "Menurut dugaanku, biarpun Hong tua sendiri yang bergebrak, sekalipun dapat mengalahkan Hek-pek-cu juga tidak dapat memaksa dia bertahan sampai empat jurus. Tapi jurus kelima tentu dia yang menyerang bukan?"
"Tidak, jurus kelima keadaan tetap tidak berubah," jawab Lenghou Tiong.
"Oo!" orang itu sampai melongo untuk sekian lamanya. Kemudian baru berkata, "Seluruhnya kau menyerang berapa kali baru Hek-pek-cu mampu balas menyerang?"
"Jum ... jumlah jurusnya Wanpwe tidak ingat lagi," sahut Lenghou Tiong.
Segera Hek-pek-cu menimbrung, "Ilmu pedang Hong-hengte teramat sakti, sejak mula sampai akhir satu jurus pun aku tidak mampu balas menyerang. Sesudah dia menyerang 40-an jurus, aku merasa bukan tandingannya, maka aku lantas menyerah dan mengaku kalah."
"Hah, mana betul begitu?" teriak orang itu. "Meski Hong Jing-yang adalah tokoh Hoa-san-pay pilihan, tapi ilmu pedang dari sekte pedang Hoa-san-pay itu juga sangat terbatas. Aku tidak percaya bahwa ada seorang jago Hoa-san-pay mampu menyerang Hek-pek-cu sampai 40-an jurus dan sama sekali Hek-pek-cu tidak sanggup balas menyerang."
"Yim-heng terlalu menghargai diriku, tapi kenyataan memang begitu," ujar Hek-pek-cu. "Ilmu pedang Hong-hengte ini sudah jauh melampaui batas kemampuan jago Hoa-san-pay dari sekte pedang."
"Bagus, aku menjadi kepingin belajar kenal juga dengan ilmu pedangmu, sobat cilik," kata orang itu.
"Harap Cianpwe jangan mau masuk perangkap mereka," kata Lenghou Tiong. "Kanglam-si-yu hanya ingin memancingmu bertanding pedang dengan aku, padahal mereka mempunyai tujuan tertentu."
"Tujuan tertentu apa?" tanya orang itu.
"Mereka telah bertaruh dengan seorang temanku, jika dalam Bwe-cheng mereka ini ada seorang yang mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka temanku akan memberikan beberapa barang kepada mereka."
"Barang apa" Kukira tentu sebangsa not kecapi, tulisan orang kuno, dan sebagainya bukan?"
"Ya, taksiran Cianpwe memang selalu jitu," sahut Lenghou Tiong.
"Tapi aku cuma ingin tahu ilmu pedangmu saja dan bukan sungguh-sungguh bertanding denganmu," kata orang itu. "Lagi pula aku pun belum tentu mampu mengalahkanmu."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk mengalahkan Wanpwe sudah tentu sangat mudah bagi Cianpwe," sahut Lenghou Tiong. "Hanya saja sebelumnya kuminta keempat Chengcu harus berjanji sesuatu dulu."
"Soal apa?" tanya orang itu.
"Jika Cianpwe dapat mengalahkan aku sehingga mereka akan berhasil memperoleh beberapa benda mestika dari temanku itu, sebaliknya keempat Chengcu harus berjanji akan membuka pintu penjara ini dan membebaskan Cianpwe."
"Mana boleh jadi!" seru Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berbareng. Sedangkan Ui Ciong-kong hanya mendengus saja.
Orang she Yim itu bertanya, katanya, "Sobat cilik ternyata rada-rada lucu. Apakah Hong Jing-yang menyuruhmu berbuat demikian?"
"Hong-losiansing sama sekali tidak tahu Cianpwe terkurung di sini, Wanpwe sendiri lebih-lebih tidak tahu sebelumnya," sahut Lenghou Tiong.
"Hong-hengte," tiba-tiba Hek-pek-cu berkata, "siapakah nama Yim-heng ini" Apa julukannya menurut panggilan orang Bu-lim" Dia tadinya ketua aliran mana dan sebab apa sampai terkurung di sini" Apakah semua ini Hong-losiansing pernah ceritakan padamu?"
Begitulah secara mendadak Hek-pek-cu mengajukan empat pertanyaan, tapi satu pun Lenghou Tiong tidak mampu menjawab. Kalau dalam pertandingan Lenghou Tiong sekaligus menyerang 40 jurus lebih dan Hek-pek-cu masih sanggup bertahan, sebaliknya sekarang pihak lawan memberondong dengan empat pertanyaan seakan-akan menyerang empat jurus secara kilat, tapi Lenghou Tiong satu jurus pun tidak sanggup menangkis, setengah melongo sejenak barulah ia dapat bicara dengan gelagapan, "Tentang ini belum pernah terdengar dari ... dari Hong-losiansing."
"Memangnya, masakah kau tahu, sebab kalau tahu tentu kau takkan minta kami membebaskan dia," ujar Hek-pek-cu. "Bila orang ini sampai lolos dari sini, maka dunia persilatan pasti akan kacau-balau dan entah betapa banyak jiwa kaum kesatria Bu-lim akan tewas di tangannya dan selanjutnya dunia Kangouw takkan aman lagi."
"Hahahaha, memang benar adanya!" seru orang itu dengan terbahak. "Biarpun punya nyali setinggi langit juga Kanglam-si-yu tidak berani membiarkan aku lolos dari kurungan ini. Pula memangnya mereka juga cuma atas perintah saja berjaga di sini, mereka hanya empat penjaga bui, mana mereka ada hak buat membebaskan aku" Sobat cilik, permintaanmu kepada mereka tadi sudah terlalu mengangkat tinggi derajat mereka."
Diam-diam Lenghou Tiong merasa serbarunyam, pada hakikatnya dirinya tidak tahu seluk-beluk mereka sehingga bicara sedikit saja lantas terlihat kesalahannya.
"Hong-hengte," Ui Ciong-kong berkata, "rupanya kau lihat penjara ini sangat gelap dan lembap sehingga timbul rasa simpatimu terhadap Yim-heng ini, sebaliknya merasa marah kepada kami bersaudara, hal ini adalah jiwamu yang luhur, kami pun tidak menyalahkanmu. Tapi apa kau tahu bilamana Yim-heng ini sampai masuk Kangouw lagi, melulu Hoa-san-pay kalian saja sedikitnya akan jatuh korban separuh lebih. Coba jawab, Yim-heng, kata-kataku ini betul atau tidak?"
"Betul, betul," sahut orang itu dengan tertawa. "Ketua Hoa-san-pay apakah masih dijabat oleh Gak Put-kun" Orang ini pura-pura suci, sayang ketika dia baru menjabat ketua aku sudah lantas terjebak, kalau tidak sudah lama kubuka kedok kepalsuannya."
Hati Lenghou Tiong tergetar. Meski Gak Put-kun telah mengusir dia dari perguruan serta menyebarkan berita kepada kawan Bu-lim dan menganggapnya sebagai musuh bersama, tapi sejak kecil ia dibesarkan oleh guru dan ibu-guru yang dipandangnya seperti orang tua kandung sendiri, betapa pun budi ini tidak pernah dilupakan olehnya. Maka sekarang demi mendengar cerita orang she Yim atas gurunya itu seketika ia menjadi gusar dan membentak, "Tutup mulut, aku punya ...."
Tapi mendadak ia telan kembali kata-kata "suhu" yang hampir diucapkan itu. Teringat olehnya kedatangannya ini mengaku sebagai paman suhunya, sedangkan pihak lawan belum jelas kawan atau lawan sehingga tidak boleh bicara terus terang duduknya perkara terhadap mereka.
Sudah tentu orang she Yim itu tidak tahu apa maksud bentakan Lenghou Tiong itu, dengan tertawa ia melanjutkan lagi, "Di antara orang-orang Hoa-san-pay sudah tentu masih ada yang dapat kuhargai, satu di antaranya adalah kakek Hong, kau pun satu di antaranya, sobat cilik. Selain itu masih ada seorang angkatan muda yang dipanggil "Hoa-san-giok-li" segala dengan nama Ling apa ... ah, ya, Ling Tiong-cik. Nona cilik ini boleh dikata seorang gadis baik hati dan luhur budi, cuma sayang dia kawin dengan Gak Put-kun, mirip setangkai bunga yang tertancap di atas gundukan tahi kerbau."
Mendengar ibu gurunya yang sudah tua itu dianggap sebagai "nona cilik", Lenghou Tiong merasa dongkol-dongkol geli. Tapi paling tidak ibu-gurunya telah dinilai baik, maka ia pun tidak memberi bantahan.
"Kau sendiri bernama siapa, sobat cilik?" tanya orang itu.
"Wanpwe she Hong bernama Ji-tiong," sahut Lenghou Tiong.
"Orang Hoa-san-pay yang she Hong tentunya tidak busuk, bolehlah kau masuk kemari, aku akan coba-coba ilmu pedang ajaran kakek Hong itu," kata pula orang itu.
Tadinya ia menyebut Hong Jing-yang sebagai si Hong tua, lalu ganti dengan sebutan kakek Hong, mungkin karena ucapan Lenghou Tiong rada-rada menyenangkan dia sehingga terhadap Hong Jing-yang juga diindahkannya.
Lenghou Tiong sendiri sudah sejak tadi sangat tertarik dan ingin tahu bagaimana wujud orang she Yim ini dan betapa tinggi pula ilmu silatnya, maka ia lantas menjawab, "Sedikit ilmu pedangku yang cetek ini masih boleh dipakai menggertak orang di luar sini, tapi di hadapan Cianpwe tentunya seperti permainan anak kecil saja. Namun Wanpwe sudah telanjur berada di sini, mau tak mau ingin belajar kenal juga dan mohon petunjuk Yim-losiansing."
Tiba-tiba Tan-jing-sing mendekati Lenghou Tiong dan membisikinya, "Hong-hengte, ilmu silat orang ini sangat aneh, caranya sangat keji pula, kau boleh bertanding pedang dengan dia tapi jangan sekali-kali mengadu tenaga dalam."
Sampai di sini mendadak ia seperti ingat sesuatu dan berkata pula dengan menyesal, "Ah, hal ini sih tidak perlu khawatir. Memangnya kau tidak punya tenaga dalam. Rupanya lantaran inilah Toako mau meluluskanmu untuk bertanding dengan dia."
Meski dia bicara dengan bisik-bisik, tapi nyata sekali timbul dari hati yang tulus. Perasaan Lenghou Tiong tergerak, pikirnya, "Sichengcu ini ternyata sangat baik padaku. Tadi aku telah mengolok-olok dia, tapi dia tidak dendam, sebaliknya dengan tulus hati memerhatikan kelemahanku."
Dalam pada itu orang she Yim telah berkata pula, "Marilah masuk ke sini. Apa yang mereka katakan dengan kasak-kusuk di luar" Sobat cilik, Kanglam-si-kui (Empat Setan dari Kanglam) bukan manusia baik-baik, jangan tertipu oleh mereka."
Dia sengaja mengganti julukan "Kanglam-si-yu" dengan "Kanglam-si-kui" sehingga membikin Lenghou Tiong merasa serbasalah dan tidak tahu sesungguhnya pihak manakah yang benar-benar orang baik.
Ui Ciong-kong lantas mengeluarkan sebuah kunci lain yang memutar beberapa pada lubang kunci pintu besi.
Lenghou Tiong mengira setelah membuka kunci itu tentu pintu akan terbuka, siapa tahu Ui Ciong-kong hanya lantas menyingkir ke samping, lalu ganti Hek-pek-cu yang maju, ia pun mengeluarkan sebuah kunci dan memutar lubang kecil yang lain, habis itu Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing masing-masing juga mengeluarkan anak kunci dan berbuat cara sama.
Baru sekarang Lenghou Tiong sadar bahwa kedudukan locianpwe she Yim itu ternyata sedemikian penting sehingga keempat chengcu itu masing-masing mempunyai anak kunci tersendiri, untuk membuka pintu penjara itu diharuskan memakai empat buah anak kunci dari empat orang itu. Padahal Kanglam-si-yu adalah seperti saudara sekandung, masakah mereka pun tidak memercayai satu sama lain"
Tapi lantas teringat olehnya ucapan orang she Yim tadi bahwa Kanglam-si-yu hanya melakukan tugas atas perintah saja untuk menjaganya dan tiada hak buat membebaskan dia. Bisa jadi mereka masing-masing memegang sebuah kunci itu juga atas peraturan yang ditetapkan oleh orang yang memberi perintah kepada mereka itu.
Dari satu putaran anak kunci itu dapat diketahui bahwa lubang kunci itu sudah penuh berkarat, terang pintu besi itu entah sudah berada lama tidak pernah dibuka.
Sesudah memutar kuncinya tadi Tan-jing-sing lantas pegang pintu besi dan digoyang-goyangkan beberapa kali, lalu ditolak sekuatnya, maka terdengarlah suara keriang-keriut yang seret, pintu itu terpentang sedikit ke dalam.
Begitu pintu bergeser, segera Tan-jing-sing melompat mundur. Berbareng Ui Ciong-kong bertiga juga ikut melompat mundur agak jauh. Terpengaruh oleh perbuatan mereka tanpa terasa Lenghou Tiong juga ikut menyurut mundur beberapa tindak.
Orang she Yim itu bergelak tertawa katanya, "Sobat cilik, mereka takut padaku kenapa kau pun ikut-ikut takut?"
Bab 71. Ingin Menolong Malah Terkurung
Lenghou Tiong mengiakan dan segera melangkah maju lagi sambil mendorong pintu besi itu. Terasa engsel pintu sudah penuh berkarat sehingga dengan susah payah barulah pintu itu dapat dipentang setengahan meter lebarnya. Serentak bau apak menusuk hidung.
Tan-jing-sing lantas melangkah maju dan menyodorkan kedua batang pedang kayu. Tanpa bicara Lenghou Tiong menerimanya.
"Hong-hengte, bawalah pelita minyak ini ke dalam," kata Tut-pit-ong sambil mengambilkan sebuah pelita minyak dari dinding.
Setelah terima pula pelita minyak itu Lenghou Tiong masuk ke dalam ruangan itu. Dilihatnya kamar penjara itu cuma dua-tiga meter persegi saja. Ada sebuah dipan terletak di pojok sana, seorang duduk di atas dipan, rambutnya kusut masai, janggutnya panjang sebatas dada dan berewoknya memenuhi mukanya sehingga wajah tidak jelas lagi. Cuma rambut jenggotnya itu kelihatan masih hitam legam tiada beruban sedikit pun.
Dengan membungkuk tubuh Lenghou Tiong berkata, "Hari ini Wanpwe beruntung dapat berjumpa dengan Yim-locianpwe, diharap sudi memberi petunjuk."
"Tidak perlu sungkan," kata orang itu. "Aku harus berterima kasih padamu karena kau datang kemari menghilangkan kesepianku."
"Apakah boleh kutaruh pelita ini di atas dipan?" tanya Lenghou Tiong.
"Baiklah," kata orang itu.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa sangsi, kamar tahanan ini sedemikian sempit, cara bagaimana nanti bisa digunakan buat bertanding pedang" Segera ia mendekati dipan dan menaruh pelita minyak, berbareng itu ia pun jejalkan pada tangan orang itu benda kecil di dalam pulungan kertas titipan Hiang Bun-thian itu.
Agaknya orang itu rada melengak ketika menerima pulungan kertas itu, tapi ia lantas berkata dengan lantang, "He, kalian berempat setan itu mau ikut menonton pertandingan atau tidak?"
"Tempatnya terlalu sempit, tentunya tidak muat," sahut Ui Ciong-kong.
"Baiklah," kata orang itu. "Nah, sobat cilik, tutup pintunya."
Lenghou Tiong mengiakan dan segera merapatkan pintu besi.
Ketika orang itu berbangkit dari tempat duduknya, mendadak terdengar suara gemerencing beradunya seutas rantai besi yang kecil. Dengan tangan kanan orang itu mengambil sebatang pedang kayu dari tangan Lenghou Tiong, katanya dengan menghela napas, "Sudah 20 tahun aku tidak menggunakan senjata, entah ilmu pedang yang pernah kuyakinkan dahulu itu masih ingat atau tidak."
Kini Lenghou Tiong dapat melihat jelas pergelangan tangan orang itu memang betul terkait sebuah gelang besi yang digandeng dengan seutas rantai menjulur ke dinding di belakangnya. Ketika tangan yang lain dan kedua kakinya diamat-amati nyata semuanya juga terantai dan terikat di dinding, dinding di situ hitam mengilat rupanya dinding-dinding itu terbuat dari baja. Diam-diam Lenghou Tiong membatin bahwa rantai dan borgol di tangan orang itu tentu juga terbuat dari baja murni, kalau tidak rantai yang tidak terlalu besar itu sukar mengikat tokoh yang memiliki ilmu silat tinggi seperti orang she Yim ini.
Orang itu menebas-nebaskan pedang kayu itu di udara, tampaknya cuma gerakan perlahan saja, tapi ruangan itu lantas penuh suara mendengung yang memekak telinga.
"Hebat benar tenaga Locianpwe," puji Lenghou Tiong.
Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke sebelah sana seperti hendak membuka rantai, tapi sekilas Lenghou Tiong dapat melihat orang itu telah membuka gulungan kertas dan mengetahui benda keras di dalam gulungan kertas lalu membaca tulisan pada kertas itu.
Lenghou Tiong sengaja melangkah mundur setindak sehingga kepalanya menutup lubang persegi tadi agar orang di luar tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang yang berada dalam kamar.
Sejenak tubuh orang she Yim itu tampak gemetar sehingga rantai besi ikut gemerencing nyaring, agaknya dia telah membaca apa yang tertulis pada kertas, ketika berpaling kembali sinar matanya mendadak memancar tajam, katanya, "Sobat cilik, meski kedua tanganku tidak bebas, tapi belum tentu kau dapat mengalahkan aku."
"Wanpwe adalah angkatan muda yang masih hijau sudah tentu bukan tandingan Locianpwe," sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati.
"Sekaligus kau telah menyerang Hek-pek-cu sampai lebih 40 jurus sehingga dia terdesak hingga tidak mampu membalas maka sekarang boleh juga coba-coba padaku dengan cara yang sama," kata orang itu.
"Maaf," ucap Lenghou Tiong berbareng pedangnya terus menusuk ke depan, yang digunakan adalah jurus pertama yang pernah dipakai menyerang Hek-pek-cu.
"Bagus!" puji orang itu. Pedangnya juga lantas menusuk miring ke dada kiri Lenghou Tiong, ternyata gerakan ini di samping menangkis juga sekaligus menyerang. Sungguh suatu jurus serbaguna yang amat lihai.
Menyaksikan itu dari balik lubang persegi, tanpa tertahan Hek-pek-cu berteriak memuji, "Kiam-hoat bagus!"
"Ya, hari ini anggaplah kalian empat setan sedang beruntung, maka dapat menyaksikan ilmu pedang bagus!" seru orang she Yim dengan tertawa. Pada saat itulah serangan kedua Lenghou Tiong telah tiba pula.
Cepat orang itu putar pedang kayu terus menusuk ke bahu kanan Lenghou Tiong, dia tetap menggunakan jurus menangkis sambil menyerang, suatu jurus serangan dan bertahan yang serbaguna.
Lenghou Tiong terkesiap, ia merasa gerak pedang orang itu sedikit pun tiada lubang kelemahan sehingga tidak dapat mengincar titik lemahnya. Terpaksa ia pun melintangkan pedang untuk menangkis sambil ujung pedang mengacung miring ke depan tetap mengandung daya serang yang menuju perut lawan.
"Hah, bagus juga ini!" seru orang itu dengan tertawa sembari tarik pedang untuk mematahkan serangan Lenghou Tiong.
Begitulah serang-menyerang terus berlangsung, hanya sekejap saja sudah lebih dari 20 jurus, tapi kedua pedang kayu selama itu belum pernah saling bentur. Lenghou Tiong merasa ilmu pedang lawan tiada habis-habisnya dengan macam-macam perubahan, sejak dirinya berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam belum pernah menemukan lawan sedemikian tangguh.
Karena di antara jurus-jurus serangan musuh sejak mula tiada setitik pun lubang kelemahannya terpaksa Lenghou Tiong melayani dengan perubahan yang sama ruwetnya menurut dasar ajaran Hong Jing-yang, yaitu "dengan tiada jurus serangan mengalahkan serangan musuh".
Meski "Boh-kiam-sik" (Jurus Mematahkan Ilmu Pedang) dari Tokko-kiu-kiam itu cuma satu gerakan saja tapi meliputi intisari dari segala macam ilmu pedang yang paling lihai di seluruh dunia, walaupun "tanpa jurus" tapi memakai semua jurus serangan paling lihai dari segala ilmu pedang di dunia ini sebagai dasar.
Melihat ilmu pedang Lenghou Tiong itu berubah-ubah tiada habis-habisnya, setiap perubahannya selalu serbabaru, namun berkat pengalamannya yang luas, ditambah kecerdasannya yang luar biasa maka dapatlah orang itu mematahkan setiap serangan Lenghou Tiong.
Tapi sesudah lebih 40 jurus lambat laun orang itu sudah mulai merasa seret gerak pedangnya. Perlahan ia kerahkan tenaga dalam batang pedangnya sehingga setiap kali pedangnya bergerak lantas membawa suara gemuruh yang keras.
Namun letak keajaiban Tokko-kiu-kiam itu justru tidak sampai mengadu tenaga dalam dengan pihak lawan. Tak peduli betapa kuat tenaga lawan selalu tersapu lenyap. Hanya saja Lenghou Tiong baru pertama kali ini menghadapi lawan mahatangguh sejak berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, mau tak mau timbul juga rasa jerinya, beberapa kali ia menghadapi serangan bahaya walaupun berhasil dipatahkan olehnya, tapi mengucur juga keringat dinginnya.
Padahal rasa kejut orang itu jauh melebihi Lenghou Tiong. Beberapa kali serangan tampaknya dia pasti akan menang dan Lenghou Tiong akan terpaksa membuang pedang dan menyerah, jalan lain tidak ada. Tapi justru pada detik yang terakhir itulah mendadak mengeluarkan jurus yang aneh, bahkan sempat balas menyerang pula dengan tidak kurang lihainya.
Ui Ciong-kong berempat berjubel di luar pintu besi dan mengintip ke dalam melalui lubang persegi yang kecil itu, paling-paling hanya cukup untuk mengintip sekaligus oleh dua orang saja, bahkan masing-masing hanya bisa mengintip dengan sebelah mata. Maka mereka harus bergilir, habis dua orang mengintip sebentar, lalu ganti dua orang yang lain.
Semula mereka terheran-heran dan kagum luar biasa ketika melihat kebagusan ilmu pedang yang dimainkan Lenghou Tiong, sampai akhirnya di mana letak kehebatan ilmu pedang kedua orang yang bertanding itu sudah tak bisa lagi dipahami oleh mereka berempat.
Terkadang Ui Ciong-kong melihat sejurus yang hebat, ia lantas memeras otak menyelami di mana letak kebagusan jurus itu, sampai lama sekali barulah dia paham, tapi sementara itu kedua orang yang bertanding itu sudah bergebrak belasan jurus lagi dan bagaimana belasan jurus yang lalu itu menjadi tidak diketahuinya sama sekali.
Sungguh kejut Ui Ciong-kong tak terkatakan, pikirnya, "Kiranya sedemikian rupa kehebatan ilmu pedang Saudara Hong ini. Tadi waktu dia bertanding dengan aku sebenarnya dia hanya menggunakan satu bagian ilmu pedangnya saja. Jangankan dia tidak punya tenaga dalam dan aku punya pedang tak berwujud, tidak mampu mengapa-apakan dia, seumpama dia mempunyai tenaga penuh juga aku tidak sanggup melawannya. Bila mau asal sekaligus dia menyerang tiga kali sudah pasti aku lempar kecapi dan menyerah kalah. Bahkan kalau bertempur sungguh-sungguh, satu jurus saja dia sudah mampu membutakan kedua mataku."
Letak keistimewaan Tokko-kiu-kiam itu adalah musuh semakin hebat ia pun semakin kuat. Jika musuh hanya jago rendahan, maka intisari Tokko-kiu-kiam itu malah sukar dipancarkan seluruhnya. Dan sekarang yang dihadapi Lenghou Tiong justru adalah seorang tokoh Bu-lim yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, betapa tinggi ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang sukar dibayangkan. Maka demi mendapat serangannya seketika segala macam kebagusan yang terkandung dalam Tokko-kiu-kiam pun lantas terpancar seluruhnya. Coba kalau Tokko Kiu-pay hidup kembali tentu dia pun akan kegirangan bila menemukan lawan sekuat ini.
Sesudah berlangsung 40 jurus lebih, serangan Lenghou Tiong semakin gencar dan bertambah lancar, banyak gerakan bagus bahkan belum pernah diajarkan Hong Jing-yang sendiri. Karena rasa takutnya lenyap maka segenap pikirannya tercurah ke dalam ilmu pedangnya itu.
Berturut-turut orang itu berganti delapan macam ilmu pedang yang paling lihai, tapi bagaimanapun juga Lenghou Tiong tetap dapat melayani dengan lancar seakan-akan semua jenis ilmu pedang itu sudah sangat hafal baginya.
Mendadak orang itu melintangkan pedangnya sambil membentak, "Sobat cilik, sesungguhnya ilmu pedangmu ini ajaran siapa" Rasanya kakek Hong tidak memiliki kepandaian demikian."
Lenghou Tiong rada terkesiap, jawabnya, "Jika ilmu pedang ini bukan ajaran Hong-losiansing, siapa lagi orang kosen di dunia ini yang mampu mengajar padaku?"
"Benar juga," seru orang itu. "Ini, sambut lagi ilmu pedangku ini!"
Mendadak ia bersuit panjang nyaring, pedang terus menebas.
Cepat Lenghou Tiong miringkan pedang dan menusuk ke depan, terpaksa orang itu menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Berulang-ulang orang itu membentak-bentak seperti orang gila. Semakin ribut mulutnya, semakin cepat pula serangannya.
Dari ilmu pedang lawan itu Lenghou Tiong merasa tiada sesuatu yang luar biasa, hanya suara teriakan dan bentakannya itulah yang membikin pikirannya kacau. Sekonyong-konyong orang itu bersuit keras sekali, anak telinga Lenghou Tiong serasa mendengung pecah tergetar, pikirannya menjadi gelap, seketika tak sadarkan diri dan roboh terkapar ....
Begitulah dalam keadaan tak sadarkan diri entah berlangsung sampai berapa lama ketika terasa kepalanya sakit seakan-akan pecah dan telinga masih mendengung-dengung, mendadak ia membuka mata, tapi keadaan gelap gulita entah dirinya berada di mana saat itu. Ia coba menahan dengan tangannya untuk berbangkit, tapi sekujur badan terasa lemas lunglai tiada tenaga sedikit pun.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Aku tentunya sudah mati dan terkubur di bawah tanah."
Karena rasa duka dan cemas, kembali ia jatuh pingsan lagi.
Waktu siuman untuk kedua kalinya terasa kepala masih sangat sakit, cuma suara mendengung di telinga sudah jauh lebih enteng, di bawah badan terasa dingin dan keras rasanya seperti berbaring di sebuah papan baja. Ia coba meraba-raba dengan tangan, benar juga terasa dugaannya memang tepat. Tapi sedikit tangannya bergerak tiba-tiba mengeluarkan suara gemerencing yang nyaring berbareng tangannya terasa terikat oleh sesuatu benda keras.
Ketika tangan lain hendak meraba, mendadak tangan sebelah juga mengeluarkan suara nyaring dan terikat.
Kejut dan girang hati Lenghou Tiong. Girang karena dirinya ternyata belum mati. Terkejut lantaran badannya sekarang terantai, jelas keadaannya telah mengalami nasib yang sama dengan orang tua Yim itu.
Ketika tangan kiri diraba, terasa rantai itu pun kecil seperti rantai di kaki tangan orang she Yim. Malahan segera kedua kakinya juga terasa dirantai dengan cara serupa.
Dalam keadaan gelap gulita tiada sesuatu yang dapat dilihat olehnya. Pikirnya, "Waktu pingsan aku sedang bertanding dengan pedang Yim-losiansing, entah cara bagaimana aku masuk perangkap Kanglam-si-yu. Entah aku dikurung di suatu tempat dengan Yim-locianpwe atau tidak?"
Segera ia berteriak-teriak memanggil, akan tetapi tiada terdengar suara jawaban sedikit pun. Ia tambah takut dan berteriak-teriak pula, "Yim-locianpwe!"
Tapi dalam kegelapan hanya kumandang suara sendiri yang serak-serak cemas itu saja yang terdengar.
Setelah tertegun sejenak, kembali ia berteriak-teriak, "Toachengcu, Sichengcu! Mengapa kalian mengurung aku di sini" Lekas lepaskan aku! Lekas bebaskan aku!"
Akan tetapi biarpun kerongkongannya sampai kering, suaranya sampai habis, tetap tidak memperoleh jawaban apa pun.
Akhirnya Lenghou Tiong mencaci maki habis-habisan, "Bangsat, kalian manusia rendah yang tidak tahu malu, apakah kalian bermaksud mengurung aku di sini selama hidup?"
Teringat akan dikurung selama hidup seperti orang tua she Yim itu, seketika Lenghou Tiong merasa putus asa. Mestinya ia adalah pemuda yang tidak takut kepada langit dan tidak gentar pada bumi, pada saat menghadapi bahaya tak pernah memikirkan mati-hidup sendiri. Tapi sekarang demi teringat dirinya akan dikurung hidup-hidup selamanya di penjara yang gelap di dasar danau ini, mau tak mau ia jadi mengirik.
Semakin dipikir semakin takut dan tambah berduka, kembali ia berteriak-teriak lagi, tapi terdengar suaranya berubah menjadi ratap tangis, entah sejak kapan air mata telah membasahi mukanya, dengan ia berteriak, "Kalian empat ... empat anjing kotor dari Bwe-cheng ini, bila kelak aku Lenghou Tiong dapat lolos dari sini, aku akan ... mencungkil biji mata kalian, akan kupotong kaki tangan kalian ...."
Mendadak ia diam kembali, sesuatu suara menjerit dalam hatinya, "Apakah aku mampu keluar dari penjara ini" Sedangkan tokoh sakti sebagai Yim-locianpwe juga tidak mampu lolos dari sini, apakah ... apakah aku mampu?"
Saking cemasnya, tahu-tahu darah segar tersembur keluar dari mulutnya, kembali ia jatuh pingsan lagi.
Setiap kali ia jatuh pingsan setiap kali pula badannya bertambah lemah. Di tengah sadar tak sadar itu tiba-tiba terdengar suara "kletak" satu kali menyusul cahaya terang menyilaukan mata. Lenghou Tiong terjaga bangun terus hendak melompat berdiri. Ia lupa bahwa kaki tangannya sudah terantai semua ditambah lagi badannya sangat lemas, maka baru sedikit ia melompat, "bluk", kembali ia terbanting ke bawah, seluruh ruas tulang badannya seakan-akan rontok semua.
Sudah lama ia berada di tempat gelap, mestinya cahaya itu sangat menusuk matanya, tapi ia khawatir kalau-kalau sinar terang itu dalam sekejap akan lenyap lagi dan sejak itu akan hilang kesempatan meloloskan diri, maka walaupun matanya terasa pedas oleh cahaya terang itu masih juga dipentang selebar-lebarnya menatap arah datangnya sinar itu.
Ternyata sinar itu menembus masuk melalui sebuah lubang persegi. Segera Lenghou Tiong ingat bahwa penjara tempat terkurung Yim-locianpwe itu pada pintu besi penjara itu juga terdapat sebuah lubang persegi yang serupa. Ia coba melirik sekitarnya, ternyata dirinya memang berada di dalam sebuah kamar penjara begitu.
Kembali ia berteriak-teriak pula, "Lekas lepaskan aku! Ui Ciong-kong, Hek-pek-cu, kalian bangsat anjing kotor, kalau berani lepaskan aku dari sini!"
Dalam keadaan sendirian di tempat gelap ia menangis sedih, tapi begitu melihat datangnya musuh, seketika timbul semangat jantannya, tak peduli bagaimana musuh akan menyiksanya dia takkan menyerah.
Tiba-tiba terlihat sebuah nampan kayu perlahan disodorkan ke dalam melalui lubang persegi itu. Di atas nampan tertaruh sebuah mangkuk nasi dan di atas nasi banyak terdapat sayur-mayur. Selain itu ada lagi sebuah kendi, agaknya berisi air minum.
Melihat itu Lenghou Tiong tambah gusar, pikirnya, "Kalian mengirim makanan padaku, jadi kalian bermaksud mengurung aku di sini dalam jangka panjang?"
Tanpa pikir lagi ia terus mencaci maki, "Anjing-anjing kotor, jika mau bunuh boleh bunuh saja kenapa mesti mempermainkan tuanmu!"
Dilihatnya nampan itu tinggal di depan lubang persegi itu tanpa bergerak, agaknya dimaksudkan Lenghou Tiong menerimanya. Karena ruangan kamar penjara rada sempit, asalkan Lenghou Tiong berbangkit dan sedikit miringkan tubuh tentu tangannya dapat mencapai nampan itu. Mendadak ia sampuk sekerasnya. Maka terdengarlah suara ramai jatuhnya mangkuk dan kendi sehingga hancur semua.
Saking gusarnya Lenghou Tiong menubruk ke depan lubang itu, dilihatnya seorang tua dengan tangan kiri membawa lampu dan tangan lain memegang nampan tadi sedang melangkah pergi dengan perlahan. Orang tua itu sudah beruban semua, mukanya kisut, jelas sudah sangat tua renta, tapi selama ini belum pernah dikenalnya.
"He, lekas kau panggil Ui Ciong-kong, Hek-pek-cu, dan lain-lain ke sini, kalau berani, suruh keempat ... keempat anjing itu bertanding mati-matian dengan aku," teriak Lenghou Tiong.
Namun sama sekali orang tua itu tidak menggubrisnya, dengan terbungkuk-bungkuk setindak demi setindak dia menjauh.
"He, hei! Kau dengar tidak?" teriak Lenghou Tiong pula. Tapi biarpun ia menggembor sekeras-kerasnya, tetap orang tua itu tidak menoleh.
Ketika bayangan orang tua itu menghilang di pojok lorong sana, cahaya lampu juga mulai guram, akhirnya keadaan berubah gelap gulita pula. Selang sejenak, terdengarlah suara tertutupnya pintu kayu dan pintu besi, lalu suasana sunyi senyap lagi.
Kembali Lenghou Tiong merasa kepalanya puyeng, setelah termangu-mangu sejenak, perlahan ia berbaring. Pikirnya, "Orang tua mengantar makanan ini tentu mendapat larangan keras untuk bicara dengan aku, maka percuma biarpun aku berteriak-teriak padanya."
Lalu terpikir pula, "Tampaknya di bawah perkampungan Bwe-cheng dibangun penjara gelap yang tidak sedikit, entah berapa banyak kaum kesatria dan orang gagah yang ditahan di sini. Jika aku dapat saling berhubungan dengan Yim-locianpwe atau dengan salah seorang kawan senasib yang juga ditahan di sini, dengan gotong royong mungkin akan ada kesempatan lolos dari sini?"
Berpikir demikian, segera ia menggunakan tangan untuk mengetuk dinding. Terdengar dinding itu berbunyi nyaring logam, terang berbuat dari baja. Pula suaranya rada berat, agaknya di sebelah bukan lagi kamar kosong, tapi adalah tanah yang amat keras. Ia coba mengetuk dinding bagian lain, suara yang timbul sama saja. Ia masih belum rela, sesudah duduk kembali di dipannya, ia coba mengetuk lagi dinding sebelah belakang, tapi suaranya ternyata serupa.
Dari apa yang dilakukannya itu ia menarik kesimpulan bahwa selain dinding di sebelah pintu itu, tiga belah dinding yang lain agaknya dibangun dan terpendam di bawah tanah yang amat dalam. Sudah tentu di bawah tanah itu masih ada kamar tahanan yang lain, paling sedikit masih ada sebuah, yaitu tempat tahanan orang tua she Yim itu. Cuma tidak tahu di mana letak arah kamar tahanan dirinya berada sekarang ini.
Ia bersandar di dinding dan coba mengingat-ingat kembali apa yang dialaminya sebelum jatuh pingsan. Yang teringat cuma serangan pedang orang she Yim itu semakin cepat disertai bentakan-bentakan, ketika suara bentakan dan teriakan itu sedemikian kerasnya dirinya lantas tidak tahan dan jatuh pingsan. Mengenai bagaimana dirinya ditawan Kanglam-si-yu dan cara bagaimana digusur ke dalam kamar penjara ini sama sekali tak diketahuinya.
Diam-diam ia membatin, "Keempat chengcu itu lahirnya saja seperti orang yang berbudi luhur, tapi perbuatan mereka yang sesungguhnya ternyata begini jahat. Suhu pernah berkata bahwa orang yang paling licik dan paling jahat di dunia ini justru adalah orang-orang yang paling pintar dan paling cerdik pula. Ungkapan suhu itu ternyata memang benar.
Seperti tipu muslihat yang diatur Kanglam-si-yu ini memang juga sukar untuk dipecahkan orang. Padahal begitu melompat masuk lubang yang berada di bawah tempat tidur Ui Ciong-kong itu, saat itu juga aku sudah terjebak ke dalam jaring mereka biarpun waktu itu aku tersadar juga tidak keburu lagi menarik diri."
Tiba-tiba ia menjerit, "Ai!"
Tanpa terasa ia pun melonjak bangun dengan jantung berdebar-debar pikirnya, "Hei, kan masih ada Hiang-toako" Entah apakah dia juga mengalami nasib jelek seperti aku" Tapi biasanya Hiang-toako sangat pintar dan cerdik, tampaknya Hiang-toako sebelumnya sudah cukup kenal tingkah laku Kanglam-si-yu ini, dia sudah malang melintang di Kangouw sebagai Kong-beng-yusu pula dari Mo-kau, tentu dia takkan begitu mudah terjebak. Dan asalkan dia tidak terkurung oleh Kanglam-si-yu, tentu dia akan berdaya untuk menolong aku."
Terpikir demikian hatinya menjadi lega dan tersenyum simpul. Ia bergumam sendiri, "Wahai Lenghou Tiong, sesungguhnya kau pun terlalu pengecut, masakah ketakutan sampai menangis, kalau diketahui orang lalu ke mana lagi mukamu akan ditaruh?"
Karena hatinya terasa lega, perlahan ia berbangkit, maka terasalah sekarang perutnya sangat lapar dan dahaga. Pikirnya, "Sayang tadi aku mengamuk dan menyampuk jatuh makanan dan air minum itu. Jika aku tidak makan sekenyangnya, nanti kalau Hiang-toako datang menolong aku keluar, dari mana aku ada tenaga buat melabrak Kanglam-si-kau" Haha, memang benar harus kusebut mereka Kanglam-si-kau (Empat Anjing Kanglam). Di antara empat anjing itu Hek-pek-cu paling pendiam, tapi paling licin segala tipu muslihatnya ini tentu dia yang mengatur. Bila aku lolos dari sini orang pertama yang akan kubunuh adalah dia. Di antara empat anjing itu Tan-jing-sing agak jujur, biarlah aku mengampuni jiwanya saja. Cuma dia punya arak simpanan harus kuminum habis seluruhnya."
Teringat kepada arak simpanan Tan-jing-sing yang enak itu rasa dahaga Lenghou Tiong bertambah hebat. Pikirnya pula, "Wah, entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri tadi, mengapa Hiang-toako masih belum tampak datang" Tapi, wah celaka! Jika satu lawan satu memang Hiang-toako sanggup mengalahkan keempat anjing Kanglam itu, tapi kalau mereka berempat maju sekaligus tentu sukar menang bagi Hiang-toako, sekalipun dengan kesaktian Hiang-toako dapat membinasakan keempat anjing itu untuk mencari penjara di bawah tanah ini juga mahasukar. Siapakah yang dapat menduga bahwa lubang masuk penjara ini justru terletak di bawah tempat tidur Ui Ciong-kong?"
Begitulah ia menjadi cemas-cemas khawatir lagi. Tapi kemudian ia berpikir lain pula, "Ah, betapa hebat Hiang-toako itu" Dia adalah tokoh mahasakti. Tempo hari seorang diri ia pernah menghadapi beberapa ratus jago dari macam-macam golongan dan aliran bahkan waktu itu kedua tangannya terborgol, apalagi sekarang cuma menghadapi empat ekor anjing begitu, tentu dia akan menang dan dapat menemukan aku di sini."
Akhirnya ia terasa lelah, maka ia berbaring lagi. Tiba-tiba timbul pikirannya, "Tinggi ilmu silat Yim-locianpwe ini jelas di atas Hiang-toako dan tidak mungkin di bawahnya, bahkan pengetahuannya yang luas serta kecerdasannya tampaknya juga tidak di bawah Hiang-toako, tokoh sehebat ini saja terkurung di sini, dari mana dapat dipastikan Hiang-toako bisa mengalahkan anjing-anjing itu" Sesudah sekian lama Hiang-toako tidak datang, bukan tak mungkin dia juga mengalami nasib sial."
Macam-macam pikiran yang simpang-siur itu akhirnya membuat dia terpulas. Ketika terjaga bangun dan membuka mata, keadaan gelap gulita belaka, apakah sudah malam atau masih siang sama sekali tak diketahuinya. Ia termenung lagi, "Dengan kemampuanku terang aku tidak mampu keluar dari sini. Jika Hiang-toako juga mengalami bencana, lalu siapa lagi yang bisa datang menolong aku" Suhu telah menyebar surat edaran tentang pemecatanku dari Hoa-san-pay, orang-orang cing-pay terang tidak sudi datang menolong aku. Tinggal Ing-ing saja, ya, Ing-ing ...."
Teringat kepada Ing-ing, seketika semangatnya terbangkit, segera ia duduk dan berpikir pula, "Ing-ing pernah menyuruh Lo Thau-cu dan kawan-kawannya menyiarkan berita di dunia Kangouw bahwa aku harus dibunuh. Dengan sendirinya jago-jago dari golongan yang tidak senonoh itu tidak mungkin datang menolong aku. Tapi bagaimana dengan Ing-ing sendiri" Jika dia tahu aku terkurung di sini pasti dia akan datang menolong aku. Meski kepandaiannya tidak setinggi Hiang-toako, tapi banyak sekali orang-orang sia-pay yang mau tunduk kepada perintahnya. Asalkan dia mengeluarkan perintah, haha ...."
Begitulah tanpa terasa ia tertawa senang. Pikirnya, "Dasar anak perawan yang masih malu-malu kucing, dia paling takut kalau orang luar mengatakan dia suka padaku. Jadi seumpama dia bertekad akan menolong aku tentu juga dia akan datang sendiri dan tak mau mengajak pembantu. Malahan kalau ada orang tahu dia datang menolong aku besar kemungkinan jiwa orang itu akan melayang. Ai, dasar perasaan gadis yang sukar diraba. Seperti siausumoay ...."
Apa yang dialaminya sekarang sesungguhnya berada di titik yang paling celaka, tapi demi teringat kepada Gak Leng-sian, seketika hatinya terasa sakit. Terasa di antara duka derita dan putus asa sekarang menjadi tambah satu lapis lebih berat lagi.
Sesaat itu ia merasa tiada artinya lagi hidup lebih lama di dunia fana ini, sebab waktu itu mungkin sekali siausumoaynya sudah kawin dengan Lim-sute, biarpun dapat lolos dari kurungan sekarang juga percuma. Lalu buat apa mengharap-harapkan datangnya penolong" Kan lebih baik mengeram selama hidup saja di dalam penjara ini"
Mengingat ada manfaatnya juga biarpun terkurung dalam penjara, seketika rasa cemas tadi rada berkurang, bahkan timbul rasa syukur dan gembiranya.
Tapi rasa hibur diri itu tidak dapat bertahan lama, ketika perutnya terasa lapar dan tenggorokan kering, terbayang olehnya waktu makan enak dan minum arak di restoran yang menyenangkan itu, akhirnya ia merasa toh lebih baik lolos keluar saja daripada kebebasannya terkekang. Katanya di dalam hati, "Apa alangannya biarpun Lim-sute mengawini siausumoay" Aku sendiri toh sudah kenyang dianiaya orang, tenagaku sudah punah dan mirip orang cacat, malahan Peng-tayhu menyatakan ajalku sudah tidak lama lagi, sekalipun siausumoay mau menjadi istriku juga aku tidak boleh mengawini dia. Mana boleh aku membikin dia menjadi janda muda yang merana?"
Bab 72. Habis Murung Dapat Untung
Namun dalam lubuk hatinya ia tetap merasa biarpun dia tidak dapat mengawini Gak Leng-sian, namun nona itu mencintai pula Lim Peng-ci, betapa pun hal ini membuat perasaannya sangat tertusuk. Paling baik, ia merasa paling baik kalau sang sumoay masih tetap seperti masa dulu, paling baik tidak pernah terjadi apa-apa, Lim-sute tidak pernah menjadi murid Hoa-san-pay, dengan demikian ia akan dapat hidup berdampingan dengan Gak Leng-sian untuk selamanya.
"Ai, tapi sekarang semua itu sudah terjadi," pikirnya pula. "Dan entah bagaimana dengan Dian Pek-kong, ada lagi Tho-kok-lak-sian, ada lagi Gi-lim Sumoay ...."
Teringat kepada nikoh cilik Hing-san-pay yang bernama Gi-lim itu, seketika timbul senyumannya yang hangat, pikirnya, "Entah di mana sekarang Gi-lim Sumoay itu" Jika dia tahu aku terkurung di sini, tentu dia akan sangat khawatir pula. Sudah tentu gurunya akan melarang dia datang menolong aku karena surat edaran suhu, tapi dia ... dia pasti akan mohon ayahnya, yaitu Put-kay Hwesio untuk berdaya, bisa jadi akan jadi akan mengajak pula Tho-kok-lak-sian ke sini. Ai, ketujuh orang itu suka berbuat ngawur dan takkan mampu menghasilkan apa-apa. Tetapi ... tetapi bila kedatangan penolong kan lebih baik daripada tidak ada orang menggubris urusanku?"
Teringat pada kelakuan Tho-kok-lak-sian yang ngawur dan sinting itu, tanpa terasa Lenghou Tiong mengekek tawa.
Dahulu ia rada menyepelekan tingkah laku Tho-kok-lak-sian itu, tapi sekarang ia berharap-harap mereka dapat menjadi teman mengobrol di dalam penjara yang sunyi ini, ucapan Tho-kok-lak-sian yang aneh-aneh dan lucu-lucu itu jika didengarnya sekarang mungkin akan dianggapnya sebagai nyanyian malaikat dewata.
Berpikir dan termenung pula, akhirnya Lenghou Tiong terpulas lagi.
Entah lewat berapa lama di dalam penjara yang gelap itu, dalam keadaan masih mengantuk, tiba-tiba terlihat sinar remang-remang menembus masuk pula melalui lubang persegi di pintu besi itu. Dengan girang cepat Lenghou Tiong berbangkit, hatinya berdebar-debar, pikirnya, "Entah siapakah yang datang menolong aku?"
Tapi rasa girang itu tidak bertahan lama, segera ia dengar suara tindakan orang yang perlahan dan berat, terang yang datang adalah kakek pengantar makanan itu. Dengan lemas ia rebahkan diri lagi sambil berteriak, "Panggil keempat bangsat anjing itu ke sini! Coba mereka ada muka buat menemui aku atau tidak?"
Terdengar suara tindakan kaki semakin mendekat, cahaya lampu juga makin terang. Menyusul sebuah nampan kayu disodorkan masuk melulu lubang persegi itu. Di atas nampan tetap tertaruh semangkuk besar nasi dan sebuah kendi. Kakek itu sama sekali tidak bicara, hanya menyodorkan nampan ke dalam dan menunggu diterima oleh Lenghou Tiong.
Memangnya Lenghou Tiong sudah sangat kelaparan, lebih-lebih kerongkongannya yang sudah kering itu. Hanya ragu sejenak saja segera ia sambut nampan kayu itu. Sesudah melepaskan nampan, si kakek lantas putar tubuh dan melangkah pergi.
"He, hei, nanti dulu, aku ingin tanya padamu!" teriak Lenghou Tiong.
Namun kakek itu sama sekali tidak menggubris, terdengar suara kakinya yang melangkah, dengan berat dan setengah diseret, lambat laun menjauh dan cahaya lampu pun lenyap akhirnya.
Lenghou Tiong menggerutu beberapa kali lalu kendi itu diangkat terus dituang mulut. Isi kendi itu memang betul air minum. Sekaligus ia menghabiskan hampir setengah kendi, habis itu baru makan nasi. Sayuran yang bercampur nasi itu biarpun dalam kegelapan juga dapat dibedakan rasanya, yaitu terdiri dari masakan lobak, tahu, dan sebagainya.
Begitulah ia meringkuk dalam penjara itu sampai tujuh atau delapan hari, si kakek pasti datang satu kali mengantar daharan, ketika pergi dibawanya sekalian mangkuk, sumpit, kendi yang diantar sehari sebelumnya. Begitu pula dibawa pergi tempurung wadah kotoran. Tapi biar bagaimana Lenghou Tiong mengajak bicara padanya selalu air mukanya tampak kaku tanpa memberi sesuatu perasaan apa pun.
Entah sudah berapa hari lagi, ketika Lenghou Tiong melihat cahaya lampu, segera ia menubruk ke depan lubang persegi itu dan memegangi nampan kayu yang disodorkan si kakek sambil berteriak, "Kenapa kau tidak bicara" Kau dengar tidak kata-kataku?"
Karena jaraknya dengan si kakek sekarang sangat dekat mendadak ia jadi terkejut. Ternyata kedua mata orang itu terbelalak putih, sinar matanya buram jelas seorang buta. Malahan orang tua itu menuding-nuding pula telinga sendiri sambil geleng-geleng kepala sebagai tanda dia orang tuli, menyusul ia lantas pentang mulut pula.
Lenghou Tiong tambah melongo kaget. Kiranya lidah orang tua itu hanya tinggal sebagian kecil saja, ujungnya sebagian besar telah terpotong sehingga tampaknya sangat mengerikan.
"Hah, jadi lidahmu dipotong orang" Apakah perbuatan keji keempat chengcu itu?" seru Lenghou Tiong.
Orang tua itu tidak menjawab, perlahan ia mengangsurkan nampan. Nyata sekali ia tidak dengar apa yang diucapkan Lenghou Tiong. Andaikan dengar juga tidak dapat menjawab karena sudah bisu.
Rasa kejut dan ngeri meliputi perasaan Lenghou Tiong, sampai orang tua itu pergi ia masih belum tenang kembali. Ia berbaring pula dan termenung-menung membayangkan lidah yang hampir habis terpotong itu sehingga nafsu makan pun lenyap. Diam-diam ia bersumpah bilamana pada suatu ketika dia berhasil lolos dari tempat tahanan itu maka seorang demi seorang lidah Kanglam-si-kau itu pun akan dipotong olehnya, telinga akan dibikin tuli.
Tiba-tiba timbul setitik sinar terang dalam hati kecilnya, pikirnya, "Ah, benar, sebab apakah mereka memperlakukan aku cara demikian" Jangan-jangan mereka adalah ...."
Ia menjadi teringat kepada peristiwa dahulu ketika malam itu sekaligus ia membutakan belasan laki-laki, asal usul orang-orang itu selama ini masih belum diketahui, jangan-jangan mereka itulah yang hendak menuntut balas padanya. Teringat kejadian itu ia lantas menghela napas, rasa dongkolnya yang tak terlampias selama beberapa hari lantas lenyap sebagian besar, ia anggap pembalasan dendam mereka pun cukup beralasan karena belasan pasang mata pernah dibutakan olehnya.
Karena rasa dongkol dan gemasnya mulai lenyap maka hari-hari selanjutnya menjadi mudah untuk dilalui. Karena siang atau malam tak terbedakan di dalam penjara yang gelap itu sehingga ia pun tidak tahu sudah terkurung berapa lama di situ. Yang terasa olehnya adalah makin hari makin gerah hawa di dalam kamar penjara itu, ia menduga mungkin sudah musim panas. Apalagi kamar sempit itu sama sekali tidak ada lubang angin.
Suatu hari hawa sangat panas, saking tak tahan Lenghou Tiong membuka baju, dengan badan telanjang ia berbaring di atas dipan. Karena tangan dan kaki terantai sehingga tidak mungkin pakaiannya ditanggalkan seluruhnya, maka bajunya hanya ditarik ke atas dan celana digulung ke bawah. Tikar rombeng yang menutupi dipan besi itu pun digulungnya. Maka terasalah segar badannya yang telanjang itu ketika rebah dipan besi. Tanpa terasa akhirnya ia tertidur.
Lambat laun dipan itu menjadi panas juga tertindih oleh badannya, dalam keadaan lamat-lamat ia membalik tubuh dan menggeser ke tempat yang masih nyaman, ketika sebuah tangan menahan dipan, tiba-tiba terasa permukaan dipan seperti terukir sesuatu, cuma waktu itu dia sedang mengantuk, maka hal itu tidak diurus lebih jauh.
Nyenyak sekali ia tertidur, ketika bangun ia merasa semangatnya penuh. Tidak lama kemudian orang tua itu datang lagi mengantar makanan.
Kini Lenghou Tiong merasa sangat simpatik kepada kakek yang cacat itu, setiap kali ia menyodorkan nampan makanan tentu dia meremas-remas tangannya atau tepuk-tepuk perlahan punggung tangan orang tua itu sebagai tanda terima kasihnya. Maka sekali ini pun tidak terkecuali.
Setelah menerima nampan itu dan waktu menarik kembali lengannya, di bawah cahaya yang remang sekonyong-konyong dilihatnya pada punggung tangan sendiri menonjol empat huruf, dengan jelas dapat terbaca empat huruf itu berbunyi "ngo-heng-pi-gun."
Terheran-heran Lenghou Tiong, seketika ia tidak mengerti dari mana datangnya empat huruf itu. Setelah merenung sejenak, cepat ia menaruh nampan itu dan segera dipan besi diraba-rabanya. Baru sekarang diketahui bahwa di atas dipan besi itu ternyata penuh terukir tulisan yang tak terhitung banyaknya.
Maka pahamlah dia bahwa tulisan di atas dipan itu sudah lama terukir di situ, tadinya dipan itu tertutup selapis tikar, maka tidak terang. Lantaran semalam hawa terlalu gerah sehingga dia tidur dengan badan telanjang maka tercetaklah empat huruf itu di lengannya. Ia coba-coba meraba-raba lagi bagian lengan yang lain, bagian pinggul dan punggung, memang benar semuanya tercetak huruf-huruf sebesar mata uang, lekuk tulisan itu cukup mendalam.
Saat itu kakek pengantar makanan itu sudah pergi. Segera Lenghou Tiong minum air kendi beberapa ceguk. Tanpa pikirkan makan nasi lagi segera ia mulai meraba-raba tulisan di atas dipan itu. Perlahan dan satu demi satu huruf ia menelitinya sambil mulut membaca lirih, "Aku selamanya tidak ambil pusing tentang budi dan benci, orang yang sudah kubunuh tak terhitung banyaknya, sekarang aku terkurung di bawah danau adalah ganjaran pantas. Cuma aku Yim Ngo-heng terkurung ...."
Sampai di sini barulah Lenghou Tiong tahu keempat huruf "ngo-heng-pi-gun" (Ngo-heng terkurung) yang tercetak di lengannya itu letaknya di bagian ini.
Ia coba meraba dan meraba terus ... "di sini, segenap kepandaianku yang sakti terpaksa harus berakhir bersama badanku yang lapuk ini, sungguh sayang bahwa angkatan muda yang akan datang sama sekali tidak sempat melihat semua ilmu saktiku."
Duri Bunga Ju 11 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 2

Cari Blog Ini